ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH … dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang...

97
ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOGOR WINDA DIAH PUSPASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Transcript of ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH … dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang...

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN

HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH

KABUPATEN BOGOR

WINDA DIAH PUSPASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bahaya dan Risiko

Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Winda Diah Puspasari

NRP A156140194

RINGKASAN

WINDA DIAH PUSPASARI. Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan

Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh

DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BOEDI TJAHJONO.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan kondisi morfologi

wilayah yang bervariasi, sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan

pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung

api yang mempunyai sifat meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan

batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah

hujan yang tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas

agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol,

Podsolik dan Andosol. Kondisi fisik wilayah yang berpotensi terjadi longsor dan

bencana longsor yang terus meningkat memerlukan analisis bahaya dan risiko

longsor untuk mempertimbangkan pola ruang wilayah.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis dan memetakan bahaya

(hazard) longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor dari

kejadian longsor yang ada; (2) Menganalisis risiko bencana longsor berdasarkan

keterkaitan antara penggunaan lahan, RTRW dan Bahaya Longsor; (3)

Merumuskan arahan sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor.

Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut

dan analisa AHP-SWOT. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem

Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan skor dan bobot untuk setiap

parameter, yang selanjutnya di klasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat

rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot,

maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap kejadian longsor, begitu juga

sebaliknya. Analisis spasial dan atribut meliputi pembuatan peta suseptibilitas,

peta bahaya longsor dan peta risiko longsor. Analisa AHP-SWOT dilakukan

untuk strategi pengendalian longsor.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki: (1)

kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah

sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya

rendah (33.68%) untuk daerah yang dianalisis; (2) kelas risiko longsor terbesar

berada pada kelas risiko rendah (55.95%) untuk daerah yang dianalisis; (3)

Strategi pengendalian longsor untuk arahan prioritas pertama adalah membuat

pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan

menerapkannya dengan lebih teliti dan ketat dalam memberikan ijin penggunaan

lahan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan

bidang pengawasan jika ada perubahan penggunaan lahan terutama di daerah

rawan longsor

Kata kunci: longsor, bahaya, penataan ruang, AHP, SWOT.

SUMMARY

WINDA DIAH PUSPASARI. Analysis Of Landslide Hazards And Risk And

Connection With Spatial Planning Area Bogor Regency. Supervised by DWI

PUTRO TEJO BASKORO and BOEDI TJAHJONO.

Bogor Regency is area with varying morphology conditions, mostly in the

form of high land, hills and mountains with rock constituent dominated by

volcanic eruption that has relatively high rain absorbing capacity. This rock type

is relatively vulnerable to soil movement when it is splash by high rainfall. The

soil is dominatly formed by loose volcanic materials which are susceptible to

erosion, such as Latosol, Alluvial, Regosol, Podsolic and Andosol. This physical

condition with highly landslides potential as well as the keep increasing landslides

occurence makes an analysis of landslide hazard and risk is required.

The purpose of this study are : (1) to analyze and map landslide hazard area

based on determinant factors of existing landslide disaster, (2) to analyze risk of

landslides based on the correlation between land use, spatial planning and

landslide hazard, (3) to formulate a spatial plan arrangement as an attempt to

minimize the impact of landslide disaster.

The methods used in this study are spatial analysis, attribute analysis and

AHP-SWOT analysis. Spatial and attribute analysis were conducted by utilizing

Geographic Information Systems (GIS) with the scores and weights for each

parameter, which is further classified into five classes, namely very low, low,

moderate, high, and very high class. The higher the score and the weight, the

higher the impact of the landslide cases, and vice versa. Spatial and attribute

analysis included the mapping of susceptibility, the mapping of landslide hazard

and the mapping of lanslide risk. AHP-SWOT analysis done for landslides control

strategies.

The results of the study showed that the Bogor Regency has: quite varieable

classes of landslide hazard, ranging from low to very high class, of which low

class occupies the largest portion (33.68%); in term of landslide risk low occupies

a largest porstion (55.95%) of the analyzed area; the priority to control landslide

to revise spatial pattern by taking in to account landslide hazard, apply more

carefully and strictly permission for landuse alocation, help community to care

more obout environment at change and provide supervision if there is any landuse

change especially in the landslides hazards.

Key words : landslide, hazard, Bogor regency, AHP, SWOT

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN

HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH

KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

WINDA DIAH PUSPASARI

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu

wa ta’ala karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Bahaya dan Risiko

Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima

kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing

dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,

dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang juga

dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,

dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr Khursatul Munibah, M.Sc, selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Wilayah IPB

4. Dr Ir Baba Barus, M.Sc, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan

perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.

5. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan

Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti

studi.

6. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang

diberikan kepada penulis.

7. Bapak Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah,

serta Kepala Dinas Pengawasan Bangungan dan Permukiman Kota Bogor

yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil untuk

mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

8. Mama Bapak Ibu terkasih serta Suami dan Putra Putri tercinta yang telah

memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan

kekuatan yang besar kepada penulis.

9. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang

juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik

moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan

dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan

penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan

manfaat.

Bogor, April 2016

Winda Diah Puspasari

NRP A156140194

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Pemikiran 4

Kerangka Pemikiran 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Tanah Longsor 5

Ruang dan Penataan Ruang 10

Analisis Faktor 12

Analytical Hierachy Process (AHP) 12

Analisis A’WOT 13

Sistem Informasi Geografis 14

Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 16

BAHAN DAN METODE 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Pengumpulan Data 17

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 18

Analisis Risiko Longsor 24

Arahan Penataan Ruang 27

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 31

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian 31

Rencana Tata Ruang Wilayah 37

HASIL DAN PEMBAHASAN 39

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 39

Analisis Risiko Longsor 48

Arahan Penataan Ruang 52

SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 62

Saran 63

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor 3 Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik

analisis, dan keluaran 19 Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor 22 Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor 24 Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor 25 Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor 25

Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas 26 Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor 27 Tabel 9 Skala pembobotan AHP 28 Tabel 10 Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP 30 Tabel 11 Matriks strategi hasil analisis SWOT 30

Tabel 12 Urutan/ranking strategi pengendalian longsor 31 Tabel 13 Sebaran Luasan Satuan Tanah 36

Tabel 14 Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab

longsor 39 Tabel 15 Total Variance Explained 41 Tabel 16 Hasil komponen parameter 41

Tabel 17 Pembobotan parameter suseptibilitas longsor 42 Tabel 18 Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor 42

Tabel 19 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor 44 Tabel 20 Klasifikasi kelas bahaya longsor 44 Tabel 21 Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada

masing-masing kecamatan 47 Tabel 22 Perhitungan validasi peta bahaya longsor 48

Tabel 23 Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)

berdasarkan kelas bahaya longsor. 52

Tabel 24 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor 53 Tabel 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan

lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) 54 Tabel 26 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor 55

Tabel 27 Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan

Kelas Kapasitas 55 Tabel 28 Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 56 Tabel 29 Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 58 Tabel 30 Hasil pembobotan komponen SWOT 59 Tabel 31 Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 60

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 5 Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran 6 Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958) 7

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975) 8

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975) 8 Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen

penyebabnya (Karnawati 2005) 10 Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor) 17 Gambar 8 Bagan Alir Penelitian 20

Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor 29 Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor 32 Gambar 11 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran curah hujan di

Kabupaten Bogor 32 Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor 33

Gambar 13 Luas (ha) dan Luas persentase (%) kemiringan lereng di

Kabupaten Bogor 33 Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor 34

Gambar 15 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran geologi di

Kabupaten Bogor 35 Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor 35 Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor 36

Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di

Kabupaten Bogor 37

Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor 39 Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey 40 Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor 43

Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten

Bogor 43

Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor 45 Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten

Bogor 45 Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya

longsor eksisting 48

Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan 49

Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan 50 Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor 51

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data hasil survey lapangan 68

Lampiran 2 Foto-foto hasil survey 70 Lampiran 3 Kuesioner untuk mendapatkan data Analisis A’WOT (dalam

penentuan strategi pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor) 72

Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor 81 Lampiran 5 Perhitungan kelas bahaya longsor 82

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis,

klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan

dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus

dalam bidang ekonomi namun sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara

geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu Lempeng

Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia

kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang

sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana, seperti gempa, tsunami, dan

gerakan tanah/longsor (BNBP 2012).

Secara morfografis Indonesia mempunyai banyak daerah dengan

potensi terjadinya bencana longsor. Bencana tersebut mengancam penduduk

yang tinggal di lembah atau lereng bawah gunungapi dan pengunungan

terutama pada lereng yang terjal. Pada daerah berlereng terjal dengan struktur

batuan tidak kompak perlu diwaspadai terutama jika terjadi hujan lebat atau

hujan beberapa hari, karena dapat diperkirakan bencana longsor dapat terjadi

(Asriningrum 2001).

Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering

terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Bencana ini

berkaitan dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan,

kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat

menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak,

penggundulan hutan, pembangunan permukiman dengan topografi yang curam

( Pramita et. al, 2014)

Tanah longsor yang banyak terjadi di Indonesia terjadi pada topografi terjal

dengan sudut lereng 15o – 45

o dan pada batuan vulkanik lapuk dengan intensitas

hujan sangat lebat (> 100 mm/hari). Faktor-faktor lain yang dapat memicu

terjadinya tanah longsor adalah : kondisi geologi, kondisi tataguna lahan, aktivitas

manusia dan kegempaan ( Prawiradisastra 2013).

Data kejadian bencana di Indonesia tahun 2014 menurut laporan BNBP

menyebutkan ada 248 jiwa orang tewas akibat longsor. Jumlah ini hampir dua per

tiga dari korban tewas akibat bencana di Indonesia selama 2014. Bencana tanah

longsor selalu berulang setiap tahun. Di Indonesia ada sekitar 40.9 juta jiwa

penduduk yang terpapar bahaya longsor pada tingkat sedang hingga tinggi.

Masyarakat terpapar adalah masyarakat beserta perumahan, sistem, atau elemen

lain yang berada pada zona bahaya dan berujung pada potensi

kerugian. Bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan,

dan curah hujan yang makin ekstrem menyebabkan risiko longsor semakin tinggi.

Data kejadian longsor memiliki korelasi positif dengan pola hujan, dimana

sebagian besar bulan Januari adalah puncak kejadian longsor. Wilayah di Jawa

Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah provinsi yang paling banyak

mengalami bencana longsor. Daerah yang berulang mengalami longsor adalah

Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Bandung Barat, Tasikmalaya,

Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar, Wonosobo, Temanggung, Cilacap,

2

Grobogan, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Malang, Jember,

dan lainnya sering terjadi longsor (BNBP 2014).

Kondisi iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah

terutama di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata

curah hujan tahunan 2 500 – 5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan

sebagian kecil wilayah timur yang mempunyai curah hujan kurang dari 2 500

mm/tahun. Sementara itu suhu rata-rata tiap bulan adalah 20o - 30

oC, dengan rata-

rata tahunan sebesar 25oC.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi

wilayah yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga pegunungan

di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke

utara. Klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta prosentasenya terhadap luas

seluruh wilayah Kabupaten Bogor menurut RTRW adalah sebagai berikut:

Dataran rendah (15 - 100 m dpl) sekitar 29.28 %, merupakan kategori

ekologi hilir

Dataran bergelombang (100 - 500 m dpl) sekitar 42.62 %, merupakan

kategori ekologi tengah

Pegunungan (500 – 1 000 m dpl) sekitar 19.53 %, merupakan kategori

ekologi hulu

Pegunungan tinggi (1 000 – 2 000 m dpl) sekitar 8.43 %, merupakan

kategori ekologi hulu

Puncak-puncak gunung (2 000 – 2 500 m dpl,) sekitar 0.22 %, merupakan

kategori ekologi hulu

Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa perbukitan dan

pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan

gunungapi, terdiri dari batuan andesit, tufa, dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini

relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang

tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan

sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan

Andosol (Perda Kabupaten Bogor 2008).

Dampak perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat di kawasan puncak

dan sekitarnya selama 10 tahun terakhir terhadap kelestarian lingkungan semakin

nyata. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh peningkatan suhu udara di kawasan

Bogor, fluktuasi aliran sungai Ciliwung yang tinggi dan keruhnya sungai-sungai

yang bermuara di wilayah ini. Salah satu akibat perubahan ini adalah terjadinya

gerakan tanah, khususnya longsoran dangkal (shallow landslide). Gerakan tanah

berkaitan langsung dengan berbagai sifat alami seperti : struktur geologi, bahan

induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non

alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur ( Barus

1999)

Curah hujan memicu tanah longsor termasuk tanah longsor dangkal yang

telah mengakibatkan kerusakan sejumlah harta benda serta korban jiwa manusia.

Karakterisasi curah hujan yang memicu tanah longsor telah digunakan untuk

membangun hubungan antara curah hujan dan tanah longsor di berbagai belahan

dunia termasuk tanah longsor dangkal (Hasnawir 2012).

