ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU...

16
Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016 1 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU SISTEM KERAMBA JARING APUNG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM Lutfi Hardian Murtiono, Dody Yunianto, Wa Nuraini Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon Jl. Laksdya Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233 Email : [email protected] A B S T R A K Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian lahan budidaya kerapu sistem keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam (TAD). Pengukuran kualitas perairan dilakukan pada sembilan titik sampling yang ditentukan secara purposive. Analisis data menggunakan metode matching dan scoring yang didasarkan pada parameter fisika- kimia perairan. Aplikasi sistem informasi geografis digunakan sebagai alat bantu untuk mengetahui luasan perairan. Hasil analisis menunjukkan luas perairan TAD dengan kategori sangat sesuai (S1) adalah 290,51 ha, sesuai (S2) 213,79 ha dan tidak sesuai (N) 618,48 ha. Kata kunci : keramba jaring apung, budidaya laut, kerapu, kesesuaian ruang A B S T R A C T The purpose of research is to analyze the suitability of the Inner of Ambon Bay for mariculture floating cages system. Water quality analysis was collected from nine sampling stations based on purposive. Analysis of the data using matching and scoring method based on physical and chemical parameters of the waters. Geospatial information system used in this research as a tool to analyze width of the bay. The results of the research showed that suitability class S1 extends to 290,51 ha. Then, suitability class S2 extends to 213,79 ha and unsuitable extends 618,48 ha. Kata kunci : floating net cages, mariculture, grouper, site suitability

Transcript of ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU...

Page 1: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

1

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU SISTEM KERAMBA

JARING APUNG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Lutfi Hardian Murtiono, Dody Yunianto, Wa Nuraini

Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon

Jl. Laksdya Leo Wattimena, Waiheru, Ambon, 97233

Email : [email protected]

A B S T R A K

Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian lahan budidaya kerapu sistem

keramba jaring apung di Teluk Ambon Dalam (TAD). Pengukuran kualitas perairan

dilakukan pada sembilan titik sampling yang ditentukan secara purposive. Analisis data

menggunakan metode matching dan scoring yang didasarkan pada parameter fisika-

kimia perairan. Aplikasi sistem informasi geografis digunakan sebagai alat bantu untuk

mengetahui luasan perairan. Hasil analisis menunjukkan luas perairan TAD dengan

kategori sangat sesuai (S1) adalah 290,51 ha, sesuai (S2) 213,79 ha dan tidak sesuai

(N) 618,48 ha.

Kata kunci : keramba jaring apung, budidaya laut, kerapu, kesesuaian ruang

A B S T R A C T

The purpose of research is to analyze the suitability of the Inner of Ambon Bay for

mariculture floating cages system. Water quality analysis was collected from nine

sampling stations based on purposive. Analysis of the data using matching and scoring

method based on physical and chemical parameters of the waters. Geospatial

information system used in this research as a tool to analyze width of the bay. The

results of the research showed that suitability class S1 extends to 290,51 ha. Then,

suitability class S2 extends to 213,79 ha and unsuitable extends 618,48 ha.

Kata kunci : floating net cages, mariculture, grouper, site suitability

Page 2: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

2

PENDAHULUAN

Pemilihan lokasi budidaya yang sesuai menjadi awal penentu keberhasilan

kegiatan usaha budidaya laut. Kehidupan organisme akuatik sangat dipengaruhi oleh

kualitas lingkungan perairannya. Semakin bagus media hidupnya maka akan dapat

tumbuh dengan baik, begitupun sebaliknya. Parameter kelayakan suatu perairan

meliputi tiga hal, yaitu parameter fisika, kimia dan biologi. Boyd (1998) menyatakan

bahwa setiap organisme perairan memerlukan kisaran nilai parameter kualitas air

tertentu dan kisaran tersebut terkait dengan kondisi lokasi. Pemilihan lokasi budidaya

juga terkait dengan faktor resiko, kemudahan dan ekologis, dimana faktor resiko

berkaitan dengan masalah keterlindungan, keamanan dan konflik. Masalah perlindungan

dimaksudkan untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya laut, sedangkan faktor

ekologis berkaitan dengan parameter perairan (Arifin et al., 2014).

Ikan kerapu merupakan salah satu primadona komoditas budidaya laut yang

memiliki nilai ekonomis tinggi. Pemeliharaan ikan kerapu sistem keramba jaring apung

telah berkembang secara luas di Asia, khususnya di daerah tropis timur (China,

Hongkong, Taiwan) dan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura,

Thailand dan Vietnam) (Sim et al., 2005). Salah satu lokasi potensial untuk kegiatan

budidaya laut sistem keramba jaring apung adalah perairan Teluk Ambon Dalam

(TAD). Perairan TAD telah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai daerah perikanan

tangkap dan budidaya, jalur transportasi laut, daerah konservasi serta tempat rekreasi

dan olahraga (Selano et al., 2009). Lokasinya yang terlindung menyebabkan perairan

TAD cocok digunakan sebagai lokasi budidaya dan telah ditetapkan dalam Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun 2011 – 2031 (Bappekot Ambon,

2011), dan telah dibuat dalam Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 24 Tahun 2012

sebagai kawasan pengembangan budidaya laut.

