Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

33
Kelompok : M yusuf faisal Faisal khoirudin Reza satriawan Ilham kusuma sucahyo Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan Di Kota Yogyakarta Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu sendirilah yang membedakan diantara sesama manusia baik berwujud sikap, perilaku maupun perlakuannya, pembedaan ini masih sangat dirasakan oleh mereka yang kebetulan penyandang cacat, baik cacat sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia baik yang menyandang cacat maupun yang tidak menyandang cacat (Tjep F Aloewie, 2000:1). Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, kaumpenyandang cacat mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang “beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of production atau dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandangmasyarakat dalam melihat hasil kerja kaum penyandang cacat mengacu kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas kecacatan, sehingga perlu dikasihani. Dari Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296 segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya orang cacat dengan orang yang tidak cacat, walaupun, secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan oleh kaumpenyandang cacat. Kenyataan ini pula yangmembuat para penyandang cacatmenolak dengan tegas istilah disable untuk sebutan kaum mereka dan menggantinya dengan istilah diffable yang artinya different ability. Terminologi diffable dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan perbedaan kemampuan fisik kaum penyandang cacat (Wayan Damai dan Ayu Triyani, 2003). Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana

description

analisis

Transcript of Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Page 1: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyo

Analisis Perlindungan Hukum terhadap HakPenyandang Cacat dalam Meraih Pekerjaan

Di Kota Yogyakarta

Latar Belakang Masalah

Tuhan menciptakan manusia di dunia ini adalah sama, namun manusia itu sendirilah yang membedakan diantara sesama manusia baik berwujud sikap, perilaku maupun perlakuannya, pembedaan ini masih sangat dirasakan oleh mereka yang kebetulan penyandang cacat, baik cacat sejak lahir maupun setelah dewasa, dan kecacatan tersebut tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia baik yang menyandang cacat maupun yang tidak menyandang cacat (Tjep F Aloewie, 2000:1).

Dalam segala hal yang berurusan dengan aktivitas fisik, kaumpenyandang cacat mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang “beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada mode of production atau dalam cara-cara berproduksi. Seringkali cara pandangmasyarakat dalam melihat hasil kerja kaum penyandang cacat mengacu kepada pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan mempertegas kecacatan, sehingga perlu dikasihani. Dari Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat... Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian atas hasil karya orang cacat denganorang yang tidak cacat, walaupun, secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan oleh kaumpenyandang cacat. Kenyataan ini pula yangmembuat para penyandang cacatmenolak dengan tegas istilah disable untuk sebutan kaum mereka dan menggantinya dengan istilah diffable yang artinya different ability.

Terminologi diffable dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan perbedaan kemampuan fisik kaum penyandang cacat (Wayan Damai dan Ayu Triyani, 2003). Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan penyandang cacat sebagaimana tersebut di atas, berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk keberlangsungan hidup mereka. Hal ini tercermin dari protes yang dilayangkan oleh Nuning Suraytiningsih dari Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) Yogyakarta, pada saat melakukan aksi di DPRD DIY (Ibid). Menurut Nuning, kaum diffable masih merasakan adanya diskriminasi oleh pemerintah.

Salah satu perlakuan diskriminatif tersebut, menurutnya adalah minimnya fasilitas umum bagi kaum diffable dan kecilnya kesempatan kerja. Dia mengatakan, penyebab utama perlakuan diskriminatif selama ini adalah minimnya peraturan yang mengatur kaum diffable. Saat ini, menurutnya semua peraturan atau Undang-undang yang dibuat hampir semuanya tidak berperspektif diffable, sehingga kaum diffable seolah bukan bagian dari masyarakat” (Ibid).

Menurut Tjepy FAloewie (Ibid), Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga KerjaRI, peranan Depnaker dalam memberikan kesamaan dan kesempatan pelayanan ketenagakerjaan serta pengembangan Sumber Daya Manusia kepada penyandang cacat, diarahkan pada upaya

Page 2: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyopeningkatan harkat,martabat dan kemampuan sertamenambah rasa percaya diri sendiri. Upaya peningkatan ini diarahkan untuk menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera melalui pemerataan dan kesamaan memperoleh kesempatan kerja.

Dalam jajaran pelaksana Pemerintahan, Departemen Tenaga Kerja sebagai salah satupengemban tugas dan fungsi tehnis di bidang ketenagakerjaan, secara filosofis dan konstitusional, bertumpu pada dasar falsafah Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan Pasal 27 ayat 2 UUD ’45 memberi kerangka acuan global bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Makna yang terkandung di dalamnya mempunyai arti, bahwa tidak ada perbedaan setiap warga untuk memperoleh pekerjaan, baik warga pernyandang cacat maupun masyarakat pada umumnya. Mereka mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dalam penghidupan dan kehidupan. Dengan demikian, penyandang cacat berhak bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dengan menyesuaikan jenis dan tingkat derajat kecacatannya (Op.Cit).

Berbekal pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit penyandang cacat berhasilmengangkat tingkat kesejahteraan dalamkehidupan yang lebih baik. Hal ini tidak terlepasdari peran penempatan tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat ( the right person on the right job) sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Keberhasilan kehidupan Penyandang Cacat tentunya dapat menepis pandangan sebagian masyarakat bahwa tenagaKerja Penyandang Cacat kurang produktif bila dibanding dengan tenaga kerja pada umumnya, dan bila memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat, perusahaan akan merugi dan produksinya akan terusmerosot. Belumlagimobilitasmereka dianggap sangat terbatas, sehingga menjadi beban bagi perusahaan untuk menyediakan fasilitas (Ibid).

Disamping itu, pandangan masyarakat yang masih keliru tersebut dapat dibuktikan denganeksistensi kemandirian para penyandang cacat dalam menghasilkan barang atau jasa.

Penyandang cacat terbukti dapat berkarya secara produktif baik secara sendiri-sendiri maupunsecara Berkelompok/Kelompok Usaha Bersama (KUB) (Ibid). Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat terutama di Indonesia masih beranggapan bahwa tuna netra, meskipun telahSaru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296diberikan rehabilitasi, termasuk rehabilitasi pendidikan dan rehabilitasi vokasional, tetapsaja mereka tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif, akibatnya, mereka ditempatkan sebagai warga masyarakat yang senantiasa harus disantuni.

Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada tiga masalah yang bisa

dirumuskan sebagai berikut, yaitu: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kesetaraan hak-hak para penyandang cacat (diffable) sebagai warga masyarakat Indonesia?; (2) Bagaimanakah kebijakan pemerintah dan kalangan pengusaha terhadap hak-hak penyandang cacat (diffable) dalammemperoleh pekerjaan?;dan (3) Faktor-faktor apa saja yangmendukung danmenghambat kesetaraan hak para tenaga kerja penyandang cacat dalam meraih peluang kerja?

