ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS - www1 · PDF filedituangkan ke dalam isu-isu strategis untuk...
Click here to load reader
Transcript of ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS - www1 · PDF filedituangkan ke dalam isu-isu strategis untuk...
138
BAB III
ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS
Provinsi Aceh untuk waktu 20 (dua puluh) tahun mendatang menghadapi
permasalahan dan tantangan baik yang bersifat lokal (daerah) maupun yang
bersifat global. Berdasarkan permasalahan dan tantangan ini maka selanjutnya
dituangkan ke dalam isu-isu strategis untuk memberi arahan dalam perumusan
visi dan misi serta arah kebijakan pembangunan Aceh tahun 2005-2025.
3.1. Permasalahan dan Tantangan Provinsi Aceh
Konteks kekinian dari Provinsi tidak terlepas dari dua peristiwa besar
yaitu konflik dan bencana gempa bumi dan tsunami, kedua peristiwa ini
mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat Aceh. Berbagai indikator
pembangunan menunjukkan kecenderungan memburuk akibat dari kedua
peristiwa tersebut. Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang terus-
menerus mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana
alam melengkapi penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan
infrastruktur fisik, ekonomi dan sosial pada skala masif.
Tahun 2005 merupakan babak baru kehidupan masyarakat Aceh yang
ditandai dengan berlangsungnya proses rehabilitasi dan rekonstruksi dan
kesepakatan damai melalui penandatanganan MoU Helsinki pada tanggal 15
Agustus 2005. Namun, proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang didukung oleh
berbagai lembaga nasional dan internasional hanya bersifat sementara (2005-
2009). Demikian juga dengan perdamaian di Aceh masih sangat muda sehingga
berbagai struktur sosial ekonomi yang rusak akibat konflik belum sepenuhnya
pulih, hal ini dapat menjadi permasalahan dan tantangan pembangunan Aceh ke
depan.
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
139
Sejak tahun 2001, Provinsi Aceh telah mendeklarasikan pelaksanaan
Syariat Islam. Namun, Nilai-nilai Islami belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan Syariat, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap
Syariat Islam masih belum sempurna. Demikian juga dengan adat istiadat dan
budaya telah mengalami pergeseran. Hal ini menjadi tantangan masyarakat Aceh
untuk dapat mempertahankan jati diri sebagai masyarakat yang islami. Ketahanan
dan kecerdasan ini perlu ditingkatkan dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Aceh memasuki masa transisi ekonomi dimana kegiatan ekonomi
sekunder mulai mengalami peningkatan. Proses transisi ini memberikan dampak
pada alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman,
perkantoran, pertokoan dan pusat-pusat komersial lainnya. Demikian juga halnya
dengan fungsi lahan hutan yang mengalami perubahan menjadi lahan
perkebunan dan penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan RTRW Aceh.
Meningkatnya kegiatan eksploitasi sumberdaya alam seperti kegiatan
penambangan liar dan alih fungsi lahan hutan menyebabkan degradasi
lingkungan yang dicirikan semakin luasnya lahan kritis dan lahan terlantar. Hal
ini juga dipicu dengan adanya kebijakan dan implementasinya yang tidak sesuai
dengan daya dukung lingkungan. Selanjutnya, Aceh juga merupakan salah satu
daerah rawan bencana terutama gempa bumi dan tsunami, banjir dan longsor
karena terletak pada lintasan pertemuan lempeng Indo-Australia dan Euro Asia
serta dipengaruhi oleh iklim tropis dan alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan
aturan.
Kualitas sumberdaya manusia (SDM) Aceh mengalami kecenderungan
peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Namun jika dikomparasikan dengan
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
140
pencapaian rata-rata nasional, kualitas SDM Aceh yang direpresentasikan dengan
indeks pembangunan manusia (IPM) masih lebih rendah dari IPM nasional.
Selanjutnya, kualitas SDM sangat menentukan untuk dapat bersaing dalam era
globalisasi. Daya saing SDM Aceh masih tergolong rendah yang dicirikan dengan
masih terbatasnya jumlah lulusan SDM kejuruan yang memiliki keterampilan
(skill), jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi masih rendah dan rasio
ketergantungan penduduk usia produktif dengan jumlah penduduk masih tinggi.