Meskipun telah ditetapkan dalam sebuah regulasi, namun pada kenyataannya

masih terjadi tumpang tindih terhadap pemanfaatan lahan perairan di TAD. Analisis

kesesuaian lahan ditujukan untuk mengarahkan kegiatan manusia agar dalam

pemanfaatannya sesuai dengan peruntukannya, sehingga pemanfaatan yang

diperolehnya dapat optimal dan menghindari adanya konflik kepentingan serta

kerusakan habitat, ekosistem serta sumberdaya laut (Yusuf, 2013). Keberadaan Teluk

Ambon Dalam yang dikelilingi oleh banyak kegiatan antropogenik serta pemanfataan

yang beragam, dimana salah satunya adalah untuk budidaya laut, maka perlu dilakukan

sebuah analisis kesesuaian lahan budidaya laut sistem keramba jaring apung di perairan

TAD. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kesesuaian lahan budidaya ikan

kerapu sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Ambon Dalam (128°11’29” -

128°19’25” BT dan 3°37’40” - 3°39’50” LS), yang masuk dalam wilayah administratif

Kota Ambon. Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada periode bulan

April – Juni 2015, dengan penentuan titik sampel secara purposive sampling yang

mengacu pada fisiografi lokasi sedapat mungkin mewakili atau menggambarkan

keadaan perairan tersebut. Lokasi pengambilan sampel sebanyak sembilan titik

sampling yang dicatat dengan menggunakan global positioning system (GPS). Sebaran

titik sampling terlihat pada Gambar 1 berikut.

Page 3: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

3

Gambar 1. Lokasi samping.

Matriks kesesuaian lingkungan perairan meliputi analisis terhadap kemampuan

(site capability) dan kesesuaian perairan (site suitability). Kapabilitas perairan (site

capability) umumnya terkait dengan lingkungan biogeofisik-kimia perairan sedangkan

kesesuaian perairan (site suitability) lebih berfokus pada faktor ekstrinsik seperti potensi

konflik, penggunaan lahan, dan infrastruktur (Szuster and Albasri, 2010). Pembobotan

setiap faktor pembatas ditentukan berdasarkan besarnya pengaruh parameter tersebut

terhadap peruntukannya. Hasil perkalian antara bobot dan skor masing-masing

parameter merupakan suatu skor dalam suatu peruntukan. Interval kelas kesesuaian

perairan diperoleh berdasarkan metode equal interval, yaitu selang tiap-tiap kelas

diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah

perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi dengan jumlah kelas (Prahasta,

2013). Kelas kesesuaian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2)

dan tidak sesuai (N) (Perez et al., 2005).

𝑆𝑒𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖𝑎𝑛 (𝑥) =∑ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − ∑ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠

Penentuan skor masing-masing kelas kesesuaian adalah sebagai berikut :

Kelas sangat sesuai (S1) = >(∑maks – x)

Kelas sesuai (S2) = (∑maks – 2x) – (∑maks – x)

Kelas tidak sesuai (N) = <(∑maks – 2x)

Pendekatan aplikasi Sistem Informasi Geospasial (SIG) digunakan sebagai alat

bantu untuk membuat peta kesesuaian lahan. Program yang digunakan adalah ArcGIS

9.3. Analisis spasial dilakukan dengan melakukan interpolasi terhadap titik-titik stasiun

pengamatan yang merupakan suatu metode pengelolaan data titik menjadi area

(polygon). Hasil interpolasi dari masing-masing data kualitas air dan data sekunder

disusun menjadi sebuah peta tematik. Luasan perairan yang sesuai dihasilkan setelah

seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik dilakukan overlay

(tumpang susun).

Page 4: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

4

Tabel 1. Parameter penentuan kesesuaian lokasi budidaya.

No Parameter Kisaran Angka

Penilaian Bobot Skor Referensi

Site Capability

1 Kedalaman (m) >10 - 20 5 3

Bakosurtanal (1996)

5-10 3

<5 atau >20 1

2 Kecepatan arus

(cm/detik) 20-40 5 3

Rachmansyah (2004)

10-<20 atau >40-75 3

<10 atau >75 1

3 Oksigen terlarut

(mg/l) ≥5,0 5 3

SNI 01-6487.4:2014

(BSN, 2014);

Kepmen LH No

51/2004 (KLH,

2004); FAO (1989)

≥3,0 - <5,0 3

<3,0 1

4 Substrat dasar Pasir 5 3

KKP (2013b)

Pasir berlumpur 3

Lumpur 1

5 Salinitas (‰) 29-31 5 2

KKP (2013b); SNI

01-6487.4:2014

(BSN, 2014)

27-<29 atau >31-33 3

<27 atau >33 1

6 Suhu (°C) 28-30 5 2

KKP (2013b); Chou

and Lee (1997);

Rachmansyah (2004)

26-<28 atau >30-31 3

<26 atau >31 1

7 pH 7,5 - 8,0 5 2

SNI 01-6487.4:2014

(BSN, 2014);

Kepmen LH No

51/2004

(KLH, 2004)

7 - <7,5 atau >8,0-8,5 3

<7 atau >8,5 1

8 Ortofosfat (mg/l) ≤0,015 5 2

KKP (2013b);

Kepmen LH No

51/2004

(KLH, 2004)

>0,015 - ≤0,8 3

>0,8 1

9 Nitrat (mg/l) ≤0,008 5 1

Kepmen LH No

51/2004

(KLH, 2004)

>0,008-0,4 3

0,4 1

10 Kecerahan (m) ≥5 5 1

Buitrago et al (2005)

3 - <5 3

<3 1

11 Turbiditas (NTU) ≤5 5 1

Rachmansyah (2004);

Kepmen LH No

51/2004

(KLH, 2004)

