ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI...
Transcript of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI...
Ekspansi Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi
Vol. 1, No. 2, November 2009, 151-172
151
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK DAERAH DI KOTA BANDUNG (1999-2008)
D. Arshad Darulmalshah Tamara Program Studi Keuangan dan Perbankan, Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Bandung
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi realisasi penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung selama 10 tahun pengamatan, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008. Penelitian ini menggunakan data realisasi penerimaan Pajak Daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk, tingkat inflasi serta jumlah industri yang merupakan wajib pajak daerah di kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial masing-masing jumlah penduduk, produk domestik regional bruto, serta jumlah industri di kota Bandung dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah di kota Bandung, sementara itu tingkat inflasi di kota Bandung tidak berpengaruh terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah. Secara bersama-sama keempat variabel bebas, yaitu jumlah penduduk, PDRB, inflasi serta jumlah industri secara signifikan mempengaruhi realisasi penerimaan pajak daerah di Kota Bandung.ng, selain itu dapat dikemukakan bahwa sebesar 80% variasi perubahan realisasi penerimaan Pajak Daerah dapat dijelaskan oleh variasi peru
Kata Kunci: Pajak Daerah, Jumlah Penduduk, PDRB, Tingkat Inflasi, Jumlah Industri
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Tugas pokok dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana tertera dalam
Undang-undang Dasar 1945 serta perundangan lainnya yang mengatur tentang tugas-
tugas pokok pemerintah. Dalam menjalankan fungsi pelayanan publik bagi
kepentingan rakyat banyak tersebut, beberapa bidang dilaksanakan oleh pemerintah
pusat dengan menganut azas sentralisasi, seperti : bidang pertahanan (militer/TNI),
keamanan, kepolisian, hubungan luar negeri, pencetakan dan peredaran uang dan
sebagainya (Mangkoesoebroto, 2001), selain itu beberapa urusan dapat diserahkan
kepada pemerintah daerah dengan menganut azas desentralisasi.
Ekspansi
Ekonomi
152
Dalam kaitannya dengan kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan
beberapa urusan pemerintahan tersebut antara lain dilandasi oleh Undang-undang
Dasar 1945, pasal 18, yang antara lain menyatakan “Pembagian daerah Indonesia
atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya, ditetapkan
oleh Undang-undang. Undang-undang tentang desentralisasi atau otonomi daerah
yang mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan otonomi daerah, antara lain Undang-
undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang
selanjutnya diganti oleh Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang Pembagian Keuangan antara
Pemerintah Pusat & Daerah. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 serta Undang-
undang nomor 25 tahun 1999 tersebut memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga
diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, dapat
meningkatkan kesejahteraan, pemerataan pembangunan serta pemerataan keadilan.
Selain dengan dasar hukum/perundangan tersebut diatas, untuk menjabarkan
pelaksanaan Otonomi Daerah lebih lanjut dikeluarkan PP No. 25 tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah serta kewenangan provinsi sebagai daerah otonom serta PP
No. 105 tahun 2000 yang berisi ketentuan tentang Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah serta peraturan pemerintah lainnya. Selain berkenaan dengan
masalah legalitas, kewenangan politik, ekonomi dan hubungan masyarakat luas di
daerahnya, otonomi daerah juga mencakup ruang lingkup yang lebih luas, yaitu
berkenaan dengan masalah intensitas, politik, ekonomi, otonomi daerah juga
berhubungan dengan upaya-upaya untuk memajukan daerah serta pengembangan
demokratisasi di daerah.
Uraian diatas mengemukakan bahwa dengan adanya desentralisasi berupa
implementasi kebijakan otonomi daerah, khususnya berupa kebijakan desentralisasi
fiskal, diharapkan akan terbentuk daerah otonom yang memiliki kemampuan serta
kemandirian dalam melaksanakan berbagai fungsi pemerintahan, terutama dalam
upaya pembangunan daerah dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat luas, untuk dapat melaksanakan program-program
pembangunan tersebut, memerlukan biaya yang tidak kecil, sesuai dengan
kemandirian daerah, maka diharapkan pemerintah daerah dapat membiayai sebagian
dari pengeluaran pembangunan tersebut melalui sumber-sumber yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (Kuncoro,2004).
D. Arshad
153
Kondisi fiskal pemerintah Kota Bandung dewasa ini, terutama sejak diberlakukannya
otonomi daerah, khususnya dalam bidang desentralisasi fiskal, menunjukkan indikasi
bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber pendapatan yang
strategis bagi pembiayaan pembangunan sebagaimana tertera dalam APBD, secara
umum mengalami kenaikan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, akan tetapi
persentasi kenaikannya relatif menurun, sementara pada sisi lain belanja pemerintan
daerah sebagaimana tertera dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Kota Bandung terus meningkat dengan persentase peningkatan yang lebih besar dari
peningkatan PAD, kondisi ini sesungguhnya menggambarkan berkurangnya kontribusi
PAD terhadap struktur penerimaan dalam APBD, padahal besarnya kontribusi PAD
tersebut akan mempengaruhi tingkat ketergantungan pembiayaan pembangunan dari
pemerintah pusat, yang mengakibatkan semakin besarnya kesenjangan fiskal (fiscal
gap) sebagaimana nampak pada Tabel 1 berikut, oleh karena itu upaya-upaya
peningkatan serta pengembangan perolehan PAD merupakan salah satu pedoman
dan arah kebijakan yang penting dalam upaya mengurangi ketergantungan kepada
Pemerintah Pusat, sebagaimana digariskan dalam sasaran yang ingin dicapai dalam
Kebijakan Pemerintah Kota Bandung tahun 2008-2012.
