ANALISIS HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH...
Transcript of ANALISIS HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH...
����
�
BAB IV
ANALISIS HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG
TERHADAP UPAYA PERMOHONAN KASASI JAKSA PENUNTUT UMUM�
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
4.1. Faktor Penyebab Terjadinya Kesalahan Penerapan Hukum Judex Facti
Dalam Putusan Hakim�Pengadilan Negeri
Dalam sistem peradilan pidana hakim sangat penting peranannya dalam
penegakan hukum apalagi dihubungkan dengan penjatuhan hukuman pidana
terhadap seseorang harus selalu didasarkan kepada keadilan yang berlandaskan
atas hukum48
. Hakim dan kewajiban-kewajibannya seperti tersirat dalam Pasal 5
ayat (1) Undang-undang No. 48 tahun 2009 adalah sebagai 'sense of justice of the
people".
Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 dalam Pasal 5 disebutkan: (1)
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa.
Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas
perkara-perkara di Pengadilan atau 'agent of conflict". Tetapi seharusnya juga
mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki
������������������������������������������������������������53 Soerjono Soekanto, Penegaklan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983.
����
�
kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai
keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama,
kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui
setiap putusan yang dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim
itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang
dihasilkan.
Pelaksanaan peran Hakim sebagai komponen utama lembaga peradilan,
sekaligus sebagai bagian yang strategis dan sentral dari kekuasaan kehakiman,
selain memberikan kontribusi dalam melaksanakan misi institusinya, juga menjadi
kontributor dalam proses pelayanan publik dalam�menegakkan hukum, keadilan
dan kebenaran. Di sisi yang lain, juga akan berimplikasi nyata terhadap
pemenuhan tanggung jawab kelembagaan kekuasaan kehakiman. Semakin
berkualitas putusan yang dihasilkannya, maka peran lembaga yudikatif ini akan
semakin dirasakan kontribusi dan manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan
negara.
Perjuangan Oliver Wendel Holmes, Hakim Agung Amerika Serikat yang
populer itu yang dengan perannya itu begitu gigih berupaya membebaskan dunia
hukum pada umumnya, dan dunia peradilan pada khususnya, dari belenggu
"formalisme-positivisme", kiranya layak untuk disimak dan ditiru aspek positifnya.
Karena dengan perjuangannya, kemudian masyarakat dan terutama pencari
keadilan merasakan bahwa produk hukum, termasuk putusan pengadilan dapat
lebih dekat dan memihak pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak lagi
����
�
memerankan dirinya sekedar "terompet Undang-undang", melainkan
menempatkan posisinya sebagai "living intetpretator" dari rasa keadilan
masyarakat.
Atas dasar pemikiran tersebut kinerja profesi hukum (khususnya hakim),
bukan hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan (ilmu) hukum dan mempunyai
keterampilan dalam menerapkan hukum. Di samping itu, ada aspek lain yang lebih
penting, yaitu memiliki integritas berkepribadian atau moralitas yang tinggi. Ilmu
hukum dan profesi hukum berhubungan dengan manusia dan kemanusiaan, moral
dan dunia lainnya. Ilmu hukum dan profesi hukum, dengan konsep-konsep ideal
yang abstrak (yang sebagian dituangkan dalam teks-teks hukum) di satu pihak,
dan dunia kenyataan, di lain pihak.
Kedudukan dan peran hakim dalam menjalankan fungsinya yang luhur dan
mulia untuk hukum dan keadilan melalui badan-badan peradilan, tidaklah mudah.
Mudah diucapkan, namun sukar dilaksanakan. Karena hakim dalam mengemban
amanat tersebut, serta merta terbebas dari godaan-godaan duniawi. Ironisnya,
tidak sedikit hakim yang gagal mengemban amanat serta kepercayaan yang
diletakkan di pundaknya itu, yang selain menciderai rasa keadilan masyarakat,
juga merusak citra, harkat dan martabat peradilan dan pribadi hakim itu sendiri.
Karena putusan yang dibuatnya, jauh bahkan bertentangan dengan hukum,
keadilan dan kebenaran.
Para pencari keadilan akan sangat kecewa apabila putusan hakim tersebut
tidak rasa keadilan. Lebih-lebih jika tidak ada kepastian hukum tiada kepastian
����
�
kapan putusan hakim dijatuhkan dan kapan pula dapat dilaksanakan. "Justice
delayed is justice denied". Kredibilitas semacam inilah yang kini banyak
dipertanyakan. Selain tidak profesional, diduga keras terdapat indikasi Korupsi
Kolusi Nepotisme dalam proses putusan hakim di semua jenjang dan tingkatan.
Untuk mendapatkan hakim yang berkualitas, profesional, bertanggung
jawab, adil dan benar diperlukan juga pemberian penghargaan yang layak. Selain
itu masih juga diperlukan manajemen dan kontrol terhadap kinerja hakim secara
proporsional dan profesional, penerapan sistem 'reward and punishment" secara
tepat, pendidikan dan pelatihan profesi secara terstruktur, terprogram dan
berkelanjutan, integritas, moralitas dan dedikasi. Menurut Widjojanto diperlukan ,
"public complain council" agar masyarakat memiliki akses untuk memantau
berbagai penyelewengan hakim yang tidak sesuai dengan peran, fungsi dan
kewajiban hukumnya tersebut.
Pada Bab III di kemukakan beberapa putusan Hakim pengadilan negeri telah
memutus tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perundang-
undangan,� yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi Pada tingkat Mahkamah
Agung, ada beberapa kasus yang diputus dan akibatnya terpidana harus menjalani
masa hukumnya sesuai dengan putusan Mahkamah Agung, seperti contoh dalam
����
�
kasus penelitian ini yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 1565/K/Pid/2004,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1500/K/Pid/2006, dan putusan Mahkamah
Agung Nomor. 2057/K/Pid.Sus/2009.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor:
126/Pid.B/2003/PN. PMS tanggal 19 Februari 2004, yang menyatakan :
1. Menyatakan bahwa ia Terdakwa Ir. Henry Panjaitan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan
Primair dan dakwaan Subsidair Jaksa Penuntut Umum ;
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair dan
dakwaan Subsidair tersebut ;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan harkat dan martabatnya.