Berdasarkan angka rata-rata nasional, penduduk miskin Aceh masih
tergolong tinggi. Demikian juga halnya dengan ketimpangan antar wilayah masih
tergolong tinggi dan daerah tertinggal di Aceh masih banyak, termasuk
didalamnya daerah-daerah perbatasan dengan provinsi dan negara tetangga. Usia
harapan hidup masyarakat Aceh berada di bawah rata-rata nasional. Penyebab
kematian utama di Aceh dikarenakan oleh penyakit non infeksi seperti strok,
hipertensi dan diabetes mellitus. Selain itu daerah Aceh dikenal sebagai daerah
endemik penyakit menular seperti DBD, malaria dan diare.
Aceh memasuki fase transisi kependudukan dimana terdapat peningkatan
rasio ketergantungan hidup yang dapat menurunkan tingkat kesejahteraan akibat
beban tanggungan hidup yang meningkat. Hal ini juga menyebabkan penurunan
tabungan dan investasi yang dimiliki masyarakat guna meningkatkan
kesejahteraan menjadi terbatas.
Sesuai dengan RTRW Nasional dan RTRW Aceh, beberapa
kabupaten/kota telah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan strategis. Namun
pengembangan wilayah ini masih belum terlaksana seperti yang diharapkan.
Sehingga masih terlihat ketimpangan pembangunan antar wilayah
kabupaten/kota. Demikian juga dengan posisi strategis Aceh yang berbatasan
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
141
langsung dengan beberapa Negara tetangga dan didukung dengan UU Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan aturan Pelaksanaannya dengan
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh
dengan Lembaga/Badan di Luar Negeri pada hakikatnya menjadi peluang untuk
melakukan kerjasama dalam berbagai bidang yang mendukung pembangunan
Aceh. Namun peluang ini masih belum dapat dimanfaatkan dengan optimal.
Pembiayaan pembangunan Aceh juga masih tertumpu pada pendanaan
yang bersumber dari Pemerintah sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan
dalam jumlah besar seperti infrastruktur tidak dapat dilaksanakan dengan
maksimal. Dalam konteks ini, peran dunia usaha untuk mendukung pendanaan
pembangunan masih belum memungkinkan karena belum adanya regulasi yang
mengatur peran dunia usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh
mendapatkan bantuan dana otsus selama 20 tahun terhitung sejak tahun 2008-
2027 yang setara dengan 2 persen dari DAU nasional untuk jangka waktu 15
tahun pertama dan 1 persen untuk 5 tahun terakhir. Mengingat waktu
pengelolaan dana yang terbatas maka perlu dikelola dengan lebih optimal dan
profesional.
Kondisi saat ini produksi migas Aceh semakin menurun dan diperkirakan
akan berakhir pada tahun 2014 sehingga mempengaruhi sumber pendanaan
pembangunan dari sektor migas. Permasalahan ini akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi Aceh. Seiring dengan menurunnya cadangan migas Aceh,
maka sektor pertanian menjadi andalan yang memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi Aceh dan penyerapan tenaga kerja. Namun sektor
pertanian ini belum didukung dengan peningkatan nilai tambah komoditi
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
142
andalan masing-masing wilayah melalui perbaikan mutu dan pengolahan
komoditas untuk mendorong peningkatan nilai tambah daerah. Demikian juga
halnya terhadap sektor kelautan dan perikanan masih belum mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan nelayan karena sebagian besar nelayan Aceh
merupakan nelayan tradisional.
Infrastruktur dasar yang dibutuhkan untuk mempercepat pergerakan
penumpang dan barang dari satu lokasi ke lokasi lain masih sangat minim,
demikian juga dengan pengelolaan sumber daya air (pengairan dan air minum)
yang belum optimal. Demikian juga dibidang kelistrikan mengalami defisit energi
yang sangat besar, yang selama ini kebutuhan itu masih dipasok dari Sumatera
Utara sehingga mengalami kehilangan arus dalam proses pendistribusiannya.
Sehingga kebutuhan energi untuk daerah-daerah terpencil masih belum
terjangkau.
Disamping itu, permasalahan defisit energi karena belum
dimanfaatkannya sumber energi alternatif seperti energi panas bumi, energi air,
tenaga angin serta sumber energi alternatif lainnya. Pemanfaatan sumberdaya
mineral untuk mendukung pembangunan Aceh masih belum optimal, karena
potensi ini masih belum dapat dimanfaatkan oleh investor akibat kurangnya
informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi.
Pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals) merupakan permasalahan dan tantangan global yang harus dituntaskan
oleh Pemerintah Aceh. Tujuan pembangunan milenium memiliki 8 (delapan)
indikator yaitu: (1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) Mewujudkan
pendidikan dasar, (3) Meningkatkan kesetaraan jender dan pemberdayaan
perempuan, (4) Mengurangi angka kematian bayi, (5) Meningkatkan kesehatan
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
143
ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, (7) Pengelolaan
lingkungan hidup yang berkelanjutan dan (8) Mengembangkan kemitraan global
dalam pembangunan.
Kesepakatan kerja sama IMT-GT di tandatangani pada tahun 1993 dan
kerjasama China-AFTA (ASEAN Free Trade Area) akan dimulai oleh masyarakat
ekonomi ASEAN dengan China pada tahun 2011. Hal ini menuntut perlunya
kerjasama yang semakin efektif di tingkat regional sebagai basis penting dalam
mendukung peningkatan ketahanan nasional. Selain itu juga menjadi peluang
pasar bagi produk unggulan daerah untuk mempercepat peningkatan
pertumbuhan pembangunan ekonomi regional.
Untuk mendukung ekspor/impor Indonesia wilayah barat, Sabang
ditetapkan sebagai pelabuhan bebas, namun sampai saat ini pelabuhan bebas
Sabang belum berkembang secara optimal.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat
penting untuk dapat bersaing di era globalisasi dan mendukung pembangunan
Aceh. Dalam konteks ini, Provinsi Aceh masih memiliki beberapa permasalahan
antara lain: terbatasnya penguasaan IPTEK, rendahnya pemanfaatan hasil IPTEK
oleh masyarakat dan dunia usaha dan belum terjalinnya kolaborasi riset antara
universitas dengan dunia usaha yang didukung oleh pemerintah.
Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan masih merupakan
permasalahan yang harus dihadapi karena berdampak pada lingkungan dan
kehidupan masyarakat. Belum adanya upaya-upaya pencegahan dan adaptasi yang
dilakukan secara optimal sehingga menyebabkan semakin menurunnya kualitas
lingkungan yang berdampak terhadap berbagai sendi kehidupan.
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
144
3.2. Analisis Isu-isu Strategis
Kondisi Aceh yang baru lepas dari bencana tsunami dan konflik
memberikan sebuah peluang sekaligus tantangan yang sangat besar bagi
pembangunan Aceh.
3.2.1. Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi melalui komitmen pendanaan yang
sangat besar dari Pemerintah Indonesia dan Lembaga Donor Internasional
diharapkan dapat membangun kembali Aceh secara lebih baik. Kucuran dana dan
kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan pergerakan ekonomi yang lebih baik. Namun kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi dibatasi oleh pendanaan dan waktu yang terbatas (2005-2009)
sehingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dituntaskan dan
memfungsionalkan hasil-hasil yang telah dicapai.
3.2.2. Kerentanan Perdamaian
Perdamaian di Aceh memberikan ruang ideal bagi tumbuhnya
kesejahteraan. Proses reintegrasi pihak-pihak yang bertikai harus berjalan secara
hati-hati dan sempurna. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa banyak
masyarakat yang baru selesai dari konflik kembali terjebak kepada kekerasan
karena proses reintegrasi berjalan timpang, sektoral dan tidak adil. Pelestarian
perdamaian yang merupakan prasyarat bagi efektifitas pembangunan di Aceh
harus dipastikan dengan program pembangunan yang terpadu dan menyentuh
segala lapisan dan golongan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh.
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
145
3.2.3. Pemantapan Syariat Islam dan Ketahanan Budaya
Nilai-nilai Islami belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan tuntunan
Syariat, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
berkaitan dengan tingkat pemahaman masyarakat terhadap Syariat Islam masih
belum sempurna. Makin terbukanya Aceh pasca tsunami dan konflik serta
derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi merupakan faktor eksternal. Hal ini menjadi tantangan masyarakat
Aceh untuk dapat mempertahankan jati diri sebagai masyarakat yang islami.
