Analisis Kasus Ham

3
Analisis kasus Pada kasus ini, dokter yang berjaga di ruang IGD, telah melakukan prinsip good clinical practice, karena dokter tersebut sudah melakukan tindakan dengan memeriksa keadaan pasien, dan pemeriksaan CT scan untuk menegakkan diagnosa pasien. Dokter tersebut juga telah melakukan pemasangan kateter urin untuk mengatasi perdarahan yang mungkin terjadi. Setelah pemeriksaan tersebut di lakukanlah penegakkan diagnosa dan juga pelaksanaan standar medis yang menunjang asas profesionalisme seorang dokter dimana harus berpegangan kepada standar SOP (standart operating procedure). Setelah itu, dokter juga telah melakukan prinsip prinsiplisme, dimana dokter sudah mematuhi 4 kaidah dasar etika yaitu prinsip beneficence (berbuat baik) nonmaleficence ( tidak merugikan) otonomi (menghormati hak-hak pasien) dan justice (prinsip yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap). Kaidah prinsiplisme ini di cerminkan oleh dokter dengan cara melakukan tindakan menyelamatkan nyawa pasien saat di IGD, memberi obat-obatan untuk mengatasi keadaan dan di konsulkan ke unit bedah saraf. tindakan ini merupakan tindakan berbuat baik, tidak merugikan dan juga mementingkan keadilan. Walaupun tampaknya prinsip otonomi di langgar pada pasien ini, namun sebenarnya prinsip ini juga telah di tegakkan, karena saat itu pasien dalam keadaan tidak sadar, dan dokter wajib untuk melakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawanya. Pada etika yang di terapkan pada prinsip deontologi dan teleologi pun, kedua prinsip ini menyetujui tindakan dokter yaitu etika berbuat baik dan bertujuan baik. Setelah di konsulkan kepada dokter bedah saraf, dokter menganjurkan agar pasien di lakukan operasi craniotomi dengan maksud untuk mengevakuasi perdarahan dan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dokter kemudian menerangkan tentang indikasi, manfaat, dan risiko prosedur tindakan ini kepada keluarga pasien karena pasien masih belum sadar. Kemudian keluarga langsung menyetujui usulan dokter tersebut. Pada saat ini,

Transcript of Analisis Kasus Ham

Analisis kasus Pada kasus ini, dokter yang berjaga di ruang IGD, telah melakukan prinsip good clinical practice, karena dokter tersebut sudah melakukan tindakan dengan memeriksa keadaan pasien, dan pemeriksaan CT scan untuk menegakkan diagnosa pasien. Dokter tersebut juga telah melakukan pemasangan kateter urin untuk mengatasi perdarahan yang mungkin terjadi. Setelah pemeriksaan tersebut di lakukanlah penegakkan diagnosa dan juga pelaksanaan standar medis yang menunjang asas profesionalisme seorang dokter dimana harus berpegangan kepada standar SOP (standart operating procedure).Setelah itu, dokter juga telah melakukan prinsip prinsiplisme, dimana dokter sudah mematuhi 4 kaidah dasar etika yaitu prinsip beneficence (berbuat baik) nonmaleficence ( tidak merugikan) otonomi (menghormati hak-hak pasien) dan justice (prinsip yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap). Kaidah prinsiplisme ini di cerminkan oleh dokter dengan cara melakukan tindakan menyelamatkan nyawa pasien saat di IGD, memberi obat-obatan untuk mengatasi keadaan dan di konsulkan ke unit bedah saraf. tindakan ini merupakan tindakan berbuat baik, tidak merugikan dan juga mementingkan keadilan. Walaupun tampaknya prinsip otonomi di langgar pada pasien ini, namun sebenarnya prinsip ini juga telah di tegakkan, karena saat itu pasien dalam keadaan tidak sadar, dan dokter wajib untuk melakukan tindakan untuk menyelamatkan nyawanya. Pada etika yang di terapkan pada prinsip deontologi dan teleologi pun, kedua prinsip ini menyetujui tindakan dokter yaitu etika berbuat baik dan bertujuan baik. Setelah di konsulkan kepada dokter bedah saraf, dokter menganjurkan agar pasien di lakukan operasi craniotomi dengan maksud untuk mengevakuasi perdarahan dan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dokter kemudian menerangkan tentang indikasi, manfaat, dan risiko prosedur tindakan ini kepada keluarga pasien karena pasien masih belum sadar. Kemudian keluarga langsung menyetujui usulan dokter tersebut. Pada saat ini, keluarga pasien masih berhak untuk menandatangani suat proxy consent, dimana kekusaan consent ini di berikan kepada keluarga jika pasien tidak memungkinkan untuk dimintai informed consent nya. Namun yang menjadi masalah adalah pada saat follow up mempersiapkan operasi, dan beberapa jam kemudian pasien kesadarannya tampak semakin membaik, bahkan cenderung compos mentis. Pada saat ini, pasien sudah mempunyai kuasa untuk meminta informed consentnya, karena pada saat ini, pasien telah memenuhi threshold elements dimana pasien ini sudah sadar penuh dan sudah berkompetensi atas tubuhnya sendiri. Namun, setelah di berikan informed consent nya, pasien malah menolak untuk di lakukan tindakan kraniotomi, dan pasien memutuskan untuk menandatangani surat penolakan tindakan. Pasien lalu menyayangkan sikap dokter yangtelah menjelaskan prosedur dan resiko operasi langsung kepada pasien. Keluarga lalu meminta dokter agar melakukan tindakan paksa dan meminta agar pasien di beri obat penenang, lalu di bius dan di lakukan operasi. Surat persetujuan operasi di tandatangani oleh keluarga, dan surat penolakan tindakan yang di tandatangani pasien di nyatakan batal.Sikap kami pada kasus di atas, dimana keluarga meminta tindakan secara paksa, tidak dapat di benarkan dan di ikuti karena bisa melawan hukum dimana pada pasal 351 KUHP di sebutkan bahwa melakukan tindakan tanpa persetujuan pasien di masukkan pada pasal penganiayaan. Namun, pada prinsip etika sendiri tindakan untuk melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa pasien dapat di benarkan. Prinsip deontologi dan teleologi menyetujui bahwa pasien harus di selamatkan nyawanya dengan melakukan tindakan operasi. Prinsiplisme yaitu prinsip beneficence, nonmaleficence pun menyetujui untuk melakukan tindakan. Namun pada prinsip otonomi, prinsip ini di langgar karena melakukan tindakan secara paksa tidak menghormati hak-hak pasien. Maka, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa pada pasien ini harus di tingkatkan kesadaran bahwa dirinya dalam keadaan yang tidak aman, dengan memberi tahu apa yang akan terjadi jika tidak di lakukan operasi. Komunikasi di sini amat penting untuk mempengaruhi keputusan pasien. Sebaiknya saat di berikan informasi dan komunikasi pasien juga di dampingi oleh keluarganya, agar keluarganya dapat merayu pasien untuk di lakukan tindakan tersebut. Komunikasi dan informasi disini juga merupakan salah satu komponen dari informed consent yang sangat kuat pengaruhnya. Namun, jika pasien masih saja tidak ingin dirinya di operasi, maka sikap kita hanya memberikan obat-obatan konservatif, dan memfollow up pasien, dengan mempertimbangan bahwa pasien sudah menandatangani surat penolakan tindakan medis. Surat inilah yang nantinya bisa menjadi bukti di pengadilan jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dari operasi tersebut, misalnya terjadi suatu side effect dari kraniotomi tersebut.

1. Dapus : Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. 1st ed. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005.