Tabel 1 Ketergantungan APBD Kota Bandung Pada Dana Non PAD
Tahun 2001 - 2008 (dalam Rupiah)
Tahun
Pendapatan
(dalam APBD)
Dana Perimbangan Dana Alokasi Umum
(DAU)
Ketergantungan
Dana Perimbangan
Ketergantungan
pada DAU
2001 590.157.200.000 401.800.000.000 227.194.048.000 68,08% 38,50%
2002 855.048.574.678 518.539.209.456 288.269.533.850 60,64% 33,71%
2003 961.573.767.562 705.993.979.750 416.680.000.000 73,42% 43,33%
2004 1.118.761.646.228 860.471.704.276 439.689.489.000 76,91% 39,30%
2005 1.123.097.156.370 861.550.818.511 458.072.000.000 76,71% 40,79%
2006 1.397.711.614.415 1.066.682.798.000 632.379.000.000 76,32% 45,24%
2007 1.685.638.378.892 1.292.614.589.836 828.294.700.000 76,68% 49,14%
2008 2.018.841.349.189 1.572.747.849.290 965.518.566.800 77,90% 47,83%
Sumber: Bagian Keuangan Pemerintah Kota Bandung, data diolah kembali
Salah satu komponen terbesar dari PAD adalah Pajak Daerah. Realisasi penerimaan
Pajak Daerah di Kota Bandung selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 1999
sampai dengan tahun 2009, mengalami peningkatan, akan tetapi persentase
pertumbuhannya justru menurun, kondisi ini secara tidak langsung turut mempengaruhi
Ekspansi
Ekonomi
154
derajat kotonomian suatu daerah, karena bagaimanapun juga, tinggi rendahnya
realisasi perolehan PAD sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya realisasi perolehan
Pajak Daerah, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 2 yang terdapat pada halaman
berikut.
Tabel 2 Perkembangan Realisasi Perolehan Pajak Daerah Kota Bandung 1999-2009
TAHUN JUMLAH Persentase
Pertumbuhan
1999 Rp 44.770.799.864
2000 Rp 56.978.285.176 27,27%
2001 Rp 75.583.061.441 32,65%
2002 Rp 103.153.173.908 36,48%
2003 Rp 117.392.948.578 13,80%
2004 Rp 133.554.985.454 13,77%
2005 Rp 143.107.822.781 7,15%
2006 Rp 164.781.409.646 15,14%
2007 Rp 190.496.238.611 15,61%
2008 Rp 214.433.400.986 12,57%
2009 Rp 37.062.648.339
Keterangan: Perolehan Pajak 2009 sampai dengan bulan April 2009
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kota Bandung 2009, data diolah kembali
Uraian diatas menunjukkan bahwa sekalipun realisasi perolehan pajak daerah sebagai
unsur dominan bagi PAD selalu meningkat, namun persentase peningkatannya terus
menurun, oleh karena itu perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi realisasi penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
Identifikasi Masalah
1. Seberapa besar pengaruh jumlah penduduk terhadap penerimaan Pajak Daerah Di
Kota Bandung.
2. Seberapa besar pengaruh PDRB terhadap penerimaan Pajak Daerah di Kota
Bandung.
3. Seberapa besar pengaruh tingkat inflasi terhadap penerimaan Pajak Daerah di
Kota Bandung.
4. Seberapa besar pengaruh jumlah industri terhadap penerimaan Pajak Daerah di
Kota Bandung.
D. Arshad
155
KAJIAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator penting dalam setiap pembahasan
mengenai pembangunan ekonomi, sekalipun pertumbuhan bukanlah satu-satunya
ukuran dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara.
Menurut Schumpeter (dalam Jhingan, 2007) pertumbuhan adalah perubahan jangka
panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan upah dan
penduduk, sedangkan menurut Djojohadikusumo, (1994) pertumbuhan diartikan
sebagai peningkatan produksi barang dan jasa di bidang-bidang kegiatan yang
semakin meluas. Sasarannya adalah agar hasil produksi barang dan jasa yang
tersedia bagi masyarakat menjadi semakin banyak jumlahnya secara beraneka ragam
dan semakin baik mutunya. Produk nasional tersebut adalah output total dari barang-
barang dan jasa-jasa sesuatu perekonomian dalam periode waktu yang sedang
berjalan, dinilai menurut harga pasar, pendekatan tersebut merupakan suatu konsep
arus, yang dalam prakteknya diukur dengan jalan mengakumulasikan transaksi-
transaksi yang terjadi selama suatu periode waktu tertentu. (Ackley; 2001)
Lebih lanjut menurut Todaro terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu akumulasi modal, pertumbuhan penduduk
dan kemajuan teknologi (Todaro, 2006). Pandangan tersebut sesuai dengan teori
pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Robert Sollow, yang menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dalam jangka waktu tertentu dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu ketersediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja dan
akumulasi kapital) serta tingkat kemajuan teknologi (Arsyad, 2002).
Pembangunan Ekonomi Daerah.
Menurut Blakely (dalam Kuncoro, 2007), pada tataran pembangunan ekonomi daerah
atau pembangunan ekonomi regional, dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi
daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen
masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang
perkembangan-perkembangan kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Pada umumnya tujuan kebijakan ekonomi yang ingin dicapai adalah keseimbangan
intern dan ekstern (internal and external balanced). Keseimbangan intern diarahkan
untuk menacapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesempatan kerja yang
Ekspansi
Ekonomi
156
meingkat dan laju inflasi yang rendah. Pertumbuhan ekonomi merupakan persentase
perubahan produksi domestik bruto yang diukur menurut harga tetap tahun tertentu.
Besaran ini dalam pembangunan ekonomi menjadi salah satu kriteria untuk mengukur
perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah (Nopirin, 1996, 10). Sekalipun
pada dasarnya tujuan akhir dari setiap program-program pembangunan, baik
pembangunan nasional maupun pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak, secara umum tujuan pembangunan ekonomi
daerah adalah : a) Menciptkan lapangan kerja bagi masyarakat, b) Mencapai stabilitas
perekonomian daerah dan c) Membangun basis ekonomi dan kesempatan kerja yang
lebih beraneka ragam. (Jamli, 1996, 67)
Agar pembangunan daerah dapat berjalan secara berkelanjutan dan dapat
mengakomodasi perubahan yang terjadi di di lingkungannya, strategi pemerintah
daerah adalah: a) Meningkatkan penerimaan daerah sendiri, b) Meningkatkan efisiensi
dan efektifitas operasi pemerintah daerah melalui program peningkatan poroduktivitas
c) Melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan d)
Meningkatakan kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta (Jaya, 1996,111)
Penduduk.