>5-20 3

>20 1

12 Nitrit (mg/l) 0 3 1

KKP (2013b)

< 0,1 2

≥ 0,1 1

13 Amonia (mg/l) 0 – 0,2 3 1

Chou and Lee (1997);

Kepmen LH No

51/2004 (KLH,

2004); FAO (1989)

> 0,2 – 0,5 2

>0,5 1

14 BOD5 (mg/l) ≤20 3 1

Kepmen LH No 51

Tahun 2004 (KLH,

2004)

KKP (2013b)

>20 – 45 2

>45 1

Site suitability

1 Jalur transportasi Tidak mengganggu

pelayaran 5 3

Szuster and Albasri

(2010)

Sedikit mengganggu

pelayaran 3

Page 5: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

5

Sangat mengganggu

pelayaran 1

2 Aspek legal Sesuai RTRW sebagai

wilayah pengembangan

budidaya KJA

5 2

Beveridge (2004);

Rachmansyah (2004)

Kurang sesuai 3

Tidak sesuai 1

3 Resiko pencemaran Rendah 5 3

KKP (2013b)

Sedang 3

Tinggi 1

4 Keberadaan &

kondisi ekosistem Tidak ada 5 1

KKP (2013b)

Ada, kondisi buruk 3

Ada, kondisi baik 1

5 Pelabuhan /

dermaga >500 m 5 3

Van Der Wulp et al. (

2010) 200 - 500 m 3

<200m 1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Kualitas Perairan

Lingkungan perairan sebagai media hidup kultivan budidaya sangat

mempengaruhi pertumbuhan dan keberlangsungan hidup ikan kerapu. Lingkungan

biofisik perairan seperti kualitas perairan, kuantitas perairan, batimetri, iklim,

keberadaan predator dan mikro serta makro organisme menjadi salah satu pertimbangan

dalam penentuan lokasi budidaya (Szuster and Albasri 2010).

Kondisi batimetri Teluk Ambon Dalam relatif landai dan dangkal jika

dibandingkan dengan Teluk Ambon Luar yang lebih curam dan dangkal. Hasil

pengukuran kedalaman perairan pada titik sampling di perairan Teluk Ambon Bagian

Dalam menunjukkan adanya variasi tingkat kedalaman yaitu 12 meter (stasiun 8)

sampai 37 meter (stasiun 4), dengan rata-rata 22,56 ± 9,32 meter. Kedalaman

merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya ikan kerapu dengan sistem

keramba jaring apung. Pada budidaya kerapu, kedalaman suatu perairan mempengaruhi

tingkat penetrasi cahaya, akumulasi sisa pakan dan penempatan lokasi keramba jaring

apung. Kedalaman maksimum disarankan tidak lebih dari 20 m untuk memudahkan

dalam memposisikan jangkar pemberat (Chou and Lee, 1997).

Hasil pengukuran kecepatan arus di perairan Teluk Ambon Dalam menunjukkan

rata-rata 9,71 ± 2,00 cm/detik dengan kisaran 5,70 – 12,40 cm/detik. Kecepatan arus

tertinggi saat pasang tercatat di stasiun 1 (Galala) dan terendah di stasiun 3 (Batu

Koneng). Sedangkan pada kondisi surut, arus tertinggi di stasiun 5 (Waiheru) dan 9

(Passo) dan terendah di stasiun 3 (Batu Koneng). Peranan arus dalam budidaya ikan laut

dengan sistem keramba jaring apung sangat penting, antara lain selain sebagai sirkulasi

air di dalam unit keramba, membersihkan timbunan sisa metabolisme biota kultur,

membawa oksigen terlarut serta dapat mengurangi organisme penempel (biofouling)

(Kordi, 2011). Untuk kegiatan budidaya laut, kecepatan arus lebih dari 0,50 m/detik

dapat mempengaruhi posisi jaring dan penjangkaran serta menyebabkan bergesernya

posisi rakit (FAO, 1989). Kecepatan arus yang ideal untuk kegiatan pembesaran kerapu

macan dan kerapu bebek berkisar 20 – 50 cm/detik (Yulianto, 2012). Beveridge (2004)

menyarankan untuk kecepatan arus bagi budidaya dengan sistem keramba jaring apung

tidak melebihi 1 m/detik. Sedangkan Rachmansyah (2004) menyatakan kisaran arus

yang optimal untuk budidaya laut sistem KJA adalah 20 – 40 cm/detik. Sedangkan

Page 6: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

6

untuk peruntukan zona pengembangan perikanan budidaya laut disarankan <0,75

m/detik (KKP, 2013).

Pengukuran parameter suhu perairan Teluk Ambon Bagian Dalam selama

penelitian menunjukkan kisaran antara 26,5 – 32,2°C, dengan nilai rata-rata 29,21 ±

1,83°C. Sebaran nilai rerata suhu yang berkisar antara 29,3 – 32,3°C saat pasang dan

26,5 – 28,7°C saat surut. Berdasarkan sebaran spasial, rata-rata suhu terendah tercatat di

stasiun 5 (Waiheru) dan tertinggi di stasiun 7 (Lateri). Suhu juga sangat berperan

mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan

peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi termasuk juga

menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan

sebagainya (Effendi, 2003). Organisme akuatik perairan tropis akan tumbuh dengan

optimal pada kisaran suhu 25 - 32°C (Boyd, 1998). Temperatur perairan idealnya

berada dalam kisaran 27 - 31°C (Chou and Lee, 1997). Suhu perairan yang optimal

untuk budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah 28 – 30°C (Rachmansyah,

2004).