Selama ini pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi cenderung
merusak jati diri Aceh. Karenanya perlu dilakukan pemantapan akidah dan
pemahaman Syariat untuk meningkatkan ketahanan (resilience) budaya dan
kecerdasan masyarakat Aceh terhadap infiltrasi budaya asing yang dapat merusak
akidah. Ketahanan dan kecerdasan ini perlu ditingkatkan dalam menghadapi
tantangan globalisasi.
3.2.4. Integrasi Dana Pembangunan belum Optimal
Sumber pendanaan untuk pembangunan Aceh yang berasal dari
Pendapatan Asli Aceh (PAA dan PAK), Dana Perimbangan, Dana Otonomi
Khusus yang sesuai dengan UU PA, dan lain-lain pendapatan yang sah selama ini
belum terintegrasi secara strategis dan optimal.
3.2.5. Penurunan Sumber Penerimaan Daerah dari Migas
Era hidro-karbon di Aceh terus menurun yang ditandai dengan terus
berkurangnya produksi minyak dan gas. Sedangkan sumber-sumber minyak dan
gas baru belum ditemukan. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, kontribusi
sektor minyak dan gas tidak lagi dominan terhadap perekonomian Aceh dan telah
diganti oleh sektor pertanian. Kondisi ini mengharuskan perubahan fokus
pemerintah untuk mengoptimalkan sumber penerimaan Aceh dari non migas.
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
146
3.2.6. Alih Fungsi Lahan Semakin Meluas
Alih fungsi lahan yang dapat menyebabkan kecendrungan perubahan
fungsi suatu lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya semakin meluas di
Provinsi Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya revitalisasi kebijakan, sosialisasi,
pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya.
3.2.7. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM Aceh masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Nasional.
Demikian juga dengan disparitas IPM antar kabupaten/kota masih tinggi, dimana
IPM di perkotaan pada umumnya lebih tinggi dari perdesaan. Hal ini dipengaruhi
oleh kinerja pembangunan ekonomi dan pelayanan dasar yang masih rendah
sehingga harus ditingkatkan.
3.2.8. Pemanasan Global dan Tingkat Pencemaran Lingkungan
Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan berdampak
terhadap aktivitas dan kehidupan manusia. Perubahan pola hujan, sirkulasi angin,
kenaikan muka air laut, rusaknya terumbu karang merupakan wujud daripada
perubahan iklim. Demikian juga dengan tingkat pencemaran lingkungan yang
harus diwaspadai. Karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan dan
adaptasi dari pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan ini sehingga
kualitas lingkungan hidup tetap terpelihara.
3.2.9. Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Tanggap Bencana
Pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam secara tidak
terkendali dapat menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari
eksploitasi sumberdaya alam seperti hutan secara besar-besaran tanpa diimbangi
dengan kegiatan rehabilitasi atau pemulihan fungsi hutan secara proporsional dan
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
147
kegiatan penambangan yang tidak terkendali sehingga berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan yang dapat menimbulkan bencana. Oleh karena
itu, pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara terkendali dan
meningkatkan nilai tambah produk sumberdaya alam. Disamping itu,
pemanfaatan sumberdaya alam harus berorientasi kepada pemanfaatan
sumberdaya alam terbaharukan dan jasa lingkungan seperti wisata lingkungan,
perdagangan karbon dan pemanfaatan sumberdaya hutan non kayu.
Aceh terletak pada lintasan pertemuan lempeng Indo-Australia dan Euro
Asia serta dipengaruhi oleh iklim tropis. Kenyataan ini membuat bencana
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi hal yang sangat
penting dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar.
3.2.10. Pertanian Menjadi Sektor Harapan
Kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Aceh menempati urutan
pertama dari segi Pendapatan Domestik Bruto Regional (PDRB non migas). Sektor
ini juga menyerap hampir setengah dari tenaga kerja. Hal ini menunjukkan
pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Aceh. Namun sektor
ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani dan
nelayan. Hal ini diindikasikan dengan masih rendahnya Nilai Tukar Petani (NTP)
gabungan rata-rata yaitu sebesar 98,68 persen yang disebabkan oleh rendahnya
produktivitas komoditi, jumlah dan kualitas SDM di bidang pertanian masih
terbatas, kurang sarana dan prasarana pendukung lainnya serta masih lemahnya
jaringan pasar.
