Fair Trade Vs

102
Fair Trade Vs. Free Trade 15 12 2009 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara langsung dan tidak langsung efek dari perdagangan internasional sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia yang sesederhana mungkin, sebagai contoh jika kita pergi ke sebuah toko dan perhatikanlah produk-produk di toko tersebut darimana asalnya, mungkin produk-produk tersebut ada yang buatan asli dalam negeri dan banyak pula yang berasal dari luar negeri (barang impor). Hal sekecil tersebut merupakan salah satu contoh dari perdagangan bebas yang mengizinkan produk-produk dari belahan dunia manapun untuk masuk ke negeri kita. Melalui instrumen perdagangan bebas (free trade) kita dapat menikmati produk-produk dari mancanegara tanpa harus melancong ke negara itu terlebih dahulu, jelas ini merupakan keuntungan tersendiri yang dapat dirasakan oleh suatu individu. Dan untuk halnya negara perdagangan bebas juga dapat meningkatkan devisa negara dengan melakukan kegiatan expor dan mengurangi impor untuk mencapai surplus perdagangan. Namun pada realitasnya sulit untuk melakukan perdagangan bebas yang saling menguntungkan antara suatu negara dengan negara lain yang kerap kali hanya menguntungkan salah satu dari negara itu saja, negara yang diuntungkan biasanya hanya negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi saja, sedangkan negara-negara berkembang selalu dipersulit apabila komoditas expornya memasuki negara-negara tersebut. Akibat dari konflik antara negara maju dengan negara berkembang di dalam perdagangan bebas yang kerap kali merugikan negara berkembang, muncullah isu perdagangan adil (fair trade). Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan

Transcript of Fair Trade Vs

Page 1: Fair Trade Vs

Fair Trade Vs. Free   Trade

15 12 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara langsung dan tidak langsung efek dari perdagangan internasional sudah masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia yang sesederhana mungkin, sebagai contoh jika kita pergi ke sebuah toko dan perhatikanlah produk-produk di toko tersebut darimana asalnya, mungkin produk-produk tersebut ada yang buatan asli dalam negeri dan banyak pula yang berasal dari luar negeri (barang impor). Hal sekecil tersebut merupakan salah satu contoh dari perdagangan bebas yang mengizinkan produk-produk dari belahan dunia manapun untuk masuk ke negeri kita.

Melalui instrumen perdagangan bebas (free trade) kita dapat menikmati produk-produk dari mancanegara tanpa harus melancong ke negara itu terlebih dahulu, jelas ini merupakan keuntungan tersendiri yang dapat dirasakan oleh suatu individu. Dan untuk halnya negara perdagangan bebas juga dapat meningkatkan devisa negara dengan melakukan kegiatan expor dan mengurangi impor untuk mencapai surplus perdagangan.

Namun pada realitasnya sulit untuk melakukan perdagangan bebas yang saling menguntungkan antara suatu negara dengan negara lain yang kerap kali hanya menguntungkan salah satu dari negara itu saja, negara yang diuntungkan biasanya hanya negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi saja, sedangkan negara-negara berkembang selalu dipersulit apabila komoditas expornya memasuki negara-negara tersebut.

Akibat dari konflik antara negara maju dengan negara berkembang di dalam perdagangan bebas yang kerap kali merugikan negara berkembang, muncullah isu perdagangan adil (fair trade). Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi hak azasi manusia, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.[1]

Tertarik dengan latar belakang tersebut, maka tim penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam makalah dengan judul “PERDAGANGAN INTERNASIONAL : FAIR TRADE VERSUS FREE TRADE”.

B. Identifikasi Masalah

Page 2: Fair Trade Vs

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka penulis mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang menjadi topik pembahasan  dalam penulisan ekonomi politik internasional, yaitu :

1. Apa yang dimaksud dan konsep dari perdagangan bebas (free trade)?2. Apa yang dimaksud dan konsep dari perdagangan adil (fair trade)?3. Bagaimana korelasi antara perdagangan bebas (free trade) dengan perdagangan adil (fair

trade) di dalam perdagangan internasional?

C. Pokok Masalah

Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

Perdagangan internasional bisa sangat menguntungkan lewat instrumennya yaitu perdagangan bebas. Hal ini memungkinkannya dimasuki suatu pasar dari suatu negara. Sejak dari berakhirnya perang dunia ke-2 sudah terciptanya pengurangan tarif secara global dari 40% sampai 5%. Menurut data dari World Bank suatu negara yang terlibat dari perdagangan bebas pertumbuhan ekonominya akan melibihi 5% per tahun, sementara bagi negara-negara miskin yang mengikuti perdagangan bebas pertumbuhan ekonominya hanya mencapai 1%. Disamping data-data tersebut, hal jelasnya adalah jutaan orang di dunia masih hidup dibawah garis kemiskinan akibat dari perjanjian dagangan yang tidak adil ini.[2]

Seiring dengan banyaknya perdebatan mengenai free trade terutama antara negara maju sebagai pihak yang di anggap merugikan negara berkembang dengan penekanan di bidang perekonomian yang menyengsarakan. Maka dari perdebatan itu lahirnya suatu jalan agar kedua pihak merasakan keadilan dari suatu perdagangan internasional melalui fair trade.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Definisi Perdagangan Internasional

Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.[3]

Menurut Amir, M.S. seorang pengamat ekonomi, bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan Internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain

Page 3: Fair Trade Vs

disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan internasional, misalnya dengan adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum perdagangan.[4]

Definisi Fair Trade (Perdagangan Adil)

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.[5]

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.[6]

Definisi Free Trade (Perdagangan Bebas)

Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.[7]

BAB III

PEMBAHASAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL : FAIR TRADE VERSUS FREE TRADE

A. Free Trade (Perdagangan bebas)

1. Pengertian

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. Penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan

Page 4: Fair Trade Vs

bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

2. Sejarah

Sejarah dari perdagangan bebas internasional adalah sejarah perdagangan internasional memfokuskan dalam pengembangan dari pasar terbuka. Diketahui bahwa bermacam kebudayaan yang makmur sepanjang sejarah yang bertransaksi dalam perdagangan. Berdasarkan hal ini, secara teoritis rasionalisasi sebagai kebijakan dari perdagangan bebas akan menjadi menguntungkan ke negara berkembang sepanjang waktu. Teori ini berkembang dalam rasa moderennya dari kebudayaan komersil di Inggris, dan lebih luas lagi Eropa, sepanjang lima abad yang lalu. Sebelum kemunculan perdagangan bebas, dan keberlanjutan hal tersebut hari ini, kebijakan dari merkantilisme telah berkembang di Eropa di tahun 1500. Ekonom awal yang menolak merkantilisme adalah David Ricardo dan Adam Smith.

Pada periode yang sama, pasar produk organik juga mengalami pertumbuhan yang stabil. Perdagangan barang-barang organik dengan label fair trade sering disebut sebagai fair and green trade.

Ekonom yang menganjurkan perdagangan bebas percaya kalau itu merupakan alasan kenapa beberapa kebudayaan secara ekonomis makmur. Adam Smith, contohnya, menunjukkan kepada peningkatan perdagangan sebagai alasan berkembangnya kultur tidak hanya di Mediterania seperti Mesir, Yunani, dan Roma, tapi juga Bengal dan Tiongkok. Kemakmuran besar dari Belanda setelah menjatuhkan kekaisaran Spanyol, dan mendeklarasikan perdagangan bebas dan kebebasan berpikir, membuat pertentangan merkantilis/perdagangan bebas menjadi pertanyaan paling penting dalam ekonomi untuk beberapa abad. Kebijakan perdagangan bebas telah berjibaku dengan merkantilisme, proteksionisme, isolasionisme, komunisme dan kebijakan lainnya sepanjang abad.

B. Fair Trade (Perdagangan Adil)

1. Pengertian

Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.

Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi HAM, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi

Page 5: Fair Trade Vs

bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.

2. Sejarah

Bibit-bibit gerakan fair trade lahir di dunia barat akhir tahun ’40-an. Gerakan dilandasi semangat solidaritas dunia barat terhadap negara dunia ketiga. Perintisnya adalah kelompok keagamaan dan LSM.

Menurut sejarahnya, fair trade adalah sebuah gerakan sosial yang muncul akibat adanya ketidakadilan antara produsen dan konsumen. Seringkali terjadi, konsumen merasa bahwa produsen harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi terhadap suatu produk dari yang seharusnya. Sementara itu, hal yang sama pun juga dirasakan oleh produsen, terutama produsen yang skala usahanya masih kecil. Di sinilah kemudian muncul konsep fair trade yang berusaha untuk mengupayakan sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada dialog, transparansi dan respek dari kedua belah pihak. Seiring dengan berjalannya putaran waktu, konsep fair trade ini pun semakin berkembang pula (merujuk pada definisi dan prinsip-prinsip yang ada dari The International Fair Trade Association – IFAT ).

Ten Thousand Villages dan SERRV International adalah dua LSM yang memulai pengembangan rantai perdagangan fair trade di negara berkembang. Produknya—anyaman dan rajutan—dijual di gereja atau bazar di Amerika. Saat itu, gerakan ini dipandang sebagai donasi dunia barat bagi penduduk miskin negara berkembang.

Inisiatif ini terus berkembang, bahkan konsep dasarnya mengalami pergeseran. Tak hanya sebagai donasi, ketika sebagian kecil masyarakat dunia barat menilai telah terjadi eksploitasi harga dalam perdagangan antara negara mereka dan negara dunia ketiga, mereka ingin memperbaikinya dengan memberi harga lebih adil. Sekitar tahun ’70-an, sejumlah petani kopi skala kecil di Meksiko yang sangat bergantung pada pihak lain (pengumpul, pedagang, dan pengolah) dalam rantai perdagangan kopi mengembangkan label/sertifikasi fair trade untuk kopi mereka. Nama yang diberikan adalah Max Havelaar. Dalam percobaan awal ini, dibuka hubungan langsung antara pengolah kopi dan pengecer di Belanda dengan koperasi petani kopi di Meksiko. Kini selain sebagai sebuah gerakan, fair trade populer sebagai label/sertifikat yang disematkan pada produk yang dijual. Ini menjadi semacam jaminan dan transparansi lebih bagi konsumen bahwa produsen skala kecil mendapatkan harga yang adil. Dari sisi produsen, sertifikasi memperbesar akses mereka terhadap pasar ekspor.

Sejak pertengahan ‘80-an, gerakan fair trade telah berkembang secara signifikan di dunia barat yang menjadi pasar utamanya. Tahun 2005, penjualan produk fair trade di tingkat global mencapai 1,1 milyar euro. Ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 30 persen lebih selama tahun 2004. Saat ini, produk-produk berlabel fair trade tak hanya dijual di toko khusus tetapi mulai juga dipajang di rak supermarket. Jenis produknya pun makin beragam. Meski permintaan untuk produk-produk berlabel fair trade lebih banyak tumbuh di dunia barat, saat ini kita bisa melihat bahwa pada pasar lokal di seluruh dunia sudah mulai ada upaya menciptakan perdagangan yang lebih adil bagi produsen.

Page 6: Fair Trade Vs

Pada periode yang sama, pasar produk organik juga mengalami pertumbuhan yang stabil. Perdagangan barang-barang organik dengan label fair trade sering disebut sebagai fair and green trade.

3. Prinsip-Prinsip Fair Trade

Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi & pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.

Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (misal: pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, dsb) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.

Diperlukan sebuah kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan respek yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) di dalam perdagangan internasional. Fair trade memberikan sumbangan bagi pembangunan yang berkelanjutan dengan menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik dan melindungi hak dari produser dan buruh yang terpinggirkan, terutama di Selatan.

Sebagai gerakan, fair trade terwujud dalam bentuk organisasi International Federation of Alternative Trade (IFAT). Organisasi payung gerakan fair trade sedunia ini bermain di advokasi kebijakan internasional. Pada pertemuan tahunan World Trade Organisation (WTO), IFAT selalu muncul. Sejak di Cancun, Mexico hingga di Hongkong tahun lalu mereka hadir sebagai suara alternatif untuk mewujudkan perdagangan yang lebih adil.

Dalam halaman situs International Fair Trade Association, Asosiasi Internasional Perdagangan yang Adil menyebut sembilan syarat agar sebuah perdagangan dapat disebut adil.

1.   Membuka peluang bagi produsen dari kalangan ekonomi lemah

2.   Transparan dan dapat dipertanggungjawabkan

3.   Meningkatkan keahlian produsen

4.   Mendorong terbentuknya perdagangan yang adil dan merata

5.   Pembayaran dengan harga yang pantas melalui dialog dan prinsip partisipasi           sesuai  dengan perkembangan pasar

Page 7: Fair Trade Vs

6.   Menghormati kesetaraan gender

7.   Membentuk situasi dan kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi            pekerja dan masyarakat

8.   Tidak melibatkan pekerja anak

9.   Tidak merusak lingkungan hidup dan memberikan dampak bagi pembangunan       lokal, secara berkala mengurangi tingkat ketergantungan impor dan          membudidayakan produk lokal.

C. Fair Trade Vs Free Trade

Fair Trade muncul sebagai alternatif dari bentuk perdagangan bebas (free trade) yang menurut banyak orang sangat tidak adil. Kenyataan bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga bumi sementara kemiskinan akut yang massif diderita oleh sebagian besar warga lainnya adalah bukti akibat ketidakadilan free trade yang paling nyata. Bila ditelusuri akar permasalahannya terletak pada aturan-aturan free trade yang pada praktiknya sangat tidak adil. Aturan-aturan doubel standard atau standar ganda yang dipraktekkan negara-negara kaya dalam hubungan perdagangannya dengan negara-negara berkembang telah merubah hubungan perdagangan tersebut yang secara filosofis adalah hubungan partnership yang menguntungkan kedua belah pihak menjadi hubungan eksploitatif. Dengan kata lain hubungan perdagangan antara negara kaya dengan negara berkembang hanya menjadi sarana pelegalan eksploitasi baru setelah cara-cara kolonialisasi tidak lagi dipandang cukup beradab. Standar ganda free trade memaksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka, sedangkan pada sisi yang lain negara-negara maju masih menerapkan kebijakan proteksi bagi produk yang akan masuk ke dalam pasar domestik. Konsekuensi penerapan standar ganda tersebut seperti dicatat oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dolar US. Selain itu ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin besar dimana saat ini hanya 20% populasi dunia menikmati income yang jumlahnya 60 kali lebih besar dari income orang-orang miskin.[8]

Di tengah kondisi perdagangan yang semakin lama semakin tidak adil tersebut dan telah menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara berkembang, Fair Trade muncul sebagai sebuah gerakan perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender. Dalam prakteknya, prinsip dan nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk rantai distribusi yang lebih pendek, penguatan organisasi produsen, peningkatan keterlibatan dan peranan perempuan dalam perdagangan, harga premium bagi produk yang dihasilkan.[9]

Sejak menjadi sebuah gerakan pada tahun 1950 fair trade telah menyebar ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri gerakan fair trade muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Dalam perkembangannya fair trade di Indonesia telah cukup membantu produsen-produsen miskin di berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Malang, Mataram, Bali, Surakarta. Perkembangan fair trade yang cukup positif tersebut menunjukkan bangkitnya kepedulian lebih banyak masyarakat terhadap orang-orang di sekeliling mereka yang selama ini

Page 8: Fair Trade Vs

bekerja keras menyediakan keperluan mereka namun tidak mendapatkan hak sesuai proporsi yang seharusnya mereka terima.[10]

Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (misal : pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, dan sebagainya) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.[11]

Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil.[12]

Diperlukan sebuah kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan respek yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) di dalam perdagangan internasional. Fair trade memberikan sumbangan bagi pembangunan yang berkelanjutan dengan menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik dan melindungi hak dari produser dan buruh yang terpinggirkan, terutama di Selatan.[13]

Pada banyak kajian litelatur lebih banyak membicarakan tentang free trade ketimbang fair trade. Kedua istilah tersebut memiliki persamaan yaitu menyangkut aktivitas jual-beli atau trading. Perbedaannya adalah dari segi etika dan cara kerjanya atau Mode of Production. Free trade atau pasar bebas itu melulu memburu laba atau profit, bila perlu menghalalkan segala cara, tidak peduli dengan hal-hal yang berbau kesejahteraan orang banyak. Free trade dalam praktek menjelma dalam bentuk korporasi-korporasi raksasa atau investor dari negara-negara kaya/maju. Kehadirannya kerap mengatas namakan pembangunan sehingga mendapat restu dari pemerintah, maupun tokoh-tokoh masyarakat. Demi profit, negara pun tak segan-segan dijungkir balikan. Dampak free trade bisa dilihat di beberapa daerah yang kaya dengan sumber daya alam, seperti Papua, Aceh, Bali, dan masih banyak daerah lainnya di tanah air. Terjadinya perusakan lingkungan dan pemiskinan rakyat/penduduk lokal. Bahkan akibat yang lebih ekstrim lagi yaitu munculnya gerakan separatis memisahkan diri dari NKRI, sebagai ungkapan kekecewaan rakyat atas sumber daya alamnya dibabat habis oleh korporasi yang bergandeng mesra dengan pemerintah.[14]

Dari sudur beroperasinya, kepentingan para korporasi tertuang jelas dalam kebijakan yang dikeluarkan melalui organisasi supra negara seperti : IMF (International Monetary Fund), WTO (World Trade Organization), dan WB (World Bank). Jika negara ikut meratifikasi itu berarti wajib hukumnya untuk mengikuti aturan main yang telah ditetapkan. Tak jarang para korporasi juga mempunyai saham dalam membidani kelahiran seorang untuk menjadi pemimpin nasional di suatu negara. Karenanya jika terjadi konflik atau penolakan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi tersebut, pemerintah nasional menjadi tidak berkutik, karena sudah menjadi perpanjangan tangan sang korporasi. Rakyat didepak, kemudian terhembas dan yang lebih terhempas lagi adalah kaum perempuannya.[15]

Page 9: Fair Trade Vs

Dari segi produk yang diperjualbelikan, rejim free trade tidak tanggung-tanggung untuk menjadikan sesuatu dijadikan komoditi dan masyarakat hanya dilihat sebagai konsumen. Konsekuensinya semua sektor publik dikendalikan oleh kekuatan korporasi. Di bali bisa dilihat jelas praktek free trade dalam kaitan industri pariwisata seperti biro perjalanan, transportasi, pengunjung, pemandu wisata orang luar negeri, hotel, restoran (dari bahan mentahan, peralatan, serta chef-nya), semua orang luar negeri.[16]

Menyikapi keberadaan rejim pasar bebas, sejumlah kalangan telah mengambil inisiatif dengan membuat wacana alternatif yang dikenal dengan fair trade (perdagangan yang adil). Fair trade menjadi sikap yang dalam praktek bisnis atau profitnya sangat mempertimbangkan nilai-nilai etik kemasyarakatan. Berikut definisi fair trade yang dikutip dari website IFAT : fair trade adalah model perdagangan yang berdasarkan pada dialog, ketebukaan dan saling menghormati, yang bertujuan untuk menciptakan keadilan , pembangunan kesinambungan melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak hak-hak kelompok produsen dan pekerja yang terpinggirkan terutama di negara-negara Selatan yang diakibatkan oleh praktek dan kebijakan perdagangan internasional.[17]

Dari pengertian di atas, terdapat dua hal yang bisa dilihat, yakni : free trade sebagai gerakan dan fair trade sebagai model/kegiatan bisnis. Fair trade sebagai gerakan lebih banyak menyangkut soal keorganisasian. Fair trade adalah gerakan internasional yang berada di bawah organisasi payung yang dulu disebut IFAT (International Fair Trade Association), yang segara berganti nama menjadi : World Fair Trade Organization (WFTO). WFTO bertugas merumuskan aturan main dan kriteria yang harus dipenuhi anggota maupun orang atau organisasi yang ingin bergabung dalam gerakan fair trade. Kegiatan organisasi lebih banyak difokuskan pada kegiatan advokasi kebijakan, terutama kebiajakn perdagangan Internasional/World Trade Organization (WTO), advokasi konsumen melalui kampanye dan pembukaan akses pasar untuk anggota dan memonitoring kegiatan anggota dalam peenrapan prinsip-prinsip fair trade. WFTO anggotanya terdari 300 organisasi di sekitar 80 negara.[18]

Fair trade sebagai model bisnis, menyangkut persoalan anggota mewujudkan nyatakan prinsip-prinsip fair trade seperti yang dilontarkan oleh IFAT, beberapa butir dari prinsip itu yang penting untuk dijadikan pedoman dalam praktek fair trade, antara lain : dalam kegiatan bisnis harus ada unsur aktif memerangi kemiskinan, pembayaran layak dan lencar, tidak memperkejakan tenaga kerja anak, menghormati lingkungan, kesetaraan perempuan atau gender, hubungan bisnis yang berkesinambungan dan ada unsur partnership saling membesarkan. Jadi yang menjadi perhatian para pelaku fair trade adalah dalma kegiatan bisnis atau usaha, lebih mengacu pada norma-norma kemanusiaan. Dalam memproduksi barang, sangat diupayakan menghindari terjadinya eksploitasi baik terhadap sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Profit yang diperoleh bukan melulu untuk memenuhi hasrat atau memiliki melainkan di investasikan lagi ke dalam program yang mensejahterakan produsen dan masyarakat. Para fair trade dalam melakoni bisnis sangat menekankan aspek kreatifitas, keindahan produk untuk konsumen, dan kebajikan dalam berproduksi. Yang jelas, gerakan fair trade tidak terbetas pada sektor kerajinan saja. Fair trade sebagai model bisnis bisa diterapkan di segala bidang usaha dimana saja dan kapan saja. Fair trade tidak hanya profit namun juga happiness and welfare oriented.[19]

Page 10: Fair Trade Vs

BAB IV

KESIMPULAN

Fair Trade adalah perdagangan yang berdasarkan pada dialog, keterbukaan dan saling menghormati, yang bertujuan menciptakan keadilan, serta pembangunan berkesinambungan. Melalui penciptaan kondisi perdagangan yang lebih fair dan memihak pada hak-hak kelompok produsen yang terpinggirkan, terutama di negara-negara miskin akibat praktek kebijakan perdagangan internasional.

Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi dan pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.

Dalam fair trade, produsen dan konsumen memiliki posisi yang sejajar. Selain itu, kedua belah pihak juga mengedepankan asas transparansi. Hal ini dilakukan melalui informasi dan komunikasi. Sebagai contoh adalah dalam menentukan harga jual. Produsen menghitung seluruh komponen biaya produksi, termasuk aspek konservasi, edukasi dan sosial. Faktor-faktor pembentuk harga jual tersebut kemudian diinformasikan secara terbuka kepada konsumen, begitu juga mengenai proses produksinya. Dan jika komunikasi ini dilakukan dengan benar, maka konsumen pun akan bersedia membayar harga jual yang ditawarkan sebagai salah satu apresiasi mereka.

Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.

Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: Fair Trade Vs

http://whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html

http://gbgm-umc.org/global_news/full_article.cfm?articleid=2081

http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-dampak-globalisasi-terhadap.html

http://gadisayu18.wordpress.com/2009/03/30/apakah-memang-ada-perdagangan-bebas/

http://felixsharieff.wordpress.com/tag/ekonomi-politik-internasional/

Buku karangan Bob S. Hadiwinata dan Aknold K. Pakpahan dengan judul fair trade merupakan buku yang sarat akan pengetahuan mengenai situasi dan kondisi ekonomi yang sedang melanda dunia. Free trade (perdagangan bebas) adalah sebuah sistem ekonomi sebagai hasil dari globalisai yang terus di perjuangkannegara-negara maju du belahan bumi Utara melalui GATT (general agreements on trade and tariffs) dan kemudian WTO (world trade organisation).Sebagai rejim yang mengemban prinsip liberalisasi perdagangan, GATT/WTO berasumsi bahwa hanya melalui partisipasi di dalam perdagangan internasional, maka negara-negara miskin dapat ikut menikmati keuntungan. Liberalisasi perdagangan mutlak diperlukan, menurut GATT/WTO, karena tidak saja dapat memperlancar perdagangan antar bangsa tetapi juga bersifat saling menguntungkan sehingga dapat memberikan keuntungan maksimal kepada para pelakunya. (hal 12)Namun hal tersebut sangat di ragukan. Para pengamat dari kubu Marxis tidak yakin bahwa peningkatan partisipasi negara-negara berkembang di dalam pasar internasional dapat meningkatkan kesejahteraan kaum marjinal. Peningkatan aktifitas industri di negara berkembang justru meningkatkaan proses eksploitasi terhadap kaum buruh di negara-negara tersebut.Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa ketika berpastisipasi di dalam perdagangan internasional negara miskin –akibat keterbatasan modal, teknologi, pengetahuan, dan sumberdaya manusia-seringkali “dipaksa“ untuk berspesialisasi pada produk primer dengan nilai tambah yang rendah seperti produk pertanian dan bahan tambang.(hal 14)Di dalam buku fair trade di jelaskan pula mengenai sejarah awal terbentuknya GATT dan WTO sebagai organisasi yang mengendalikan perekonomian di dunia. Pada mulanya GATT dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan perlindungan industri di dalam negeri, pemberlakuan tarif yang di atur di dalam GATT. GATT pada prinsipnya merupakan forum perundingan yang dimaksudkan untuk meminimalisir hambatan-hambatan perdagangan (tarif maupun non-tarif) agar perdagangan dunia dapat menjadi ebih semarak. Dengan demikian dapat di mengerti jika tujuan untama GATT adalah untuk menciptakan kelancaran perdagangan antar bangsa dengan cara penurunan tarif impor secara gradual. Seiring dengan perkembangan zaman, GATT yang tadinya hanya melibatkan 23 negara industri, kian bertambah hingga mencapai 125 negara pada tahun 1994 termasuk ke dalamnya negara-negara maju. Negara-negara maju inilah yang mulai mendominasi di setiap pengambilan keputusan atau negosiasi dan negara-negara berkembang tidak dapat berbuat banyak. Situasi semacam ini menimbulkan ketidak harmonisan antara kelompok eksklusif negara-negara maju berhadapan dengan negara mayoritas anggota yang terdiri dari negara-negara sedang berkembang.Permasalahan yang tidak bisa di pecahkan oleh GATT adalah masalah NTBs (non-tariff barries) di mana GATT hanya bisa menyerukan kepada para anggotanya untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali kebijakan-kebijakan NTBs-nya tanpa mampu memberikan sanksi yang jelas bagi mereka yang melanggar seruan tersebut. (hal 30).GATT kemudian digantikan dengan WTO dengan maksud untuk menyempurnakan mekanisme pengaturan aktifitas perdagangan internasional yang menyangkut sekurang-kurangnya tiga aspek

