Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia
-
Upload
bastian-nugraha-sirait -
Category
Documents
-
view
623 -
download
2
description
Transcript of Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia
![Page 1: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/1.jpg)
1
ANALISIS PENERAPAN FAIR VALUE DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Metode pengukuran dalam menentukan nilai elemen-elemen akuntansi adalah suatu poin penting
dalam memuat laporan keuangan yang akan mewakilkan kondisi suatu entitas secara objektif
kepada stakeholder. Proses pengukuran elemen akuntansi tersebut dapat dipengaruhi berbagai
macam sifat, baik berhubungan dengan kondisi dasar elemen maupun tujuan pemilik entitas
dalam memiliki elemen itu. Maka, kehandalan dan relevansi dari pengukuran berdasarkan sifat
tersebut adalah kunci dalam mengukur aset, liabilitas, ekuitas, dan elemen-elemen lain.
Sebelum digunakannya International Financial Reporting Standards (IFRS), akuntansi di
Indonesia menggunakan historical cost untuk pengukuran transaksinya. Dalam konsep ini, pos-
pos laporan keuangan diukur sebesar biaya pada waktu terjadinya transaksi. Biayaini kemudian
akan menjadi dasar pelaporan besarnya suatu pos untuk periode selanjutnya, selama pos tersebut
masih dilaporkan. Keuntungan dari digunakannya pendekatan historical cost ini adalah, besarnya
pos laporan keuangan dapat dibuktikan dengan mudah karena berdasarkan transaksi yang telah
terjadi. Namun, ketika terjadi penurunan atau peningkatan nilai suatu pos di pasar (bisa jadi
karena inflasi atau deflasi, atau karena kelangkaan produk, dan lain sebagainya), pos yang
dilaporkan tidak akan mencerminkan nilai sebenarnya.
Salah satu metode pengukuran yang diakui dalam standar akuntansi dan dapat digunakan entitas
dalam menentukan nilai adalah metode fair value. Metode ini mengakui revaluasi atas aset dan
liabilitas yang belum dijual pada standar yang berlaku. Fair value dianggap paling
memperhitungkan kondisi dan karakteristik pasar dalam pengukuran di laporan keuangan.
Metode ini dapat diterapkan pada aset finansial, liabilitas, aset non-finansial- property, plant, and
equipment, investment property, dan intangible asset, dan ekuitas.
Indonesia sebagai negara berkembang memasuki masa konvergensi IFRS dengan tujuan akan
mengurangi hambatan-hambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi
biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital.
Termasuk di dalamnya konvergensi IFRS 13: Fair Value Measurement yang akan menjadi titik
balik metode pengukuran dan pelaporannya laporan keuangan di Indonesia. Tentunya akan ada
![Page 2: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/2.jpg)
2
penyesuaian yang akan dihadapi Dewan Akuntansi, perusahaan, akuntan, profesi penilai
(appraisal), dan stakeholder di Indonesia. Kesiapan berbagai pihak yang terlibat ini akan
menjadi poin penting berlangsungnya penerapan fair value measurement.
Metode pengukuran fair value menuntut adanya kondisi-kondisi tertentu untuk mendukung
pengukuran ini dilakukan secara handal dan relevan, seperti contohnya adanya pasar aktif atas
elemen akuntansi yang diukur. Termasuk didalamnya apakah elemen tersebut apakah liquid
untuk diperjualbelikan di pasar. Selain itu, ada pula kondisi transaksi yang mempertimbangkan
volume penjualan. Terpenuhinya dan kecocokan kondisi ini pada saat dilakukannya pengukuran
fair value akan mempengaruhi kehandalannya. Indonesia dalam penerapannya belum memiliki
pasar aktif secara sempurna dan belum melingkupi semua bidang. Sinergisasi penerapan antar
bidang bisnis dapat dianggap perlu perbaikan agar tidak menimbulkan perbedaan dari pihak yang
belum memiliki pasar aktif.