Jumlah penduduk negara mempunyai peranan ganda yang strategis, pada sisi pasar
faktor produksi, jumlah penduduk merupakan salah satu faktor produksi penting yaitu
tenaga kerja, baik tenaga ahli (skill) maupun kasar buruh (labor), sementara pada sisi
lain bila dilihat dari sisi pasar hasil atau pasar output maka jumlah penduduk yang
besar merupakan bentuk perluasan pasar yang sangat potensial dalam melemparkan
hasil produksi barang dan jasa. Djojohadikusumo (1994) mengatakan bahwa peranan
sumber daya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalam
pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Berpangkal dari haluan ini,
maka masalah penduduk dan angkatan kerja, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif , wajib diberi perhatian utama dalam ekonomi pembangunan. Dalam
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
angkatan kerja (yang terjadi beberapa tahun kemudian setelah pertumbuhan
penduduk) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang
membantu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan
menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih
besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. (Todaro, 2004).
Sekalipun penduduk mempunyai peranan yang sentral, di kebanyakan negara
berkembang, penduduk justru membawa berbagai masalah serta menjadi beban
D. Arshad
157
pemerintah karena harus menyediakan barang-barang publik yang tidak akan mampu
disediakan oleh sektor swasta (Mangkoesoebroto, 2001). Pada umumnya di negara-
negara yang sedang berkembang, biasanya terperangkap dengan kondisi dimana
kenaikan penduduk seimbang dengan kenaikan pendapatan, tetapi keseimbangan
tersebut terjadi pada tingkat yang lebih rendah, sehingga kurang menguntngkan bagi
pembangunan (Munir, Tjiptoherijanto, 2001), selain itu pertumbuhan penduduk secara
cepat akan memperlambat usaha pembangunan negara berkembang, kecuali kalau
dibarengi dengan laju pembentukan modal dan kemajuan teknologi yang tinggi
(Jhingan, 2007). Lebih jauh bila pertambahan penduduk tidak diimbangi dengan laju
pertambahan investasi yang tinggi, maka akan mengakibatkan menurunya tingkat
upah mereka. Dalam keadaan dimana jumlah tenaga kerja melebihi pasokan modal,
harga tenaga kerja (tingkat upah) akan menurun secara nisbi terhadap tingkat modal
(tingkat bunga) . Sebaliknya jika pertambahan modal melampaui pertambahan jumlah
tenaga kerja, maka tingkat upah akan meningkat (Djojohadikusumo, 1994).
Di sisi lain perkembangan penduduk dalam pandangan ekonomi yang menganut aliran
Keynes menganggap bahwa penduduk sebagai bentuk perluasan pasar. Oleh sebab
itu mereka memberikan sumbangan yang positif kepada pembangunan ekonomi.
Dengan demikian, apabila pertambahan penduduk menjadi semakin lambat,
perkembangan pasar menjadi lebih terbatas dan memperlambat perkembangan
permintaan masyarakat. Perkembangan permintaan masyarakat yang lambat ini
mengurangi dorongan untuk mengadakan penanaman modal baru (Sukirno, 2007)
pandangan ini diperkuat lagi oleh pendapat Sumitro Dojohadikusumo yang
menyatakan bahwa pertambahan penduduk dan angkatan kerja di satu pihak dan laju
serta arah investasi di lain pihak, mempengaruhi perluasan kesempatan kerja dan
pengangguran. Bertambahnya angkatan kerja pada akhirnya akan mempengaruhi
tingkat upah nyata maupun pembagian pendapatan masyarakat. Selain itu
pertambahan penduduk dan angkatan kerja serta tingkat fertilitas mempengaruhi
tingkat tabungan dan tingkat investasi yang diperlukan oleh masyarakat yang sedang
membangun. (Djojohadikoesoemo; 1994).
Dalam hubungannya dengan penerimaan pajak daerah, pertambahan penduduk
dianggap sebagai pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai
barang dan jasa yang akan memicu aktifitas perekonomian sehingga menciptakan
skala ekonomis produksi yang menguntungkan bagi pelaku-pelaku ekonomi yang
pada gilirannya akan merangsang tingkat output agregat yang lebih tinggi lagi.
Ekspansi
Ekonomi
158
Pertumbuhan output agregat menunjukkan peningkatan kinerja perekonomian yang
akhirnya memperluas peningkatan potensi sumber-sumber penerimaan pajak daerah.
Inflasi.
Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting yaitu Inflasi, pada prinsipnya
inflasi merupakan suatu proses atau peristiwa kenaikan harga umum, dikatakan
tingkat harga umum oleh karena barang dan jasa itu banyak jumlah dan jenisnya, ada
kemungkinan harga sejumlah barang turun, sedang yang lainnya naik, kenaikan harga
umum ini tergantung kepada komponen-komponennya. (Partadiredja, 1998). Inflasi
dapat timbul antara lain karena: adanya tekanan dari sisi penawaran (cost push
inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.
faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar,
dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan
harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price) dan terjadinya
negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunga distribusi. Demand pull
inflation dapat disebabkan antara lain karena tingginya permintaan barang dan jasa
relatif terhadap ketersediannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini
digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total
(aggregative demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian. Sementara itu
faktor ekspektasi ekonomi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi,
apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari
perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang, terutama pada saat
menjelang hari-hari besar keagamaan dan penentuan upah minimum regional atau
UMR (Bank Indonesia, 2007).
Inflasi tidak saja melanda negara-negara berkembang yang struktur perekonomiannya
sangat tergantung kepada sektor perdagangan luar negeri, tetapi juga melanda
negara-negara maju yang umumnya menganut sistem pasar bebas, mempertahankan
pengerjaan penuh (full employment) dan mendorong pertumbuhan ekonomi
menghendaki kebijaksanaan yang sampai pada suatu tingkat tertentu menimbullkan
inflasi. (Partadiredja, 1998). Penanganan inflasi tidak dapat diserahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar bebas, akan tetapi perlu campur tangan pemerintah,
mengingat selain pemerintah, dalam hal ini bank sentral berperan sebagai otoritas
moneter, juga sebagai salah satu dari empat fungsi pemerintah, yaitu: 1) menyusun
kerangkan serta aturan dalam perekonomian; 2) menyusun kebijaksanaan stabilisasi
makroekonomi untuk mengatasi masalah inflasi dan pengangguran; 3)
Mengalokasikan sumber daya untuk barang-barang kolektif melalui pajak dan belanja
D. Arshad
159
Negara; 4) menditribusikan sumberdaya melalui transfer /tunjangan kesejaheraan
sosial (Samuelson; 2001).
Kebijakan Fiskal.