Page 12: Fair Trade Vs

penting: 1. Peningkatan komitmen negara-negara anggota untuk mendukung beroperasinya sebuah rejim perdagangan internasional. 2. Peningkatan kapasitas administratif terutama dalam hal penyelesaian konflik perdagangan antar negara; dan 3. Pemberian wewenang yang lebih besar dalam proses negosiasi perdagangan di dalam berbagai forum ekonomi global.Walaupun WTO baru berjalan beberapa tahun, beberapa pakar ekonomi internasional menyatakan ketidakyakinan mereka bahwa rejim ini mampu secara optimal memenuhi target yang gagal di capai oleh GATT. (hal 37)Persoalan paling mendasar yang dihadapi oleh rejim perdagangan internasional seperti WTO adalah adanya penerapan standar ganda dan terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan dengan tindakan dalam hal penerapan proteksi pelaku bisnis. Para pendukung perdagangan bebas sangat berkeyakinan bahwa semakin terbuka perekonomian sebuah negara, semakin besar kesempatan bagi negara tersebut untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan perkapita. Sikap yang terlalu melebih-lebihkan keunggulan perdagangan bebas barangkali melupakan fakta mengenai esensi dari hubungan perdagangan antar negara, terutama apabila menyangkut 2 jenis komoditas yang berbeda dari segi nilai tambahnya. Bagi negara-negara yang berkonsentrasi pada sektor industri padat teknologi dan modal, keuntungan jelas dapat di peroleh secara maksimal karena produk tersebut biasanya memberi kesempatan kepada produsennya untuk menjadi “price setters” (penentu harga pasar) karena ketergantungan masyarakat terhadap produk tersebut. Sebaliknya, negara yang berkonsentrasi pada komodity primer keuntungan yang di peroleh sangat terbatas karena posisi mereka yang sebagai “price takers” bahkan seringkali harus menderita kerugian materi, tenaga maupun waktu karena sifat produk yang tidak tahan lama dan ketergantungan yang tinggi pada perantara. Dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas tidak memberikan keuntungan bersama, akan tetapi kita tidak mungkin serta merta menarik diri dari sistem ini sebab pada dasarnya tidak ada satu pun negara yang dapat hidup secara autarkis (sanggup memenuhi segala kebutuhan rakyat secara mandiri), maka kebijakan menutup diri akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hal asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuannya. (hal 56)Dengan demikian solusi yang di tawarkan dalam konteks ini adalah menawarkan sebuah konsep perdagangan alternatif yang memberikan ruang bagi prinsip perlindungan hak azasi manusia, kesetaraan, keadilan, keterbukaan, sustainabilitas, toleransi dan demokrasi. Fair Trade merupakan gagasan yang di kumandangkan oleh NGOs pada dekade tahun 1960. NGOs merupakan kelompok yang menentang dominasi kapitalisme global. OXFAM-Great Britain, sebuah NGO yang bermarkas di Oxford Inggris, merupakan salah satu pionir dari gagasan fair trade (perdagangan yang adil) sebagai alternatif dari free trade (perdagangan bebas) yang terus menerus di kampanyekan oleh negara-negara liberal. Walaupun sangat kecil dibandingkan dengan jalur perdagangan konvensional, jalur perdagangan kemanusiaan ini cukup memberikan harapan bahwa terlepas dari dominasi kapitalisme global yang berkembang melalui perdagangan lain yang membebaskan para pemodal kecil dari trade exploitation (penindasan perdagangan). Kecilnya volume perdagangan melalui jalur fair trade (jika di bandingkan dengan perdagangan konvensional barangkali berkaitan dengan terbatasnya lingkup aktifitas gerakan fair trade yang hanya membatasi pada pembelian komoditi primer, kerajinan dan terget dari kegiatan tersebut hanya pada kelompok petani/nelayan/pengrajin atau koperasi saja. Di samping itu, aspek yang ditangani hanya menyangkut upaya untuk mengurangi trade exploitation.Buku ini juga berupaya untuk membuat semacam penealaahan ringkas mengenai kampanye fair trade yang dilakukan Oxfam Great Britain. Sasaran yang ingin di capai adalah untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan yang di hadapi oleh organisasi tersebut yang selama kurang lebih 40 tahun menjalankan aktifitas fair trade. Buku ini membahas secara lengkap sejarah, bentuk bahkan aplikasi-aplikasi dari fair trade yang telah terlaksana.Buku ini menyajikan sejumlah contoh-contoh bentuk perdagangan fair trade akan tetapi sebagian besar

Page 13: Fair Trade Vs

masih dalam konteks lokal belum ke dalam skala internasional. Fair trade adalah sistem yang di tujukan untuk masyarakat dunia, bahwa keadilan dalam berdagang dapat di capai dengan cara merubah sistem yang ada, dan dapat pula di lakukan dengan menekankan aspek hukum untuk menertibkan sistem perekonomian yang ada, jika contoh-contoh fair trade sebatas di berikan dalam tatanan lingkungan lokal maka tentu hal tersebut tidak menampakkan kelebihan yang signikan akan sistem ini. Fair trade adalah sistem perekonomian yang sarat akan pesan moral dan tujuan yang mulia untuk memasukkan berbagai prinsip kemanusiaan yang telah dirumuskan dan disepakati dalam berbagai konvensi internasional, ke dalam aktifitas perdagangan pada lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional.

Kopiitudashat's Blog

July 14, 2009

Kebijakan Luar Negeri dalam Kaitannya dengan Pengambilan Keputusan Suatu   Negara Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:16 am

Kebijakan luar negeri (foreign policy) adalah elemen yang sangat penting dalam upaya pencapaian kepentingan nasional suatu negara. Coulombis dan Wolfe memandang kebijakan luar negeri, atau yang dapat disebut sebagai politik luar negeri, sebagai sintesis dari kepentingan nasional yang mengandalkan power dan kapabilitas suatu negara . Karena itulah kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena mengandung kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai suatu negara-bangsa yang berdaulat. Hubungan antara kebijakan luar negeri, power dan kepentingan nasional dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara kepentingan nasional, kebijakan luar negeri dan power dapat dilihat dalam 2 kondisi. Kondisi pertama yang menempatkan power sebagai tujuan, berarti kebijakan luar negeri digunakan sebagai instrumen. Kebijakan luar negeri dibentuk dengan dasar kepentingan nasional untuk mendapatkan power yang lebih tinggi. Kondisi kedua menempatkan power sebagai alat yang digunakan bersama dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional. Penggunaan power sebagai instrumen ini, khususnya power sebagai relationship, diperlukan karena kebijakan luar negeri tak lain adalah usaha untuk mempengaruhi. Seperti yang dijelaskan dalam comparative study of foreign policy, bahwa kebijakan luar negeri adalah penggunaan pengaruh dalam hubungan internasional, yaitu siapa yang mempunyai apa untuk siapa dan bagaimana .Dalam perumusan kebijakan luar negeri, ada 5 unit analisis yang dapat dilihat sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri suatu negara, yang kemudian menimbulkan suatu diskursus tentang unsur mana yang paling penting perumusan kebijakan luar negeri. Unit analisis ini menurut Rosenau meliputi individu, kelompok, birokrasi, sistem nasional, dan sistem global.Peranan individu dalam proses pembuatan keputusan adalah berdasarkan pendekatan agency. Pendekatan ini melihat kapasitas individu dalam membuat suatu keputusan dan megimplementasikannya untuk kepentingan entitas sebagai unsur utama dalam pembuatan kebijakan suatu negara. Dalam merumuskan suatu kebijakan, aktor individu tidak akan terlepas dari pengaruh ideosinkretis dan pemikiran rasional (rational choice). Pengaruh ideosinkretis ini

Page 14: Fair Trade Vs

termasuk di dalamnya ideologi, kepercayaan, budaya, tujuan dan lain sebagainya. Umumnya negara yang kebijakannya ditentukan oleh keputusan individu adalah negara otoriter, atau sosialis dengan keadaan minim demokrasi. Misalnya Kim Il Sung dan Kim Jong Il yang menjadikan karakter individunya sebagai manifestasi karakter nasional Korea Utara, segala sesuatu yang menyangkut masalah negara adalah hasil keputusan kepala negara yang tidak dapat diganggu gugat.Pendekatan kelompok melihat bahwa keputusan final suatu kebijakan bukan hanya ditentukan oleh kepentingan dan keinginan individu, tetapi lebih merupakan manifestasi kepentingan kelompok. Kelompok yang dimaksud di sini bisa merupakan kelompok kepentingan, kelompok penekan, ataupun kelompok lain yang mempunyai posisi strategis dan kepentingan tertentu di pemerintahan, misalnya badan intelijen (salah), penyandang dana, think tank dan lain sebagainya. Misalnya American Comitee for Israel akan selalu mendorong AS untuk mengeluarkan kenijakan yang menguntungkan Israel.

Kelompok kepentingan, yang dalam usahanya dibantu oleh media, menyampaikan opini publik untuk diperjuangkan dalam bentuk kebijakan. Ketika kepentingannya tidak diakomodasi oleh pemerintah, kelompok kepentingan ini bisa metransform dirinya menjadi kelompok penekan.Pendekatan birokratis pertama kali dipopulerkan oleh Allison berdasarkan studinya tentang krisis Kuba. Dalam krisis Kuba, keputusan AS dan Soviet untuk menempatkan rudal bukan berdasarkan keputusan Reagan ataupun Nikita Kruschev, namun lebih merupakan produk birokrasi secara keseluruhan. Dalam pendekatan birokratis, keputusan tidak dilihat sebagai produk rasionalitas individu tetapi lebih merupakan produk dari berbagai penyesuaian dan kompromi . Jadi, kebijakan luar negeri merupakan proses politik yang meliputi bargaining, kompromi dan adjustment.Kebijakan luar negeri sebagai instrumen untuk mewujudkan kepentingan nasional juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur internal negara, seperti power, identitas nasional, ideologi, dan kepentingan yang keseluruhan sistem ini akan berinteraksi membentuk sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial-budaya. Sistem-sistem inilah yang secara komprehensif tercakup dalam sistem nasional. Misalnya, ideologi juche-atau self reliance- yang dianut Korea Utara akan membentuk perilaku luar negerinya dengan kebijakan menutup diri dari pasar global.Pendekatan sistemik global menekankan pentingnya peranan lingkungan eksternal negara terhadap pengambilan keputusan kebijakan luar negerinya . Lingkungan eksternal yang dimaksud adalah struktur hubungan antar negara-negara besar, pola-pola aliansi yang terbentuk serta faktor situasional seperti isu dan krisis. Yang belum ditambahkan di sini adalah pentingnya peran rezim internasional dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Misalnya Indonesia yang tergabung dalam rezim pangan akan selalu merumuskan kebijakan luar negeri untuk mengatasi permasalahan pangannya berdasarkan prinsip dan norma yang dijunjung oleh Food and Agricultural Organization (FAO).Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan keputusan untuk menghasilkan kebijakan luar negeri suatu negara, peran individu, kelompok, birokrasi, sistem nasional dan sistem global tidak akan pernah bisa dikesampingkan.ReferensiAnonim.Actors:The Responsible Decision-makersPerwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya hal 51-52.

Page 15: Fair Trade Vs

Soeprapto.1997.Ilmu Hubungan Internasional:Sistem,Interaksi dan perilaku.PT Raja Grafindo Persada

Leave a Comment

Deterrence dan Compellence sebagai Strategic of Military   Defence Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:14 am

Berakhirnya Perang Dunia II memunculkan periode Perang Dingin yang diwarnai oleh virtual war dan proxy war. Proxy War menjadi salah satu strategi Perang Dingin dimana kedua belah pihak menggunakan pihak ketiga sebagai wilayah pertempuran. Strategi yang digunakan dalam Perang Vietnam dan Perang Korea ini dirasa cukup mahal secara ekonomis sehingga kemudian diperlukan strategi lain yang cukup efisien. Strategi ini dilakukan dengan mengembangkan nuklir yang dirasa lebih efisien, karena selain lebih memberikan efek teror, bagian kecil nuklir juga lebih efisien daripada sejumlah besar senjata konvensional . Efek teror ini memicu kedua negara superpower – AS dan Soviet – untuk sama-sama mengembangkan nuklir. Balance of Power yang diciptakan oleh Perang Dingin bergeser menjadi Balance of Terror yang didukung oleh perlombaan senjata.Perlombaan senjata inilah yang merupakan strategi deterrence yang digunakan kedua negara. AS berusaha meningkatkan senjata yang dimiliki karena percaya hal ini dapat menghindarkan keinginan dan kemampuan lawan untuk menyerang AS. Menurut Alexander L George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua . Definisi ini dirangkum oleh Glenn Synder dengan kebijakan stick and carrot yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Pihak yang satu mencegah pihak yang lain melakukan suatu aksi melalui ancaman baik implisit maupun eksplisit, dengan pemberian sanksi positif berupa hadiah jika pihak kedua menaati larangan pihak pertama dan pemberian sanksi negatif berupa hukuman jika pihak kedua berlaku sebaliknya. Deterrence hanya dapat dilakukan dalam keadaan damai walaupun damai yang dimakudkan adalah damai yang semu. Keadaan damai ini diperlukan agar teror yang dilancarkan dapat mencapai sasaran.Terminologi ‘deterrence’ pertama kali dikemukakan oleh Bernard Brodic yang menganalisis konstelasi internasional pasca pengeboman Nagasaki-Hiroshima . Kehancuran yang dialami Jepang membuka mata para negarawan bahwa ketika senjata pemusnah massal diciptakan secara besar-besaran dan negara-negara mulai berlomba-lomba untuk memiliki senjata ini, maka perang total (total war) harus dihindarkan karena akibat dekstruktif yang dihasilkan. Dalam pelaksanaannya, deterrence sendiri terbagi ke dalam beberapa periode:1. 1945-1949Periode ini diwarnai oleh pengeboman Nagasaki-Hiroshima, kehancuran yang ditimbulkan baru terbaca, oleh karena itu belum ada strategi teori deterrence yang sistematis. Teori ini didahului oleh kebijakan containment yang merupakan reaksi dari ekspansi Soviet. AS sebagai pemenang Perang Dingin sekaligus negara yang pertama kali menggunakan nuklir menggunakan kemampuan militernya untuk memaksa negara lain mengikuti kepentingan AS melalui penyebaran teror.2. Awal 1950anPeride ini ditandai oleh pemerintahan Eisenhower pada 1950an yang menjadikan massive

Page 16: Fair Trade Vs

retaliation sebagai pola strategi utama. Selain untuk membendung serangan Soviet ke AS sendiri, nuklir juga digunakan untuk membendung pengaruh Soviet ke negara aliansi. Taktik ini juga dikenal sebagai countervalue targeting strategy sebab pola ini mencoba mengarahkan senjata-senjata AS kepada obyek-obyek yang dianggap vital oleh Soviet. Strategi lainnya adalah counterforce targeting strategy dimana senjata-senjata AS diarahkan kepada pangkalan militer dan pusat-pusat kekuatan militer Soviet.Tujuan awal deterrence adalah sebagai strategi pertahanan (strategy of defense) untuk menghindari perilaku atau tindakan yang tidak dinginkan dari negara lain. Sifatnya preventif dan dinamis. Pola deterrence yang paling sering ditemui adalah dengan pemberian punishment tertentu untuk negara yang memberlakukan perilaku yang tidak diinginkan itu (undesirable behavior).Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan yang memungkinkan terjadinya deterrence adalah keadaan dimana ada ketersediaan teknologi yang memungkinkan pengembangan senjata yang efektif untuk menakuti-nakuti lawan. Strategi ini memiliki beberapa tujuan diantaranya untuk memproteksi serangan – baik yang dilakukan dengan senjata nuklir maupun senjata konvensional- . Keadaan ini tidak terlepas dari strategi military defence yang menggunakan pertahanan melalui strategi deterrence dan compellence yang menggunakan elemen militer maupun non militer.Compellence, pertama kali digunakan oleh Schelling untuk menyebut deterrence yang digunakan untuk memicu (induce) aktor lain untuk melakukan suatu aksi (behavior) . Jika deterrence digunakan untuk menekan behavior maka compellance bertujuan untuk memicu behavior walaupun keduanya biasanya digunakan secara bersamaan karena ketika aktor ingin menghindari keadaan tertentu maka ia akan memaksa aktor lain melakukan sesuatu untuk menghindari undesirable behavior itu. Menggunakan strategi kebijakan stick and carrot walaupun lalu yang lebih banyak digunakan adalah sanksi negatif, biasanya menggunakan sanksi ekonomi. Karena dapat digunakan secara bersamaan, maka terjadi suatu keambiguitasan. Antara melarang dengan memaksa pihak kedua menerima sanksi positif yang diberikan pihak pertama. Keambiguitasan ini semakin terasa ketika dalam satu kasus dapat dipandang sebagai deterrence dan compellence sekaligus tergantung perspektif yang memandang.Ketika AS memaksa Iran menghentikan proyek proliferasi nuklirnya, AS akan memanfaatkan alasan perdamaian dunia untuk men-deterrence Iran. Bagi Iran, hal ini merupakan suatu compellence. Strategi pertahanan AS ini dapat dijelaskan dari teori strategi militer klasik – Sun Tzu- yang menitikberatkan pencapaian kemenangan tanpa perang. Dengan teror yang ditimbulkan oleh nuklir, AS dapat menjamin kemenangannya tanpa harus mengadu kekuatan militernya secara kontak langsung. Jika tak bisa dicapai, maka kemenangan ini dapat dicapai dengan menghancurkan kekuatan militer lawan maupun kemenangan paling buruk dengan menghancurkan kota dan rakyat sipil di dalamnya. Walaupun bisa dibilang bahwa dua kemenangan ini tidak dapat diraih karena ketidakmungkinan penggunaan nuklir untuk menghancurkan kekuatan lawan.

Referensi:Dougherty, James and Manzginrtioz, Robert, Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study (4th edition),1996,New York : LongmanThe Origins and Age of Deterrence.pdf dalam http://www.sagepublications.comWilson, Ward,The Myth of Nuclear Deterrence.pdf

Page 17: Fair Trade Vs

Leave a Comment

Maria EM – 070710023 THI 4 Power dan Pengembangannya dalam Teori Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas   Hegemoni Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:13 am

Power menjadi konsep utama kaum realis dalam menyikapi hubungan internasional. Tiap negara akan selalu menggunakan power yang dimiliki untuk meningkatkan power yang dimiliki guna mencapai kepentingannya. Jadi dapat dikatakan bahwa power dapat digunakan sebagai alat maupun sebagai tujuan. Misalnya ketika pemerintah Singapura merasa mengalami kekurangan jumlah penduduk yang dikhawatirkan dapat memperbesar chance negara lain untuk menyerang Singapura, maka Singapura dapat mempergunakan power di bidang ekonomi untuk menstimulus pertumbuhan penduduknya, yaitu dengan cara memberi insentif pada keluarga yang bersedia memiliki lebih dari 1 anak. Power ekonomi di sini berfungsi sebagai alat dan power demografi sebagai tujuan yang keseluruhan tujuannya untuk meraih posisi teratas di konstelasi global.Power ini sendiri tidak mempunyai definisi yang statis. Menurut Robert Dahl, power adalah bagaimana mempengaruhi pihak lain untuk melakukan apa yang kita inginkan sekalipun dia tidak ingin melakukannya . Power sendiri dapat diposisikan sebagai resources maupun sebagai relationship. Pendekatan power sebagai resources menganggap power sebagai milik negara(actual power) , sehingga jika suatu negara mempunyai sumber daya yang besar seperti wilayah teritorial, jumlah penduduk dan bahan tambang yang besar kemudian dikatakan bahwa negara ini dapat digolongkan sebagai negara dengan power yang besar. Pandangan ini dirasa tidak relevan mengingat Indonesia yang memiliki kekayaan resources ditambah dengan letak geopolitik yang strategis ternyata tidak dapat membawa Indonesia menjadi superpower dunia.Pandangan lain kemudian memposisikan power sebagai relationship dimana power lebih dilihat sebagai hubungan potensial yang dapat meningkatkan power di masa yang akan datang (potential power) . Pandangan ini lebih relevan dalam pertimbangan interaksi antar negara karena ketika negara memutuskan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, maka negara tersebut akan saling menilai power masing-masing. Dalam konteks ini, power adalah bagaimana aktor A dapat mempengaruhi perilaku aktor B. Bagaimana cara kedua negara tersebut saling mempengaruhi adalah dengan memanfaatkan bentuk-bentuk power seperti soft power yang mendoktrinasi pemikiran melalui budaya, ideologi lalu hard power yang mempergunakan kekuatan ekonomi dan politik dan sebagainya.Power bukan konsep yang dapat diukur dengan mudah –bersifat intangible – karena power bersifat multidimensi. Dimensi pertama adalah scope yang mengidentifikasi aspek yang terlibat dalam area isu. Pengaruh satu negara terhadap satu isu dapat berbeda dengan isu lain. Misalnya power Jepang terhadap Indonesia dalam bidang ekonomi lebih terasa daripada power Jepang ke Indonesia dalam bidang militer. Dimensi kedua adalah domain yang menggambarkan seberapa besar aktor yang dipengaruhi. Suatu negara mungkin memiliki power yang besar di satu region tetapi tidak dapat menguasai region yang lain. Dimensi ketiga disebut weight yang merupakan kalkulasi seberapa besar kemungkinan B dapat dipengaruhi oleh A. apakah Cina yang dapat dengan mudah mempengaruhi kebijakan Vietnam yang notabene memiliki kesamaan ideologi. Dimensi keempat adalah costs, tentang seberapa besar biaya A untuk menguasai B dan seberapa besar biaya B untuk melakukan kepentingan A. Semakin kecil biaya A dan semakin besar biaya B maka power A semakin besar. Dimensi terakhir adalah means sebagai alat untuk menjalankan

Page 18: Fair Trade Vs

power itu sendiri. Bisa berupa simbolis seperti propaganda melawan perbudakan ataupun power yang lebih mudah terlihat seperti kekuatan ekonomi, militer dan diplomasi .Ketika tiap negara akan berusaha mengejar power (struggle of power) seperti pemikiran realis di atas, maka interaksi power akan membentuk tatanan kekuatan dunia dengan kutub-kutubnya. Ketika kekuatan dunia terbagi ke dalam 2 kutub yang berimbang, terjadilah yang disebut Balance of Power (BoP). Pertama kali digunakan oleh Thucydides untuk menggambarkan Perang Peloponesian. Sistem bipolar ini menurut Waltz yang neorealis lebih stabil dan karenanya menjamin perdamaian dan keamanan yang lebih baik dibanding dengan sistem multipolar . Perimbangan kekuatan kedua negara superpower akan memelihara sistem yang ada karena dengan memelihara sistem mereka dapat memelihara diri sendiri. Perdamaian ini dapat dijelaskan melalui beberapa alasan. Pertama, jumlah konflik negara-negara berkekuatan besar lebih sedikit dan hal itu mengurangi kemungkinan perang negara-negara berkekuatan besar. Kedua, lebih mudah menjalankan penangkalan karena jumlah negara berkekuatan besar yang terlibat lebih kecil. Ketiga, minimalisir miskalkulasi untuk melakukan aksi.Namun idealisme perimbangan kekuatan ini tidak memiliki definisi maupun indikator yang jelas. Ambiguitas yang muncul lebih kepada hakikat negara yang akan selalu mencari power untuk menjadi penguasa tunggal dan bukan untuk keseimbangan sistem. Ketidakjelasan ini oleh Ernest Haas digambarkan dalam 8 arti berbeda tentang BoP yaitu distribusi kekuasaan, proses penyeimbangan, hegemoni dan upaya mencari hegemoni, stabilitas dan damai, power politics secara umum, sejarah hukum universal dan sistem yang mengarahkan pembuat kebijakan .Kritik yang muncul kemudian menyerang tujuan BoP sendiri yang menurut Bolingbroke, Gentz dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem dan pendukung sistem itu sendiri, menjamin stabilitas dan keamanan bersama, serta menjamin perdamaian abadi . Tujuan ini kemudian dimanifestasikan ke dalam cara-cara yang mendapat sorotan karena menjalankan politik tidak etis seperti adu domba, bantuan restrukturasi pasca perang, pembangunan daerah penyangga, aliansi, area pengaruh, intervensi, diplomasi, penyelesaian konflik secara legal, perlucutan senjata, perlombaan senjata serta perang. Karena kepentingan nasional suatu bangsa dapat menjadi ancaman bagi negara lain maka BoP yang secara teori menghindari perang ternyata malah menyebabkan perang itu sendiri.Jika BoP menggambarkan struktur power yang bipolar, maka sistem unipolar dapat dijelaskan dengan Teori Kestabilan Hegemoni (hegemonic stability). Ketika struktur dunia dimaknai sebagai struktur unipolar, maka power akan terkonsentrasi pada satu kutub dan memunculkan aktor dominan yang menguasai dunia dengan kekuatan ekonomi dan militer. Hegemon ini akan membawa dunia internasional menuju kestabilan.Jika realis melihat power sebagai perhatian utama yang akan diperjuangkan oleh tiap negara maka kaum transnasionalis melihat power akan selalu terlibat dalam perubahan. Arti power menjadi lebih persuasif dan tingkat kekerasan nya lebih berkurang . Saya pribadi juga melihat ketidakjelasan konsep BoP, tentang seberapa seimbangkah keseimbangan yang dimaksud, atau keadaan seperti apakah yang dapat dikatakan seimbang.Teori hegemonic stability berakar pada pemikiran merkantilis tentang politik yang memimpin ekonomi walaupun tidak sepenuhnya menganut nilai-nilai merkantilis karena nilai-nilai liberal tetap menjadi poin penting. Kekuatan dominan tidak hanya memanipulasi hubungan ekonomi internasional tetapi juga menciptakan suatu perekonomian dunia yang terbuka berdasarkan perdagangan bebas dimana manfaatnya tidak hanya akan dirasakan bagi negara hegemon tetapi juga semua negara yang berpartisipasi.Hegemoni atau yang dipahami sebagai dominasi kekuatan militer dan atau politik, diperlukan

Page 19: Fair Trade Vs

dalam perekonomian pasar dunia yang liberal karena tanpa hegemoni aturan liberal tidak dapat dilaksanakan. Hal ini berarti jika ekonomi dunia adalah liberal maka dalam ekonomi dunia harus ada kekuatan hegemon. Dalam hegemon diperlukan adanya kekuatan yang bersedia mengambil alih dan mengatur roda perekonomian dunia untuk menjaga stabilitas perekonomian itu sendiri. Dalam menjalankan hegemoni, diperlukan kekuatan-kekuatan utama yang dapat digunakan sebagai alat bargaining untuk meraih kekuatan lain. Dalam teori ini, diperlukan adanya satu aktor yang muncul dengan kekuatan dominan untuk menjamin segalanya berlangsung lancar. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk institusi yang menjadi fokus neoliberalis.Teori Hegemonic Stability mejelaskan signifikansi hegemon harus berkaitan dengan sifat barang-barang yang disediakannya. Dalam ekonomi liberal, barang-barang yang dipertukarkan adalah benda bebas dimana suatu benda itu akan memberikan manfaat bagi semua orang dan bukan untuk orang tertentu, misalnya valas, saham dan sebagainya. Keuntungan publik inilah yang kemudian dapat memunculkan free riders yang ingin menikmati keuntungan tanpa harus berkontribusi pada sistem itu sendiri. Efek inilah yang berusaha dihilangkan oleh hegemon. Ketika AS dengan hegemonnya membangun Bretton Wood Systems, maka di balik itu adalah kepentingan AS untuk mengamankan pasar luar negerinya karena sistem itu menyediakan berbagai institusi yang pada dasarnya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan AS.Referensi:D.A.Baldwin ,2002,Power and International Relations,Handbook of International Relations,pp.177-189Dougherty,J.E and Pfaltzgraff,R.L.,1971,Theoretical Approaches to International Relations,Contending Theories of International Relations,pp.30-38Henderson,W.Convay,1998,Conflict and Cooperation at the turn of the 21st century, McGraw-Hill Companies,Inc.Sorensen,Georg and Jackson,Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press