Dipergunakan sebagai barang bukti dalam perkara atas nama Terdakwa
Ir. Johannes Napitupulu.
Setelah membaca Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum tanggal 18 Desember
2003 yang isinya adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Ir. Henry Panjaitan bersalah melakukan tindak
pidana “Korupsi secara bersama-sama” sebagaimana diatur dalam pasal
2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHPidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair ;
����
�
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ir. Henry Panjaitan berupa
pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dengan perintah agar Terdakwa
ditahan ;
3. Denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsidair 6
(enam) bulan kurungan ;
4. Membayar uang pengganti kerugian Negara sebesar Rp.247.070.000,-
(dua ratus empat puluh tujuh juta tujuh puluh ribu rupiah) subsidair 2
(dua) tahun penjara.
5. Menyatakan barang bukti :
a. SK Walikota Pematang Siantar No.050-24/WK-Tahun 2002 tanggal
28 Januari 2002 tentang pengangkatan perangkat organisasi
pelaksana proyek dan alokasi umum anggaran belanja pembangunan
kota Pematang Siantar khusus untuk proyek pembangunan kios
darurat Pasar Horas Pematang Siantar
b. Surat DPRD kota Pematang Siantar Nomor : 170/6738/DPRD/I/2002
tanggal 25 Januari 2002 tentang persetujuan prinsip DPRD kota
Pematang Siantar atas Pembangunan Kios Darurat Pasar Horas ;
c. RAB Proyek Pembangunan Kios Darurat Pasar Horas Pematang
Siantar senilai Rp.1.400.368.000,-
���
�
d. RAB Proyek Pembangunan Kios Darurat Pasar Horas Pematang
Siantar senilai Rp.1.287.310.700,-
e. Surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan (kontrak) pembangunan kios
darurat Pasar Horas Pematang Siantar Nomor :
010/Pemb/TK/II/2002 tanggal 11 Februari 2002.
f. Dan Bukti-bukti lainnya..
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Pematangsiantar telah
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan
Pengadilan Negeri Pematang Siantar. Walaupun Hakim Pengadilan Negeri
Pematang Siantar� telah membebaskan terdakwa Ir. Henry Panjaitan dari semua
dakwaan.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Limboto No. 52/PID.B/2005/PN.
LBT. tanggal 15 Maret 2006, yang menyatakan :
1. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya dalam dakwaan Primair, Subsidair dan Lebih Subsidair ;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan ;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya.
����
�
Setelah membaca Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
di Gorontalo tanggal 1 September 2005 sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Korupsi "
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
dalam surat dakwaan Primair kami maupun Pasal 9 UU No.31 Tahun
1999 jo. UU No.20�Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam
surat dakwaan Primair kami maupun Pasal 9 UU No.31 Tahun 1999 jo.
UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan dan Penambahan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 (1) ke-1 KUHP
dalam dakwaan Lebih Subsidair ;
2. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana " Korupsi "
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP dalam surat dakwaan Subsidair ;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa
dalam tahanan sementara, dengan perintah agar Terdakwa ditahan ;
����
�
4. Membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),
subsidair 6 (enam) bulan kurungan ;
5. Membayar uang pengganti sebesar Rp. 431.447.730 - (empat ratus tiga
puluh satu juta empat ratus empat puluh tujuh ribu tujuh ratus tiga puluh
rupiah) dan jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terpidana
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk mmbayar uang
pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 1 (satu) tahun.
6. Menetapkan Barang bukti berupa :
a. Surat Nomor : UM.01.03/PPBPP-GTO/UM/2004 tanggal 2 Agustus
2004 yang ditanda tangani oleh Pimpro Rokim Bagyo Yuwono, ST. ;
b. Surat Menteri Pekerjaan Umum Nomor : UM.03.09-Mn/70 tanggal
10 Desember 2004 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan RI.
Perihal Penyampaian Rincian Alokasi ABT Sektoral ;
c. Surat Perintah Pemimpin Bagian Proyek No. SPT/ BPPBPPGTO/
2004/ 148 tanggal 29 Desember 2004/148 tanggal 29 Desember
2004.
d. Surat Perintah Membayar dari Menteri Keuangan RI yang diterbitkan
oleh KPKN Gorontalo an. Menteri Keuangan Nomor : 747653
����
�
Y/050/114 tanggal 30-12-2004 yang ditandatangani oleh Haryatno
dengan nilai Rp. 3.798.765.000,- dengan lampirannya yang
menyatakan proyek sudah selesai 100 %.
e. Foto copy Surat Perintah Membayar Nomor : 10143304 tanggal 30-
12-2004 untuk pembayaran Angsuran Pertama Pengendalian Banjir
Sungai Lemito senilai Rp. 3.384.354.272,- ;
f. Dan Bukti-bukti lainnya..
Dari fakta hukum yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagaimana
terurai di atas jelaslah bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, akan tetapi
Majelis Hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut
memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan kepadanya, atau dengan kata lain
perbuatan Terdakwa telah ada, akan tetapi Majelis Hakim tidak memperoleh
keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut merupakan tindak pidana,
sehingga menurut Jaksa Penuntut Umum seharusnya terhadap Terdakwa
dinyatakan Ontslag Van Recht Vervolging dan bukan Vrisjpraak sebagaimana
dalam amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Limboto
No.52/PID.B/2005/PN.LBT. tanggal 15 Maret 2006, dengan demikian Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Limboto telah salah dalam membuat putusan dan
mengadili perkara tersebut karena tidak menerapkan atau menetapkan peraturan
hukum tidak sebagaimana mestinya yakni dalam hal mempertimbangkan fakta-
fakta yang terungkap dipersidangan.
����
�
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb Nomor : 77 / Pid.B / 2007 /
PN.Tjr. tanggal 03 April 2008 yang menyatakan sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut di
atas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan Primair Penuntut Umum di atas.
