ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK...
Transcript of ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK...
ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK
PENGADILAN NEGERI DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN.
Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF
SKRIPSI
Diajukan oleh
IBM. ANDHIKA SUPRIATMAN
NIM: 108044100077
KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN
NEGERI DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
IBM. Andhika Supriatman
NrM. 108044100077
Di Bawah Bimbingan:
NIP. 1 95507 061992031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA.
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
I]NIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul ANALI SIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANA,K
PENGADILAN NEGERI DENPASAR No. 1051iPdt.P/2013/PN.Dps telah
diujikan dalam sidang N{unaqasyah Fakultas Syai'iah dan Hukum Universiias islunr
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Desember 2014. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada
program studi Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 9 Desember 2014
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
/_
/Dr. JM. Muslimin. MANIP. 19680812 199903 2or4
PANITIA UJIAN
Ketua
Sekretaris
Pernbimbing
Penguji I
Penguji II
Kamarusdiana. S.Ag. MHt9720224 t9lSri Hidayati.
19710215 19,
Dr. KH. A. J
)803 I 003
M.Ag)703 2 002
Lraini Svukri Lcs . MAl 9550706 l 99 203 I 00 1
Oosinr Arsaclani. MA19690629 20080r l 0i6
Arip Purkon, MA1979042',1 200312 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2014
IBM. Andhika Supriatman
ABSTRAK SKRIPSI
IBM Andhika Supriatman/108044100077/
ANALISIS PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI
DENPASAR NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas
Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2014/1-88 Halaman/2 Lampiran
Adanya analisis penetapan ini karena terdapat ketidaksesuaian yang
terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar dan hukum normatif yang
berlaku di Indonesia dalam mengatur tentang pelaksanaan adopsi.
Dalam hal ini, Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan permohonan
pemohon untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara
tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di
Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.
110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam
hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang
beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak dari
keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum menikah.
Kedua hal tersebut menyalahi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bukti
tersebut bisa dilihat dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang
Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat
harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Kemudian
berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus memenuhi
syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Kata Kunci: Penetapan,
Pengangkatan anak, Hukum Islam, dan Hukum Positif.
Pembimbing: Dr. KH. A. Juaini Syukri, Lcs,. MA/Fakultas Syariah
dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puja dan puji selalu dipanjatkan kepada
Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan hidup setiap saat, setiap detik, tanpa
pernah merasa bosan ataupun lelah sekalipun. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari jurang yang penuh kekelaman menuju pusaran terang
benderang yaitu pusaran iman dan takwa seperti saat ini.
Selama penulisan skripsi ini dan selama penulis mengenyam bangku
perkuliahan di Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Hukum Keluarga
Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat bantuan dan sumbangan motivasi dari
berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM. Muslimin, MA.
2. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum,
Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH.
ii
3. Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan
Hukum, Ibu Sri Hidayati, M.Ag.
4. Dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati, sabar,
serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini, Al-Ustadz Dr. KH. A.
Juaini Syukri, Lcs,. MA.
5. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu pemahaman
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Orang tua tercinta, ayahanda Drs. H. Ketut Imaduddin Djamal, SH., MM.,
serta ibunda Ety Supriaty, S.Pd., berkat doa, bantuan, bimbingan, serta
nasihatnya lah penulis dapat memiliki energi untuk menyelesaikan skripsi
ini.
7. Abanganda Wazir Iman Suprianto, serta adinda-adinda Agung Sidang
Amirulhaj, Gusti Muhamad Malikul Madani, serta Iday Imanety Jamilah
yang tak henti-hentinya memotivasi penulis.
8. Teman-teman seperjuangan, Peradilan Agama 2008 B, khususnya para
“Serigala Terakhir”, Ali Seto, Udi Wahyudi, Akbar Alfaththa,
Fachrurrozy, Ade Taufik, yang selalu menemani dan membantu di masa-
masa akhir pencarian “jati diri”.
iii
9. Adinda Tercinta, Nadiya Zurnafany Sakina Tejawati, yang selalu
memberikan dukungan, semangat, cinta, dan wejangan-wejangannya
kepada penulis.
10. Teman-teman Ikatan Keluarga Pesantren Darunnajah (IKPDN) Jakarta.
Tanpa kalian, penulis bukanlah siapa-siapa.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga senantiasa
menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan
atas amal baik mereka. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah
khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 9 Desember 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah .............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ 9
D. Studi PustakaTerdahulu ........................................................... 10
E. Metode Penelitian..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Pengangkatan Anak ................................................ 16
B. Sejarah Pengangkatan Anak ..................................................... 21
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Islam ................. 32
D. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Peraturan
Indonesia................................................................................... 38
BAB III PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. Sejarah Pengadilan Negeri Denpasar ....................................... 43
B. Yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar .................................... 45
C. Tugas dan Fungsi Pengadilan Negeri Denpasar ....................... 53
v
BAB IV PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN
NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. PENGADILAN NEGERI
DENPASAR
A. Konsep Pengangkatan Anak menurut Hukum Islam................ 54
B. Prosedur Pengangkatan anak Menurut Hukum positif
Indonesia................................................................................... 60
C. Analisis Penetapan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps ........................................................ 72
BAB V PENUTUP ......................................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................. 84
B. Saran-saran .............................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 87
LAMPIRAN ....................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah amanat yang harus senantiasa kita jaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi. Sebagai anugerah dari Tuhan, anak harus dijaga secara normatif demi
kepentingan fisik maupun psikisnya.1
Adapun jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah pewaris dan sekaligus potret depan bangsa di masa mendatang, generasi
penerus cita-cita bangsa. Mereka adalah pewaris peradaban, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan
perlindungan kepada anak. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.1.
2
tangguh, memiliki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai
Pancasila serta kemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.2
Keinginan untuk memiliki keturunan adalah hal yang mutlak dimiliki
oleh kebanyakan manusia. Hal ini menjadi permasalahan yang penting dalam
kehidupan manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Untuk terus melestarikan
kehidupan manusia diatas bumi ini maka proses regenerasi manusia harus selalu
dilakukan.
Lazimnya, untuk mendapatkan keinginan ini didahului dengan proses
perkawinan. Dimana salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh
keturunan dari pasangan yang menikah tersebut. Keinginan yang alamiah dari
setiap pasangan yang telah melangsungkan perkawinan untuk memiliki
keturunan. Yang kelak akan melanjutkan kehidupan orang tuanya dengan
mewarisi harta kekayaan dari orang tuanya.
Sejalan dengan hal diatas, menurut Subekti, perkawinan oleh undang-
undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging), dalam hal ini
suami ditetapkan sebagai kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan
mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan
tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya
memberikan bantuan (binjstand) kepada si isteri dalam melakukan perbuatan-
perbuatan hukum.3
2 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), hlm.8.
3 Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta; intermasa,2003), hlm.
3
Namun adakalanya dimana pasangan yang telah menikah tidak dapat
memiliki keturunan. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor, yaitu,
kelainan genetik, faktor turunan dari keluarga, ataupun faktor penyakit yang
diderita oleh salah satu pasangan atau bahkan kedua-duanya. Untuk mengatasi
permasalahan tidak memiliki keturunan tersebut, maka mayoritas umat manusia
memilih solusi pengangkatan anak.
Pengangkatan anak ini dilakukan oleh orang-orang karena disadari bahwa
hal tersebut merupakan cara yang termudah. Karena banyaknya orang yang
melakukan pengangkatan anak, maka pengaturan tentang pengangkatan anak pun
harus dapat mengakomodir semua keinginan dan kepentingan yang berkaitan
dengan pengangkatan anak sehingga dapat menertibkan masyarakat yang
melakukan pengangkatan anak.
Secara sederhana, pengertian pengangkatan anak merupakan
pengangkatan anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan
hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun
hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain4.
Lebih lanjut, menurut Muderis Zaini, pengangkatan anak adalah suatu cara
untuk melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
4Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU
No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No
284, hlm. 32.
4
pengaturan perundang-undangan5. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan
untuk mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak
beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu ialah bahwa anak
yang diangkat memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak
dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak tersebut, calon
orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan anak.
Dalam hukum Islam istilah pengangkatan anak telah dikenal sejak lama,
bahkan dipraktikkan oleh nabi Muhammad SAW sendiri. Artinya bahwa
pengangkatan anak ini telah mempunyai legalitas yang jelas karena telah
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW.
Dari praktik pengangkatan anak yang dijalankan oleh Rasululah diatas,
bahwa secara normatif hukum Islam telah memperkenalkan sekaligus mengatur
masalah tentang pengangkatan anak. Untuk lebih jelasnya aturan Hukum Islam
tentang pengangkatan anak bisa dilihat dari surat Al-Azhab ayat 4 dan 5.
٥-٤
5 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar
Grafika),2002, hlm. 7.
5
"Tidaklah Allah SWT menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongga
nya dan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan
punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia
menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu
hanyalah ucapanmu dengan mulutmu. Dan Allah SWT mengatakan yang
benar dan Dia akan menunjuki jalan. Panggillah mereka dengan nama
bapak-bapak mereka. Itulah yap lebih adil disisi Allah SWT. Dan jika
tidak kamu ketahui siapa bapa bapak mereka, maka adalah mereka
saudara kamu seagama maula-maula kamu. Tetapi tidaklah kamu
berdosa jika kamu salah dengan dia, melainkan jika disengaja oleh hati
kamu. dan Allah SWT adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Al-
Ahzab : 4-5)
Hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak-anak angkat tidak
sama sebagaimana hubungan hukum antara orang tua dengan anak kandung.
Hubungan hukum anak angkat dengan orang tua kandungnya tetap seperti
sebelum adanya pengangkatan anak.
Salah satu ketetapan hukum Islam tentang pengangkatan anak adalah
bahwa anak angkat mengikuti nasabnya sesuai dengan orang tua kandungnya,
bukan mengikuti orang tua angkatnya. Hal ini pernah ditetapkan oleh nabi
Muhammad SAW yang mempunyai anak angkat bernama Zaid bin Haritsah yang
sebelumnya bernama Zaid bin Muhammad SAW.6
Namun hal itu berbeda dengan praktek pengangkatan anak yang terjadi di
daerah Denpasar. Seperti yang ditemukan oleh penulis dalam sebuah penetapan
yang keluarkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan Nomor Perkara
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
6 Khalid Muhammad Kalid, 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW, (Jakarta; Al-I’tishom Cahaya
Ummat, 2007), hlm. 45.
6
Dalam duduk perkaranya, pemohon telah mengajukan permohonannya
tertanggal 17 Desember 2013 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada
tanggal 18 September 2013, pada pokoknya yaitu pemohon belum pernah
menikah dan bekerja swasta, kemudian pemohon berniat mengangkat seorang
anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama, yaitu anak dari seorang Ibu
bernama Tina Yulia Novanda dan pada saat itu anak tersebut juga belum
mempunyai akte kelahiran. Pemohon telah membiayai anak tersebut dari
kandungan hingga saat ini dikarenakan ibu tersebut tidak bekerja dan menyatakan
tidak sanggup untuk memeliharanya, sehingga pemohon berinisiatif untuk
mengangkatnya. Untuk mendapatkan legalitas atas status anaknya, dan setelah
mendapatkan saran dari Kantor Catatan Sipil, maka pemohon mengajukan
permohonan tersebut ke pengadilan.
Berdasarkan fakta tersebut diatas, dan juga pemohon telah mengangkat
anak tersebut sejak tanggal 07 Desember 2012, dimana anak tersebut telah
diserahkan secara ikhlas oleh orang tua kandungnya untuk dipelihara, diasuh,
maupun dididik oleh pemohon seperti anak kandungnya sendiri sampai sekarang,
maka demi untuk kepentingan kelangsungan hidup dan kehidupan anak tersebut
dikemudian hari dimana pemohon juga telah bekerja, maka pemohon dipandang
mampu untuk membiayai hidup dan kehidupan anak tersebut.
Kemudian Pengadilan Negeri Denpasar menetapkan dalam perkara diatas
tertanggal 28 Oktober 2013 dengan nomor register: 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN.
Dps. yaitu:
7
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh pemohon
NURYANI ROSALINDA terhadap anak laki-laki yang bernama GAVIN
ROBERT PRATAMA yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember
2012;
3. Memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan tentang Penetapan
ini kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Badung agar dicatatkan kedalam register yang diperuntukkan untuk itu.
Berdasarkan penetapan diatas, penulis merasa ada kejanggalan dalam hasil
penetapan Pengadilan Negeri Denpasar yaitu: pertama, bahwa pemohon yang
beragama Islam dalam hal ini saudari Nuryani Rosalinda telah mengangkat anak
dari keluarga non muslim. Kedua, saudari Nuryani Rosalinda berstatus belum
menikah. Dari kedua permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-
undangan Indonesia menyalahi aturan secara normatif. Bukti tersebut bisa dilihat
dari pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat harus
seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.7 Kemudian
berdasarkan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang
Pelaksanaan pengangkatan Anak yang menyatakan bahwa calon orang tua angkat
harus memenuhi syarat berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun.8
7 Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak
8 Pasal 3 Peraturan Pemerintah no 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak
8
Adanya ketidaksesuaian yang terjadi antara Penetapan Pengadilan Negeri
Denpasar dan hukum normatif yang berlaku di Indonesia dalam mengatur
tentang pelaksanaan adopsi ini merupakan hal yang menurut penulis menarik
untuk diteliti dan dibahas dalam sebuah skripsi yang berjudul “ANALISIS
PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN NEGERI
DENPASAR NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps. DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang
diambil oleh penulis, maka penulis batasi terkait Penetapan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri Denpasar No. Register: 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan pemohon
untuk mengangkat seorang anak dari keluarga yang berbeda agama. Secara
tekstual penetapan yang dikeluarkan telah menyalahi aturan yang berlaku di
Indonesia, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia No. 110/HUK/2009 tentang persyaratan pengangkatan anak.
