ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK … · swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia,...
Transcript of ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI DOMESTIK … · swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia,...
i
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI
DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI
SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA
ABIDA HADI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Produksi dan
Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta
dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Abida Hadi
NIM H44090065
1
RINGKASAN
Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada
pangan tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada
dalam posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut.
Tahun 2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah
kebutuhan kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping
itu permintaan kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya
teknologi, pengetahuan, peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan.
Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan penelitian ini adalah menganalisis
perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik, memproyeksikan
produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat target pencapaian
swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta menyusun strategi kebijakan
dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada tersebut. Analisis
perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode
analisis statistik deskriptif, sedangkan peramalan produksi dan konsumsi kedelai
domestik menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving
Average).
Hasil peramalan menjelaskan bahwa konsumsi kedelai di Indonesia lebih
besar dibandingkan produksi kedelai domestik dalam negeri. Persentase laju
pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981
hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata
konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai
domestik menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor
kedelai. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan
ARIMA bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun
2014. Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton,
sedangkan konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan
akan melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk
mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan produksi
kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan
produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah
harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan
2
tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program peningkatan
produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus mencapai 4,28 ton per
ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai tersebut sangat sulit dicapai,
karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai setiap tahunnya rendah,
sehingga program ini baru bisa terlaksana bila dilakukan bersamaan dengan
perluasan areal tanam, yaitu peningkatan produktivitas sebesar 2 ton per ha dan
perluasan areal tanam baru sebesar 708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu
kali panen kedelai dalam setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal
mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam
jangka pendek dan bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang.
iv
ABSTRAK
ABIDA HADI. Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka
Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO.
Tanaman pangan yang menjadi fokus utama dalam target swasembada pangan
tahun 2014, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Padi dan jagung sudah berada dalam
posisi swasembada, sedangkan kedelai belum berada pada posisi tersebut. Tahun
2011, kedelai domestik hanya mampu memenuhi 29 persen dari jumlah kebutuhan
kedelai, dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh kedelai impor, disamping itu permintaan
kedelai akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, pengetahuan,
peningkatan jumlah penduduk, dan pendapatan. Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan
penelitian ini adalah memproyeksikan apakah swasembada kedelai pada tahun 2014
akan tercapai sesuai dengan target pemerintah dan strategi apa yang harus dilakukan
untuk mendukung pencapaian swasembada kedelai tersebut. Proyeksi yang dilakukan
meliputi peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik menggunakan metode
ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Hasil peramalan menjelaskan
bahwa Indonesia belum mampu swasembada kedelai pada tahun 2014. Proyeksi
produksi kedelai domestik sebesar 672.020 ton, sedangkan konsumsinya sebesar
2.661.406 ton, maka dibutuhkan strategi peningkatan produksi kedelai domestik
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai di dalam negeri.Upaya dalam
peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui peningkatan luas areal tanam
dan peningkatan produktivitas.
Kata Kunci : Kedelai, Konsumsi, Produksi, Swasembada
ABSTRACT
ABIDA HADI. Analysis of Production and Consumption Domestic Soybeans in
Order to Achieve Soybeans Self Sufficiency in Indonesia. Supervised by ADI
HADIANTO.
Crops are used as the main focus of the food self-sufficiency target in 2014 are
rice, corns, and soybeans. Rice and corns have been in self-sufficiency position, while
soybeans have not been yet. In 2011, the domestic soybeans were only able to meet
29 percent of the soybeans demand, and the remaining, 71 percent were filled by the
imported soybeans. Besides that, the soybeans demand will continue to increase along
with the development of tecnology and knowledge, and the increasing population and
income. Under these conditions, the purposes of this study were to forecast whether
soybeans self-sufficiency in 2014 will be achieved in accordance with the
government's target and what strategy should be taken to support the achievement of
self-sufficiency in soybeans. The Projection covered forecasting of production and
consumption domestic soybeans using ARIMA (Autoregressive Integrated Moving
Average). The forecasting results explained that Indonesia had not been able to
achieve soybeans self-sufficiency in 2014. Forecasting of production domestic
soybeans were 672.020 tons, while consumption domestic soybeans were 2.661.406
tons. It needed strategy increasing domestic soybeans production to meet the need of
soybeans consumption. Efforts to increase soybeans production could be done by
increasing the cultivated area and productivity.
Keywords: Consumption, Production, Self-Sufficiency, Soybeans
v
ANALISIS PRODUKSI DAN KONSUMSI KEDELAI
DOMESTIK DALAM RANGKA MENCAPAI
SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA
ABIDA HADI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia
Nama Abida Hadi NIM H44090065
Disetujui oleh
Adi Hadi to SP M.Si Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus: 0 4 SEP 2013
vii
Judul Skripsi
: Analisis Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik dalam
Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia
Nama : Abida Hadi
NIM : H44090065
Disetujui oleh
Adi Hadianto, SP, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 hingga Juni 2013
ini ialah Ekonomi Pertanian, dengan judul Analisis Produksi dan Konsumsi
Kedelai Domestik dalam Rangka Mencapai Swasembada Kedelai di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, MSi selaku
dosen pembimbing. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Novindra
SP, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Hastuti SP, MP, MSi selaku dosen
penguji Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Di samping itu,
Penghargaan penulis sampaikan kepada Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi
di Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik
yang telah membantu dan mendukung selama pengumpulan data. Penghargaan
juga penulis sampaikan kepada Direktorat Kemahasiswaan yang telah
memberikan beasiswa pendidikan selama menjalani perkuliahan di IPB,
selanjutnya terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Pini Wijayanti, SP, MSi
selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan dan ungkapan terima kasih
tak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, serta seluruh keluarga atas
segala doa, kata-kata penyemangat, dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Ka
Irfan, Toro dan Vita STK 46 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi
saya. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dari teman-
teman seperjuangan Lia Nur Alia Rahmah, Susan Dwi Putri, Fajar Cahya
Nugraha, sahabat-sahabat tercinta Rizka Ayu Lestari, Gressayana Suciari,
Octaviana Debhora S, Sylvie Suryadi, Hildalina Purnamasari, Nurul Latifah,
Aisya Nadhira Melati serta rekan-rekan ESL 46 IPB, CENTURY IPB 2009 -
2012, dan REESA IPB 2011 - 2012. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Abida Hadi
NIM H44090065
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... x
I. PENDAHULUAN………………………………………………............... 1
1.1 Latar Belakag.……………………......................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah……………………..……………………............... 6
1.3 Tujuan Penelitian………………………..…………………………....... 8
1.4 Ruang Lingkup Penelitian………………..……………………............. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA.….….………………........…………………...... 9
2.1 Komoditas Kedelai Indonesia…………………......…………............... 9
2.2 Produksi dan Konsumsi……………………………………………….. 12
2.3 Swasembada Pangan.………………………………………………….. 13
2.4 Metode Peramalan................................................................................... 14
2.5 Penelitian Terdahulu……………..………………………………......... 18
2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu………………………………. 21
III. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………...………….......... 22
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis…………..………………….................... 22
3.1.1 Analisis Statistika Deskriptif...……………...………................... 22
3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins (ARIMA)….……………........... 22
3.2 Kerangka Operasional……………………………...………………...... 25
IV. METODE PENELITIAN………………………………………........….. 28
4.1 Jenis dan Sumber Data.........……………………………………….…. 28
4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data.................................................. 28
4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif……………………………. 28
4.2.2 Metode ARIMA…………………….…………...….................... 29
xi
V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….. 33
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 33
5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik………....... 45
5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai
Domestik………………………………………………………... 46
5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian
Swasembada Kedelai Tahun 2014................................................ 49
VI. SIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 57
6.1 Simpulan…………………………………………………………….... 57
6.2 Saran………………………………………………………………….. 57
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 60
LAMPIRAN....................................................................................................... 65
RIWAYAT HIDUP............................................................................................ 84
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha
(Miliar Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia......................................... 1
2. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia…………………………………... 2
3. Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011............................... 4
4. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010.......................................... 5
5. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia Tahun 2007 – 2011.. 7
6. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan……………… 14
7. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 - 2011.................. 37
8. Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2002 - 2011............................ 38
9. Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun
(2006 - 2009), Tahun 2010 - 2012................................................................ 40
10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011............................ 42
11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 – 2011............ 43
12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 – 2011....................... 44
13. Pendapatan Domestik Bruto Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 2002 - 2010........................................................................................ 45
14. Kesenjangan Hasil Peramalan Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai
Domestik Tahun 2012 – 2014....................................................................... 46
15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik
Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47
16. Dampak OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi Kedelai Domestik
Tahun 2012 - 2014........................................................................................ 47
17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan Konsumsi
Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014......................................... 48
18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Permintaan Langsung
dan Permintaan Industri............................................................................... 48
19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 – 2014.................................................. 49
20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014............... 50
21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai.............. 51
22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai Domestik Untuk Swasembada Kedelai
Tahun 2014................................................................................................... 52
23. Varietas Unggul Kedelai Yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 Ton
per Hektar..................................................................................................... 52
xiii
24. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014 Disertai
dengan Peningkatan Produktivitasnya.......................................................... 53
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Metode Peramalan Box-Jenkins.................................................................... 24
2. Alur Pemikiran Operasional.......................................................................... 27
3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai
Domestik Tahun 1981 – 2011....................................................................... 34
4. Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 2002 – 2011.......... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, Dan Produktivitas Kedelai
Domestik Tahun 1981 - 2011....................................................................... 65
2. Hasil Uji ADF Untuk Penstasioneran Data Produksi Dan Konsumsi
Kedelai Domestik Pada Tingkat Level......................................................... 66
3. Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi
Kedelai Domestik Pada First Difference...................................................... 67
4. Hasil Uji ADF Untuk Penstatisoneran Data Produksi Dan Konsumsi
Kedelai Domestik Pada Second Difference.................................................. 68
5. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik
pada First Difference.................................................................................... 69
6. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Produksi Kedelai Domestik
pada Second Difference................................................................................. 70
7. Hasil Analisis Plot ACF Dan PACF Data Konsumsi Kedelai Domestik
pada First Difference.................................................................................... 71
8. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi Kedelai
Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 73
9. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi Kedelai
Domestik dari Tahun 1981 - 2011 dengan Minitab 14 (000 Ton)................ 79
10. Hasil Analisis Residual ACF Dan PACF Untuk Produksi Kedelai
Domestik....................................................................................................... 82
11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai
Domestik………………………………………………………………….. 83
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah (Mega
Biodiversity). Biodiversity darat Indonesia merupakan terbesar nomor dua di dunia
setelah Brasil, sedangkan bila termasuk kelautan maka Indonesia nomor satu di
dunia. Keanekaragaman hayati yang didukung dengan sebaran kondisi geografis,
serta keanekaragaman jenis tanah memungkinkan dibudidayakannya aneka jenis
tanaman dan ternak asli daerah tropis maupun komoditas introduksi dari daerah
subtropis secara merata sepanjang tahun di Indonesia.1 Keunggulan-keunggulan
tersebut memberikan peluang besar bagi Indonesia dalam mengembangkan sektor
pertaniannya. Sektor ini memiliki peranan penting dalam penyediaan lapangan
kerja, penyediaan pangan, penghasil energi, dan penyumbang devisa negara.
Tabel 1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Miliar
Rupiah) Tahun 2007 – 2011 di Indonesia
Lapangan Usaha Tahun
2007 2008 2009 2010 2011*
Pertanian 271.509,30 284.619,10 295.883,80 304.777,10 315.036,80
Pertambangan dan
Penggalian 171.278,40 172.496,30 180.200,50 187.152,50 189.761,40
Industri Pengolahan 538.084,60 557.764,40 570.102,50 597.134,90 633.781,90
Listrik, Gas, dan Air
Bersih 13.517,00 14.994,40 17.136,80 18.050,20 18.921,00
Konstruksi 121.808,90 131.009,60 140.267,80 150.022,40 159.993,40
Perdagangan, Hotel,
dan Restoran 340.437,10 363.818,20 368.463,00 400.474,90 437.199,70
Pengangkutan dan
Komunikasi 142.326,70 165.905,50 192.198,80 217.980,40 241.298,00
Keuangan, Real
Estate, dan Jasa
Perusahaan
183.659,30 198.799,60 209.163,00 221.024,20 236.146,60
Jasa-jasa 181.706,00 193.049,00 205.434,20 217.842,20 232.537,70
PDB 1.964.327,30 2.082.456,10 2.178.850,40 2.314.458,80 2.464.676,50
Sumber : Badan Pusat Statitik, 2012
Keterangan : *angka sementara
Sumbangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dari sektor pertanian
sebesar Rp 315.036,80 Miliar pada tahun 2011. Sektor ini merupakan
1Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%202010-
2014%20lengkap.pdf. Akses pada tanggal 4 Desember 2012.
2
penyumbangan PDB terbesar ketiga setelah Industri Pengolahan, dan
Perdagangan, Hotel, dan Restoran (Tabel 1). Sektor ini juga menjadi sektor
penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2,
data menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor penyerap tenaga kerja
terbesar selama kurun waktu 2007 – 2011 dan mencapai 39.328.915 orang dalam
penyerapan tenaga kerja pada tahun 2011 (Tabel 2). Sektor pertanian yang ada di
Indonesia terdiri dari subsektor – subsektor, yaitu subsektor hortikultura, tanaman
pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan (Badan Pusat Statistik,
2012).
Tabel 2. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
Utama Tahun 2004 – 2011 di Indonesia
Lapangan Pekerjaan Utama Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Pertanian 41.206.474 41.331.706 41.611.840 41.494.941 39.328.915
Pertambangan dan Penggalian 995 1.070.540 1.155.233 1.254.501 1.465.376
Industri 12.368.729 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.542.081
Listrik. Gas dan Air 174.884 201.114 223.054 234.07 239.636
Konstruksi 5.252.581 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.811
Perdagangan. Rumah Makan dan Jasa Akomodasi
20.554.650 21.221.744 21.947.823 22.492.176 23.396.537
Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 5.958.811 6.179.503 6.117.985 5.619.022 5.078.822
Lembaga Keuanga,. Real Estate, Usaha
Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.399.940 1.459.985 1.486.596 1.739.486 2.633.362
Jasa Kemasyarakatan. Sosial dan Perorangan
12.019.984 13.099.817 14.001.515 15.956.423 16.645.859
Total 99.930.217 102.552.750 104.870.663 108.207.767 109.670.399
Sumber : BPS, 2012
Salah satu sub sektor yang sangat penting untuk pemenuhan gizi dan
keberlanjutan hidup masyarakat Indonesia, yaitu sub sektor tanaman pangan. Sub
sektor tanaman pangan terdiri atas beras, jagung, kacang-kacangan, serta umbi-
umbian. Ketersediaan pangan ini wajib terpenuhi, karena pangan merupakan
kebutuhan dasar utama manusia. Sumber karbohidrat sebagai sumber energi
manusia didapat dari kandungan gizi tanaman pangan. Sesuai dengan aturan yang
tercantum dalam UU (Undang - Undang) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1996 tentang pangan, menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan
pembangunan nasional.
3
Ketersediaan pangan menjadi salah satu masalah di banyak negara
berkembang, salah satunya di Indonesia, walaupun tingkat pertumbuhan
ekonominya tinggi, namun masalah pangan masih tetap menjadi prioritas tinggi,
padahal kondisi geografi Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan memiliki
keragaman sosial, ekonomi, dan potensi daerah. Berdasarkan keragaman ini pola
produksi pangan masyarakat secara potensial cukup besar, karena didukung
dengan keberadaan lahan yang luas dan memiliki tingkat kesuburan yang relatif
bagus (Amang, 1993). Permasalahan pangan juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kualitas sumberdaya manusia. Kurangnya ketersediaan
pangan menyebabkan sulitnya mendapatkan pangan untuk konsumsi pemenuhan
gizi masyarakat, sehingga mewujudkan mutu sumberdaya manusia yang tinggi
sebagai generasi penerus bangsa juga menjadi sulit. Adanya keterkaitan antara
pangan, gizi, dan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia menjadi
tantangan dalam mewujudkan swasembada pangan (Menteri Urusan Negara
Urusan Pangan, 1993).
Swasembada pangan dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menyediakan
beragam pangan secara mandiri, dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan untuk
konsumsi menurut norma gizi, tersedia merata setiap waktu, dan terjangkau oleh
semua lapisan, dengan mengutamakan kemampuan produksi dalam negeri
(Suhardjo, 1993). Pemerintah Indonesia khususnya dalam Kementerian Pertanian
menargetkan swasembada pangan pada tahun 2014 dalam rangka peningkatan
produksi pertanian. Kementerian Pertanian memfokus pada peningkatan 39
komoditas unggulan nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7
komoditas tanaman pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan,
dan 7 komoditas peternakan. Komoditas tanaman pangan unggulan nasional yang
ditargetkan untuk swasembada, yaitu padi, jagung, dan kedelai. Dua komoditas
pangan utama (padi dan jagung) sudah dalam posisi swasembada, sehingga
ditargetkan ke depan adalah mempertahankan posisi swasembada tersebut
(swasembada berkelanjutan), sedangkan kedelai ditargetkan bisa mencapai
swasembada pada tahun 2014.2
2Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20deptan%202010-
2014%20lengkap.pdf. Diakses pada tanggal 4 Desember 2012.
4
Berdasarkan kondisi salah satu komoditas pangan utama yang belum
mencapai swasembada, maka penelitian ini dikhususkan pada komoditas kedelai
sebagai objek penelitian. Kedelai merupakan komoditas pangan yang dijadikan
sebagai salah satu sumber penghasilan petani. Kedelai juga merupakan sumber
protein nabati bagi sebagian besar penduduk, terutama bagi penduduk yang
berpendapatan rendah (Kuntjoro, 1997), disamping itu makanan olahan kedelai
seperti tahu dan tempe sudah menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
Tabel 3. Jumlah Impor Kedelai di Indonesia Tahun 2007 - 2011
Tahun Jumlah Impor Kedelai (Ton) Pertumbuhan Impor (%)
2007 2.673.188 21,26
2008 2.261.509 -15,40
2009 1.314.620 -41,87
2010 1.740.505 32,40
2011 2.088.616 20,00
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012a (diolah)
Kondisi perkembangan kedelai domestik belum menunjukkan hasil yang
menuju kepada target swasembada. Dilihat pada sisi ketersediaan, ketersediaan
kedelai domestik didominasi oleh kedelai impor. Tabel 3 menunjukkan bahwa
selama periode 2007 - 2011 terjadi peningkatan terhadap impor kedelai. Rata-rata
laju peningkatan impor kedelai di Indonesia sebesar 3,28 persen. Dominasi impor
kedelai di Indonesia yang terjadi diantaranya terlihat dari banyaknya industri-
industri tahu dan tempe yang menggunakan kedelai impor, karena harganya lebih
murah dan kualitasnya tidak jauh berbeda dengan kedelai lokal. Data BPS (Badan
Pusat Statistik) 2011 menunjukkan Indonesia hanya mampu memenuhi 29 persen
dari jumlah kebutuhan kedelai dalam negeri dan sisanya 71 persen dipenuhi oleh
kedelai impor dengan jumlah impor kedelai sebesar 2.088.616 ton. Impor kedelai
terbesar Indonesia tahun 2011 berasal dari Amerika Serikat dan berjumlah
1.847.900 ton.3
Tingginya jumlah impor kedelai mengindikasikan
ketidakmampuan kedelai lokal dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri.
