Analisis dan...

59

description

Judul: Analisis Dan Evaluasi Hukum Tentang Kebiasaan Berbagai Waris Masyarakat Minangkabau Di Perantauan Menuju Kehidupan Di Bawah Hukum Nasional Pengarang: Hartono, C.F.G. Sunaryati ; Muhammad, Bushar ; Rahardjo, Satjipto ; Ali, H. Mohammad Daud ; Institusi: Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun Terbit: 1995 Kode Panggil: 347.65(910.13), Bad, l Desc Fisik: vii, 45 hlm.; 22 cm Subyek: Hukum Waris - Minangkabau Lokasi: BPHN Jakarta

Transcript of Analisis dan...

Page 1: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 2: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

jPENGAYOMANJ

ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

TENTANG

KEBIASAAN BERBAGI WARIS MASYARAKAT MINANGKABAU DI PERANTAUAN

MENUJU KEHIDUPAN DI BAWAH HUKUM NASIONAL

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN

Page 3: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 4: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

LAPORAN AKHIR TIM ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM

TENTANG KEBIASAAN BERBAGI WARIS MASYARAKAT MINANGKABAU DI PERANTAUAN MENUJU KEHIDUPAN DI BAWAB HUKUM NASIONAL

DISUSUN OLEH TIM KERJA DI BAWAH PIMPINAN

Prof. H. Boeshar Muhammad, S.H.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN RI

1994/1995

Page 5: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 6: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

KATA PENGANTAR

Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan Matrilinial yang mengelompokkan orang-orang ke dalam satu kerabat berdasarkan garis keturunan perempuan. Di dalam hal-hal penyelesaian masalah-masa lah keluarga dan sosial termasuk warisan sebagian besar jatuh kepada Ibu/Perempuan.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka melaksanakan fungsinya, bertugas antara lain mengindentifikasi serta mengkaji berbagai permasalahan hukum dalam berbagai bidang hukum baik tertulis maupun tidak tertulis secara terns menerus mendalam dan terarah.

Salah satu topik kajian dalam hukum tidak tertulis adalah Analisis dan Evaluasi Hukum Kebiasaan Berbagi Waris Masyarakat Minangkabau di Perantauan Menuju Kehidupan di bawah Hukum Nasional.

Penerbitan basil analisis dan evaluasi ini diharapkan dapat menambah informasi hukum dengan maksud semoga dapat mengundang atau memberikan umpan balik kepada pemerintah dalam upaya persia pan materi muatan peraturan perundang-undangan.

Akhimya kepada ketua dan anggota tim yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya sehingga buku ini dapat diterbitkan, kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 1996

Kepala Badan Pembinaan Hokum Nasional

ttd.

H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M.

iii

Page 7: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 8: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

DAFfAR lSI

Halamaa

KATA PENGANTAR ....................................................................... U1

DAFTAR lSI...................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................... W

DAB I PENDAHULUAN 1

1. Latar Belakang ··•······································· 0000000 ••• • 1 2. Maksud dan Tujuan .................... .......................... 2

3. RuangLingkup..................................................... 2 4. Metode Pendekatan dan Sistimatika Laporan ........ 2

DAB ll PENGATURAN HUKUM WARIS MINANGKABAU MENURUT HUKUM ADAT 4

DAB m FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN HUKUM WARIS MINANGKABAU 6

A. Faktor Khusus ........... ..... .......... ......... ....... ... . ....... 6

B. Faktor Umum ....................................................... 7

DAB IY. ANALISIS KEDIASAAN BERBAGI WARIS MASYARAKAT MINANGKABAU DEWASA INI 23 A. Tabulasi Data....................................................... 23 B. Analisis Data........................................................ 28

DAB V. PENUTUP 37 A. Kesimpulan ........................................... .. ............. 3c7 B. Saran............................................................... 38

Lampi ran 41

v

Page 9: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 10: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

KATA PENGANTAR

Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Kebiasaan Berbagi Waris Masyarakat Minangkabau di Perantauan Menuju Kehidupan Di bawah Hukum Nasional ini disusun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor G-112 PR09.03 tahun 1994 tentang Pembentukan Tim-tim Analisis dan Evaluasi (tertulis dan tidak tertulis) tahun anggaran 1994/1995 dengan susunan personalia sebagai berikut :

Ketua

Sekretaris

Anggota

Pembantu

Pengetik

Prof. H. Boeshar Muhammad, S.H.

S a d i k i n, S.H.

1. Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H.

2. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.

3. Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H.

4. Sri Gustini, S.H.

5. Nuraini Barda'i, S.H.

6. 'fusrida Tara, S.H.

1. Ellyna Syukur, S.H.

2. Abd. Rahim Madinah, Sm. Hk.

Taryadi Muid.

Tujuan utama dari penyusunan analisis dan Evaluasi ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan hukum yang dapat dipergunakan sebagai pangkal to1ak bahan penyusunan Rancangan Undang-undang. Dalam Bab Pendahuluan telah dikemukakan beberapa alasan dan argumentasi tentang perlu diadakannya penyusunan Analisis dan Evaluasi peraturan perundang-undangan tersebut.

Analisis dan Evaluasi ini tidaklah dimaksudkan untuk dianggap sebagai satu­satunya sumber dalam menyusun rancangan peraturan perundang-undangan tentang berbagi waris masyarakat Minangkabau di perantauan. Naskah ini perlu disempurnakan dan di1engkapi dengan data, informasi, saran dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan bidang ini.

Jika tim keija ini tidak dapat menyusun secara sempurna, hal tersebut dikarenakan semata-mata keterbatasan waktu dan dana yang tersedia.

vii

Page 11: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

Akhimya atas nama Tim, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga tersusunlah Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan tentang Kebiasaan Berbagi Waris Masyarakat Minangkabau di Perantauan Menuju Kehidupan Di bawah Hukum Nasional.

Jakarta, Mei 1995

Ketua Tim.

ttd

Prof. H. Boeshar Muhammad, S.H.

viii

Page 12: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

1. Latar BelakaDg.

BAB I PENDAHULUAN

Sudah sejak lebih kurang seratus lima puluh tahun belakangan ini, masyarakat Minangkabau mengalami perubahan dalam peri kehidupannya, terutama karena pengaruh modernisasi di lapangan pendidikan dan lebih kurangtujuh puluh lima tahun belakangan ini pula, lebih-lebih sesudah zaman kemerdekaan yang gemuruh, dapatlah kita menarik kesimpulan tentang adanya perubahan di lapangan adat kebiasaan (dan hukum adat). Perobahan tersebut di atas dalam peri kehidupan sehari-hari lebih-lebih dialami oleh orang Minang yang merantau, baik yang merantau dari dusun ke kota (urbanisasi) di Sumatera Barat sendiri, maupun perantauan yang menetap di seberang.

Perobahan tersebut meliputi atau mengakibatkan :

a Lepasnya mereka secara ekonomis dari ikatan harta pusaka (pusaka tinggi dan pusaka rendah) dan secara ekonomis juga merasa (psikologis) bebas untuk membelanjakan pendapatan mereka sendiri yang didapat di rantau.

b. Lepasnya mereka dari ikatan adat dan dipengarohi oleh masyarakat setempat dimana mereka merantau. Keadaan ini lebih diperkuat lagi oleh hidup keluarga (gezinsleven, gezins verband) yaitu eratnya hubungan antara ayah dengan anak dan hidup sesomah, dimana hubungan ayah ibu dan anak secara timbal balik tinggal beisama (inti erne gezins Ieven).

Tidak kurang pentingnya adalah sebaliknya, longgarnya atau renggangnya hidup antara kerabat (Familieverband) yang menurut istilah Hatta timbulnya semangat individualitet dengan menyisihkan kehidupan bersama seperti di desa atau dusun tempat asalnya (tenkoste van het gemeenschaps-leven). 1>

Hal-hal yang disebutkan di atas inilah yang secara sangat kuat betpengaruh akan timbulnya "harta bersama", yaitu harta yang tumbuh sebagai hasil kerjasama di dalam arti yang luas sebagaimana disebut dalam pasai 35 Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) yang adanya atau eksistensinya tanpa syarat. l).

1

Page 13: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

Harta bersama inilah yang kiranya menurutkebiasaan berdasarkannaluri perantauan dan lain-lain dibagi diantara isterilsuamidan anak-anak di dalam keluarga Minangkabau yang berpencaran di seluruh nusantara ini.

Kalau memang demikian balnya di mana berbagi warisan diantara keluarga di dalam atau di luar pengadilan, maka sesungguhnya adalah hal itu suatu revolusi seperti yang pernah teijadi pada kasus 68 tahun lalu yang terkenal dengan kasus "Dr. Mochtar". 3>

Hendaknya kita menerima kenyataan-kenyataan ini dengan menghubungkan kejadian ini dengan pasa131 Undang-Undang Perkawinan yang mengamanatkan secara diam-diam bahwa Undang-undang ini sesungguhnya menghendaki sistem bilateral-parental dalam peri kehidupan nasional. lni juga hendaknya dianut dalam hukum waris nasional di masa yang akan datang, yaitu menganut sistem yang demikian itu.

2. Maksud dan 1\ljuan

Kegiatan tim dimaksudkan untuk melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap kebiasaan berbagi waris Masyarakat Minangkabau di perantauan, menuju kehidupan di bawah hukum nasional dan pengaruhnya terhadap sistem kewarisan yang dianut oleh masyarakat adat Minangkabau.

Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah untuk memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya sejauh mana pola sistemkewarisan yang dilaknkan oleh masyarakat Minang di perantauan telah berubah, menyimpang dari hukum adat yang bedaku. k)

3. Raanc Uagkup

Ruang lingkuppembahasan ini lebih ditqjukankepada kebiasaan berbagi waris masyarakat Mina.ngkabau di perantauandcngan pola keterkaitan sistem hukum waris masyarakat adatnya dan Undang-undang Perkawinan (UU No. l tahun 1974).

4. Metode Pendekatan dan Sistimatika laporaa.

2

a ~ ~1t1a Metode yang digunakan dalam penyusuaan analisis dan evaluasi

ini adalah melalui pengumpulan data baik primer maupun selamder, yaitu deagan melalui pengisian kuesionet dan wawancara, hasil-hasil

Page 14: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

penelitian serta publicopinion dari berbagai mass media serta anggota Tim yang diharapkan dari data tersebut, dapat diperoleh informasi mengenai kebiasaan berbagi waris masyarakat Minang di perantauan.

b. Sistimatika Laporan Laporan analisis dan evaluasi ini disusun dalam sistimatika sebagai

berikut :

Bab I

Bab n

Bab m

Bab IV

Bab v

Pendahuluan : a. Latar belaka.ng b. Maksud dan tujuan c. Ruang linglrup d Metode pendekatan dan

sistimatika laporan.

Pengaturan Hukum Waris Minangkabau menurut hukumadat.

Faktor-faktor y~g mempengaruhi perobahan Hukum Waris Minangkabau.

Analisis Kebiasaan Berbagi Waris Masyarakat Minangkabau dewasa ini.

Kesimpulan dan saran.