3.2.11. Peningkatan Nilai Tambah Daerah
Tingkat pertambahan nilai dari komoditas pertanian sebagai produksi
utama Aceh masih rendah karena belum tersedia sarana dan prasarana
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
148
pendukung dan SDM yang memadai. Sebagian besar ekspor yang dilakukan
berupa bahan mentah sehingga pengolahan komoditas pertanian menjadi penting
untuk memberi nilai tambah, membuka peluang tenaga kerja dan memperluas
serapan pasar terhadap komoditas. Karena itu, perubahan paradigma
pembangunan sektor pertanian mutlak diperlukan dengan prioritas peningkatan
nilai manfaat dari produk-produk pertanian Aceh.
3.2.12. Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan belum Optimal
Aceh memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang diantaranya
terdiri dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Namun potensi tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal yang berkaitan dengan ketersediaan benih,
penanganan penyakit, penanganan pasca panen, infrastruktur pertambakan dan
pemasaran.
Perikanan tangkap masih menghadapi beberapa hambatan seperti
terbatasnya armada yang berjelajah tinggi, rendahnya teknologi penangkapan,
belum memadainya teknologi pengolahan, kapasitas SDM yang rendah. Sehingga
nelayan Aceh kalah bersaing dengan nelayan-nelayan internasional lainnya.
Sebagian besar nelayan Aceh merupakan nelayan tradisional yang memiliki
sarana dan teknologi tangkap yang minim serta daya jelajah yang terbatas.
Kondisi ini tidak ideal karena wilayah laut teritorital (12 mil) dan Zona Ekonomi
Ekslusive (200 mil) belum termanfaatkan secara optimal.
3.2.13. Tingginya Beban Tanggungan Hidup Penduduk
Rasio ketergantungan hidup merupakan perbandingan jumlah penduduk
usia produktif (15-55 tahun) berbanding jumlah penduduk usia non produktif
(<15 tahun dan >55 tahun). Rasio ketergantungan hidup di Provinsi Aceh
cenderung meningkat sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan karena
beban tanggungan hidup yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
149
produktivitas, rendahnya kesempatan kerja dan belum terkendalinya
pertumbuhan penduduk.
3.2.14. Pengembangan Wilayah Strategis
Secara geografis, Provinsi Aceh memiliki peluang untuk berkembang
karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan lautan Hindia. Demikian
juga dengan telah ditetapkannya Sabang sebagai PKSN dalam tata ruang nasional,
UU Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti
UU Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Sabang Sebagai Pelabuhan Bebas demikian juga dalam UU
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh menetapkan Pelabuhan
Sabang sebagai Hubport yang berfungsi sebagai Pelabuhan Ekspor/Impor
Internasional dan Pelabuhan Transit yang berpeluang untuk dikembangkan.
Namun, pertumbuhan kawasan tersebut masih belum berkembang seperti yang
diharapkan karana sarana dan prasarana belum memadai. Disamping itu,
pengembangan wilayah kabupaten/kota yang belum seimbang dan terintegrasi
antara wilayah barat, tengah dan wilayah timur.
3.2.15. Rendahnya Daya Saing
Daya saing sumberdaya manusia (SDM) Aceh masih tergolong rendah. Hal
ini tergambar dari rasio tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dengan jumlah
penduduk masih kecil dan jumlah lulusan sekolah kejuruan yang menguasai
ketrampilan masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Disisi
lain, kualitas SDM masih perlu ditingkatkan untuk menghadapi tantangan
globalisasi yang semakin berat. Demikian juga rasio ketergantungan hidup
penduduk usia produktif Aceh masih tinggi, sehingga produktivitasnya terbatas.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan daya saing SDM tidak hanya terbatas
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
150
pada peningkatan jumlah tetapi juga terhadap peningkatan kualitas SDM yang
dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan (kurikulum, tenaga pengajar dan
fasilitas), peningkatan kerjasama dengan dunia usaha serta memperluas
kesempatan magang, pelatihan dan studi lanjut.
Dalam skala yang lebih luas, tumbuhnya raksasa ekonomi global di masa
depan, seperti Cina dan India, perlu dipertimbangkan secara cermat di dalam
menyusun pengembangan perekonomian Aceh. Oleh karena itu, daya saing SDM
merupakan indikator kunci agar Aceh dapat menghadapi persaingan global.