Page 3: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyo

Adapun ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi: Identifikasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan hak-hak penyandang cacat (diffable); potensi SDMdan diversifikasi peluang kerja bagi para penyandang cacat (diffable); kebijakan pemerintah dan kalangan pengusaha terhadap kesetaraan hak penyandang cacat dalam meraih pekerjaan; faktor-faktor yang mendukung dan menghambat kesetaraan hak para tenaga kerja penyandang cacat dalam kesempatan meraih pekerjaan, dan menganalisis konsepsi hukum yang terkait dengan hak-hak penyandang cacat dalam meraih kesempatan kerja.

Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui konsepsi hukum yang terkait dengan hakhakpara penyandang cacat, baik hak-hak politik, sosial dan ekonomi, khususnya dalam bidangpekerjaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan solusi dalam mewujudkankesetaraan hak-hak para penyandang cacat sebagai warga Negara, khususnya dalammemperoleh pekerjaan; selain itu tujuan penelitian ini untuk membangun image yang positifterhadap para penyandang cacat di masyarakat bahwa pada hakikatnya mereka itu mempunyai hak-hak yang sama di mata hukum sebagai warga negara.Hasil penelitian ini diharapkan dapatmenjadi kontribusi positif baik bagi pemerintah sebagaipemegang kebijakan dalam membuat regulasi yang relevan dengan kebutuhan dan kondisipara penyandang cacat. Bagi pengusaha diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalamperekrutan karyawan terutama dari kelompok penyandang cacat. Selain itu, bagi masyarakatsecara umumdiharapkan hasil penelitian dapatmembuka cakrawala pemahaman dan kesadaran untuk menjadikan para penyandang cacat setara sebagai warga Negara dengan segala dan kewajiban yang melekat padanya. Terakhir diharapkan hasil penelitian bermanfaat bagi parapenyandang cacat sendiri dalampemberdayaan potensimereka dalamupayameraih kesempatanyang sama dengan warga Negara lainnya untuk mendapatkan pekerjaan khususnya.

Tinjauan PustakaKerangka TeoriPengertian Penyandang Cacat

Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 dan pada bagian penjelasannya disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu ataumerupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:1. Penyandang cacat fisik, meliputi:a) Penyandang cacat tubuh (tuna daksa)Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296160b) Penyandang cacat netra (tunanetra)c) Penyandang cacat tuna wicara/rungud) Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis)2. Penyandang cacat mental, meliputi:a) Penyandang cacat mental (tuna grahita);b) Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);

Page 4: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoc) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.Pada ayat 2 sampai ayat 6 diuraikan mengenai hal-hal yang terkait dengan penyandangcacat, seperti pengertian derajat kecacatan sebagai tingkat berat ringannya keadaan cacat yangdisandang seseorang. Selanjutnya dijelaskan pada ayat berikutnya menyangkut kesamaankesempatan bagi penyandang cacat yang diartikan sebagai keadaan yangmemberikan peluangkepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspekkehidupan dan penghidupan.

Sebagai upaya menjembatani perwujudan dari hak-hak persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat sebagaimana disebutkan di atas, maka pada ayat selanjutnya dalam Pasal 1 tersebut diuraikan pengertian dari aksesibilitas sebagai kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Selanjutnya dalam konteks pemberdayaan para penyandang cacat dijelaskan mengenai rehabilitasi sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.Pada bagian lain diuraikan mengenai arti dari bantuan sosial sebagai upaya pemberianbantuan kepada penyandang cacat yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar merekadapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya, dan selanjutnya diuraikan juga mengenaiarti pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial sebagai upaya perlindungan dan pelayanan yangbersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapatmewujudkan taraf hidup yang wajar. Senada dengan rumusan pengertian penyandang cacat tersebut, dalam ketentuan deklarasi hak-hak penyandang cacat Perserikatan Bangsa Bangsa, disebutkan bahwa penyandang cacat adalah seseorang yang tidak mampu baik secara keseluruhan maupun sebagian dari kebutuhannya seperti halnya orang normal yang disebabkan keterbatasan kemampuan baik secara fisik maupun kemampuan mentalnya (UN, 1993:541).Kewajiban Hukum dan Moral Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga mempunyaikedudukan hak: kewajiban dan peran yang sama. Kepedulian pemerintah telah terwujud dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandanag Cacat. Sesuai dengan isi yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap warga negara mempunyai kesamaan dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kehidupan dan penghidupan. Ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997, bahwa setiap perusahaan baik pemerintah maupun swasta harus memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat denganmempekerjakan penyandang cacat di perusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatannya, pendidikan dan keterampilannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruhnya.

Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Quota tersebut hendaknya tidakdiberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat bukan karena adanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai moral sebagai sesama manusia dan satu bangsa. Upaya ini perlu adanya dukungan dan komitmen dari seluruhmasyarakat dan dukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan (Op.Cit).Senada dengan ketentuan tersebut, dalam ketentuan Undang-undang No.13 tahun 2004