3

Page 15: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

BAB II PENGATURAN HUKUM WARIS MINANGKABAU

MENURUT HUKUM ADAT

Beberapa fakta yang harus diketahui lebih dulu untuk mengetahui perubahan tentang hukum waris di Miruingkabau, yaitu :

4

l. Bahwa Minangkabau adalah suatu masyarakat keibuan, berarti bahwa anggota masyarakat itu menarik garis keturunan melalui ibu dan memandang serta menyelesaikan masalah-masalah keluarga, dan sosial, semata-mata dari segi ibu atau perempuan.

2. Sistem perkawinannya sesuai dengan sistem hukum keibuan, adalah kawin eksogami semendo, seorang laki-laki datang "dijampui ke-rumah perempuan", bertamu di situ, tetapi dia tetap anggota klan ibunya dari mana dia berasal. Bekerja di tempat ibu dan saudara-saudara perempuannya dan sebagian besar dia berada di tempat tersebut dan tetap bertangung-jawab atas sukunya itu. Maka di dalam bentuk-bentuk perkawinannya yang kita kenai dan memang sesuai dengan struktur unilateral keibuan yang berkembang itu, adalah : 4>

a. Kawin bertandang sebagai bentuk in origin;

b. Kawin menetap, sang suami lebih banyak berada dalam lingkungan isterinya dan bekerjalberusaha di lingkungan tersebut, mendapat nafkahnya termasuk untuk anak isterinya, malahan di sini mulai terbentuk terbina secara lambat laun suatu harta bersama, harta keluarga;

c. Kawin bebas, merupakan bentuk perkawinan paling baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat, berhubung dengan perantauan, pendidikan dan lalu lintas serta ekonomi yang lebih maju. Banyak dilakukan di kota-kota, lebih-lebih di kota-kota pelabuhan dan industri. Pertumbuhan dan perubahan inilah patut menjadi perhatian. Sangat penting ada1ah mengetahui fdktor-fdktor penyebab dalam masyarakat sehingga pertumbuhan itu terjadi, baik berupa tenaga dari dalam maupun tenaga kuat yang berpengaruh dari luar. 5>

Page 16: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

3. Maka dalam sistem pewarisan, masyarakat unilateral keibuan. kawin semendo itu adalah pokok sangat penting ialah harta pusaka , yang merupakan kesatuan harta turon temurun, dan yang dimiliki secara bersama tidak terbagi-bagi, kolektif dimiliki dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan material suku-famili-seluruh klan separui ; kalaupun terlihat pembagian, maka itu adalah beibagi dalam pemakaiannya, hak pakai yang di bagi bukan hak miliknya.

Ada lagi suatu pembagian, yaitu hal pembagian harta pencarian dan harta suarang, yaitu pembagian menurut silsilah keturunan dan menurut kelompok-kelompok berdasarkan garis keibuan. Urut-urutan itu dalam keluarga adalah sebagai berikut :

a. Bila di dalam keadaan atau tingkat kawin bertandang dan kawin menetap, seorang suami meninggal, yang menjadi ahli waris adalah

1. ibu si mati; 2. saudara-saudara yang perempuan; 3. anak-anak perempuan dari saudara perempuan yang

meninggal.

b. Bila yang meninggal sang isteri, maka yang menjadi ahli waris utama adalah anak-anak yang perempuan berikut keturunannya.

c. Bila pada tingkat kawin menetap, dan telah terbentuk harta bersama atau harta suarang, dan pada tingkat kawin bebas, maka yang menjadi ahli waris bila suami meninggal, adalah diberatkan pada isteri dan anak-anaknya. Sedang ibu dari suami yang meninggal, saudara-saudam perempuan dari keturunannya tidak lagi menuntut. Maksud kata "tidak lagi", menunjukkan bahwa para keturunan menurut garis perempuan dari yang mati itu, sebenamya atau pada hakekatnya mempunyai hak, berhubung dengan sistem keibuan asli. Bila juga mereka melakukan penuntutan, menurut ajaran atau adagium dalam hukum adat yang menilai positif terhadap kenyataan sosial dan petkembangan yang menunjukkan perubahan-perubahan dan pertumbuhan-pertumbuhan, hakim akan memutuskan tidak mengabulkan tuntutan tersebut. 6J

5

Page 17: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

BAD III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN

HUKUM WARIS MINANGKABAU

A. Faktor khusus.

6

Faktor-faktor yang mempengaruhi secara khusus :

1. Akhir-akhirini sejak 100 tahunyang lalu sampai tahun 1928, di daerah­daerah telah terlihat hubungan yang bertambah erat antara ayah dan anak, dengan mengorbankan dan mengesampingkan hubungan yang biasa antara seorang laki-laki dengan sanak keluarga menurut garis ibu, jadi ada gezinzvetband atau hubungan keluarga yang erat antara orang tua dengan anak;

2. Di dalam hal yang khusus atau lebihkhusus lagi, maka di daerah-daerah di mana ayah, ibu, dan anak telah bertempat tinggal bersama-sama di dalam suatu hidup kekeluargaan.

3. Khususnya lagi, di dalam hal keadaan tersebut terjadi di dalam lingkungan orang-orang yang kuat kedudukan ekonomi dan terkemuka (terdidik);

4. Istimewa lagi, pengaruh pada perantau-perantau orang Minangkabau, yang dipandang dari sudut adat Minangkabau akan lebih dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat bukan garis keturunan ibu, tentu sangat kuat di daerah-daerah lain. Ditambah pula pengaruh hubungan-hubungan ekonomi yang menuntut agar ayah, bukan famili dari garis ibunya, yang memperhatikan dan memelihara anak-anak bagi keperluan pendidikannya.

5. Pada hakekatnya, proses ini lebih didorong dan diperkuat lagi, jika diperhatikan bahwa di daerah tempat asalnya tidak mempunyai anggota kerabat yang dekat, kecuali beberapa orang misanan dari derajat kelima atau ketujuh, sedang yang bersangkutan sendiri sejak kecil dididik oleh orang lain.

Contoh tentang perubahan hukum waris tersebut adalah : Kasus Dr. Mochtar. Dr. Mochtar adalah seorang dokteryang berasal dari Minangkabau, bertugas

Page 18: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

sebagai dokter di Perlakl Aceh pada Pemsabaan MinyakBPM danmempunyai sejumlah uang simpanan pada Foods BPM. Sedang dalam perjalanan ( cuti) ke daeah asa1nya. ia meninggal dunia. Kerabat Dr. Mochtaryang tinggal di kampung merupakan anggota keluarga menurot garis keibuan pada derajat ke samping dan ke bawah tingkat kelima, kini menggugat bahwa menurot hukum adat Minangkabau mereka berhak atas warisan Dr. Mochtar. malah diperkuat pula, bahwa Dr. Mochtar telah membuat suatu Akte Notaris berupa Wasiat (amanat), yang menyebutkan harta peninggalannya diberikan kepada isteri dan anak-anaknya. Berhubung ada dua pihak saling memperebutkan harta kekayaan itu, maka direksi BPM telah menempuh suatu garis kebijaksanaan minta advis kepada Prof. TerHaar di Batavia agar anak-anak Dr. Mochtar memiliki harta peninggalan tersebut, demikianlah, cerita "tentang advies TerHaar tersebut di atas. yang dimuat dalam "Naschriften TerHaar" dihimpun oleh Soepomo (1940)."

Sehubungan dengan hal tersebut di atas. tidak dapat diragukan bahwa anak-anak Dr. Mochtar beserta isterinya berhak akan sejumlah uang yang disimpan pada perusahaan BPM tersebut. Dan setiap hakim yang bertugas menerapkan hukum adat, perlu memperhitungkan faktor-faktor perkembangan di dalam masyarakat (kenyataan sosial). Dalam hal-hal yang khusus memperhatikan pula hal individual yang menonjol (kenyataan), demi rasa keadilan bagi pribadi-pribadi (person-person) yang bersangkutan.

B. Faktor Umum

Berdasarkan pandangan terhadap faktor-faktor kemasyarakatan yang tumbuh di dalam masyarakat yang membawa dan mempengaruhi keadaan yang merupakan. alasan sosiologis, sehingga menuju ke arab suatu sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan kecenderungan dari masyarakat keseluruhannya secara nasional yang menuju ke sistem bilateral parental. ·

Alasan-alasan sosiologis tersebut antara lain adalah :

1. Faktor pendidikan. 2. Faktor perantauan/migrasi dalam arti luas. 3. Revolusi 4. Faktor ideologi (Pancasila). S. Faktor Islam. 6. Faktor Politis.

7

Page 19: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

8

Ad. 1. Faktor pendidikan Pendidikan adalah suatu sistem pembangkitan kecerdasan,

kemampuan, keterampilan, logika, dan lain-lain, dati anak didik sebagai manusia dan dengan demikian, membuka pikirannya dan mengarahkan peibuatannya untuk suatu perubahan kemajuan hidup. Pendidikan merigajar manusia untuk dapat berpikir secara objektif, hal mana akan dapat memenuhi kebutuhan zaman atau tidak. Dengan pendidikan pula manusia akan lebih rasional dalam pandangan, dan lebih banyak memakai logika dan perhitungan, mempertimbangkan segi-segi positif dan negatif dalam suatu hal atau kejadian dan bermanfaatnya sesuatu perbuatan atau tidak, sehingga berkurang sifat atau berpikir spekulatifmenyerah kepada keadaan, dengan demikian orang juga akan lebih menonjol individualitetnya dan dengan demikian dia akan lebih banyak berpikir untuk diri sendiri, untuk keluarganya, dati pada bergabung dengan pendapat umum yang dikungkung dan menjadi ciri dasar hidup dalam klan dan masyarakat adat Apabila sikap tersebut telah berurat berakar di dalam masyarakat hukum adat, maka akibatnya bahwa seseorang dalam masyarakat hukum adat itu memiliki faktor yang kuat yang dapat menjadi pendorong bagi perubahan masyarakat hukum adat tersebut. Dengan adanya unsur rasional dan pertimbangan laba rugi, akan tumbuh pula pertimbangan-pertimbangan modern tentang kesamaan derajat dan hak-hak asasi terutama dalam kehidupan keluarga, dan dati sinilah pula akan tumbuh sifat manusia yang menghargai kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, antara ibu dengan bapak.

Ad. 2. Faktor perantauanlmigrasi dalam arti luas. Sebagaimana diketahui bahwa Van Vollenhoven membagi

seluruh wilayah Indonesia menjadi 19 lingkaran hukum adat, sedangkan tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dapat dibagi pula dalam kukuban hukum, misalnya : Jawa Barat dapat dibagi dalam kukuban-kukuban hukum Jakarta Raya, kukuban hukum Banten, kukuban hukum Priangan, dan kukuban hukum Cirebon. Antara kukuban hukum satu dan lainnyaada perbedaan corak hukum adat, walaupun perbedaan tidak begitu besar, jika dibandingkan perbedaan antara lingkaran hukum satu dan lainnya. Dari lingkaran hukum yang begitu banyak maka dapat dibayangkan betapa banyak macam hukum adat yang berlaku di dalamnya. Mungkin didorong oleh alasan keamanan, alasan atau ingin

Page 20: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

melanjutkan pendidikan atau juga merubah peri kehidupannyal nasibnya, maka terjadilah perpindahan orang dari daerah asalnya menuju daeah lain dan kemudian lalu menetap dan bergaul dengan masyarakat di daerahnya yang barn itu, yang berbeda sekali tata cara hidup dan adat istiadatnya, apalagi hal ini terjadi di kota besar, tata cara hidup di kampung asalnya, telah mereka sesuaikan dengan cara baru di tempat yang baru, di mana mereka berdiam.