3

Perumusan Masalah

Kabupaten Bogor sudah memiliki peta bahaya longsor yang seharusnya

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pola ruang

wilayah. Kenyataan yang ada pada wilayah yang mempunyai kondisi longsor

paling tinggi direncanakan sebagai perumahan padat penduduk dan belum ada

analisis untuk meminimumkan besarnya bahaya longsor tersebut. Selain itu Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor juga sudah melakukan

antisipasi kejadian longsor dengan memasang alat untuk tanda bahaya di beberapa

lokasi yang mengalami pengulangan kejadian longsor sehingga diharapkan bisa

mengurangi jumlah korban jiwa jika ada kejadian longsor. Meskipun sudah ada

peta bahaya longsor dan alat pendeteksi longsor dari Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata jumlah kejadian tanah longsor di

Kabupaten Bogor tetap saja meningkat. Kejadian longsor yang terus meningkat

dapat dilihat pada laporan kejadian longsor pada BPBD Kabupaten Bogor yang

tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor

No Jenis Kejadian Jumlah Kejadian Bencana

Tahun 2012 2013 2014

1 Tanah Longsor 74 95 161

2 Banjir 22 32 43

3 Kebakaran 166 225 374

4 Angin ribut/kencang 140 101 96

5 Lain-lain (kekeringan,

tenggelam, tersambar petir, dll 67 0 55

Sumber : BPBD Kabupaten Bogor (Tahun 2013, 2014, 2015)

Mengingat frekuensi longsor di Kabupaten Bogor cukup tinggi, maka

penelitian terhadap longsor masih tetap diperlukan terutama dengan menggunakan

pendekatan baru yang disesuaikan dengan kondisi lokasi bencana tanah longsor

yang sudah terjadi. Pengamatan langsung di lapangan diperlukan untuk

mendapatkan data untuk analisis determinan faktor bahaya tanah longsor.

Determinan faktor yang baru digunakan sebagai bahan pembuatan peta bahaya

tanah longsor yang hasilnya diharapkan lebih mendekati dengan kondisi aktual

lapangan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

pokok dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Belum diketahui dan dipetakan bahaya (hazard) tanah longsor di

Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor.

2. Belum diketahuinya besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan

antara penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan

bahaya longsor.

3. Belum diketahuinya arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor

berdasarkan analisis bahaya tanah longsor.

4

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor dan diharapkan mampu

memperbaiki pemanfaatan ruang dan pengendalian longsor. Dari uraian tersebut

di atas selanjutnya dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana peta bahaya (hazard) tanah longsor di Kabupaten Bogor

berdasarkan determinan faktor?

2. Berapa besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara

penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan bahaya

longsor?

3. Bagaimana arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor

berdasarkan analisis bahaya tanah longsor?

Tujuan Penelitian

Memperhatikan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, berikut

dirumuskan tujuan dari penelitian ini:

1. Menganalisis dan memetakan bahaya (hazard) longsor di Kabupaten

Bogor berdasarkan determinan faktor dari kejadian longsor yang ada.

2. Menganalisis besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara

penggunaan lahan, RTRW, dan bahaya longsor.

3. Merumuskan arahan untuk menekan dampak dari bencana longsor.

Manfaat Pemikiran

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Memberikan informasi tentang sebaran bahaya tanah longsor kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

2. Membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam memikirkan

perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang

ke depan.

Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang tanah longsor di Jawa Barat secara umum dan Kabupaten

Bogor secara khusus sudah ada dengan menggunakan skoring dan pembobotan

dari literatur yang berbeda-beda. Berbagai hasil penelitian akan digunakan untuk

membuat pembobotan dan parameter baru sebagai dasar pembuatan peta bahaya

tanah longsor di Kabupaten Bogor.

Kejadian tanah longsor di Kabupaten Bogor pada musim penghujan tampak

semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan banyak kerugian,

baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa. Hal ini

menggambarkan bahwa penanganan bahaya tanah longsor di Kabupaten Bogor

belum tertangani secara optimal. Peta bahaya longsor yang ada di Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata belum dapat

menurunkan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor. Penelitian ini di tahap

awal bermaksud membuat data dan informasi terkait bahaya tanah longsor dengan

pendekatan baru berdasarkan kondisi lokasi kejadian longsor yang sudah terjadi

sehingga diharapkan bisa memberikan hasil optimal.

Tahap selanjutnya menilai tingkat inkonsistensi penggunaan lahan terhadap

peta pola ruang yang ada untuk merumuskan cara meminimalkan kerugian jika

5

terjadi tanah longsor. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk

merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik.

Secara skematis kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram

alir Gambar 1.

Kondisi Fisik Wilayah :

Curah hujan, tanah, geologi, kemiringan lereng

Aktivitas manusia :

Perubahan penggunaan lahan

Data bencana longsor BPBD :

Determinan faktor

BAHAYA LONGSOR Rendahnya tingkat

kapasitas wilayah

Tingginya tingkat kerentanan

masyarakat (sosial, ekonomi,

fisik, lingkunga)

RISIKO LONGSOR

(Kerugian ekonomi, fisik dan

lingkungan)

Tindakan Pencegahan/

antisipasi

Penyediaan data dan informasi mengenai :

Peta bahaya longsor, peta risiko longsor, tingkat konsistensi penggunaan lahan dengan

peruntukkan lahan, serta keterkaitan penataan ruang dengan bahaya dan risiko longsor

Upaya menekan dampak akibat bencana

dengan merumuskan arahan penataan

ruang yang aman dan nyaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah Longsor

Definisi Tanah Longsor

Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng

berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material, bergerak ke bawah atau

keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana

terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar

daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan

batuan dan kepadatan tanah, sedangkan daya pendorong dipengaruhi oleh

besarnya sudut lereng, air, beban, serta berat jenis tanah dan batuan. Proses

terjadinya tanah longsor berawal dari air yang meresap ke dalam tanah dan

6

menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang

berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan

di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng (Nandi 2007). Menurut

Permen PU No.22/PRT/M/2007, longsor adalah suatu proses perpindahan massa

tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari

massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk

rotasi dan translasi.

Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor

(landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah

perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan

massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas

umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga

kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan

aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa

tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas

manusia (Hardiyatmo 2006).

Tipe-tipe Longsor

Karakteristik gerakan massa/longsor pembentuk lereng dapat dibagi menjadi

lima macam (Gambar 2), yang meliputi: jatuhan (falls), robohan (topples),

longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows) (Curden and Varnes, 1996

dalam Hardiyatmo, 2006)

a. Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau

batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material

yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi

pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai

bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan batuan dapat terjadi

pada semua jenis batuan dan umumnya terjadi akibat oleh pelapukan,

perubahan temperatur, tekanan air, atau penggalian/penggerusan bagian

bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada

Gambar 3.

.

Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran

7

b. Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada

lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-

bidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan

jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang

berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang

menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan.

c. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang

diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih

bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-

pecah.

Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua

jenis, (Gambar 4) yaitu:

Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional

(rotasional slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan

sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan.

Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material yang relatif

homogen seperti timbunan buatan (tanggul). Longsoran rotasional dapat

dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran (slips), longsoran

rotasional berganda (multiple rotational slides), dan penggelinciran

berurutan (successsive slips).

Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)

Longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional

(translational slides), merupakan gerakan di sepanjang diskontuinitas

8

atau bidang lemah yang terjadi sejajar dengan permukaan lereng,

sehingga bentuk gerakan tanah berjalan secara translasi. Longsoran

translasional dibedakan menjadi: longsoran blok translasional

(translational block slides), longsoran pelat (slab), longsoran translasi

berganda (multiple translational slides), dan longsoran sebaran

(spreading failurse).

Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)

d. Sebaran (spreads) yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran

lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan

turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak dibawahnya.

Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)

e. Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan

mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif

sempit. Material yang terbawa aliran dapat terdiri dari berbagai macam

partikel tanah (termasuk batu besar), kayu-kayuan, ranting dan lain-lain.

Beberapa istilah yang membedakan tipe-tipe aliran, yaitu: aliran tanah (earth

flow), aliran lumpur/lanau (mud flow), aliran debris (debris flow) dan aliran

longsoran (flow slide), seperti ditunjukan oleh Gambar 5.

9

Faktor-Faktor Penyebab Tanah Longsor

Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum

(2012) sebagai berikut :

1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi;

Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di

permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya

pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan retak dan merekah.

Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke

bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan

dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan

lateral dan terjadi longsoran.

2. Area yang mempunyai lereng/tebing yang terjal;

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong

sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.

3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal;

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan

ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap

pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan

mudah pecah ketika hawa terlalu panas.

4. Memiliki batuan yang kurang kuat;

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan

merupakan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya

merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi

tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan

terhadap tanah longsor.

5. Jenis tata lahan yang rawan longsor;

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan

perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat

butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air,

oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk

daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang

longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6. Adanya pengikisan;

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu,

penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing

menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.

7. Merupakan area bekas longsoran lama;

Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut :

adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda

umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena

tanahnya gembur dan subur

adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah

adanya tebing-tebing yang relatif terjal

adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran

kecil

10

8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras);

Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang

luncuran tanah longsor dan memiliki ciri:

bidang perlapisan batuan

bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat

bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan

yang tidak melewatkan air (kedap air)

bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat

Karnawati (2005), menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan

tanah secara skematik seperti pada Gambar 6. Menurut Karnawati (2005), faktor-

faktor pengontrol gerakan tanah merupakan fenomena alam yang mengkondisikan

suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng

tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang

berpotensi untuk bergerak, baru akan bergerak apabila terdapat suatu gangguan

yang memicu terjadinya gerakan massa tanah (dapat berupa faktor alamiah

maupun non alamiah).

RENTAN

(SIAP

BERGERAK)

STABIL

TERJADI

GERAKAN

TANAH

Penyebab gerakan

Infiltrasi air ke

dalam lereng

Getaran

Aktivitas manusia

Pemicu gerakanFaktor-faktor

pengontrol

Geomorfologi

Geologi

Tanah

Geohidrologi

Tata guna lahan

KRITIS

Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen

penyebabnya (Karnawati 2005)

Ruang dan Penataan Ruang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang Pasal 1 menyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi

ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu

kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan

dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem

proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan

ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur

ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata

ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan

pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan

program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya

untuk mewujudkan tertib tata ruang.

11

Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang menyatakan Penyelenggaraan penataan ruang

bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,

produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber

daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Menurut Suranto (2008) potensi bencana alam tanah longsor merupakan

salah satu pertimbangan yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama

diperlukan dalam proses penyusunan tata ruang baik pada tingkat nasional,

provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan Pedoman Penataan Ruang dan

Pengembangan Kawasan, untuk keperluan perencanaan wilayah dan kota pada

tingkat nasional perlu disusun suatu “kriteria nasional” untuk kawasan rawan

bencana, khususnya yang berkaitan dengan kawasan rawan bencana :

a. yang mutlak “harus” dihindari untuk pemanfataan apapun

b. yang masih dapat dikembangkan yang bergradasi dengan memanfaatkan

konsep mitigasi.

Berdasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung, bahwa kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung

yang perlu dijaga untuk melindungi manusia dan berbagai kegiatannya dari

bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan

manusia. Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah merupakan kawasan yang

diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan

gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Sebagai salah satu upaya

pengendalian kawasan lindung, maka pada kawasan rawan bencana dilarang

melakukan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Dengan

tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam

kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta

kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.

Hal tersebut menjadi sangat penting, sehingga seluruh proses dan

prosedur penataan ruang wilayah dan kota di Indonesia harus mempertimbangkan

aspek kebencanaan dan konsep mitigasi bencana. Pada saat ini upaya manajemen

bencana longsor di Indonesia masih menitikberatkan pada tahap “saat terjadi

bencana” dan “pasca bencana” saja, sehingga untuk ke depan peran dan fungsi

penataan ruang sebagai aspek mitigasi bencana sebenarnya menjadi sangat

strategis berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang. Pertimbangan tersebut sebagai upaya untuk mencegah atau paling tidak

dapat meminimalkan korban yang diakibatkan oleh adanya bencana (Karnawati,

2005).

12

Analisis Faktor

Menurut Supranto (2010) analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai

berikut :

1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying

dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.

2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak

berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan

suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat

selanjutnya.

3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu

set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam

analisis multivariat selanjutnya.

Analytical Hierachy Process (AHP)

Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang

menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak

tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah

alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan

permasalahan pengambilan keputusan yang kompleks dengan menggunakan

struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif

(Triantaphyllou dan Mann 1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP

digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara

kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas diantara beberapa

alternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam

penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap

tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar memahami

situasi yang sedang ditelaah.

Makkasau (2012) mengemukakan AHP adalah prosedur yang berbasis

matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut

kualitatif dimana atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam

satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode

pengambilan keputusan lainnya lebih ditekankan karena adanya struktur yang

berhirarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai kepada sub-sub

kriteria yang paling mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai

dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih

oleh para pengambil keputusan (Saaty 1980).

Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah

data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas

permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP

ini. Disamping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan

masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada

perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini

merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau

2012).

13

Analisis A’WOT

Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di

Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT. Metode

A’WOT adalah gabungan (integrasi) antara AHP (Analytical Hierarchy Process)

dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) yang

dikembangkan untuk perencanaan hutan di Finlandia (Kangas et al. 1996 dalam

Johan 2011). Menurut Leskinen et al. (2006) A’WOT merupakan metode yang

menunjukan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat diverifikasi dan

digunakan selanjutnya untuk menyusun strategi.

Analisis AHP maupun analisis SWOT lazim digunakan untuk merumuskan

kebijakan. Bila dilihat dari subjektifitasnya maka analisis AHP lebih baik dari

analisis SWOT. Oleh karena itu, dengan menggabungkan kedua teknik analisis

AHP dan SWOT diharapkan dapat saling menyempurnakan dan meminimalkan

tingkat subjektifitas dari suatu kebijakan yang dihasilkan (Rosdiana 2011)

Menurut Nasdan et al. (2008) metode SWOT disebut juga sebagai metode

analisis situasi yang digolongkan ke dalam faktor lingkungan internal (Kekuatan

dan Kelemahan) atau sering dikatakan dampak secara langsung dan faktor

eksternal (Peluang dan Ancaman) atau dampak secara tidak langsung. Kedua

faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan

kekuatan serta dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Matriks

SWOT dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman

eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang

dimiliki (Rangkuti 2009).