Leave a Comment

Strukturalisme dalam Kerangka   Marxisme Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:11 am

Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa telah mengubah sistem feodalisme ekonomi, yang dulunya kekuasaan dipegang oleh pemilik tanah, menjadi kapitalisme ekonomi dimana tujuan penyelenggaraan kegiatan ekonomi adalah akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Dalam kapitalisme terjadi apa yang dinamakan dengan ketidaksederajatan sosial (social inequalities), yaitu keadaan dimana satu pihak akan diuntungkan dan pihak lain dirugikan oleh usaha-usaha untuk akumulasi modal. Keadaan ini membuat kaum buruh yang tidak memiliki alat-alat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal.Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki faktor-faktor produksi akan selalu mengeksploitasi kaum proletar yang membutuhkan kaum borjuis untuk bertahan hidup. Dalam ketergantungan proletar oleh kaum borjuis, upah yang didapatkan buruh jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya didapatkannya,

Page 20: Fair Trade Vs

selisih antara upah buruh yang seharusnya dan yang didapat inilah yang merupakan keuntungan nilai tambah yang diambil oleh kaum borjuis .Marxisme mengasumsikan manusia sebagai makhluk materi, karena kehidupan manusia sejak dulu diwarnai dengan kebendaan dan kepemilikan pribadi yang menyebabkan manusia terus berkonflik memperebutkan materi yang merupakan faktor utama proses sosial politik (materialisme historis) . Prinsip dasar nya, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran . Disini berlaku dialektika materialisme, bila basis adalah ekonomi dan suprastrukur adalah politik, filsafat, sosial, agama, dan negara maka basis menentukan suprastruktur karena segala sesuatunya harus dapat dinilai dengan materi, oleh karena itu maka produksi harus dicapai sebanyak-banyaknya.Agenda utama dari ajaran Marx adalah tatanan dunia baru tanpa ada dominasi dan eksploitasi serta tanpa adanya kelas. Tatanan dunia baru ini diyakini dapat dicapai dengan jalan revolusi yang pada awalnya akan diwarnai oleh konflik antar kelas, karena itu aktor utama dalam HI adalah kelas. Revolusi sosial menurut bayangan Marx adalah keadaan dimana alat-alat produksi akan berada di bawah kontrol proletar.Pada pertengahan 1840 Marx dan Engel menulis bahwa globalisasi kapitalis telah dengan serius mengikis dasar sistem internasional . Konflik dan kompetisi antar negara sebenarnya merupakan konflik antar 2 kelas, borjuis nasional yang mengatur pemerintahan dan proletariat kosmopolitan. Dalam memandang struktur kapitalisme global, marxis melihat bahwa negara tidak otonom tetapi digerakkan oleh kepentingan kelas borjuis, oleh karena itu konflik antar negara sebenarnya merupakan konflik kepentingan antar kelas borjuis antar negara. Selain itu, sistem kapitalisme yang berlaku akan bersifat ekspansif sehingga ia akan berusaha memperluas diri melalui kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi ekonomi.Kapitalisme yang mengglobal ini kemudian mendorong para Neo Marxis seperti Paul Baran, Raul Preabach, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein untuk menggambarkan struktur dunia global dalam kerangka ekonomi yang dasarnya bersumber dari pemikiran Marxisme. Teori ini kemudian disebut sebagai teori strukturalisme global yang agenda utamanya adalah revolusi global yang hanya dapat dicapai dengan cara radikal agar bisa lepas dari struktur global yang eksploitatif.A. Teori Imperialisme LeninLenin meneruskan teori dari Marx dan mengatakan bahwa Kapitalisme telah memasuki era baru dengan terbentuknya ‘Monopoli Kapitalisme’. Struktur yang digambarkan imperialisme adalah kenyataan bahwa perusahaan multinasional akan menghadapkan pemilik modal pada konflik langsung dengan buruh global.B. Teori Sistem Dunia WallersteinBerdasarkan kegiatan produksinya, sistem dunia dapat digolongkan menjadi 3 entitas,yaitu mini-system, world empire dan world economy. Sistem paling dasar adalah mini-system dimana kegiatan produksi hanya berdasarkan perburuan dan agrikultur tradisional. Sistem kedua, world empire, produk agrikultur digunakan sebagai komoditas utama untuk penyelenggaraan birokrasi dan militer. Sistem terakhir, the world economy, adalah sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana produksi yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan keuntungan.Sistem dunia ekonomi ini kemudian memunculkan bentuk hubungan negara dalam sistem dunia yang terbagi dalam negara core, semi-periphery dan periphery. Negara core yang negara yang memegang dominasi produksi adalah yang paling banyak mendapat keuntungan dari kapitalisme, berbeda dengan negara periphery yang dapat dikatakan menjadi objek eksploitasi pasar negara core. Kondisi ini kemudian memunculkan semi- periphery sebagai stabilitator (buffer zone)

Page 21: Fair Trade Vs

antara negara core dan negara semi periphery.C. Teori KetergantunganMembagi dunia menjadi dunia maju dan negara Dunia Ketiga dimana negara Dunia Ketiga akan selalu tergantung pada negara maju, dan ketergantungannya itu dimanfaatkan oleh negara maju untuk mengeksploitasi mereka.Bagaimanapun perkembangan dunia modern, hubungan antar negara akan selalu diwarnai dengan ketidaksederajatan sosial, akan selalu ada ‘yang mendominasi’ dan ‘yang didominasi’, seperti yang diungkapkan oleh ide dasar Marxisme. Ketidakmerataan ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan struktur-struktur baru terkait dengan terus berkembangnya praktik eksploitasi, dari yang dulunya antar buruh-pemilik modal, lalu berkembang menjadi hubungan antar koloni-penjajah yang sekarang juga diikuti oleh kolonialisme gaya baru yang kemudian oleh Wallerstein diterjemahkan ke dalam analogi eksploitasi core-periphery.Berbeda dengan 2 perspektif sebelumnya, realisme dan liberalism, yang melihat HI sebagai interaksi politik, maka marxisme dan strukturalisme ini lebih melihat dunia dalam sistem ekonomi. Walaupun pemikiran Marxis ini dianggap oleh sebagian besar telah luluh oleh runtuhnya Soviet, tetapi kenyataan akan adanya eksploitasi antar 2 kelas ini tidak akan pernah hilang walaupun impian Marx tentang dunia tanpa kelas menurut saya tidak kurang utopisnya dari utopis perdamaian abadi ala liberalisme. Marxisme juga berlawanan dengan konsep anarki ala realis, dan tidak sependapat dengan kerjasama ala liberalis, mengingat bahwa konstelasi dunia tidak akan terlepas dari konflik antar kelas.Jika merunut kaitan antara marxisme dan strukturalisme maka kedua term di atas dapat ditarik garis singgung. Keduanya sama-sama berbicara tentang struktur yang ada dalam suatu entitas, bila marxisme berbicara tentang struktur dalam negara, maka strukturalisme lebih melihat kerangka sistem dunia. Dapat juga dikatakan bahwa pemikiran Marxis lah yang membangun pemikiran struktural. Walaupun berbicara tentang negara, namun saya lihat Marxis sangat skeptis terhadap eksistensi negara, terutama karena negara tidak menghalangi eksploitasi kapitalisme, juga kenyataan bahwa kaum proletar yang tidak menguasai faktor-faktor produksi, yang demikian juga tidak menguasai ekonomi-politik,telah termarjinalkan oleh kekuasaan negara.

ReferensiAn introduction to political geography.pdfHobden,Stephen and Richard Wyn Jones.Marxis Theories of International Relations in Baylis,John. The Globalization of World Politics.pp 200-205Linklater,Andrew.Marxism in Booth,Ken.International Theory : Positivism and Beyond “The Interstate Structure of The Modern World System”.pp.87-107sSorensen,Georg and Jackson,Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press

Comments (1)

Dari Liberalisme Menuju   Neoliberalisme Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:07 am

1. Liberalisme Klasik

Page 22: Fair Trade Vs

Kehancuran yang diakibatkan oleh Perang Dunia (PD) I membawa keinginan manusia untuk menghindari perang. Hal inilah yang merupakan titik awal kebangkitan kaum liberalis yang ditandai oleh berdirinya Liga Bangsa-Bangsa. Liberalisme yang merupakan antitesis dari realisme berangkat dari asumsi dasar tentang pandangan positif tentang manusia, keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual dan percaya terhadap kemajuan yang dibawa oleh modernitas. Manusia adalah pada dasarnya baik dan terlahir dengan kecenderungan untuk saling bergantung dan bekerja sama dengan manusia yang lain . Asumsi inilah yang menempatkan individu dan kolektivitas individu sebagai kajian utama. Perhatian dasar liberalisme klasik – untuk membedakannya dengan liberalisme yang akan dijelaskan kemudian – adalah kebahagiaan dan kesenangan individu. Pikiran-pikiran para scholar yang mendahului aliran ini adalah John Locke dengan pemahaman tentang negara konstitusional, Bentham dengan kajian hukum internasional dan timbal balik serta pemikiran Immanuel Kant tentang perdamaian abadi dan kemajuan. Nilai-nilai dasar yang diusung liberalisme adalah prospek menuju damai, semangat perdagangan, interdependensi dan institusi, hak asasi manusia, serta kesejahteraan.

2. NeoliberalismePerdebatan panjang antara realis dan liberalis tentang human nature kemudian disempurnakan dengan metode ilmiah dalam kerangka pendekatan behavioralis saat Perang Dingin. Aliran ini kemudian disebut sebagai neoliberalisme. Selain tidak terlalu mempermasalahkan human nature tapi lebih melihat manusia dari hasil perbuatannya, neoliberalisme juga berbeda dengan liberalisme dalam kadar ‘ke-utopiaannya’ karena neoliberalisme tidak se-idealis liberalism klasik, selain itu kajian neoliberalisme berkisar antara kejadian-kejadian era Perang Dingin setelah 1945. Neoliberalisme mengadopsi nilai-nilai dasar liberalisme klasik dengan berbagai penyempurnaan dalam kerangka behavioralisme. Konstruksi ilmiah yang ditekankan oleh kaum behavioralis mengakibatkan aliran ini sudah lebih ’realis’ dengan menerima bahwa tidak semua manusia itu baik. Tetapi penganut aliran ini tetap beranggapan bahwa kedamaian tetap dapat terwujud bila para aktor berinteraksi dapat mewujudkan kerja sama yang kini kerja sama itu diterjemahkan oleh kaum liberalis sebagai perdagangan bebas dan penghargaan hak asasi manusia. Hal lain yang membedakan neoliberalisme dengan liberalisme klasik adalah titik berat aktor utama dalam hubungan internasional, apakah institusi, warga negara, ataupun masyarakat. Berdasarkan fokus aktor itulah aliran ini kemudian dibagi menjadi 4 aliran utama yaitu liberalisme sosiologis, liberalisme institusional, liberalisme republikan dan liberalisme interdependensi.Liberalisme sosiologis yang diwakili oleh Richard Rosecrance melihat hubungan internasional bukan hanya sebagai hubungan antara negara tetapi lebih merupakan hubungan transnasional yaitu hubungan antar masyarakat dan organisasi dari negara yang berbeda . Hubungan antar masyarakat inilah yang mempersatukan pertentangan kepentingan negara. Berbeda dengan liberalisme interdependensi yang memandang hubungan transnasional antar negara sebagai kesalingketergantungan yang paling utama antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perspektif ini, kekuatan militer yang dulu mendominasi pada era Perang Dunia – Perang Dingin kini kurang begitu berguna, posisinya kini digeser oleh isu-isu seputar ekonomi dan instrumen institusional. Interdependensi ini kemudian dapat disebut sebagai modernisasi karena modernisasi meningkatkan derajat dan ruang lingkup interdependensi antar negara.Model liberalisme ketiga adalah liberalisme institusional yang mengadopsi pemikiran tentang pentingnya institusi internasional ala Woodrow Wilson dengan Liga Bangsa-Bangsanya. Aliran

Page 23: Fair Trade Vs

ini muncul sebagai jawaban atas kekhawatiran bahwa berakhirnya Perang Dingin – yang berarti runtuhnya bipolaritas – akan membawa dunia pada perang besar. Para liberalis ini setuju bahwa institusi internasional dapat membuat kerjasama menjadi lebih mudah dan menyenangkan, tetapi mereka tidak menyatakan bahwa institusi dapat menjamin transformasi kualitatif hubungan internasional. Pandangan ini mendapat kritik keras dari realis yang memandang liberal institusional sebagai neorealis dalam nama lain. Liberalis menjawab kritikan ini dengan konsep keuntungan absolut yang dimiliki liberal berbeda dengan keuntungan relatif oleh realis. Keuntungan relatif adalah keadaan dimana suatu negara sudah puas jika ia mendapat apa yang diinginkan sedangkan keuntungan absolut menginginkan mendapat apa yang terbaik yang tidak dimiliki negara lain walaupun kepentingannya sendiri mungkin tidak didapatkan.Pandangan terakhir memandang eksistensi negara demokrasi liberal sebagai negara yang bersifat lebih damai dan taat hukum dibandingkan dengan negara yang lain . Pandangan ini disebut sebagai liberalisme republikan. Hubungan ini bisa lebih damai karena kendali ekonomi yang merupakan pilar utama hubungan luar negeri tetap dipegang oleh warga negara yang notabene tidak ingin menyerang lawan bisnisnya.Semua aliran ini menyajikan argumen yang menyeluruh dan konsisten tentang damai dan kerja sama dalam hubungan internasional walaupun hal ini mendapat kritik keras dari realis dan neorealis yang mempertanyakan konsep anarki yang nyata dalam hubungan internasional tetapi tidak pernah dibahas oleh liberalisme. Liberalis sendiri memahami konsep anarki berbeda dengan anarki ala realis. Bagi liberalis, anarki bukan berarti tidak ada pemerintahan sama sekali, yang terjadi hanya ketiadaan pemerintahan tunggal. Baik liberalis maupun neoliberalis sama-sama memfokuskan agendanya pada kerja sama, interdependensi, legitimasi organisasi internasional dan penyelenggaraan perdagangan bebas.Secara singkat, perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme adalah sebagai berikutNo Pembeda Liberalisme Neoliberalisme1 Aktor utama Individu Individu yang tergabung dalam masyarakat, kelompok, organisasi2 Asumsi dasar tentang human nature Manusia itu baik Manusia ada yang baik dan ada yang buruk3 Idealisme tentang kedamaian Sangat ideal Agak lebih ’realis’4 Kemunculan PD I Perang DinginDamai menurut liberalisme adalah keadaan hakikat semua negara. Damai yang dimaksud tidak hanya berarti ketiadaan perang seperti yang terjadi pada Perang Dingin tetapi damai berarti adanya kerja sama dalam suatu harmoni. Berbeda dengan realis yang menjadikan balance of power dengan sistem internasional bipolar, liberalis mengkonstruksi sistem internasional dalam tatanan multipolar walaupun center of action nya lebih condong ke PBB sebagai organisasi internasional.Dalam melihat pandangan liberalisme maupun neoliberalisme ini, sekilas tampaknya perspektif ini mempunyai kesempurnaan yang dibutuhkan oleh dunia. Namun harus diperhatikan bahwa pandangan liberal seringkali dijadikan sebagai topeng untuk mencapai kepentingan negara liberal dalam kaitannya dengan eksploitasi negara berkembang. Konsep ini terkait dengan teori Wallerstein dimana negara periphery akan selalu bergantung pada negara core dan akan selalu menjadi objek eksploitasi negara core. Hal ini terkait dengan pilar utama kerja sama neoliberalisme yang menekankan perdagangan bebas dan industrialisasi yang hanya akan menguntungkan negara maju dan merugikan negara berkembang yang notabene tidak terlalu siap dengan globalisasi dan perdagangan bebas. Organisasi internasional yang dipopulerkan oleh liberalis pun bisa jadi hanya merupakan wadah negara liberal untuk menghegemoni negara lain

Page 24: Fair Trade Vs

secara legal melalui kebijakan luar negeri di organisasi tersebut.Referensi:Burchill,Scott.Theories of International Relations 3rd edition.St.Martin Press.Inc.,New York.2005Jackson,Robert and Georg Sorensen.Introduction to International Relations.Oxford University Press Inc.,New York.1999

Leave a Comment

Realisme dan Neorealisme dalam Tata Politik   Global Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 8:06 am

Realisme, yang timbul sebagai respon gagalnya kaum idealis dengan LBB nya menghindari PD II, memandang negara adalah aktor utama dalam politik dunia. Karena merupakan aktor utama, maka nilai tertinggi realisme adalah keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara. Kepentingan nasional yang ditetapkan sebagai pilar tertinggi kemudian membawa kepada pemahaman bahwa pemerintahan sebelumnya maupun negara lainnya tidak dapat diharapkan sepenuhnya. Kondisi ini mengakibatkan pesimisme kaum realis terhadap peraturan dan komitmen dalam organisasi internasional. Hukum internasional hanya bersifat kondisional dan dapat dikesampingkan bila berseberangan dengan kepentingan vital negara. Bila yang dilakukan kaum idealis untuk mewujudkan perdamaian dunia adalah dengan membuat dan mematuhi hukum internasional, maka perdamaian menurut realis adalah ketika ‘pemerintahan’ internasional terwujud. Pemerintahan yang dimaksud sebenarnya adalah virtual karena yang ada adalah hegemoni yang berusaha dicapai oleh negara besar untuk mengamankan kepentingannya. Salah satu yang ditekankan oleh para realis adalah konsep struggle of power dimana tiap negara harus mengejar kepentingannya dengan cara apapun sehingga perang juga merupakan sesuatu yang wajar dalam penyelesaian konflik.Pemikiran realisme kemudian mengalami diversifikasi dari realisme klasik , neoklasik menuju kontemporer. Realisme klasik merupakan aliran yang dominan sebelum revolusi kaum behavioralis pada 1950-1960an. Pada dasarnya realisme klasik merupakan pendekatan normatif dan fokus pada nilai-nilai dasar politik dari keamanan nasional dan kelangsungan negara.1. Realism klasika) ThucydidesNilai dasar: nasib politik, kebutuhan dan keamanan dan ketahanan politikThucydides menekankan pilihan-pilihan dan ruang manuver yang terbatas yang tersedia bagi warga negara untuk menjalankan politik luar negeri. Ia juga menekankan bahwa politik mempunyai konsekuensi, sebelum keputusan akhir dibuat, seorang pembuat keputusan harus hati-hati memikirkan kemungkinan konsekuensi. Yang berbeda di sini adalah prinsip keadilan dimana adil menurut Thucydides bukan perlakuan yang sama pada semua pihak, tetapi menyesuaikan pada realitas alami kekuatan yang berbeda.b) MachiavelliNilai dasar: kebuasan politik, kesempatan dan keamanan, kelangsungan hidup politik dan kebaikan umumMachiavelli menekankan kekuatan dan kecerdikan (singa dan rubah) sebagai instrument utama dalam meraih nilai politik tertinggi yaitu kemerdekaan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa dunia

Page 25: Fair Trade Vs

adalah tempat yang kejam sekaligus menguntungkan. Implikasinya dalam HI ialah bahwa pelaksanaan FP ala Machiavelli harus berdasakan kalkulasi cerdas kekuatan dan kepentingan aktor lain serta harus mengabaikan nilai-nilai etika yang justru akan merugikan kepentingan negara sebagai aktor utama. Dalam hal ini Machiavelli menekankan waspada terhadap sesuatu yang belum terjadi dan bertindak dahulu sebelum lawan melakukan hal itu. Inilah yang kemudian – menurut saya pribadi – menjadi awal perilaku pre-emptive dalam tindakan pemimpin AS yang hawkish. Para hawkish ini menganut neorealisme.c) Thomas HobbesNilai dasar: keinginan politik, dilema keamanan, ketahanan politik, perdamaian dan kebahagiaanHobbes memandang keadaan alami manusia sebagai keadaan dimana seorang manusia adalah berbahaya bagi manusia yang lain. Karena itulah dibutuhkan negara berdaulat. Namun negara berdaulat ini kemudian menimbulkan masalah baru karena keamanan di dalam negeri bisa jadi menyebabkan ketidakamanan bagi negara lain. Inilah yang disebut dengan dilema keamanan, Hobbes juga menyebutkan perjanjian (hukum internasional) juga sangat diperlukan untuk mewujudkan keamanan dunia walaupun hukum internasional ini diciptakan oleh negara dan hanya akan dipatuhi selama hukum ini sejalan dengan kepentingan negara.d) MorgenthauNilai dasar : realisme instrumental, kekuatan dan kekejaman, kesempatan dan keuntungan, keamanan dan kelangsungan hidup, kebaikan publikMorgenthau memandang manusia sebagai binatang politik yang haus dan mengejar kekuasaan (animus dominandi). Dalam politik, harus dibedakan antara wilayah pribadi dan wilayah publik. Morgentahu memandang etika politik sebagai sesuatu yang ada, tetapi boleh dilanggar dalam usaha pencapaian kebaikan publik.2. Realisme KontemporerA. Realisme strategis – Thomas SchellingNilai dasar: realisme strategis, kecerdasan, ketegangan dan berani mengambil resiko, logika dan kekerasan, keamanan dan kelangsungan hidup, bebas-nilai.Dalam menjalankan FP nya negara harus berpikir secara strategis. Strategi yang dimaksud adalah penggunaan kekuatan militer untuk menekan dan membuat lawan melakukan yang kita inginkan.B. Neorealisme – Kenneth WaltzBerbeda dengan realisme klasik yang memandang negara dengan elitnya sebagai fokus, neorealisme lebih menitikberatkan pada struktur internasional beserta unit-unitnya dan interaksi di dalam sistem itu. Karena lahir dari pemikiran behavioralism bebas-nilai, neorealisme menggunakan perspektif ilmiah sehingga membutuhkan asumsi dan teori untuk memprediksi perilaku negara sebagai instrumen agar dapat di operasionalkan dan tidak memasukkan etika. Hal lain yang membedakannya dengan realisme klasik adalah tentang rasionalitas politik dimana neorealisme mengabaikan aspek ekonomi, human nature dan domestic policy karena hanya melihat secara totalitas tanpa memandang isu partikular di dalamnya.Mengacu pada pendapat realisme klasik, neorealisme juga beranggapan bahwa sistem internasional dikendalikan oleh negara besar. Neorealism tidak menyediakan strategi seperti pada realisme strategis karena struktur dinilai hanya memberi sedikit pilihan kepada elit yang bergerak dalam sistem itu. Balance of power bisa terbentuk dengan situasi dunia yang bipolar dimana dua kekuatan itu sama-sama besar sehingga pihak satu tidak akan menyerang pihak lain secara langsung.Jika kita membandingkan antara realisme dan neorealisme, maka parameter yang digunakan juga berbeda. Walau pada dasarnya neorealisme ‘hanya’ mengembangkan sedikit substansi dari

Page 26: Fair Trade Vs

pemikiran realisme, pandangan neorealisme cenderung melihat segala sesuatu dari kacamata struktur dan unit-unitnya. Jika bagi realis manusia adalah jahat, maka bisa jadi menurut neorealis yang jahat adalah sistem. Mengapa elit tidak berusaha mengubah sistem adalah karena sistem itu sendiri tidak memberi pilihan bagi elit untuk memilih kebijakan yang diambil. Secara alamiah, sistem akan menyediakan jawaban bagi setiap tantangan global karena sistem negara sendiri pada dasarnya akan selalu berusaha melakukan apapun untuk mencapai kepentingannya.Kelebihan pemikiran realism dan nonrealisme disbanding pemikiran lainnya adalah bahwa realism dapat menjamin tercapainya kepentingan nasional tanpa harus mereduksi kedaulatan dengan bergabung menuju organisasi internasional secara ‘penuh’. Namun kekurangan yang paling dikawatirkan adalah begitu mudahnya realis memutuskan penyelesaian konflik dengan jalan militer yang notabene mahal dan destruksif.SumberSorensen,Georg and Jackson,Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press

Comments (1)

Masuknya China Sebagai Anggota WTO : Jalan Bagi Transformasi Rezim   WTO Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 7:48 am

Abstract:This article evaluates the emerging of China in world trade system, especially after her accession in World Trade Organization as the commerce regime. The article develops two interdisciplinary frameworks for the issue, included inductive analysis and transformation of regimes approaches that is based on some concepts like distribution of power and counter regimes. The objectives of the article are to find the implications of China‘s accession in World Trade Organization both for the regime itself and for United States as the dominant power inside the regime. Implications of the frameworks are discussed to emerging any alternative for the regime’s future.