Dalam pengertian perantauan di sini dimaksudkan suatu pengertian luas, dimana tercakup di dalamnya migrasi dan urbanisasi yaitu dimana terlibatnya sosial yang menyolok tentang perpindahan penduduk atau orang-orang dari daerah terpencil (re­mote areas) ke-tempat-tempat yang relatif lebih terjamin kehidupannya (pada umumnya di kota-kota besar). Contoh urbanisasi, yaitu suatu proses/perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. Hal ini terutama disebabkan pada umumnya basil produksi pertanian adalah sangat rendah untuk hidup layak, apabila dibandingkan dengan basil pendapatan (in­come) jika berpindah ke (kota) tempat lain, daerah lain, negeri lain. Untuk mengetahui sebab-sebab urbanisasi, maka harus diperhatikan dua faktor yaitu :

a. Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan tempat kediamannya adalah sebagai berikut :

1. Di desa lapangan pekerjaan pada umumnya kurang, lapangan yang dapat dikerjakan adalah terutama bidang pertanian, sedangkan bidang pertanian tidak akan mungkin menampung semua kesulitan berhubung dengan bidang areal tanah yang telah tersedia relatip menjadi kurang (sempit) sesuai dengan kepadatan dan pertambahan penduduk.

2. Penduduk desa terutama kaum muda, merasa tertekan oleh adat istiadat yang mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton dan kadang kala menekan dan menghambat.

3. Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan.

9

Page 21: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

10

4. Rekreasi yang merupakan faktor penting di bidang spiri­tual kurang sekali.

5. Tidak adanya tempat pemasamn dari basil produksi. tiada keahlian selain bertani. misalnya kerajinan tangan.

b. Faktor-faktor penarikan penduduk desa untuk pindah ke kota sebagai berikut :

1. Penduduk desa kebanyakan dihinggapi suatu anggapan bahwa di kota banyak pekerjaan serta banyak penghasilan.

2. Di kota-kota banyak kesempatan untuk mendirikan perusahaan-pemsahaan, industri-industri. dan lain-lain.

3. Modallebih banyak di kota-kota dari pada di desa. (bank)

4. Lapangan pendidikan lebih banyak di kota-kota.

5. Kota merupakan suatu tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa sebaik-baiknya.

6. Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang "lebih tinggi".

Dari beberapa faktor yang telah disebutkan di atas menyebabkan terjadinya urbanisasi, orang yang telah meninggalkan tempat asalnya yaitu desa, mempunyai kecenderungan untuk tetap tinggal di kota. Sebaliknya pula hubungan dengan kota mengakibatkan terjadinya perubahan di desa karena orang-orang yang tadinya tinggal di kota sekali waktu juga akan kembali ke desa dengan membawa .beberapa unsur kehidupan di kota yang dibawa serta. sebaliknya adapula rekan-rekan yang di desa yang meniru gaya kehidupan orang kota. Oleh karena adanya pengaruh dari cara hidup yang lain dari pada di desanya inilah yang menyebabkan mereka meninggalkan sifat-sifat hidup kete:rgantungannya secara relatifterhadap alamltanahlhutan/pantai, jadi mengurangi sifat ketergantungannya, berarti mencari serta menghadapi dan memperhitungkan keadaan-keadaan yang lebih nyata.

Page 22: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

Kecenderungan manusia dalam tingkat ini ialah menuju pada sifat pekerjaan misalnya sebagai buruh, pegawai. pedagang dan lain­lain. Maka dalam hubungan ini tersangkut pulalah masalah ekonomi dan lalu lintas. Di dalam masalah ekonomi berarti timbullah suatu masyarakat uang, di mana orang tidak berdiam diri dalam sistem ekonomi tukar menukar dan tertutup, malah ia sekarang membuka suatu cakrawala yang lebih luas yaitu menyangkut perhubungan dengan sembarang orang, yang mendorong timbulnya hubungan yang lebih luas dari pada manusia dan barang, dan di dorong oleh hasrat, untuk berusaha lebih intensif lagi sehingga manusia di dalam masyarakat yang demikian itu adalah lebih dinamis.

Dan memanglah kehidupan di kota-kota besar tidak lagi diikat oleh aturan-aturan adat melainkan diatur oleh aturan yang umum berlaku bagi setiap warganya sehingga cara berfikir, cara hidup berumah tangga dari keluarga itu, sudah tidak lagi menurut cara hidup di kampung asalnya. Contoh dalam hal ini sebuah keluarga Minangkabau, seorang pemuka Minang hidup rukun sesama isteri di kampung, setelah beberapa bulan kawin mereka gelisah karena masih hidup menumpang pada famili dan bergantung pada harta pusaka. Lalu mereka mengadu untung di negeri orang (merantau) dan berangkatlah mereka, pergi merantau sehingga mendapat anak dan mata pencarian.

Setelah merantau bertahun-tahun 7), mereka mendapat rezeki lalu pulang ke kampung halaman mereka membawa anak-anak yang lahir di rantau itu. sesampainya mereka di kampung si anak menyaksikan suatu yang sangat mengherankan mereka yaitu si anak dan si ibu pulang ke rumah ibu, sedangkan ayah pulang ke rumah ayah, si anak selalu bertanya mengapa si ayah tidak di sini dan mengapa ayah malam saja pulang ke rumah dan si anak lebih tercengang lagi bila sekali waktu si anak dibawa bertandang ke rumah ayah yaitu ke rumah bako, lalu di situ memberitahukan suku si anak dan s!Jku ayahnya berlainan, yang pada waktu di kota tidak terbayangkan oleh si anak hal yang demikian hingga akhirnya mereka segera berangkat lagi ke kota, tempat mereka merantau.

Sangatlah gembira hati si anak sebab telah berkumpul dengan ayahnya kembali, cinta untuk pulang masih ada, tetapi struktur rumah tangga di rantau sudah belbeda 180 derajat dari yang selama

11

Page 23: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

12

ini. Orang sudah hidup dengan anak isterinya bukan dengan kemenakan dan saudara perempuannya lagi. Si ayah benanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. kesejahteraan, serta masa depannya, dan si ayah tidak lagi memikirkan pendidikan, kesejahteraan serta masa depan kemenakannya: Dengan perkataan lain, di dalam keluarga itu (ayah, ibu dan anaknya) telah terjalin suatu hubungan mesra satu sama lain, di atas pola kehidupan yang berbeda dari kehidupan tempat asalnya seperti tersebut di atas. Dan akhimya berkembang suburlah sifat-sifat orang kota terhadap peri kehidupan keluarga ini yaitu akibat pengaruh tuntutan hidup di kota, menjadikan manusia hidup lebih dinamis, serta berpikir cenderung ke arah memikirkan kepentingan-kepentingan pribadi atau keluarga, sehingga menjadilah keluarga itu sebagai pusat kehidupannya. dimana ayah dan ibu dan anak-anak mempunyai harkat dan derajat yang lebih seimbang.

Si ayah dan si ibu sama-sama bertanggung jawab demi kehidupan anak-anaknya, maka lambat laun timbullah perasaan bahwa hak dan kewajiban di dalam kehidupan berumah tangga adalah sama antara laki-laki dan perempuan .. Demikian pula anaknya merasa dekat baik kepada ayah maupun kepada ibunya, hal ini pulalah sebagai salah satu penyebab yang memungkinkan timbulnya pengaruh-pengaruh yang mempercepat perubahan masyarakat Indonesia menuju masyarakat bilateral.

Ad. 3. Faktor revolusi dan lain-lain. Revolusi adalah suatu perubahan besar dan cepat, yang

mengenai dasar atau sendi pokok dari pada kehidupan masyarakat. Pengertian ini disadur dari ucapan Prof. Bluntsachli (guru besar di Jerman)Bl, yang berbunyi "Eine Revolutionist eine Umgestaltung von Grundaus". Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi tidak dapat direncakan terlebih dulu. Sebenamya ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi sifatnya relatif, oleh karena suatu revolusi dapat memakan waktu lama seperti misalnya revolusi industri yang mulai di Inggeris, dimana terjadi perubahan dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi dengan menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat karena merubah sendi-sendi pokok dari pada kehidupan masyarakat seperti misalnya sistem kekeluargaan, hubungan antara buruh dan majikan dan sebagainya. Contohnya yang lain tentang revolusi adalah "the French revolution" oleh Prof. Jean Jaures. Secara sosiologis agar

Page 24: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

suatu revolusi dapat terjadi, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Harus ada keinginan urnurn untuk mengadakan perubahan, di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas terhadap keadaan dan harus ada suatu keinginan untuk mencapai perbaikan dengan merubah keadan tersebut.

b. Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat.

c. Pemimpin tersebut dapat menampung keinginan-keinginan tersebut untuk kemudian merumuskan serta menegaskan ras' tidak puas dari masyarakat untuk dijadikan program dan ar geraknya masyarakat.

d. Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan Sll'

masyarakat, artinya bahwa tujuan tersebut · konkret dan dapat dilihat oleh masyaralr Di samping itu diperlukan juga su: misalnya perumusan suatu ideolof

e. Harus ada momentum untuk r• segala keadaan/faktor-f~' dengan gerakan r, ... keliru maka r,.. ·

Per·'

Page 25: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

14

secara terlepas dari ikatan-ikatan klan dan sumber produksi yang lama yang statis/agraris. Dengan demikian kita melihat bahwa revolusi juga merevolusikan kehidupan dalam lingkungan yang lebih besar menjadi kesatuan-kesatuan kecil yang berdiri sendiri. Dan apa yang kita sebut dalam hubungannya dengan revolusi juga kiranya berlaku terhadap keadaan yang ditimbulkan karena perang, pendudukan oleh tentara asing dan lain sebagainya. 9> Demikian kita dapat melihat dari pelbagai segi mengenai perubahan dalam masyarakat oleh pelbagai faktor yang kesemuanya membawa kepada sistem keluarga somah yang bersifat bilateral, setidak-tidaknya menonjolkan suatu segi kehidupan yang sistem sosialnya mengajarkan dan membawa kesederajatan atau persamaan hak antara sesama manusia, lebih tegas lagi antara laki-laki dan perempuan.

Ad. 4. Faktor ldeologi (Pancasila). Pancasila telah diterima dan ditempatkan sebagai ideologi atau

filsafat negara, seperti yang dicantumkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakanjiwa seluruh rakyat Indonesia, serta merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat-berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia, kebudayaan mana mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagian jika dapat dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dan hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.