Kecerahan perairan Teluk Ambon Bagian Dalam berkisar antara 5 – 10 meter,

dengan rata-rata 7,67 ± 1,37 m. Sebaran kecerahan tertinggi yaitu di stasiun 2 (Poka)

dan 6 (Waiheru), sedangkan di stasiun 7 (Lateri) memperlihatkan nilai kecerahan yang

terendah. Menurut Selano (2009) bahwa variasi nilai kecerahan di Teluk Ambon sangat

dipengaruhi oleh kondisi musim dengan kecerahan minimum terjadi pada saat musim

timur. Selanjutnya disebutkan bahwa jika dibandingkan dengan kedalaman maksimum

perairan Teluk Ambon Dalam yang mencapai 30 – 40 m, maka nilai kecerahan sangat

rendah dan hal ini berhubungan dengan adanya aktivitas di sekitar maupun dari perairan

itu sendiri. Kondisi optimal kecerahan suatu perairan untuk kegiatan budidaya adalah

>3 m (Buitrago et al., 2005).

Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan kisaran turbiditas di perairan

Teluk Ambon Bagian Dalam antara 0,34 – 6,22 NTU. Sedangkan nilai rata-rata

turbiditas adalah 2,89 ± 1,96 NTU. Nilai kekeruhan yang relatif tinggi yaitu pada

stasiun 7 (Lateri) yang diduga karena adanya limpasan dari lahan upland sehingga

menyebabkan tingginya tingkat sedimentasi di kawasan tersebut. Kekeruhan suatu

perairan berasal dari adanya padatan organik atau anorganik yang tersuspensi dalam

kolom air yang disebabkan oleh erosi tanah, limbah pertambangan, effluent dari limbah

rumah tangga dan buangan limbah industri lainnya (Beveridge, 2004). Kekeruhan

biasanya terjadi saat musim hujan dimana adanya runoff dari sungai yang bermuara ke

perairan teluk yang membawa berbagai material seperti logam berat dari buangan

limbah industri dan padatan bahan organik dan anorganik yang dapat mengganggu

sistem pernapasan ikan sehingga menyebabkan kematian karena kekurangan oksigen

(Loka et al., 2012). Chou and Lee (1997) menyarankan tingkat kekeruhan perairan tidak

melebihi 10 mg/l, idealnya kurang dari 5 mg/l karena partikel lumpur dapat menyumbat

dinding jaring sehingga menyebabkan terganggunya pertukaran air dan gejala

asphyxiation pada ikan.

Distribusi salinitas selama penelitian berkisar antara 30,2 – 33 ‰, dengan rata-

rata 31,80 ± 0,71 ‰. Rerata salinitas pada saat pasang adalah 31,84‰ dan rerata

salinitas saat surut adalah 31,68‰. Salinitas tertinggi saat pasang yaitu pada stasiun 3

(Batu Koneng) dan terendah di stasiun 5 (Waiheru). Sedangkan saat surut salinitas

tertinggi di stasiun 2 (Poka) dan terendah yaitu di stasiun 5 (Waiheru). Pada kebanyakan

ikan tropis, salinitas optimal yang dibutuhkan adalah dalam kondisi salinitas yang

Page 7: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

7

normal laut, dan umumnya tidak dapat hidup dengan baik pada kondisi salinitas rendah

(Loka et al., 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan rata-rata oksigen

terlarut di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam adalah 4,86 ± 0,67 mg/l. sedangkan

kisarannya adalah 3,43 sampai 5,84 mg/l. Di stasiun pengamatan 7 (Lateri), 8 (Nania)

dan 9 (Passo) ditemui nilai oksigen terlarut yang sangat rendah yaitu secara berurutan

3,86, 3,43, dan 3,88. Sedangkan nilai oksigen terlarut yang tinggi di stasiun 6

(Waiheru). Pada saat perairan pasang rerata oksigen terlarut adalah 5,42 mg/l dengan

kisaran 4,86 – 5,84 mg/l. Sedangkan pada saat surut rerata konsentrasi oksigen terlarut

adalah 4,31 mg/l dengan kisaran 3,43 – 5,26 mg/l. Kadar oksigen terlarut (dissolved

oxygen) berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada

pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis,

respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Konsumsi

oksigen berbeda pada tiap spesies ikan dimana ikan golongan pelagic seperti kakap

membutuhan lebih banyak dibandingkan golongan demersal seperti ikan kerapu (Loka

et al., 2012). Konsentrasi oksigen terlarut bagi biota laut adalah >5 mg/l (Chou and Lee,

1997; KLH, 2004). Idealnya konsentrasi oksigen terlarut lebih dari 5 mg/l, namun untuk

ikan pelagic minimal 4 mg/l dan ikan demersal lebih dari 3 mg/l (FAO, 1989; Loka et

al., 2012).

Variasi pH pada setiap stasiun pengamatan dalam penelitian ini relatif rendah.

