PENGANGKATAN ANAK (STUDI DI MASYARAKAT DUREN...
Transcript of PENGANGKATAN ANAK (STUDI DI MASYARAKAT DUREN...
PENGANGKATAN ANAK (STUDI DI MASYARAKAT DUREN TIGA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
M. DEBY SAHDAN ALFAIZI
NIM : 1111044200023
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
ABSTRAK
M Deby Sahdan Alfaizi, NIM 1111044200023. PENGANGKATAN ANAK (STUDI
KELUARGA DUREN TIGA). Program Studi Ahwal Asy-syakhsiyyah Konsentrasi Administrasi
Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1437 H/2016 M, ix + 62 halaman + lampiran.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perilaku keluarga dalam mengangkat
anak. Apakah status sosial memengaruhi cara pengangkatan anak, bagaimana pengangkatan anak
keluarga pendatang dan asli di Duren Tiga, dan juga untuk mengetahui akibat hukum dari tradisi
pengangkatan anak di Duren Tiga.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian jenis kualitatif.
Sumber data penelitian, data primer dan sekunder. Dalam teknik pengumpulan data penulis
menggunakan teknik studi kasus, yang berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai
subyek yaitu berupa jawaban atas alasan-alasan objek penelitian. Setiap analisis kasus
mengandung data berdasarkan pengamatan, data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain
mengenai pengangkatan anak di masyarakat Duren Tiga. Penulis mewawancarai lima sumber
keluarga yang mengangkat anak. metode yang dilakukan dengan tanya jawab langsung
mendatangi subyek yaitu orang tua anak angkat di kediamannya. Penentuan informan yang
diwawancarai ditentukan dengan teknik pengambilan sampel purposif (purposial sampling),
yaitu ditetapkan secara sengaja oleh penulis berdasarkan klasifikasi pendidikan terakhir, kultur,
dan status sosial. Dalam hubungan ini, lazimnya didasarkan atas kriteria atau pertimbangan
tertentu, jadi tidak melalui proses pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam teknik random.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keluarga di Duren Tiga memiliki cara pandangan
bahwa status anak angkat tidak sama dengan status anak kandung. Perilaku keluarga di Duren
Tiga menyatakan bahwa tidak ada tradisi khusus pengangkatan anak baik secara ritual ataupun
ceremonial, hanya saja para keluarga pengangkat anak meyakini cara mengangkat anak para
pendahulu, oleh karena itu mengikuti kebiasaan orang terdahulu dalam adopsi. Cara
pengangkatannya beragam, hal ini sesuai dengan kultur (adat) bawaan keluarga pengangkat
anak.
Mayoritas atau yang familiar dari perilaku keluarga pengangkat anak yaitu mengangkat
anak kerabat dekat, saudara dekat atau jauh (family). hal ini berimplikasi pada hubungan orang
tua angkat dan orang tua kandung yang sama-sama mendidik, mengawasi demi kesejahteraan
anak, yang sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai
Perlindungan Anak.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Perilaku, Keluarga Duren Tiga
Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, M. Ag
Daftar Pustaka : 1972 s/d 2016
KATA PENGANTAR
Tiada kata selain ucapan syukur kepada kehadirat Allah SWT, atas taufiq dan hidayah-Nya
skripsi yang sangat sederhana ini selesai dengan baik dan Insya Allah berkah, segala puji hanya
milik-Mu.
Shalawat salam serta keberkahan tetap mengalir deras kepada kekasih-Mu, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan sahabat beliau. Atas kasih sayang beliau, umatnya yang dahulu terbelakang
Jahiliyyah menjadi umat yang berperadaban Madaniyyah.
Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak ditemui kesulitan dan hambatan, walaupun
demikian kiranya berkat izin Allah skripsi ini dapat terselesaikan, hal ini penyusun yakini
merupakan sifat Rahman yang Allah tebarkan ke setiap Makhluq-Nya. Sadar dengan penuh
bahwa skripsi ini hanya setitik debu, banyak sekali kekurangan.
Penyusun menyadari banyak pihak yang berkontribusi dalam pengembangan kearah yang lebih
baik, untuk hal itu rasa terima kasih dari lubuk hati yang terdalam disampaikan kepada para
pihak yang berjasa, baik bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan, di antaranya:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Halim, M. Ag, dan Arip Purkon MA, Ketua Program Studi dan Sekertaris
Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Hj. Hotnidah Nasution, M. Ag, Dosen Pembimbing skripsi yang sangat bijaksana dan rela
meluangkan waktu, ilmu dan kesabarannya untuk penyusun, semoga ini merupakan Amal
Jariyah.
4. Sri Hidayati, M. Ag, Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan dukungan
dan bantuan kepada penyusun.
5. Dosen pengajar lingkungan Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
memberikan ilmu pengetahuan kepada penyusun selama duduk dibangku perkuliahan.
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penyusun untuk mengadakan studi
kepustakaan.
7. Mama dan Bapak tercinta Ijah S Atijah dan Syamsuddin yang selalu mendukung segala
langkah. Doa dan kekuatan mereka selalu tercurahkan kepada penyusun, “Balasku tak akan
pernah sebanding”. Dan juga untuk adik-adik tersayang, Agung Aprilian, Fajar Subhan, dan
Nuraini Adinda Ramadhani.
8. Terima kasih untuk sahabat terbaik; Keluarga AKI 2011; wa bil-khusus Amalul Arifin,
Raynaldo Nugroho, Lazuardi, Raka Nuangsa, Dedi Muhadi, Ahmad Gojali, Ahmad Romli,
Ainul Yakin. Dan anak-anak kost; Bib Rahadian, Saidul Iskandar dan Harri Fariz W. semoga
pertemanan tak akan pupus walau sudah pada lulus. Hehe
9. Terima kasih yang teramat untuk Eka Purnamasari S. sy, yang telah mencurahkan tenaga,
waktu dan ilmu dalam penyusunan skripsi ini, semoga Allah memberikan kita jalan hidup
bersama.
10. Para keluarga yang rela memberikan informasinya terkait pengembangan skripsi ini, semoga
Allah melimpahkan balasan yang lebih.
Hanya kepada Allah kusematkan doa dan harapan akan balasan yang lebih, dari segala
bantuan akan kesulitan-kesulitan dalam penyusunan skripsi.
Suatu kenyataan yang tak dapat di hindari akan kekurangan dan kebodohan diri dalam
proses penyusunan skripsi, untuk itu kritik dan saran konstruksi selalu penyusun harapkan
untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata semoga skripsi ini memiliki manfaat, baik untuk pribadi penyusun atau
mereka yang mencintai ilmu pengetahuan. Amin
Jakarta, 12 April 2016
Penyusun
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………... iii
ABSTRAK ……………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. viii
BAB I : PENDAHULUAN ………………………..……………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………… 6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah………………........ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………….. 8
E. Tinjauan Kajian Terdahulu….………………………... 9
F. Metodelogi Penelitian…………………………………. 10
G. Sistematika Penulisan…………………………………. 11
BAB II : PENGANGKATAN ANAK…………..…………………. 14
A. Pengertian Anak Angkat…………………………….... 14
B. Tinjauan Pengangkatan Anak Dalam Hukum
Islam…………………………………………………... 18
C. Tinjauan Pengangkatan Anak Dalam Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia….…………………………….. 22
D. Motivasi Pengangkatan Anak……………………….... 27
ix
BAB III : AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK….…….. 28
A. Hak-Hak dan Kewajiban Pengangkatan Anak…………. 30
B. Kedudukan Anak Angkat.……………………………… 33
C. Akibat Hukum dari Pengangkatan Anak dalam Hal
Mawaris…………………………………………………. 36
D. Yurisprudensi Pengadilan Agama Tentang Pengangkatan
Anak…………………………...………………………... 38
BAB IV : PENGANGKATAN ANAK DI DAERAH
DUREN TIGA …………………………………………… 42
A. Gambaran Umum Kelurahan Duren Tiga dan Letak
Geografisnya …………………………………………. 42
B. Pandangan Masyarakat Duren Tiga Mengenai
Pengangkatan Anak …………………………………... 44
C. Tradisi Pengangkatan Anak di Duren Tiga …………… 48
D. Akibat Hukum dari Tradisi Pengangkatan Anak di
Duren Tiga ……………………………………………. 52
BAB V : PENUTUP ………………………………………………… 56
A. Kesimpulan …………………………………………….. 56
B. Saran …………………………………………………… 57
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh
keturunan bagi kedua pasangan suami isteri. Begitu pentingnya keturunan dalam
kehidupan keluarga, maka keluarga yang tidak atau belum dikaruniai anak akan
berusaha untuk mendapatkan keturunan. Pengangkatan anak merupakan salah satu
peristiwa hukum yang bertujuan di dalamnya memperoleh anak.
Adapun alasan pengangkatan anak adalah untuk mempertahankan keutuhan
ikatan perkawinan, untuk kemanusiaan dan juga untuk melestarikan keturunan.
Pengangkatan anak dilakukan karena adanya kekhawatiran akan terjadinya ketidak
harmonisan suatu perkawinan atau suatu keluarga karena tidak adanya keturunan.
Dalam rangka menjaga kemurniaan nasab, Islam tidak hanya melarang
perzinaan, tetapi juga menolak konsep adopsi dengan segala kemutlakannya1, yaitu
adopsi yang menghapuskan nasab anak dengan ayah kandungnya.
Walaupun ajaran Islam sangat menganjurkan untuk selalu menjaga kemurnian
nasab dan melarang adopsi secara mutlak, namum Islam tetap memerintahkan untuk
1 M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h.11
2
bersikap santun terhadap siapapun, termasuk terhadap anak-anak jalanan yang
terlantar terutama anak yatim.
Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa terdapat pola pengangkatan anak
yang dikira oleh sebagian orang sebagai perbuatan yang dilarang ajaran Islam,
padahal sesungguhnya tidak, yaitu tindakan seseorang mengambil anak-anak terlantar
dan anak-anak yatim, diperlakukan seperti anaknya sendiri, di bina, dididik, dan di
cukupi segala kebutuhannya.2
Tingginya frekuensi perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang
dilakukan masyarakat salah satu pemicunya adalah akibat dari perkawinan yang tidak
menghasilkan keturunan. Jadi, seolah olah tujuan perkawinan tidak tercapai karena
perkawinan tidak memperoleh keturunan. Dengan demikian, apabila di dalam
perkawinan telah memiliki keturunan (anak), maka tujuan perkawinan dianggap telah
tercapai dan proses keberlanjutan generasi dapat berjalan.3
Kadang kala sebuah keluarga dikatakan harmonis dan lengkap jika
anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Anak pada hakikatnya merupakan
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan buah hati dari kedua orang tua yang tiada
ternilai harganya, dan menjadi generasi penerus orang tuanya. Pada umumnya
perkawinan tidak akan puas bilamana tidak mempunyai anak, maksudnya sebuah
perkawinan dirasa kurang komplit apabila tidak hadirnya seorang buah hati. sehingga
2M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, h.12.
3Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 251.
3
berbagai usaha dilakukan untuk memperolehnya. Pengangkatan anak adalah salah
satu usaha untuk memiliki anak, mengambil, serta mengasuh anak hingga menjadi
orang dewasa yang mandiri sehingga terjalinlah hubungan rumah tangga antara bapak
dan ibu angkat di satu pihak dan anak angkat di lain pihak.
Mahmud Syaltut, seorang ulama dan pemikir Islam dari Mesir menyatakan
bahwa pengangkatan anak dalam konteks mengangkat anak lain yang diperlakukan
untuk seperti memperlakukan anak sendiri dalam hal kasih sayang, nafkah sehari-
hari, pendidikan dan lain lain, tanpa harus menyamakan sebagai anak kandung, maka
pengangkatan seperti itu dalam Islam dibenarkan.4
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah
menjadi tradisi turun menurun yang dikenal dengan tabanni yang artinya mengambil
anak.5 mengambil anak orang lain untuk diberi status anak kandung, sehingga ia
berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalan dan hak
lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.6
Pengangkatan anak secara umum dilakukan dengan motif yang berbeda-beda
di antaranya adalah keinginan untuk mempunyai anak, adanya harapan atau
kepercayaan akan mendapatkan anak, adanya keinginan memiliki anak lagi yang
4Mahmud Syaltut, Al- Fatawa, (Mesir: Dar al Syuruk, 1991), h. 321
5Muderis Zaini, “Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), Cet Ke-4, h. 53
6Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntasir et al., Al Mu’jam Al Wasith, (Mesir: majma’ al-
lughah al-arabiah, 1392/1972m), jilid II, h. 72
4
diharapkan dapat menjadi teman bagi anak yang telah dimilikinya, sebagai rasa belas
kasihan terhadap anak terlantar, dan juga terhadap anak yatim piatu.7 Pengangkatan
anak biasanya dilakukan karena kekhawatiran akan terjadinya keretakan hubungan
yang telah dibinanya. Selain itu juga untuk mempertahankan keutuhan perkawinan
dan untuk mendapatkan keturunan.
Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebudayaan masyarakat dan
menjadi bagian dari sistem hukum keluarga (Ahwal Asyakhsiyyah), karena
menyangkut kepentingan orang per orang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga
pengangkatan anak yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan mengikuti
perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta
perkembangan masyarakat itu sendiri.
Hal penting yang perlu di garis-bawahi bahwa pengangkatan anak harus
dilakukan dengan proses hukum yang bersumber dari produk penetapan pengadilan.
Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka
pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut
merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang
hidup di tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari
memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat.
Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut, telah
7M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1985), h. 10
5
berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan
Pengadilan Agama, bagi mereka yang beragama Islam.8
Hukum memang benar benar tidak ada yang tetap, selalu berubah (dinamis)
dan berkembang mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat. Sekarang
dalam rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat, pembuat
Undang-undang Republik Indonesia memberi peluang pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama melalui Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama dinyatakan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan…9, “Penjelasan Huruf a. pasal 49 ini,
menyatakan : “Yang di maksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang dilakukan menurut
Syari’ah, antara lain : …. Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam…”
8 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 12
9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, (Jakarta: Mahkamah Agung RI
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006) h. 20
6
Dari apa yang dikemukakan sebelumnya, maka jelaslah bahwa pengangkatan
anak yang sesuai dengan aturan di Indonesia adalah pengangkatan anak yang
ditetapkan di Pengadilan, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama.
Namun masih banyak orang tua angkat yang tidak mengindahkan aturan tersebut,
mereka mengangkat anak atas dasar suka sama suka antara orang tua kandung dengan
orang tua angkat. Oleh Karena itu, berdasarkan pengamatan mengenai permasalahan
yang telah dipaparkan di atas, perlu rasanya adanya penelitian : “Pengangkatan
Anak (Studi di Masyarakat Duren Tiga).”
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka penulis
mengidentifikasikan dalam bentuk pertanyaan :
1. Bagaimana pengetahuan orang tua angkat mengenai dalil qur’an atau hadis
tentang pengangkatan anak?
2. Bagaimana pengetahuan orang tua angkat mengenai dalil hukum
pengangkatan anak di Indonesia?
3. Apakah dalam mengangkat anak, calon orang tua angkat berdiskusi dengan
tokoh/ulama’ setempat, dimaksudkan adanya pertimbangan-pertimbangan
dalam mengangkat anak?
4. Apakah dalam mengangkat anak, memilih antara laki-laki atau perempuan?
5. Sudahkah orang tua angkat paham bahwa muslim jika ingin mengajukan
permohonan pengangkatan anak, dilakukannya di Pengadilan Agama?
7
6. Dalam mengangkat anak, diperlukan legalitas atau pengakuan hukum oleh
negara, disini diwakilkan Pengadilan Agama bagi muslim. Adakah instansi
lain yang berwenang? Apakah notaris berwenang?
7. Dalam memahami pengangkatan anak dibutuhkan dalil hukum, bagaimana
orang tua angkat mendapatkan informasi tersebut? Apakah pemerintah efektif
dalam mensosialisasikannya?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pengangkatan anak dalam skripsi ini dibatasi pada pengangkatan anak
yang dilakukan oleh orang tua angkat yang beragama Islam dan berdomisili di
Duren Tiga, yaitu penduduk asli dengan penduduk pendatang.
2. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam skripsi ini adalah di dalam Peraturan
Pemerintah No. 54 tahun 2007 Bab I Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi :
Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Oleh karena itu
pengangkatan anak mestinya dilakukan di Pengadilan Agama bagi yang
beragama Islam, karena pengangkatan anak merupakan perbuatan hukum bagi
8
calon orang tua angkat, anak yang ingin diangkat dan orang tua kandungnya.
Akan tetapi masih banyak sebagian masyarakat yang tidak mengindahkan
peraturan tersebut.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penulis rinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan masyarakat Duren Tiga mengenai pengangkatan
anak?
b. Bagaimana tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga?
c. Bagaimana akibat hukum dari tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan mengadakan penelitian adalah
1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Duren Tiga mengenai prosedur
pengangkatan anak.
2. Untuk mengetahui tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari tradisi pengangkatan anak di Duren
Tiga.
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian skripsi ini menambah khazanah ilmu pengetahuan
mengenai pengangkatan anak sesuai peraturan yang berlaku.
9
2. Secara praktis penelitian skripsi ini menambah referensi data di Perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu sebagai berikut :
1. Zakia Al Farhani, 106043201358 Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, dengan skripsinya yang
berjudul “Proses Pengangkatan Anak (Adopsi) dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Kasus Yayasan Siran Malik Pesantren Alfalah, Parung
Benying), dalam skripsi ini Zakia Al Farhani mengulas tentang bagaimana
proses pengangkatan anak di Yayasan Siran Malik dan aplikasi hukum
Islam di yayasan tersebut.
2. Usman, 108044100044 Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan skripsinya “Problem
Sengketa Kewenangan Penetapan Pengangkatan Anak (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Kediri), dalam
skripsi ini, Usman menjelaskan tentang problem sengketa kewenangan
pengangkatan anak, konsep batas kewenangan absolute dan relative
Pengadilan Agama dan Negeri.
10
3. Jiiy Ji’ronah Muayyanah, B4B008147 Magister Kenotariatan, Universitas
Diponegoro, dengan tesisnya “Tinjauan Hukum Terhadap Pengangkatan
Anak dan Akibat Hukumnya dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum
Islam dan Kompilasi Hukum Islam” dalam tesis ini Jiiy Ji’ronah
Muayyanah menjelaskan bagaimana pembagian waris akibat
pengangkatan anak dengan menyambungkan KHI sebagai pedoman.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Di lihat dari segi penyusunanya, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu keluarga
keluarga yang mengangkat anak.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian skripsi yaitu:
a. Data Primer
Keluarga yang mengangkat anak berdasarkan klasifikasi; a. pendidikan
akhir b. kultur c. status sosial
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan study
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Al-Hadis,
11
buku buku ilmiah, Undang-Undang, KHI, serta peraturan yag erat
kaitannya dengan masalah yang di ajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Studi Kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tema
yang diteliti
b. Wawancara terhadap keluarga yang mengangkat anak di Duren Tiga yaitu
Bapak Najib dan Ibu Farah, Bapak Andi Kosasi Sanjaya dan Tety, Bapak
Basyir dan beserta istri Ibu Atin dan Suami dan Bapak H. Lutfi selaku
tokoh masyarakat Duren Tiga.
Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab langsung mengenai motif-
motif dan latar belakang dalam mengangkat anak. Wawancara dilakukan dengan
metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sample dengan pertimbangan
tertentu sesuai dengan tujuan yang dipertimbangkan. Untuk menentukan sample
ada beberapa hal yang dipertimbangkan yaitu dengan kriteria :
1. Culture
2. Pendidikan
3. Status social
12
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif yaitu riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis, focus penelitiannya sesuai
dengan fakta di lapangan.10
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan dalam penulisan skripsi ini, terdiri dari lima bab
dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab pertama tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab kedua tentang pengangkatan anak yang mencakup pengertian anak
angkat, tinjauan pengangkatan anak dalam hukum Islam, tinjauan pengangkatan anak
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan motivasi pengangkatan anak.
10
Wikipedia
13
Bab ketiga tentang akibat hukum pengangkatan anak yang mencakup hak-hak
dan kewajiban anak angkat, kedudukan anak angkat, akibat hukum pengangkatan
hukum dalam hal mawaris dan yurisprudensi Pengadilaan Agama tentang
pengangkatan anak.
Bab keempat tentang pengangkatan anak di daerah Duren Tiga yang
mencakup gambaran umum kelurahan Duren Tiga dan letak geografisnya, pandangan
masyarakat Duren Tiga mengenai pengangkatan anak, tradisi pengangkatan anak di
Duren Tiga, akibat hukum dari tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga.
Bab kelima tentang penutup yang mencakup kesimpulan, saran dan kritik
penulis serta lampiran-lampiran.
14
BAB II
PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak Angkat
Untuk menjelaskan pengertian anak angkat, alangkah baiknya
menguraikan mengenai perihal definisi anak yang banyak ditemui dalam literatur
diantaranya “Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-
dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya”.1
Peraturan Pemerintah memberikan definisi : “Anak adalah sebagai tunas
bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan negara”.2
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi : “Anak adalah amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya”.
Adapun para sarjana menggolongkan anak ke dalam beberapa bagian :
1. Anak Angkat
Dalam kamus umum bahasa Indonesia anak angkat memiliki arti anak
orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.3 Mahmud
1Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Konsideran (a)
2Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi
Anak yang Mempunyai Masalah, Konsideran (a)
15
Syaltut, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian anak angkat.
“Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh
perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung”
kepadanya, Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak
sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi
status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan
(nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta
hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua
angkatnya itu.
2. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak isteri atau suami seseorang daripada perkawinan
yang terdahulu.4
3. Anak Susuan
Anak susuan adalah anak yang disusui dengan cara masuknya air susu
seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu.5
4. Anak Asuh
Anak asuh erat kaitannya dengan program wajib belajar yang dicanangkan
Presiden RI pada tanggal 2 Mei 1984 bertepatan dengan Hari Pendidikan
Nasional. Hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh sebatas
3Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
120
4Huzaemah Tahido Yanggo, Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Suara
Uidilag, 2007, Vol 3, No. X, Mahkamah Agung RI), h. 25
5Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2006), h.
32
16
berkaitan dengan bantuan biaya pendidikan agar anak asuh dapat mengikuti
pendidikan pada lembaga pendidikan tingkat dasar sampai selesai. Oleh sebab
itu, lembaga anak asuh berbeda dengan lembaga anak angkat.
5. Anak pungut
Ada lagi yang membedakan antara anak pungut dengan anak angkat.
Kedudukan anak angkat telah bernilai bahkan seperti mengambil kedudukan
anak kandung, sedangkan anak pungut tidak mendapat kedudukan istimewa
tetapi hanya mendapat pemeliharaan dari orang yang memungutnya. Pada
anak angkat terdapat cinta, sedangkan pada anak punggut hanya terdapat
belas kasihan. Kata “dipungut” menunjukkan makna mengambil sesuatu yang
tidak atau kurang berarti, sedangkan “diangkat” bermakna meninggikan
keadaan semula.6
6. Anak laqiyth
Menurut Wahbah Zuhaili, laqiyth atau anak temuan adalah seorang anak
kecil yang hilang yang omongannya tidak diperhatikan/dipahami pada
kebiasaan umumnya, dan adapun apabila anak temuan meninggal, tidak
adanya baginya waris, dan hartanya menurut sebagian ulama dalam
riwayatnya Imam Ahmad untuk baitul maal.7
Sedangkan pengertian pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan
adopsi. Adopsi berasal dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda atau Adoption
6Fuad Muhammad Fachrudin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman
Ilmu, 1991), h. 47
7Wahbah Zuhaili, Mausuah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-qadlaaya Al-Ma’aashirah,
(Damaskus: Dar-Alfikr, 2010), h. 422
17
dalam bahasa Inggris yang artinya pengangkatan anak seorang untuk dijadikan
sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut بيت yang
menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamus Al-Munawirnya yang artinya
mengambil, mengangkat anak kepada.8
Dalam Ensiklopedia Umum sebagaimana dikutip oleh Muderis Zaini
dalam bukunya menyebutkan bahwa9 : “Adopsi adalah suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan”. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapat pewaris
atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak.
Jadi jika disimpulkan terdapat bahasa yang berbeda tapi mendapati arti
yang sama, dalam bahasa arab disebut mutasyabih lafazh yang samar maknanya,
dalam hal ini adopsi dan pengangkatan anak serupa tetapi tidak sama. Adopsi
bertujuan menjadikan anak angkat menjadi anak kandung sebaliknya
pengangkatan anak bertujuan tidak seperti adopsi, hanya mengasuh mendidik dan
menjaga anak angkat.
Pengangkatan anak di Indonesia adalah peristiwa hukum pemindahan
anak orang lain ke dalam keluarga yang mengangkat, prosedurnya bagi
masyarakat muslim Indonesia memilih cara dan tujuan pengangkatan anak
melalui Pengadilan Agama karena ijtihadnya senafas dengan nash-nash Al-quran
8Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 111
9Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, (Sinar Grafika:
2002), h. 4
18
dan Hadis bukan ke Pengadilan Negeri, dan dari ke semua itu berada dalam
undang-undang yang berlaku saat ini.
B. Tinjauan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab telah
menjadi tradisi turun temurun yang dikenal dengan istilah tabanny yang artinya
mengambil anak angkat. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan pengangkatan
anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Haritsah,
tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Haritsah)
melainkan diganti dengan panggilan Zaid bin Muhammad.
Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka’ab bin Abdul Uzza adalah seorang
anak yang berstatus budak berasal dari Syam. Masa kecilnya hidup dan
dibesarkan di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Makkah sebagai budak belian.
Hakim bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid,
selanjutnya Khadijah menyerahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Umur Zaid
pada saat itu sekitar 8 tahun. Setelah Nabi Muhammad SAW menerima dan
memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya. Suatu ketika keluarga Zaid
yang selama itu mencari Zaid mengetahui peristiwa tersebut, lalu ayah dan
pamannya yang bernama Ka’b bin Syarahil datang ke tempat Nabi Muhammad
SAW untuk menebusnya. Atas kehadiran keluarga Zaid tersebut, Nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa yang demikian itu terjadi pada masa lalu
(sebelum Islam).
19
Kemudian Nabi Muhammad SAW memberikan opsi kepada Zaid untuk
pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap tinggal bersama
Nabi Muhammad SAW dan menyatakan bahwa meskipun dia berstatus merdeka
pergi bersama keluarganya, tetapi dia (Zaid) memilih tetap tinggal bersama Nabi
Muhammad SAW, karena Nabi sebagai pengganti ayah dan pamannya yang
bersikap baik padanya. Setelah Zaid dewasa, Nabi Muhamad menikahkan Zaid
dengan Zainab bin Jahsy.10
Dan adapun pengangkatan anak dalam hukum Islam secara tekstual diatur:
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
(Q.S. Al- Ahzab 33 : 4)
10
Muhammad Reza Afwi, Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif dan
Implementasinya di Pengadilan Agama, (Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 31
20
Ayat di atas membatalkan adopsi Nabi Muhammad Saw. kala itu, dan
semua adopsi yang dilakukan masyarakat muslim. Dengan turunnya ayat di atas
Nabi Muhammad Saw. memperingatkan semua orang agar tidak mengaku
mempunyai garis keturunan dengan satu pihak padahal hakikatnya tidak
demikian. Secara tegas Rasulullah melarang umatnya memanggil seseorang yang
bukan bapaknya sebagai bapaknya, dalam Shahih Bukhari menyebutkan
ثنا خالد، عن أ ـ حد ثنا خالد ـ هو ابن عبد للا د، حد ثنا مسد عثمان بيحد
بي صلى للا عليه عى عن سعد ـ رضى للا عنه ـ قال سمعت الن من اد
ة عليه حرام ه غير أبيه، فالجن إلى غير أبيه، وهو يعلم أن
Artinya; Siapa yang mengakui seseorang yang bukan bapaknya sebagai
bapaknya, maka surga baginya haram.” (HR. Bukhari melalui Sa’id Ibn
Waqqash)11
Kemudian dalam Shahih Bukhari; kitab tafsir; surah al-ahzab
ثىا عبذ العسيس به المختار، حذثىا مسى به ثىا معلى به أسذ، حذ ثىي سالم، حذ عقبة، قال حذ
صلى للا علي لى رسل للا به عمر ـ رضى للا عىما ـ أن زيذ به حارثة، م عه عبذ للا
ذ حتى وسل القرآن سلم ما كىا وذعي إال زيذ ابه محم ادعم آلبائ أقسط عىذ للا م
Artinya: Mu’alla bin Asad menyampaikan kepada kami dari Abdul Aziz
bin al-Mukhtar, dari Musa bin Uqbah, dari Salim dari Abdullah bin Umar, “Kami
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2002), h. 222
21
terbiasa memanggil Zaid bin Haritsah (maula Rasulullah) dengan sebutan Zaid bin
Muhammad hingga turun ayat, “Panggilah mereka (anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah” No. 478212
Yang dimaksud maula dalam ayat tersebut ialah budak yang telah
dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti seorang yang
bernama Salim anak angkat Hudzaifah dipanggil maula Hudzaifah.13
Akan tetapi
Prof. Quraish Shihab menjelaskan kata mawali adalah bentuk jamak dari kata
mawla yang terambil dari kata waliya yang makna dasarnya adalah adanya dua
hal/pihak atau lebih yang tidak sesuatu pun yang berada di antara keduanya.