9
2. Perumusan Masalah
Bedasarkan pada uraian tersebut diatas, permasalahan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut;
a. Bagaimanakah Konsep pengangkatan anak menurut Hukum Islam?
b. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif
Indonesia?
c. Bagaimanakah hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan.
Terdapat beberapa hal yang akan dicapai dari tujuan penulisan ini,
antara lain;
a. Memahami konsep pengangkatan anak menurut hukum Islam.
b. Mengetahui prosedur pengangkatan anak menurut hukum positif
Indonesia
c. Memahami hasil penetapan Pengadilan Negeri Denpasar No.
1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. menurut perspektif hukum Islam dan
hukum positif.
10
2. Manfaat Penulisan.
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama
pembahasan hukum mengenai pengangkatan anak.
2. Dalam hal praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi praktisi hukum/aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum,
serta secara khusus bagi penulis, hasil penelitian ini menjadi bahan untuk
penyusunan skripsi sebagai tugas akhir penyelesaian studi pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
D. Studi Pustaka Terdahulu
1. Mery Wanyi Rihi, SH, Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat
Bali (Studi Kasus di Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota
Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar), (Semarang, Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, 2006).
Menganalisis kedudukan anak angkat menurut hukum waris adat Bali
yang ditinjau dari sudut pandang hukum adat. Namun, saudari Mery Wanyi
Rihi, SH hanya menganalisis hal tersebut dari sudut pandang hukum adat Bali
saja. Tanpa disertai dengan analisis dari sudut pandang hukum perdata Islam.
11
2. Sulistya Rini Saputro Wibowo, C.100.980.208, Kedudukan Anak Angkat
dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Bali (Studi di Kecamatan
Kerambitan, Kabupaten Tabanan), (Surakarta, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Membahas tentang kedudukan hukum anak angkat di kecamatan
Kerambitan, kabupaten Tabanan.Namun, saudari Sulistya Rini Saputro
Wibowo hanya mengangkat kedudukan serta akibat hukum yang terjadi di
Bali tanpa mengangkat hal tersebut dalam perspektif hukum perdata Islam.
E. Metode Penelitian
Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.9 Penelitian
Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah
yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.10
Jenis
penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini
adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang
berhubungan dengan pengangkatan anak.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 10
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), hal.
12
1. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis, maka jenis
penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan pendekatan analitis (analytical apprpoach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan untuk
meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian.11
yang dalam hal ini adalah aturan hukum tentang hierarki
peraturan perundang-undangan. Jadi, penelitian normatif yang
menggunakan pendekatan ini memungkinkan seorang peneliti untuk
memahami hukum secara lebih mendalam tentang hasil putusan atau
penetapan lembaga peradilan di Indonesia, baik dalam pemahaman maupun
penerapan hukum suatu lembaga atau ketentuan hukumnya.12
Sedangkan pendekatan analitis (analytical apprpach) dilakukan
untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang
digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional,
sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putuan
hukum. Hal itu dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti
berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum
11 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke
IV, 2008), hal. 302 12
Johnny Ibrahim, Op. Cit., 318-319; Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1986),
hal. 332
13
yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam
praktek melalui analisis terhadap putusan-putusan tersebut. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tugas analisis hukum
adalah menganalisis konsep pengangkatan anak dilihat dari segi yuridis
atau norma yang berlaku.
Adapun metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian
hukum normatif ini mencakup:
1. Bahan hukum primer: sumber penelitian, yaitu penetapan Pengadilan
Negeri Denpasar No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
2. Bahan hukum sekunder, yang merupakan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti Undang-undang, Rancangan Undang-Undang,
hasil-hasil penelitian dan buku-buku hasil karya para ahli, serta hasil
wawancara dengan para ahli hukum terkait.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi dan lain
sebagainya.
14
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok
pembahasan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, batasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodelogi penelitian, studi terdahulu, sistematika penulisan..
BAB II : PERATURAN PENGANGKATAN ANAK
Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian pengangkatan
anak, Sejarah pengangkatan anak, Dasar pengangkatan anak
menurut Islam, dan dasar hukum pengangkatan anak menurut
Peraturan Indonesia.
BAB III : PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK PENGADILAN
NEGERI DENPASAR
Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah Pengadilan Negeri
Denpasar, yuridiksi Pengadilan Negeri Denpasar, tugas dan fungsi
Pengadilan Negeri Denpasar, Penetapan Pengangkatan Anak No.
1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps
15
BAB IV : PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS
PENETAPAN NO. 1.051 / Pdt.P / 2013 / PN. Dps.
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Pada bab ini akan diuraikan mengenai konsep pengangkatan anak
menurut hukum Islam, prosedur pengangkatan anak menurut
hukum positif Indonesia, analisis penetapan Pengadilan Negeri
Denpasar No.1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini memuat kesimpulan, serta saran-saran.
16
BAB II
PERATURAN TENTANG PENGANGKATAN ANAK
A. PENGERTIAN PENGANGKATAN ANAK
Setiap manusia didalam dunia ini memiliki hasrat. Dan salah satu hasrat
yang dimiliki oleh manusia adalah menikah. Pada umumnya, manusia menikah
dengan tujuan untuk menyalurkan nafsu biologisnya secara baik-baik/halal, serta
untuk memiliki keturunan (anak). Akan tetapi keinginan untuk memiliki
keturunan ini menjadi bermasalah ketika secara biologis, pasangan yang telah
menikah tersebut tidak dapat memiliki keturunan. Hal ini bisa disebabkan faktor
yang berasal dari pasangan pria maupun pasangan wanita. Namun, ketidak
mampuan memiliki keturunan tersebut tetap dapat mereka atasi walaupun secara
biologis tidak memungkinkan.
Kemungkinan ini dapat terjadi ketika pengangkatan anak menjadi solusi
alternatif. Pasangan yang tidak dapat memiliki keturunan secara biologis dapat
memiliki keturunan dengan mengangkat anak atau mengadopsi anak orang lain
untuk dijadikan anak mereka.
Mengangkat anak berarti mengambil anak dari keluarga lain dengan
maksud untuk dijadikan anak sendiri agar dapat melanjutkan kehidupan orang
tuanya dengan cara mewarisi harta kekayaan dari orang tua anak tersebut.
17
Menurut Rifyal Ka’bah, Pengertian pengangkatan anak adalah
mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat dengan hak-
hak dan kewajiban yang dimiliki anak kandungnya, baik hak waris ataupun hak
menggunakan nama orang tua angkatnya, hak perwalian dan lain-lain13
.
Menurut Muderis Zaini14
, pengangkatan anak adalah suatu cara untuk
melakukan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan
perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak dilaksanakan untuk
mendapatkan pewaris atau mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak bias
memilik anak. Akibat dari pengangkatan anak tersebut ialah bahwa anak yang
diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan
segala hak dan kewajibannya. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu,
calon orang tua harus memiliki syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin
kesejahteraan anak.
Pengangkatan anak merupakan usaha untuk memperoleh keturunan yang
telah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Setiap peradaban,
bangsa, negara, agama dan lain-lain memiliki pandangan dan cara tersendiri
dalam melakukan pengangkatan anak. Termasuk di Indonesia pun telah lama
pengangkatan anak ini dilakukan.
13
Rifyal Ka’bah, Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3Tahun 2006 Tentang Perubahan UU
No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama dan Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No
284, hlm. 32. 14
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Cet.4, (Jakarta;Sinar
Grafika),2002, hlm. 7.
18
Di dalam hukum perdata Indonesia tidak diatur tentang masalah
pengangkatan anak atau lembaga pengangkatan anak. Hukum perdata Indonesia
hanya mengatur masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak
yang diakui (erkend kind). Artinya, disini terdapat kekosongan hukum yang bisa
menimbulkan ketidakteraturan dalam masyarakat yang ingin melakukan
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak ini dimaksudkan untuk mengangkat harkat serta
martabat dari anak itu sendiri maupun keluarga yang mengangkatnya tersebut.
Sehingga anak yang diangkat ini dapat terjamin hidupnya, nafkah, pendidikan,
serta asuhan bagi dirinya. Juga bagi keluarga yang mengangkatnya diberikan
keturunan yang kelak dapat mewarisi hidupnya berupa harta kekayaan yang
ditinggalkannya serta manfaat lainnya.
Dari segi perkembangan hukum nasional, rumusan pengertian
pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di
Indonesia-tanpa membedakan golongan penduduk, juga tanpa membedakan
domestic adoption atau inter-country adoption – dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP
Pengangkatan Anak”). Menurut PP Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan
anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam
19
lingkungan keluarga orangtua angkat (Pasal 1 butir 2). Pengangkatan anak dengan
demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan seorang anak dari suatu
lingkungan (semula) ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya. Dari rumusan
pengertian pengangkatan anak ini tidak cukup tercermin sampai berapa jauh atau
seberapa luas akibat hukum perbuatan pengangkatan anak.15
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ditemukan suatu
ketentuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Yang ada hanyalah
ketentuan tentang pengakuan anak luar kawin. Seperti yang diatur dalam buku I
bab XII bagian ketiga, pasal 280 sampai pasal 289 tentang pengakuan terhadap
anak-anak diluar kawin. Ketentuan ini sama sekali tidak berhubungan dengan
masalah pengangkatan anak.
Menurut Muderis Zaini16
, karena tuntutan masyarakat walaupun dalam
KUHPerd. tidak mengakui masalah pengangkatan anak ini, sedang pengangkatan
anak itu sendiri sangatlah lazim terjadi di masyarakat, maka pemerintah Hindia-
Belanda berusaha untuk membuat peraturan yang tersendiri tentang pengangkatan
anak tersebut. Karena itulah pemerintah Hindia-Belanda melalui Staatsblad
nomor 129 tahun 1917, khusus pasal 5 sampai dengan 15 yang mengatur masalah
adopsi atau anak angkat untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah
Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum yang tertulis yang
15
Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta;Sinar Grafika),2012,hlm.105. 16
Muderis Zaini, op.cit.,hlm. 11.
20
mengatur pengangkatan anak bagi kalangan Tionghoa yang biasa dikenal dengan
golongan Timur Asing.
Setelah itu dikeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)
Republik Indonesia tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No.2 tahun 1979.
Hal ini karena pemerintah mensinyalir bahwa lembaga pengangkatan anak ini
disalahgunakan seperti yang terjadi pada trafficking for women and children.
Kejahatan semacam itulah yang wajib dihapuskan diseluruh dunia, karena telah
mencoreng maksud luhur untuk mengentaskan penderitaan anak demi memenuhi
haknya kehidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam pasal 9 UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian MA mengeluarkan SEMA RI No. 4 Tahun 1989 tentang
pengangkatan anak yang berisi ketentuan bahwa syarat bagi warga Negara asing
untuk mengangkat anak warga Negara Indonesia harus berdomisili dan bekerja
tetap di Indonesia sekurang-kurangnya tiga tahun. SEMA ini kemudian ditindak
lanjuti oleh Menteri Sosial yang mengeluarkan keputusan No. 4 Tahun 1989
tentang petunjuk pelaksanaan pengangkatan anak guna memberi pedoman dalam
pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan
pengangkatan anak agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib
administrasi17
.
17
Soimin Soedharyo, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta ; Sinar Grafika,
2004), hlm.43.
21
Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA RI No. 3 Tahun 2005 tentang
pengangkatan anak. Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA 2005 adalah
kewajiban Pengadilan Negeri melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak
ke MA selain kepada Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial,
Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal
tersebut dilakukan demi memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang
diangkat18
.
B. SEJARAH PENGANGKATAN ANAK
Untuk melengkapi uraian pengangkatan anak di Indonesia, akan
dikemukakan sekilas sejarah pengangkatan anak secara berurutan, mulai dari
sejarah pengankatan anak menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129, hukum adat,
dan perundang-undangan.19
1. Menurut Staatsblaad 1917 Nomor 129
Hukum keluarga adat golongan Tionghoa menganut garis keturunan
laki-laki (Patrilineal), karena itu nama keluarga (she, atau fam, seperti Tan,
Oei, Lim, dan lain-lain) diturunkan melalui keturunan laki-laki. Apabila
tidak ada keturunan laki-laki untuk meneruskan nama keluarga, maka
mereka akan mengangkat anak laki-laki dari keluarga lain. Oleh karena itu,
18
Lies Sugondo, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang Berspektif
HAM, Suara Uldialag vol 3 No X, hlm.33. 19
Musthofa, Pengangkatan Anak , Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 23.
