analisis penggunaan bom dalam penangkapan ikan di kecamatan ...

95
ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN HALMAHERA UTARA JURIL CHARLY ONTHONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Transcript of analisis penggunaan bom dalam penangkapan ikan di kecamatan ...

ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN

IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN

HALMAHERA UTARA

JURIL CHARLY ONTHONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penggunaan Bom

Dalam Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara,

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan

dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di

bagiah akhir tesis ini.

Bogor, November 2010

Juril Charly Onthoni

C452070274

ABSTRACT

JURIL CHARLY ONTHONI. Analysis Using Bombs On Fishing in North Kao

District, North Halmahera Regency. Supervised by DOMU SIMBOLON and

DEDI JUSADI.

Fishing gear used by the fishermans of North Halmahera district to

conduct fishing is very diverse, good for catching pelagic, demersal, and

reef fish. The dominant fishing gear used by fishermen are fishing yield,

multiple hand line, gill nets, etc., using a fleet of boats is simple until a boat

or ship with a capacity of 10 gross tonnage. However, the use of

destructive fishing gear, the environment still numerous in some areas of

North Halmahera waters such as the use of bombs. The tool is dropped into

the water contained a lot of fish, and causing an explosion that resulted in the

death of small fish and large around the blast site. This action is performed

not only in shallow waters sea, but also performed in deep waters sea. This

action is very harmful to the environment and fishermen. The fish that have

not been feasible arrested will die, and the risk of disability or until death can

be experienced by the fishermans.

This research is to reveal the root cause of the fishermen still

use the bomb in fishing activities. This research was conducted by survey

method, and assisted with spreading the field a question to a number of

respondents who specified a purposive sampling method. The primary data

collected include age composition, education level and income of

fishermen. These three variables are expected to have a very close

relationship with the activities of the use of fish bombs. The linkage

between these three variables against fish bombing were analyzed using

multiple regression. Secondary data were analyzed descriptively, and

depicted in the form of tables and graphs.

Fishermans at 3 study sites classified as a major sideline fishermans

and fishermans additional sideline. In fishing, equipment used was simple

and limited. Similarly, the boat used to sail a traditional still relatively

small size. This has implications for the amount and type of catch that

more and more reduced, so that income derived by a relatively small

fishermen. The small income derived to meet the needs of families of

fishermans caused them to use the bomb as the completeness of fishing

gear.

The use of bombs in fishing according to various circles who have

been doing research is an act that is very damaging to the environment.

The use of bombs in the sea can cause damage to coral colonies around

the blast site, also can cause death of other organisms that are not the

target of an arrest. This activity has been carried out by fishermans in

three villages in a long time. The results of this study explains that : (1)

The main reason fishermans using bombs in fishing activities is to raise

revenue to meet the needs of families, (2) The factors that affect the

fishermans using bombs is the length of experience of using the bomb and

ease the material needed to make fish bomb, and (3) Education is a very

strong factor affecting fishermans not to use bombs in fishing.

Keywords: Fishing, Fish Bomb, North Halmahera

RINGKASAN

JURIL CHARLY ONTHONI. Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan

Ikan di Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh

DOMU SIMBOLON dan DEDI JUSADI.

Alat penangkapan ikan yang dipergunakan oleh masyarakat nelayan

Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan penangkapan ikan sangat beragam,

baik untuk penangkapan ikan pelagis, ikan demersal, maupun ikan karang. Alat

tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur, jaring dan

lain sebagainya, dengan mempergunakan armada perahu/kapal sederhana sampai

dengan perahu/kapal dengan kapasitas 10 gross tonage. Namun demikian,

penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan masih banyak

terdapat di beberapa wilayah perairan Halmahera Utara seperti penggunaan bom.

Alat tersebut dijatuhkan ke dalam air yang terdapat banyak ikan, dan

menimbulkan ledakan yang berakibat matinya ikan-ikan kecil dan besar di sekitar

lokasi ledakan. Tindakan ini dilakukan tidak hanya di perairan dangkal, namun

juga dilakukan pada perairan dalam. Tindakan ini sangat berbahaya bagi

lingkungan dan nelayan. Ikan-ikan yang belum layak ditangkap akan mati, dan

resiko cacat atau sampai kematian dapat dialami oleh nelayan.

Penelitian ini untuk mengungkapkan akar penyebab nelayan masih

mempergunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. Penelitian ini

dilaksanakan dengan metode survei, dan dibantu dengan menyebarkan isian

pertanyaan kepada sejumlah responden yang ditentukan secara purposive

sampling method. Data primer yang dikumpulkan meliputi komposisi umur,

tingkat pendidikan dan pendapatan nelayan. Ketiga variabel tersebut diduga

memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan penggunaan bom ikan.

Keterkaitan antara ketiga variabel tersebut terhadap pemboman ikan dianalisis

dengan menggunakan regresi linier berganda. Data sekunder dianalisa secara

deskriptif, dan digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Nelayan di 3 lokasi penelitian tergolong sebagai nelayan sambilan utama

dan nelayan sambilan tambahan. Dalam melakukan penangkapan ikan, alat yang

digunakan masih sederhana dan terbatas. Demikian pula dengan perahu yang

dipakai untuk melaut masih tradisional dengan ukuran yang relatif kecil. Hal ini

berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan yang makin lama makin berkurang,

sehingga penghasilan yang diperoleh nelayan relatif kecil. Kecilnya penghasilan

yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan menyebabkan

mereka menggunakan bom sebagai kelengkapan alat tangkap ikan.

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan menurut berbagai kalangan

yang telah melakukan penelitian adalah tindakan yang sangat merusak

lingkungan. Penggunaan bom di perairan laut dapat menyebabkan rusaknya

koloni karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan

kematian organisme lain yang bukan menjadi target penangkapan. Kegiatan ini

telah dilakukan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam waktu yang cukup lama.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa: (1) Alasan utama nelayan

menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan adalah untuk meningkatkan

pendapatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga; (2) Faktor-faktor yang

mempengaruhi nelayan menggunakan bom adalah lamanya pengalaman

menggunakan bom dan mudahnya bahan yang dibutuhkan untuk membuat bom

ikan; dan (3) Pendidikan adalah faktor yang sangat kuat mempengaruhi nelayan

untuk tidak menggunakan bom dalam penangkapan ikan.

.

Kata kunci: Penangkapan Ikan, Bom Ikan, Halmahera Utara

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGGUNAAN BOM DALAM PENANGKAPAN

IKAN DI KECAMATAN KAO UTARA KABUPATEN

HALMAHERA UTARA

JURIL CHARLY ONTHONI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si.

PRAKATA

Puji dan Syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

atas Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulis masih bisa diberikan kesempatan

untuk menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam proses studi dan dalam upaya

menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini begitu banyak bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak, sehingga ungkapan terima kasih penulis

sampaikan, khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Domu simbolon, M.Si, dan Bapak

Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc, sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis,

sehingga proses penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati, Sekretaris Daerah dan

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, serta Camat

Kao, Kapolsek Kao, Camat Kao Utara dan Kepala Desa Doro, Bori, dan

Pediwang Kecamatan Kao Utara, atas bantuan dan kemudahan yang diberikan

selama penulis mengumpulkan data-data penelitian. Curahan kasih dan

pengorbanan yang diberikan oleh istri dan anak-anak selama penulis belajar,

merupakan dorongan yang sangat besar bagi penulis untuk menyelesaikan studi.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik moril

maupun materil, khususnya Staf Dosen dan Staf Sekretariat PSP IPB serta rekan-

rekan mahasiswa IPB dari Halmahera Utara, diucapkan terima kasih. Semoga

tulisan ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2010

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Juril Charly Onthoni dilahirkan di Tobelo, pada tanggal 1 April Tahun

1969 dari Bapak Hironimus Onthoni dan Ibu Gerti Makangiras.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Tobelo dan pada tahun yang

sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura melalui jalur Sipenmaru, dan

diterima sebagai mahasiswa jurusan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik. Setelah lulus pada tahun 1992, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri

Sipil, dan bekerja pada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara sebagai

Ajun Penyuluh Keluarga Berencana. Pada tahun 1997 penulis dipindahkan dari

Kabupaten Maluku Tenggara ke Kabupaten Maluku Utara, dan bekerja sebagai

Penyuluh Keluarga Berencana di Kecamatan Tobelo. Tahun 2003, setelah

pemekaran wilayah di Provinsi Maluku Utara, dimana Kecamatan Tobelo masuk

sebagai salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara,

penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di kabupaten ini,

dan ditempatkan sebagai Kepala Seksi Penanggulangan Korban Bencana pada

Dinas Kesejahteraan Sosial setempat. Pada tahun 2006, oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Halmahera Utara, penulis ditugaskan di Kecamatan Kao sebagai

Camat Kao. Mengawali tahun 2009, penulis dipindahkan dari Kecamatan Kao dan

ditempatkan sebagai Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

Kabupaten Halmahera Utara. Tiga bulan menjabat sebagai Sekretaris KPUD,

penulis kembali dipindahkan ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan

Aset Daerah Kabupaten Halmahera Utara, dan menjabat sebagai Sekretaris

sampai sekarang.

Penulis mengikuti kuliah pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor pada tahun 2008, setelah mengikuti seleksi yang digelar oleh Pemerintah

Daerah Kabupaten Halmahera Utara yang bekerja sama dengan Sekolah

Pascasarjana IPB Bogor dalam program pengembangan SDM Pegawai Negeri

Sipil Daerah, dan diterima sebagai mahasiswa pada Mayor Sistem dan

Pemodelan Perikanan Tangkap Institut Pertanian Bogor. Penulis dinyatakan lulus

dalam ujian tesis pada tanggal 12 Nopember 2010, dengan judul tesis

¨Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara

Kabupaten Halmahera Utara¨.

Penulis telah menikah pada tanggal 16 Pebruari 1989 dengan Sjane

Rumpuin, dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Christin Debby Onthoni, Chayne

Rivar Onthoni, dan Chayla Chrestella Onthoni.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv

DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xvii

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 4

1.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 4

1.6 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeboman Ikan ............................................................................... 7

2.2 Mata Pencaharian Alternatif .............................................................. 9

2.3 Pemberdayaan Masyarakat.................................................................. 10

2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan

Lingkungan) ........................................................................................ 13

2.5 Perikanan Tangkap .............................................................................. 15

2.5.1 Alat penangkapan ikan .............................................................. 16

2.5.2 Armada perikanan ..................................................................... 18

2.5.3 Nelayan ..................................................................................... 20

2.5.4 Produksi .................................................................................... 24

2.5.5 Pemasaran ................................................................................. 25

2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 26

2.6.1 Luas dan letak geografis ........................................................... 26

2.6.2 Penduduk ................................................................................... 28

2.6.3 Ekonomi .................................................................................... 30

3 METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 31

3.2 Metode Pengumpulan data .................................................................. 31

3.3 Analisis Data ....................................................................................... 33

3.3.1 Analisis deskriptif ..................................................................... 33

3.3.2 Analisis regresi berganda .......................................................... 33

x

4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian .............................. 35

4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan ............................................. 35

4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom ......................... 38

4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan .............................. 42

4.2 Kondisi Ekonomi Nelayan ................................................................ 44

4.3 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan .......................... 46

4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro ........................................ 46

4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori ......................................... 48

4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ................................. 49

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ...................... 51

5.1.1 Alat penangkapan ikan ............................................................. 51

5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan ........................................... 52

5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan ................................................... 56

5.2 Penggunaan bom dalam penangkapan ikan ........................................ 57

5.3 Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan ........................................ 61

5.4 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ................................................ 62

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 67

6.2 Saran .................................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 68

LAMPIRAN ........................................................................................................ 71

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ..................................................................... 6

2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.................................................. 27

3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian............................................... 43

4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ......................... 44

5 Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian ......................... 45

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 17

2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ............... 18

3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara............... 19

4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten

Halmahera Utara, tahun 2009 ...................................................................... 20

5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap ................................................. 23

6 Produksi ikan total menurut jenis alat ............................................................... 24

7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 ...................................... 29

8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian ............. 32

9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan ................................................ 34

10 Instrumen penelitian untuk variabel umur ................................................... 34

11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan .......................................... 34

12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan.......................................... 34

13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian ............... 37

14 Persepsi responden terhadap bantuan........................................................... 38

15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan ........................................ 38

16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom .................................. 40

17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu ............................................. 40

18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan .......................... 42

19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang....................................... 43

20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro ................................................ 47

21 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro ............. 47

22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori ................................................. 48

23 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori .............. 49

24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ......................................... 50

25 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang ..... 50

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah kecamatan, serta

lokasi penelitian ........................................................................................... 69

2 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada

nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Doro ................... 70

3 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada

nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Bori .................... 71

4 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program SPSS 17 pada

nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di Desa Pediwang ........... 72

5 Bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao Utara .............. 73

xvii

DAFTAR ISTILAH

Bom : Bahan Peledak.

Destructive Fishing : Merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan

ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi

pelanggaran hukum.

Detonator :

Pappaca : Pemadat.

Sumbu Bismillah : Sumbu yang ukurannya 2 cm.

Fishing Ground :

Bargaining Power :

Lau : Bulu ayam, Serabut kain.

Ketinting : Perahu motor tempel.

Dibo-dibo : Penampung ikan.

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki masa reformasi dalam tahapan Pemerintahan Negara Republik

Indonesia, telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam tata pemerintahan

daerah. Perubahan mendasar dalam masa reformasi adalah diberlakukannya

sistem otonomi daerah, dimana setiap daerah yang dibentuk mempunyai

kebebasan untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Perubahan ini,

dalam prosesnya tidak hanya mempengaruhi aspek pemerintahan saja, namun

selanjutnya cukup memberikan dampak kebebasan pada masyarakat yang ada di

wilayah tersebut.

Kabupaten Halmahera Utara sebagai sebuah daerah yang baru dimekarkan,

memiliki luas perairan laut sekitar 19.536,02 km², memiliki potensi sumber daya

ikan yang melimpah dan memberikan peluang yang sangat besar untuk

dimanfaatkan secara ekonomis. Potensi sumberdaya ikan ini terlihat dari data

keberagaman hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan yang dikeluarkan oleh

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, antara lain:

ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, dan ikan karang

(DKP Halmahera Utara, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2007),

dalam Dokumen Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Halamahera

Utara (DKP Halmahera Utara, 2008), potensi sumberdaya ikan yang terdapat di

perairan Halmahera Utara cukup besar. Potensi lestari ikan pelagis diperkirakan

211.590 ton/tahun, dan ikan demersal sebesar 135.005 ton/tahun. Potensi ini

merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang dapat memberikan manfaat

bagi peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan meningkatkan pendapatan

asli daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Utara.

Sebagaimana sebuah aset penting, potensi sumberdaya ikan yang ada perlu

untuk selalu dijaga keberadaannya. Menurut Darmawan (2001), dalam

pengelolaan sumber daya alam, kegiatan penangkapan ikan merupakan kegiatan

eksploitasi. Sebagai kegiatan eksploitatif, penangkapan ikan hanya bertujuan

mengambil sumberdaya yang tersedia di alam. Oleh sebab itu kegiatan

2

penangkapan ikan harus memiliki beberapa pengaturan dan pembatasan agar tidak

menghancurkan sumberdaya yang ada.