Hal ini terlihat pada seluruh pengambilan periode contoh baik saat pasang maupun

surut, tidak terlihat adanya perubahan nilai pH yang ekstrem. Kisaran pH dari

keseluruhan stasiun pengamatan di Teluk Ambon Bagian Dalam adalah 7,94 – 8,43,

sedangkan rata-ratanya yaitu 8,18 ± 0,10. Sedangkan nilai rerata pH saat pasang adalah

8,20 dan saat surut 8,15. Derajat keasaman atau pH menggambarkan aktifitas potensial

ion hidrogen dalam larutan yang dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen (mol/l)

pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+) (Beveridge, 2004; Boyd, 1998). Menurut Chou

and Lee (1997) nilai pH disesuaikan dengan karakteristik alami dan jarang melebihi 7,8

– 8,3. Kisaran pH untuk budidaya laut adalah 7,0 – 8,5 (BSN, 2014; KLH, 2004; Loka

et al., 2012).

Hasil pengukuran nitrit selama penelitian berkisar antara 0 – 0,002 mg/l dengan

nilai rata-rata 0,001 mg/l. Kisaran nitrit masih berada di bawah batas yang

diperbolehkan sesuai dengan KKP (2013b), yaitu <0,1 mg/l, sehingga dapat digunakan

untuk kegiatan budidaya laut. Nitrit (NO2-N) bersifat tidak stabil di perairan alami

dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara

ammonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dengan gas nitrogen (denitrifikasi)

(Effendi, 2003). Kadar nitrit di perairan disarankan <0,1 mg/l (Wedemeyer, 1996).

Hasil pengukuran parameter nitrat selama penelitian berkisar antara 0,01 – 0,07

mg/l, dengan rata-rata 0,040 ± 0,017 mg/l. Sebaran konsentrasi nitrat tertinggi berada

pada stasiun pengamatan 8 (Passo) yaitu 0,07 mg/l dan terendah di stasiun 6 (Waiheru)

yaitu 0,01 mg/l. Hampir semua nitrat di perairan laut bersumber dari aliran sungai yang

dihasilkan oleh aktivitas pertanian, pertambakan, industri dan buangan rumah tangga

atau limbah penduduk (Cloern, 2001; Susana, 2004). Secara alami konsentrasi nitrogen-

nitrat dalam air laut hanya beberapa mg/l dan merupakan salah satu senyawa yang

berfungsi dalam merangsang pertumbuhan biomassa laut sehingga secara langsung

mengontrol perkembangan produksi primer sehingga berhubungan erat dengan

kesuburan suatu perairan (Susana, 2004). Wedemeyer (1996) merekomendasikan kadar

nitrat di perairan kurang dari 1,0 mg/l. Sedangkan menurut Baku Mutu Air Laut untuk

Page 8: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

8

Biota Laut yang tertuang dalam Kepmen LH No. 51 tahun 2004 ditetapkan konsentrasi

nitrat dalam perairan <0,008 mg/l (KLH, 2004).

Hasil analisa laboratorium terhadap parameter amonia total (NH3-N) di perairan

Teluk Ambon Bagian Dalam diperoleh nilai konsentrasi sebesar 0,071 ± 0,021 mg/l.

Sedangkan kisaran konsentrasi ammonia total yaitu antara 0,035 – 0,104 mg/l. Kadar

amonia tertinggi ditemui di stasiun 7 (Lateri) yaitu 0,095 mg/l dan 8 (Nania) yaitu 0,094

mg/l. Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber

amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen

anorganik yang terdapat di tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik

(tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur (Effendi, 2003;

Susana, 2004). Efek sublethal amonia terhadap ikan adalah terjadinya penyempitan

permukaan insang sehingga mengakibatkan kecepatan proses pertukaran gas dalam

insang menurun, terjadinya penurunan jumlah sel darah, penurunan kadar oksigen

dalam darah, mengurangi ketahanan fisik dan daya tahan terhadap penyakit serta

terjadinya kerusakan struktural berbagai jenis organ (Sutomo, 1989). Kadar nitrogen

amonia dalam perairan tidak boleh melebihi 0,5 mg/l (Chou and Lee, 1997; FAO, 1989;

Loka et al., 2012). Sedangkan umumnya pembudidaya menyarankan untuk tetap

menjaga konsentrasi amonia pada level 0,01 mg/l (Wedemeyer, 1996). Baku Mutu Air

Laut untuk Biota Laut menetapkan <0,3 mg/l untuk amonia total di perairan (KLH,

2004).

Pengukuran konsentrasi fosfat selama penelitian menunjukkan nilai rata-rata

0,031 ± 0,02 mg/l, dengan kisaran 0,001 – 0,082 mg/l. Secara spasial distribusi fosfat

tertinggi ditemui di stasiun 8 (Nania) dan stasiun 9 (Passo) berturut adalah 0,059 mg/l

dan 0,056 mg/l. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh

tumbuhan. Sebagai unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, fosfor

menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi

tingkat produktivitas perairan. Keberadaan fosfor yang berlebihan dan disertai dengan

keberadaan nitrogen akan memicu terjadinya ledakan pertumbuhan algae di perairan

(algae bloom) (Susana, 2004). Algae yang melimpah akan membentuk lapisan pada

permukaan perairan sehingga menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari.

Kriteria tingkat trofik pada perairan laut berdasarkan konsentrasi fosfat di perairan

menurut Hakanson and Bryhn (2008) yaitu Oligotrofik (<0,015 mg/l), Mesotrofik

(0,015 – 0,04 mg/l), Eutrofik (0,04 – 0,13 mg/l) dan Hipertrofik (>0,13 mg/l). Kadar

fosfat pada Baku Mutu yang telah ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004

tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut adalah <0,015 mg/l (KLH, 2004).