Keywords: commerce regime, transformation of regimes, China’s global power, the declining of US domination

WTO sebagai Rezim Perdagangan InternasionalDalam usaha mencapai kepentingannya, manusia dan kumpulan manusia dalam entitas negara akan melakukan segala cara yang diperlukan dengan menggunakan power yang dimiliki untuk kepentingan yang dituju (struggle of power). Ketika tiap negara saling mengerahkan power dalam satu area isu, maka akan terjadi perbenturan kepentingan yang akan menimbulkan kompetisi tidak sehat yang berusaha mereduksi kepentingan pihak lain untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Untuk menghindarkan hal itu, diperlukan adanya suatu pengaturan yang mengatur mekanisme tiap anggota dalam meraih kepentingannya. Pengaturan inilah yang disebut sebagai rezim.Rezim internasional adalah seperangkat prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan dimana keinginan para aktor berbenturan dalam suatu isu . Sebagai suatu mekanisme pengaturan, rezim mempunyai empat unsur dasar yang diperlukan untuk menciptakan keteraturan itu yaitu prinsip, norma, aturan dan proses pengambilan keputusan. Dari 4 unsur di atas, prinsip dan norma adalah karakteristik utama adanya suatu rezim, karena perubahan pada

Page 27: Fair Trade Vs

prinsip dan norma berarti perubahan rezim secara keseluruhan. Sedangkan perubahan aturan dan prosedur pengambilan keputusan hanya akan mengubah akspek internal rezim tanpa mengubah satu rezim dengan rezim yang baru.Salah satu area isu yang banyak melibatkan pertemuan kepentingan tiap aktor hubungan internasional adalah area perdagangan, oleh karena itu maka perdagangan juga perlu mempunyai rezim yang mengatur mekanisme perdagangan antar aktor hubungan internasional, baik negara maupun aktor selain negara. Rezim perdagangan internasional ini diwujudkan dengan keberadaan World Trade Organization (WTO) yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka . WTO terbentuk sebagai hasil dari Putaran Urugay dan aktif beroperasi sejak 1 Januari 1995 sebagai transformasi dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang tidak mempunyai mekanisme yang ketat. WTO bermarkas besar di Geneva, Swiss.Sebagai rezim perdagangan internasional, WTO mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh paar anggotanya yaitu most-favoured nation, non-tariff measures, national treatment, transparency, dan quantitative restriction (quota) dengan norma utamanya adalah pengurangan hambatan perdagangan hingga seminim mungkin untuk mewujudkan pasar perdagangan yang bebas, adil dan terbuka. Sejak terbentuk hingga kini, WTO menerapkan sistem kebarat-baratan, terutama mengadopsi sistem Amerika Serikat (AS) yang merupakan kekuatan dominan dalam WTO. Banyak kebijakan WTO yang dibuat berdasarkan kepentingan AS dan negara-negara industri lainnya.Posisi AS dan negara-negara Eropa kemudian terancam ketika pada 10 November 2001, China resmi menjadi anggota WTO. Sebelum bergabung, China telah menjadi kekuatan industri sekaligus pasar yang sangat diperhitungkan oleh anggota-anggota WTO, terutama dalam bidang elektronik dan komputerisasi. Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 % pada tahun 1992 menjadi 21,8 % pada 1999. Kontribusi China terhadap produksi komputer dunia naik dari 4 % pada 1996 menjadi 21 % pada 2000. Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 % pada 1996 menjadi 6 % 2000 .Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan rezim perdagangan WTO, China telah menjadi kekuatan industri yang besar dan berprospek tinggi. Dapat dipahami bila kemudian ketika China bergabung dengan WTO, negara-negara yang telah mapan sekaligus memegang kemudi atas WTO itu merasa terancam atas keberadaan dan perkembangan China yang semakin pesat.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masuknya China ke dalam WTO akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip yang telah mapan di WTO sekaligus mempengaruhi posisi dan dominasi Barat di WTO. Dalam menganalis permasalahan ini, penulis menggunakan analisis induksi yang akan menjelaskan bentuk perubahan pada rezim. Analisis induksi ini juga akan diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim menurut Oran Young yang akan menjelaskan bagaimana kekuatan hegemon dapat dipatahkan oleh kekuatan yang baru muncul.Menurut analisis induksi, tiap rezim dibentuk berdasarkan kepentingan dan tujuan dari masing-masing anggotanya. Ketika tujuan dan kepentingan ini berubah maka prinsip dan norma akan berubah. Jika prinsip dan norma berubah, maka rezim ini juga berubah. Perubahan dapat terjadi secara evolusioner dan revolusioner. Perubahan secara evolusioner akan terjadi bila perubahan terjadi dalam norma yang merupakan dasar terbentuknya suatu rezim, namun distribution of power antar negara anggota tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebaliknya, perubahan revolusioner terjadi karena transisi power. Dalam rezim, pasti ada pihak mendapat keuntungan lebih besar dan ada yang mendapat keuntungan lebih kecil atau bahkan merugi karena norma dan

Page 28: Fair Trade Vs

aktivitas dalam rezim itu. Pihak yang dirugikan tetap memilih untuk mengambil bagian dalam rezim karena jika tetap bersikukuh untuk keluar dari rezim maka harga yang harus dibayar akan jauh lebih mahal. Walaupun seolah-seolah menurut, namun pihak yang dirugikan ini menyusun counter-regimes yang akan mengambil alih kekuasaan saat kekuatan dominan telah jatuh. Hal inilah yang disebut dengan transisi power .Analisis induksi ini diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim. Oran Young dalam artikelnya, Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes, menjelaskan bahwa perubahan suatu rezim dapat terjadi karena kontradiksi internal maupun faktor eksternal . Kontradiksi internal ini dapat berupa konflik yang tak dapat diselesaikan atau berupa pengembangan karakter suatu rezim. Karakter ini berubah karena perubahan dalam distribution of power, misalnya penurunan power aktor dominan.Berdasarkan pendekatan yang telah disebutkan, maka penulis berargumen bahwa masuknya China sebagai anggota resmi WTO akan membawa perubahan yang signifikan pada WTO sebagai rezim perdagangan, dan sekaligus juga membawa dampak perubahan pada AS dan Uni Eropa (UE) sebagai anggota dominan dalam WTO.

China, Sang Naga Tidur yang Telah BangunKehebatan dan ketangguhan China sudah tidak lagi diragukan. Bahkan Napoleon Bonaparte mengatakan ‘biarkan China terlelap, sebab jika China terbangun, dia akan mengguncang dunia’. Dengan status China sebagai anggota WTO, maka China harus menyesuaikan kebijakan domestik dan luar negerinya dengan prinsip dan norma yang telah disepakati dalam dalam WTO, utamanya norma penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu 2004-2010, China telah menurunkan tarif komoditas pertanian hingga 15%, dan untuk komoditas industri hingga 8,9 % . Selain itu, China juga menjalankan prinsip national treatment dengan mempermudah regulasi investor asing dalam penanaman modalnya sekaligus ikut serta dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian China. Jika sebelumnya kepemilikan properti dan korporasi menjadi monopoli pemerintah, maka pasca 2001, kepemilikan korporasi di China terbuka untuk pihak swasta.

Keterbukaan dan strategi massalisasi produk yang dilakukan China membuat produk-produk China semakin kompetitif dan membanjiri pasar internasional sehingga mengungguli produk negara industri lainnya seperti AS, Jepang dan India, apalagi dengan berbagai kemudahan yang ia dapatkan setelah resmi menjadi anggota WTO. China mengancam eksistensi negara industri yang telah mapan sebelumnya karena China telah menggeser fokus perekonomiannya dari sektor pertanian (primary industry) menjadi sektor industri manufaktur (secondary industry) dan jasa (tertiary industry).

Jika dilihat dari daya beli masyarakatnya, pada tahun 2006 China dapat dikatakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS, apalagi pada tahun yang sama surplus neraca pembayaran yang diperoleh China mencapai 180 milyar dolar yang merupakan nilai tertinggi di dunia . Selain itu, China telah menjadi exportir terbesar ketujuh dan importir terbesar kedelapan untuk perdagangan barang, serta termasuk dalam 12 eksportir dan importir terbesar untuk bidang jasa . Seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini bahwa pendapatan China setelah resmi menjadi anggota WTO meningkat sebanyak 2,2%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, apalagi negara berkembang lainnya.

Page 29: Fair Trade Vs

Hal inilah yang dipandang sebagai ancaman terbesar bagi AS dan negara maju lainnya karena sebelumnya, negara-negara Utara –istilah yang digunakan untuk menyebut negara maju – inilah yang menguasai perdagangan dunia sehingga dapat menyetir tiap kebijakan dan perundingan yang berjalan di WTO, seperti misalnya perundingan di Doha tentang pencabutan subsidi pertanian di Doha yang berjalan cukup alot karena pihak Utara yang tidak mau mengabulkan keinginan negara berkembang –yang saat itu diwakili oleh India- untuk mencabut subsidi pertanian negara maju.Dengan munculnya China sebagai negara Selatan yang mampu menguasai perekonomian dunia, maka negara maju khawatir bila kepentingannya yang selama ini telah mapan kemudian tereduksi dengan kedatangan China. Apalagi dengan kenyataan bahwa produk industri yang selama ini menjadi ‘ladang emas’ negara Barat ternyata menjadi kurang kompetitif ketika China muncul di pasaran. Survei yang dilakukan Kamar Dagang Eropa pada 2007 menunjukkan, sebanyak 34% responden merasakan dampak negatif dari bergabungnya China dalam keanggotaan WTO, naik drastis dari tahun 2006 yang hanya mencapai 4% .Berbagai data yang menunjukkan kemajuan China mengalahkan pendapatan Jepang dan negara maju lainnya seperti AS dan UE, sekaligus gambaran yang telah disinggung sebelumnya tentang ketidakpuasan Eropa membuktikan bahwa telah terjadi penurunan power kekuatan dominan yang diikuti dengan naiknya kekuatan baru yang mengancam eksistensi kekuatan dominan itu. Perubahan distribution of power ini, menurut analisis induksi, secara bertahap akan mengakibatkan perubahan dalam rezim itu, perubahan yang disebut sebagai perubahan revolusioner.China yang mewakili negara berkembang, menurut analisis penulis, dengan power yang dimiliki akan membentuk counter regimes dengan merangkul negara berkembang lainnya untuk memperjuangkan perubahan-perubahan terhadap kebijakan yang kurang menguntungkan, yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya, serta memperkuat posisi tawar negara Selatan dalam perundingan sehingga mampu memberikan pertahanan terhadap tekanan yang diberikan oleh negara Utara.

Aturan WTO yang Rentan Terhadap Pengaruh ChinaSecara umum, ada beberapa aturan WTO yang dipertanyakan oleh negara berkembang namun tetap dipertahankan oleh negara maju, seperti prosedur pengambilan keputusan dengan menggunakan metode konsensus dimana keputusan tidak akan terlaksana tanpa kesepakatan dari keseluruhan 140 anggota sehingga prosedur ini lebih merupakan alat negara maju untuk menahan kebijakan yang diajukan negara berkembang. Kemudian permasalahan subsidi yang telah menjadi bahan perundingan yang sukar mencapai kata sepakat dimana negara maju memberikan subsidi tidak langsung bagi petani mereka namun memaksa negara berkembang untuk menghilangkan subsidi bagi pertaniannya. Negara maju juga memberikan subsidi bagi infant industries negara mereka dan lolos dari kerangka WTO karena mereka melepas subsidi itu ketika perusahaan yang bersangkutan sudah go international. Dengan kondisi internal China yang belum benar-benar menghilangkan intervensi pemerintah, maka China akan berusaha mengubah dan melakukan redefinisi terhadap subsidi yang dimaksudkan dalam piagam WTO.Aturan lainnya yang menjadi perhatian China adalah mengenai safeguards mengingat nasionalisme China menganggap compliance terhadap institusi supranasional adalah kegagalan pemerintah. Berikutnya, China juga merasa perlu mendekonstruksi mekanisme penyelesaian perselisihan mengingat entitas China sebagai negara dengan power yang besar dalam perdagangan akan banyak mendapat kendala dan tantangan seperti yang juga dialami oleh AS

Page 30: Fair Trade Vs

dan UE yang telah terlibat dalam lebih dari separuh kasus yang diselesaikan oleh WTO. Mekanisme penyelesaian perselisihan yang melibatkan banyak pengacara akan menyulitkan China , karena negara tirai bambu itu hanya mempunyai 100.000 pengacara atau 11000 orang penduduk tiap 1 pengacara. Jumlah yang tidak seimbang bila dibandingkan dengan 300 penduduk AS yang diwakili oleh 1 pengacara.

Wajah Baru WTODengan proses transformasi seperti itu, ada beberapa skenario yang oleh penulis digunakan untuk menggambarkan ‘wajah’ WTO ke depannya. Skenario pertama, aturan dan prosedur dalam WTO akan bergeser ke arah posisi yang semakin menguntungkan negara berkembang. Perubahan ini tidak akan mengubah rezim WTO secara fundamental, tetapi lebih ke arah penguatan atau kemunduran rezim itu sendiri. Dalam kaitannya dengan perubahan rezim ini, maka yang terjadi adalah semakin melemahnya rezim akibat penurunan kekuatan dominan, dalam hal ini AS dan Eropa. Kekuatan China yang muncul tidak akan mampu mengakomodasi rezim secara keseluruhan karena China dan negara Timur lainnya tidak memiliki sifat untuk menjadi leader dalam rezim itu.Selama ini AS bersedia menjadi leader karena sifat ideosinkretis AS dan negara-negara Eropa lainnya yang mempunyai mental kolonial dan white man’s burden yang masih terbawa dimana negara-negara kolonial merasa mengetahui yang terbaik untuk bekas jajahannya sekaligus mempunyai sifat dasar untuk ‘mengayomi’ dan menguasai dunia secara global. Apalagi AS dengan manifest destinynya. Sifat-sifat inilah yang membuat AS bersedia mengeluarkan banyak biaya untuk mengakomodasi rezim yang dipertahankannya, satu hal yang tidak dimiliki China. Tentu saja faktor ideosinkretis ini juga didukung oleh kepentingan AS dalam kebijakan luar negerinya. Menurunnya leader akan membuat anggota-anggota lainnya saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain sehingga melemahkan rezim itu sendiri.Skenario kedua adalah perubahan fundamental, atau yang disebut sebagai perubahan evolusioner menurut analisis induksi, yaitu perubahan prinsip dan norma rezim secara mendasar yang akan mengubah rezim itu secara keseluruhan. Dengan meningkatnya posisi tawar negara berkembang, maka bisa jadi prinsip dasar WTO yang sebelumnya adalah free trade berubah menjadi fair trade. Dengan fair trade, maka prosentase penurunan tarif bagi negara maju dan negara berkembang akan lebih adil .Skenario ketiga adalah munculnya China sebagai diplomatic leader. China dinilai memiliki track record lebih baik dibanding dengan sesama raksasa perdagangan seperti UE dan AS. Nantinya bentuk diplomasinya akan lebih mengarah pada koalisi, regionalisme dan perselisihan klaim kedaulatan (terutama menyangkut masalah Taiwan). Apalagi dengan sifat China yang gemar dan mudah mencari koalisi.

KesimpulanPerubahan besar-besaran China di bidang perekonomian yang telah dimulai sejak era Deng Xiao Ping memunculkan China sebagai kekuatan industri yang disegani. Bahkan sebelum menjadi anggota resmi WTO, China telah mengambil peran yang besar dalam perdagangan dunia. Walaupun secara ekonomi China menganut sistem ekonomi pasar, terutama setelah bergabungnya China sebagai anggota WTO, namun secara politik dan prosedur kenegaraan China masih memegang nilai-nilai sosialis. Dengan sifat ekonomi yang tidak terlepas dari politik, masuknya China akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip WTO sebagai rezim perdagangan. Terbukti pada tahun kedelapan keanggotaan China, China telah mampu memberi

Page 31: Fair Trade Vs

pengaruh yang besar pada anggota WTO yang lain, khususnya menjadi counter regime bagi kemunduran AS dan UE sebagai kekuatan dominan.Dengan berbagai fakta dan data yang disampaikan sebelumnya, ditambah dengan beberapa skenario yang menggambarkan prediksi penulis tentang keberadaan rezim WTO di masa depan, maka dengan demikian tesis yang diajukan penulis dalam hal ini terbukti.

Referensi:Anonim.23 November 2007.Masuk WTO, China Rugikan Eropa.http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2007/11/23/19/63022/masuk-wto-china-rugikan-eropa/masuk-wto-china-rugikan-eropa.Diakses pada 21 Juni 2009Anonim.Direktorat Hubungan Perdagangan Multilateral dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. World Trade Organization sebagai Lembaga Pelaksana dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia. p.1CIA – The World FactbookD Krasner, Stephen.1984.International Regimes. London: Cornell University PressE Stiglitz, Joseph.2002. Globalization and It’s Discontents.New York:W.W.Norton & Company LtdFuady, Munir.2004.Hukum Dagang Internasional:Aspek Hukum dari WTO.Bandung:PT Citra Aditya BaktiHartati Samhadi, Sri.Globalisasi dan Indonesia 2030. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2658725.htm.Diakses pada 21 Juni 2009J.Cohen, Benjamin.2008.International Political Economy:An Intellectual History.New Jersey: Princeton University PressJ Puchala, Donald and Raymond F.Hopkins.1983.International regimes : lessons from inductive analysis.New York:Cornell University Press.R.Young, Oran.’Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes’ in Stephen Krasner (ed).International Regimes. London: Cornell University PressZ.Cass, Deborah et al (eds).2003.China and The World Trade System: Entering the New Millennium. New York: Cambridge University Press

Leave a Comment

Pengaruh Ideologi Juche Terhadap Regionalisme Asia Timur : Studi Tentang Hambatan Identitas dalam   Regionalisasi Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 7:45 am

Abstract:This article evaluates the influence given by North Korea’s ideology, “juche” in East Asia regionalization, especially how both North Korean nuclear crisis and isolated foreign policy play a role in East Asia regionalism. The article develops some interdisciplinary frameworks for the issue, included security threat theory by Hettne and national identity theory by Bruce Hall that is based on some concepts like BoP contest, grass fire conflict, intrastate conflicts, identity and foreign policy. The objective of the article is to find the implications of North Korean foreign policy as a part of East Asia region for the regionalization constructed. Implications of the frameworks are discussed to emerging any solution to the future of the region.

Page 32: Fair Trade Vs

Keywords: East Asia region, national identity, juche, nuclear crisis, isolated economy, regionalization

Pendahuluan

Berakhirnya Perang Dingin (Cold War) memunculkan perubahan besar bagi dunia internasional, antara lain meluasnya regionalisme, perubahan tata ekonomi global serta transformasi sistem internasional. Regionalisme berakar dari kata region yang oleh Ravenhill disebut sebagai konstruksi sosial yang mempunyai anggota resmi dan definisi batas yang jelas . Region ini kemudian ter-regionalisasi, ditunjukkan oleh peningkatan tingkat ketergantungan ekonomi dengan batas-batas geografis yang jelas, dan menjadi suatu entitas yang disebut regionalisme. Regionalisme identik dengan kerjasama, perdamaian, integrasi yang umumnya dibungkus dalam kerangka geografis. Kerjasama, integrasi dan perdamaian yang merupakan kata kunci dari regionalisme ini merupakan buah pikir kalangan liberalis yang dikembangkan dalam kerangka liberal institusionalis dimana insitusi regional merupakan prasyarat untuk mewujudkan integrasi yang komprehensif. Dengan kerangka liberalisasi ini maka bisa dipahami bahwa negara yang menganut sosialisme akan mengalami kesulitan dengan proses regionalisasi.Asia Timur adalah kawasan yang unik. Yang dimaksudkan oleh penulis dengan Asia Timur adalah suatu entitas geografis yang meliputi negara Jepang, China, Mongolia, Korea Utara (Korut ), Korea Selatan (Korsel) dan Taiwan.

Peta Asia Timur

Sumber: www.geology.comYang unik di sini adalah bagaimana Korea Utara sebagai negara sosialis dikelilingi oleh negara dengan ekonomi liberal yang berpendapatan tinggi, namun Korut sendiri tidak terpengaruh oleh liberalisasi negara-negara tetangganya.Salah satu elemen substansial yang dimiliki Korut adalah ideologi juche yang dalam tulisan ini menjadi argumen utama yang menghambat regionalisasi Asia Timur karena juche adalah kunci berbagai kebijakan luar negeri Korut, khususnya isolasi perdagangan dan proliferasi nuklir.Juche adalah panduan utama Democratic People’s Republic of Korea (DPRK: Korea Utara) yang diciptakan oleh Kim Il Sung dengan dasarnya bahwa pemilik revolusi dan pembangunan adalah rakyat. Dalam situs resminya, pemerintah Korut menekankan pentingnya Chajusong (kemerdekaan) dalam hal berpolitik. Ideologi inilah yang membentuk sistem ekonomi Korut yang self reliance dan pertahanan yang self defence. Dengan juchenya ini, Korut hanya akan melakukan perdagangan secara terbatas, walaupun bukan tidak sama sekali, serta berusaha senantiasa memperkuat pertahanannya dengan cara-cara yang oleh dunia internasional dianggap sebagai cara yang provokatif.Walaupun secara analisis nasional Korut merupakan negara sosialis yang tertutup, namun dalam analisis regional, Asia Timur beranggotakan negara-negara yang memegang skor tinggi dalam bidang industri dan perdagangan. Secara substansial, Asia Timur telah memenuhi syarat-syarat munculnya regionalisme, syarat-syarat ini dapat dilihat dalam berbagai perspektif.Dalam perspektif neorealisme, sistem internasional dipandang sebagai sistem yang anarki, dimana negara adalah entitas berdaulat tertinggi yang mempunyai rasionalitas tersendiri dalam mengembangkan kebijakan luar negerinya . Karena kepentingan dan pertimbangan yang berbeda, tiap negara memutuskan bahwa self help adalah solusi terbaik sehingga regionalisme

Page 33: Fair Trade Vs

dan kerjasama regional tidak akan tercapai walaupun ada persamaan kepentingan. Oleh karena itulah diperlukan hegemon atau stabilizer untuk menstimulasi munculnya institusi dan kerjasama regional. Keberadaan great power inilah yang ditekankan oleh perspektif neorealisme. Dengan munculnya satu kekuatan besar, maka kekuatan itu akan mampu mengimposed terbentuknya institusi maupun kooperasi yang saling menguntungkan.Jika berdasar pada perspektif yang telah disebutkan sebelumnya, maka seharusnya keberadaan Jepang dan China di Asia Timur akan membawa pada integrasi dan kemunculan institusi yang kuat, mengingat kekuatan ekonomi China dan Jepang yang akan dan bahkan diperhitungkan telah menyaingi Barat. Jika dilihat dari daya beli masyarakatnya, pada tahun 2006 China dapat dikatakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS, apalagi pada tahun yang sama surplus neraca pembayaran yang diperoleh China mencapai 180 milyar dolar yang merupakan nilai tertinggi di dunia . Selain itu, China telah menjadi exportir terbesar ketujuh dan importir terbesar kedelapan untuk perdagangan barang, serta termasuk dalam 12 eksportir dan importir terbesar untuk bidang jasa . Demikian halnya dengan Jepang, pada 2005 GDP Jepang mencapai 4,52 trilyun dan merupakan pendapatan terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS) . Tetapi pada kenyataannya, integrasi dan kerjasama regional yang mapan belum terwujud secara konkret, jikalau ada itu hanya mencakup Jepang, China dan Korsel dan bukan Asia Timur secara keseluruhan.Kegagalan integrasi ini pun berlawanan dengan teori fungsionalis yang menyebutkan bahwa kawasan yang dapat memulai interaksi antar negara di dalamnya akan terus berkembang karena efek kerjasama spillovers hingga akhirnya tercipta integrasi kawasan . Interaksi perdagangan China-Jepang-Korsel yang mencapai 7 juta dolar ternyata gagal mengembangkan Mongolia dan Korea Utara ke dalam integrasi suatu institusi regional yang mapan. Jika dilihat dari pemerataan pendapatan, seharusnya asia Timur mempunyai modal yang cukup untuk pelaksanaan regionalisasi karena kesenjangan antar negara Asia Timur relatif lebih kecil dari kawasan lainnya, seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut.

Pertanyaan yang muncul dari kegagalan beberapa perspektif di atas dalam menjelaskan regionalisasi di Asia Timur adalah apakah juche yang mengendalikan perilaku Korut adalah salah satu faktor yang berperan dalam ketiadaan institusi regional di Asia Timur. Dalam menjelaskan permasalahan ini, penulis berdasarkan pada teori ancaman keamanan regional yang diungkapkan oleh Hettne. Ancaman pertama adalah balance of power contest dimana kekuatan besar dalam kawasan terlibat dalam kompetisi untuk menguasai aspek-aspek tertentu sehingga kerjasama pun terabaikan . Ancaman yang kedua adalah grass fire conflicts dimana ancaman keamanan berasal dari permasalahan lokal antar negara dalam kawasan . Ancaman yang terakhir adalah konflik internal dalam satu negara anggota yang memiliki potensi untuk mempengaruhi hubungan dengan negara lain yang memiliki hubungan tidak langsung terhadap konflik, ancaman ini disebut intrastate conflicts .Selain pembahasan dalam kerangka teori Hettne, kajian tentang juche juga akan diperkuat oleh pandangan tentang pentingnya ideologi dan identitas nasional dalam kebijakan luar negeri. Berdasarkan pandangan sosiologis, individu dan kelompok mengekspresikan kebutuhan mereka terhadap afiliasi melalui identitas sosial. Identitas sosial inilah yang menentukan bagaimana suatu objek memperlakukan dirinya sendiri dan memperlakukan objek lain dalam hubungan ke luar. Berdasarkan ahli politik University Oxford, Rodney Bruce Hall, identitas nasional akan menentukan kepentingan nasional yang kemudian akan memproduksi kebijakan-kebijakan luar

Page 34: Fair Trade Vs

negeri . Berdasarkan teori ini maka penulis berargumen bahwa juche adalah salah satu penghambat munculnya regionalisme Asia Timur.

Juche Sebagai Identitas Nasional Korea Utara dan ImplikasinyaSeperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa identitas nasional akan sangat berpengaruh pada kebijakan luar negeri suatu negara. Korut membentuk identitas nasionalnya sebagai negara sosialis yang mengutamakan pemenuhan kebutuhannya sendiri. Identitas ini, juche, merupakan manifestasi dari karakter individu pemimpinnya, Kim Il Sung, yang trauma atas segala intervensi asing semasa Perang Korea dan kependudukan Jepang. Karena dibentuk demikian, maka untuk jangka waktu yang lama Korut akan tetap berdiri sebagai negara sosialis dan tidak menerima internalisasi nilai-nilai liberalisasi yang berusaha disebarkan oleh pihak asing.Identitas nasional ini pula yang membuat Korut menempatkan dirinya sebagai musuh dari imperialisme Jepang, ‘negara boneka’ Korsel, dan ‘pihak yang selalu campur tangan’ AS . Juche dibentuk Kim Il Sung dengan tujuan awal untuk mendirikan Korut yang tangguh dan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi maupun militer sendiri sehingga tidak memerlukan campur tangan ketiga negara yang telah disebutkan di atas. Isolasi ekonomi dan proliferasi nuklir Korut sebenarnya berawal dari identitas nasional -juche- ini. Identitas nasional ini, yang oleh penulis digambarkan sebagai kebencian Korut terhadap trio Jepang-Korsel-AS, akan menutup pintu kerjasama Korut dengan ketiga negara tersebut. Tanpa adanya kerjasama, mustahil regionalisasi dapat terwujud.Juche yang dilahirkan oleh kebencian Korut terhadap negara tetangganya, juga berimplikasi pada keisolasian Korut terhadap dunia luar. Korut tidak memperkenankan adanya penerimaan tenaga kerja dari negara lain, kalaupun ada kunjungan, kunjungan itu sifatnya hanya wisata sementara dan harus melalui serangkaian prosedur yang ketat, diantaranya tidak boleh bepergian seorang diri dan sebagainya. Praktek-praktek ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip integrasi dimana hambatan –geografis maupun tarif perdagangan- diupayakan untuk seminim mungkin.Identitas nasional Korut sebagai negara sosialis yang tidak mengenal adanya Multinational Corporation (MNC) juga salah satu hal yang menghambat liberalisasi di kawasan itu.Bagan Hubungan Investasi MNC dengan Pemerintah

Dari bagan di atas, tampak bahwa aliran investasi hanya dapat dijalankan dengan keberadaan MNC, sementara aktivitas ekonomi yang dijalankan Korut tidak membuka jalan bagi adanya MNC, yang ada hanya pemerintah 1 dengan pemerintah lainnya. Hal ini tidak akan menjadi masalah berarti bila hubungan Korut dengan pemerintah sekitarnya adalah hubungan yang harmonis. Namun yang menjadi masalah adalah, karena identitas nasional Korut menempatkan negaranya sebagai musuh Jepang dan Korsel, maka perdagangan yang diharapkan dalam regionalisasi akan jauh dari kenyataan.

