ANALISIS PENGARUH SUBSIDI PUPUK, KREDIT …eprints.undip.ac.id/27870/1/jurnal.pdf · konsep ketahan...
Transcript of ANALISIS PENGARUH SUBSIDI PUPUK, KREDIT …eprints.undip.ac.id/27870/1/jurnal.pdf · konsep ketahan...
Analisis Pengaruh Subsidi Pupuk, Kredit Pangan, dan Pengeluaran Pemerintah
Atas Infrastruktur Terhadap Ketahanan Pangan Jawa Tengah
(Ridwan Kurniawan Kapindo)
1
ANALISIS PENGARUH SUBSIDI PUPUK, KREDIT PANGAN, DAN
PENGELUARAN PEMERINTAH ATAS INFRASTRUKTUR TERHADAP
KETAHANAN PANGAN JAWA TENGAH
Ridwan Kurniawan Kapindo (C2B006062)
Dosen Pembimbing oleh Prof. Dr. H. Purbayu Budi Santosa, MS.
Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang
ABSTRACT
The aims of this study is to analyze how manure subsidy, food credit, and
government’s expenditure on infrastructure influence food security of Central Java.
Food security was illustrated by the availability of energy and protein, and the
consumption of energy and protein. This study used time series data from first
quarter of 2002 until fourth quarter of 2009. The channeling of food credit face
resistance because the conditions that specified by banks was difficult. The
implementation of subsidy and government expenditure have internal and external
problem.
This study used Error Correction Model (ECM). The model was expected to
explain the short and long term behavior. This study use four model to examine the
influence of the three independent variable that used.
The results indicated that manure subsidy has positive and significant effect to
energy and protein availability in the short term, and has negative and significant
effect to energy and protein consumption in the short term. Food credit has negative
and significant effect to protein availability in the short term and energy consumption
in the long term. Government’s expenditure on infrastructure has negative and
significant effect to energy consumption in the long term.
Keywords : food security, manure subsidy, food credit, government’s expenditure
on infrastructure, Error Correction Model
Analisis Pengaruh Subsidi Pupuk, Kredit Pangan, dan Pengeluaran Pemerintah
Atas Infrastruktur Terhadap Ketahanan Pangan Jawa Tengah
(Ridwan Kurniawan Kapindo)
1
1. PENDAHULUAN
Pangan merupakan hal yang
sangat penting karena merupakan
kebutuhan dasar manusia, sehingga
kecukupan pangan bagi setiap orang
setiap waktu merupakan hak asasi
yang layak dipenuhi. Permintaan akan
pangan, yang merupakan kebutuhan
dasar, akan terus meningkat seiring
dengan perkembangan jumlah
penduduk dan peningkatan kualitas
hidup. Berdasarkan hal tersebut,
masalah ketahanan pangan sasaran
utama kebijakan pangan bagi
pemerintah suatu Negara
Di Indonesia, definisi dan
konsep ketahan pangan terdapat pada
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun
1996, yang menyatakan bahwa
ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik
dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
Amartya Sen dalam Lassa
(2008) mengungkapkan bahwa
ketidaktahanan pangan seringkali
terjadi karena ketiadaan akses atas
pangan, bahkan ketika produksi
pangan berlimpah. Kasus seperti itu
terjadi juga di Indonesia, yaitu di Nusa
Tenggara Barat yang merupakan
lumbung pangan namun terjadi
kerawanan pangan
Menurut Dewan Ketahanan
Pangan (2006), inti persoalan dalam
mewujudkan ketahanan pangan di
tingkat nasional beberapa tahun
belakangan ini adalah pertumbuhan
permintaan pangan yang melebihi
pertumbuhan penyediaannya.
Permintaan pangan meningkat seiring
dengan laju pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan daya beli
masyarakat serta perubahan selera.
Sedangkan masalah kapasitas produksi
terkendala oleh kompetisi pemanfaatan
lahan dan menurunnya kualitas sumber
daya alam. Masalah di atas dapat
berdampak pada peningkatan impor
pangan untuk memenuhi ketersediaan
pangan. Pada tataran rumah tangga,
pemantapan ketahanan pangan
terkendala oleh besarnya proporsi
kelompok masyarakat yang memiliki
daya beli rendah ataupun yang tidak
3
memiliki akses atas pangan karena
berbagai sebab, sehingga mereka
mengalami kerawanan pangan yang
kronis. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa masalah utama dalam
pemantapan ketahanan pangan di
Indonesia adalah penyediaan pangan
dan akses pangan oleh seluruh
penduduk.
Pembangunan ketahanan
pangan tidak cukup hanya dengan
memperhatikan kinerja di tingkat
nasional. Adanya perbedaan
permasalahan potensi dan sumber daya
di tiap daerah mengharuskan kebijakan
pangan terutama mengenai ketahanan
pangan tidak bisa dilihat secara
nasional saja, tapi perlu dilihat secara
spesifik antar daerah agar kebijakan
dan program-program yang
dilaksanakan efektif, tepat sasaran, dan
berdampak nyata.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang
ketahanan pangan dalam Bab VI Pasal
13 ayat 1 tertulis menyatakan bahwa
Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan atau Pemerintah
Desa melaksanakan kebijakan dan
bertanggung jawab terhadap
penyelenggaran ketahanan pangan di
wilayahnya masing-masing dengan
memperhatikan pedoman, norma,
standar, dan kriteria yang ditetapkan
Pemerintah Pusat. Jelas bahwa perlu
adanya pengamatan secara regional
tentang kasus ketahanan pangan dan
kebijakan ketahanan pangan, sehingga
penelitian ini akan meneliti kondisi
ketahanan pangan di salah satu
provinsi di Indonesia.
Jawa Tengah merupakan salah
satu provinsi di Indonesia yang
perekonomiannya memiliki basis yang
cukup kuat pada sektor pertanian.
Sektor petanian memberikan
kontribusi tertinggi kedua bagi PDRB
Jawa Tengah dengan sumbangan rata-
rata adalah 19 sampai 20 persen dan
hampir setiap tahun terjadi
peningkatan PDRB sektor pertanian
Jawa Tengah.
Gejolak harga pangan akan
mempengaruhi inflasi sehingga
berdampak negatif terhadap daya beli
konsumen dan petani produsen,
sehingga menghambat rumah tangga
4
untuk mengakses pangan yang
dibutuhkan.
Inflasi bahan pangan yang
terjadi di empat kota besar di Jawa
Tengah tergolong tinggi, yaitu hampir
selalu diatas 10% dan rata-rata selalu
lebih tinggi dibandingkan inflasi
secara umum tiap tahunnya (BPS,
berbagai terbitan.
Tingginya tingkat inflasi bahan
pangan berarti menggambarkan bahwa
tingkat harga tinggi. Tentunya ini
mempengaruhi aksesibilitas secara
ekonomi oleh penduduk, dimana
penduduk yang tingkat
kesejahteraannya rendah akan sulit
untuk memenuhi kebutuhan
konsumsinya.
Berdasarkan data BPS, jumlah
penduduk miskin di Jawa Tengah dari
tahun 2002 hingga 2009 mengalami
penurunan. Persentase penduduk
miskin Jawa Tengah pada tahun 2002
adalah 23,06% atau sejumlah
7.308.330, sedangkan pada tahun 2009
yaitu 17,72% atau 5.725.700 orang.
Namun, secara nasional jumlah
penduduk miskin di Jawa Tengah
selalu berada di urutan kedua setelah
Jawa Timur. Dengan tingkat
kemiskinan seperti itu, jumlah
penduduk yang kurang mampu
mengakses pangan masih banyak.
Ditambah dengan tingkat inflasi bahan
pangan yang setinggi itu, maka
kemampuan rumah tangga untuk
mengakses pangan dinilai masih belum
baik dan kurang merata.
Fenomena-fenomena produk
pangan dan kemiskinan di atas
menuntut peran pemerintah agar
produsen dan konsumen domestik
dapat dilindungi. Peran tersebut
diharapkan mampu mempercepat
tercapainya tujuan pembangunan
nasional. Peran pemerintah untuk
melindungi produsen dan konsumen
domestik tersebut diharapkan mampu
menstabilkan harga pangan yang dapat
yang dapat dilakukan melalui
kebijakan harga pangan agar
mengurangi ketidakpastian petani dan
menjamin harga pangan menjadi lebih
stabil bagi konsumen.
Menurut Ellis dalam Ilham et
al (2006), kebijakan harga pangan
yang merupakan upaya untuk
menstabilkan harga pertanian, dapat
5
dilakukan melalui berbagai instrumen,
yaitu kebijakan perdagangan,
kebijakan nilai tukar, pajak dan
subsidi, serta intervensi langsung.
Selain melalui kebijakan harga, secara
tidak langsung stabilisasi harga dapat
juga dilakukan melalui kebijakan
pemasaran output dan kebijakan input.
Kebijakan input antara lain berupa
subsidi harga sarana produksi yang
diberlakukan pemerintah terhadap
pupuk, benih, pestisida dan kredit
pertanian.