3 Masuk akal, Penetapan HET untuk Kedelai.
http://sains.kompas.com/read/2012/07/27/18000578/Masuk.Akal.Penetapan.HET.untuk.Kedelai.
Diakses pada tanggal 15 Desember 2012.
5
Semakin tingginya impor akan menyebabkan semakin menjauhnya target
swasembada kedelai.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1995 – 2010
Tahun Jumlah Penduduk (orang) Pertumbuhan Penduduk (%)
1995 194.754.808 8,57
2000 206.264.595 5,91
2005 219.205.000 6,27
2010 237.641.326 8,41 Sumber : BPS, 2012b
Kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia akan semakin bertambah, karena
jumlah penduduk Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Tabel 4, jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 237.641.326
orang dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8,41 persen. Semakin bertambahnya
jumlah penduduk berarti semakin tinggi pula jumlah barang yang diperlukan
untuk dikonsumsi, sehingga tingginya jumlah penduduk dan terus terjadinya
peningkatan jumlah penduduk pada setiap tahunnya akan menyebabkan terjadinya
peningkatan jumlah komoditas kedelai yang dibutuhkan untuk konsumsi.
Pemanfaatan komoditas kedelai sebagai konsumsi masyarakat di Indonesia
juga telah berkembang pesat. Komoditas kedelai tidak hanya lagi dimanfaatkan
untuk konsumsi langsung maupun konsumsi bagi para produsen tahu dan tempe
yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku utama. Di Indonesia telah banyak
berkembang industri-industri pengolahan makanan lain yang berbahan baku
kedelai, selain itu kedelai juga sudah mulai dimanfaatkan untuk kebutuhan pakan
ternak dan juga keperluan energi (biodiesel), sehingga untuk tahun-tahun
mendatang permintaan akan komoditas kedelai akan terus meningkat seiring
bertambahnya kebutuhan akan kedelai. Berdasarkan hal tersebut, jika Indonesia
tidak berupaya untuk meningkatkan produksi kedelainya, maka ketergantungan
impor kedelai akan terus berkepanjangan untuk memenuhi tingginya konsumsi
kedelai domestik.
Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya
sesungguhnya memiliki potensi dan peluang yang besar untuk mencapai
swasembada kedelai. Adanya varietas-varietas unggul kedelai seperti Anjasmoro,
Kaban, Sinabung, Argumuyo dan Grobogan yang juga merupakan varietas
6
populer yang ditanam petani akan memberikan prospek yang baik untuk
pencapaian swasembada, bahkan Anjasmoro dalam sistem pengelolaan tanaman
terpadu kedelai bisa panen dalam umur 85 - 90 hari, produksinya 1,80 - 2,20 ton
per ha, sedangkan di Amerika umur panen 160 - 170 hari dan produksinya 2,90
ton per ha4. Besarnya potensi yang ada memberikan peluang bagi produksi kedelai
domestik untuk didorong peningkatannya dan bukanlah hal yang tidak mungkin
bahwa swasembada kedelai akan dapat tercapai. Didukung dengan adanya
penetapan target swasembada pangan pada tahun 2014 oleh Kementerian
Pertanian Republik Indonesia menjadi pemicu untuk pelaksanaan segala upaya
yang dapat dilakukan untuk pencapaian target tersebut, selain itu diperlukan pula
strategi dan kebijakan-kebijakan pendukung program swasembada agar target
swasembada pangan 2014 secara efektif dapat terlaksana.
1.2 Perumusan Masalah
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian mencanangkan
program swasembada pangan pada tahun 2014. Salah satu yang menjadi target
swasembada adalah tanaman kedelai. Kedelai merupakan salah satu komoditas
yang strategis disamping beras dan jagung, namun pada perjalanannya menuju
target swasembada, kondisi produksi komoditas kedelai domestik memiliki
pertumbuhan yang rendah. Produksi kedelai terus mengalami penurunan pada
tahun 2010 - 2011. Pada tahun 2010, produksi kedelai mengalami penurunan
sebesar 6,92 persen atau sebesar 67.481 ton, sedangkan pada tahun 2011 produksi
kedelai mengalami penurunan sebesar 6,15 persen atau sebesar 55.745 ton (Tabel
3). Ramalan BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa produksi kedelai
2012 (ARAM II) diperkirakan sebesar 783,16 ribu ton biji kering, menurun
sebanyak 68,13 ribu ton (8,00 persen) dibandingkan 2011. Penurunan produksi
kedelai tahun 2012 tersebut diperkirakan terjadi di Jawa dan di luar Jawa masing-
masing sebesar 34,06 ribu ton dan 34,07 ribu ton (Departemen Pertanian, 2013).
Berbeda hal dengan keadaan konsumsi kedelai di Indonesia. Berdasarkan
data konsumsi pada Tabel 3, laju pertumbuhan konsumsi terus mengalami
4Varietas Lokal Sudah Sesuai untuk Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/1257/.
Diakses pada tanggal 14 Desember 2012
7
peningkatan selama periode tahun 2007 - 2011. Peningkatan konsumsi yang
diiringi penurunan produksi menyebabkan gap yang semakin besar antara
produksi dan konsumsi kedelai. Fluktuasi yang terjadi dalam produksi kedelai dan
mengalami penurunan pada tahun 2010 - 2011 menyebabkan kekurangan
persediaan kedelai dalam negeri. Kekurangan yang terjadi ditutupi dengan jalan
melakukan impor kedelai. Gap yang semakin besar memberikan dampak
peningkatan impor terhadap kedelai. Peningkatan ini menyebabkan pengeluaran
belanja negara semakin tinggi. Defisit belanja negara yang semakin besar
berdampak pada peningkatan hutang pemerintah untuk menutupi kekurangan
biaya. Kebijakan impor ini memberikan dampak yang negatif terhadap kondisi
negara Indonesia. Berdasarkan hal tersebut untuk mengevaluasi rencana strategis
pemerintah mengenai pencapaian swasembada kedelai tahun 2014, maka
dibutuhkan penelitian mengenai analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik
dalam rangka mencapai swasembada kedelai di Indonesia.
Tabel 5. Jumlah Produksi dan Konsumsi Kedelai di Indonesia 2007 - 2011
Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)
2007 592.534 1.613.033
2008 775.710 1.745.590
2009 974.512 2.045.775
2010 907.031 2.319.379
2011 851.286 2.583.061 Sumber : BPS, 2012c (diolah)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah dengan adanya
kesenjangan yang terjadi antara produksi dan konsumsi yang semakin melebar,
swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan
dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi hingga tahun 2014 yang
nantinya menghasilkan perkiraan target produksi yang harus dipenuhi agar
swasembada kedelai 2014 dapat tercapai. Hasil analisis tersebut diharapkan dapat
memberikan masukan mengenai strategi kebijakan yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai domestik dalam pencapaian
swasembada kedelai pada tahun 2014 di Indonesia sesuai target yang telah
dicanangkan Kementerian Pertanian.
8
Berdasarkan pemaparan diatas, maka perumusan masalah yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik?
2. Berapakah besarnya produksi dan konsumsi kedelai domestik tahun 2014
untuk melihat target pencapaian swasembada kedelai di Indonesia, serta
bagaimana strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian
swasembada tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi
mengenai proyeksi produksi dan konsumsi komoditas kedelai hingga tahun 2014,
sehingga hasil dari penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk
mengetahui seberapa besar peningkatan produksi yang harus diraih dan strategi
kebijakan apa yang harus dilakukan agar target swasembada kedelai dapat
tercapai. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu:
1. Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik.
2. Memproyeksikan produksi dan konsumsi kedelai domestik untuk melihat
target pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 di Indonesia, serta
menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian
swasembada tersebut.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap permasalahan yang dihadapi
dalam bidang pertanian khususnya pada komoditas kedelai di Indonesia.
Penelitian ini dimulai dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi
komoditas kedelai domestik di Indonesia hingga tahun 2014, lalu melakukan
proyeksi terhadap produksi dan konsumsi komoditas kedelai sehingga didapatkan
ramalan target produksi yang harus dipenuhi agar swasembada kedelai pada tahun
2014 dapat tercapai. Terakhir, dirumuskan langkah strategis kebijakan yang tepat
untuk dapat dipertimbangkan dalam rangka upaya pencapaian swasembada
kedelai di Indonesia. Keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya; data yang
digunakan adalah data tahunan sehingga model yang dirumuskan tidak
9
menggambarkan fluktuasi bulanan dan musiman. Komoditi kedelai dalam
penelitian ini adalah kedelai secara umum bukan kedelai dengan jenis dan kualitas
tertentu.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komoditas Kedelai di Indonesia
Kedelai di Indonesia sudah diketahui sejak zaman Kerajaan Denmark
melalui perdagangan orang-orang di Pesisir Pulau jawa dengan Pedagang Cina.
Sekitar tahun 1700, orang-orang Belanda mendirikan loji dagang di Jepara. Saat
itu pula, kedelai sudah menjadi tanaman pangan yang cukup popular di Indonesia.
Banyak dari orang-orang Belanda yang membawa kedelai ke negerinya, sehingga
akhirnya oleh Rum-phius, kedelai diberi nama latin Cadelium. Oleh para
taksonomi lainnya, kedelai diberi nama Soja max, Glycine max, dan Glycine soja.
Banyaknya nama alias tersebut membuktikan bahwa tanaman kedelai cukup
dikenal dan tersebar luas di dunia.
Hasil olahan makanan dari kedelai dapat berupa keripik, tahu, tempe, serta
minuman seperti bubuk dan susu kedelai. Kedelai mengandung protein 35 persen,
bahkan pada varietas unggul, kadar proteinnya dapat mencapai 40 - 43 persen.
Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan
segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi,
hampir menyamai kadar protein susu krim kering (Cahyadi, 2009).
Kedelai termasuk famili Leguminosae (kacang-kacangan). Klasifikasi
lengkapnya sebagai berikut (Cahyadi, 2009):
Species : Max
Genus : Glycine
Sub famili : Papilonideae
Famili : Leguminosae
Ordo : Polypetales
Jenis kedelai dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu kedelai kuning,
kedelai hijau, kedelai hitam, dan kedelai coklat. Bentuk biji kedelai bergantung
pada kulivarnya, dapat berbentuk bulat, gepeng, dan sebagian besar bulat telur,
sedangkan vesar dan bobotnya dibedakan menjadi tiga, yakni :
1. Kedelai berbiji besar, apabila bobot 100 biji lebih dari 13 gram.
2. Kedelai berbiji sedang, apabila bobot 100 biji antara 11 – 13 gram.
3. Kedelai berbiji kecil, apabila bobot 100 biji antara 7 – 11 gram.
11
Indonesia merupakan negara beriklim tropis, sehingga sangat cocok bagi
pertumbuhan tanaman kedelai karena kedelai membutuhkan udara yang cukup
panas. Adapun beberapa persyaratan tumbuh yang diperlukan oleh tanaman
kedelai adalah sebagai berikut (Suprapti, 2005):
1. Tempat Tumbuh
Kedelai dapat tumbuh dengan baik di daerah bersuhu panas dengan
ketinggian maksimal 500 meter di atas permukaan laut.
2. Iklim
Tanaman kedelai memerlukan kondisi yang seimbang antara suhu udara
dengan kelembapan (yang dipengaruhi oleh curah hujan). Pada umumnya,
tanaman kedelai memerlukan kondisi dengan suhu udara yang tinggi dan
curah hujan (kelembapan) yang rendah. Sementara, apabila suhu udara
rendah dengan curah hujan (kelembapan) yang berlebihan akan
menyebabkan penurunan kualitas kedelai yang dihasilkan.
3. Tanah
Tempat tumbuh tanaman kedelai memerlukan tanah alluvial, regosol,
grumosol, latosol, dan andosol. Berdasarkan praktik di lapangan, sering
menggunakan pedoman sebagai berikut: apabila tanaman jagung dapat
tumbuh dengan baik pada suatu jenis tanah maka jenis tanah tersebut juga
cocok bagi pertumbuhan tanaman kedelai. Persyaratan tanah yang
diperlukan oleh tanaman kedelai agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal
adalah tanah yang subur dan gembur; kaya humus atau bahan organik; dan
pH (derajat keasaman) antara 5,8 – 7,0.
Tanah berpasir juga dapat ditanami kedelai apabila air dan unsure hara
memadai. Sementara, apabila tanah yang akan ditanami kedelai adalah tanah
liat perlu dilakukan perbaikan sistem drainase agar pada saat hujan, tanaman
tidak tergenang air dan tidak kekurangan oksigen.
4. Penanaman
Pertumbuhan optimal tanaman kedelai dapat dicapai pada bulan-bulan
kering, yaitu pada saat tanah cukup lembap dan suhu udara lebih dari 210C.
pada saat ini, pertumbuhan biji dapat terjadi secara lebih cepat. Waktu
12
penanaman kedelai yang tepat pada beberapa daerah dengan kondisi yang
berbeda, akan berbeda pula.
Salah satu faktor pembatas produksi kedelai di daerah tropis adalah
cepatnya kemunduran benih selama penyimpanan hingga mengurangi penyediaan
benih berkualitas tinggi. Pengadaan benih kedelai dalam jumlah yang memadai
dan tepat pada waktunya sering menjadi kendala karena daya simpan yang rendah.
Sementara itu, pengadaan benih bermutu tinggi merupakan unsur penting dalam
upaya peningkatan produksi tanaman. Pengadaan benih sering dilakukan beberapa
waktu sebelum musim tanam, sehingga benih harus disimpan dengan baik agar
mempunyai daya tumbuh yang tinggi saat ditanam kembali (Purwanti, 2004).
Tercapainya tingkat produksi kedelai merupakan hasil keterpaduan
partisipasi petani dalam penanaman, penerapan teknologi budi daya, kerja sama
dalam kelompok yang ditunjang oleh kelancaran pelayanan dan penyuluhan.
Pemerintah mengharapkan petani melakukan intensifikasi dalam penanaman
kedelai. Menanam kedelai dengan teknologi budi daya anjuran menunjukkan
partisipasi petani dalam pengembangan kedelai. Keberhasilan intensifikasi kedelai
bertitik tolak dari tiga anggapan dasar, yaitu: 1) perlu upaya yang lebih baik untuk
mengikutsertakan petani dalam pengembangan produksi kedelai, 2) petani banyak
yang meninggalkan usaha tani kedelai karena berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal, dan 3) petani dengan bantuan pemerintah dan pihak terkait
lainnya akan memainkan peranan penting dalam pengembangan kedelai (Supadi,
2008).
2.2 Produksi dan Konsumsi
Menurut Rahim et al (2007), Produksi dapat dinyatakan sebagai perangkat
prosedur kegiatan yang terjadi dalam penciptaan komoditas berupa kegiatan usaha
tani maupun usaha lainnya (penangkapan dan berternak). Sebelum dilakukan
proses produksi di lahan pertanian, terlebih dahulu dilakukan proses pengadaan
saprodi (sarana produksi) pertanian berupa industri agro-kimia (pupuk dan
pestisida), industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian), dan industri
pembenihan dan pembibitan. Faktor-faktor produksi yang dapat digunakan untuk
proses produksi diantaranya; lahan, tenaga kerja, modal, pupuk, pestisida dan
13
teknologi. Proses produksi itu sendiri atau yang dikenal dengan budidaya tanaman
atau komoditas pertanian merupakan proses usaha bercocok tanam atau budidaya
di lahan untuk menghasilkan bahan segar. Bahan segar tersebut dijadikan bahan
baku untuk menghasilkan bahan setengah jadi (work in process) atau barang jadi
(finished product) di industri-industri pertanian atau dikenal dengan nama
agroindustri (agrifood industry).
Konsumsi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Salah satu tingkah laku yang
diperankan oleh seorang individu dalam suatu sistem ekonomi adalah individu
sebagai konsumen. Konsumen merupakan individu yang mengonsumsi barang
dan jasa. Seseorang mengonsumsi berbagai macam barang dan jasa untuk
memperoleh kepuasan (Nicholson, 1995).
Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan
sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan bahwa konsumen memahami
kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumber
daya dan kebutuhan masa depan mereka, yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi
yang lebih kompleks dibanding fungsi konsumsi yang keynes berikan. Keynes
menyatakan bentuk fungsi konsumsi:
Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang),
Sedangkan studi terbaru menyatakan:
Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan
yang diduga, tingkat bunga),
dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan
dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).
2.3 Swasembada Pangan
Pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan
tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90
persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah
tangga, industri maupun neraca perdagangan nasional. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka yang dimaksud dengan swasembada pangan adalah produksi
14
pangan dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Tujuan
swasembada pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan nasional secara
keseluruhan, baik untuk konsumsi langsung maupun industri; mendayagunakan
sumberdaya atau aset secara optimal berdasarkan prinsip keunggulan kompetitif
wilayah dan efisiensi secara nasional; meningkatkan kesejahteraan petani atau
produsen dan stakeholder lainnya; memperluas kesempatan kerja dan peluang
berusaha dikawasan pedesaan, sehingga secara nyata berdampak positif terhadap
pemberantasan kemiskinan5.
Konsep swasembada pangan sering kali diidentikkan dengan konsep
ketahanan pangan (Hanani, 2009). Menurut FAO (1997) dalam (Hanani, 2009),
ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai
akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua
akses tersebut. Perbedaan swasembada pangan dengan ketahanan pangan dapat
dilihat pada Tabel 6. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian
peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional,
sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk
memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif.
Tabel 6. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
Lingkup Nasional Rumah Tangga dan Individu
Sasaran Komoditas Pangan Manusia
Strategi Substitusi Impor Peningkatan ketersediaan pangan,
akses pangan, dan penyerapan pangan
Output Peningkatan Produksi Pangan Status gizi (penurunan : kelaparan,
gizi kurang dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan Pangan oleh Produksi
Domestik
Manusia sehat dan produktif (angka
harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani, 2009
2.4 Metode Peramalan
Metode peramalan adalah cara memperkirakan secara kuantitatif apa yang
akan terjadi pada masa depan berdasarkan data yang relevan pada masa lalu
5Untuk Mewujudkan Swasembada Gula Pemerintah akan Melakukan Revitalisasi Pabrik Gula.
http://ditjenbun.deptan.go.id/berita-202-untuk-mewujudkan-swasembada-gula-pemerintah-akan-
melakukan-revitalisasi-pabrik-gula.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2013
15
(Assauri, 1984). Model peramalan secara umum dapat dikemukakan sebagai
persamaan Yt = pola + error, sehingga data dapat dibedakan menjadi komponen
yang dapat diidentifikasi (pola) dan yang tidak dapat diidentifikasi (error)
(Aritongan, 2009). Peramalan diperlukan karena adanya perbedaan waktu antara
kesadaran akan dibutuhkannya suatu kebijakan baru dengan waktu pelaksanaan
kebijakan tersebut. Setiap kebijakan ekonomi maupun kebijakan perusahaan tidak
akan terlepas dari usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau
meningkatkan keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya pada masa
yang akan datang dimana kebijakan tersebut dilaksanakan, oleh karena itu perlu
dilihat dan dikaji situasi dan kondisi pada saat kebijakan tersebut dilaksanakan.
