ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK … · swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia,...

101
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA ABIDA HADI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK … · swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia,...

i

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI

DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI

SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA

ABIDA HADI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Produksi dan

Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di

Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta

dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Abida Hadi

NIM H44090065

1

RINGKASAN

Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada

pangan tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada

dalam posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut.

Tahun 2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah

kebutuhan kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping

itu permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya

teknologi, pengetahuan, peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan.

Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan penelitian ini adalah menganalisis

perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik, memproyeksikan

produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat target pencapaian

swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan

dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut. Analisis

perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode

analisis statistik deskriptif, sedangkan peramalan produksi dan konsumsi kedelai

domestik menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving

Average).

Hasil peramalan menjelaskan bahwa konsumsi kedelai di Indonesia lebih

besar dibandingkan produksi kedelai domestik dalam negeri. Persentase laju

pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981

hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata

konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai

domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor

kedelai. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan

ARIMA bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun

2014. Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton,

sedangkan konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan

akan melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk

mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan produksi

kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan

produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah

harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan

2

tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program peningkatan

produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus mencapai 4,28 ton per

ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai tersebut sangat sulit dicapai,

karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai setiap tahunnya rendah,

sehingga program ini baru bisa terlaksana bila dilakukan bersamaan dengan

perluasan areal tanam, yaitu peningkatan produktivitas sebesar 2 ton per ha dan

perluasan areal tanam baru sebesar 708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu

kali panen kedelai dalam setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal

mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam

jangka pendek dan bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang.

iv

ABSTRAK

ABIDA HADI. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka

Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO.

Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada pangan

tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada dalam

posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut. Tahun

2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah kebutuhan

kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping itu permintaan

kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, pengetahuan,

peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan. Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan

penelitian ini adalah memproyeksikan apakah swasembada kedelai pada tahun 2014

akan tercapai sesuai dengan target pemerintah dan strategi apa yang harus dilakukan

untuk mendukung pencapaian swasembada kedelai tersebut. Proyeksi yang dilakukan

meliputi peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode

ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil peramalan menjelaskan

bahwa Indonesia belum mampu swasembada kedelai pada tahun 2014. Proyeksi

produksi kedelai domestik sebesar 672.020 ton, sedangkan konsumsinya sebesar

2.661.406 ton, maka dibutuhkan strategi peningkatan produksi kedelai domestik

untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri.Upaya dalam

peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal tanam

dan peningkatan produktivitas.

Kata Kunci : Kedelai, Konsumsi, Produksi, Swasembada

ABSTRACT

ABIDA HADI. Analysis of Production and Consumption Domestic Soybeans in

Order to Achieve Soybeans Self Sufficiency in Indonesia. Supervised by ADI

HADIANTO.

Crops are used as the main focus of the food self-sufficiency target in 2014 are

rice, corns, and soybeans. Rice and corns have been in self-sufficiency position, while

soybeans have not been yet. In 2011, the domestic soybeans were only able to meet

29 percent of the soybeans demand, and the remaining, 71 percent were filled by the

imported soybeans. Besides that, the soybeans demand will continue to increase along

with the development of tecnology and knowledge, and the increasing population and

income. Under these conditions, the purposes of this study were to forecast whether

soybeans self-sufficiency in 2014 will be achieved in accordance with the

government's target and what strategy should be taken to support the achievement of

self-sufficiency in soybeans. The Projection covered forecasting of production and

consumption domestic soybeans using ARIMA (Autoregressive Integrated Moving

Average). The forecasting results explained that Indonesia had not been able to

achieve soybeans self-sufficiency in 2014. Forecasting of production domestic

soybeans were 672.020 tons, while consumption domestic soybeans were 2.661.406

tons. It needed strategy increasing domestic soybeans production to meet the need of

soybeans consumption. Efforts to increase soybeans production could be done by

increasing the cultivated area and productivity.

Keywords: Consumption, Production, Self-Sufficiency, Soybeans

v

ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI

DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI

SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA

ABIDA HADI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

vi

Judul Skripsi Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia

Nama Abida Hadi NIM H44090065

Disetujui oleh

Adi Hadi to SP M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus: 0 4 SEP 2013

vii

Judul Skripsi

: Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam

Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia

Nama : Abida Hadi

NIM : H44090065

Disetujui oleh

Adi Hadianto, SP, M.Si

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

viii

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 hingga Juni 2013

ini ialah Ekonomi Pertanian, dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi

Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, MSi selaku

dosen pembimbing. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Novindra

SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Hastuti SP, MP, MSi selaku dosen

penguji Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Di samping itu,

Penghargaan penulis sampaikan kepada Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi

di Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik

yang telah membantu dan mendukung selama pengumpulan data. Penghargaan

juga penulis sampaikan kepada Direktorat Kemahasiswaan yang telah

memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani perkuliahan di IPB,

selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Pini Wijayanti, SP, MSi

selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan dan ungkapan terima kasih

tak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga atas

segala doa, kata-kata penyemangat, dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Ka

Irfan, Toro dan Vita STK 46 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi

saya. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari teman-

teman seperjuangan Lia Nur Alia Rahmah, Susan Dwi Putri, Fajar Cahya

Nugraha, sahabat-sahabat tercinta Rizka Ayu Lestari, Gressayana Suciari,

Octaviana Debhora S, Sylvie Suryadi, Hildalina Purnamasari, Nurul Latifah,

Aisya Nadhira Melati serta rekan-rekan ESL 46 IPB, CENTURY IPB 2009 -

2012, dan REESA IPB 2011 - 2012. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Abida Hadi

NIM H44090065

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.............................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... x

I. PENDAHULUAN………………………………………………............... 1

1.1 Latar Belakag.……………………......................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah……………………..……………………............... 6

1.3 Tujuan Penelitian………………………..…………………………....... 8

1.4 Ruang Lingkup Penelitian………………..……………………............. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA.….….………………........…………………...... 9

2.1 Komoditas Kedelai Indonesia…………………......…………............... 9

2.2 Produksi dan Konsumsi……………………………………………….. 12

2.3 Swasembada Pangan.………………………………………………….. 13

2.4 Metode Peramalan................................................................................... 14

2.5 Penelitian Terdahulu……………..………………………………......... 18

2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu………………………………. 21

III. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………...………….......... 22

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis…………..………………….................... 22

3.1.1 Analisis Statistika Deskriptif...……………...………................... 22

3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins (ARIMA)….……………........... 22

3.2 Kerangka Operasional……………………………...………………...... 25

IV. METODE PENELITIAN………………………………………........….. 28

4.1 Jenis dan Sumber Data.........……………………………………….…. 28

4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data.................................................. 28

4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif……………………………. 28

4.2.2 Metode ARIMA…………………….…………...….................... 29

xi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….. 33

5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 33

5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 45

5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai

Domestik………………………………………………………... 46

5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian

Swasembada Kedelai Tahun 2014................................................ 49

VI. SIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 57

6.1 Simpulan…………………………………………………………….... 57

6.2 Saran………………………………………………………………….. 57

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 60

LAMPIRAN....................................................................................................... 65

RIWAYAT HIDUP............................................................................................ 84

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha

(Miliar Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia......................................... 1

2. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia…………………………………... 2

3. Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011............................... 4

4. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010.......................................... 5

5. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011.. 7

6. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan……………… 14

7. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 - 2011.................. 37

8. Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2002 - 2011............................ 38

9. Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun

(2006 - 2009), Tahun 2010 - 2012................................................................ 40

10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011............................ 42

11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 – 2011............ 43

12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 – 2011....................... 44

13. Pendapatan Domestik Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000

Tahun 2002 - 2010........................................................................................ 45

14. Kesenjangan Hasil Peramalan Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai

Domestik Tahun 2012 – 2014....................................................................... 46

15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik

Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47

16. Dampak OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik

Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47

17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan Konsumsi

Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014......................................... 48

18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Permintaan Langsung

dan Permintaan Industri............................................................................... 48

19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 – 2014.................................................. 49

20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014............... 50

21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai.............. 51

22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai Domestik Untuk Swasembada Kedelai

Tahun 2014................................................................................................... 52

23. Varietas Unggul Kedelai Yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 Ton

per Hektar..................................................................................................... 52

xiii

24. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Disertai

dengan Peningkatan Produktivitasnya.......................................................... 53

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Metode Peramalan Box-Jenkins.................................................................... 24

2. Alur Pemikiran Operasional.......................................................................... 27

3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai

Domestik Tahun 1981 – 2011....................................................................... 34

4. Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 2002 – 2011.......... 35

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, Dan Produktivitas Kedelai

Domestik Tahun 1981 - 2011....................................................................... 65

2. Hasil Uji ADF Untuk Penstasioneran Data Produksi Dan Konsumsi

Kedelai Domestik Pada Tingkat Level......................................................... 66

3. Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi

Kedelai Domestik Pada First Difference...................................................... 67

4. Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi

Kedelai Domestik Pada Second Difference.................................................. 68

5. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik

pada First Difference.................................................................................... 69

6. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik

pada Second Difference................................................................................. 70

7. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Konsumsi Kedelai Domestik

pada First Difference.................................................................................... 71

8. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Kedelai

Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 73

9. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi Kedelai

Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 79

10. Hasil Analisis Residual ACF Dan PACF Untuk Produksi Kedelai

Domestik....................................................................................................... 82

11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai

Domestik………………………………………………………………….. 83

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah (Mega

Biodiversity). Biodiversity darat Indonesia merupakan terbesar nomor dua di dunia

setelah Brasil, sedangkan bila termasuk kelautan maka Indonesia nomor satu di

dunia. Keanekaragaman hayati yang didukung dengan sebaran kondisi geografis,

serta keanekaragaman jenis tanah memungkinkan dibudidayakannya aneka jenis

tanaman dan ternak asli daerah tropis maupun komoditas introduksi dari daerah

subtropis secara merata sepanjang tahun di Indonesia.1 Keunggulan-keunggulan

tersebut memberikan peluang besar bagi Indonesia dalam mengembangkan sektor

pertaniannya. Sektor ini memiliki peranan penting dalam penyediaan lapangan

kerja, penyediaan pangan, penghasil energi, dan penyumbang devisa negara.

Tabel 1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar

Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia

Lapangan Usaha Tahun

2007 2008 2009 2010 2011*

Pertanian 271.509,30 284.619,10 295.883,80 304.777,10 315.036,80

Pertambangan dan

Penggalian 171.278,40 172.496,30 180.200,50 187.152,50 189.761,40

Industri Pengolahan 538.084,60 557.764,40 570.102,50 597.134,90 633.781,90

Listrik, Gas, dan Air

Bersih 13.517,00 14.994,40 17.136,80 18.050,20 18.921,00

Konstruksi 121.808,90 131.009,60 140.267,80 150.022,40 159.993,40

Perdagangan, Hotel,

dan Restoran 340.437,10 363.818,20 368.463,00 400.474,90 437.199,70

Pengangkutan dan

Komunikasi 142.326,70 165.905,50 192.198,80 217.980,40 241.298,00

Keuangan, Real

Estate, dan Jasa

Perusahaan

183.659,30 198.799,60 209.163,00 221.024,20 236.146,60

Jasa-jasa 181.706,00 193.049,00 205.434,20 217.842,20 232.537,70

PDB 1.964.327,30 2.082.456,10 2.178.850,40 2.314.458,80 2.464.676,50

Sumber : Badan Pusat Statitik, 2012

Keterangan : *angka sementara

Sumbangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dari sektor pertanian

sebesar Rp 315.036,80 Miliar pada tahun 2011. Sektor ini merupakan

1Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.

http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%202010-

2014%20lengkap.pdf. Akses pada tanggal 4 Desember 2012.

2

penyumbangan PDB terbesar ketiga setelah Industri Pengolahan, dan

Perdagangan, Hotel, dan Restoran (Tabel 1). Sektor ini juga menjadi sektor

penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2,

data menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor penyerap tenaga kerja

terbesar selama kurun waktu 2007 – 2011 dan mencapai 39.328.915 orang dalam

penyerapan tenaga kerja pada tahun 2011 (Tabel 2). Sektor pertanian yang ada di

Indonesia terdiri dari subsektor – subsektor, yaitu subsektor hortikultura, tanaman

pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan (Badan Pusat Statistik,

2012).

Tabel 2. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia

Lapangan Pekerjaan Utama Tahun

2007 2008 2009 2010 2011

Pertanian 41.206.474 41.331.706 41.611.840 41.494.941 39.328.915

Pertambangan dan Penggalian 995 1.070.540 1.155.233 1.254.501 1.465.376

Industri 12.368.729 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.542.081

Listrik. Gas dan Air 174.884 201.114 223.054 234.07 239.636

Konstruksi 5.252.581 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.811

Perdagangan. Rumah Makan dan Jasa Akomodasi

20.554.650 21.221.744 21.947.823 22.492.176 23.396.537

Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 5.958.811 6.179.503 6.117.985 5.619.022 5.078.822

Lembaga Keuanga,. Real Estate, Usaha

Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.399.940 1.459.985 1.486.596 1.739.486 2.633.362

Jasa Kemasyarakatan. Sosial dan Perorangan

12.019.984 13.099.817 14.001.515 15.956.423 16.645.859

Total 99.930.217 102.552.750 104.870.663 108.207.767 109.670.399

Sumber : BPS, 2012

Salah satu sub sektor yang sangat penting untuk pemenuhan gizi dan

keberlanjutan hidup masyarakat Indonesia, yaitu sub sektor tanaman pangan. Sub

sektor tanaman pangan terdiri atas beras, jagung, kacang-kacangan, serta umbi-

umbian. Ketersediaan pangan ini wajib terpenuhi, karena pangan merupakan

kebutuhan dasar utama manusia. Sumber karbohidrat sebagai sumber energi

manusia didapat dari kandungan gizi tanaman pangan. Sesuai dengan aturan yang

tercantum dalam UU (Undang - Undang) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

1996 tentang pangan, menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar

manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam

mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

pembangunan nasional.

3

Ketersediaan pangan menjadi salah satu masalah di banyak negara

berkembang, salah satunya di Indonesia, walaupun tingkat pertumbuhan

ekonominya tinggi, namun masalah pangan masih tetap menjadi prioritas tinggi,

padahal kondisi geografi Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan memiliki

keragaman sosial, ekonomi, dan potensi daerah. Berdasarkan keragaman ini pola

produksi pangan masyarakat secara potensial cukup besar, karena didukung

dengan keberadaan lahan yang luas dan memiliki tingkat kesuburan yang relatif

bagus (Amang, 1993). Permasalahan pangan juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi tingkat kualitas sumberdaya manusia. Kurangnya ketersediaan

pangan menyebabkan sulitnya mendapatkan pangan untuk konsumsi pemenuhan

gizi masyarakat, sehingga mewujudkan mutu sumberdaya manusia yang tinggi

sebagai generasi penerus bangsa juga menjadi sulit. Adanya keterkaitan antara

pangan, gizi, dan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia menjadi

tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan (Menteri Urusan Negara

Urusan Pangan, 1993).

Swasembada pangan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menyediakan

beragam pangan secara mandiri, dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan untuk

konsumsi menurut norma gizi, tersedia merata setiap waktu, dan terjangkau oleh

semua lapisan, dengan mengutamakan kemampuan produksi dalam negeri

(Suhardjo, 1993). Pemerintah Indonesia khususnya dalam Kementerian Pertanian

menargetkan swasembada pangan pada tahun 2014 dalam rangka peningkatan

produksi pertanian. Kementerian Pertanian memfokus pada peningkatan 39

komoditas unggulan nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7

komoditas tanaman pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan,

dan 7 komoditas peternakan. Komoditas tanaman pangan unggulan nasional yang

ditargetkan untuk swasembada, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Dua komoditas

pangan utama (padi dan jagung) sudah dalam posisi swasembada, sehingga

ditargetkan ke depan adalah mempertahankan posisi swasembada tersebut

(swasembada berkelanjutan), sedangkan kedelai ditargetkan bisa mencapai

swasembada pada tahun 2014.2

2Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.

http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%202010-

2014%20lengkap.pdf. Diakses pada tanggal 4 Desember 2012.

4

Berdasarkan kondisi salah satu komoditas pangan utama yang belum

mencapai swasembada, maka penelitian ini dikhususkan pada komoditas kedelai

sebagai objek penelitian. Kedelai merupakan komoditas pangan yang dijadikan

sebagai salah satu sumber penghasilan petani. Kedelai juga merupakan sumber

protein nabati bagi sebagian besar penduduk, terutama bagi penduduk yang

berpendapatan rendah (Kuntjoro, 1997), disamping itu makanan olahan kedelai

seperti tahu dan tempe sudah menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh

sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tabel 3. Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 - 2011

Tahun Jumlah Impor Kedelai (Ton) Pertumbuhan Impor (%)

2007 2.673.188 21,26

2008 2.261.509 -15,40

2009 1.314.620 -41,87

2010 1.740.505 32,40

2011 2.088.616 20,00

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012a (diolah)

Kondisi perkembangan kedelai domestik belum menunjukkan hasil yang

menuju kepada target swasembada. Dilihat pada sisi ketersediaan, ketersediaan

kedelai domestik didominasi oleh kedelai impor. Tabel 3 menunjukkan bahwa

selama periode 2007 - 2011 terjadi peningkatan terhadap impor kedelai. Rata-rata

laju peningkatan impor kedelai di Indonesia sebesar 3,28 persen. Dominasi impor

kedelai di Indonesia yang terjadi diantaranya terlihat dari banyaknya industri-

industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor, karena harganya lebih

murah dan kualitasnya tidak jauh berbeda dengan kedelai lokal. Data BPS (Badan

Pusat Statistik) 2011 menunjukkan Indonesia hanya mampu memenuhi 29 persen

dari jumlah kebutuhan kedelai dalam negeri dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh

kedelai impor dengan jumlah impor kedelai sebesar 2.088.616 ton. Impor kedelai

terbesar Indonesia tahun 2011 berasal dari Amerika Serikat dan berjumlah

1.847.900 ton.3

Tingginya jumlah impor kedelai mengindikasikan

ketidakmampuan kedelai lokal dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.

3 Masuk akal, Penetapan HET untuk Kedelai.

http://sains.kompas.com/read/2012/07/27/18000578/Masuk.Akal.Penetapan.HET.untuk.Kedelai.

Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.

5

Semakin tingginya impor akan menyebabkan semakin menjauhnya target

swasembada kedelai.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010

Tahun Jumlah Penduduk (orang) Pertumbuhan Penduduk (%)

1995 194.754.808 8,57

2000 206.264.595 5,91

2005 219.205.000 6,27

2010 237.641.326 8,41 Sumber : BPS, 2012b

Kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia akan semakin bertambah, karena

jumlah penduduk Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Berdasarkan Tabel 4, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 237.641.326

orang dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8,41 persen. Semakin bertambahnya

jumlah penduduk berarti semakin tinggi pula jumlah barang yang diperlukan

untuk dikonsumsi, sehingga tingginya jumlah penduduk dan terus terjadinya

peningkatan jumlah penduduk pada setiap tahunnya akan menyebabkan terjadinya

peningkatan jumlah komoditas kedelai yang dibutuhkan untuk konsumsi.

Pemanfaatan komoditas kedelai sebagai konsumsi masyarakat di Indonesia

juga telah berkembang pesat. Komoditas kedelai tidak hanya lagi dimanfaatkan

untuk konsumsi langsung maupun konsumsi bagi para produsen tahu dan tempe

yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama. Di Indonesia telah banyak

berkembang industri-industri pengolahan makanan lain yang berbahan baku

kedelai, selain itu kedelai juga sudah mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan pakan

ternak dan juga keperluan energi (biodiesel), sehingga untuk tahun-tahun

mendatang permintaan akan komoditas kedelai akan terus meningkat seiring

bertambahnya kebutuhan akan kedelai. Berdasarkan hal tersebut, jika Indonesia

tidak berupaya untuk meningkatkan produksi kedelainya, maka ketergantungan

impor kedelai akan terus berkepanjangan untuk memenuhi tingginya konsumsi

kedelai domestik.

Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya

sesungguhnya memiliki potensi dan peluang yang besar untuk mencapai

swasembada kedelai. Adanya varietas-varietas unggul kedelai seperti Anjasmoro,

Kaban, Sinabung, Argumuyo dan Grobogan yang juga merupakan varietas

6

populer yang ditanam petani akan memberikan prospek yang baik untuk

pencapaian swasembada, bahkan Anjasmoro dalam sistem pengelolaan tanaman

terpadu kedelai bisa panen dalam umur 85 - 90 hari, produksinya 1,80 - 2,20 ton

per ha, sedangkan di Amerika umur panen 160 - 170 hari dan produksinya 2,90

ton per ha4. Besarnya potensi yang ada memberikan peluang bagi produksi kedelai

domestik untuk didorong peningkatannya dan bukanlah hal yang tidak mungkin

bahwa swasembada kedelai akan dapat tercapai. Didukung dengan adanya

penetapan target swasembada pangan pada tahun 2014 oleh Kementerian

Pertanian Republik Indonesia menjadi pemicu untuk pelaksanaan segala upaya

yang dapat dilakukan untuk pencapaian target tersebut, selain itu diperlukan pula

strategi dan kebijakan-kebijakan pendukung program swasembada agar target

swasembada pangan 2014 secara efektif dapat terlaksana.

1.2 Perumusan Masalah

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian mencanangkan

program swasembada pangan pada tahun 2014. Salah satu yang menjadi target

swasembada adalah tanaman kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditas

yang strategis disamping beras dan jagung, namun pada perjalanannya menuju

target swasembada, kondisi produksi komoditas kedelai domestik memiliki

pertumbuhan yang rendah. Produksi kedelai terus mengalami penurunan pada

tahun 2010 - 2011. Pada tahun 2010, produksi kedelai mengalami penurunan

sebesar 6,92 persen atau sebesar 67.481 ton, sedangkan pada tahun 2011 produksi

kedelai mengalami penurunan sebesar 6,15 persen atau sebesar 55.745 ton (Tabel

3). Ramalan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa produksi kedelai

2012 (ARAM II) diperkirakan sebesar 783,16 ribu ton biji kering, menurun

sebanyak 68,13 ribu ton (8,00 persen) dibandingkan 2011. Penurunan produksi

kedelai tahun 2012 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa dan di luar Jawa masing-

masing sebesar 34,06 ribu ton dan 34,07 ribu ton (Departemen Pertanian, 2013).

Berbeda hal dengan keadaan konsumsi kedelai di Indonesia. Berdasarkan

data konsumsi pada Tabel 3, laju pertumbuhan konsumsi terus mengalami

4Varietas Lokal Sudah Sesuai untuk Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/1257/.

Diakses pada tanggal 14 Desember 2012

7

peningkatan selama periode tahun 2007 - 2011. Peningkatan konsumsi yang

diiringi penurunan produksi menyebabkan gap yang semakin besar antara

produksi dan konsumsi kedelai. Fluktuasi yang terjadi dalam produksi kedelai dan

mengalami penurunan pada tahun 2010 - 2011 menyebabkan kekurangan

persediaan kedelai dalam negeri. Kekurangan yang terjadi ditutupi dengan jalan

melakukan impor kedelai. Gap yang semakin besar memberikan dampak

peningkatan impor terhadap kedelai. Peningkatan ini menyebabkan pengeluaran

belanja negara semakin tinggi. Defisit belanja negara yang semakin besar

berdampak pada peningkatan hutang pemerintah untuk menutupi kekurangan

biaya. Kebijakan impor ini memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi

negara Indonesia. Berdasarkan hal tersebut untuk mengevaluasi rencana strategis

pemerintah mengenai pencapaian swasembada kedelai tahun 2014, maka

dibutuhkan penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik

dalam rangka mencapai swasembada kedelai di Indonesia.

Tabel 5. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia 2007 - 2011

Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)

2007 592.534 1.613.033

2008 775.710 1.745.590

2009 974.512 2.045.775

2010 907.031 2.319.379

2011 851.286 2.583.061 Sumber : BPS, 2012c (diolah)

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan adanya

kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi yang semakin melebar,

swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan

dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2014 yang

nantinya menghasilkan perkiraan target produksi yang harus dipenuhi agar

swasembada kedelai 2014 dapat tercapai. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat

memberikan masukan mengenai strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh

pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai domestik dalam pencapaian

swasembada kedelai pada tahun 2014 di Indonesia sesuai target yang telah

dicanangkan Kementerian Pertanian.

8

Berdasarkan pemaparan diatas, maka perumusan masalah yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik?

2. Berapakah besarnya produksi dan konsumsi kedelai domestik tahun 2014

untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai di Indonesia, serta

bagaimana strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian

swasembada tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi

mengenai proyeksi produksi dan konsumsi komoditas kedelai hingga tahun 2014,

sehingga hasil dari penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk

mengetahui seberapa besar peningkatan produksi yang harus diraih dan strategi

kebijakan apa yang harus dilakukan agar target swasembada kedelai dapat

tercapai. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik.

2. Memproyeksikan produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat

target pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta

menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian

swasembada tersebut.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap permasalahan yang dihadapi

dalam bidang pertanian khususnya pada komoditas kedelai di Indonesia.

Penelitian ini dimulai dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi

komoditas kedelai domestik di Indonesia hingga tahun 2014, lalu melakukan

proyeksi terhadap produksi dan konsumsi komoditas kedelai sehingga didapatkan

ramalan target produksi yang harus dipenuhi agar swasembada kedelai pada tahun

2014 dapat tercapai. Terakhir, dirumuskan langkah strategis kebijakan yang tepat

untuk dapat dipertimbangkan dalam rangka upaya pencapaian swasembada

kedelai di Indonesia. Keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya; data yang

digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak

9

menggambarkan fluktuasi bulanan dan musiman. Komoditi kedelai dalam

penelitian ini adalah kedelai secara umum bukan kedelai dengan jenis dan kualitas

tertentu.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komoditas Kedelai di Indonesia

Kedelai di Indonesia sudah diketahui sejak zaman Kerajaan Denmark

melalui perdagangan orang-orang di Pesisir Pulau jawa dengan Pedagang Cina.

Sekitar tahun 1700, orang-orang Belanda mendirikan loji dagang di Jepara. Saat

itu pula, kedelai sudah menjadi tanaman pangan yang cukup popular di Indonesia.

Banyak dari orang-orang Belanda yang membawa kedelai ke negerinya, sehingga

akhirnya oleh Rum-phius, kedelai diberi nama latin Cadelium. Oleh para

taksonomi lainnya, kedelai diberi nama Soja max, Glycine max, dan Glycine soja.

Banyaknya nama alias tersebut membuktikan bahwa tanaman kedelai cukup

dikenal dan tersebar luas di dunia.

Hasil olahan makanan dari kedelai dapat berupa keripik, tahu, tempe, serta

minuman seperti bubuk dan susu kedelai. Kedelai mengandung protein 35 persen,

bahkan pada varietas unggul, kadar proteinnya dapat mencapai 40 - 43 persen.

Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan

segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi,

hampir menyamai kadar protein susu krim kering (Cahyadi, 2009).

Kedelai termasuk famili Leguminosae (kacang-kacangan). Klasifikasi

lengkapnya sebagai berikut (Cahyadi, 2009):

Species : Max

Genus : Glycine

Sub famili : Papilonideae

Famili : Leguminosae

Ordo : Polypetales

Jenis kedelai dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu kedelai kuning,

kedelai hijau, kedelai hitam, dan kedelai coklat. Bentuk biji kedelai bergantung

pada kulivarnya, dapat berbentuk bulat, gepeng, dan sebagian besar bulat telur,

sedangkan vesar dan bobotnya dibedakan menjadi tiga, yakni :

1. Kedelai berbiji besar, apabila bobot 100 biji lebih dari 13 gram.

2. Kedelai berbiji sedang, apabila bobot 100 biji antara 11 – 13 gram.

3. Kedelai berbiji kecil, apabila bobot 100 biji antara 7 – 11 gram.

11

Indonesia merupakan negara beriklim tropis, sehingga sangat cocok bagi

pertumbuhan tanaman kedelai karena kedelai membutuhkan udara yang cukup

panas. Adapun beberapa persyaratan tumbuh yang diperlukan oleh tanaman

kedelai adalah sebagai berikut (Suprapti, 2005):

1. Tempat Tumbuh

Kedelai dapat tumbuh dengan baik di daerah bersuhu panas dengan

ketinggian maksimal 500 meter di atas permukaan laut.

2. Iklim

Tanaman kedelai memerlukan kondisi yang seimbang antara suhu udara

dengan kelembapan (yang dipengaruhi oleh curah hujan). Pada umumnya,

tanaman kedelai memerlukan kondisi dengan suhu udara yang tinggi dan

curah hujan (kelembapan) yang rendah. Sementara, apabila suhu udara

rendah dengan curah hujan (kelembapan) yang berlebihan akan

menyebabkan penurunan kualitas kedelai yang dihasilkan.

3. Tanah

Tempat tumbuh tanaman kedelai memerlukan tanah alluvial, regosol,

grumosol, latosol, dan andosol. Berdasarkan praktik di lapangan, sering

menggunakan pedoman sebagai berikut: apabila tanaman jagung dapat

tumbuh dengan baik pada suatu jenis tanah maka jenis tanah tersebut juga

cocok bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Persyaratan tanah yang

diperlukan oleh tanaman kedelai agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal

adalah tanah yang subur dan gembur; kaya humus atau bahan organik; dan

pH (derajat keasaman) antara 5,8 – 7,0.

Tanah berpasir juga dapat ditanami kedelai apabila air dan unsure hara

memadai. Sementara, apabila tanah yang akan ditanami kedelai adalah tanah

liat perlu dilakukan perbaikan sistem drainase agar pada saat hujan, tanaman

tidak tergenang air dan tidak kekurangan oksigen.

4. Penanaman

Pertumbuhan optimal tanaman kedelai dapat dicapai pada bulan-bulan

kering, yaitu pada saat tanah cukup lembap dan suhu udara lebih dari 210C.

pada saat ini, pertumbuhan biji dapat terjadi secara lebih cepat. Waktu

12

penanaman kedelai yang tepat pada beberapa daerah dengan kondisi yang

berbeda, akan berbeda pula.

Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah

cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan

benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang memadai

dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya simpan yang rendah.

Sementara itu, pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting dalam

upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering dilakukan beberapa

waktu sebelum musim tanam, sehingga benih harus disimpan dengan baik agar

mempunyai daya tumbuh yang tinggi saat ditanam kembali (Purwanti, 2004).

Tercapainya tingkat produksi kedelai merupakan hasil keterpaduan

partisipasi petani dalam penanaman, penerapan teknologi budi daya, kerja sama

dalam kelompok yang ditunjang oleh kelancaran pelayanan dan penyuluhan.

Pemerintah mengharapkan petani melakukan intensifikasi dalam penanaman

kedelai. Menanam kedelai dengan teknologi budi daya anjuran menunjukkan

partisipasi petani dalam pengembangan kedelai. Keberhasilan intensifikasi kedelai

bertitik tolak dari tiga anggapan dasar, yaitu: 1) perlu upaya yang lebih baik untuk

mengikutsertakan petani dalam pengembangan produksi kedelai, 2) petani banyak

yang meninggalkan usaha tani kedelai karena berbagai faktor, baik internal

maupun eksternal, dan 3) petani dengan bantuan pemerintah dan pihak terkait

lainnya akan memainkan peranan penting dalam pengembangan kedelai (Supadi,

2008).

2.2 Produksi dan Konsumsi

Menurut Rahim et al (2007), Produksi dapat dinyatakan sebagai perangkat

prosedur kegiatan yang terjadi dalam penciptaan komoditas berupa kegiatan usaha

tani maupun usaha lainnya (penangkapan dan berternak). Sebelum dilakukan

proses produksi di lahan pertanian, terlebih dahulu dilakukan proses pengadaan

saprodi (sarana produksi) pertanian berupa industri agro-kimia (pupuk dan

pestisida), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian), dan industri

pembenihan dan pembibitan. Faktor-faktor produksi yang dapat digunakan untuk

proses produksi diantaranya; lahan, tenaga kerja, modal, pupuk, pestisida dan

13

teknologi. Proses produksi itu sendiri atau yang dikenal dengan budidaya tanaman

atau komoditas pertanian merupakan proses usaha bercocok tanam atau budidaya

di lahan untuk menghasilkan bahan segar. Bahan segar tersebut dijadikan bahan

baku untuk menghasilkan bahan setengah jadi (work in process) atau barang jadi

(finished product) di industri-industri pertanian atau dikenal dengan nama

agroindustri (agrifood industry).

Konsumsi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau

menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk

memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Salah satu tingkah laku yang

diperankan oleh seorang individu dalam suatu sistem ekonomi adalah individu

sebagai konsumen. Konsumen merupakan individu yang mengonsumsi barang

dan jasa. Seseorang mengonsumsi berbagai macam barang dan jasa untuk

memperoleh kepuasan (Nicholson, 1995).

Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan

sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan bahwa konsumen memahami

kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumber

daya dan kebutuhan masa depan mereka, yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi

yang lebih kompleks dibanding fungsi konsumsi yang keynes berikan. Keynes

menyatakan bentuk fungsi konsumsi:

Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang),

Sedangkan studi terbaru menyatakan:

Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan

yang diduga, tingkat bunga),

dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan

dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).

2.3 Swasembada Pangan

Pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan

tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90

persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah

tangga, industri maupun neraca perdagangan nasional. Berdasarkan pengertian

tersebut, maka yang dimaksud dengan swasembada pangan adalah produksi

14

pangan dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Tujuan

swasembada pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara

keseluruhan, baik untuk konsumsi langsung maupun industri; mendayagunakan

sumberdaya atau aset secara optimal berdasarkan prinsip keunggulan kompetitif

wilayah dan efisiensi secara nasional; meningkatkan kesejahteraan petani atau

produsen dan stakeholder lainnya; memperluas kesempatan kerja dan peluang

berusaha dikawasan pedesaan, sehingga secara nyata berdampak positif terhadap

pemberantasan kemiskinan5.

Konsep swasembada pangan sering kali diidentikkan dengan konsep

ketahanan pangan (Hanani, 2009). Menurut FAO (1997) dalam (Hanani, 2009),

ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai

akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota

keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua

akses tersebut. Perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan pangan dapat

dilihat pada Tabel 6. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian

peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional,

sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk

memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.

Tabel 6. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan

Lingkup Nasional Rumah Tangga dan Individu

Sasaran Komoditas Pangan Manusia

Strategi Substitusi Impor Peningkatan ketersediaan pangan,

akses pangan, dan penyerapan pangan

Output Peningkatan Produksi Pangan Status gizi (penurunan : kelaparan,

gizi kurang dan gizi buruk)

Outcome Kecukupan Pangan oleh Produksi

Domestik

Manusia sehat dan produktif (angka

harapan hidup tinggi)

Sumber : Hanani, 2009

2.4 Metode Peramalan

Metode peramalan adalah cara memperkirakan secara kuantitatif apa yang

akan terjadi pada masa depan berdasarkan data yang relevan pada masa lalu

5Untuk Mewujudkan Swasembada Gula Pemerintah akan Melakukan Revitalisasi Pabrik Gula.

http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-202-untuk-mewujudkan-swasembada-gula-pemerintah-akan-

melakukan-revitalisasi-pabrik-gula.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2013

15

(Assauri, 1984). Model peramalan secara umum dapat dikemukakan sebagai

persamaan Yt = pola + error, sehingga data dapat dibedakan menjadi komponen

yang dapat diidentifikasi (pola) dan yang tidak dapat diidentifikasi (error)

(Aritongan, 2009). Peramalan diperlukan karena adanya perbedaan waktu antara

kesadaran akan dibutuhkannya suatu kebijakan baru dengan waktu pelaksanaan

kebijakan tersebut. Setiap kebijakan ekonomi maupun kebijakan perusahaan tidak

akan terlepas dari usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau

meningkatkan keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya pada masa

yang akan datang dimana kebijakan tersebut dilaksanakan, oleh karena itu perlu

dilihat dan dikaji situasi dan kondisi pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan.

Usaha untuk melihat dan mengkaji situasi dan kondisi tersebut tidak terlepas dari

kegiatan peramalan.

Metode peramalan sangat berguna untuk dapat memperkirakan secara

sistematis dan pragmatis atas dasar data yang relevan pada masa lalu, dengan

demikian metode peramalan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar.