Dalam mendukung kelancaran pelaksanaan program-program pembangunan, baik di
tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, memerlukan pembiayaan yang
tidak sedikit, ketersediaan pembiayaan akan mempengaruhi kelancaran proses
pembangunan pada berbagai sektor, Kebijakan fiskal merupakan segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah berupa pengaturan penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Menurut Musgrave dan Musgrave (Mardiasmo, 2003) pesatnya
pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan
yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi
sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar. Kebijakan fiskal timbul karena
ketidakmampuan kebijakan moneter dalam menangani berbagai masalah
perekonomian, terutama depresi ekonomi, selain itu kebijakan fiskal mempunyai tujuan
akhir untuk mencegah pengangguran dan stabilisasi harga (Suparmoko, 2003), lebih
lanjut terdapat tujuan-tujuan yang lebih luas dari diterapkannya kebijaksanaan fiskal,
antara lain: untuk menekan laju inflasi, mendorong investasi optimal, meningkatkan
kesempatan kerja, meningkatkan kestabilan ekonomi serta untuk meningkatkan dan
meredistribusikan pendapatan nasional (Jhingan, 2007).
Sesungguhnya kebijakan fiskal tidak saja hanya berkenaan dengan pengaturan pajak,
akan tetapi juga berkenaan dengan pengaturan sumber-sumber penerimaan serta
pengeluaran pemerintah yang lainnya, akan tetapi karena dari sekian sektor, pajak
merupakan sektor yang paling dominan serta memberikan kontribusi terbesar dalam
struktur penerimaan negara, selain itu pajak juga dipercaya merupakan instrumen yang
paling efektif dari segala kebijakan fiskal. (Suparmoko, 2003) maka banyak kalangan
yang mengindentikan kebijakan fiskal dengan kebijakan pajak. Menurut Nurske:
kebijakan fiskal berarti penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran
masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan “stabilisasi atau pembangunan”.
Penggunaan kebijaksanaan fiskal dengan tujuan untuk menggalakkan pembangunan
ekonomi. (Jhingan, 2007) Analisa Keynes mengenai kebijaksanaan fiskal dapat
diterapkan di negara-negara maju. Peranan kebijaksanana fiskal di negara-negara
maju adalah untuk menstabilkan laju pertumbuhan. Dalam konteks perekonomian
negara berkembang, peranan kebijaksanaan fiskal adalah untuk memacu laju
pertumbuhan modal. Ia dirancang sebagai piranti pembangunan ekonomi (Sukirno,
2005).
Ekspansi
Ekonomi
160
Pajak Daerah
Sebagaimana diketahui bahwa penerimaan pemerintah yang terbesar adalah dari
sektor pajak, pada skala pemerintah daerah pajak yang dapat dipungut oleh
pemerintah daerah adalah dalam bentuk pajak daerah. Seperti halnya pajak pusat
yang dipungut oleh pemerintah pusat, maka pajak daerahpun merpakan sektor yang
memberikan kontribusi penerimaan paling besar terhadap struktur keuangan
pemerintah daerah. Sumber penerimaan pajak daerah adalah dari kalangan
masyarakat, baik rumah tangga konsumsi maupun rumah tangga produsen, dengan
meningkatnya pendapatan rumah tangga tersebut maka seharusnya yang mereka
bayar kepada pemerintah daerahpun meningkat.
Dalam kerangka pemikiran yang lebih luas lagi, peningkatan penerimaan asli daerah
tersebut membawa dampak yang cukup positif bagi pemerintah daerah, pertama
dapat mengurangi ketergantungan keuangan pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat, yang berarti derajat keotonomian atau kemandirian daerah tersebut dapat
ditingkatkan, kedua dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan pembangunan
daerah dalam upaya meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi dimasa-masa yang
akan datang, oleh karena itu keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk
mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya
sendiri. (Mardiasmo, 2003). Selanjutnya perolehan pajak daerah yang merupakan
komponen terbesar dalam struktur PAD suatu daerah, dapat dipandang sebagai salah
satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada
pemerintah pusat, semakin kecil PAD yang diperoleh pemerintah daerah tersebut
maka semakin besar ketergantungan fiskal kepada pemerintah pusat, hal ini penting
untuk dikaji lebih jauh, mengingat hampir seluruh pemerintah daerah di Indonesia
memiliki ketergantungan keuangan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Karenanya
sangat wajar apabila sebagian besar pembiayaan penyelenggaraan pembangunan
daerah masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat,
hal ini terlihat jelas dari rendahnya proporsi pendapatan asli darah terhadap total
pendapatan daerah dibandingkan dengan subsidi. Rendahnya pendapatna asli daerah
ini kurang dari 50 % , kecuali untuk DKI. Artinya lebih banyak subsidi dari pusat
dibandingkan dengan pendapatan asli daerah dalam membiayai pembangunan
daerah. (Kuncoro,2004).
Dalam skala pemerintahan daerah, kemampuan membiayai sendiri pembangunan di
daerah berupa penyediaan dana bagi pembangunan, merupakan salah satu indikator
penting dalam menentukan mampu tidaknya suatu daerah melaksanakan otonomi
D. Arshad
161
daerah, karena daerah yang tidak memiliki sumber-sumber penerimaan yang
memadai serta tidak mampu menyediakan, menggali dan mengembangkan sendiri
sumber-sumber keuangan daerah, maka akan mengakibatkan pemerintah daerah
semakin tergantung kepada pemerintah pusat, hal ini berarti kemandirian daerah
tersebut menjadi tidak berhasil dengan baik. (Redjo, 1998).
Pajak adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah yang dapat
dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk. Misalnya
pajak kendaraan bermotor, pajak penjualan dan sebagainya. (Suparmoko, 2003)
selanjutnya menurut Suparmoko penerimaan pajak terutama diperuntukan bagi
pembiayaan barang-barang publik di suatu daerah, yang selanjutnya disebut sebagai
kebutuhan fiskal (fiscal needs). Pajak daerah merupakan sumber penerimaan
pemerintah daerah yang sangat potensial bagi suatu pemerintah daerah, sebab selain
dapat dipaksakan dengan menetapkan aturan yang ketat (Perda) serta merupakan
sumber yang tidak akan pernah habis. Pajak Daerah juga dapat diartikan sebagai iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang susunannya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan (Djojohadikusumo, 1994). Apabila ditinjau lebih jauh, terdapat beberapa
bentuk pajak daerah, dimana pajak daerah tidak saja hanya berupa pajak yang
dipungut diatur oleh pemerintah daerah berupa peraturan daerah, tetapi juga
mencakup pajak yang diatur serta dipungut oleh pemerintah pusat akan tetapi
dilaksanakan di daerah, dimana selanjutnya pemerintah daerah yang bersangkutan
akan mendapat kontribusi dari pajak yang terpungut tersebut.
Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di dalam suatu daerah untuk
menghasilkan sejumlah penerimaan tetentu. untuk melihat potensi sumber
penerimaan daerah sendiri, dibutuhkan pengetahuan tetang perkembangan beberapa
faktor-faktor yang dapat dikendalikan (yaitu faktor kebijakan dan kelembagaan) dan
yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat
mempengaruhi sumber penerimaan daerah, faktor-faktor tersebut, yaitu : a) Industri
yang ada di suatu daerah, b) perkembangan PDRB, c) pertumbuhan penduduk d)
Tingkat Inflasi, e) Penyesuaian tarif (terkendali), f) Pembangunan baru barang publik
(terkendali), g) Sumber pendapatan baru (terkendali) dan h) Perubahan peraturan
(terkendali) (Jaya, 1996, 119)
Ekspansi
Ekonomi
162
Selain dipengaruhi oleh variabel-variabel diatas, karaterstik suatu daerah biasanya
mempengaruhi komposisi penerimaan Pendapatan Asli Daerah. Daerah yang bersifat
rural (pedesaan) biasanya struktur PAD-nya didominasi oleh komponen Retribusi
Daerah, sebaliknya daerah yang bersifat urban (perkotaan), komponen penerimaan
dari pajak daerah lebih mendominasi. Daerah-daerah yang memiliki unggulan bidang
jasa, seperti daerah-daerah kota, memiliki kekuatan penerimaan pajak hotel, pajak
restoran, pajak reklame dan pajak hiburan. Maka penerimaan di komponen pajak
daerah akan lebih menonjol. Sedangkan daerah-daerah yang sedang berkembang
dari agraris ke jasa atau industri, lebih mengandalkan pada penerimaan retribusi pasar,
retribusi terminal, dan penerimaan dari bidang perparkiran (gabungan pajak parkir,
retribusi parkir di tepi jalan umum dan retribusi tempat khusus parkir). (Sumardi &
Prasetyani, dalam Hakim, 2009, 149).
Hasil Penelitian Terdahulu (Kajian Empiris).
1. Selamat Bamim (Jakarta, 2006) melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan pajak daerah di Jakarta, dengan tujuan untuk
mendiskripsikan variabel-variabel yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
inflasi, dan jumlah penduduk secara bersama-sama berpengaruh terhadap
penerimaan pajak daerah secara signifikan.
2. Putro Wicaksono S, (Yogyakarta, 2008) melakukan penelitian mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak di Kabupaten Sleman, dengan
tujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pendapatan nominal pajak bumi dan bangunan (PBB) di
Kabupaten Sleman. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data time series
kuartalan 1992-2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan PBB,
secara statistik dan ekonometri, terbukti dipengaruhi oleh pendapatan perkapita,
inflasi, panjang jalan dan jumlah penduduk. Penelitian ini mendukung terhadap
penelitian lain yang telah dilakukan oleh peneliti lain di daerah lain.
3. Jumaini (Kabupaten Solok - 2008) melakukan penelitian tentang pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Solok –
Sumbar. Dari penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi secara
signifikan mempengaruhi penerimaan PAD di Kabupaten Solok.
4. Slamet Supriadi (Bekasi, 2005), melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi perolehan pajak di kabupaten Bekasi. Hasil penelitian
D. Arshad
163
menunjukkan bahwa secara bersama-sama (simultan) Peningkatan PDRB dan
pertambahan penduduk berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di
Kabupaten Bekasi dimana. Peningkatan PDRB dan Pertambahan Penduduk
berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak di Kabupaten Bekasi. peningkatan
PDRB maupun pertambahan penduduk akan meningkatkan penerimaan pajak,
demikian juga sebaliknya jika terjadi pertumbuhan negatif maka akan
menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak daerah.
5. Priyo Hari, Adi (2006) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara
pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan dan pendapatan asli daerah
di Kabupaten/Kota se Jawa-Bali. Data yang digunakan dalam analisisnya adalah
data APBD realisasi pemerintah kabupaten dan kota tahun 1998 – 2003. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak
yang signifikan terhadap peningkatan PAD.
6. Suhendi, Eno (Yogjakarta, 2008). melakukan penelitian yang membahas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak hotel dan restoran (PHR) di
Kota Yogyakarta selama 15 tahun observasi yaitu dari tahun 1991 sampai dengan
2005. Hasil penelitian menunjukkan produk domestik regional bruto secara
statistik terbukti tidak signifikan terhadap penerimaan pajak hotel dan restoran di
Kota Yogyakarta sementara jumlah penduduk terbukti signifikan secara negatif
mempengaruhi penerimaan PHR.
Kerangka Pemikiran.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu komponen yang paling penting
dalam menentukan derajat keotonomian suatu daerah serta merupakan ciri hakiki dari
suatu daerah yang otonom, sebab apabila besarnya pendapatan yang diperoleh suatu
pemerintah daerah lebih dominan dari pemerintah pusat dibandingkan dengan
pendapatan asli sendiri, maka akan selalu mengundang campur tangan pemerintah
pusat. (Kuncoro, 2004). Mengingat pentingnya PAD dalam mendukung keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah, maka perlu ditegaskan sumber–sumber apa saja yang
dapat dikatagorikan menjadi keuangan pendapatan asli daerah, yang antara lain dapat
berupa pajak daerah, retribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD)
serta sumber-sumber lainnya, diantara berbagai sumber PAD tersebut, pajak daerah
merupakan salah satu sumber yang cukup penting, sebab selain jumlah yang ditarik
merupakan paling dominan diantara sumber PAD lainnya, potensi pajak yang belum
tergali serta masih dapat dikembangkan masih besar, selain itu pemungutan pajak
dapat dilakukan dengan sifat memaksa, kerena pemungutan pajak didukung oleh
Ekspansi
Ekonomi
164
perundang-undangan serta peraturam pemerintah, baik peraturan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah (Mangkoesoebroto, 2001).