Usaha untuk melihat dan mengkaji situasi dan kondisi tersebut tidak terlepas dari
kegiatan peramalan.
Metode peramalan sangat berguna untuk dapat memperkirakan secara
sistematis dan pragmatis atas dasar data yang relevan pada masa lalu, dengan
demikian metode peramalan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar.
Metode peramalan juga memberikan urutan pengerjaan dan pemecahan atas
pendekatan suatu masalah dalam peramalan, bila digunakan pendekatan yang
sama atas permasalahan dalam suatu kegiatan peramalan, maka akan didapat dasar
pemikiran dan pemecahan yang sama, karena argumetasinya sama. Tingkat
keberhasilan dari suatu peramalan sangat ditentukan oleh: 1. pengetahuan teknik
tentang informasi yang lalu yang dibutuhkan, informasi ini bersifat kuantitatif. 2.
teknik dan metode peramalan, sehingga baik tidaknya suatu peramalan yang
disusun, disamping ditentukan oleh metode yang digunakan, juga ditentukan oleh
baik tidaknya informasi kuantitatif yang dipergunakan.
Kualitas dan mutu dari hasil peramalan yang disusun, sangat ditentukan oleh
proses pelaksanaan penyusunannya. Peramalan yang baik adalah peramalan yang
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah atau prosedur penyusunan yang
baik. Pada dasarnya ada tiga langkah peramalan yang penting, yaitu:
1. Menganalisa data yang lalu, tahap ini berguna untuk pola yang terjadi pada
masa lalu. Analisa ini dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data
yang lalu, dengan tabulasi data, maka dapat diketahui pola dari data
tersebut.
16
2. Menentukan metode yang dipergunakan. Masing-masing metode akan
memberikan hasil peramalan yang berbeda. Metode peramalan yang baik
adalah metode yang menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan
dengan nilai kenyataan yang sekecil mungkin.
3. Memproyeksikan data yang lalu dengan menggunakan metode yang
dipergunakan, dan mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan.
Faktor-faktor perubahan tersebut antara lain terdiri dari perubahan
kebijakan-kebijakan yang mungkin terjadi, termasuk perubahan kebijakan
pemerintah, perkembangan potensi masyarakat, perkembangan teknologi,
dan penemuan-penemuan baru, dan perbedaan antara hasil ramalan yang ada
dengan kenyataan, dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka akan
dapat ditentukan hasil ramalan yang terakhir. Hasil inilah yang
dipergunakan sebagai dasar untuk perencanaan dan pengambilan keputusan.
Peramalan dibedakan atas peramalan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini
lebih menekankan pada peramalan kuantitatif, karena didasarkan atas data
kuantitatif pada masa lalu. Pada dasarnya metode peramalan kuantitatif ini dapat
dibedakan atas:
1. Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan
antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu yang
merupakan deret waktu atau time series.
2. Metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan
antara variable yang akan diperkirakan dengan variable lain yang
mempengaruhinya, yang bukan waktu, yang disebut metode korelasi atau
sebab akibat (causal methods).
Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan
antara variable yang akan diperkirakan dengan variable waktu, atau analisa deret
waktu terdiri dari:
1. Metode Smoothing yang mencakup metode data lewat (past data), metode
rata-rata kumulatif, metode rata-rata bergerak (moving averages) dan
metode exponential smoothing. Metode ini digunakan untuk mengurangi
ketidakteraturan musiman dari data yang lalu maupun kedua-duanya,
dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu.
17
Biasanya metode ini digunakan untuk perencanaan dan pengendalian
produksi dan persediaan, perencanaan keuntungan, dan perencanaan
keuntungan, dan perencanaan keuangan lainnya.
2. Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) menggunakan
dasar deret waktu dengan model matematis, agar kesalahan yang terjadi
dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu, penggunaan metode ini
membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini
dipergunakan untuk peramalan dalam perencanaan dan pengendalian
produksi, dan persediaan serta perencanaan anggaran.
3. Metode dengan proyeksi trend dengan regresi, merupakan dasar garis trend
untuk suatu persamaan matematis, sehingga dengan dasar persamaan
tersebut dapat diproyeksikan hal yang diteliti untuk masa depan. Metode ini
selalu digunakan untuk peramalan bagi penyusunan rencana penanaman
tanaman baru, perencanaan produk baru, rencana ekspansi, rencana
investasi, dan rencana pembangunan suatu negara dan daerah.
Metode-metode peramalan dengan menggunakan analisa pola hubungan
antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhi, yang
bukan waktu, atau dikenal dengan metode sebab akibat (causal methods) atau
korelasi, terdiri dari:
1. Metode regresi dan korelasi didasarkan pada penetapan suatu persamaan
estimasi menggunakan teknik least square. Hubungan yang ada pertama-
tama dianalisis secara statistic. Metode ini banyak digunakan untuk
peramalan penjualan, perencanaan keuntungan, peramalan permintaan, dan
peramalan keadaan ekonomi.
2. Metode ekonometrik didasarkan atas peramalan pada sistem persamaan
regresi yang diestimasikan secara simultan. Metode peramalan ini selalu
digunakan untuk peramalan penjualan menurut kelas produk, atau
peramalan keadaan ekonomi masyarakat, seperti permintaan, harga, dan
penawaran.
3. Metode input-output dipergunakan untuk menyusun proyeksi trend ekonomi
jangka panjang. Model ini banyak digunakan untuk peramalan penjualan
18
perusahaan, penjualan sektor industri dan subsektor industri, produksi dari
sektor industri dan subsektor industri (Assauri, 1984).
2.5 Penelitian Terdahulu
Mursidah (2005) melakukan penelitian mengenai perkembangan produksi
kedelai nasional dan upaya pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut deret
waktu (time series). Penelitian dilakukan dengan mengadakan studi pustaka dan
analisis deskriptif untuk menggambarkan perkembangan impor kedelai, produksi,
potensi dan harga kedelai Indonesia dan pengembangan kedelai di Propinsi
Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ketergantungan Indonesia
terhadap impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun, 2. Produksi kedelai
dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri, padahal potensi
pengembangannya di dalam negeri sangat bagus. Berbagai upaya terus dilakukan
pemerintah dalam rangka memenuhi swasembada kedelai, 3. Kegiatan
pengembangan usaha tani kedelai di Kalimantan Timur masih sangat rendah.
Padahal hasil per hektar kedelai di Kalimantan Timur masih jauh lebih bagus
daripada hasil per hektar dalam negeri secara umum.
Maretha (2008) melakukan penelitian mengenai peramalan produksi dan
konsumsi kedelai nasional serta implikasinya terhadap strategi pencapaian
swasembada kedelai nasional. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini
adalah terjadi kesenjangan sangat lebar antara konsumsi kedelai dengan produksi
kedelai yang berasal dari produksi dalam negeri. Konsumsi kedelai sebesar
1.832.027 ton terjadi pada tahun 2002, sedangkan produksi kedelai sebesar
673.000 ton terjadi pada tahun 2002, sehingga terjadi defisit yang cukup besar
yaitu 1.159.027 ton. Berdasarkan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi pola data historis dan peramalan produksi dan konsumsi
kedelai nasional sampai tahun 2015, 2. Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
internal dan eksternal yang penting untuk dipertimbangkan, 3. Merumuskan
alternatif strategi agribisnis kedelai dan identifikasi berdasarkan skala prioritas
untuk pencapaian swasembada kedelai nasional. Metode yang digunakan adalah
metode peramalan ARIMA, Analisis Regresi Berganda, dan Matriks SWOT dan
19
QSPM. Hasil ramalan produksi dan konsumsi dengan mengunakan ARIMA
menunjukan nilai sebesar masing-masing 775.437 ton dan 2.080.272 ton. Hal ini
menunjukan belum tercapainya swasembada kedelai pada tahun 2015. Dibuat
skenario pencapaian swasembada kedelai tahun 2015 dengan menggunakan
Analisis Regresi. Berdasarkan Skenario diperoleh nilai prediksi Produksi pada
tahun 2015 sebesar 2.673.225 ton sedangkan hasil prediksi konsumsi ARIMA
sebesar 2.080.272 ton dan hasil prediksi konsumsi Departemen Pertanian sebesar
2.341.594 ton. Hal ini menunjukan bahwa sudah tercapainya swasembada kedelai
tahun 2015. Strategi alternatif terpilih dengan matriks SWOT dan QSPM, yaitu
sebagai berikut: Strategi alternatif terpilih yang pertama: memberlakukan tarif
impor kedelai sebesar lebih dari 20 persen serta mengawasi sistem perdagangan
kedelai terhadap penyelundupan produk-produk ilegal kedelai serta mengasi
pintu-pintu masuk penyelundupan barang dari luar negeri. Strategi alternatif
terpilih yang kedua : mengatur alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian
dan pengembangan perkedelaian, peningkatan kerjasama kemitraan antar lembaga
penelitian, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Strategi alternatif terpilih
yang ketiga : meningkatkan pengembangan dan penyajian benih, bibit unggul dan
alsintan, serta peningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknlogi
budidaya dan peningkatan efisien penaganan pasca panen dan pengolahan.
Strategi alternatif terpilih yang keempat: meningkatkan mutu atau kualitas kedelai
nasional, serta meningkatkan keamanan dan higienitas kedelai yang dikonsumsi
masyarakat.
Aji (2008) melakukan penelitian mengenai Peramalan Produksi dan
Konsumsi Ubi Jalar Nasional dalam rangka Rencana Program Diversifikasi
Pangan Pokok. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini bahwa ubi jalar
sangat prospektif untuk dijadikan pangan lokal alternatif, namun dalam segi
produksi dan konsumsi ubi jalar mempunyai kecenderungan pola tren yang
menurun, sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ramalan jumlah
produksi dan konsumsi ubi jalar nasional di masa depan, menganalisis faktor-
faktor apa yang berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi dan konsumsi ubi
jalar nasional serta menganalisis implikasi faktor-faktor yang berpengaruh dengan
hasil ramalan produksi dan konsumsi ubi jalar terhadap rencana program
20
diversifikasi pangan pokok. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berbagai metode peramalan Time Series serta metode peramalan Kausal dengan
analisis Regresi Berganda. Peramalan sampai 10 tahun kedepan (tahun 2016)
menunjukkan bahwa produksi (1.671.280 ton) dan konsumsi (1.653.014 ton) ubi
jalar tidak bisa memenuhi target yang diharapkan. Skenario peningkatan produksi
ubi jalar dengan analisis regresi berganda, agar mencapai target dilakukan dengan
meningkatkan luas tanam ubi jalar sebesar 264.617,596 ha. Peningkatan luas
tanam ubi dilakukan dengan melakukan konversi lahan padi ke lahan ubi sebesar 2
persen. Alternatif strategi yang bisa dilakukan antara lain pendekatan kewilayahan
terpadu (sub terminal agribisnis) dengan konsep pengembangan agribisnis, lahan
sawah yang kurang produktif dialihkan ke usaha budidaya ubi jalar, serta
pemberdayaan lahan pasang surut sebagai lahan tambahan untuk menanam padi
sehingga luas lahan padi untuk konversi lahan padi ke lahan ubi tidak berkurang.
melakukan rekayasa sosial terhadap pola konsumsi masyarakat melalui kerjasama
dengan industri pangan; diversifikasi produk ubi jalar dengan pendirian industri
tepung dan pasta ubi jalar; promosi, kampanye dan sosialisasi tentang manfaat ubi
jalar secara komprehensif dan kontinyu; pemberian insentif untuk konsumsi
pangan nonberas serta penghargaan ketahanan pangan bagi para masyarakat.
Sari (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Daya saing dan
Strategi Pengembangan Kedelai Lokal di Indonesia. Permasalahan yang
melatarbelakangi penelitian ini bahwa Tingginya permintaan kedelai di dalam
negeri tidak diikuti dengan produksi kedelai lokal yang hingga kini belum mampu
memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, sehingga impor terus dilakukan.
Derasnya impor kedelai dengan harga murah membuat pasar kedelai di dalam
negeri didominasi oleh kedelai impor. Hal ini yang membuat petani kedelai lokal
semakin terhimpit sehingga gairah petani untuk menanam kedelai semakin
berkurang, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah 1. menelaah sistem agribisnis
kedelai lokal di Indonesia, 2. menganalisis daya saing agribisnis kedelai lokal
Indonesia, 3. merumuskan strategi pengembangan dan arsitektur strategik
agribisnis kedelai lokal di Indonesia. Alat analisis yang digunakan untuk
mengetahui daya saing adalah Porter’s Diamond Theory, sedangkan untuk
merumuskan strategi maka digunakan alat analisis SWOT dan arsitektur strategik.
21
Hasil analisi berdasarkan Porter’s Diamond Analyse diperoleh bahwa daya saing
komoditas kedelai Indonesia lemah. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh
sepuluh alternatif strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia: 1. Peningkatan produksi kedelai lokal, 2.
Pengembangan industri pengolahan berbasis kedelai lokal 3. Penguatan
Kelembagaan 4. Membentuk kerjasama dengan lembaga permodalan non bank 5.
Mengatur ketersediaan benih dan pupuk pada sentra produksi kedelai 6.
Meningkatkan peran kelompok tani dalam mendukung pengembangan agribisnis
kedelai lokal di Indonesia, 7. Melakukan sosialisasi dan promosi agribisnis kedelai
lokal, 8. Melakukan bimbingan dan pembinaan petani kedelai lokal, 9.
Pembatasan volume impor 10. Membentuk Lembaga Stabilitas Harga kedelai.
Dari sepuluh strategi tersebut dihasilkan program-program untuk mencapai
sasaran tersebut dengan menghadapi tantangan yang ada selama pelaksanaan
program. Program-program tersebut dilakukan secara bertahap dan rutin yang
dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi.
2.6 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Data yang digunakan dalam penelitian ini lebih terbaru, yaitu data tahun
1981 hingga tahun 2011. Tujuan dalam penelitian ini didasarkan pada Rencana
Strategis Kementerian Pertanian untuk Swasembada Pangan Tahun 2014. Analisis
perkembangan produksi dan konsumsi kedelai domestik, tidak hanya
dideskripsikan namun juga menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya penurunan ataupun peningkatan dalam produksi dan konsumsi kedelai.
Peramalan swasembada kedelai tahun 2014 tidak hanya sebatas meramalkan,
namun juga menganalisis implikasi kebijakan yang digunakan untuk pencapaian
swasembada kedelai. Rekomendasi yang diberikan berisikan pula rekomendasi
teknis dalam menjalankan peranan pemerintah daerah.
22
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai
acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain konsep analisis statistika deskriptif dan metode
Box Jenkins (ARIMA).
3.1.1 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan
informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji
hipotesis dan kemudian menarik inferensi yang digeneralisasikan untuk data yang
lebih besar atau populasi. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk
menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif dan
disertai perhitungan-perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas
keadaan dan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009).
Statistik deskriptif juga mencakup perhitungan-perhitungan sederhana yang
biasa disebut sebagai statistik dasar, yang antara lain meliputi perhitungan
frekuensi, frekuensi kumulatif, persentase, persentase kumulatif, tingkat persentil,
skor tertinggi dan terendah, rata-rata hitung, simpangan baku, pembuatan tabel
silang, lain-lain. Berbagai perhitungan statistik dasar tersebut berfungsi lebih
memperlengkap informasi dan atau pemerian tentang keadaan suatu data yang
ditampilkan (Nurgiantoro et al, 2009). Nilai-nilai data yang terdeskripsikan dalam
bentuk daftar, tabel, diagram, atau grafik, serta rekaman-rekaman lainnya,
maknanya akan sangat bervariasi, tergantung tingkat pemahaman dan
pemanfaatan informasi (Siregar, 2004). Perhitungan-perhitungan statistik dasar
yang mana dilakukan pada umumnya tergantung pada kebutuhan dan tujuan
dilakukannya penelitian atau pihak pengguna (Nurgiantoro et al, 2009).
3.1.2 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive
Intergrated Moving Average)
Metode peramalan Box Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat untuk
menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan lainnya.
23
Kerumitan yang terjadi karena terdapatnya variasi dari pola data yang ada,
sehingga diperlukan pendekatan untuk meramalkan data dengan pola rumit
tersebut dengan menggunakan beberapa aturan yang relatif baik, disamping itu
metode ini juga dapat dipergunakan untuk meramalkan data historis dengan
kondisi yang sulit dimengerti pengaruhnya terhadap data secara teknis. Alasan
dikembangkannya metode ini, karena metode yang ada selalu mengasumsikan
atau dibatasi hanya untuk macam-macam pola tertentu dari data. Metode Box
Jenkins tidak dibutuhkan adanya asumsi tentang suatu pola yang tetap.
Pendekatan Box Jenkins dimulai dengan mengadakan asumsi adanya pola
percobaan atau tentatif yang disesuaikan dengan data historis, sehingga kesalahan
dapat diminimalisasikan.
Pendekatan Box Jenkins ini memberikan informasi secara eksplisit untuk
memungkinkan peneliti memikirkan atau memutuskan apakah pola yang secara
tentatif diasumsikan tersebut adalah tepat atau benar untuk keadaan atau situasi
yang telah terjadi. Jika hal ini telah dilakukan, maka peramalan dapat langsung
disusun dan jika tidak sesuai pola yang diasumsikan, maka pendekatan Box
Jenkins akan memberikan lebih jauh tanda-tanda untuk mengidentifikasi pola
yang benar. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa pendekatan ini
sesungguhnya merupakan pendekatan yang sangat tepat secara statistik. George
Box dan Gwilyn Jenkins telah mengembangkan suatu diagram skema untuk dapat
menggambarkan pendekatan ini bagi penyusunan ramalan. Diagram tersebut dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pendekatan ini membagi masalah peramalan dalam tiga tahap yang
didasarkan pada postulasi atas kelas yang umum dari model-model peramalan.
Tahap pertama, suatu model tertentu dapat dimasukkan secara tentatif sebagai
suatu metode peramalan yang sangat cocok untuk keadaan yang diidentifikasi.
Tahap kedua, mencocokkan model tersebut untuk data historis yang tersedia dan
melakukan suatu pengecekan untuk menentukan apakah model tersebut sudah
cukup tepat. Jika tidak tepat, maka pendekatan ini kembali lagike tahap pertama
dan suatu model alternatif diidentifikasikan. Bila suatu model sudah cukup tepat,
kemudian diisolasikan dan tahap ketiga dilakukan penyusunan ramalan untuk
beberapa periode yang akan datang.
24
Gambar 1. Metode Peramalan Box Jenkins
Pada dasarnya ada dua model dari metode Box Jenkins, yaitu model-model
linear untuk deret yang statis (stationary series) yang disebut dengan model
ARMA (autoregressive-moving average) dan model-model linear untuk deret
yang tidak statis (nonstatsionary series) yang disebut dengan model ARIMA
(autoregressive integrated moving average). Model ARIMA telah terbukti
menjadi model peramalan jangka pendek terbaik untuk macam-macam deret
waktu. Dalam banyak pengkajian, peramalan dengan model ARIMA sering
mempunyai kemampuan pengerjaan atau penggunaan yang lebih luas dan lebih
rumit dari sistem ekonometri untuk sejumlah deret ekonometri. Dalam model
ARIMA, hasil yang terbaik dapat dicapai bila digunakan sekurang-kurangnya data
5 sampai dengan 10 tahun, sehingga dapat ditunjukkan dengan tepat adanya deret
data dengan pengaruh musim yang kuat.