Dalam analisis SWOT agar keputusan lebih tepat, maka perlu melalui

tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004):

1. Tahapan evaluasi faktor eksternal dan internal

Tahapan ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman dengan analisis data yang relevan dalam penelitian.

2. Tahapan Analisis yaitu dengan pembuatan matrik internal dan matrik

eksternal SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan eksternal

merupakan kunci keberhasilan pembangunan (Key Success Factor/KSF) yang

memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai dengan 1 (sangat penting).

Bobot KSF ini ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan

(urgensi) antar KSF. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian

diberi peringkat/rating (R) dimana menunjukkan nilai dukungan masing-

masing faktor dalam pencapaian tujuan. Pemberian rating dimulai dari 5

(sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh) dan 1 (Kurang berpengaruh). Bobot

faktor dan ratting akan menentukan skor (BxR) yang menunjukan nilai

dukungan terhadap pencapaian tujuan. Selanjutnya dilakukan perhitungan

selisih skor dalam setiap faktor SWOT sehingga diperoleh total skor faktor

internal dan eksternal. Hal ini akan dijadikan sebagai penentuan posisi

strategi pengembangan pada posisi kuadran tertentu pada kuadran strategi

SWOT dalam penetapan bobot.

3. Tahapan pengambilan keputusan

Tahapan pengambilan keputusan dalam strategi SWOT dihasilkan dari

penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO),

penggunaan kekuatan untuk menghadapi ancaman (ST), pengurangan

14

kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan

kelemahan untuk menghadapi ancaman yang ada (WT).

Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis

SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berapa bobot antara

masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam

komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi

mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT

dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang

berkompeten.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu alat yang dapat

digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses, dan output) data spasial

atau data yang bereferensi geografis. (Setiadi 2013).

Menurut Setiadi (2013) SIG mempunyai beberapa kemampuan, yaitu :

a. Memetakan Letak

Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk mencari dimana letak

suatu daerah, benda, atau lainnya di permukaan bumi. Fungsi ini dapat

digunakan seperti untuk mencari lokasi rumah, mencari rute jalan, mencari

tempat-tempat penting dan lainnya yang ada di peta.

b. Memetakan Kuantitas

Pemetaan penyebaran kuantitas dapat mencari tempat-tempat yang sesuai

dengan kriteria yang diinginkan dan digunakan untuk pengambilan keputusan,

ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-masing tempat tersebut.

c. Memetakan Kerapatan

Pemetaan kerapatan dapat dengan mudah membagi konsentrasi

daerah kedalam uni-unit yang lebih mudah untuk dipahami dan seragam,

misalkan dengan memberikan warna yang berbeda pada daerah-daerah yang

memiliki konsentrasi tertentu. Pemetaan kerapatan ini biasanya digunakan

untuk data-data yang berjumlah besar seperti sensus penduduk.

d. Memetakan apa yang ada di luar dan di dalam suatu area

SIG digunakan juga untuk memonitor apa yang terjadi dan keputusan apa

yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada pada suatu area dan apa

yang ada diluar area.

Menurut Prahasta (2005) kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi

analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat

dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut (basis

data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan

basisdata (DBMS) dan perluasannya, yaitu :

1. Operasi dasar basisdata yang mencakup :

a. Membuat basis data baru (create database)

b. Menghapus basis data (drop database)

c. Membuat tabel basis data ( create table)

d. Menghapus tabel basis data (drop tale)

e. Mengubah, meng-edit dan menghapus data yang ada di tabel

15

2. Perluasan operasi basisdata :

a. Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain

(export dan import).

b. Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.

c. Dapat menggunakan bahasa basisdata standart SQL (structured query

language)

Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri

dari:

1. Klasifikasi (reclassify) : fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data

spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan

kriteria tertentu.

2. Overlay : fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data

spasial yang menjadi masukkannya.

3. Buffering : fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk

poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi

masukannya.

SIG banyak dimanfaatkan dalam memetakan bahaya longsor di beberapa

daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Nurhayati (2009), memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rawan longsor

Kabupaten Cianjur. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi

intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor (peta-peta

kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan) diberi skor dan

bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk

memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat.

2. Rahmat (2010), memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di

Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka. Proses tumpang

susun dilakukan pada parameter penyebab longsor (peta geologi, peta curah

hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah) yang sebelumnya

telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan

spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi

hasil yang cukup baik.

3. Penelitian oleh Mukhlisin et al. (2010) memanfaatkan SIG dalam memetakan

bahaya longsor di Ulu Klang, Malaysia, yang merupakan wilayah yang

memiliki potensi tinggi terhadap kejadian longsor. Penggunaan SIG pada

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang tindih

(overlay) pada setiap parameter penyebab longsor di antaranya yaitu:

kemiringan lereng, geologi, tanah, dan curah hujan. Keempat Parameter

tersebut sebelumnya diberi bobot dan skor, dimana semakin tinggi bobot dan

skor untuk setiap parameter maka semakin tinggi pula bahaya terhadap

kejadian longsor, demikian sebaliknya. Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa model pendekatan dengan menggunakan SIG sangat cocok untuk

memperkirakan daerah bahaya longsor yang dihasilkan dalam bentuk peta

bahaya longsor

16

Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik pada penelitian ini di

antaranya adalah :

1. Utomo (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Identifikasi Daerah Rawan

Longsor di Kabupaten Bogor Jawa Barat, mengidentifikasi

kemungkinan dan penyebab terjadinya longsor pada daerah – daerah yang

berbahan induk vulkanik, mempelajari bentuk dan karakteristik longsor, dan

memetakan daerah – daerah yang berpotensi terjadinya longsor. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa longsor akan meningkat seiring dengan

bertambahnya kemiringan lereng yang dipengaruhi juga oleh berbagai faktor

seperti penggunaan lahan dan kerapatan vegetasi. Regression Analyisis

merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membuat 3 model

prediksi longsor yaitu; jenis longsor, luas areal longsor dan luas hamparan

material longsor. Tiap – tiap parameter mempunyai pengaruh yang

berbeda terhadap model prediksi longsor. Jenis longsor yang ditemukan

terdiri dari longsoran rotasi (slump) dan longsoran translasi (sliding), dimana

lereng dengan kemiringan ≥ 30% akan berpotensi terjadinya longsor. Proporsi

areal longsor lebih dipengaruhi oleh kemiringan lereng, sedangkan luas

material hamparan longsor dan tipe longsoran lebih dipengaruhi oleh tipe

penggunaan lahan (landuse).

2. Yunianto (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kerawanan

Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan

Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor, menganalisis kerawanan tanah

longsor dilakukan berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang

Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), parameter-parameter yang

digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan

(landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi

(batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah. Setiap jenis parameter tersebut

diklasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian

ditumpangsusunkan (overlay). Pola ruang Kabupaten Bogor kemudian

dievaluasi berdasarkan Peta Kerawanan Tanah Longsor tersebut. Berdasarkan

model pendugaan kerawanan tanah longsor BBSDLP diperoleh tiga kelas

kerawanan longsor di Kabupaten Bogor yaitu kelas kerawanan longsor rendah

dengan luas 94991 Ha (31,7%) meliputi 33 kecamatan, kelas kerawanan

longsor sedang dengan luas 173309 Ha (57,8%) meliputi 36 kecamatan dan

kelas kerawanan longsor tinggi dengan luas 31127 Ha (10,396%) meliputi 28

kecamatan. Hasil evaluasi pola ruang menunjukkan bahwa beberapa kawasan

yang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman berada pada daerah dengan

kerawanan longsor tinggi, sehingga tidak tepat apabila dijadikan permukiman.

Selain itu juga ditemukan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan

peruntukkannya sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor, dimana

kawasan konservasi maupun hutan lindung yang berfungsi untuk melindungi

lingkungan disekitarnya dari bencana tanah longsor, pada kenyataannya telah

beralih fungsi menjadi pemukiman, kebun, sawah maupun ladang dan tegalan.

17

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas ± 298.838 ha

dan secara geografis terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan

106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur. Lokasi penelitian mencakup semua

kecamatan dan desa/kelurahan yang ada yaitu 40 kecamatan, 434 desa/kelurahan.

Penelitian dilaksanakan pada Bulan April - Desember 2015, sedangkan lokasi

penelitian (Peta Wilayah Kabupaten Bogor) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor)

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder.

Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengamatan berbagai kejadian tanah

longsor di lokasi kajian. Lokasi kajian dipilih berdasarkan data titik-titik longsor /

kejadian tanah longsor dari BPBD Kabupaten Bogor. Penentuan titik-titik survei

lapangan berdasarkan kejadian terbesar dan pertimbangan aksesibilitas (jaringan

jalan yang tersedia).

Penggunaan kuesioner dalam wawancara bertujuan untuk memudahkan

dalam menentukan strategi pengendalian longsor, sedangkan pemilihan responden

18

dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang terdiri dari : Badan

Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga

dan Pengairan Kabupaten Bogor, dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten

Bogor.

Secara ringkas, data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Hasil survei titik longsor di lapangan,

2. Hasil pengolahan data SRTM (DEM) resolusi 90 meter,

3. Hasil wawancara (dengan menggunakan kuesioner).

Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi:

1. Peta Administrasi Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan

Daerah Kabupaten Bogor.

2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Tahun 2013,

Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

3. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor 2005 – 2025, Skala 1: 100.000,

Tahun 2008, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.

4. Peta Curah Hujan skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten

Bogor.

5. Peta Satuan Tanah skala 1 : 250.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten

Bogor.

6. Peta Geologi lembar Bogor, Skala 1:100.000, Tahun 1998, Pusat Penelitian

dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.

7. Data bencana tanah longsor tahun 2012 – 2014 dari Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Kabupaten Bogor.

8. Citra SRTM resolusi 90 m yang digunakan untuk membuat peta kemiringan

lereng

Peralatan yang digunakan antara lain Global Positioning System (GPS),

kamera digital dan seperangkat komputer dengan software pengolah data spasial,

SPSS dan Microsoft Office 2007.

Matriks analisis penelitian yang menggambarkan hubungan antara tujuan,

jenis data, sumber data, metode analisis, dan keluaran yang diharapkan, disajikan

pada Tabel 2.

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian secara keseluruhan dapat

dilihat pada bagan alir yang tersaji dalam Gambar 8. Peta bahaya longsor dibuat

dengan melakukan beberapa analisis yang dimulai dengan analisis faktor untuk

menentukan determinan faktor dari penyebab longsor di Kabupaten Bogor.

Selanjutnya akan dilakukan pembobotan dan skoring untuk pembuatan peta

suseptibilitas yang digunakan untuk melihat kerawanan wilayah penelitian

sebelum menggabungkan dengan penggunaan lahan untuk membuat peta bahaya

longsor.

19

Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis,

dan keluaran

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran

1 Menganalisis

dan

memetakan

bahaya

(hazard) tanah

longsor di

Kabupaten

Bogor

berdasarkan

determinan

faktor dari

kejadian tanah

longsor yang

ada.

Data longsor

yang sudah

terjadi

Data

pengamatan

langsung

Peta

Penggunaan

Lahan

Peta Curah

Hujan

Peta

Kelerengan

Peta Tanah

Peta Geologi

BPBD

Kabupaten

Bogor

Bappeda

Kabupaten

Bogor

BIG (Peta

Rupabumi)

Analisis faktor

Overlay SIG

dengan skoring

pembobotan

Klasifikasi

Peta

Bahaya

Longsor

2 Menganalisis

risiko bencana

longsor

berdasarkan

kerentanan

masyarakat,

kapasitas dan

bahaya

longsor.

Peta

penggunaan

lahan th 2013

Peta Pola

Ruang

RTRW

Kabupaten

Bogor 2005-

2025

Peta bahaya

longsor

keluaran no

1

Bappeda

Kabupaten

Bogor

Peta Bahaya,

Kerentanan dan

Kapasitas

menggunanaka

n overlay SIG

dan klasifikasi

Peta risiko

menggunakan

overlay SIG

berdasarkan

persamaan

BNBP No 02

Tahun 2012

(BNBP 2012) R

= HxV/C

Peta Risiko

Longsor

3 Merumuskan

arahan

penataan ruang

sebagai upaya

untuk menekan

dampak dari

bencana tanah

longsor.

Peta Risiko

Tanah

Longsor

Peta

Penggunaan

lahan 2013

Peta Pola

Ruang

RTRW

Kabupaten

Bogor 2005-

2025

Hasil

penelitian

tujuan 2

Bappeda

Kabupaten

Bogor

Kuesioner

Overlay SIG

Analisa dengan

A’WOT

Arahan

Penataan

Ruang

termasuk di

dalamnya

Peta

Konsistensi

Penggunaan

Lahan

dengan

RTRW

Analisis Faktor

Analisis faktor dilakukan untuk mencari faktor penentu terjadinya longsor

yang kemudian digunakan untuk pemetaan bahaya longsor. Menentukan faktor

penentu terjadi longsor dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengidentifikasi karakteristik lahan di lokasi longsor. Untuk mengidentifikasi

karakteristik lahan di lokasi longsor dimulai dengan data sekunder yang diperoleh

dari BPBD Kabupaten Bogor tentang titik-titik lokasi kejadian longsor.