22
asas pengangkatan anak hanya bias dilakukan seorang laki-laki, karena
seorang laki-laki Tionghoa wajib mengusahakan agar cabang keluarganya
tidak punah dan ada keturunan yang melanjutkan merawat abu leluhur. 20
Untuk mengetahui sejarah pengaturan pengangkatan anak bagi orang
Tionghoa dalam Staatsblaad, terlebih dahulu perlu diketahui adanya
pennggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda. Adanya penggolongan
tersebut berakibat pada berlakunya beragam hukum pada masing-masing
golongan. Penggolongan penduduk ini diatur dalam Pasal 163 Indische
Staatsregeling yang membagi menjadi tiga golongan, yaitu:
- Golongan Bumiputra, terdiri dari mereka yang termasuk rakyat asli
Hindia Belanda yang tidak pindah ke golongan lain dan mereka
yang mula-mula termasuk dari golongan lain tetapi telah meleburkan
diri kedalam golongan Bumiputra.
- Golongan Eropa, terdiri dari orang Belanda, orang bukan Belanda
yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang-orang lain yang di
negara asalnya berlaku hukum keluarga yang pokoknya berdasarkan
asas yang sama dengan asas hukum keluarga Belanda, yaitu asas
perkawinan monogami dan terlaksana atas persetujuan kedua belah
pihak.
20
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
23
- Golongan Timur Asing, terdiri dari semua orang lainnya, seperti
orang Tionghoa, Arab, India, Pakistan, Siam, dan lain-lain.
Berdasarkan Staatsblaad 1847 Nomor 23, hukum perdata yang
berlaku bagi golongan Eropa adalah hukum perdata negeri Belanda
(Burgerlijk Wetboek). Golongan Timur Asing (Arab, India, Pakistan) berlaku
sebagian dari Burgerlijk Wetboek dan selebihnya yang menyangkut hukum
perorangan, hukum keluarga, dan waris berlaku hukum mereka sendiri, yaitu
hukum Islam, sebagaimana Staatsblaad 1924 Nomor 556. Sedangkan
golongan Bumiputra yang beragama Kristen, berdasarkan pasal 131 ayat (4)
Indische Staatsregeling berlaku hukum adat.
Untuk golongan Tionghoa, berdasarkan Staatsblad 1917 Nomor 129,
kemudian ditambah Staatsblad 1924 Nomor 557, hamper seluruh Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dinyatakan berlaku
bagi golongan Tionghoa.
Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) bagi golongan Tionghoa tersebut berakibat ada beberapa
pengecualian, dan ada pula lembaga yang diberikan pengaturan secara
khusus, yaitu perihal pengangkatan anak.
Lembaga pengangkatan anak ini diatur khusus karena merupakan
adat Tionghoa yang berhubungan erat dengan pandangan dan kepercayaan
mereka. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama
24
bukan untuk mengadakan keturunan, sehingga tidak mengenal lembaga
pengangkatan anak (adopsi).21
Oleh sebab itu, banyak ketuntuan-ketentuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama dalam bidang hukum
keluarga dan hukum waris yang juga berbeda dengan hukum adat Tionghoa.
Pemberlakuan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi
golongan Tionghoa merupakan hal yang tidak sesuai dengan pandangan,
kebiasaan, dan kesadaran hukum mereka. Namun, untuk menampung
kebutuhan adat yang sangat erat berkaitan dengan pandangan religius
mereka, maka lembaga hukum pengangkatan anak diatur dalam Staatsblad.22
Ketentuan pengangkatan anak merupakan bagian dari Staatsblad
1917 Nomor 129 junctis Staatsblad 1919 Nomor 81, Staatsblad 1924 Nomor
557, Staatsblad 1925 Nomor 93 tentang Ketentuan untuk Seluruh Indonesia
mengenai Hukum Perdata dan Hukum Dagang bagi Orang Tionghoa, yang
berlaku hanya bagi golongan Tionghoa.
Dalam perkembangannya, penduduk golongan Tionghoa mengalami
perubahan pandangan terhadap hubungan kekeluargaan yang semula
patrilineal menjadi bilateral atau parental. Perubahan pandangan itu
dipengaruhi berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pendidikan,
dan agama Kristen yang banyak dianut oleh mereka. Lembaga pengangkatan
21
Ali Affandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW), Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm.149. 22
Ter Haar, dalam J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-
Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
25
anak masih dibutuhkan tetapi dengan tujuan yang berbeda dari tujuan
semula. Kehadiran anak angkat kadang dibutuhkan bagi mereka yang tidak
mempunyai anak untuk mengisi kekosongan dalam keluarga atau
memelihara mereka di hari tua. Oleh karenanya pengangkatan anak tidak
perlu dibatasi hanya anak laki-laki.23
Didalam Burgerlijk Wetboek, tidak terdapat peraturan tentang
pengangkatan anak. Namun, dalam perkembangannya sejak tahun 1956,
Burgerlijk Wetboek Belanda yang baru (Nieuwe Burgerlijk Wetboek) telah
mengatur pengangkatan anak. Latar belakang pengaturan ini terutama karena
keinginan yang dirasakan oleh masyarakat untuk memberikan pemeliharaan
kepada anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
kurang mampu.
Adapun yang dibolehkan melakukan pengangkatan dalam Nieuwe
Burgerlijk Wetboek hanya pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak
sendiri dan sudah lebih dari lima tahun dalam perkawinan. Pengangkatan
anak tidak boleh dilakukan terhadap anak sendiri yang lahir diluar
perkawinan (natuurlijk kind). Anak luar kawin itu dapat diakui dan disahkan
menurut ketentuan undang-undang yang sudah ada (erkening dan wettiging).
23
J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 190-193.
26
2. Menurut Hukum Adat
Hukum kekeluargaan adat memandang bahwa keturunan adalah
ketunggalan leluhur, artinya dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah dengan tunggal leluhur. Akibat hukum yang berhubungan
dengan ketunggalan leluhur bervariasi di masing-masing daerah. Ada satu
pandangan pokok yang sama bahwa keturunan merupakan unsur yang hakiki
serta mutlak bagi suatu klan, suku, atau kerabat yang menginginkan dirinya
tidak punah dan menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Apabila
suatu klan, suku, atau kerabat yang khawatir akan menghadapi kepunahan
pada umumnya melakukan pengangkatan anak. 24
Pengangkatan anak dalam hukum adat bukan merupakan suatu
lembaga yang asing. Lembaga itu dikenal luas hampir di seluruh Indonesia
yang dilakukan dengan cara dan motif yang bervariasi.
Misalnya di Jawa, anak angkat biasanya diambil dari anak
keponakannya sendiri, laki-laki atau perempuan. Sedangkan motivasi
pengangkatan anak tersebut berdasar alasan-alasan antara lain:
- Karena tidak mempunyai anak.
- Untuk mempererat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang
diangkat.
- Karena belas kasihan disebabkan orang tuanya tidak mampu, anak
yatim, atau anak yatim piatu.
24
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, hlm.3.
27
- Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan mendapat
anak keturunannya sendiri (panutan, sebagai pemancing).
- Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka mengangkat anak
perempuan atau sebaliknya.
- Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan
orang tua sehari-hari.
Demikian pula akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum adat
sangat bervariasi. Misalnya di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan
pertalian keluarga antara anak angkat dan orang tua kandungnya. Anak
angkat masuk dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat sebagai
anggota keluarga, tetapi tidak berkedudukan sebagai anak kandung unruk
meneruskan keturunan bapak angkatnya. Sedangkan di Bali, pengangkatan
anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak dari pertalian keluarga
orang tua kandungnya dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak
angkat, sehingga anak tersebut berkedudukan menjadi anak kandung untuk
meneruskan keturunan bapak angkatnya.25
Kedudukan anak angkat dalam hukum adat dipengaruhi oleh sistem
kekeluargaan atau keturunan. Sistem kekeluargaan di Indonesia dibedakan
menjadi tiga corak, yaitu:
25
Amir Martosedono, Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize,
Semarang, 1990, hlm. 13-14.
28
- Sistem patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan bapak, kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan perempuan.
- Sistem matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
keturunan ibu, kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan laki-laki.
- Sistem parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis dua sisi, yaitu bapak dan ibu, kedudukan laki-laki dan
perempuan tidak dibedakan.26
3. Menurut Perundang-undangan RI
Undang-undang yang mengatur pengangkatan anak di Indonesia yang
dibuat secara lengkap dan tuntas masih belum ada.27
Dalam sejarah
perundang-undangan yang berkaitan, pengaturan pengangkatan anak sempat
masuk dalam rancangan undang-undang, yaitu dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Perkawinan dan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Peradilan Anak.
Dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Rancangan Undang-Undang (RUU)
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditia Bakti, Bandung, 1993, hlm. 23. 27
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 5-
6.
29
tentang perkawinan mengatur pengangkatan anak dalam Pasal 62 sebagai
berikut:
(1) Suami istri bersama-sama dapat mengangkat seorang anak atau lebih.
(2) Yang dapat diangkat menjadi anak angkat ialah anak yang belum
kawin dan belum diangkat oleh orang lain.
(3) Anak yang diangkat sekurang-kurangnya harus 18 (delapan belas)
tahun lebih muda dari suami dan sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
tahun lebih muda dari istri.
(4) Apabila anak yang diangkat itu masih saudara dari suami istri, dalam
hubungan keluarga dia tidak boleh mempunyai derajat kekeluargaan
yang lebih tinggi dari suami yang mengangkatnya.
(5) Untuk pengangkatan anak diperlukan izin dari orang tua atau walinya
dan persetujuan anak itu sendiri apabila ia sudah berumur 15 (lima
belas) tahun.
(6) Pengangkatan anak dilakukan dengan keputusan Pengadilan atas
permohonan suami dan istri yang mengangkat anak itu.
(7) Permohonan pengangkatan yang dimaksud ayat (6) pasal ini dapat
diterima apabila pengangkatan itu menguntungkan kepentingan anak
yang diangkat.
(8) Anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum sama seperti anak
yang sah dari suami istri yang mengangkatnya
30
(9) Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keluarga
antara anak yang diangkat dengan keluarganya sedarah dan semenda
garis ke atas dan ke samping.
(10) Pengangkatan anak dapat dicabut kembali oleh keputusan pengadilan
atas permohonan anak yang diangkat demi kepentingannya.
Permohonan pencabutan diajukan secepat-cepatnya 2 (dua) tahun dan
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah anak itu berumur 18
(delapan belas) tahun.
(11) Pencabutan ini mengakibatkan bahwa anak tersebut tidak lagi
mempunyai kedudukan hukum sebagai anak sah dari suami istri yang
mengangkatnya.
(12) Hubungan keluarga yang putus karena pengangkatan yang dimaksud
ayat (9) pasal ini, hidup kembali karena pencabutan.
Ketentuan pasal dalam RUU Perkawinan ini termasuk salah satu pasal
yang mendapat reaksi keras dari umat Islam karena bertentangan dengan
hukum Islam. Hasil Musyawarah Ulama Jawa Timur pada tanggal 11
Agustus 1973 mengusulkan pasal 62 tersebut untuk diubah sebagai berikut:
- Ayat-ayat (1) sampai dengan (7) tidak ada usul perubahan.
- Ayat (8) kata-kata “sama seperti” diubah menjadi “tidak sama
dengan”.
- Ayat (9) kata “putusnya” diubah menjadi “tidak putusnya”.
- Ayat (10) tidak ada usul perubahan.
31
- Ayat (11) dihapuskan, sebagai akibat dari usul perubahan pada Ayat
(9).
- Ayat (12) dihapuskan atas dasar yang sama.28
RUU tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang RI
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai legal product dengan
menghapus semua ketentuan pasal 62 yang mengatur pengangkatan anak,
sehingga dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak.
Perbedaan prinsip yang demikian itu pula yang melatar belakangi
tidak diaturnya mengenai pengangkatan anak dalam Undang-Undang RI
Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang kemudian hanya
dirumuskan dalam 1 (satu) pasal,29
yaitu Pasal 12:
a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
b. Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam Ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan bedasarkan
Peraturan Perundang-Undangan.
28
Amak, Proses Undang-Undang Perkawinan, Al-Maarif, Bandung, 1976, hlm. 47. 29
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga,
Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm. 87.
32
Ketentuan pasal itu menekankan bahwa dalam pengangkatan anak
harus mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Tujuan pengangkatan
anak tidak lagi dilakukan hanya untuk melanjutkan keturunan tetapi telah
terjadi suatu pergeseran ke arah kepentingan anak (favor adoption).
Mengenai kepentingan kesejahteraan anak selanjutnya akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah, namun Peraturan pemerintah yang dimaksud belum
pernah ada sampai saat ini.
C. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT ISLAM
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah
menjadi tradisi turun-temurun yang dikenal dengan istilah “tabanni”30
yang
artinya mengambil anak angkat.31
Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan anak sebelum
masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian
tidak lagi dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah) melainkan diganti
dengan anam panggilan Zaid bin Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW
mengumumkan di hadapan kaum Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid,
aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap nabi
Muhammad SAW tersebut merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu.
Oleh karena nabi menganggap sebagai anaknya, maka para sahabat pun
30
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta,
1985, hlm. 50. 31
Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntashir et al., Al-Mu‟jam Al-Wasith, Majma‟ Al-Lughoh
Al-Arabiyah, Mesir, 1392 H/1972 M, Jilid II, hlm. 72.