Menurut Purbayu Budi Santosa
(2010), subsidi pupuk yang dilakukan
selama ini lebih menguntungkan pihak
pabrik karena subsidi diberikan
langsung kepada pihak pabrik.
Permasalahan tersebut juga disebabkan
struktur pasar pupuk yang bersifat
oligopoli, permainan dalam distribusi
pupuk, dan lemahnya penegakan
hukum.
Namun demikian, bukan berarti
subsidi pupuk menjadi tidak
diperbolehkan. Berdasarkan penelitian
Dewi Ratna Sjari (2005) dalam
Purbayu Budi Santosa (2010), harga
pupuk yang semakin tinggi
menyebabkan menurunnya aktivitas
lahan, serta semakin sedikitnya waktu
yang digunakan rumah tangga tani
untuk usaha taninya. Berarti akan
menekan produktivitas bahan pangan.
Jadi, susbidi pupuk yang seharusnya
dapat membuat harga pupuk lebih
murah dan dapat dijangkau petani
masih perlu dilakukan, hanya saja
perlu dikaji apakah subsidi yang
dilakukan selama ini sudah membantu
petani yang pada akhirnya mendukung
ketahanan pangan.
Petani di Indonesia pada
umumnya juga menghadapi masalah
dalam permodalan karena sebagian
besar petani di Indonesia adalah petani
gurem yang bersifat subsisten. Untuk
mengatasi masalah tersebut, selama
lebih dari empat dekade, pemerintah
menyalurkan kredit program/bantuan
modal bagi petani dan pelaku usaha
tani.
Kredit program pemerintah
dimulai dari Bimas (Bimbingan
Massal), kemudian diganti dengan
KUT (Kredit Usaha Tani). Namun
dalam pelaksanaannya, Bimas dan
KUT mengahadapi berbagai masalah
6
antara lain, tingginya tunggakan dan
penyelewengan kredit sehingga pada
tahun 2000 diganti dengan KKP
(Kredit Ketahanan Pangan). Berbeda
dengan Bimas dan KUT, dana KKP
berasal dari bank pelaksana yang
terdiri dari 10 bank umum (pemerintah
maupun swasta) dan 12 BPD, dengan
subsidi pemerintah untuk mengurangi
bunga yang dibayar petani.
Pelaksanaan KKP juga tidak terlepas
dari permasalahan. Berdasarkan studi
yang dilakukan lembaga penelitian
SMERU (2001) di tiga lokasi, ternyata
total penyerapan dana KKP untuk
tanaman pangan masih sangat rendah.
Misalnya, di Sulawesi Selatan sampai
Maret 2001 baru disalurkan Rp1,51
milyar atau 2,17% dari alokasi kredit
(plafon) Rp69,774 milyar. Rendahnya
penyerapan KKP antara lain karena
masih adanya tunggakan KUT dan
petani sulit memenuhi syarat agunan
kredit.
Menurut Ashari (2000), kredit
merupakan salah satu faktor
pendukung pengembangan adopsi
teknologi usaha tani. Kredit pertanian
menjadi titik kritis dalam
pembangunan pertanian. Kredit dapat
membantu mengatasi keterbatasan
modal, mengurangi ketergantungan
pada tengkulak, dan menjadi insentif
bagi petani untuk meningkatkan
produksi sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan petani dan
mendukung ketahanan pangan.
Dengan demikian, penyaluran kredit
pertanian memiliki peran yang penting
dalam pembangunan pertanian.
Berdasarkan hasil penelitian
Ilham et al (2006) menyimpulkan
bahwa untuk lebih mengefektifkan
kebijakan pertanian, khususnya
kebijakan harga pangan, perlu adanya
dukungan kebijakan lain, terutama
kebijakan penyediaan infrastruktur.
Kebijakan penyediaan infrastruktur
dalam makro ekonomi termasuk ke
dalam belanja pemerintah (government
expenditures) dimana belanja
pemerintah termasuk dalam kebijakan
fiskal. Sadono Sukirno (2004)
menyatakan bahwa pengeluaran
pemerintah bermanfaat untuk
mengatasi masalah pengangguran,
inflasi dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang.
7
Dalam kaitannya dengan
pertanian, pembangunan infrastruktur
yang memadai, seperti jalan dan sarana
irigasi, akan mampu melayani
pergerakan ekonomi dengan baik.
Peningkatan sarana jalan berimplikasi
pada semakin murahnya biaya
distribusi, dan mempercepat distribusi,
sehingga dapat menjadi insentif bagi
petani. Peningkatan sarana irigasi juga
dapat menjadi insentif bagi petani dan
meningkatkan produksi. Namun,
proses akumulasi di sektor pertanian
biasanya lebih lambat karena tingkat
produktivitas pekerja yang lebih
rendah daripada sektor di luar
pertanian. Selain itu, kenaikan
produktivitas per pekerja di sektor
pertanian juga lebih lambat daripada
sector di luar pertanian. Itulah
sebabnya investasi di sektor pertanian
memiliki arti yang penting.
Pelaksanaan kebijakan
pengeluaran pemerintah maupun
subsidi sebenarnya menghadapi dua
kendala utama selain permasalahan
yang sudah diungkapkan di atas, yaitu
internal dan eksternal. Kendala internal
yaitu terbatasnya anggaran pemerintah
untuk pembangunan, sedangkan
kendala eksternal adalah lingkungan
strategis perdagangan internasional
yang semakin terliberalisasi. Adanya
kendala atau permasalahan tersebut
menyebabkan adanya kelompok yang
mendukung intervensi pemerintah
dalam bidang pangan, namun ada juga
yang sebaliknya.
Pengalaman negara
berkembang yang membuka pasar dan
mengurangi bantuan terhadap petani
sejak 1955 menyebabkan tingkat
kemiskinan tidak membaik,
pembangunan pedesaan merosot,
impor pangan meningkat pesat, dan
mengancam ketahanan pangan serta
arus urbanisasi yang tidak terkontrol
(Sawit, 2003). Di sisi lain, Negara-
negara maju masih memberikan
proteksi dan dukungan yang kuat pada
pertaniannya. Pengeluaran pemerintah
merupakan kebijakan yang dapat
dilakukan pemerintah sebagai salah
satu langkah untuk mensejahterakan
masyarakatnya dan menuju
pertumbuhan ekonomi. Dengan
kondisi demikian, dukungan
pemerintah di sektor pertanian pada
8
umumnya dan pangan pada khususnya
masih perlu dilakukan.
Ketahanan pangan perlu dikaji
secara regional mengingat adanya
perbedaan permasalahan potensi dan
sumber daya di tiap daerah. PDRB
sektor pertanian dan produksi pangan
di Jawa Tengah cukup baik. Namun
inflasi harga pangan dan kemiskinan di
Jawa Tengah tinggi. Kedua hal
tersebut dapat memberikan sedikit
gambaran bahwa kondisi ketahanan
pangan di Jawa Tengah cukup rawan,
di mana aspek akses rumah tangga
terhadap pangan cukup lemah. Peran
pemerintah diperlukan untuk
mengatasi permasalahan ekonomi
termasuk di sektor pertanian, antara
lain melalui subsidi maupun
pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur pertanian maupun sarana
jalan. Diduga terdapat permasalahan
dalam penyaluran subsidi pupuk
sehingga perlu dipertanyakan subsidi
yang dilakukan selama ini sudah dapat
membantu petani atau belum.
Penyaluran kredit pangan, yang dapat
membantu segi permodalan petani,
juga menghadapi kendala karena
persyaratan yang ditetapkan bank bagi
petani cukup berat. Di samping itu,
dalam pelaksanaan kebijakan subsidi
dan pengeluaran pemerintah, terdapat
permasalahan eksternal mapun
internal. Penjelasan-penjelasan di atas
melatarbelakangi penulis untuk
melakukan penelitian mengenai sejauh
apa pengaruh subsidi pupuk, kredit
pangan, dan pengeluaran infrastruktur
mempengaruhi ketahanan pangan Jawa
Tengah.
2. TELAAH TEORI
2.1 Konsep Ketahanan Pangan
Maleha dan Sutanto (2006)
dalam penelitiannya mengenai konsep
ketahanan pangan menngungkapkan
bahwa dari perspektif sejarah istilah
ketahanan pangan (food security)
muncul dan dibangkitkan karena
kejadian krisis pangan dan kelaparan.
Istilah ketahanan pangan dalam
kebijakan pangan dunia pertama kali
digunakan pada tahun 1971 oleh PBB.
Fokus ketahanan pangan pada masa itu
menitik beratkan pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan membebaskan
daerah dari krisis pangan yang nampak
9
pada definisi ketahanan pangan oleh
PBB sebagai berikut: food security is
availability to avoid acute food
shortages in the event of wide spread
coop vailure or other disaster (Syarief
et al, 2006).
Definisi tersebut
disempurnakan pada Internasional
Conference of Nutrition 1992 yang
disepakati oleh pimpinan negara
anggota PBB yaitu, tersedianya pangan
yang memenuhi kebutuhan setiap
orang baik dalam jumlah dan mutu
pada setiap saat untuk hidup sehat,
aktif dan produktif.