Metode peramalan juga memberikan urutan pengerjaan dan pemecahan atas

pendekatan suatu masalah dalam peramalan, bila digunakan pendekatan yang

sama atas permasalahan dalam suatu kegiatan peramalan, maka akan didapat dasar

pemikiran dan pemecahan yang sama, karena argumetasinya sama. Tingkat

keberhasilan dari suatu peramalan sangat ditentukan oleh: 1. pengetahuan teknik

tentang informasi yang lalu yang dibutuhkan, informasi ini bersifat kuantitatif. 2.

teknik dan metode peramalan, sehingga baik tidaknya suatu peramalan yang

disusun, disamping ditentukan oleh metode yang digunakan, juga ditentukan oleh

baik tidaknya informasi kuantitatif yang dipergunakan.

Kualitas dan mutu dari hasil peramalan yang disusun, sangat ditentukan oleh

proses pelaksanaan penyusunannya. Peramalan yang baik adalah peramalan yang

dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah atau prosedur penyusunan yang

baik. Pada dasarnya ada tiga langkah peramalan yang penting, yaitu:

1. Menganalisa data yang lalu, tahap ini berguna untuk pola yang terjadi pada

masa lalu. Analisa ini dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data

yang lalu, dengan tabulasi data, maka dapat diketahui pola dari data

tersebut.

16

2. Menentukan metode yang dipergunakan. Masing-masing metode akan

memberikan hasil peramalan yang berbeda. Metode peramalan yang baik

adalah metode yang menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan

dengan nilai kenyataan yang sekecil mungkin.

3. Memproyeksikan data yang lalu dengan menggunakan metode yang

dipergunakan, dan mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan.

Faktor-faktor perubahan tersebut antara lain terdiri dari perubahan

kebijakan-kebijakan yang mungkin terjadi, termasuk perubahan kebijakan

pemerintah, perkembangan potensi masyarakat, perkembangan teknologi,

dan penemuan-penemuan baru, dan perbedaan antara hasil ramalan yang ada

dengan kenyataan, dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka akan

dapat ditentukan hasil ramalan yang terakhir. Hasil inilah yang

dipergunakan sebagai dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan.

Peramalan dibedakan atas peramalan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini

lebih menekankan pada peramalan kuantitatif, karena didasarkan atas data

kuantitatif pada masa lalu. Pada dasarnya metode peramalan kuantitatif ini dapat

dibedakan atas:

1. Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan

antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu yang

merupakan deret waktu atau time series.

2. Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan

antara variable yang akan diperkirakan dengan variable lain yang

mempengaruhinya, yang bukan waktu, yang disebut metode korelasi atau

sebab akibat (causal methods).

Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan

antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu, atau analisa deret

waktu terdiri dari:

1. Metode Smoothing yang mencakup metode data lewat (past data), metode

rata-rata kumulatif, metode rata-rata bergerak (moving averages) dan

metode exponential smoothing. Metode ini digunakan untuk mengurangi

ketidakteraturan musiman dari data yang lalu maupun kedua-duanya,

dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu.

17

Biasanya metode ini digunakan untuk perencanaan dan pengendalian

produksi dan persediaan, perencanaan keuntungan, dan perencanaan

keuntungan, dan perencanaan keuangan lainnya.

2. Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) menggunakan

dasar deret waktu dengan model matematis, agar kesalahan yang terjadi

dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu, penggunaan metode ini

membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini

dipergunakan untuk peramalan dalam perencanaan dan pengendalian

produksi, dan persediaan serta perencanaan anggaran.

3. Metode dengan proyeksi trend dengan regresi, merupakan dasar garis trend

untuk suatu persamaan matematis, sehingga dengan dasar persamaan

tersebut dapat diproyeksikan hal yang diteliti untuk masa depan. Metode ini

selalu digunakan untuk peramalan bagi penyusunan rencana penanaman

tanaman baru, perencanaan produk baru, rencana ekspansi, rencana

investasi, dan rencana pembangunan suatu negara dan daerah.

Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan

antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhi, yang

bukan waktu, atau dikenal dengan metode sebab akibat (causal methods) atau

korelasi, terdiri dari:

1. Metode regresi dan korelasi didasarkan pada penetapan suatu persamaan

estimasi menggunakan teknik least square. Hubungan yang ada pertama-

tama dianalisis secara statistic. Metode ini banyak digunakan untuk

peramalan penjualan, perencanaan keuntungan, peramalan permintaan, dan

peramalan keadaan ekonomi.

2. Metode ekonometrik didasarkan atas peramalan pada sistem persamaan

regresi yang diestimasikan secara simultan. Metode peramalan ini selalu

digunakan untuk peramalan penjualan menurut kelas produk, atau

peramalan keadaan ekonomi masyarakat, seperti permintaan, harga, dan

penawaran.

3. Metode input-output dipergunakan untuk menyusun proyeksi trend ekonomi

jangka panjang. Model ini banyak digunakan untuk peramalan penjualan

18

perusahaan, penjualan sektor industri dan subsektor industri, produksi dari

sektor industri dan subsektor industri (Assauri, 1984).

2.5 Penelitian Terdahulu

Mursidah (2005) melakukan penelitian mengenai perkembangan produksi

kedelai nasional dan upaya pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut deret

waktu (time series). Penelitian dilakukan dengan mengadakan studi pustaka dan

analisis deskriptif untuk menggambarkan perkembangan impor kedelai, produksi,

potensi dan harga kedelai Indonesia dan pengembangan kedelai di Propinsi

Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ketergantungan Indonesia

terhadap impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun, 2. Produksi kedelai

dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri, padahal potensi

pengembangannya di dalam negeri sangat bagus. Berbagai upaya terus dilakukan

pemerintah dalam rangka memenuhi swasembada kedelai, 3. Kegiatan

pengembangan usaha tani kedelai di Kalimantan Timur masih sangat rendah.

Padahal hasil per hektar kedelai di Kalimantan Timur masih jauh lebih bagus

daripada hasil per hektar dalam negeri secara umum.

Maretha (2008) melakukan penelitian mengenai peramalan produksi dan

konsumsi kedelai nasional serta implikasinya terhadap strategi pencapaian

swasembada kedelai nasional. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini

adalah terjadi kesenjangan sangat lebar antara konsumsi kedelai dengan produksi

kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri. Konsumsi kedelai sebesar

1.832.027 ton terjadi pada tahun 2002, sedangkan produksi kedelai sebesar

673.000 ton terjadi pada tahun 2002, sehingga terjadi defisit yang cukup besar

yaitu 1.159.027 ton. Berdasarkan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi

kedelai nasional sampai tahun 2015, 2. Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan

internal dan eksternal yang penting untuk dipertimbangkan, 3. Merumuskan

alternatif strategi agribisnis kedelai dan identifikasi berdasarkan skala prioritas

untuk pencapaian swasembada kedelai nasional. Metode yang digunakan adalah

metode peramalan ARIMA, Analisis Regresi Berganda, dan Matriks SWOT dan

19

QSPM. Hasil ramalan produksi dan konsumsi dengan mengunakan ARIMA

menunjukan nilai sebesar masing-masing 775.437 ton dan 2.080.272 ton. Hal ini

menunjukan belum tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2015. Dibuat

skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dengan menggunakan

Analisis Regresi. Berdasarkan Skenario diperoleh nilai prediksi Produksi pada

tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil prediksi konsumsi ARIMA

sebesar 2.080.272 ton dan hasil prediksi konsumsi Departemen Pertanian sebesar

2.341.594 ton. Hal ini menunjukan bahwa sudah tercapainya swasembada kedelai

tahun 2015. Strategi alternatif terpilih dengan matriks SWOT dan QSPM, yaitu

sebagai berikut: Strategi alternatif terpilih yang pertama: memberlakukan tarif

impor kedelai sebesar lebih dari 20 persen serta mengawasi sistem perdagangan

kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengasi

pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. Strategi alternatif

terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian

dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga

penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Strategi alternatif terpilih

yang ketiga : meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan

alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi

budidaya dan peningkatan efisien penaganan pasca panen dan pengolahan.

Strategi alternatif terpilih yang keempat: meningkatkan mutu atau kualitas kedelai

nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi

masyarakat.

Aji (2008) melakukan penelitian mengenai Peramalan Produksi dan

Konsumsi Ubi Jalar Nasional dalam rangka Rencana Program Diversifikasi

Pangan Pokok. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini bahwa ubi jalar

sangat prospektif untuk dijadikan pangan lokal alternatif, namun dalam segi

produksi dan konsumsi ubi jalar mempunyai kecenderungan pola tren yang

menurun, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ramalan jumlah

produksi dan konsumsi ubi jalar nasional di masa depan, menganalisis faktor-

faktor apa yang berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi dan konsumsi ubi

jalar nasional serta menganalisis implikasi faktor-faktor yang berpengaruh dengan

hasil ramalan produksi dan konsumsi ubi jalar terhadap rencana program

20

diversifikasi pangan pokok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berbagai metode peramalan Time Series serta metode peramalan Kausal dengan

analisis Regresi Berganda. Peramalan sampai 10 tahun kedepan (tahun 2016)

menunjukkan bahwa produksi (1.671.280 ton) dan konsumsi (1.653.014 ton) ubi

jalar tidak bisa memenuhi target yang diharapkan. Skenario peningkatan produksi

ubi jalar dengan analisis regresi berganda, agar mencapai target dilakukan dengan

meningkatkan luas tanam ubi jalar sebesar 264.617,596 ha. Peningkatan luas

tanam ubi dilakukan dengan melakukan konversi lahan padi ke lahan ubi sebesar 2

persen. Alternatif strategi yang bisa dilakukan antara lain pendekatan kewilayahan

terpadu (sub terminal agribisnis) dengan konsep pengembangan agribisnis, lahan

sawah yang kurang produktif dialihkan ke usaha budidaya ubi jalar, serta

pemberdayaan lahan pasang surut sebagai lahan tambahan untuk menanam padi

sehingga luas lahan padi untuk konversi lahan padi ke lahan ubi tidak berkurang.

melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama

dengan industri pangan; diversifikasi produk ubi jalar dengan pendirian industri

tepung dan pasta ubi jalar; promosi, kampanye dan sosialisasi tentang manfaat ubi

jalar secara komprehensif dan kontinyu; pemberian insentif untuk konsumsi

pangan nonberas serta penghargaan ketahanan pangan bagi para masyarakat.

Sari (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Daya saing dan

Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia. Permasalahan yang

melatarbelakangi penelitian ini bahwa Tingginya permintaan kedelai di dalam

negeri tidak diikuti dengan produksi kedelai lokal yang hingga kini belum mampu

memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga impor terus dilakukan.

Derasnya impor kedelai dengan harga murah membuat pasar kedelai di dalam

negeri didominasi oleh kedelai impor. Hal ini yang membuat petani kedelai lokal

semakin terhimpit sehingga gairah petani untuk menanam kedelai semakin

berkurang, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah 1. menelaah sistem agribisnis

kedelai lokal di Indonesia, 2. menganalisis daya saing agribisnis kedelai lokal

Indonesia, 3. merumuskan strategi pengembangan dan arsitektur strategik

agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Alat analisis yang digunakan untuk

mengetahui daya saing adalah Porter’s Diamond Theory, sedangkan untuk

merumuskan strategi maka digunakan alat analisis SWOT dan arsitektur strategik.

21

Hasil analisi berdasarkan Porter’s Diamond Analyse diperoleh bahwa daya saing

komoditas kedelai Indonesia lemah. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh

sepuluh alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan agribisnis

kedelai lokal di Indonesia: 1. Peningkatan produksi kedelai lokal, 2.

Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal 3. Penguatan

Kelembagaan 4. Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank 5.

Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai 6.

Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis

kedelai lokal di Indonesia, 7. Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai

lokal, 8. Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal, 9.

Pembatasan volume impor 10. Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai.

Dari sepuluh strategi tersebut dihasilkan program-program untuk mencapai

sasaran tersebut dengan menghadapi tantangan yang ada selama pelaksanaan

program. Program-program tersebut dilakukan secara bertahap dan rutin yang

dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi.

2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Data yang digunakan dalam penelitian ini lebih terbaru, yaitu data tahun

1981 hingga tahun 2011. Tujuan dalam penelitian ini didasarkan pada Rencana

Strategis Kementerian Pertanian untuk Swasembada Pangan Tahun 2014. Analisis

perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik, tidak hanya

dideskripsikan namun juga menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya penurunan ataupun peningkatan dalam produksi dan konsumsi kedelai.

Peramalan swasembada kedelai tahun 2014 tidak hanya sebatas meramalkan,

namun juga menganalisis implikasi kebijakan yang digunakan untuk pencapaian

swasembada kedelai. Rekomendasi yang diberikan berisikan pula rekomendasi

teknis dalam menjalankan peranan pemerintah daerah.

22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai

acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain konsep analisis statistika deskriptif dan metode

Box Jenkins (ARIMA).

3.1.1 Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan

informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji

hipotesis dan kemudian menarik inferensi yang digeneralisasikan untuk data yang

lebih besar atau populasi. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk

menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif dan

disertai perhitungan-perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas

keadaan dan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009).

Statistik deskriptif juga mencakup perhitungan-perhitungan sederhana yang

biasa disebut sebagai statistik dasar, yang antara lain meliputi perhitungan

frekuensi, frekuensi kumulatif, persentase, persentase kumulatif, tingkat persentil,

skor tertinggi dan terendah, rata-rata hitung, simpangan baku, pembuatan tabel

silang, lain-lain. Berbagai perhitungan statistik dasar tersebut berfungsi lebih

memperlengkap informasi dan atau pemerian tentang keadaan suatu data yang

ditampilkan (Nurgiantoro et al, 2009). Nilai-nilai data yang terdeskripsikan dalam

bentuk daftar, tabel, diagram, atau grafik, serta rekaman-rekaman lainnya,

maknanya akan sangat bervariasi, tergantung tingkat pemahaman dan

pemanfaatan informasi (Siregar, 2004). Perhitungan-perhitungan statistik dasar

yang mana dilakukan pada umumnya tergantung pada kebutuhan dan tujuan

dilakukannya penelitian atau pihak pengguna (Nurgiantoro et al, 2009).

3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive

Intergrated Moving Average)

Metode peramalan Box Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat untuk

menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan lainnya.

23

Kerumitan yang terjadi karena terdapatnya variasi dari pola data yang ada,

sehingga diperlukan pendekatan untuk meramalkan data dengan pola rumit

tersebut dengan menggunakan beberapa aturan yang relatif baik, disamping itu

metode ini juga dapat dipergunakan untuk meramalkan data historis dengan

kondisi yang sulit dimengerti pengaruhnya terhadap data secara teknis. Alasan

dikembangkannya metode ini, karena metode yang ada selalu mengasumsikan

atau dibatasi hanya untuk macam-macam pola tertentu dari data. Metode Box

Jenkins tidak dibutuhkan adanya asumsi tentang suatu pola yang tetap.

Pendekatan Box Jenkins dimulai dengan mengadakan asumsi adanya pola

percobaan atau tentatif yang disesuaikan dengan data historis, sehingga kesalahan

dapat diminimalisasikan.

Pendekatan Box Jenkins ini memberikan informasi secara eksplisit untuk

memungkinkan peneliti memikirkan atau memutuskan apakah pola yang secara

tentatif diasumsikan tersebut adalah tepat atau benar untuk keadaan atau situasi

yang telah terjadi. Jika hal ini telah dilakukan, maka peramalan dapat langsung

disusun dan jika tidak sesuai pola yang diasumsikan, maka pendekatan Box

Jenkins akan memberikan lebih jauh tanda-tanda untuk mengidentifikasi pola

yang benar. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa pendekatan ini

sesungguhnya merupakan pendekatan yang sangat tepat secara statistik. George

Box dan Gwilyn Jenkins telah mengembangkan suatu diagram skema untuk dapat

menggambarkan pendekatan ini bagi penyusunan ramalan. Diagram tersebut dapat

dilihat pada Gambar 1.

Pendekatan ini membagi masalah peramalan dalam tiga tahap yang

didasarkan pada postulasi atas kelas yang umum dari model-model peramalan.

Tahap pertama, suatu model tertentu dapat dimasukkan secara tentatif sebagai

suatu metode peramalan yang sangat cocok untuk keadaan yang diidentifikasi.

Tahap kedua, mencocokkan model tersebut untuk data historis yang tersedia dan

melakukan suatu pengecekan untuk menentukan apakah model tersebut sudah

cukup tepat. Jika tidak tepat, maka pendekatan ini kembali lagike tahap pertama

dan suatu model alternatif diidentifikasikan. Bila suatu model sudah cukup tepat,

kemudian diisolasikan dan tahap ketiga dilakukan penyusunan ramalan untuk

beberapa periode yang akan datang.

24

Gambar 1. Metode Peramalan Box Jenkins

Pada dasarnya ada dua model dari metode Box Jenkins, yaitu model-model

linear untuk deret yang statis (stationary series) yang disebut dengan model

ARMA (autoregressive-moving average) dan model-model linear untuk deret

yang tidak statis (nonstatsionary series) yang disebut dengan model ARIMA

(autoregressive integrated moving average). Model ARIMA telah terbukti

menjadi model peramalan jangka pendek terbaik untuk macam-macam deret

waktu. Dalam banyak pengkajian, peramalan dengan model ARIMA sering

mempunyai kemampuan pengerjaan atau penggunaan yang lebih luas dan lebih

rumit dari sistem ekonometri untuk sejumlah deret ekonometri. Dalam model

ARIMA, hasil yang terbaik dapat dicapai bila digunakan sekurang-kurangnya data

5 sampai dengan 10 tahun, sehingga dapat ditunjukkan dengan tepat adanya deret

data dengan pengaruh musim yang kuat.

Keuntungan nyata dari model-model ARIMA adalah bahwa ramalan-

ramalan yang dilakukan dapat dikembangkan untuk periode-periode yang sangat

pendek. Lebih banyak waktu yang dipergunakan untuk memperoleh atau

mendapatkan data yang berlaku, daripada waktu untuk penyusunan modelnya.

Postulasi suatu kelas yang umumdari

model-model

Identifikasi model yang dapat

dimasukkan secara tentatif.

Pengestimasian parameter dalam model

yang dimasukkan secara tentatif.