33
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW.32
Demikian pula pernah
dilakukan sahabat Huzaifah yang telah mengangkat seorang anak bernama Salim
dan hal itu mendapat persetujuan dari nabi Muhammad SAW.
Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab bin Abdul Uzza adalah seorang
anak yang berstatus budak berasal dari Siam. Masa kecilnya hidup dan dibesarkan
di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Mekkah sebagai budak belian. Hakim bin
Hizam bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid,
selanjutnya Khadijah menyerahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. Umur
Zaid saat itu sekitar delapan tahun. Setelah nabi Muhammad SAW menerima dan
memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya. Suatu ketika keluarga Zaid
yang selama itu mencari Zaid mengetahui perisitiwa tersebut, lalu ayah dan
pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat nabi Muhammad
SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pula pada masa lalu
(sebelum Islam). Kemudian nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada
Zaid untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal
bersama nabi Muhammad SAW. Zaid memilih tetap tinggal bersama nabi
Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka pergi
bersama keluarganya, tetapi dia memilih tetap tinggal bersama nabi Muhammad
SAW karena nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya bersikap sangat baik
32
Nasroen Haron dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm.
29-30.
34
kepadanya.33
Setelah Zaid dewasa, nabi menikahkan Zaid dengan Zainab binti
Jahsy.
Setelah nabi Muhammad SAW menjadi rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4,
5, dan 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum
memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun
berkenaan dengan peristiwa Zaid bin Haritsah. 34
Melalui peristiwa asbab an-
nuzul ayat Al-Quran tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh
dilakukan, karena nabi Muhammad SAW telah melakukannya, tetapi
pengangkatan anak tersebut tidak mengubah status nasab seseorang, karena Allah
SWT telah menyatakannya dalam Al-Quran bahwa status nasab Zaid tidak boleh
dinisbahkan kepada nabi Muhammad SAW.35
Dalam peristiwa selanjutnya, ternyata rumah tangga Zaid dan Zainab
mengalami ketidakharmonisan. Zaid bin Haritsah meminta izin kepada nabi
Muhammad SAW untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi Muhammad SAW
bersabda: “Peliharalah istrimu, jangan kau ceraikan, dan bertakwalah engkau
33
Al-Qurthubi dan juga Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan,
dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi
Islam. 34
Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, dalam Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam
Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII 2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam. 35
Pagar, Kedudukan Anak Angkat dalam Warisan, dalam Mimbar Hukum no. 4 Tahun XII
2001, Al-Hikmah, Jakarta, hlm. 8-9. Juga dalam Ensiklopedi Islam.
35
kepada Allah SWT!”. Setelah Zaid tidak sanggup lagi mempertahankan rumah
tangganya, maka nabi Muhammad SAW memperkenankan perceraian mereka.36
Setelah Zainab melewati masa iddah, Allah SWT memerintahkan nabi
Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 37:
( ٣٧
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah SWT
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah SWT”,
sedangkan kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah SWT
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah SWT
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu
dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) istri-istri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluan dengan istrinya. Dan adalah ketetapan
Allah SWT itu pasti terjadi.”
Perkawinan nabi Muhammad SAW dengan bekas istri anak angkatnya ini
menegaskan bahwa adanya hubungan pengangkatan anak tidak serta-merta
menciptakan hubungan nasab yang mengakibatkan statusnya sama dengan anak
36
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004,
hlm. 26.
36
kandung, karena menikahi bekas istri anak angkat itu dibolehkan, sedangkan
menikahi bekas istri anak kandung diharamkan untuk selama-lamanya.37
Menurut Zakaria Ahmad Al-Barry, mengangkat anak yang sangat
membutuhkan bantuan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya tanpa
berakibat hukum seperti pengangkatan anak pada zaman jahiliah adalah menjadi
tanggung jawab masyarakat secara kolektif dan dilakukan oleh beberapa orang
sebagai fardhu kifayah. Hukumnya berubah menjadi fardhu „ain apabila
seseorang menemukan anak terlantar atau terbuang di tempat yang sangat
membahayakan nyawan anak itu, karena sesungguhnya jiwa manusia berhak
dijaga dan dipelihara.38
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret
1984 mengemukakan sebagai berikut:
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syariat Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
37
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 108. 38
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2004,
hlm. 30-31.
37
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih saying seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang
dianjurkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing selain bertentangan
dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.39
39
Dep. Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Proyek Sarana dan Prasarana
Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaran Haji, Jakarta, 2003, hlm. 178.
38
D. DASAR HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENURUT PERATURAN
INDONESIA
Pengaturan pengangkatan anak di Indonesia dalam perundang-undangan
beberapa kali mengalami kegagalan karena adanya perbedaan mendasar mengenai
konsepsi pengangkatan anak. Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ada
berdasarkan konsepsi pengangkatan anak menurut Staatsblad 1917 Nomor 129
dan tradisi pengangkatan anak zaman jahiliah yang berbeda dengan konsepsi
pengangkatan anak menurut hukum Islam. Namun, beberapa hal mendasar
mengenai pengangkatan anak yang selaras dengan hukum Islam mulai masuk
dalam perundang-undangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41.40
Pengaturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan telah
mengalami kemajuan dibandingkan keberadaan lembaga pengangkatan anak.
Ketentuan pengangkatan anak tidak mengenal diskriminasi laki-laki atau
perempuan bagi calon orang tua angkat maupun calon anak angkat. Pengaturan
lembaga pengangkatan anak merupakan upaya agar setiap anak mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia. Ada beberapa hal penting
40
Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008,
hlm. 41.
39
mengenai penagturan pengangkatan anak dalam perundang-undangan yang patut
diketengahkan, yaitu:
- Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41
- Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.42
- Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.43
- Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir (ultimum remedium).44
- Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
menegenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya, dengan memperhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan.45
- Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak. 46
41
Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 42
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 43
Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 44
Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45
Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 46
Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
40
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke
Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan
khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan adanya perubahan,
pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.47
Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat
tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan
dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat
setelah memperoleh putusan pengadilan.48
Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima,
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya,
antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu
kepada hukum terapannya.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa Mahkamah Agung sendiri
sebagai penanggung jawab atas pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa
peraturan perundang-undangan dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara
Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
Negara Asing ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum
47
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, hlm. 28. 48
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, hlm. 28.
41
yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok
kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:
1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur
masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang
ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979
tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur
prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau
permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh
pengadilan.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 tahun
1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.
4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Juni 1984.
5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober
2002.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang
Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005, setelah terjadinya
bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh
42
dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak
yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing
untuk mengangktanya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak
tersebut.
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49
huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:”… Penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam”.
8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti
oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara
yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lam sampai sekarang.
43
BAB III
PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK
PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. SEJARAH PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Jauh sebelum dikuasai oleh Pemerintah Belanda, Bali terdiri dari sembilan
Kerajaan kecil-kecil yaitu: Buleleng, Jembrana, Bangli, Tabanan, Karangasem,
Gianyar, Mengwi, Klungkung dan Badung.
Raja tertinggi dari semua Kerajaan ini adalah raja Klungkung yang terkenal
dengan sebutan Dewa Agung Klungkung, Pada akhir abad ke XIX tinggallah 8
kerajaan karena Mengwi telah ditaklukan oleh Badung, berturut-turut dalam
peperangan 1814, 1880, dan terakhir 1892. Peristiwa yang paling penting dalam
sejarah Kabupaten Badung adalah Puputan Badung yaitu, perang habis-habisan
sampai tetes darah yang terakhir melawan Penjajah Belanda. Peristiwa tersebut
terjadi pada hari Kamis Kliwon tahun Caka: 1828 (20 September 1906) saat
dimana Badung jatuh ke tangan belanda.49
DARI TAHUN 1906 s.d 1942
Ketika pemerintahan berada ditangan penjajah Belanda, Daerah Badung
merupakan suatu Onderafdeling yang dikepalai oleh seorang Asistent Resident
yang berkedudukan di Denpasar. Dengan adanya Zustelling berstuurder tanggal 1
juli 1938. Pemerintah menjadi Zelf berstuurnd Landskap (kerajaan), dikepalai
49
www.pn-denpasar.go.id/
44
seorang Raja dengan gelar Tjokorda Negara Badung ( Staasblad Hindia Belanda
1938, No. 529), berada di bawah dewan yang bernama Paruman Agung yang
diketuai oleh Resident van Bali en Lombok yang berkedudukan di Singaraja.
Pemerintahan seperti ini berlangsung sampai tahun 1942.
DARI TAHUN 1942 s.d 1945
Tidak terjadi perubahan Pemerintahan yang Prinsipil selama masa
pendudukan Bala tentara Jepang, hanya gelar Tjokorda Negara Badung dirubah
dan diganti menjadi Badung Sutjo. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun
1957, tentang pokok pemerintahan Daerah, maka dihapuskan kedudukan semua
kerajaan menjadi Daerah Tk II Badung dan Daerah Bali sendiri menjadi Daerah
Tk I.
Sejak pemerintah Belanda sampai dengan pemerintah Jepang yang pada
waktu itu juga berkuasa di Bali, di daerah hukum pengadilan Negeri Denpasar
yang meliputi wilayah Kabupaten daerah Tingkat II Denpasar dan Badung, badan
peradilannnya adalah Pengadilan Swapraja , yang disebut Majelis Kerta di
Denpasar atau “Raad Van Kerta” yang langsung diketuai oleh Kepala Swapraja
yang disebut dalam istilah Belanda “de self bestuurder” dan kemudian pada
waktu pemerintahan Jepang (dai Nippon) disebut dengan istilah “Syuco”. Setelah
kemerdekaan RI (RI-RIS) disebutkan“Raja/Ketua Dewan Pemerintah swapraja”.
Pada tahun 1951 dengan berlakunya undang-undang No. I Tahun 1951
dengan dihapuskannya Pengadilan-pengadilan Swapraja, daerah Swanantra di
Bali maupun daerah-daerah lainnya di wilayah Republik Indonesia, maka
45
dibentuklah Pengadilan-pengadilan Negeri salah satunya Pengadilan Negeri
Denpasar.
B. YURISDIKSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR
1. Kewenangan Absolut Pengadilan Negeri
Didalam pasal 50 UU No. 8 Tahun 2008 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang
bahwasanya menyatakan “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di
tingkat pertama.” Jadi dapat diberikan sebuah kesimpulan dasar bahwa semua
perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan Peradilan Umum (asas
lex generalis).50
Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang
menetukan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan
peradilan dalam lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan Asas
Lex Specialis. Maka apabila kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex
specialis asas ketentuan khusus tersebutlah yang lebih di utamakan.51
Kewenangan absolut Peradilan Negeri/umum yang telah di atur dalam
pasal 50 dan pasal 51 UU Nomor 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum),
hanya berwenang mengadili perkara:
50
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia”…..h. 1 Lihat juga Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010) 189 51
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, “Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia”…..h. 1
46
a) Pidana (Pidana umum dan Khusus)
b) Perdata (Perdata umum dan Niaga)52
2. Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang sama
jenis dan sama tingkatan, contohnya: antara Pengadilan Negeri Bogor dengan
Pengadilan Negeri Subang, dan Pengadilan Agama Muara Anim dengan
Pengadilan Agama Baturaja.53
Dan Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan
mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yurisdiksi),
hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara. Ketentuan
umum menentukan gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi
tempat tinggal tergugat (Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg.