Relevansi dari pengukuran metode fair value dapat dipertanyakan apabila informasi tersebut
terkandung di dalam laporan keuangan. Metode Fair Value yang memungkinkan sistem
revaluasi dapat menghasilkan pernyataan unrealized gain/ loss. Terlebih apabila laba bersih dari
laporan laba rugi digunakan sebagai indikator performa manajemen suatu entitas. Faktanya,
pengukuran fair value dapat lebih mencerminkan kondisi pasar, bukan performa manajemen.
Adanya praktek mixed measurement dalam sistem akuntansi juga dapat menimbulkan potensi
fraud atas relevansi laporan keuangan. Maka, perlu adanya konsistensi pemakaian fair value
dalam periode laporan dengan asumsi going concern.
Metode pengukuran fair value juga dapat membawa kepada kondisi premature recognition of
profit apabila dibandingkan dengan metode pengukuran cost model. Manajemen suatu entitas
dapat terdorong untuk memilih metode ini untuk mencapai target mereka. Gejala ini akan
menyebabkan perilaku sub-optimal dari entitas dan secara agregat diantara entitas-entitas dapat
menyebabkan systematic market risk. Sedangkan pada tingkat entitas, gejala ini dapat
meningkatkan asymmetric information dan mengurangi transparansi dari laporan keuangan.
![Page 3: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/3.jpg)
3
Paper ini bertujuan untuk menganalisa kesiapan Indonesia dalam menerapkan metode
pengukuran fair value dari sisi kondisi pasar, konsistensi metode, standar akuntasi, sumber daya
manusia, dan faktor-faktor pendukung lainnya. Berdasarkan temuan yang dihasilkan, paper ini
akan menyarankan kondisi optimal dalam penerapan fair value dalam menyajikan laporan
keuangan suatu entitas di Indonesia.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di bagian pendahuluan, maka kami
dapat merusmuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah penerapan metode fair value di Indonesia sudah didukung oleh adanya pasar aktif?
2. Apakah penerapan metode fair value di Indonesia dapat digunakan secara konsisten?
3. Apakah lingkungan di Indonesia dapat mendukung penerapan metode pengukuran fair value?
III. PENGGUNAAN METODE FAIR VALUE SECARA UMUM
3.1 Definisi Pengukuran Nilai Wajar
Salah satu perubahaan yang dibawakan FASB lewat IFRS-nya adalah fair value. Penggunaan
nilai wajar diperluas bahkan untuk aset biologis (contoh tanaman atau hewan ternak), aset tetap,
investment property dan aset tidak berwujud sebagai pilihan metode selain metode biaya. IFRS
mengharuskan pengungkapan yang lebih luas agar pemakai laporan keuangan mendapatkan
informasi yang lebih banyak sehingga dapat mempertimbangkan informasi tersebut untuk
pengambilan keputusan. Dasar penggunaanya adalah IFRS 13: Fair Value Measurement
(Martani, 2010).
Fair value adalah harga yang akan diterima dalam penjualan aset atau pembayaran untuk
mentransfer kewajiban dalam transaksi yang tertata antara partisipan di pasar dan tanggal
pengukuran (Perdana, 2011). FASB, dalam Statement Financial Accounting Standard (SFAS)
157, pengukuran fair value mengesahkan fair value sebagai exit value. “Fair value adalah harga
yang akan diterima dengan menjual satu aset atau yang dibayar untuk memindahkan suatu
kewajiban dalam transaksi antara peserta-peserta pasar di tanggal pengukuran.” (Penman,
![Page 4: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/4.jpg)
4
2007;33). Menurut Suwardjono (2008;475) fair value adalah jumlah rupiah yang disepakati
untuk suatu obyek dalam suatu tranksaksi antara pihak-pihak yang berkehendak bebas tanpa
tekanan atau keterpaksaan. IAI dalam buletin teknis no.3, Paragraf PA84 manyatakan bahwa:
Dasar dari definisi fair value adalah asumsi bahwa entitas merupakan unit yang akan beroperasi
selamanya tanpa ada intensi atau keinginan untuk melikuidasi, untuk membatasi secara material
skala operasinya atau transaksi dengan persyaratan yang merugikan.