Dampak Proliferasi Nuklir Korut Terhadap Perekonomian Asia TimurBerdasar teori Hettne yang telah disebutkan salah satu hal yang menghambat regionalisasi adalah adanya grass fire conflict. Bila ditelusuri ke belakang, tindakan provokatif Korut ini disebabkan konflik lama yang tak kunjung berakhir antara Korut dan Korsel dalam Perang Korea 1950-1953. Secara teknis, perang ini belum berakhir karena terhentinya perang hanya difasilitasi oleh gencatan senjata dan terbentuknya Demilitarized Zone (DMZ) . Konflik inilah yang lalu melahirkan terbentuknya juche oleh Kim Il Sung. Dengan latar belakang ini, maka dapat dilihat bahwa proliferasi nuklir Korut merupakan bagian dari cara Korut untuk berkonfrontasi dengan

Page 35: Fair Trade Vs

tetangganya, Korsel.Integrasi kawasan, sesuai dengan teori Hettne di atas, terhambat karena adanya konflik antara Korsel-Korut yang kemudian disuburkan dengan juche milik Korut yang berupaya menggoncang kestabilan Asia Timur. Terutama karena konflik dua negara ini menyeret keterlibatan Jepang, China dan AS. Jepang dan AS yang membantu Korsel berupaya keras untuk menghentikan nuklir Korut, terutama karena ancaman yang diberikan oleh nuklir Korut dimana pada April lalu rudal Korut telah mencapai perairan Jepang. Sanksi yang berusaha diberikan ketiga negara ini tidak didukung oleh China yang mempunyai kepentingan dagang dengan Korut. Konflik Korut-Korsel, yang tidak akan selesai jika Korut bersikukuh mempertahankan juchenya, telah menjadi area tarik-menarik kekuatan besar Asia Timur, Jepang dan China, yang bila kedua negara ini tetap berseberangan paham, integrasi dan regionalisasi kawasan secara utuh tidak akan terwujud.Unifikasi kedua Korea merupakan bagian penting dari integrasi kawasan karena integrasi tidak akan terwujud bila anggotanya tetap berselisih. Pentingnya integrasi terhadap interaksi perdagangan yang merupakan prasyarat munculnya regionalisme dapat dilihat dalam grafik berikut:

Dari grafik di atas, terlihat bahwa volume perdagangan antar kedua Korea semakin meningkat dalam tiap tahunnya. Perdagangan yang meningkat ini merupakan hasil dari kawasan industri Gaesung yang terletak di perbatasan kedua negara. Perdagangan antar negara dalam kawasan oleh Hurrel dipandang sebagai langkah awal dalam regionalisasi . Pentingnya kestabilan politik dalam perekonomian kedua negara terlihat ketika hubungan kedua Korea memanas karena propaganda HAM Korsel pada awal Desember 2008, kawasan industri Gaesong ditutup secara sepihak oleh pemerintah Korut sehingga ratusan ribu tenaga kerja terjebak dalam kawasan itu .Interaksi yang sudah bagus ini bisa goyah jika Korut tetap mengembangkan nuklir yang dipandang Korsel sebagai ancaman. Dan karena nuklir yang dikembangkan Korut adalah manifestasi dari ideologi juchenya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa integrasi dan regionalisme kawasan dapat terwujud bila Korut menanggalkan juchenya. Karena juche lahir dari konflik kedua Korea, maka solusi utama bagi kedua negara sesuai teori Hettne adalah menghilangkan grass fire conflict yang menjadi akar bagi semua permasalahan. Bila kedua Korea dapat menyepakati adanya rekonsilisasi damai, maka juche yang dipakai Korut sebagai pedoman bisa diruntuhkan, dan bila juche ini diruntuhkan maka tidak akan ada lagi proliferasi nuklir dan isolasi ekonomi yang dilakukan Korut sehingga integrasi kawasan akan lebih mudah terealisasi.Bagaimana proliferasi nuklir Korut mempunyai dampak yang signifikan terhadap perekonomian Asia Timur dapat dilihat dari salah satu indikatornya yaitu pergerakan saham dan harga minyak. Ketika misalnya peluncuran rudal Korut pada 4 Juli 2008 lalu, harga emas dan minyak melonjak hingga di atas 75 dolar per barel meskipun pada hari itu pasaran saham Asia termasuk Korsel tidak menunjukkan penurunan tajam . Analis pasar berpendapat, kalau investor beralih menginvestasi emas dan konsumen mengambil sikap menunggu terhadap pembelanjaan berjumlah besar, ini mungkin akan mempengaruhi laju ekonomi regional . Kalau krisis ini tidak bisa segera diatasi bahkan lebih lanjut memburuk, akan memberikan pengaruh lebih besar bagi pasaran moneter Asia.Dampak yang lebih signifikan ditunjukkan oleh bursa Jepang, khususnya Nikkei dan Tokyo Elektron, yang pada akhir Mei 2009 mengalami penurunan karena dampak dari meningkatnya kekhawatiran mengenai perkembangan kondisi keamanan di wilayah Asia Timur setelah Korut meluncurkan roketnya dalam rangkaian uji coba militer . Begitu juga dengan indeks Kospi

Page 36: Fair Trade Vs

Korsel dan Shanghai China .Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa proliferasi maupun peluncuran rudal Korut ternyata berdampak pada instabilitas ekonomi Asia Timur. Walaupun dampak yang ditimbulkan tidak serta merta melumpuhkan roda perekonomian karena adanya kekuatan besar yang menstabilkan, Jepang dan China, namun jika hal ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin bila stabilitas ekonomi Asia Timur akan semakin labil dan roda perekonomian akan terhambat. Berbagai tindakan provokatif yang dilakukan Korut ini merupakan manifestasi dari juche yang dipegang Korut. Korut ingin menunjukkan pada dunia bahwa negaranya memiliki pertahanan yang kuat dan tidak bisa diintervensi oleh pihak asing, dalam hal ini Jepang, Korsel dan AS. Selain itu, peluncuran rudal ini juga merupakan salah satu cara Korut untuk menghidupkan kekuatan ekonominya yang hancur akibat isolasi dan pengembangan nuklir yang memakan biaya yang tidak sedikit. Karena juchenya menekankan self reliance dalam bidang ekonomi, Korut tidak bisa terang-terangan meminta bantuan ekonomi ataupun membuka perdagangannya dengan bebas. Oleh karena itulah ia mempergunakan nuklir ini sebagai bargaining power untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya tanpa harus ‘menengadahkan tangan’.Hal inilah yang dimaksudkan penulis dengan juche sebagai penghambat regionalisme Asia Timur karena juche yang dipegang Korut membawa pada proliferasi nuklir yang mengancam kestabilan keamanan maupun ekonomi regional. Juche juga menutup pintu perdagangan antara Korut dengan negara sekawasan, baik karena isolasi Korut maupun karena embargo yang diberikan pihak luar, sehingga integrasi yang diharapkan dalam kawasan juga nyaris tidak mungkin untuk terwujud.Tentu saja jika merujuk pada teori Hettne yang telah disampaikan disebelumnya, tidak terwujudnya regionalisme Asia Timur bukan 100% kesalahan konflik Korea, tetapi juga ada faktor BoP contest, yaitu kompetisi antara Jepang dan China untuk ‘menguasai’ Asia dan bahkan dunia. Apalagi jika dirunut sejarah, maka akan banyak ditemukan konflik historis antara Jepang dan China, terutama terkait dengan kependudukan Jepang di China dan perebutan pulau Spratley. Namun yang menjadi fokus tulisan ini lebih ke bagaimana elemen-elemen dalam Korea Utara mempengaruhi kegagalan regionalisme Asia Timur.Faktor ketiga yang disampaikan Hettne dan juga ada pada Korut adalah intrastate conflicts. Juche tidak hanya mempengaruhi kebijakan Korut keluar, tetapi juga membentuk kebijakan Korut ke dalam negerinya. Manifestasi karakter Kim Il Sung tidak menyediakan ruang gerak yang cukup untuk kepemilikan privat di Korut. Segala properti adalah hak milik negara dan aktivitas perekonomian diatur secara tersentral oleh negara. Sementara regionalisme ditandai dengan pergerakan bebas faktor produksi, dimana di dalamnya manusia, satu hal yang bertentangan dengan kebijakan dalam negeri Korut yang tidak memperbolehkan warga negaranya bermigrasi secara bebas.Selain itu, juche juga tidak menyediakan penerapan demokrasi yang memadai padahal demokrasi meningkatkan interdependensi di level regional dan global walaupun demokrasi bukan syarat mutlak terciptanya regionalisme itu sendiri . Kemiskinan dan ketertindasan yang dialami rakyat Korut (grassroot) juga menjauhkan mereka dari keinginan dan pemikiran untuk mengadakan kerjasama dengan negara lain. Ketidakbebasan yang dialami rakyat Korut, sesuai asumsi terakhir Hettne, juga memberi dampak bagi pergerakan di negara lain sekawasan, terlihat dalam propaganda HAM yang dilakukan aktivis Korsel untuk mendorong rakyat Korut menggulingkan rezim Kim Il Sung tahun lalu. Pemaparan ini semakin menjelaskan bahwa konflik internal dalam negeri Korut juga merupakan salah satu penghambat regionalisme Asia Timur.

Page 37: Fair Trade Vs

KesimpulanIdentitas nasional Korut, juche, adalah faktor penting yang mempengaruhi kebijakan Korut bagi keluar maupun ke dalam. Juche ini selain menempatkan Jepang dan Korsel sebagai musuh utama Korut, juga merupakan batu landasan untuk provokasi proliferasi maupun peluncuran rudal Korut, serta alasan utama isolasi ekonomi yang diterapkan Korut. Berdasarkan teori Hettne tentang hambatan munculnya regionalisme, konstelasi politik Korut ternyata memenuhi 2 dari 3 asumsi Hettne tentang penghambat regionalisme kawasan, yaitu grass fire conflicts dan intrastate conflicts.Untuk menyelesaikan permasalahan ini, penulis menawarkan beberapa skenario. Grass fire conflicts Asia Timur, dalam hal ini konflik Korut-Korsel, harus dapat diselesaikan untuk mewujudkan integrasi kawasan. Skenario pertama adalah reunifikasi Korea yang bisa diwujudkan dengan optimalisasi pendayagunaan kawasan industri Gaesong. Dengan optimalisasi itu, pengusaha kedua Korea mendapatkan manfaat yang besar dari Gaesong sehingga mereka dapat menekan pemerintah kedua negara untuk mengakhiri perselisihan. Jika Gaesong memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GDP kedua negara, maka pemerintah juga akan mempertimbangkan hal yang sama, yaitu rekonsiliasi atau bahkan reunifikasi kedua Korea. Jika kedua Korea tidak bisa berganung sebagai 1 negara, setidak-tidaknya kedua Korea dapat hidup berdampingan sebagai tetangga yang damai.Skenario kedua untuk mewujudkan perdamaian Korea demi integrasi kawasan adalah pengurangan pengaruh AS di Korsel. Salah satu hal yang ditonjolkan juche adalah Korea yang mandiri tanpa intervensi AS. Jika Korsel bersedia mengurangi porsi AS di negaranya, bukan tidak mungkin rekonsiliasi dan bahkan reunifikasi kedua Korea dapat terwujud. Sebagai ganti AS, Korsel dapat meningkatkan perdagangan dengan negara lain sekawasan. Di sini peran Jepang dan China sebagai raksasa perdagangan sangat diperlukan. Skenario ketiga adalah dihapuskannya juche sebagai identitas nasional Korut agar Korut bersedia menerima liberalisasi ekonomi dan berhenti mengancam keamanan Jepang dan Korsel sebagai negara tetangganya. Skenario ketiga ini hanya bisa berhasil bila salah satu dari dua skenario sebelumnya telah berhasil dilaksanakan.Dengan bukti-bukti dan pemaparan yang disampaikan penulis, dan diperkuat oleh teori Hettne dan beberapa skenario di atas, maka dengan demikian tesis penulis bahwa juche merupakan salah satu faktor penghambat regionalisme Asia Timur terbukti.

Daftar Pustaka :Anonim.’Ujicoba Peluncuran Peluru Kendali Korea Utara’. Radio Taiwan International. diakes pada 26 Juni 2009Anonim.’Nikkei Mengalami Pelemahan; Kekhawatiran Kondisi Keamanan di Asia Timur’.Vibiznews 26 Mei 2009. diakses pada 26 Juni 2009CIA – The World FactbookFawcett, Louise and Andrew Hurrell. 2002. Regionalism in World Politics. Oxford University PressFawcett, Louise. Regionalism in Historical PerspectiveHettne, B. 2000.’The New Regionalism : A Prologue’ In B Hettne. (ed), The New Regionalism and the Future of Security Development, Vol.4. London : MacmillanIstiana Ihsan, Astri.‘Korut Minta Korsel Hentikan Propaganda’.Harian Jurnal Nasional. diakses pada 14 Desember 2008Official webpage of the Democratic People’s Republic of Korea (DPRK). http://www.korea-

Page 38: Fair Trade Vs

dpr.com/ diakses pada 27 Juni 2009R.A Kawilarang, Renne. ‘Krisis Nuklir Korut Turut Jungkalkan Indek’.Vivanews 26 Mei 2009. diakses pada 26 Juni 2009Ravenhill, John.Regionalism.www.oxfordtextbooks.co.uk/orc/ravenhill2e/Roehrig, Terence et al (eds).2007.Korean Security in a Changing East Asia.Westport: Greenwood Publishing Group IncSöderbaum, Fredrik.2004.The Political Economy of Regionalism : The Case of Southern Africa.New York: Palgrave MacmillanThea, Ady.’Korea Selatan memprovokasi Korea Utara’.Harian Media Bersama diakses pada 11 Januari 2009.World Bank and Organization for Economic Cooperation and development (OECD) in Microsoft ® Encarta ® 2008Z.Cass, Deborah et al (eds).2003.China and The World Trade System: Entering the New Millennium. New York: Cambridge University Press

Leave a Comment

Aksesi Iran ke dalam SCO : Potensi Geostrategis Iran Menghadapi   AS Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 7:28 am

Abstract:This article evaluates the Iran strategy in seeking the new geopolitical power by calculate the potential power she will get by joining the Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO and Central Asia itself has many roles in increasing Iran’s power especially after a sequence of economic sanction given by US. The article develops two interdisciplinary frameworks for the issue, included The geopolitics theory of Managerial Revolution and Mackinder’s geopolitics theory. The objectives of the article are to find the implications of Iran‘s accession in Shanghai Cooperation Organization both for the security defense opposing US influence and for her national economic development. Implications of the frameworks are discussed to emerging any alternative for Iran’s new geostrategic in contemporary world.

Keywords: Shanghai Cooperation Organization, oil and gas, US, Central Asia

PendahuluanPerubahan konstelasi dunia pasca Revolusi Islam Iran 1979, seperti runtuhnya Uni Soviet, Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak dalam rangka war on terrorism Irak, serta kehadiran pasukan AS dalam jumlah besar di negara-negara tetangga Iran membuat negara yang dulunya bernama Persia ini merasakan peningkatan ancaman keamanan dibanding dengan periode saat Perang Dingin. Keadaan semakin diperburuk oleh berbagai sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS dan PBB berkaitan dengan proliferasi nuklir yang dikembangkan Iran dan berbagai tindakan yang dianggap AS sebagai tindakan konfrontatif seperti pemasok senjata ke Taliban dan menyediakan suaka politik bagi tokoh-tokoh Irak yang melarikan diri sehingga negara mullah ini mendapat julukan sebagai axis of evil . Sanksi ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung mengancam ketahanan ekonomi Iran karena dalam Resolusi 1737 tahun 2006, Resolusi 31 Juli 2006, dan resolusi 1747 tanggal 24 Maret 2007 semua negara diminta untuk melakukan

Page 39: Fair Trade Vs

perdagangan senjata jenis apapun sekaligus tidak menyediakan bahan baku bagi Iran . Resolusi-resolusi ini juga meliputi pembekuan aset dan larangan pemberian bantuan keuangan. Keadaan tidak bertambah baik ketika pada pemerintahan Obama, AS memperpanjang sanksi ekonominya.Seperti yang digambarkan oleh peta di bawah ini, dimana Iran berbatasan langsung dengan wilayah-wilayah yang diokupasi oleh AS seperti Afganistan dan Pakistan di sebelah timurnya, dan Irak serta Saudi Arabia di sebelah baratnya.

Berbagai faktor di atas membuat Iran melihat pentingnya suatu wadah yang dapat menghimpun kekuatan negara-negara kawasan untuk mengurangi, jika tidak bisa menghilangkan secara keseluruhan, kehadiran AS di wilayah tersebut. Wadah itu tidak harus berbentuk pakta pertahanan militer, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana wadah itu dapat menyelamatkan Iran dari krisis akibat sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh AS karena berbagai alasan dari nuklir hingga terorisme. Secara geopolitik, posisi geografis Iran sangat menguntungkan. Di sebelah utara, negara ini berdekatan dengan Azerbaijan, Rusia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kazakhtan yang membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 15 Juni 2001 di Shanghai . SCO didirikan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi di kawasan Eurasia sekaligus menghilangkan pengaruh AS di kawasan itu. Selain beranggotakan enam negara pendiri seperti yang telah disinggung sebelumnya, SCO memberikan posisi strategis bagi Iran dengan menjadikan Iran sebagai observer yang akan mengubah status itu mnejadi anggota resmi dalam waktu dekat.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah aksesi Iran ke SCO akan dipandang sebagai geostrategi yang membawa dampak potensial yang menguntungkan bagi Iran dalam membendung pengaruh AS yang semakin meluas di Eurasia. Dalam menganalisis hal ini, penulis mendasarkan prediksinya pada apa yang akan didapat Iran dengan aksesinya ke SCO ditinjau dari pemikiran geopolitik Mackinder.Dalam pemikiran geopolitik klasik, Mackinder menyebut Eurasia sebagai bagian penting pusat dunia . Siapa pun yang menguasai heartland akan menguasai dunia. Wilayah-wilayah ini, termasuk Iran, memiliki akses ke Laut Caspia. Salah satu negara pendiri SCO, Rusia, merupakan penghasil gas terbesar dunia sedangkan Kazakhstan mempunyai cadangan minyak dan gas yang sangat luas, sekitar 35 milyar barel dan merupakan dua kali dari cadangan di Laut Utara . Kashagan,perusahaan minyak Kazakhstan juga adalah perusahaan minyak yang terbesar ke lima di dunia. Perbandingan mengenai produksi gas dunia dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Grafik Cadangan gas dunia (dalam trilyar m3)

Secara demografis, power yang dimiliki SCO cukup kuat dengan jumlah penduduk total 2,6 milyar dan hampir setengah dari jumlah penduduk keseluruhan.Berdasarkan pandangan Mackinder di atas, yang dibuktikan dengan kenyataan sumber daya yang dimiliki Asia Tengah, sekaligus kekayaan Iran sendiri Iran yang mengandung 125,8 milyar barel minyak serta akses langsung ke Selat Hormuz -celah sempit yang dilalui oleh 40% ekspor minyak – maka penulis beranggapan bahwa aksesi Iran ke dalam SCO akan menjadi geostrategi yang ampuh dalam pertahanan Iran di Eurasia.

Kerjasama Iran dengan Negara-Negara Asia TengahWalaupun hanya berposisi sebagai observer, namun Iran telah menjalin kerjasama yang erat dengan negara-negara anggota SCO. Tahun 2006, Iran menandatangani kesepakatan bernilai 100

Page 40: Fair Trade Vs

milyar dolar dengan China untuk pengembangan sumber minyak Yadavaran dan akan menjual 250 million tons LNG ke China untuk 25 tahun ke depan terhitung tahun 2006 . China juga telah memberikan investasi yang besar untuk pembangunan infrastruktur Iran. Beijing juga menjadi pemasok senjata dan alat pertahanan militer terbesar Iran sekaligus membantu pengembangan teknologi misil Iran termasuk air-to-air missiles, surface-to-air missiles, and anti-shipping cruise missiles. Hubungan keduanya sudah berlangsung lama, terutama sejak Perang Irak-Iran dimana China menjadi aktor yang penting dalam penyediaan senjata Iran. China menjadikan hubungannya dengan Iran sebagai senjata melawan AS, khususnya ketika AS condong memberikan dukungan senjata dan kelengkapan dirgantara pada Taiwan.Hubungan Iran dengan Rusia juga berlangsung baik. Pada tahun 2006, perusahaan minyak Rusia Lukoil dan perusahaan minyak negara Kazakh Kasmunaigas menawarkan kerjasama dengan Iranian Northern Drilling Company (NDC) untuk pengembangan kilang minyak di Laut Kaspia.Terhadap negara-negara Asia Tengah, Iran menitikberatkan pada negara-negara yang mempunyai kedekatan budaya seperti Tajikistan dan Afghanistan Barat, walaupun secara keseluruhan strateginya juga mencakup Uzbekistan and Armenia. Iran menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur seperti pembangunan saluran Anzab yang akan menghubungkan bagian utara dan selatan dari Tajikistan sekaligus menyediakan koridor dari Cina melalui Asia Tengah menuju Teluk Persia . Iran Juga membangun pembangkit hidroelektrik di Tajikistan dengan investasi total 700 juta dolar. Pada 2005, Iran juga membangun sarana kereta api menuju Heart untuk mempermudah transportasi barang dari Rusia, China dan Asia Tengah melewati Iran yang akan melalui Teluk Persia . Jalan kereta api lain, Bafq-Mashhad, dibangun pada 2004 untuk mempercepat perjalanan dari Asia Tengah ke Teluk Persia. Perdagangan dengan Turkmenistan and Uzbekistan juga terus meningkat hingga mencapai 450 juta dolar pada 2006 . 70% perusahaan Iran juga mempunyai kantor perwakilan di Uzbekistan. Negara-negara Asia Tengah ini membantu pencapaian nuklir Iran dengan cara damai karena Iran juga beberapa kali menjadi mediator dalam perselisihan negara-negara Asia Tengah.

Posisi Strategis Geopolitik Asia Tengah Bagi Keamanan IranArti penting SCO adalah sebagai buffer dalam menghambat peningkatan kekuatan militer AS di Asia Tengah sekaligus mengusir tentara AS dari sana. AS telah menempatkan pasukannya di pantai timur Asia Tengah sehingga China menjalin kerjasama latihan militer dengan kekuatan asing lainnya di Kyrgyzstan pada 2002 untuk mencegah AS mengepung Asia Tengah. Dengan bergabung dalam SCO, Iran tidak perlu mengangkat senjata dan berkonfrontasi sendirian dengan AS karena negara besar lain yang merupakan anggota SCO seperti China dan Rusia juga mempunyai kepentingan untuk hengkangnya AS dari Asia Tengah.Peta di bawah menunjukkan bagaimana keadaan geografis negara-negara ‘musuh’ AS mengunci Iran dan Asia Tengah.

Organisasi ini menolak keinginan AS untuk menjadi observer dan demokratisasi AS untuk mengurangi kehadiran militer AS di Asia Tengah.Kepentingan ini dapat dikatakan berhasil mengingat dalam kerangka SCO, Uzbekistan telah berhasil mengusir tentara AS keluar dari wilayahnya. Keluarnya militer AS dari Uzbekistan mempunyai arti yang sangat penting bagi Iran karena pangkalan udara Karshi-Khanabad di Uzbekistan adalah pangkalan kunci bagi pasukan AS untuk melakukan serangan ke Afghanistan. Sebanyak 1.000 tentara AS juga menggunakan Bandara Internasional Manas, Kyrgyzstan, sebagai wilayah lalu-lintas udara dan pengisian bahan bakar untuk menopang operasi militer di

Page 41: Fair Trade Vs

Afghanistan.Dengan keluarnya AS dari Uzbekistan maka akan mengurangi instabilitas politik Iran di wilayah perbatasan sekaligus beban Iran yang selama 20 tahun ini harus menerima 2 juta pengungsi Afghanistan. Selain itu, kerjasama Iran dengan Asia Tengah juga mencakup kerjasama di bidang pemberantasan peredaran obat-obatan terlarang. 4 dari 6 rute utama pengiriman obat-obatan ilegal dari Afghanistan ke Eropa pasti melewati Tajikistan dan Turkmenistan yang merupakan negara di Asia Tengah. Pendapatan dari perdagangan obat ilegal telah menjadi salah satu sumber pemasukan bagi kawasan tersebut. Berdasarkan United Nations Office of Drug and Crime, pendapatan dari perdagangan obat ilegal setara dengan 7 % GDP kawasan itu pada 2001 . Dengan bergabung dalam Shanghai Cooperation Organization, Iran dapat mengontrol penyelundupan obat terlarang menuju Afghanistan sehingga juga mengatasi penyelundupan obat terlarang ke negaranya.

Kesimpulan:Asia Tengah, baik dalam kerangka SCO ataupun berdiri sendiri, mempunyai arti yang sangat strategis bagi Iran, baik sebagai sumber energi maupun keuntungan pertahanan keamanan yang didapat dari posisi geopolitis negara-negara itu. Keamanan ini meliputi keamanan dari terorisme, obat-obatan terlarang maupun ancaman invasi dari AS. Keamanan yang didapat juga menyentuh aspek ekonomi. Oleh karena itu, aksesi Iran ke dalam SCO menurut skenario penulis mempunyai probabilitas yang tinggi untuk menjadi fokus geostrategi Iran dan dengan demikian tesis yang diajukan penulis dalam kajian ini terbukti.Referensi:Anonim.The New Great Game: Energy And Geo-strategy In Central AsiaHooglund, Eric. 2007.Iran.Microsoft® Student 2008 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation.John Cox, William.2007.War Without Win – Iran White Paper. www.informationclearinghouseL Afrasiabi, Kaveh. Iran plays the Central Asia card. www.atimes.com diakses pada 25 Juni 2009Short, J.R..1993.An Introduction to Political Geography,London:RoutledgeT. Klare, Michael.2005.Oil, Geopolitics, and the Coming War with Iran.www.globalpolicy.igc.orgwww.okezone.comwww.eurasianet.orgwww.atimes.comwww.republikaonline.com

Leave a Comment

Neoliberalisme, Solusi atau Dependensi? : Studi Tentang Kegagalan Neoliberalisme di Amerika Latin Oleh Maria Elysabet   Mena Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 7:26 am

Abstract:This article evaluates how neoliberal economic strategy was applied in Latin America after the crisis in 1980s, especially the implications of neoliberal policy in Latin America’s economic stability. The article develops two interdisciplinary frameworks for the issue, included

Page 42: Fair Trade Vs

dependency theory and Marxism perspective that are based on some concepts like dependency, liberalization and crisis. The objectives of the article are to find whether neoliberal economic system is appropriate to applied in Latin America. Implications of the frameworks are discussed to emerging any alternative for the regime’s future, especially for nationalism economic system.

Keywords: liberalization, dependency, crisis, nationalism

PendahuluanAmerika Selatan merupakan kawasan yang terdiri dari 12 negara, dimana 10 diantaranya adalah negara Latin meliputi Argentina, Bolivia, Brazil, Chili, Kolombia, Ekuador, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela . Oleh karena itu, Amerika Selatan juga lebih sering disebut sebagai Amerika Latin.