2. Membebaskan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan oleh
karena itu dari dakwaan Primair Penuntut Umum di atas ;
3. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut di
atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Turut serta melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan
dengan cara menyalahgunakan kesempatan yang ada padanya karena
kedudukan” ;
4. Memidana Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan oleh karena
itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;
5. Menetapkan Terdakwa membayar pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah) ;
6. Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayarkan, maka
diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan ;
7. Menetapkan agar Terdakwa membayar uang pengganti sebesar
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
����
�
Terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut untuk paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terdakwa
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;
8. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5000,- (lima
ribu rupiah).
Membaca tuntutan pidana Jaksa / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Tanjung Redeb tanggal 22 Januari 2008 sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan telah
terbukti melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan
perbuatan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Ir.
Zainul Bahri Bin Muh. Alik melakukan tindak pidana korupsi dengan
cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya “ sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal
18 huruf a, b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
sebagaimana tersebut dalam dakwaan Subsidair ;
����
�
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji
Bangsawan, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
penjara, dengan perintah agar Terdakwa ditahan ;
3. Membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
subsidair 3 (tiga) bulan kurungan ;
4. Membayar uang pengganti Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta
rupiah), dan jika Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan
di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terdakwa
tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan ;
5. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) bendel Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA) Tahun Anggaran
2002
b. 1 (satu) lembar Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) atas nama H.
Kamrani Umar ;
c. Berita Acara Penyerahan Pekerjaan atas nama H. Kamrani Umar
(Direktur CV. Eka Sapta) ;
����
�
d. 1 (satu) lembar Berita Acara untuk pembayaran atas nama H. Kamrani
Umar (Direktur CV. Eka Sapta) ;
e. 1 (satu) lembar Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan atas nama H.
Kamrani Umar (Direktur CV. Eka Sapta) ;
f. 1 (satu) bendel Surat Perjanjian Pelaksanaan Proyek Rehabilitasi
Lahan Kritis DAK-DR dengan pekerjaan pengadaan patok, ajir, papan
nama dan gubuk kerja dengan pelaksana CV. Eka Sapta ;
g. 1 (satu) lembar Surat Keputusan Pimpinan Proyek tentang Surat
Perintah Mulai Kerja (Gunning) ;
h. 3 (tiga) lembar Kwitansi Pembayaran dari Bendaharawan Proyek
kepada CV. Eka Sapta ;
i. 1 (satu) lembar Surat dari saudara Fahmi Rizani atas nama Direktur
CV. Eka Sapta.
j. 1 (satu) lembar surat dari H. Kamrani Umar kepada pimpinan proyek
(Surat sedikit terbakar) ;
Tetap terlampir dalam berkas perkara ;
7. Menetapkan agar Terdakwa jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi
pidana supaya dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah)
����
�
Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda Nomor : 31 /
PID / 2009 / PT. KT. SMDA tanggal 28 Mei 2009 yang amar lengkapnya sebagai
berikut :
a. Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan
Terdakwa,
b. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb tanggal 03
April 2008 Nomor : 77/Pid.B/2007/PN.Tjr, sehingga amarnya
berbunyi sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta
melakukan korupsi.
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan.
3. Menetapkan Terdakwa membayar pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah), apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.
4. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb tersebut untuk
selain dan selebihnya.
����
�
5. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat peradilan yang untuk tingkat banding sebesar Rp. 5.000,- (lima
ribu rupiah).
Mengingat akan Akta tentang Permohonan Kasasi Nomor : 77 / Pid.B /2007
/ PN.Tjr. yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Tanjung Redeb yang
menerangkan bahwa masing-masing pada tanggal 15 dan 21 Juli 2009 Jaksa /
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tanjung Redeb dan Terdakwa telah
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung, maka permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut harus ditolak. Dan Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /Penuntut
Umum harus dikabulkan karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum.
Hakim dalam pengambilan keputusan terhadap perkara yang sedang
dihadapi, tidak sekedar sebagai terompet undang-undang saja. Hakim seyogianya
mendasarkan putusannya sesuai dengan memperhatikan kesadaran hukum dan
perasaan hukum serta kenyataan-kenyataan yang sedang hidup di dalam
masyarakat, ketika putusan itu dijatuhkan. Upaya mencari hukum yang tepat
dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, Hakim
yang bersangkutan dapat melakukan penemuan hukum.
���
�
4.2. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Upaya Kasasi
Jaksa Penuntut Umum Dalam� Putusan Bebas Judex Facti Terhadap
Perkara Tindak Pidana Korupsi
Korupsi tergolong ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crime). Korupsi yang terjadi Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat
akut dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek
korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis,
canggih serta lingkupnya sudah meluas ke dalam seluruh aspek masyarakat49
.
Setiap kali ada putusan bebas bagi terdakwa kasus korupsi apalagi yang nilainya
mencapai ratusan miliar rupiah masyarakat langsung bereaksi. Hati nurani mereka
seperti terusik mendengar ada terdakwa kasus tindak pidana korupsi ratusan miliar
bebas melenggang.
Terhadap putusan bebas ini Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya
hukum kasasi ke Mahkamah Agung karena Jaksa/Penuntut Umum berpendapat
bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena putusan bebas
tersebut adalah bukan pembebasan yang murni. Hal ini bertentangan dengan Pasal
244 KUHAP yang menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi
������������������������������������������������������������56 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
����
�
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas50
. Namun demikian
sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang
membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka
sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan
tidak dapat diterima.
Sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru
terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan
didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau
apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah
melampaui batas kewenangannya, Mahkamah Agung selaku Judex Jurist atas
dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang
murni harus menerima permohonan kasasi tersebut.
Untuk menentukan apakah putusan Judex Facti itu merupakan putusan
bebas murni atau bebas tidak murni, Judex Jurist memberikan batasan penilaian
sepanjang hal-hal sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP
jo. Pasal 30 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
������������������������������������������������������������57 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu Pendekatan Dari Perspektif
Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudensi) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung:PT.
Citra Aditya Bakti, 2007.
���
�
Penilaian Judex Jurist terhadap putusan Judex Facti yang membebaskan
terdakwa didasarkan pada alasan-alasan yang diuraikan Pemohon Kasasi dalam
memori kasasinya yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tingkat
Pertama/Judex Facti tersebut adalah bukan putusan bebas murni dan Pemohon
Kasasi juga harus dapat memperlihatkan dan membuktikan dimana letak tidak
murninya putusan pembebasan tersebut.