Keuntungan nyata dari model-model ARIMA adalah bahwa ramalan-
ramalan yang dilakukan dapat dikembangkan untuk periode-periode yang sangat
pendek. Lebih banyak waktu yang dipergunakan untuk memperoleh atau
mendapatkan data yang berlaku, daripada waktu untuk penyusunan modelnya.
Postulasi suatu kelas yang umumdari
model-model
Identifikasi model yang dapat
dimasukkan secara tentatif.
Pengestimasian parameter dalam model
yang dimasukkan secara tentatif.
Pengecekan diagnostik: metode itu cukup
tepat
Menggunakan model-model untuk
peramalan.
Tidak
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
25
Oleh karena itu, dalam praktek, model ARIMA sering dipergunakan (Assauri,
1984).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau
dengan jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 230 juta jiwa.
Tingginya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan konsumsi pangan untuk
negara ini juga tinggi, namun tingginya konsumsi pangan di Indonesia, belum
mampu ditutupi oleh jumlah produksi pangan dalam negeri. Ketimpangan antara
produksi dan konsumsi pangan ini sudah menjadi salah satu masalah dalam
banyak negara berkembang, dan salah satunya di Indonesia. Permasalahan dalam
penyediaan pangan merupakan masalah yang tidak bisa dikesampingkan, karena
pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi bagi kesehatan
masyarakat, sehingga permasalahan pangan menjadi persoalan yang
membutuhkan perhatian khusus. Persoalan ini terjadi salah satunya pada tanaman
pangan, yaitu komoditas kedelai. Fluktuasi yang terjadi pada pertumbuhan
produksi kedelai dalam negeri, dan terus meningkatnya konsumsi kedelai menjadi
masalah yang harus dapat dipecahkan agar kebutuhan kedelai domestik untuk
masyarakat dapat terpenuhi. Menurut Supadi (2008) menyatakan bahwa beberapa
penyebab penurunan produksi kedelai, antara lain: kebijakan perdagangan yang
terlalu liberal dan tidak berpihak kepada petani, serta dicabutnya wewenang Bulog
sebagai lembaga stabilisasi harga pangan menjadi penyebab rontoknya benteng
ketahanan pangan nasional. Rontoknya sektor pangan Indonesia merupakan
dampak dari Letter of Intent (LOI) dengan IMF (International Monetary Fund)
pada Januari 1998, yang antara lain mencakup: 1. dihapuskannya tarif impor
pangan menjadi 0%, 2. dicabutnya monopoli impor Bulog, 3. dikuranginya peran
Bulog, dan 4. pelarangan pemberian kredit likuiditas bagi Bulog, disamping itu
lemahnya sistem manajemen dalam usahatani kedelai pada petani-petani lokal
juga merupakan penyebab dalam rendahnya produksi kedelai dalam negeri. Hal
ini berkaitan dengan sistem informasi, penggunaan teknologi, teknik budidaya,
dan teknik pasca panen (Zakiah, 2012)
26
Melihat dari persoalan yang ada, Pemerintah sudah memiliki rencana dalam
usaha peningkatan produksi pangan, khususnya kedelai. Pemerintah melalui
Kementerian Pertanian menargetkan swasembada kedelai dalam rancangan
rencana strategis Kementerian Pertanian tahun 2010 - 2014. Berdasarkan target
tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada
pemerintah ataupun khayalak umum dalam mendapatkan informasi mengenai
kondisi komoditas kedelai di Indonesia, selanjutnya dapat dijadikan referensi
untuk pemerintah dalam pelaksanaan upaya peningkatan produksi kedelai untuk
ke depannya. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai dideskripsikan
dengan menggunakan konsep analisis statistika deskriptif.
Langkah berikutnya, dibutuhkan pula peramalan produksi dan konsumsi
sebagai input dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemerintah untuk
membentuk suatu kebijakan yang sesuai nantinya sebagai dasar upaya
pelaksanaan pencapaian target swasembada kedelai. Peramalan produksi dan
konsumsi kedelai digunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving
Average) dengan membangun suatu model peramalan ARIMA. Peramalan ini
dilakukan guna untuk memproyeksikan keadaan produksi dan kondisi komoditas
kedelai hingga tahun 2014. Peramalan ini dilakukan untuk menjawab apakah pada
tahun tersebut Indonesia dapat berswasembada kedelai seperti yang telah
ditargetkan oleh pemerintah. Jika hasil ramalan menunjukkan konsumsi lebih
besar daripada produksi, maka swasembada kedelai masih belum dapat tercapai.
Apabila hasil ramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar
daripada konsumsi, maka swasembada kedelai dapat tercapai.
Tahap selanjutnya, mengimplementasikan hasil peramalan untuk
pengupayaan swasembada kedelai sampai 2014. Jika hasil peramalan yang
didapatkan adalah berhasil mencapai swasembada kedelai, maka pemerintah
melanjutkan kebijakan yang sudah ada secara berkelanjutan, dan apabila hasil
peramalan adalah belum dapat mencapai swasembada kedelai, maka dilakukan
perumusan strategi kebijakan dan mengidentifikasi implikasinya. Strategi
kebijakan tentunya sesuai dengan batas kemampuan dan potensi yang ada di
dalam negeri. Kebijakan tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan pemerintah untuk membentuk suatu kebijakan sebagai langkah
27
upaya pencapaian swasembada kedelai sesuai target yang dicanangkan pemerintah
melalui Kementerian Pertanian. Adapun alur kerangka pemikiran operasional
dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Alur Pemikiran Operasional
Penurunan Produksi
Kedelai Domestik
Peningkatan Konsumsi
Kedelai Domestik
Pemenuhan Kekurangan Pasokan
Kedelai dalam Negeri Melalui Impor
kedelai.
Target Pemerintah Swasembada
Kedelai Tahun 2014
Dibutuhkan Peramalan Apakah Swasembada
Kedelai Dapat Dicapai atau Tidak
Identifikasi Perkembangan
Komoditas Kedelai : Analisis
Statistik Deskriptif
Peramalan Produksi dan Konsumsi
Kedelai hingga Tahun 2014 :
Metode ARIMA
Hasil Ramalan :
Swasembada Tercapai
tercapai.
Hasil Ramalan :
Swasembada Tidak Tercapai
tercapai.
Strategi yang Dapat Dilakukan untuk
Upaya Pencapaian Swasembada
Pangan
Melanjutkan Kebijakan
yang Sudah Berjalan
Rekomendasi Kebijakan
28
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini mengkaji kondisi produksi dan konsumsi komoditas kedelai
domestik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data yang digunakan meliputi data luas areal panen kedelai, produktivitas kedelai,
produksi kedelai, konsumsi kedelai, jumlah impor kedelai, dan jumlah penduduk
Indonesia. Data-data ini didapatkan dari Badan Pusat Statistik, buku ataupun
artikel yang terkait dengan penelitian ini dan media lain seperti internet. Data
yang terkumpul berupa data time series dengan periode waktu, yaitu tahun 1981 –
2011.
4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software Eviews 6 dan Minitab version 14 untuk memproyeksikan data produksi
dan konsumsi kedelai domestik secara nasional. Model peramalan yang digunakan
adalah metode ARIMA. Proyeksi dan analisis data dilakukan pada periode tahun
2013 – 2014.
4.2.1 Metode Analisis Statistik Deskriptif
Metode analisis statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan dan
menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif, disertai dengan
perhitungan sederhana untuk memperjelas keadaan atau karakteristik data yang
bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009). Metode ini digunakan untuk menganalisis
perkembangan kedelai domestik dan strategi kebijakan dan implikasinya dalam
upaya pencapaian swasembada kedelai tahun 2014. Pada perkembangan kedelai
domestik akan dijelaskan penyebab rendahnya produksi kedelai dan tingginya
konsumsi kedelai berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Strategi
kebijakan dan implikasinya akan dijelaskan mengenai proyeksi kebutuhan akan
peningkatan luas areal tanam dan produktivitas kedelai berdasarkan hasil
peramalan produksi dan konsumsi kedelai domestik dan menjelaskan kebijakan
yang diperlukan untuk pencapaian swasembada.
29
4.2.2 Metode ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average)
Metode ARIMA digunakan untuk memproyeksikan produksi dan konsumsi
kedelai domestik hingga tahun 2014. Hasil proyeksi nantinya akan dianalisis
dengan membandingkan hasil tersebut dengan hasil perhitungan sederhana dari
beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan produksi dan konsumsi kedelai
domestik seperti konversi lahan, OPT (Organisme Penggangu Tanaman) utama,
jumlah penduduk, dan permintaan industri terbesar pengguna kedelai. Analisis ini
digunakan untuk mempermudah dalam memperkirakan penyebab penurunan
ataupun peningkatan produksi dan konsumsi kedelai domestik dari hasil proyeksi
ARIMA tersebut.
Metode ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data
sekarang untuk menghasilkan peramalan yang akurat. Metode ARIMA berbeda
dari metode peramalan lain karena metode ini tidak mensyaratkan suatu pola data
tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik, dengan kata lain metode
ARIMA dapat dipakai untuk semua tipe pola data. Metode ARIMA akan bekerja
dengan baik apabila data runtut waktu yang digunakan bersifat dependen atau
berhubungan satu sama lain secara statistik (Sugiarto et al, 2000).
Model Box-Jenkins secara umum dirumuskan dengan notasi ARIMA
(p,d,q), dalam hal ini, p menunjukkan orde/derajat Autoregressive (AR), d
menunjukkan orde/derajat Differencing (Pembedaan), dan q menunjukkan
orde/derajat Moving Average (MA) (Sugiarto et al, 2000).
1. Model Autoregressive (AR)
Model ini menggambarkan bahwa variabel dependen dipengaruhi oleh
variabel dependen itu sendiri pada periode-periode atau waktu-waktu yang
sebelumnya.
Secara umum model Autoregressive (AR) mempunyai bentuk sebagai
berikut:
Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 +... + ØpYt-p + εt................................... (6)
dimana
Yt = nilai variabel dependen pada waktu t.
30
Yt-p = variabel independen yang dalam hal ini merupakan lag (beda
waktu) dari variabel dependen pada satu periode sebelumnya
hingga p periode sebelumnya.
Ø0 = intersep
Ø1,Ø2,...,Øp = koefisien atau parameter dari model autoregressive.
εt = residual pada waktu t
Orde dari model AR (yang diberi notasi p) ditentukan oleh jumlah periode
variabel independen yang masuk dalam model.
2. Model Moving Average (MA)
Secara Umum model Moving Average mempunyai bentuk sebagai berikut:
Yt = ω0 + εt – ω1εt-1 – ω2εt-2 - ... – ωqεt-q ........................................ (7)
dimana
Yt = variabel dependen pada waktu t
εt-1,εt-2,...,εt-q = nilai residual sebelumnya (lag)
ω0 = intersep
ω1,ω2,ωq = koefisien model Moving Average yang menunjukkan bobot.
εt = residual
Perbedaan model Moving Average dengan model Autoregressive terletak
pada jenis variabel independen. Bila variabel independen pada model
Autoregressive adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) itu
sendiri, maka pada model Moving Average sebagai variabel independennya adalah
nilai residual pada periode sebelumnya. Orde dari model MA (yang diberi notasi
q) ditentukan oleh jumlah periode variabel independen yang masuk dalam model.
3. Model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average)
Model AR dan MA dapat dikombinasikan untuk menghasilkan model
ARIMA dengan bentuk umum:
Yt = Ø0 + Ø1Yt-1 + Ø2Yt-2 + ... + ØpYt-p – ω1et-1 – ω2et-2 - ... – ωqet-q + εt............(8)
Model ARIMA menggunakan baik nilai sebelumnya (lag) dari variabel
dependen (Yt) maupun nilai residual periode sebelumnya, dengan penggabungan
31
ini diharapkan model ARIMA dapat mengakomodasi pola data yang tidak dapat
diidentifikasi secara sendiri-sendiri oleh model MA arau model AR. Penerapan
metode Box-Jenkins mempunyai tiga tahap yang terpisah, yaitu (Arsyad, 2001):
Tahap 1: Identifikasi model
Langkah pertama dalam tahap identifikasi model adalah menentukan apakah
data runtut waktu yang akan digunakan bersifat statsioner atau tidak. Jika data
runtut waktu tersebut tidak statsioner, biasanya dapat dikonversi menjadi data
runtut waktu yang statsioner dengan menggunakan metode pembedaan
(Differencing method). Proses ini dapat dilakukan satu kali yang disebut
pembedaan pertama atau first differencing dengan rumus (Firdaus, 2006):
∆Yt = Yt– Yt-1......................................................... (9)
Bila dengan pembedaan pertama data masih belum statsioner maka dilakukan
pembedaan kedua (Second Differencing) dengan rumus:
∆2Yt = (Yt – Yt-1) – (Yt-1 – Yt-2) ....................................... (10)
Pendeteksian kestasioneran data dapat dilakukan dengan uji Akar Unit
(Unit Root Test) dengan pilihan jenis uji adalah Augmented Dickey Fuller (ADF)
dengan menggunakan software Eviews version 6. Jika |nilai ADF test statistics|
lebih besar dari |nilai titik kritis pada taraf nyata 5 persen| maka data tersebut
stasioner, dan sebaliknya (Juanda et al, 2012).
Jika data runtut waktu sudah statsioner, selanjutnya mengidentifikasi bentuk
model yang akan digunakan. Tahap ini dilaksanakan dengan membandingkan
koefisien autokorelasi (ACF) dan koefisien autokorelasi parsial (PACF) data
tersebut dengan distribusi untuk berbagai model ARIMA. Pada umumnya, Tahap
ini harus mengidentifikasi autokorelasi yang secara eksponensial menjadi nol. Jika
autokorelasi secara eksponensial melemah menjadi nol berarti terjadi proses AR.
Jika autokorelasi parsial melemah secara eksponensial berarti terjadi proses MA.
Jika keduanya melemah berarti terjadi proses ARIMA, dengan menghitung jumlah
ACF dan PACF yang secara signifikan berbeda dari nol, maka kemudian dapat
menentukan derajat proses MA dan atau AR.
Tahap 2: Pengestimasian dan Pengujian Model
Setelah model sementara dipilih maka parameter model tersebut harus
diestimasi. Setelah diestimasi perlu dilakukan kelayakan model tersebut. Langkah
32
ini dilakukan dengan menguji residual (error term): εt = Yt – Yt’, selisih antara
data dengan hasil peramalannya untuk meyakinkan bahwa residual bersifat
random (Arsyad, 2001). Jika nilai-nilai koefisien autokorelasi dari residual untuk
berbagai time lag tidak berbeda secara signifikan dari nol, model dianggap
memadai untuk dipakai sebagai model peramalan (Sugiarto et al, 2000).
Kelayakan suatu model dapat pula diuji dengan pemenuhan syarat kriteria
model terbaik. Model terbaik didasarkan pada enam kriteria dalam model Box-
Jenkins, yaitu (Firdaus, 2006):
1. Model Parsimonious. Model yang diperoleh menunjukkan bahwa model
relatif sudah dalam bentuk paling sederhana.
2. Parameter yang diestimasi berbeda nyata dengan nol. Hal ini dapat dilihat
dari nilai ρ-value koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata).
3. Kondisi Invertibilitas ataupun stasioneritas harus terpenuhi. Hal ini
ditunjukkan oleh jumlah koefisien AR atau MA dimana masing-masingnya
harus kurang dari 1.
4. Proses iterasi harus convergence. Bila terpenuhi maka pada session terdapat
pernyataan relative change in each estimate less than 0,0010.
5. Model harus memiliki MSE (Mean Squared Error) yang kecil.
6. Melihat residual dari kolegram ACF dan PACF. Nilai ρ-value untuk uji
statistik lebih besar dari 0,05 yang dapat dilihat pada indikator Ljung-Box
(LB) Statistic yang menunjukkan bahwa residual sudah acak, selain itu
grafik ACF dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off yang berarti
bahwa residual memang sudah acak.
Tahap 3: Peramalan dengan Model
1. Setelah model yang sesuai diperoleh maka dapat membuat peramalan untuk
satu atau beberapa periode mendatang, didalam estimasi ini interval
keyakinan dapat ditentukan. Umumnya, semakin jauh peramalan maka
interval keyakinan akan semakin besar. Peramalan dan interval dihitung
dengan program Box-Jenkins.
2. Semakin banyak data yang tersedia, model yang sama dapat digunakan
untuk mengubah peramalan dengan cara memilih waktu awal yang lain.
33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama setelah padi dan
jagung. Komoditas ini memiliki kegunaan yang beragam, terutama sebagai bahan
baku industri makanan kaya protein nabati dan sebagai bahan baku industri pakan
ternak. Selain sebagai sumber protein nabati, kedelai merupakan sumber lemak,
mineral, dan vitamin serta dapat diolah menjadi berbagai makanan seperti tahu,
tempe, tauco, kecap, dan susu (Zakaria, 2010a). Banyaknya kegunaan kedelai
menyebabkan konsumsi terhadap komoditas ini cenderung meningkat dalam
setiap tahunnya, namun dari sisi produksi kedelai domestik mengalami
pertumbuhan yang cenderung rendah, sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan kedelai domestik.
Perkembangan produksi kedelai nasional pada tahun 1981 hingga 2011
dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar, terjadi pertumbuhan yang
fluktuatif dari perkembangan produksi kedelai domestik, sedangkan untuk
perkembangan konsumsi kedelai menunjukkan pertumbuhan yang cenderung
terus meningkat. Pada gambar grafik pula terlihat garis kurva konsumsi berada
diatas garis kurva produksi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kedelai
lebih besar dibandingkan produksi kedelai domestiknya. Garis kurva konsumsi
yang semakin menjauhi garis kurva produksi, semakin memperjelas bahwa
terdapat kesenjangan yang tinggi antara konsumsi dan produksi kedelai domestik
di Indonesia. Kesenjangan tersebutlah yang merupakan besarnya kekurangan
jumlah pasokan kedelai yang dibutuhkan dalam negeri, sehingga penyediaan
pasokan kedelai untuk menutupi kekurangan dipenuhi melalui impor. Laju
pertumbuhan rata-rata produksi kedelai domestik selama kurun waktu tahun 1981
hingga 2011 hanya sebesar 2,10 persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata
konsumsinya sebesar 7,85 persen. Rendahnya pertumbuhan kedelai domestik
menjadi salah satu pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
34
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan), 2012
Gambar 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, dan Luas Areal Panen Kedelai
Tahun 1981 – 2011
Perubahan yang terjadi pada produksi kedelai domestik didominasi oleh
pengaruh dari perubahan yang terjadi pada luas areal panennya. Hal ini
ditunjukkan oleh garis kurva perkembangan luas areal panen yang mengikuti pola
garis kurva produksinya (Gambar 3), sedangkan produktivitas kedelai hanya
berpengaruh kecil terhadap produksi kedelai, karena rata-rata peningkatan
produktivitas kedelai rendah, yaitu sebesar 0,02 ton per hektar per tahunnya
dengan laju pertumbuhan produktivitas kedelai rata-rata selama tahun 1981
hingga 2011 sebesar 1,63 persen (Gambar 4).