Konsentrasi rata-rata parameter BOD di perairan Teluk Ambon Bagian Dalam

selama penelitian menunjukkan nilai 5,27 ± 2,50 mg/l. Kisaran nilai BOD adalah antara

1,25 – 10,29 mg/l. Pada kondisi perairan pasang, nilai rerata BOD5 adalah 5,64 mg/l dan

saat surut nilai rerata BOD5 adalah 4,90 mg/l. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air

(Davis and Cornwell, 1991). Kriteria tingkat pencemaran berdasarkan parameter BOD5

menurut Lee et al. (1978) adalah sebagai berikut : Tidak tercemar (<2,9 mg/l); tercemar

ringan (3,0 – 5,0 mg/l), tercemar sedang (5,1 – 14,9 mg/l) dan tercemar berat (≥15

mg/l). Nilai BOD di perairan alami berkisar antara 0,5 – 7,0 mg/l, sedangkan perairan

dengan kadar lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries and

Mills, 1996 diacu dalam Effendi, 2003). Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut

parameter BOD5 adalah kurang dari 20 mg/l (KLH, 2004).

Page 9: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

9

Page 10: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

10

Gambar 2. Peta sebaran beberapa parameter kualitas air : suhu (a); turbiditas (b);

salinitas (c); oksigen terlarut (d); pH (e); nitrat (f); fosfat (g); BOD5 (h).

Kesesuaian Perairan

Hasil penelitian menunjukkan kondisi lingkungan perairan Teluk Ambon Dalam

secara umum masih layak sebagai lokasi budidaya kerapu sistem keramba jaring apung.

Kriteria kelayakan Teluk Ambon Dalam sebagai lokasi budidaya kerapu dengan sistem

keramba jaring apung tergambar dalam tabel berikut.

Tabel 2. Rekapitulasi rerata nilai parameter kemampuan perairan (site capability).

Parameter Stasiun Pengamatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kedalaman (m) 36 23 24 37 27 26 15 12 13

Kecepatan arus (cm/dtk) 11,55 7,85 6,05 9,15 8,5 10,35 10,04 9,55 11,5

Oksigen terlarut (mg/l) 5,1 4,85 4,97 4,91 4,9 5,12 4,54 4,69 4,72

Page 11: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

11

Suhu (°C) 28,55 29,31 29,35 29,63 29,03 28,7 29,55 29,55 29,4

Salinitas (‰) 31,5 32,48 32,03 31,7 31,68 30,58 32,05 31,96 32,15

pH 8,26 8,09 8,24 8,24 8,18 8,12 8,27 8,32 8,21

Ortofosfat (mg/l) 0,034 0,02 0,008 0,021 0,042 0,032 0,036 0,059 0,056

Turbiditas (NTU) 0,8 2,06 2,07 3,1 0,65 2,12 5,99 3,93 5,31

Nitrat (mg/l) 0,03 0,03 0,045 0,03 0,02 0,045 0,06 0,06 0,05

Kecerahan (m) 7,5 8,5 7,5 8 8,5 8 6 7 8

Nitrit (mg/l) 0,001 0 0,001 0,002 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001

Amonia (mg/l) 0,088 0,086 0,063 0,067 0,05 0,052 0,095 0,094 0,048

BOD (mg/l) 3,16 3,8 5,59 7,75 2,82 3,72 9,71 3,96 6,95

Substrat dasar PB PB PB L L L L L L

Tabel 3. Rekapitulasi parameter kesesuaian perairan (site suitability).

Parameter Stasiun Pengamatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jalur transportasi

sangat

menggang

gu

sedikit mengganggu

sedikit

menggang

gu

sangat

menggang

gu

tidak mengganggu

tidak

menggang

gu

tidak

menggang

gu

tidak

menggang

gu

tidak

menggang

gu

Aspek legal tidak

sesuai sesuai sesuai

kurang

sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai

Resiko pencemaran tinggi sedang sedang tinggi sedang rendah sedang rendah sedang

Pelabuhan / dermaga <200 m 200-500 m <200 m <200 m 200-500 m >500 m >500 m >500 m >500 m

Keberadaan dan

kondisi ekosistem ada, buruk ada, buruk tidak ada tidak ada ada, buruk tidak ada tidak ada tidak ada tidak ada

Tabel 4. Rekapitulasi hasil perkalian bobot dan skor pada setiap stasiun pengamatan (9

stasiun).

Parameter Stasiun Pengamatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kedalaman (m) 3 3 3 3 3 3 15 15 15

Kecepatan arus (cm/dtk) 9 3 3 3 3 9 9 3 9

Oksigen terlarut (mg/l) 15 9 9 9 9 15 9 9 9

Suhu (°C) 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Salinitas (‰) 6 6 6 6 6 6 6 6 6

pH 6 6 6 6 6 6 6 6 6

Ortofosfat (mg/l) 10 10 15 6 6 6 6 6 6

Turbiditas (NTU) 10 10 10 10 6 10 6 10 6

Nitrat (mg/l) 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Kecerahan (m) 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Nitrit 3 5 3 3 3 3 3 3 3

Amonia 5 5 5 5 5 5 5 5 5

BOD 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Substrat dasar 9 9 9 3 3 3 3 3 3

Jalur transportasi 3 9 9 3 9 15 15 15 15

Aspek legal 2 10 10 6 10 10 10 10 10

Resiko pencemaran 3 9 9 3 9 15 9 15 9

Keberadaan dan kondisi ekosistem 3 3 5 5 3 5 5 5 5

Page 12: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

12

Pelabuhan / dermaga 3 9 3 3 9 15 15 15 15

Total Nilai 113 129 128 97 113 149 145 149 145

Pendugaan terhadap potensi luas lahan untuk kegiatan budidaya laut sistem

keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam menggunakan metode Sistem

Informasi Geospasial (SIG) dan diverifikasi dengan pengamatan lapangan dan

pendekatan professional adjustment. Teknik overlay terhadap beberapa parameter

kualitas air digunakan untuk menentukan luasan perairan yang layak untuk lokasi

keramba jaring apung.