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan adalah merupakan salah satu

cara penangkapan yang sangat merusak dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom

dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu dan dipasangi sumbu untuk

kemudian dinyalakan dan dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan

memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh

hampir semua biota laut yang ada di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan

ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lainnya

ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak

dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).

Menurut Mukhtar (2007), penggunaan bahan peledak seperti bom dapat

memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaannya di sekitar terumbu

karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu

karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan kematian

biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Kepolisian Resort

Halmahera Utara, tindakan kriminal penggunaan bom ikan masih terdapat di

perairann Teluk Kao Pulau Halmahera. Penggunaan alat tangkap yang merusak

lingkungan ini dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil untuk memperbanyak hasil

tangkapannya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pantai yang tersebunyi.

Sayangnya aksi nelayan ini belum dapat dicegah karena keterbatasan personil dan

perlengkapan yang dimiliki, dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dijaga

dan diawasi.

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Kabupaten

Halmahera Utara sudah tentu dapat mengancam kelestarian dari potensi

sumberdaya yang ada. Potensi yang merupakan aset untuk dapat memberikan

kesejahteraan kepada masyarakat bisa rusak, dan mungkin tidak dapat pulih

kembali. Keberlanjutan dari sumberdaya ini juga mungkin tidak dapat dinikmati

oleh generasi selanjutnya atau setidaknya sulit untuk diperoleh di masa yang akan

datang.

3

1.2 Perumusan Masalah

Bom yang digunakan dalam penangkapan ikan merupakan sebuah alat

yang dapat merusak (destruktif). Penggunaan bom dalam penangkapan ikan

menyebabkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan di laut, khususnya ekosisem

terumbu karang (Subandi, 2004). Selanjutnya DWF (2003), diacu dalam Subandi

(2004) mengungkapkan, hasil survei beberapa LSM yang menunjukkan bahwa

aktifitas tersebut tetap marak dilakukan oleh nelayan hingga saat ini. Bahkan

beberapa metode penangkapan ikan legal yang umum digunakan oleh nelayan

seperti pukat cincin (purse seine), bagan tancap (stationary lift net) dan bagan

perahu (mobile lift net) juga telah menggunakan bahan peledak untuk

melumpuhkan ikan dan mempermudah proses penangkapannya.

Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan sebuah kabupaten yang

memiliki areal perairan laut dalam wilayahnya, dan memiliki kandungan

sumberdaya ikan yang sangat besar, sudah tentu wajib menjaga dan melestarikan

sumberdaya tersebut untuk tetap lestari dan berkelanjutan. Penanganan dan

pemanfaatannya merupakan kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana

diamanatkan dalam pasal 10 UU 22/1999, dan pasal 18 UU 34/2004 yang

mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut sebatas

wilayahnya (Suharyanto, 2005).

Menurut hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Halmahera Utara, berbagai program telah dilaksanakan untuk dapat

menggarap potensi yang ada, seperti pengembangan alat penangkapan ikan,

peningkatan SDM nelayan, penanganan hasil tangkapan dan program-program

lainnya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan peran serta nelayan dalam

memanfaatkan sumberdaya yang ada secara baik dan benar. Namun dalam

kenyataannya, penggunaan bom oleh nelayan dalam penangkapan ikan masih

tetap ada di beberapa lokasi perairan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara.

Penggunaan bom oleh nelayan setempat, dilakukan secara sembunyi-

sembunyi pada areal pantai yang jauh dari pemukiman untuk menghindari petugas

ataupun aparat kepolisian. Bahan baku yang mudah diperoleh, proses perakitan

yang sederhana, dan jumlah tangkapan yang lebih banyak dalam waktu singkat,

membuat masyarakat nelayan setempat melengkapi alat penangkapan ikannya

4

dengan bom. Ancaman resiko cacat dan kematian yang mungkin terjadi bisa

diabaikan, pengalaman-pengalaman yang tinggi dan rendahnya pengetahuan serta

kemiskinan yang dialami oleh nelayan, dapat menjadi pengaruh yang

menyebabkan nelayan menggunakan alat tangkap tersebut. Kondisi ini apabila

tetap dilakukan oleh nelayan, bisa berdampak buruk bagi kelestarian dan

keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada di perairan Kabupaten Halmahera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1 Mengidentifikasi alasan-alasan nelayan menggunakan bom dalam

penangkapan ikan di lokasi penelitian.

2 Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom

dalam penangkapan ikan di lokasi penelitan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara

dan jajarannya, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam penentuan dan

pengelolaan program-program perikanan.

2. Bahan masukkan dan informasi bagi berbagai kalangan pemerhati

lingkungan, khususnya pada pemerhati perikanan laut.

3. Menambah referensi khasanah keilmuan terkait dengan kondisi perikanan

di perairan Kao Utara.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi sumberdaya ikan yang

cukup besar. Potensi sumber daya ikan ini, terdiri dari beragam ikan dan hewan

laut yang bernilai ekonomis tinggi. Kegiatan penangkapan ikan di perairan ini

dilakukan dengan menggunakan pancing ulur, jaring, dan berbagai alat tangkap

lainnya, yang merupakan jenis-jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan

direkomendasikan untuk digunakan di areal perairan. Disamping alat tangkap

ramah lingkungan tersebut, beberapa nelayan juga masih menggunakan alat

5

penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (unfriendly technology), seperti: bom

ikan. Fenomena yang menarik perhatian banyak pihak adalah penggunaan bom

ikan (blast fishing). Tingkat kerusakan penggunaan teknologi bom terhadap

lingkungan perairan sangat signifikan dan mempunyai resiko tinggi terhadap

nelayan, namun kegiatan ini masih tetap dilakukan bahkan dengan intensitas yang

semakin tinggi. Sayangnya tidak ada data kuantitatif yang akurat tentang isu ini,

hanya secara kualitatif dirasakan keberadaannya pada beberapa nelayan yang

berada di Kabupaten Halmahera Utara. Sudah tentu oleh masyarakat nelayan

setempat memiliki alasan-alasan yang kuat dalam penggunaan alat penangkapan

yang merusak ini. Oleh karena itu, dilakukan analisis yang sistematis terhadap

berbagai faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan bom, seperti umur,

pendidikan dan pendapatan.

Seseorang dikatakan miskin apabila belum mampu memenuhi kebutuhan

fisik manusia, meliputi papan, pangan dan sandang, mental spiritual (pendidikan)

dan sosial. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh tingkat

pendapatan serta kemudahan dalam memperoleh materi kebutuhan pokoknya

(Muhsin, 1994). Walaupun resiko yang dihadapi oleh nelayan terbilang besar

dalam menggunakan bom dalam penangkapan ikan, seperti cacat parmanen dan

kematian, namun demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, hal tersebut

tetap masih dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait

dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Halmahera Utara,

yaitu :

1. Mengapa masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara

menggunakan bom dalam penangkapan ikan?

2. Sejauh mana keterlibatan masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera

Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan?

Untuk mempermudah memahami fenomena tersebut, maka dilakukan

pengkajian sistematis terkait dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di

Kabupaten Halmahera Utara. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat menjadi

rekomendasi bagi pihak-pihak terkait, guna penanggulangan penangkapan ikan

yang menggunakan bom agar potensi sumberdaya ikan tetap lestari dan usaha

6

penangkapan ikan dapat berkelanjutan. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

1.6 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah penggunaan bom oleh nelayan di

Kabupaten Halmahera Utara dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan dan

pendapatan nelayan.

Alasan alasan nelayan

menggunakan bom ikan

Rekomendasi

Penanggulangan Bom Ikan

Faktor-faktor yang

mempengaruhi

Masyarakat nelayan

Alat tangkap

tradisional (ramah

lingkungan)

Karakteristik Nelayan

Pengguna Bom Ikan

(destruktif)

Potensi Sumberdaya Ikan

Kabupaten Halmahera Utara

Analisis Regresi

Berganda

Analisis

Deskriptif

Pendapatan

Pendidikan

Umur

Pemanfaatan sumberdaya

berkelanjutan

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeboman Ikan

Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan

ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi

pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak

seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya

sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan

Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi,

(4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen

antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007).

Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan

juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas

bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari

kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat

dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan

meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan,

yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan

hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan

hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang

mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu

karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda

keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis

(Suharyanto, 2006).

Alat tangkap destruktif yang digunakan di Indonesia pada umumnya

adalah bom dan bius. Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos

melarikan diri setelah ditangkap sebelum diangkat naik ke kapal/perahu. Ikan

dibom dulu supaya mati, lalu tinggal dipunguti, dimasukkan ke jaring, lalu

diangkat naik ke atas kapal atau perahu. Sebelum membom ikan, di atas

8

kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam

hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk

memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan,

termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli

mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.

Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5

meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut

yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau

ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton)

yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap,

yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya

detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak

tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut,

penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat),

kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air,

kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada

berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2

cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka

sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek.

Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang

ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan

”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.

Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang

berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan

yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan

dagingnya lembek (Anonimous, 2008).

Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan

merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di

sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar,

selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat

menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas

9

terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara

menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,

terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang

pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar

berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu

karang (Mukhtar, 2007).

Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan

destructive fishing dapat dilakukan dengan cara:

1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau

penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan

ikan secara illegal.

2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah

motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan,

upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.

3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum.

4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus

ada yang mengurusi kasus ini.

2.2 Mata Pencaharian Alternatif

Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis

usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha

yang bersifat tidak ramah lingkungan. Mata pencaharian alternatif yang

berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.

Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang

merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah

jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi

mendatang (Erdmann, 2004).

Pomeroy and Williams (1999) diacu dalam Nikijuluw (2002),

menyatakan bahwa keberhasilan manajemen sumberdaya perikanan lebih

bergantung pada keterlibatan atau partisipasi pemegang kepentingan

(stakeholder). Jika nelayan adalah salah satu pemegang kepentingan tersebut,

10

biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika

keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan

sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain

adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi

yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional.

Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi

tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih

bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan

yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan

memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke

lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga

biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan

cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya

saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat

tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan

(Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak

kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak

mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non

pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya

undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional,

dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di

pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

Bantuan dari pemerintah dapat diberikan kepada pihak swasta (pengusaha

kecil) maupun kepada koperasi. Bentuk campur tangan pemerintah ini dapat

berupa pemberian kredit produksi dengan bunga rendah tanpa agunan,

pembebasan bea masuk komponen-komponen alat pengolahan dan unit

penangkapan, pembebasan PPN penjualan dalan negeri, pengembangan teknologi

pengolahan yang tepat guna, penetapan UMR bidang perikanan dan kemudahan

perizinan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan diukur dari tingkat upah

11

berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan

masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI)

dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah

dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan

terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase

angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase

peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter

kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki

seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki,

(Sari, 2004).

Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks

mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal

dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain:

keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemilik-

nelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan

ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang

bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja

nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi

pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem

pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan

ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah

lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan

kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut

sepanjang tahun.

Lebih lanjut Kusnadi (2003) menambahkan bahwa problem kemiskinan

masyarakat nelayan mulai muncul ke permukaan, setelah satu dekade

dilaksanakannya kebijakan nasional tentang motorisasi perahu dan modernisasi

peralatan tangkap pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini dikenal dengan istilah

revolusi biru (blue revolution). Proyek besar ini berimplikasi pada keserakahan

sosial atas sumber daya perikanan yang mendorong setiap individu untuk

berkuasa penuh terhadap sumber daya tersebut. Keserakahan ini akan berakibat

pada kelangkaan sumber daya perikanan. Kompetisi yang semakin tinggi dan

12

kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan

sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan.

Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan

kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif

dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson

(1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian

bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas

nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan

tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin

dengan alat yang berdaya tangkap besar.

Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi

pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala

mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga

keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer

yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan

tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem

penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan

tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang

diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu

berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan

kemiskinan.

Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk

membantu pemgembangan usaha kecil dan menengah tidak efektif. Hal ini

disebabkan oleh kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha

yang bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar

hasil laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini

disebabkan oleh kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian

kredit yang ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi

perbankan umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya

masyarakat miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004). Selanjutnya

dikatakan bahwa, keterbatasan yang selama ini cukup dominan dalam pemberian

kredit kepada masyarakat/pelaku ekonomi di daerah pesisir adalah, penyediaan

13

jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas

kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan

kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para

pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri

dari kredit investasi dan kredit modal kerja.

2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan)

Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai

ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan

perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk :

1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan

berkelanjutan.

2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan.

3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.

4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.

5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan.

Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya

dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup

kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan

perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil

perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.

Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat

sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan

karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan

maupun radiasi) dan rendah resiko menimbulkan bencana. Penggunaan kapal

perikanan modern yang lebih ramah lingkungan perlu dikembangkan, yakni yang

menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis. Layar dapat dikembangkan

otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi

angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%. Teknologi energi dan

transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling

dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal. Namun,

teknologi modern yang ramah lingkungan ini sangat diperlukan dalam

14

pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit

(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html).

Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya

kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation.

Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan

mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun

jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan

”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara

lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber

daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled

access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan

input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan

jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi

berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu

formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang

menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya

perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola

fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak

melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak

memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu

(http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html).

Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur

kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus

pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan

nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan

kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 tahun 2004

yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan

kabupaten/kota (4 mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut

konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen

dari konsep regulasi akses terkontrol (contolled access regulation) dalam pola

pembatasan input (territorial use right). UU No. 32 tahun 2004 sebenarnya entry

point penerapan territorial use right.

15

2.5 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan

sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi

permintaan akan ikan (Achmad, 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak

terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing),

penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991).

Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan

pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di

pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan

pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis

kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998).

Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat

dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang

mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu

(Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-

species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya

(Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998).

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan

dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan

kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut

kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila

tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya

hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan

waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999).

Sumber daya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut,

termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumber daya

tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas

(Dahuri, 2000; Halim, 2003).

16

2.5.1 Alat penangkapan ikan

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya

bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati

alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis

alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat

penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain

dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999).

Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting

dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan

berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan

digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse

seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995).

Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring

yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan

tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989;

Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian

tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya

diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran

(Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989).

Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan

tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian

bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward,

1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989). Pukat udang dari segi

operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh

pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya

tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995).

Perkembangan alat penangkap ikan di Kabupaten Halmahera Utara sejak

tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menurut jenis alat tangkap, disajikan pada

Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai mempunyai

jumlah yang tetap selama selang waktu 2004-2008. Beberapa jenis alat tangkap

yang mengalami kenaikkan jumlah yang relatif kecil adalah: alat tangkap pukat

17

cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing

tonda dan sero.

Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

No Alat tangkap

menurut jenisnya

Jumlah alat menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

23

32

26

43

35

4

16

59

7

21

32

8

50

122

859

2

27

23

33

28

43

35

4

17

60

8

21

33

7

52

124

939

4

27

23

37

28

43

35

4

17

60

8

22

33

8

53

124

1.029

4

30

23

37

28

41

33

3

18

60

8

22

34

10

55

124

1.155

4

27

23

40

30

41

33

3

18

40

8

22

34

10

40

140

1.250

4

26

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

Alat tangkap yang mengalami kenaikkan jumlah yang cukup signifikan

pada setiap tahun yaitu: pancing ulur. Alat tangkap yang mengalami penurunan

jumlah sampai pada akhir tahun 2008 yaitu: jaring insang hanyut, jaring insang

tetap, jaring klitik, bagan perahu, huhate dan bubu. Jumlah unit penangkapan

tersebut melaksanakan operasi penangkapan sebanyak jumlah tripnya

sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa fluktuasi

jumlah trip setiap tahun selang periode 2004-2008 tidak sama dengan fluktuasi

jumlah alat tangkap, kecuali pada alat tangkap pancing ulur, terlihat jelas terjadi

kenaikkan jumlah trip setiap tahun secara signifikan. Jumlah trip penangkapan

menunjukkan besarnya aktivitas penangkapan dari setiap alat penangkapan dalam

beroperasi.

18

Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

No Alat tangkap

menurut jenisnya

Jumlah trip menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

5.796

6.680

6.240

4.320

7.400

402

3.005

1.872

588

2.764

5.376

1.524

9.088

21.600

254.880

168

2.268

5.646

7.600

6.320

4.343

7.140

432

3.060

9.840

640

3.549

5.544

1.428

10.608

24.396

262.639

176

2.510

5.106

8.140

5.712

4.301

7.022

435

3.043

9.509

672

3.696

5.537

1.632

10.812

25.296

276.221

180

2.670

5.244

7.548

5.600

4.018

7.194

324

3.564

9.840

669

3.586

6.120

1.800

11.220

29.140

296.835

200

2.144

5.380

8.200

6.240

4.961

7.260

331

3.672

6.720

656

3.960

6.188

1.790

7.860

28.021

317.500

232

2.755

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada

setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap

tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun. Sekalipun

demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara

dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang

akan datang.

2.5.2 Armada perikanan

Unit penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Halmahera Utara terdiri

dari beberapa unit penangkapan ikan yang mencakup kapal, alat tangkap dan

nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah

penangkapan. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, kapal perikanan

didefinisikan sebagai perahu, kapal, atau alat apung lain yang digunakan untuk

melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, mendukung

19

operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan

perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut

Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri

atas tiga kategori yaitu:

(1) Perahu Tanpa Motor

(2) Motor Tempel, dan

(3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya

yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100-

200 GT dan > 200 GT.

Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara,

disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal

penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis

ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan

mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya

jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang

bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan

yang baik.

Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara

No Tahun 2004 2005 2006 2007 2008

1 PTM 318 346 415 451 455

2 Motor Tempel 183 205 263 290 348

3 Kapal Motor :

0 - 5 GT 762 865 1.021 1.117 1.176

5 - 10 GT 50 58 60 62 64

10 - 20 GT 17 21 25 27 31

20 - 30 GT - - - - -

30 - 50 GT - - - - -

50 - 100 GT - - - - -

100 - 200 GT - - - - -

> 200 GT - - - - -

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

20

2.5.3 Nelayan

Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak

163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat

kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap

kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa,

penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746

jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao

Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2

dan 15

jiwa/km2. Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran

penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang

berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut.

Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di

Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009

No Kecamatan Jumlah penduduk

(jiwa)

Luas daerah

(km2)

Kepadatan

penduduk

(jiwa/km2)

1 Kao Teluk 6.911 135,4 51

2 Malifut 10.349 374,1 28

3 Kao 7.212 111,2 65

4 Kao Barat 8.632 596,7 14

5 Kao Utara 7.112 128,8 55

6 Tobelo Barat 4.497 294,7 15

7 Tobelo Timur 6.828 120 57

8 Tobelo Selatan 13.411 204,3 66

9 Tobelo Tengah 10.713 56 191

10 Tobelo 24.604 33 746

11 Tobelo Utara 10.427 100,4 104

12 Galela 7.910 138,7 57

13 Galela Selatan 8.948 84,5 106

14 Galela Barat 9.636 45,5 212

15 Galela Utara 8.951 255,3 35

16 Loloda Utara 10.231 390,4 26

17 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 118

Jumlah 163.836 3.132

Sumber: Dinas Catatan Sipil Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

21

Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap

ikan/binatang air lainnya dilaut. Secara umum nelayan dapat dikategorikan

sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan,

nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah

pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004).

Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan,

nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan.

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi

penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya

melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau

perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan.

Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan

sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan.

Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi:

1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan

untuk melakukan operasi penangkapan ikan

2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu

kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari

waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan

(Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).

Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha

penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan

ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang

diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung

seluruh biaya operasi penangkapan.

2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi

bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.

3. Juragan darat-laut adalah orang yang memiliki perahu dan alat tangkap

sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut

22

menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit

penangkapan.

4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan

dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi

hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.

5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit

penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah

perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota

kelompok.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai

orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan

juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan

meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan

Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah

semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk

melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga

kelompok yaitu:

1. Nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh

2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam

kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain

3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan

penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan.

Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain.

Sebagian besar nelayan di Kabupaten Halmahera Utara merupakan

nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, karena mereka

mempunyai kebun, sehingga pada saat panen tanaman pertanian, mereka istirahat

melaut. Jumlah nelayan menurut jenis alat periode tahun 2004–2008 lihat Tabel 5.

23

Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap

No Jumlah nelayan

menurut jenisnya

Jumlah trip menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaring insang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

276

628

364

130

98

6

18

59

7

28

35

8

900

124

859

2

10

276

646

358

130

98

6

20

60

8

28

38

7

930

126

939

4

10

274

722

360

130

98

6

20

61

8

30

38

9

954

126

1.029

4

10

276

722

360

120

86

5

22

61

8

30

40

11

990

126

1.155

4

10

276

780

386

120

86

5

22

40

8

30

40

11

720

142

1.250

4

8

Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

Tabel 5 menunjukkan bahwa nelayan sebagian besar menggunakan alat

tangkap pancing, berikut jaring insang tetap, pukat cincin, jaring lingkar dan

huhate. Alat tangkap pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang

sederhana dengan mayoritas kepemilikan tunggal dengan tingkat penyerapan

tenaga kerja per unit penangkapan sangat rendah. Pada kelompok alat ini, setiap

unit penangkapan ikan menyerap 1 – 3 tenaga kerja saja. Alat tangkap pukat

cincin, jaring lingkar dan huhate merupakan alat tangkap dengan daya penyerapan

tenaga kerja yang tinggi per unit penangkapan. Setiap unit penangkapan dari

ketiga jenis alat ini mampu menyerap tenaga kerja antara 12 – 20 orang bahkan

terkadang ada yang lebih dari 20 orang.

24

2.5.4 Produksi

Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan.

Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan

ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor

lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau

pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di

seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat

tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat

No Alat tangkap Jumlah produksi (ton) menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

Pukat pantai

Pukat cincin

Jaring lingkar

Jaringinsang hanyut

Jaring insang tetap

Jaring klitik

Trammel net

Bagan perahu

Bagan tancap

Rawai tetap

Rawai tuna

Rawai hanyut

Huhate

Pancing tonda

Pancing ulur

Sero

Bubu

417,688

4.858,05

354,883

224,924

231,884

4,257

96,61

2.962,76

257,643

287,416

877,615

117,922

4.683,22

742,804

620,401

9,758

52,006

634,82

5.690,42

371,496

226,026

264,67

2,998

45,938

6.283,03

359,292

207,588

2.700,13

99,063

8.272,82

1.904,72

579,4

21,627

54,373

501,407

5.847,04

376,284

272,039

285,237

4,066

89,968

2.853,66

231,719

477,624

1.232,78

142,215

7.860,60

1.337,26

569,838

8,264

55,34

444,297

6.319,49

386,195

226,147

267,427

4,032

91,753

2.705,99

205,375

484,474

1.522,95

160,423

8.471,56

1.240,11

895,291

4,892

49,702

615,194

8.625,46

439,9

181,431

245,757

3,188

166,886

3.146,17

122,681

535,3

2.148,58

235,03

7.773,09

1.506,32

1.213,72

3294

50,648

Jumlah 16.800 27.718 22.145 23.480 30.303

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

Tabel 11 menunjukkan bahwa, sumbangan hasil tangkapan terbesar

diperoleh dari operasi perikanan yang menggunakan perikanan pukat cincin dan

huhate, dilihat dari rata-rata hasil tangkapan pertahun, maka alat tangkap huhate

memberikan sumbangan terbesar, berikut adalah alat tangkap pukat cincin. Alat

tangkap yang memberikan sumbangan hasil tangkapan paling rendah yaitu jaring

klitik dan sero.

25

2.5.5 Pemasaran

Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera

Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam

keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual

dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong.

Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan

dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya

penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya

pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru

dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin

untuk dijual pada hari berikutnya. Salah satu kendala tidak diterapkannya

pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan

masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain

juga cukup besar.

Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat

menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah,

sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun

demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang

jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu

jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak

terlalu besar. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar,

walaupun belum kena bahan pengawet es.

Kegiatan pemasaran terutama diperankan oleh pedagang borongan

(penyalur) yang kemudian disalurkan ke pedagang eceran. Rata-rata setiap unit

penangkapan telah memiliki pedagang penyalur yang disebutkan sebagai

pengurus (istilah daerah setempat). Pengurus memegang peranan penting dalam

menyalurkan hasil tangkapan untuk sampai di tangan konsumen.

26

2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

2.6.1 Luas dan letak geografis

Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1

Tahun 2003 dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah

kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki

luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km

2 atau

sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02

km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten.

Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan

yang terdiri dari 260 desa. Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18

kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan

kecamatan pedalaman. Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau

sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni.

Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari

Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3

o00’ LU dan 127

o17’-

128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan

sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten

Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.

Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki

batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut:

(1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur

berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera

Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten

Halmahera Barat dan laut Sulawesi.

Sumber daya alam pantai yang banyak terdapat di Kabupaten Halmahera

Utara yaitu : ketam kenari (Birgus latro), penyu, burung laut, dan hutan

mangrove. Di samping itu, juga terdapat jenis udang (Penaied sp), kepiting

(Brachyura sp), cumi-cumi (Chaphalopoda sp), kerang mutiara (Pinctada

maxima), tapis-tapis (Pinctada margarititera), lola (Thodws nilotice), teripang

(Holothuridae sp), dan rumput Laut (sea weeds).

27

Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.

Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi

sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun,

dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar

44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41

ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan

mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder

1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas

539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha.

Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian

pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu

kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah

U

28

mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu

kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar

datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman.

Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini

memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir

wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam

wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari

permukaan laut.

Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan

Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat,

Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan

di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur.

Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah

12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di

pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak

berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale

memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama

Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah

perairan Teluk Kao.

2.6.2 Penduduk

Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk

Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang

tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa

Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah

penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7).

Kondisi penduduk yang terdapat pada setiap desa terlihat masih

tradisional, dengan rata-rata penduduk berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Sebagai petani, masyarakat menggarap lahan pertanian yang umumnya ditanami

kelapa untuk menghasilkan kopra yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Untuk

tanaman pala, cengkih, juga terdapat di wilayah ini, namun jumlahnya tidak

terlalu banyak. Ketela pohon, ubi, padi ladang dan pisang, juga ditanami oleh

29

sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi

hanya untuk konsumsi keluarga.

Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008

No. Desa Kepala Keluarga Jumlah

Penduduk

1 Daru 423 1.679

2 Wateto 197 793

3 Warudu 88 318

4 Tunuo 212 878

5 Pediwang 338 1.456

6 Bori 260 1.145

7 Doro 394 1.695

8 Dowongimaiti 75 263

9 Bobale 197 857

10 Gamlaha 277 1.067

11 Boulamo 46 190

12 Gulo 187 774

Jumlah 2.694 11.115

Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.

Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan

Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao.

Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin,

disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal

terumbu karang, pada saat air laut surut.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor CSR (Corporate Social

Responsibility) PT. Nusa Halmahera Minerals, jumlah kelompok nelayan yang

mengusulkan program untuk memperoleh bantuan alat tangkap di Kecamatan Kao

Utara, berjumlah 27 kelompok nelayan, dengan rata-rata jumlah anggota sebanyak

10 sampai 12 orang. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Halmahera Utara menyatakan bahwa jumlah nelayan

sambilan utama yang berada di Kecamatan Kao Utara berjumlah 162 orang,

dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan sebanyak 87 RTP.

30

2.6.3 Ekonomi

Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih

terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat

kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga

menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian

hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa

Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh

banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul

(dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari

nelayan yang melakukan penangkapan ikan.

Lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan tidak ditemukan di

kecamatan ini. Lembaga-lembaga koperasi yang beranggotakan masyarakat

nelayan atau petani ada di beberapa tempat, namun aktifitasnya tidak terlihat.

Koperasi yang terlihat aktif adalah koperasi-koperasi simpan pinjam yang dimiliki

secara pribadi oleh oknum-oknum tertentu, yang dengan berkedok koperasi,

melakukan praktek simpan pinjam kepada masyarakat setempat dengan bunga

yang sangat tinggi.

31

3 METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga desa yang berada di Kecamatan Kao

Utara, yaitu: Desa Doro, Desa Bori dan Desa Pediwang (Lampiran 1). Penetapan

lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, ketiga desa tersebut merupakan

desa yang masyarakat nelayannya lebih sering menggunakan racun dan bahan

peledak (bom ikan) dalam kegiatan penangkapan ikan di Halmahera Utara.

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yang dimulai dari bulan

September-Desember 2009. Persiapan yang meliputi penelusuran studi

kepustakaan dan studi pendahuluan dilakukan pada bulan September hingga

Oktober 2009, dan dilanjutkan dengan observasi lapangan pada bulan

Oktober hingga Desember 2009.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan

melakukan observasi terhadap kegiatan pengeboman ikan dan mewawancarai

nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Selain itu, pengumpulan data

dilakukan dengan pengisian daftar isian pertanyaan (kuesioner) oleh responden.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder

yang dikumpulkan meliputi kondisi umum perikanan tangkap di Kabupaten

Halmahera Utara, dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan topik penelitian ini.

Data sekunder ini diperoleh melalui kegiatan penelusuran pustaka dari hasil-hasil

penelitian sebelumnya dan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara,

Badan Pusat Statistik Halmahera Utara, da instansi terkait lainnya.