Dalam Perkara perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat
(1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989). Dalam istilah lain kewenangan
relatif ini disebut “Distribute van Rechtsmacht”. Pengadilan yang berhak
52
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 50 dan 51. Lihat juga Yahya Harahap,
“Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktiaan, dan Putusan
Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 181 53
Basiq Djalil, “Peradilan Agama di Indonesia: gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syari‟at Islam Aceh” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), h. 146
47
mengadili suatu perkara dalam bahasa latin disebut dengan istilah “Actor
Sequitur Forum Rei”.54
Adapun wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Denpasar yaitu55
:
Denpasar Utara Meliputi Desa/Kelurahan
1. Desa Pemecutan Kaja
2. Desa Dauh Puri Kaja
3. Desa Ubung Kaja
4. Kelurahan Ubung
54
Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktiaan, dan Putusan Pengadilan”, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 190 55
pa-denpasar.go.id/ dan www.pa-badung.go.id/
48
5. Kelurahan Peguyangan
6. Desa Peguyangan Kaja
7. Desa Peguyangan Kangin
8. Kelurahan Tonja
9. Desa Dangin Puri Kauh
10. Desa Dangin Puri Kaja
11. Desa Dangin Puri Kangin
Denpasar Barat Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Padang Sambian
2. Kelurahan Pemecutan
3. Kelurahan Dauh Puri
4. Desa Pemecutan Klod
5. Desa Padangsambian Kaja
6. Desa Padangsambian Klod
7. Desa Dauh Puri Kangin
8. Desa Dauh Puri Kauh
9. Desa Dauh Puri Klod
10. Desa Tegal Kerta
11. Desa Tegal Harum
Denpasar Timur Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Dangin Puri
2. Kelurahan Sumerta
49
3. Kelurahan Kesiman
4. Kelurahan Penatih
5. Desa Penatih Dangin Puri
6. Desa Dangin Puri Klod
7. Desa Sumerta Kauh
8. Desa Sumerta Kaja
9. Desa Sumerta Klod
10. Desa Kesiman Kertalangu
11. Desa Kesiman Petilan
Denpasar Selatan Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Serangan
2. Kelurahan Pedungan
3. Kelurahan Sesetan
4. Kelurahan Panjer
5. Kelurahan Renon
6. Kelurahan Sanur
7. Desa Sidakarya
8. Desa Pemogan
9. Desa Sanur Kaja
10. Desa Sanur Kauh
Kuta Utara Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Kerobokan Kelod
50
2. Kelurahan Kerobokan Kaja
3. Desa Canggu
4. Desa Dalung
5. Desa Tibu beneng
Kuta Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Kedonganan
2. Kelurahan Tuban
3. Kelurahan Legian
4. Kelurahan Seminyak
5. Kelurahan Kuta
Kuta Selatan Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Tanjung Benoa
2. Kelurahan Jimbaran
3. Kelurahan Benoa
4. Desa Pecatu
5. Kelurahan Kutuh
6. Kelurahan Ungasan
Mengwi Meliputi Desa/Kelurahan
1. Kelurahan Sempidi
2. Kelurahan Sading
3. Kelurahan Lukluk
4. Kelurahan Kapal
51
5. Kelurahan Kekeran
6. Desa Cemagi
7. Kelurahan Munggu
8. Kelurahan Pererenan
9. Kelurahan Tumbuh Bayuh
10. Kelurahan Buduk
11. Kelurahan Abian Base
12. Kelurahan Mengwi Tani
13. Kelurahan Mengwi
14. Kelurahan Gulingan
15. Kelurahan Penarungan
16. Kelurahan Baha
17. Kelurahan Werdi Buana
18. Kelurahan Sibongan
19. Kelurahan Sembung
20. Kelurahan Kuwum
Abian Semal Meliputi Desa/Kelurahan
1. Desa Dharma Sabha
2. Desa Sibang Gede
3. Desa Jaga Pati
4. Desa Angan Taka
5. Desa Sedang
52
6. Desa Sibang Kaja
7. Desa Lambing
8. Desa Mambal
9. Desa Abian Semal
10. Desa Dauh Yeh Chani
11. Desa Ayunan
12. Desa Blah Kiuh
13. Desa Punggul
14. Desa Bongkasa
15. Desa Taman
16. Desa Selat
17. Desa Songit
Petang Meliputi Desa/Kelurahan
1. Desa Carang sari
2. Desa Getasan
3. Desa Pangan
4. Desa Petang
5. Desa Sulangi
6. Desa Plaga
7. Desa Belok
53
C. TUGAS DAN FUNGSI PENGADILAN NEGERI DENPASAR
Tugas pokok Pengadilan Negeri Denpasar sebagai Pengadilan Tingkat
pertama adalah menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
perkara di Tingkat Pertama sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka Pengadilan Negeri
Denpasar mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut :
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni memeriksa dan mengadili
perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Tingkat Pertama di
wilayah Hukumnya.
2. Fungsi Administrasi, yaitu menyelenggarakan administrasi umum,
Keuangan dan Kepegawaian serta lainnya untuk mendukung pelaksanaan
tugas pokok Teknis Peradilan dan Administrasi Peradilan.
3. Fungsi pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawabnya.
4. Fungsi Pengawasan internal dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
5. Fungsi penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan
dibidang Tugas dan fungsinya kepada Pengadilan Tinggi Denpasar.
6. Fungsi pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan
petunjuk kepada Pegawai Pengadilan Negeri Tabanan, baik menyangkut
teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum.
54
BAB IV
PRAKTIK PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF STUDI KASUS PENETAPAN
NO. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps. PENGADILAN NEGERI DENPASAR
A. Konsep Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Secara historis, pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum
kerasulan nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi
pengangkatan anak sebenarnya sudah dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa-
bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa
Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan
bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal
dengan at-tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.56
Imam Al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian,
Rasulullah SAW.sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak
angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya
(Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW.dengan nama Zaid bin SAW.
Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumukmkan oleh Rasulullah di depan
kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW.juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid
saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri
56
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 53.
55
Aminah binti Abdul Muththalib, bibi nabi Muhammad SAW. Oleh karena nabi
telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad SAW. 57
Setelah nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat Al-
Ahzab (33) ayat 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak dengan
akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memangggilnya sebagai anak
kandung. Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar
belakang turunya ayat tersebut.
Pengangkatan anak di negara-negara Barat, berkembang setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang kehilangan orang
tua kandungnya karena gugur dalam peperangan, disamping banyak pula yang
lahir diluar perkawinan yang sah. Pengangkatan anak di Indonesia mulanya
dijalankan berdasarkan Stattsblad (Lembaran Negara) tahun 1917 No. 129, dalam
ketentuan ini pengangkatan anak tidak saja berasal dari yang jelas asal usulnya,
tetapi juga anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (tidak jelas asal
usulnya).58
Dalam hukum Islam pengasuhan terhadap anak yang tidak jelas asal
usulnya, termasuk dalam kelompok “anak pungut” al-laqith, yaitu anak yang
dipungut dan tidak diketahui asal usulnya secara jelas, karena bayi itu ditemukan
57
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 23. 58
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 47.
56
di pinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya, maka
nasab anak itu dapat di-nasab-kan dan dipanggil berdasarkan orang tua angkat
yang menemukannya.
Tata cara pengangkatan anak, menurut ulama fikh, untuk mengangkat anak
atas dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak
tersebut dapat mandiri di masa mendatang. Secara hukum tidak dikenal
perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Maksudnya ia tetap
menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya. Dalam arti
berlaku larangan kawin dan tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika
ia melangsungkan perkawinan setelah dewasa, maka walinya tetap ayah
kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum
lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya.
Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung
ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta kedua belah pihak berhak saling
mewarisi. Jika ia akan melangsungkan perkawinan nantinya, maka yang berhak
menjadi walinya adalah ayah angkatnya tersebut,bukan ayah kandungnya. Ada
dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan,
dan dalam hal perkawinan.
Dalam hal kewarisan, menurut ulama fikh, dalam Islam ada tiga faktor
yang menyebabkan seseorang saling mewarisi, yaitu karena hubungan
kekerabatan atau keturunan al-qarabah, karena hasil perkawinan yang sah al-
mushaharah, dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba sahaya (budak)
57
dan wali yang memerdekakannya atau karena faktor saling tolong menolong
antara seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Anak angkat
tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut.diatas; dalam artian bukan satu
kerabat atau satu keturunan dengan orangtua angkatnya, bukan pula lahir atas
perkawinan yang dari orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan
perwalian. Oleh karena itu, antara dirinya dan orang tua angkatnyatidak berhak
saling mewarisi satu sama lain. Jika ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi
hanya berlaku antar dirinya dan orang tua kandungnya secara timbal balik, atas
dasar al-qarabah dan al-mushaharah atau kalau mungkin ada karena saling
tolong menolong dengan yang meninggal semasa hidupnya.59
Namun mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan
orang tua angkatnya, apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat
sendiri, serta memperhatikan jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua
angkatnya, maka Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan bahwa anak
angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Caranya
adalah dengan hibah atau wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya
sebelum meninggal dunia.
Dilihat dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga
pengangkatan anak (tabanni) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan
anak (adopsi) yang dikenal dalam hukum sekuler. Perbedaannya terletak pada
59
A. Azis Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam , (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
jilid. I, hlm. 29-30.
58
aspek mempersamakan anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat
menjadi anak sendiri, memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak
kandung.60
Syekh Mahmud Syaltut, dalam hasil penelitiannya menemukan dua bentuk
pengertian anak angkat yang berbeda, yaitu pertama: “At-Tabanni adalah
seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak
orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak
kandungnya, baik dari kasih sayang maupun nafkah (biaya hidup), tanpa ia
memandang perbedaan. Meskipun demikian agama Islam tidak menganggap
sebagai anak kandung, karena itu ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak
kandung”.61
Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa status anak angkat itu
hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah, kasih sayang, pendidikan,
pelayanan, kesehatan, dan hak-hak asasi anak lainnya, tanpa harus disamakan
hak-haknya dengan status anak kandung, karena hati nurani orang tua angkat
tetap akan sulit memandang sama anak angkat dengan anak kandungnya. Oleh
karena itu, pengertian anak angkat menurut Mahmud Syaltut lebih dekat
pengertiannya kepada pengertian anak asuh yang yang lebih disadari oleh
perasaan seseorang yang menjadi anak angkat.62
60
Adrianus Khatib. Kedudukan Anak Asuh Ditinjau dari hukum islam, Problematika Hukum
Islam Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 158. 61
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1991), hlm. 321. 62
Mufidah Saggaf Al-Jufri. Al-Laqith dan Tabanni, makalah, tp. 2004, hlm. 10.
59
Bentuk pengangkatan anak yang kedua, Mahmud Syaltut memberikan
gambaran sebagai berikut: ”At-Tabanni adalah seseorang yang tidak memiliki
anak, kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal
ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya
sebagai anak sah”.63
Definisi kedua tersebut menggambarkan tentang pengangkatan anak
sebagaimana yang dipraktikkan pada zaman jahiliyah, dan/atau pengangkatan
anak yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa yang mempersamakan status anak
angkat sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orangtua
kandungnya, serta masuk klan (suku) keluarga orangtua angkat dengan memakai
nama orangtua angkatnya. Oleh karena itu, anak angkat berhak menjadi ahli waris
dan memperoleh warisan sebagaimana hak warisan yang diperoleh oleh anak
kandung, sedangkan syariat Islam menetapkan tentang ketentuan pembagian harta
warisan, yang telah digariskan secara qath‟i bahwa hanya kepada orang-orang
yang ada pertalian darah, keturunan, dan perkawinan yang dapat masuk dalam
kelompok ahli waris.64
Pengertian pengangkatan anak semacam inilah yang
dilarang dalam Islam.
Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa dalam lembaga pengangkatan
anak yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah pengangkatan anak yang
dengan sengaja menjadikan anak angkat sebagai anaknya sendiri dengan hak-hak
dan kewajiban yang disamakan dengan anak kandung; diberikan hak waris sama
63
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa. (Kairo: Dar al-Syuruq, 1991), hlm. 322. 64
Lihat. QS. An-Nisa/4: 11, 12, dan 13.
60
dengan hak waris anak kandung, dan orangtua angkat menjadi orangtua kandung
anak yang diangkatnya. Tetapi pengangkatan anak dalam pengertian terbatas
dengan menekankan aspek kecintaan, perlindungan, dan pertolongan terhadap hak
pendidikan anak, nafkah sehari-hari, kesehatan, dan lain-lain, adalah termasuk
dalam ajaran ta‟awun yang oleh Islam justru sangat dianjurkan.65
Allah SWT
berfirman:
… … : (٢)المائدة
“Bertolong-tolonglah kamu dalam hal kebajikan dan takwa, tetapi jangan
bertolong-tolongan dalam hal kemaksiatan dan permusuhan.
B. Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia
Sampai saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang pengangkatan anak, namun praktik pengangkatan anak di tengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya
yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu
masyarakat Indonesia telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan
motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan perasaan
hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.
Pemerintah melalui Menteri Sosial menyatakan bahwa, dalam kenyataan
kehidupan sosial tidak semua orangtua mempunyai kesanggupan dan kemampuan
65
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari TIga Sistem Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), hlm. 53.
61
penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok anak dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan anak. Kenyataan yang demikian mengakibatkan anak menjadi
terlantar baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Sambil menunggu
dikeluarkannya Undang-Undang Pengangkatan Anak, telah ditetapkan beberapa
kebijaksanaan.66
Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1984 proses ke arah
lahirnya Undang-Undang yang khusus membahas pengangkatan anak telah
sedang berjalan, dan yang mengatur ketertiban praktik pengangkatan anak
dilakukan dengan beberapa peraturan kebijakan-kebijakan pemerintah dan
lembaga yudikatif, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah
Agung, dan lain-lain.
Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas pembinaan
teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan dalam bidang
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama pengangkatan anak Warga
Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing tidaklah mencukupi, namun ada
beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi hakim dalam
menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak,
misalnya67
:
66
Republik Indonesia. Keputusan Menteri Sosial Nomor 41 Tahun 1984, tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, Bagian I, Umum. 67
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 204-205.
62
1. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur
masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang
ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, tentang
Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan
permohonan pengesahan dan/atau permohonan pengangkatan anak,
memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.
4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Juni 1984.
5. Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang Perlindungan Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 22 Oktober
2002.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005, tentang
Pengangkatan Anak, berlaku mulai Februari 2005, setelah terjadinya
bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh
dan Nias, yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak
yang kehilangan orangtuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing
untuk mengangkatnya sebagai anak angkat oleh LSM dan Badan Sosial
63
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak
tersebut.
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49
huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: “… penetapan
asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam.”
8. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti
oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara
yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai
sekarang.
Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung RI, menemukan fakta
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur, tata cara
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan permohonan
pengangkatan anak dipandang belum mencukupi, maka Mahkamah Agung
sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat edaran yang
menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur prosedur dan syarat-
syarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.