20

Dat

a be

ncan

a ke

jadi

an l

ongs

or

Kar

akte

rist

ik w

ilay

ah b

ekas

kej

adia

n lo

ngso

r

Ana

lisi

s F

akto

r

Pen

ggun

aan

laha

nC

urah

Huj

anT

anah

Kem

irin

gan

lere

ngG

eolo

gi

Sko

ring

Det

erm

inan

fak

tor

Cur

ah H

ujan

Tan

ahK

emir

inga

n le

reng

Geo

logi

Sko

ring

dan

pem

bobo

tan

Pet

a S

usep

tibi

lita

s

Pen

ggun

aan

Lah

an E

ksis

ting

Pen

ggun

aan

laha

n 20

13

Goo

gle

Ear

th 2

015

Pet

a B

ahay

a L

ongs

orV

alid

asi

Sko

ring

dan

pem

bobo

tan

Dig

itas

i da

n kl

asif

ikas

i

Sko

ring

Pet

a K

apas

itas

Pet

a K

eren

tana

n

Sko

ring

Ove

rlay

& K

lasi

fika

si

Pet

a R

isik

o L

ongs

or

Pet

a R

TR

W

Pol

a R

uang

Pen

ggun

aan

Lah

an E

ksis

ting

Ove

rlay

& K

lasi

fika

si

Pet

a K

onsi

sten

si

Dat

a R

espo

nden

A’W

OT

Ara

han

Pen

ataa

n R

uang

Gam

bar

8 B

agan

Ali

r P

enel

itia

n

20

21

Titik-titik lokasi longsor yang ada dibuat zonasi berdasarkan kondisi lahan

apa yang mempengaruhi untuk menentukan pengambilan titik sampel. Setelah itu

dilakukan pengamatan langsung pada beberapa lokasi kejadian longsor. Hasil

pengamatan di berbagai lokasi kejadian longsor diolah dengan GIS dengan

menggunakan intersect peta satuan tanah, peta curah hujan, peta geologi dan peta

kemiringan lereng untuk mengetahui karakteristik wilayah titik longsor. Hasil

intersect titik-titik kejadian longsor kemudian di skoring menggunakan skor

parameter dari Puslitanak. Selanjutnya dengan bantuan SPSS hasil skoring di

analisis faktor ditentukan determinan faktor penyebab longsor.

Pemetaan Suseptibilitas Longsor (Landslide Susceptibility Mapping)

Suseptibilitas longsor (landslide susceptibility) menggambarkan potensi

kondisi alami dari fisik lahan untuk mengalami longsor. Pembuatan peta

suseptibilitas longsor dilakukan dengan membuat satuan peta yang merupakan

satuan analisis melalui operasi tumpang tindih (overlay) dari peta-peta parameter

longsor yang bersifat statis yaitu peta curah hujan, peta satuan tanah, peta

kemiringan lereng dan peta geologi.

Nilai parameter pada setiap satuan analisis tersebut diberi skor. Nilai skor

total untuk setiap satuan analisis merupakan penjumlahan dari skor parameter

dikalikan bobot dengan rumus sebagai berikut :

Nilai Total = (SCHxBCH) + (STxBT) + (SGxBT) + (SLxBT)

Keterangan :

SCH : Skor Curah Hujan

BCH : Bobot Curah Hujan

ST : Skor Tanah

BT : Bobot Tanah

SG : Skor Geologi

BG : Bobot Geologi

SL : Skor Lereng

BL : Bobot Lereng

Bobot dari setiap parameter ditentukan dari hasil analisis faktor yang sudah

dilakukan sebelumnya. Pemberian bobot terhadap masing-masing parameter

pemicu longsor merujuk pada rumusan yang digunakan Davidson dan Shah

(1997) dalam Ikqra (2012) sebagai berikut:

Dimana : wj = nila bobot yang dinormalkan

n = jumlah parameter (1,2,3,....n)

rj = posisi urutan parameter

Penggunaan skor pada setiap parameter, mengacu pada skor parameter

bahaya dari PUSLITANAK (2004) yang dimodifikasi. Tabel skor parameter

suseptibilitas longsor hasil rumusan peneliti disajikan pada Tabel 3.

22

Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor

No Parameter Skor

1 Curah Hujan (mm/tahun)

Sangat basah (>3.000 mm)

Basah (2.500 – 3.000 mm)

Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)

Kering (1.500 – 2.000 mm)

Sangat kering (<1.500 mm)

5

4

3

2

1

2 Jenis tanah

Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols, Litosols, Renzina

Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran

Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol, Lateritik air

tanah, Latosol

3

2

1

3 Geologi

Batuan vulkanik

Batuan sedimen

Batuan berbahan resent (aluvial)

3

2

1

4 Kelerengan (%)

> 45

30 – 45

15 – 30

8 – 15

0 – 8

5

4

3

2

1 Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah skor parameter yang mencerminkan besarnya sumbangan

terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)

Untuk menentukan kelas suseptibilitas longsor, dilakukan perhitungan

terlebih dahulu besarnya nilai suseptibilitas melalui perkalian skor dan bobot.

Kemudian nilai tersebut digunakan untuk menentukan nilai interval kelas yang

didasarkan pada jumlah kelas yang ditentukan, dengan menggunakan persamaan

Dibyosaputro (1999) sebagai berikut:

Dalam penelitian ini, peta suseptibilitas longsor dikelompokkan ke dalam 5

(lima) kelas suseptibilitas longsor yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas

suseptibilitas longsor sangat rendah); (ii) rendah (zona kelas suseptibilitas longsor

rendah); (iii) sedang (zona kelas suseptibilitas longsor menengah); (iv) tinggi

(zona kelas suseptibilitas longsor tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas

suseptibilitas longsor sangat tinggi).

Pemetaan Bahaya Longsor (Landslide Hazard Mapping)

Pembuatan peta bahaya longsor dilakukan dengan operasi tumpang tindih

(overlay) antara peta suseptibilitas dengan peta penggunaan lahan. Dalam proses

tumpang tindih, parameter tersebut diberi skor dan pembobotan sesuai dengan

potensinya dalam menyumbangkan terjadinya longsor. Semakin tinggi skor dan

pembobotan, mencerminkan semakin besar potensinya dalam menyumbangkan

terjadinya longsor, dan begitu juga sebaliknya (Silviani 2013).

23

Dengan demikian parameter – parameter yang digunakan untuk memetakan

bahaya longsor meliputi : curah hujan, kemiringan lereng, geologi, penggunaan

lahan dan jenis tanah. Penentuan parameter-parameter yang menjadi pemicu

terjadinya longsor dapat dijelaskan sebagai berikut :

Curah hujan

Pengaruh curah hujan dalam memicu longsor melalui tiga cara, yaitu melalui

penambahan beban lereng (shear stress), peningkatan nilai tekanan air pori

tanah, dan memperkecil daya tahan tanah (shear strength) terhadap lapisan

kedap (bidang luncur) yang terletak di bawahnya. Dengan demikian semakin

tinggi curah hujan, maka akan semakin tinggi tingkat bahaya longsor.

Kemiringan lereng

Kondisi kemiringan lereng di Kabupaten Bogor sangat beragam, mulai dari

landai (1-8%) sampai dengan terjal (>45%). Faktor kemiringan lereng

menjadi salah satu parameter penyebab longsor karena longsor hanya terjadi

pada daerah yang memiliki kemiringan lereng menengah hingga besar

(bidang miring). Kemiringan lereng dianggap berpengaruh terhadap longsor

karena kestabilan lereng terletak pada kemiringannya dimana kendali

utamanya adalah gaya gravitasi, sehingga gravitasi mampu memisahkan

massa (batuan/tanah) yang telah terbentuk secara mantap. Dengan demikian,

walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut

berpotensi menyebabkan longsor, namun jika tidak terdapat pada lereng yang

miring, maka longsor tidak mungkin terjadi.

Geologi

Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bogor ada beberapa jenis. Kondisi

Kabupaten Bogor yang berada di beberapa kaki gunung membuat batuan

penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung berapi, yaitu terdiri dari

andesit, tufa dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap

gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi.

Jenis tanah

Keberadaan Kabupaten Bogor yang dikelilingi gunung membuat jenis tanah

penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka

terhadap longsor, antara lain latosol, aluvial, regosol, podsolik dan andosol.

Penggunaan lahan

Perubahan penggunaan lahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia,

terbukti berdampak terhadap kejadian bahaya longsor, seperti: pembukaan

hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan

jarak tanam yang terlalu rapat, penambangan yang tidak berwawasan

lingkungan, dan pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman.

Dengan demikian, semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang

terjadi di Kabupaten Bogor, akan meningkatkan potensi penurunan kestabilan

lereng.

Penggunaan skor pada setiap parameter, mengacu pada skor parameter

bahaya dari PUSLITANAK (2004) yang dimodifikasi sesuai dengan Tabel 3,

sedangkan skor untuk penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4.

24

Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor

No Parameter Skor

1

2

3

4

5

Permukiman

Tegalan, sawah

Semak belukar

Perkebunan

Hutan, Perairan

5

4

3

2

1 Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah skor parameter yang mencerminkan besarnya sumbangan

terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)

Untuk penentuan bobot pada parameter penyebab longsor dan menentukan

kelas bahaya longsor menggunakan cara yang sama seperti pemetaan

suseptibilitas.

Verifikasi dan Pengujian Peta

Untuk melihat peta bahaya longsor dengan metode yang sudah

dikembangkan maka dilakukan pengujian dengan dilakukan dengan overlay

antara peta bahaya longsor dengan peta lokasi kejadian longsor. Peta lokasi

kejadian longsor dibuat dengan menggunakan data bencana longsor dari BPBD

Kabupaten Bogor. Proses verifikasi ini dilakukan pada semua kelas bahaya

longsor (Faizana et al. 2015).

Analisis Risiko Longsor

Analisis risiko longsor dilakukan dengan melihat sebaran bahaya longsor

yang dikaitkan dengan kerentanan masyarakat dan kapasitas wilayah dalam

menghadapi longsor. Data yang digunakan dalam pembuatan peta risiko longsor,

meliputi peta bahaya longsor, peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-

2025 dan peta Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan

Sistem Informasi Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks

antara penggunaan lahan eksisting, pola ruang, dan bahaya longsor. Analisis peta

risiko berdasarkan matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi

peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat dihindari kesalahan

dalam analisis.

Kerentanan

Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang

mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman

bencana (BPBP 2012). Penentuan nilai kerentanan terhadap longsor berdasarkan

parameter penggunaan lahan, dilakukan dengan pengklasifikasian tipe

penggunaan lahan dari yang memiliki tingkat kerentanan paling tinggi sampai

dengan yang paling rendah terhadap longsor. Terlihat dari hasil klasifikasi bahwa

tipe penggunaan lahan permukiman memiliki nilai kerentanan paling tinggi

dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan permukiman memiliki

potensi nilai (value) kerugian yang paling tinggi dibandingkan dengan tipe

penggunaan lahan lainnya apabila terjadi bencana longsor. Adanya penduduk,

bangunan dan sarana prasarana yang terancam membuat permukiman dan semua

kawasan terbangun menempati posisi paling tinggi dalam hal kerentanan.

25

Demikian sebaliknya dengan tipe penggunaan lahan hutan, semak/belukar, dan

tubuh air yang memiliki nilai kerentanan paling rendah, dimana hal tersebut

dikarenakan pada tipe penggunaan lahan tersebut memiliki potensi kerugian yang

paling rendah dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan lainnya apabila terjadi

longsor. Kerentanan fisik jalan, potensi dampak dan potensi kerugian akibat

bahaya digunakan sebagai dasar untuk menentukan skor dan kelas kerentanan.

Klasifikasi kelas kerentanan bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor

Penggunaan Lahan Kelas Kerentanan Longsor Skor

Hutan, Semak belukar, Tubuh Air

Tegalan/Ladang

Perkebunan

Sawah

Permukiman

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

1

2

3

4

5

Kapasitas

Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan

tindakan pengurangan tingkat ancaman/bahaya dan tingkat kerugian akibat

bencana (BNBP 2012). Dalam penelitian ini pembuatan peta kapasitas dengan

menggunakan penggunaan lahan yang bisa menggambarkan usaha antisipasi

bencana secara fisik. Meminimalkan bencana dengan penggunaan lahan yang

sesuai dengan kondisi rawan longsor. Permukiman mempunyai kapasitas sangat

rendah karena diasumsikan tidak ada pengamanan untuk mengurangi risiko

longsor. Tegalan dan ladang memiliki kapasitas rendah karena diasumsikan

adanya tanaman yang bisa mengurangi risiko longsor. Sawah masuk dalam kelas

kapasitas sedang dengan asumsi penggunaan terasering pada lahan sawah dengan

kemiringan lereng curam sehingga bisa meminimalkan risiko longsor. Perkebunan

dan hutan masuk dalam kelas kapasitas tinggi dan sangat tinggi diasumsikan

kondisi lahan yang dipenuhi pohon bisa mengikat tanah untuk mengurangi risiko

longsor. Klasifikasi kelas kapasitas bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor

Penggunaan Lahan Kelas Kapasitas Skor

Permukiman

Tegalan/Ladang

Sawah

Perkebunan

Hutan, Semak belukar, Tubuh Air

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

1

2

3

4

5

Pemetaan Risiko Longsor

Pembuatan peta risiko longsor mengacu pada rumusan Peraturan Kepala

Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 02 Tahun 2012 (BNBP 2012)

tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana sebagai berikut :

R = HxV/C

26

Dimana :

R : Disaster Risk : Risiko Bencana H : Hazard : Bahaya

V : Vurnerabilty : Kerentanan C : Capacity : Kapasitas

Berdasarkan rumusan tersebut, peta risiko longsor dibuat berdasarkan

operasi tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor, peta kerentanan dan

peta kapasitas. Peta bahaya merupakan hasil tumpang tindih dari parameter-

parameter penyebab longsor, sedangkan peta kerentanan merupakan peta yang

menunjukkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap bahaya longsor. Adapun

peta kapasitas merupakan peta yang menunjukkan nilai kapasitas suatu wilayah

dalam menghadapi bahaya longsor. Dengan demikian terlihat bahwa tingkat risiko

longsor amat tergantung pada : (a) tingkat bahaya, (b) tingkat kerentanan

masyarakat yang terancam, dan (c) tingkat kapasitas wilayah yang terancam.