Dengan demikian Pancasila menempatkan manusia dalam keseluruhan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai mahluk pribadi, dan sekaligus sebagai mahluk sosial, yang merupakan kesatuan bulat, berkembang secara seimbang, selaras dan serasi dengan dijiwai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila dalam Pancasila sebagai kesatuan. Jadi dengan demikian segala bentuk kehidupan bangsa Indonesia, termasuk juga kehidupan kultural, material dan spiritual harus berlandaskan Pancasila dan tidak boleh sekali-kali bertentangan dengannya, begitu pula dalam kehidupan hokum, tidak terkecuali di dalam lembaga-lembaga hukum adat misalnya, dalam bentuk

Page 26: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

perkawinan manggih koyo dalam masyarakat dengan sistem kekeluargaan yang parental ( di Jawa ), bertentangan dengan jiwa Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pri Kemanusiaan, karena isteri dan anak-anaknya dipandang mempunyai kedudukan lebih rendah dari suami, akibatnya anak-anak yang lahir dari perkawinan manggih koyo ini tidak berhak mewarisi dari ayahnya dan bertentangan dengan sifat kekeluargaan karena suami tidak sungguh-sungguh menjadi anggota dalam kesatuan hidup-bersama yaitu dengan anak-anak dari isterinya dan tidak diakui pula harta bersama dalam perkawinan itu antara suami isteri. Begitu pula depgan masyarakat kebapakan dimana wanita dianggap lebih rendah kedudukannya dengan laki-laki sehingga akibatnya wanita pada sistem masyarakat kebapakan tidak dapat mewarisi atua tidak menjadi ahli waris.

Demikian pula pada masyarakat keibuan (matrilinial) bahwa anak tidak dapat menjadi ahli waris dari ayahnya. Ini semua dirasakan tidak selaras dengan jiwa Pancasila, sehingga baik pengaruh dari dalam masyarakat adat itu sendiri maupun pengaruh dari luar, meski diusahakan berangsur-angsur menyesuaikan diri denganjiwa Pancasila itu. Makajelas dapat dilihat bahwa Pancasila mengajarkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan, bukan saja di antara manusia dan masyarakat, bahkan juga laki-laki dan perempuan dalam segala bidang kehidupan, ini menunjukkan kecenderunganke arah bilateral-parental yang ideal bagi kehidupan modern menjelang abad ke-21 dan sesuai dengan tingkat kebudayaan dunia (wereld cultuur niveau).

Ad. 5. Faktor Islam. Untuk dapat mengerti sejauh manakah pengaruh faktor Islam

terhadap perubahan garis keturunan dalam masyarakat adat, maka sebelumnya kita harus mengetahui dulu bentuk kekeluargaan apa sajakah yang sudah terdapat dalam masyarakat adat tersebut. Di Indonesia bentuk kekeluargaan itu di bagi dalam tiga pokok sistem keturunan yaitu :

a. Sistem keturunan yang patrilineal, di mana anggota­anggotanya dalam menarik garis keturunan ke atas menghubungkan dirinya dengan ayah, ayah dari ayah dan seterusnya ke atas melalui penghubung laki-laki sampai kepada seorang laki-laki yang mereka anggap secara religio magis

15

Page 27: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

16

sebagai moyangnya, dan sejalandengan itu timbullahkesatuan­kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan. marga, sebagaimana terdapat dalam sistem patrilinial yang mumi.

b. Sistem keturunan matrilineal, di mana anggota-anggotanya dalam menarik keturunan ke atas menghubungkan dirinya pada ibu-ibunya dan seterusnya melalui garis penghubung perempuan sampai kepada seorang perempuan asal yang mereka anggap sebagai moyangnya Hal ini pula menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan seeprti clan, suku di Minangkabau yang matrilineal. Kedua sisteJ:!l keturunan yang patrilineal dan sistem keturunan yang matrilineal tersebut di atas disebut juga sistem unilateral.

b. Sistem keturunan matrilineal, dimana anggota-anggotanya dalam menarik keturunan ke atas menghubungkan dirinya pada ibu-ibunya dan seterusnya melalui garis penghubung perempuan sampai kepada seorang perempuan asal yang mereka anggap sebagai moyangnya Hal ini pula menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan seperti clan. suku di Minangkabau yang matrilineal. Kedua sistem keturunan yang patrilineal dan sistem keturunan yang matrilineal tersebut di atas disebut juga sistem unilateral.

c. Sistem keturunan yang bilateral, di mana anggota masyarakat dalam menarik garis keturunan ke atas menghubungkan dirinya serentak melalui ayah dan ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayah dan ibu itu selanjutnya ke atas, menimbulkan kesatuan-kesatuan keluarga yang besar juga misalnya : tribe, rympun, a tau menimbulkan "keluarga" (somah).

Dari ketiga bentuk sistem masyarakat tersebut di atas, bentuk masyarakat manakah yang dimaksud atau dikehendaki oleh Islam itu. Untuk menjawab pertanyaan di atas kita harus meninjau lebih dulu hukum perkawinan yang mengatur kepada pihak-pihak mana perkawinan dilarang atau dengan perkataan lain terhadap siapa­siapa saja perkawinan itu dilarang menurut Islam dan juga kita perlu meninjau hukum kewarisan yang diatur oleh Islam. Adapun sebagai tempat pijakan kita dalam meninjau masalah tersebut di atas adalah :

Page 28: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

a. Dalam AI-Quran sural An-Nisa ayal 22, 23, dan ayat 24 dalam surat mana dicantumkan larangan-larangan dengan siapa­siapa saja kita tidak boleh kawin.

b. Dalam AI-Quran Surat An-Nisa (surah IV) ayat 7, 11, 12, 33 dan ayal 176 dalam sural mana dicantumkan bahwa anak Jaki­laki ataupun anak perempuan dapat mewaris.

Untuk jelasnya marilah kita kutipkan terjemahan ayat-ayat dari Al-Quran Sural An-Nisa tersebul di atas, sebagai berikul ;

Ayal 22

Ayat 23

Ayat 24

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kamu, terkecuali pada masa-masa yang lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dibenci oleh Allah dan seburuk­buruknya jalan di tempuh.

Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak­anakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, saudara ayahmu yang perempuan, anak­anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki­laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudaramu yang perempuan, ibu-ibu dari isterimu (mertua). anak-anak islerimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang lelah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campuri terhadap isterimu itu (dan sudal\kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan diharamkan bagimu isteri-isteri dari anak-anak kandungmu (menantu) dan menghimpun dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dan diharamkanjuga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menentukan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu dan dibatalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri dengan harta.mu untuk dikawini dan haram untuk berzina.

17

Page 29: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

18

Maka isteri-isteri yang te1ah kamu nikahi dan campuri di antam mereka, berikanlah kepada mereka mahamya. sebagai suatu kewajiban dan tidaklah mengapa bagi kamu saling merelakannya. sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi bijaksana.

Dalam rangkaian surat An-Nisa ayat 22, 23, dan 24 tersebut di atas temyata tidak terdapat larangan-larangan yang ada lazim di dalam masyarakat yang unilateral ke-ibuan dan atau masyarakat yang unilateral ke-bapakan, jadi dapat ditafsirkan bahwa selebihnya adalah boleh. Oleh ayat-ayat yang memanfaatkan larangan-larangan sejumlah 13 buah tidak dilarang perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bapaknya masing-masing adalah bersaudara sekandung atau yang sebapak dan ibunya masing-masing adalah saudara sekandung atau seibu. Jadi di dalam Islam tidak dilarang, sedangkan di dalam masyarakat unilateral kebapakan atau keibuan dilarang, dan memang perlu dilarang demi untuk mempertahankan garis unilateral itu. Demikian pula yang kita kenai dari masyarakat keibuan yang melarang perkawinan antara dua orang yang ibunya masing-masing adalah bersaudara (adik kakak).

Dari dua tipe pokok perkawinan dalam masyarakat unilateral ini dan merupakan inti dari atau ciri khas dalam masyarakat uni­lateral dan dihubungkan dengan larangan-larangan yang tersebut dalam ayat-ayat surat An-Nisa tadi, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Islam memalingkan diri atau menolak larangan yang terdapafdalam masyarakat unilateral yang hakiki, jadi secara positif dapat dikatakan bahwa islam cenderung kepada sistem bi­lateral itu, atau negatif : menolak masyarakat unilateral (ke-ibuan atau ke-bapakan) Kemudian dapat dibuktikan lagi bahwa Islam bukan saja menghendaki sistem garis keturunan yang bilateral tetapi juga menghendaki sistem kewarisan bilateral, dapat kita lihat pada AI-Quran Surat An Nisa (surat IV) ayat 7, 11, 12, 13 dan ayat 176. Di dalam Al-Quran surah N ayat 7 dan 33 mengandung prinsip­prinsip bagi sistem kewarisan yang individual, yaitu ada ahli-ahli waris yang masing-masing berhak atas suatu bagian yang pasti dan bahwa bagian-bagian itu wajib diberikan kepada mereka yang berhak. Dalam surat tersebut ayat 11, menjadikan semua anak, baik laki-

Page 30: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

laki maupun perempuan, menjadi ahli waris orang tuanya (ayah dan ibunya). Ini adalah sistem bilateral karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi (Batak) sedangkan dalam sistem matrilineal anak-anak hanya mewarisi dari ibunya dan tidak dari bapaknya. Demikian pula ayat tersebut menjadikan ayah dan ibu menjadi ahli waris bagi anaknya yang mati punah. Ini adalah sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal tersebut dapat mewariskankepada ayah sedangkan dalam sistem matrilineal anak tersebut dapat mewariskan kepada ibu. Selanjutnya dalam AI-Quran Surah IV, ayat 12 dan 176 menjadikan saudara ahli waris bagi saudaranya yang punah, tidak perduli apakah si mati laki-laki atau perempuan, demikian pula tidak perduli apakah saudara yang mewarisi itu laki-laki atau perempuan. Jelas ini adalah sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal, saudara laki-laki pada prinsipnya yang berhak mewarisi, sedangkan saudara itu harus pula se-klan, dengan si pewaris barn dapat di isikan saudara perempuan dan saudara laki-laki itu menjadi ahli waris. Dari uraian di atas dapat pula disimpulkan apa yang dilarang oleh sistem hukwn dalam agama Islam, atau sebaliknya kecuali larangan­larangan yang disebut khusus ayat 23 dari surah IV tersebut, maka sebaliknya adalah halal bagi Islam, dengan lain perkataan bahwa Islam berpaling dari sistem unilateral dan dengan demikian ridho Allah Yang Maha Esa jatuh pada masyarakat bilateral. Sekarang tidak ada lagi alasan untuk menjadi ragu, dan menyatakan secara positip bahwa sistem kewarisan menurut Al-Quran itu termasuk jenis individual bilateral. Maka sebagai kesimpulan, setelah mempelajari ayat-ayat Al-Quran tersebut di atas, dengan memakai alat ilmu tentang pelbagai jenis sistem garis keturunan, tentang pelbagai macam larangan-larangan perkawinan, maka ayat­ayat Al-Quran di lapangan perkawinan, dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral. Khususnya di Indonesia, suatu kenyataan terlihat bahwa bagian terbesar rakyat Indonesia itu memeluk agama Islam, atau jelasnya Islam adalah relatip kuat di Indonesia, yang berarti bahwa bilateral adalah kuat di anut di Indonesia. Kiranya dari contoh yang dikemukakan di atas cukup memadailah kiranya ditinjau dari pelbagai faktor, yang kesemuanya membawa kepada sistem keluarga bilateral, setidak-tidaknya menonjolkan suatu peri kehidupan yang sistem sosialnya mengajarkan dan membawa kesederajatan atau

19

Page 31: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

20

persamaan antara sesama manusia, baik laki-laki maupun ia perempuan.