Banyak ulama mengartikan kata itu di sini dalam arti bekas hamba yang
dimerdekakan; tetapi kita tidak harus memahaminya demikian, khususnya dewasa
ini. Anda boleh memahaminya dalam arti penolong atau orang dekat.14
Dalam penjelasan Al-Quran dan Hadits mengenai pengangkatan anak,
bahwasanya pengangkatan anak hanyalah pengakuan yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Pengakuan dalam pengangkatan anak tidak dapat mengubah
kenyataan, bahwa anak angkat dilahirkan oleh ibunya dari ayahnya sendiri.
Karena tidak adanya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua
angkat, maka bekas istri dari anak angkat boleh dinikahi ayah angkat. Hal ini
sesuai dengan ayat Al-Qur’an QS. Al-Ahzab 37, yang asbabun nuzulnya ayat ini
12
Subhan Abdullah dkk, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih Bukhari, )Jakarta: Almahira,
2012), h. 237
13
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Kuwait: Dar Al-Qalam), h. 432
14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 224
22
menceritakan bagaimana Nabi Muhammad dikawinkan Allah dengan Zainab binti
Jahsy yang merupakan bekas istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi).15
C. Tinjauan Pengangkatan Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik Indonesia
adalah anak angkat yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya.16
Sedangkan pengertian pengangkatan anak dapat ditemukan dalam
penjelasan Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan. Undang-undang tersebut memberikan pengertian
bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan hukum untuk
mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan Pengadilan.
15
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 278
16
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
23
Adapun pengangkatan anak di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW) tidak ditemukan ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak
angkat. BW hanya mengatur tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti
yang diatur dalam Buku 1 bab12 bagian ketiga BW, tepatnya pada pasal 280
sampai 289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak
diluar kawin.17
Dengan demikian, sebenarnya BW tidak mengatur pengangkatan
anak sebagaimana dikenal sekarang. Hanya saja kemudian, untuk memenuhi
tuntutan masyarakat. Mengingat kebutuhan pengangkatan anak yang semakin
meningkat, disamping kultur budaya masyarakat Indonesia asli dan masyarakat
keturunan Tionghoa telah lama mempraktikkan pengangkatan anak, maka
pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad18
yang isinya
mengatur secara khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna
melengkapi Hukum Perdata Barat (BW).
Menurut R. Soeroso, Staatblad tersebut merupakan satu-satunya pelengkap
BW. Oleh karena itu segala persoalan menyangkut adopsi versi Barat semata-
mata harus beranjak dari Staatblad tersebut.19
Beberapa dasar hukum pengangkatan anak di Indonesia :
a. Staatsblad 1917 Nomor 129 Pasal 5 s/d Pasal 15
17
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga sisitem Hukum, h. 31
18
Ahmad Kamil dan M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2010), h. 20
19
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 79
24
Aturan ini telah ada pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan
aturan yang tersendiri yang mengatur tentang pengangkatan anak. Khusus
ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur pengangkatan anak bagi
golongan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia
asli. Bagi masyarakat Indonesia asli berlaku adat termasuk di dalamnya adalah
ketentuan hukum Islam.20
Dalam ketentuan Staatsblad ini mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15
mengatur tentang siapa-siapa saja yang diperbolehkan melakukan
pengangkatan anak, siapa saja yang boleh diangkat sebagai anak angkat, syarat
dan tata cara pengangkatan anak serta akibat hukum dari pengangkatan anak.
Dalam hal ini calon pengangkat anak harus Warga Negara Indonesia atau
Campuran, Suami WNI dan Istri WNA. Anak yang di angkat harus meliputi,
anak terlantar atau ditelantarkan; berada dalam asuhan keluarga atau lembaga
pengasuhan anak. Alur pengangkatan anak di mulai dari melakukan pengajuan
pengangkatan anak melalui Dinas Sosial, kemudian DInas Sosial melakukan
home visit ke rumah calon orang tua angkat dengan tujuan mengetahui
kelayakan ekonomi dan psikososial, setelah step itu dilalui calon orang tua
angkat diperbolehkan mengasuh anak angkat selama 6 bulan dengan tujuan
ujicoba dan dalam pengawasan Dinas Sosial, setelah semua step dilaksanakan
dengan baik calon orang tua angkat melakukan penetapan di Pengadilan
wilayah administrative orang tua angkat.
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
20
Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, h. 53
25
Dalam Undang-undang Kesejahteraan Anak, pengangkatan anak terdapat
dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3), yang pada intinya pengangkatan anak,
baik melalui hukum adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak yang lebih lanjut akan diatur melalui Peranan
Pemerintah, Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 12 disebutkan bahwa pengangkatan anak
tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan
keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang
bersangkutan. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu
mengatur pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna
pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan.
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Diatur dalam Bab VIII, Bagian Kedua tentang pengangkatan anak, mulai Pasal
39 sampai dengan Pasal 41. Dalam Undang-undang ini ditentukan bahwa
“Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan Perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 39 ayat 1), pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang
tua kandungnya (Pasal 39 ayat 2), calon orang tua angkat harus seagama
dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat (Pasal 39 ayat 3),
pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
26
upaya terakhir (Pasal 39 ayat 4), dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka
agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat (Pasal 39
ayat 5).
Selanjutnya dalam Pasal 40 disebutkan bahwa orang tua angkat wajib
memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua
kandungnya, dimana pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya
tersebut dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak. Sedangkan
pengawasan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 41 yang berbunyi “Semua
administrasi yang berkaitan dengan pengangkatan anak berada di departemen
yang bertanggung jawab di bidang social”
d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 49 Huruf a,
angka 20 yang memberi Kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan menetapkan anak angkat, dan selanjutnya Undang-Undang ini
diubah menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
tanpa mencabut kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan
menetapkan perkara pengangkatan anak.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.
f. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Buku II Bab 1 Pasal 171 huruf h dan Pasal 209 tentang Pengertian Anak
Angkat dan tentang Wasiat Wajibah Anak Angkat dan Orang Tua Angkat.
27
g. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.
h. Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13/HUK/1993 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
i. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
j. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 37/HUK/2010 tentang Pertimbangan
Perizinan Pengangkatan Anak Pusat.
k. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang telah
disempurnakan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1983, SEMA Nomor 3 Tahun
2005 perihal Pengangkatan Anak.
l. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2009 tentang Kewajiban
Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran.
Mengacu pada dasar hukum pengangkatan anak di atas, adopsi di
Indonesia harus sesuai dengan pedoman hukum, agar tercapainya keteraturan
dalam pengangkatan anak di Indonesia, serta terpenuhinya tujuan utama yaitu
kemashlahatan anak angkat dan pengadopsi.
D. Motivasi Pengangkatan Anak
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, pihak-pihak yang
berkepentingan dalam hal ini sangat penting melihat alasan/motivasi
28
pengangkatan anak sehingga sangat perlu diperhatikan, dan harus dipastikan
dilakukan demi kepentingan yang terbaik untuk anak.
Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-
alasan, dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu. Misalnya
seseorang menjadi anggota perkumpulan maka motivasinya antara lain ingin
sesuatu yang baru bersama anggota perkumpulannya tersebut.21
Dalam kaitannya
dengan pengangkatan anak, motivasi atau alasan-alasan dapat memberi arti bahwa
seseorang melakukan pengangkatan anak didasari dengan motif yang baik,
sehingga mendapati kesamaan visi dari oaring tua kandung, calon orang tua
angkat dan pemerintah.
Apabila melihat pada alasan/motivasi serta tujuan pengangkatan anak,
maka akan banyak sekali ragamnya. Akan tetapi menurut Djaja S. Meliala, alasan
yang paling utama adalah :
a. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak
mampu memeliharanya.
b. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya dihari tua.
c. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat
mempunyai anak sendiri.
d. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
21
W. A. Gerungan Dipl., Psych, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, (Jakarta: Eresco,
1977), Cet. V, h. 142.
29
e. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.
f. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan/kebahagian keluarga22
Ada beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar atau alasan
dilaksanakannya suatu pengangkatan anak, antara lain :
A. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut;
1. Keinginan mempunyai keturunan atau anak;
2. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya;
3. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan;
4. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu
pengangkatan anak;
5. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk
kepentingan pihak tertentu;
B. Dilihat dari orang tua anak, alasannya sebagai berikut;
1. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri;
2. Kesempatan untuk meringangkan beban sebagai orang tua karena ada
pihak yang ingin mengangkat anaknya;
3. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak;
4. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain;
5. Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tua kandungnya;
6. Ingin agar anaknya terjamin dalam hal materiil;
22
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, h.
3.