Semakin terbatas sumber PAD, semakin kecil derajat otonomi yang dijalankan oleh
pemerintah daerah. Kecilnya PAD berarti besarnya ketergantungan keuangan kepada
subsidi dari daerah yang lebih atas atau dari pusat. Ini berarti otonomi bagi daerah
tersebut tidak bermakna, bahkan cenderung menjadi daerah administratif.
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi beberapa tahun kemudian setelah
pertumbuhan penduduk) secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif
yang membantu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti
akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang
lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. (Todaro, 2006). Pajak
daerah sebagai salah satu bentuk kebijakan fiskal yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah, dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagaimana dikemukakan oleh Todaro:
Secara umum potensi perpajakan di suatu negara, tergantung kepada lima faktor
berikut: 1) Tingkat pendapatan riil per kapita; 2) Tingkat ketimpangan dalam
pemertaan pendapatan tersebut; 3) Struktur ekonomi dan pentingnya berbagai jenis
kegiatan ekomomi; 4) Susunan sosial, politik dan institusional serta 4)
Kemampuan/kecakapan administratif.(Todaro, 2006;231)
Pertumbuhan ekonomi sangat jelas kontribusinya terhadap penerimaan pajak, bahwa
kondisi perekonomian yang kondusif akan memicu kinerja ekonomi pelaku usaha serta
meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga objek berbagai jenis pajak
secara langsung akan meningkat. Pada sisi lain perkembangan penduduk dalam
pandangan ekonomi yang menganut aliran Keynes menganggap bahwa penduduk
sebagai bentuk perluasan pasar (Bodiono, 2003). Oleh sebab itu mereka memberikan
sumbangan yang positif kepada pembangunan ekonomi. Dengan demikian, apabila
pertambahan penduduk menjadi semakin lambat, perkembangan pasar menjadi lebih
terbatas dan memperlambat perkembangan permintaan masyarakat. Perkembangan
permintaan masyarakat yang lambat ini mengurangi dorongan untuk mengadakan
penanaman modal baru (Sukirno, 2005: 293)
Dalam hubungannya dengan penerimaan pajak daerah, maka jumlah penduduk
dianggap sebagai pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai
barang dan jasa yang kemudian akan memicu aktifitas perekonomian sehingga
menciptakan skala ekonomis produksi yang menguntungkan bagi pelaku ekonomi
D. Arshad
165
yang pada gilirannya akan merangsang tingkat output agregat yang lebih tinggi lagi.
Pertumbuhan output agregat menunjukkan peningkatan kinerja perekonomian yang
pada akhirnya memperluas peningkatan potensi sumber penerimaan pajak daerah.
Hipotesis Penelitian.
1. Jumlah penduduk berpengaruh terhadap perolehan pajak daerah di kota Bandung.
2. PDRB Bruto berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
3. Tingkat inflasi berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
4. Jumlah industri berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
METODA PENELITIAN
Operasionalisasi Variabel.
Tabel 3 Operasionalisasi Variabel
Variabel Indikator Sumber Skala
PDRB PDRB Kota Bandung tahun 1999 – 2008
berdasarkan harga konstan 2000
BPS Kota
Bandung
Rasio
Jumlah
Penduduk
Jumlah Penduduk Kota Bandung tahun 1999 –
2008
BPS Kota
Bandung
Rasio
Laju Inflasi Laju Inflasi Kota Bandung dari tahun 1999 – 2008 BPS Kota
Bandung
Rasio
Jumlah
Industri
Jumlah Wajib Pajak Daerah Kota Bandung dari
tahun 1999-2008, yaitu industri dan perdagangan
formal pada skala kecil, menengah dan besar
berdasarkan Perda yang berlaku.
Dispenda
Kota
Bandung
Rasio
Pajak Daerah Realisasi Perolehan Pajak Daerah Kota Bandung
tahun 1999-2008
Dispenda
Bandung
Rasio
Metoda Analisis Data.
Regresi Berganda.
Mengingat penelitian yang dilakukan berkenaan dengan lebih dari satu variabel bebas
(x>1), maka pengujuan analisis statistik yang digunakan adalah regresi berganda
(multiple regression) (Atmadja, 2007), dengan model regresi berganda maka dapat
Ekspansi
Ekonomi
166
dihitung: 1) koefisien korelasi berganda (multiple coeficient correlation); dan 2)
koefisien korelasi parsial (partial coeficient correlation). Nilai koefisien korerasi
berganda pada regresi berganda berkisar antara -1 hingga + 1. Koefisien korelasi
berganda adalah ukuran kekuatan asosiasi atau hubungan antara variabel terikat atau
dependen dengan dua atau lebih variabel bebas atau independen, sedangkan
koefisien korelasi parsial menunjukkan kekuatan asosiasi antara variable independen
(antara parsial atau terpisah) dengan asumsi variabel independen lainnya konstan
(Widarjono, 2007). Adapun Model Regresi Berganda yang digunakan, yaitu :
Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 +
Dimana :
Y adalah realisasi perolehan pajak daerah
β0 adalah konstanta, yaitu nilai Y jika semua variabel X bernilai 0
β1 adalah koefisien regresi dari X1
β2 adalah koefisien regresi dari X2
β3 adalah koefisien regresi dari X3
β4 adalah koefisien regresi dari X4
X1 adalah jumlah penduduk (dalam jiwa)
X2 adalah pertumbuhan PDRB. (dalam rupiah)
X3 adalah laju inflasi (dalam persentase)
X4 adalah jumlah industri (industri yang merupakan Wajib Pajak Daerah/WPD)
Uji t
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah secara parsial variabel bebas mempengaruhi
variabel terikat. Apabila nilai t dari parameter yang diestimasi lebih besar dibandingkan
dengan nilai t-tabel, maka secara parsial variabel bebas mempengaruhi variabel
terikat.
Pengujian satu sisi (one-side-test) dengan tingkat signifikansi dan derajat kebebasan
(degree of freedom, df = n-k-1), dengan n adalah jumlah observasi dan k adalah
jumlah parameter termasuk konstanta. Hasil pengujian akan menunjukkan:
- Apabila t hitung ≥t tabel, maka H0 ditolak, artinya secara parsial variabel-variabel
bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
- Apabila t hitung ≤ t tabel, maka H0 diterima, artinya secara parsial variabel-variabel
bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
D. Arshad
167
Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas secara bersama-
sama mempengaruhi variabel tak bebas secara signifikan. Pengujian mempunyai
hipotesis sebagai berikut :
H0 : Bj = 0
H1 : setidaknya satu Bj ≠ 0
Apabila hasil pengujian menunjukkan hasil sebagai berikut :
- Apabila F hitung ≥ F tabel, maka H0 ditolak, arrtinya secara simultan variabel-
variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.