Berdasarkan perkembangan produksi kedelai domestik yang lebih rendah
dibandingkan perkembangan konsumsinya, maka dilanjutkan dengan
menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan ataupun
peningkatan pada produksi kedelai domestik, selain itu diperlukan pula analisis
faktor-faktor yang menyebabkan tingginya konsumsi kedelai di Indonesia,
sehingga Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya yang
menyebabkan harus melakukan impor kedelai untuk mengatasi kekurangan
pasokan kedelai dalam negeri.
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
198
1
198
2
198
3
198
4
198
5
198
6
198
7
198
8
198
9
199
0
199
1
199
2
199
3
199
4
199
5
199
6
199
7
199
8
199
9
200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
Konsumsi (Ton) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)
35
Sumber: BPS, Kementan, 2012
Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Kedelai Domestik Tahun 1981 – 2011
Tahun 1981 hingga 1990, laju peningkatan produksi rata-rata kedelai
domestik sebesar 10,58 persen. Produksi kedelai domestik pada tahun 1981
sebesar 703.811 ton, meningkat menjadi 1.487.433 ton pada tahun 1990. Menurut
Manwan dan Sumarno (1996), peningkatan produksi ini dipengaruhi oleh
peningkatan luas areal usaha dan adanya keragaman produktivitas yang cukup
besar yang dicapai oleh seluruh Indonesia, yaitu antara 0,50 – 3,00 ton per ha.
Besarnya keragaman dikarenakan besarnya variasi kondisi agroekologi, teknologi
yang diterapkan, kendala produksi di masing-masing lokasi, dan tingkat
pengelolaan yang diterapkan oleh petani. Selain itu, didukung pula oleh adanya
program Intensifikasi Khusus (INSUS), Intensifikasi Umum (INMUM), dan
Operasi Khusus (OPSUS) yang digalakkan pada tahun 1989 hingga 1993.
Tahun 1991 hingga tahun 2000, laju pertumbuhan kedelai domestik sebesar
-2,94 persen. Produksi kedelai pada tahun 1991 sebesar 1.555.453 ton menurun
menjadi 1.017.634 ton pada tahun 2000. Penurunan produksi disebabkan oleh luas
areal panen kedelai terus menurun (Lampiran 3). Disisi lain tidak terjadi
peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Penurunan areal panen kedelai di
Indonesia antara lain disebabkan oleh usahatani kedelai berisiko tinggi terhadap
gangguan hama dan penyakit, sehingga memerlukan perhatian khusus dan biaya
relatif tinggi (Manwan dan Sumarno, 1996). Menurut Harsono (2008), dalam
kurun waktu 1995 hingga 2000 harga kedelai juga tidak memadai, sehingga
usahatani kedelai kurang menguntungkan dibanding usahatani palawija lain.
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
198
1
198
2
198
3
198
4
198
5
198
6
198
7
198
8
198
9
199
0
199
1
199
2
199
3
199
4
199
5
199
6
199
7
199
8
199
9
200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
Produktivitas (ton/Ha)
36
Turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh adanya kebijakan tarif impor nol
persen yang diberlakukan sejak tahun 1994 sampai tahun 2004. Kebijakan
perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal turun akibat harga impor lebih
murah, disamping itu kebijakan penghapusan subsidi pupuk serta tidak
tersedianya kredit lunak usaha tani palawija akiba krisis ekonomi tahun 1998
menyebabkan meningkatnya biaya produksi, sehingga meningkatkan keengganan
para petani dalam menanam kedelai (Fizzanty et al, 2010)
Tahun 2001 hingga tahun 2011, laju pertumbuhan produksi rata-rata kedelai
sebesar -5,27 persen. Penurunan produksi kedelai ini masih disebabkan oleh harga
kedelai yang kurang memadai hingga tahun 2007 (Harsono, 2008). Pada tahun
2010 terjadi keterlambatan masa tanam kedelai dan perubahan cuaca, dimana
musim hujan lebih panjang daripada musim kemarau. Jika curah hujan tinggi,
maka produksi kedelai tidak akan besar, sehingga petani enggan untuk menanam
kedelai. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 2011, bahwa penurunan
terjadi karena penurunan luas areal lahan kedelai yang disebabkan oleh harga
kedelai yang tidak kompetitif, sehingga terjadi persaingan lahan dengan jagung
dan padi yang harganya lebih kompetitif dan terjadinya perubahan iklim yang
mengakibatkan intensitas serangan OPT (Organisme Penggangu Tanaman) lebih
tinggi dari tahun 2010 (Kementerian Pertanian, 2011).
Terdapat berbagai faktor yang menjadi pemicu terjadinya penurunan atau
rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Kegiatan produksi dilihat dari sisi
produsen sebagai pelaku yang melakukan kegiatan produksi dalam penyediaan
kebutuhan konsumsi. Sisi produsen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
petani kedelai. Keputusan petani dalam mengusahakan suatu jenis komoditas
dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang akan diperoleh, karena tujuan dari
produsen adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Berdasarkan hasil
yang diperoleh dari berbagai sumber mengenai penyebab rendahnya produksi
kedelai, bahwa rendahnya produksi kedelai domestik terutama dipengaruhi oleh
harga kedelai itu sendiri, selain itu dipengaruhi pula oleh aspek pemasarannya,
cara pembudidayaan kedelai, konversi lahan ke non-pertanian, dan faktor iklim.
Meninjau dari segi persaingan harga pasar, harga kedelai domestik
cenderung lebih mahal daripada harga kedelai impor (Tabel 7). Menurut Marwoto,
37
et al (2005), harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah.
Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar yang ditentukan oleh permintaan
dan persediaan (demand dan supply). Berdasarkan hal tersebut, maka rendahnya
harga kedelai impor akan menyebabkan harga kedelai domestik ikut mengalami
penurunan. Berdasarkan Tabel 7, harga kedelai impor lebih rendah dibandingkan
harga kedelai lokal selama tahun 2002 hingga tahun 2011. Hal ini menjadi
indikator disinsentif bagi petani dalam menanam kedelai, karena harga kedelai
yang rendah dengan biaya produksi yang tetap akan mengurangi keuntungan yang
petani peroleh atau bahkan merugikan petani, sehingga petani enggan untuk
menanam kedelai. Selain itu, harga kedelai impor yang lebih murah menyebabkan
konsumen lebih memilih untuk membeli kedelai impor dibandingkan kedelai
lokal, sehingga kedelai lokal menjadi kurang diminati.
Tabel 7. Perkembangan Harga Kedelai di Indonesia Tahun 2002 – 2011
Tahun Harga Kedelai Lokal (Rp/kg) Harga Kedelai Impor (Rp/kg)
2002 3.532,01 3.315,05
2003 3.746,12 3.523,34
2004 4.267,52 4.070,46
2005 4.893,37 4.591,64
2006 5.085,61 4.748,46
2007 5.405,70 5.199,29
2008 8.514,28 8.118,50
2009 8.657,07 7.952,65
2010 8.475,12 8.095,89
2011 8.814,04 8.289,34
Sumber :Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, 2013
Menurut Fizzanty et al (2010), turunnya harga kedelai ini disebabkan oleh
adanya kebijakan tarif impor nol persen yang diberlakukan sejak tahun 1994
sampai tahun 2004. Kebijakan perdagangan bebas membuat harga kedelai lokal
turun akibat harga impor lebih murah, selain itu sejak tahun 1998 impor kedelai
tidak lagi ditangani oleh Bulog, namun diserahkan kepada importir umum. Hal ini
disepakati berdasarkan kesepakatan dengan IMF (International Monetary Fund).
Kondisi ini diduga memberikan peluang impor yang semakin besar, sehingga
harga kedelai dalam negeri turun, sebagai akibatnya banyak petani yang lari untuk
menanam tanaman lain (Fizzanty et al, 2010). Selama harga kedelai impor rendah
dan arus impor kedelai cukup besar, petani enggan menanam kedelai (Marwoto et
38
al, 2005). Akibatnya petani akan memutuskan beralih untuk menanam tanaman
substitusi dari kedelai, seperti padi, jagung, atau tanaman pangan lainnya yang
lebih menguntungkan. Disinsentif petani terhadap kedelai menyebabkan luas
panen kedelai berkurang, karena pengalihan fungsi guna lahan ke tanaman
subsitusi dan pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi kedelai domestik.
Tabel 8. Jumlah Kedelai Domestik dan Kedelai Impor Tahun 2002 - 2011 Tahun Kedelai Domestik (ton) Kedelai Impor (ton)
2002 673.056 1.365.253
2003 671.600 1.192.717
2004 723.483 1.117.790
2005 808.353 1.086.178
2006 747.611 1.132.144
2007 592.534 2.240.795
2008 775.710 1.173.097
2009 974.512 1.314.620
2010 907.031 1.740.505
2011 851.286 2.088.616
Sumber : BPS, 2013a
Masalah dalam aspek pemasaran kedelai domestik bahwa kedelai lokal tidak
menguasai pasar. Pada Tabel 8, jumlah impor selama kurun waktu tahun 2002 -
2011 cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata laju
peningkatan impor dari tahun 2002 hingga 2011 sebesar 12,13 persen dan
besarnya persediaan kedelai di Indonesia dalam kurun waktu yang sama juga
didominasi oleh kedelai impor dengan besar persentase melebihi 50 persen. Hal
ini membuktikan bahwa pangsa pasar di dalam pasar domestik sangat dikuasai
oleh kedelai impor, sehingga industri–industri berbahan baku kedelai, seperti
industri tahu dan tempe cenderung membeli kedelai impor dibandingkan kedelai
domestik, disamping harganya lebih murah. Rendahnya penguasaan kedelai
domestik di pangsa pasar menyebabkan kecilnya peluang petani mendapatkan
keuntungan yang layak dalam usahatani kedelai. Hal ini disebabkan karena petani
memiliki daya tawar dan informasi pasar yang lemah dalam kegiatan pemasaran
kedelai, sehingga harga di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang
(Suryana, 2007). Pasar domestik yang didominasi kedelai impor akan berdampak
pada terciptanya harga pasar kedelai yang lebih rendah mengikuti harga kedelai
39
impor, sehingga harga kedelai yang terbentuk dari mekanisme pasar mendorong
pedagang untuk membeli kedelai domestik dari petani dengan harga yang rendah
pula.
Faktor selanjutnya adalah cara pembudidayaan kedelai yang dilakukan
petani. Sebagian besar petani menanam kedelai pada lahan sawah dan lahan
kering. Pada penanaman di lahan sawah, tanaman kedelai ditanam pada lahan
bekas tanaman padi, dan merupakan tanaman kedua setelah tanaman padi.
Penentuan pola tanam didasarkan atas tipe lahan, curah hujan, dan musim. Di
lahan sawah irigasi pada MK I (Maret-Juni), kedelai diusahakan dalam pola padi -
palawija - sayuran atau padi - palawija - palawija, sedangkan pada MK II (Juli-
September) diusahakan dalam pola padi - padi - palawija. Penanaman kedelai di
lahan sawah tadah hujan dilakukan pada MH (Nopember-Februari) dalam pola
palawija - padi dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi - palawija. Di lahan
kering pada MH I (Nopember-Februari), kedelai ditanam dalam pola palawija -
palawija dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo - palawija atau
sayuran – palawija (Puslitbang, 2006). Melihat pola tanam kedelai, tidak adanya
lahan permanen bagi tanaman kedelai menjadi sangat mudah bagi petani untuk
tidak memilih menanam kedelai, sehingga ketika harga kedelai dirasakan petani
kurang menguntungkan maka petani akan mengubah jenis tanamannya dari
kedelai ke jenis tanaman palawija lainnya yang nilai ekonominya lebih tinggi atau
menguntungkan. Pemilihan tanaman palawija lain yang dilakukan oleh petani,
akan mengurangi luas areal tanam kedelai, sehingga dapat menyebabkan produksi
kedelai mengalami penurunan.
Proses produksi kedelai yang dilakukan petani pada umumnya masih kurang
sesuai dengan aturan penanaman yang benar. Kebanyakan petani belum
menggunakan pemupukan secara berimbang (Zakaria, 2010b). Disamping itu,
dalam hal menghadapi OPT, petani pada umumnya terlambat mengambil tindakan
karena kurang mengamati perkembangan hama atau tidak mengetahui saat yang
tepat dalam aplikasi insektisida dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan hama,
jenis pestisida yang diaplikasikan tidak sesuai dengan hama sasaran, serta dosis
atau volume semprotnya tidak sesuai dari yang seharusnya (Subandi, 2007).
Dalam hal ketepatan waktu penanaman juga, banyak petani yang tidak
40
mengetahui waktu yang tepat untuk penanaman kedelai, padahal ketepatan waktu
tanam sangat menentukan keberhasilan usahatani kedelai. Hal ini terkait dalam
efisiensi penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi (Balitkabi, 2008).
Perkembangan produksi kedelai domestik dominan dipengaruhi oleh
perkembangan luas areal panen, sehingga apabila terjadi konversi lahan kedelai ke
non-pertanian akan berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian,
khususnya tanaman kedelai. Sebagian besar tanaman kedelai yang ditanami pada
lahan sawah, jika lahan sawah tersebut mengalami konversi lahan ke non
pertanian, maka terjadi pengurangan petani yang menanam padi sekaligus kedelai.
Luas lahan sawah yang menurun akibat dari adanya alih fungsi lahan sawah
menjadi lahan non pertanian mencapai 50 - 70 ribu hektar (ha) per tahun, padahal
pencetakan sawah hanya seluas 20 - 40 ribu ha per tahun (Menteri Pertanian,
2011)6. Alih fungsi lahan pertanian ke lahan non-pertanian bersifat irreversible,
jika alih fungsi lahan ini terjadi maka sangat sulit untuk dapat dialihfungsikan
kembali untuk pertanian. Tumbuhnya sektor di luar pertanian seperti membangun
pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas lainnya akan membutuhkan lahan yang
lebih banyak seiring meningkatnya jumlah penduduk.
Konversi lahan pertanian ke lahan non-pertanian akan menyebabkan
penurunan kapasitas produksi pertanian. Faktor penyebab terjadinya konversi
lahan ini disebabkan oleh adanya perubahan paradigma petani tentang lahan, dan
perubahan nilai dari status pekerjaan sebagai petani dinilai tidak bergengsi,
terutama bagi generasi muda. Mereka cenderung dengan mudahnya melepaskan
lahan yang dimiliki, selain itu disebabkan pula oleh tidak terlaksananya peraturan
tentang konversi lahan secara konsisten (Rachmat, 2011).
Tabel 9. Luas Serangan OPT Utama Pada Tanaman Kedelai Rerata 5 Tahun (2005
- 2009), tahun 2010 - 2011
Tahun Luas Serangan OPT Utama (Ha)
Terkena Puso
(2005-2009) 6.156 46
2010 5.247 8
2011 9.956 0
Sumber : Kementan, 2013
6Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan Untuk Pangan Capai 13,17 Juta Ha.
http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan.
Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
41
Perubahan iklim yang ekstrim sering terjadi karena pengaruh globalisasi
perkembangan jaman yang dikenal dengan isu pemanasan global. Akibatnya
perubahan iklim mengalami perubahan yang tidak menentu dan petani sukar
memprediksinya. Perubahan iklim berkorelasi positif pada kerentanan tanaman
terkena hama dan penyakit. Tanaman kedelai merupakan jenis tanaman yang
beresiko tinggi terhadap serangan gangguan hama dan penyakit. Terbukti pada
tahun 2010 dan 2011 produksi kedelai mengalami penurunan yang salah satunya
dikarenakan serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang
mengakibatkan luas panen mengalami penurunan (Kementerian Pertanian, 2011).
Berdasarkan Tabel 9, terjadi peningkatan luas serangan OPT pada tahun 2005
hingga tahun 2011 dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 37,49 persen.
Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011 dengan luas areal yang terkena
serangan OPT seluas 9.956 ha dan laju peningkatan dari tahun sebelumnya
sebesar 89,75 persen. Semakin tinggi serangan OPT terhadap lahan tanam kedelai,
maka produksi kedelai akan mengalami penurunan.
Karakteristik kedelai yang memiliki resiko tinggi terhadap serangan hama
dan penyakit akan menyebabkan disinsentif pula bagi petani untuk tahun
selanjutnya dalam menanam kedelai jika perubahan iklim tidak mendukung
seperti tahun sebelumnya, sehingga petani akan memilih untuk menanam tanaman
lain yang memiliki resiko lebih rendah dan tetap menguntungkan, seperti padi atau
jagung. Menurut Manwan et al (1996), padi dan jagung memberikan keuntungan
yang tinggi dengan tingkat resiko yang jauh lebih rendah dibanding tanaman
palawija lain baik dari harga panen maupun gangguan alam seperti kekeringan
serta serangan hama dan penyakit.
Pola data konsumsi cenderung terus mengalami peningkatan.
Kecenderungan peningkatan yang terjadi dalam konsumsi kedelai ini terutama
disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang terus mengalami peningkatan
pada setiap tahunnya, sehingga kebutuhan konsumsi akan bahan makanan akan
terus bertambah (Sudaryanto, 1996). Tahun 1997 dan 1998 konsumsi kedelai
sempat mengalami penurunan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya krisis moneter di Indonesia, sehingga harga kedelai melambung tinggi.
Daya beli masyarakat menurun drastis menyebabkan semakin berkurangnya
42
konsumsi barang yang bisa dibeli oleh masyarakat. Penurunan juga terjadi pada
masa tahun 2001, penurunan konsumsi mencapai -44,44 persen dari tahun
sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang cukup tinggi dari ekspor
Indonesia yang mencapai -9,80 persen, sedangkan penurunan impornya hanya
sebesar -1,14 persen saja (BPS, 2002). Hal ini menyebabkan meningkatnya
pendanaan untuk penyediaan kebutuhan dalam negeri yang pasokannya berasal
dari luar negeri. Akibatnya pasokan kedelai yang berasal dari impor berkurang,
sehingga ketersediaan kedelai di dalam negeri sangat terbatas.
Konsumsi kedelai di Indonesia dilihat dari sisi konsumen sebagai pelaku
dari kegiatan mengonsumsi barang atau jasa. Sisi konsumen disini adalah seluruh
masyarakat Indonesia. Besarnya konsumsi kedelai dilihat dari besarnya
permintaan masyarakat terhadap kedelai. Penyebab tingginya konsumsi kedelai di
Indonesia dipengaruhi oleh jumlah penduduk, selera konsumen, dan pendapatan.
Tabel 10. Jumlah Konsumsi Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011
Tahun Jumlah Penduduk Konsumsi Langsung Kedelai (Ton)
2007 227.508.251 11.830,43
2008 230.898.124 12.006,70
2009 234.338.506 12.185,60
2010 237.641.326 12.357,35
2011 241.499.037 12.557,95 Sumber: BPS, Kementan, 2013
Faktor jumlah penduduk merupakan faktor utama dalam menggambarkan
peningkatan konsumsi kedelai domestik. Peningkatan jumlah penduduk disertai
dengan peningkatan dalam usia kerja atau usia yang semakin tua akan
meningkatkan jumlah output yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumsi terhadap suatu barang memiliki korelasi positif terhadap jumlah
penduduk (Sudaryanto, 1996), maka semakin meningkatnya penduduk dari tahun
ke tahun akan meningkatkan konsumsi terhadap komoditas kedelai. Peningkatan
konsumsi langsung kedelai akibat peningkatan penduduk Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 10.