Data primer diperoleh melalui kegiatan survei (observasi) dengan

mengamati kegiatan nelayan yang menggunakan bom ikan, mulai dari kegiatan

perakitan bom, hingga kegiatan operasi penangkapan ikan. Pengumpulan data

primer ini juga dilakukan dengan mewawancarai sejumlah nelayan pelaku

pengeboman ikan. Untuk mengklarifikasi dan melengkapi data/informasi

tersebut, ditentukan sebanyak 60 responden. Responden ini ditetapkan secara

32

sengaja (puposive sampling method) yang berasal dari ketiga desa sampel,

masing-masing sebanyak 20 responden. Pertimbangan yang digunakan dalam

menentukan responden ini adalah (1) Responden bersedia dan mengerti untuk

mengisi daftar pertanyaan yang diajukan, (2) Responden berasal dari desa sampel

yang telah ditentukan (Ugiyono, 2006), dan (3) Responden menggunakan bom

dalam kegiatan penangkapan ikan.

Data/informasi yang terkait dengan proses kegiatan pengeboman ikan

diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara. Data primer lainnya

dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh para responden yang telah

ditentukan. Data yang dikumpulkan melalui pengisian daftar pertanyaan

(kuesioner) oleh responden adalah: (1) komposisi umur nelayan, (2) tingkat

pendidikan (3) persepsi responden dalam penggunaan bom ikan, (4) kondisi sosial

ekonomi nelayan, termasuk pendapatan, (5) perkembangan jumlah nelayan yang

menggunakan bom ikan (6) jumlah tangkapan nelayan dengan penggunaan bom

ikan, dan (7) alasan nelayan menggunakan bom. Jenis dan sumber data, dan

metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian

No Data Sumber Data Metode

Pengumpul Data

1 Primer:

Komposisi Umur

Tingkat Pendidikan

Besar Pendapatan

Alasan nelayan

menggunakan bom

Nelayan yang

menggunakan

bom ikan

Wawancara/kuesioner

Purposive sampling

2 Sekunder:

Potensi SDI

Infrastruktur dan

sarana usaha perikanan

Data perikanan

Kabupaten

Data Sosial Ekonomi

DKP Kab

Halut

BPS Kab

Halut

Instansi terkait

Purposive sampling

Studi literatur

33

3.3 Analisis Data

3.3.1 Analisis deskriptif

Analisis deskripsi ini menyajikan distribusi frekuensi secara tematik

berupa tabel dan gambar (grafik). Analisis deskripsi ini bertujuan untuk melihat

kecenderungan persepsi responden dengan variabel penelitian yang digunakan dan

faktor pendorong nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Analisis

ini digunakan untuk menganalisis karakteristik perikanan di lokasi penelitian.

3.3.2 Analisis regresi berganda

Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penggunaan bom ikan

sebagai alat penangkapan ikan, dianalisa dengan persamaan regresi berganda

(Walpole, 1995), dengan formula:

3322110 XbXbXbbY

Keterangan : Ỹ = aktifitas penggunaan bom.

X1 = umur

X2 = pendidikan

X3 = pendapatan

b = konstanta

b1, b2, b3, = koefisien regresi

Dalam setiap variabel, baik variabel X maupun variabel Y , ditentukan

kategori untuk masing-masing variabel, yang dapat dilihat dalam Tabel 9, Tabel

10, Tabel 11, dan Tabel 12.

34

Tabel 9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan

No Kategori Skor

1

2

3

4

Melakukan pengeboman

Turut serta

Menikmati hasil

Tidak melakukan

1

2

3

4

Tabel 10 Instrumen penelitian untuk variabel umur

No Umur Skor

1

2

3

4

20 - 30 tahun

31 - 40 tahun

41 - 50 tahun

51 - 60 tahun

1

2

3

4

Tabel 11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan

No Pendidikan Skor

1

2

3

4

5

Tidak sekolah

Tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

1

2

3

4

5

Tabel 12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan

No Pendapatan Skor

1

2

3

4

Rp.0 - < Rp.300.000

Rp.300.000. - < Rp.600.000

Rp.600.000. - < Rp.900.000

Rp.900.000. - < Rp1.200.000

1

2

3

4

35

4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian

4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan

Umumnya jenis teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan

Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah relatif sederhana. Alat

tangkap yang rata-rata dipakai adalah pancing ulur dan jaring insang hanyut dan

tetap (gillnet). Pancing ulur dapat digunakan dengan umpan atau dengan pemikat

yang dibuat dari serabut kain, atau bulu ayam yang disebut lau. Pengoperasian

alat penangkapan ikan dengan lau, biasanya dilakukan pada batas antara terumbu

karang yang biasanya dangkal, dan perairan yang lebih dalam (pada kedalaman

40m – 100 m). Ujung tali pancing dipasang pemberat (potongan besi), kait yang

telah dipasangi lau diikat di tengah tali pancing (bisa 5 sampai dengan 25 kait

dipasang berurutan dengan jarak 50 -100 cm), dan tali pancing diturunkan ke

dalam air mengikuti pemberat sampai ke dasar perairan, dan ditarik kembali

dengan gerakan turun naik. Lau yang terpasang pada kait memikat ikan (karena

menyerupai ikan kecil yang sedang berenang), dan memakan pemikat tersebut,

ikanpun terkait dan ditangkap.

Pancing ulur yang menggunakan lau juga digunakan oleh nelayan hanya

dengan 1 kait. Kait yang dipasang lau diikat di ujung tali pancing kemudian

ditenggelamkan ke dasar perairan menggunakan batu yang diikat pada potongan

daun kelapa, dan setelah batu menyentuh dasar, tali pancing ditarik dengan keras

agar lepas dari potongan daun, kemudian tali pancing ditarik dengan cepat. Lau

yang menyerupai ikan kecil sedang berlari ditangkap oleh ikan besar, ikan itupun

terkait pada kait yang ada, dan ditarik naik ke atas perahu. Pancing ulur lainnya

juga menggunakan kait, namun pemikat yang dipasang pada kait adalah potongan

daging ikan, yang apabila dimakan oleh ikan sasaran akan terkait pada kait yang

ada. Jenis alat tangkap ini sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kecamatan

Kao Utara.

Perahu yang dipergunakan oleh nelayan setempat dalam mengoperasikan

alat tangkap umumnya masih termasuk dalam skala tradisional yang dibuat dari

36

batang kayu yang digali dan dibentuk menjadi perahu, yang disebut jukung. Pada

jukung ini dipasang penyeimbang yang disebut sema-sema. Pada beberapa

nelayan tertentu, sudah ada yang mempergunakan perahu yang dibuat dari bahan

kayu lapis anti air, yang ditempelkan menjadi badan perahu pada rangka yang

telah dibuat, dan dipasang mesin ketinting di dalamnya. Mesin ini adalah mesin

serba guna yang biasanya digunakan juga dalam usaha-usaha parutan kelapa atau

singkong. Kapasitas mesin berkisar antara 3 – 5 horse power.

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan

pancing ulur, nelayan-nelayan di Kecamatan Kao Utara biasanya melakukannya

secara sendiri-sendiri atau satu orang. Namun demikian, sebagian unit

penangkapan ikan terdiri dari 2 orang anak buah kapal (ABK)..

Alat tangkap yang juga dipergunakan oleh nelayan dalam melakukan

operasi penangkapan ikan di lokasi penelitian adalah, jaring insang tetap dan

jaring insang hanyut. Jaring insang tetap biasanya digunakan pada perairan-

perairan dangkal, seperti di atas terumbu karang dengan cara dilingkarkan pada

gerombolan ikan yang ada, atau ditempatkan di sekitar hutan mangrove, untuk

menghalau ikan-ikan pada saat air laut surut. Ikan yang terperangkap pada mata

jaring kemudian diangkat bersama jaring ke atas perahu dan dilepaskan dari

jeratan jaring yang ada. Penggunaan jaring hanyut biasanya dilakukan dengan

cara jaring dilepas di perairan yang dalam, dan dibiarkan hanyut terbawa arus.

Ujung jaring diikatkan pada pelampung, dan ujung jaring sebelahnya diikatkan

pada perahu. Penggunaan alat tangkap ini dilakukan oleh nelayan antara 2 – 4

orang, dengan mempergunakan perahu yang cukup untuk memuat nelayan, alat

tangkap dan hasil yang diperoleh. Apabila jumlah tangkapan melebihi dari daya

muat perahu, terkadang para nelayan setempat meminta bantuan kepada nelayan

lainnya yang sedang menangkap ikan untuk membantu mengangkat ikan yang ada

keatas perahu nelayan tersebut. Pembagian hasil akan dilakukan oleh nelayan

yang mempunyai jaring kepada nelayan yang menyertainya (ikut) dan kepada

nelayan lain yang turut membantu, apabila hasilnya lebih.

Hasil yang diperoleh oleh nelayan setelah melakukan operasi penangkapan

ikan, biasanya dijual ke pasar tradisional di ibukota kecamatan yang berjarak

kurang lebih 15 km, yang dibuka pada setiap hari Rabu dan Sabtu. Atau dijual

37

kepada penampung ikan (dibo-dibo) yang biasanya mengelilingi desa-desa di

pesisir Teluk Kao untuk mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan, yang akan

dijual ke ibukota kabupaten, atau dijual kepada perusahaan tambang emas yang

berjarak dari desa penelitian kurang lebih 80 km. Harga perkilogram ikan apabila

dijual ke pasar, biasanya Rp.10.000.- sampai dengan Rp.15.000.- per kilogram,

namun apabila dijual kepada pedagang pengumpul, kisaran harganya bisa turun

sampai Rp.7.500.- per kilogram ikan.

Jenis dan jumlah unit penangkapan yang terdapat di ketiga desa lokasi

penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, jumlah nelayan

yang paling banyak berada di Desa Pediwang, yakni sebanyak 148 orang,

kemudian Desa Doro sebanyak 142, dan di Desa Bori sebanyak 111 orang.

Penggunaan alat tangkap yang dominan adalah pancing ulur, sebanyak 69 unit di

Desa Doro, 55 unit di Desa Pediwang dan 51 unit di Desa Bori. Alat tangkap

lainnya adalah jaring insang yang terlihat sedikit di masing-masing desa, dimana

yang terbanyak di Desa Pediwang 3 unit, di Desa Doro 2 unit, dan di Desa Bori 1

unit.

Tabel 13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian

Desa Jumlah Jumlah alat tangkap (unit) Jumlah

nelayan Pancing Ulur Jaring Insang Perahu

Doro 142 69 2 36

Bori 111 51 1 30

Pediwang 148 55 3 39

Jumlah 401 175 6 105 Sumber: Kantor desa Doro, Bori dan Pediwang

Pemerintah telah memberikan bantuan alat tangkap dan perahu untuk lebih

memberdayakan nelayan di Kabupaten Halmahera Utara. Namun, jumlah nelayan

yang menerima bantuan ini masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil survei dan

wawancara yang dilakukan terhadap nelayan responden di ketiga desa, ternyata

nelayan di lokasi sampel penelitian ini juga sebagian kecil telah pernah menerima

bantuan tersebut, yaitu sebanyak 14 orang. Bantuan yang diperoleh nelayan

dalam bentuk perahu (pambut), alat tangkap jaring insang dan air compressor

untuk penyelaman teripang atau mutiara.

38

Tabel 14 Persepsi responden terhadap bantuan

Desa Menerima bantuan

belum sudah

Doro 17 3

Bori 18 2

Pediwang 11 9

Jumlah 46 14

4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan pada tiga desa

penelitian terkadang menggunakan bom sebagai alat penangkapannya. Hasil

survei yang dilakukan terhadap 60 responden nelayan yang berasal dari 3 desa

menunjukkan bahwa sebagian nelayan tidak melakukan pengeboman ikan lagi

karena takut kepada petugas. Namun demikian, masih banyak di antara nelayan

yang tetap menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Nelayan ini hanya

mengambil ikan-ikan ukuran besar dan bernilai ekonomis tinggi, sedangkan ikan-

ikan ukuran kecil yang ikut mati atau terbius akibat bom dibiarkan, lalu pergi ke

lokasi lain mencari daerah yang lebih potensial. Ketika nelayan yang melakukan

pengeboman ikan pergi, biasanya ada nelayan lain yang mengambil ikan mati atau

terbius yang ditinggalkan oleh nelayan yang melakukan pengeboman ikan.

Adapun komposisi jumlah nelayan responden yang melakukan pengeboman ikan,

nelayan yang hanya sekedar mengambil ikan yang mati/terbius, dan nelayan yang

tidak melakukan pengeboman ikan disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan

Desa Penggunaan bom

Melakukan Pengumpul sisa ikan Tidak lagi

Doro

Bori

Pediwang

7

8

3

4

1

3

9

11

14

Jumlah 18 8 34

Penggunaan bom di Kecamatan Kao Utara pernah dilakukan oleh banyak

nelayan dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 15, sebanyak 34

responden atau sebanyak 57% yang menyatakan bahwa mereka sudah tidak mau

lagi melakukan pengeboman ikan. Nelayan yang masih menggunakan bom ikan

39

adalah sebanyak 18 orang atau sekitar 30%. Sedangkan nelayan yang tidak

menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan tetapi mereka

mengumpulkan sisa ikan yang telah mati/terbius sebanyak 8 orang, atau sebesar

13%. Pengumpulan hasil tangkapan ini biasanya hanya mengumpulkan sisa-sisa

ikan, biasanya yang berukuran kecil untuk dijadikan umpan.

Tren menurunnya nelayan menggunakan bom pada ketiga desa lebih kuat

di desa Pediwang, karena tidak ada lagi nelayan responden yang mau ikut serta

dalam kegiatan penggunaan bom ikan. Namun demikian, masih ada sebanyak 3

responden yang aktif melakukan pemboman ikan di desa tersebut dan 3 responden

yang mengumpulkan sisa-sisa ikan yang dibom. Untuk Desa Bori, terdapat 8

orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan

pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa ikan, dan yang

lainnya tidak melakukan pengeboman ikan lagi. Sedangkan di Desa Doro, dari 20

responden, terdapat 7 orang yang masih melakukan pengeboman ikan, dan 4

orang sebagai pengumpul sisa ikan, dan 9 orang yang tidak mau melakukan lagi.

Alasan nelayan di 3 desa penelitian menggunakan alat penangkapan ikan

dengan bom berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa dari 11 orang nelayan

yang melakukan pengeboman menyatakan, penggunaan bom yang mereka

lakukan dalam penangkapan ikan disebabkan karena: 1) bahan mudah ditemukan,

2) sederhana dalam proses perakitan dan penggunaannya, 3) memperoleh

tangkapan lebih banyak, dan 4) resiko kecelakaan yang timbul terhadap diri

merupakan kelalaian nelayan itu sendiri.

Nelayan yang melakukan kegiatan pengeboman ikan menyatakan bahwa

sebagian besar dari mereka telah berpengalaman melakukannya lebih dari 4 tahun,

yakni sebanyak 16 orang (88 %), dan sebanyak 2 orang (12 %) menyatakan

bahwa mereka telah berpengalaman selama 1 tahun. Responden nelayan yang

memiliki pengalaman selama 2 tahun dan 3 tahun tidak ada (Tabel 16). Hal ini

menunjukkan bahwa transfer pengalaman untuk menggunakan bom dalam

penangkapan ikan tidak terjadi setiap tahun, namun dapat terjadi sewaktu-waktu

tergantung keberanian dan dorongan tertentu yang menyebabkan seorang nelayan

menggunakan bom ikan.