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai selang kelas adalah 17,3 sehingga

didapatkan nilai kesesuaian untuk masing-masing kelas sebagai berikut : (a) Perairan

dengan kategori sangat sesuai (S1) mempunyai rentang total nilai >131,67; (b) Perairan

dengan kategori sesuai (S2) mempunyai rentang total nilai antara >114,33 sampai

dengan ≤131,67; dan (c) Perairan dengan kategori tidak sesuai (N) mempunyai rentang

total nilai ≤114,33.

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 33, maka tingkat kesesuaian pada

setiap stasiun pengamatan terlihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Tingkat kelayakan / kesesuaian perairan di setiap stasiun pengamatan.

Stasiun pengamatan Tingkat kelayakan / kesesuaian

Sangat sesuai (S1) Sesuai (S2) Tidak sesuai (N)

Stasiun 1 (Galala) ӿ

Stasiun 2 (Poka) ӿ

Stasiun 3 (Batu Koneng) ӿ

Stasiun 4 (Halong) ӿ

Stasiun 5 (Hunuth) ӿ

Stasiun 6 (Waiheru) ӿ

Stasiun 7 (Lateri) ӿ

Stasiun 8 (Negeri Lama) ӿ

Stasiun 9 (Passo) ӿ

Hasil analisis secara spasial terhadap kesesuaian lahan budidaya laut dengan

sistem keramba jaring apung di perairan Teluk Ambon Dalam dibagi menjadi tiga

tingkatan kelayakan yaitu sangat sesuai (S1), yaitu apabila daerah ini potensial untuk

dikembangkan budidaya kerapu dengan keramba jaring apung karena memenuhi

persyaratan minimal untuk kehidupan ikan kerapu; sesuai, apabila daerah ini cukup

bermanfaat untuk dikembangkan budidaya kerapu namun terdapat faktor pembatas yang

memerlukan perlakuan khusus untuk meningkatkan kemampuannya; dan tidak sesuai,

yaitu bila daerah ini tidak dapat digunakan untuk budidaya kerapu sistem keramba

jaring apung.

Page 13: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

13

Gambar 3. Luasan kesesuaian lahan budidaya kerapu di Teluk Ambon Dalam

Berdasarkan Gambar 3 di atas memperlihatkan tingkat kesesuaian perairan

Teluk Ambon Dalam untuk kegiatan budidaya kerapu dengan sistem keramba jaring

apung adalah seluas 504,29 ha (kategori sesuai dan sangat sesuai) atau 44,92% dari

keseluruhan perairan Teluk Ambon Dalam. Saat ini pemanfaatan lahan di perairan

Teluk Ambon Dalam masih sangat rendah yaitu baru 0,06% dari keseluruhan lahan

yang sesuai untuk budidaya laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa wilayah perairan

Teluk Ambon Dalam memiliki prospek untuk pengembangan budidaya laut sistem KJA

karena masih memiliki lahan yang berpotensi untuk dimanfaatkan lebih lanjut.

Gambar 4. Peta kesesuaian lahan budidaya kerapu sistem keramba jaring apung di

perairan Teluk Ambon Dalam.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum lingkungan perairan

Teluk Ambon Dalam sesuai digunakan sebagai kawasan budidaya laut sistem keramba

jaring apung. Terdapat tiga parameter kualitas perairan yang melebihi baku mutu

25.87%

19.04%

55.08%

Sangat Sesuai (290,51 ha) Sesuai (213,79 ha) Tidak Sesuai (618,48 ha)

Page 14: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

14

lingkungan perairan untuk biota laut yaitu nitrat, fosfat dan oksigen terlarut. Tingkat

kesesuaian perairan Teluk Ambon Dalam untuk kegiatan budidaya kerapu dengan

sistem keramba jaring apung adalah seluas 504,29 ha (kategori sesuai dan sangat sesuai)

atau 44,92% dari keseluruhan luas perairan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Halim Sukma Aji dari

Badan Informasi Geospasial Jawa Tengah yang telah membantu dalam pembuatan peta

kesesuaian lahan untuk penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, T., Bohari, R., Arlyza, I.S., 2014. Analisis Kesesuaian Ruang Berbasis Budidaya

Laut di Pulau-pulau Kecil Makassar: Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Forum

Geografi 28 (1), 91–102.

Bakosurtanal, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang -

Nusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi

Geografis, Cibinong.

Bappekot Ambon, 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ambon Tahun

2011-2031. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekot) Ambon, Ambon.

Beveridge, M.C.M., 2004. Cage Aquaculture, 3rd ed. Blackwell Publishing, London.

368 p.

Boyd, C.E., 1998. Water Quality for Pond Aquaculture, 1st ed. Alabama Agricultural

Experiment Station, Auburn University, Alabama. 37 p.

BSN, 2014. SNI 01-6487.4-2014. Produksi pembesaran ikan kerapu bebek

(Cromileptes altivelis, Valenciennes 1828) di karamba jaring apung (KJA). Badan

Standardisasi Nasional, Jakarta. p 15.