Page 5: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyodisebutkan, bahwa perusahaan yangmempekerjakan penyandang cacat,maka diwajibkan untuk menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang dapat menunjang bagi tenaga kerja penyandan cacat tersebut dalam menjalankan tugasnya (Abdul Khakim, 2003:64).Perhatian Masyarakat Internasional Hak-hak para penyandang cacat telah lama menjadi pusat perhatian Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi Internasional lainnya. Hasil yang paling penting dariTahun Penyandang Cacat Internasional 1981 adalah Program Aksi Dunia mengenai ParaPenyandang Cacat yang telah ditetapkan oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya No.37/52. Tahun Penyandang Cacat Internasional dan Program Aksi Dunia tersebut, merupakan tenaga penggerak yang kuat bagi kemajuan dalam bidang kecacatan ini. Kedua hal tersebut, memberi tekanan pada hak para penyandang cacat untuk memperoleh kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya, serta hak untuk memperoleh bagian yang sama dalam perbaikan kondisi kehidupan sebagai hasil dari pembangunan sosial dan ekonomi (Resolusi PBB,1993). Pertemuan global para ahli untuk meninjau kembali pelaksanaan program aksi dunia mengenai para penyandang cacat pada pertengahan Dekade PBB untuk Para Penyandang Cacat diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1987. Pada pertemuan tersebut disarankan agar dikembangkan satu filsafat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan prioritas bagi aksi di tahun-tahun mendatang. Dasar filsafat tersebut seyogyanya berupa pengakuan atas hak-hak para penyandang cacat. Sehubungan dengan hal tersebut, pertemuan itu merekomendasikan agar Sidang Umum menyelenggarakan suatu konferensi khusus untuk merancang konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap para penyandang cacat, yang harus diratifikasi oleh negara-negaramenjelang berakhirnya dekade tersebut (Ibid). Sebuah rancangan garis besar konvensi disiapkan oleh Italia dan disajikan kepada sidang umum ke-42. Penyajian lebih lanjut mengenai rancangan konvensi itu dilakukan oleh Swedia pada sidang ke-44, akan tetapi, dalam kedua sidang tersebut tidak dapat dicapai sebuah konsensus tentang konvensi yang cocok. Banyak perwakilan berpendapat bahwa dokumendokumen tentang hak-hak asasimanusia yang telah ada sudah dapatmenjamin para penyandang cacat untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan orang lain (Ibid). Peraturan Hukum Standar Peraturan standar persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat telah dikembangkan atas dasar pengalaman yang diperoleh selama Dekade Penyandang Cacat PBB (1983 - 1992).Piagam Internasional Hak-hak Azazi Manusia, yang terdiri dari Deklarasi Hak Azazi Manusia Universal, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Perjanjian Intemasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi tentang Hak-hak Anak, dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadapWanita,maupun ProgramAksi Dunia mengenai PenyandangCacat,merupakan landasan politik danmoral bagi peraturan ini.Meskipun peraturan ini tidak wajib, tetapi dapat menjadi peraturan keluaran internasional jika ditetapkan oleh sejumlah besar negara dengan tujuanmenghormati suatu aturan dalam hukum internasional (Ibid).

Peraturan tersebut mengandung nilai moral yang tinggi, dan negara-negara memerlukankomitmen politik yang kuat untuk dapat melaksanakannya demi terciptanya persamaankesempatan itu. Prinsip-prinsip penting untuk bertanggung jawab, berbuat dan bekerja samaterkandung pula di dalamnya. Bidang-bidang yang sangat penting bagi kualitas kehidupan dan demi tercapainya partisipasi penuh dan persamaan pun termuat. Peraturan ini dapat dipergunakan sebagai suatu instrumen bagi pembuatan kebijaksanaan dan pengambilan tindakan bagi para penyandang cacat serta organisasi-organisasinya. Peraturan ini dapat pula

Page 6: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyodipergunakan sebagai dasar bagi kerja sama teknik dan ekonomi di antara negara-negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi organisasi internasional lainnya (Ibid).Peraturan tersebut bertujuan untuk menjamin agar para penyandang cacat anak-anak maupun dewasa, laki-laki ataupun perempuan,memperoleh hak dan kewajiban yang sama sepertiorang-orang lain sebagai warga masyarakatnya. Di dalam semua masyarakat di dunia ini masih terdapat hambatan-hambatan yang mengakibatkan para penyandang cacat tidak dapatmenggunakan hak dan kebebasannya sehingga sulit bagi mereka untuk berpartisipasi secarapenuh dalam kegiatan-kegiatan di masyarakatnya. Merupakan tanggung jawab negara-negarauntuk melakukan tindakan yang tepat demi menghilangkan hambatan-hambatan tersebut. Para penyandang cacat dan organisasi-organisasinya seyogyanya memainkan peran aktif sebagai mitra kerja dalam proses menghilangkan hambatan-hambatan tersebut (Ibid).Persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat merupakan suatu sumbangan yangsangat penting bagi usaha memobilisasi sumber daya manusia secara umum dan global.Perhatian khusus mungkin perlu diberikan kepada kelompok-kelompok tertentu seperti wanita, anak-anak, lanjut usia, yang miskin, para pekerja migran, penyandang cacat ganda atau multi,suku terasing dan etnik minoritas. Disamping itu, terdapat pula sejumlah besar pengungsipenyandang cacat yang mempunyai kebutuhan khusus yang memerlukan perhatian (Ibid).

Penelitian Terdahulu

Hasil riset Pusat HakAsasiManusia (PusHAM) Universitas IslamIndonesia (UII), Yogyakarta(2003), menyangkut hak asasi penyandang cacat di DIY, yang disampaikan kepada wartawan di Yogyakarta, Selasa 4 Februari 2003, menyimpulkan, bahwa penderita cacat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih terabaikan. Meskipun beberapa tempat di Kota Yogyakarta memberikan fasilitas bagi orang cacat, berupa ubin bertekstur pemandu (guiding blocks), seperti di trotoar Jalan Malioboro, gedung Jogja Ekspo Centre (JEC), dan Jalan Mangkubumi, tetapi pemanfaatannya belum ekfektif karena terganggu pedagang kaki lima.Kukus Kristanto dan Muji Kusnanto, keduanya penyandang cacat kaki yang menjadi responden PusHAM UII, mengungkapkan, fasilitas bagi penyandang cacat masih jauh darimemadai. Di Jalan Kaliurang, misalnya, Kukus dan Muji mengakui, satu-satunya kendaraanumum yang mau memberi tumpangan bagi penyandang cacat hanya bus Baker. Awak busBakermaumemberikan tumpangan pada penyandang cacat karena sudah ada perjanjian dengan Panti Yayasan Kesehatan Kristen Untuk Umum (Yakkum) (Kompas, 5/2/2003).Sheila Riddell dan Theresa Tinklin (2005), dari Universitas Glaslow, Scotlandia dalampenelitiannya yang berjudul: “Disability and Employment in Scotland: A Review of the EvidenceBase, mengemukakan beberapa temuan penting terkait dengan hak-hak penyandang cacatdalammeraih pekerjaa, yaitu: bahwa seperlima dari penduduk Scotlandiamengalami kecacatan.Namun demikian,meskipun ada kemajuan ekonomi dan peningkatan-peningkatan secara umumdalam bidang kesehatan, tetapi sejumlah penduduk penyandang cacat menuntut peningkatankesejahteraan dari rendahnya kualitas kehidupan mereka dan lemahnya perlindungan hukum terhadap mereka. Panjangnya jarak kota Scotlandia dan Glaslow menjadikan para pekerja penyandang cacat tidak mampu meraih kesejahteraan dan level yang paling rendah serta level yang paling tinggi tidak dapat diraih oleh para penyandang cacat.Para penyandang cacat jauh lebih sedikit untuk kualifikasi tenaga kerja dibandingkan denganmereka yang tidak cacat. Hal ini berimplikasi negatif terhadap hasil dari seleksi karyawan. Dalam status mereka sebagai pegawai posisi yang mereka raih rendah dan pengahasilannya

Page 7: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyojuga rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak cacat. Meskipun secara ekonomi umumnyapenyandang cacat di Scotlandiamengalami penderitaan yang lumayan panjang, namun keadilansosial dan kebijakan pembangunan ekonomi untuk kelompok ini baru dimulai.