Di Indonesia, definisi dan
konsep ketahan pangan terdapat pada
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun
1996, yang menyatakan bahwa
ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik
dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau. Definisi
tersebut menunjukkan bahwa target
akhir dari ketahanan pangan adalah
pada tingkat rumah tangga.
Ketahanan ketahanan pangan
terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu
ketersediaan, akses, dan penyerapan
pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan
pangan.
Gambar 4.1
Subsistem Ketahanan Pangan
Sumber : Hanani (2007)
Secara rinci penjelasan
mengenai sub sistem tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
Sub sistem ketersediaan (food
availability) : yaitu ketersediaan
pangan dalam jumlah yang cukup
aman dan bergizi untuk semua
orang dalam suatu negara baik
yang berasal dari produksi sendiri,
Ketersediaan
pangan
Akses
pangan
Penyerapan
pangan
Status gizi
Stabilitas
10
impor, cadangan pangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan
pangan ini harus mampu
mencukupi pangan yang
didefinisikan sebagai jumlah
kalori yang dibutuhkan untuk
hidup aktif dan sehat
Akses pangan (food access) : yaitu
kemampuan semua rumah tangga
dan individu dengan sumberdaya
yang dimilikinya untuk
memperoleh pangan yang cukup
untuk kebutuhan gizinya yang
dapat diperoleh dari produksi
pangannya sendiri, pembelian
ataupun melalui bantuan pangan.
Akses rumah tangga dan individu
terdiri dari akses ekonomi, fisik
dan sosial. Akses ekonomi
tergantung pada pendapatan,
kesempatan kerja dan harga. Akses
fisik menyangkut tingkat isolasi
daerah (sarana dan prasarana
distribusi), sedangkan akses sosial
menyangkut tentang preferensi
pangan.
Penyerapan pangan (food
utilization) yaitu penggunaan
pangan untuk kebutuhan hidup
sehat yang meliputi kebutuhan
energi dan gizi, air dan kesehatan
lingkungan. Efektifitas dari
penyerapan pangan tergantung
pada pengetahuan rumah
tangga/individu, sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas dan
layanan kesehatan, serta
penyuluhan gisi dan pemeliharaan
balita.
Stabiltas (stability) merupakan
dimensi waktu dari ketahanan
pangan yang terbagi dalam
kerawanan pangan kronis (chronic
food insecurity) dan kerawanan
pangan sementara (transitory food
insecurity). Kerawanan pangan
kronis adalah ketidak mampuan
untuk memperoleh kebutuhan
pangan setiap saat, sedangkan
kerawanan pangan sementara
adalah kerawanan pangan yang
terjadi secara sementara yang
diakibatkan karena masalah
kekeringan banjir, bencana,
maupun konflik sosial.
11
Status gizi (Nutritional status)
adalah outcome ketahanan pangan
yang merupakan cerminan dari
kualitas hidup seseorang. Umumnya
satus gizi ini diukur dengan angka
harapan hidup, tingkat gizi balita
dan kematian bayi.
2.2 Efek Subsidi Pemerintah
Subsidi adalah pemberian
pemerintah kepada produsen untuk
mengurangi biaya produksi yang
ditanggung produsen. Subsidi dapat
menurunkan harga. Sampai dimana
besarnya keuntungan yang diperoleh
pembeli dengan adanya subsidi adalah
bergantung kepada besarnya
penurunan harga yang berlaku (Sadono
Sukirno, 2005). Gambar 4.2 dan
Gambar 4.3 dapat digunakan untuk
mengetahuinya.
2.2.1 Subsidi dan Elastisitas
Permintaan
Pada Gambar 4.2 (i) di bawah
ini, dimisalkan sebelum ada subsidi,
tingkat keseimbangan berada pada E
dan keseimbangan ini menunjukkan
harga adalah P dan jumlah barang
yang diperjualbelikan adalah Q.
Subsidi sebesar R akan menggeser
kurva penawaran dari SS menjadi S1S1
dan keseimbangan bergeser pula
kepada E1. Sekarang harga adalah P1
dan jumlah barang yang
diperjualbelikan adalah Q. Dengan
cara yang sama, analisis terhadap
keadaan pada Gambar 4.2 (ii) akan
menunjukkan bahwa subsidi sebesar R
akan menyebabkan harga turun dari P
kepada P1 dan jumlah barang yang
diperjualbelikan akan meningkat dari
Q kepada Q1.
Gambar 4.2
Efek Subsidi dan Elastisitas
Permintaan
A
Q Q1
P1 P
Q
P
S S1
R
E1
E
D
0
(I) Penawaran elastis
(I)
12
A
P1
P
D
S
(II) Penawaran tidak elastis
Berdasarkan analisis ini,
kesimpulan yang didapat dibuat
mengenai subsidi adalah :
1. Semakin elastis permintaan,
semakin besar bagian dari subsidi
yang akan diperoleh penjual.
2. Semakin elastis permintaan,
semakin banyak pertambahan
jumlah barang yang
diperjualbelikan.
2.2.2 Subsidi dan Elastisitas
Penawaran
Gambar 4.3 di bawah ini
menunjukkan pengaruh elastisitas
penawaran kepada bagian subsidi yang
diterima pembeli dan penjual. Terlebih
dahulu diperhatikan Gambar 4.2 (i)
dan dimisalkan keseimbangan
permulaan adalah pada tingkat E
dimana harga adalah P dan jumlah
barang yang diperjualbelikan adalah Q.
Misalkan jumlah subsidi pemerintah
adalah sebesar R dan ini menyebabkan
kurva penawaran bergeser menjadi
S1S1 dan keseimbangan yang baru
adalah E1. Berarti, harga telah turun
menjadi P1 dan jumlah barang yang
diperjualbelikan telah naik menjadi Q1.
Gambar 4.3
Efek Subsidi dan Elastisitas
Penawaran
0 Q Q1
P1
P
A
Q1 Q
E1
E
R S
S1
Q
P
(II) Penawaran elastis
(III)
Q
S1 R
E1
E
Q
P
A
Q
D
P1 E1
E
Q1 0
(II) Penawaran inelastis
D
P
S
13
Dengan cara yang sama,
berdasarkan kepada Gambar 4.2 (ii)
dapat ditunjukkan bahwa subsidi
sebesar R akan menurunkan harga dari
P menjadi P1 dan jumlah barang yang
diperjualbelikan meningkat dari Q
menjadi Q1. Berdasarkan analisis ini,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Semakin elastis penawaran,
semakin kecil bagian dari subsidi
yang akan diperoleh penjual.
2. Semakin elatis penawaran,
semakin banyak pertambahan
jumlah barang yang
diperjualbelikan.
2.3 Keterkaitan Kebijakan Subsidi
Pupuk dengan Ketahanan Pangan
Subsidi harga pupuk bertujuan
untuk membantu petani dalam
penyediaan dan pengunaan pupuk
sesuai kriteria enam tepat (waktu,
harga, jenis, jumlah, mutu dan tempat).
Tujuan utamanya adalah untuk
mencapai keluarga sasaran dan
melindungai petani memperoleh harga
yang lebih rendah dari harga pasar.
Selain adanya investasi di sektor
pertanian diharapkan dapat
berkontribusi yang lebih besar dalam
pembentukan PDRB suatu wilayah
(Nota keuangan dan RAPBN 2009).
Pengadaan pupuk bersubsidi akan
meningkatkan efisiensi usaha tani,
yaitu berimplikasi pada peningkatan
pemanfaatan lahan dan penggunaan
benih yang secara sinergis
berpengaruh terhadap peningkatan
produksi pertanian. Kemudian,
peningkatan produksi dengan biaya
yang disubsidi dan harga output yang
stabil menyebabkan pendapatan petani
meningkat. Kedua hal tersebut akan
mempengaruhi aspek ketersediaan dan
aksesibilitas, sehingga akan
mempengaruhi status ketahanan
pangan.
2.4 Keterkaitan Kredit Pertanian
dengan Ketahanan Pangan
Ashari (2000) menyatakan
bahwa kredit berperan untuk
memperlancar pembangunan
pertanian, antara lain karena :
1. Membantu petani kecil dalam
mengatasi keterbatasan modal
dengan bunga relatif ringan.
S P
14
2. Mengurangi ketergantungan petani
pada pedagang perantara dan
pelepas uang sehingga bisa
berperan dalam memperbaiki
struktur dan pola pemasaran hasil
pertanian.
3. Mekanisme transfer pendapatan
untuk mendorong pemerataan.
4. Insentif bagi petani untuk
meningkatkan produksi pertanian.
Peningkatan produksi pertanian
dan pendapatan petani akan
mempengaruhi status ketahanan
pangan, karena dengan meningkatnya
produksi maka ketersediaan pangan
juga meningkat. Sementara
peningkatan pendapatan petani akan
meningkatkan aksesibilitas ekonomi
dimana daya beli petani menjadi lebih
tinggi dan skala usaha taninya juga
dapat ditingkatkan.