Dengan demikian, fair value bukanlah nilai yang akan diterima atau dibayarkan entitas dalam
suatu transaksi yang dipaksakan, likuidasi yang dipaksakan, atau penjualan akibat kesulitan
keuangan. Nilai tersebut adalah nilai yang wajar mencerminkan kualitas kredit suatu instrumen.
Konsep fair value ini bukanlah isu yang baru. Konsep ini bahkan telah diterapkan di awal 1925
dengan adanya current valuesor dinilai values for assets jauh sebelum standar akuntansi
mengenai fair value dibangun. Di United States sendiri fair value bahkan lebih dari 50 taun
menjadi bagian dari GAAP. FASB di tahun 1975 mengharuskan marketable security harus
diakui dalam fair value.Setelah melewati waktu yang lama dan beberapa pertimbangan IASB
merampungkan suatu konsep fair value yang lebih luas diatur di dalam IFRS 13 “ Fair Value
Measurement”
Tujuan utama laporan keuangan adalah menggambarkan bagaimana sebenarnya keadaan
perusahaan dan mencerminkan kenyataan fluktuasi bisnis tersebut. Untuk meningkatkan
relevansi dari informasi yang ada dan meningkatakan kemampuan investor dan regulator untuk
menilai informasi yang ada. Fair value lebih baik dalam mencerminkan keadaan yang ada
dibandingakan historical cost sehingga informasi tersebut lebih relevan dan mudah dibandingkan
dengan informasi dari perusahaan lain, maupun informasi beda periode
3.2 Implementasi Pengukuran Fair Value
Analisis penggunaan fair value pernah dilakukan sebelumnya oleh Nobes (2001.
Plantinet al. (2005) dan Penman (2006) menjelaskan kelebihan dan kekeurangan dari fair value
accounting lebih lanjut. Secara konseptual fair value seharusnya seharusnya memberikan
informasi yang lebih tepat untuk pengambilan keputusan dan informasi yang berhubungan
dengan data akuntansi dan akhrirnya memberikan data yang lebih berguna buat investor. Pada
akhirnya, investor mendapatkan pengetahuan yang akurat bagaimana sebenarnya perusahaan
![Page 5: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/5.jpg)
5
tersebut. Fair value menghapus insentif untuk built gain trading dan sekurisasi aset dan
meningkatkan kredebilitas laporan keuangan. Namun hal ini tidak berlaku ketika fair value
tersebut tidak dapat ditentukan secara jelas, maka fair value kehilangan objektivitasnya.
Misalnya jika harga pasar tidak dapat ditentukan maka fair value hanya didasarkan oleh asumsi
dan menjadi kesempatan oleh manjemen untuk memanipulasi laporan keuangan (Ryan, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh CGA (Certified General Accountant
Association) Canada fair value accounting dapat menurunkan motivasi/insentif bagi manajemen
untuk mendapatkan keutnungan lewat campuran keduanya. Misalkan dalam kondisi ekonomi
sedang memburuk, menajamen mendapatkan profit lewat penjualan aset yang menggunakan
historical cost.
3.3 Pendekatan Metode Pengukuran Fair Value
Berikut beberapa cara yang mengukur fair value:
1. Pendekatan Pasar.
Dalam pendekatan ini, fair value diukur berdasarkan harga pasar atau informasi relevan
lain yang dihasilkan dari transaksi yang terjadi di pasar. Hal ini termasuk harga aset atau
liabilitas sejenis yang ada di pasar, dan metode penilaian lain yang konsisten dengan
pendekatan pasar. Patokan yang akan dipakai ketika menggunakan pendekatan pasar
adalah, pertama harga pasar aset (liabilitas) pada saat pelaporan, jika tidak terdapat harga
pasar aset (liabilitas) maka menggunakan harga pasar aset (liabilitas) sejenis, jika tidak
terdapat harga pasar aset (liabilitas) sejenis maka menggunakan model yang konsisten
dengan pendekatan pasar (contohnya model matrix pricing, dll) (handoko, 2011)
2. Pendekatan Penghasilan.
Dalam pendekatan ini menggunakan teknik penilaian untuk mengubah nilai masa depan
(contohnya aliran kas atau laba) yang diiskontokan (discounted). Pengukuran nilai wajar
dalam pendekatan ini menggunakan dasar nilai yang dilihat dari harapan pasar kini atas
nilai aset (liabilitas) masa depan. Pendekatan ini termasuk menggunakan nilai kini
(present value, option pricing).