Ad. 6. Faktor Politis Dalam membicarakan faktor politis sebagai faktor yang ikut

menentukan terhadap perubahan garis keturunan dalam masyarakat adat, maka perhatian ditujukan terhadap politik yang dianut oleh pemerintah Indonesia dalam mengarahkan perkembangan hukum terutama di lapangan hukum kekeluargaan. Dari sudut sistem politik, maka suatu kaidah mempunyai sifat hukum oleh karena kaidah tadi dipertahankan oleh negara, dalam hal ini oleh pejabat­pejabat. Jadi hukum merupakan salah satu alat bagi negara untuk mempertahankan cita-citanya, dan oleh negara pada hakekatnya merupakan tatanan politik m3syarakat, maka cita-cita hukum suatu negara secara ideal merupakan akibat lebih lanjut dari cita-cita politik yang pada hakekatnya merupakan suatu alat dari orang­orang atau golongan-golongan yang berkuasa dalam negara tersebut. Oleh karena itu, maka hukum yang berlaku di dalam negara mengandung cita-cita politik dari golongan yang berkuasa dari negara yang bersangkutan. Dan hukum sebagai salah satu cara untuk mengatur tingkah laku dari warga masyarakatnya, selalu di dalam keadaan yang mengalami proses perubahan yang diatur melalui lembaga-lembaga yang diciptakan berdasarkan suatu pola politik. Lembaga-lembaga yang dimaksud di atas misalnya MPR, maka dari lembaga-lembaga ini timbul produk MPR tersebut yang tujuannya untuk mengisi serta memberi arab kepada negara untuk mencapai tujuannya, (political will) misalnya Ketetapan MPRS No. n tahun 1960 sebagai prinsip bahwa semua warisan adalah untuk anak-anak dan janda, apabila sipeninggal warisan meninggalkan anak-anak danjanda, artinya seorangjanda (bersama-sama dengan anak-anaknya apabila ada anak) adalah ahli waris bagi almarhum suaminya. Ketentuan tersebut jelas hendak merubah sendi-sendi tradisional, oleh karena menurut hukum adat seorang janda bukanlah ahli waris bagi almarhum suaminya, (dalam ketetapan MPRS NO. 1111960).

Dalam sistem matrilineal, seorang laki-laki (ayah) tidak diwaris oleh anaknya. Selanjutnya dalam sistem patrilineal murni laki-laki hanya diwarisi oleh anaknya yang laki-laki, tidak mungkin diwarisi oleh anaknya yang perempuan, walaupun anak perempuan itu tidak kawin jujur (patrilokal). Dalam sistem patrilineal yang beralih-alih, maka anak-anak yang

Page 32: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

mewarisi hanya anak laki-laki yang se-klan dengan ayahnya itu serta anak perempuan yang se-klan deilgan dia, tetapi anak perempuan itu mestilah tidak kawin jujur.

Perumusan tersebut tadi tidak membedakan jenis antara anak laki-laki dengan anak perempuan, tidak membedakan macam perkawinan, tidak membedakan klan atau sukuanak-anak itu, maka nyatalah garis tersebut sungguh-sungguh parental atau bilateral.

Dengan keluamya Ketetapan MPRS No. IT tanggal 3 Desember 1960 "menjadi jelas bahwa hukum kewarisan mestilah dibentuk secara parental, makajelaslah bahwa seluruh hukum keke1uargaan, mestilah diatur secara parental". 10>

Di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Undang-undang Pokok tentang Perkawinan, banyak juga dijumpai dan dirasakan pengaruh rumusan-rumusan yang bilateral sifatnya, terutama da1am bab-bab yang mengenai hak-hak dankewajiban bagi pria dan wanita (suami dan isteri) misalnya dalam bab IV pasa1 31 ayat 2 yang berbunyi:

Pasal 31. 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergau1an hidup bersama dalam masyarakat.

2. Masing-masing pihak berbak untuk melakukan perbuatan hukum.

Begitu pula dalam Bab VII mengenai harta benda dalam perkawinan yang tercantum dalam pasal 35 dan pasal 36 dari Undang-undang tersebut, kedudukan suami danisteri adalah sama. Jadi da1am Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut, jelas adanya kesamaan derajat dan kesamaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, dianut secara nyata dan ini merupakan rumusan yang bilateral sifatnya, sebagai basil politik (sikap) pemerintah cq. lembaga Kenegaraan lainnya, yang telah ditetapkan sejak 1960. Perubahan secara khusus yang terdapat di daerah Minangkabau, secara umum terlihat di seluruh Indonesia (lihat 6 faktor tersebut di atas) yang pada intinya ialah bertendensi masyarakat Indonesia dari garis keturunan unilateral (baik matrilineal maupun patrilineal) menuju sistem bilateral parental. Dan hal ini juga terlihat atau

21

Page 33: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

22

diikuti terutama dalam pasal 31 Undang-undang Nomor 1 tahun 197 4 tentang Perkawinan. Jadi dengan lain perkataan kebiasaan berbagi waris oleh masyarakat Minangkabau di perantauan adalah tendensi umum yang termasuk satu sikap yang bilateral parental. Perlu juga di catat bahwa tendensi ke arah bilateral parental itu perlu dimantapkan melalui putusan hakim di Mahkamah Agung sebagai suatu keputusan kasasi yang tetap, dengan demikian sistem bilateral parental ini secara positip menjadi hukum baru dan sebagai tunas dalam perkembangan hukum waris di Indonesia. (Perhatikanjuga putusan MPRS IU1960).

Page 34: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

BAB IV ANALISIS TENTANG KEBIASAAN BERBAGI WARIS MASYARAKAT

MINANGKABAU Dl PERANTAUAN DEWASA INI

A. Tabulasi Data Masyarakat Minangkabau di Jakarta Masyarakat Minangkabau di Padang

: dalam hurufbesar : dalam huruf kecil

I. Keluarga

1. Kepala Keluarga 17 responden 9 responden

2. Peranan paman BERK.URANG berkurang TIDAK BERPERAN tidak berperan MASlliKUAT rnasih kuat TIDAK MENJAWAB

100 % bapak sebagai kepala 100%

7 responden : 35 % 6 responden : 55% 9 responden : 45 % 1 responden : 15 % 3 responden : 15 % 2 responden : 30 % 1 responden : 5 %

3. PENYEBABPERUBAHANPERANAN KURANG KOMUNIKASI/LAMA MERANTAU: 7 responden : 50 % kurang komunikasillama merantau : 1 responden : 20 % PENGARUH LINGKUNGAN : 3 responden: 15% pengaruh lingkungan : 2 responden : 20 % DISESUAIKAN DENGAN AGAMA : 3 responden : 15 % TIDAK MENJAWAB : 4 responden: 20% tidak menjawab : 1 responden : 10 % Memikirkan ke1uarga sendiri : 2 responden : 20 % IPTEK : 1 responden : 10 % FUNGSI PAMAN BERK.URANG : 2 responden : 20 %

4. PERANAN HUKUM WARIS MINANGKABAU BILA SUAMIIISTRI BERASAL DARI LUAR. ISTRI DARI LUARMINANGKABAU, HUKUM WARIS LONGGAR: 6:40% istri dari luar Minangkabau, hukum waris longgar : l : l 0 %

23

Page 35: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

24

SUAMI DARI LUAR, HUKUM WARIS MINANGKABAU TIDAK DIPAKAI : 5 : 30% MASlll BERPERAN · masih berperan TIDAK MENJAWAB tidak menjawab TIDAK BERPERAN

5 HUBUNGAN KEKELUARGAAN MASIH ERATIVIA TELEPON DAN SURAT masih erat/via telepon dan surat KURANGERAT kurangerat TIDAK MENJAWAB

II. HARTA KEKAYAAN 1. HART A PUSAKA

MASlll TERIKAT bila mampu memelihara tergantung orang tua turon temurun garis perempuan

masih terikat TIDAK TERIKAT TIDAK MENJAWAB

2. HASIL USAHA MILIK SlAP A MILIK BERSAMA milik bersama MILIK SENDIRI

: 2: 10% : 3 : 35% : 3: 20% : 1 : 10% : 4: 45%

11 : 65% 7: 85% 3 : 25% 2: 15% 2: 10%

10 : 55%

9 : 100% 4: 35% 2: 10%

16 : 95% 9 : 100%

: 1 5%

3. YANG MENETUKAN HART A BERSAMA a.1 SUAMI 5 : 35% suami 4 : 50% SUAMI DAN ISTRI 11 : 55 % suami dan istri 4 : 40 % SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG : 1 10% sesuai dengan undang-undang 1 : 10 %

4. MENGENAI PERJANJIAN HARTA BAWAAN TIDAK ADA PERJANTIAN HARTA BAWAAN 17 : 100% tidak ada perjanjian harta bawaan 9 : 100%

Page 36: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

5. UNTUK. PEMBAGIAN WARISAN MAKA DITEMPUH CARA ATAS KESEPAKATAN BERSAMA 6 : 60% SESUAI DENGAN HUKUM ISLAM DANNEGARA sesuai dengan hukum adat untuk istri untuk anak dan istri musyawarah menurut alur dan patut

6. KEWAJIBAN MENANOOUNG UTANG AHLIWARIS ahli waris KELUARGA ke1uarga ASURANSI

III. WARISAN 1. AHLI WARIS

2.

ORANG TUA, ISTRI/SUAMI/ANAK suami/istri/anak ANAK anak ISTRI SESUAI DENGAN UU DAN HUKUM ISLAM

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM ADAT MINANG menurut hukum adat Minang ADAT MINANG SEBAGIAN SAJA adat Minang sebagian saja

4: 40% 4: 45% 1 : 10% 2: 25% 1 : 10% 1 : 10%

: 4: 25% : 5 :55% : 12 : 70%

4: 45% : 1 : 5%

: 10 : 55% 7: 75% 3 : 15% 2: 25% 1 : 5%

4: 25%

5 :,30% 5: 40% 5 : 30% 1 : 10%

TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ADAT MINANG 7: 40% tidak menggunakan hukum adat Minang 3 :50%

3. MACAM HARTA WARISAN HART A YANG DIMILIKI KELUARGA 10 : 70% (rumah, tanah, sawah, 1adang, uang dan kendaraan, deposito, asuransi, pensiun) sama dengan yang di atas 6: 70%

25

Page 37: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

26

BARANG BERGERAK DAN TIDAK BERGERAK 7: 30% sako dan pusako 2 :20% harta bersama dan utang piutang : 1 :10%

4. HARTA YANG TIDAK DAPAT DIBAGI HARTA BAWAAN 1 : 10% harta bawaan 2: 20% HART A PUSAKA 4 : 25% harta pusaka 2: 20% YANG SUDAH DIWASIATKAN 1 :10% NAMA PERUSAHAAN DAN HAK. PATEN: I : IO% RUMAH I : 10% rumah 4: 40% TIDAK ADA YANG TIDAK DAPAT DIBAGI 4: 25% TIDAK MENJAWAB I : 10% anak I : 10%

5. PEWARIS TIDAK PUNY A KETURUNAN, JADI Affi..I WARIS ORANG TUA DAN SAUDARA SAUDARANYA 9 : 60% orang tua dan saudara-saudaranya DISESUAIKAN DENGAN UU SESUAI DENGAN HUKUM DAN DAERAHNYA KEMENAKAN TIDAK MERESPON anak orangtua Diwakafkan Di bagi dua masing-masing