Negara-Negara Amerika Latin

Sumber:”Mercosur.”Microsoft® Student 2008 [DVD].Redmond,WA:Microsoft Corporation, 2007

Berbicara tentang Amerika Latin, maka umumnya yang pertama kali terlintas adalah kawasan dengan ketimpangan dan kesenjangan yang sangat tinggi. Selain itu, pengalaman historis negara-negara di kawasan ini dalam lima abad terakhir diwarnai dengan rezim oligarki yang sangat kuat, oleh karena itu banyak anggapan yang menyebutkan bahwa dekolonisasi Amerika Latin hanya merupakan pintu masuk bagi eksploitasi dari golongan oligarki. Lebih dari itu, intervensi dan eksploitasi juga datang dari pihak luar yang menginduksikan liberalisasi perdagangan dan pembangunan infrastruktur, terkait dengan kekayaan sumber daya yang dimiliki negara-negara Amerika Latin. Venezuela, Argentina dan Brazil merupakan jalur pipa gas yang menuju Amerika Utara . Raksasa industri asing, seperti Amerika Serikat (AS) dan China berlomba-lomba untuk ‘menguasai’ kawasan ini namun sering mendapat hambatan dari pertentangan antar elit sehingga strategi pembangunan menjadi tidak konsisten dan tidak efektif .Untuk mengatasi keterbelakangan pembangunan, negara-negara Amerika Latin dan Karibia memberlakukan strategi substistusi impor yang merupakan bentuk penerapan merkantilisme dimana intervensi pemerintah dalam pasar internasional dinilai merupakan jalan terbaik untuk mencapai kepentingan nasional. Merkantilisme ini tidak bertahan lama karena krisis yang terjadi pada awal 1980an membuat keyakinan negara akan perspektif neoliberalisme menguat. Krisis domestik ini diperparah oleh perlambatan ekonomi internasional yang mengiringi runtuhnya sistem Bretton Wood, dan sangat menghancurkan perekonomian Amerika Latin yang pada dekade 1970an menuai pendapatan yang tinggi dari sektor agrikultur dan manufaktur. Jika pada tahun 1972 total hutang luar negeri Amerika Latin mencapai 31,3 milyar dolar maka pada akhir 1980an, hutang-hutang itu telah mencapai 430 milyar dolar . Pelonjakan hutang ini membuat suku bunga meningkat drastis dan menimbulkan inflasi yang sangat tinggi, bahkan di Bolivia mencapai 12.000 % .Dengan desakan International Monetary Fund (IMF), World Bank dan AS, Amerika Latin mengubah strategi ekonominya menjadi strategi neoliberalisme. Seluruh aspek ekonomi-politik yang ada kemudian akan berjalan dalam koridor prinsip-prinsip neoliberalisme yang tertuang dalam Washington Consensus, meliputi disiplin fiskal, pengurangan pajak, deregulasi kebijakan moneter, kebebasan bagi investor asing, pembebasan arus keuangan dan privatisasi . Inti dari

Page 43: Fair Trade Vs

semua kebijakan ini adalah bagaimana kesejahteraan manusia dapat diwujudkan melalui pembebasan individu dari setiap kekangan. Kemerdekaan individu dalam hal ini hanya bisa dijamin melalui kerangka kelembagaan yang ditandai dengan pengakuan terhadap hak milik pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas.Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah neoliberalisme yang diterapkan sebagai pengganti merkantilisme merupakan solusi yang tepat bagi Amerika Latin untuk dapat keluar dari krisis yang menghancurkan perekonomian, sekaligus mengembangkan perekonomian Amerika Latin dalam dunia yang kapitalis. Dalam mengkaji permasalahan ini, penulis menggunakan teori dependensi yang dikembangkan oleh Fernando H. Cardoso, Faletto, dan Theotonio Dos Santos. Teori ini membagi dunia menjadi dua bagian, negara core yang menikmati dampak positif dari industrialisasi dan negara pheripery yang lebih sering dieksploitasi oleh negara core. Keterbelakangan (underdevelopment) bukan merupakan hasil dari masyarakat yang non-modern, tetapi keterbelakangan justru dikembangkan oleh ekspansi kapitalisme, terutama dalam kaitannya dengan negara pheripery . Negara pheripery mengalami underdeveloped karena development yang berlangsung di negara core. Teori ini juga diperkuat oleh pandangan konvensional Ekonomi Politik Internasional (EPI), marxisme, yang menjelaskan bahwa krisis merupakan hal yang biasa terjadi dalam sistem kapitalis dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya boom and bust cycle . Berdasarkan teori yang telah disampaikan, maka penulis memandang bahwa neoliberalisme bukan solusi yang tepat bagi Amerika Latin.

Penerapan Neoliberalisme di Amerika Latin

Teori dependensi merupakan kritik dari model kemiskinan ala Rostow yang menganggap bahwa uneven development merupakan akibat dari kurangnya keterlibatan suatu negara dalam perdagangan global . Jika merujuk pada model Rostow, maka seharusnya liberalisasi perdagangan yang dilakukan Amerika Latin, khususnya Brazil dan Argentina, akan dapat membawa negara-negara ini ke pembangunan yang berkelanjutan, mengentaskan masyarakatnya dari kemiskinan yang telah lama dialami sejak pendudukan kolonial dan eksploitasi kaum oligarki. Untuk menggambarkan bagaimana saran yang diajukan oleh model Rostow – yang secara tidak langsung merujuk pada saran neoliberalisme – penulis akan menguraikan lima kebijakan yang ditempuh Amerika Latin dan hasil yang didapatkan.Kebijakan pertama adalah liberalisasi impor. Dengan substitusi impor, pemerintah mengenakan pembatasan impor yang sangat ketat. Perusahaan domestik dilindungi dari kompetisi luar negeri sehingga dapat mengatur harga komoditas dan mengakomodasi kenaikan upah buruh. Inilah yang menyebabkan inflasi. Dengan liberalisasi, korporasi diterjunkan dalam persaingan bebas sehingga pemerintah tidak bisa bebas mengatur harga, inflasi memang dapat diatasi namun buruh mengalami tekanan. Perusahaan lokal dengan modal yang tidak besar pun harus gulung tikar. Kesejahteraan yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan karena kesejahteraan buruh semakin tertindas.Kebijakan kedua adalah exchange-rate overvaluation yang mengurangi harga mata uang lokal untuk komoditas impor. Konsumen memang diuntungkan karena barang impor dengan kualitas lebih baik dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah daripada produk lokal namun dampaknya adalah ketidakseimbangan neraca pembayaran karena surplus impor menjadi meningkat sehingga mengurangi devisa. Kebijakan ketiga adalah liberalisasi keuangan domestik. Deregulasi sektor keuangan diharapkan dapat meningkatkan tabungan dan investasi namun yang terjadi justru sebaliknya. Di Argentina, tingkat tabungan menurun dari 22 % menjadi 17 % dalam

Page 44: Fair Trade Vs

10 tahun pertama penerapan neoliberalisme .Kebijakan keempat adalah reformasi fiskal (meningkatkan pajak dan memotong pengeluaran) untuk menyeimbangkan neraca pembayaran. Kebijakan ini memang berhasil menyeimbangkan neraca pembayaran, namun pembangunan yang diharapkan tidak berjalan karena pemerintah harus menekan pengeluaran, kesejahteraan sosial pun semakin tidak terwujud karena IMF menekankan pemotongan pos-pos yang dianggap meningkatkan pengeluaran, termasuk subsidi dan dana jaminan sosial. Kebijakan yang terakhir adalah liberalisasi arus modal. Tujuannya untuk menarik investor agar perekonomian dan industrialisasi dapat bangkit kembali, namun kombinasi dari kelima kebijakan ini malah memicu kehancuran yang semakin besar di Amerika Latin.Ramalan yang telah disampaikan marxisme – pada kerangka analisis teori – terbukti, ekonomi yang merambat naik, walaupun disertai dengan ketimpangan dan kesenjangan, kembali diguncang oleh krisis yang tak lebih ringan dari krisis 1980an. Meksiko dan Argentina mengalaminya pada 1995, tidak lama kemudian Argentina mengalami krisis yang serupa pada 1998 dan 2002, tak jauh berbeda dengan Brazil yang juga dilanda krisis pada 1999. Hal ini membuktikan bahwa teori dependensi terjadi pada Amerika Latin yang merupakan negara berkembang dengan sumber daya yang kaya namun memiliki kesiapan yang minim dalam pelaksanaan liberalisasi. Dengan kesiapan yang minim ini, Amerika Latin terpaksa berkompetisi dengan negara-negara kapitalis yang mapan. Tentu saja yang terjadi kemudian, ketidaksamaan start ini membuat hasil yang didapat juga tidak seimbang.Ketika Brazil, Argentina, Paraguay dan Uruguay sepakat menandatangani Traktat Asuncion 1991 untuk membentuk organisasi regional yang dinamakan Mercosur (Mercado Común del Sur), harapan awalnya adalah mendirikan institusi regional yang dapat meningkatkan competitiveness dalam perdagangan global. Nantinya peningkatan perdagangan – salah satu buah pemikiran neoliberalisme- diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masing-masing anggota. Namun penulis melihat bahwa Mercosur kemudian menjadi sarana eksploitasi baru dari negara core, dalam hal ini NAFTA, negara-negara Uni Eropa dan China, mengingat bahwa perdagangan intra regional hanya mencapai 15 % dari total perdagangan. Maka bisa dikatakan bahwa sebagian besar sisanya merupakan kerjasama dagang dengan tiga aktor tersebut, tentu saja dengan sebagian kecil interaksi dengan negara lainnya.Paparan di atas menunjukkan bahwa dengan menerapkan neoliberalisme, eksploitasi yang dialami Amerika Latin bukannya berakhir, tetapi malah semakin ditingkatkan dengan yang apa disebut penulis sebagai ‘eksploitasi gaya baru’, yaitu eksploitasi institusi regional core (UE, NAFTA, Komunitas Andean dan lain sebagainya) kepada institusi regional pheripery, dalam hal ini Mercosur.Pandangan pemerintah negara-negara Amerika Latin bahwa krisis yang dialami kawasan itu merupakan akibat dari kegagalan merkantilisme yang diterapkan melalui substitusi impor, adalah pandangan yang keliru, karena sebenarnya krisis 1980 adalah penetrasi dari krisis internasional, yaitu bagaimana kejatuhan sistem Bretton Wood membuat arus pertukaran mata uang menjadi sistem mata uang mengambang (floating exchange rate), dari yang semula sistem mata uang tetap (fixed exchange rate). Sistem mata uang mengambang ini membuat mata uang domestik menjadi rentan, karena kekuatan mata uang kini ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar. Jika kemudian substitusi impor gagal menstabilkan inflasi, kesalahan bukan terletak dari kebijakan substitusi ini, tetapi pada bagaimana pemerintah dan struktur yang rapuh karena tarik-menarik kepentingan elit oligarki gagal menjalankan kebijakan substitusi yang bersih.

Page 45: Fair Trade Vs

Kembali ke Ekonomi NasionalismeDengan berbagai krisis dan kesulitan yang diciptakan dengan penerapan neoliberalisme, maka penulis memandang bahwa jalan keluar paling tepat untuk Amerika Latin adalah penerapan sistem ekonomi nasionalisme. Karena dependensi erat kaitannya dengan kapitalisme, maka pemutusan rantai dependensi hanya dapat dilakukan melalui musuh dari kapitalisme itu sendiri, yaitu ekonomi nasionalisme. Sistem ekonomi nasionalisme, atau yang juga disebut sebagai merkantilisme, proteksionisme, dan statisme, meletakkan aktivitas ekonomi dalam kerangka kepentingan nasional . Dengan sistem ekonomi nasionalisme, Amerika Latin dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya yang dimiliki, khususnya agrikultur dan minyak, tanpa harus mengalami eksploitasi dan ketergantungan yang dijelaskan dalam teori dependensi.Sistem ini juga menekankan industrialisasi karena industri dipercaya mempunyai efek yang menyebar dalam pembangunan nasional secara keseluruhan. Selain itu, keberadaan industri dalam negeri dapat diartikan sebagai kemampuan pemenuhan kebutuhan sendiri dan otonomi politik. Apalagi industri merupakan dasar kekuatan militer dan keamanan nasional dalam dunia modern sekarang ini. Dalam kerangka sistem ini, Amerika Latin, khususnya Brazil dan Argentina, dapat melanjutkan industri manufaktur yang memang merupakan komoditas utamanya, tanpa harus merugikan buruh karena upah buruh tak lagi harus ditekan untuk meningkatkan competitiveness. Selain itu, yang juga penting dilakukan oleh Amerika Latin adalah nasionalisasi perusahaannya, terutama perusahaan minyak, untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pihak asing.Krisis yang terjadi pada awal 1980an maupun keterbelakangan pembangunan yang dialami oleh sebagian besar negara Mercosur telah menggambarkan kegagalan demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan Amerika Latin. Hal ini dapat terjadi karena demokrasi yang dikembangkan condong ke arah demokrasi liberal dimana kepemilikan pribadi dan akumulasi modal oleh sejumlah kecil golongan ternyata semakin memperparah ketidakmerataan distribusi pendapatan yang ada. Privatisasi pada sebagian besar perusahaan di Venezuela, Brazil, Chili, dan Argentina berujung pada peningkatan jumlah pengangguran yang kemudian memunculkan berbagai persoalan sosial baru . Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah nasionalisasi perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak melalui mekanisme sosialisasi yang terkoordinasi.Dalam teori dependensinya, Cardosso dan Faletto juga menambahkan bahwa secara politik, kapitalisme akan membawa negara core ke kehidupan yang menjunjung tinggi demokrasi dan pengakuan hak-hak warga negara, tetapi kesejahteraan politik ini tidak akan dirasakan negara pheripery karena negara ini hanya akan menjelma menjadi negara yang represif dan totaliter karena ketergantungan terhadap negara kapitalis. Oleh karena itu, nasionalisme yang akan diterapkan kembali di Amerika Latin juga harus diiringi dengan penjaminan demokrasi, mengingat dengan penerapan neoliberalisme pun belum menjamin adanya demokrasi.Bantuan neoliberal yang diberikan oleh Presiden John F. Kennedy dalam program Alliance for Progress pada 1970an pada awalnya memang dapat membawa reformasi ekonomi dan sosial di Amerika Latin, namun dampak negatifnya dapat dilihat pada 10 tahun sesudahnya dimana hampir semua negara Amerika Latin terjebak dalam ketergantungan terhadap utang luar negeri dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan pembayaran sehingga jalan yang tersisa adalah menguras semua sumber daya alam yang ada. Yang harus dilakukan adalah kontrol self reliance yang kuat yang hanya dapat diwujudkan dalam sistem sosialisme, walaupun tidak kemudian mengisolasi diri dari pergaulan internasional.Jalan menuju ekonomi nasionalisme memang sudah sangat terbuka bagi Amerika Latin, apalagi

Page 46: Fair Trade Vs

mengingat faktor ideosinkretis pemimpin negara-negara Amerika Latin yang keras menentang neoimperialisme asing. Gelombang tuntutan menentang neoliberalisme terjadi di Argentina, Bolivia, Brazil, Ekuador, Meksiko, Peru dan Venezuela. Pada tanggal 30 April 2007 Presiden Hugo Chavez mengumumkan rencananya untuk secara formal menarik keanggotaan Venezuela dari Bank Dunia dan IMF . Segera setelah berkuasa pada tahun 1999, Chavez telah membayar seluruh utang Venezuela kepada IMF. Venezuela juga telah melunasi utangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Venezuela juga menyuntikkan dana bagi negara-negara Amerika Latin lainnya dalam rangka pelunasan hutang negara-negara itu pada IMF dan World Bank untuk melepaskan dependensi regional Mercosur, menjadi Mercosur yang independen.

KesimpulanPemaparan yang telah disampaikan menunjukkan bagaimana Amerika Latin telah memilih neoliberalisme sebagai solusi krisis yang dihadapinya, dan ternyata neoliberalisme tidak berhasil menyelamatkan negara-negara Amerika Latin keluar dari krisis, jikapun berhasil, sifatnya hanya sementara dan malah membawa krisis yang lebih sering dan lebih dalam. Pemaparan ini juga menunjukkan bagaimana rezim neoliberal – IMF dan World Bank – sudah berkurang kekuatannya dalam menyebarkan paham neoliberal ke negara-negara pheripery, dalam hal ini negara-negara Amerika Latin. Dengan rapuhnya rezim ini, maka tidaklah berlebihan bila penulis memprediksikan bahwa posisi neoliberal tidak akan lama lagi akan tergantikan, apalagi mengingat penolakan negara-negara berkembang terhadap praktik neoliberalisme itu.Penolakan ini muncul karena teori dependensi Cardosso dan Faletto ternyata dengan tepat menggambarkan eksploitasi kapitalisme yang dibawa oleh neoliberalisme. Eksploitasi dan krisis yang dihadapi juga sesuai dengan ramalan marxisme terhadap liberalisme kapital. Oleh karena itu penulis mengajukan solusi lain bagi Amerika Latin, yaitu penerapan ekonomi nasionalisme tanpa mengisolasi diri dari perekonomian global. Dengan berbagai fakta dan data yang disampaikan sebelumnya berdasar teori dependensi dan perspektif marxisme, ditambah dengan ekonomi nasionalisme yang diajukan penulis sebagai solusi bagi Amerika Latin, maka dengan demikian tesis yang diajukan penulis bahwa neoliberalisme bukan solusi yang tepat bagi Amerika Latin dalam hal ini terbukti.

Konsep Hukum Fair Trade FREE TRADE (PERDAGANGAN BEBAS) DAN FAIR TRADE (PERDAGANGAN BERKEADILAN) DALAM KONSEP HUKUMOleh : Eko Prilianto Sudradjat

A. PENDAHULUANDengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization” , maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat). Bagi negara yang siap dengan liberalisasi perdaangan, maka semua hasil perundingan dalam akses pasar akan menjadi peluang (opportunity) besar. Seperti diketahui , negara-negara maju telah menurunkan tarif untuk industri dari rata-rata 6,3% menjadi 3,8% (penurunan sebesar 40%) dari tarif “nol” telah

Page 47: Fair Trade Vs

meningkat dari 20% menjadi 40% dari seluruh produk industri yang masuk ke negara maju. Hal inilah yang menjadi peluang besar terhadap ekspor negara berkembang termasuk Indonesia.Terdapat beberapa hal penting yang perlu mendapat catatan dibidang akses pasar ini , antara lain adalah hasil negosiasi akses pasar ini adalah “Most Favoured Nation” dimana semua negara anggota dapat menikmatinya tanpa terkecuali. Sebagai konsekuensinya adalah persaingan semakin tajam. Karena “standing position” nya sama, maka dalam pemanfaatan ini akan berlaku hukum alam, siapa yang lebih kuat, dia yang akan menang.Indonesia dengan ekonomi terbuka, dimana program ekspor non migas merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dan dituntut untuk lebih siap untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat dari keanggotaan Indonesia di WTO hanya dapat diperoleh apabila kita menguasai semua persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip dasar yang diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang berkeadilan. Dibawah ini akan dicoba ditelaah konsep hukum dari perdagangan bebas (Free Trade) dan Perdagangan yang berkeadilan (Fair Trade). Pemahaman dari kedua prinsip dasar tersebut adalah dengan menelaah aturan – aturan dasar yang terdapat didalam General Agreement on Tariffs and Trade) 1994 serta membandingkannya dengan pendapat dari ahli – ahli hukum khususnya dalam perdagangan internasional.

B. FREE TRADE (PERDAGANGAN BEBAS)Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususny kepada negara – negara anggota, dimana, konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional[1]. konsep liberalisasi dalam perdagangan dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi. Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat [2] . Dalam sejarah pada abad ke – 15 bangsa-bangsa didunia khususnya di benua Eropa, telah mulai menerapkan kebijakan globalisasi perdagangan. Globalisasi perdagangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan lintas negara. Pemahaman sejarah ini terlihat dari kegiatan para saudagar atau pedagang dari Eropa yang melakukan pencarian atas produk rempah-rempah dari dunia timur, yang pada saat itu menjadi suatu komoditi yang sangat diminati oleh konsumen dari benua Eropa. Istilah globalisasi perdagangan dapat disebutkan sebagai sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, yang mengakibatkan batas negar menjadi tidak terlihat[3].Konsep perdagangan bebas (liberalisasi perdagangan) menurut Adam Smith, seorang ahli ekonomi klasik, merupakan suatu kegiatan perdagangan barang – barang yang dibiarkan bebas berdasarkan hukum pasar, atau yang disebutkan oleh Hugo Grotius, diistilahkan dengan Laissez Faire, yang dapat didefinisikan “bebas melakukan apa yang engkau inginkan” atau bebas dari campur tangan pemerintah untuk membantu orang miskin, pengontrolan upah buruh, bantuan atau subsidi pertanian[4].

Page 48: Fair Trade Vs

Liberalisasi perdagangan ini, oleh WTO, terbentuk didalam aturan – aturan dasar yang diatur didalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Aturan – aturan dasar dari kebijakan perdagangan bebas tersebut adalah[5]:1. Non – DiscriminationTerdapat 2 (dua) prinsip dasar dari aturan Non – Discrimination, yang diatur didalam GATT 1994, yaitu:a. Most Favoured Nation (MFN)Pada pokoknya yang dimaksudkan dengan MFN disini adalah kewajiban negara anggota WTO, untuk memperlakukan kepada seluruh negara anggota WTO, hal yang sama, atau dalam hal suatu negara anggota memberikan keistimewaan untuk satu negara anggota, maka perlakuan tersebut harus dilakukan sama kepada anggota yang lain.b. National TreatmentUtamanya pelaksanaan dari prinsip ini adalah, perlakuan yang sama terhadap produk – produk dari negara lain yang masuk kedalam wilayah suatu negara anggota dengan produk nasional dari negara anggota tersebut.2. Market AccessLiberalisasi perdagangan didalam aturan WTO, diatur didalam GATT 1994, dengan aturan – aturan dasar yaitu:a. Custom DutiesDalam hal ini GATT 1994 mewajibkan tiap negara anggota untuk melakukan penurunan bea masuk, ke tingkat dimana dapat memberikan kemudahan untuk negara anggota lainnya masuk kedalam pasar domestik negara tersebut.b. Quantitative RestrictionPada intinya aturan Quantitative Restriction, melarang adanya pembatasan jumlah barang ekspor masuk kedalam wilayah nasional negara anggota.

c. Non Tariff BarriersAdalah tindakan dari negara tertentu anggota WTO yang dengan maksud melindungi industri dalam negerinya, denga melakukan tindakan – tindakan selain dengan hambatan bea masuk seperti, hambatan perdagangan dengan alasan perlindungan kesehatan (Sanitary and Phytosanitary) dan hambatan dalam standar teknis produk (Technical Barriers). Tindakan – tindakan tersebut berdasarkan GATT 1994 dilarang untuk dilakukan oleh negara anggota.Berdasarkan atas penelaahan dari konsep dasar GATT 1994 tersebut di atas, dapat dipahami apa yang dimaksud dengan liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh WTO. Liberalisasi perdagangan yang diatur didalam WTO adalah suatu kegiatan perdagangan dimana tidak terdapat hambatan – hambatan untuk perdagangan atau masuknya barang – barang yang diperdagangkan oleh negara – negara anggota kedalam wilayah nasional negara anggota yang lain, utamanya hambatan tersebut adalah dengan tingginya bea masuk dari suatu negara anggota, dan adanya batasan jumlah barang import oleh pemerintah dari negara anggota. Hal tersebut juga di imbangi dengan perlakuan yang sama, atau dikenal dengan istilah Non – Discrimination Rules. Yang dimaksudkan dengan Non – Discrimination Rules didalam aturan GATT 1994 adalah perlakuan yang sama, dimana ketika terdapat beberapa negara anggota WTO melakukan perdagangan dengan satu negara anggota yang lain, kesemua negara tersebut

Page 49: Fair Trade Vs

wajib diperlakukan sama, contohnya adalah ketika satu negara diberikan kemudahan untuk melakukan perdagangan dari negara anggota lainnya maka negara – negara anggota yang juga melakukan perdagangan dengan negara tersebut harus mendapat kemudahan yang sama. Non – Discrimination Rules juga mengatur perlakuan yang sama terhadap produk import dengan produk domestik.The process of pursuing more free trade - often negotiated among countries in the context of reciprocal market access and non-discrimination - involves such activities as the harmonization of trading rules and the reduction of barriers to trade such as tariffs and quotas. In its simplest sense, the pursuit of free trade belongs to the blanket process of “leveling the playing field.” If one takes this analogy to its logical conclusion, more free trade would result from the application of the same policies, rules, mechanisms, and institutions to each participant in the trade regime, regardless of origin or capacity[6].Terjemahan bebas:proses yang dilaksanakan untuk mencapai perdagangan bebas, sering kali dinegosiasikan oleh negara – negara kaitannya dengan prinsip reciprocal didalam untuk akses pasar dan prinsip Non – Discrimination – dihubungkan dengan kegiatan – kegiatan seperti peraturan didalam perdagangan dan penurunan hambatan perdagangan seperti tariff dan quota. Kegiatan pencapaian perdagangan bebas dilakukan didalam suatu proses “ mensejajarkan keadaan pasar internasional”, ketika satu negara melaksanakan analogi ini didalam kesimpulan logika perdagangan bebas hanya dapat tercapai dalam hal terdapat kebijakan, aturan – aturan hukum, mekanisme dan institusi yang sama, ditiap – tiap negara yang terlibat, dengan tanpa memperhitungkan kapasitas dan karakter asal dari negara tersebut.

C. FAIR TRADE (PERDAGANGAN BERKEADILAN)Disebutkan oleh Ralph E. Gomory dan William Baumol, bahwa didalam perdagangan diperlukan adanya kesetaraan antara pihak – pihak (leveling the playing field). Kesetaraan yang dimaksudkan oleh Gomory dan Baumol adalah adanya perlakuan yang sama dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap pihak – pihak lain yang juga melakukan perdagangan dengan pihak tersebut. Permasalahannya adalah Gomory dan Baumol mengatakan kesetaraan tersebut dilakukan dengan tanpa menilai karakter dasar dan kapasitas dari pihak – pihak yang melakukan perdagangan. Konsep kesetaraaan disebutkan di atas adalah konsep keadilan dalam perdagangan atau Fair Trade yang ada didalam GATT 1994. Pemahaman atas Fair Trade disini selayaknya harus juga ditelaah dari teori - teori hukum mengenai keadilan, sehingga tercipta konsep umum tentang perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade.Dalam sejarah manusia, setidaknya ada tiga pola pandangan tentang kaitan hukum dengan keadilan. Pola keadilan dan hukum disebutkan di atas diuraikan dibawah ini[7]:1. Pola pertama memandang hukum sebagai bahasa yuridis dari suatu konsep keadilan. Diandaikan adanya kaitan langsung antarkeduanya. Dalam pandangan ini, konsep keadilan dipandang tunggal. Konteks sosiologisnya adalah masyarakat yang masih homogen. Perdebatan dalam proses perumusan hukum hanya dipandang sebagai perdebatan tentang batas. Hal ini tercermin dalam pandangan para pemikir klasik, dari Aristoteles sampai Thomas Aquinas.2. Pola kedua, melihat hukum sebagai hasil kompromi dari beragam konsep keadilan. Pola kedua ini melihat perdebatan dalam perumusan hukum adalah upaya mengkompromikan konsep-konsep keadilan yang beraneka sebagai isi hukum. Pola kedua ini tampak antara lain dalam pandangan Thomas Hobbes dan pemikir politik mulai abad ke-17. Selain itu, mereka mengandaikan adanya kebebasan yang cukup dan kesederajatan antara pihak-pihak yang berkompromi.