Pengecekan diagnostik: metode itu cukup

tepat

Menggunakan model-model untuk

peramalan.

Tidak

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

25

Oleh karena itu, dalam praktek, model ARIMA sering dipergunakan (Assauri,

1984).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau

dengan jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 230 juta jiwa.

Tingginya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan konsumsi pangan untuk

negara ini juga tinggi, namun tingginya konsumsi pangan di Indonesia, belum

mampu ditutupi oleh jumlah produksi pangan dalam negeri. Ketimpangan antara

produksi dan konsumsi pangan ini sudah menjadi salah satu masalah dalam

banyak negara berkembang, dan salah satunya di Indonesia. Permasalahan dalam

penyediaan pangan merupakan masalah yang tidak bisa dikesampingkan, karena

pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi kesehatan

masyarakat, sehingga permasalahan pangan menjadi persoalan yang

membutuhkan perhatian khusus. Persoalan ini terjadi salah satunya pada tanaman

pangan, yaitu komoditas kedelai. Fluktuasi yang terjadi pada pertumbuhan

produksi kedelai dalam negeri, dan terus meningkatnya konsumsi kedelai menjadi

masalah yang harus dapat dipecahkan agar kebutuhan kedelai domestik untuk

masyarakat dapat terpenuhi. Menurut Supadi (2008) menyatakan bahwa beberapa

penyebab penurunan produksi kedelai, antara lain: kebijakan perdagangan yang

terlalu liberal dan tidak berpihak kepada petani, serta dicabutnya wewenang Bulog

sebagai lembaga stabilisasi harga pangan menjadi penyebab rontoknya benteng

ketahanan pangan nasional. Rontoknya sektor pangan Indonesia merupakan

dampak dari Letter of Intent (LOI) dengan IMF (International Monetary Fund)

pada Januari 1998, yang antara lain mencakup: 1. dihapuskannya tarif impor

pangan menjadi 0%, 2. dicabutnya monopoli impor Bulog, 3. dikuranginya peran

Bulog, dan 4. pelarangan pemberian kredit likuiditas bagi Bulog, disamping itu

lemahnya sistem manajemen dalam usahatani kedelai pada petani-petani lokal

juga merupakan penyebab dalam rendahnya produksi kedelai dalam negeri. Hal

ini berkaitan dengan sistem informasi, penggunaan teknologi, teknik budidaya,

dan teknik pasca panen (Zakiah, 2012)

26

Melihat dari persoalan yang ada, Pemerintah sudah memiliki rencana dalam

usaha peningkatan produksi pangan, khususnya kedelai. Pemerintah melalui

Kementerian Pertanian menargetkan swasembada kedelai dalam rancangan

rencana strategis Kementerian Pertanian tahun 2010 - 2014. Berdasarkan target

tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada

pemerintah ataupun khayalak umum dalam mendapatkan informasi mengenai

kondisi komoditas kedelai di Indonesia, selanjutnya dapat dijadikan referensi

untuk pemerintah dalam pelaksanaan upaya peningkatan produksi kedelai untuk

ke depannya. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai dideskripsikan

dengan menggunakan konsep analisis statistika deskriptif.

Langkah berikutnya, dibutuhkan pula peramalan produksi dan konsumsi

sebagai input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemerintah untuk

membentuk suatu kebijakan yang sesuai nantinya sebagai dasar upaya

pelaksanaan pencapaian target swasembada kedelai. Peramalan produksi dan

konsumsi kedelai digunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving

Average) dengan membangun suatu model peramalan ARIMA. Peramalan ini

dilakukan guna untuk memproyeksikan keadaan produksi dan kondisi komoditas

kedelai hingga tahun 2014. Peramalan ini dilakukan untuk menjawab apakah pada

tahun tersebut Indonesia dapat berswasembada kedelai seperti yang telah

ditargetkan oleh pemerintah. Jika hasil ramalan menunjukkan konsumsi lebih

besar daripada produksi, maka swasembada kedelai masih belum dapat tercapai.

Apabila hasil ramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar

daripada konsumsi, maka swasembada kedelai dapat tercapai.

Tahap selanjutnya, mengimplementasikan hasil peramalan untuk

pengupayaan swasembada kedelai sampai 2014. Jika hasil peramalan yang

didapatkan adalah berhasil mencapai swasembada kedelai, maka pemerintah

melanjutkan kebijakan yang sudah ada secara berkelanjutan, dan apabila hasil

peramalan adalah belum dapat mencapai swasembada kedelai, maka dilakukan

perumusan strategi kebijakan dan mengidentifikasi implikasinya. Strategi

kebijakan tentunya sesuai dengan batas kemampuan dan potensi yang ada di

dalam negeri. Kebijakan tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan pemerintah untuk membentuk suatu kebijakan sebagai langkah

27

upaya pencapaian swasembada kedelai sesuai target yang dicanangkan pemerintah

melalui Kementerian Pertanian. Adapun alur kerangka pemikiran operasional

dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Alur Pemikiran Operasional

Penurunan Produksi

Kedelai Domestik

Peningkatan Konsumsi

Kedelai Domestik

Pemenuhan Kekurangan Pasokan

Kedelai dalam Negeri Melalui Impor

kedelai.

Target Pemerintah Swasembada

Kedelai Tahun 2014

Dibutuhkan Peramalan Apakah Swasembada

Kedelai Dapat Dicapai atau Tidak

Identifikasi Perkembangan

Komoditas Kedelai : Analisis

Statistik Deskriptif

Peramalan Produksi dan Konsumsi

Kedelai hingga Tahun 2014 :

Metode ARIMA

Hasil Ramalan :

Swasembada Tercapai

tercapai.

Hasil Ramalan :

Swasembada Tidak Tercapai

tercapai.

Strategi yang Dapat Dilakukan untuk

Upaya Pencapaian Swasembada

Pangan

Melanjutkan Kebijakan

yang Sudah Berjalan

Rekomendasi Kebijakan

28

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini mengkaji kondisi produksi dan konsumsi komoditas kedelai

domestik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data yang digunakan meliputi data luas areal panen kedelai, produktivitas kedelai,

produksi kedelai, konsumsi kedelai, jumlah impor kedelai, dan jumlah penduduk

Indonesia. Data-data ini didapatkan dari Badan Pusat Statistik, buku ataupun

artikel yang terkait dengan penelitian ini dan media lain seperti internet. Data

yang terkumpul berupa data time series dengan periode waktu, yaitu tahun 1981 –

2011.

4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data

Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

software Eviews 6 dan Minitab version 14 untuk memproyeksikan data produksi

dan konsumsi kedelai domestik secara nasional. Model peramalan yang digunakan

adalah metode ARIMA. Proyeksi dan analisis data dilakukan pada periode tahun

2013 – 2014.

4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif

Metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan dan

menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif, disertai dengan

perhitungan sederhana untuk memperjelas keadaan atau karakteristik data yang

bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009). Metode ini digunakan untuk menganalisis

perkembangan kedelai domestik dan strategi kebijakan dan implikasinya dalam

upaya pencapaian swasembada kedelai tahun 2014. Pada perkembangan kedelai

domestik akan dijelaskan penyebab rendahnya produksi kedelai dan tingginya

konsumsi kedelai berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Strategi

kebijakan dan implikasinya akan dijelaskan mengenai proyeksi kebutuhan akan

peningkatan luas areal tanam dan produktivitas kedelai berdasarkan hasil

peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik dan menjelaskan kebijakan

yang diperlukan untuk pencapaian swasembada.

29

4.2.2 Metode ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average)

Metode ARIMA digunakan untuk memproyeksikan produksi dan konsumsi

kedelai domestik hingga tahun 2014. Hasil proyeksi nantinya akan dianalisis

dengan membandingkan hasil tersebut dengan hasil perhitungan sederhana dari

beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai

domestik seperti konversi lahan, OPT (Organisme Penggangu Tanaman) utama,

jumlah penduduk, dan permintaan industri terbesar pengguna kedelai. Analisis ini

digunakan untuk mempermudah dalam memperkirakan penyebab penurunan

ataupun peningkatan produksi dan konsumsi kedelai domestik dari hasil proyeksi

ARIMA tersebut.

Metode ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data

sekarang untuk menghasilkan peramalan yang akurat. Metode ARIMA berbeda

dari metode peramalan lain karena metode ini tidak mensyaratkan suatu pola data

tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik, dengan kata lain metode

ARIMA dapat dipakai untuk semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja

dengan baik apabila data runtut waktu yang digunakan bersifat dependen atau

berhubungan satu sama lain secara statistik (Sugiarto et al, 2000).

Model Box-Jenkins secara umum dirumuskan dengan notasi ARIMA

(p,d,q), dalam hal ini, p menunjukkan orde/derajat Autoregressive (AR), d

menunjukkan orde/derajat Differencing (Pembedaan), dan q menunjukkan

orde/derajat Moving Average (MA) (Sugiarto et al, 2000).

1. Model Autoregressive (AR)

Model ini menggambarkan bahwa variabel dependen dipengaruhi oleh

variabel dependen itu sendiri pada periode-periode atau waktu-waktu yang

sebelumnya.

Secara umum model Autoregressive (AR) mempunyai bentuk sebagai

berikut:

Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 +... + ØpYt-p + εt................................... (6)

dimana

Yt = nilai variabel dependen pada waktu t.

30

Yt-p = variabel independen yang dalam hal ini merupakan lag (beda

waktu) dari variabel dependen pada satu periode sebelumnya

hingga p periode sebelumnya.

Ø0 = intersep

Ø1,Ø2,...,Øp = koefisien atau parameter dari model autoregressive.

εt = residual pada waktu t

Orde dari model AR (yang diberi notasi p) ditentukan oleh jumlah periode

variabel independen yang masuk dalam model.

2. Model Moving Average (MA)

Secara Umum model Moving Average mempunyai bentuk sebagai berikut:

Yt = ω0 + εt – ω1εt-1 – ω2εt-2 - ... – ωqεt-q ........................................ (7)

dimana

Yt = variabel dependen pada waktu t

εt-1,εt-2,...,εt-q = nilai residual sebelumnya (lag)

ω0 = intersep

ω1,ω2,ωq = koefisien model Moving Average yang menunjukkan bobot.

εt = residual

Perbedaan model Moving Average dengan model Autoregressive terletak

pada jenis variabel independen. Bila variabel independen pada model

Autoregressive adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) itu

sendiri, maka pada model Moving Average sebagai variabel independennya adalah

nilai residual pada periode sebelumnya. Orde dari model MA (yang diberi notasi

q) ditentukan oleh jumlah periode variabel independen yang masuk dalam model.

3. Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)

Model AR dan MA dapat dikombinasikan untuk menghasilkan model

ARIMA dengan bentuk umum:

Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 + ... + ØpYt-p – ω1et-1 – ω2et-2 - ... – ωqet-q + εt............(8)

Model ARIMA menggunakan baik nilai sebelumnya (lag) dari variabel

dependen (Yt) maupun nilai residual periode sebelumnya, dengan penggabungan

31

ini diharapkan model ARIMA dapat mengakomodasi pola data yang tidak dapat

diidentifikasi secara sendiri-sendiri oleh model MA arau model AR. Penerapan

metode Box-Jenkins mempunyai tiga tahap yang terpisah, yaitu (Arsyad, 2001):

Tahap 1: Identifikasi model

Langkah pertama dalam tahap identifikasi model adalah menentukan apakah

data runtut waktu yang akan digunakan bersifat statsioner atau tidak. Jika data

runtut waktu tersebut tidak statsioner, biasanya dapat dikonversi menjadi data

runtut waktu yang statsioner dengan menggunakan metode pembedaan

(Differencing method). Proses ini dapat dilakukan satu kali yang disebut

pembedaan pertama atau first differencing dengan rumus (Firdaus, 2006):

∆Yt = Yt– Yt-1......................................................... (9)

Bila dengan pembedaan pertama data masih belum statsioner maka dilakukan

pembedaan kedua (Second Differencing) dengan rumus:

∆2Yt = (Yt – Yt-1) – (Yt-1 – Yt-2) ....................................... (10)

Pendeteksian kestasioneran data dapat dilakukan dengan uji Akar Unit

(Unit Root Test) dengan pilihan jenis uji adalah Augmented Dickey Fuller (ADF)

dengan menggunakan software Eviews version 6. Jika |nilai ADF test statistics|

lebih besar dari |nilai titik kritis pada taraf nyata 5 persen| maka data tersebut

stasioner, dan sebaliknya (Juanda et al, 2012).

Jika data runtut waktu sudah statsioner, selanjutnya mengidentifikasi bentuk

model yang akan digunakan. Tahap ini dilaksanakan dengan membandingkan

koefisien autokorelasi (ACF) dan koefisien autokorelasi parsial (PACF) data

tersebut dengan distribusi untuk berbagai model ARIMA. Pada umumnya, Tahap

ini harus mengidentifikasi autokorelasi yang secara eksponensial menjadi nol. Jika

autokorelasi secara eksponensial melemah menjadi nol berarti terjadi proses AR.

Jika autokorelasi parsial melemah secara eksponensial berarti terjadi proses MA.

Jika keduanya melemah berarti terjadi proses ARIMA, dengan menghitung jumlah

ACF dan PACF yang secara signifikan berbeda dari nol, maka kemudian dapat

menentukan derajat proses MA dan atau AR.

Tahap 2: Pengestimasian dan Pengujian Model

Setelah model sementara dipilih maka parameter model tersebut harus

diestimasi. Setelah diestimasi perlu dilakukan kelayakan model tersebut. Langkah

32

ini dilakukan dengan menguji residual (error term): εt = Yt – Yt’, selisih antara

data dengan hasil peramalannya untuk meyakinkan bahwa residual bersifat

random (Arsyad, 2001). Jika nilai-nilai koefisien autokorelasi dari residual untuk

berbagai time lag tidak berbeda secara signifikan dari nol, model dianggap

memadai untuk dipakai sebagai model peramalan (Sugiarto et al, 2000).

Kelayakan suatu model dapat pula diuji dengan pemenuhan syarat kriteria

model terbaik. Model terbaik didasarkan pada enam kriteria dalam model Box-

Jenkins, yaitu (Firdaus, 2006):

1. Model Parsimonious. Model yang diperoleh menunjukkan bahwa model

relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.

2. Parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol. Hal ini dapat dilihat

dari nilai ρ-value koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata).

3. Kondisi Invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi. Hal ini

ditunjukkan oleh jumlah koefisien AR atau MA dimana masing-masingnya

harus kurang dari 1.

4. Proses iterasi harus convergence. Bila terpenuhi maka pada session terdapat

pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010.

5. Model harus memiliki MSE (Mean Squared Error) yang kecil.

6. Melihat residual dari kolegram ACF dan PACF. Nilai ρ-value untuk uji

statistik lebih besar dari 0,05 yang dapat dilihat pada indikator Ljung-Box

(LB) Statistic yang menunjukkan bahwa residual sudah acak, selain itu

grafik ACF dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off yang berarti

bahwa residual memang sudah acak.

Tahap 3: Peramalan dengan Model

1. Setelah model yang sesuai diperoleh maka dapat membuat peramalan untuk

satu atau beberapa periode mendatang, didalam estimasi ini interval

keyakinan dapat ditentukan. Umumnya, semakin jauh peramalan maka

interval keyakinan akan semakin besar. Peramalan dan interval dihitung

dengan program Box-Jenkins.

2. Semakin banyak data yang tersedia, model yang sama dapat digunakan

untuk mengubah peramalan dengan cara memilih waktu awal yang lain.

33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan

jagung. Komoditas ini memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai bahan

baku industri makanan kaya protein nabati dan sebagai bahan baku industri pakan

ternak. Selain sebagai sumber protein nabati, kedelai merupakan sumber lemak,

mineral, dan vitamin serta dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti tahu,

tempe, tauco, kecap, dan susu (Zakaria, 2010a). Banyaknya kegunaan kedelai

menyebabkan konsumsi terhadap komoditas ini cenderung meningkat dalam

setiap tahunnya, namun dari sisi produksi kedelai domestik mengalami

pertumbuhan yang cenderung rendah, sehingga tidak mampu memenuhi

kebutuhan kedelai domestik.

Perkembangan produksi kedelai nasional pada tahun 1981 hingga 2011

dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar, terjadi pertumbuhan yang

fluktuatif dari perkembangan produksi kedelai domestik, sedangkan untuk

perkembangan konsumsi kedelai menunjukkan pertumbuhan yang cenderung

terus meningkat. Pada gambar grafik pula terlihat garis kurva konsumsi berada

diatas garis kurva produksi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kedelai

lebih besar dibandingkan produksi kedelai domestiknya. Garis kurva konsumsi

yang semakin menjauhi garis kurva produksi, semakin memperjelas bahwa

terdapat kesenjangan yang tinggi antara konsumsi dan produksi kedelai domestik

di Indonesia. Kesenjangan tersebutlah yang merupakan besarnya kekurangan

jumlah pasokan kedelai yang dibutuhkan dalam negeri, sehingga penyediaan

pasokan kedelai untuk menutupi kekurangan dipenuhi melalui impor. Laju

pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981

hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata

konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan kedelai domestik

menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.

34

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan), 2012

Gambar 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai

Tahun 1981 – 2011

Perubahan yang terjadi pada produksi kedelai domestik didominasi oleh

pengaruh dari perubahan yang terjadi pada luas areal panennya. Hal ini

ditunjukkan oleh garis kurva perkembangan luas areal panen yang mengikuti pola

garis kurva produksinya (Gambar 3), sedangkan produktivitas kedelai hanya

berpengaruh kecil terhadap produksi kedelai, karena rata-rata peningkatan

produktivitas kedelai rendah, yaitu sebesar 0,02 ton per hektar per tahunnya

dengan laju pertumbuhan produktivitas kedelai rata-rata selama tahun 1981

hingga 2011 sebesar 1,63 persen (Gambar 4).

Berdasarkan perkembangan produksi kedelai domestik yang lebih rendah

dibandingkan perkembangan konsumsinya, maka dilanjutkan dengan

menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan ataupun

peningkatan pada produksi kedelai domestik, selain itu diperlukan pula analisis

faktor-faktor yang menyebabkan tingginya konsumsi kedelai di Indonesia,

sehingga Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya yang

menyebabkan harus melakukan impor kedelai untuk mengatasi kekurangan

pasokan kedelai dalam negeri.