40

Tabel 16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom

Desa Pengalaman menggunakan bom

1 tahun 2 tahun 3 tahun > 4 tahun

Doro 1 0 0 6

Bori 1 0 0 7

Pediwang 0 0 0 3

Jumlah 2 0 0 16

Bom yang digunakan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam operasi

penangkapan ikan, diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli dari

nelayan lain. Sebagian besar dari nelayan yang menggunakan bom memiliki

kemampuan untuk merakit bom ikan, walaupun sebagian kecil dari mereka hanya

membeli bom yang sudah jadi dari nelayan lain. Namun sebagian nelayan

melakukan penyelaman di dasar laut untuk mencari bom sisa waktu perang tempo

dulu (Tabel 17).

Tabel 17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu

Desa Memperoleh mesiu

beli menyelam

Doro 3 1

Bori 4 0

Pediwang 2 1

Jumlah 9 2

Harga 4 buah bom yang sudah dirakit jika dijual kepada nelayan berkisar

antara Rp.100.000.- sampai dengan Rp.200.000.- Hasil wawancara dengan

responden, diperoleh informasi bahwa, bahan bom yang berupa bubuk mesiu

dapat diperoleh dengan cara menyelam ke dasar laut menggunakan bantuan air

compressor di sekitar perairan Teluk Kao yang banyak terdapat bom-bom bekas

perang dunia kedua, yang banyak dibuang ke laut oleh tentara Jepang, setelah

kalah dari tentara Sekutu. Bom yang telah lama berada di dasar laut tersebut,

kemudian dibuka menggunakan gergaji besi sambil disiram air, atau bom tersebut

telah terbuka akibat termakan karat. Berat bom yang diangkat, bisa berkisar

antara 50 kg – 100 kg. Isi bom tersebut (mesiu) adalah bahan utama dari

pembuatan bom ikan yang dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara.

Harga 1 kg. bubuk mesiu yang dijual kepada nelayan lain berkisar Rp.50.000.-

41

sampai dengan Rp.100.000.-, dimana untuk 1 kg bubuk mesiu, dapat dirakit antara

3 – 4 bom rakitan

Proses pembuatan bom sangat sederhana dan bahan-bahan pendukungnya

mudah diperoleh. Botol bekas atau pipa bekas (Ø ¾ inchi) yang dipotong

sepanjang ± 10 – 20 cm, disumbat ujung sebelahnya dengan erat menggunakan

kayu, kemudian dimasukkan mesiu di dalamnya. Ujung sebelahnya kemudian

ditutup dengan kayu atau karet sandal bekas yang telah dilobangi bagian

tengahnya untuk dipasangi sumbu. Sumbu konfensional dibuat menggunakan

pipa sempit (Ø 2 – 3 mm) dan dipotong sepanjang 3 – 4 cm, dan diisi dengan

bahan kepala korek api yang digerus dan dipadatkan kedalam pipa sempit,

kemudian dipasang ke dalam lubang yang telah disiapkan pada perangkat bom.

Bom jenis ini adalah bom yang dilempar dari atas perahu setelah sumbu dibakar

menggunakan bara rokok atau bara obat nyamuk. Sumbu terbaru yang saat ini

juga digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara adalah menggunakan

bohlam lampu pijar yang biasanya digunakan untuk senter, dipecahkan tanpa

merusak fillamen (yang berpijar dalam bohlam) bohlam. Fillamen tersebut

kemudian dimasukkan secara hati-hati kedalam lubang sumbu pada perangkat

bom, dan direkatkan agar kedap air, dimana pada kutub positif dan negatif

bohlam disambungkan dengan seutas kabel positif dan negatif yang cukup

panjang. Cara kerjanya, bom yang telah siap kemudian diturunkan ke kedalaman

laut tertentu yang telah diamati oleh seorang nelayan yang melakukan penyelaman

untuk melihat posisi ikan. Setelah bom diturunkan pada kedalaman yang

diinginkan (terdapat banyak ikan), ujung kabel positif dan negatif yang berada di

atas perahu kemudian disambungkan dengan kutub positif dan negatif pada

beterai atau accu sepeda motor, dan menyebabkan sumbu (fillamen) yang terdapat

di dalam mesiu menyala dan memicu bom meledak. Ikan-ikan yang telah

ditangkap dengan bom kemudian dikumpulkan dengan cara menyelam oleh para

nelayan yang ada, mempergunakan keranjang tali, ataupun dikumpulkan dengan

tangan.

Hasil wawancara dengan responden nelayan di ketiga desa menunjukkan

bahwa korban akibat penggunaan bom selama kurun waktu 5 tahun terakhir tidak

ada, baik yang cacat maupun meninggal. Korban pernah terjadi pada 10 sampai

42

15 tahun lalu yang menyebabkan cacat dan kematian pada beberapa nelayan

(Tabel 18), seperti Desa Doro korban meninggal 1 orang, di Pediwang korban

meninggal 1 orang dan cacat 1 orang, sedangkan korban di Desa Bori, 2 orang

cacat parmanen.

Tabel 18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan

Desa Korban bom

cacat meninggal

Doro 0 1

Bori 2 0

Pediwang 1 1

Jumlah 9 2

4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan

Kondisi umum sosial budaya masyarakat nelayan dijelaskan dengan

pendekatan responden. Variabel responden yang digunakan untuk meggambarkan

karakteristik tersebut, yaitu: jumlah penduduk, budaya, umur dan pendidikan.

Dengan mengetahui variabel kondisi responden tersebut diharapkan dapat

menjelaskan struktur sosial budaya masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara

secara umum.

Penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang rata-rata adalah petani dan

nelayan yang menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil kebun dan hasil-hasil

laut. Lokasi ketiga desa ini saling bersebelahan, apabila diurutkan dari bagian

utara yaitu Desa Pediwang, Desa Bori, dan Desa Doro. Jumlah penduduk

terbanyak adalah Desa Doro, diikuti Desa Pediwang dan Desa Bori (Tabel 19).

Tabel 19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang

Desa

Jumlah

Jiwa KK

Doro

Bori

Pediwang

1.695

1.145

1.456

394

260

338

4.296 992

Sumber: Data diolah dari Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Kao Utara

43

Variabel umur responden di tiga desa, menunjukkan 25-45% responden

berumur antara 41-50 tahun, 15-40% berumur 51-60 tahun, 10-25% berumur 31-

40 tahun dan 15-20% berumur 20-30 tahun. Variabel umur ini menunjukkan

bahwa sebagian besar responden nelayan berusia 41-50 tahun. Kisaran 41-50

tahun didominasi responden Desa Pediwang (45%), Desa Bori (35%) dan Desa

Doro (25%), seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian

Sebaran umur responden nelayan sangat bervariasi dari sekolah dasar (SD)

hingga lulusan sekolah lanjutan atas (SMA), bahkan ada sebagian dari mereka

tidak pernah bersekolah (Gambar 4). Pendidikan responden tamatan SMA

berkisar 40-60%, tamatan SMP sebanyak 5-15%, tamatan SD sebanyak 5-20%,

tidak tamat SD sebanyak 5%, dan tidak sekolah sebanyak 10-35%. Responden

untuk tamatan SMA didominasi responden Desa Bori dan Pediwang dan

responden tidak sekolah banyak terdapat di Desa Doro dan Bori. Mayoritas

tingkat pendidikan masyarakat nelayan (responden) adalah tamatan SMA dan

tidak tamat sekolah. Kondisi tersebut di atas mengindikasikan bahwa SDM di

ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih rendah.

20%

25%

35%

10%

35%

40%

15%

25%

45%

15%

20%

15%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

20 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 50 tahun 51 - 60 tahun

Komposisi Umur

% R

esp

on

de

n

DORO BORI PEDIWANG

44

Gambar 4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian

4.2 Kondisi Ekonomi Nelayan

Kondisi ekonomi masyarakat nelayan di lokasi penelitian dijelaskan

berdasarkan variabel tingkat pendapatan. Pendapatan dan tingkat kesejahteraan

nelayan di Kabupaten Halmahera Utara seyogianya cukup besar karena potensi

ikan cukup banyak, ikan memiliki nilai ekonomis/harga tinggi, dan permintaan

cukup banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa nelayan di daerah tersebut

termasuk kelompok miskin. Bahkan atribut bagi mereka adalah termiskin di antara

yang miskin ”the poorest of the poor”. Kemiskinan itu terjadi karena nilai tukar

nelayan yang rendah yang disebabkan komoditas yang mereka hasilkan dibayar

murah (Nikijuluw, 2002).

Hasil survey dalam penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata

pendapatan responden di tiga desa lokasi penelitian mayoritas antara

Rp.300.000,00 hingga Rp.600.000,00 per bulan (Gambar 5). Angka pendapatan

ini diketahui dari rata-rata pengeluaran keluarga nelayan per bulan. Jumlah

pendapatan diasumsikan sama dengan jumlah pengeluaran, karena dari sejumlah

belanja nelayan, tidak ada yang dialokasikan untuk ditabung.

35%

0%

10%

15%

40%

35%

0%

5%

0%

60%

10%

5%

20%

5%

60%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA

Tingkat Pendidikan

% R

esp

on

de

n

DORO BORI PEDIWANG

45

Gambar 5 Sebaran tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian

Disamping hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan, responden

nelayan di tiga desa lokasi penelitian juga mempunyai penghasilan dari usaha-

usaha perkebunan. Tanaman yang menjadi andalan mereka untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya adalah kelapa yang dibuat kopra. Dari hasil wawancara

dengan responden diperoleh data bahwa rata-rata jumlah tanaman kelapa yang

dimiliki oleh responden nelayan adalah 300 pohon kelapa dengan produksi

sebanyak 2,1 ton per kwartal atau per empat bulan. Harga produk ini berkisar

antara Rp.2.000.- sampai Rp.3.000.- per kilogramnya. Apabila masa panen

kelapa, seorang nelayan memperoleh penghasilan kotor sebesar Rp.4.000.000.-

sampai Rp.6.000.000.- tergantung harga kopra. Penghasilan ini akan dibuka

untuk buruh tani yang melakukan pemetikan kelapa (nae), mengeluarkan daging

kelapa (kore) sampai dengan pengasapan (fufu), yang dihitung ½ dari hasil

penjualan kopra yang telah jadi. Hasil kebun nelayan di 3 desa lokasi penelitian

berkisar antara Rp.2.000.000.- sampai dengan Rp.3.000.000.- per empat bulan.

Dukungan permodalan yang biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga

perekonomian tidak pernah dinikmati oleh responden nelayan, disebabkan karena

rendahnya pengetahuan nelayan tentang hal tersebut. Dari responden yang

diwawancarai, sebanyak 87% dari mereka menyatakan bahwa mereka tidak tahu

caranya, dan sebanyak 13% dari responden takut melakukan pinjaman modal.

Ironisnya, dari 60 responden yang ada, terdapat 42% yang tidak melakukan

10%

40%

10%

40%

10%

60%

20%

10%

0%

50%

35%

15%

0 - < Rp.300.000 Rp.300.000 - <

Rp.600.000

Rp.600.000 - <

Rp.900.000

Rp.900.000 - < Rp

1.200.000

DORO BORI PEDIWANG

46

pinjaman kepada koperasi simpan pinjam, namun 58% responden nelayan

melakukan pinjaman kepada koperasi simpan pinjam yang dimiliki oleh orang-

orang tertentu secara pribadi dengan dikenakan bunga pinjaman sebesar 20% dari

total pinjaman yang dikembalikan setiap hari.

4.3 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan

Tingkat penggunaan bom ikan dalam penangkapan ikan oleh nelayan di

Kecamatan Kao Utara diduga dipengaruhi variabel umur, tingkat pendidikan dan

pendapatan. Untuk melihat sejauh mana, setiap variabel tersebut mempengaruhi

penggunaan bom ikan, dilakukan analisis regresi linier berganda.

4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro

Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak

bebas di Desa Doro pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2

adalah 0,988 (Lampiran 2). Artinya, sebanyak 98,8% perubahan-perubahan pada

variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel

bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain,

pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan

pada Tabel 20.

Tabel 20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regression 34,388 3 11,463 445,017 0,000a

Residual 0,412 16 0,026

Total 34,800 19

Predictors: (Constant), pendapatan, pendidikan, umur

Dependent Variable: aktifitas pengeboman ikan

Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada

taraf < 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan

sumbangan nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan

(p-value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 21. Artinya bahwa, semakin

tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan

47

untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini

bisa dipahami, karena tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir

dan menganalisis resiko tinggi dari penggunaan bom. Bukan hanya kerusakan

ekosistem dan lingkungan perairan, tetapi dapat mengancam keselamatan dirinya.

Tabel 21 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro

No. Varibel Koefisien Regresi T Sig.

1. (Constant) 0.245 1,302 .211

2. X1 = Umur -0,108 -1,892 0,077

3.

4.

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

0,804

0,016

22,959

0,334

0,000*

0,743

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .

Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 21, maka dapat

dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap perubahan tingkat aktifitas pengeboman ikan di Desa Doro. Model

persamaan tersebut adalah:

Y = 0,245 -0,108X1 + 0,804X2 + 0,016X3

Keterangan:

Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan

X1 = Umur

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori

Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak

bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah

0,982 (Lampiran 3). Artinya, sebanyak 98,2% perubahan-perubahan pada

variabel terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel

bebas yang terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain,

pengaruh variabel X terhadap Y cukup kuat. Hasil uji statistik anova disajikan

pada Tabel 22.

48

Tabel 22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regression 36,281 3 12,094 289,328 .000a

Residual 0,669 16 0,042

Total 36,950 19

Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan

Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf

< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan

nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan (p-

value=0,000 < 0,05) seperti tersaji pada Tabel 23. Artinya bahwa, semakin tinggi

pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan untuk

umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Tabel 23 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori

No. Varibel Koefisien Regresi t Sig.

1. (Constant) 0,480 2,398 0,029

2. X1 = Umur 0,167 2,835 0,012

3.

4.

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

0,746

-0.225

15,554

-1,883

0,000*

0,078

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .

Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 23, maka dapat

dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Bori, sebagai berikut:

Y = 0,480 +0,168X1 + 0,746X2 - 0,225X3

Keterangan:

Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan

X1 = Umur

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

49

4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang

Hasil analisis regresi linier berganda terhadap variabel bebas dan tidak

bebas di Desa Bori pada taraf kesalahan < 5%, menunjukkan hasil nilai R2 adalah

0,565 (Lampiran 4). Artinya, sebanyak 56,6% perubahan-perubahan pada variabel

terkait (aktifitas penggunaan bom) dapat diterangkan dengan variabel bebas yang

terlibat (umur, tingkat pendidikan dan pendapatan). Dengan kata lain, pengaruh

variabel X terhadap Y kuat. Hasil uji statistik anova disajikan pada Tabel 24.

Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf

< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan

nyata/signifikan terhadap perubahan Y adalah variabel pendidikan

(p-value=0,008 < 0,05), seperti tersaji pada Tabel 25. Artinya bahwa, semakin

tinggi pendidikan, semakin berkurang penangkapan ikan dengan bom, sedangkan

untuk umur dan pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan.

Tabel 24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang

Model Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Regression 15,368 3 5,123 6,927 0,003a

Residual 11,832 16 0,740

Total 27,200 19

Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

Dependent Variable: Aktifitas pengeboman ikan

Tabel 25 Hasil variabel, koefisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Pediwang

No. Varibel Koefisien Regresi T Sig.

1. (Constant) 1,142 0,912 0,375

2. X1 = Umur 0,028 0,084 0,934

3.

4.

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

0,632

-0,357

3,050

-0,981

0,008*

0,341

Keterangan: * signifikan pada taraf nyata < 5% .

50

Berdasarkan dari analisis regresi berganda pada Tabel 25, maka dapat

dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap perubahan tingkat pengeboman ikan di Desa Pediwang, sebagai berikut:

Y = 1,142 +0,028X1 + 0,632X2 - 0,357X3

Keterangan:

Y = Tingkat aktifitas penggunaan bom ikan

X1 = Umur

X2 = Pendidikan

X3 = Pendapatan

51

5 PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian

5.1.1 Alat penangkapan ikan

Pada dasarnya dalam suatu operasi penangkapan ikan penggunaan

bermacam-macam jenis alat penangkapan ikan sesuai dengan target ikan yang

akan ditangkap itu dibolehkan. Dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan

perikanan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan yaitu agar SDI tetap lestari serta pemanfaatannya dapat optimal dan

berkelanjutan maka perlu dilakukan beberapa langkah yang berkaitan dengan

penggunaan Alat Penangkapan Ikan di antaranya ([email protected]

Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com) :

1. Pembuatan ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan yang mengatur tentang

penggunaan Alat Penangkapan Ikan.

2. Pencantuman jenis dan dimensi utama Alat Penangkapan Ikan yang digunakan

dalam SIPI.

3. Pengawasan penggunaan Alat Penangkapan Ikan di lapangan.

Alat penangkapan ikan utama yang digunakan oleh nelayan Kecamatan

Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah pancing ulur dan jaring hanyut

(gillnet). Sebagian besar teknologi penangkapan ikan yang dipergunakan nelayan

setempat masih sederhana. Armada penangkapan ikan didominasi oleh perahu

dayung dan perahu motor tempel (ketinting) dengan ukuran dibawah 2 GT. Jenis

teknologi penangkapan yang masih sederhana dan armada skala kecil

menyebabkan daerah penangkapan ikan terbatas di perairan pantai sekitar 2-3 mil.

Berdasarkan waktu kerja dari nelayan di Desa Pediwang, Bori, dan Desa

Doro Kecamatan Kao Utara, mereka tergolong sebagai nelayan sambilan utama

dan nelayan sambilan tambahan. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang

sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi

penangkapan ikan. Sedangkan Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang

sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi

penangkapan (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005).

52

Keterbatasan alat tangkap yang dimiliki nelayan di Desa Pediwang, Desa

Doro, dan Desa Bori merupakan salah satu faktor yang cukup dominan yang

menyebabkan produktifitas hasil tangkapan nelayan menjadi rendah. Daya jelajah

perahu yang digunakan umumnya terbatas, dan berimplikasi pada jumlah dan

jenis tangkapan ikan yang makin lama makin berkurang. Rata-rata penghasilan

yang diperoleh nelayan miskin relatif kecil sehingga hanya untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, bahkan bagi nelayan yang memiliki tanggungan keluarga

yang lebih besar, terpaksa hidup kekurangan. Disamping mengandalkan hasil laut

sebagai penopang kebutuhan keluarga, sebagian besar dari masyarakat nelayan di

ketiga desa tersebut juga mengandalkan hasil-hasil perkebunan. Rata-rata

masyarakat nelayan di tiga desa memiliki kebun yang menghasilkan kelapa

(kopra) yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan

Masyarakat nelayan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara

yang bergerak di sektor perikanan rata-rata kualitas sumberdaya manusianya

masih rendah. Umumnya mereka mengelola usaha perikanan bersifat turun

temurun dan hanya mengandalkan kemampuan fisik. Tingkat pendidikan bukan

merupakan keharusan untuk menjadi nelayan, namun terpenting bagi mereka

memiliki kemauan dan motivasi kerja. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap

adopsi teknologi dan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah

lingkungan. Akibatnya nelayan di Kabupaten Halmahera Utara masih tetap

menggunakan bom ikan sesuai dengan kebiasaan yang turun-temurun dari

generasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Boeke (1983, bahwa

aktivitas ekonomi masyarakat nelayan senantiasa ditundukkan pada dan dicampur

dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.

Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar

“prinsip swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya

diproduksi/dipenuhi oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional

membangun struktur ekonomi demikian, karena didukung penuh oleh adanya

ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-

kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi pertanian semata-

53

mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk

memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit

oriented).

Selanjutnya, Boeke (1983) menyatakan bahwa kehidupan sosial

masyarakat desa yang tradisional sulit diklasifikasikan menurut pekerjaan mereka,

tidak seperti struktur kehidupan sosial pada masyarakat perkotaan dalam

klasifikasi yang jelas dan terstruktur. Masyarakat desa tradisional yang hidup di

daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang

cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat,

karena mereka menganggap bahwa eksistensi individu terletak di dalam

kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.

Nelayan di Kecamatan Kao utara termasuk nelayan sambilan utama. Oleh

karena itu, karakteristik usaha nelayan di lokasi penelitian ini masih tergolong

skala kecil dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Kehidupan

masyarakat pada 3 desa ini masih bersifat tradisional dan memiliki budaya yang

lebih mengagungkan orang yang lebih tua, dan sistem kekerabatan yang masih

kuat berdasarkan adat istiadat setempat. Gaya hidup yang cenderung tradisional

masih terlihat di Desa Bori. Dalam menjalankan kehidupannya, rata-rata

masyarakat pada 3 desa ini memiliki lahan kebun yang ditanami berbagai

tanaman. Tanaman yang sangat dominan di areal kebun masyarakat adalah kelapa,

yang dipanen dan diolah menjadi kopra setiap 4 bulan sekali. Untuk kebutuhan

makan setiap harinya, masyarakat 3 desa ini disamping membeli beras, sebagian

juga mengusahakan dari hasil dari kebun seperti sagu, pisang, singkong, ubi, dan

padi ladang. Untuk kebutuhan konsumsi ikan, masyarakat 3 desa dapat membeli

dari anggota masyarakat desa yang menangkap ikan, atau melakukan

penangkapan ikan sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Dalam

sehari, jumlah tangkapan yang dicari hanya sebatas untuk dikonsumsi harian, dan

apabila lebih, dapat dijual kepada anggota masyarakat lainnya atau ke pedagang

pengumpul.

Aspek sosial lainnya yang menggambarkan karektersitik masyarakat

nelayan Kecamatan Kao Utara, yaitu umur, pendidikan dan pendapatan. Sebagian

besar nelayan di ke-3 desa berkisar antara 40- 60 tahun. Tingkat umur responden

54

mayoritas antara 40-60 tahun, menunjukan profesi di sektor perikanan sebagai

nelayan tidak menarik bagi kaum muda. Usaha perikanan yang memerlukan

modal dan resiko tinggi menyebabkan kaum muda di tiga desa tersebut lebih

memilih pekerjaan sebagai buruh di perkebunan, pelabuhan dan tukang ojek.

Salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan

perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya

akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan

seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan

mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan

permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli

oleh para tengkulak (Purna, 2000). Akibatnya nelayan kaum muda menganggap

bahwa profesi sebagai nelayan tidak menantang dan tidak menarik. Realitas

lingkaran kemiskinan nelayan yang mereka amati kaum muda juga diduga

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sektor kelautan dan perikanan ini

menjadi tidak menarik.

Tingkat pendidikan tertinggi masyarakat nelayan (responden) adalah

tamatan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masih di tingkat

menengah ke bawah, bahkan banyak yang tidak sekolah. Kondisi ini

menggambarkan bahwa SDM di ketiga desa tersebut dapat digolongkan masih

rendah. Begitu banyaknya nelayan tidak sekolah, menunjukkan pendidikan bagi

ke tiga desa tersebut merupakan kebutuhan primer yang harus diperhatikan oleh

pemerintah. Pada kondisi dewasa ini, biaya yang dibutuhkan untuk bersekolah

pada tingkatan yang lebih tinggi memerlukan biaya cukup besar. Sehingga hal ini

bisa dipahami, mengingat rata-rata pendapatan responden di tiga desa lokasi

penelitian sangat rendah yaitu antara Rp.800.000.- hingga Rp.1.350.000.-

perbulan.

Secara sosial-ekonomi-budaya konsep pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan

penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan

untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan tersebut, terutama

mereka yang ekonomi lemah, guna menjamin kelangsungan pertumbuhan

ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti Indonesia, prinsip

55

ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan pesisir misalnya

penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan

dan tingkat pengetahuanyang rendah dari para pelakunya.

Faktor-faktor sosial budaya masyarakat nelayan yang berpengaruh

terhadap pelestarian kemampuan sumber daya perikanan laut antara lain adalah

sikap menyatu dengan alam atau pasrah, hal ini menyebabkan perkembangan

sumber daya perikanan tidak seimbang dengan pemanfaatan perikanan oleh

nelayan yang sebagian besar masih menggunakan alat tangkap bom ikan.

Sedangkan apabila menggunakan alat tangkap moderen dan sikap ingin

memanfaatkan sumber daya perikanan semaksimal mungkin, hal ini mungkin

akan menurunkan kemampuan sumber daya perikanan yang ada. Tindakan atau

kebijakan Pemerintah Daerah yang dibutuhkan oleh nelayan dan petani kecil guna

meningkatkan taraf hidup mereka tanpa merusak kemampuan dan kelestarian

sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya di wilayah pantai adalah

melalui izin usaha perikanan yang diberikan kepada para pengusaha. Langkah

operasional Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup dan kualitas

sumber daya manusia dan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup

serta pemahaman nelayan dalam bidang usahanya adalah dilakukan dengan

penyuluhan-penyuluhan melalui tenaga lapangan yang ada (PPL Perikanan). Di

samping hal tersebut juga para nelayan disarankan untuk masuk menjadi anggota

Koperasi Unit Desa Perikanan. Keuntungannya adalah demi kelancaran

pemasaran dan stabilnya harga serta yang tak kalah pentingnya adalah para

nelayan dapat menikmati SHU (sisa hasil usaha) dalam bentuk uang yaitu pada

masa nelayan dalam keadaan paceklik.

5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan

Pendapatan masyarakat nelayan pada tiga desa lokasi penelitian tergantung

pada sistem perekonomian yang ada di Kecamatan Kao Utara. Keberadaan pasar

yang masih tradisional dan hanya dibuka 2 kali dalam satu minggu, menyebabkan

aktivitas jual beli masyarakat nelayan untuk menjual hasil tangkapan terbatas, dan

paling banyak terjual pada pedagang pengumpul (dibo-dibo) dengan harga yang

rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada responden nelayan di 3 desa,

56

diperoleh gambaran bahwa pendapatan nelayan responden mayoritas Rp.300.000.-

sampai dengan Rp.600.000.- per bulan, yang diperoleh dari hasil penangkapan

ikan. Pendapatan ini juga ditunjang dengan pendapatan yang berasal dari hasil-

hasil perkebunan yang berkisar Rp.500.000.- sampai Rp.750.000.- per bulan. Jika

dijumlahkan, maka pendapatan masyarakat nelayan yang ada di ketiga desa

penelitian adalah sekitar Rp.800.000 - Rp.1.350.000.- per bulan. Besar

penghasilan masyarakat nelayan ini tergolong cukup apabila dihitung jumlah

pengeluaran nelayan per hari yaitu rata-rata sebanyak Rp.40.000.-. Sehingga total

pengeluaran masyarakat nelayan dapat berkisar Rp.1.200.000.-. Menghitung

pendapatan nelayan dan pengeluaran yang dilakukan oleh seorang nelayan,

terdapat selisih sebesar Rp.150.000.- per bulan. Jumlah kelebihan tersebut tidak

digunakan untuk ditabung, namun digunakan untuk membeli kebutuhan alat

tangkap (pancing ulur), seperti senar atau kait, dan kebutuhan keluarga lainnya,

serta biaya transportasi ke toko peralatan tangkap yang ada di ibukota kabupaten.

Lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang belum ada di Kecamatan

Kao Utara, menyebabkan perputaran ekonomi di kecamatan ini lambat.

Rangsangan lembaga keuangan seperti koperasi-koperasi simpan pinjam, hanya

dilakukan untuk mencari keuntungan semata, tanpa keberpihakan kepada

masyarakat kecil, dengan menetapkan suku bunga pinjaman yang besar dan

memberatkan masyarakat nelayan, menyebabkan pendapatan masyarakat nelayan

tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang ada. Hal ini merupakan tanggung

jawab pemerintah yang harus diperhatikan sehingga kesejahteraan masyarakat

nelayan akan terpenuhi.

Peran lembaga perbankan dalam penyaluran kredit komersial untuk

membantu pemgembangan perikanan tangkap di Kecamatan Kao Utara mutlak

diperlukan. Namun demikian, akses nelayan terhadap perbankan di lokasi

penelitian ini masih terbatas karena mereka pada umumnya belum mengetahui

proses untuk memperoleh pinjaman, di samping agunan yang tidak ada sesuai

dengan yang disyaratkan oleh lembaga keuangan. Saleh (2004) mengemukakan

bahwa kecenderungan bank-bank umum mendanai sektor-sektor usaha yang

bergerak dalam bidang industri pengolahan hasil laut, serta pedagang besar hasil

laut, dan belum menyentuh pada nelayan secara individu. Hal ini disebabkan oleh

57

kebijakan prudential banking serta persyaratan pada pemberian kredit yang

ditetapkan oleh otoritas moneter, yang memberikan batasan gerak bagi perbankan

umum, untuk dapat menjangkau masyarakat miskin, khususnya masyarakat

miskin yang ada di daerah pesisir (Saleh, 2004).

Pembangunan wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya

pengentasan kemiskinan nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha

perikanan. Sektor perikanan pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai

alternatif bagi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan

merupakan salah satu dari sekian banyak golongan ekonomi lemah. Persoalan

tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan segala potensi atau sumberdaya

yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan strategi yang efektif. Strategi

yang efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif,

modal dan keterampilan serta pemberdayaan kelembagaan untuk

meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat miskin. Peraturan pemerintah

berisi tentang ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut

daerah yang dilakukan secara terpadu, termasuk hal yang bersifat dilarang dan

diperbolehkan untuk dilakukan sanksi/denda, serta hal-hal khusus yang

menyangkut kawasan konservasi laut daerah.