5 :50% I : 5%

1 : 5% 2 : 15% 3 : 15% I : 10% 1 : 10% 1 : 10% 1 : 10%

6. PEMBAGIAN WARISAN PADA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SESUAI DENGAN HUKUM ISLAM Sesuai dengan hukum Islam SAMARATA samarata ANAK PEREMPUAN LEBlll KHUSUS ANAK PEREMPUAN

5 : 20% I : 15% 6: 35% 3 : 30% 3 : 30% 3 : IS%

Page 38: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

Khusus anak perempuan 5 : 55 o/o SESUAI DENGAN UU YANG BERLAKU : 1 : 10% MUSYAWARAH 1 : 10 o/o

7. PEMBAGIAN ANAK KANDUNG DAN KEMENAKAN ANAK TIRI ANAK ANGKAT TIDAKSAMA 10: 60% Tidaksama 5 : 60% HANYA UNTUK ANAK KANDUNG 3 : 25% Hanya untuk anak kandung 1 : 10% KEMENAKAN HANYA HARTA BAWAAN: 1 : 10% Kemenakan hanya harta bawaan 1 : 5% Kemenakan hanya harta bawaan 2: 20% TIDAK MENJAWAB 2 : 10%

8. KEDUDUKAN JANDA/DUD A DALAM PEMBAGIAN WARISAN SEMUA WARISAN UNTUK JANDA/DUD A: 3 : 20% semua warisan untukjanda/duda 7: 75% TIDAKTAHU 3 : 20% SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU 4 : 30% TIDAK MENJAWAB 4: 30% warisan hanya untuk janda 2 : 25%

9. PENYELESAIANSENGKETA MUSYAWARAH 11: 65% musyawarah 9: 100% PENGADll..AN 4: 25% TIDAK MENJAWAB 2 : 10%

10. LEMBAGA WASIAT ADA 6: 35% ada 7 : 75% TIDAKADA 8 : 45% tidakada 2 : 25% TIDAK MENJAWAB 2: 20%

11. PENGGUNAAN LEMBAGA WASIAT UNTUKPEGANGANBAGIYANG DITINGGALKAN 5: 45%

27

Page 39: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

untuk pegangan bagi yang ditinggalkan MENCEGAH TERJADINYA MASALAH DI KEMUDIAN HARI. MEWARISKAN HART A KEPADA YANG BUKAN AHLI WARIS TIDAK MENJAWAB dalam hal warisan dalam hal rnendesak

12. WASIAT DAPAT DICABUTfiiDAK DAPAT dapat TIDAKDAPAT tidak dapat TERGANTIJNG KEADAAN TIDAK MENJAWAB

13. MENGENAI HIBAH DAN PROSESNYA TIDAKADA ADA ada PROSESNYA: KESEPAKATAN MELALUI NOTARIS MUSYAWARAH TERTULIS LIS AN TIDAK MENJAWAB tidak rnenjawab

1 15%

1 10%

1 10% 4: 35% 7: 70% 1 : 15%

4: 25% 3 : 35% 6: 40% 6: 65% 1 : 10% 4: 25%

5 : 35% 7: 45% 8 : 90%

3 : 20% 1 : 10%

B. ANALISIS DATA

28

Untuk rnenghasilkan data rnengenai kebiasaan berbagi waris rnasyarakat Minangkabau di perantauan, telah dilakukan dengan data prirnair dan secundair, Berdasarkan data tersebutlah maka diolah dengan tujuan untuk dapat rnenganalisis dan rnengevaluasi sejauh mana kebiasaan berbagi waris dari rnasyarakat Minangkabau di perantauan ini telah rnengalarni pergeseran atau perubahan rnengenai berbagi warisan.

Page 40: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

Perubahan yang akan dianalisis ini merujuk kepada pembagian warisan berdasarkan bukum adat Minangkabau yang unilateral ke-ibuan. Dengan demikian akan diperoleb gambaran secara nyata apakab pembagian warisan yang kini mulai telbiasa bagi masyarakatMinangkabau yang sudah merantau, masib menggunakan bukum adat asal daerah (Minangkabau) atau telah ada perubaban sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengarubinya.

Masayarakat Minangkabau yang dimaksud tidak terbatas pada mereka pasangan suami-isteri yang asli berasal dari Minangkabau, akan tetapi juga pasangan suami-isteri yang sudab mengadakan perkawinan campuran antara orang suku Minangkabau dengan orang di luar suku Minangkabau, yang berada di perantauan, yang derajat pendidikan dan status sosialnya dari golongan menengab ke atas, yang terlibat langsung dengan keadaan pembagian warisan.

Upaya yang dilakukan ini diharapkan akan mendapat gambaran, terhadap langkah yang akan diambil menuju hukum Waris Nasional. Dan analisis ini memacu pada apa yang tetjadi pada dewasa ini. Terdiri dari dua analisis. Pertama : Masyarak:at ke luar daerah Minangkabau, dan yang kedua: masyarakat Minangkabau yang merantau di sekitar daerah sumatera Barat (Padang).

L Analisis Terbadap Masyarakat Minangkabau yang Merantau yang Keluar Daerab Minangkabau. ·

1. Keluarga Bagi masyarakat Minangkabau yang masih kental dengan

Hukum Adat Unilateral Ke-ibuan. Maka Paman sangat berperan dalam kehidupan kemenakannya yaitu anak dari saudara perempuannya, baik mengenai San.dang, pangan dan pendidikan, maupun sebagai ahli warisnya kelak. Namun setelah keluarga merantau, peranan paman ini mulai memudar, terbukti jawaban responden hanya sebesar 15 % responden yang menjawab masih kuat, sedang yang terbanyak adalah 45 % menjawab, sudah tidak ada lagi peranan paman. Pada hal paman bagi masyarakat Minangkabau sejak dahulu tidak dapat di abaikan begitu saja, apa lagi bagi mereka yang sudah mengalaminya sejak zaman nenek moyang secara turon temurun. Namun apapun alasan yang diuraikan, peranan paman ini tidak kuat artinya seperti ketika masyarakat Minangkabau belum merantau, karena di perantauan, dengan kesibukan untuk menghidupkan keluarganya sendiri,

29

Page 41: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

30

mengakibatkaD kepala keluarga adalah mandiri, terlmkti dari jawaban respondeD yang 100 % meyakinkan hal ini. Pergeseran peranan paman yang tadinya sangat domioan menjadi tidak dominan antara lain adalah karena, komunikasi berkurang (50 %), fungsi paman berkurang {20 %), pengaruh lingkungan 15 %dan juga disesuaikan dengan pengaruh agama Islam {15 %).

Apabila peranan paman ini sudah memudar, apakah lantas hubungan kekerabatan dengan keluarga di daerahjuga turut sima, temyata tidak sama sekali, karena masyarakat Minangkabau di perantauan masih mengadakan hubungan dengan keluarga mereka yang berada di Minangkabau, baik melalui telepon, datang berlibur, surat-menyurat, dan hal ini dapat diketahui dari 65 % responden, dan hanya 25 %yang menyatakan tidak erat lagi tanpa memberikan alasannya.

2. Barta Kekayaan Pada masyarakat Minangkabau, lazimnya harta itu dibagi

dalam 2 macam. Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka Rendah. Harta Pusaka Tinggi adalah hartakekayaan yang tidak dapat dlbagi­bagi, dimiliki dan digunakan oleh seluruh ahli waris, jika ada pembagian yang dihasilkan oleh Harta Pusaka Tinggi tersebut, maka pembagian itu hanya mengenai pemakaiannya secara bergilir, bukan pemilikannya. Harta Pusaka Rendah adalah harta yang dihasilkan selama dalam perkawinan dan di perantauan dan dapat diwariskan kepada ahli warsinya {termasuk. anak-anaknya). Masih ada lagi yaitu harta Bawaan yang tetap dimiliki masing-masing suami isteri dan harta dalam bentuk pemsahaan.

a. Barta Pusaka Tinggi Masyarakat Minangkabau yang sudah merantaujauh 55%

menyatakan, sangat terikat dengan harta Pusaka Tinggi di daerah Minangkabau selama keluarga mampu memeliharanya, dan mereka yang di rantau tidak akan melepaskannya, dan ini membuktikan bahwa masyarakat Minangkabau di Perantauan tetap tidak akan melupakan asal usulnya, sehingga mengikatkan diri dengan apa yang masih ada di daerah {pusaka tinggi), adalah sesuatu yang mengandung nilai religio-magis.

b. Barta Pusaka Rendab Bagi Masyarakat Minangkabau yang sudah merantau,

Page 42: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

nampaknya, dalam keluarga sudah terdapat adanya kesederajatan (kesejajaran) antara suami maupun isteri. Karena harta yang dihasilkan selama perkawinan, adalah basil bersama suami dan isteri, merupakan harta bersama dan akan menjadi milik mereka bersama, harta pusaka rendah, dan 95% menyatakan hal ini. Apalagi suami dan isteri sama-sama menentukan akan mereka apakan harta milik mereka tersebut. Walaupun masing-masing, suami dan isteri memiliki harta bawaan yaitu harta yang mereka miliki baik dari warisan hibah atau pencarian masing-masing sebelum mereka menikah, temyata sama sekali mereka tidak mengenal petjanjian harta bawaan mereka ini apakah kelak akan digabung atau terpisah dari harta bersama mereka.

c. Barta Yang Tidak Dapat Dibagi Temyata responden ada juga yang mengatakan bahwa

harta dalam bentuk Perusahaan adalah harta yang tidak dapat dibagi (10%), sehingga fungsinya hampir sama dengan harta Pusaka yangjelas-jelas secara hukum Adat Minangkabau tidak dapat dibagi. Mengenai harta bawaan responden hanya 10 % yang setuju bahwa harta bawaan tidak dapat dibagi (25 %). Apakahkelak hal ini memungkinkan bahwa harta pusaka akan dapat dibagi juga, tentu saja dengan suatu alasan yang kuat bisa saja suatu saat kelak akan ada perubahan, dalam hal ini akan tergantung dari perkembangan selanjutnya.

3. Warisan Apabila Hukum Adat Minang masih lekat bagi masyarakatnya,

maka sebagai ahli waris adalah menurut garis keturunan wanita, anak - ibu - nenek dan seterusnya. Ternyata masyarakat Minangkabau di perantauan menyatakan bahwa sebagai ahli waris adalahorangtua, suami, isteri dan anak(55 %) , dan sebagai mana yang tercantum dalam Hukum Islam (25 %). ahli waris ini akan memperoleh harta warisan, dalam hal ini adalah harta yang dimiliki orang tua mereka (70 %), dan ini dalam bentuk benda bergerak dan benda tidak bergerak. Pembagian warisan ada yang masih menggunakan Hukum AdatMinangkabau (30%) dan prosentasenya sama besarnya dengan menggunakan Hukum Adat Minangkabau sebahagian saja (300/.). Dan ternyata pmcentase tertinggi adalah mereka tidak menggunakanHukmn AdatMinangkabao sama sekali (400..4). Dan cara pembagiannya adalah atas kesepakatan bersama

31

Page 43: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

32

( Wle), dan sesuai dengan hukum Positif adat juga hukum Islam (4()0/e).