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

3000000

198

1

198

2

198

3

198

4

198

5

198

6

198

7

198

8

198

9

199

0

199

1

199

2

199

3

199

4

199

5

199

6

199

7

199

8

199

9

200

0

200

1

200

2

200

3

200

4

200

5

200

6

200

7

200

8

200

9

201

0

201

1

Konsumsi (Ton) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)

35

Sumber: BPS, Kementan, 2012

Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 1981 – 2011

Tahun 1981 hingga 1990, laju peningkatan produksi rata-rata kedelai

domestik sebesar 10,58 persen. Produksi kedelai domestik pada tahun 1981

sebesar 703.811 ton, meningkat menjadi 1.487.433 ton pada tahun 1990. Menurut

Manwan dan Sumarno (1996), peningkatan produksi ini dipengaruhi oleh

peningkatan luas areal usaha dan adanya keragaman produktivitas yang cukup

besar yang dicapai oleh seluruh Indonesia, yaitu antara 0,50 – 3,00 ton per ha.

Besarnya keragaman dikarenakan besarnya variasi kondisi agroekologi, teknologi

yang diterapkan, kendala produksi di masing-masing lokasi, dan tingkat

pengelolaan yang diterapkan oleh petani. Selain itu, didukung pula oleh adanya

program Intensifikasi Khusus (INSUS), Intensifikasi Umum (INMUM), dan

Operasi Khusus (OPSUS) yang digalakkan pada tahun 1989 hingga 1993.

Tahun 1991 hingga tahun 2000, laju pertumbuhan kedelai domestik sebesar

-2,94 persen. Produksi kedelai pada tahun 1991 sebesar 1.555.453 ton menurun

menjadi 1.017.634 ton pada tahun 2000. Penurunan produksi disebabkan oleh luas

areal panen kedelai terus menurun (Lampiran 3). Disisi lain tidak terjadi

peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Penurunan areal panen kedelai di

Indonesia antara lain disebabkan oleh usahatani kedelai berisiko tinggi terhadap

gangguan hama dan penyakit, sehingga memerlukan perhatian khusus dan biaya

relatif tinggi (Manwan dan Sumarno, 1996). Menurut Harsono (2008), dalam

kurun waktu 1995 hingga 2000 harga kedelai juga tidak memadai, sehingga

usahatani kedelai kurang menguntungkan dibanding usahatani palawija lain.

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

198

1

198

2

198

3

198

4

198

5

198

6

198

7

198

8

198

9

199

0

199

1

199

2

199

3

199

4

199

5

199

6

199

7

199

8

199

9

200

0

200

1

200

2

200

3

200

4

200

5

200

6

200

7

200

8

200

9

201

0

201

1

Produktivitas (ton/Ha)

36

Turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh adanya kebijakan tarif impor nol

persen yang diberlakukan sejak tahun 1994 sampai tahun 2004. Kebijakan

perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal turun akibat harga impor lebih

murah, disamping itu kebijakan penghapusan subsidi pupuk serta tidak

tersedianya kredit lunak usaha tani palawija akiba krisis ekonomi tahun 1998

menyebabkan meningkatnya biaya produksi, sehingga meningkatkan keengganan

para petani dalam menanam kedelai (Fizzanty et al, 2010)

Tahun 2001 hingga tahun 2011, laju pertumbuhan produksi rata-rata kedelai

sebesar -5,27 persen. Penurunan produksi kedelai ini masih disebabkan oleh harga

kedelai yang kurang memadai hingga tahun 2007 (Harsono, 2008). Pada tahun

2010 terjadi keterlambatan masa tanam kedelai dan perubahan cuaca, dimana

musim hujan lebih panjang daripada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi,

maka produksi kedelai tidak akan besar, sehingga petani enggan untuk menanam

kedelai. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2011, bahwa penurunan

terjadi karena penurunan luas areal lahan kedelai yang disebabkan oleh harga

kedelai yang tidak kompetitif, sehingga terjadi persaingan lahan dengan jagung

dan padi yang harganya lebih kompetitif dan terjadinya perubahan iklim yang

mengakibatkan intensitas serangan OPT (Organisme Penggangu Tanaman) lebih

tinggi dari tahun 2010 (Kementerian Pertanian, 2011).

Terdapat berbagai faktor yang menjadi pemicu terjadinya penurunan atau

rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Kegiatan produksi dilihat dari sisi

produsen sebagai pelaku yang melakukan kegiatan produksi dalam penyediaan

kebutuhan konsumsi. Sisi produsen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

petani kedelai. Keputusan petani dalam mengusahakan suatu jenis komoditas

dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang akan diperoleh, karena tujuan dari

produsen adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Berdasarkan hasil

yang diperoleh dari berbagai sumber mengenai penyebab rendahnya produksi

kedelai, bahwa rendahnya produksi kedelai domestik terutama dipengaruhi oleh

harga kedelai itu sendiri, selain itu dipengaruhi pula oleh aspek pemasarannya,

cara pembudidayaan kedelai, konversi lahan ke non-pertanian, dan faktor iklim.

Meninjau dari segi persaingan harga pasar, harga kedelai domestik

cenderung lebih mahal daripada harga kedelai impor (Tabel 7). Menurut Marwoto,

37

et al (2005), harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah.

Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar yang ditentukan oleh permintaan

dan persediaan (demand dan supply). Berdasarkan hal tersebut, maka rendahnya

harga kedelai impor akan menyebabkan harga kedelai domestik ikut mengalami

penurunan. Berdasarkan Tabel 7, harga kedelai impor lebih rendah dibandingkan

harga kedelai lokal selama tahun 2002 hingga tahun 2011. Hal ini menjadi

indikator disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai, karena harga kedelai

yang rendah dengan biaya produksi yang tetap akan mengurangi keuntungan yang

petani peroleh atau bahkan merugikan petani, sehingga petani enggan untuk

menanam kedelai. Selain itu, harga kedelai impor yang lebih murah menyebabkan

konsumen lebih memilih untuk membeli kedelai impor dibandingkan kedelai

lokal, sehingga kedelai lokal menjadi kurang diminati.

Tabel 7. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 – 2011

Tahun Harga Kedelai Lokal (Rp/kg) Harga Kedelai Impor (Rp/kg)

2002 3.532,01 3.315,05

2003 3.746,12 3.523,34

2004 4.267,52 4.070,46

2005 4.893,37 4.591,64

2006 5.085,61 4.748,46

2007 5.405,70 5.199,29

2008 8.514,28 8.118,50

2009 8.657,07 7.952,65

2010 8.475,12 8.095,89

2011 8.814,04 8.289,34

Sumber :Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, 2013

Menurut Fizzanty et al (2010), turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh

adanya kebijakan tarif impor nol persen yang diberlakukan sejak tahun 1994

sampai tahun 2004. Kebijakan perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal

turun akibat harga impor lebih murah, selain itu sejak tahun 1998 impor kedelai

tidak lagi ditangani oleh Bulog, namun diserahkan kepada importir umum. Hal ini

disepakati berdasarkan kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund).

Kondisi ini diduga memberikan peluang impor yang semakin besar, sehingga

harga kedelai dalam negeri turun, sebagai akibatnya banyak petani yang lari untuk

menanam tanaman lain (Fizzanty et al, 2010). Selama harga kedelai impor rendah

dan arus impor kedelai cukup besar, petani enggan menanam kedelai (Marwoto et

38

al, 2005). Akibatnya petani akan memutuskan beralih untuk menanam tanaman

substitusi dari kedelai, seperti padi, jagung, atau tanaman pangan lainnya yang

lebih menguntungkan. Disinsentif petani terhadap kedelai menyebabkan luas

panen kedelai berkurang, karena pengalihan fungsi guna lahan ke tanaman

subsitusi dan pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi kedelai domestik.

Tabel 8. Jumlah Kedelai Domestik dan Kedelai Impor Tahun 2002 - 2011 Tahun Kedelai Domestik (ton) Kedelai Impor (ton)

2002 673.056 1.365.253

2003 671.600 1.192.717

2004 723.483 1.117.790

2005 808.353 1.086.178

2006 747.611 1.132.144

2007 592.534 2.240.795

2008 775.710 1.173.097

2009 974.512 1.314.620

2010 907.031 1.740.505

2011 851.286 2.088.616

Sumber : BPS, 2013a

Masalah dalam aspek pemasaran kedelai domestik bahwa kedelai lokal tidak

menguasai pasar. Pada Tabel 8, jumlah impor selama kurun waktu tahun 2002 -

2011 cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata laju

peningkatan impor dari tahun 2002 hingga 2011 sebesar 12,13 persen dan

besarnya persediaan kedelai di Indonesia dalam kurun waktu yang sama juga

didominasi oleh kedelai impor dengan besar persentase melebihi 50 persen. Hal

ini membuktikan bahwa pangsa pasar di dalam pasar domestik sangat dikuasai

oleh kedelai impor, sehingga industri–industri berbahan baku kedelai, seperti

industri tahu dan tempe cenderung membeli kedelai impor dibandingkan kedelai

domestik, disamping harganya lebih murah. Rendahnya penguasaan kedelai

domestik di pangsa pasar menyebabkan kecilnya peluang petani mendapatkan

keuntungan yang layak dalam usahatani kedelai. Hal ini disebabkan karena petani

memiliki daya tawar dan informasi pasar yang lemah dalam kegiatan pemasaran

kedelai, sehingga harga di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang

(Suryana, 2007). Pasar domestik yang didominasi kedelai impor akan berdampak

pada terciptanya harga pasar kedelai yang lebih rendah mengikuti harga kedelai

39

impor, sehingga harga kedelai yang terbentuk dari mekanisme pasar mendorong

pedagang untuk membeli kedelai domestik dari petani dengan harga yang rendah

pula.

Faktor selanjutnya adalah cara pembudidayaan kedelai yang dilakukan

petani. Sebagian besar petani menanam kedelai pada lahan sawah dan lahan

kering. Pada penanaman di lahan sawah, tanaman kedelai ditanam pada lahan

bekas tanaman padi, dan merupakan tanaman kedua setelah tanaman padi.

Penentuan pola tanam didasarkan atas tipe lahan, curah hujan, dan musim. Di

lahan sawah irigasi pada MK I (Maret-Juni), kedelai diusahakan dalam pola padi -

palawija - sayuran atau padi - palawija - palawija, sedangkan pada MK II (Juli-

September) diusahakan dalam pola padi - padi - palawija. Penanaman kedelai di

lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH (Nopember-Februari) dalam pola

palawija - padi dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi - palawija. Di lahan

kering pada MH I (Nopember-Februari), kedelai ditanam dalam pola palawija -

palawija dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo - palawija atau

sayuran – palawija (Puslitbang, 2006). Melihat pola tanam kedelai, tidak adanya

lahan permanen bagi tanaman kedelai menjadi sangat mudah bagi petani untuk

tidak memilih menanam kedelai, sehingga ketika harga kedelai dirasakan petani

kurang menguntungkan maka petani akan mengubah jenis tanamannya dari

kedelai ke jenis tanaman palawija lainnya yang nilai ekonominya lebih tinggi atau

menguntungkan. Pemilihan tanaman palawija lain yang dilakukan oleh petani,

akan mengurangi luas areal tanam kedelai, sehingga dapat menyebabkan produksi

kedelai mengalami penurunan.

Proses produksi kedelai yang dilakukan petani pada umumnya masih kurang

sesuai dengan aturan penanaman yang benar. Kebanyakan petani belum

menggunakan pemupukan secara berimbang (Zakaria, 2010b). Disamping itu,

dalam hal menghadapi OPT, petani pada umumnya terlambat mengambil tindakan

karena kurang mengamati perkembangan hama atau tidak mengetahui saat yang

tepat dalam aplikasi insektisida dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan hama,

jenis pestisida yang diaplikasikan tidak sesuai dengan hama sasaran, serta dosis

atau volume semprotnya tidak sesuai dari yang seharusnya (Subandi, 2007).

Dalam hal ketepatan waktu penanaman juga, banyak petani yang tidak

40

mengetahui waktu yang tepat untuk penanaman kedelai, padahal ketepatan waktu

tanam sangat menentukan keberhasilan usahatani kedelai. Hal ini terkait dalam

efisiensi penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi (Balitkabi, 2008).

Perkembangan produksi kedelai domestik dominan dipengaruhi oleh

perkembangan luas areal panen, sehingga apabila terjadi konversi lahan kedelai ke

non-pertanian akan berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian,

khususnya tanaman kedelai. Sebagian besar tanaman kedelai yang ditanami pada

lahan sawah, jika lahan sawah tersebut mengalami konversi lahan ke non

pertanian, maka terjadi pengurangan petani yang menanam padi sekaligus kedelai.

Luas lahan sawah yang menurun akibat dari adanya alih fungsi lahan sawah

menjadi lahan non pertanian mencapai 50 - 70 ribu hektar (ha) per tahun, padahal

pencetakan sawah hanya seluas 20 - 40 ribu ha per tahun (Menteri Pertanian,

2011)6. Alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian bersifat irreversible,

jika alih fungsi lahan ini terjadi maka sangat sulit untuk dapat dialihfungsikan

kembali untuk pertanian. Tumbuhnya sektor di luar pertanian seperti membangun

pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas lainnya akan membutuhkan lahan yang

lebih banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk.

Konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian akan menyebabkan

penurunan kapasitas produksi pertanian. Faktor penyebab terjadinya konversi

lahan ini disebabkan oleh adanya perubahan paradigma petani tentang lahan, dan

perubahan nilai dari status pekerjaan sebagai petani dinilai tidak bergengsi,

terutama bagi generasi muda. Mereka cenderung dengan mudahnya melepaskan

lahan yang dimiliki, selain itu disebabkan pula oleh tidak terlaksananya peraturan

tentang konversi lahan secara konsisten (Rachmat, 2011).

Tabel 9. Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun (2005

- 2009), tahun 2010 - 2011

Tahun Luas Serangan OPT Utama (Ha)

Terkena Puso

(2005-2009) 6.156 46

2010 5.247 8

2011 9.956 0

Sumber : Kementan, 2013

6Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan Untuk Pangan Capai 13,17 Juta Ha.

http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan.

Diakses pada tanggal 5 Juni 2013

41

Perubahan iklim yang ekstrim sering terjadi karena pengaruh globalisasi

perkembangan jaman yang dikenal dengan isu pemanasan global. Akibatnya

perubahan iklim mengalami perubahan yang tidak menentu dan petani sukar

memprediksinya. Perubahan iklim berkorelasi positif pada kerentanan tanaman

terkena hama dan penyakit. Tanaman kedelai merupakan jenis tanaman yang

beresiko tinggi terhadap serangan gangguan hama dan penyakit. Terbukti pada

tahun 2010 dan 2011 produksi kedelai mengalami penurunan yang salah satunya

dikarenakan serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang

mengakibatkan luas panen mengalami penurunan (Kementerian Pertanian, 2011).

Berdasarkan Tabel 9, terjadi peningkatan luas serangan OPT pada tahun 2005

hingga tahun 2011 dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 37,49 persen.

Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011 dengan luas areal yang terkena

serangan OPT seluas 9.956 ha dan laju peningkatan dari tahun sebelumnya

sebesar 89,75 persen. Semakin tinggi serangan OPT terhadap lahan tanam kedelai,

maka produksi kedelai akan mengalami penurunan.

Karakteristik kedelai yang memiliki resiko tinggi terhadap serangan hama

dan penyakit akan menyebabkan disinsentif pula bagi petani untuk tahun

selanjutnya dalam menanam kedelai jika perubahan iklim tidak mendukung

seperti tahun sebelumnya, sehingga petani akan memilih untuk menanam tanaman

lain yang memiliki resiko lebih rendah dan tetap menguntungkan, seperti padi atau

jagung. Menurut Manwan et al (1996), padi dan jagung memberikan keuntungan

yang tinggi dengan tingkat resiko yang jauh lebih rendah dibanding tanaman

palawija lain baik dari harga panen maupun gangguan alam seperti kekeringan

serta serangan hama dan penyakit.

Pola data konsumsi cenderung terus mengalami peningkatan.

Kecenderungan peningkatan yang terjadi dalam konsumsi kedelai ini terutama

disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang terus mengalami peningkatan

pada setiap tahunnya, sehingga kebutuhan konsumsi akan bahan makanan akan

terus bertambah (Sudaryanto, 1996). Tahun 1997 dan 1998 konsumsi kedelai

sempat mengalami penurunan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh

terjadinya krisis moneter di Indonesia, sehingga harga kedelai melambung tinggi.

Daya beli masyarakat menurun drastis menyebabkan semakin berkurangnya

42

konsumsi barang yang bisa dibeli oleh masyarakat. Penurunan juga terjadi pada

masa tahun 2001, penurunan konsumsi mencapai -44,44 persen dari tahun

sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang cukup tinggi dari ekspor

Indonesia yang mencapai -9,80 persen, sedangkan penurunan impornya hanya

sebesar -1,14 persen saja (BPS, 2002). Hal ini menyebabkan meningkatnya

pendanaan untuk penyediaan kebutuhan dalam negeri yang pasokannya berasal

dari luar negeri. Akibatnya pasokan kedelai yang berasal dari impor berkurang,

sehingga ketersediaan kedelai di dalam negeri sangat terbatas.

Konsumsi kedelai di Indonesia dilihat dari sisi konsumen sebagai pelaku

dari kegiatan mengonsumsi barang atau jasa. Sisi konsumen disini adalah seluruh

masyarakat Indonesia. Besarnya konsumsi kedelai dilihat dari besarnya

permintaan masyarakat terhadap kedelai. Penyebab tingginya konsumsi kedelai di

Indonesia dipengaruhi oleh jumlah penduduk, selera konsumen, dan pendapatan.

Tabel 10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011

Tahun Jumlah Penduduk Konsumsi Langsung Kedelai (Ton)

2007 227.508.251 11.830,43

2008 230.898.124 12.006,70

2009 234.338.506 12.185,60

2010 237.641.326 12.357,35

2011 241.499.037 12.557,95 Sumber: BPS, Kementan, 2013

Faktor jumlah penduduk merupakan faktor utama dalam menggambarkan

peningkatan konsumsi kedelai domestik. Peningkatan jumlah penduduk disertai

dengan peningkatan dalam usia kerja atau usia yang semakin tua akan

meningkatkan jumlah output yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa

konsumsi terhadap suatu barang memiliki korelasi positif terhadap jumlah

penduduk (Sudaryanto, 1996), maka semakin meningkatnya penduduk dari tahun

ke tahun akan meningkatkan konsumsi terhadap komoditas kedelai. Peningkatan

konsumsi langsung kedelai akibat peningkatan penduduk Indonesia dapat dilihat

pada Tabel 10.