Beberapa fakta yuridis mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum terhadap kasasi atas putusan
bebas, diantaranya adalah :
Seperti upaya hukum Jaksa Penuntut Umum Dalam putusan kasasi
Mahkamah Agung Nomor 1565/K/Pid/2004 :
Dalam putusan judex facti yang dimohonkan Kasasi tersebut adalah
merupakan putusan bebas, oleh karena untuk dapat atau tidaknya secara formil
permohonan Kasasi tersebut Maka Mahkamah Agung akan mempertimbangkan
sebagai berikut:
• Menimbang, bahwa dipersidangkan di dapat fakta hukum yaitu :
a. Bahwa berdasarkan keterangan ahli dari Balai Pembinaan Wilayah II
Dinas Penataan Ruang & Pemukiman Sumatera Utara di Pematang
Siantar, Rencana Anggaran Biaya Proyek Pembangunan Kios Darurat
Pasar Horas Pematang Siantar adalah terlaku tinggi disebabkan volume
pekerjaan tidak sesuai dengan gambar yaitu terdapat kelebihan volume.
���
�
b. Bahwa RAB yang disahkan yaitu Rp.1.287.310.700,- lebih tinggi dari
yang direncanakan oleh Kasi Perencanaan & Perizinan Dinas Tata Kota
Pemko Pematang Siantar yaitu Rp.1.068.339.000,-
c. Bahwa dari fakta-fakta persidangan tersebut dapat disimpulkan Terdakwa
telah melanggar ketentuan pasal 5 Keppres No.18 tahun 2000 tentang
Pedoman Pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah.
• Dari uraian-uraian tersebut diatas terbukti putusan judex facti
dikualifikasikan sebagai putusan yang tidak bebas murni karena unsur
melawan hukum pada dakwaan Jaksa/Penuntut Umum terbukti secara sah &
meyakinkan, sehingga Jaksa/Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa
putusan judex facti bukan putusan bebas, sehingga secara formal
permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum dapat diterima.
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon kasasi
Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Putusan Hakim Majelis Pengadilan Negeri Pematangsiantar yang
membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan bukan merupakan
pembebasan murni dengan alasan :
A. Judex Facti tidak menerapkan atau menerapkan hukum tidak
sebagaimana mestinya.
a. Judex Facti telah keliru menafsirkan “yang secara melawan
hukum” dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999
���
�
yang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sehingga Judex
Facti pun keliru dalam mempertimbangkan unsur “memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dan unsur “yang
dapat merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara” ;
Dengan demikian, putusan Hakim Majelis Pengadilan Negeri
Pematang Siantar Nomor : 126/Pid.B/2003/PN.PMS tanggal 19 Februari
2004 atas nama Terdakwa Ir. Henry Panjaitan yang membebaskan
Terdakwa dari segala dakwaan adalah merupakan putusan “bebas tidak
murni” yang dapat dijadikan dasar bagi Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan kasasi (vide : Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 275
K/Kr/1979 tanggal 15 Desember 1983 jo butir 19 Keputusan Menteri
Kehakiman R.I. Nomor : M.14.PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983).
2. Judex Facti melakukan hal-hal sebagaimana tersebut dalam pasal 253
ayat (1) KUHAP.
a. Bahwa Judex Facti tidak menerapkan atau menerapkan hukum tidak
sebagaimana mestinya.
b. Cara mengadili Judex Facti tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang.
3. Berdasarkan uraian-uraian penulis diatas tentang Judex Facti telah tidak
menerapkan atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana
���
�
mestinya dan tidak mengadili sebagaimana cara yang ditentukan Undang-
Undang.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung Nomor. 1565/K/Pid/2004 yang
bertindak sebagai “judex facti” yang menyatakan :
Berdasarkan pertimbangan hakim Mahkkamah Agung, ternyata
Jaksa/Penuntut Umum telah dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti
dalam perkara ini adalah putusan pembebasan yang tidak murni, sehingga oleh
karenanya alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum secara formil dapat di
terima ;
Bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas maka Terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan pada dakwaan primair
dan oleh karenanya Terdakwa harus dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Menimbang bahwa sebelum dijatuhi pidana kepada Terdakwa, maka perlu di
pertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan:
Hal yang memberatkan :
• Perbuatan Terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
• Terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit.
Hal yang meringankan :
• Terdakwa belum pernah dihukum.
���
�
Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa terbukti bersalah dan di hukum,
maka Terdakwa di bebani untuk membayar biaya perkara. Menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan diatas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan
Pengadilan Negeri Pematang Siantar tanggal 19 Februari 2004
No.126/Pid.B/2003/PN.Pms. tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus
dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti
tertera dibawah ini ;
MENGADILI SENDIRI :
b. Menyatakan Terdakwa Ir. Henry Panjaitan tersebut di atas terbukti
dengan sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana
“Korupsi” Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama.
c. Menghukum oleh karena itu Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
selama 4 (empat) tahun, dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan
diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
d. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar
Rp.247.070.000,- (dua ratus empat puluh tujuh juta tujuh puluh ribu
rupiah) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini berkekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang
guna membayar uang pengganti tersebut, dengan ketentuan dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang
���
�
pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun.
e. Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Upaya hukum Jaksa Penuntut Umum Dalam putusan kasasi
Mahkamah Agung Nomor 1500/K/Pid/2006:
Menimbang bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa
Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Bahwa Pengadilan Negeri Limboto yang telah menjatuhkan putusan yang
amarnya berbunyi seperti tersebut di atas dalam memeriksa dan mengadili perkara
tersebut, telah melakukan kekeliruan dengan alasan antara lain :
Bahwa dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim untuk membuktikan
unsur dakwaan Subsidair " dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi " di halaman 80 s/d 83 pada :
a. Alinea–4 : ……… telah terbukti bahwa benar dana SKOR sebesar
Rp.3.998.700.000,- yang dicairkan dan disimpan dalam rekening bersama
di Bank Sulut Cabang Limboto, dilakukan oleh Terdakwa dan Saksi Ir.