30
7. Masih mempunyai anak beberapa lagi;
8. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk memesarkan anaknya
sendiri;
9. Keinginan untuk melepaskan anaknya karena rasa malu akibat hubungan
tidak sah;
10. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang
tidak sempurna fisiknya.23
Adapun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.24
Ketentuan ini sangat
memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat
tergantung dari orang tuanya.25
23
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,
1990), h. 38
24
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/2002, Tentang Perlindungan Anak, Pasal
39 Ayat 2.
25
Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, h. 66
31
BAB III
AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN ANAK
A. Hak-Hak dan Kewajiban Anak Angkat
Perlindungan terhadap anak di Indonesia termasuk anak angkat bertujuan
untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup tumbuh berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Anak angkat dan anak-anak lain pada hakekatnya adalah amanah dan karunia
Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat hak-hak yang perlu dihormati dan
dijunjung tinggi oleh orangtua angkatnya dan masyarakat pada umumnya, hak-hak
anak angkat yang dimaksud adalah:
1. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Berhak atas sesuatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.1
3. Berhak untuk beribadah menurut agamanya berfikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya.
1Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 68
32
4. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya
sendiri.
5. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak
diasuh dan diangkat oleh orang tua lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
6. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani social sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan social.
7. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
8. Khususnya untuk anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan untuk anak yang mempunyai keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus.
9. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan
tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
10. Setiap anak berhak menyatakan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikan informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.2
2 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, h.
69
33
11. Setiap anak yang dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e. Ketidak adilan
12. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan social
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure kekerasan
e. Pelibatan dalam peperangan
13. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak
untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.3
14. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum wajib dirahasiakan.
3Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, h.
70
34
15. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya.4
Disamping hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, anak-anak
dan atau termasuk anak angkat memiliki kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban
asasi yang juga harus dilaksanakan seorang anak yaitu bahwa setiap anak
berkewajiban untuk:
1. Menghormati orang tuanya, wali, dan guru
2. Mencintai keluarga dan menyayangi teman
3. Mencintai tanah air dan Negara
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia5
B. Kedudukan Anak Angkat
Selanjutnya pembahasan tentang kedudukan anak angkat adalah merupakan
pembahasan tentang kedudukan anak secara umum (termasuk anak angkat dan anak-
anak lainnya. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pada Bab V Pasal 27 sampai dengan 29 sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (1): “Identitas setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”
4 Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anaka Persektif Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 219.
5 Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anaka Persektif Islam, h. 222.
35
Pasal 27 ayat (2): “Identitas sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dituangkan dalam
akta kelahiran”
Pasal 27 ayat (3): “Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari
orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran”
Pasal 27 ayat (4): “Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan
orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak
tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya”
Pasal 28 ayat (1): “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah
yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat
kelurahan/desa”
Pasal 28 ayat (2): “Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diberikan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal diajukannya
permohonan.
Pasal 28 ayat (3): “Pembuatan akta kelahiran sebagaiman dimaksud dalam ayat (1)
tidak dikenakan biaya”
Pasal 29 ayat (1): “Jika terjadi perkawinan campuran antar warga Negara Republik
Indonesia dan Warga Negara Asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”
36
Pasal 29 ayat (2): “Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu kedua dari orang tuanya”
Pasal 29 ayat (3): “Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya
berkewarganegaraan Indonesia demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan
ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik
Indonesia bagi anak tersebut”.
Memperjelas status anak angkat apabila terjadi perceraian terhadap orang tua
angkat, yaitu dengan meng-qiyas-kannya dengan staushak asuh anak akibat
perceraian antara suami dan istri, merujuk KHI pasal 105 menyebutkan anak yang
belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya, setelah anak berusia 12 tahun maka anak
tersebut diberi kebebasan memilih untuk diasuh oleh ibu atau bapaknya.
Perlu dijelaskan bahwa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak secara umum yang
dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Sehingga
dalam ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut berlaku untuk semua
anak termasuk anak angkat, anak terlantar dan lain-lain: baik hak dan kewajiban
anak, kewajiban dan tanggung jawab (orang tua, masyarakat, pemerintah, bangsa dan
37
negara) kedudukan anak maupun penyelanggara perlindungan anak, yang semuanya
adalah berlaku dan/atau diadakan untuk semua anak secara keseluruhan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang 1945 serta prinsip-prinsip
dasar konvensi hak-hak anak (pasal 2). Lebih lanjut dalam penjelasannya Undang-
Undang ini menegaskan bahwa : Pertanggung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.
Mukadimah deklarasi hak-hak anak menjelaskan bahwa: dalam deklarasi
sedunia tentang hak asasi manusia, PBB, telah menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas segala hak dan kemerdekaan sebagaimana yang tercantum dalm deklarasi
ini tapa membeda-bedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik dab pendapat lainnya, asal usul bangsa atau tingkatan social, kaya
atau miskin, kedudukan, keturunan atau status.
Lebih lanjut deklarasi Hak-Hak Anak pada Asas I berbunyi : Anak-anak
berhak menikmati seluruh hak yang tercantum dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa
pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membeda-bedakan,
baik dilihat dari dirinya sendiri maupun dari segi keluarganya.Hal-hal tersebut lah
38
yang diadopsi oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengatur
tentang kedudukan anak secara keseluruhan.6
C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak dalam Hal Mawaris dan Perwalian
Masalah akibat hukum dari pengangkatan anak di atur dalam staatblad 1917
Pasal 11, 12, 13 dan 14 Nomor 129. Berikut ini adalah uraian pokok-pokok dari
beberapa pasal tersebut.
Pasal 11 menyatakan bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi
hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai keturunan lain, berganti
menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama
keturunan orang yang diangkat itu. Pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa anak
yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua yang
mengangkatnya, nama orang tuanya berganti dengan ayah angkatnya atau ibu
angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung7.
Hubungan penuh anak yang diadopsi dengan orang tua yang mengadopsi dan
sebaliknya, menurut para ahli hukum, harus diluruskan, karena hal itu bertentangan
dengan Al-Quran.8Asep Saepudin Jahar dkk, secara eksplisit menjelaskan bahwa
6Deklarasi Hak-Hak Anak, Media Center, Surabaya 2006.
7 Ahmad Kamil dan M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
h. 27
8 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 89
39
pemberlakuan Staatblad mengenai akibat hukum adopsi seharusnya terkikis oleh
keberlangsungan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1 Tahun 1991).
Dan disini mereka (para pembuat draft KHI) menemukan legitimasi untuk
mempertahankan praktik waris antara pihak-pihak yang beradopsi yang terjadi di
beberapa daerah selama ini dalam konsep wasiat wajibah.Alasan mereka menerapkan
konsep wasiat wajibah kepada pihak-pihak yang beradopsi adalah bahwa hubungan
antara anak adopsi dan orang tua yang mengadopsinya bisa sangat dekat, sehingga
pihak-pihak yang terlibat dalam praktik adopsi bisa seperti sanak saudara dekat (al-
aqrabun).
Menariknya dalam hal ini, alih-alih merekomendasikan orang tua yang
mengadopsi dan anak adopsi membuat wasiat satu sama lain sebelum meninggal,
KHI pada pasal 209 memilih mengatur bahwa bagian tertentu yakni sepertiga. Harta
mereka harus diberikan kepada masing-masing mereka setelah salah satunya
meninggal (orang tua adopsi/anak adopsi).9
Dilihat dari aspek logis, dapat dipahami bahwa persoalan wasiat wajibah
dalam KHI adalah persoalan ijtihadiyang ditetapkan berdasarkan argumen hukum
mashlahah al-murshalah yang berorientasi untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan
9Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 91
40
dan kemashlahatan yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat
muslim Indonesia.10
Di beberapa negara muslim lain, masalah adopsi ini juga diatur. Beberapa
negara mengatur masalah adopsi kaitannya dengan kewarisan dengan merujuk pada
aturan yang terdapat dalam fikih klasik. Beberapa negara lain melakukan
pembaharuan. Melalui pasal 15 Law of Guardianship and Adoption 1958 dan
diperkuat oleh Law 69 of 1959, Tunisia, misalnya mengatur bahwa anak angkat
mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan anak kandungnya. Somalia
membuat aturan yang sama, seperti Tunisia. Dengan demikian, anak angkat
memperoleh harta waris dari orang tua angkat seperti anak kandungnya.11
D. Yurisprudensi Pengadilan Agama Tentang Pengangkatan Anak
Perkara anak angkat yang masuk ke Mahkamah Agung hanya sekitar 10,21%.
Persentase ini didasarkan pada sampel perkara waris yang berjumlah 186, hanya
terdapat 19 perkara waris yang melibatkan anak angkat.Dari jumlah tersebut, 11
perkara sengketa antara saudara pewaris dengan anak angkat pewaris; 8 perkara
10
Ahmad Kamil dan M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
h. 148
11
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 92
41
sengketa antara anak pewaris dengan anak angkat.Jumlah yang dikabulkan sebanyak
12 perkara, tidak dapat diterima 5 perkara, dan 2 perkara ditolak.12
Dasar hukum perkara yang tidak diterima adalah gugatan tidak memenuhi
syarat dan para pihak tidak ada hubungan waris.Sedangkan perkara yang ditolak
dasar hukumnya pengangkatan anak tidak sesuai hukum Islam karena memutuskan
hubungan dengan orang tua aslinya dan para pihak tidak mempunyai hubungan
waris.13
Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung :
a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 37K/SIP/1959 tanggal 18 Maret 1959,
yang menyebutkan bahwa “seorang anak angkat mendapat bagian harta dari
orang tua angkat sebanyak sepertiga bagian. Mahkamah Agung RI dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengangkatan anak telah
menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu telah menjadi
tradisi pula bahwa anak angkat telah memberi bantuan baik besar maupun
kecil dalam segala urusan orang tua angkat.