43

Tabel 11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 - 2011

Tahun Permintaan Kedelai (Ton/tahun)

2002 1.446.592,90

2003 1.442.982,70

2004 1.306.698,25

2005 1.367.129,71

2006 1.540.618,00

2007 1.584.287,83

2008 1.414.112,47

2009 1.402.082,43

2010 1.401.002,56

2011 1.507.292,09

Sumber : BPS, 2013b (diolah)

Kebanyakan konsumsi kedelai dikonsumsi dalam bentuk makanan olahan,

seperti kecap, tauco, oncom, dan terutama dikonsumsi dalam bentuk tahu dan

tempe. Konsumen terbesar kedelai di Indonesia adalah industri tahu tempe. Lebih

dari 50 persen ketersediaan kedelai di Indonesia, dikonsumsi oleh para produsen

tahu tempe sebagai bahan baku. Pada Tabel 11, permintaan produsen tahu tempe

terhadap kedelai periode tahun 2002 hingga tahun 2011 memiliki rata-rata laju

pertumbuhan yang positif, yaitu sebesar 0,71 persen. Peningkatan permintaan

kedelai dalam industri tahu tempe tidak luput dari pengaruh adanya peningkatan

jumlah penduduk. Semakin tingginya jumlah penduduk menyebabkan permintaan

terhadap produk turunan kedelai meningkat pula. Besarnya permintaan kedelai

yang berasal dari industri tahu tempe melebihi satu juta ton kedelai, sedangkan

produksi kedelai domestik belum sampai menyentuh angka satu juta ton dalam

kurun waktu tahun 2002 hingga 2011. Hal ini membuktikan pula bahwa untuk

kebutuhan industri tahu tempe sebagai konsumen terbesar kedelai di Indonesia

belum mampu dipenuhi oleh produksi kedelai domestik, sehingga memerlukan

kedelai impor.

Selera konsumen menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam

peningkatan konsumsi kedelai domestik. Perubahan selera menjadi lebih

menyukai suatu komoditas akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas

tersebut. Perubahan Selera konsumen dipengaruhi oleh perubahan karakteristik

demografis, seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan kebiasaan

(Sudaryanto, 1996). Membaiknya tingkat pendidikan dan semakin tingginya

44

aktivitas pekerjaan mendorong kecenderungan masyarakat untuk lebih sadar akan

menjaga kesehatan, sehingga meningkatkan kecenderungan untuk mengonsumsi

bahan pangan yang berkualitas tinggi seperti kedelai. Dilihat dari kondisi

pendidikan, Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia terus mengalami

peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan persentase angka partisipasi

sekolah yang terjadi pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011 yang ditunjukkan

pada Tabel 12.

Tabel 12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 - 2011 Indikator

Pendidikan Tahun

Partisipasi

Pendidikan Formal 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Angka Partisipasi

Sekolah (APS)

7-12 th

96,10 96,42 96,77 97,14 97,39 97,60 97,83 97,95 97,97 97,49

Angka Partisipasi

Sekolah (APS)

13-15 th

79,21 81,01 83,49 84,02 84,08 84,26 84,41 85,43 86,11 87,58

Angka Partisipasi

Sekolah (APS)

16-18 th

49,76 50,97 53,48 53,86 53,92 54,61 54,70 55,05 55,83 57,57

Angka Partisipasi

Sekolah (APS)

19-24 th

11,62 11,71 12,07 12,23 11,38 12,20 12,43 12,66 13,67 13,91

Sumber: BPS, 2013c

Analisis selanjutnya terhadap faktor pendapatan. Pendapatan digunakan

sebagai indikator untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat. Pada Tabel

13 menyajikan perkembangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dari

periode tahun 2002 hingga tahun 2011. Tabel 13 menunjukkan bahwa terjadi

peningkatan pendapatan per kapita dengan rata-rata peningkatan pendapatan per

kapita sebesar 3,95 persen. Semakin besarnya pendapatan masyarakat,

kecenderungan masyarakat dalam mengonsumsi barang akan meningkat pula.

Namun peningkatan konsumsi masyarakat terhadap kedelai memiliki proporsi

yang rendah, karena komoditas kedelai merupakan jenis barang inelastis. Ketika

pendapatan seseorang mengalami peningkatan satu persen, maka peningkatan

orang tersebut dalam mengonsumsi kedelai akan kurang dari satu persen dengan

asumsi cateris paribus, dengan demikian faktor pendapatan dapat mempengaruhi

besarnya konsumsi kedelai domestik, namun pengaruh peningkatan konsumsinya

45

dari sudut analisis pendapatan tidak begitu besar, karena kedelai merupakan

barang yang memiliki sifat inelastis.

Tabel 13. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar Harga Konstan

2000 Tahun 2002 - 2011

Tahun Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Tingkat Pertumbuhan (%)

2002 7.061.207,41 2,92

2003 7.287.245,70 3,20

2004 7.538.530,99 3,45

2005 7.847.599,75 4,10

2006 8.154.508,73 3,91

2007 8.541.259,06 4,74

2008 8.842.701,15 3,53

2009 9.190.669,38 3,94

2010 9.616.611,75 4,63

2011* 10.102.168,25 5,05

Sumber : BPS, 2013d

Keterangan :*angka sementara

5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik

Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan ARIMA, didapatkan

model terbaik untuk produksi dan konsumsi kedelai domestik berturut-turut

adalah ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta dan ARIMA (2,1,0). Hasil pengolahan

data dapat dilihat pada Lampiran 2 hingga Lampiran 11. Hasil menunjukkan

bahwa kedua model sudah memenuhi syarat kriteria model terbaik, yaitu model

relatif sudah merupakan model yang memiliki bentuk sederhana, nilai ρ-value

koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata), jumlah koefisien AR atau MA

kurang dari 1, terdapat pernyataan relative change in each estimate less than

0,0010, model memiliki MSE terkecil (Lampiran 8 dan Lampiran 9), dan ACF

dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off (Lampiran 10 dan Lampiran

11). Persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk proyeksi produksi

kedelai domestik adalah:

(Yt – Yt-1 – Yt-2) = -0,4439(Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt....................................... (11)

Yt = 0,5561Yt-1 + 1,4439Yt-2 + 0,4439Yt-3 + εt.................... (12)

46

sedangkan persamaan fungsi ARIMA (2,1,0) untuk proyeksi konsumsi kedelai

domestik adalah:

(Yt – Yt-1) = 114,65 – 0,4350(Yt-1 – Yt-2) – 0,4207(Yt-2 –Yt-3) + εt... (13)

Yt = 114,65 + 0,5650Yt-1 + 0,0143Yt-2 + 0,4207Yt-3 + εt..... (14)

Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk

proyeksi produksi kedelai domestik, hasil menunjukkan bahwa produksi kedelai

nasional selama tahun 2012 hingga 2014 akan mengalami pertumbuhan yang

negatif. Rata-rata pertumbuhan produksi selama tahun 2012 hinggga 2014 sebesar

-7,79 persen dan produksi pada tahun 2014 mencapai 672.020 ton, sedangkan

hasil proyeksi konsumsi melalui model ARIMA (2,1,0) menunjukkan bahwa

konsumsi kedelai selama periode tahun 2012 hingga tahun 2014 akan mengalami

pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan konsumsi selama periode

tersebut sebesar 3,86 persen dan konsumsi pada akhir tahun 2014 mencapai

2.661.406 ton (Tabel 14).

Tabel 14. Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai

Domestik Tahun 2012 - 2014

Tahun Hasil Proyeksi

Senjang (Ton) Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)

2012 790.331 2.467.893 1.677.562

2013 731.689 2.521.705 1.790.016

2014 672.020 2.661.406 1.989.386

5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik

Analisis pada hasil proyeksi dengan ARIMA, penurunan produksi diduga

diakibatkan oleh adanya konversi lahan. Menurut Arifin (2012), laju konversi

lahan pertanian sebesar 100.000 ha per tahun7. Total luas lahan pertanian yang

efektif untuk produksi pertanian pada tahun 2011 hanya 45 juta ha8, sehingga rata-

rata laju konversi lahannya sebesar -0,22 persen. Jika diperhitungkan berdasarkan

7Pertanian Formal Versus Pragmatisme.

http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=12738&coid=2&caid=30&gid=2. Diakses

tanggal 1 Juni 2013.

8Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan untuk Pangan Capai 13,17 Juta

Ha.http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan.

Diakses tanggal 1 Juni 2013

47

sumber data tersebut diasumsikan laju konversi lahan untuk penanaman kedelai

sebesar -0,22 persen, maka pada tahun 2014 lahan tanam kedelai menyusut

menjadi sebesar 558.721,39 ha. Laju produktivitas kedelai rata-rata selama kurun

waktu 1981 hingga 2011 sebesar 1,63 persen. Hal tersebut mengakibatkan

produksi kedelai domestik menurun menjadi sebesar 794.946,69 ton pada tahun

2014 (Tabel 15).

Tabel 15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai

Domestik Tahun 2012 - 2014

Tahun Luas Areal Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)

2012 619.551,21 1,38 855.679,92

2013 588.978,16 1,40 826.024,53

2014 558.721,39 1,42 794.946,69

Diduga pula penurunan produksi diakibatkan oleh pengaruh OPT

(Organisme Pengganggu Tanaman). Persentase laju peningkatan rata-rata luas

areal tanam kedelai terkena OPT utama sebesar 9,16 persen selama tahun 2005

hingga tahun 2012, sehingga apabila terjadi peningkatan pengaruh OPT utama

hingga tahun 2014, maka produksi kedelai pada tahun tersebut akan menurun

kembali menjadi sebesar 788.716,62 ton (Tabel 16). Penurunan produksi akan

dapat terjadi pada jumlah yang lebih besar lagi mendekati pada hasil proyeksi,

karena penurunan produksi dipengaruhi pula oleh rendahnya harga kedelai,

ketidaktetapan dalam hal penanaman kedelai oleh petani, rendahnya tawar

menawar petani dengan pedagang, dan faktor lainnya.

Tabel 16. Dampak Peningkatan OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi

Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014

Tahun Luas Areal yang Terkena OPT Utama (ha) Produksi (ton)

2012 5.228,00 850.451,92

2013 5.707,09 820.317,44

2014 6.230,07 788.716,62

Peningkatan konsumsi berdasarkan hasil peramalan ARIMA diduga

dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk. Persentase laju peningkatan rata-

rata penduduk Indonesia tahun 1995 - 2010 sebesar 1,62 persen dan persentase

rata-rata konsumsi langsung per kapita terhadap kedelai sebesar 0,06 kg per kapita

48

per tahun selama tahun 2002 - 2011, sehingga permintaan kedelai pada tahun

2014 diduga sebesar 15.714,02 ton (Tabel 17).

Tabel 17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan

Konsumsi Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014

Tahun Jumlah Penduduk (orang) Permintaan Kedelai (ton)

2012 245.419.371,22 15.216,00

2013 249.403.345,68 15.463,01

2014 253.451.993,33 15.714,02

Permintaan kedelai oleh produsen tahu tempe diduga menjadi penyebab

utama peningkatan konsumsi kedelai domestik di Indonesia. Hal tersebut

dikarenakan produsen tahu tempe merupakan konsumen terbesar dalam

mengonsumsi kedelai. Rata-rata konsumsi per kapita produsen tahu tempe

terhadap kedelai selama tahun 2002 - 2011 sebesar 6,38 kg per kapita per tahun,

sehingga didapatkan dugaan jumlah permintaan kedelai yang berasal dari

produsen tahu tempe pada tahun 2014 sebesar 1.618.287,18 ton. Total permintaan

kedelai berdasarkan permintaan langsung ditambah dengan permintaan kedelai

oleh industri tahu tempe menghasilkan total konsumsi kedelai pada tahun 2014

sebesar 1.634.102,58 ton (Tabel 18). Hasil jumlah konsumsi kedelai pada tahun

2014 dapat menjadi lebih besar dari dugaan yang dihasilkan, karena konsumsi

kedelai domestik dipengaruhi pula oleh industri-industri pengolahan makanan

selain tahu dan tempe, penggunaan sebagai bibit dan pakan ternak, pengaruh dari

peningkatan selera, serta pendapatan.

Tabel 18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Permintaan

Langsung Dan Permintaan Industri Tahun 2012 - 2014

Tahun Permintaan Langsung

Kedelai (Ton)

Permintaan Kedelai oleh

Industri (Ton)

Total Permintaan

Kedelai (Ton)

2012 15.314,17 1.566.999,00 1.582.313,17

2013 15.562,77 1.592.436,62 1.607.999,39

2014 15.815,40 1.618.287,18 1.634.102,58

Hasil perhitungan dari variabel produksi dan konsumsi berdasarkan dua

faktor yang mempengaruhi masing-masing variabel telah menunjukkan bahwa

konsumsi kedelai domestik (1.634.102,58 ton) lebih besar dibandingkan produksi

domestiknya (788.716,62 ton). Hal ini sejalan dengan hasil proyeksi yang

49

dihasilkan dengan metode ARIMA, hasil menunjukkan bahwa Indonesia belum

mampu swasembada kedelai pada tahun 2014 (Tabel 14), karena besarnya

produksi kedelai domestik lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Hal ini

mengindikasikan bahwa kebutuhan kedelai domestik dalam negeri belum mampu

terpenuhi hanya dari produksi kedelai domestik. Kesenjangan yang terjadi antara

produksi dan konsumsi kedelai domestik terlihat semakin besar dalam kurun

waktu tiga tahun peramalan. Hal ini akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan

kedelai dalam negeri melalui impor sebesar 1.989.386 ton kedelai pada tahun

2014. Kemampuan Indonesia dalam memproduksi kedelai pada tahun 2014 hanya

sebesar 25 persen saja dan sisanya 75 persen dipenuhi oleh impor kedelai.

Berdasarkan pada kondisi impor kedelai tahun-tahun sebelumnya, impor

kedelai masih sangatlah dominan. Begitu pula pada jumlah impor berdasarkan

peramalan, hasil proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia akan terus mengalami

ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jumlah yang besar hingga tahun

2014 (Tabel 19), sehingga bila tidak ada upaya kebijakan yang dilakukan, maka

Indonesia akan ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jangka panjang.

Upaya untuk menghindari hal tersebut, maka dibutuhkan strategi kebijakan yang

sesuai dalam pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 mendatang agar

produksi kedelai domestik dapat meningkat dengan jumlah minimal sama dengan

besar konsumsi masyarakat terhadap kedelai.

Tabel 19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 - 2014

Tahun Jumlah Impor Kedelai (Ton)

2005 1.086.178

2006 2.204.533

2007 2.673.188

2008 2.261.509

2009 1.314.620

2010 1.740.505

2011 2.088.616

2012 1.677.562

2013 1.790.016

2014 1.989.386

50

5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian

Swasembada Kedelai Tahun 2014

Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai domestik menunjukkan

bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Hal

ini ditunjukkan oleh semakin besarnya kesenjangan yang terjadi antara produksi

dan konsumsi (Tabel 14). Semakin besarnya kesenjangan mengindikasikan bahwa

semakin besarnya impor yang harus dilakukan untuk menutupi kekurangan

pasokan kedelai di Indonesia. Menindaklanjuti masalah tersebut, maka dibutuhkan

kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik, agar tujuan swasembada dapat

terealisasikan dan Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya terhadap

kedelai impor. Kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik dapat ditempuh

melalui dua program, yaitu perluasan areal tanam dan atau peningkatan

produktivitas (Simatupang et al, 2005).

Berdasarkan Tabel 20, swasembada kedelai tercapai apabila minimal jumlah

produksi kedelai domestik sama dengan jumlah konsumsinya. Jika program

perluasan areal tanam dilakukan, maka didasarkan pada hasil peramalan produksi

dan konsumsi kedelai domestik akan dibutuhkan luas areal panen kedelai pada

tahun 2014 sebesar 1.945.472,22 hektar (ha), sehingga dibutuhkan luas areal

tanam kedelai yang baru paling sedikit sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi

luas areal tanam tersebut mengalami satu kali panen setahun dan produktivitas

kedelai tetap.

Tabel 20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014

Tahun Produktivitas

(Ton/ha) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)

2011 1,37 851.286,00 622.254,00

2014 1,37 2.661.406,00 1.945.472,22

Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan 1.323.218,22

Kebutuhan akan luas areal tanam yang baru masih memungkinkan untuk

dikembangkan. Menurut Menteri Pertanian Suswono (2012), Badan Pertanahan

Nasional memiliki lahan terlantar (hutan belukar, semak belukar, dan padang

alang-alang atau rumput) yang berpotensi untuk pengembangan komoditas kedelai

51

seluas 7,20 juta ha9, selain itu lahan sawah dan lahan kering (tegal, kebun

campuran, dan perkebunan) merupakan lahan yang potensial pula untuk

pengembangan kedelai. Luas lahan sawah yang sesuai untuk pengembangan

kedelai mencapai 4,40 juta ha dan lahan kering 4,30 juta ha yang tersebar di 17

provinsi di Indonesia (BBSDLP, 2008a).

Menurut Hermanto (2008), pengembangan kedelai pada lahan kering masam

dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari pada areal pertanaman ubi kayu,

kelapa sawit atau karet muda. Dengan penerapan teknologi maju, kedelai yang

ditumpangsarikan dengan ubi kayu dapat menghasilkan produktivitas kedelai

sekitar 2 ton per ha (Subandi, 2007), namun dalam perluasan lahan menggunakan

lahan kering masam ataupun lahan pasang surut diperlukan pendampingan bagi

petani, karena petani belum terbiasa menggunakan lahan jenis tersebut (Mulyani,

2008).