3.2.16. Rendahnya Peran Dunia Usaha dalam Pembangunan
Pembangunan dalam rangka peningkatan ekonomi Aceh membutuhkan
dukungan dari dunia usaha yang selama ini masih belum berperan seperti yang
diharapkan. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang belum memihak kepada dunia
usaha, reformasi di sektor keuangan yang masih terbatas, jumlah tenaga kerja
profesional yang masih terbatas dan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung
lainnya. Dengan demikian, peran asosiasi dunia usaha sangat diperlukan dalam
meningkatkan peran dunia usaha dalam pembangunan.
3.2.17. Pengembangan Sumberdaya Energi dan Mineral
Kapasitas listrik di Aceh hingga kini belum memadai untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga, usaha, umum dan industri. Kondisi saat ini baru 60
persen yang terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga yang sebagian besar
dipasok dari Sumatera Utara. Sementara itu, untuk kebutuhan energi listrik untuk
mendukung dunia usaha dan industri masih belum tersedia. Diperkirakan untuk 5
tahun kedepan Aceh membutuhkan pasokan listrik sekitar 500 MW. Pada tahun
2025 diperkirakan kebutuhan energi listrik sebesar 7.131 MW.
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
151
Untuk mengatasi kendala kebutuhan energi listrik difokuskan pada energi
terbaharukan (non fosil) antara lain; energi panas bumi, energi air, tenaga angin
dan tenaga surya. Beberapa sumber energi terbarukan tersebut sudah mulai
dikembangkan seperti energi panas bumi Seulawah Agam di Kabupaten Aceh
Besar, energi tenaga air Krueng Peusangan dan energi tenaga angin Kluet Selatan
di Aceh Selatan. Sementara itu, sumber energi terbarukan lainnya masih pada
tahap pengkajian dan perlu ditindaklanjuti sebagai prioritas pembangunan jangka
panjang.
Aceh memiliki sumberdaya mineral yang cukup potensial, namun belum
dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Bebarapa potensi pertambangan di wilayah Aceh
mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara (minerba), minyak
dan gas bumi (migas), panas bumi, dan air tanah. Potensi pertambangan yang
telah teridentifikasi terdiri dari; bahan tambang strategis (golongan A), bahan
tambang vital (golongan B), dan bahan tambang golongan C (bahan galian).
Potensi ini masih belum dimanfaatkan oleh investor dari dalam dan luar Aceh
akibat kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi.
3.2.18. Kemiskinan, Daerah Tertinggal dan Ketimpangan Wilayah
Persentase penduduk miskin di Aceh masih tergolong tinggi (21,80%)
yang melebihi angka rata-rata Nasional (14,20%) bahkan pada tahun 2009 tingkat
kemiskinan Aceh berada pada urutan ke tujuh tertinggi di Indonesia. Penduduk
miskin umumnya berada di perdesaan pada 17 Kabupaten dari 23 Kabupaten/Kota
di Provinsi Aceh. Hal ini mengindikasikan permasalahan kemiskinan di Aceh
merupakan hal mendasar yang harus ditangani secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Demikian juga dengan indeks ketimpangan wilayah Aceh
masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan nilai indeks ketimpangan rata-
Bab III Analisis Isu-Isu Strategis
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun 2005-2025
152
rata Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan pembangunan antar wilayah di Aceh
perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah.
3.2.19. Beban Ganda Kesehatan
Penyebab kematian utama di Aceh adalah penyakit tidak menular seperti
Stroke, Hipertensi dan Diabetes Mellitus. Sementara itu, pada saat yang sama
prevalensi penyakit infeksi menular juga masih menjadi permasalahan kesehatan
di Aceh seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), diare, typhus, malaria dan
hepatitis. Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa Aceh menghadapi beban
ganda pembiayaan kesehatan.
3.2.20. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Provinsi Aceh masih terbatas dalam penguasaan dan pemanfaatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) yang mendukung pembangunan. Hal ini
tercermin dari rendahnya kontribusi iptek di sektor produksi dan nilai tambah,
belum efektifnya mekanisme intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan, belum
berkembangnya budaya iptek di masyarakat, dan terbatasnya sumber daya iptek
serta hak intelektual (paten) yang dihasilkan masih terbatas. Berbagai hasil
penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi belum dapat dimanfaatkan
oleh pihak industri dan masyarakat. Kolaborasi riset antara universitas dengan
dunia usaha dan pemerintah masih belum sinergis.