3. Pendekatan Biaya.
![Page 6: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/6.jpg)
6
Pendekatan biaya disebut juga pendekatan biaya pengganti kini (current replacement
cost). Biaya pengganti ini adalah jumlah yang diperlukan untuk menggantikan suatu aset.
IV. KESIAPAN APLIKASI PENGUKURAN FAIR VALUE DI INDONESIA
4.1 Pasar Aktif di Indonesia sebagai Indikator Fair Value
4.1.1 Pasar Aktif dan Quoted Price
IFRS 13 mendefinisikan pasar aktif apabila di dalamnya terdapat transaksi-transaksi atas aset dan
liabilitas yang mencukupi secara frekuensi dan volume untuk menyediakan info harga pada masa
berjalan. Sehingga, dapat diambil quoted price atas transaksi-transaksi yang terjadi. Quoted Price
adalah didefinisikan sebagai The most recent price at which an investment (or any other type of
asset) has traded. Quoted price atas sebuah investasi seperti saham, surat utang, atau komoditas
dan derivative dapat terus berubah setiap hari sebagai respon atas kejadian yang mempengaruhi
pasar finansial dan harga yang dirasa pantas untuk investasi. Quoted price dapat mewakilkan bid
and ask prices terbaru yang disetujui oleh pembeli dan penjual.
Menurut Ball (2006) implementasi fair value akan berhasil apabila aktivitas pasar di sebuah
negara tersebut aktif dan liquid. Ball berpendapat bahwa ketika pasar di suatu negara tidak
liquid, manajer dapat mempengaruhi quoted prices. Ketika fair value menggunakan valuation
model, hasilnya bisa jadi bias dan buruk, manajer dapat mempengaruhi estimasi lewat pilihaan
model dan parameter yang digunakan.
4.1.2 Pasar Aktif di Indonesia
Kondisi di atas cukup sulit dipenuhi di Indonesia. Sebagai salah satu negara berkembang,
Indonesia belum memiliki pasar aset dan liabilitas yang mencerminkan kondisi ekonomi
sebenarnya. Sebagai contoh, tidak semua aset sekuritas yang dimiliki oleh institusi keuangan
diperjualbelikan di pasar modal yang ada di Indonesia. Hal semacam ini menimbulkan celah bagi
perusahaan untuk melakukan hal yang menguntungkan perusahaan tanpa mencerminkan keadaan
yang sebenarnya dengan cara menentukan quoted price secara sepihak.
Untuk sektor komoditi di Indonesia, bahkan dapat dikatakan tidak ada pasar yang benar-benar
liquid. Indonesia, melalui Indonesian Capital and Derivative Exchange (ICDX) bahkan hanya
mencantumkan seputar kelapa sawit baik itu CPO maupun olahan CPO. Sementara terdapat
![Page 7: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/7.jpg)
7
banyak komoditi-komoditi lain yang merupakan core bussines dari berbagai perusahaan yang
tidak dicantumkan di dalam ICDX. Dengan kata lain beberapa komoditi lainnya tidak memiliki
pasar yang aktif, sehingga penggunaan fair value sulit untuk dilakukan
Tantangan lainnya datang dari sektor properti karena cenderung akan dinilai menggunakan
pendekatan discount cash flow atau replacement cost karena tidak ada pasar aktif dari properti itu
sendiri. Perhitungan menggunakan metode di atas bisa jadi menggunakan asumsi manajer tanpa
adanya bukti nyata di pasar. Kecenderungannya akan menimbulkan informasi yang bias bagi
pengguna laporan keuangan karena tidak dapat melihat properti yang dimiliki perusahaan
tersebut tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang ada
Perlu adanya dukungan pemerintah (menstimulasi pembentukan pasar aktif atas aset-
aset, liabilitas) sehingga akan tersedia informasi quoted price secara fair dan wajar bagi semua
pihak yang akan memakainya sebagai dasar pengukuran dengan metode fair value.