2.5 Keterkaitan Pemerintah di
Bidang Infrastruktur dengan
Ketahanan Pangan
Infrastruktur merupakan suatu
sarana (fisik) pendukung agar
pembangunan ekonomi suatu negara
dapat terwujud. Infrastruktur juga
menunjukkan seberapa besar
pemerataan pembangunan terjadi.
Suatu negara dengan pertumbuhan
ekonomi tinggi akan mampu
melakukan pemerataan pembangunan
kemudian melakukan pembangunan
infrastruktur keseluruh bagian
wilayahnya.
Pembangunan infrastruktur
yang memadai, seperti jalan dan sarana
irigasi, akan mampu melayani
pergerakan ekonomi dengan baik.
Peningkatan sarana perhubungan
seperti jalan dan jembatan berimplikasi
pada semakin murahnya biaya
distribusi, dan mempercepat distribusi,
sehingga akses masyarakat terhadap
pangan menjadi lebih mudah dan
cepat. Peningkatan sarana irigasi juga
dapat menjadi insentif bagi petani dan
meningkatkan produksi.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu :
1. Diduga subsidi pupuk berpengaruh
positif terhadap ketahanan pangan
Jawa Tengah.
15
2. Diduga kredit pangan berpengaruh
positif terhadap ketahanan pangan
Jawa Tengah.
3. Diduga pengeluaran pemerintah
atas infrastruktur berpengaruh
positif terhadap ketahanan pangan
Jawa Tengah.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan
data sekunder deret waktu (time
series), dimana data mentah yang di
dapatkan adalah selama 8 tahun dari
tahun 2002 sampai tahun 2009. Syarat
observasi minimum untuk data time
series adalah n=30. Namun karena
keterbatasan tersebut, dimana data
mentah yang didapatkan hanya 8 tahun
(n=8), maka dilakukan interpolasi
linier yang dikembangkan oleh
Insukindro (Insukindro, 1992), yaitu :
-
-
-
Keterangan :
Yt = Tahun atau periode ke t
Yt-1 = Tahun atau periode sebelun t
Qt1 = Kuartal pertama tahun t
Qt2 = Kuartal kedua tahun t
Qt3 = Kuartal ketiga tahun t
Qt4 = Kuartal keempat tahun t
Dengan menggunakan teknik
interpolasi linier tersebut, maka data
yang digunakan menjadi data kuartalan
dari kuartal I 2002 sampai kuartal IV
2009, dan memenuhi syarat minimum
n=30, dimana n=32.
Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari beberapa
sumber, yaitu :
1. Ketersediaan energi, ketersediaan
protein, konsumsi energi, dan
konsumsi protein diperoleh dari
Neraca Bahan Makanan Jawa
Tengah yang dipublikasikan Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa
Tengah dan Badan Ketahanan
Pangan Provinsi Jawa Tengah.
2. Subsidi Pupuk diperoleh dari Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Tengah.
3. Kredit Pangan diperoleh dari Bank
Indonesia Semarang.
4. Pengeluaran Pemerintah atas
infrastruktur jalan dan jembatan
16
diperoleh dari Dinas Bina Marga
Provinsi Jawa Tengah.
5. Pengeluaran Pemerintah atas
infrastruktur irigasi diperoleh dari
Dinas Pertanian Provinsi Jawa
Tengah.
3.2 Definisi Operasional Variabel
1. Menurut Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Jawa Tengah, ketahanan
Pangan merupakan variabel yang
digambarkan dengan nilai jumlah
ketersediaan energi dengan satuan
ribu kkal/tahun, jumlah ketersedian
protein dengan satuan kg/tahun,
jumlah konsumsi energi dengan
satuan kkal/tahun, dan jumlah
konsumsi protein dengan satuan
kg/tahun.
2. Kebijakan subsidi pupuk
merupakan besarnya pengeluaran
pemerintah daerah Jawa Tengah
untuk subsidi pupuk di Jawa
Tengah dengan satuan rupiah.
3. Kredit pangan merupakan jumlah
pinjaman yang diberikan
perbankan, yaitu bank pemerintah,
bank swasta nasional, bank asing
campuran, dan BPR kepada
subsektor tanaman pangan,
peternakan, dan perikanan di Jawa
Tengah dengan satuan rupiah.
4. Pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur, merupakan besarnya
pengeluaran pemerintah daerah
Jawa Tengah untuk pembangunan
infrastruktur pertanian (irigasi) dan
infrastruktur transportasi (jalan dan
jembatan) di Jawa Tengah dengan
satuan rupiah.
3.3 Spesifikasi Model
Model penelitian yang digunakan
untuk menguji hipotesis penelitian ini
adalah dengan model Error Correction
Model (ECM). Dengan model ini
diharapkan dapat menjelaskan perilaku
jangka pendek maupun jangka
panjang.
Model dasar yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu :
KP = f (SP, KT, PI) (3.1)
Dimana :
KP = ketahanan pangan/tahun
SP = subsidi pupuk/tahun
KT = kredit pangan/tahun
PI = pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur/tahun
Sehingga persamaannya adalah :
17
KPt = α0 + α 1SP + α 2KT + α 3PI + εt
(3.2)
Model ini dibentuk untuk mengetahui
pengaruh secara bersamaan variabel
subsidi pupuk, kredit pertanian, dan
pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur terhadap ketahanan
pangan.
3.3.1 Error Correction Model
Melalui model ECM
diharapkan dapat dijelaskan perilaku
jangka pendek maupun jangka
panjang keterkaitan antar variabel-
variabel yang diamati. ECM
memberikan pendekatan yang
berhubungan dengan masalah variabel
runtun waktu yang tidak stasioner dan
korelasi lancung (Bastias, 2010).
Bentuk model dalam penelitian ini
yaitu :
Δkkt = γ0 + γ1Δspt + γ2Δktt + γ3Δpit +
γ4spt-1 + γ5ktt-1 + γ6pit-1 + γ7 (spt-1 + ktt-1
+ pit-1 – kpt-1) (3.3)
Δkgt = γ0 + γ1Δspt + γ2Δktt + γ3Δpit +
γ4spt-1 + γ5ktt-1 + γ6pit-1 + γ7 (spt-1 + ktt-1
+ pit-1 – kpt-1) (3.4)
Δckt = γ0 + γ1Δspt + γ2Δktt + γ3Δpit +
γ4spt-1 + γ5ktt-1 + γ6pit-1 + γ7 (spt-1 + ktt-1
+ pit-1 – kpt-1) (3.5)
Δcgt = γ0 + γ1Δspt + γ2Δktt + γ3Δpit +
γ4spt-1 + γ5ktt-1 + γ6pit-1 + γ7 (spt-1 + ktt-1
+ pit-1 – kpt-1) (3.6)
Dimana kkt adalah ketersediaan energi,
kgt adalah ketersediaan protein, ckt
adalah konsumsi energi, dan cgt adalah
konsumsi protein.
Sebelum dilakukan regresi,
dilakukan uji akar unit menggunakan
ADF test pada semua variabel untuk
mengetahui apakah terdapat unit root
(tidak stasioner). Estimasi dengan
menggunakan variabel yang
mengandung akar unit akan
menghasilkan regresi lancung.
Kemudian dilakukan uji kointegrasi
menggunakan johansen test untuk
memastikan apakah variabel-variabel
yang digunakan dalam persamaan
memiliki hubungan jangka panjang.
18
4. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
4.1 Keragaan Ketersediaan dan
Konsumsi Energi dan Protein
Grafik 4.1 dan 4.2 menunjukkan
kondisi ketersediaan energi dan protein
Jawa Tengah dari tahun 2002 sampai
2009 dengan mengklasifikasikan
energi dan protein yang berasal dari
tumbuhan (nabati) dan yang berasal
dari hewan (hewani). Menurut Azwar
dalam Ilham et al (2006), ketersediaan
energi dan protein yang dianjurkan
adalah sebesar 2550 kkal/kapita/hari
untuk energi dan 55 gram/kapita/hari
untuk protein. Berdasarkan kedua
grafik di atas, ketersediaan energi dan
protein di Jawa Tengah sudah
memenuhi kriteria yang dianjurkan.
Grafik 4.1
Perkembangan Ketersediaan Energi
per Kapita per hari di Jawa Tengah
Tahun 2002-2009
Grafik 4.2
Perkembangan Ketersediaan
Protein per Kapita per hari di Jawa
Tengah Tahun 2002-2009
Sumber : BPS dan BKP Jawa Tengah
(berbagai terbitan, diolah)
Ketersediaan yang mencukupi
belum diikuti dengan kualitas yang
baik, karena sebagian besar berasal
dari sumber nabati. Padahal untuk
mencapai komposisi pangan yang baik,
kontribusi energi dan protein hewani
terhadap total energi dan protein harus
sekitar 15 persen (Hardiansyah dan
Tambunan dalam Ilham et al, 2006).