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 210K/SIP/1873 memperlihatkan bahwa
keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada upacara adat tanpa melihat
12
Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata
Islam, (Depok, 2011), h. 272
13
Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang
Perdata Islam, h. 273
42
secara objektif realita keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua
angkat. Syarat keabsahan anak angkat yang demikian semakin jelas terlihat
dari putusan Mahkamah Agung Nomor 912K/SIP/1975 yang menyatakan
tanpa ucara adat tidak sah pengangkatan anak, meskipun sejak kecil dipelihara
serta dikawinkan oleh orang yang bersangkutan.
c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1413K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei 1990,
apakah seorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung
pada formalitas-formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan
yang ada, yaitu bahwa ia sejak bayi dipelihara, dikhitankan dan dikawinkan
oleh orang tua angkatnya.
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 53K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996,
bahwa menurut hukum adat di daerah Jawa Barat, seseorang dianggap sebagai
anak angkat, bila telah memenuhi syarat-syarat diurus, dikhitankan,
disekolahkan dan dikawinkan dimana anak angkat tersebut berasal dari
keluarga ibu angkatnya, maka anak tersebut berhak mewarisi harta gono gini
anak angkatnya.
Beberapa Kaidah Hukum Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan
setiap putusannya dan menjadi yurisprudensi : (1) Anak yang dipelihara dan
diperlakukan sebagai anak angkat, hidup dalam dalam lingkungan keluarga
pewaris dan ia mengabdi merawat pewaris, walaupun tidak ada putusan
Pengadilan Negeri mengenai pengangkatan anak tersebut, mendapat wasiat
wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan (2) jika pewaris tidak meninggalkan
43
untuk anak angkat pengadilan secara ex officio menetapkan wasiat wajibah untuk
anak angkat (3) bagian ahli waris anak angkat tidak mutlak harus 1/3 bagian dari
harta warisan dan banyaknya ahli waris (4) hibah orang tua angkat kepada anak
angkatnya atas seluruh harta kekayaan tidak mengikat dan yang berlaku maksimal
1/3 (5) pengangkatan anak yang memutuskan hubungan keluarga dengan orang
tua angkatnya tidak mengakibatkan hak wasiat wajibah14
14
Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata
Islam, h. 279-280
44
BAB IV
PENGANGKATAN ANAK DI DAERAH DUREN TIGA
A. Gambaran Umum Kelurahan Duren Tiga dan Letak Geografisnya
Daerah khusus ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah ibu kota Negara Republik
Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status
tingkat provinsi. Jakarta terletak di Tatar Pasundan, bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kalapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-
1619), Batavia atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan
Djakarta (1945-1972).
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km2 (lautan 6.977,5 km2) dengan
penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2016). Wilayah metropolitan Jakarta
(Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa. Merupakan metropolitan terbesar
di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.
Jayakarta adalah pemberian nama oleh Raden Fatahillah sebelumnya bernama
Sunda Kalapa, mengandung arti kemenangan atau kesejahteraan mutlak. Ada juga
yang menulis Jayakerta atau Jakerta. Kemudian menjadi umum dengan sebutan
Jakarta.1
1 Rachmat Ruchiat, Asal Usul Nama Tempat di Jakarta, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), hal. 9
45
Kota Jakarta dibagi lima wilayah administratif, Utara, Timur, Selatan, Barat
dan Pusat Jakarta. Dengan luas 661,52 km2, dengan populasi penduduk 10.187.595
jiwa (2016).2 Wilayah Jakarta Selatan sendiri memiliki 10 Kecamatan : Jagakarsa, Ps.
Minggu, Cilandak, Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Kebayoran Baru, Mampang,
Setia Budi, Tebet, Pancoran. Duren Tiga berada di dalam kecamatan Pancoran dan
tiga kelurahan lainnya, yaitu Kelurahan Pengadegan, Kalibata, dan Pancoran.
Kantor Kelurahan Duren Tiga terletak di jalan Minyak 1, Kecamatan
Pancoran Kotamadya Jakarta Selatan Propinsi DKI Jakarta (Kode Pos 12760),
memiliki luas wilayah 2.45 km2, terdiri dari 6.325 keluarga (KK), 76 RT, 7 RW.3
Duren Tiga merupakan satu tempat atau kawasan kelurahan di kecamatan
Pancoran, namanya yang cukup unik membuat banyak pihak menyakini dahulu di
tempat itu ada tiga pohon duren (durian) besar yang tumbuh. Namun Zaenuddin HM
dalam bukunya mengungkapkan ada keterangan yang lebih kuat menjelaskan asal-
usul nama Duren Tiga.
Menurutnya penamaan Duren Tiga bukan berasal dari pohon duren melainkan
dari sebuah nama pabrik. Seperti diceritakan para sesepuh setempat, dahulu di sana
ada pabrik korek api bermerk Duren Tiga. Pabriknya terletak di pinggir jalan Duren
Tiga Raya bersebrangan dengan Kantor Perusahaan Listrik Negara. Kini, menjadi
2Wikipedia, 16 Maret 2016
3 Arsip Kantor Kelurahan Duren Tiga Jakarta Selatan 2014
46
pabrik timbangan.4 Dalam buku Zeffry Alkatiri salah satu mata pencaharian
masyarakat Duren Tiga yang mayoritas betawi yaitu beternak sapi untuk dijadikan
susu perah.5
B. Pandangan Masyarakat Duren Tiga Mengenai Pengangkatan Anak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pandang memperoleh makna
penglihatan yang tetap dan relatif lama, menyelidiki sesuatu secara teliti.6 Dan
dengan ketambahan (an) berarti menyatakan suatu hal atau cara, maksudnya
pandangan adalah suatu hal dengan proses penyelidikan yang tetap dan lama.
Pandangan masyarakat sama juga dengan persepsi masyarakat. Seorang ahli
yang bernama Thoha mengungkapkan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses
kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang
lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran.
Oleh karena itu demi tercapainya suatu pemahaman secara kompleks
mengenai pandangan masyarakat Duren Tiga tentang pengangkatan anak
diperlukannya proses wawancara agar variabel yang berkaitan berujung pada jawaban
atau hasil.
4 Koran Bisnis Online (m.bisnis.com/Jakarta/read/20141104/387/270465)
5 Zeffry Alkatiri, Jakarta Punya Cara, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), hal. 125
6KBBI Online, 17 Maret 2016.
47
Di masyarakat Duren Tiga ditemukan beberapa responden yang melakukan
pengangkatan anak sebagai berikut :
1. Pasangan Ibu Atin dan Udin, pendidikan SMA, pekerjaan wirausaha, alamat
Jalan Kemang Utara IX Yayasasan Ummi Rahmah 01/005. Mereka
mengangkat anak pada tahun 2013 dan usia anak dalam keadaan baru lahir.
Orang tua angkat berasal dari Jawa Tengah. Tujuan pengangkatan anak ini
dikarenakan sudah menikah selama 7 tahun namun belum kunjung dikaruniai
keturunan.
2. Pasangan Andi dan Teti, pendidikan Diploma 3, Pekerjaan wiraswasta dan
karyawan, alamat Jalan Kemang Utara IX Yayasasan Ummi Rahmah 02/005.
Mereka mengangkat anak pada tahun 2012 dan usia anak dalam keadaan baru
lahir. Orang tua angkat berasal dari Sukabumi. Tujuan pengangkatan anak ini
dikarenakan faktor rahim si istri yang sudah di angkat karena sakit tetapi ingin
memiliki anak lagi.
3. Pasangan Hartati Yanti dan Abdurrahman, Strata 1, pekerjaan Pegawai Negeri
Sipil dan Wiraswasta, alamat Jalan Kemang Utara IX Gang. H. Ibrahim
03/03. Mereka mengangkat anak pada tahun berapa 2010 pada usia anak
berumur 12 tahun. Orang tua angkat berasal dari Sumatera Barat. Tujuan
pengangkatan anak ini karena memiliki rasa belas kasihan yang orang tua
kandung memiliki ekonomi sulit.
48
4. Pasangan Najib dan Farah, SMA, pekerjaan Wiraswasta, alamat Jalan
Kemang Utara IX Yayasan Ummi Rahmah 01/03. Mereka mengangkat anak
pada tahun 2006 pada usia anak dalam keadaan baru lahir, anak yang diangkat
dari kerabat dekat. Orang tua angkat berasal dari Jakarta. Tujuan
pengangkatan anak ini di karenakan tidak memiliki keturunan.
5. Pasangan Basyir dan Umi, Pedidikan Strata 1 dan SMA, Pekerjaan Karyawan
Swasta, alamat Jalan Kemang Utara IX Yayasasan Ummi Rahmah 01/03.
Mereka mengangkat anak pada tahun 1994 pada usia anak dalam keadaan
baru lahir. Orang tua berasal dari Betawi. Tujuan pengangkatan anak ini di
karenakan selama perkawinan tidak kunjung dikaruniai anak.
6. Tokoh masyarakat Luthfi, menjelaskan perihal adat Betawi yang menurutnya
kuat dalam memeluk agamanya sehingga sulit ditaklukan penjajah seperti
halnya Daerah Istimewa Aceh, dalam kaitannya pada pengangkatan anak
beliau merasa tidak ada suatu ritual atau prosesi dalam mengangkat anak.
masyarakat adat Betawi hanya menegaskan tidak bolehnya menganggap anak
angkat seperti anak kandung, seperti yang diperintahkan al-Quran.
Dari hasil wawancara, pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat
Duren Tiga di lakukan dengan motif yang berbeda-beda di antaranya adalah karena
istri yang sudah tidak dapat memiliki keturunan lagi setelah melakukan operasi ceaser
setelah melahirkan anak keduanya,7 tidak mempunyai keturunan karena faktor bilogis
7Andi Kosasih Sanjaya, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
49
(mandul),8 ada yang melakukan pengangkatan anak agar bisa cepat mendapatkan
keturunan atau (pancingan),9 dan sebagai rasa belas kasihan terhadap anak terlantar,
dan juga terhadap anak yatim piatu.10
Ada dua faktor yang sangat mendasar mengapa suatu keluarga melakukan
pengangkatan anak jika disimpulkan, (1) faktor biologis (2) faktor belas kasihan.