4.2 Konsistensi Metode Fair Value
4.2.1 Potensi Inkonsistensi
Penerapan metode pengukuran fair value juga menuntut adanya penggunaan metode yang
konsisten dari suatu entitas. Dalam pengukuran kumpulan aset, liabilitas, dan ekuitas harus
menggunakan metode yang sama, tidak diperkenankan melakukan mixed measurement atas
metode yang dilakukan. Sehingga, laporan keuangan yang menggunakan metode fair value dapat
mencerminkan pasar dengan obyektif.
Konsistensi ini juga mencakup metode pengambilan quoted price harus pada pasar yang sama,
tidak diperkenankan memilih di antara pasar-pasar yang sejenis dengan tujuan mengambil
keuntungan. entitas cenderung mencari harga yang maksimal ketika akan melakukan penjualan
dan mencari harga terendah ketika pembelian.
4.2.2 Sikap CFA Institute terhadatp Mix Measurement
Certified Financial Accountant (CFA) Institute tidak mendukung adanya mixed measurement
dalam artian ada finansial instrument yang yang sebagian diukur menggunakan fair value dan
sebagian lagi menggunakan historical cost dengan alasan :
![Page 8: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/8.jpg)
8
1) Fair Value is the Relevant Measure – Fair value adaah pengukuran yang lebih relevan
ketika melakukan keputusan capital allocation sebab historical cost kurang dapat
mencerminkan keadaan ekonomi yang terjadi.
2) Management Intent Does Not Alter the Value of a Financial Instrument –Sebuah
instrumen keuangan nilainya tidak akan berbeda ketika aset tersebut ditahan atau
diputuskan dijual. Lebih jauh lagi seorang investor yang mencoba memutuskan sebuah
instrumen keuangan tertentu tidak seharusnya membayar harga berbeda karena perbedaan
pengukuran antara instrumen yang dimiliki sebuah instutusi yang berniat menahan
dengan instusi yang berniat menjualnya.
3) Lack of Consistency – Menggunakan pengukuran yang berbeda menciptakan
sedikitnya konsistensi dan kebingungan dalam pelaporannya dan kesusahan dalam
membandingkan laporan yang diterbitkan oleh perusahaan lain. Hal tersebut
menimbulkan perbedaan pengukuran antara instrumen yang sama yang dimiliki oleh dua
perusahaan yang berbeda, yang nantinya akan membingungan investor sendiri. Misalkan
perusahaan A dan B memiliki properti investasi berupa sebuah kamar di apartemen.
Apabila A dan B menggunakan pengukurannya yang berbeda untuk investasinya tersebut
sehingga investor bingung menilai informasi tersebut
4) Economic Mismatches Are Not Evident – Economic mismatches tidak terlihat dari
pelaporan antara aset menggunakan fair value dan utang menggunakan historical cost.
Metode pengukuran seharusnya dilakukan dengan konsisten terhadap keduanya.
Pada akhrinya dapat disimpulkan penerapan fair value di Indonesia harus dilakukan secara
konsisten baik dalam mengkur asset maupun liabilitas.
4.2.3 Konsistensi dalam Sustainability
Konsistensi ini juga merujuk sustainbility dari penggunaan fair value tersebut. Perusahaan tidak
diperkenankan menggunakan fair value ketika kondisi ekonomi sedang bagus dan kembali
menggunakan historical cost ketika ekonomi sedang memburuk. Diperlukan regulasi untuk
mengatur ketika perusahaan akan menggunakan fair value harus siap menerima konsekuensi
pengunaannya secara terus menerus dan menyeluruh
![Page 9: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/9.jpg)
9
4.3 Faktor Pendukung Penerapan Pengukuran Fair Value
4.3.1 Konvergensi Standar Akuntasi
DSAK sudah menyusun beberapa standar yang semua mengacu pada IFRS/IAS, termasuk
didalamnya konsep fair value. Diantaranya adalah PSAK no 30 tentang sewa ,beserta PSAK no
8. PSAK no 13 tentang Properti Investasi, PSAK no 16 tentang aset tetap dan PSAK 50 dan
PSAK 55 tentang Instrumen Keuangan. DSAK juga menerbitkan buletin teknis sebagai panduan
untuk melakukan perhitungan fair value pada standar-standar tersebut. Hampir seluruh
Pronouncement the International Accounting Standard Board sudah menerapkan dasar fair value,
Indonesia juga akan mengadopsinya.