43
Tabel 11. Permintaan Kedelai oleh Industri Tahu Tempe Tahun 2002 - 2011
Tahun Permintaan Kedelai (Ton/tahun)
2002 1.446.592,90
2003 1.442.982,70
2004 1.306.698,25
2005 1.367.129,71
2006 1.540.618,00
2007 1.584.287,83
2008 1.414.112,47
2009 1.402.082,43
2010 1.401.002,56
2011 1.507.292,09
Sumber : BPS, 2013b (diolah)
Kebanyakan konsumsi kedelai dikonsumsi dalam bentuk makanan olahan,
seperti kecap, tauco, oncom, dan terutama dikonsumsi dalam bentuk tahu dan
tempe. Konsumen terbesar kedelai di Indonesia adalah industri tahu tempe. Lebih
dari 50 persen ketersediaan kedelai di Indonesia, dikonsumsi oleh para produsen
tahu tempe sebagai bahan baku. Pada Tabel 11, permintaan produsen tahu tempe
terhadap kedelai periode tahun 2002 hingga tahun 2011 memiliki rata-rata laju
pertumbuhan yang positif, yaitu sebesar 0,71 persen. Peningkatan permintaan
kedelai dalam industri tahu tempe tidak luput dari pengaruh adanya peningkatan
jumlah penduduk. Semakin tingginya jumlah penduduk menyebabkan permintaan
terhadap produk turunan kedelai meningkat pula. Besarnya permintaan kedelai
yang berasal dari industri tahu tempe melebihi satu juta ton kedelai, sedangkan
produksi kedelai domestik belum sampai menyentuh angka satu juta ton dalam
kurun waktu tahun 2002 hingga 2011. Hal ini membuktikan pula bahwa untuk
kebutuhan industri tahu tempe sebagai konsumen terbesar kedelai di Indonesia
belum mampu dipenuhi oleh produksi kedelai domestik, sehingga memerlukan
kedelai impor.
Selera konsumen menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam
peningkatan konsumsi kedelai domestik. Perubahan selera menjadi lebih
menyukai suatu komoditas akan meningkatkan permintaan terhadap komoditas
tersebut. Perubahan Selera konsumen dipengaruhi oleh perubahan karakteristik
demografis, seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan kebiasaan
(Sudaryanto, 1996). Membaiknya tingkat pendidikan dan semakin tingginya
44
aktivitas pekerjaan mendorong kecenderungan masyarakat untuk lebih sadar akan
menjaga kesehatan, sehingga meningkatkan kecenderungan untuk mengonsumsi
bahan pangan yang berkualitas tinggi seperti kedelai. Dilihat dari kondisi
pendidikan, Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia terus mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan persentase angka partisipasi
sekolah yang terjadi pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011 yang ditunjukkan
pada Tabel 12.
Tabel 12. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2002 - 2011 Indikator
Pendidikan Tahun
Partisipasi
Pendidikan Formal 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Angka Partisipasi
Sekolah (APS)
7-12 th
96,10 96,42 96,77 97,14 97,39 97,60 97,83 97,95 97,97 97,49
Angka Partisipasi
Sekolah (APS)
13-15 th
79,21 81,01 83,49 84,02 84,08 84,26 84,41 85,43 86,11 87,58
Angka Partisipasi
Sekolah (APS)
16-18 th
49,76 50,97 53,48 53,86 53,92 54,61 54,70 55,05 55,83 57,57
Angka Partisipasi
Sekolah (APS)
19-24 th
11,62 11,71 12,07 12,23 11,38 12,20 12,43 12,66 13,67 13,91
Sumber: BPS, 2013c
Analisis selanjutnya terhadap faktor pendapatan. Pendapatan digunakan
sebagai indikator untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat. Pada Tabel
13 menyajikan perkembangan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dari
periode tahun 2002 hingga tahun 2011. Tabel 13 menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pendapatan per kapita dengan rata-rata peningkatan pendapatan per
kapita sebesar 3,95 persen. Semakin besarnya pendapatan masyarakat,
kecenderungan masyarakat dalam mengonsumsi barang akan meningkat pula.
Namun peningkatan konsumsi masyarakat terhadap kedelai memiliki proporsi
yang rendah, karena komoditas kedelai merupakan jenis barang inelastis. Ketika
pendapatan seseorang mengalami peningkatan satu persen, maka peningkatan
orang tersebut dalam mengonsumsi kedelai akan kurang dari satu persen dengan
asumsi cateris paribus, dengan demikian faktor pendapatan dapat mempengaruhi
besarnya konsumsi kedelai domestik, namun pengaruh peningkatan konsumsinya
45
dari sudut analisis pendapatan tidak begitu besar, karena kedelai merupakan
barang yang memiliki sifat inelastis.
Tabel 13. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar Harga Konstan
2000 Tahun 2002 - 2011
Tahun Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Tingkat Pertumbuhan (%)
2002 7.061.207,41 2,92
2003 7.287.245,70 3,20
2004 7.538.530,99 3,45
2005 7.847.599,75 4,10
2006 8.154.508,73 3,91
2007 8.541.259,06 4,74
2008 8.842.701,15 3,53
2009 9.190.669,38 3,94
2010 9.616.611,75 4,63
2011* 10.102.168,25 5,05
Sumber : BPS, 2013d
Keterangan :*angka sementara
5.2 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan ARIMA, didapatkan
model terbaik untuk produksi dan konsumsi kedelai domestik berturut-turut
adalah ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta dan ARIMA (2,1,0). Hasil pengolahan
data dapat dilihat pada Lampiran 2 hingga Lampiran 11. Hasil menunjukkan
bahwa kedua model sudah memenuhi syarat kriteria model terbaik, yaitu model
relatif sudah merupakan model yang memiliki bentuk sederhana, nilai ρ-value
koefisien yang kurang dari 0,05 (taraf nyata), jumlah koefisien AR atau MA
kurang dari 1, terdapat pernyataan relative change in each estimate less than
0,0010, model memiliki MSE terkecil (Lampiran 8 dan Lampiran 9), dan ACF
dan PACF dari residual menunjukkan pola cut off (Lampiran 10 dan Lampiran
11). Persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk proyeksi produksi
kedelai domestik adalah:
(Yt – Yt-1 – Yt-2) = -0,4439(Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt....................................... (11)
Yt = 0,5561Yt-1 + 1,4439Yt-2 + 0,4439Yt-3 + εt.................... (12)
46
sedangkan persamaan fungsi ARIMA (2,1,0) untuk proyeksi konsumsi kedelai
domestik adalah:
(Yt – Yt-1) = 114,65 – 0,4350(Yt-1 – Yt-2) – 0,4207(Yt-2 –Yt-3) + εt... (13)
Yt = 114,65 + 0,5650Yt-1 + 0,0143Yt-2 + 0,4207Yt-3 + εt..... (14)
Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA (1,2,0) tanpa konstanta untuk
proyeksi produksi kedelai domestik, hasil menunjukkan bahwa produksi kedelai
nasional selama tahun 2012 hingga 2014 akan mengalami pertumbuhan yang
negatif. Rata-rata pertumbuhan produksi selama tahun 2012 hinggga 2014 sebesar
-7,79 persen dan produksi pada tahun 2014 mencapai 672.020 ton, sedangkan
hasil proyeksi konsumsi melalui model ARIMA (2,1,0) menunjukkan bahwa
konsumsi kedelai selama periode tahun 2012 hingga tahun 2014 akan mengalami
pertumbuhan yang positif. Rata-rata pertumbuhan konsumsi selama periode
tersebut sebesar 3,86 persen dan konsumsi pada akhir tahun 2014 mencapai
2.661.406 ton (Tabel 14).
Tabel 14. Kesenjangan Hasil Proyeksi Antara Produksi dan Konsumsi Kedelai
Domestik Tahun 2012 - 2014
Tahun Hasil Proyeksi
Senjang (Ton) Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)
2012 790.331 2.467.893 1.677.562
2013 731.689 2.521.705 1.790.016
2014 672.020 2.661.406 1.989.386
5.2.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Domestik
Analisis pada hasil proyeksi dengan ARIMA, penurunan produksi diduga
diakibatkan oleh adanya konversi lahan. Menurut Arifin (2012), laju konversi
lahan pertanian sebesar 100.000 ha per tahun7. Total luas lahan pertanian yang
efektif untuk produksi pertanian pada tahun 2011 hanya 45 juta ha8, sehingga rata-
rata laju konversi lahannya sebesar -0,22 persen. Jika diperhitungkan berdasarkan
7Pertanian Formal Versus Pragmatisme.
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=12738&coid=2&caid=30&gid=2. Diakses
tanggal 1 Juni 2013.
8Hingga Tahun 2025, Kebutuhan Lahan untuk Pangan Capai 13,17 Juta
Ha.http://www.deptan.go.id/news/detail.php?id=914&awal=0&page=&kunci=konversi%20lahan.
Diakses tanggal 1 Juni 2013
47
sumber data tersebut diasumsikan laju konversi lahan untuk penanaman kedelai
sebesar -0,22 persen, maka pada tahun 2014 lahan tanam kedelai menyusut
menjadi sebesar 558.721,39 ha. Laju produktivitas kedelai rata-rata selama kurun
waktu 1981 hingga 2011 sebesar 1,63 persen. Hal tersebut mengakibatkan
produksi kedelai domestik menurun menjadi sebesar 794.946,69 ton pada tahun
2014 (Tabel 15).
Tabel 15. Dampak Konversi Lahan Terhadap Penurunan Produksi Kedelai
Domestik Tahun 2012 - 2014
Tahun Luas Areal Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)
2012 619.551,21 1,38 855.679,92
2013 588.978,16 1,40 826.024,53
2014 558.721,39 1,42 794.946,69
Diduga pula penurunan produksi diakibatkan oleh pengaruh OPT
(Organisme Pengganggu Tanaman). Persentase laju peningkatan rata-rata luas
areal tanam kedelai terkena OPT utama sebesar 9,16 persen selama tahun 2005
hingga tahun 2012, sehingga apabila terjadi peningkatan pengaruh OPT utama
hingga tahun 2014, maka produksi kedelai pada tahun tersebut akan menurun
kembali menjadi sebesar 788.716,62 ton (Tabel 16). Penurunan produksi akan
dapat terjadi pada jumlah yang lebih besar lagi mendekati pada hasil proyeksi,
karena penurunan produksi dipengaruhi pula oleh rendahnya harga kedelai,
ketidaktetapan dalam hal penanaman kedelai oleh petani, rendahnya tawar
menawar petani dengan pedagang, dan faktor lainnya.
Tabel 16. Dampak Peningkatan OPT Utama Terhadap Penurunan Produksi
Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014
Tahun Luas Areal yang Terkena OPT Utama (ha) Produksi (ton)
2012 5.228,00 850.451,92
2013 5.707,09 820.317,44
2014 6.230,07 788.716,62
Peningkatan konsumsi berdasarkan hasil peramalan ARIMA diduga
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk. Persentase laju peningkatan rata-
rata penduduk Indonesia tahun 1995 - 2010 sebesar 1,62 persen dan persentase
rata-rata konsumsi langsung per kapita terhadap kedelai sebesar 0,06 kg per kapita
48
per tahun selama tahun 2002 - 2011, sehingga permintaan kedelai pada tahun
2014 diduga sebesar 15.714,02 ton (Tabel 17).
Tabel 17. Dampak Peningkatan Jumlah Penduduk Terhadap Peningkatan
Konsumsi Langsung Kedelai Domestik Tahun 2012 - 2014
Tahun Jumlah Penduduk (orang) Permintaan Kedelai (ton)
2012 245.419.371,22 15.216,00
2013 249.403.345,68 15.463,01
2014 253.451.993,33 15.714,02
Permintaan kedelai oleh produsen tahu tempe diduga menjadi penyebab
utama peningkatan konsumsi kedelai domestik di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan produsen tahu tempe merupakan konsumen terbesar dalam
mengonsumsi kedelai. Rata-rata konsumsi per kapita produsen tahu tempe
terhadap kedelai selama tahun 2002 - 2011 sebesar 6,38 kg per kapita per tahun,
sehingga didapatkan dugaan jumlah permintaan kedelai yang berasal dari
produsen tahu tempe pada tahun 2014 sebesar 1.618.287,18 ton. Total permintaan
kedelai berdasarkan permintaan langsung ditambah dengan permintaan kedelai
oleh industri tahu tempe menghasilkan total konsumsi kedelai pada tahun 2014
sebesar 1.634.102,58 ton (Tabel 18). Hasil jumlah konsumsi kedelai pada tahun
2014 dapat menjadi lebih besar dari dugaan yang dihasilkan, karena konsumsi
kedelai domestik dipengaruhi pula oleh industri-industri pengolahan makanan
selain tahu dan tempe, penggunaan sebagai bibit dan pakan ternak, pengaruh dari
peningkatan selera, serta pendapatan.
Tabel 18. Total Permintaan Kedelai Domestik Berdasarkan Permintaan
Langsung Dan Permintaan Industri Tahun 2012 - 2014
Tahun Permintaan Langsung
Kedelai (Ton)
Permintaan Kedelai oleh
Industri (Ton)
Total Permintaan
Kedelai (Ton)
2012 15.314,17 1.566.999,00 1.582.313,17
2013 15.562,77 1.592.436,62 1.607.999,39
2014 15.815,40 1.618.287,18 1.634.102,58
Hasil perhitungan dari variabel produksi dan konsumsi berdasarkan dua
faktor yang mempengaruhi masing-masing variabel telah menunjukkan bahwa
konsumsi kedelai domestik (1.634.102,58 ton) lebih besar dibandingkan produksi
domestiknya (788.716,62 ton). Hal ini sejalan dengan hasil proyeksi yang
49
dihasilkan dengan metode ARIMA, hasil menunjukkan bahwa Indonesia belum
mampu swasembada kedelai pada tahun 2014 (Tabel 14), karena besarnya
produksi kedelai domestik lebih rendah dibandingkan konsumsinya. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebutuhan kedelai domestik dalam negeri belum mampu
terpenuhi hanya dari produksi kedelai domestik. Kesenjangan yang terjadi antara
produksi dan konsumsi kedelai domestik terlihat semakin besar dalam kurun
waktu tiga tahun peramalan. Hal ini akan menyebabkan pemenuhan kebutuhan
kedelai dalam negeri melalui impor sebesar 1.989.386 ton kedelai pada tahun
2014. Kemampuan Indonesia dalam memproduksi kedelai pada tahun 2014 hanya
sebesar 25 persen saja dan sisanya 75 persen dipenuhi oleh impor kedelai.
Berdasarkan pada kondisi impor kedelai tahun-tahun sebelumnya, impor
kedelai masih sangatlah dominan. Begitu pula pada jumlah impor berdasarkan
peramalan, hasil proyeksi menunjukkan bahwa Indonesia akan terus mengalami
ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jumlah yang besar hingga tahun
2014 (Tabel 19), sehingga bila tidak ada upaya kebijakan yang dilakukan, maka
Indonesia akan ketergantungan terhadap impor kedelai dalam jangka panjang.
Upaya untuk menghindari hal tersebut, maka dibutuhkan strategi kebijakan yang
sesuai dalam pencapaian swasembada kedelai tahun 2014 mendatang agar
produksi kedelai domestik dapat meningkat dengan jumlah minimal sama dengan
besar konsumsi masyarakat terhadap kedelai.
Tabel 19. Jumlah Impor Kedelai Tahun 2005 - 2014
Tahun Jumlah Impor Kedelai (Ton)
2005 1.086.178
2006 2.204.533
2007 2.673.188
2008 2.261.509
2009 1.314.620
2010 1.740.505
2011 2.088.616
2012 1.677.562
2013 1.790.016
2014 1.989.386
50
5.2.2 Strategi Kebijakan dan Implikasinya dalam Upaya Pencapaian
Swasembada Kedelai Tahun 2014
Hasil proyeksi produksi dan konsumsi kedelai domestik menunjukkan
bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014. Hal
ini ditunjukkan oleh semakin besarnya kesenjangan yang terjadi antara produksi
dan konsumsi (Tabel 14). Semakin besarnya kesenjangan mengindikasikan bahwa
semakin besarnya impor yang harus dilakukan untuk menutupi kekurangan
pasokan kedelai di Indonesia. Menindaklanjuti masalah tersebut, maka dibutuhkan
kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik, agar tujuan swasembada dapat
terealisasikan dan Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya terhadap
kedelai impor. Kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik dapat ditempuh
melalui dua program, yaitu perluasan areal tanam dan atau peningkatan
produktivitas (Simatupang et al, 2005).
Berdasarkan Tabel 20, swasembada kedelai tercapai apabila minimal jumlah
produksi kedelai domestik sama dengan jumlah konsumsinya. Jika program
perluasan areal tanam dilakukan, maka didasarkan pada hasil peramalan produksi
dan konsumsi kedelai domestik akan dibutuhkan luas areal panen kedelai pada
tahun 2014 sebesar 1.945.472,22 hektar (ha), sehingga dibutuhkan luas areal
tanam kedelai yang baru paling sedikit sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi
luas areal tanam tersebut mengalami satu kali panen setahun dan produktivitas
kedelai tetap.
Tabel 20. Kebutuhan Lahan Baru untuk Swasembada Kedelai Tahun 2014
Tahun Produktivitas
(Ton/ha) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)
2011 1,37 851.286,00 622.254,00
2014 1,37 2.661.406,00 1.945.472,22
Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan 1.323.218,22
Kebutuhan akan luas areal tanam yang baru masih memungkinkan untuk
dikembangkan. Menurut Menteri Pertanian Suswono (2012), Badan Pertanahan
Nasional memiliki lahan terlantar (hutan belukar, semak belukar, dan padang
alang-alang atau rumput) yang berpotensi untuk pengembangan komoditas kedelai
51
seluas 7,20 juta ha9, selain itu lahan sawah dan lahan kering (tegal, kebun
campuran, dan perkebunan) merupakan lahan yang potensial pula untuk
pengembangan kedelai. Luas lahan sawah yang sesuai untuk pengembangan
kedelai mencapai 4,40 juta ha dan lahan kering 4,30 juta ha yang tersebar di 17
provinsi di Indonesia (BBSDLP, 2008a).
Menurut Hermanto (2008), pengembangan kedelai pada lahan kering masam
dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari pada areal pertanaman ubi kayu,
kelapa sawit atau karet muda. Dengan penerapan teknologi maju, kedelai yang
ditumpangsarikan dengan ubi kayu dapat menghasilkan produktivitas kedelai
sekitar 2 ton per ha (Subandi, 2007), namun dalam perluasan lahan menggunakan
lahan kering masam ataupun lahan pasang surut diperlukan pendampingan bagi
petani, karena petani belum terbiasa menggunakan lahan jenis tersebut (Mulyani,
2008).