Rahardjo Ari Karyanto ………..dst ;
b. Alinea–5 : ………… justru yang disimpannya dana SKOR untuk
pekerjaan Penanggulangan Banjir dan Pengamanan Pantai Gorontalo di
Sungai Lemito oleh Terdakwa dan saksi Ir. Rahardjo Ari Karyanto ke
���
�
dalam rekening bersama di Bank Sulut Cabang Limboto ……….. dst ;
c. Alinea–6 : ……….. juga disimpannya dana skor untuk pekerjaan
Penanggulangan Banjir dan Pengamanan Pantai Gorontalo di Sungai
Lemito di Bank Sulut Cabang Limboto ……… dst ;
d. Dan kemudian dalam Alinea–8 : Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak
cukup bukti dan keyakinan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan
perbuatan Terdakwadan saksi Ir. Rahardjo Ari Karyanto bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi dengan
demikian maka unsur ini tidak terpenuhi menurut hukum ;
Dari fakta hukum yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagaimana
terurai di atas jelaslah bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, akan tetapi Majelis
Hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut
memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan kepadanya, atau dengan kata lain
perbuatan Terdakwa telah ada, akan tetapi Majelis Hakim tidak memperoleh
keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut merupakan tindak pidana,
sehingga menurut kami seharusnya terhadap Terdakwa dinyatakan Onslag Van
Recht Vervolging dan bukan Vrispraak sebagaimana dalam amar putusan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Limboto No. 52/PID.B/2005/PN. LBT. tanggal 15
Maret 2006, dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Limboto telah
salah dalam membuat putusan dan mengadili perkara tersebut karena tidak
menerapkan atau menetapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya yakni
���
�
dalam hal mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, antara
lain :
1. Bahwa benar terbukti dana SKOR Proyek Pengendalian Banjir dan
Pengamanan Pantai Gorontalo di Sungai Lemito sebesar Rp.
3.998.700.000,- telah dicairkan oleh Terdakwa dan Saksi Ir. Rahardjo Ari
Karyanto dan kemudian disimpan dalam rekening bersama atas nama
mereka di Bank Sulut Cabang Limboto adalah untuk menyelamatkan
dana SKOR tersebut yang baru turun tanggal 29 September 2004 di
KPKN Gorontalo, agar tidak hangus begitu saja karena Tahun Anggaran
2004 yang akan berakhir.
Fakta hukum ini oleh Majelis Hakim dipertimbangkan bahwa perbuatan
terdakwa dan saksi Ir. Rahardjo Ari Karyanto adalah atas prinsip
efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas untuk penyelamatan
dana tersebut dengan tujuan dimanfaatkan sesuai peruntukannya yaitu
untuk membiayai sisa pekerjaan yang belum dilaksanakan (saat itu secara
fisik masih 25,59%) agar supaya keamanan dan keselamatan masyarakat,
tindakan mana untuk mencegah kerugian Negara dan perekonomian
Negara.
Pertimbangan Majelis Hakim semacam ini adalah tidak tepat dan keliru
karena menurut keterangan di bawah sumpah Drs. Seto Utarko, M.Si.,
Haryatno, SE. dan Subandi yang ketiganya dari Kantor KPKN Gorontalo
menyatakan bahwa di dalam proyek tidak dikenal adanya " Penyelamatan
Dana ”' karena semua ada prosedurnya, yakni apabila sampai habis masa
��
�
Tahun Anggarannya maka sisa dana yang ada dilaporkan ke Pusat
danakan dianggarkan pada tahun berikutnya sebagai prioritas melalui
persetujuan DPR, di mana pembayarannya sesuai dengan bobot pekerjaan
yang telah diselesaikan sehingga kerugian keuangan Negara
danperekonomian Negara dapat dicegah.
2. Bahwa dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim halaman 81 alinea 5,
menyatakan dengan disimpannya dana SKOR untuk pekerjaan
Penanggulangan Banjir dan Pengamanan Pantai Gorontalo di Sungai
Lemito oleh Terdakwa dan saksi Ir. Rahardjo Ari Karyanto ke dalam
rekening bersama di Bank Sulut Cabang Limboto telah membuktikan
bahwa ada itikad baik Terdakwa dan saksi dalam penyelamatan dana
SKOR, sebab jika hanya untuk tujuan mendapatkan keuntungan berupa
fasilitas dan kemudahan untuk memanfaatkan uang tersebut sesuai
kebutuhan dan kehendak mereka, tentu tidaklah harus dengan cara
menyimpan dana tersebut kesalah satu lembaga Perbankan Pemerintah
melainkan dengan cara mencairkan dana tersebut dalam bentuk uang
tunai. Menurut kami selaku Penuntut Umum, pertimbangan hukum
Majelis Hakim yang demikian ini adalah keliru atau tidak tepat, karena
dengan dicairkan dan disimpannya dana SKOR ke dalam rekening
bersama di Bank Sulut Cabang Limboto oleh Terdakwa dan saksi Ir.
Rahardjo Ari Karyanto membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa telah
selesai, delik selesai (Voltoid), di mana dengan dimasukkannya dana
SKOR yang telah dicairkan 100 % ke rekening bersama antara Terdakwa
���
�
dan saksi, Terdakwa telah memperoleh keuntungan (menguntungkan)
bagi dirinya yakni hak untuk memanfaatkan dana tersebut sesuai
kepentingan yang diinginkan/menjadi tujuan Terdakwa dan saksi Ir.
Rahardjo Ari Karyanto yang dalam perkara ini adalah mengamankan
pembiayaan sisa pekerjaan Penanggulangan Banjir dan Pengamanan
Pantai di Sungai Lemito Provinsi Gorontalo, di mana saat itu secara fisik
baru terselesaikan sebesar 25,59 % padahal mereka telah mencairkan
dana SKOR untuk 100 % pekerjaan ;
3. Bahwa menurut PAF Lamintang mengatakan bahwa" Tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ialah
suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin si pembuat yang
ditujukan untuk memperoleh suatu keuntungan (menguntungkan) bagi
dirinya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperoleh suatu
keuntungan atau menguntungkan artinya memperoleh atau menambah
kekayaan dari yang sudah ada.