Metode PenelitianJenis PenelitianPenelitian ini lebihmenekankan pada kualitatif tanpamengabaikan pencarian data kuantitatif,dengan berupaya untuk memperoleh data sedalam-dalamnya dari lapangan baik melaluipenelusuran dokumen, literatur, maupun dari hasil wawancara terhadap responden.Data PenelitianPenelitian ini akan menggali dan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer akan dilakukan dengan cara survey lapangan dengan mewawancaraipara responden penelitian dengan menggunakan teknik accidental sampling yaitu penelitimewawancarai responden penelitian yang dijumpai pada saat survey di lapangan pada ketigakelompok subjek penelitian sebagaimana disebutkan di atas. Data sekunder didapatkan dengan cara melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait denganpenyandang cacat sebagaimana disebutkan di atas, literatur, data BPS Kota Yogyakarta, dandokumen lainnya yang terkait dengan masalah dan obyek penelitian.

Analisis DataBerdasarkan ruang lingkup penelitian ini, maka data penelitian akan dianalisis secaradeskriptif yang terbagi dalam dua bagian, yaitu: Analisis yuridis, yaitu melakukan identifikasidan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dan pengusahayang terkait dengan penyandang cacat. Selanjutnya akan dilihat juga bagaimana implementasi dari penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan.

Hasil Penelitian dan PembahasanPerlidungan Hukum Terhadap Kaum DiffablePada bagian ini akan diuraikan dan dianalisis dua hal, yaitu menyangkut peraturanperundang-uundangan yang terkait dengan kepentingan kaum diffable, khususnya menyangkut aksesibilitas bagimereka. Selanjutnya, akan dianalisis mengenai konsepsi hukum yang dibangun dalam peraturan perundang-undangan yang ada tersebut.Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang cacat khususnyayang memberikan jaminan aksesibilitas bagi mereka ditemukan dalam berbagai peraturanperundang-undangan, antara lain, yaitu:Hukum Internasional Dalam Deklarasimengenai Hak-hak bagi Penyandang Cacat (the Declaration on the Rights of the Disabled Persons), yang diadopsimelalui ResolusiMajelis Umum 3447 (XXX) pada tanggal 9 Desember 1975, dinyatakan bahwa deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari niat komunitas untuk menciptakan standar kehidupan yang tinggi, pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan kemajuan dan pengembangan kondisi sosial ekonomi, serta memperkuat kepercayaannya dalam Hak Asasi manusia, kebebasan mendasar dalam prinsip-prinsip perdamaian, martabat and nilai dari kemanusiaan individu dan keadilan sosial. Deklarasi ini membedakan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan

Page 8: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyomental. Pembahasan disini hanya sebatas pada penyandang cacat yang oleh Deklarasi diartikan sebagai berikut:“any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities”.Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh para penyandang cacatdinyatakan oleh pasal 4 yang berbunyi:“disabled persons have the same civil and political rights as other human beings; paragraph 7 ofthe Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons applies to any possible limitation orsuppression of those rights for mentally disabled persons”.Dengan adanya pembedaan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakanganmental maka dimungkinkan pembedaan dalam hal keluasan hak-hak yang disandang oleh kedua kelompok. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh pasal 4 di atas.Atau dengan kata lain, penyandang cacat memiliki hak-hak sipil dan politik penuh sebagaimana layaknya orang-orang ‘normal’. Namun, kepantasan bagi calon pemimpin bangsa dapat ditolak.Mengenai hukum HAMpara penyandang cacat di tingkat internasional tidak bisa dilepaskandari pertemuan para ahli mengenai hak-hak para penyandang cacat yang diadakan oleh PBByang bekerjasama dengan Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley dan the World Institute on Disability (Oakland, California USA) di Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley pada tanggal 8-12 December 1998. Dalam pertemuan tersebut dipilih Professor Andrew Byrnes dari University of Hong Kong sebagai ketua dan Dr. Marcia Rioux dari the Roeher Institute, Canada, sebagai Rapporteur; Professor Alison Dundes Renteln of University of Southern California dan Dr. Ana Maria de Frappola dari the Inter-American Unit on Childhood, amilies and Disabilities of the Organisation of American States, sebagai SekretarisPertemuan. Pertemuan tersebut ditujukan bagi pengkajian dan peninjauan ulang terhadap persoalanpersoalan dan kecenderungan-kecenderungan yang terkait dengan aplikasi praktis dari normanorma internasional yang tertuju pada promosi HAMpara penyandang cacat. Secara garis besar pertemuan menghendaki akan terdapatnya sebuah upaya yang lebih serius dalam kaitannya dengan sosialisasi pemahaman dan upaya-upaya yang berupa legislasi di tingkat domestik. Kehendak ini tidak terlepas dari keinginan untukmenjadikan norma-norma yang berada di tingkat internasional dapat lebih membumi.Pendekatan yang digunakan oleh rezim HAM internasional terhadap hak-hak parapenyandang cacat adalah sebagai berikut. Pendekatan pertama, memandang bahwa parapenyandang cacat bukan sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga, harus dipahami dalam kaitannya dengan persoalan kemuarahan hati dari seseorang atau hanya mendasarkan pada dorongan-dorongan moral belaka. Menurut kelompok para ahli konvensional para penyandang cacat telah dipandang sebagai ‘abnormal, yang patut dikasihani dan dipedulikan. Bukan juga sebagai individu yang berhak penuh sebagaimana halnya individu ‘normal’ lainnya yang dapat menjalani kehidupan normal sebagai bagian dari anggota masyarakat lainnya. Sebagai konsekuensinya, para penyandang cacat sering termajinalisir dan dikeluarkan dari masyarakat dan seringkali hak-hak dan kebebasan-kebebasan undamentalnya sebagai manusia ditolak.Evolusi pemikiran ini kemudian tercermin dari sikap komunitas internasional yang mulai