64
Disamping hukum acara yang berlaku, prosedur dan syarat-syarat
pengangkatan anak secara teknis telah diatur dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983
tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan
Anak.68
Prosedur pengangkatan anak baik antar-WNI, ataupun antar-WNI dan
WNA akan diuraikan sebagai berikut:
1. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak Antar-
Warga Negara Indonesia (WNI)
Prosedur menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan
pengangkatan anak antar-WNI harus diperhatikan tahapan-tahapan dan
persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat dan Bentuk Permohonan
1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila
ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan
undang-undangnya.
3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis bedasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
68
SEMA No. 6 Tahun 1983
65
5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang
beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya
diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
pemohon.
b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1. Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara
jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak.
2. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau
kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang
memberikan kesan bahwa calon orangtua angkat benar-benar
memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak
angkat menjadi lebih baik.
3. Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu
hanya memohon “agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak
angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar
anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
66
c. Syarat-Syarat Permohonan Pengangkatan anak Antar-WNI
1. Syarat bagi calon orangtua angkat/pemohon, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orangtua
kandung dengan orangtua angkat (private adoption)
diperbolehkan.
b) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terikat
dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption)
diperbolehkan.69
c) Calon orangtua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.70
2. Syarat bagi calon anak angkat
a) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan
sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa
yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang
kegiatan anak.
b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial,
maka harus mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau
pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk
diserahkan sebagai anak angkat.
69
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002, pasal 39 Ayat (3). 70
SEMA No. 6 Tahun 1983.
67
2. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak WNA
oleh Orang Tua Angkat WNI (Intercountry Adoption)
a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA
1) Surat permohonan bersifat voluntair.
2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata
telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-
undangnya.
3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya.
5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi
domisili anak WNA yang akan diangkat. Pemohon yang beragama
Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan
berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNA yang
akan diangkat.
b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNA
1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara
jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak.
68
2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan
calon anak angkat WNA yang bersangkutan, didukung dengan uraian
yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar
memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak
angkat menjadi lebih baik.
3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu
hanya memohon ”agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak
angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak
bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNA
1) Pengangkatan anak WNA harus dilakukan melalui suatu yayasan
sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan
tersebut telah diizinkan bergerak di bidang pengangkatan anak,
sehingga pengangkatan anak WNA yang berlangsung dilakukan antara
orang tua angkat WNI dengan orang tua kandungnya WNA tidak
diperbolehkan.
69
2) Pengangkatan anak WNA oleh seorang WNI yang tidak terikat dalam
perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption) tidak
diperbolehkan.71
3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.72
d. Syarat bagi calon anak angkat WNA
1) Usia anak angkat harus mencapai 5 tahun.
2) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang
ditunjuk bahwa calon anak angkat WNA yang bersangkutan diizinkan
untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua WNI yang
bersangkutan.
3. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Pengangkatan Anak WNI
oleh Orang Tua Angkat WNA
a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan Pengangkatan Anak WNI
1) Surat permohonan bersifat voluntair.
2) Permohonan seperti ini dapat dilakukan secara lisan sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama.
Permohonan juga dapat diajukan secara tertulis.
71
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002. Pasal 39 Ayat (3). 72
SEMA No. 6 Tahun 1983.
70
3) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata
telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-
undangnya.
4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri atau oleh kuasa hukumnya. Dalam hal
didampingi/dibantu kuasa hukumnya, calon orang tua angkat harus
tetap hadir dalam pemeriksaan di persidangan.
5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi
domisili anak WNI yang akan diangkat. Pemohon yang beragama
Islam yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan
berdasarkan hukum Islam, maka permohonannya diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal anak WNI yang
akan diangkat.
b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara
jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak.
2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan
calon anak angkat WNI yang bersangkutan, didukung dengan uraian
yang memberikan kesan bahwa calon orang tua angkat benar-benar
71
memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak
angkat menjadi lebih baik.
3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu
hanya memohon ”agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak
angkat dari B”. tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak
bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari B”.
c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak WNI oleh Orang Tua
Angkat WNA
1) Syarat bagi calon orang tua angkat WNA/pemohon, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a) Harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun.
b) Harus disertai izin tertulis Menteri Sosial atau pejabat yang
ditunjuk bahwa calon orang tua angkat WNA memperoleh izin
untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak seorang Warga
Negara Indonesia.
c) Pengangkatan anak WNI harus dilakukan melalui suatu yayasan
sosial yang memiliki izin dari Departemen Sosial bahwa yayasan
tersebut telah diizinkan begerak di bidang kegiatan pengangkatan
anak, sehingga pengangkatan anak WNI yang langsung dilakukan
72
antara orang tua kandung WNI dan calon orang tua angkat WNA
(private adoption) tidak diperbolehkan.
d) Pengangkatan anak WNI oleh seorang WNA yang tidak terikat
dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent adoption)
tidak diperbolehkan.73
e) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.74
2) Syarat bagi calon anak angkat WNA yang diangkat
a) Usia calon anak angkat harus belum mencapai umur 5 tahun.
b) Disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang
ditunjuk bahwa calon anak angkat WNI yang bersangkutan
diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua
angkat WNA yang bersangkutan.
C. Analisis Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
1. Duduk Permohonan
Dalam penetapan ini yang dianalisis adalah perkara pengangkatan
anak yang diajukan oleh Nuryani Rosalinda adalah seorang yang berjenis
kelamin perempuan yang lahir di Banyuwangi pada tanggal 25 Juli 1980, dan
73
Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 39 Ayat (3). 74
Republik Indonesia. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 54.
73
beragama Islam yang bekerja sebagai wiraswasta, yang beralamat di Jalan Poh
Gading I Lingkungan Kalang Anyar, Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, Provinsi Bali Telp. Nomor: 081337643660, dan yang disebut sebagai
pemohon.
Yang tentang duduknya permohonan, sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon belum pernah menikah dan bekerja swasta;
2. Bahwa Pemohon berniat mengangkat seorang anak laki-laki yang
bernama Gavin Robert Pratama yaitu anak dari seorang ibu yang
bernama Tina Yulia Novanda dan sekarang anak tersebut juga
belum mempunyai akte kelahiran;
3. Bahwa anak tersebut sejak dari kandungannya telah Pemohon biayai
sampai anak tersebut lahir dan oleh karena Ibu anak tersebut tidak
bekerja dan menyatakan tidak sanggup untuk memeliharanya, maka
pemohon mengangkatnya;
4. Bahwa untuk kelangsungan hidup anak tersebut dikemudian hari dan
anak tersebut dari lahir telah Pemohon pelihara sampai dengan
sekarang;
5. Bahwa untuk sahnya dan setelah Pemohon menanyakan ke Kantor
Catatan Sipil disarankan untuk mengajukan permohonan ini di
pengadilan;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tesebut diatas maka Pemohon
mengajukan Permohonan ini ke hadapan Yth. Bapak Ketua Pengadilan Negeri
74
Denpasar agar dalam tenggang waktu yang tidak begitu lama dapat
menetapkan hari sidang dan memanggil Pemohon dan setelah pemeriksaan
dianggap selesai agar menjatuhkan Putusan/Penetapan sebagai berikut:
a. Mengabulkan Permohonan Pemohon;
b. Menyatakan sah pengangkatan anak laki-laki yang bernama Gavin
Robert Pratama yang lahir di Denpasar pada tanggal 7 Desember
2012;
c. Memberikan izin kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan
Sipil Kabupaten Badung untuk mendaftarkan tentang pengangkatan
anak laki-laki yang bernama Gavin Robert Pratama.
2. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim dalam Menetapkan
Perkara No. 1.051/Pdt.P/2013/PN.Dps.
Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Tuhan sebagai
jalan bagi manusia untuk mempunyai anak sebagai keturunannya, karena
hidup bersama dalam suatu perkawinan belum dikatakan sempurna apabila
sepasang suami istri belum dikaruniai keturunan (anak), sebab anak
merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan yang Esa yang dalam dirinya
melekat harkat, martabat dan hak-hak yang harus dijunjung tinggi.
Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang
terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. akan tetapi tidak selalu ketiga unsur
75
ini terpenuhi, karena ada keluarga yang tidak mempunyai atau belum
memiliki anak. Sebab seorang anak merupakan generasi muda penerus bangsa
yang memiliki peran penting dan vital serta untuk menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan Negara di masa depan.
Oleh karena itu, apabila ada keluarga, suku atau kerabat yang
khawatir menghadapi kenyataan tidak mempunyai anak, maka berbagai usaha
akan dilakukan. Untuk menghindari hal tersebut, salah satu usaha yang
mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak.
Dalam perkara pengangkatan anak No. 1.051/Pdt.P/2013/PN. Dps.
yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Denpasar, hal itu telah sesuai dalam
Pasal 39 UU No. 23 tahun 2002 bjahwa:
“Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pengangkatan anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, Calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat, pengangkatan anak oleh warga negara asing dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.”75
Berdasarkan pada proses pembuktian dalam persidangan, majelis
hakim juga sudah mengacu pada SEMA No. 3 Tahun 2005 Tentang
Pengangkatan Anak yang menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.76
75
Lihat Pasal 39 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 76
Lihat Poin 1 pada SEMA Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak.
76
Dan majelis hakim pengadilan negeri tersebut juga mengacu pada PP
Nomor 57 Tahun 2007 Pasal 13 yang menjelaskan bahwa syarat-syarat orang
tua angkat adalah:
a). Sehat jasmani dan rohani; b) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c). Beragama sama
dengan agama calon anak angkat; d) Berkelakuan baik dan tidak
pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e) Berstatus
menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f) Tidak merupakan pasangan
sejenis; g)Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak; h) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i)
Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak; j) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan
anak; k) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l) Telah
mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin
pengasuhan diberikan; dan m) Memperoleh izin Menteri dan/atau
kepala instansi sosial.77
Dengan mengacu pada peraturan tentang persayaratan bagi calon orang
tua angkat diatas, perkara pengangkatan anak tersebut telah mencakup
beberapa poin dari Pasal 13, namun terdapat beberapa poin pula yang tidak
77
Lihat Pasal 13 PP Nomor 57 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
77
terakomodir. Dalam surat permohonan pada kasus ini, pemohon berstatus
belum pernah menikah. Sedangkan dalam ketentuan diatas disebutkan bahwa
pemohon harus berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun (poin e). Dan
tidak terdapat dalil bahwa pemohon wajib memberitahukan status anak yang
akan diangkat. Bahkan dalam Pasal 13 huruf k, j dan m menyatakan perlunya
laporan sosial bahwa calon orang tua angkat itu telah mengasuh anak angkat
tersebut sejak izin pengasuhan diberikan dan memperoleh izin menteri
dan/atau kepala instansi sosial. Ketentuan diatas, tidak terlaksana dalam kasus
ini. Hal ini dikarenakan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemohon secara
langsung. Hakim seharusnya memerintahkan dinas sosial setempat untuk
melakukan pengecekan. Tapi sayangnya, dalam kasus ini hakim
mengeluarkan penetapan tanpa memeriksa ulang berbagai ketentuan yang
seharusnya dipenuhi oleh orang tua angkat.
Kemudian jika dilihat bahwa pemohon adalah orang yang beragama
Islam dan wajib bahkan ada ketentuan harus mengajukan Permohonan
tersebut ke Pengadilan Agama. Sedangkan dalam kasus ini Pengadilan Negeri
telah mengambil kewenangan Pengadilan Agama mengenai kewenangan
Absolute Peradilan Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang telah di Amandemen ke Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama yang telah jelas disebutkan di Pasal 2 yang
berbunyi:
78
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”78
Adapun perkara tertentu itu adalah tercantum dalam pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang mengatakan bahwa:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang: a). perkawinan79
; b). warta; c). wasiat; d. hibah; e.
wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.”
Sehubungan dengan hal ini dikalangan Hakim Pengadilan Negeri
terdapat 2 (dua) pendapat yang berbeda terhadap permohonan pengangkatan
anak:
Pertama: sebahagian hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa dan memutus permohonan pengangkatan anak bagi
pemohon yang beragama Islam. Dalam permohonan pengangkatan anak yang
diajukan oleh Pemohon beragama Islam ke Pengadilan Negeri tersirat tujuan
untuk menjadikan anak angkat itu sama kedudukannya dengan anak kandung
dan berhak mewaris.
78
Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 di Amandemen Ke Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009
79
Dalam permasalahan perkawinan tersebut terdapat pada poin (t) penetapan asal usul anak
dan pengangkatan anak (Lihat Pada Bab III sub Kewenangan Absolut Peradilan Agama dan Peradilan
Negeri)
79
Kedua: sebagian Hakim lagi berpendapat bahwa Pengadilan Negeri
hanya berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak yang diajukan
oleh pemohon yang beragama selain Islam, Sedangkan untuk yang beragama
Islam sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, berlaku asas
personalitas Islam sehingga permohonan itu harus diajukan ke Pengadilan
Agama.
Dengan adanya perbedaan pendapat di antara para Hakim ini, maka
ada dua bentuk penetapan yang dikelaurkan hakim terhadap suatu
permohonan pengangkatan anak. Pertama, permohonan dinyatakan tidak
dapat diterima, karena menurut Hakim yang menyidangkan Pengadilan Negeri
tidak berwenang mengadili, dan kedua permohonan dikabulkan sesuai dengan
pendapat Hakim tersebut bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili
permohonan pengangkatan anak tersebut. Hal ini jelas dapat menimbulkan
tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat.