L Pembagian Warii&IL Untuk pembagian warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, temyata kebanyakan dari mereka membagi sama rata (35 %), namun 20 % dari mereka menggunakan Hukum Islam, yaitu bahagian anak laki-laki lebih besar jumlahnya dari pada bahagian anak wanita, 2 : 1, dan 100/o responden menyatakan di musyawarahkan. Untuk pembagian warisan, pada anak tiri, anak angkat atau kemenakan,jelasnya tidak sama 600/o, dan mereka yang hanya berkenan membagi warisan untuk anak kandung 25 % melakukannya. Sementara itu 10% sama sekali tidak menjawab. Apabila tidak mempunyai anak sama sekali maka warisanjatuh pada orang tua dan saudara-saudaranya (600/o). Sedangkan untuk kemenakan hanya IS % melakukannya. Apabila salah satu meninggal, maka jandanya atau dudanya berhak sebagai ahliwaris dari pasangannya. Dan hanya 30% yang menjawab sesuai dengan UU yang berlaku. Temyata 75% merespon bahwa keluargalah yang mempunyai tanggung jawab untuk menanggung hutang pewaris. Seandainya tetjadi sengketa mengenai pembagian warisan ini, 65% menyatakan akan dimusyawarahkan, dan hanya 25% yang akan membawanya ke pengadilan.

b. Lembaga Wasiat Bagi masyarakat Minangkabau yang merantau mengenai lembaga wasiat tidak dikenal sama sekali (45%). Sedangkan yang menggunakan lembaga wasiat (35%), sebagian besar mereka berikan wasiat ini adalah untuk menjadi pegangan bagi yang ditinggalkan (45%) agar tidak terlantar sama sekali. Hanya 10 %yang menyerahkan wasiat pada yang bukan ahli waris. Untuk wasiat yang sudah diberikan, tidak dapat dicabut lagi, hal ini menurut 65% responden, dan dapat dicabut tergantung keadaan (100/o).

c. Hibah Masyarakat Minangkabau di perantauan ternyata mengenal hibah dan ini dinyatakan oleh 45% responden. Dengan proses

Page 44: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

pemberian (pengbibahan), baik itu secara lisan maupun tulisan ataujuga dengan kesepakatan atau musyawarah, ataupun lebih kuat lagi dengan menggunakan akte notaris.

n Analisis terhadap masyarakat Minangkabau yang merantau dari desa ke sekitar kota Padang dan kota lain di Sumatera Barat.

1. Keluarp Di dalam keluarga Minangkahau yang merantau ini ternyata

kepaJa keluarga berada pada Tanggung Jawab Bapak, (1000/o setuju) dan tidak ada sama sekali menyatakan bahwa kepala keluarga adalah lbu. Dengan pemberitahuan bahwa Bapak adalah kepala keluarga, otomatis tanggungjawab terhadap keluarga teibebani pada dirinya, sehingga Paman sama sekali tidak berfungsi lagi, 55% responden mengatakan bahwa peran Paman ini sudah mulai berkurang, dan hanya 30% yang mengatakan masih kuat, dalam beberapa hal tertentu (sebagai penasihat). Alasan yang mereka berikan adalah k,arena paman tidak lagi mengurus kemenakan melainkan mengurus keluarga sendiri, dan juga karena pengaruh lingkungan (20%), atau kurangnya komunikasi (200/o) ada juga yang mengatakan karena pengaruh IPTEK (llmu Pengetahuan dan teknologi) : 10 %. Walaupun mereka sudah merantau, namun tidak mengakibatkan hubungan mereka putus begitu saja dengankerabat di daerah, hubungan masih terus berlangsung walaupun hanya melalui surat, berlibur atau per telepon, (8S%) menyatakan ini.

2. Barta Kekayaan Harta kekayaan dari suatu keluarga dapat berasal dari harta

warisan dan pencarian sendiri atau juga hadiah (hibah), yang biasanya dikatagorikan dengan harta bawaan. Setelah menikah, maka timbullah harta bersama, dan masyarakat Minangkabau mengenalnya dengan harta pusaka rendah. Akan tetapi, bila berasal dari daerah Minangkabau maka ada lagi yang disebut harta kekayaan, hanya saja harta kekayaan ini tidak dapat dibagi-bagi yang masyarakat Minangkabau mengenalnya dengan sebutan harta pusaka tinggi.

a. Barta Pusaka Tinggi Masyarakat Minangkahau yang merantau yang kawasannya masih dekat ini temyata mengatakan bahwa untuk harta pusaka

33

Page 45: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

34

tinggi mereka sangat terikat sekali (1 000/o), ada perbedaannya dengan masyarakat Minangkabau yang merantau lebih jauh (luar pulau), yang keterikatannya hanya 55 %. kemungkinannya karena mereka masih dekat sehingga mempunyai waktu untuk turut memelihara, menikmati hasilnya dan tanggung jawab akan perbaikan bila ada kerusakan.

b. Barta Pusaka Rendab Mengenai harta pusaka rendah atau harta yang diperoleh selama dalartl ikatan perkawinan 1000/o adalah milik bersama antara suami isteri. Hanya saja untuk menentukan apakah harta ini boleh dijual atau dihibahkan ataupun harta ini dipergunakan untuk apa, penentuannya lebih dominan dari pihak suami, 50% responden, sedang yang mengatakan penentuan oleh suami­isteri hanya 40%. Bagi mereka baik harta pusaka tinggi dan rendah sudah jelas fungsinya masing-masing, hanya saja mengenai harta bawaan dari masing-masing pihak, tidak dengan jelas diperjanjikan apakah di gabung dengan harta bersama milik mereka (1 00%). Jadi sesuai dengan UU yang berlaku yaitu UU No. 1 tahun 1974 (UU Perkawinan), masing-masing pihak bo1eh saja menguasai harta bawaan ini.

c. Barta Yang Tidak Dapat Dibagi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ada harta yang dapat dibagi dan ada harta yang tidak dapat dibagi. Je1asnya harta yang tidak dapat dibagi adalah harta pusaka tinggi. Akan tetapi dari basil responden dapat diketahui hanya 20% yang mengatakan bahwa harta pusaka tinggi tidak dapat dibagi, sama prosentase harta bawaanlah yang tidak dapat dibagi 20%. Adakah keinginan dari responden ini bahwa harta pusaka tinggi kelak·dapatjuga dibagi, mungkin hal ini dapat menjadi bahan pemikiran demi terwujudnya hokum waris nasional kelak. Khususnya hal mengenai harta pusaka tinggi berupa tanah dalam hubungan dengan UU. No. 5 tahun 1960, UUPA, temyata dicarikan modus untuk membagi-baginya.

3. Warisan Apabila masyarakat Minangkabau di perantauan ini masih

menggunakan hokum adat Minangkabau maka sebagai ahli waris

Page 46: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

bila suami meninggal adalah Ibu, saudara perempuan. anak perempuan dari saudara perempuan (kemenkana); begitu juga apabila isteri yang meninggal maka sebagai ahli waris adalah anak perempuan dan keturunannya. Namun temyata menurut mereka sebagai ahli waris adalab, suami/isteri dan anak (7 5% menyatakan hal ini). Selanjutnya sesuai dengan hokum positif dan hokum Is­lam. Hal ini menggambarkan bahwa hokum adat Minangkabau sudah tidak mereka terapkan khusus mengenai ahli waris ini. Dan keadan ini diikuti juga dengan pembagian warisan yang mereka gunakan tidak menggunakan hokum adat Minangkabau (500/o). Selanjutnya cara pembagian warisan ini sesuai dengan hokum positifdan hukum Islam (45%). Dan masih ada yang menggunakan caraalurdan patut (10%). Dan keadaan ini ada relevansinya dengan tidak berperannya lagi hokum waris adat Minangkabau 45%, terlebih salah satu pihak (suami atau isteri) bukan berasal dari Minangkabau. Masyarakat Minangkabau di perantauan ini mengakui bahwa harta yang akan di wariskan adalah harta milik keluarga baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (70%), hanya 10% yang mengatakan harta bersama dan utang-piutang. Apabila pewaris meninggal, kewajiban untuk membayar utang dibebankan kepada ahli waris (55%).

a. Pembagian Warisan. Pembagian warisan untuk ahli waris ternyata sangat bervariasi jawaban mereka, ada yang mengatakan bahwa pembagian warisan untuk anaklaki-laki dan perempuan sama besarnya (30%, akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sesuai dengan hokum Islam (15%) atau dimusyawarahkan terlebih dahulu (10%). Begitu pula mengenai pembagian untuk anak tiri, anak angkat dan kemenakan dibandingkan jumlahnya dengan anak kandung adalah tidak sama besanya 60o/o, atau khusus anak kandung yang mendapat harta warisan 10o/o, sedangkan kemenakan hanya mendapatkan harta warisan 20%. Seandainya pewaris tidak mempunyai keturunan maka sebagian besar mengatakan orang tua dan keluargalah yang akan memperoleh harta warisan (500/o) setuju. Selanjutnya kedudukan janda atau duda dalam warisan 75% responden mengatakan mereka sama-sama berhak memperoleb warisan. Apabila cara pembagian ataupun jumlah yang diterima tidak sesuai atau mengklaim bahwa iajuga sebagai ahli waris, maka sengketa ini akan diselesaikan secara musyawarah mufakat (1000/o).

35

Page 47: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

36

b. Lembaga Wuiat Selain adanya warisan, masyarakat Minangkabau yang merantau mengenal juga lembaga wasiat (75%), hanya saja penggunaannya menurut merekaadalah pegangan bagi mereka yang ditinggal (15%) atau apabila keadaan sudah sangat mendesak. Jadi setelah wasiat diberikan dengan tegas mereka mengatakan tidak dapat dicabut sama seka1i apapun a1asan yang diberikan (65%).

c. Hibah Mengenai Hibah responden menyetujui untuk dapat diberlakukan dalam kehidupan mereka,jadi disamping adanya warisan mereka juga memberikan hadiah, rata-rata mengatakan hibah ini mereka pergunakan (90%). Dan pemberian hibah ini dapat dilakukan dengan cara lisan atau tulisan, disamping itu dapat juga dengan cara kesepakatan, atau melalui musyawarah, dan agar hibah ini lebih kuat, dilaksanakan melalui akta notaris.

Page 48: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP

Dari analisis yang dilakukan apakah itu pada masyarakat Minangkabau yang merantau tidak begitu jauh dari desa ke kota (sekitar kota Padang) ataupun masyarakat Minangkabau yang merantau dari Minangkabau keluar Minangkabau (luar pulau), dapatlah digambarkan bahwa telah ada pergeseran hukum adat Minangkabau, dibandingkan apabila mereka masih berada ditempat asalnya. Jadi jelasnya sedekat dan sejauhmanapun mereka merantau hukum adat Minangkabau ini sudah mereka tinggalkan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan. Hanya saja perantau yang dekat ini 100% masih terikat dengan pusaka tinggi, sementara perantau jauh hanya 55o/o terikat, termasuk.juga hasil usaha milik bersama (1000/o) perantua yang lebihjauh hanya 95%. Begitu juga apabila ada sengketa waris mereka yang merantau dalam jarak dekat 1 OOo/o mempercayakan penyelesaiannya secara musyawarah, berbeda dengan mereka yang merantau lebih jauh selain musyawarah (65%), juga ditempuh melalui jalur pengadilan (25%).