Menanggapi peluang besar dalam pengembangan lahan penanaman kedelai,

maka implikasinya adalah pemerintah sebagai perencana dan pelaksana dalam

pencapaian swasembada pangan dapat melakukan upaya pelaksanaan program ini

dengan melakukan penambahan luas lahan tanam kedelai bagi petani seluas

1.323.218,22 ha. Jika ditunjang dengan adanya sarana produksi yang mendukung,

maka akan dibutuhkan penyediaan benih sebesar 77.818,89 ton, penyediaan pupuk

urea dan NPK masing-masing sebesar 97.273,61 ton dan 194.547,22 ton, serta

pestisida sebanyak 3.890.944,44 liter. Besarnya perhitungan kebutuhan akan

benih, pupuk, dan pestisida didasari pada perhitungan kebutuhan sarana produksi

kedelai per satuan hektar pada Tabel 21 yang disesuaikan pada ketersediaan lahan

baru seluas 1.945.472,22 ha.

Tabel 21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai

Sarana Produksi Volume per Ha Volume yang dibutuhkan

Benih 0,04 ton 77.818,89 ton

Urea 0,05 ton 97.273,61 ton

NPK 0,10 ton 194.547,22 ton

Pestisida 2,00 liter 3.890.944,44 liter Sumber : Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kementerian Pertanian, 2009(diolah)

9Mentan: Idealnya Lahan Kedelai 1,5 Juta Hektar. http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cp-

documentid=250559577. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013

52

Program selanjutnya melalui peningkatan produktivitas, jika diasumsikan

bahwa luas areal panen kedelai tidak mengalami peningkatan, maka dibutuhkan

produktivitas rata-rata kedelai pada tahun 2014 sebesar 4,28 ton per ha (Tabel 22).

Besarnya produktivitas tersebut sebagai acuan agar produksi kedelai mencapai

pada tingkat jumlah yang sama dengan besar jumlah konsumsinya.

Tabel 22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada Kedelai Tahun

2014

Tahun Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha)

2011 851.286 622.254 1,37

2014 2.661.406 622.254 4,28

Berdasarkan pada hasil perhitungan, terlihat bahwa swasembada kedelai

pada tahun 2014 melalui program peningkatan produktivitas saja akan sulit untuk

dicapai, karena produktivitas varietas unggul untuk tanaman kedelai saat ini

paling besar adalah 4,20 ton per ha yang bernama Mutiara I (Tabel 23) dan hasil

rata-rata varietas ini sebesar 2,40 ton per ha, selain itu rata-rata produktivitas

kedelai di Indonesia pada tahun 2011 hanya sebesar 1,37 ton per ha dengan rata-

rata peningkatan produktivitas pada setiap tahunnya adalah sebesar 0,02 ton per

ha. Melihat kecilnya peningkatan produktivitas kedelai pada setiap tahunnya

periode tahun 1981 hingga tahun 2011, maka akan cukup sulit juga untuk

meningkatkan produktivitas walaupun sebesar 4 ton per ha saja selama kurun

waktu dua atau tiga tahun untuk mencapai produksi sebesar 2.661.406 ton.

Tabel 23. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 ton

per Ha

No Nama Varietas Potensi Hasil (Ton/ha) Umur (Hari)

1 Mutiara 1 4,20 75 - 90

2 Kipas Merah Bireun 3,50 85 - 90

3 Detam 1 3,45 84

4 Grobogan 3,40 76

5 Kaba 3,25 85 Sumber : Kementerian Pertanian, 2012b

Peningkatan produktivitas dalam kebijakan peningkatan produksi kedelai

domestik dapat dilakukan bila dilaksanakan secara bersamaan dengan program

perluasan areal tanam. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

53

(2009), berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan inovasi teknologi yang

tersedia, produktivitas kedelai di Indonesia dapat ditingkatkan dari rata-rata

nasional 1,20 ton menjadi 2 ton per ha, dengan nilai produktivitas tersebut akan

dibutuhkan perluasan areal tanam kedelai sebesar 708.449 ha. Implikasinya

pemerintah dapat melakukan peningkatan produktivitas bersamaan dengan

perluasan areal tanam melalui upaya peningkatan produktivitas kedelai hingga 2

ton per ha dengan menyediakan lahan baru untuk penanaman kedelai sebesar

708.449 ha dengan asumsi luas areal tanam baru mengalami satu kali panen

setahun (Tabel 24).

Tabel 24. Kebutuhan Lahan Baru dan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada

Kedelai Tahun 2014

Tahun Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)

2011 1,37 851.286 622.254

2014 2,00 2.661.406 1.330.703

Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan 708.449

Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui inovasi teknologi

varietas unggul dan perbaikan proses produksi. Program peningkatan

produktivitas dapat dilakukan melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan

tanaman secara terpadu (PTT). PPT adalah salah satu pendekatan dalam usaha

tani, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan

petani, serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT

mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan,air, hara, tanaman, dan

organisme pengganggu tanaman secara terpadu (Balitkabi, 2008).

Pelaksanaan program ini cukup efektif. Di Ngawi, Jawa Timur, hasil kedelai

yang diusahakan dengan pendekatan PTT mencapai 1,95 - 2,20 ton per ha. Pada

lahan kering masam Lampung, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan

pendekatan PTT berkisar antara 1,76 - 2,02 ton per ha, lebih tinggi daripada hasil

kedelai rata-rata Provinsi Lampung yang hanya 1,10 ton per ha. Di Sumatera

Utara, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT berkisar antara

1,92 - 2,03 ton per ha. Pada lahan pasang surut tipe luapan C di Jambi, hasil

kedelai yang dikembangkan dengan pendekatan PTT mencapai 2,10 ton per ha

(Balitkabi, 2008). Selain itu, program tersebut juga mampu meningkatkan

produksi kedelai pada tahun 2009. Pada tahun tersebut produksi kedelai domestik

54

mencapai 974.512 ton dengan produktivitas sebesar 1,35 ton per ha, yang pada

tahun sebelumnya sebesar 775.710 ton dengan produktivitas 1,31 ton/ha. Dengan

begitu, dibutuhkan keberlanjutan program PTT ini secara merata di berbagai

daerah di Indonesia agar produktivitas kedelai di setiap masing-masing daerah

budidaya kedelai dapat meningkat, sehingga produktivitas rata-rata Indonesia

mengalami peningkatan.

Perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas saja tidak cukup

untuk meningkatkan produksi kedelai domestik, namun juga harus ada upaya

meningkatkan minat petani dalam menanam kedelai. Menurut Purwantoro (2013),

dalam pembinaan kelompok tani harus dilihat kesiapan atau minat petani apakah

sudah memiliki kelembagaan yang baik, karena hal ini menentukan tingkat

keberhasilan dalam pembinaan yang dilakukan. Meningkatkan minat petani dalam

berproduksi kedelai salah satunya melalui perbaikan harga jual kedelai. Menurut

Subandi (2007), perbaikan harga jual kedelai di pasar domestik menjadi kunci

utama untuk meningkatkan minat petani untuk bertanam kedelai. Peningkatan

harga jual secara riil akan meningkat keuntungan yang diperoleh petani, jika

perolehan keuntungan dirasa besar oleh petani, maka petani akan meningkatkan

minatnya untuk bertanam kedelai. Kebijakan yang menunjang dalam pelaksanaan

perbaikan harga jual, yaitu Kebijakan dalam menentukan harga dasar kedelai

dalam negeri, mengurangi impor melalui penerapan tarif, dan subsidi sarana

ptoduksi.

Menurut Kuntjoro (1997) bahwa kebijakan harga dasar dimaksudkan untuk

mengamankan pendapatan petani terhadap fluktuasi harga produk, sehingga

merangsang petani untuk berusaha meningkatkan produksinya. Keadaan harga

jual kedelai seperti yang sudah dijelaskan pada analisis sebelumnya mengalami

penurunan beberapa tahun ke belakang. Hal ini disebabkan membanjirnya kedelai

impor di pasar domestik dengan harga yang juga lebih murah (Tabel 7), sehingga

harga pasar kedelai menjadi rendah, maka pemerintah harus menetapkan batas

harga minimum kedelai di pasar domestik dengan nilai yang masih memberikan

keuntungan kepada petani, sehingga tidak mengurangi minat petani untuk

bertanam kedelai. Kebijakan harga dasar akan efektif apabila harga pasar lebih

rendah dari pada harga dasar yang ditetapkan. Dengan adanya kebijakan harga

55

dasar, maka kesejahteraan petani dalam memperoleh keuntungan dapat tetap pada

kondisi yang layak.

Pemerintah melakukan impor kedelai untuk menutupi kekurangan

persediaan kedelai di dalam negeri, namun longgarnya aturan mengenai

perdagangan kedelai menyebabkan menjadi sangat ketergantungan terhadap impor

kedelai, sehingga dibutuhkan kebijakan penetapan tarif impor kedelai yang sesuai.

Adanya tarif impor terhadap kedelai akan mengurangi keinginan pengimpor

kedelai untuk menjual kedelainya ke Indonesia, karena ada biaya yang harus

dikeluarkan oleh pengimpor ketika melakukan pengimporan kedelai. Peningkatan

biaya akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh bagi pengimpor.

Disamping itu, dengan adanya tarif impor pula harga kedelai impor akan

meningkat di pasar domestik, sehingga keseimbangan harga pasar kedelai menjadi

lebih kompetitif. Peningkatan harga pasar kedelai dapat mendorong petani untuk

meningkatkan produksi kedelainya.

Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama

pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan oleh pemerintah. Subsidi

pertanian di Indonesia berupa subsidi harga input usaha tani, yaitu subsidi pupuk,

benih, dan bunga kredit. Penyediaan sarana produksi dengan adanya subsidi

berdampak pada penurunan biaya produksi, sehingga harga kedelai domestik

mampu bersaing dengan harga kedelai yang terkenal lebih murah. Subsidi ini

menghasilkan manfaat yang positif tetapi juga dampak negatif, namun manfaat

yang dapat dinilai lebih besar yakni dampak sosial politik, khususnya dalam

pemantapan ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan10

.

Menurut Zakaria (2010b) menyatakan bahwa pada dasarnya, pelaksanaan

program pengembangan agribisnis kedelai yang ditujukan untuk meningkatkan

produksi dan pendapatan masyarakat petani melalui peningkatan penguasaan

teknologi usahatani, dengan dukungan ketersediaan sarana produksi, penguasaan

teknologi pasca panen, serta melakukan pembenahan, dan peningkatan efisiensi

sistem pemasaran merupakan faktor kunci keberhasilan, akan tetapi selama ini

kebijakan tersebut tidak konsisten, sehingga keberhasilannya hanya dicapai pada

10

Ringkasan Eksekutif, Kajian Issu Kebijakan dan Kinerja Pembangunan Pertanian.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ANJAK_RE_Kebijakan&Kinerja%20Pertanian.pdf.

Diakses pada tanggal 5 Juni 2013

56

saat program berlangsung saja. Didukung pula dengan pernyataan Subandi (2007)

yang menyatakan bahwa kedelai sebagai salah satu komoditas yang memperoleh

prioritas dalam pengembangannya, konsistensi program termasuk pendanaannya

juga harus mendapat perhatian dan alokasi yang sepadan. Dengan begitu,

dibutuhkan pula konsistensi dalam pelaksanaan program-program dalam

kebijakan peningkatan produksi kedelai agar tujuan swasembada kedelai pada

tahun 2014 dapat tercapai. Berdasarkan hasil perhitungan dari kedua program

dalam strategi kebijakan peningkatan produksi kedelai, yaitu perluasan areal

tanam dan peningkatan produktivitas kedelai dengan didasari oleh hasil proyeksi

jangka pendek produksi dan konsumsi kedelai domestik diharapkan minimal

mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dan

diharapkan dalam jangka panjang akan mampu untuk mencapai target

swasembada kedelai.

57

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Konsumsi kedelai di Indonesia lebih besar dibandingkan produksi kedelai

domestik dalam negeri. Persentase laju pertumbuhan rata-rata produksi kedelai

domestik selama kurun waktu tahun 1981 hingga 2011 hanya sebesar 2,10

persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata konsumsinya sebesar 7,85

persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai domestik menjadi salah satu

pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.

2. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan ARIMA

bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014.

Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton, sedangkan

konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan akan

melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk

mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan

produksi kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan

produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah

harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan

tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program

peningkatan produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus

mencapai 4,28 ton per ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai

tersebut sangat sulit dicapai, karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai

setiap tahunnya rendah, sehingga program ini baru bisa terlaksana bila

dilakukan bersamaan dengan perluasan areal tanam, yaitu peningkatan

produktivitas sebesar 2 ton per ha dan perluasan areal tanam baru sebesar

708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu kali panen kedelai dalam

setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal mampu mengurangi

ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam jangka pendek dan

bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang.

6.2 Saran

1. Rendahnya laju pertumbuhan produksi kedelai sebaiknya ditingkatkan dengan

melakukan peningkatan produktivitas melalui pengadaan penyuluhan kepada

58

petani, dan melakukan penelitian serta pengembangan teknologi komoditas

kedelai.

2. Pelaksanaan program perluasan areal tanam baru lebih diutamakan di daerah

luar jawa. Perluasan areal tanam pada potensi sumberdaya lahan yang cukup

baik seperti di Sumatera Barat, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Lampung,

NTB, Aceh, dan Sulawesi Tenggara.

3. Program peningkatan produktivitas diprioritaskan di wilayah-wilayah yang

produktivitas kedelainya masih tergolong rendah, di mana tingkat penerapan

teknologi oleh petani masih kurang. Wilayah-wilayah yang sesuai untuk

program ini antara lain adalah beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa

Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

4. Pemberdayaan BULOG bagi komoditas kedelai dalam pengaturan stabilitas

harga dan pasokan kedelai di pasar dengan harapan memberikan insentif bagi

usaha tani.

5. Penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) kedelai sebagai upaya

pelaksanaan kebijakan harga dasar untuk perbaikan harga jual kedelai.

6. Insentif Pembiayaan bagi usahatani kedelai dengan akses permodalan melalui

kredit perbankan ataupun koperasi yang mudah dan suku bunga yang rendah.

7. Perbaikan infrastruktur penunjang usahatani kedelai, seperti irigasi, listrik,

jalan, dan alat transportasi.

8. Kerja sama dan Komunikasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah

Daerah, organisasi non pemerintah, sektor swasta, dan petani, sehingga

penyebaran informasi terkait dalam upaya peningkatan produksi kedelai bisa

tersalurkan dengan baik dan merata.

9. Peningkatan Peranan Aktif Pemerintah Daerah dalam tujuan meningkatkan

produksi pertanian daerahnya, khususnya kedelai harus sesuai dengan UU no.

18 tahun 2012 tentang pangan sehingga upaya dalam peningkatan hasil

pertanian lebih terfokus pada masing-masing daerah.

10. Penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan

konsumsi komoditas kedelai domestik dalam ruang lingkup daerah ataupun

secara umum di Indonesia diperlukan sehingga lebih fokus dalam mengkaji

59

faktor-faktor yang menyebabkan naik turunnya produksi dan konsumsi

kedelai.

11. Penelitian lanjutan mengenai analisis efisiensi produksi dan tingkat

pendapatan petani dalam usahatani kedelai diperlukan juga untuk mengetahui

tingkat pendapatan yang layak untuk diterima petani, karena pendapatan

petani menjadi salah satu faktor rendahnya produksi kedelai di Indonesia.

60

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Novie Krishna. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional

Dalam Rangka Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok. [Skripsi].

Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Amang, Beddu. 1993. Kebijakan Harga, Pengadaan Dan Distribusi Dalam Rangka

Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju

Tercapainya Swasembada Pangan; 1993 Juni 5. Bogor, Indonesia. Bogor:

Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 59 -

71.

Aritongan, Lerbin R. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Arsyad, Lincolin. 2001. Peramalan Bisnis. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Assauri, Sofjan. 1984. Teknik dan Metoda Peramalan. Jakarta: Falkultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Badan Penelitian dan Pengembangan. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan

Agribisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Badan Pusat Statistik. 2012. Subsektor-subsektor dari Sektor Pertanian. Jakarta:

Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. 2012a. Jumlah Kedelai Impor Indonesia Tahun 2000 –

2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_________________. 2012b. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1990 – 2010.

Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. 2012. Data Produksi, konsumsi,

luas areal panen, dan produktivitas kedelai domestik tahun 1981 - 2011.

Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. 2013a. Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2001 -

2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_________________. 2013b. Permintaan Industri Tahu Tempe Terhadap Kedelai

Tahun 2009 – 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_________________. 2013c. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2007

– 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

_________________. 2013d. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar

Harga Konstan 2000 Tahun 2007 - 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. 2013. Jumlah Konsumsi

Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan

Kementerian Pertanian.

61

Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Peta Potensi dan Ketersediaan

Sumberdaya Lahan Mendukung Swasembada Kedelai 2014. Jakarta:

Kementerian Pertanian.

Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2008.

Teknologi Produksi Kedelai: Arah dan Pendekatan Pengembangan Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):5 -

6.

Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2012.

Pengembangan Sistem Perbenihan Kedelai Berbasis Komunitas [Internet].

Malang: Kementerian Pertanian. 8 Juni 2013

Cahyadi, Wisnu. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis. 2013. Perkembangan Harga

Kedelai di Indonesia Tahun 2003 – 2012. Jakarta: Kementerian

Perdagangan.

Direktorat Budidaya Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2009. Roadmap

Peningkatan Produksi Kedelai 2010 – 2014. Jakarta: Kementerian

Pertanian.

Firdaus, Muhammad. 2004. Ekonometrika Sutau Pendekatan Aplikatif. Jakarta:

Bumi Aksara.

_________________. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. Bogor: IPB Press

Fizzanty, Trina dan Erman Aminullah. 2010. Model Kestabilan Dinamis

Penyediaan Pangan Kedelai di Indonesia: Posisi Penting Iptek. Jakarta:

LIPI Press.

Hanani, Nuhfil. 2009. Pengertian Ketahanan Pangan [Internet].

http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/03/2-pengertian-ketahanan-pangan-

2.pdf. Malang: Universitas Brawijaya. 31 Juli 2013.

Hermanto. 2008. Menggenjot Produksi Kedelai dengan Teknologi. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):1 –

2.

Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan

Aplikasi. Bogor: IPB Press.

Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Sekretariat Jenderal

Kementerian Pertanian 2010 - 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2011. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun

2011. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2012a. Data Konsumsi Kedelai Tahun 1981 - 2011.

Jakarta: Kementerian Pertanian.