Grafik 4.3
Persentase Rata-rata Ketersediaan
Energi dan Protein per Kapita per
hari di Jawa Tengah Tahun 2002-
2009
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
Nabati
Hewani
Jumlah
Kalori Protein
97% 91%
3 9%
Nabati Hewani
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
Nabati
Hewani
Jumlah
19
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
Nabati
Hewani
Jumlah
Sumber : BPS dan BKP Jawa Tengah
(berbagai terbitan, diolah)
Berdasarkan kriteria dan grafik
4.3, komposisi pangan di Jawa Tengah
kurang baik. Jika dirata-rata, jumlah
energi yang tersedia di Jawa Tengah
per tahunnya yaitu 2686,09 kkal per
kapita per hari atau 97 persen dari total
ketersediaan energi, sedangkan energi
hewani hanya 71,24 kkal per kapita per
hari atau hanya 3 persen dari total
ketersediaan energi. Rata-rata
ketersediaan protein nabati tiap
tahunnya yaitu 72,15 gram per kapita
per hari atau 91 persen dari total
ketersediaan protein, sedangkan
protein hewani hanya 7,55 gram per
kapita per hari atau 9 persen dari total
ketersediaan protein.
Indikator lain yang dapat
digunakan untuk mengukur ketahanan
pangan adalah tingkat konsumsi
pangan untuk mengetahui jumlah
pangan yang dapat diakses dan
dikonsumsi rumah tangga.
Grafik 4.4
Perkembangan Konsumsi Energi
per Kapita per hari di Jawa Tengah
Tahun 2002-2009
Sumber : BPS dan BKP Jawa Tengah
(berbagai terbitan, diolah)
Grafik 4.5
Perkembangan Konsumsi Protein
per Kapita per hari di Jawa Tengah
Tahun 2002-2009
Sumber : BPS dan BKP Jawa Tengah
(berbagai terbitan, diolah)
Berdasarkan hasil Widyakarsa
Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG)
tahun 2004, tingkat kecukupan energi
dan protein adalah 2200
kkal/kapita/hari dan 57
0.00
500.00
1000.00
1500.00
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
Nabati
Hewani
Jumlah
20
gram/kapita/hari. Mengacu pada
standar anjuran tersebut dan data pada
grafik 4.4 dan 4.5 terlihat bahwa
konsumsi energi masih jauh di bawah
standar kecukupan.
4.2 Hasil Estimasi
Uji akar unit (unit root test)
menunjukkan bahwa data stasioner
pada derajat kedua, dan lolos uji
kointegrasi pada semua variabel dan
keempat model yang digunakan dalam
penelitian ini.
4.2.1 Hasil Estimasi Pada Model
Ketersediaan Energi Jangka
Pendek dan Panjang
Dari tiga variabel independen
yang digunakan dalam penelitian ini,
hanya variabel subsidi pupuk yang
signifikan terhadap ketersediaan energi
dalam jangka pendek. Sedangkan
variabel kredit pangan dan
pengeluaran infrastruktur tidak
signifikan, yang terlihat dari
probabilitas signifikansi yang lebih
tinggi dari tingkat kepercayaan 5
persen. Sehingga dalam penelitian ini
ketersediaan energi dalam jangka
pendek dipengaruhi oleh subsidi pupuk
dengan persamaan matematis sebagai
berikut.
DKK = -5,878481 +
(0,1618)
0,000000000839DSP –
(0,0541)*
0,000000000205DKT –
(0,2107)
0,0000000000778DPI – 0,242272ECT
(0,6523) (0,0244)*
R2 = 0,38560; F Stat = 4,079427
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
DKK = Diferensiasi pertama dari
variabel ketersediaan
energi
DSP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
DKT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
DPI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
ECT = Error Correction Term
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Sedangkan dalam jangka
panjang, semua variabel yag
digunakan, yaitu subsidi pupuk, kredit
21
pertanian, dan pengeluaran
infrastruktur signifikan terhadap
ketersediaan energi. Hal tersebut dapat
dilihat dari probabilitas yang lebih
kecil dari alpha 5 persen. Sehingga
dalam penelitian ini, ketersediaan
energi dalam jangka panjang
dipengaruhi oleh variaabel subsidi
pupuk, kredit pertanian, dan
pengeluaran infrastruktur.
Persamaannya adalah sebagai berikut.
KK = 841,1533 + 0,000000000295SP
(0,0000)* (0,0382)*
– 0,000000000733KT
(0,0000)*
– 0,0000000000128PI
(0,0055)*
R2 = 0,560233; F Stat = 11,89003
Keterangan : * = signifikan pada alpha
5persen.
KK = Diferensiasi pertama dari
variabel ketersediaan energi
SP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
KT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
PI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Namun terdapat masalah
autokorelasi pada model jangka
panjang yang menyebabkan hasil
regresi jangka panjang menjadi bias.
4.2.2 Hasil Estimasi Pada Model
Ketersediaan Protein Jangka
Pendek dan Panjang
Dari tiga variabel independen
yang digunakan dalam penelitian ini,
terdapat dua variabel yang signifikan
terhadap ketersediaan protein dalam
jangka pendek, yaitu subsidi pupuk
dan kredit pertanian. Sedangkan
variabel pengeluaran infrastruktur
tidak signifikan, yang terlihat dri
probabilitas signifikansi yang lebih
tinggi dari tingkat kepercayaan 5
persen. Sehingga dalam penelitian ini
ketersediaan protein dalam jangka
pendek dipengaruhi oleh subsidi pupuk
dan kredit pangan, dengan persamaan
matematis sebagai berikut.
DKG = -0,018775 + 0,451556DSP –
(0,0442)* (0,0468)*
0,213385DKT + 0,0118618DPI –
(0,0141)* (0,5219)
22
0,116860ECT
(0,0164)*
R2 = 0,424115; F Stat = 4,786979
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
DKG = Diferensiasi pertama dari
variabel ketersediaan protein
DSP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
DKT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
DPI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
ECT = Error Correction Term
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Sedangkan dalam jangka
panjang, hanya variabel subsidi pupuk
yang tidak signifikan terhadap
ketersediaan protein. Hal tersebut
dapat dilihat dari probabilitas yang
lebih besar dari alpha 5 persen.
Sehingga dalam penelitian ini,
ketersediaan protein dalam jangka
panjang dipengaruhi oleh variabel
kredit pangan dan pengeluaran
infrastruktur. Persamaannya adalah
sebagai berikut.
KG = 11,5519 + 0,0600SP –
(0,0000)* (0,3800)
0,328138KT – 0,0064047PI
(0,0000)* (0,0492)*
R2 = 0,645909; F Stat = 1,702527
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
KG = Diferensiasi pertama dari
variabel ketersediaan protein
SP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
KT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
PI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Namun terdapat masalah autokorelasi
pada model jangka panjang yang
menyebabkan hasil regresi jangka
panjang menjadi bias.
4.2.3 Hasil Estimasi Pada Model
Konsumsi Energi Jangka
Pendek dan Panjang
Dari tiga variabel independen
yang digunakan dalam penelitian ini,
hanya variabel subsidi pupuk yang
23
signifikan terhadap konsumsi energi
dalam jangka pendek. Sedangkan
variabel kredit pangan dan
pengeluaran infrastruktur tidak
signifikan, yang terlihat dari
probabilitas signifikansi yang lebih
tinggi dari tingkat kepercayaan 5
persen. Sehingga dalam penelitian ini
konsumsi energi dalam jangka pendek
hanya dipengaruhi oleh variabel
subsidi pupuk, dengan persamaan
matematis sebagai berikut.
DCK = 0,002019 – 0,061709DSP –
(0,066) (0,0215)*
0,002011DKT – 0,0000042DPI –
(0,8328) (0,9985)
0,54ECT
(0,0021)*
R2 = 0,451833; F Stat = 5,357700
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
DCK = Diferensiasi pertama dari
variabel konsumsi energi
DSP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
DKT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
DPI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
ECT = Error Correction Term
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Sedangkan dalam jangka
panjang, hanya variabel subsidi pupuk
yang tidak signifikan terhadap
konsumsi energi. Hal tersebut dapat
dilihat dari probabilitas yang lebih
besar dari alpha 5 persen. Sehingga
dalam penelitian ini, konsumsi energi
dalam jangka panjang dipengaruhi
oleh variabel kredit pangan, dan
pengeluaran infrastruktur.
Persamaannya adalah sebagai berikut.
CK = 6,488848 – 0,004380SP –
(0,0000)* (0,4408)
0,020193KT – 0,006030PI
(0,0000)* (0,0276)*
R2 = 0,748908; F Stat = 27,83766
Keterangan : * = signifikan pada alpha
5persen.
CK = Diferensiasi pertama dari
variabel konsumsi energi
SP = Difeerensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
24
KT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
PI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
4.2.4 Hasil Estimasi Pada Model
Konsumsi Protein Jangka
Pendek dan Panjang
Dari tiga variabel independen
yang digunakan dalam penelitian ini,
hanya variabel subsidi pupuk yang
signifikan terhadap konsumsi energi
dalam jangka pendek. Sedangkan
variabel kredit pangan dan
pengeluaran infrastruktur tidak
signifikan, yang terlihat dari
probabilitas signifikansi yang lebih
tinggi dari tingkat kepercayaan 5
persen. Sehingga dalam penelitian ini
konsumsi energi dalam jangka pendek
hanya dipengaruhi oleh variabel
subsidi pupuk, dengan persamaan
matematis sebagai berikut.