5.2 Penggunaan bom dalam penangkapan ikan

Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pemboman ikan

merupakan praktek yang umum dilakukan serta dapat memberikan dampak

negatif bagi ekosistem terumbu karang. Nelayan selama ini selalu dianggap oleh

berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang.

Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan tidak

ramah lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly technology), contohnya

adalah bom ikan, potassium sianida (Baker, 2004). Fenomena yang banyak

menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna bom ikan karena dua

alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan teknologi ini terhadap

terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya jumlah

nelayan pengguna bom ikan ini bersamaan dengan masa krisis ekonomi Indonesia.

58

Kegiatan pengeboman ikan di perairan Kecamatan Kao Utara akan

berpengaruh terhadap degradasi ekosistem. Namun demikian, degradasi akibat

penggunaan bom ini perlu dikaji secara mendetail lagi. Menurut Indrapramana

(2010), degradasi ekosistim terumbu karang secara umum disebabkan oleh 2

faktor yaitu: faktor alami (antogenic causes) seperti bencana alam dan aktivitas

manusia (antrophogenic causes) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Aktivitas manusia lainnya merusak terumbu karang dan ekosistim lainnya secara

langsung adalah penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan

bahan berbahaya seperti cyanida dan bahan peledak (bom) dapat menyebabkan

kematian hewan-hewan karang serta kerusakan secara fisik terumbu karang.

Penggunaan bahan peledak dan racun dalam penangkapan ikan menimbulkan

efek sampingan yang sangat besar. Selain rusaknya koloni karang yang ada

disekitar lokasi peledakan juga dapat menyebabkan kematian organisme lain

yang bukan merupakan target penangkapan.

Tingkat kerusakan karang bervariasi dan sangat tergantung pada jarak titik

ledakan (pusat ledakan) dari karang tersebut, bobot bahan peledak serta struktur

karang itu sendiri. Dalam hal ini jenis karang yang mempunyai struktur yang lebih

kuat, seperti golongan karang batu (stone coral) dan karang otak (brain coral)

mengalami tingkat kerusakan yang lebih ringan, seebaliknya karang yang

strukturnya rapuh seperti golongan karang cabang (branching coral) mengalami

tingkat kerusakan yang lebih parah (Subandi 2004).

Menurut Mann (2000), dampak aktivitas manusia yang penting terhadap

terumbu karang yaitu eurotrofikasi, potensi minyak, penambangan karang, serta

praktek perikanan yang merusak lingkungan. Selain itu pula ditambahkan oleh

Murdiyanto (2003), beberapa metode penangkapan ikan yang memberikan

dampak fisik terhadap terumbu karang seperti penggunaan pukat pantai, dan

penggunaan bahan peledak. Selain itu penangkapan ikan dengan bahan peledak

(dynamite) dan cyanide membuat ikan menjadi pingsan di koloni karang. Hal ini

mempunyai dampak yang sangat serius pada terumbu karang serta keduanya

merusak secara fisik terumbu karang dan mempengaruhi kesehatan karang dan

organisme lain yang berasosiasi dengan terumbu karang (Rosenberg, et al. 2004).

59

Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom di kawasan

perairan Kecamatan Kao Utara telah berlangsung cukup lama. Menurut informasi

yang diperoleh dari masyarakat bahwa aktivitas pengeboman dimulai kurang lebih

pada awal tahun 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Pengetahuan

tentang cara membuat dan menggunakan bom ikan diturunkan dari teman/orang

desa dan dari nelayan lain diluar desa. Kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan bom telah menjadi kebiasaan nelayan di ke tiga desa tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa

aktivitas nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan dengan menggunakan bom

ikan di perairan Teluk Kao masih berlangsung sampai saat ini. Dari 60 responden

yang dipilih dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 18,3 % aktivitas

penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Teluk Kao masih

berlangsung sampai saat ini. Penggunaan bom ini hanya merupakan kelengkapan

alat tangkap sampingan yang dimiliki oleh nelayan, karena alat tangkap lain yang

utama adalah pancing ulur. Pengoperasian alat penangkapan yang dapat merusak

lingkungan ini, menurut nelayan responden yang menggunakan, hanya dilakukan

sewaktu-waktu, disaat terdapat gerombolan ikan di atas terumbu karang, ataupun

di perairan dalam. Bom ini diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli

dari nelayan lain di desa setempat atau desa tetangga yang mempunyai keahlian

dalam membuat/merakit bom ikan. Bahan baku pembuatan bom terdiri dari

botol/pipa bekas, diisi dengan mesiu yang diperoleh dengan mudah dari dasar

perairan Teluk Kao dimana masih banyak terdapat bom bekas peninggalan perang

dunia kedua yang dibuang ke dasar laut. Bom-bom bekas perang tersebut dicari

oleh beberapa nelayan yang melakukan penyelaman ke dasar perairan Teluk Kao

menggunakan air compressor, kemudian dibuka di tempat-tempat yang

tersembunyi dan diambil isinya (mesiu). Mesiu yang telah ditemukan, kemudian

dirakit menjadi bom ikan, atau dijual kepada nelayan lain yang juga merakit bom

sendiri. Harga per kilogram mesiu yang dijual Rp.50.000 – Rp.100.000.- dapat

digunakan untuk membuat bom ikan 3 – 4 buah. Satu buah bom apabila

dioperasikan dapat memberikan hasil tangkapan sebesar 10 kali lipat dari hasil

dengan pancing ulur.

60

Pengoperasian bom ikan dalam penangkapan ikan, dilakukan secara

tersembunyi, atau dilakukan pada saat menemukan gerombolan ikan. Walaupun

terdapat nelayan lain yang ada di sekitarnya, pengoperasiannya tetap dapat

dilakukan, karena nelayan lain juga akan turut terlibat dalam pengumpulan hasil

tangkapan. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar nelayan yang

melakukan pengeboman sadar dan tahu bahwa pengoperasian alat tangkap ini

adalah tindak pidana yang dapat menyeret pelaku ke penjara. Namun tidak adanya

pengawasan dari pihak instansi terkait menyebabkan praktek ini leluasa digunakan

oleh nelayan setempat. Pengalaman yang cukup lama menggunakan bom dalam

penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, menyebabkan nelayan dapat

meminimalisir resiko yang mungkin timbul seperti cacat dan kematian.

Menghentikan kebiasaan penangkapan ikan menggunakan bom ini, sangat

sulit. Kebijakan yang ditempuh aparat keamanan (Polsek Kao) untuk mengawasi

perairan telah dilakukan dengan membangun 1 pos polisi di Desa Daru (Ibukota

Kecamatan Kao Utara), namun personil yang ditempatkan hanya 1 orang. Hal ini

tentunya sangat sulit untuk melakukan pengawasan terhadap perairan yang luas

dan perdagangan hasil tangkapan nelayan sangat terbatas. Kebijakan instansi-

instansi pemerintah seperti DKP, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa

belum terkoordinasi dengan baik menyebabkan pengawasan terhadap praktek-

praktek penggunaan bom yang merusak ini dapat dilakukan dengan leluasa.

Alternatif kebijakan yang perlu ditempuh adalah dengan mengadakan koordinasi

secara bersama-sama antara instansi pemerintah, masyarakat, kepolisian untuk

menentukan solusi yang tepat sehingga kegiatan pengeboman yang dilakukan

masyarakat akan semakin berkurang. Selain itu penyuluhan yang terkait dengan

dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pengeboman ikan ini juga perlu

disosialisasikan kepada nelayan.

5.3 Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan

Hasil analisis regresi linier berganda pada setiap variabel bebas pada taraf

< 5%, menunjukkan bahwa, variabel tunggal yang memberikan sumbangan

nyata/signifikan di ke-3 desa lokasi penelitian terhadap perubahan Y adalah

variabel pendidikan. Artinya bahwa, semakin tinggi pendidikan, semakin

berkurang aktivitas penangkapan dengan bom, sedangkan untuk umur dan

61

pendapatan tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal ini bisa dipahami,

tingkat pendidikan akan membuka wawasan dalam berpikir dan menganalisis

resiko tinggi dari penggunaan bom. Sedangkan umur yang lebih tua memberikan

kemampuan bagi seorang nelayan untuk lebih berpengalaman menggunakan bom

dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan, dan tingkat pendapatan yang rendah

untuk memenuhi kebutuhan hidup, dapat menyebabkan seorang nelayan

menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Program lain yang berhubungan

dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup adalah pembuatan karang

buatan, penanaman kembali bakau, konservasi kawasan laut dengan jenis ikan

tertentu serta penegakan hukum terhadap kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan bom, racun, dan alat tangkap lainnya yang bersifat destruktif adalah

program-program pembangunan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi

kesejahteraan nelayan.

Faktor yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas penggunaan bom ikan

pada penelitian ini adalah tingkat pendidikan. Dalam arti bahwa tingkat

pendidikan yang semakin tinggi ternyata dapat mengurangi kegiatan pengeboman

ikan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu menggalakkan wajib belajar 9

tahun, bahkan mendorong agar masyarakat nelayan khususnya dapat memperoleh

tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini tidak hanya dimaksudkan untuk

meningkatkan kesadaran dan menambah wawasan masyarakat terhadap bahaya

yang ditimbulkan pengeboman ikan dan praktek-praktek penangkapan ikan yang

destruktif lainnya. Namun, dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka

mereka dapat turut serta berperan aktif dalam pengelolaan potensi sumberdaya

lokal, termasuk perikanan.

5.4 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan yang menggunakan

bahan peledak (bom) dan racun (bius) makin marak dilakukan di perairan

Indonesia. Praktek semacam ini selain menimbulkan dampak kerugian ekologi,

juga menimbulkan dampak social ekonomi yang memprihatinkan terutama akibat

menurunnya produktifitas terumbu karang. Jika hal ini berlangsung lama maka

akan berpengaruh terhadap biota laut.

62

Agar keberlanjutan sumberdaya dapat dipertahankan, maka aktivitas

manusia (antrophogenic causes) yang baik secara langsung maupun tidak

langsung berpotensi merusak keberlanjutan sumberdaya ekosistem terumbu

karang mestinya diminimalisasi, salah satunya adalah penanggulangan

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.

Penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan ikan di Kecamatan Kao

Utara adalah kegiatan yang destruktif dan dapat merusak lingkungan perairan

yang ada. Keberadaan potensi sumberdaya ikan yang menjadi aset Kabupaten

Halmahera Utara dapat hancur dan punah. Oleh karena itu, penggunaan bom

dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan Kecamatan Kao utara harus perlu

untuk ditangani secara serius, agar potensi potensi sumberdaya ikan yang ada

dapat lestari dan dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Dalam upaya

meminimalisasi penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan

menggunakan bahan peledak (bom) dan racun (sianida) khususnya adalah

(Indrapramana, 2010):

(1) Pengembangan mata pencaharian

Masyarakat pesisir (nelayan) dikategorikan masih miskin memiliki tingkat

pendidikan yang sangat rendah. Perilaku masyarakat yang cenderung

destruktif sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi (kemiskinan) dalam

memenuhi kebutuhannya dan diperparah dengan sifat keserakahan dalam

mendapatkan hasil yang maksimal walaupun ditempuh dengan cara-cara

yang merugikan karena bukan saja merusak lingkungan, akan tetapi

memutuskan rantai mata pencaharian anak cucu. Faktor rendahnya tingkat

pendidikan juga mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut. Dengan

adanya alternatif mata pencaharian tambahan diharapkan dapat

memberikan nilai tambah sehingga masyarakat nelayan destruktif akan

berkurang.

(2) Penegakkan hukum

Beberapa kasus penggunaan bom dalam penangkapan ikan yang tidak

dapat diselesaikan dengan baik, tuntas, dan transparan memicu perobahan

perilaku masyarakat (nelayan). Ketidakpuasan masyarakat akibat

63

penanganan pelanggaran tersebut semestinya diperbaiki dimulai dari

aparat penegak hukum yang terkait dalam masalah ini.

(3) Pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan

Masyarakat (nelayan) yang terindikasi sebagai pelaku penangkapan ikan

dengan merusak lingkungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah

sehingga pengetahuan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang

terbatas. Dengan pendidikan dan penyadaran tentang lingkungan tersebut

dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, workshop, studi banding

dapat lebih ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memahami pentingnya

ekosistim lingkungan bagi kesejahteraan manusia.

(4) Pengaturan waktu, jumlah ukuran, dan wilayah tangkap

Dibeberapa daerah lokasi pengaturan waktu, jumlah, ukuran, dan wilayah

tangkap sudah dikembangkan. Namun, di beberapa daerah lain mengalami

kesulitan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya penelitian/kajian aspek

dari terumbu karang dan komunitas masyarakat pesisir (nelayan) serta

sumberdaya manusia pelaksana maupun pelaku kebijakan yang masih

terbatas.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Willkinson dan

Buddemeier, diacu dalam Hartati 2005, besarnya kerusakkan terumbu karang

berdampak buruk terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dari orang-

orang yang hidup secara harmonis dan bergantung pada ekosistem tersebut untuk

kebutuhan rekreasi, pengamanan, material dan pendapatan. Hal ini menunjukkan

bahwa, kegiatan-kegiatan yang sifatnya merusak lingkungan perairan seperti

penggunaan bom akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan.

Penggunaan bom ikan melanggar undang-undang khususnya pasal 84 UU

No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Faktor undang-undang bersifat mendukung

(dengan adanya UU No. 311 tahun 2004). Faktor sarana dan prasarana bersifat

menghambat karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada. Faktor penegak

hukum menjadi penghambat karena adanya laporan mengenai keterlibatan

anggota dalam menampung ikan hasil dari tangkapan dengan menggunakan bom

ikan. Faktor masyarakat bersifat menghambat karena masih menempuh jalan

pintas yang melanggar hukum, sedangkan masyarakat non pelaku kurang

64

diberdayakan oleh jajaran kepolisian Faktor budaya menjadi pendukung karena

tidak membenarkan adanya upaya pengrusakan lingkungan yang diakibatkan

penggunaan bom ikan. http://125.161.190.253/lontar//file?file=digital/skripsi/47-

07-142.pdf

Sangat ironis, bahwa sebagian besar nelayan kita masih hidup dalam

kemiskinan. Sementara itu stok ikan semakin menipis, penangkapan ikan dengan

cara-cara destruktif seperti penggunaan bom dan racun sianida masih banyak

terjadi dimana-mana, ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove

telah banyak yang mengalami kerusakan, dan pencemaran telah melanda perairan

pesisir yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan. Perikanan liar atau

pencurian ikan oleh nelayan asing juga belum dapat dikendalikan secukupnya.

Selain itu, aspek hukum dan penegakan hukum di laut juga masih menghadapi

berbagai kendala. Kesemua ini mengindikasikan diperlukannya pola perikanan

yang kuat. (Marhaeni.R.S, 2010).

Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom)

dan racun (cyanida) sangat jarang dilaporkan oleh masyarakat kepada instansi

terkait mengingat kegiatan tersebut dilakukan di area laut yang jarang dilalui oleh

transportasi laut, sedangkan nelayan sendiri sangat kecil kemungkinannya untuk

melaporkan kepada sesama nelayan. Luasnya area laut yang harus diawasi dan

terbatasnya sarana dan prasarana dalam pengelolaan penanggulangan penggunaan

bom ikan. Oleh sebab itu dalam penanggulangan masalah ini, penyidik sebagai

salah satu garda terdepan harus bertindak proaktif dengan tidak hanya menunggu

laporan dari masyarakat atau hanya melakukan patroli secara terbatas tetapi

dengan menerapkan teknik-teknik penyelidikan yang efektif dan murah. Langkah-

langkah efektif dimaksud meliputi:

(1) Melakukan identifikasi terhadap karakteristik (ciri khas) perahu/kapal

yang digunakan dalam pengeboman ikan. Kapal yang digunakan untuk

kegiatan ini umumnya mempunyai wadah tertutup yang kedap air dan diisi

dengan es dalam jumlah banyak yang fungsinya untuk mengawetkan ikan

hasil tangkapan;

(2) Melakukan identifikasi terhadap alat-alat pendukung yang biasa dibawa

oleh kapal/perahu pelaku pengeboman ikan. Selain menggunakan

65

kapal/perahu dengan rancangan khusus, para pelaku juga membawa

peralatan tambahan seperti: jarring, pancing dan lain-lain untuk

penyamaran. Kapal ini juga dilengkapi dengan kompresor tabung udara

yang natinya digunakan untuk penyelaman untuk mengumpulkan hasil

tangkapan;

(3) Melakukan pemeriksaan/sampling berkala trehadap hasil tangkapan

Sampling ikan mati dapat dilakukan di perahu/kapal nelayan yang

sementara menangkap atau membawa ikan pada tempat-tempat ikan

didaratkan seperti tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan

pendaratan ikan (PPI);

(4) Menelusuri jaringan pelaku pengeboman ikan dan jaringan pengedar

bahan berbahaya. Apabila terbukti ikan-ikan yang disampling tersebut

terbukti ditangkap dengan menggunakan bom ikan maka penyidik dapat

menelusuri jaringan pelaku dengan melakukan pengusutan secara berantai

mulai dari pemilik terakhir ikan yang disita oleh penyidik (ikan yang

disampling).

Mengembangkan mata pencaharian alternatif di Kecamatan Kao Utara

merupakan hal yang perlu dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumberdaya

pesisir secara umum dan sumberdaya perikanan tangkap secara khusus telah

banyak mengalami tekanan dan degradasi. Namun salah satu alasan yang

mendasar dan perlu dikaji yaitu status sumberdaya perikanan yang bersifat akses

terbuka. Menanggapi hal ini maka pengembangan mata pencaharian alternatif

bagi nelayan merupakan suatu keharusan yang perlu dilakukan. Pengembangan

mata pencaharian bukan saja dalam bidang perikanan seperti pengolahan,

pemasaran, budidaya perikanan tetapi patut diarahkan ke bidang non perikanan

(Nikijuluw V.P.H, 2007). Selanjutnya ditambahkan oleh Smith (1983)

beragumentasi bahwa bila kondisi akses terbuka masih terjadi maka apapun

kesejahteraan yang dilakukan baik pada kegiatan penangkapan ikan maupun pada

kegiatan yang berkaitan seperti pengolahan dan pemasaran ikan tidak akan

memberikan hasil peningkatan kesejahteraan nelayan

Degradasi terumbu karang di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai

aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai

66

sumber pangan (ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galian karang),

komoditas perdagangan (ikan hias), dan obyek wisata (keindahan dan

keanekaragaman hayati). Degradasi terumbu karang akibat pemanfaatannya

sebagai sumber pangan maupun ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh

penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai

di banyak lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik

dalam formasi berbentuk cekungan. Selain itu degradasi terumbu karang terjadi

sebagai akibat kegiatan penambangan/penggalian karang untuk kepentingan

konstruksi jalan atau bangunan

Selanjutnya ditambahkan oleh Monintja (2001) bahwa pengelolaan

perikanan tangkap yang sukses haruslah menunjukkan karakteristik usaha

penangkapan yang berkelanjutan :

(1) Proses penangkapan ramah lingkungan, yaitu : hasil tangkapan sampingan

(by catch minimum), hasil tangkapan terbuang minim, tidak membahayakan

keanekaragaman hayati, tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, tidak

membahayakan habitat, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan

target, tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan, dan

memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries

(2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai tetap)

(3) Pasar (buyers) tetap/terjamin

(4) Usaha penangkapan masih menguntungkan

(5) Tidak menimbulkan friksi sosial

(6) Memenuhi persyaratan legal.

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:

(1) Alasan utama nelayan menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan

ikan di Kecamatan Kao utara adalah untuk meningkatkan pendapatan

dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom di

Kecamatan Kao Utara adalah pengalaman merakit dan menggunakan bom

yang tinggi, dan mudahnya memperoleh bahan pembuatan bom ikan.

(3) Tingkat pendidikan nelayan yang semakin tinggi berpengaruh nyata

terhadap berkurangnya penggunaan bom dalam kegiatan penangkapan

ikan di perairan Kecamatan Kao Utara.

6.2 Saran

Beberapa hal yang perlu disarankan pada penelitian ini adalah :

(1) Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara, perlu melakukan

penegasan dalam bentuk peraturan daerah, dan melakukan koordinasi di

antara stakeholders terkait dalam pengawasan areal perairan

(2) Program wajib belajar 9 tahun perlu ditingkatkan, untuk memperkecil

jumlah anggota masyarakat yang tidak bersekolah dan sekaligus untuk

meningkatkan kesadaran dan wawasan masyarakat akan dampak negatif

yang ditimbulkan oleh kegiatan pengeboman ikan.

(3) Upaya menumbuhkan kesadaran nelayan atas dampak yang timbul dari

penggunaan alat penangkapan ikan destruktif perlu diimbangi dengan

melibatkan mereka dalam kegiatan menjaga kelestarian lingkungannya

sendiri.

(4) Penggunaan bom ikan dalam aktifitas penangkapan ikan di perairan, dapat

mengancam kelestarian lingkungan laut, sehingga semua stakeholders

perlu disadarkan untuk tidak menggunakan bom dalam kegiatan

penangkapan ikan.

68

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen] Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. DKP. 2005. Definisi dan

Klasifikasi Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta: Departemen

Kelautan dan Perikanan. 50 hlm.

______, 2002, Konflik Sosial Nelayan, LKiS, Yogyakarta.

Anonimous. 2008. Lempar bom “Bismillah” lalu kita aturlah.. http://www.

panyingkul.com/ view.php?id=697&jenis=berandakita.

Anonimous. 2007. Dokumen Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya

Kelautan Dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Anonimous. 2007. Penangkapan ikan pakai bom berpotensi rugikan Indonesia

US6 juta: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/id

30666.html

Anonimous. 2008. Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Halmahera Utara.

Anonimous. 1993. Global Marine Biolgical Diversity: A strategy for Building

Conservation into Decision Making. Edited by Norse. E.A. Island

Press, Washington DC. Covelo, California. Page 87-154.

Antariksa, B. S. 1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang :

Pedoman untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis masyarakat (Situs

Bunaken, Kecamatan Molas, Kotamadya Manado, Sulawesi Utara).

Jakarta: LIPI. 96 hlm.

Baker, R. F., P.J. Blanchfield, M.J. Paterson, R.J. Flett, & L. Wesson. 2004.

Evaluation of nonlethal methods for the analysis of mercury in fish tissue.

Transac. Am. Fish. Soc. 133: 568-576.

Boeke, J. H. 1983. Prakapitalisme di asia. Jakarta: Sinar Harapan

Dahuri, R. 1999. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir. 21

hlm.

Dahuri, R. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi

Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni

2000, Banda Aceh.

David, F. R. 2002. Manajemen Strategis: Konsep. Ed Ke-7. Jakarta: Prenhallindo.

Djamali, A. M., Mudjiona., H. Darsono Aziz., P. Asan., O. Sumadhiharga. 1998.

Sumberdaya Moluska dan Teripang. dalam Potensi dan Penyebaran

SDI Laut di Perairan Indonesia. hal 156-162.

De Jonge, H. 1977. Some Thought on Enterprennur in Maduranesse Country.

69

Erdmann, M. A. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. The

Nature Conservancy.

Halim, A. 2003. Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Makalah, disampaikan dalam Rakornis Bapedalda Se-

Provinsi NAD, Banda Aceh.

Hartati, T. H. 2005. Komunitas Ikan Karang di Perairan Pantai Pulau Rakiti dan

Pulau Taikabo, Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. ISSN 0853-5884. hal 88.

Hermanto. 1986. Analisis Pendapatan dan Pencurahan Tenaga Kerja Nelayan di

Desa Pantai (Studi Kasus di Muncar Bayuwangi). Bogor. Departemen

Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat

Penelitian Agroekonomi.

Indrapramana, H. 2010. Pengungkapan Kasus Bahan Peledak dalam Penangkapan

Ikan di Wilayah Perairan Teluk Tomini Gorontalo. http://125.161.190.

253/lontar//file?file= digital/skripsi/47-07-142.pdf

Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta.

Maan, K.H. 2000. Ecology of Social Coastal Waters. With Implication for

Management. Second.Edition Blockwell Science.

Marhaeni, R. S. 2010. Hukum Perikanan nasional dan Internasional.Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama. 273 hal. ISBN.978-979-22-6295-7

Merta, I. G. S., S. Nurhakim, dan J. Widodo. 1998. Sumberdaya Perikanan Pelagis

Kecil dalam Potensi dan Penyebaran SDI Laut di Perairan Indonesia.

hal 89-96

Monintja, D. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam bidang Perikanan

Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

Bogor 29 oktober- 3 Nopember 2001

Mubyarto., Loekman Sutrisno., Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan:

Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai, Rajawali, Jakarta.

Muhsin, I. 1994. Pengentasan Kemiskinan di Sub Sektor Perikanan. Jurnal Ilmu-

ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. ISSN 0854-3194. hal 95.

Mukhtar. 2007. Destructive Fishing Di Perairan Propinsi Sulawesi Tenggara.

Makalah (tidak dipublikasikan).

Mukhtar. 2008. Ketentuan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan yang Dibolehkan

dan Dilarang. [email protected] Blog : http://mukhtarapi.

blogspot.com

Mulyanto. 1995. Dasar-dasar Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Sekolah Tinggi

Perikanan Jakarta. 121 hal.

Murdiyanto, B. 2003 Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistim

Terumbu Karang. Proyek Pemberdayaan Masyarakat Pantai dan

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.

70

Naamin, N. 1991. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Laut dan Pantai Bagi

Pembangunan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian

Perikanan No. PHP/KAN/PT.19/1991. Puslitbang Perikanan Jakarta.

80 hal.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 250 hlm.

Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R dan

PT. Pustaka Cidesindo. Jak-sel. 254 hal.

Nikijuluw, V. P. H. 2007. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta

Strategi Pemberdayaan mereka dalam Konteks Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir Terpadu.

Purna, Ibnu. 2004. Menuju Sektor Kelautan dan Perikanan Berbasis Ekonomi

Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi Pengembangan

Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis Ekonomi Kerakyatan”.

hal 73-81

Saleh, J. 2004. Peranan Sektor Perbankan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan

dan Mendukung Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Melalui Program

Ekonomi Kerakyatan. Proceeding Seminar Nasional ”Strategi

Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Berbasis

Ekonomi Kerakyatan”. hal 82-89.

Sari, T. Ersti Yulika. 2004. Mengapa Nelayan Miskin ? (Suatu Tinjauan

Permasalahan). Institut Pertanian Bogor (Makalah Falsafah Sains).

Subandi, N. 2004. Pengembangan Metode Penyidikan Ilmiah untuk Pembuktian

Kasus-Kasus Penangkapan Ikan dengan Bahan Peledak dan Sianida.

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Subani, W. dan H. R. Bares. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang laut di

Indonesia. Jurnal Penelitian Perkanan Laut. ISSN 0216-7727. hal 201.

Suharyanto. 2005. Kinerja Manajemen Perikanan di Perairan Kota Tegal dalam

Perspektif Otonomi Daerah. Jurnal Teknologi Perikanan dan

Kelautan. ISSN 0853-3989. hal 34.

Suharyanto. 2006. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Lawelle Kabupaten

Buton Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. ISSN

0853-4489. hal 102.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004. Tentang Perikanan. Sekretariat Jenderal

Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 35 hal.

Zaelany, A. A. 2002. Becoming The Fish-Bomb Fisherman as an Adaptaion

Strategy in Economic Crisis Period: Case Study of Pulau Karang,

Indonesia. Present in SEAG seminar 14-18 October 2002. Hanoi.

Vietnam.

71

Lampiran 1 Peta Kabupaten Halmahera Utara dan wilayah-wilayah

kecamatan, serta lokasi penelitian

72

Lampiran 2 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program

SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di

Desa Doro

Model Summary

Model

R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

1 .994a .988 .986 .16049

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

Model Summary

Model

Change Statistics

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .988 445.017 3 16 .000

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 34.388 3 11.463 445.017 .000a

Residual .412 16 .026

Total 34.800 19

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

b. Dependent Variable: Aktifitas

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) .245 .189 1.302 .211

Umur -.108 .057 -.093 -1.892 .077

Pendidikan .804 .035 1.070 22.959 .000

Pendapatan .016 .049 .010 .334 .743

a. Dependent Variable: Aktifitas

73

Lampiran 3 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program

SPSS17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di

Desa Bori

Model Summary

Model

R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

1 .991a .982 .979 .20445

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan

Model Summary

Model

Change Statistics

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .982 289.328 3 16 .000

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 36.281 3 12.094 289.328 .000a

Residual .669 16 .042

Total 36.950 19

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Umur, Pendidikan

b. Dependent Variable: Aktifitas

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) .480 .200 2.398 .029

Umur .167 .059 .126 2.835 .012

Pendidikan .746 .048 1.034 15.554 .000

Pendapatan -.225 .119 -.137 -1.883 .078

a. Dependent Variable: Aktifitas

74

Lampiran 4 Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan program

SPSS 17 pada nilai kategori umur, pendidikan dan pendapatan di

Desa Pediwang

Model Summary

Model

R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of the

Estimate

1 .752a .565 .483 .85995

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

Model Summary

Model

Change Statistics

R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .565 6.927 3 16 .003

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 15.368 3 5.123 6.927 .003a

Residual 11.832 16 .740

Total 27.200 19

a. Predictors: (Constant), Pendapatan, Pendidikan, Umur

b. Dependent Variable: Aktifitas

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 1.142 1.252 .912 .375

Umur .028 .339 .022 .084 .934

Pendidikan .632 .207 .747 3.050 .008

Pendapatan -.357 .364 -.222 -.981 .341

a. Dependent Variable: Aktifitas

75

Lampiran 5 Gambar bom ikan, kegiatan nelayan dan perahu di Kecamatan Kao

Utara

76

Lampiran 5 (lanjutan)

77

Lampiran 5 (lanjutan)