62

Kementerian Pertanian. 2012b. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi

Lebih Besar dari 3 Ton per Hektar. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Kementerian Pertanian. 2013. Data Luas Serangan OPT Utama pada Tanaman

Kedelai Rerata 5 Tahun (2005 - 2009) dan Tahun 2010 – 2012. Jakarta:

Kementerian Pertanian.

Kuntjoro, Sri Utami. 1997. Strategi Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada.

Bogor: Fakultas Pertanian IPB.

Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics 6th

edition. New York: Worth

Publisher.

Manwan, Ibrahim dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Kedelai.

Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi

Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press.

Hlm 69 – 150.

Manwan, Ibrahim, Sumarno dan Bambang Sayaka. 1996. Sistem Usahatani

Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor.

Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor:

IPB Press. Hlm 69 – 150.

Maretha, Dedy. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta

Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional.

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Marwoto, P. Simatupang, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan

Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. Di dalam: Achmad Winarto,

Bambang Sri Kuncoro, editor. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai

di Lahan Sub-optimal; 2005 Juli 26 - 27; Malang, Indonesia. Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15.

Mason, Robert D dan Douglas A. Lind. 1999. Teknik Statistika untuk Bisnis dan

Ekonomi. Jakarta: Erlangga.

Menteri Negara Urusan Pangan. 1993. Prospek dan Tantangan dalam Mencapai

Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju

Tercapainya Swasembada Pangan. 1993 Juni 5; Bogor, Indonesia.Bogor:

Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 22 –

31.

Mulyani, Anni. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan

Kedelai di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian

[Internet]. 17 April 2013; 30(1):3 – 34.

Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya

Pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur. EPP [Internet]. 1

Februari 2013; 2(1):39 - 44.

Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan,

Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.

63

Nurgiantoro, Burhan, Gunawan, dan Marzuki. 2009. Statistik terapan.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Purwanti, Setyastuti. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih

Kedelai Hitam dan Kedelai Kuning. Ilmu Pertanian [Internet]. 1 Februari

2013; 11(1):22 - 31.

Purwantoro. 2013. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem

Penangkaran Perbenihan Kedelai Di Indonesia [Internet]. Malang:

Kementerian Pertanian. 9 Juni 2013

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang). 2006. Prospek

dan Arah Pengembangan Agrbisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian

Pertanian.

Rachmat, Muchjidin. 2011. Kebijakan Lahan dalam Membangun Kemandirian

Pangan. Di dalam: Sahat M. Pasaribu, Handewi P. Saliem, Haryono

Soeparno, Effendi Pasandaran, Faisal Kasryno, editor. Konversi dan

Fragmentasi Lahan, Ancaman Terhadap Kemadirian Pangan. Jakarta,

Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 190 – 203.

Rahim, Abd dan Diah Retno Dwi Astuti. 2007. Pengantar, Teori, dan Kasus

Ekonomika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sari, Dinar Frihastika. 2011. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan

Agribisni Kedelai Lokal di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi

Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Simatupang, P, Marwoto, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan

Kedelai dan Kebijakan Penelitian Di Indonesia. Lokakakarya

Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal. 2005 Juli 2006; Malang,

Indonesia. Hlm 168 – 189.

Siregar, Syafaruddin. 2004. Statistik Terapan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia.

Subandi. 2007. Lima Strategi Pengembangan Kedelai. Sinar Tani [Internet]. 1

Februari 2013. Sumber: Koran Sinar Tani Edisi 30 Mei - 5 Juni 2007.

Sugiarto dan Harijono. 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Sudaryanto, Tahlim. 1996. Konsumsi Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M.

Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996

Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 69 – 150.

Suhardjo. 1993. Seminar Kebijakan Dan Strategi Menuju Tercapainya

Swasembada Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi,

Lembaga Penelitian IPB.

64

Supadi. 2008. Menggalang Partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi

Kedelai Menuju Swasembada. Jurnal Litbang Pertanian [Internet]. 1

Februari 2013; 27(3):106 - 111.

Suprapti, Lies. 2005. Kecap Tradisional. Yogyakarta: Kanisius.

Suryana, Achmad. 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung

Tercapainya Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Di dalam: Achmad

Winarto, Bambang Sri Kuncoro, editor. Inovasi Teknologi Kacang-

Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan

Kecukupan Energi. 2007 November 9 - 10; Malang, Indonesia. Bogor: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15.

Zakiah. 2012. Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya

terhadap Manajemen Usaha Tani. MIMBAR [Internet]. 1 Februari 2013;

28(1):77 - 84.

Zakaria, Amar K. 2010a. Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam

Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian

[Internet]. 17 April 2013; 29(4):147 – 153.

Zakaria, Amar K. 2010b. Kebijakan Pengembangan Budidaya Kedelai Menuju

Swasembada Melalui Partisipasi Petani. Jurnal Litbang Pertanian [Internet].

17 April 2013; 8(3):259 – 272.

65

LAMPIRAN

66

Lampiran 1. Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, dan Produktivitas

Kedelai Domestik Tahun 1981-2011

Tahun Produksi

(000 Ton)

Konsumsi

(000 Ton) Luas Panen (Ha)

Produktivitas

(Ton/Ha)

1981 703,811 633,227 810.095 0,869

1982 521,394 532,258 607.708 0,858

1983 536,103 727,379 639.876 0,838

1984 769,384 1.032,112 858.854 0,896

1985 869,718 1.023,265 896.220 0,970

1986 1.226,727 1.459,941 1.253.767 0,978

1987 1.160,963 1.297,666 1.098.565 1,057

1988 1.270,418 1.633,927 1.177.000 1,079

1989 1.315,113 1.548,390 1.198.000 1,098

1990 1.487,433 1.878,098 1.334.021 1,115

1991 1.555,453 2.022,620 1.368.000 1,137

1992 1.869,713 2.318,370 1.666.000 1,122

1993 1.707,126 2.199,342 1.468.316 1,163

1994 1.564,179 2.120,143 1.406.038 1,112

1995 1.679,092 2.124,827 1.476.284 1,137

1996 1.515,937 2.162,374 1.277.736 1,186

1997 1.356,108 1.775,471 1.118.140 1,213

1998 1.304,950 1.267,046 1.094.262 1,193

1999 1.382,848 2.498,418 1.151.079 1,201

2000 1.017,634 2.133,378 824.484 1,234

2001 826,932 1.180,431 678.848 1,218

2002 673,056 1.834,005 544.522 1,236

2003 671,600 1.681,203 526.796 1,275

2004 723,483 1.649,668 565.155 1,280

2005 808,353 1.711,797 621.541 1,301

2006 747,611 1.593,836 580.534 1,288

2007 592,534 1.613,033 459.116 1,291

2008 775,710 1.745,590 590.956 1,313

2009 974,512 2.045,775 722.791 1,348

2010 907,031 2.319,379 660.823 1,373

2011 851,286 2.583,061 622.254 1,368

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2012

67

Lampiran 2. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi

Kedelai Domestik pada Tingkat Level

Null Hypothesis: PRODUKSI has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.283712 0.6239

Test critical values: 1% level -3.670170

5% level -2.963972

10% level -2.621007

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: KONSUMSI has a unit root

Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.711369 0.2394

Test critical values: 1% level -4.296729

5% level -3.568379

10% level -3.218382

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

68

Lampiran 3. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi

Kedelai Domestik pada First Difference

Null Hypothesis: D(PRODUKSI) has a unit root

Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.896799 0.0025

Test critical values: 1% level -4.309824

5% level -3.574244

10% level -3.221728

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(KONSUMSI) has a unit root

Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.151825 0.0001

Test critical values: 1% level -4.323979

5% level -3.580623

10% level -3.225334

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

69

Lampiran 4. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi Kedelai

Domestik pada Second Difference

Null Hypothesis: D(PRODUKSI,2) has a unit root

Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.987774 0.0024

Test critical values: 1% level -4.356068

5% level -3.595026

10% level -3.233456

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

70

Lampiran 5. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai

Domestik pada First Difference

Lag

Au

toco

rre

lati

on

87654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag

Pa

rtia

l A

uto

co

rre

lati

on

87654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Partial Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

71

Lampiran 6. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai

Domestik pada Second Difference

Lag

Pa

rtia

l A

uto

co

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Partial Autocorrelation Function for differencing 2(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

Lag

Au

toco

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Autocorrelation Function for differencing 2(with 5% significance limits for the autocorrelations)

72

Lampiran 7. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Konsumsi Kedelai

Domestik pada First Difference

Lag

Au

toco

rre

lati

on

87654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag

Pa

rtia

l A

uto

co

rre

lati

on

87654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

Partial Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

73

Lampiran 8. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi

Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000

Ton)

ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1342257 0,100 0,100 4,021

1 1082429 -0,050 0,250 4,819

2 1037457 0,048 0,400 4,276

3 984505 0,129 0,550 3,557

4 919322 0,170 0,700 2,228

5 843061 0,118 0,849 -1,379

6 800465 0,133 0,948 -3,495

7 765807 0,156 1,012 -3,947

8 749430 0,122 1,026 -4,981

9 743908 0,120 1,053 -5,042

10 729288 0,094 1,050 -5,247

11 726668 0,088 1,052 -5,374

12 724692 0,089 1,059 -5,573

13 724214 0,079 1,056 -5,451

14 724060 0,081 1,055 -5,447

15 724058 0,081 1,055 -5,449

Unable to reduce sum of squares any further

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 0,0806 0,1891 0,43 0,673

MA 1 1,0550 0,1125 9,37 0,000

Constant -5,449 1,162 -4,69 0,000

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 651641 (backforecasts excluded)

MS = 25063 DF = 26

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 14,2 22,6 * *

DF 9 21 * *

P-Value 0,114 0,365 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 768,50 458,14 1078,85

33 678,08 233,53 1122,63

34 581,60 44,25 1118,94

74

Lampiran 8. Lanjutan

ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1471000 0,100 4,021

1 1287683 -0,050 4,961

2 1163063 -0,200 5,180

3 1097058 -0,350 4,623

4 1085706 -0,433 3,616

5 1085563 -0,443 3,243

6 1085561 -0,444 3,186

7 1085561 -0,444 3,179

8 1085561 -0,444 3,178

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,4437 0,1721 -2,58 0,016

Constant 3,18 37,13 0,09 0,932

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 1079553 (backforecasts excluded)

MS = 39983 DF = 27

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 13,4 22,1 * *

DF 10 22 * *

P-Value 0,204 0,457 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 793,51 401,51 1185,51

33 739,81 14,68 1464,95

34 687,49 -472,41 1847,39

ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1237514 0,100 4,468

1 1112374 0,250 4,280

2 1013535 0,400 3,868

3 934149 0,550 2,963

4 875046 0,700 1,112

5 847665 0,801 -1,485

6 835124 0,856 -2,797

7 820652 0,908 -3,682

75

Lampiran 8. Lanjutan

8 789575 0,975 -4,605

9 754286 1,027 -5,228

10 712310 1,087 -6,824

11 702705 1,087 -6,792

12 702685 1,087 -6,787

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

MA 1 1,0870 0,0872 12,46 0,000

Constant -6,787 1,980 -3,43 0,002

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 625766 (backforecasts excluded)

MS = 23177 DF = 27

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 14,8 24,0 * *

DF 10 22 * *

P-Value 0,139 0,347 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 772,65 474,21 1071,10

33 687,24 283,11 1091,37

34 595,03 121,64 1068,42

ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1342810 0,100 0,100

1 1082536 -0,050 0,250

2 1037081 0,048 0,400

3 983353 0,128 0,550

4 917771 0,170 0,700

5 847687 0,128 0,850

6 831827 0,109 0,906

7 824168 0,122 0,937

8 819227 0,137 0,956

9 818102 0,146 0,963

10 817988 0,150 0,966

11 817986 0,151 0,966

Unable to reduce sum of squares any further

76

Lampiran 8. Lanjutan

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 0,1513 0,1972 0,77 0,450

MA 1 0,9660 0,0826 11,69 0,000

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 791000 (backforecasts excluded)

MS = 29296 DF = 27

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 13,6 20,4 * *

DF 10 22 * *

P-Value 0,194 0,557 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 835,44 499,90 1170,98

33 825,63 305,27 1345,99

34 816,73 148,93 1484,53

ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1471612 0,100

1 1288188 -0,050

2 1163435 -0,200

3 1097354 -0,350

4 1085988 -0,434

5 1085850 -0,443

6 1085848 -0,444

7 1085848 -0,444

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,4439 0,1690 -2,63 0,014

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 1079699 (backforecasts excluded)

MS = 38561 DF = 28

77

Lampiran 8. Lanjutan

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 13,4 22,1 * *

DF 11 23 * *

P-Value 0,269 0,514 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 790,33 405,37 1175,29

33 731,69 19,63 1443,75

34 672,02 -466,96 1811,00

ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 1237978 0,100

1 1112630 0,250

2 1013419 0,400

3 933442 0,550

4 874132 0,700

5 849840 0,802

6 844421 0,841

7 842262 0,863

8 841049 0,877

9 840201 0,889

10 839514 0,898

11 838891 0,907

12 838276 0,915

13 837638 0,923

14 836969 0,930

15 836305 0,937

16 835723 0,943

17 835312 0,948

18 835095 0,952

19 835019 0,954

20 835014 0,956

Unable to reduce sum of squares any further

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

MA 1 0,9559 0,0761 12,55 0,000

Differencing: 2 regular differences

Number of observations: Original series 31, after differencing 29

Residuals: SS = 802699 (backforecasts excluded)

MS = 28668 DF = 28

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

78

Lampiran 8. Lanjutan

Chi-Square 16,6 25,2 * *

DF 11 23 * *

P-Value 0,122 0,340 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 846,02 514,10 1177,95

33 840,76 360,89 1320,64

34 835,50 234,88 1436,12

79

Lampiran 9. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi

Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000

Ton)

ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 4828072 0,100 0,100 52,076

1 4057097 -0,050 -0,045 67,441

2 3536106 -0,200 -0,191 84,723

3 3265881 -0,350 -0,337 103,149

4 3224803 -0,430 -0,416 113,749

5 3224654 -0,435 -0,420 114,592

6 3224653 -0,435 -0,421 114,654

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,4350 0,1768 -2,46 0,021

AR 2 -0,4207 0,1777 -2,37 0,025

Constant 114,65 63,08 1,82 0,080

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 31, after differencing 30

Residuals: SS = 3220844 (backforecasts excluded)

MS = 119291 DF = 27

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 6,0 14,8 * *

DF 9 21 * *

P-Value 0,737 0,835 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 2467,89 1790,80 3144,98

33 2521,70 1744,02 3299,39

34 2661,41 1851,61 3471,21

ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 4577172 0,100 58,585

1 4160582 -0,050 67,084

2 3933475 -0,200 76,511

3 3887391 -0,298 83,583

4 3887204 -0,304 84,390

5 3887203 -0,305 84,459

6 3887203 -0,305 84,465

80

Lampiran 9. Lanjutan

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,3048 0,1809 -1,68 0,103

Constant 84,46 68,01 1,24 0,225

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 31, after differencing 30

Residuals: SS = 3884889 (backforecasts excluded)

MS = 138746 DF = 28

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 9,5 12,8 * *

DF 10 22 * *

P-Value 0,486 0,938 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 2587,16 1856,94 3317,38

33 2670,38 1781,02 3559,73

34 2729,48 1670,16 3788,80

ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 4915416 0,100 0,100

1 4203686 -0,050 -0,046

2 3758383 -0,200 -0,192

3 3581749 -0,350 -0,341

4 3578706 -0,370 -0,363

5 3578695 -0,371 -0,364

6 3578695 -0,371 -0,364

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,3713 0,1791 -2,07 0,048

AR 2 -0,3643 0,1807 -2,02 0,053

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 31, after differencing 30

Residuals: SS = 3576394 (backforecasts excluded)

MS = 127728 DF = 28

81

Lampiran 9. Lanjutan

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 5,1 12,6 * *

DF 10 22 * *

P-Value 0,884 0,943 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 2385,50 1684,87 3086,13

33 2362,80 1535,20 3190,40

34 2443,19 1568,91 3317,48

ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration

Iteration SSE Parameters

0 4680965 0,100

1 4299596 -0,050

2 4112869 -0,200

3 4092397 -0,265

4 4092336 -0,269

5 4092336 -0,269

Relative change in each estimate less than 0,0010

Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P

AR 1 -0,2689 0,1804 -1,49 0,147

Differencing: 1 regular difference

Number of observations: Original series 31, after differencing 30

Residuals: SS = 4091652 (backforecasts excluded)

MS = 141091 DF = 29

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48

Chi-Square 9,5 13,0 * *

DF 11 23 * *

P-Value 0,576 0,953 * *

Forecasts from period 31

95 Percent

Limits

Period Forecast Lower Upper Actual

32 2512,16 1775,79 3248,53

33 2531,22 1619,04 3443,40

34 2526,10 1438,87 3613,33

82

Lampiran 10. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Produksi Kedelai

Domestik

Lag

Au

toco

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

ACF of Residuals for Produksi(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag

Pa

rtia

l A

uto

co

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

PACF of Residuals for Produksi(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

83

Lampiran 11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai

Domestik

Lag

Au

toco

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

ACF of Residuals for Konsumsi(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag

Pa

rtia

l A

uto

co

rre

lati

on

7654321

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

PACF of Residuals for Konsumsi(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

84

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 22 Desember 1990 dari Bapak

Hadi Wahyudi dan ibu Irna Holiyani. Penulis adalah putri pertama dari 6

bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2009. Pada tahun

yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program mayor Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selain itu, penulis juga

melengkapi mandat dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

dengan mengambil program Minor Ilmu Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa dari

Direktorat Kemahasiswaan IPB dari tahun pertama sampai menyelesaikan kuliah

di IPB. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di IPB seperti

Anggota di Organisasi Century (Center of Entrepreneurship Development for

Youth) IPB periode tahun 2009 - 2010, Kepala Divisi Promosi dan Pemasaran

Century IPB periode tahun 2010 – 2011, dan menjadi Dewan Komisaris Century

IPB periode tahun 2011-2012. Selain itu penulis juga menjadi sekretaris divisi ID

(Internal Development di Organisasi REESA (Resources and Environmental

Economics Student Association) periode tahun 2010 - 2011 serta aktif di berbagai

kepanitiaan dan kegiatan lainya di IPB. Selain aktif di organisasi kemahasiswaan,

penulis juga aktif sebagai asisten praktikum ekonomi umum TPB di Departemen

Ilmu Ekonomi, FEM IPB dari tahun 2010 – 2013.