DCG = -0,00952 – 145,875DSP +
(0,0006)* (0,0011)*
11,4393DKT – 0,55445DPI –
(0,04486) (0,8605)
0,23331ECT
(0,0562)*
R2 = 0,470122; F Stat = 5,766979
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
DCG = Diferensiasi pertama dari
variabel konsumsi protein
DSP = Difeerensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
DKT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
DPI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
ECT = Error Correction Term
Angka dalam kurung menunjukkan
probabilitas t-statistik
Sedangkan dalam jangka
panjang, variabel subsidi pupuk dan
kredit pangan yang signifikan terhadap
konsumsi energi. Hal tersebut dapat
dilihat dari probabilitas yang lebih
kecil dari alpha 5 persen. Sedangkan
variabel pebgeluaran infrastruktur
tidak signifikan. Sehingga dalam
penelitian ini, konsumsi energi dalam
jangka panjang dipengaruhi oleh
25
variabel subsidi pupuk dan kredit
pangan. Persamaannya adalah sebagai
berikut.
CG = 0,50565 + 37,86117SP –
(0,1835)* (0,0053)*
31,6995KT – 7,64564PI
(0,0016)* (0,1321)
R2 = 0,535054; F Stat = 10,7411
Keterangan : * = signifikan pada apha
5persen.
KK = Diferensiasi pertama dari
variabel konsumsi protein
SP = Diferensiasi pertama dari
variabel subsidi pupuk
KT = Diferensiasi pertama dari
variabel kredit pangan
PI = Diferensiasi pertama dari
variabel pengeluaran
infrastruktur
Namun terdapat masalah autokorelasi
pada model jangka panjang yang
menyebabkan hasil regresi jangka
panjang menjadi bias.
4.3 Interprerasi Hasil dan
Pembahasan
4.3.1 Pengaruh Subsidi Pupuk
Terhadap Ketahanan Pangan
Jawa Tengah
Ketahanan pangan dalam
penelitian ini digambarkan oleh nilai
ketersediaan energi, ketersediaan
protein, konsumsi energi, dan
konsumsi protein. Sehingga terdapat
empat analisis mengenai pengaruh
subsidi pupuk terhadap ketahanan
pangan Jawa Tengah.
Variabel subsidi pupuk dalam
jangka pendek memiliki memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap ketersediaan energi dan
protein. Hasil tersebut sesuai dengan
teori dan hipotesis yang digunakan
dalam penelitian dimana subsidi pupuk
berpengaruh positif dan signifikan. Hal
ini bermakna bahwa subsidi pupuk
berpengaruh nyata terhadap
ketersediaan energi dan protein dalam
jangka pendek di Jawa Tengah.
Subsidi pupuk berpengaruh positif dan
signifikan terhadap keersediaan energi
jangka panjang, namun karena terdapat
masalah autokorelasi dalam model
menyebabkan hasil regresi menjadi
bias dan tidak bisa dilakukan analisis
terhadap model tersebut.
Menurut teori efek subsidi
pemerintah (Mankiw, 2003), subsidi
26
yang diberikan pemerintah kepada
produsen akan meningkatkan jumlah
barang yang diperjualbelikan atau
meningkatkan Q. Pengadaan pupuk
bersubsidi akan meningkatkan efisiensi
usaha tani, yaitu berimplikasi pada
peningkatan pemanfaatan lahan dan
penggunaan benih yang secara sinergis
berpengaruh terhadap peningkatan
produksi pertanian.
Variabel subsidi pupuk
memiliki pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap konsumsi energi
dan konsumsi protein jangka pendek di
Jawa Tengah. Sedangkan pada
konsumsi energi jangka panjang tidak
berpengaruh signifikan. Hasil tersebut
tidak sesuai dengan teori dan hipotesis
dalam penelitian ini, yang menyatakan
bahwa subsidi pupuk berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
ketahanan pangan, dalam hal ini
konsumsi energi dan protein.
Menurut Arifin dalam Santosa
(2010) kinerja dan keragaman pasar
(market performance) komoditas
pupuk di beberapa tempat bersifat
monopoli-oligopolistik, karena hak
istimewa yang dimiliki para distributor
dan penyalur dalam menentukan harga.
Saat ini, pola distribusi pupuk
dilakukan oleh PT. Pupuk Sriwijaya
(Pusri) sebagai holding company dari
seluruh rpodusen pupuk di Indonesia.
Pusri bekerja sama dengan mitra
penyalur yang terdiri dari BUMN,
koperasi dan swasta lainnya dalam
distibusi dan penjualan pupuk
(Santosa, 2010).
Pola distribusinya yaitu, dari
pabrik ke Lini II/UPP, lalu ke Lini III
yang merupakan distributor kabupaten.
Peran Pusri sampai di situ, selanjutnya
penjualan ke Lini IV (distributor
kecamatan) dilakukan oleh penyalur,
dan penjualan kepada petani dilakukan
oleh pengecer. Dalam kondisi tertentu,
Pusri dapat menjual langsung ke
pengecer atau langsung ke petani.
Bagan distribusi pupuk dapat dilihat
pada Gambar 4.1 pada subab 4.1.3.
Struktur pasar yang bersifat
monopoli-oligopolistik serta pola
distribusi dan penjualan yang kaku,
panjang dan dikuasai oleh satu
perusahaan menyebabkan harga yang
harus dibayarkan petani jauh lebih
tinggi dari harga pabrik. Penetapan
27
Harga Ecceran Tertinggi (HET) oleh
pemerintah pun menjadi tidak efektif
karena harga di pasaran menjadi lebih
tinggi. Ditambah lagi, subsidi yang
dilakukan selama ini diberikan kepada
pabrik melalui subsidi gas bukan,
sehingga lebih menguntungkan pihak
pabrik (Sri Kasiyati, 2009).
Permasalahan-permasalahan tersebut
menyebabkan petani tidak menikmati
subsidi yang diberikan oleh
pemerintah.
4.3.2 Pengaruh Kredit Pangan
Terhadap Ketahanan Pangan
Jawa Tengah
Variabel kredit pangan
memiliki arah hubungan yang negatif
dan signifikan pada model
ketersediaan protein jangka pendek
dan konsumsi energi jangka panjang.
Kredit pangan tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketersediaan energi
jangka, konsumsi energi, dan
konsumsi protein dalam jangka
pendek. Pada model konsumsi jangka
pendek pengaruhnya tidak signifikan
namun memiliki koefisien yang positif.
Hasil-hasil tersebut tidak sesuai
dengan hipotesis penelitian dan teori,
dimana seharusnya kredit pangan akan
menambah modal petani. Selanjutnya
modal tersebut akan meningkatkan
produksi dan pendapatan petani,
sehingga akan berpengaruh positif
terhadap ketersediaan energi,
ketersediaan protein, konsumsi energi,
dan konsumsi protein. Sedangkan
model ketersediaan energi,
ketersediaan protein, dan konsumsi
protein jangka panjang teerdapat
masalah autokorelasi sehingga tidak
dapat dilakukan analisis terhadap
model tersebut.
Jika dilihat tren data kredit
pangan mengalami peningkatan pada
periode 2002-2004, lalu mengalami
penurunan pada periode 2004-2008,
dan meningkat lagi pada 2009. Tren
data kredit tersebut berlawanan dengan
tren data ketersediaan energi,
ketersediaan protein, konsumsi energi,
dan konsumsi protein. Perbedaan tren
tersebut diduga menyebabkan hasil
regresi yang tidak sesuai dengan
hipotesis.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan BI (2007), permasalahan
28
utama dalam penyaluran kredit kepada
sektor pertanian pada umumnya adalah
kurangnya jaminan. Selain itu, tidak
dapat memenuhi persyaratan
administrasi, hasil penjualan panen
kurang menjanjikan dan karakter
petani yang kurang baik, juga menjadi
kendala dalam menyalurkan kredit di
sektor pertanian pada umumnya.
Kredit pertanian pada umumnya, dan
pangan pada khususnya sering
beresiko menimbulkan Non
Performing Loan (NPL) bagi bank.
Kendala-kendala tersebut diduga juga
menyebabkan tren menurun kredit
pangan di Jawa Tengah pada periode
2004-2008.
Berdasarkan survey yang
pernah dilakukan peneliti di Kendal,
Jawa Tengah pada tahun 2010 pada
penerima KUR yang merupakan kredit
program pemerintah yang disalurkan
kepada sektor riil, tiga dari lima puluh
responden yang merupakan penerima
KUR menggunakan dana yang
diperoleh bukan digunakan untuk
kegiatan yang produktif, tetapi untuk
membangun rumah, membiayai
sekolah, dan lain-lain. Jika hal tersebut
juga terjadi pada petani yang sebagian
besarnya termasuk golongan ekonomi
lemah yang menerima kredit dari
perbankan, maka hasil estimasi kredit
pertanian yang memiliki pengaruh
negatif terhadap ketersediaan protein
dan konsumsi energi jangka pendek
sesuai dengan fenomena yang terjadi.