Kekayaan dalam arti ini tidak semata-mata berupa benda atau uang saja,
tetapi segala sesuatu dapat dinilai dengan uang termasuk hak, sehingga
pertimbangan hukum Majelis Hakim di halaman 82 s/d 83 yang pada pokoknya
menyatakan bahwa dengan disimpannya dana SKOR ke dalam rekening bersama
di Bank Sulut Cabang Limboto merupakan itikad baik Terdakwa dan saksi Ir.
Rahardjo Ari Karyanto untuk mengamankan dana SKOR yang bertujuan agar ada
jaminan pembayaran Penyedia Jasa Pemborongan in casu Terdakwa Fransisca
Sylvia Tombokan untuk menyelesaikan sisa pembiayaan pekerjaan yang belum
����
�
terselesaikan, bukanlah bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi adalah tidak berdasar dan telah salah menerapkan atau
menetapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung RI Nomor. 1500/K/Pid/2006
yang menyatakan:
Menimbang berdasarkan pertimbangan hakim Mahkkamah Agung, ternyata
Jaksa/Penuntut Umum telah dapat membuktikan bahwa putusan judex facti telah
salah menerapkan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana
mestinya.
Sesuai fakta yang terungkap dipersidangan Terdakwa bersama Pimpro
Penanggulangan Banjir dan Penganan Pantai Gorontalo dan Sungai Limito, telah
mencairkan dana proyek yang secara phisik baru selesai ± 25,59 % akan tetapi
telah dicairkan 100 %, yang kemudian disimpan di dalam rekening bersama atas
nama Terdakwa selaku Dirut PT. Gaya Bhakti Putra dan Ir. Rahardjo Ari
Karyanto, di Bank Sulut Cabang Limboto. Pencairan dana yang senyatanya baru
25,59 % tersebut dimaksudkan agar ada jaminan pembayaran/pembiayaan
pekerjaan untuk menyelesaikan. Bahwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada akhir tahun anggaran 31 Desember 2004, sisa dana SKOR tersebut
disetorkan kembali ke Kas Negara, akan tetapi ternyata pencairan dana sebesar
Rp. 3.998.700.000,- tersebut telah tersimpan di dalam rekening bersama.
Pencairan dana tersebut dilakukan dengan memalsukan surat atau dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan proyek tersebut.
����
�
Pencairan dana dilakukan tanggal 30 Desember 2004 dan kemudian pada
tanggal 10 Januari 2005 karena ada pemeriksaan dari PU Kimpraswil Pusat yang
menyatakan bahwa pencairan dana tersebut melanggar KEPPRES No. 80 Tahun
2003 dan telah ada panggilan Kajati Gorontalo tanggal 31 Desember 2004, maka
uang dana tersebut disetorkan kembali ke BRI. Dengan demikian perbuatan
Terdakwa telah selesai dan jika dilihat dari unsur-unsurnya Terdakwa telah
terbukti melanggar dakwaan Lebih Subsidair yaitu Pasal 9 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 KUHP karena itu Terdakwa
dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana ” Korupsi ” ;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung akan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan ;
Hal-hal yang memberatkan :
• Tidak ada
Hal-hal yang meringankan :
3. Terdakwa melakukan pencairan dana tersebut dengan maksud supaya
proyek dapat tetap terlaksana ;
2. Terdakwa tidak menggunakan dana tersebut untuk keperluan sendiri
atau orang lain ;
3. Terdakwa telah mengembalikan dana SKOR tersebut sebesar Rp.
3.567.252.270,- ke Kas Negara ;
4. Terdakwa belum pernah dihukum ;
5. Terdakwa berterus terang dalam persidangan ;
6. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan ;
����
�
Menimbang bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum yang telah
diuraikan Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri
Limboto No. 52/PID.B/2005/PN. LBT. tanggal 15 Maret 2006 tidak dapat
dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan. Selanjutnya Mahkamah
Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera di bawah ini ;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa Fransisca Sylvia Tombokan tersebut di atas
terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak
pidana ” Korupsi ”
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun ;
3. Menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali
dikemudian hari ada perintah lain dengan keputusan Hakim, oleh
karena Terdakwa sebelum lewat masa percobaan 2 (dua) tahun telah
melakukan perbuatan yang dapat dihukum ;
4. Menetapkan barang bukti berupa ;
a. Surat Nomor : UM.0103/PPBPP-GTO/UM/2004 tanggal 2 Agustus
2004 yang ditanda tangani oleh Pimpro Rokim Bagyo Yuwono, ST.
dikembalikan kepada Rohim Bagyo Yuwono, ST. atau kepada yang
paling berhak ;
b. Surat Menteri Pekerjaan Umum Nomor : UM.03.09-Mn/70 tanggal
10 Desember 2004 yang diajukan kepada Menteri Keuangan RI.
����
�
Perihal Penyampaian Rincian Alokasi ABT Sektoral dikembalikan
kepada Rohim Bagyo Yuwono, ST. atau kepada yang paling berhak
;
c. Surat Perintah Pemimpin Bagian Proyek No.
SPT/BPPBPPGTO/2004/148 tanggal 29 Desember 2004/148
tanggal 29 Desember 2004 dikembalikan kepada Terdakwa atau
kepada yang paling berhak;
d. Surat Perintah Membayar dari Menteri Keuangan RI yang
diterbitkan oleh KPKN Gorontalo an. Menteri Keuangan Nomor :
747653 Y/050/114 tanggal 30-12-2004 yang ditandatangani oleh
Haryatno dengan nilai Rp. 3.798.765.000,- dengan lampirannya
yang menyatakan proyek sudah selesai 100 %, dikembalikan
kepada Terdakwa atau kepada yang paling berhak ;
e. Foto copy Surat Perintah Membayar Nomor : 10143304 tanggal 30-
12- 2004 untuk pembayaran Angsuran Pertama Pengendalian
Banjir Sungai Lemito senilai Rp. 3.384.354.272,- dikembalikan
kepada Terdakwa atau kepada yang paling berhak ;
f. Dan Bukti-bukti lainnya.
Upaya hukum Jaksa Penuntut Umum Mahkamah Agung RI Nomor.