4.3.2 Kesiapan Pelaku Bisnis
Menjadi sebuah pertanyaan ketika Indonesia akan menerapkan fair value apakah pelaku bisnis
termasuk akuntan di dalamnya mengerti betul secara teknis dan konsekuensi yang dihadapinya.
Akuntan dalam hal ini, dituntut untuk handal dalam menetukan fair value dalam pencatatan
laporan keuangan. Manajerial dalam hal ini, dituntut untuk profesional dengan tidak
memanfaatkan fair value untuk mendapatkan “keuntungan” semata padahal fair value bertujuan
untuk memberikan informasi yang lebih wajar.
Handoko mengungkapan ada empat kemungkinan fraud dalam menggunakan 3 metode
fair value. Pertama, jika nilai wajar didasarkan pada harga pasar, maka akan ada kemungkinan
bahwa harga pasar suatu aset ada dalam kisaran tertentu. Misalnya, mobil kijang tahun 1998
pada saat pelaporan di tahun 2002 harganya belum tentu sama antara satu penjual dengan penjual
lain. Mobil kijang ini pasti akan ada dalam kisaran harga. Maka, penilai harus menentukan harga
pasar yang mana yang akan diambil untuk disajikan. Dalam hal ini, fraud untuk meningkatkan
nilai aset dapat terjadi. Namun kembali lagi bahwa kisaran harga yang akan diambil seharusnya
cukup ‘wajar’.
Kemungkinan fraud kedua adalah, jika tidak tersedia harga yang relevan di pasar, maka
penilai akan menggunakan model yang konsisten dengan pendekatan pasar. Penggunaan model
untuk menentukan nilai wajar ini merupakan celah untuk dilakukannya fraud.
![Page 10: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/10.jpg)
10
Kemungkinan fraud ketiga adalah apabila pengukuran nilai wajar menggunakan
pendekatan penghasilan, maka akan ada celah dalam melakukan perhitungan nilai harapan pasar
masa kini atas nilai masa depannya.
Kemungkinan keempat adalah, penentuan estimasi biaya pengganti. Estimasi merupakan
suatu hal yang sangat sulit ditentukan kebenarannya. Entitas maupun penilai dapat melakukan
justifikasi atas dasar estimasi yang dilakukan. Hal ini merupakan suatu celah untuk dilakukannya
fraud.
Berbagai kemungkinan lain dapat terjadi dalam pengukuran nilai wajar. Hal ini
dikarenakan nilai wajar tidak berdasarkan pada bukti historis, namun didasarkan pada seberapa
bernilainya aset (liabilitas) pada saat pelaporan. Tidak adanya bukti historis ini (kecuali untuk
pendekatan pasar yang observable), merupakan suatu celah untuk dilakukannya fraud. Entitas
biasanya cenderung untuk meningkatkan nilai aset dan pendapatannya atau menurunkan nilai
liabilitas dan biayanya.
4.3.3 Ketersedian Profesi Penilai (Appraisal )
Profesi penilai memiliki peran dan fungsi yang semakin penting ketika di Indonesia diterapkan
konsep fair value (nilai wajar). Pengukuran yang menggunakan jasa apraisal akan menjaga
objektivitas dari kegiatan pengukuran karena tidak hanya mengandalkan manajemen terutama
staff akuntansi. Penilai juga dapat menemukan dan menggunakan pendekatan-pendekatan ketika
fair value sulit ditentukan karena kondisi tertentu.
Ketua Umum Pengurus Pusat Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) atau Indonesian
Society of Appraisers Hamid Yusuf, mengatakan “bahwa nilai pasar dicatatkan sebagai fair
value di dalam akuntansi. Penekanannya pada penilaian asset tetap (fixed property). Untuk
penilaian penilaian yang lainnya, untuk kepentingan akuisisi, investasi, MAPPI juga
memberlakukan fair value.