Pelaksanaan KKP juga tidak terlepas
dari permasalahan. Berdasarkan studi
yang dilakukan SMERU di tiga lokasi,
ternyata total penyerapan dana KKP
untuk tanaman pangan masih sangat
rendah. Misalnya, di Sulawesi Selatan
sampai Maret 2001 baru disalurkan
Rp1,51 milyar atau 2,17% dari alokasi
kredit (plafon) Rp69,774 milyar.
Rendahnya penyerapan KKP antara
lain karena masih adanya tunggakan
KUT dan petani sulit memenuhi syarat
agunan kredit. Di samping itu, faktor
alam dan faktor-faktor lain di luar
variabel diduga sangat berpengaruh
terhadap produksi usaha pertanian.
29
4.3.3 Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Atas Infrastruktur
Infrastruktur Terhadap
Ketahanan Pangan Jawa
Tengah
Variabel pengeluaran
pemerintah atas infrastruktur yang
terdiri dari infrastruktur transportasi
(jalan dan jembatan) dan irigasi,
berpengaruh signifikan namun negatif
terhadap konsumsi energi jangka
panjang. Pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketersediaan
energi, ketersediaan protein, konsumsi
energi, dan konsumsi protein jangka
pendek. Pada model ketersediaan
protein, pengaruhnya tidak signifikan
namun memiliki koefisien yang positif.
Sedangkan model ketersediaan energi,
ketersediaan protein, dan konsumsi
protein jangka panjang terdapat
masalah autokorelasi, yang
menyebabkan hasil regresi menjadi
bias sehingga tidak dapat dilakukan
analisis terhadap hasil regresi model-
model tersebut.
Hasil estimasi pada model-
model tersebut tidak sesuai dengan
hipotesis penelitian ini baik dalam
jangka pendek maupun jangka
panjang. Hipotesis dalam penelitian ini
menyatakan bahwa pengeluaran
infrastruktur memiliki efek yang
positif dan signifikan terhadap
ketahanan pangan Jawa Tengah.
Berdasarkan teori pengeluaran
pemerintah (Mankiw, 2003),
pengeluaran pemerintah memiliki efek
pengganda pada pendapatan dan akan
meningkatkan aggregate demand.
Secara teori, pengeluaran pemerintah
atas infrasrtruktur pertanian (irigasi)
akan mampu meningkatkan produksi
karena pengairan yang lancar dan
murah. Sedangkan pengeluaran
pemerintah atas infrastrur sarana
transportasi (jalan dan jembatan)
seharusnya akan memperlancar
distribusi produk pertanian.
Namun hasil estimasi
menunjukkan hasil tidak sesuai dengan
teori. Diduga keterbatasan data,
dimana observasi yang hanya 8 tahun
tidak cukup untuk mengakomodir efek
pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur terhadap ketersediaan
energi, ketersediaan protein, konsumsi
30
energi, dan konsumsi protein. Proyek
pembangunan infrastruktur di Negara
sedang berkembang seperti Indonesia
banyak yang tidak terselesaikan dalam
jangka pendek. Hal ini berimbas pada
kelambanan pengaruh pada sektor-
sektor ekonomi sehingga pertumbuhan
terhambat. Pembangunan infrastruktur
yang belum selesai atau sedang
berjalan juga cenderung akan
menghambat kegiatan, seperti
pembangunan jalan yang sedang
berlangsung cenderung menyebabkan
lalu lintas menjadi macet sehingga
distribusi menjadi tersendat.
Terbatasnya anggaran
pemerintah juga menyebabkan
pelaksanaan proyek pembangunan
infrastruktur menjadi selektif, yaitu
mengutamakan infrastruktur yang
sudah mengalami kerusakan cukup
parah. Data pekembangan pengeluaran
pemerintah atas infrastruktur pertanian
dan sarana transportasi juga memiliki
tren yang cenderung menurun. Hal
tersebut juga diduga sebagai penyebab
hasil estimasi yang tidak sesuai dengan
teori.
5. SIMPULAN, KETERBATASAN
DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil estimasi,
pembahasan, dan beberapa uraian di
atas, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Uji akar unit (unit root test)
menunjukkan bahwa data stasioner
pada derajat kedua, dan lolos uji
kointegrasi pada semua variabel
dan keempat model yang
digunakan dalam penelitian ini. Uji
asumsi klasik pada model
ketersediaan energi, ketersediaan
protein, dan konsumsi protein
jangka panjang menunjukkan
bahwa terdapat masalah
autokorelasi. Namun terdapat
keterbatasan dalam mengobati
masalah autokorelasi pada model
jangka panjang. Hasil uji asumsi
klasik pada model ketersediaan
energi jangka pendek, ketersediaan
protein jangka pendek, model
konsumsi energi jangka pendek
dan jangka panjang serta konsumsi
protein jangka pendek
31
menghasilkan estimator yang.
Sehingga model konsumsi energi
adalah model yang memberikan
hasil paling baik dalam penelitian
ini.
2. Hasil estimasi pada model
ketersediaan energi menunjukkan
bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,560233 pada jangka
panjang dan 0,38560 pada jangka
pendek yang memberikan arti
bahwa variasi ketersediaan energi
di Jawa Tengah dapat dijelaskan
oleh variabel independen sebesar
56,02 persen pada jangka panjang
dan 38,56 persen pada jangka
pendek.
3. Hasil estimasi pada model
ketersediaan protein menunjukkan
bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,645909 pada jangka
panjang dan 0,42411 pada jangka
pendek yang memberikan arti
bahwa variasi ketersediaan protein
di Jawa Tengah dapat dijelaskan
aleh variabel independen sebesar
64,59 persen pada jangka panjang
dan 42,41 persen pada jangka
pendek.
4. Hasil estimasi pada model
konsumsi energi menunjukkan
bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,748908 pada jangka
panjang dan 0,451833 pada jangka
pendek yang memberikan arti
bahwa variasi konsumsi energi di
Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh
variabel independen sebesar 74,89
persen pada jangka panjang dan
45,18 persen pada jangka pendek.
5. Hasil estimasi pada model
konsumsi protein menunjukkan
bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,535054 pada jangka
panjang dan 0,470122 pada jangka
pendek yang memberikan arti
bahwa variasi konsumsi protein di
Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh
variabel independen sebesar 53,5
persen pada jangka panjang dan
47,01 persen pada jangka pendek.
6. Variabel subsidi pupuk
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ketersediaan energi dan
protein dalam jangka pendek, serta
berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap konsumsi energi dan
protein dalam jangka pendek.
32
7. Variabel kredit pangan
berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap ketersediaan protein
jangka pendek dan konsumsi
energi jangka panjang.
8. Variabel pengeluaran pemerintah
atas infrastruktur berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap
konsumsi energi jangka panjang.
5.2 Keterbatasan
Keterbatasan dalam penelitian
ini adalah terbatasnya data yang
didapatkan, yaitu hanya 8 tahun.
Padahal untuk data time series jumlah
observasi minimal yang dibutuhkan
adalah 30, sehingga dilakukan
interpolasi untuk memenuhi syarat
tersebut. Penggunaan teknik
interpolasi tersebut menyebabkan
terdapat masalah autokorelasi pada
model ketersediaan energi,
ketersediaan protein dan konsumsi
protein jangka pendek, sehingga hasil
estimasi pada ketiga model tersebut
menjadi bias. Keterbatasan data
tersebut juga menyebabkan tidak
signifikannya pengaruh beberapa
variabel terhadap model yang
digunakan dalam penelitian ini.
5.3 Saran
Sesuai dengan hasil penelitian
yang didapat, maka diajukan beberapa
saran sebagai berikut :
1. Variabel subsidi pupuk berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
ketersediaan energi dan protein
dalam jangka pendek, serta
berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap konsumsi energi dan
protein dalam jangka pendek.
Struktur pasar pupuk bersifat
monopoli-oligopolistik serta pola
distribusi dan penjualan yang kaku,
panjang dan dikuasai oleh satu
perusahaan menyebabkan harga
yang harus dibayarkan petani jauh
lebih tinggi dari harga pabrik serta
subsidi pupuk selama ini diberika
kepada pabrik sehingga petani
bukan petani yang benar-benar
diuntungkan. Menyikapi
permasalahan dalam pengadaaan
pupuk, Santosa (2010)
33
menyarankan beberapa hal sebagai
berikut.
a. Struktur pasar yang oligopolis-
monopolis diubah menjadi
struktur pasar yang mendekati
pasar persaingan sempurna
dengan mendirikan beberapa
pabrik.
b. Pembenahan transparansi dan
akuntabilitas dalam produksi
dan penentuan biaya produksi.
c. Memperbaiki lembaga
pemasaran pupuk dengan
mempertimbangkan perlunya
proses menuju system distribusi
dan pemasaran pupuk.
d. Melakukan mekanisme
chanelling tertutup agar subsidi
tepat sasaran dan sampai ke
pihak yang dituju.