Tahapan pembuatan peta risiko dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian

(Gambar 8 terdahulu). Sebelum perhitungan risiko dengan menggunakan

persamaan di atas dilakukan, terlebih dahulu ditentukan nilai masing-masing kelas

dari ketiga peta tersebut (bahaya, kerentanan dan kapasitas). Nilai tersebut

diperoleh dengan cara membagi nilai urutan kelas dengan nilai urutan kelas

maksimum (Tabel 10). Setelah itu operasi tumpang tindih (overlay) untuk

memperoleh poligon-poligon baru dilakukan.

Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas

Kelas

Bahaya

Nilai

Bahaya

Kelas

Kerentanan

Nilai

Kerentanan

Kelas

Kapasitas

Nilai

Kapasitas

1

2

3

4

5

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1

2

3

4

5

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1

2

3

4

5

0.2

0.4

0.6

0.8

1

Dari hasil perhitungan risiko, selanjutnya ditentukan kelas risiko longsor.

Dalam penelitian ini, kelas risiko longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas

tingkat risiko yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas risiko sangat rendah); (ii) rendah

(zona kelas risiko rendah); (iii) sedang (zona kelas risiko menengah); (iv) tinggi

(zona kelas risiko tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas risiko sangat tinggi).

Kelas risiko ditentukan berdasarkan nilai interval kelas yang dihitung

dengan menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) sebagai berikut :

27

Klasifikasi kelas risiko longsor berdasarkan nilai interval kelas disajikan

pada Tabel 8.

Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor

Kelas Risiko Longsor Nilai

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

0.20 – 0.36

0.36 – 0.52

0.52 – 0.68

0.68 – 0.84

0.84 – 1.00

Arahan Penataan Ruang

Arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak bencana

longsor dirumuskan dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang dengan

sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran daerah risiko

longsor yang di analisis dengan menggunakan : (1) operasi tumpang tindih (SIG)

antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor

2005-2025 untuk melihat aspek perencanaan penataan ruang, (2) konsistensi

penggunaan lahan untuk melihat aspek pemanfaatan ruang, (3) operasi tumpang

tindih (SIG) antara peta risiko dengan peta rencana pola ruang (RTRW)

Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek pengendalian pemanfaatan

ruang, dan (4) teknik analisis penggabungan Analytical Hierarchy Process (AHP)

dan analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) yang

lazim disebut A’WOT untuk pengendalian pemanfaatan ruang.

Keterkaitan Sebaran Bahaya Longsor dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor

Untuk melihat sebaran bahaya longsor dengan pola ruang Kabupaten Bogor

dengan melakukan overlay antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang

Kabupaten Bogor

Keterkaitan Konsistensi Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang Kabupaten

Bogor

Data yang digunakan dalam pembuatan peta konsistensi penggunaan lahan,

meliputi peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 dan peta

Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan Sistem Informasi

Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks antara

penggunaan lahan yang terjadi terhadap pola ruang. Analisis konsistensi

(kesesuaian isi) pada matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi

peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat

dihindari kesalahan dalam analisis. Tahapan pembuatan peta konsistensi dapat

dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8 terdahulu).

Keterkaitan Sebaran Risiko Longsor dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor

Untuk melihat sebaran risiko longsor dengan pola ruang Kabupaten Bogor

dengan melakukan overlay antara peta risiko longsor dengan peta pola ruang

Kabupaten Bogor

28

Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan Analisa A’WOT

A’WOT (AHPSWOT) adalah metode yang dibangun sebagai upaya

penggabungan metode AHP dengan SWOT untuk dapat mendukung pengambilan

keputusan melalui analisis AHP dengan memperhatikan unsur (analisis SWOT).

Proses analisis A’WOT pada prinsipnya sama dengan proses analisis AHP

konvensional, mulai dari perumusan dan penguraian masalah menjadi kriteria-

kriteria, membangun struktur hirarki, melakukan perbandingan berpasangan antar

komponen kriteria dan proses sintesis pendapat untuk memperoleh prioritas

alternatif keputusan yang akan diambil. (Permata 2015)

Menurut Permata (2015) analisis A’WOT dilakukan dengan dua tahapan.

Pertama, mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman

dengan metode SWOT untuk pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Kedua, melakukan AHP terhadap

komponen-komponen SWOT yang telah ditetapkan. Pada dasarnya tahap dua ini

merupakan pembobotan atau skoring pada komponen-komponen analisis SWOT,

sehingga pada akhirnya dapat ditentukan prioritas pengendalian longsor

berdasarkan skor tertinggi.

Tahapan proses A’WOT hampir sama dengan AHP konvensional, dimana

terdapat modifikasi dalam menetapkan tujuan, faktor dan alternatif pilihan. Tujuan

yang ditetapkan merupakan pemilihan prioritas strategi pengendalian longsor,

sedangkan faktor dan alternatif-alternatif merupakan hasil dari analisis SWOT.

Pembobotan dalam analisis A’WOT ini hasil perbandingan berpasangan (pairwise

comparison) berdasarkan pendapat para ahli dengan menggunakan Saaty’s Scale

seperti pada Tabel 12.

Tabel 9 Skala pembobotan AHP

Skala Definisi dari “Importance”

1 Sama pentingnya (Equal importance)

3 Sedikit lebih penting (Slightly more importance)

5 Jelas lebih penting (Materially more importance)

7 Sangat jelas penting (Significantly more importance)

9 Mutlak lebih penting (Absolutely more importance)

2,4,6,8 Ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan (Compromise values)

Sumber : Saaty (1980)

Pendapat para ahli dalam menilai matrik perbadingan berpasangan harus

konsisten. Kekonsistenan tersebut dapat dihitung dengan Rasio Konsistensi

(Consistency Ratio). Konsep perhitungan konsistensi rasio di dasari dari prinsip

transitifitas yang memperlihatkan kekonsistenan matrik perbandingan

berpasangan yang disusun. Matrik perbandingan berpasangan dinyatakan

konsisten jika rasio konsistensi kurang dari 0.1 (Firdaus et al. 2011).

Kekonsistenan dapat di peroleh dengan formula sebagai berikut (Firdaus et al.

2011):

29

Dimana,

Keterangan

CI = Consistency Index

RI = Random Index

Q = Rata-rata transpose matrik perbandingan berpasangan relatif

terhadap vektor kolom dari bobot matrik perbandingan berpasangan

tersebut

N = banyaknya faktor atau alternatif pilihan

Hirarki dalam penentuan pemilihan strategi pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada

Gambar 9.

PENENTUAN ARAHAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN LONGSOR

Kekuatan

(Strengths)

Kelemahan

(Weaknesses)

Peluang

(Opportunities)

Ancaman

(Threats)

S S W W O O T T

Tingkat 1

Tujuan Utama

Tingkat 2

Komponen SWOT

Tingkat 3

Kriteria

Alternatif

Strategi

Alternatif

Strategi

Alternatif

Strategi

Alternatif

Strategi

Tingkat 4

Alternatif Strategi

Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor

Bahan dan data yang digunakan dalam analisis A’WOT merupakan hasil

perbandingan berpasangan berdasarkan pendapat para ahli. Responden ahli

ditetapkan berdasarkan purposive sampling yang mewakili unsur Praktisi/Pejabat

Kabupaten Bogor yang mengetahui kondisi lokasi penelitian. Nilai skor yang

diperoleh dari pendapat para ahli diolah dengan menggunakan Software Expert

Choice 2000.

Selanjutnya dengan hasil yang diperoleh dari teknik analisis AHP,

kemudian dihitung bobot dari masing-masing unsur SWOT. Setelah masing-

masing unsur SWOT diketahui nilainya, maka unsur-unsur tersebut dihubungkan

keterkaitannya untuk memperoleh beberapa strategi (SO, ST, WO, WT).

Pembobotan unsur-unsur SWOT dapat dilihat pada Tabel 14.

Strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari penggunaan dan

penggabungan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO),

penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang

(ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada

30

(WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang

akan datang (WT). Matrik strategi analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 15.

Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan penjumlahan bobot yang

berasal dari keterkaitan unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam rumusan strategi.

Kemudian jumlah bobot tersebut diurutkan/ranking. Urutan/ranking tertinggi

merupakan prioritas strategi untuk pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Format perhitungan urutan/ranking

strategi pengendalian longsor dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 10 Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP

Unsur Bobot Bobot Hasil Analisis AHP

Kekuatan (Strengths)

S1

S2

S3

Kelemahan (Weaknesses)

W1

W2

W3

Peluang (Opportunities)

O1

O2

O3

Ancaman (Threats)

T1

T2

T3

Tabel 11 Matriks strategi hasil analisis SWOT

Eksternal

Internal

Peluang (Opportunity)

-

-

n

Ancaman (Threats)

-

-

n

Kekuatan (Strenght)

-

-

N

(SO)-1

(SO)-2

(SO)-n

(ST)-1

(ST)-2

(ST)-n

Kelemahan (Weaknesses)

-

-

N

(WO)-1

(WO)-2

(WO)-n

(WT)-1

(WT)-2

(WT)-n

31

Tabel 12 Urutan/ranking strategi pengendalian longsor

Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking

Strategi SO

SO1

SO2

S1,S2,Sn,O1,O2,On

S1,S2,Sn,O1,O2,On

Strategi ST

ST1

ST2

S1,S2,Sn,T1,T2,Tn

S1,S2,Sn,T1,T2,Tn

Strategi WO

WO1

WO2

W1,W2,Wn,O1,O2,On

W1,W2,Wn,O1,O2,On

Strategi WT

WT1

WT2

W1,W2,Wn,T1,T2,Tn

W1,W2,Wn,T1,T2,Tn

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian

Curah Hujan

Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim,

posisi geografis, dan perputaran/pertemuan arus udara. Curah hujan merupakan

salah satu pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto et al. 2000). Tingginya

intensitas curah hujan dapat menambah beban pada lereng sebagai akibat

peningkatan kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya memicu terjadinya

longsoran (Huan dan Lin 2002). Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor

termasuk ke dalam iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis

basah di bagian utara dengan rata-rata curah hujan tahunan 2 500 – 5 000

mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur

dengan curah hujan kurang dari 2 500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah

Kabupaten Bogor adalah 20° - 30°C dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C.

Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah dengan rata–rata

1.2 m/detik, adapun evaporasi di daerah terbuka rata– rata sebesar 146.2

mm/bulan. Persebaran curah hujan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar

10.

Berdasarkan peta tersebut, curah hujan paling dominan di Kabupaten Bogor

yaitu 3 500–4 000 mm/th seluas 89 577 ha atau 29.98%. Luasan wilayah dengan

curah hujan ≤3 000 mm/th seluas 56 777 ha atau 17.51%. Hal ini menunjukkan

Kabupaten Bogor mempunyai kondisi wilayah dengan curah hujan tinggi

sehingga rawan terhadap longsor. Kondisi luasan sebaran curah hujan di

Kabupaten Bogor dijelaskan pada Gambar 11.

32

Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor

Gambar 11 Luas (ha) dan persentase (%) sebaran curah hujan di Kabupaten Bogor

Lereng

Kemiringan lereng dalam penelitian ini dibuat dari Citra SRTM resolusi

90 m. Kelas kemiringan lereng dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu kelas kemiringan

lereng 0%-8% (datar hingga landai), kelas kemiringan lereng 8%-15% (agak

curam), kelas kemiringan lereng 15%-30% (curam), kelas kemiringan lereng

30%-45% (sangat curam), dan kelas kemiringan lereng di atas 45% (terjal).

Kondisi kemiringan lereng di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 12.

<2500 mm/th

2500-3000 mm/th

3000-3500 mm/th

3500-4000 mm/th

4000-5000 mm/th

>5000 mm/th

Curah Hujan

74 376 ha; 24.89%

61 390 ha;

20.54%

89 577 ha; 29.98%

16 718 ha; 5.59%

35 626 ha:

11.92%

21 151 ha;

7.08%

33

Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor

Berdasarkan Gambar 12, dapat diketahui bahwa kemiringan lereng terjal

(>45%) banyak ditemukan di kawasan lereng atas Gunung Pangrango dan

Gunung Salak, adapun kemiringan lereng landai (0 – 8%) berada pada wilayah

sebelah utara Kabupaten Bogor.

Gambar 13 Luas (ha) dan persentase (%) kemiringan lereng di Kabupaten Bogor

Berdasarkan Gambar 13, luas wilayah tertinggi berada pada kelas

kemiringan landai yaitu 130 944 ha atau 43.82% dan luas wilayah terendah berada

pada kelas kemiringan terjal dengan lereng >45% yaitu 9 820 ha atau 3.29%.