Page 9: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoberkonsentrasi pada pembentukan norma-norma yang diharapkan dapat menjamin penikmatan hak-hak dasar oleh para penyandang cacat. Pendekatan yang disebut oleh para kelompok ahlidisebut sebagai:“the move from the patronising and paternalistic approach to persons with disabilities represented By the medical model to viewing them as members of the community with equal rights”. Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh instrumen-instrumen internasional HAM. Pada era 1970-an, kepedulian masyarakat internasional terhadap HAM para penyandang cacat dimanifestikan oleh makin banyaknya inisiatif PBB dalam kaitannya dengan konsepsi HAMpara penyandang cacat yang berhubungan dengan persamaan kesempatan. Untuk merealisasikan penikmatan HAM secara penuh oleh para penyandang cacat terdapat sebuah kerangka yang disebut sebagai the United Nations Decade of Disabled Persons 1982-1993. Satu tahun sebelumnya, 1982, telah dinobatkan sebagai tahun para penyandang cacat. Sebagai pencapaian utamanya adalah dihasilkannya the World Programme of Action concerning Disabled Persons (1982), yang merupakan rencana global yang bersifat komprehensif yang menjadikan ‘equalization of opportunities’ sebagai guiding principle bagi pencapaian para penyandang cacat dalam kaitannya dengan kehidupannya pada aspek sosial dan ekonomi. The Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (1993) merupakan hasil utama dari the Decade of Disabled Persons, yaitu merupakan sebuah instrument bagi pembentukan kebijakan dan sebagai basis bagi kerjasama teknis dan ekonomi. Disamping itu,masih terdapat sejumlah konvensi-konvensi umumdan rekommendasi-rekomendai yang dapat dikenakan pada para penyandang cacat yang telah diadopsi oleh berbagai badanbadan inter-governmental dan kelembagaan-kelembagaan internasional seperti ILO, UNESCO dan ECOSOC. Pengakuan dan dimasukannya HAM para penyandang cacat dalam dokumen-dokumen seperti the Vienna Declaration and Programme of Action (1993), the Copenhagen Declaration and Programme of Action (1995), dan the Beijing Declaration and Platform for Action (1995) menunjukan bahwa para penyandang cacat menyandang HAMsebagaimana layaknya manusia ‘normal’.

Hukum Nasional yang meliputi:(1) Amandemen II UUD 45Dalam Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperolehkesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.(2) UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPDDalam Pasal 60 disebutkan, bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRDKabupaten/ Kota harus memenuhi syarat:a. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; cakap berbicara,membaca,dan menulis dalam bahasa Indonesia;b. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;c. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yangberkompeten; dan Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.Pasal 88 menyebutkan:(1) Jumlah pemilih di setiap IPS sebanyak-banyaknya 300 orang.

Page 10: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyo(2) IPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat yang mudah dijangkau,termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikansuaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.(3) UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang KetenagakerjaanUndang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untukmemiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan danpenghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penynndang cacat (Pasal5). Selanjutnya dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: Pengusaha yang mempekerjakantenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis danderajat kecacatannya.(4) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan NasionalDalam ketentuan Pasal 5 disebutkan:Dalam ketentuan ayat 2 disebutkan, bahwa ”Warga negara yang memiliki kelainan fisik,emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnyatelah diatur denganPeraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa”.(5) UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil PresidenDalam Pasal 51 Ayat (2) disebutkan:IPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudahdijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapatmemberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.Akomodasi hak-hak politik para penyandang cacat dalam kedua paket Undang-undangtersebut, secara normatif sudah cukup memadai, hanya saja dalam konteks praktisimplemtasinya masih jauh dari realita yang diharapkan, sebab, masih terjadi pengabaianhak politik penyandang cacat dalam Pemilu, antara lain:a) Hak untuk didaftar guna memberikan suara;b) Hak atas akses ke TPS;c) Hak atas pemberian suara yang rahasia;d) Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;e) Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu;a) Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dan lain-lain.(6) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan AnakDalam ketentuan Pasal 21 disebutkan, bahwa:Negara dan pemerintah berkewajiban clan bertanggung jawab menghormati dan menjaminhak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/ataumental.(7) UU Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan GedungDalam ketentuan Pasal 27 dan Pasal 31 disebutkan, bahwa:a) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputiSaru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296167kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasaranadan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.b) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan

Page 11: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyonyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.Dalam ketentuan Pasal 31 disebutkan:a) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usiasebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) meru-pakan keharusan bagi semuabangunan gedung, kecuali rumah tinggal.b) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalambangunan gedungdan lingkungannya.c) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usiasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah.(8) UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang KepabeananDalam Pasal 25 ayat (1) huruf h, disebutkan bahwa:Pembebasan Bea Masuk diberikan atas Impor barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.(9) UU Nomor 13 Tahun 1992 Tentang PerkeretaapianDalam Pasal 35 ayat 1 disebutkan, bahwa “penderita cacat dan/atau orang sakit berhakmemperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api”.(10) UU Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan JalanDalam ketentuan Pasal 49 ayat 1 disebutkan, bahwa ”Penderita cacat berhak memperolehpelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan”.(11) UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang PenerbanganDalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 disebutkan, ”Penyandang cacat dan orang sakit berhakmemperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga”.(12) UU Nomor 21 Tahun 1992 Tentang PelayaranDalamPasal 83Ayat (1) disebutkan “Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperolehpelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan”.(13) UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang KesehatanSebagaimana UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok KesejahteraanSosial, undang-undang kesehatan tidak secara eksplisit memberikan jaminan kepadapenyandang cacat. Namun demikian, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orangmempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.(14) UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan SosialUndang-undang tersebut, tidak secara eksplisit memuat tentang penyandang cacat. Namundemikian, dalam Pasal 1 sudah disebutkan, bahwa setiap warganegara berhak atas tarafkesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikutserta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Yang dimaksud dengan ”KesejahteraanSosial” ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yangdiliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yangmemungkinkanbagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhanjasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakatdenganmenjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajibanmanusia sesuai dengan Pancasila.Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296168(15) PP Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan KependudukanPasal 12 berbunyi:

Page 12: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoa) Pembinaan dan pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas pendudukdilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, termasuk penyediaan sarana,prasarana dan jasa.b) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan bentuk pembinaan dan pelayanansebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dapat diberikan kemudahan-kemudahansesuai dengan jenis hambatan yang perlu diatasinya.Penjelasan Pasal 12 disebutkan:Masyarakat rentan di sini termasuk kelompok yang tidak atau kurang mendapatkankesempatan untuk berkembang sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fiisknya, misalnyakelompok miskin, masyarakat daerah terpencil, daerah dengan lingkungan hidup kritis, anakterlantar, penyandang cacat, lanjut usia, dan lain-lain. Adapun bentuk penyediaan pelayanan/kemudahan dapat berupa penyediaan di tempat, seperti kursi roda, alat angkut, kamar kecil,jembatan, clan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan clalam mengatasi hambatanmasyarakat rentan. Untuk pelayanan masyarakat rentan, setiap orang yangmelakukan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum perlu menyediakan alat/ pelayanan bagi masyarakat rentan tersebut.Dari deskripsi peraturan perundang-undangan di atas, secara formulatif dan normatif tampakkomprehensif mencakup berbagai sektor publik dan privat dari kepentingan para penyandangcacat khususnya, dan kelompok rentan pada umumnya.Namun demikian, pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.Berdasarkan temuan survey di lapangan (Wawancara,8-10/12/2005) di Yogyakarta,peraturan daerah yang menyangkut kepentingan para penyandang cacat, seperti aksessibilitasdi ruang publik belum ada. Menurut salah seorang staff bagian hukum pemerintah KotaYogyakarta, pada periode DPRD tahun 1999-2004, rancangan peraturan daerah tentang hakhak aksesibilitas bagi penyandang cacat yang dimotori oleh Komisi A, namun sampai sekarang pembahasanmengenai raperda tersebutmasih terus dibicarakan, sehinggameskipun di beberapa tempat umum bangunan gedung sudah ada yang menyediakan aksesibilitas bagi para penyandang cacat,maka hal itumerupakan inisiatif dari pemilik gedung itu sendiri, tanpamemakai payung hukum yang legitimate.Realitas tersebut sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh PusHAM UII padatahun 2003 yang menemukan fakta, bahwa penyediaan aksesibilitas fisik/fasilitas umum bagidiffabel di DIY masih sangat minim, sehingga membatasi ruang gerak diffabel. Meskipun hakhak penyandang cacat tersebut sudah dijamin oleh Resolusi PBB No. 48/96 tahun 1993mengenaiPeraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, UUD 1945, UUHAM, dan UU Penyandang Cacat, namun realisasi pemenuhan hak-hak itu masih terlupakandan terabaikan. Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa kultur dan struktur pemegang kebijakan yang masih mengandung implikasi bahwa orang yang ”tidak normal” tidakmemenuhi syarat untukmemperoleh kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Menurut Uning Pratimarati (2005), bahwa setiap perundang-undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundangundangan tertulis barn merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yangdinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat

Page 13: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraanbagi penyandang cacat. pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif.Aspek substansi hukum yangmenjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain mencakup jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidanamaupun sanksi administrasi. Namun dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan, untuk itu perlu dilakukan suatuAffirmativeAction gunamewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar.Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut:1. Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat paclaumumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputi:a) Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya, misalnya melalui seminar,penyebaran lembar informasi (info sheet), dialog publik, media center, memasukanmateri perundang-undangan penyandang cacat ke dalam kurikulum pendidikan dansebagainya.b) Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.c) Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memper-juangkan hak-haknya.2. Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas. Pola pembudayaan ini sepertinya yangtersulit. Karena, bercermin dari kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, memerlukan waktuyang lama dan dengan strategi pembudayaan yang kontinyu serta simultan denganmelibatkan masyarakat yang sudah ”tersadarkan” (Jakarta Mitra Online,12/3/2001).Kebijakan Terhadap Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Kota Yogyakarta)Pada bagian ini akan diuraikan mengenai data kuantitatif sebaran penyandang cacat diKota Yogyakarta. Selanjutnya akan dianalisis mengenai kebijakan pemerintah dan dunia usahadalam pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat. Berdasarkan temuan data statistik dariBadan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta dalam 5 tahun terakhir, diketahui bahwa jeniskecacatan dan jumlah penyandang cacat di Kota Yogyakarta, dari tahun ke tahun mengalamipeningkatan dan perubahan.Hal tersebut menunjukkan, bahwa besarnya jumlah penyandang cacat yang tersebar diberbagai daerah di Kota Yogyakartamengindikasikan tingkat kesehatanmasyarakat di Yogyakartacukup memprihatinkan, sebab factor kecacatan yang dialami masyarakat tersebut terjadi pada

Page 14: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyosemua kalangan usia. Selain itu, banyaknya jumlah penyandang cacat diSaru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296170Yogyakarta jugamenuntut adanya perlakuan dan pengayoman untuk keberlangsungan hidupdan penghidupan mereka di tengah-tengah masyarakat.Berdasarkan temuan survey yang dilakukan oleh PusHAM UII (2003), bahwa pada tahun2003, berdasarakan keterangan dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi D.I.Y, satu-satunyaperusahaan yang ada di Propinsi Yogyakarta, yang sudah menampung tenaga kerja diffabeladalah PT. Tunggal Garmen. Sementara itu, menurut Haryono dan Nuniek (wawancara, 10/12/2005) para tenaga kerja dari kaum penyandang cacat yang mendaftar kartu kuning di DinasTenaga Kerja Kodya Yogyakarta, setiap tahunnya selalu ada. Rata-rata setiap tahun yangmencarikartu kuning sekitar 10 orang. Selain itu,Menurut Haryono, dalammomen-momen tertentu DinasTenaga Kerja Kota juga melakukan training pembekalan kerja kepada calon tenaga kerjapenyandang cacat yang dipilih secara selektif. Hal itu karena keterbatasan dana yang diberikanoleh pemerintah pusat. Hasil dari didikan dan binaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota tersebut saatini telah bekerja di sebuah konveksi dan Toko Elektronik di kawasan Ngasem. SementaramenurutNuniek, ada juga salah seorang penyandang cacat yang bekerja sebagai pelayan di rumahmakan KFC MC Donald di salah satuMall diMalioboro. Biasanyamerekamemakai tanda khususdi topinya yang bertuliskan special order.Kondisi tersebut mencerminkan bahwa, diversifikasi peluang kerja terhadap tenaga kerjadiffabel masih sangat minim. Menurut Haryono, hal itu bisa jadi karena beberapa faktor antaralain adalah seperti yang pernah diungkapkan oleh kalangan pengusaha dalam public hearingmengenai Raperda Penempatan Tenaga Kerja pada bulanOktober 2005 yang lalu, bahwa logikahukum yang tersurat dalam UU No.4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, dalam salah satupasal disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerja diantaranya harus ada satuorang penyandang cacat. Kata ”harus” dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sebagai kewajiban,maka akan berimplikasi kepada penafsiran yang bersifat subjektif. Sebab, kata Haryonomenurutkalangan pengusaha, jika misalnya dalam perusahaannya ada 500 orang karyawan, apakahberarti akan merekrut 5 orang tenaga kerja penyandang cacat. Bila perusahaan tidak sedangmemerlukan karyawan baru apakah harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), demiuntuk mengakomodir tenaga kerja penyandang cacat. Lebih lanjut lagi, apakah pihak perusahaan