Faktor biologis yaitu sebuah pernyataan prediksi dari seorang dokter bahwa tidak
atau susah mendapatkan anak (keturunan), jadi sebuah tabiat/naluriyyah sebuah
keluarga disini maksudnya suami dan istri untuk mendidik, mengasuh dan menjaga
anak, oleh karena itu diangkatlah seorang anak, bahkan lebih dari satu. Faktor belas
kasihan yaitu sebuah motif pengangkatan anak didasari rasa iba, mengingat orang tua
kandung tidak mampu atau sudah meninggal dunia, oleh karena itupun diangkatlah
seorang anak untuk dididik, disekolahkan dan dijaga.
Dua pandangan masyarakat yang dapat digaris bawahi, bahwa : (1) cara
pandang mengenai pengangkatan anak dengan kacamata agama, disini dimaksudkan
Islam (2) cara pandang memakai kacamata adat. Yang menjadi perbedaan adalah
tentang pemahaman dalam ilmu agama. Bagi yang tidak memahami betul tentang
ilmu agama, pasti mengangkat anak dengan cara pandang memakai hukum adat.
Akan tetapi yang menarik, dalam hukum adat ada unsur syar’i didalamnya, yaitu
8 Atin, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
9 Basyir dan Umi, Wawancara Pribadi, (Jakarta:18 Maret 2016).
10
Hartati Yanti, Wawancara Pribadi, (Jakarta:18 Maret 2016).
50
tidak ada larangan nash Alquran yang dipergunakan, contoh: tidak menjadikan anak
angkat sebagai anak kandung murni.
Dari lima (5) informen yang di wawancarai, hanya dua keluarga yang
mengangkat anak yang sesuai kacamata agama, yaitu bapak Basyir dan ibu Umi
kemudian keluarga ibu Hartati Yanti dan bapak Abdurrahman. 3 keluarga yang lain
yaitu bapak Andi kosasih dan ibu Teti, bapak Najib dan ibu Farah, dan Ibu Atin dan
Bapak Udin memandang pengangkatan anaknya mengikuti kebiasaan-kebiasaan latar
belakang daerahnya.
Maksud dari kacamata agama disini khususnya Islam, mereka berhati-hati
(ihtiyath) dalam mengangkat anak yaitu contohnya mengangkat anak hanya seorang
anak laki-laki, sama seperti pengangkatan anak oleh Nabi Muhammad. Dan maksud
dari kacamata adat adalah karena kebutuhan akan memiliki anak, mereka yang
mengangkat anak didorong faktor adat di daerah masing-masing, contohnya
wawancara dengan ibu Atin yang telah 8 tahun usia pernikahan tetapi belum
dikaruniai keturunan, menurut kebiasaan adat Jawa mancing yaitu memelihara atau
mengasuh anak dari kerabat dekat dengan tujuan agar kelak cepat mendapatkan
momongan.
C. Tradisi Pengangkatan Anak di Duren Tiga
Tradisi (العرف/العادة) dalam pandangan Islam berasal dari perkataan Rasulullah
SAW dari Abdullah bin Mas’ud Radiya Allah anhu, حسن ما رآه المسلمون حسنا فهو عند للاه
51
“Perkara yang dilihat/dipandang orang muslim bersifat baik maka Allah pun
memandang perkara tersebut baik” hadis mawquf, Imam Ahmad dalam Musnadnya.11
Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan
berdasarkan urf yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat) sama dengan
yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’iy. Para ulama yang menyatakan bahwa urf
merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa
menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash dari Al-Quran dan Hadis. Dengan
catatan urf tidak betentangan dengan dalil qath’iy dari Al-Quran dan Hadis.12
Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendapatkan arti adat
kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan
yang paling baik dan benar.13
Di daaerah Jakarta, orang lazim mengangkat anak, anak angkat biasa disebut
anak pungut. Di daerah Pondok Renggong disebut anak pulung, di daerah tebet
kukutan. Anak yang dijadikan anak angkat tidak ada ketentuan batas umur.
11
Zaynuddin, Al-Asybah wa an-Nazhair ‘ala mazhab Abi Hanifah An-Nu’man,(Lebanon: Dar-
Alkutb Al-ilmiah, 1999), h. 79
12
Saefullah Ma’sum dkk, Ushul Fiqh Muhammad Abu Zahrah, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2011), h. 417
13
KBBI Online 17 Maret 2016.
52
Umumnya anak-anak yang masih di bawah umur (balita), bahkan ada yang di minta
sejak dalam kandungan.14
Di Jawa Barat, tepatnya di Sukabumi pengangkatan anak dilakukan dengan
suatu selamatan kecil pada saat penyerahan anak angkat, dan di istilahkan dengan
membeli anak angkat dengan nilai rupiah yang sekedarnya. Di Jawa Tengah hukum
adat atau tradisi, tidak memberi ketentuan tentang cara mengangkat anak, hanya
dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Di Aceh, pengangkatan anak disebut
anceuk geuteung, di Meulaboh disebut anak anak pungut atau anak seubut, sifatnya
hanya memelihara saja dan tidak mempunyai akibat hukum lain.15
Duren tiga merupakan kawasan yang notabenenya penduduk asli berbudaya
betawi (masyarakat adat betawi) di era modern zaman sekarang banyaknya pendatang
dari luar daerah yang mencari peruntungan di Jakarta, maka dari itu terjadinya
percampuran-percampuran kebiasaan penduduk pendatang dengan masyarakat asli
betawi, maksud disini saling berdampingan, masyarakat asli dengan budaya Betawi
dan pendatang dengan budaya masing-masing; ada Jawa, Sunda, Minang, Aceh dan
lain-lain.
Tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga mengikuti kebiasaan/adat yang
mengangkat anak (pengangkat anak), di Betawi sendiri anak angkat diutamakan dari
14
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya
dikemudian hari, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 54
15
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya
dikemudian hari, h. 103
53
kerabat dekat, dan tidak ada ceremonial dalam hal pengangkatan anak, yang
terpenting sesuai aturan Islam16
maksud disini adalah tidak menjadikan anak angkat
sebagai anak kandung. Dan kemudian budaya pendatang dengan masing-masing latar
belakang daerah.
Masyarakat adat Betawi menjelaskan diutamakan mengangkat anak dari
kerabat dekat, ini sejalan dengan perintah al-Quran surat an-Nisa [4] : 36, Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.
Akan tetapi seharusnya bagi masyarakat Indonesia dalam mengangkat anak
harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tata cara
pengangkatan anak diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007
yang dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Sosial No. 110 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak, peraturan tersebut menyebut bahwa pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan tidak boleh
memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
16
Lutfi, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
54
Lebih jelasnya alur pengangkatan anak dimulai dari melakukan pengajuan
pengangkatan anak melalui Dinas Sosial, kemudian Dinas Sosial melakukan
pengecekan home visit ke rumah calon oran tua angkat dengan tujuan mengetahui
kelayakan secara ekonomi dan psikososial, setelah itu hasil dari home visit dirapatkan
ke tim pertimbangan perizinan pengangkatan anak, apabila dinyatakan layak, calon
anak angkat diperbolehkan di asuh calon orang tua angkat selama enam bulan namun
sifatnya masih ujicoba atau dalam pengawasan Dinas Sosial, setelah semua step
dilakukan calon orang tua angkat melakukan penetapan di Pengadilan di wilayah
calon orang tua angkat.
Yang menjadi catatan penting, bahwa semua kultur budaya dalam hal apapun;
Pernikahan, Waris, Muamalah, sampai Pengangkatan Anak dibolehkan asal tak
bertentangan dengan nash. Bahkan lebih jauh penyusun sepakat dengan Ulil Abshar-
Abdalla dalam cuitan di Twitter menyebutkan bahwa Islam tidak akan bisa
mengalahkan adat lokal. Sebaliknya, adat lokal bisa diperkaya dengan nilai-nilai
Islam. Keduanya berhubungan secara simbiosis.
Akan tetapi sebagai warga negara yang baik seharusnya pengangkatan anak
dilakukan sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku demi terciptanya ketertiban
hukum dan anak yang diangkat sah dimata hukum.
D. Akibat Hukum dari Tradisi Pengangkatan Anak di Duren Tiga
55
Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
status seorang anak ke dalam keluarga baru. Oleh karena motif yang berbeda-beda
atau adanya tradisi di dalamnya maka pengangkatan anak di Duren Tiga memiliki
ciri yang khas dan berimplikasi hukum, baik ditinjau dari aspek sosiologis maupun
hukum adat yang dibawa.