0 - 8 %

8 - 15 %

15 - 30 %

30 - 45 %

> 45 %

130 944 ha; 43.82%

Kemiringan

lereng

69 967 ha; 23.41%

53 314 ha; 17.84 ha

34 793 ha;

11.64%

9 820 ha;

3.29%

34

Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling

berpengaruh terhadap longsor. Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah

konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Makin curam lereng makin besar

kemungkinan gerakan tanah dari atas ke bawah lereng ( Arifin et al. 2006)

Geologi

Kabupaten Bogor sebagian dibentuk oleh produk batuan tua dari batuan

sedimen yang berumur tersier. Bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor ditutupi

oleh batuan gunungapi muda yang berumur kuarter yang secara fisiografi berada

pada daerah perbatasan antara Zona Bogor dan Zona Bandung.

Struktur

Peta

geologi Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor

35

Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa Kabupaten Bogor sebagian besar

terdiri dari batuan vulkanik yaitu berupa batuan gunung api muda seluas 142 339

ha atau 47.63% dari seluruh luas Kabupaten Bogor dan luasan terkecil merupakan

batu gamping yaitu 7 319 ha atau 2.45%.

Gambar 15 Luas (ha) dan persentase (%) sebaran geologi di Kabupaten Bogor

Tanah

Kabupaten Bogor memiliki tanah yang sebagian besar terbentuk dari

pelapukan batuan vulkanik yang biasanya lebih rawan longsor apabila disirami air

hujan dengan intensitas cukup tinggi. Jenis tanah di Kabupaten Bogor terdiri dari

17 satuan tanah, adapun satuan tanah terluas yaitu jenis assosiasi latosol merah

latosol coklat kemerahan dengan luas 60 983 ha atau ±20.41%, sedangkan satuan

tanah terkecil jenis assosiasi andosol regosol dengan luas 2 988 ha atau ±1.00%.

Kondisi satuan tanah di wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 16

dan Tabel 13.

Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor

Batu gamping

Batuan intrusi

Batuan tersier

Endpn permukaan

Gunung api muda

Gunung api tua

142 339 ha; 47.63%

Geologi 49 021 ha;

16.40%

71 545 ha; 23.94%

20 195 ha; 6.76%

8 418ha; 2.82% 7 319ha; 2.45%

36

Tabel 13 Sebaran Luasan Satuan Tanah

No Tanah Luas (ha) %

1 Aluvial 9 458 3.17

2 Grumosol 15 853 5.30

3 Andosol 3 342 1.12

4 Regosol 7 473 2.50

5 Assosiasi andosol regosol 2 988 1.00

6 Assosiasi latosol coklat latosol coklat kekuningan 9 599 3.21

7 Assosiasi latosol coklat latosol coklat kemerahan 29 703 9.94

8 Assosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan 60 983 20.41

9 Komp latosol merah kekuningan latotsol coklat kemerahan dan litosols 44 894 15.02

10 Assosiasi latosol coklat regosol 15 831 5.30

11 Latosol 12 738 4.26

12 Latosol coklat 25 939 8.68

13 Podsolik kuning 11 845 3.96

14 Podsolik merah 9 672 3.24

15 Podsolik merah kekuningan 21 628 7.24

16 Assosiasi podsolik kuning hidromorf kelabu 4 268 1.43

17 Komp podsolik merah kekuningan podsolik merah kekuningan 12 625 4.22

Penggunaan Lahan Eksisting

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2013 dari Bappeda kemudian dan

hasil interpretasi dari Google Earth 2015, jenis penggunaan lahan yang ada di

Kabupaten Bogor terdiri dari hutan, kawasan terbangun, kebun, ladang/tegalan,

sawah, semak belukar/tanah rusak, dan tubuh air seperti terlihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor

37

Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di

Kabupaten Bogor

Berdasarkan Gambar 18, penggunaan lahan eksisting paling dominan di

Kabupaten Bogor adalah hutan, yaitu seluas ± 83 296 ha atau sekitar 27.87 % dari

luas daerah penelitian. Hal tersebut karena sebagian wilayah Kabupaten Bogor

merupakan daerah konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi

daerah di sekitarnya seperti Kota Bogor dan DKI Jakarta. Ladang/Tegalan

menempati luasan kedua yaitu 83 181 ha atau sekitar 27.83%. Luasan Sawah

59377 ha atau sekitar 19.87%. Luas kawasan terbangun yang meliputi

permukiman, perkantoran dan lain-lain yaitu 52 304 ha atau sekitar 17.50%.

Wilayah perkebunan mempunyai luas 16 859 ha atau sekitar 5.64%. Daerah tubuh

air eksisting mempunyai luas 2 404 ha atau sekitar 0.80% dan terakhir luasan

paling kecil diisi oleh semak belukar/tanah rusak yaitu 1 417 ha atau sekitar

0.47%.

Rencana Tata Ruang Wilayah

Kebijakan RTRW Provinsi Jawa Barat yang terkait terhadap pola ruang

Kabupaten Bogor dalam arahan rencana pengembangan kawasan andalan di Jawa

Barat, Kabupaten Bogor diklasifikasikan sebagai Kawasan Andalan Bogor Depok

Bekasi (Bodebek) dengan kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan

sumberdaya manusia; dan Kawasan Andalan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur)

dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.

Berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, Kabupaten

Bogor memiliki 17 peruntukan lahan yang terbagi ke dalam dua tipe kawasan,

yaitu :

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam

dan sumberdaya buatan. Peruntukan lahan yang termasuk di dalam kawasan

lindung adalah kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan

kawasan hutan produksi.

Hutan

Kawasan terbangun

Kebun

Ladang/Tegalan

Sawah

Semak belukar

Tubuh air

Penggunaan Lahan

83 181 ha; 27.83%

16 859 ha; 5.64%

52 304 ha; 17.50%

83 296 ha; 27.87% 59 377 ha; 19.87%

2 404 ha; 0.80% 1 417 ha; 0.47%

38

Kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,

sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Peruntukan lahan yang

termasuk kawasan budidaya, yaitu kawasan perkebunan, kawasan pertanian

lahan kering, kawasan tanaman tahunan, kawasan permukiman perkotaan

(hunian rendah), kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang), kawasan

permukiman perdesaan (hunian rendah), dan kawasan permukiman

perdesaan (hunian jarang).

Berdasarkan pengertian pada Perda Kabupaten Bogor No. 19/2008

(Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor 2008b) tentang RTRW Kabupaten Bogor

tahun 2005- 2025, Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan

utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi

kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perdesaan di luar

kawasan yang berfungsi lindung, adalah kawasan untuk permukiman/hunian

kepadatan rendah yang mendukung kegiatan jasa perdagangan dan industri

berbasis bahan baku lokal dan berorientasi tenaga kerja. Kawasan permukiman

perdesaan yang berada didalam kawasan lidung di luar kawasan hutan diarahkan

untuk hunian kepadatan rendah (jarang), bangunan yang tidak memiliki beban

berat terhadap tanah, dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa

maupun terhadap potensi lingkungannya (pertanian, peternakan, kehutanan,

pariwisata/agrowisata). Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai

kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat

permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,

pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perkotaan

kepadatan sedang diarahkan untuk permukiman/hunian sedang, industri berbasis

tenaga kerja non polutan, jasa, dan perdagangan. Kawasan permukiman perkotaan

kepadatan rendah merupakan kawasan permukiman perkotaan yang berada dalam

kawasan lindung di luar kawasan hutan, yang diarahkan untuk hunian rendah

sampai sangat rendah/jarang, merupakan bangunan tunggal, yang berorientasi

terhadap lingkungannya (pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan,

agrowisata dan pariwisata) melalui rekayasa teknologi dan serta bangunan yang

tidak memiliki beban berat terhadap tanah. Kawasan Pertanian Lahan Kering

(LK) dapat berupa sawah tadah hujan dan lahan yang tidak berpengairan irigasi.

Sebaran penggunaan lahan sesuai pola ruang RTRW Kabupaten Bogor

2005-2025 disajikan pada Gambar 19.

39

Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor

Analisis Faktor

Pengambilan titik sampel kejadian longsor di lapangan dilakukan bertujuan

untuk mencari determinan faktor penyebab terjadinya longsor dengan

menggunakan analisis faktor. Data kondisi lengkapnya didapat setelah

menggabungkan data titik longsor dengan kondisi sebaran curah hujan, lereng,

geologi dan satuan tanah. Hasil analisis antara jumlah kejadian longsor dengan

faktor penyebab longsor di setiap lokasi kejadian longsor dapat dilihat pada Tabel

14, sedangkan sebaran titik survey disajikan pada Gambar 20.

Tabel 14 Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab

longsor

Faktor penyebab longsor Jumlah kejadian longsor

1 2 3 4 5 Curah Hujan 28 16 Lereng 15 17 10 2 Penggunaan lahan 8 3 33 Tanah 10 34 Geologi 2 42

Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah kelas parameter yang digunakan untuk penetapan bahaya

longsor

40

Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey

Tabel 14 memperlihatkan bahwa jumlah kejadian longsor ternyata banyak

terjadi pada wilayah dengan curah hujan kelas 4 (basah) atau curah hujan 2 500 -

3 000 mm/th dan kelas 5 (sangat basah) atau curah hujan >3 000 mm/th. Kejadian

longsor hanya terjadi pada daerah-daerah dengan curah hujan tinggi atau minimal

2 500 mm/th, sementara pada wilayah dengan curah hujan < 2 500 mm/th tidak

ada kejadian longsor. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi

terhadap kejadian longsor, makin tinggi curah hujan makin tinggi potensi kejadian

longsor.

Berdasarkan kondisi lereng, kejadian longsor banyak terjadi pada wilayah

dengan kelas lereng 2 (8 – 15%), sedangkan pada kelas lereng curam > 45% tidak

ada kejadian longsor. Hal ini dikarenakan pada kondisi lereng curam biasanya

tutupan lahan masih berupa hutan sehingga kecil kemungkinan terjadi longsor,

sedangkan pada lereng rendah terdapat banyak kegiatan manusia yang banyak

melakukan pemotongan lereng lokal sehingga mengakibatkan longsor.

Penggunaan lahan pada titik longsor yang di survey sebagian besar berada

pada kelas 5 yaitu merupakan kawasan terbangun atau daerah permukiman dan

jalan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pembangunan di atas suatu tanah dapat

memberi beban sehingga bisa membuat tanah tidak stabil dan longsor.

Dalam kaitannya dengan kondisi tanah, hasil survey menunjukkan bahwa

sebagian besar titik longsor berada pada kelas 5 yang mempunyai arti bahwa

kejadian longsor banyak terjadi pada tanah-tanah podsolik dan regosols. Adapun

untuk faktor geologi, titik-titik longsor banyak terjadi pada kelas 5 yang

menunjukkan bahwa titik longsor banyak terjadi pada batuan vulkanik. Hasil

analisis faktor dari data longsor yang diperoleh dari lapangan dapat dilihat pada

Tabel 15.

41

Tabel 15 Total Variance Explained

Component

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared

Loadings

Total % of

Variance

Cumulative

% Total

% of

Variance

Cumulative

%

1 1.920 38.404 38.404 1.920 38.404 38.404

2 1.064 21.272 59.675 1.064 21.272 59.675

3 0.959 19.189 78.865

4 0.662 13.236 92.100

5 0.395 7.900 100.00

Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa komponen yang memiliki nilai

eigen value di atas 1 adalah komponen 1 dan komponen 2. Artinya bahwa untuk

kasus ini, 5 peubah yang ada dapat direduksi menjadi 2 faktor saja berdasarkan

kemiripannya. Dalam hal ini komponen (faktor) 1 mewakili 38.404% dari

keragaman terjadinya longsor, sedangkan faktor 2 hanya mewakili 21.272%

keragaman terjadinya longsor. Kecilnya keragaman yang dapat dijelaskan oleh

kedua faktor tersebut mengindikasikan bahwa peubah bebas ini tidak memberikan

pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya longsor. Hasil determinan dari 2

faktor yang mempunyai nilai eigen value di atas 1 dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil komponen parameter

Parameter Component

1 2

Curah hujan 0.800 0.068

Tanah 0.720 -0.069

Penggunaan lahan 0.573 0.203

Geologi 0.232 0.861

Lereng -0.616 0.521

Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa komponen 1 terdiri dari curah hujan,

tanah, dan penggunaan lahan, sedangkan komponen 2 terdiri dari geologi dan

lereng. Angka-angka pada tabel tersebut menunjukkan suatu korelasi antara

peubah bebas dengan proses terjadinya longsor. Oleh karena itu parameter

penyebab longsor yang terpilih secara berurutan adalah curah hujan, tanah,

penggunaan lahan, geologi, dan lereng.

Pemetaan Suseptibilitas Longsor (Landslide Susceptibility Mapping)

Peta suseptibilitas longsor menjelaskan tentang kondisi fisik Kabupaten

Bogor yang rawan longsor sebelum adanya pengaruh dari penggunaan lahan.

Dalam penelitian ini untuk wilayah yang memiliki kemiringan lereng 0-8%

dengan ketinggian ≤150 m diklasifikasikan dalam tingkat suseptibilas rendah

karena diasumsikan tidak ada kejadian longsorr sehingga dianggap mempunyai

skor 0.

Hasil analisis faktor selanjutnya digunakan untuk pembobotan parameter

suseptibilitas longsor dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17.