Padahal sesuai dengan teori tujuan hukum, tujuan dikeluarkannya
hukum salah satunya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat. Hakim sebagai pelaksana undangundang harus menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten. Yang menjadi kata kunci
dalam menjaga terciptanya kontinuitas kepastian hukum berada ditangan
hakim. Ditangan hakimlah hukum itu menjadi hidup dan dijalankan sehingga
tercapai kepastian hukum. Dengan adanya hukum yang baik dan dijalankan
80
oleh hakim yang baik pula diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian
hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang dibeberapa Pengadilan
Negeri ternyata sebagian besar hakim-hakim Pengadilan Negeri berpendapat
bahwa walaupun UU No. 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan
kepada Pengadilan Agama untuk mengadili permohonan pengangkatan anak
berdasarkam hukum Islam, Pengadilan Negeri masih mempunyai kewenangan
untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama
Islam. Hanya sebagian kecil hakim yang secara tegas menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengadili
permohonan pengangkatan anak. Dapat disimpulkan bahwa ternyata
kebanyakan Hakim Pengadilan Negeri lebih tunduk pada Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Adminstrasi Peradilan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung dari pada ketentuan Undang-undang.
Sesuai dengan teori kewenangan, masing-masing badan peradilan telah
mempunyai kewenangan atribusi untuk memeriksa dan memutus perkara yang
dihadapkannya kepadanya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 25
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan Pengadilan Agama
mengadili permohonan pengangkatan anak lebih dikhususkan lagi
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 beserta penjelasan UU No. 3
Tahun 2006. Sesuai asas lex specialis derogat lex generalis (hukum yang
khusus mengalahkan hukum yang umum) seharusnya UU No. 3 Tahun 2006
81
lebih didahulukan dari pada UU Kekuasaan kehakiman sebagai UU yang
bersifat umum.
Jika dihubungkan dengan teori tujuan hukum, kelompok Hakim yang
berpendapat bahwa Pengadilan Negeri masih berwenang mengadili
permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam, lebih
berpegang pada teori kemanfaatan (utilities theory) karena lebih menitik
beratkan pada tujuan kemanfaatan diajukannya permohonan pengangkatan
anak bagi pemohon, sedangkan bagi hakim yang berpendapat bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak bagi
pemohon beragama Islam adalah Pengadilan Agama lebih mengutamakan
kepastian hukum disamping kemanfaatan dan keadilan hukum.
Sesuai dengan asas prioritas yang diajarkan oleh Radburch bahwa
tujuan hukum itu tidak dapat dicapai ketiga-tiganya sekaligus, namun
diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu,
dan sesuai dengan pendapat Achmad Ali urutan prioritas tersebut tidak harus
berturut-turut keadilan dulu, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum,
melainkan lebih realisitis jika urutan prioritas ditetapkan secara kasuistis
sesuai dengan kasus yang dihadapi.80
Untuk kasus kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak
ini maka yang dikedepankan terlebih dahulu adalah tentang kepastian hukum,
80
Lihat Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman
Awal, (Jakarta, Kencana 2009),h. 20
82
karena kepastian hukum sangat diperlukan masyarakat untuk menentukan ke
pengadilan mana permohonan pengangkatan anak harus diajukan.
Dengan berlakunya UU Peradilan Agama yang baru, maka Pengadilan
Negeri tidak lagi berwenang untuk mengadili permohonan pengangkatan anak
yang diajukan oleh pemohon beragama Islam. Pengadilan Negeri hanya
berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemeluk agama
selain Islam.
Kemudian jika dilihat dari perspektif hukum Islam, ada beberapa hal
juga yang ditabrak oleh pemohon maupun majelis hakim. Dalam hukum Islam
anak angkat harus dipanggil sesuai dengan nama ayah kandungnya.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Azhab ayat 5 yang
berbunyi:
… ٥
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah SWT.”
Dan juga haram (dilarang) mengalihkan nasab anak angkat kepada
ayah angkatnya berdasarkan Hadits Rasulullah riwayat Bukhori Muslim
tentang Zaid bin Harisah, anak angkat Rasulullah yang semula di panggil Zaid
bin Muhammad SAW, sehingga menjadi sebab nuzul ayat 5 Al-Ahzab
tersebut diatas, kemudian Rasulullah bersabda kepada Zaid :engkau adalah
Zaid bin harisah. Sedangkan di dalam surat penetapan yang yang ditetapkan
oleh Pengadilan Negeri Denpasar tersebut, majelis hakim memberikan izin
83
kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Badung
untuk mendaftarkan tentang pengangkatan anak tersebut.
Menurut hemat penulis, majelis hakim yang menyidangkan perkara
pengangkatan ini, belum sepenuhnya mengacu pada peraturan yang ada, khususnya
peraturan pemerintah No. 54 tahun 2007 Tentang Pelaksanaan pengangkatan Anak.
sehingga, berdasarkan tinjauan yuridis diatas, apabila dikaji lebih jauh, majelis hakim
sebaiknya tidak mengabulkan permohonan penetapan ini, dikarenakan ada beberapa
hal yang mendasar yang tidak dipenuhi oleh Pemohon. Dan juga majelis Hakim telah
mengambil kewenangan Absolut Pengadilan Agama.
84
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, mengenai
Penetapan Pengangkatan Anak Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009, maka penulis beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Bahwa Penetapan pengangkatan anak yang terjadi di yuridiksi Peradilan
Agama adalah berdasarkan dengan hukum Islam yang padanya tidak
memutuskan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya, hanya saja konsep hadhanah yang diperluas.
2. Bahwa jelas penetapan pengangkatan anak yang terjadi di yuridiksi Peradilan
Negeri memutuskan hubungan antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya bukan hanya itu saja dalam pengangkatan di Pengadilan Negeri
anak angkat juga mendapatkan hak waris sebagaimana hak waris anak
kandung dan akan berakibat hukum yang sangat bertentangan dengan hukum
Islam dalam surat Al-ahzab ayat: 4, 5 dan 37.
3. Bahwa setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang di
amandemen ke Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama, berhak menerima dan memeriksa serta memberikan putusan/
penetapan sesuai dengan hukum Islam, dan Pengadilan Negeri sudah tidak
dapat menerima dan memeriksa serta memutuskan bagi orang yang bukan
85
beragama muslim berkaitan dengan Pengangkatan Anak karena akan
menimbulkan akibat hukum yang berbeda.
B. SARAN
Setelah menelaah yang terdapat dalam tulisan ini, maka ada beberapa hal
yang penulis rekomendasikan antara lain:
1. Setiap pengangkatan anak yang telah dilakukan oleh pengadilan agama
maupun pengadilan negeri seharusnya mempunyai kepastian hukum penulis
melihat bahwa ketika Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terutama
dengan masalah Usia Pengangkatan Anak yang tidak diberikan batasannya.
Seharusnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
mengenai Usia anak yang boleh dijadikan anak angkat.
2. Tidak tegas dan Tidak jelas pengaturan tentang pembagian kewenangan
mengadili antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama untuk memeriksa
dan mengadili permohonan pengangkatan anak menimbulkan persepsi yang
berbeda dikalangan hakim yang menangani permohonan pengangkatan anak.
Untuk mengatasi hal tersebut agar pembuat UU membuat peraturan yang
tegas tentang pembagian kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri
dengan Pengadilan Agama terhadap permohonan pengangkatan anak,
sehingga terdapat kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum .
86
3. Sementara belum ada aturan undang-undang yang tegas tentang pembagian
kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama
Islam, agar Mahkamah Agung sebagai induk dari empat lingkungan peradilan
membuat peraturan teknis tentang pelaksanaan kewenangan mengadili antara
peradilan yang berada dibawahnya, namun aturan tersebut harus sesuai
dengan asas hukum dan peraturan perundang-undangan dan tidak boleh
bertentangan dan menyimpang dari aturan hukum yang lebih tinggi.
4. Pihak pemohon selaku pemeluk agama Islam sebaiknya mengerti tentang
wewenang absolute yang ada di lingkungan peradilan, bahwa seorang muslim
haruslah mengajukan perkara perdatanya ke Pengadilan Agama. Bukan lagi
ke Pengadilan Negeri.
5. Pemohon tidak mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kepala Kantor
Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten Badung, agar status anak yang
diangkat tidak menjadi anak kandung.
6. Secara hukum fikih, sebaiknya pemohon tetap mematuhi rambu-rambu
hukum fikih yang berlaku untuknya, seperti tidak mengalihkan nasab anak
angkat kepada orang tua angkatnya, memanggil nama anak angkat tersebut
sesuai dengan orang tua kandungnya, dan lain-lain.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Echols, John H dan Hasan Sadilly, Kamus Inggeris-Indonesia, Jakarta:
Gramedia 2004
Kalid, Muhammad Khalid, 60 Sirah Rasulullah SAW, Jakarta: Al-I’tishom
Cahaya Ummat, 2007
Martosedono, Pengangkatan Anak dan Masalahnya, Dahara Prize, Semarang,
1997
Meliala, Jaja S., Pengangkatan Anak ( Adopsi ) di Indonesia, Bandung: Tarsito,
1982.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 1978
Razak, Nazarudin, Dienul Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1973
Rosyanda, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996
Saragih, Djaren, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1984
Siregar, Bismar, Islam dan Hukum, Jakarta: Grafikatama Jaya: 1991
Soedharyo, Soimin, Himpunan Dasar Pengangkatan Anak, Jakarta: Sinar
Grafika, 2004
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006
Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung,
Bandung: Alumni, 1991
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003.
Sutha, I Gusti Ketut, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat, Yogyakarta:
Liberty, 1987.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji
Masagung, Jakarta, 1987
Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
88
Ka’bah, Rifyal, Pengangkatan anak Dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan
Akibat Hukumnya, Varia Peradilan tahun ke-XXI No. 284.
Sugondo, Lies, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata Nasional Yang
Berspektif HAM, Suara Uldialag vol 3 No X.
rr
Br 1e66ue1 eped reseduaq l.re6aN uelrpe6ua6 ueeralluedey lp
uelrelJeplp qelal 6ue^ EI0Z .raqtualdes 11 le66ueuet e{uueuoqouilad
leJns uelnfebuau qela] uoLloruad eMqeq ,6uequrguayl
:
I ue6uep;sladlp
ueln[e;p 6ue{ l])nq lerns-Jerns ll!lauaur uep lprlllau qplates
I ;s1es-;s)es uep uoL{otrled ue6ue;a1e1 lebuepuau qelales
I uoqoulad ueuoLlorulad leJns-leJns pf,eqruatrt Llelales
1 lnqasral IUJgtN N\flICV9Nld
il[Cimffiil : rebeqas lnqastp
eAulnfueles 6ue{ ISZ11ZL6LTBO'OggEVgLEEIB0
: JotuoN 'dlet uelelas eln) , uelequtrg
re{uy 6ueiey ue6un16ug1 1 bu1pe9 Llod elei
!p lptrleleJaq uelsl eue6y , elsennse.r;6 ueef-ra1ad
'unqe1 tE JnuJn 0B6Mnt SZ ,rbuennn{ueg
: rlLlel le66uel / 1edua1 uenduale6
: eruueuoqourad urelep ln)uoq lebeqes uedeleuad llqureOueru
qelal eueyad 1e16u;1 uellpe.red ulelep ueuoqouued elepjed elelled
ll!pebueu uep es)Uaruau 6ueA ;eseduaq prabap ueggpe6ua6
'vs!l vHvl^l 9NVA NVNVHflIf) NV)IEVSVCIEEIE
ffi'ssq 'Nd / EIoz I d'tpd / Iso.r : rou,toll
ffi
F["
uoqourad ueuoLloutJed ue)lnqebuaN .I
: ln>llJaq !e6eqes
uedeleuad/uesnlnd ue)Llnle[uau re6e leseles de66ue;p uees>luaurad
qeleles uep uoLlouad ;l6ueuraur uep 6uep1s ueq ueldelauaur ledep
eruel n116aq )ep!] 6uer nlreM 6ue66ual uelep le6e leseduaq ua6ep
ue;1pe6uad enlo) ledeg 'q11 uedepeq al !u! ueuoqourad uelnfebuau.r
uor-{oruad e>leu sele!p lnqesJel uesele-uesele ue)JesepJeq eMLleg
1ue;;pe6ue6
!p !u! ueuoqouuad uelnfebueur )n]un upluerpslp l!dls uelelef
Jolue) el uele{ueueu uoL.lorued qelales uep e{uqes >lnlun eMLleg .s
l uele>1es
uebuap ;edures ereqr;ed uoqourad qelal Jlllel lJep lnqasral )eue
uep ueq uelpnua>lrp lnqaset leue dnptq ue6uns6uela) )nlun eMqeg .t
1 e{u1e>1 6u eOueur uoL.loruad
ereu 'eAuereqllaurau )nlun dn66ues repll ue1e1e{uaru uep e[.re)eq
)ep!l lnqesJol >leue nql eueJe) qalo uep Jlqel lnqesrel )eue redues
;e{e;q uoqoulad L{elol eAuue6unpue) uep >1etas lnqasial reue eMqeg .E
luelrqela) el)e
;e{undutaul unleq e6nt lnqaslal )eue Ouelelas uep VCINVAON VnnA
VNII nq1 bueloas rep 1eue nt!e{ VL{V1VUd jUlgOU NIAV9 pueureq
6ue{ lrpl-)el reue 6ueroas 1e>;6ueOuaur lerureq uoLloued eMr,leg .z
lelsenns ela1aq uep qe)ruau qeurad urnlaq uor.{orued eMqeg .I
: ln)ueq ;e6eqas leq-lel{ uele)nula6uaur uebuap , .sdq.