Telah disinggung di atas bahwa Duren Tiga merupakan kawasan masyarakat
adat Betawi dan berkembangnya zaman banyak pendatang yang menempati wilayah
Jakarta termasuk Duren Tiga. Akan tetapi jika dilihat lebih dalam meskipun berbeda
budaya terdapat tujuan atau kesamaan memiliki keinginan untuk mendidik anak
meski bukan anak kandung.
a) Hubungan anak angkat dengan orang tua kandung
Karena banyak yang mengangkat anak dengan kerabat dekat, hubungan anak
angkat dengan orang tua kandung tidak berjarak, saling mengawasi, atau merawat
anak. Hanya saja tempat tinggal dan biaya sehari-hari berada dalam kekuasaan
orang tua angkat. Adapun pengangkatan anak di luar kerabat dekat, secara tujuan
memiliki kesamaan17
yaitu mendidik anak meski bukan anak kandung, mengenai
status anak angkat, orang tua angkat berpendapat akan menjelaskan secara dewasa
jika waktunya sudah tepat bahwa yang bersangkutan (anak angkat) bukanlah anak
kandungnya. Menurut penulis ini sangat sesuai dengan pengamalan Nabi
Muhammad dalam Islam, hanya saja ketika dewasa apabila telah mengetahui
17
Andi kosasih Sanjaya, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
56
status anak angkatnya, ia diberi kebebasan untuk tinggal di tempat orang tua
angkat atau orang tua kandungnya sesuai pilihannya.
b) Administrasi Kependudukan
Keluarga dari bapak Andi dan ibu Teti mengakui anak angkat tercatat dalam akta
kelahiran sesuai dengan keluarga orang tua angkat, dengan membuat perjanjian
dengan orang tua kandung di depan notaris, ia beranggapan kelak orang tua
kandung tidak memerasnya suatu saat kelak, jadi meyakini bahwa akta notaris
sebagai surat yang berkekuatan hukum, menurut hemat penulis dengan membuat
permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Agama, itu sudah cukup sebagai
surat yang legal. Dan empat (4) keluarga yang lainnya menjelaskan bahwa anak
angkat tercatat sesuai orang tua kandung.
c) Perwalian Anak Angkat
Menurut pengakuannya karena mengingat sekarang masih berusia 4 tahun apabila
anak angkat perempuan telah sampai jenjang pernikahan maka ayah kandung
dikabarkan bahwa anaknya ingin menikah dan dimohon kesediaannya mengingat
orang tua kandung bertempat tinggal jauh dari orang tua kandungnya, akan tetapi
orang tua angkat menjelaskan akan berupaya untuk mendatangkan orang tua
kandung18
. Dalam fiqh munakahat tercantum 3 kelompok orang yang berhak
menjadi wali, yaitu wali nasab, wali mu’thiq, dan wali hakim, kedudukan wali
18
Andi Kosasih Sanjaya, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
57
hakim disini dapat menggantikan wali nasab, apabila wali nasab di nyatakan
hilang, meninggal atau tidak dapat menghadiri.19
d) Waris untuk anak angkat
Keluarga bapak Basyir dan ibu Umi dan keluarga Hartanti Yanti mengetahui
bahwa 1/3 merupakan bagian maksimal untuk anak angkat, meski ada beberapa
yang belum faham mengenai waris anak angkat. Menurutnya belum terfikirkan
sampai ke pembagian waris.20
Menurut Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal bagian waris untuk anak
angkat atau sebaliknya orang tua angkat mendapat waris dari harta anak angkat,
pembagian harta anak atau orang tua angkat dikenal dengan bagian wasiat wajibah,
menurut KHI pasal 209 baik ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa orang tua atau anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta orang tua atau anak angkat.
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2009), h.75 20
Basyir, Wawancara Pribadi, (Jakarta: 18 Maret 2016).
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian pengangkatan anak studi masyarakat duren tiga, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Masyarakat Duren Tiga memandang bahwa anak angkat tidak bisa disamakan
dengan status anak kandung, dan untuk para pendatang melatar belakangi
pengangkatan anaknya dari daerah masing-masing, yang utama dari pengangkatan
anaknya tidak adanya larangan ajaran Islam yang dijalankan.
2. Mengenai tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga warga yang mengangkat anak
mengakui tidak ada tradisi khusus, tidak ada ceremonial kemudian mengangkat
anak dengan cara orang-orang atau saudara yang telah mengangkat anak lebih
dahulu. pengangkatan anak dilakukan dengan motif untuk menyalurkan kasih
sayang karna sebagai tabiat suami/istri mendidik, mengasuh, dan menjaga anak.
3. Akibat dari tradisi pengangkatan anak di Duren Tiga memiki suatu hubungan
antara anak angkat dengan orang tua kandung yang baik, karena kebanyakan dari
yang mengangkat anak dari kerabat dekat, oleh karenanya orang tua angkat dan
kandung saling mengawasi mendidik demi kesejahteraan anak.
59
B. Saran-saran
Dari kesimpulan di atas, saran penulis dalam permasalahan pengangkatan anak studi
masyarakat Duren Tiga sebagai berikut :
1. Diharapkan adanya sosialisasi instansi terkait tentang prosedu(Jakarta: Kencana,
2013)r pengangkatan anak, karena mengingat masih banyaknya masyarakat
khususnya Duren Tiga yang belum mengetahui mengenai Undang-Undang yang
terkait yaitu UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 di dukung PP No. 54
tahun 2007 dan lebih rinci dijelaskan didalam Permensos No. 110 Tahun 2009
tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
2. Disarankan pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri agar prosedur
pengangkatan anak dilakukan dengan mekanisme yang mudah. Mengingat
banyaknya masyarakat yang anti-birokrasi karena prosesnya yang begitu lama.
3. Disarankan bagi orang tua yang beragama Islam dan ingin mengangkat anak
melalui proses permohonan pengangkatan anak ke Pengadilan Agama yang me-
wilayahi tempat tinggalnya.
60
Daftar Pustaka
Ahmad Kamil dan M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2010)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997)
Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anaka Persektif Islam,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2009)
Arsip Kantor Kelurahan Duren Tiga Jakarta Selatan 2014
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-
Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,
2013)
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat
Hukumnya dikemudian hari, (Jakarta: Rajawali, 1989)
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2006)
Deklarasi Hak-Hak Anak, Media Center, Surabaya 2006
Djaja S. Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung: Tarsito,
1982)
Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang
Perdata Islam, (Depok, 2011)
Fuad Muhammad Fachrudin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman
Ilmu, 1991)
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Suara
Uidilag, 2007, Vol 3, No. X, Mahkamah Agung RI)
Ibrahim Anis dan Abd. Halim Muntasir et al., Al Mu’jam Al Wasith, (Mesir: majma’
al-lughah al-arabiah, 1392/1972m)
61
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara,
1990)
M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1985)
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2002)
Mahmud Syaltut, Al- Fatawa, (Mesir: Dar al Syuruk, 1991)
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta, (Sinar
Grafika: 2002)
Muhammad Reza Afwi, Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif dan
Implementasinya di Pengadilan Agama, (Jakarta: LP UIN Syarif
Hidayatullah, 2011)
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi
Anak yang Mempunyai Masalah, Konsideran (a)
Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976)
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001)
Rachmat Ruchiat, Asal Usul Nama Tempat di Jakarta, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012)
Saefullah Ma’sum dkk, Ushul Fiqh Muhammad Abu Zahrah, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2011)
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001)4e
Subhan Abdullah dkk, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih Bukhari, )Jakarta: Almahira,
2012)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23/2002, Tentang Perlindungan Anak, Pasal
39 Ayat 2.
62
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, (Jakarta: Mahkamah
Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006)
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Konsideran
(a)
W. A. Gerungan Dipl., Psych, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, (Jakarta: Eresco,
1977)
Wahbah Zuhaili, Mausuah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-qadlaaya Al-Ma’aashirah,
(Damaskus: Dar-Alfikr, 2010)
Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Kuwait: Dar Al-Qalam, 2008)
Zaynuddin, Al-Asybah wa an-Nazhair ‘ala mazhab Abi Hanifah An-
Nu’man,(Lebanon: Dar-Alkutb Al-ilmiah, 1999)
Zeffry Alkatiri, Jakarta Punya Cara, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012)
KBBI Online
Koran Bisnis Online (m.bisnis.com/Jakarta/read/20141104/387/270465)
Wikipedia
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apa yang melatar belakangi bapak/ibu mengangkat anak?
Jawab : Faktor utama dalam mengangkat anak yaitu istri yang sudah seteril yang
sebelumnya dianjurkan oleh dokter mengingat kondisi rahim istri saat melahirkan
anak kedua lemah.
2. Bagaimana bapak/ibu mengangkat anak, lewat pengadilan kah? Pengadilan Negeri
atau Agama? Atau secara kekeluargaan?
Jawab : Saya mengangkat anak dengan cara kekeluargaan saja.
3. Pada saat umur berapa tahun bapak/ibu mengangkat anak?
Jawab : Sejak dalam kandungan, mengingat keadaan orang tua kandung yang
memiliki banyk anak namun ekonomi yang tidak berkecukupan.
4. Adakah faktor tradisi-tradisi dalam hal pengangkatan anak ini?
Jawab : Tidak ada faktor apa apa, melainkan hanya untuk ibadah semata menolong
orang tanpa paksaan.
5. Dalam peraturan pengangkatan anak dijelaskan bahwa anak angkat harus mengetahui
orang tua kandungnya, pada saat umur berapa bapak/ibu menjelaskannya?
Jawab : Dengan berjalannya waktu kami (saya dan istri) akan menjelaskan secara
dewasa bila saatnya tiba.
6. Bagaimanakah administrasi kependudukan anak angkat? Mengenai KK, ataupun Akta
lahir?
Jawab : Karena saya dan orang tua kandung anak itu membuat perjanjian tertulis di
depan notaris maka akta kelahiran dan administrasi kependudukan lainnya tercatat
dalam keluarga saya.
7. Bagaimana hubungan anak angkat dengan orang tua kandung?
Jawab : Tidak ada hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandung. Karena
keterbatasan jarak yang jauh.
8. Kelak setelah dewasa dan memutuskan untuk menikah, bagaimana mengenai wali
pernikahannya?
Jawab : Untuk memasuki jenjang pernikahan kami mengusahakan menghubungi
keluarga garis ayah dari anak angkat kami.
9. Mengenai waris, adakah bagian untuk anak angkat?
Jawab : Mengenai hak waris kelak akan kami fikirkan karena saat ini mengingat baru
berusia 3th.
10. Bagimana pandangan masyarakat/tokoh warung buncit mengenai pengangkatan anak?
Jawab : Tidak ada.
Responden
Andi Kosasih Sanjaya