Menanggapi peluang besar dalam pengembangan lahan penanaman kedelai,
maka implikasinya adalah pemerintah sebagai perencana dan pelaksana dalam
pencapaian swasembada pangan dapat melakukan upaya pelaksanaan program ini
dengan melakukan penambahan luas lahan tanam kedelai bagi petani seluas
1.323.218,22 ha. Jika ditunjang dengan adanya sarana produksi yang mendukung,
maka akan dibutuhkan penyediaan benih sebesar 77.818,89 ton, penyediaan pupuk
urea dan NPK masing-masing sebesar 97.273,61 ton dan 194.547,22 ton, serta
pestisida sebanyak 3.890.944,44 liter. Besarnya perhitungan kebutuhan akan
benih, pupuk, dan pestisida didasari pada perhitungan kebutuhan sarana produksi
kedelai per satuan hektar pada Tabel 21 yang disesuaikan pada ketersediaan lahan
baru seluas 1.945.472,22 ha.
Tabel 21. Kebutuhan Sarana Produksi per Hektar dalam Usahatani Kedelai
Sarana Produksi Volume per Ha Volume yang dibutuhkan
Benih 0,04 ton 77.818,89 ton
Urea 0,05 ton 97.273,61 ton
NPK 0,10 ton 194.547,22 ton
Pestisida 2,00 liter 3.890.944,44 liter Sumber : Direktorat Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kementerian Pertanian, 2009(diolah)
9Mentan: Idealnya Lahan Kedelai 1,5 Juta Hektar. http://berita.plasa.msn.com/article.aspx?cp-
documentid=250559577. Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
52
Program selanjutnya melalui peningkatan produktivitas, jika diasumsikan
bahwa luas areal panen kedelai tidak mengalami peningkatan, maka dibutuhkan
produktivitas rata-rata kedelai pada tahun 2014 sebesar 4,28 ton per ha (Tabel 22).
Besarnya produktivitas tersebut sebagai acuan agar produksi kedelai mencapai
pada tingkat jumlah yang sama dengan besar jumlah konsumsinya.
Tabel 22. Kebutuhan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada Kedelai Tahun
2014
Tahun Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha)
2011 851.286 622.254 1,37
2014 2.661.406 622.254 4,28
Berdasarkan pada hasil perhitungan, terlihat bahwa swasembada kedelai
pada tahun 2014 melalui program peningkatan produktivitas saja akan sulit untuk
dicapai, karena produktivitas varietas unggul untuk tanaman kedelai saat ini
paling besar adalah 4,20 ton per ha yang bernama Mutiara I (Tabel 23) dan hasil
rata-rata varietas ini sebesar 2,40 ton per ha, selain itu rata-rata produktivitas
kedelai di Indonesia pada tahun 2011 hanya sebesar 1,37 ton per ha dengan rata-
rata peningkatan produktivitas pada setiap tahunnya adalah sebesar 0,02 ton per
ha. Melihat kecilnya peningkatan produktivitas kedelai pada setiap tahunnya
periode tahun 1981 hingga tahun 2011, maka akan cukup sulit juga untuk
meningkatkan produktivitas walaupun sebesar 4 ton per ha saja selama kurun
waktu dua atau tiga tahun untuk mencapai produksi sebesar 2.661.406 ton.
Tabel 23. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi Lebih Besar dari 3 ton
per Ha
No Nama Varietas Potensi Hasil (Ton/ha) Umur (Hari)
1 Mutiara 1 4,20 75 - 90
2 Kipas Merah Bireun 3,50 85 - 90
3 Detam 1 3,45 84
4 Grobogan 3,40 76
5 Kaba 3,25 85 Sumber : Kementerian Pertanian, 2012b
Peningkatan produktivitas dalam kebijakan peningkatan produksi kedelai
domestik dapat dilakukan bila dilaksanakan secara bersamaan dengan program
perluasan areal tanam. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
53
(2009), berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan inovasi teknologi yang
tersedia, produktivitas kedelai di Indonesia dapat ditingkatkan dari rata-rata
nasional 1,20 ton menjadi 2 ton per ha, dengan nilai produktivitas tersebut akan
dibutuhkan perluasan areal tanam kedelai sebesar 708.449 ha. Implikasinya
pemerintah dapat melakukan peningkatan produktivitas bersamaan dengan
perluasan areal tanam melalui upaya peningkatan produktivitas kedelai hingga 2
ton per ha dengan menyediakan lahan baru untuk penanaman kedelai sebesar
708.449 ha dengan asumsi luas areal tanam baru mengalami satu kali panen
setahun (Tabel 24).
Tabel 24. Kebutuhan Lahan Baru dan Produktivitas Kedelai untuk Swasembada
Kedelai Tahun 2014
Tahun Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton) Luas Areal Panen (Ha)
2011 1,37 851.286 622.254
2014 2,00 2.661.406 1.330.703
Luas Areal Panen Baru yang Dibutuhkan 708.449
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui inovasi teknologi
varietas unggul dan perbaikan proses produksi. Program peningkatan
produktivitas dapat dilakukan melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu Pengelolaan
tanaman secara terpadu (PTT). PPT adalah salah satu pendekatan dalam usaha
tani, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan
petani, serta melestarikan lingkungan produksi. Dalam implementasinya, PTT
mengintegrasikan komponen teknologi pengelolaan lahan,air, hara, tanaman, dan
organisme pengganggu tanaman secara terpadu (Balitkabi, 2008).
Pelaksanaan program ini cukup efektif. Di Ngawi, Jawa Timur, hasil kedelai
yang diusahakan dengan pendekatan PTT mencapai 1,95 - 2,20 ton per ha. Pada
lahan kering masam Lampung, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan
pendekatan PTT berkisar antara 1,76 - 2,02 ton per ha, lebih tinggi daripada hasil
kedelai rata-rata Provinsi Lampung yang hanya 1,10 ton per ha. Di Sumatera
Utara, hasil kedelai yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT berkisar antara
1,92 - 2,03 ton per ha. Pada lahan pasang surut tipe luapan C di Jambi, hasil
kedelai yang dikembangkan dengan pendekatan PTT mencapai 2,10 ton per ha
(Balitkabi, 2008). Selain itu, program tersebut juga mampu meningkatkan
produksi kedelai pada tahun 2009. Pada tahun tersebut produksi kedelai domestik
54
mencapai 974.512 ton dengan produktivitas sebesar 1,35 ton per ha, yang pada
tahun sebelumnya sebesar 775.710 ton dengan produktivitas 1,31 ton/ha. Dengan
begitu, dibutuhkan keberlanjutan program PTT ini secara merata di berbagai
daerah di Indonesia agar produktivitas kedelai di setiap masing-masing daerah
budidaya kedelai dapat meningkat, sehingga produktivitas rata-rata Indonesia
mengalami peningkatan.
Perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas saja tidak cukup
untuk meningkatkan produksi kedelai domestik, namun juga harus ada upaya
meningkatkan minat petani dalam menanam kedelai. Menurut Purwantoro (2013),
dalam pembinaan kelompok tani harus dilihat kesiapan atau minat petani apakah
sudah memiliki kelembagaan yang baik, karena hal ini menentukan tingkat
keberhasilan dalam pembinaan yang dilakukan. Meningkatkan minat petani dalam
berproduksi kedelai salah satunya melalui perbaikan harga jual kedelai. Menurut
Subandi (2007), perbaikan harga jual kedelai di pasar domestik menjadi kunci
utama untuk meningkatkan minat petani untuk bertanam kedelai. Peningkatan
harga jual secara riil akan meningkat keuntungan yang diperoleh petani, jika
perolehan keuntungan dirasa besar oleh petani, maka petani akan meningkatkan
minatnya untuk bertanam kedelai. Kebijakan yang menunjang dalam pelaksanaan
perbaikan harga jual, yaitu Kebijakan dalam menentukan harga dasar kedelai
dalam negeri, mengurangi impor melalui penerapan tarif, dan subsidi sarana
ptoduksi.
Menurut Kuntjoro (1997) bahwa kebijakan harga dasar dimaksudkan untuk
mengamankan pendapatan petani terhadap fluktuasi harga produk, sehingga
merangsang petani untuk berusaha meningkatkan produksinya. Keadaan harga
jual kedelai seperti yang sudah dijelaskan pada analisis sebelumnya mengalami
penurunan beberapa tahun ke belakang. Hal ini disebabkan membanjirnya kedelai
impor di pasar domestik dengan harga yang juga lebih murah (Tabel 7), sehingga
harga pasar kedelai menjadi rendah, maka pemerintah harus menetapkan batas
harga minimum kedelai di pasar domestik dengan nilai yang masih memberikan
keuntungan kepada petani, sehingga tidak mengurangi minat petani untuk
bertanam kedelai. Kebijakan harga dasar akan efektif apabila harga pasar lebih
rendah dari pada harga dasar yang ditetapkan. Dengan adanya kebijakan harga
55
dasar, maka kesejahteraan petani dalam memperoleh keuntungan dapat tetap pada
kondisi yang layak.
Pemerintah melakukan impor kedelai untuk menutupi kekurangan
persediaan kedelai di dalam negeri, namun longgarnya aturan mengenai
perdagangan kedelai menyebabkan menjadi sangat ketergantungan terhadap impor
kedelai, sehingga dibutuhkan kebijakan penetapan tarif impor kedelai yang sesuai.
Adanya tarif impor terhadap kedelai akan mengurangi keinginan pengimpor
kedelai untuk menjual kedelainya ke Indonesia, karena ada biaya yang harus
dikeluarkan oleh pengimpor ketika melakukan pengimporan kedelai. Peningkatan
biaya akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh bagi pengimpor.
Disamping itu, dengan adanya tarif impor pula harga kedelai impor akan
meningkat di pasar domestik, sehingga keseimbangan harga pasar kedelai menjadi
lebih kompetitif. Peningkatan harga pasar kedelai dapat mendorong petani untuk
meningkatkan produksi kedelainya.
Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama
pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan oleh pemerintah. Subsidi
pertanian di Indonesia berupa subsidi harga input usaha tani, yaitu subsidi pupuk,
benih, dan bunga kredit. Penyediaan sarana produksi dengan adanya subsidi
berdampak pada penurunan biaya produksi, sehingga harga kedelai domestik
mampu bersaing dengan harga kedelai yang terkenal lebih murah. Subsidi ini
menghasilkan manfaat yang positif tetapi juga dampak negatif, namun manfaat
yang dapat dinilai lebih besar yakni dampak sosial politik, khususnya dalam
pemantapan ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan10
.
Menurut Zakaria (2010b) menyatakan bahwa pada dasarnya, pelaksanaan
program pengembangan agribisnis kedelai yang ditujukan untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan masyarakat petani melalui peningkatan penguasaan
teknologi usahatani, dengan dukungan ketersediaan sarana produksi, penguasaan
teknologi pasca panen, serta melakukan pembenahan, dan peningkatan efisiensi
sistem pemasaran merupakan faktor kunci keberhasilan, akan tetapi selama ini
kebijakan tersebut tidak konsisten, sehingga keberhasilannya hanya dicapai pada
10
Ringkasan Eksekutif, Kajian Issu Kebijakan dan Kinerja Pembangunan Pertanian.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ANJAK_RE_Kebijakan&Kinerja%20Pertanian.pdf.
Diakses pada tanggal 5 Juni 2013
56
saat program berlangsung saja. Didukung pula dengan pernyataan Subandi (2007)
yang menyatakan bahwa kedelai sebagai salah satu komoditas yang memperoleh
prioritas dalam pengembangannya, konsistensi program termasuk pendanaannya
juga harus mendapat perhatian dan alokasi yang sepadan. Dengan begitu,
dibutuhkan pula konsistensi dalam pelaksanaan program-program dalam
kebijakan peningkatan produksi kedelai agar tujuan swasembada kedelai pada
tahun 2014 dapat tercapai. Berdasarkan hasil perhitungan dari kedua program
dalam strategi kebijakan peningkatan produksi kedelai, yaitu perluasan areal
tanam dan peningkatan produktivitas kedelai dengan didasari oleh hasil proyeksi
jangka pendek produksi dan konsumsi kedelai domestik diharapkan minimal
mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dan
diharapkan dalam jangka panjang akan mampu untuk mencapai target
swasembada kedelai.
57
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Konsumsi kedelai di Indonesia lebih besar dibandingkan produksi kedelai
domestik dalam negeri. Persentase laju pertumbuhan rata-rata produksi kedelai
domestik selama kurun waktu tahun 1981 hingga 2011 hanya sebesar 2,10
persen, sedangkan laju pertumbuhan rata-rata konsumsinya sebesar 7,85
persen. Rendahnya pertumbuhan produksi kedelai domestik menjadi salah satu
pemicu ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
2. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi kedelai menggunakan ARIMA
bahwa Indonesia belum mampu untuk swasembada kedelai pada tahun 2014.
Pada tahun 2014 produksi kedelai domestik mencapai 672.020 ton, sedangkan
konsumsinya sebesar 2.661.406 ton, sehingga Indonesia diperkirakan akan
melakukan impor kedelai sebesar 1.989.386 ton. Strategi kebijakan untuk
mengatasi masalah ketergantungan impor adalah kebijakan peningkatan
produksi kedelai melalui program perluasan areal tanam dan atau peningkatan
produktivitas. Jika program perluasan areal tanam dilakukan maka pemerintah
harus menyediakan lahan baru sebesar 1.323.218,22 ha dengan asumsi lahan
tersebut satu kali panen kedelai dalam setahun. Jika hanya program
peningkatan produktivitas yang dilaksanakan, maka produktivitas harus
mencapai 4,28 ton per ha, namun peningkatan produktivitas sebesar nilai
tersebut sangat sulit dicapai, karena rata-rata peningkatan produktivitas kedelai
setiap tahunnya rendah, sehingga program ini baru bisa terlaksana bila
dilakukan bersamaan dengan perluasan areal tanam, yaitu peningkatan
produktivitas sebesar 2 ton per ha dan perluasan areal tanam baru sebesar
708.449 ha dengan asumsi lahan tersebut satu kali panen kedelai dalam
setahun. Berdasarkan hasil proyeksi diharapkan minimal mampu mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai dalam jangka pendek dan
bisa mencapai target swasembada dalam jangka panjang.
6.2 Saran
1. Rendahnya laju pertumbuhan produksi kedelai sebaiknya ditingkatkan dengan
melakukan peningkatan produktivitas melalui pengadaan penyuluhan kepada
58
petani, dan melakukan penelitian serta pengembangan teknologi komoditas
kedelai.
2. Pelaksanaan program perluasan areal tanam baru lebih diutamakan di daerah
luar jawa. Perluasan areal tanam pada potensi sumberdaya lahan yang cukup
baik seperti di Sumatera Barat, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Lampung,
NTB, Aceh, dan Sulawesi Tenggara.
3. Program peningkatan produktivitas diprioritaskan di wilayah-wilayah yang
produktivitas kedelainya masih tergolong rendah, di mana tingkat penerapan
teknologi oleh petani masih kurang. Wilayah-wilayah yang sesuai untuk
program ini antara lain adalah beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa
Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
4. Pemberdayaan BULOG bagi komoditas kedelai dalam pengaturan stabilitas
harga dan pasokan kedelai di pasar dengan harapan memberikan insentif bagi
usaha tani.
5. Penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) kedelai sebagai upaya
pelaksanaan kebijakan harga dasar untuk perbaikan harga jual kedelai.
6. Insentif Pembiayaan bagi usahatani kedelai dengan akses permodalan melalui
kredit perbankan ataupun koperasi yang mudah dan suku bunga yang rendah.
7. Perbaikan infrastruktur penunjang usahatani kedelai, seperti irigasi, listrik,
jalan, dan alat transportasi.
8. Kerja sama dan Komunikasi yang baik antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, organisasi non pemerintah, sektor swasta, dan petani, sehingga
penyebaran informasi terkait dalam upaya peningkatan produksi kedelai bisa
tersalurkan dengan baik dan merata.
9. Peningkatan Peranan Aktif Pemerintah Daerah dalam tujuan meningkatkan
produksi pertanian daerahnya, khususnya kedelai harus sesuai dengan UU no.
18 tahun 2012 tentang pangan sehingga upaya dalam peningkatan hasil
pertanian lebih terfokus pada masing-masing daerah.
10. Penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
konsumsi komoditas kedelai domestik dalam ruang lingkup daerah ataupun
secara umum di Indonesia diperlukan sehingga lebih fokus dalam mengkaji
59
faktor-faktor yang menyebabkan naik turunnya produksi dan konsumsi
kedelai.
11. Penelitian lanjutan mengenai analisis efisiensi produksi dan tingkat
pendapatan petani dalam usahatani kedelai diperlukan juga untuk mengetahui
tingkat pendapatan yang layak untuk diterima petani, karena pendapatan
petani menjadi salah satu faktor rendahnya produksi kedelai di Indonesia.
60
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Novie Krishna. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Ubi Jalar Nasional
Dalam Rangka Rencana Program Diversifikasi Pangan Pokok. [Skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Amang, Beddu. 1993. Kebijakan Harga, Pengadaan Dan Distribusi Dalam Rangka
Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju
Tercapainya Swasembada Pangan; 1993 Juni 5. Bogor, Indonesia. Bogor:
Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 59 -
71.
Aritongan, Lerbin R. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arsyad, Lincolin. 2001. Peramalan Bisnis. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Assauri, Sofjan. 1984. Teknik dan Metoda Peramalan. Jakarta: Falkultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan
Agribisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2012. Subsektor-subsektor dari Sektor Pertanian. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2012a. Jumlah Kedelai Impor Indonesia Tahun 2000 –
2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2012b. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 1990 – 2010.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. 2012. Data Produksi, konsumsi,
luas areal panen, dan produktivitas kedelai domestik tahun 1981 - 2011.
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2013a. Jumlah Kedelai Domestik dan Impor Tahun 2001 -
2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2013b. Permintaan Industri Tahu Tempe Terhadap Kedelai
Tahun 2009 – 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2013c. Angka Partisipasi Sekolah di Indonesia Tahun 2007
– 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
_________________. 2013d. Pendapatan Domestik Bruto per Kapita Atas Dasar
Harga Konstan 2000 Tahun 2007 - 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. 2013. Jumlah Konsumsi
Langsung Kedelai Tahun 2007 - 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik dan
Kementerian Pertanian.
61
Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Peta Potensi dan Ketersediaan
Sumberdaya Lahan Mendukung Swasembada Kedelai 2014. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2008.
Teknologi Produksi Kedelai: Arah dan Pendekatan Pengembangan Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):5 -
6.
Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian (Balitkabi). 2012.
Pengembangan Sistem Perbenihan Kedelai Berbasis Komunitas [Internet].
Malang: Kementerian Pertanian. 8 Juni 2013
Cahyadi, Wisnu. 2009. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Jakarta: Bumi Aksara.
Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis. 2013. Perkembangan Harga
Kedelai di Indonesia Tahun 2003 – 2012. Jakarta: Kementerian
Perdagangan.
Direktorat Budidaya Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 2009. Roadmap
Peningkatan Produksi Kedelai 2010 – 2014. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Firdaus, Muhammad. 2004. Ekonometrika Sutau Pendekatan Aplikatif. Jakarta:
Bumi Aksara.
_________________. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. Bogor: IPB Press
Fizzanty, Trina dan Erman Aminullah. 2010. Model Kestabilan Dinamis
Penyediaan Pangan Kedelai di Indonesia: Posisi Penting Iptek. Jakarta:
LIPI Press.