Nd / €.T02 / 4Wa / 16O.I : rorrroN .re1sg6e5 qeMeqlp ttOZ .raqualdag
I
lS-a epuet Uaqtp IIVAVrIM )IIII'ue reue ;sdopdebuaur >lnlun ueleJaqe) lep[ ueeleAura6 ]eJns
!V-a epuet Uaqlp INIJ-UVHnS
'ue )eue rsdopdebuauu )nlun ueleraqa) )eplr ueele{u;e6 lerns
19-6 epuet Uaqtp VCNITVSOU INVAU1N uV 61y {do3 o1o3
--! 7- d epuel Uaq!p ' qOOZ la6 EZ le66uelral
9002/dSIA/IU V/TgtZOO .oN uelLlele) at)V uedrlny {docotoJ
I-d epuel uaqlp
ZT0Z leqLuesa6l €I le66ueyel )eue ueqeleAurad lernS Adoc olol .I
:mtrislmris
: ednraq ll)nq-ll)nq uelnfebuau qele] uoL{oulad 'eAuueuoqouued
lllep-lllep uellenbuau )nlun eMLleq ,6uequr1ue6
i e{uueuoqouuad
eped ue1;eqled epe ueleleAuaur uor.loruad ,ueleceqlp ueuoqouuad
qelelas uep ueouep;slad plnual tJtpues depeqouaur 6ue1ep uor.louad
ue1de1e1;p qelal 6ue{ 6uep;s UeLl eped eMqeq ,6uequgua6
I uoqoura6
epedal !u! ueuou:rad teql)e lnquol 6uert e{e;q ub)ueqaque6 .v
lZt1Z raqruasa6 1 1e66uet eped ;esedua6 !p rlqel 6ue{ VNVIVUd
IUJ€1OU NIAVS erueuraq 6ueA t)el-!lel >leue uetele)ue6uad
6ue1ua1 uelrplJepueu )nlun 6unpeg ualednqey lldls
uelele3 uep ue)npnpuaday rolue) eleday epedel ulfl uaquja6 .E
lZt1Z raquasa6
4 1e66uet eped ;eseduag !p rlqel 6ue{ VNVIVUd lUlgOU NInVg
erueuraq 6ueA !)el-!)el )eue uele>16uebuad qes uele1e{ua61 .Z
's
'b
'€
'z
1 1s1eg pJepnes qelepe uoLloruad eML1eg
Ulpuas nll )eue ue)lplpued uep uedap eseut
lnlun lnqasJel Ieue uelelbuebuad uelnfebuau uor]oued eMqpg
lueleraqal 6ue{
e6;en1a1 epe lep!1 'lnqaslal )eue uele>16ue6uad depeq.ral eML{eg
!ZyOZ raquase6 / le66uel
eped reseduag lp rlqel 'VNVIVUd IUI€1OU NIAV9 eueu Uaqlp
6ue{ !)el-llel leue 1e16ue6uau L{epns uotloued leuaq eMl{eg
I qe>11uaur unleq !u! lees ledures uorloued Jeueq eMLleg
i uoqourad Uep bunpuel >lele) qelepp !s)es eueullp eblenlal
ue6unqnq epe upp uor.louad uebuap leua) ls>les reuaq eMqe€
I ;s1e5 erepnes qelepe uoqouad eMqeg
:IIV'NVUS.INVIUNS IS)VS'I: etrleuJeq 6u;seur-6u;seu'qeduns qeMeqtp uebuelalal ue>llJequleut
6uer( !s)ps 6uero ( enp ) Z ue)nfebuaur L]elel uor,lorued uebuep;s.rad
urelep!p lnqasJel !l)nq lelns-lerns ulelas eMqeq '6uequrgua6
I qes lllnq 1e1e re6eqas 1e-reAs lqnueuau.r qelai e66ulqas ' rensas
eleAural eAurlse !l)nq uebuap uelolollp qelal eyas dnlnr !eJalerrlreq
qelel uep 'g1q1allp uep esluad;p qelal euput lllnq Jelns-lerns uenfebuad
0I-d epupt Uaqlp e6:en1ey ntre) {do3 otoJ '6
B-d epuel Ueqlp OfDnI'uV uerletla) uebuerale) Jerns ldo3 olol 'B
Z-d ppuet Uaqlp VCINITVSOU INV UnN uV uelqelo) aUV Ado3 otoJ '/
lg-a Ppuet Uaqtp INVAUnS )nn'ue )eue lsdopdebuetu )nlun uelereqe) Ippll ueeleAula6 lelnS '9
IZyOZ raquesaq / le66uel
eped reseduaq lp rlqel 'VNVIVUd lUlgOU NIAV9 eueu Ueqlp
6ueA !)el-!)el leup lelbuebuaur qppns uoqoued Jeueq eMqeg
1 qelguaur ulnleq lu! lpes gedures uot{otuad Jpueq eMqeg
: ln)tJoq
;ebeqes el)eJ-elleJ qa;oladureul uellpebua6 uebuepgs.rad;p uoqoruad
Llalo ue>1nte;p 6uer( stlnilal ll)nq-lllnq eues !qes-!qes ue6uelala>g
uep uor.lor.ue6 uebueJale) lebuapueu L{elelas eMLleq ,6uequtlue6
1 selelp lnqaslal eueur;ebeqes qelepe
uoqoued ueuoqoul;ad uenfnl uep pns)euJ eMr.{eq ,6uequrua6
ffi1 uellpe6ue6
Uep uedelaua6 uoqou uoLloued eAu.r;q1e eMqeq ,buequlua6
1 ;ur uedelouad ruelep >lnseu de66uerp uep uebueplsled
erpf,e eluaq uelep teqlltp ledep !u! ere)rad uelep ge;pe[a1 e;e6as p)eu
lul uedeleued ueteJn le)6uls.reduraur )nlun eMqeq ,6uequrguayl
Ulpues nlt )eue ue)lplpuad uep uedep eseut
)nlun lnqesJol )eue ue1e16ue6ue6 uelnfe6uau uor1oued eMr.1eg
lueleleqal 6ueA
e6ren1a1 epe )ep!1 'lnqaslol )eup uele>16uebued depeq-ra1 eMqeg
lZt1Z raqruase6 Z le66uel
eped resedua6 !p rlqel 'VNVIVUd t_UJgOU NIAV9 eueu Uaqtp
6ue{ l)el-llel )eue 1el6ue6uaur Llepns uorloruad reueq emqeg
I qe1;uau rrlnlaq !ul lees ;edures uotloruod Jeuaq eMqpg
I uoqouted Uep bunpuel )ele),1 L{elppe lsles eueulp e6len;a1
uebunqnq epe uep uorloued uebuap leuo) !s)es leuaq eMqeg
ledueu L{elel uep upq uelpnrue)lp lele) lnlun lnqasrol >leue uednptLla)
upp dnprq ueouns6uelel uebu;1uada1 1n1un ruep e)pru ,se1e1p lnqesJal
ue6ueqtulilad Uep ue;[e1 ue)lesppraq eMLleq ,6uequlua6
lnqesJal )eue uednprqe) uep dnptq re^elqureu )nlun ndureu.r
6uepuedlp uoqoruad eMLleq ueselereq dnlno L.lepns e>leu ,efua>1aq
ebnf uoqoruad eupulp ueL{-ueqas uednprqe) uelep eMqeq '6uequr1ua61
6uerelas !edues rJrpuas eAubunpue>1 )eue llradas uoLlorued qelo
)!p!plp undneur qnselp 'eleq1;ad!p lnlun e^uu6unpue>1 en1 6ue:o qelo
selql! eJef,as ue)Lleleslp Llelal lnqasral )eue euerrJlp ' zroz reqruesec
L0 1e66ue1 1e[as ]nqaslal leue lnse6uaul Llelal uoqoutad eMqeq
1edue1 'se1e;p lnqaslol elleJ ue)Jeseplaq eMqeq ,6uequ1ue6
I 1;.rrpuas n1l 1e16ue )eup uep rrln)nq JnJnuau
ulel leq - )eq uep uedap eseut e{uu1ue[:a] )nlun Llelepp lnqasJel
)eue ue1e16ue6ued uen[n1 uep le)e)eq emqeq ,6uequrrua6;
I peq uelpnue)tp tnqasrel )eue
Uep ulel )eq )pq uep uedap eseul ,urnlnq ueqlsedel e{uurr.ue[.ra1
)nlun lnqeslel >leue 1e16uebuaur uoLlorrlod uen[n1 eMqeg
I lnqas;el )eue
6unpuel en1 6ue;o lebeqas eAuleAel lnqaslel 1e16uerp 6ueA )eue
depeqral eAuueqlfeMe) up>leueslelau dnbOues uor.loruad emLlpg
I lnqeslel )eue uelel6uebuad
ue6uap nln1as rjelal uor]ouad Jesaq e6.ren1e1 enLues Jeuaq eMqeg
I rtuouo>1a 16es undneu ue)lplpued !6as uep >l!eq lnqasral >leue
snlnbueur lnlun ndureur de66uerp uoqoued uednprqa>1 reuaq emqpg
lr.lpuas elu6unpue) )eue ;ebeqas ue1n1e1_redlp
lnqesral )eue uep ndueu de66uelp uoqotued uednplqal emqeg
lqerdn.r nqrJ [!eue qnlnd ureua snlelag) -'000'99T'u Jeseqes uoqourad
epeda>1 lul ueuoqouled leql)e lnqulll 6uer( elerq ue)ueqaqura6 .,
1n1r 1n1un ue))nlun:adlp
6ue{ relsrbel ruelepa) up)lelelrp le6e bunpeg ualednqey lldls
uelele3 uep ue)npnpuada) Jolue) eleda) epedal lul uedelaued
bueluel uepeuepueu )nlun uoqoued epedel ue)L.lelupoule6 .E
iZtOZ raquase6 1 1e66ue1
epeod resedue6 !p r!Llel 6ue{ VNVIVUd lut€OU NIAV9 errreuroq
6ueA !)el-uel leue depeq-re1 VCINITVSOU INV UnN uor.louad
qalo ue)n)el!p 6ue{ )eue uelel6uebued qes ueleleAua6
I uoqoured ueuoqor.ulad uellnqebua6
NVXdVMNfI'rli uelnlbuesJoq 6ueA ulel ueJnlelad
-uernlerad plJas 6uepul-6uepun Uep lesed lesed 1e6ur6ua6
-- luoqoura6 epeda>1 ue>lueqeqlp
lnled lu! ueuoLlouuad leql)e lnqLull 6ue{ eAe;q enuJes ererrr ue4nqe)!p
uor.louad ueuoqotulad eueJe) qelo eMqeq ,buequtrua6
1e{unlledas lpuols)epeJ up}!eqred ue6uep ue)lnqe>llp )nlun
ueseleJeq dnlnr uoqouled ueuoL.lorrj.rad eleur'6uepu1-1-6uepu1 ue6uap
uebuelueueq lepll uoL{otuad upuoqoulad uep sele;p uel6uequr;yad;p
qelel 6ue{ eueurgebeqas uetern ue6uep eMLleq ,6uequ;ue6
I uoqouted eled
1e16ue )eue lpeluaur n]t )eue lel6ue6uaur lnlun uoqoued eled
;6eq ueseleraq 1n1ed up!)lulap uebuep ueleraqe)raq OueA 1eq;d-1eq1d
epe Iep!1 egnd ;6e1 'tlpuas e{u6unpuel Ieup ryadas nJl )eue ue6uap
uorlouad pJpJue le)ap 1e6ues 6ueA 6uertes q!se) ueul;et ueln[unueuj
'z
,T
'200 T €02861 0r80ss6T'drN
Jeseduac ua6aN uellpe6ued erelrupd MeM
!urseu ueu!les )nlun
@'.''.''.''..qelujnr....'...!s>lepeu
-'000'9 'dU """"'rereJeN
-'000'0t 'dU' """" uereuepuad
--'000'0S 'dU" """sasor6 eAe;g
,000..52 .dU ...........'.'.'uel!66uea eAe;g
-ffi@ffi
NI)VH,IINYbgN]d VU]IINVd
oqoulad Llalo UlpeLllp uep resedua6 UeOeN uellpebuaa eped
llue66uad erellued HS'NnICV lnll) Ljalo nlueqtp tnqasrat ul!>leH qalo
ulnuJn )nlun elnqrol 6ueA ue6ueplsred uelep ue>1decn;p e6n[ n]! UeLl
eped eueu uedelaued uep 1e66un1 Lu!)eH lebeqas 'lesedua6 ua6ap
uel;pe6ua6 eped urlleH 'HS'INVAUI1^I VIUCNI: tule>l qalo €TOZ reqollg
gZ le66uel VS\nlS : ueq eped ue)detal!p qeluellluec