2057/K/Pid.Sus/2009 yang menyatakan:
Menimbang bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa
Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut :
����
�
1. Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan
hukum tidak sebagaimana mestinya.
Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan suatu aturan ataupun
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat
(1) KUHAP bahwa di dalam Pasal 3 jo Pasal 18 huruf a, b Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana seumur hidup
atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah)” namun kenyataan yang diputuskan oleh judex facti
adalah pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), ini
jelas judex facti telah mengingkari hukum yang telah ada dan berlaku.
2. Bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan praktek
pemidanaan tanggal 23 Maret 1985 yang digariskan Mahkamah Agung
RI, dimana judex facti tidak mencantumkan alasan-alasan secara lengkap
dalam pertimbangannya, khususnya mengingat akibat yang ditimbulkan
baik bagi masyarakat, negara dan hukum apalagi Terdakwa melakukan
perbuatannya justru disaat pemerintah sedang gencar-gencarnya
����
�
memberantas Tindak Pidana Korupsi, karena putusan pidana denda judex
facti kurang dari minimal ancaman pidana dendanya.
Bahwa putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) yang dijatuhkan terhadap
Terdakwa, yaitu berupa pidana denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta
rupiah) terlalu rendah jika dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebesar
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidaklah mencerminkan semangat untuk
memberantas korupsi, menurut hemat Pemohon Kasasi hendaklah judex facti
mempertimbangkan atas putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) sesuai TAP MPR
No. XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Terlepas dari alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa
/ Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Permohonan
Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /Penuntut Umum harus dikabulkan karena
Judex Facti telah salah menerapkan hukum, dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa dakwaan Jaksa / Penuntut Umum telah disusun secara
Subsidairitas, maka harusnya pembuktian dimulai dengan dakwaan
Primair, apabila dakwaan Primair tidak terbukti barulah dilanjutkan
dengan pembuktian dakwaan Subsidair ;
Dakwaan Primair unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. setiap orang
2. secara melawan hukum
3. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4. dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara ;
����
�
Ad.1) Setiap orang, adalah siapapun orangnya, tanpa melihat Pejabat atau
bukan asal dapat / mempunyai kemampuan bertanggung jawab secara
hukum, dalam perkara ini adalah Terdakwa ;
Ad.2) Secara melawan hukum, perbuatan Terdakwa yang ternyata tidak
pernah mengerjakan proyek seperti yang telah diperjanjikan dalam
Kontrak Kerja No.43/PIMPRO-RLK/2002 tanggal 1 Agustus 2002.
Terdakwa juga memandatangani Berita Acara Penyerahan Pekerjaan
No.131/PIMPRO-RLK/2002 tanggal 16 Desember 2002, Berita Acara
Pemeriksaan Pekerjaan No. 108/PIMPRP-RLK/2002tanggal 17
Desember 2002. Ketiga Berita Acara tersebut ditandatangani oleh
Terdakwa di Bank Pembangunan Daerah Cabang Tanjung Redeb pada
saat Terdakwa mencairkan dana proyek sebesar Rp. 324.000.000,- (tiga
ratus dua puluh empat juta rupiah), dengan demikian dokumen-dokumen
tersebut adalah fiktif;
Ad.3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi :
Bahwa Terdakwa telah menikmati uang sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh
puluh lima juta rupiah) dan sisanya dinikmati oleh Pimpinan Proyek (Ir.
Zainal Bahri) dan kawan-kawannya ;
Ad.4) Dapat merugikan keuangan Negara : Bahwa perbuatan Terdakwa
bersama Ir. Zainal Bahri (Pimpro)dimana Terdakwa menikmati Rp.
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta adalah merupakan bahagian dari dana
proyek sebesar Rp. 324.000.000,- (tiga ratus dua puluh empat juta rupiah)
di mana dana proyek sebesar Rp. 324.000.000,- (tiga ratus dua puluh
����
�
empat juta rupiah) merupakan proyek yang dananya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2. Bahwa dakwaan Primair telah dapat dibuktikan, dengan demikian
dakwaan Subsidair tidak perlu dibuktikan lagi, oleh karenanya Terdakwa
harus dinyatakan bersalah sebagaimana dakwaan Primair tersebut.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung RI Nomor. 2057/K/Pid.Sus/
2009 yang menyatakan:
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan
kepada Terdakwa pada tanggal 09 Juli 2009 dan Terdakwa mengajukan
permohonan kasasi pada tanggal 21 Juli 2009 serta memori kasasinya telah
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb pada tanggal 27 Juli
2009, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut Undang-Undang.
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan
kepada Jaksa / Penuntut Umum pada tanggal 07 Juli 2009 dan Jaksa / Penuntut
Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 15 Juli 2009 serta memori
kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tanjung Redeb pada
tanggal 29 Juli 2009, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-
alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut
Undang-Undang
���
�
Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan Terdakwa tersebut Mahkamah
Agung berpendapat:
Mengenai alasan ke-1 :
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, judex facti tidak salah
menerapkan hukum, karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara
yuridis dengan benar, yaitu adanya hubungan kausal antara perbuatan Terdakwa
dengan adanya kerugian keuangan Negara ;
Mengenai alasan ke-2 :
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena alasan tersebut
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan
pada tingkat kasasi, karena dalam pemeriksaan tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak
diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan Undang-undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP (Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981) ;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Terdakwa tersebut harus ditolak.
Terlepas dari alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Jaksa
/ Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Permohonan
����
�
Kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa /Penuntut Umum harus dikabulkan karena
Judex Facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan peraturan hukum
tidak sebagaimana mestinya.
Berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur Nomor :
31/PID/2009/PT.KT. SMDA tanggal 28 Mei 2009 yang memperbaiki putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Redeb No. 77 / Pid.B / 2007 / PN. Tjr tanggal 03 April
2008 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera dibawah
ini :
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa H. Kamrani Umar bin Adji Bangsawan tersebut di
atas terbukti dengan sah dan menyakinkan telah bersalah melakukan
tindak pidana “Bersama-Sama Melakukan Korupsi”, sebagaimana
dakwaan Primair ;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun penjara, dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar akan diganti
dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
3. Menetapkan masa penahan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
����
�
4. Menghukum pula Terdakwa membayar uang pengganti sebesar
Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila
Terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, dan dalam hal Terdakwa tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan.
5. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) bendel Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA) Tahun Anggaran
2002.
b. 1 (satu) lembar Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) atas nama
H.Kamrani Umar.
c. Berita Acara Penyerahan Pekerjaan atas nama H. Kamrani
Umar(Direktur CV. Eka Sapta).
d. 1 (satu) lembar Berita Acara untuk pembayaran atas nama H. Kamrani
Umar (Direktur CV. Eka Sapta) .
e. 1 (satu) lembar Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan atas nama H.
Kamrani Umar (Direktur CV. Eka Sapta).
����
�
f. 1 (satu) bendel Surat Perjanjian Pelaksanaan Proyek Rehabilitasi
Lahan Kritis DAK-DR dengan pekerjaan pengadaan patok, ajir, papan
nama dan gubuk kerja dengan pelaksana CV. Eka Sapta.
g. 1 (satu) lembar Surat Keputusan Pimpinan Proyek tentang Surat
Perintah Mulai Kerja (Gunning).
h. 3 (tiga) lembar kwitansi pembayaran dari bendaharawan Proyek
kepadaCV. Eka Sapta.
i. 1 (satu) lembar Surat dari saudara Fahmi Rizani atas nama Direktur
CV.Eka Sapta.
j. 1 (satu) lembar surat dari H. Kamrani Umar kepada pimpinan
proyek(Surat sedikit terbakar).
Tetap terlampir dalam berkas perkara ;
6. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada
Terdakwa yang untuk tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500,-
(dua ribu lima ratus rupiah).
Didalam Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang No. 20
tahun 2001 , maka dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi
adalah : “setiap orang yang secara melawan hukummelakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau oang lain atau suatu korporasi yang dapat
����
�
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah)”
Dalam Pasal 3-nya dirumuskan : “setiap orang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporai, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis
kejahatan lain, seperti pencurian dan sudah ada sejak manusia bermasyarakat di
atas bumi ini. Yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu
seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala yang
memperlihatkan bahwa semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin
meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.
Menurut Andi Hamzah , tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
disebabkan karena faktor-faktor, yaitu :
����
�
1. kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor ini adalah faktor yang
paling menonjol, dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah berlakunya
KUHP di Indonesia, menyalahgunakan kekuasaan oleh pejabat untuk
menguntungkan diri sendiri memang telah diperhitungkan secara khususoleh
Pemerintah Belanda sewaktu disusun WvS untuk Indonesia. Hal ini nyata
dengan disisipkan Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP Indonesia;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang
efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam
arti bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan
korupsi. Sering dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin
besar pula kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;
4. Modernisasi mengembang-biakkan korupsi karena membawa perubahan
nilai yang dasar dalam masyarakat , membuka sumber-sumber kekayaan dan
kekuasaan baru, membawa perubahan-perubahan yang diakibatkannya
dalam bidang kegiatan politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan
melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Dari perspektif hukum positif Indonesia, yaitu dalam UU No. 31 tahun
1999, pengertian tindak pidana korupsi dibedakan dalam dua jenis, yaitu :
����
�
1. Yang diatur dalam bab II dengan judul Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2
sampai Pasal 20);
2. Yang diatur dalam Bab II dengan judul Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan
Dengan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 21 sampai Pasal 24).
3. Subyek Tindak Pidana Korupsi
Dalam UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subyek tindak pidana korupsi terbagi
dalam 2 kelompok, yaitu :
1. Manusia (Natuurlijkpersoon)
Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban. Lazimnya dalam hukum dan
pergaulan hukum dikenal dengan istilah “subyek hukum” atau subjectum juris
atau subject van een recht yang berhak, berkehendak melakukan perbuatan
hukum. Manusia adalah makhluk yang berwujud dan rohaniah. Dalam UU No. 31
tahun 1999, pengertian manusia sebagai subyek tindak pidana dibedakan menjadi
dua jenis, yaitu :
a) Pegawai Negeri, yang menurut Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 meliputi : (1)
pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Kepegawaian (UU no. 43 tahun 1000 tentang Perubahan Atas UU No. 8
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian), yaitu dalam Pasal 1 angka
1 adalah : setiap warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
����
�
suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku: (2) pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 KUHP; (3) orang yang
menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; (4) orang yang
menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan Negara atau daerah; dan (5) orang yang menerima gaji atau upah
dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara
atau masyarakat.
Martiman Prodjohamidjoyo mencontohkan yayasan X yang memperoleh
sumbangan dari masyarakat, misalnya masyarakat perkayuan. Jika pengurus
yayasan itu melakukan penyelewengan dari tujuan yayasan, maka bias
dikenakan sanksi pidana menurut UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20
tahun 2001.
b) Setiap orang adalah orang perorangan dan korporasi, seperti yang terumus
dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 31 tahun 1999.
2. Korporasi
Istilah korporasi tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata, sebab
korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum
(rechtpersoon) dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat
kaitannya dengan bidang hukum perdata.
����
�
Dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 telah mengakui
korporasi sebagai subyek tindak pidana, yang dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1
yang merumuskan secara eksplisit tentang pengertian korporasi, yang berbunyi :
“korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Upaya penanggulangan tindak pidana/kejahatan korupsi dapat melalui dua
jalur, yaitu jalur penal dan jalur non penal. Penanggulangan korupsi melalui jalur
penal (yaitu dengan penegakan hukum pidana), apa yang disebut dengan istilah
Kebijakan/Politik Hukum Pidana (Penal Policy), yang menurut Wisnusubroto,
merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal :
a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan
hukum pidana;
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat;
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan lebih besar.
Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga sdapat dilihat
sebagai ttindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama upaya penanggulangan
����
�
kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani factor-faktor kondusif
penyebab terjadinya kejahatan (korupsi). Faktor-faktor kondusif berpusat pada
masalah atau kondisi politik, ekonomi, maupun social yang secara langsung atau
tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan
demikian upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi strategis
dari keseluruhan upaya politik kriminal.