Page 50: Fair Trade Vs

3. Pola ketiga, mengakui sifat kompromis hukum, tetapi lebih jauh lagi melihat kesetaraan dan kebebasan dalam berkompromi tidak bisa diandaikan begitu saja. Ini berkait perkembangan masyarakat secara sosio-ekonomis. Terlebih karena perkembangan kapitalisme, dan kini dalam warna neo-liberalisme, muncul gejala penumpukan dan penguasaan modal dalam sekelompok orang.Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Semua orang memiliki hak diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis itu dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang[8]. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya[9]. Kesetaraan didalam hukum disini dimaksudkan untuk memberikan kewajiban yang sama dari tiap – tiap anggota masyarakat. Didalam bidang ekonomi prinsip hukum keadilan di atur didalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan “negara … memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan[10]”.Dasar yang dipergunakan dalam pemahaman tentang keadilan di atas akan menjadi dasar untuk menelaah konsep hukum dari perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade. Pendapat tentang keadilan yang sangat dikenal adalah pendapat dari John Rawls, didalam bukunya Theory of Justice, yang mengembangkan konsep prinsip distributive justice yang merupakan prinsip normatif yang dibentuk sebagai pedoman untuk membagi keuntungan dan beban diddalam kegiatan ekonomi[11]. Konsep distributive justice yang dikembangkan oleh John Rawls pada intinya adalah pembagian atas kewajiban dan hak didalam ekonomi tidak selalu harus menerapkan kesetaraan yang umum (pembagian yang sama tanpa menilai karakter dari individu – individu yang ada didalamnya), menurutnya keadilan dapat terbentuk didalam tindakan yang tidak sebanding dimana memberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang kecil bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah sehingga memberikan kesejahteraan yang lebih baik daripada ketika kesetaraan dilakukan secara tegad, dimana hak dan kewajiban diberikan dalam tingkat yang sama[12].Konsep dasar dari dari keadilan ini dapat dijadikan dasar bagi memahami perdagangan yang berkeadilan atau Fair Trade. Konsep hukum dari John Rawls tentang keadilan pada intinya adalah keadilan terbentuk dari perlakuan yang tidak sama, dimana masyarakat dengan ekonomi rendah selayaknya diberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang lebih kecil, dari masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi hal ini disebutkan oleh John Rawls adalah sebagai keaadaan yang seimbang, dimana dengan perlakuan yang khusus bagi masyarakat yang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang adil.Konsep keadilan dimaksudkan oleh John Rawls disini, merupakan konsep dasar yang membentuk aturan – aturan perdagangan didalam GATT. Didalam WTO keanggotaan dari negara – negara yang ikut serta, dibagi dalam tiga kelompok negara, yaitu Developed Country (negara maju), Developing Country (negara berkembang) dan Less Developed Country (negara miskin). Inti dari pembagian anggota WTO kedalam kelompok – kelompok negara inilah yang menjadi dasar perdagangan yang berkeadilan. Permasalahan

Page 51: Fair Trade Vs

yang ada didalam GATT 1994 adalah pengutamaan prinsip mengenai Non – Discrimination, dimana semua negara anggota diharuskan diperlakukan sama, tanpa menilai karakter dari negara anggota. Selayaknya prinsip hukum dari keadilan yang disebutkan oleh John Rawls, menjadi titik tolak dan dasar dalam pengaturan proses perdagangan internasional. Didalam GATT 1994 memang di atur mengenai konsep Special Differential Treatmen bagi negara berkembang dan miskin, dimana kepatuhan atas peraturan yang ada didalam GATT 1994 dapat dilaksanakan berbeda untuk negara berkembang dan miskin, akan tetapi Special Differential Treatment tersebut hanya dilaksanakan dalam bentuk penundaan jangka waktu pelaksanaan aturan atau penerapan penurunan tarif yang lebih kecil, sehingga tidak menghapus kewajiban – kewajiban yang diberlakukan bagi negara maju untuk diterapkan oleh negara berkembang dan miskin. Hal ini tentunya berlawanan dengan prinsip hukum dari keadilan yang disebutkan oleh John Rawls dimana perlakuan “istimewa” bagi pihak dengan tingkat ekonomi rendah akan selalu dilaksanakan untuk menciptakan keadilanKonsep Perdagangan yang berkeadilan (fair trade) yang dilaksanakan dengan mengembangkan konsep keadilan dari John Rawls timbul pada tahun 1940 sebagai gerakan sosial di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Austria. Gerakan ini bertujuan untuk menolong produsen kecil (petani, perajin dan buruh) di negara-negara miskin atau Dunia Ketiga supaya mereka dapat terlepas dari jeratan kemiskinan dan mempertahankan keberlanjutan kehidupan mereka melalui sebuah kemitraan perdagangan yang didasarkan pada dialog, transparansi dan respek (baik produsen maupun konsumen).Fair trade bertujuan untuk perbaikan penghidupan produsen melalui hubungan dagang yang sejajar, mempromosikan peluang usaha dan kesempatan bagi produsen lemah atau termarjinalisir meningkatkan kesadaran konsumen melalui kampanye fair trade, mempromosikan model kemitraan dalam perdagangan yang adil, mengkampanyekan perubahan dalam perdagangan konvensional yang tidak adil, melindungi Hak Azasi Manusia, pendidikan konsumen dan melakukan advokasi bagi terciptanya kondisi yang lebih baik, khususnya yang berpihak kepada produsen kecil sehingga mereka dapat berpartisipasi di pasar.Fair trade sebagai sebuah alternatif menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi produsen kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui peningkatan pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar, menyalurkan aspirasi dan pendapat mereka, tidak diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini menjadi warga kelas dua dan korban langsung atas perdagangan yang tidak adil, juga melindungi lingkungan dari kerusakan karena minimnya penggunaan bahan-bahan kimiawi.Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan

Page 52: Fair Trade Vs

yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional.Prinsip John Rawls disini sering kali dikritik, yang mana menurut para ahli hukum terdapat dua kelemahan yaitu dari konsep empiris dimana distributive justice tidak dapat mencukupi sebagai kajian substansi doctrinal dan normative bagi hukum internasional modern, sebagaia suatu kenyataan didalam lingkungan pergaulan internasional, hal ini dikarenakan pandangan distributive of justice selalu melihat keadilan internasional timbul diawali dengan adanya keadilan domestik didalam suatu negara. Hal kedua yang jadi kelemahan dari konsep keadilan John Rawls, adalah bila dipandang didalam perspektif normatif – empiris, John Rawls mendasarkan teorinya dari konsep keadilan Emanuel Kant yang menekankan bahwa keadilan antar negara harus diawali dengan adanya keadilan didalam negara.Kelemahan – kelemahan tersebut menjadi titik utama dari pengembangan teori distributive justice oleh Frank J. Garcia. Frank J. Garcia pada intinya mencoba memaparkan keadilan didalam hukum perdagangan internasional, dimana Garcia menyebutkan bahwa hukum perdagangan internasional, harus dirumuskan untuk melindungi kesetaraan moral seluruh individu yang terpengaruh olehnya. Konsep keadilan perdagangan Garcia, harus beroperasi sedemikian rupa untuk kepentingan negara yang paling tidak diuntungkan. Hal terakhir yang disebutkan oleh Garcia sebagai faktor yang harus ada didalam perdagangan internasional yang adil adalah perdagangan internasional harus tidak mengorbankan Hak Azasi Manusia atau perlindungan yang efektif terhadap Hak Azasi Manusia[13].Berdasarkan konsep ini maka Special Differential Treatment didalam WTO lebih cenderung dilakukan secara tidak setara dengan mengutamakan negara – negara yang paling tidak diuntungkan.

D. KESIMPULANAturan-aturan WTO yang kita akui secara sah berdasarkan Undang - Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, mengatur hampir seluruh bidang perdagangan, dari perdagangan barang, jasa dan juga aturan mengenai hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights). WTO sebagai organisasi yang mengatur perdagangan dunia, menghendaki sistem perdagangan dunia didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : without discrimination, freer, predictable, more competitive dan more beneficial for less developed countries. Namun bukan berarti aturan-aturan WTO itu merupakan suatu aturan yang sempurna dan harus diterapkan tanpa dipikirkan ulang. Setidaknya, ada beberapa aspek yang perlu kita pikirkan ulang, yang pertama adalah mengenai prinsip without discrimination yang tersebut didalam aturan GATT 1994 tentang Most-favoured-nation yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama setiap partner dagang kita dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu negara miskin atau kaya, lemah atau kuat; dan aturan mengenai National treatment yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu pengusaha lokal (dalam negeri) atau pengusaha asing. Dua aturan ini secara tegas menghendaki penghapusan sistem proteksionisme yang mengandaikan beberapa hak istimewa dalam perdagangan. Pada kenyataannya, dua aturan ini merupakan aturan yang tidak berbelas kasihan (sans pitié) khususnya terhadap yang lemah dan miskin.Dalam konteks ini, Indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang dalam perdagangan dunia dianggap dan harus diperlakukan sama dengan negara Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jepang dan

Page 53: Fair Trade Vs

negara-negara maju dan kaya yang lainnya. Kemudian, yang lebih mengkhawatirkan adalah aturan National treatment yang mengharuskan kita untuk memperlakukan sama pengusaha kecil dan menengah, lokal, dalam negeri yang memiliki modal terbatas dengan perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional. Tentunya dalam keadaan disebutkan di atas, pengusaha kecil dan menengah kita kalah bersaing dan tidak kompetitf, karena modal dan kapasitas yang mereka miliki berbeda dengan peruasahaan-perusahaan asing dan multinasional, namun mereka diperlakukan sama. Hal tersebut dapat mengakibatkan perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional menguasai pasar diwilayah Indonesia, dari industri (perdagangan) hulu sampai hilir. Kita juga melihat betapa banyak pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional harus menutup usahanya karena tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan modern dan atau perusahaan penjualan grosir (supermarket).Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi usaha kecil dan menengah atau pengusaha dalam negeri di bidang-bidang yang strategis dan berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Seolah-olah bidang-bidang tersebut adalah eksklusif milik investor asing dan atau perusahaan multinasional. Dalam kondisi seperti ini, maka tak jarang kita jumpai bagaimana investor-investor dalam negeri melarikan usahanya ke luar negeri, yang kemudian disusul oleh investor-investor asing. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana free trade tidak selalu sama dengan fair trade, pada kondisi ini hanya mereka yang memiliki daya survival tinggi yang mampu bertahan dan hidup.Hal kedua yang harus kembali ditelaah, adalah mengenai aturan-aturan tentang makanan (food) khususnya tentang produk pertanian (Agreement on Agriculture), perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman (Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures), produk-pruduk susu (International Dairy Agreement) dan tentang daging sapi dan kerbau (Agreeement Regarding Bovine Meat). Berkaitan dengan makanan, Peter M. Rosset yang mengatakan bahwa makanan adalah sesuatu yang berbeda (Food is differen)t. Makanan bukan hanya barang dagangan atau komoditi. Makanan berarti pertanian, dan pertanian berarti kehidupan, tradisi dan budaya masyarakat rural. Pertanian artinya masyarakat rural, sejarah agraris dalam beberapa kasus, kawasan rural merupakan tempat dimana budaya suatu bangsa dan rakyat suatu negara berasal[14].Kembali ke konteks Indonesia, sebenarnya negara kita memiliki karakter sebagai negara agraris (di samping negara maritim), namun tampaknya budaya ini tercerabut dari akarnya. Kualitas dan kuantitas pertanian kita yang semakin menurun, dengan ditandai berulangnya kasus import beras tiap tahun sebelum masa panen tiba dan semakin banyaknya lahan pertanian di Indonesia yang berubah fungsi dengan alasan pembangunan. Bangsa kita yang dulunya swasembada beras, kemudian menjadi bangsa yang lapar.Hal ketiga yang harus diperhatikan adalah mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual. Perlindungan hak-hak atas kekayaan intelektual pada mulanya bertujuan untuk mempromosikan inovasi dan sekaligus investasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kemudian permasalahan ini menjadi rumit saat dikaitkan dengan issue perdagangan dan kekayaan intelektual tidak lagi menjadi domain publik. Hak-hak atas kekayaan intelektual, khususnya paten dan merk menjadi alat monopoli golongan tertentu (yang sering diwakili oleh perusahaan multinasional) terhadap golongan yang lain. Dalam konteks pertanian misalnya, kita akan menjumpai suatu keadaan yang dideskripsikan oleh Ralph Nader sebagai situasi dimana the world doesn’t have free trade, it has corporate-managed trade[15]. Article 27.3b perjanjian TRIPS yang bermuka dua, memperkecualikan tanaman dan hewan dari paten, namun di lain pihak tetap menuntut

Page 54: Fair Trade Vs

perlindungan HAKI atas varietas tanaman baru (varietas tanaman baru ini “ditemukan”perusahaan multinasional dari varietas yang ada sebelumnya, mereka hanya mengidentifikasi keunggulan varietas tersebut dan memberinya nama). Sebagai contoh konkret dalam masalah ini adalah kemenangan secara konterversial Rice Tec Inc. (perusahaan kecil yang berada di Texas, Amerika Serikat dan hanya memiliki 120 orang pekerja) pada bulan september 1997 memenangkan hak paten terhadap varietas beras Basmati asal India dan Pakistan. Kasus ini jelas merugikan banyak petani beras Basmati di India dan Pakistan, yang pada kenyataannya sudah membudidayakan varietas ini sejak jaman nenek moyang mereka. Kasus yang dilakukan oleh Rice Tec Inc., akhirnya memunculkan banyak reaksi, khususnya dari Pemerintah India, yang merasakan secara langsung dampak kerugian terhadap paten tersebut. Pemerintah India dan Pakistan menganggap paten terhadap beras Basmati yang dilakukan oleh Rice Tec adalah sesuatu yang keliru, tidak berdasar dan misrepresentasi, karena menurut mereka hanya beras yang tumbuh di wilayah utara India dan Pakistan yang dapat disebut Basmati. Dari kasus ini pula, pemerintah India menyusun Undang-Undang tentang Geographical Indication of Goods’ Registration and Protection. Undang-undang ini tidak hanya memproteksi beras Basmati, tetapi juga barang-barang lain yang berasal dari India, seperti Darjeeling tea, Alphonso mangoes, Malabar pepper, atau Alappuzha cardamom. Kemudian usaha dan perjuangan pemerintah India ini pun berlanjut, mereka bersama Swiss, Uni Eropa, Republik Cekoslovakia dan Maroko memperjuangkan dengan sungguh-sungguh penguatan serta perluasan perlindungan Indikasi Geografis dalam bidang pertanian yang diatur dalam article 23 perjanjian TRIPs. Kemudian dari perdebatan mengenai Indikasi Geografis ini, bangsa Indonesia pun sekali lagi harus menderita, karena kita menjumpai banyak barang-barang asli Indonesia, semisal Tahu yang Indikasi Geografisnya milik Jepang, Keris milik Singapura, Batik milik Malaysia, Toraja Coffee milik Jepang, Java Coffee milik Amerika Serikat, dan sebagainya. Sekali lagi kita menjumpai bagaimana gagapnya bangsa kita menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Sampai saat ini pun, kita belum pernah mendengar usaha pemerintah kita untuk melindungi kekayaan alam hayati kita seperti yang dilakukan oleh Pemerintah India.Berkaitan dengan perjanjian TRIPs, kita dapat melihat bagaimana TRIPs sangat membebani negara-negara berkembang termasuk Indonesia[16]. Beban yang dirasakan langsung oleh negara-negara berkembang, adalah besarnya pembayaran royalti yang harus dibayarkan ke perusahaan-perusahaan di negara-negara maju., TRIPs juga telah meningkatkan kekuasaan perusahaan-peruasahaan multinasional terhadap konsumen. Perusahaan-perusahaan ini berkat TRIPs tampak memiliki kekuasaan monopolistik, misalnya monopoli harga. Kasus yang paling menyeramkan adalah monopoli harga obat-obatan, yang menyebabkan harga obat menjadi mahal dan tak terjangkau, yang kemudian menimbulkan munculnya pemalsuan obat-obatan dan perdaganngan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa di negara-negara berkembang dan terbelakang, termasuk Indonesia. Rezim perlindungan HAKI yang sesuai TRIPs ini menuntut banyak biaya untuk diterapkan, semisal kebutuhan akan pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan (yang berkaitan dengan hal teknis) dengan level (pengetahuan dan reputasi) internasional, terlebih lagi dalam kaitannya dengan sengketa HAKI di WTO, dan secara terus terang Indonesia belum siap menghadapi hal ini. TRIPS telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan-perusahaan di negara maju untuk mempatenkan proses dan kekayaan alam (natural processes and resorces) yang belum dipatenkan di negara-negara berkembang. Kelima, TRIPs kemudian pada akhirnya menghambat kemajuan negara-negara berkembang untuk melakukan inovasi.Berdasarkan atas hal tersebut selayaknya WTO mengutamakan prinsip Fair Trade, yang dasar – dasar

Page 55: Fair Trade Vs

dari kata “Fair” di atas diartikan sesuai konsep dari John Rawls yaitu pada intinya adalah keadilan terbentuk dari perlakuan yang tidak sama, dimana masyarakat dengan ekonomi rendah selayaknya diberikan hak yang lebih besar dan kewajiban yang lebih kecil, dari masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi hal ini disebutkan oleh John Rawls adalah sebagai keaadaan yang seimbang, dimana dengan perlakuan yang khusus bagi masyarakat yang dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah pada akhirnya akan menimbulkan keadaan yang adil. Dari konsep John Rawls di atas harus kita kaitkan dengan teori keadilan dalam perdagangan internasional menurut Frank J. Garcia, dimana ketidaksetaraan perlakuan dimaksudkan oleh John Rawls, dititik beratkan pada negara – negara yang tidak diuntungkan dengan adanya liberalisasi perdagangan.Dari kedua pendapat di atas maka, konseo hukum dari Fair Trade adalah perdagangan yang dilakukan dengan melihat keadaan dari pihak – pihak, serta melihat karakter yang dari pihak tersebut, sehingga perlakuan yang akan dilaksanakan dapat sesuai dengan karakter dari pihak tersebut, dan sesuai dengan keadaan ekonomi dari pihak tersebut. Hal ini juga merupakan konsep dasar dari hak dasar dalam ekonomi yang diatur didalam Pasal 34 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan “negara … memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan[17].”

[1] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 2.[2] Wikipedia–Ensiklopedia Bebas , . Di akses pada tanggal 11 Desember 2007.[3] Ibid[4] Munir Fuady, Op. Cit. hlm. 3.[5] United Nation, United Nation Conference on Trade and Development – Dispute Settlement - World Trade Organization, (New York and Geneva : 2003), hlm. 23 – 24.[6], Ralph E. Gomory and William Baumol, Global Trade and Conflicting National Interests. (Cambridge: Massachusetts Institute of Technology Press, 2000).[7] Al Andang L Binawan, Keadilan Hukum, <http://kompas.com/kompas-cetak/0404/16/opini/972368.htm>. Diakses pada tanggal 10 Desember 2007.[8] Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Fakir-Miskin, http://www.komisihukum.go.id /konten.php?nama=Artikel&op=detail_artikel&id=165. Diakses pada tanggal 9 Desember 2007.[9] Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, pasal 27 ayat (1)[10] Ibid. Pasal 34 ayat 2.[11] John Rawls , A Theory of Justice, (Harvard, MA: Harvard University Press, 1971)[12] Ibid.[13] Frank J. Garcia, Building A Just Trade Order for A New Millenium, George Washington International Law Review, Vol. 33, 2001., hal. 1016 -1062.[14] Peter. M. Rosset, (). Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture. (London and New York, Zed Books, 2006)[15] J. Madeley (). Hungry for Trade; How the Poor Pay for Free Trade. (London & New York, Zed Books, 2001)[16] Chang, H, J. and I. Grabel, Reclaiming development: An alternative economic policy manual.

Page 56: Fair Trade Vs

(London and New York, Zed Books, 2004)[17] UUD 1945, Op. Cit. Pasal 34 ayat 2.

http://whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html

1. IndtroduksiFair Trade adalah suatu bentuk keoptimisan pemikiran, sikap dan tindakan dari orang-orang yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan globalisasi. Fair Trade muncul sebagai alternatif dari bentuk perdagangan bebas (free trade) yang menurut banyak orang sangat tidak adil. Kenyataan bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga bumi sementara kemiskinan akut yang massif diderita oleh sebagian besar warga lainnya adalah bukti akibat ketidakadilan free trade yang paling nyata. Bila ditelusuri akar permasalahannya terletak pada aturan-aturan free trade yang pada praktiknya sangat tidak adilAturan-aturan doubel standard atau standar ganda yang dipraktekkan negara-negara kaya dalam hubungan perdagangannya dengan negara-negara berkembang telah merubah hubungan perdagangan tersebut yang secara filosofis adalah hubungan partnership yang menguntungkan kedua belah pihak menjadi hubungan eksploitatif. Dengan kata lain hubungan perdagangan antara negara kaya dengan negara berkembang hanya menjadi sarana pelegalan eksploitasi baru setelah cara-cara kolonialisasi tidak lagi dipandang cukup beradab. Standar ganda free trade memaksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka, sedangkan pada sisi yang lain negara-negara maju masih menerapkan kebijakan proteksi bagi produk yang akan masuk ke dalam pasar domestik. Konsekuensi penerapan standar ganda tersebut seperti dicatat oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dolar US. Selain itu ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin besar dimana saat ini hanya 20% populasi dunia menikmati income yang jumlahnya 60 kali lebih besar dari income orang-orang miskin.Di tengah kondisi perdagangan yang semakin lama semakin tidak adil tersebut dan telah menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara berkembang, Fair Trade muncul sebagai sebuah gerakan perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender. Dalam prakteknya, prinsip dan nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk rantai distribusi yang lebih pendek, penguatan organisasi produsen, peningkatan keterlibatan dan peranan perempuan dalam perdagangan, harga premium bagi produk yang dihasilkan.Sejak menjadi sebuah gerakan pada tahun 1950 fair trade telah menyebar ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri gerakan fair trade muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Dalam perkembangannya fair trade di Indonesia telah cukup membantu produsen-produsen miskin di berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Malang, Mataram, Bali, Surakarta. Perkembangan fair trade yang cukup positif tersebut menunjukkan bangkitnya kepedulian lebih banyak masyarakat terhadap orang-orang di sekeliling mereka yang selama ini bekerja keras menyediakan keperluan mereka namun tidak mendapatkan hak sesuai proporsi yang seharusnya mereka terima.Tulisan ini akan menjelaskan tentang bagaimana ide-ide fair trade berkembang di tengah dominasi ide free trade dalam konteks Indonesia? Bagaimana ide-ide itu diperjuangkan? Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia?

2. 1. Indtroduksi

Page 57: Fair Trade Vs

3. Fair Trade adalah suatu bentuk keoptimisan pemikiran, sikap dan tindakan dari orang-orang yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan globalisasi. Fair Trade muncul sebagai alternatif dari bentuk perdagangan bebas (free trade) yang menurut banyak orang sangat tidak adil. Kenyataan bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga bumi sementara kemiskinan akut yang massif diderita oleh sebagian besar warga lainnya adalah bukti akibat ketidakadilan free trade yang paling nyata. Bila ditelusuri akar permasalahannya terletak pada aturan-aturan free trade yang pada praktiknya sangat tidak adil

4. Aturan-aturan doubel standard atau standar ganda yang dipraktekkan negara-negara kaya dalam hubungan perdagangannya dengan negara-negara berkembang telah merubah hubungan perdagangan tersebut yang secara filosofis adalah hubungan partnership yang menguntungkan kedua belah pihak menjadi hubungan eksploitatif. Dengan kata lain hubungan perdagangan antara negara kaya dengan negara berkembang hanya menjadi sarana pelegalan eksploitasi baru setelah cara-cara kolonialisasi tidak lagi dipandang cukup beradab. Standar ganda free trade memaksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka, sedangkan pada sisi yang lain negara-negara maju masih menerapkan kebijakan proteksi bagi produk yang akan masuk ke dalam pasar domestik.2 Konsekuensi penerapan standar ganda tersebut seperti dicatat oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dolar US.3 Selain itu ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin besar dimana saat ini hanya 20% populasi dunia menikmati income yang jumlahnya 60 kali lebih besar dari income orang-orang miskin.4

5. Di tengah kondisi perdagangan yang semakin lama semakin tidak adil tersebut dan telah menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara berkembang, Fair Trade muncul sebagai sebuah gerakan perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender. Dalam prakteknya, prinsip dan nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk rantai distribusi yang lebih pendek, penguatan organisasi produsen, peningkatan keterlibatan dan peranan perempuan dalam perdagangan, harga premium bagi produk yang dihasilkan.5

6. Sejak menjadi sebuah gerakan pada tahun 19506 fair trade telah menyebar ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri gerakan fair trade muncul pada pertengahan tahun 1980-an.7 Dalam perkembangannya fair trade di Indonesia telah cukup membantu produsen-produsen miskin di berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Malang, Mataram, Bali, Surakarta. Perkembangan fair trade yang cukup positif tersebut menunjukkan bangkitnya kepedulian lebih banyak masyarakat terhadap orang-orang di sekeliling mereka yang selama ini bekerja keras menyediakan keperluan mereka namun tidak mendapatkan hak sesuai proporsi yang seharusnya mereka terima.

7. Tulisan ini akan menjelaskan tentang bagaimana ide-ide fair trade berkembang di tengah dominasi ide free trade dalam konteks Indonesia? Bagaimana ide-ide itu diperjuangkan? Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia?

8. 2. Kemunculan Fair Trade9. Sebagai sebuah gerakan yang bertujuan membantu kehidupan para produsen miskin dan

marjinal di negara-negara Dunia Ketiga, fair trade mengembangkan strategi bekerja sama atau melakukan perdagangan langsung dengan komunitas produsen tersebut. Model

Page 58: Fair Trade Vs

perdagangan semacam ini pertama kali dimulai oleh orang-orang Amerika melalui institusi Ten Thousand Villages (dulunya Mennonite Central Committee Self Help Service) dan SERRV (sekarang SERRV International) dengan komunitas masyarakat miskin di negara-negara Selatan pada akhir tahun 1940-an. Namun jejak fair trade seperti dikenal saat ini, muncul pertama kali pada tahun 1950-an yaitu ketika direktur Oxfam UK yang mengunjungi Hong Kong, mempunyai ide untuk menjual kerajinan yang dibuat oleh para pengungsi Cina ke toko-toko Oxfam.8 Menurut publikasi yang dikeluarkan oleh World Bank gerakan fair trade juga muncul pertama kali pada tahun 1950-an dengan sebutan Goodwill Selling.9 Perkembangan fair trade melalui gerakan yang terorganisir terutama organisasi non pemerintah (NGO) pertama kali diperkenalkan oleh Oxfam Great Britain (Inggris), Fair Trade (Amerika Serikat), Transfair (Jerman), serta organisasi independen seperti FLO (Fair Trade Labelling Organization) yang didirikan di Belanda pada bulan April 1997, lalu IFAT (Internasional Federation for Alternative Trade) yang didirikan di Noordwijk Belanda pada tanggal 12 Mei 1989, NEWS! (Network of Europian World Shops) didirikan di Eispeet-Belanda tahun 1994. EFTA (Europian Fair Trade Association) didirikan di Maastricht-Belanda tahun 1990, FNE didirikan tahun 2001 yang merupakan gabungan di mana akronim FINE diambil dari huruf depan FLO, IFAT, NEWS! dan EFTA.10

10. Perkembangan ide dan gerakan fair trade di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Oxfam GB/Indonesia. Fair trade adalah salah satu dari program utama11 Oxfam Indonesia yang didirikan pada tahun 1972. Gerakan Fair Trade muncul pada pertengahan 1980-an sebagai bentuk reaksi dari kondisi perdagangan Indonesia yang sangat merugikan produsen-produsen kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada pertengahan 1990-an, gerakan Fair trade Indonesia berkembang pada komoditi pertanian khususnya pertanian organis. Perkembangan ini ditandai dengan berkumpulnya beberapa NGO pada tahun 1996 di Yogyakarta yang difasilitasi oleh Oxfam GB/Indonesia. Tindak lanjutnya didirikanlah Konsorsium Masyarakat Fair trade (KMFT) pada oktober 1997 dengan agenda pertama menentukan langkah strategis program Fair trade dan merintis pendirian toko bersama sebagai media untuk mempraktekkan Fair trade yang diberi nama SAHANI (Sahabat Niaga) sebagai ujung tombak KMFT untuk melawan sistem perdagangan yang tidak adil.12 pada perkembangan selanjutnya gerakan fair trade telah merambah sektor pertanian dan tekstil.13

11.