Pada awalnya, profesi penilai digunakan untuk mengukur nilai agunan. Untuk kepentingan
laporan keuangan, ada aset berupa tanah dan bangunan yang tujuannya bukan untuk dijual, tapi
untuk diteruskan penggunaannya secara operasional sebagai bagian usahanya. Misalnya, kantor
![Page 11: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/11.jpg)
11
dan peralatan sebagai aset operasional, maka dicatatkan sebagai aset tetap di dalam neraca. Aset
tetap itulah yang diatur dalam PSAK 16. Di IFRS namanya property plant and equipment.
Jadi, profesi penilai sebaiknya memahami bagaimana akuntan membutuhkan metode pengukuran
atas suatu aset, liabilitas, dan ekuitas. Sebagai contoh, berbagai entitas memiliki tujuan laporan
keuangan yang berbeda; untuk tujuan listing, tujuan merger atau akuisisi akan berbeda dalam
menggunakan metode, dalam bentuk jenis nilai, dan seterusnya. Profesi penilai dianggap
profesional untuk melakukan pekerjaan penilaian itu. Profesi penilai dapat membantu
memutuskan apakah suatu entitas pantas dan sesuai menggunakan metode fair value.
4.3.4 Case Study Pengukuran Fair Value di China
Salah satu elemen yang menjadi perdebatan panjang adalah keraguan akan kompetensi dan
kapabilitas dari manajerial perusahaan-perusahaan yang ada. Keraguan ini didasari masih banyak
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh tingkat manajerial. Keraguan akan profesionalitas.
Hal ini akan menimbulkan ketidakyakinan akan fair value dapat diterapkan dengan benar di
Indonesia.
Keraguan juga timbul akan perusahaan publik yang dimiliki di Indonesia sebagian besar
merupakan BUMN. Melihat banyaknya peraturan yang melibatkan internal market untuk bahan
baku, produk dan modal, antar BUMN sering melakukan transaksi sesama mereka. Contoh
market seperti ini tidak kompatibel dengan aturan fair value yang didesasin untuk menilai
transaksi antar dua pihak. Karena fair value memperbolehkan pengakuan untuk atau rugi dari fair
value, manajer cenderung mengambil keuntungan dari kondisi ini untuk mengatur laba ditahan,
khusunya ketika fair value dengan mudah dimanipulasi di dalam transaksi antar dua pihak.
Di sisi lain, peraturan perundang-undang dan hukum yang kurang mendukung perlindungan
investor di Indonesia memberikan ketakutan sendiri ketika metode fair value diterapkan malah
menghasilkan informasi keuangan yang ada tidak kredibel. Hal ini mendis-insentif investor
untuk melakukan investasi di Indonesia
Sebuah penelitian yang dilakukan di China yang memiliki banyak kemiripan kondisi dengan
Indonesia menunjukkan kegagalan diterapkannya fair value. Hasil dari penelitian tersbut antara
lain fair value mengurangi atau tidak menambah kualitas dari laba, begitu juga yang terjadi pada
![Page 12: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/12.jpg)
12
kualitas accrued. Penerapan fair value secara signifikan mengurangi gabungan nilai relevansi
laba dan nilai buku dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di pasar dan lembaga yang
relatif kurang matang, tetapi tidak untuk perusahaan yang beroperasi di pasar dan lembaga yang
lebih maju.
Kedua, riset tersebut menemukan bahwa tiga komponen laba yang berbabis pada fair value; [1)
perubahan nilai wajar efek sekuritas, derivatif, instrumen lindung nilai dan properti investasi, 2)
impairment loss dari goodwill, dan 3) keuntungan restrukturisasi utang di bawah fair value baru
memiliki nilai tidak relevan. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai wajar yang dihasilkan dari
pasar yang telah matang atau oleh manajer dengan insentif manajemen laba tinggi mungkin
mengandung derajat tinggi kesalahan, dan karenanya isi informasi rendah.