2. Variabel kredit pangan berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap
ketersediaan protein jangka pendek
dan konsumsi energi jangka
panjang. Kredit yang disalurkan
kepada sektor pertanian perlu
ditingkatkan, karena trennya yang
cenderung menurun pada periode
2004 sampai 2009. Persyaratannya
pun sebaiknya dipermudah,
terutama kredit program pertanian
dari pemerintah yaitu KKP (Kredit
Ketahanan Pangan). Selain itu,
pengawasan terhadap penerima
kredit perlu diperketat agar kredit
yang diterima benar-benar
digunakan untuk kegiatan yang
produktif.
3. Variabel pengeluaran pemerintah
atas infrastruktur berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap
konsumsi energi jangka panjang.
Temuan tersebut diduga karena
periode penelitian yang terlalu
singkat, sehingga tidak mampu
mengakomodir pengaruh
pengeluaran pemerintah atas
infrastruktur terhadap ketersediaan
energi, ketersediaan protein,
konsumsi energi, dan konsumsi
protein. Disarankan untuk penelitian
selanjutnya periode penelitian yang
digunakan lebih panjang sehingga
mampu melihat dengan lebih jelas
bagaimana pengaruhnya terhadap
ketahanan pangan Jawa Tengah.
Analisis Pengaruh Subsidi Pupuk, Kredit Pangan, dan Pengeluaran Pemerintah
Atas Infrastruktur Terhadap Ketahanan Pangan Jawa Tengah
(Ridwan Kurniawan Kapindo)
1
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. 2006. “Penguatan Ketahanan Pangan Daerah untuk Mendukung
Ketahanan Pangan Nasional”.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono26-3.pdf. Diakses tanggal 3
Oktober 2010.
Ashari. 2000. “Optimalisasi Kredit Program Sektor Pertanian di Indonesia”. Analisis
Kebijakan Pertanian, Vol. 7 No. 1, h..21-42. Diakses tanggal 21 Desember
2010.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2003. Konsumsi Kalori dan Protein
Penduduk Indonesia dan Provinsi. Semarang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawea Tengah. 2007. Konsumsi Kalori dan Protein
Penduduk Indonesia dan Provinsi. Semarang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2009. Konsumsi Kalori dan Protein
Penduduk Indonesia dan Provinsi. Semarang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2003. Neraca bahan Makanan Jawa
Tengah. Semarang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka.
Semarang.
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka.
Semarang.
Badan Ketahanan Pangan Jawa Tengah. 2010. Neraca Bahan Makanan Jawa
Tengah. Ungaran.
Bank Indonesia Semarang. 2004. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah.
Semarang.
Bank Indonesia Semarang. 2008. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah.
Semarang.
Bank Indonesia Semarang. 2010. Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Jawa Tengah.
Semarang.
35
Bank Indonesia Semarang. 2009. Kajian Ekonomi Regional Jawa Tengah Triwulan
IV Tahun 2009. Semarang.
Bastias, Desi Dwi. 2010. “Analisis Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan,
Kesehatan, dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Periode 1969-2009.” Skripsi Tidak Dipublikasikan, Fakultas Ekonomi,
Universitas Diponegoro.
Darmawanto. 2008. “Pengembangan Kredit Sektor Pertanian (Tinjauan Pada PT.
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah).” Tesis Tidak Dipublikasikan,
Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro.
David, Cristina C. 1997. “Food Policy: Its Role in Price Stability and Food Security”.
Journal of Philipine Development Vol 24 No. 43 h..171-189.
http://dirp3.pids.gov.ph/ris/pjd/pidsjpd97-1food.pdf. Diakses tanggal 9
November 2010.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. “Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009.”
Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2006 1(1): 57-63. Diakses tanggal 27 Agustus
2010
Divisi Analisis Kualitatif dan Monitoring Sosial Lembaga Riset Smeru. 2001.
“Pelaksanaan KKP di Lapangan.” Newsletter No. 4 Sep-Nov 2001.
www.smeru.or.id Diakses tanggal 3 Oktober 2010
Dumairy. 1999. Perekonomian Indonesia. Erlangga: Jakarta.
Friawan, Deni. 2008. Kondisi Pembangunan Infrastruktur di Indonesia. Analisis CSIS
Vol.37. No.2 Juni 2008. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometric Fourt Edition. New York : The
McGraw-Hill Companies Inc.
Gujarati, Damodar N. 2007. Dasar-dasar Ekonometrika, 3ed, Jilid Dua. Jakarta :
Erlangga.
Hanani, Nuhfil. 2007. “Pengertian Ketahanan Pangan.”
images.soemarno.multiply.multiplycontent.com/.../PENGERTIAN%20KETA
HANAN%20PANGAN.doc?. Diakses tanggal 27 Agustus 2010.
Ilham, Nyak, dkk. 2006. “Efektivitas Kebijkan Harga Pangan Terhadap Ketahanan
Pangan. Jurnal agroekonomi, Vol 24 No. 2, h..157-177. http:// pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2024-2c.pdf. Diakses tanggal 11
Agustus 2010.
36
Kasiyati, Sri. 2009. “Analisis Dampak Subsidi Harga Pupuk Terhadap Output sektor
Produksi dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga di Jawa Tengah
(Pendekatan Analisis I-O dan SNSE Jawa Tengah Tahun 2004).” Skripsi
Tidak Dipublikasikan, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro.
Lassa, Jonathan. 2008. “Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005.”
http://www.zef.de/.../3ddf_Politik%20Ketahanan%20Pangan%20Indonesia%2
01950-2005.pdf. Diakses tanggal 27 Agustus 2010.
Lassa, Jonathan. 2009. “Memahami Kebijakan Pangan dan Nutrisi Indonesia : Studi
Kasus Nusa Tenggara Timur 1958-2008.” http://ntt-
academia.org/nttstudies/Lassa-2009.pdf. Diakses tanggal 27 Agustus 2010.
Maleha dan Sutanto. 2006. “Kajian Konsep Ketahanan Pangan”. Jurnal ProteinVol.13
No.2 Th.2006, h. 194-202.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/protein/.../66_umm_scientific_journal.do
c. Diakses tanggal 27 Agustus 2010.
Mankiw, N. Gregory, 2003. Teori Makro Ekonomi, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES.
Nicholson ,Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya 8 ed. Jakarta:
Erlangga
Pasandaran, Effendi. 2007. “Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka
Ketahanan Pangan Nasional”. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 5 No. 2,
h..126-149. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-2a.pdf. Diakses
tanggal 5 November 2010.
Pasaribu, Sahat M. dkk. 2007. “Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian”.
Laporan Akhir Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian Departemen
Pertanian. Diakses tanggal 30 September 2010.
Ramanathan, Ramu. 1992. Introductory Econometrics With Applications. Orlando :
Harcourt Brace Jovanovich Inc.
Reksoprayitno, Soediyono. 2000. Ekonomi Makro : Analisis IS-LM dan Permintaan-
Penawaran Agregatif. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta.
Sawit, M. H. 2003. Indonesia dlaam Perjanjian Pertanian WTO : Proposal Harbinson.
Analisis Kebijakan Pertanian 1: 55-56.
Santosa, Purbayu Budi. 2010. Politik Beras dan Beras Politik. Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
37
Sinaga, Novan Mulia Mahason. 2010. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Lelang Beras pada Pasar Lelang Forward di Sub Terminal Agribisnis
Soropadan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.” Skripsi Tidak
Dipublikasikan, Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro.
Soetrisno, Noer. 1998. “Food Security in Indonesia, Short Run And The Long Run
Issues”. Paper Disajikan Pada FAO/AFMA/Sri-Lanka Regional Workshop on
Agricultural Marketing Liberalization and Privatisation. Diakses tanggal 14
Agustus 2010.
Sukirno, Sadono. 2004. Makroekonomi : Teori dan Pengantar, 3 ed. Jakarta :
Rajawali Pers.
Sukirno, Sadono. 2005. Mikroekonomi : Teori dan Pengantar, 3ed. Jakarta : Rajawali
Pers.
Suparmoko. 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Edisi keempat. BPFE
: Yogyakarta.
Supranto, Johanes. 2000. Statistik Teori dan Aplikasi Jilid Dua. Jakarta : Erlangga.
Suryana, Achmad. 2005. “Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional.” Paper
disampaikan pada Simposium Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan
pada Era Otonomi dan Globalisasi, Faperta, IPB.
http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip011081.pdf Bogor, 22
November 2005.
Syarief, dkk. 1999. Pembangunan Gizi dan Pangan Dari Perspektif Kemandirian
Lokal. Bogor : Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia dan Center
For Regional Resource Development & Community Empowenment.
Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews,
2 ed. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.