- Apabila F hitung ≤ F tabel, maka H0 tidak dapat ditolak, artinya secara simultan
variabel-variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
Untuk Uji F, df1 = k-1 dan df2 = n-k
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Pengujian koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan
variabel dalam model yang digunakan. Koefisien determinasi R2 adalah angka yang
menunjukkan besarnya proporsi atau persentase variasi varibel tak bebas yang
dijelaskan oleh variabel bebasnya dalam model regresi tersebut
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.
Dengan menggunakan alat bantu program komputer SPSS, dengan memasukan data
jumlah penduduk (X1), PDRB di Kota Bandung berdasarkan harga konstan tahun 2000
(X2), tingkat inflasi (X3), jumlah industri (X4), serta realisasi perolehan Pajak Daerah di
Kota Bandung selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2008 (Y), maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4 Hasil Perhitungan Koefisien
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -9,053 9,723 -,931 ,395
Penduduk 3,356 ,692 ,864 4,848 ,001
PDRB 13,487 ,544 ,994 24,786 ,000
Inflasi -,034 ,053 -,028 -,642 ,549
Industri 11,395 1,272 ,954 8,960 ,000
a Dependent Variabel: PajakDaerah
Ekspansi
Ekonomi
168
Dengan memasukkan nilai B sebagaimana terdapat pada tabel diatas pada
persamaan regresi berganda, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut :
Y = -9,053 + 3,356 X1 +13,487X2 – 0,034 X3 +11,395 X4 +
Berdasarkan persamaan regresi diatas, dapat dijelaskan bahwa apabila tidak terjadi
perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak Daerah, yaitu
jumlah penduduk, PDRB, tingkat inflasi dan jumlah industri, maka realisasi perolehan
Pajak Daerah akan berkurang sebesar 9,053 milyar rupiah. Selanjutnya dari koefisien
regresi yang diperoleh dari jumlah penduduk (X1) sebesar 3,356, hal ini berarti apabila
terdapat perubahan jumlah penduduk sebanyak 1 orang, maka akan mempengaruhi
realisasi penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung sebesar Rp. 3.356. Koefisien
regresi yang diperoleh dari PDRB (X2) sebesar 13,487, menunjukkan bahwa apabila
terdapat perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp.
1.000.000.000.000 maka akan mengakibatkan perubahan perolehan Pajak Daerah
sebesar Rp. 13,487 milyar rupiah. Koefisien regresi yang diperoleh dari tingkat inflasi
(X3) sebesar -0,034, menunjukkan bahwa apabila terdapat kenaikan tingkat inflasi di
Kota Bandung sebanyak 1 persen, maka akan mengakibatkan penurunan perolehan
Pajak Daerah sebesar 0,034 milyar rupiah atau Rp. 340.000.000. Koefisien regresi
yang diperoleh dari jumlah industri (X4) sebesar 11,395, menunjukkan bahwa apabila
terdapat perubahan jumlah industri yang merupakan Wajib Pajak Daerah (WPD) di
Kota Bandung bertambah sebanyak 1 industri/perusahaan, maka akan mengakibatkan
penambahan perolehan Pajak Daerah sebesar Rp. 11.395.000
Analisis Secara Parsial Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, Inflasi dan Jumlah Industri
Terhadap Penerimaan Pajak Daerah.
Untuk menguji pengaruh jumlah penduduk, PDRB, inflasi dan jumlah industri terhadap
penerimaan Pajak Daerah, digunakan uji-t dengan cara membandingkan nilai tabel t-
tabel den gan nilai t-hitung dari masing-masing variabel bebas. Nilai t tabel = 2,2622.
Nilai t-hitung dari masing-masing variabel bebas sebagaimana terdapat pada tabel
4.14 (halaman 81), adalah: 4,848 untuk penduduk, 24,786 untuk PDRB, -0,624 untuk
inflasi serta 8,960 untuk industri, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada
tingkat signifikasni 5 % untuk:
a. Penduduk (t-hitung > t-tabel), yaitu 4,848>2,2622, maka Ho ditolak, artinya jumlah
penduduk berpengaruh terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah di Kota
Bandung, dengan nilai signifikansinya sebesar 0,001 > dari 0,05.
D. Arshad
169
b. PDRB (t-hitung > t-tabel), yaitu 24,786>2,2622, maka Ho ditolak, artinya PDRB
berpengaruh terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah di Kota Bandung. dengan
signifikansinya sebesar 0,000 > dari 0,05.
c. Tingkat Inflasi (t-hitung < t-tabel), -0,264< 2,2622, maka Ho diterima, artinya tingkat
inflasi tidak berpengaruh terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah di Kota
Bandung, dengan nilai signifikansinya sebesar 0,549 < dari 0,05.
d. Industri (t-hitung > t-tabel), yaitu sebesar 8,960 > 2,2622, maka Ho ditolak, artinya
jumlah industri berpengaruh terhadap realisasi perolehan Pajak Daerah di Kota
Bandung, dengan nilai signifikansinya sebesar 0,000 > dari 0,05.
Analisis Secara Menyeluruh Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, Inflasi dan Jumlah
Industri Terhadap Penerimaan Pajak Daerah.
Dengan menggunakan Uji F, dapat diketahui pengaruh jumlah penduduk, PDRB,
Inflasi serta jumlah industri secara bersama-sama terhadap penerimaan Pajak
Daerah. Uji F dapat dijelaskan dengan menggunakan alat analisis varian (Analysis of
Variance), berupa tabel tabel Anova berikut:
Tabel 5 Hasil Perhitungan Analisis Varian
ANOVA(b)
Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 280,539 4 70,135 143,236 ,000(a)
Residual 2,448 5 ,490
Total 282,987 9
Berdasarkan Tabel F, diperoleh hasil 5,19, sementara nilai nilai F hitung berdasarkan
hasil pengolahan data sebagaimana terdapat pada Tabel 5, sebesar 143,236, hal ini
menunjukkan F-hitung > F tabel (143,236 > 5,19), Ho ditolak, berarti variabel-variabel
bebas (Penduduk, PDRB, Inflasi, Industri) secara simultan berpengaruh terhadap
variabel terikat (penerimaan Pajak Daerah), selama tahun pengamatan, yaitu dari
tahun 1999 sampai dengan tahun 2008.