Page 15: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoharus bersikap proaktif untuk mencari tenaga kerja penyandang cacat tersebut?.Munculnya interpretasi yang subjektif tersebut, kiranya perlu diakomodir dalam peraturanteknis operasional dari UU tersebut yang bisa menjembatani antara kepentinagan pengusaha,tenaga kerja penyandang cacat, dan juga pemerintah dalamkonteks hubungan industrial. Dalamkonteks inilah perumusan kebijakan yang bersifat fakultatif antar masing-masing daerah dalammengakomodasi kepentingan para pihak harus tepat, misalnya dalam perancangan suatuPeraturan Daerah yang mesti mengakomodir kepentingan ketiga pihak secara tepat dan bijak.Menyangkut masalah diskriminasi yang sering ditudingkan oleh beberapa kalanganmengenai kebijakan penempatan tenaga kerja penyandang cacat dan non cacat, menurutHaryono, pihaknya memberikan pelayanan yang sama tanpa membedakan antara yang normaldan yang cacat dalam berkompetisi mencari kerja. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwapara tenaga kerja penyandang cacat yang mencari kartu kuning untuk persyaratan melamarPegawai Negeri Sipil (PNS) setiap tahunnya sekitar 10 orang, tetapi dengan blanko khusussesuai dengan kecacatan yang bersangkutan. Hanya saja, menurut Haryono keputusan finalmengenai diterima tidaknya seorang tenaga kerja penyandang cacat tersebut, bergantung kepadakeputusan user, dan hal itu sangat dipengaruhi oleh kualifikasi yang diberikan oleh user itusediri, mengenai kelayakan kandidat karyawan yang dibutuhkannya.Sejalan dengan hal tersebut di atas, langkah yang telah ditempuh Departement TenagaSaru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296171Kerja dalam penempatan tenaga kerja Penyandang Cacat meliputi beberapa hal sebagaiberikut:1. Secara terus menerus melakukan Sosialisasi UU No 4 tahun 1997 tentang PenyandangCacat dan PP No.43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosialpenyandang cacat.2. Meningkatkan dan memperluas kesempatan kerja pada sektor formal dan informal melaluikerja sama antar Instansi maupun perusahaan (Surat menaker ke Ketua APINDO No. 68/M/98 tanggal 31 Juli 1998 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat).3. Melaksanakan dan Law Enforcement dan pemantauan pelaksanaan UU No.4 tahun 1997tentang Penyandang Cacat (Surat Dirjrn Binapenta, 1998).Faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Pemberdayaan Tenaga Kerja PenyandangCacatPenyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga mempunyaikedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Kepedulian pemerintah telah terwujud dengandikeluarkannya Undang-Undang No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan PeraturanPemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial PenyandanagCacat. Sesuai dengan isi yang tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana setiap warganegara mempunyai kesamaan dan kesempatan yang sama dalam memperoleh kehidupan dan

Page 16: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyopenghidupan.Ditegaskan juga dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,bahwa setiap perusahaan baik pemerintah maupun swasta harus memberikan kesempatan danperlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat diperusahaan sesuai dengan jenis, derajat dan tingkat kecacatannya, pendidikan danketerampilannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan seluruhnya. Dalamketentuan Undang-undang tersebut disebutkan, bahwa sedikitnya setiap 100 (seratus) pekerjadiantaranya harus ada satu orang penyandang cacat. Quota tersebut hendaknya tidakdiberlakukan secara kaku, karena pemberdayaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat bukan karenaadanya norma, tetapi atas tanggung jawab moral sebagai moral sebagai sesama manusia dansatu bangsa. Upaya ini perlu adanya dukungan dan komitmen dari seluruh masyarakat dandukungan ini perlu dirumuskan dalam forum kebersamaan (Tjepp F Aloewie, 2000:3).Berdasarkan deskripsi tersebut,maka kegiatan penempatan tenaga kerja perlu dilaksanakandengan baik dan benar tanpa mengenal diskriminasi dan perbedaan antar tenaga kerja padaumumnya maupun tenaga kerja khusus Penyandang Cacat. Meskipun kondisi ekonomi saat inimasih belum stabil yang berekses pada jumlah pengangguran yang semakin bertambah,Departemen Tenaga Kerja cq Ditjen Binapenta tetap menjalankan fungsinya sebagai unitpelayanan dalam pembinaan dalam penempatan Tenaga Kerja salah satu diantaranya adalahtenaga kerja penyandang cacat. Perlu diketahui bahwa hambatan-hambatan yang bersifat tekhnisdan non tekhnis masalah ketenagakerjaan diantaranya (Ibid):1. Hambatan keterbatasan kesempatan kerja yang terbuka bagi tenaga kerja pada umumnyamaupun penyandang cacat.2. Hambatan ketidaksesuain keterampilan tenaga kerja penyandang cacat dengan persyaratanjabatan dan kondisi kerja yang ada.3. Hambatan kesadaran dan sikap penerimaanmasyarakat dalam dunia kerja terhadap tenagakerja penyandang cacat .4. Hambatan dalam kelancaran kerjasama dan keterpaduan antar instansi/lembaga yangmempunyai hubungan saling keterkaitan dalam pengelolaan tenaga kerja penyandangSaru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296172cacat.5. Hambatan dari intern pribadi tenaga kerja penyandang cacat sendiri dan atau keluarganya.6. Keterbatasan kemampuan apbn baik rutin maupun pembangunan urituk mempertahankan/meningkatan kegiatan yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja penyandang cacat.Oleh karena itu, upaya menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dikembangkankoordinasi dan komunikasi antar lembaga terkait, baik dari Instansi Pemerintah maupun Swastasecara terpadu, dan salah satu altenatif lain untuk menciptakan lapangan kerja bagi tenagakerja penyandang cacat dapatmelalui kewiraswastaan yang andal danmandiri baik dalambentukperorangan maupun Kelompok Usaha Bersama (KUB) (Ibid).Pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat untuk mendapatkan keahlian danketerampilan, sehingga mampu bekerja secara produktif dan renumeratif perlu dilakukan