42

Tabel 17 Pembobotan parameter suseptibilitas longsor

Parameter Penentu Kepentingan (rj) (n-rj + 1) Bobot Normalisasi (wj)

Curah hujan

Tanah

Geologi

Lereng

1

2

3

4

4

3

2

1

0.40

0.30

0.20

0.10

Berdasarkan hasil perhitungan bobot seperti tersebut diatas, maka

selanjutnya diperoleh persamaan untuk suseptibilitas longsor sebagai berikut:

Suseptibilitas Longsor = 40%SCH + 30% ST + 20% SG + 10% SL

Keterangan :

SCH : Skor Curah Hujan

ST : Skor Tanah

SG : Skor Geologi

SL : Skor Lereng

Kelas suseptibilitas longsor kemudian dikelompokkan ke dalam 5 (lima)

kelas, dengan perhitungan nilai interval kelas dijelaskan dalam Lampiran 4.

Klasifikasi suseptibilitas longsor berdasarkan nilai interval disajikan dalam Tabel

18 dan hasil analisis selanjutnya memperlihatkan sebaran suseptibilitas longsor

seperti tersaji pada Gambar 21.

Tabel 18 Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor

Kelas Suseptibilitas Longsor Nilai

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

100 – 160

160 – 220

220 – 280

280 – 340

340 – 400

Gambar 21 dan Gambar 22, terlihat bahwa dengan model ini Kabupaten

Bogor memiliki kelas suseptibilitas longsor bervariasi, dari kelas rendah sampai

dengan kelas sangat tinggi, sedangkan untuk kelas sangat rendah tidak ada. Luas

wilayah tertinggi berada pada kelas suseptibilitas longsor rendah, yaitu seluas

±100 662 ha atau 33.68% dari luas keseluruhan Kabupaten Bogor, kemudian kelas

suseptibilitas longsor sangat tinggi ±94 951 ha atau 31.77%, kelas suseptibilitas

longsor tinggi ±90 404 ha atau 30.25%, dan kelas suseptibilitas longsor sedang

±12 821 ha atau 4.29%.

43

Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor

Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten Bogor

Pemetaan Bahaya Longsor (Landslide Hazard Mapping)

Parameter yang digunakan untuk analisis dan pemetaan bahaya longsor

meliputi: curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan eksisting, jenis batuan dan

jenis lereng. Dalam penelitian ini untuk wilayah yang memiliki kemiringan lereng

0-8% dengan ketinggian ≤150 m diklasifikasikan dalam tingkat suseptibilas

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

Kelas

Suseptibilitas

94 951 ha; 31.77% 100 662 ha; 33.68%

90 404 ha; 30.25% 12 821 ha;

4.29%

44

rendah karena diasumsikan tidak ada kejadian longsorr sehingga dianggap

mempunyai skor 0.

Pembuatan peta bahaya (hazard) longsor dilakukan dengan menggunakan

teknik overlay yang meliputi peta-peta curah hujan, peta jenis tanah, peta

penggunaan lahan eksisting, peta geologi dan peta lereng. Overlay dilakukan

dengan memasukkan pembobotan hasil analisis faktor. Nilai pembobotan yang

digunakan untuk pembuatan peta bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor

Parameter Penentu Kepentingan (rj) (n-rj + 1) Bobot Normalisasi (wj)

Curah hujan

Jenis Tanah

Penggunaan lahan

Geologi

Lereng

1

2

3

4

5

5

4

3

2

1

0.33

0.27

0.20

0.13

0.07

Berdasarkan hasil perhitungan bobot seperti tersebut di atas, maka diperoleh

persamaan untuk bahaya longsor sebagai berikut:

Bahaya Longsor = 33%SCH + 27%ST + 20%SPL + 13%SG + 7%SL

Keterangan :

SCH : Skor Curah Hujan

ST : Skor Tanah

SPL : Skor Penggunaan Lahan

SG : Skor Geologi

SL : Skor Lereng

Kelas bahaya longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas, dengan

perhitungan nilai interval dijelaskan dalam Lampiran 5. Klasifikasi bahaya

longsor berdasarkan nilai interval disajikan dalam Tabel 20 dan hasil analisis

selanjutnya memperlihatkan sebaran bahaya longsor seperti tersaji pada Gambar

23.

Tabel 20 Klasifikasi kelas bahaya longsor

Kelas Bahaya Longsor Nilai

Sangat Rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

1.00 – 1.64

1.64 – 2.28

2.28 – 2.92

2.92 – 3.56

3.56 – 4.20

45

Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor

Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten Bogor

Gambar 23 dan Gambar 24, terlihat bahwa dengan model ini Kabupaten

Bogor memiliki kelas bahaya longsor bervariasi, dari kelas rendah sampai dengan

kelas sangat tinggi. Kelas bahaya longsor yang tergolong rendah mendominasi

Kabupaten Bogor dengan cakupan area ±100 662 ha atau 33.68% dari luas

keseluruhan Kabupaten Bogor, kemudian kelas bahaya longsor tinggi ±98 533 ha

atau 32.97%, kelas bahaya longsor sangat tinggi ±54 606 ha atau 18.27%, dan

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

Kelas Bahaya 100 662 ha; 33.68%

98 532 ha; 32.97%

45 037 ha; 15.07%

54 608 ha; 18.27%

46

kelas bahaya longsor sedang ±45 038 ha atau 15.07%. Daerah dengan bahaya

longsor rendah berada pada bagian utara Kabupaten Bogor.

Tingkat Bahaya Longsor menurut kecamatan

Tingkat bahaya longsor menurut kecamatan di Kabupaten Bogor diperoleh

melalui proses tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor dengan peta

administrasi kecamatan. Luas kelas bahaya longsor pada masing-masing

kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 21.

Dari Tabel 21 terlihat bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah yang

mempunyai bahaya longsor dengan kelas bahaya rendah sampai dengan sangat

tinggi, dengan luasan tertinggi pada kelas bahaya tinggi. Kondisi demikian perlu

diwaspadai karena kecenderungan dari masyarakat maupun pemerintah masih

tampak kurang menaruh perhatian terhadap berbagai jenis kegiatan yang

dilakukan di area kelas bahaya tinggi. Hal ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi

perubahan kelas bahaya dari kelas tinggi menjadi kelas bahaya sangat tinggi. Atau

dengan kata lain terjadi penurunan luas kelas bahaya sedang namun meningkatnya

luas kelas bahaya tinggi atau sangat tinggi.

Kelas bahaya longsor rendah di Kabupaten Bogor mempunyai luas

±100 662 ha atau sekitar 33.68% dari luas keseluruhan daerah penelitian,

dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor rendah yang luasannya

terbesar adalah Kecamatan Jasinga, dengan luas ±9 284 ha.

Kelas bahaya longsor sedang di Kabupaten Bogor mempunyai luas

± 45 037 ha atau sekitar 15.07% dari luas keseluruhan daerah penelitian,

dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor sedang yang

luasannya terbesar adalah Kecamatan Tanjungsari, dengan luas ±6 908 ha.

Kelas bahaya longsor tinggi di Kabupaten Bogor mempunyai luas

±98 533 ha atau sekitar 32.97 % dari luas keseluruhan daerah penelitian,

dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor tinggi yang luasannya

terbesar adalah Kecamatan Cigudeg, dengan luas ±9 102 ha.

Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kabupaten Bogor mempunyai luas

±54 606 ha atau sekitar 18.27% dari luas keseluruhan daerah penelitian,

dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor sangat tinggi yang

luasannya terbesar Kecamatan Sukajaya, dengan luas ± 6 332 ha.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Kecamatan Cigudeg dan

Kecamatan Sukajaya perlu mendapatkan perhatian utama untuk bahaya longsor di

Kabupaten Bogor.

47

Tabel 21 Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada masing-

masing kecamatan

Kecamatan Kelas Bahaya (ha)

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Babakan Madang 170 2 812 4 091 2 296

Bojong Gede 2 805 - 30 -

Caringin - 3 375 4 391 3

Cariu 6 154 1 462 627 201

Ciampea 414 99 2 602 233

Ciawi - 2 092 2 653 11

Cibinong 4 151 1 523 -

Cibungbulang 301 92 3 466 38

Cigombong - 1 096 1 779 1 867

Cigudeg 4 638 143 9 102 4 073

Cijeruk - 10 2 459 2 319

Cileungsi 6 998 - - -

Ciomas - - 644 1 192

Cisarua - 3 415 3 580 16

Ciseeng 4 135 - - -

Citeureup 2 301 160 3 982 507

Dramaga 59 73 1 615 810

Gunung Putri 6 082 - - -

Gunung Sindur 4 396 - - -

Jasinga 9 284 4 1 918 3 107

Jonggol 6 917 197 3 107 3 270

Kemang 2 332 97 948 1

Klapanunggal 4 736 15 3 703 1 229

Leuwiliang 7 3 257 3 277 2 613

Leuwisadeng - 92 936 2 562

Megamendung - 2 410 3 900 23

Nanggung - 6 682 5 046 4 218

Pamijahan - 421 6 044 5 909

Parung 2 902 - - -

Parungpanjang 7 138 - - -

Rancabungur 1 583 33 642 20

Rumpin 9 069 121 3 311 1 247

Sukajaya - 4 954 4 361 6 332

Sukamakmur 33 4 985 7 666 4 535

Sukaraja 107 23 3 735 472

Tajurhalang 3 284 - - -

Tamansari - - 1 168 2 312

Tanjungsari 2 353 6 908 5 757 468

Tenjo 8 312 - - -

Tenjolaya - 5 1 469 2 720

Jumlah 100 662 45 037 98 533 54 606

Persentase 33.68% 15.07% 32.97% 18.27%

48

Verifikasi Peta Bahaya Longsor

Verifikasi peta bahaya longsor dilakukan untuk melihat akurasi peta dengan

menggunakan data kejadian longsor yang digabungkan dengan peta bahaya

longsor untuk mencari r square dari hubungan tersebut. Verifikasi dilakukan

dengan memplot kelas bahaya longsor dengan density. Hasil verifikasi peta

bahaya longsor eksisting disajikan dalam Tabel 22 dan Gambar 25.

Tabel 22 Perhitungan validasi peta bahaya longsor

No Kelas Bahaya Luas (ha) (L) titik longsor

(n)

density

(n/L)x10000

1 Sangat rendah 0 0 0

2 Rendah 100 662 17 1.7

3 Sedang 45 038 33 7.3

4 Tinggi 98 533 66 6.7

5 Sangat tinggi 54 606 36 6.6

Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya longsor

eksisting

Hasil verifikasi peta bahaya longsor dengan titik longsor yang sudah terjadi

menggunakan model linier menghasilkan r square 0.710. Dengan nilai r square

demikian maka peta bahaya longsor hasil penelitian dianggap cukup baik

sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk pertimbangan arahan perbaikan

pola ruang.

Analisis Risiko Longsor

Kerentanan

Kerentanan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan penggunaan lahan

eksisting untuk menilai seberapa besar kerugian yang dialami masyarakat baik

berupa jiwa ataupun harta benda dengan kriteria skoring seperti disajikan pada

y = 1.5476x

R² = 0.7101

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 1 2 3 4 5

den

sity

(1/1

00

km

2)

Kelas Bahaya Longsor

49

Tabel 5. Harta benda bisa berupa bangunan ataupun sawah, ladang dan

perkebunan. Hasil analisis kerentanan masyarakat dengan menggunakan

penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan

Gambar 26 menjelaskan tentang kondisi kerentanan terhadap longsor di

Kabupaten Bogor. Peta kerentanan memperlihatkan bahwa sebagian besar

kerentanan masih dalam keadaan rendah dan sangat rendah, hal ini disebabkan

sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor masih berupa hutan. Penggunaan lahan

berupa hutan diasumsikan mempunyai kerentanan sangat rendah karena secara

lingkungan juga berfungsi sebagai kawasan lindung, secara fisik minimnya

saranan prasarana, secara ekonomi juga sangat rendah karena tidak ada manusia

yang tinggal di hutan sehingga kerugian jiwa dan harta kemungkinan kecil terjadi

jika terjadi longsor.

Kapasitas

Penentuan kapasitas untuk menggambarkan kondisi wilayah dalam

mengurangi kerentanan menggunakan data penggunaan lahan eksisting dengan

kriteria skoring seperti disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis kapasitas dengan

menggunakan penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 menjelaskan tentang kapasitas terhadap longsor di Kabupaten

Bogor. Peta kapasitas memperlihatkan bahwa sebagian besar dalam keadaan

sangat tinggi, hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor masih

berupa hutan. Penggunaan lahan berupa hutan diasumsikan mempunyai kapasitas

sangat tinggi karena diasumsikan bahwa hutan mempunyai kemampuan untuk

50

meminimalkan longsor dengan tutupan vegetasi dan perakaran yang kuat untuk

menahan tanah longsor.

Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan

Risiko Longsor

Pembuatan peta risiko longsor mengacu pada rumusan Peraturan Kepala

Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 02 Tahun 2012 (BNBP 2012)

tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana sebagai berikut :

R = HxV/C

Dimana :

R : Disaster Risk : Risiko Bencana H : Hazard : Bahaya

V : Vurnerabilty : Kerentanan C : Capacity : Kapasitas

Berdasarkan rumusan tersebut, peta risiko longsor dibuat berdasarkan

operasi tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor, peta kerentanan dan

peta kapasitas. Hasil analisis risiko longsor dapat dilihat pada Gambar 28 dan 29.

Dari Gambar 28 dan Gambar 29, terlihat bahwa Kabupaten Bogor memliki

kelas risiko longsor bervariasi, dari kelas sangat rendah sampai kelas sangat tinggi.