Berdasarkan analisis dan evaluasi tentang Kebiasaan Berbagi Waris Masyarakat Minangkabau di Perantauan menunjukkan adanya beberapa perubahan, baik bagi perantau di daerah yang keluar wilayah Minangkabau maupun masyarakat Minangkabau yang merantau di sekitar kota Padang dan kota4cota lain di Sumatera Barat.

Sebagaimana kami sebutkan di dalamkata pendahuluan (Bab I) keadaan ini telah berlangsung lebih kurang 150 tahun dan terlebih lagi intensitasnya sangat kuat sesudah zaman revolusi 1ebih kurang 50 tahun belakangan ini. Kita melihat sebagaimana diuraikan di dalam Bab m bahwa ada faktor­faktor yang kuat relevansinya terhadap perubahan ini, kami telah menunjukkan bahwa faktor khusus mengenai suatu kasus yang "membuka" revolusi perubahan ini, dalam hubungan dengan kasus Dr. Muchtar.

Ada juga faktor umum yang dapat menjadi acuan bahwa perubahan itu juga berlangsung secara mendalam dan menyeluruh di seluruh Indonesia yaitu yang mengenai perubahan sistem garis keturunan dari unilateral ke-­ibuan dan unilateral ke-bapakan, yaitu perubahan yang menuju ke sistem bilateral parental sebagaimana sudah di dahului dan di prakarsai di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Khusus tentang berbagi waris masyarakat Minangkabau di perantauan, maka kita menemukan apa yang telah di sebut sebagai premesse dalam pendahuluan dan temyata di

37

Page 49: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

dalam analisis dan evaluasi terhadap kuisioncr yang kami adakan, ialah :

1. Berbagi waris di perantauan adalah suato ala"bat dari perantauan ito sendiri (migrasi) sehingga melonggarkan hubungan dan mengurangi pengaruh dari mamak kepada kekuasaan bapak (100%).

2. Di perantauan terbentuk harta bersama (harta pencaharian yang di dapat bersama-sama antara suami dan isteri) dan timbulnya harta yang di dapat masing-masing selama perantauan ito dan juga termasuk harta yang didapat dengan jalan hibah. Tidak dapat juga di pungkiri bahwa keterikatan kepada harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah di tempat asa1 yang relatif masih juga dapat dimanfaatkan hasilnya di sana-sini.

3. Dalam hubungan ini maka masyarakat Minangkabau di perantauan bahwa di da1am hal ada pembagian harta ito maka timbul faktor baru yaituyang menjadi ah1i waris adalahsuami-isteri dananak-anak (55%). Sedikit atau banyak juga pengaruh hukum Islam yang menurut doktrin Hazairin adalah bersifat Bilateral (25%). Dan ternyata cara pembagian ini adalah atas kesepakatan (60%), dan 60% daripada respondeD menjawab bahwa anak tiri, anak angkat atau kemenakan tidak mendapat warisan. Ternyata keluargalah atau somah yang bertanggungjawab atas utang pewaris yang meninggal. Di dalam masyarakat Minangkabau di perantauan ternyata di kenai juga menggunakan notaris dalam memantapkan pembagian waris ini dan atau di da1am hal menggunakan lembaga wasiat.

B. Saran

38

Dengan pengalaman menjalani 50 tahun kemerdekaan ini sebagaimana juga telah di ambil sikap politik (political will) sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 juga menjelang perobahan-perubahan yang akan kita alami dalam abad ke-21, maka hukum waris Indonesia juga selayaknya­sewajarnya menganut sistem parental-bilateral, terlebih mengingat tendensi tentang tingkat peradaban dunia (wereld cultuur niveau).

Dan menjadi kewajiban Pemerintah untuk kiranya dapat mendorong serta mengarahkan kehidupan nasional kita yang akan datang di da1am arus gelombang dunia yang modern.

Semoga sikap Pemerintah ini dapat di terima oleh generasi dan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia.

Page 50: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

DAFfAR KEPUSTAKAAN

1) Hatta, M. : Beberapa pasal ekonomi, 1940, Jakarta.

2) Menurut ilmu hukum adat existensi "harta bersama" mesti memenuhi 4 syarat~ lihatlah Bushar Muhammad, "Pokok-pokok hukum adat", hal. 15 cet. ke-15, 1991, Pradnya Paramita. Jakarta.

3) Lihatlah Bushar Muhammad, "Pokok-pokok ..... ", cet ke-5, hal. 59, dikutip dati TerHaar "Naschriften", hal 158, Batavia, 1940 (dibukukan o1eh Soepomo). ,

3a) Bacalah a.l. Hamka: "Adat Minangkabau menghadapi revo1usi"", Penerbit Firma Tekad", 1963, Djakarta, 98 halaman, yang secara tangkas danjelas menunjukkan adanya dan berlangsungnya perubahan dalam Adat Minangkabau.

4) Istilah kawin bertandang, kawin menetap dan kawin bebas adalah dari Hazairin dalam kuliah beliau 1952-1954, dimana di tunjukkan tentang ber­evolusinya hukum perkawinan di Minangkabau, dan kemudian mempengaruhi hukum waris disana secara drastis-revolusioner.

5) Lihatlah di atas pada hal. 8 dst. tentang "Faktor-faktor .... ".

6). Lihatlah Bilshar Muhammad "Pokok-pokok .... ",hal. 97 cet. ke 5; Pradnya Paramita. 1991, tentang kewajiban hakim untuk menilai "kenyataan social" (de sociale rechtswerkelykheid"), sesuai dengan ajaran tentang "ius in causa positum" oleh Scholten ("Het Algemeen deel"), dan TerHaar tsb. di atas.

7) Bacalah Hamka "Adat Minangkabau menghadapi revolusi" dalam kumpulan karangan "Adat dan Islam di Minangkabau", 1989, cet. ke-1, Jakarta.

8). Tentang teori dan pengertian revolusi ini, bacalah Soekarno "Kepada bangsaku", kumpulan karangan : tegasnya dalam bab tentang "Indonesia menggugat", pidato pembelaan pada Landraad Bandung (1933), hal. 168 dst.

9) Bacalah a.l. "De sociologie van de oorlog" tentang perubahan-perubahan yang timbul karena peperangan, pemberontakan dan perjuangan, dll.

39

Page 51: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

10) Bacalah: Hazairiiit,~~~Bilater3IMenurut Al-Qur'an,l960, Tinta Mas, Jakarta.

~-S~t:::)~c:· ~tzD.,; _ ... ·~r:r~t:~;J~.rl 8\? .. bti.CA.r<_C~ r::.·- ·\-:: f7.'f~;~~Dri';.~···!::}(,~ .0\~-~~ ~-~~-~~v~!gnr;f·t~d nr;f, !5"rtfit·

" .• .. ~ . ~ " -· 4l~.:.,~r;,? ~ ~(L\~J ·: ~ ·;... .

. ,1-,

40

Page 52: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

LAMPI RAN

41

Page 53: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

DRAFI' KUISIONER KEBIASAAN BERBAGI WARIS MASYARAKAT MINANG

DI PERANTAUAN MENUJU KEHIDUPAN Dl BAWAH IDIKITM NASIDNAJ.

Nomor Tanggal Hari Orgaoisasi/Perorangan :

L IDENTITAS

A. SUAMI 1. Nama 2. Alamat 3. Umur 4. Pekerjaan s. Asal daerah : Desa/Kecamatan/Kota 6. Jumlah Anggota Keluarga 7. Berapa lama merantau

B. ISTERI 1. Nama 2. Alamat 3. Umur 4. Pekerjaan s. Asal daerah : Desa/Kecamatan/Kota 6. Jumlah Anggota Keluarga 7. Berapa lama merantau

c ANAK 1. JumlahAnak

Anak Perempuan Anak Laki-laki

2. Anak Angkat/ Anak Tiri

42

Page 54: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

D. KELUARGA.

I. Siapakah yang bertindak sebagai Kepala Keluarga ?

2. Bagaimana peranan dan kekuasaan paman terhadap keluarga dan kemenakan selama ini ? (a) masih kuat (b) sudah berkurang (c) tidak sama sekali

(d) ··································

3. Bila terjadi pembahan, maka sebab-sebabnya adalah :

(a) ···································································································· (b) ···································································································· (c) ···································································································· (d) ···································································································· (e) ................................................................................................... .

4. Bila suami/isteri berasal dari luar Minangkabau, apakah hukum waris Minangkabau akanlmasih tetap diikuti ?

S. Masih eratkah hubungan keluarga Bapak/Ibu di perantauan ini dengan kerabat lainnya yang masih ada di daerah asal ?

m BARTA KEKAYAAN

1. Seberapa jauhkah keterikatan Bapak/Ibu terhadap harta pusaka ?

2. Bila salah seorang suami/isteri yang berusaha, apakah basil usahanya itu merupakan hak miliknya sendiri atau milik bersama ?

43

Page 55: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

3. Selama perkawinan, siapakah yang lebih menentukan harta bersama 7

4. Apakah ada perjanjian agar harta bawaan dan atau yang diperoleh masing-masing karena warisan menjadi harta bersama 7

S. Bagaimana caranya membagi-bagi harta bersama bila tejadi perceraian7

6. Bila salah seorang anggota keluarga meninggal dunia dan meninggalkan utang, siapakah yang berkewajiban menanggung utang tersebut 7

IV. WARISAN

44

1. Bila KepalaKeluarga (suami/isteri) meninggal, siapakahyang menjadi ahli warisnya 7

2. Bila terjadi pembagian warisan, apakah dibagi menurut ketentuan : (a) hukum adat Minang (b) hukum adat Minang sebagian saja (c) tidak menggunakan hukum adat Minang.

3. Apa saja yang merupakan harta warisan 7

4. Apakah ada harta peninggalan dari pewaris yang tidak dapat dibagi­bagi 7

Page 56: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995

S. Bila pewaris tidak ada keturtman (anak), kepada siapa harta warisan dibagikan?

6. Bagaimana pembagian harta warisan terhadap anak laki-laki I perem­puan?

7. Apakah kemenakan, anak angkat, dan anak tiri diperlakukan sama dengan anak kandung dalam pembagian warisan ? Kalau tidak sama, bagaimana pembagiannya ?

8. Bagaimana kedudukan jandalduda dalam pembagian warisan ?

9. Bila terjadi sengketa warisan, apakah penyelesaiannya dilakukan melalui: (a) pengadilan (b) musyawarah

10. Apakah Bapakllbu mengenallembaga wasiat?

11. Dalam hal apa Bapakiibu menggunakan wasiat ?

12. Apakah terhadap wasiat yang sudah diberikan dapat dicabut kembali ?

13. Apakah juga dikenal adanya pemberian-pemberian harta kepada ahli waris sesama pewaris masih hidup, dan bagaimana prosesnya ?

45

Page 57: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 58: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995
Page 59: Analisis dan evaluasi_hukum_tentang_kebiasaan_berbagi_waris_masyarakat_minangkabau_di_perantauan_menuju_kehidupan_di_bawah_hukum_nasional_1995