Analisis Hubungan Jumlah Penduduk, PDRB, Inflasi dan Jumlah Industri Terhadap
Penerimaan Pajak Daerah.
Ekspansi
Ekonomi
170
Tabel 6 Hasil Perhitungan Koefisien Determinasi
Berdasarkan Tabel 6 diatas, diperoleh hasil R sebesar 89,5 % yang berarti terdapat
hubungan yang kuat pada variabel yang diuji. Koefisien determinasi (R Square) yang
diperoleh sebesar sebesar 0,80, yang berarti bahwa sebesar 80% variasi perubahan
realisasi perolehan Pajak Daerah dapat dijelaskan oleh variasi perubahan jumlah
penduduk (X1), PDRB (X2), inflasi (X3), serta jumlah industri (X4), sisanya yaitu
sebesar 20 % dapat dijelaskan oleh faktorr lain yang tidak terdeteksi dalam model.
KESIMPULAN
Jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat inflasi serta
Jumlah Industri di Kota Bandung selama sepuluh tahun pengamatan, yaitu dari tahun
1999 sampai dengan 2008, mempengaruhi realisasi penerimaan Pajak Daerah di Kota
Bandung secara signifikan, sementara tingkat inflasi tidak mempengaruhi realisasai
penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
Dapat dijelaskan bahwa sebesar 80 % variasi perubahan realisasi penerimaan Pajak
Daerah dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variasi perubahan jumlah
penduduk, laju pertumbuhan PDRB, laju inflasi serta jumlah industri, dimana
keempatnya merupakan variabel-variabel bebas yang diteliti, sedangkan sisanya
sebesar 20 % dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdeteksi dalam model.
Hasil analisis menyeluruh menunjukkan bahwa jumlah penduduk, produk domestik
regional bruto, inflasi dan jumlah industri selama sepuluh tahun pengamatan, yaitu
dfari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 secara bersama-sama mempengaruhi
realisasi penerimaan Pajak Daerah di Kota Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Ackley, Gardner. 2002. Teori Ekonomi Makro, Terjemahan Paul Sitohang, Universitas Indonesia Press, Jakarta
Anwar, Moh. Arsyad. 2002. Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan,
disunting oleh Hendra Asmara, Gramedia, Jakarta.
Model Summary b
,895a ,801 ,769 ,72590 ,991 133,062 4 5 ,000 1,182
Model 1
R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
y Change F Change df1 df2 Sig. F Change
Change Statistics Durbin-
Watson
Predictors: (Constant), Industri, Inflasi, Penduduk, PDRB a.
Dependent Variable: PajakDaerah b.
D. Arshad
171
Arsyad, Lincoln. 1996. Analisis Potensi Pembangunan Ekonomi Daerah; Pendekatan Makro. Direktorat Jenderal PUOD & Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi dan Bisnis – Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Chandra, Aditiawan. 2001. Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi, P3ES, Jakarta.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi ; Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
....................... 1995. Sejarah dan Teori Pertumbuhan Ekonomi, LP3ES, Jakarta 1994
Glasson, J. 1977. An Introduction to Regional Planning, terjemahan Paul Sitohang,
1990. Pengantar Perencanaan Regional, LPFE UI, Jakarta.
Gujarati, Damodar N. Basic Economentrics.4th Edition, Mc.Graw-Hill Higher Education.
Hakim, Lukman. Prasetyani, Dwi. Sulistyo JNS, Hery. 2009. Visi Perekonomian Indonesia 2030. Bagian Penerbit Ekonomi Pembangunan (BPEP) FE UNS, Solo.
Jamli, Ahmad. 1996. Stategi Pembangunan Ekonomi Daerah, Pendekatan Makro. Direktorat Jenderal PUOD & Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi dan Bisnis – Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Jaya, Wihana Kirana.. 1996. Analisis Potensi Keuangan Daerah : Pendekatan Makro.
Direktorat Jenderal PUOD & Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi dan Bisnis – Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Jhingan, M.L. 2007. The Economics Of Development and Planning, terjemahan oleh Guritno, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT Rajawali Grafindo Persada.
Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMN YKPN, Yogyakarta.
……………………. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan Strategi dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik, BPFE Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Mardiasmo. 2003. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
……………. 2001. Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Mubyarto. 1991. Teori Ekonomi dan Penerapannya di Asia, Buku Pertama: Ekonomi Pemabangunan dan Ekonomi Pertanian. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Munir, Rozy dan Tjiptoherijanto, Prijono. 2001. Penduduk dan PembangunanEkonomi, Bina Aksara, Jakarta.
Nopirin. 1996. Globalisasi dan Regionalisasi Ekonomi: Indikator dan Trend Ekonomi Daerah. Direktorat Jenderal PUOD & Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi dan Bisnis – Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Partadiredja, Ace. 1998. Perhitungan Pendapatan Nasional, LP3ES, Jakarta.
Samuelson, Paul A. Nordhaus, William D. 2001. Economics, 12th Edition. Terjem,ahan
oleh A.Q. Khalid; Ekonomi edisi keduabelas, Penerbit Erlangga, Jakarta
Sujana. 1998. Statistika Untuk Ekonomi dan Perdagangan, Penerbit Tarsito. Bandung.
Ekspansi
Ekonomi
172
Sukirno, Sadono.2005. Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta.
Suparmoko, M. 2003. Keuangan Negara, Dalam Teori dan Praktek, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta .
Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan oleh
Haris Muinandar. Erlangga, Jakarta.
Todaro, Michael P. Smith, Stephen C. 2006. Economic Development, Ninth Edition. Terjemahan oleh Haris Munandar & Puji A.L. Ekonomi Pembangunan, Edisi Kesembilan . Erlangga, Jakarta.
Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua. Penerbit Ekonisia, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogjakarata.
………………….. 2008. Penelitian Tentang Potensi-Potensi Ekonomi Regional di Provinsi Jawa Barat, Badan perencana Pembangunan daerah (BAPEDA) Provinsi jawa barat.
D. Arshad
173