Hanani, Nuhfil. 2009. Pengertian Ketahanan Pangan [Internet].
http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/2009/03/2-pengertian-ketahanan-pangan-
2.pdf. Malang: Universitas Brawijaya. 31 Juli 2013.
Hermanto. 2008. Menggenjot Produksi Kedelai dengan Teknologi. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian [Internet]. 17 April 2013; 30(1):1 –
2.
Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan
Aplikasi. Bogor: IPB Press.
Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Sekretariat Jenderal
Kementerian Pertanian 2010 - 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2011. Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Tahun
2011. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2012a. Data Konsumsi Kedelai Tahun 1981 - 2011.
Jakarta: Kementerian Pertanian.
62
Kementerian Pertanian. 2012b. Varietas Unggul Kedelai yang Memiliki Potensi
Lebih Besar dari 3 Ton per Hektar. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2013. Data Luas Serangan OPT Utama pada Tanaman
Kedelai Rerata 5 Tahun (2005 - 2009) dan Tahun 2010 – 2012. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
Kuntjoro, Sri Utami. 1997. Strategi Pengembangan Kedelai Menuju Swasembada.
Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics 6th
edition. New York: Worth
Publisher.
Manwan, Ibrahim dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Kedelai.
Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi
Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press.
Hlm 69 – 150.
Manwan, Ibrahim, Sumarno dan Bambang Sayaka. 1996. Sistem Usahatani
Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M. Husen Sawit, Anas Rachman, editor.
Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996 Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor:
IPB Press. Hlm 69 – 150.
Maretha, Dedy. 2008. Peramalan Produksi Dan Konsumsi Kedelai Nasional Serta
Implikasinya Terhadap Strategi Pencapaian Swasembada Kedelai Nasional.
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Marwoto, P. Simatupang, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan
Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. Di dalam: Achmad Winarto,
Bambang Sri Kuncoro, editor. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai
di Lahan Sub-optimal; 2005 Juli 26 - 27; Malang, Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15.
Mason, Robert D dan Douglas A. Lind. 1999. Teknik Statistika untuk Bisnis dan
Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Menteri Negara Urusan Pangan. 1993. Prospek dan Tantangan dalam Mencapai
Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategi Menuju
Tercapainya Swasembada Pangan. 1993 Juni 5; Bogor, Indonesia.Bogor:
Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB. Hlm 22 –
31.
Mulyani, Anni. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan
Kedelai di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
[Internet]. 17 April 2013; 30(1):3 – 34.
Mursidah. 2005. Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Upaya
Pengembangannya di Propinsi Kalimantan Timur. EPP [Internet]. 1
Februari 2013; 2(1):39 - 44.
Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan,
Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.
63
Nurgiantoro, Burhan, Gunawan, dan Marzuki. 2009. Statistik terapan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwanti, Setyastuti. 2004. Kajian Suhu Ruang Simpan Terhadap Kualitas Benih
Kedelai Hitam dan Kedelai Kuning. Ilmu Pertanian [Internet]. 1 Februari
2013; 11(1):22 - 31.
Purwantoro. 2013. Percepatan Penyebaran Varietas Unggul Melalui Sistem
Penangkaran Perbenihan Kedelai Di Indonesia [Internet]. Malang:
Kementerian Pertanian. 9 Juni 2013
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbang). 2006. Prospek
dan Arah Pengembangan Agrbisnis Kedelai. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Rachmat, Muchjidin. 2011. Kebijakan Lahan dalam Membangun Kemandirian
Pangan. Di dalam: Sahat M. Pasaribu, Handewi P. Saliem, Haryono
Soeparno, Effendi Pasandaran, Faisal Kasryno, editor. Konversi dan
Fragmentasi Lahan, Ancaman Terhadap Kemadirian Pangan. Jakarta,
Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 190 – 203.
Rahim, Abd dan Diah Retno Dwi Astuti. 2007. Pengantar, Teori, dan Kasus
Ekonomika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sari, Dinar Frihastika. 2011. Analisis Dayasaing dan Strategi Pengembangan
Agribisni Kedelai Lokal di Indonesia. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Simatupang, P, Marwoto, dan Dewa K. S. Swastika. 2005. Pengembangan
Kedelai dan Kebijakan Penelitian Di Indonesia. Lokakakarya
Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal. 2005 Juli 2006; Malang,
Indonesia. Hlm 168 – 189.
Siregar, Syafaruddin. 2004. Statistik Terapan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Subandi. 2007. Lima Strategi Pengembangan Kedelai. Sinar Tani [Internet]. 1
Februari 2013. Sumber: Koran Sinar Tani Edisi 30 Mei - 5 Juni 2007.
Sugiarto dan Harijono. 2000. Peramalan Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Sudaryanto, Tahlim. 1996. Konsumsi Kedelai. Di dalam: Beddu Amang, M.
Husen Sawit, Anas Rachman, editor. Ekonomi Kedelai di Indonesia; 1996
Oktober 3; Jakarta, Indonesia. Bogor: IPB Press. Hlm 69 – 150.
Suhardjo. 1993. Seminar Kebijakan Dan Strategi Menuju Tercapainya
Swasembada Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan Dan Gizi,
Lembaga Penelitian IPB.
64
Supadi. 2008. Menggalang Partisipasi Petani Untuk Meningkatkan Produksi
Kedelai Menuju Swasembada. Jurnal Litbang Pertanian [Internet]. 1
Februari 2013; 27(3):106 - 111.
Suprapti, Lies. 2005. Kecap Tradisional. Yogyakarta: Kanisius.
Suryana, Achmad. 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung
Tercapainya Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Di dalam: Achmad
Winarto, Bambang Sri Kuncoro, editor. Inovasi Teknologi Kacang-
Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan
Kecukupan Energi. 2007 November 9 - 10; Malang, Indonesia. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm 1 – 15.
Zakiah. 2012. Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya
terhadap Manajemen Usaha Tani. MIMBAR [Internet]. 1 Februari 2013;
28(1):77 - 84.
Zakaria, Amar K. 2010a. Program Pengembangan Agribisnis Kedelai dalam
Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian
[Internet]. 17 April 2013; 29(4):147 – 153.
Zakaria, Amar K. 2010b. Kebijakan Pengembangan Budidaya Kedelai Menuju
Swasembada Melalui Partisipasi Petani. Jurnal Litbang Pertanian [Internet].
17 April 2013; 8(3):259 – 272.
66
Lampiran 1. Tabel Data Produksi, Konsumsi, Luas Panen, dan Produktivitas
Kedelai Domestik Tahun 1981-2011
Tahun Produksi
(000 Ton)
Konsumsi
(000 Ton) Luas Panen (Ha)
Produktivitas
(Ton/Ha)
1981 703,811 633,227 810.095 0,869
1982 521,394 532,258 607.708 0,858
1983 536,103 727,379 639.876 0,838
1984 769,384 1.032,112 858.854 0,896
1985 869,718 1.023,265 896.220 0,970
1986 1.226,727 1.459,941 1.253.767 0,978
1987 1.160,963 1.297,666 1.098.565 1,057
1988 1.270,418 1.633,927 1.177.000 1,079
1989 1.315,113 1.548,390 1.198.000 1,098
1990 1.487,433 1.878,098 1.334.021 1,115
1991 1.555,453 2.022,620 1.368.000 1,137
1992 1.869,713 2.318,370 1.666.000 1,122
1993 1.707,126 2.199,342 1.468.316 1,163
1994 1.564,179 2.120,143 1.406.038 1,112
1995 1.679,092 2.124,827 1.476.284 1,137
1996 1.515,937 2.162,374 1.277.736 1,186
1997 1.356,108 1.775,471 1.118.140 1,213
1998 1.304,950 1.267,046 1.094.262 1,193
1999 1.382,848 2.498,418 1.151.079 1,201
2000 1.017,634 2.133,378 824.484 1,234
2001 826,932 1.180,431 678.848 1,218
2002 673,056 1.834,005 544.522 1,236
2003 671,600 1.681,203 526.796 1,275
2004 723,483 1.649,668 565.155 1,280
2005 808,353 1.711,797 621.541 1,301
2006 747,611 1.593,836 580.534 1,288
2007 592,534 1.613,033 459.116 1,291
2008 775,710 1.745,590 590.956 1,313
2009 974,512 2.045,775 722.791 1,348
2010 907,031 2.319,379 660.823 1,373
2011 851,286 2.583,061 622.254 1,368
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2012
67
Lampiran 2. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi
Kedelai Domestik pada Tingkat Level
Null Hypothesis: PRODUKSI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.283712 0.6239
Test critical values: 1% level -3.670170
5% level -2.963972
10% level -2.621007
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: KONSUMSI has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.711369 0.2394
Test critical values: 1% level -4.296729
5% level -3.568379
10% level -3.218382
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
68
Lampiran 3. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi dan Konsumsi
Kedelai Domestik pada First Difference
Null Hypothesis: D(PRODUKSI) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.896799 0.0025
Test critical values: 1% level -4.309824
5% level -3.574244
10% level -3.221728
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(KONSUMSI) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.151825 0.0001
Test critical values: 1% level -4.323979
5% level -3.580623
10% level -3.225334
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
69
Lampiran 4. Hasil Uji ADF untuk Penstasioneran Data Produksi Kedelai
Domestik pada Second Difference
Null Hypothesis: D(PRODUKSI,2) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7) t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.987774 0.0024
Test critical values: 1% level -4.356068
5% level -3.595026
10% level -3.233456
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
70
Lampiran 5. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai
Domestik pada First Difference
Lag
Au
toco
rre
lati
on
87654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
87654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Partial Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
71
Lampiran 6. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Produksi Kedelai
Domestik pada Second Difference
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Partial Autocorrelation Function for differencing 2(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
Lag
Au
toco
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Autocorrelation Function for differencing 2(with 5% significance limits for the autocorrelations)
72
Lampiran 7. Hasil Analisis Plot ACF dan PACF Data Konsumsi Kedelai
Domestik pada First Difference
Lag
Au
toco
rre
lati
on
87654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
87654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
Partial Autocorrelation Function for Differencing 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
73
Lampiran 8. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Produksi
Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000
Ton)
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1342257 0,100 0,100 4,021
1 1082429 -0,050 0,250 4,819
2 1037457 0,048 0,400 4,276
3 984505 0,129 0,550 3,557
4 919322 0,170 0,700 2,228
5 843061 0,118 0,849 -1,379
6 800465 0,133 0,948 -3,495
7 765807 0,156 1,012 -3,947
8 749430 0,122 1,026 -4,981
9 743908 0,120 1,053 -5,042
10 729288 0,094 1,050 -5,247
11 726668 0,088 1,052 -5,374
12 724692 0,089 1,059 -5,573
13 724214 0,079 1,056 -5,451
14 724060 0,081 1,055 -5,447
15 724058 0,081 1,055 -5,449
Unable to reduce sum of squares any further
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 0,0806 0,1891 0,43 0,673
MA 1 1,0550 0,1125 9,37 0,000
Constant -5,449 1,162 -4,69 0,000
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 651641 (backforecasts excluded)
MS = 25063 DF = 26
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 14,2 22,6 * *
DF 9 21 * *
P-Value 0,114 0,365 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 768,50 458,14 1078,85
33 678,08 233,53 1122,63
34 581,60 44,25 1118,94
74
Lampiran 8. Lanjutan
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1471000 0,100 4,021
1 1287683 -0,050 4,961
2 1163063 -0,200 5,180
3 1097058 -0,350 4,623
4 1085706 -0,433 3,616
5 1085563 -0,443 3,243
6 1085561 -0,444 3,186
7 1085561 -0,444 3,179
8 1085561 -0,444 3,178
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,4437 0,1721 -2,58 0,016
Constant 3,18 37,13 0,09 0,932
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 1079553 (backforecasts excluded)
MS = 39983 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 13,4 22,1 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,204 0,457 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 793,51 401,51 1185,51
33 739,81 14,68 1464,95
34 687,49 -472,41 1847,39
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1237514 0,100 4,468
1 1112374 0,250 4,280
2 1013535 0,400 3,868
3 934149 0,550 2,963
4 875046 0,700 1,112
5 847665 0,801 -1,485
6 835124 0,856 -2,797
7 820652 0,908 -3,682
75
Lampiran 8. Lanjutan
8 789575 0,975 -4,605
9 754286 1,027 -5,228
10 712310 1,087 -6,824
11 702705 1,087 -6,792
12 702685 1,087 -6,787
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 1,0870 0,0872 12,46 0,000
Constant -6,787 1,980 -3,43 0,002
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 625766 (backforecasts excluded)
MS = 23177 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 14,8 24,0 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,139 0,347 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 772,65 474,21 1071,10
33 687,24 283,11 1091,37
34 595,03 121,64 1068,42
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1342810 0,100 0,100
1 1082536 -0,050 0,250
2 1037081 0,048 0,400
3 983353 0,128 0,550
4 917771 0,170 0,700
5 847687 0,128 0,850
6 831827 0,109 0,906
7 824168 0,122 0,937
8 819227 0,137 0,956
9 818102 0,146 0,963
10 817988 0,150 0,966
11 817986 0,151 0,966
Unable to reduce sum of squares any further
76
Lampiran 8. Lanjutan
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 0,1513 0,1972 0,77 0,450
MA 1 0,9660 0,0826 11,69 0,000
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 791000 (backforecasts excluded)
MS = 29296 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 13,6 20,4 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,194 0,557 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 835,44 499,90 1170,98
33 825,63 305,27 1345,99
34 816,73 148,93 1484,53
ARIMA Model: Produksi ARIMA (1,2,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1471612 0,100
1 1288188 -0,050
2 1163435 -0,200
3 1097354 -0,350
4 1085988 -0,434
5 1085850 -0,443
6 1085848 -0,444
7 1085848 -0,444
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,4439 0,1690 -2,63 0,014
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 1079699 (backforecasts excluded)
MS = 38561 DF = 28
77
Lampiran 8. Lanjutan
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 13,4 22,1 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0,269 0,514 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 790,33 405,37 1175,29
33 731,69 19,63 1443,75
34 672,02 -466,96 1811,00
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 1237978 0,100
1 1112630 0,250
2 1013419 0,400
3 933442 0,550
4 874132 0,700
5 849840 0,802
6 844421 0,841
7 842262 0,863
8 841049 0,877
9 840201 0,889
10 839514 0,898
11 838891 0,907
12 838276 0,915
13 837638 0,923
14 836969 0,930
15 836305 0,937
16 835723 0,943
17 835312 0,948
18 835095 0,952
19 835019 0,954
20 835014 0,956
Unable to reduce sum of squares any further
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 0,9559 0,0761 12,55 0,000
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 31, after differencing 29
Residuals: SS = 802699 (backforecasts excluded)
MS = 28668 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
78
Lampiran 8. Lanjutan
Chi-Square 16,6 25,2 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0,122 0,340 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 846,02 514,10 1177,95
33 840,76 360,89 1320,64
34 835,50 234,88 1436,12
79
Lampiran 9. Gambar Hasil Estimasi Model ARIMA untuk Data Konsumsi
Kedelai Domestik dari Tahun 1981-2011 dengan Minitab 14 (000
Ton)
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 4828072 0,100 0,100 52,076
1 4057097 -0,050 -0,045 67,441
2 3536106 -0,200 -0,191 84,723
3 3265881 -0,350 -0,337 103,149
4 3224803 -0,430 -0,416 113,749
5 3224654 -0,435 -0,420 114,592
6 3224653 -0,435 -0,421 114,654
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,4350 0,1768 -2,46 0,021
AR 2 -0,4207 0,1777 -2,37 0,025
Constant 114,65 63,08 1,82 0,080
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 3220844 (backforecasts excluded)
MS = 119291 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 6,0 14,8 * *
DF 9 21 * *
P-Value 0,737 0,835 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 2467,89 1790,80 3144,98
33 2521,70 1744,02 3299,39
34 2661,41 1851,61 3471,21
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 4577172 0,100 58,585
1 4160582 -0,050 67,084
2 3933475 -0,200 76,511
3 3887391 -0,298 83,583
4 3887204 -0,304 84,390
5 3887203 -0,305 84,459
6 3887203 -0,305 84,465
80
Lampiran 9. Lanjutan
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,3048 0,1809 -1,68 0,103
Constant 84,46 68,01 1,24 0,225
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 3884889 (backforecasts excluded)
MS = 138746 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 9,5 12,8 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,486 0,938 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 2587,16 1856,94 3317,38
33 2670,38 1781,02 3559,73
34 2729,48 1670,16 3788,80
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (2,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 4915416 0,100 0,100
1 4203686 -0,050 -0,046
2 3758383 -0,200 -0,192
3 3581749 -0,350 -0,341
4 3578706 -0,370 -0,363
5 3578695 -0,371 -0,364
6 3578695 -0,371 -0,364
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,3713 0,1791 -2,07 0,048
AR 2 -0,3643 0,1807 -2,02 0,053
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 3576394 (backforecasts excluded)
MS = 127728 DF = 28
81
Lampiran 9. Lanjutan
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 5,1 12,6 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0,884 0,943 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 2385,50 1684,87 3086,13
33 2362,80 1535,20 3190,40
34 2443,19 1568,91 3317,48
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 4680965 0,100
1 4299596 -0,050
2 4112869 -0,200
3 4092397 -0,265
4 4092336 -0,269
5 4092336 -0,269
Relative change in each estimate less than 0,0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 -0,2689 0,1804 -1,49 0,147
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 4091652 (backforecasts excluded)
MS = 141091 DF = 29
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 9,5 13,0 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0,576 0,953 * *
Forecasts from period 31
95 Percent
Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
32 2512,16 1775,79 3248,53
33 2531,22 1619,04 3443,40
34 2526,10 1438,87 3613,33
82
Lampiran 10. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Produksi Kedelai
Domestik
Lag
Au
toco
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
ACF of Residuals for Produksi(with 5% significance limits for the autocorrelations)
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
PACF of Residuals for Produksi(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
83
Lampiran 11. Hasil Analisis Residual ACF dan PACF untuk Konsumsi Kedelai
Domestik
Lag
Au
toco
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
ACF of Residuals for Konsumsi(with 5% significance limits for the autocorrelations)
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
7654321
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
PACF of Residuals for Konsumsi(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
84
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 22 Desember 1990 dari Bapak
Hadi Wahyudi dan ibu Irna Holiyani. Penulis adalah putri pertama dari 6
bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2009. Pada tahun
yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program mayor Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selain itu, penulis juga
melengkapi mandat dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
dengan mengambil program Minor Ilmu Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis menerima beasiswa dari
Direktorat Kemahasiswaan IPB dari tahun pertama sampai menyelesaikan kuliah
di IPB. Penulis juga aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di IPB seperti
Anggota di Organisasi Century (Center of Entrepreneurship Development for
Youth) IPB periode tahun 2009 - 2010, Kepala Divisi Promosi dan Pemasaran
Century IPB periode tahun 2010 – 2011, dan menjadi Dewan Komisaris Century
IPB periode tahun 2011-2012. Selain itu penulis juga menjadi sekretaris divisi ID
(Internal Development di Organisasi REESA (Resources and Environmental
Economics Student Association) periode tahun 2010 - 2011 serta aktif di berbagai
kepanitiaan dan kegiatan lainya di IPB. Selain aktif di organisasi kemahasiswaan,
penulis juga aktif sebagai asisten praktikum ekonomi umum TPB di Departemen
Ilmu Ekonomi, FEM IPB dari tahun 2010 – 2013.