12. 3. Perkembangan Fair Trade di Indonesia

13. Sebagai salah satu negara berkembang yang “menganut” prinsip free trde, kondisi perdagangan di Indonesia diwarnai oleh ketidakadilan terhadap produsen lokal. Sudah lazim di setiap negara berkembang semua aspek yang terkait dengan perdagangan selalu lebih menguntungkan pihak pemilik modal. Negara sebagai penentu kebijakan publik terutama dalam konteks ini menyangkut aturan-aturan yang terkait dengan produsen kecil seperti pertanian, perburuhan, upah, distribusi tidak memberikan peran yang cukup signifikan. Kesepakatan-kesepakatan internasional di dalam PBB yang telah diratifikasi dalam perundang-undangan Indonesia tidak diaplikasikan secara nyata. Sehingga kondisi seperti buruh yang di-PHK secara semena-mena oleh perusahaan tempatnya bekerja,

Page 59: Fair Trade Vs

penyiksaan buruh, perampasan tanah petani, merosotnya harga pertanian karena serangan produk luar, dll. merupakan hal yang sehari-hari kita dengar dan saksikan.

14. Perkembangan ide-ide fair trade di Indonesia yang berawal dari berdirinya Oxfam GB/Indonesia pada tahun 1972 yang kemudian intensif menyuarakan gerakan fair trade pada pertengahan tahun 1980-an secara perlahan namun pasti menunjukkan perkembangan positif. Hal itu dapat dilihat dari berdirinya tempat-tempat atau pusat-pusat penyalur produk-produk lokal yang diproduksi oleh para produsen yang selama ini termarginalkan akibat sistem perdagangan bebas yang tidak adil. Selain itu organisasi-organisasi non pemerintah seperti Oxfam sendiri telah membuka cabangnya yaitu di Aceh dan di Kupang dimana Yogyakarta sebagai pusatnya. Selain Oxfam, Yaysan Samadi Justice and Peace Institute juga merupakan NGO yang aktif menyuarakan ide-ide fair trade di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa ide-ide fair trade telah disebarkan ke wilayah-wilayah Indonesia yang kalau diperinci lagi mencakup Jawa, NTB, Maluku, Sulawesi, Buton.14

15. Namun pada dasarnya barometer yang dapat dipakai apakah di Indonesia ide-ide fair trade telah berkembang cukup baik atau tidak dapat kita lihat dari peraturan-peraturan pemerintah yang sejalan atau sesuai dengan prinsip-prinsip fair trade tersebut. Berdasarkan data Report on Fair Trade Trends in US, Canada & Pacific Rim tahun 2003 terdapat tujuh prinsip-prinsip dasar fair trade yaituCreating opportunities for economically disadvantaged producers, Gender Equity, Transparency and accountability, Payment of a fair price, Working conditions, Environmental Sustainability. 15

16. Untuk melihat apakah prinsip-prinsip ide-ide fair trade telah cukup berkembang di Indonesia seperti disebutkan sebelumnya marilah kita lihat apakah aturan-aturan yang related dengan fair trade tersebut telah diadopsi oleh Indonesia. Salah satu aspek yang paling akrab dengan permasalahan negara berkembang seperti Indonesia dan sangat erat kaitannya dengan prinsip fair trade adalah tentang perburuhan. Aturan yang mengatur tentang kesejahteraan buruh secara nyata diatur dalam pasal 23 dan 24 UUD 1945.16

17. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi konvensi ILO No. 87 dan No. 98 yang dan telah membuat UU-nya (UU No. 21 tahun 2000). Sebagai anggota PBB Indonsia juga terikat secara moral terhadap Kovenan ECOSOC Rights yang mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi, dan menjamin hak-hak buruh, di antaranya hak atas pekerjaan, upah yang adil dan kondisi yang layak bagi buruh beserta keluarganya, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk mendapat promosi, pembatasan waktu kerja, libur, dan istirahat dengan tetap mendapat gaji dan imbalan, hak untuk berserikat, membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, hak serikat buruh untuk membentuk federasi atau konfederasi nasional dan menjadi anggota atau membentuk serikat buruh internasional, hak untuk mogok, hak atas jaminan dan asuransi sosial, dan cuti melahirkan dengan tetap mendapat gaji atau jaminan sosial yang memadai.17

18. Dalam tataran praksis perkembangan gerakan Fair trade dapat kita amati dari respon dan tindakan aktor-aktor (yang disebut) penggerak Fair trade yang dalam hal ini adalah para decision maker. Di kalangan decision-maker, ide fair trade mendapatkan dukungan positif. Menteri Perdagangan dan Perindustrian Rini Soewandi pada waktu pemerintahan Megawati Sukarno Putri menyatakan bahwa ''Saya tidak anti-free trade, tapi saya lebih setuju fair trade''. Alasan yang dikemukakannya untuk mendukung statemen tersebut adalah “peta perdagangan dunia dewasa ini terasa tak adil. Negara-negara berkembang,

Page 60: Fair Trade Vs

termasuk Indonesia, diserimpung berbagai peraturan berkedok globalisasi dan pasar bebas. Padahal, negara-negara maju yang memelopori beleid itu justru berupaya keras memproteksi produk andalannya. Tengok saja Amerika Serikat, yang saat ini memberlakukan ''Bio Terrorism Act'' untuk menyeleksi barang-barang luar yang masuk. Negara-negara tersebut juga memberikan subsidi kepada produk-produk unggulannya untuk bersaing di pasaran dunia, sehingga harganya menjadi kompetitif”.18 Tentu saja gambaran tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa Indonesia telah melaksanakan prinsip perdagangannya dengan prinsip-prinsip fair trade. Namun data-data tersebut merupakan gambaran yang cukup bagus untuk menjelaskan bahwa ide-ide fair trade pada dasarnya telah berkembang cukup bagus di Indonesia. Misalnya kebijakan membangun kesadaran akan pentingnya pertanian organik, melalui kebijakan "Go Organic 2010" yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia, riset dan diseminasi wacana di berbagai media massa, pendampingan petani oleh lembaga swadaya, dan lain-lain.19 Jika ditelusuri lebih jauh lagi, pada zaman Presiden Sukarno pun ide-ide fair trade telah tercermin di dalam undang-undang land reform yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. UU tersebut merupakan salah satu jalan memberdayakan para petani terutama buruh-tani, dan kaum tani miskin.20

19. Perjuangan pihak-pihak yang concern dengan nasib-nasib para para produsen yang termarjinalkan cukup intens dilakukan terutama oleh kalangan Non Govermental Organization (NGO) seperti Oxfam dan Samadi Justice and Peace Institute serta NGO-NGO lain yang tidak ter-cover dalam tulisan ini. Dari kalangan pemerintahan usaha perlindungan terhadap para produsen lokal juga telah dilakukan. Hal itu menunjukkan adanya harapan bahwa banyak hal dapat dilakukan untuk menciptakan kondisi perdagangan yang berkeadilan di tengah dahsyatnya gempuran globalisasi yang mengusung free trade yang secara nyata sangat berketidakadilan.

20. Namun usaha-usaha aktor-aktor tersebut dapat ditebak selalu mendapat hambatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sistem baru tersebut (fair trade). Logika ekonomi selalu menjadi alasan bahwa fair trade akan menyebabkan berkurangnya profit bagi bisnis yang selama ini dijalankan atas prinsip free trade.

21. Ketika mantan Memperindag Rini Soewandi menyelenggarakan Pameran produksi Indonesia 2003 yang bertema “Indonesia Bangkit”, berbagai pihak yang merasa dirugikan dengan langkah-langkah Rini tersebut melakukan “counter act” untuk menghambat kebijakan-kebijakan Rini yang menurut banyak pihak “local oriented”. Menurut Sudarmasto ketua panitia pameran tersebut, pameran tersebut membukukan transaksi sekitar Rp 50 milyar plus US$ 300.000. Pembelinya dari dalam dan luar negeri. Tak sedikit yang datang dari Cina, Malasyia, Jepang, Prancis, Belanda, dan Korea Selatan. Sudarmasto mencatat, tak kurang dari 200.000 pengunjung yang datang, termasuk rombongan Menteri Perdagangan Singapura dan Brunei Darussalam. Pameran ini diikuti 488 peserta. Di antaranya Indofood, pabrik mi cepat saji paling besar di Indonesia.

22. Contoh kebijakan lain yang bertujuan melindungi dan menggairahkan industri dan perdagangan domestik yang dilakukan Rini adalah kebijakan soal tata niaga gula. Melalui Surat Keputusan Nomor 643, September lalu, Rini berusaha menggairahkan BUMN produsen gula lokal, yang selama lima tahun terakhir ini meriang lantaran digencet gula impor yang sangat murah. PTPN dan asosiasi petani tebu rakyat sangat mendukungnya.

Page 61: Fair Trade Vs

Rini berharap, kebijakan itu dalam jangka panjang bisa memulihkan posisi Indonesia, yang pada 1950-an dikenal sebagai pemain gula dunia yang sangat diperhitungkan.21

23. Namun, kebijakan-kebijakan Rini tersebut segera mendapat tantangan dari pihak-pihak yang sakit hati karena merasa dirugikan. Kebijakan Rini tersebut membuat Rini kerap menuai benturan dengan sejumlah koleganya di kabinet, para politikus di Senayan, dan sebagian pengusaha. Rni dihubung-hubungkan dengan kasus tender pengadaan 12 kapal tanker Pertamina, yang sampai sekarang masih terkatung-katung.22

24. Terlepas dari masalah politis, gambaran tersebut memperlihatkan bahwa penerapan fair trade masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Dari kalangan NGO usaha-usaha nyata telah banyak dilakukan. Sebut saja misalnya di sektor pertanian. Kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memenuhi kebutuhannya dari sektor pertanian sungguh menyedihkan, karena sampai saat ini sektor tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan standar para petani. Mereka masih tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Adalah fakta bahwa petani-petani miskin di desa-desa hidup dengan uang senilai kurang dari US$ 1 (Rp.8.400,-) perhari.23 Menurut data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada Pebruari 2000 menyebutkan, bahwa rata-rata pendapatan keluarga tani di Indonesia per tahun adalah sebesar Rp. 6,7 juta, dimana 42% dari pendapat tersebut berasal dari usaha tani. Data hasil survei yang dilakukan di 11 desa produsen beras di 6 propinsi memperlihatkan, bahwa pendapatan dari pertanian padi “hanya” sebesar 16% dari total pendapatan. Rumah tangga tani di luar Jawa lebih tergantung dari pendapatan pertanian, dan khususnya pertanian padi, dibandingkan dengan rumahtangga tani di Jawa.24

25. Berdasarkan kondisi tersebut sebuah NGO yang bernama Yayasan Mitra Bumi Indonesia yang berbasis di Malang (MBI-Malang) memberikan bantuan kepada para petani di Desa Cincing Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang sejak tahun 1997. Bantuan yang diberikan oleh MBI-Malang kepada para petani berkaitan dengan masalah pertanahan, inefisiensi, dan rumitnya jaringan pemasaran produk. Akibat dari permasalahan tersebut para petani seringkali dihadapkan pada kecilnya margin keuntungan atau bahkan kerugian yang terus-menerus sehingga sebagian mereka mulai menganggap pertanian sebagai sektor yang tidak layak untuk dijadikan tumpuan hidup. Akibatnya mereka mulai bermigrasi ke kota-kota. Migrasi ini tentunya membawa permasalahan baru yang sudah umum kita ketahui.

26. Secara sistematis permasalahan yang dihadapi petani di Malang-juga dialami oleh petani-petani diseluruh negara berkembang menyangkut tiga tahap yaitu tahap pra produksi, tahap produksi, dan pasca produksi.25 Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh MBI-Malang untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah mempromosikan pertanian organik. Pertanian organik adalah pendekatan baru bidang pertanian yang mendasarkan pada pronsip berkelanjutan (sustainability) untuk peningkatan produktivitas dan sekaligus upaya mempertahankan basis sumber daya. Adapun prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan seperti digariskan oleh FAO mencakup prinsip kemantapan secara ekologis, keberlanjutan secara ekonomis, prinsip keadilan, prinsip kemanusian, dan prinsip fleksibilitas. Adapun metode kampanye yang dilakukan oleh MBI-Malang adalah dengan penyebaran brosur, presentasi, pembuatan label, pencetakan buletin, dan pameran produk.26 Contoh-contoh lain dari upaya-upaya NGO-NGO dalam menerapkan fair trade dapat dilihat dari suksesnya APIKRI Yogyakarta menembus jalur ekspor perdagangan alternatif di sektor kerajinan. Upaya Yayasan Samadi Solo dalam

Page 62: Fair Trade Vs

memberantas kemiskinan dengan cara melaksanakan fair trade melalui sektor produksi batik dan garmen di Solo juga merupakan bukti lain tentang upaya pelaksanaan fair trade oleh NGO di Indonesia.27

27. Satu hal lain yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang merasa sebagai konsumen untuk mengembangkan Fair trade adalah melakukan konsumerisme etis atau konsumen etis 28. Pola konsumerisme ini sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh NGO-NGO Fair trade di seluruh dunia. Di Indonesia penggerak konsumerisme etis adalah Oxfam dan Samadi Justice and Peace Institute. Pelaksanaan pola konsumerisme etis dapat dikatakan mudah karena setiap konsumen memiliki otoritas untuk menentukan produk-produk apa saja yang akan dikonsumsinya. Kalau dikaitkan dengan logika bisnis maka jika semakin banyak konsumen yang menjadi konsumen etis maka perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk-produk yang tidak didasarkan atas prinsip Fair trade akan mati dengan sendirinya.

28. Akan tetapi lagi-lagi cara tersebut akan mendapat hambatan berat, diantaranya adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat dunia tentang arti penting Fair trade bagi kelompok-kelompok termarginalkan. Hal itu ditunjukkan dengan volume transaksi perdagangan yang berbasis Fair trade yang hanya sebesar US$ 400 juta pertahunnya, atau 0,1% dari total volume perdagangan global yang mencapai US$ 3,6 triliun.29

29. 4. Pengaruh Fair Trade terhadap Perekonomian Indonesia

30. Sulit untuk menentukan efektifitas dan pengaruh gerakan fair trade terhadap perekonomian Indonesia. Kedua hal itu sangat ditentukan oleh indikator apa yang kita gunakan untuk mengukurnya. Jka menggunakan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia berdasarkan prinsip ekonomi liberal-kapitalis yang ditandai dengan peningkatan perkapita yang tinggi, ataupun berdasarkan volume transaksi bisnis yang dihasilkannya, maka jelas bahwa fair trade sangat tidak cukup efektif dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebagai bahan komparasi, menurut data yang dikeluarkan oleh Fair Trade Organization (FTO) bahwa di Eropa dan Amerika Serikat jumlah transaksi perdagangan yang berbasis fair trade diestimasi hanya mencapai US$400 juta, hanya 0,1 % dari jumlah transaksi seluruh global trade.30 Untuk Indonesia data yang membukukan tentang volume transaksi perdagangan diseluruh Indonesia tidak kami temukan. Alasan sederhana yang dapat dikemukakan adalah gerakan ini masih tergolong baru yaitu baru muncul di Indonesia pada pertengahan tahun 1980-an. Faktanya beberapa pusat-pusat penyalur produk-produk yang berbasis fair trade bisa kami sebutkan hanya terdapat di Yogyakarta yaitu APIKRI, SAHANI, CD Bethesda, Yakkum, di Solo dimana Yayasan Samadi sebagai pendampingnya, Di Lombok yaitu Lombok Pottery Centre, Mitra Bali di Ubud-Bali.31 Keberadaan pusat-pusat penyalur tersebut yang masih sangat sedikit adalah indikator yang sulit dibantah bahwa fair trade belum efektif dan belum memberikan pengaruh yang signifikan bagi perekonomian Indonesia.

31. Namun jika kita mau lepas dari indikator arus utama tersebut dengan menggunakan indikator lain seperti fairness dalam relasi perdagangan, gender mainsteraming, sustainability, penyediaan kondisi kerja yang sehat dan aman, sistem yang terbuka bagi

Page 63: Fair Trade Vs

pertanggungjawaban publik, maka fair trade cukup efektif dan memberikan pengaruh terhadap perekonomian indonesia. Walupun harus diakui bahwa tingkat efektifitas dan pengaruhnya masih sangat kecil. Hal itu mengingat gerakan fair trade merupakan gerakan yang belum lama berkembang di Indonesia. Namun jika kita melihat per-case seperti telah dijelaskan sebelumnya maka gerakan fair trade potensial untuk menjadi arus baru dalam sisitem perdagangan free trade yang merupakan arus utama.

32. Reasoning-nya adalah pertama, jika semakin banyak aktor baik decision maker pemerintah Indonesia maupun NGO-NGO yang concern dengan nasib produsen lokal yang selama ini termarginalkan, maka fair trade akan memiliki potensi besar untuk mempengaruhi perekonomian Indonesia. Alasan kedua adalah tingkat pendidikan penduduk dalam hal ini adalah para petani dan keluarga petani, buruh, dan para produsen kecil di Indonesia yang semakin baik, sehingga pola-pola perdagangan yang berkeadilan akan mendapatkan kekuatan yang semakin besar. Alasan ketiga adalah semakin banyaknya NGO-NGO di negara-negara maju yang concern dalam bidang Fair Trade, dimana hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara penganut “ortodoks” sistem perdagangan arus utama, kepedulian terhadap perdagangan berkeadilan semakin meningkat. Peningkatan tersebut tentu saja akan berdampak sangat positif bagi perkembangan fair trade di Indonesia.

33. Lalu, apakah fair trade bisa menjadi arus utama sistem perdagangan di Indonesia dan dunia? Jawabannya adalah sangat sulit (untuk tidak mengatakan tidak). Beberapa fakta sulit untuk diatasi bahkan cenderung tidak mugkin yaitu: adanya persaingan dengan korporasi-korporasi internasional; pembatasan lisensi impor; masalah positioning dalam penjualan eceran yang harus berhadapan dengan kebijakan anti perdagangan untuk produk-produk tertentu di beberapa negara maju; pembentukan pasar tunggal Eropa yang berimplikasi pada harmonisasi regulasi impor perihal standar, bea cukai, dsb; standar kesehatan dan keamanan yang semakin meningkat. Selain itu terdapat fakta yang tidak menggembirakan bagi proses perkembangan fair trade yaitu meski gambaran agregat menunjukkan pertumbuhan pasar yang cukup impresif,32 hal ini ternyata meneyembunyikan persoalan besar. Di Eropa misalnya, pertumbuhan pasar Fair Trade yang signifikan terjadi di negara-negara yang baru saja mengenal sistem Fair Trade. Sementara itu untuk negara-negara seperti Austria, Belanda, Swiss, Jerman dan Inggris, dimana sistem Fair Trade telah berkembang selama puluhan tahun, beberapa organisasi perdagangan alternatif mencatatkan perkembangan yang cenderung stagnan. Bahkan dalam beberapa kasus justru menurun.33

34.

35. 5. Kesimpulan

36. “Fair Trade sebagai arus utama sistem perdagangan internasional menggantikan sistem arus utama Free Trade” adalah absurd. Terlalu banyak hambatan besar yang sulit untuk diatasi jika fair trade ingin diarus-utamakan. Dalam konteks Indonesia cita-cita mengarus-utamakan fair trade lebih sulit lagi, karena fair trade tergolong baru dimana norm enterpreneurs-nya masih langka sehingga penyebaran ide-ide fair trade masih sangat terbatas. Kondisi tersebut diperburuk dengan hambatan-hambatan kondisi perekonomian Indonesia yang belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Hal itu

Page 64: Fair Trade Vs

sangat berdampak pada kebijakan-kebijakan pragmatis yang akan tetap mengutamakan kebijakan yang berdasar pada logika ekonomi semata.

37. Namun sebagai suatu gerakan yang prinsip utamanya adalah kemanusiaan, gerakan fair trade harus diberikan apresiasi yang tinggi. Apresiasi tersebut tentunya ditindaklanjuti dengan tindakan nyata yaitu menjadi bagian dari fair trade norm-enterpreneurs, ataupun dengan cara menjadi konsumen etis. Tindakan-tindakan tersebut adalah hal yang paling mungkin dan lebih masuk akal untuk dilakukan. Seperti dituliskan oleh para aktifis gerakan Fair trade di dalam “Fair Trade Sebuah Alternatif Positif” bahwa bagaimanapun meluasnya pasar fair trade tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab seberapa besar dan cepat pasar fair trade tumbuh tetap tidak akan mampu menampung atau mencukupi akses jutaan produsen dan petani skala kecil dari Dunia Ketiga. Pasar Fair Trade juga tidak mampu meningkatkan posisi tawar produsen yang terlibat dalam produksi skala industri maupun para petani yang terlibat di perkebunan skala besar. Oleh karena itu tugas utama gerakan fair trade adalah melakukan penyadaran perihal degradasi kondisi kehidupan yang berkaitan dengan kinerja industri dan perdagangan internasional, serta mengkampanyekan perbaikan kehidupan. Kampanye tersebut harus diarahkan pada bisnis-bisnis arus utama, khususnya terhadap korporasi-korporasi transnasional untuk mempraktekkan prilaku yang bertanggung jawab dalam kontrak-kontrak perdagangan internasional. Fair Trade kemudian dapat menjadi sebuah model yang operasional bagi sistem alternatif dan simbol praktek-praktek bisnis yang bertanggung jawab. Fair trade bukan hanya suatu keopimisan ditengah ketidakberdayaan namun suatu bentuk tindakan nyata. At least, dengan ada dan semakin berkembangnya gerakan Fair trade akan “mengingatkan” pihak-pihak pelaku perdagangan arus utama bahwa sistem berketidakadilan yang selama ini mereka jalankan telah menyebabkan jutaan manusia menderita. Semakin berkembang Fair trade maka akan semakin besar kekekuatan untuk mengingatkan para “free-trader” yang notabene adalah manusia juga.

38. Mungkin bagi sebagian besar orang,  Tristan Lecomte adalah nama yang asing.  Tapi bagi yang mengetahui sepak terjangnya dalam memperkenalkan  konsep Fair Trade di dunia maka banyak orang yang akan mengaguminya. Baru baru ini Tristan Lecomte termasuk dalam ” 100 Orang Berpengaruh Di Dunia Tahun 2010  ” versi Time.com.

39. Pria berusia 36 tahun dan berkebangsaan Perancis ini telah memberikan inspirasi bagi dunia mengenai Perdagangan Yang Adil (Fair Trade) bagi negara berkembang dan miskin di dunia. Lecomte mengatakan sebenarnya hidup di dunia ini saling bergantung. Konsep ketergantungan inilah dianggap masuk akal dalam menjalankan bisnis.

40. Sebagai visioner di bidang perubahan sosial, Lecomte telah mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan sistem perdagangan global yang menginspirasi perubahan positif dalam kehidupan baik produsen dan konsumen. Seorang pelopor dalam etika, Lemcote memperkenalkan bisnis yang saling menguntungkan secara sosial. Perusahaan yang diakui secara internasional seharusnya berdasarkan visi Perdagangan Yang Adil (Fair Trade)  dan pembangunan sosial-ekonomi.

41. Pada tahun 1998 Lemcote  mendirikan Alter Eco (merek makanan tradisional), yang terkenal dengan Fair Trade, Organik, dan Karbon Netral di Perancis.  Lecomte  bergerak  untuk membantu produsen dan konsumen pada tingkat yang paling fundamental yaitu  petani, kebebasan untuk mendapatkan upah yang wajar dan memulihkan kebanggaan mereka terhadap pekerjaan dan kehidupannya. Dan bagi konsumen, memungkinkan mereka mendapatkan kebebasan untuk mengetahui asal barang yang mereka  beli dan

Page 65: Fair Trade Vs

dapat memilih produk secara otentik, transparan, sehat, dan  lezat. Pada tahun 2005, bisnis Lemcote ini  berhasil melebarkan sayapnya  ke Amerika Serikat yang beroperasi dari  San Francisco, California. Bersama  teman dan rekan pendiri Alter Eco, Mathieu Edouard Rollet Senard (COO dan CEO Alter Eco Amerika Serikat), keduanya sangat bangga dengan keberhasilan tersebut dan senang untuk memainkan peran integral dalam bisnis yang berkelanjutan, etis, dan bervisi Fair Trade.

42.43. Tristan Lecomte, Founder Pure Planet (www.mypureplanet.org)44. Pada tahun 2008, Lecomte muncul sebagai Pendiri dan CEO Pure Project/Pure Planet,

sebuah konsultan  kolektif  proyek penghijauan berkelanjutan, evaluasi tapak karbon, dan keseimbangan karbon . Dalam kemitraan dengan 60 koperasi perdagangan yang adil di 30 negara di seluruh dunia, konsultan kolektif terdiri dari lebih dari setengah lusin mitra, bekerja sama dengan petani untuk mengembangkan proyek-proyek agro-forestry yang selanjutnya dijual sebagai kredit karbon, menciptakan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat sekaligus  memerangi perubahan iklim (global warming). Pure Project/Pure Planet telah menanam 2.000.000 pohon dan memiliki tujuan untuk  menanam total 12 juta pohon pada akhir tahun 2012.

45. “Penghargaan ini benar-benar pengakuan sistem  secara keseluruhan, bukan individu. Tanpa ribuan petani fair trade yang luar biasa, kegairahan dan dedikasi konsumen, atau mitra kolaboratif  jenius saya maka kami tidak akan ada disini pada hari ini. Ini adalah pekerjaan saya. Dengan  dipilihnya saya sebagai ” 100 Orang Bepengaruh Di Dunia” versi Time maka saya ingin mengatakan bahwa jalan yang kita pilih adalah dengan membuat tanda pada dunia. Saya sangat berterima kasih.