Page 17: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyopelatihan-pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta.Pelatihan ini dimaksudkan agar para tenaga kerja penyandang cacat lebih dapat :1) Meningkatkan kepribadiannya serta lebih percaya diri dan mampu untuk melakukanpekerjaan.2) Meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan.3) Menumbuhkan rasa kemandirian dan siap memasuki lapangan kerja.Dengan cara-cara tersebut diatas akan didapat tenaga kerja penyandang cacat potensialyang siap memasuki lapangan kerja. Ada contoh kelebihan lain dari tenaga kerja penyandangcacat potensial yakni pada jenis pekerjaan tetap (stational) yang tidak banyak memerlukanmobilitas seperti operator telepon, operator komputer dan lain-lain. Selain itu, seseorang yangmenyandang tuna rungu memiliki keunggulan untuk ditempatkan pada pekerjaan yang memilikikondisi lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi.Pemberdayaan masyarakat dalam mengupayakan aksesibilitas dapat menunjang upayamewujudkan aksesibilitas bagi penyandang cacat di Indonesia. Pemberdayaan dalam hal inidimaksudkan sebagai usaha yang memimgkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalammengaktualisasikan aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambilbagian dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara yang menentukan nasib mereka.Pemberdayaanmasyarakatmerupakan upaya yang didasari oleh prinsip pemihakan kepadamereka yang lemah dan dilemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampumemecahkan masalah dan mengubah kondisi clan posisinya. Pemberdayaan dalam pengertianini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatankesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam pengambilan keputusan di semuatingkatan. Pemberdayaan dalam arti ini berarti usaha menclorong proses transformasi relasikuasa yang timpang, menjadi relasi baru yang adil dan setara (M. Syahbudin Latif, 1999:197).Partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahteraanpenyandang cacat antara lain dengan membentuk kelompok-kelompok organisasikemasyarakatan.Di Indonesia terdapat lebih dari 50 organisasi kemasyarakatan yang kegiatannyabergelut di berbagai kegiatan dalam rangka pemberclayaan dan meningkatkan kemandirianpenyandang cacat. Kegiatan tersebut antara lain clilakukan dengan menyelenggarakanpembinaan, pendidikan, penelitian, pelatihan, maupun advokasi bagi penyandang cacat.Organisasi kemasyarakatan ini sangat diperlukan dalam melakukan affirmative action gunamewujudkan tujuan yang hendak dicapai, yaitu untiikmewujudkan kemandirian dan kesejahteraanpenyandang cacat. Organisasi seperli itu diharapkan dapat menjembatani para penyandangcacat dengan penentu kebijakan. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kekuatan pressuregroup dalam memperjuangkan hak-hak para penyandang cacat yang termasuk kelompokmasyarakat rentan.Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296173Pola penyadaran internal para penyandang cacat itu sendiri sangat penting. Hanya sedikit

Page 18: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyopenyandang cacat di Indonesia yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya clan gigih dalammemperjuangkan hak clan kewajibannya. Perasaan inferiormerupakan problem psikologis yangcenclerung dimiliki oleh kebanyakan para penyandang cacat terutama yang tinggal di pelosokdan yang tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan inferior karena problematau keterbatasan fisik dan seolahmenerima takdir yangmenimpanya seakan dijadikan legitimasiuntuk tidak berpikir kritis, berjuang lebih keras, tidak mudah menyerah dan bersikap wajar.Kemudahan pelayanan dan perlakuan khusus tidak dengan serta merta membuat parapenyandang cacat untuk terns terlenamenikmatinya. Hambatan-hambatan psikologis inilah yangpertama kali harus dihilangkan (Jakarta Mitra Online, 12/13/2001).KesimpulanBerdasarkan temuan dari penelitian ini, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagiansebelumnya, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut:1. Bahwa aspek hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlahperaturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannyalebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat.Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraansosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan.Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacatantara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, danketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksipidana maupun sanksi administrasi.2. Kebijakan pemerintah dalam mengakomodir hak-hak penyandang cacat khususnya dalammeraih pekerjaan, secara normatif hanya mengacu kepada UU No. 4 tahun 1997 yangperumusannya masih mengandung kelemahan, dan multi interpretatif sebagaimanadisebutkan di atas. Sementara itu, peraturan teknis mengenai penguatan hak-hakpenyandang cacat dalam sebuah peraturan daerah (PERDA) di Yogyakarta, khususnyamasih belum ada, sehingga hal itu berimplikasi terhadap masih belum kuatnya hak-hakpenyandang cacat ditegakkan.3. Hambatan-hambatan yang bersifat teknis dan non teknis masalah ketenagakerjaan secaraumum dan penyandang cacat khususnya, antara lain adalah sebagai berikut:a. Hambatan keterbatasan kesempatan kerja yang terbuka bagi tenaga kerja pada umumnyamaupun penyandang cacat.b. Hambatan ketidaksesuain keterampilan tenaga kerja penyandang cacat denganpersyaratan jabatan dan kondisi kerja yang ada.c. Hambatan kesadaran dan sikap penerimaan masyarakat dalam dunia kerja terhadaptenaga kerja penyandang cacat .d. Hambatan dalam kelancaran kerjasama dan keterpaduan antar instansi/lembaga yangmempunyai hubungan saling keterkaitan dalam pengelolaan tenaga kerja penyandangcacat.e. Hambatan dari intern pribadi tenaga kerja penyandang cacat sendiri dan ataukeluarganya.f. Keterbatasan kemampuan dana untuk meningkatan kegiatan pemberdayaan tenagakerja penyandang cacat.

Page 19: Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Hak

Kelompok :M yusuf faisalFaisal khoirudinReza satriawan Ilham kusumasucahyoRekomendasiBerdasarkan kesimpulan di atas, maka ada beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan,Saru Arifin, Analisis Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Cacat...Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ISSN : 1693-4296174antara lain:1. Perlu adanya rekonstruksi konsepsi hukum yang mengakomodir kepentingan parapenyandang cacat, dari yang bersifat negatif menjadi positif, sehingga pelaksanaannya bisaterjamin. Selain itu, perlu penjabaran teknis dalam peraturan daerah terhadap UU yangmemayungi penyandang cacat, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dalamimplementasinya.2. Diversifikasi peluang kerja, dan pemberdayaan tenaga kerja penyandang cacat perlu lebihdiperbanyak dan ditingkatkan lagi, baik dari segi kualitas dan kuantitasnya, untuk pemerataankesempatan bagi tenaga kerja penyandang cacat yang jumlahnya cukup signifikan,khususnya di Kota Madya Yogyakarta.3. Perlu dilakuan penelitian lanjutanmengenai diversikasi peluang kerja bagi penyandang cacat,sehingga bisa diketahui jenis-jenis pekerjaan apa yang relevan bagi para penyandang cacat,sesuai dengan tingkat kecacatannya.