Mereka juga menemukan bukti bahwa perusahaan China menggunakan keuntungan
restrukturisasi hutang untuk menatur laba yang dilaporkan. Riset memperkirakan keuntungan
abnormal pada restrukturisasi utang dan indikasi untuk menghindari pelaporan kerugian atau
penurunan laba. Selain itu, riset menemukan bahwa asosiasi seperti ini lebih besar untuk
perusahaan dengan koneksi politik dan perusahaan dengan transaksi dengan pihak terkait
lainnya. Secara keseluruhan ,riset ini konsisten dengan kenyataan pasar modal yang tepat dan
infrastruktur kelembagaan untuk mendukung fair value. Beberapa studi (misalnya, Leuz dan
Wysocki 2008 dan Bola (2005) bahwa fair value mungkin tidak unggul atau bahkan efektif di
negara-negara yang tidak memiliki paradigma pasar modal yang tepat dan infrastruktur
kelembagaan untuk mendukung pelaporan aturan. IFRS
Hasil riset yang dilakukan di China dapat menjadi signaling bagi Indonesia dalam melakukan
rekstrukrisasi pasar modal dan kelembagaannya demi mendukung penerapan fair value yang
tepat.
V. KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini adalah penerapan metode pengukuran fair value pada
entitas yang ada di Indonesia akan dapat berjalan dengan baik apabila:
1. Penerapan metode fair value di Indonesia belum didukung oleh adanya pasar aktif yang secara
memadai dan berkala yang dapat menyediakan informasi quoted price yang diperlukan. Masih
![Page 13: Analisis Penerapan Fair Value Di Indonesia](https://reader036.fdokumen.com/reader036/viewer/2022080920/55cf97bf550346d033936338/html5/thumbnails/13.jpg)
13
ada beberapa sektor yang belum memiliki pasar aktif untuk diperdagangkan sehingga tidak dapat
dilakukan pengukuran berdasar atas nilai wajarnya yang memiliki bukti di pasar
2. Penerapan metode fair value di Indonesia belum dapat digunakan secara konsisten karena ada
kemungkinan penggunan mixed measurement, kemungkian fraud dari akuntan, manajemen dan
kecenderungan memilih quoted price dari pasar yang lebih menguntungkan. Belum ada
peraturan dan pengawasan yang mengurusi potensi gejala ini.
3. Lingkungan di Indonesia mulai mendukung penerapan metode pengukuran fair value dengan
adanya DSAK yang memulai konvergensi IFRS 13 ke dalam PSAK untuk mendukung kinerja
profesi akuntan. Namun perlu adanya perhatian lebih dengan profesi appraisal/ penilai dalam
bekerja sama memberikan pengukuran yang sesuai dengan operasi entitas tersebut. Case Study di
China memberi signaling bagi Indonesia dalam melakukan rekstrukrisasi pasar modal dan
kelembagaannya demi mendukung penerapan fair value yang tepat
VI. SARAN
Saran yang dapat diberikan atas temuan yang dihasilkan dalam makalah ini adalah:
1. Pemerintah dalam perannya di perekonomian dapat menstimulasi pembentukan pasar aktif
secara lengkap dan wajar dan membentuk regulator di dalamnya. Sehingga dapat memudahkan
berbagai pihak melakukan pengukuran nilai wajar berbasis quoted price secara berkala.
2. Adanya peraturan tertulis dan fungsi pengawasan, baik dari pemerintah, auditor, maupun
lembaga akuntan untuk memperkecil terjadinya risiko praktek mencari keuntungan yang tidak
wajar/ tidak sebenarnya di dalam praktek menyajikan laporan keuangan berdasarkan metode fair
value.
3. Dewan Standar Akuntansi Keuangan dapat meneruskan konvergensi dan melakukan revisi
atas kekurangan yang terjadi dalam praktek pengukuran fair value. Kemudian, pihak akuntan dan
penilai/ appraisal dalam kerjasamanya menyajikan laporan keuangan dapat lebih melakukan
pengukuran dengan lebih transparan dan objektif sesuai tujuan yang dimiliki oleh entitas bisnis
tersebut.