Buitrago, J., Rada, M., Hernandez, H., Buitrago, E., 2005. A Single-Use Site Selection

Technique , Using GIS , for Aquaculture Planning : Choosing Locations for

Mangrove Oyster Raft Culture in Margarita Island , Venezuela. Environmental

Management 35 (5), 544–556. doi:10.1007/s00267-004-0087-9

Chou, R., Lee, H.B., 1997. Commercial Marine Fish farming in Singapore. Aquaculture

Research 28, 767–776.

Cloern, J.E., 2001. Our Evolving Conceptual Model of the Coastal Eutrophication

Problem. Marine Ecology Progress Series 210, 223–253.

Davis, M.L., Cornwell, D.A., 1991. Introduction to Environmental Engineering, 2nd ed.

Mc-Graw-Hill, Inc, New York. 822 p.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

Perairan. Kanisius, Yogyakarta. p 258.

FAO, 1989. Site Selection Criteria for Marine Finfish Netcage Culture in Asia. FAO,

Rome.

Hakanson, L., Bryhn, A.C., 2008. Eutrophication in the Baltic Sea, Nutrien Transport

Processes, Remedial Strategies., 1st ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin.

261 p.

KKP, 2013. Pedoman Teknis Penyusunan Peta Rencana Zonasi WP3K Provinsi dan

Kabupaten/Kota. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Diektorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan

dan Perikanan, Jakarta.

Page 15: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

15

KLH, 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004

Tentang Baku Mutu Air Laut.

Kordi, M.G.K., 2011. Marikultur Prinsip dan Praktik Budidaya Laut, 1st ed. Penerbit

ANDI, Yogyakarta. p 616.

Lee, C.D., Wang, S.B., Kuo, K., 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as

Biological Indicators of Water Quality with Refference to Community Diversity

Index. International Conference of Water Pollutan Control in Developing

Countries, Bangkok, Thailand.

Loka, J., Vaidya, N.G., Philipose, K.K., 2012. Site and species selection criteria for

cage culture, in: Philipose, K.K., Loka, J., Sharma, S.R.K., Damodaran, D. (Eds.),

Handbook on Open Sea Cage Culture. Central Marine Fisheries Research Institute,

Calicut, India, p. 143.

Perez, O.M., Telfer, T.C., Ross, L.G., 2005. Geographical Information Systems-based

Models for Offshore Floating Marine Fish Cage Aquaculture Site Selection in

Tenerife , Canary Islands. Aquaculture Research 36, 946–961. doi:10.1111/j.1365-

2109.2005.01282.x

Prahasta, E., 2013. Mengelola Peta Dijital. Cara Mendapatkan dan Mengelola Peta

Dijital Penting dan Gratis di Internet. Informatika, Bandung.

Rachmansyah, R., 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange

Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng

dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian

Bogor. Bogor. p 274.

Selano, D.A.J., 2009. Analisis Hubungan antara Beban Pencemaran dan Konsentrasi

Limbah Sebagai Dasar Pengelolaan Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Ambon

Dalam. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p 373.

Selano, D.A.J., Adiwilaga, E.M., Dahuri, R., Muchsin, I., Effendi, H., 2009. Sebaran

Spasial Luasan Area Tercemar dan Analisis Beban Pencemar Bahan Organik

Pada Perairan Teluk Ambon Dalam. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan)

19 (2), 96–106.

Sim, S., Rimmer, M., Williams, K., Toledo, J.D., Sugama, K., Rumengan, I., Phillips,

M.J., 2005. Pedoman Praktis Pemberian dan Pengelolaan Pakan untuk Ikan

Kerapu yang dibudidaya. NACA, Bangkok, Thailand. p 18.

Susana, T., 2004. Sumber Polutan Nitrogen dalam Air Laut. Oseana XXIX (3), 25–33.

Sutomo, S., 1989. Pengaruh AmoniaTerhadap Ikan dalam Budidaya Sistem Tertutup.

Oseana XIV (1), 19–26.

Szuster, W.B., Albasri, H., 2010. Site Selection for Grouper Mariculture in Indonesia.

International Journal of Fisheries and Aquaculture 2 (3), 87–92.

Van Der Wulp, S.A., Niederndorfer, K.R., Hesse, K.J., Runte, K.H., Mayerle, R.,

Hanafi, A., 2010. Sustainable Environmental Management for Tropical Floating

Net Cage Mariculture, A Modelling Approach, in: XVIIth World Congress of the

International Commission of Agricultural and Biosystems Engineering (CIGR).

Canadian Society for Bioengineering (CSBE/SCGAB), Quebec City, Canada, pp.

1–10.

Wedemeyer, G.A., 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture Systems, 1st ed.

Springer Science+Business Media, BV. 232 p.

Yulianto, H., 2012. Analisis Kesesuaian dan Luasan Perairan Budidaya Laut

Berdasarkan Peubah Ekosistem di Perairan Teluk Lampung. Tesis. Program Studi

Page 16: ANALISIS KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA KERAPU …bpblambon-kkp.org/wp-content/uploads/2017/05/1.-Lutfi_Kesesuaian... · biofisik perairan seperti kualitas perairan, ... iklim, keberadaan

Jurnal Teknologi Budidaya Laut Volume 6 Tahun 2016

16

Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. p

116.

Yusuf, M., 2013. Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Laut Berkelanjutan di

Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Ilmu Kelautan 18, 20–29.