Kelas risiko longsor yang tergolong rendah mendominasi Kabupaten Bogor

dengan cakupan area ± 167 199 ha atau 55.95% dari luas keseluruhan Kabupaten

Bogor, kemudian kelas risiko sangat rendah ± 110 230 ha atau 36.89%, kelas

risiko tinggi ± 13 205 ha atau 4.42%, dan kelas risiko sangat tinggi ± 8 203 ha

atau 2.74%. Kelas risiko sedang mempunyai luasan mendekati 0.

51

Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor

Gambar 29 Luas (ha) dan persentase (%) kelas risiko longsor Kabupaten Bogor

Sebaran risiko di Kabupaten Bogor yang didominasi kelas rendah karena

tutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan sehingga mempunyai kerentanan

sangat rendah dan kapasitas sangat tinggi.

sangat rendah

rendah

tinggi

sangat tinggi

Kelas Risiko

167 199 ha; 55.95%

110 230 ha; 36.89%

8 203 ha; 2.74% 13 205 ha;

4.42%

52

Arahan Penataan Ruang

Rumusan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari

bencana longsor dianalisis dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang

dengan sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran

daerah risiko longsor. Target penataan ruang ditujukan agar semua area

Kabupaten Bogor masuk dalam kondisi risiko longsor sedang. Arahan penataan

ruang tersebut yang dapat diusulkan kepada Pemerintah Daerah setempat meliputi

tiga aspek, yaitu arahan untuk perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang. Arahan penataan ruang menggunakan analisis

A’WOT dengan mempertimbangkan 3 hal, yaitu : (1) keterkaitan antara penataan

ruang dengan sebaran bahaya longsor, (2) keterkaitan antara penataan ruang

dengan inkonsistensi penggunaan lahan, dan (3) keterkaitan antara penataan ruang

dengan sebaran risiko longsor.

1. Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Sebaran Bahaya Longsor

Keterkaitan ini dapat digambarkan berdasarkan hasil operasi tumpang tindih

(SIG) antara peta bahaya longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW).

Berdasarkan hasil tumpang tindih tersebut (Tabel 23) dapat diketahui bahwa

peruntukkan lahan yang dialokasikan dalam peta pola ruang RTRW Kabupaten

Bogor 2005-2025 berada dalam kelas bahaya longsor rendah sampai dengan

sangat tinggi. Beberapa peruntukan-peruntukan lahan yang banyak dihuni atau

untuk aktivitas manusia berada pada kelas bahaya longsor tinggi sampai sangat

tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-

2025 sepertinya belum mempertimbangkan sebaran daerah bahaya longsor.

Tabel 23 Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) berdasarkan

kelas bahaya longsor.

Peruntukkan Lahan RTRW

Luas Kelas Bahaya (ha)

Rendah Sedang Tinggi Sangat

Tinggi

Danau 194 6 14 0

Waduk 25 7 135 542

Kawasan Hutan Konservasi 0 20 427 19 115 2 061

Kawasan Hutan Lindung 0 6 861 1 546 25

Kawasan Hutan Produksi 7 626 3 289 7 741 1 074

Kawasan Hutan Produksi Terbatas 340 2 814 9 107 2 879

Zona Industri 3 238 0 23 0

Kawasan Industri 1 664 0 217 0

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 1 598 452 2 862 4 291

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 9 253 476 5 644 5 465

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 33 891 11 2 988 855

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 2 206 953 4 789 4 039

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 11 474 1 349 10 406 4 495

Kawasan Pertanian Lahan Basah 15 123 670 11 436 12 787

Kawasan Pertanian Lahan Kering 5 623 3 106 11 582 3 359

Kawasan Tanaman Tahunan 5 922 2 256 6 639 11 986

Kawasan Perkebunan 2 483 1 929 3 811 1 655

Kondisi demikian menunjukkan bahwa peruntukkan ruang yang berada di

dalam kelas bahaya longsor sedang sampai dengan sangat tinggi dapat

53

meningkatkan risiko kejadian bencana apabila kondisi kerentanan tinggi dan

kapasitas rendah, hal ini akan membuat kerugian baik kerugian fisik, harta benda,

maupun jiwa/kematian. Untuk itu sebagai upaya menekan dampak kerugian akibat

bencana longsor ini, maka peruntukkan ruang (pola ruang) yang dapat diusulkan

kepada Pemerintah Daerah setempat dengan memperhitungkan sebaran daerah

bahaya longsor disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor

Peruntukkan Lahan RTRW Luas Kelas Bahaya (ha)

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Danau

Waduk

Kawasan Hutan Konservasi

Kawasan Hutan Lindung

Kawasan Hutan Produksi

Kawasan Hutan Produksi Terbatas

Zona Industri

Kawasan Industri

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang)

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah)

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat)

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah)

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang)

Kawasan Pertanian Lahan Basah

Kawasan Pertanian Lahan Kering

Kawasan Tanaman Tahunan

Kawasan Perkebunan

Boleh dipertahankan sesuai dengan peruntukkan lahan RTRW

Dapat dibangun sesuai peruntukkan lahan RTRW dengan syarat

Tidak layak untuk dibangun jika sesuai dengan peruntukkan lahan RTRW

Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Inkonsistensi Penggunaan

Lahan

Analisis konsistensi penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui

keserasian atau kesesuaian antara penggunaan lahan dengan peruntukkan lahan

(pola ruang) RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Analisis dilakukan dengan

operasi tumpang tindih (SIG) antara peta penggunaan lahan eksisting Kabupaten

Bogor dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Pada

peta penggunaan lahan eksisting hasil interpretasi terdiri dari hutan, kebun,

ladang/tegalan, kawasan terbangun, sawah, semak belukar, dan tubuh air,

sedangkan dalam Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025,

terdiri dari: danau, kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, kawasan

hutan produksi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan industri, kawasan

perkebunan, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering,

kawasan tanaman tahunan, waduk, zona industri, kawasan permukiman perkotaan

(hunian rendah), kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang), kawasan

permukiman perkotaan (hunian padat), kawasan permukiman perdesaan (hunian

rendah), dan kawasan permukiman perdesaan (hunian jarang). Dengan demikian

klasifikasi jenis penggunaan lahan yang ada akan disesuaikan dengan

peruntukannya (pola ruang) di RTRW. Gambaran inkonsistensi penggunaan lahan

54

terhadap peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) dapat dilihat

pada Tabel 25.

Tabel 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan lahan

(RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)

No Peruntukkan Lahan Menurut RTRW Kabupaten

Bogor 2005-2025

Penggunaan

Lahan saat ini

Konsisten RTRW

Penggunaan

Lahan saat ini

Tidak Konsisten

RTRW

Ha % ha %

1 Danau 84 39.44 129 60.56

2 Waduk 13 1.84 693 98.16

3 Kawasan Hutan Konservasi 38 510 90.94 3 835 9.06

4 Kawasan Hutan Lindung 6 623 77.16 1 961 22.84

5 Kawasan Hutan Produksi 12 754 63.70 7 267 36.30

6 Kawasan Hutan Produksi Terbatas 10 767 70.69 4 464 29.31

7 Kawasan Industri 1 864 100.00 - -

8 Zona Industri 3 230 100.00 - -

9 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 9 150 100.00 - -

10 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 20 694 100.00 - -

11 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 37 469 100.00 - -

12 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 11 919 100.00 - -

13 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 27 548 100.00 - -

14 Kawasan Pertanian Lahan Basah 35 208 88.40 4 622 11.60

15 Kawasan Pertanian Lahan Kering 21 492 91.35 2 035 8.65

16 Kawasan Tanaman Tahunan 24 890 93.26 1 799 6.74

17 Kawasan Perkebunan 9 126 92.94 693 7.06

Total 271 340 90.80 7 497 9.20

Tabel 25 menunjukkan bahwa secara umum penggunaan lahan yang

konsisten dengan peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)

adalah seluas ±271 330 ha atau 90.80% dari persentase luas keseluruhan

Kabupaten Bogor, sedangkan yang tidak konsisten sampai saat ini hanya seluas

±27 508 ha atau sekitar 9.20% dari persentase luas Kabupaten Bogor. Jenis

penggunaan lahan yang paling tinggi tingkat konsistensinya terdapat pada

peruntukkan lahan kawasan permukiman perdesaan, perkotaan, kawasan industri

(100%), sedangkan jenis penggunaan lahan yang paling rendah tingkat

konsistensinya atau inkonsisten adalah pada peruntukkan lahan kawasan hutan

produksi (64.68%).

Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Sebaran Risiko Longsor

Keterkaitan ini dapat digambarkan dari hasil operasi tumpang tindih (SIG)

antara peta risiko longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW). Berdasarkan

hasil tumpang tindih tersebut dapat diketahui bahwa peruntukkan lahan yang

dialokasikan dalam peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 berada

dalam kelas risiko longsor sangat rendah sampai dengan sangat tinggi (Tabel 26).

55

Tabel 26 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor

Peruntukkan Lahan RTRW

Luas Kelas Risiko (ha)

sangat

rendah rendah tinggi

sangat

tinggi

Danau 13 191 6 0

Waduk 92 579 1 26

Kawasan Hutan Konservasi 38 215 2 352 128 272

Kawasan Hutan Lindung 7 612 508 156 24

Kawasan Hutan Produksi 10 454 8 753 126 54

Kawasan Hutan Produksi Terbatas 11 259 3 443 69 342

Zona Industri 15 3 172 7 0

Kawasan Industri 12 1 630 201 0

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 1 793 5 952 648 685

Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 2 758 15 218 1 494 998

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 719 34 615 1 818 253

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 3 505 5 871 1 283 1 148

Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 4 688 17 254 4 125 1 495

Kawasan Pertanian Lahan Basah 5 583 34 572 1 415 1 436

Kawasan Pertanian Lahan Kering 11 605 10 697 1 082 346

Kawasan Tanaman Tahunan 6 982 18 116 301 956

Kawasan Perkebunan 5 056 4 101 343 214

Keberadaan peruntukkan lahan di dalam daerah risiko tinggi dan sangat

tinggi dapat mendatangkan bencana dan menimbulkan banyak kerugian.Untuk

mengurangi tingginya risiko longsor dengan menurunkan tingkat bahaya ataupun

kerentanan dan menigkatkan kapasitas. Hubungan kelas risiko, kelas bahaya,

kelas kerentanan, dan kelas kapasitas untuk menganalisa kelas risiko dapat dilihat

pada Tabel 27.

Tabel 27 Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan Kelas

Kapasitas

Kelas Risiko Kelas Bahaya Kelas Kerentanan Kelas Kapasitas

Sedang Sedang Sangat Tinggi Sangat rendah Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Sangat rendah Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Tinggi Tinggi Sangat rendah Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah

Arahan pengendalian pemanfaatan ruang dengan Analisa A’WOT

Arahan pengendalian pemanfaatan ruang menggunakan analisis A’WOT.

Metode A’WOT ini dapat merumuskan strategi yang melibatkan pendapat para

pakar (experts) dalam penentuan prioritas strategi yang akan di terapkan. Dengan

demikian, strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan

ruang di Kabupaten Bogor terlepas dari pandangan subjektifitas peneliti.

Para pakar (experts) yang dipilih dalam penyusunan strategi pengembangan

terdiri dari tiga orang praktisi yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana

56

Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda)

Kabupaten Bogor, dan Dinas Bina Marga Kabupaten Bogor.

Indentifikasi Faktor Internal dan Eksternal

Penyusunan strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor diawali dengan identifikasi faktor internal

(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Faktor

tersebut diperoleh melalui penggalian dan penggabungan informasi dari masing-

masing pihak/pakar (stakeholder/experts) yang nantinya juga dimintai pendapat

dalam menyusun matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison).

Perbandingan berpasangan menggunakan skala perbandingan Saaty (1980).

Identifikasi faktor internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor

Faktor Internal

Kekuatan Kelemahan

1

2

3

Peraturan / regulasi

Ketersediaan sumber dana

pemerintah

Sarana prasarana

1

2

Kodisi fisik wilayah

Kurang optimal pengawasan

pembangunan

Faktor Eksternal

Peluang Ancaman

1

2

3

Meminimalkan longsor

Memaksimalkan penggunaan lahan

Peningkatan sistem koordinasi

1

2

3

Pertambahan penduduk

Kondisi ekonomi wilayah

Kurangnya kesadaran masyarakat

terhadap lingkungan

Faktor internal kekuatan yang mempengaruhi pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor terdiri dari 3 faktor.

Faktor yang pertama adalah adanya peraturan / regulasi yang menetapkan tentang

pola ruang Kabupaten Bogor. Untuk memperkuat peraturan pola ruang juga dibuat

peraturan pendukung untuk menjaga penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang.

Adanya peraturan dalam pendirian IMB untuk lokasi yang berada dalam daerah

rawan longsor harus menyertakan rekayasa teknik dalam pembangunan. Selain itu

juga ada ketentuan RTH atau penanaman pohon di setiap pembangunan rumah

untuk menahan tanah lebih mudah longsor. Faktor kekuatan kedua adalah

ketersediaan sumber dana pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi

longsor ataupun dengan membuat bangunan pencegah longsor untuk daerah rawan

longsor. Faktor kekuatan ketiga adanya sarana prasarana pendukung untuk

mengendalikan longsor dengan pembuatan papan-papan peringatan bahaya

longsor. Selain itu pemerintah juga menambah taman-taman yang berisi pohon

untuk bisa mengikat tanah supaya tidak mudah longsor.

Faktor internal yang menjadi kelemahan dalam pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dibagi menjadi 2 faktor.

Faktor pertama kondisi fisik wilayah Kabupaten Bogor yang berada di sekitar kaki

pegunungan sehingga mempunyai kondisi fisik pendukung longsor ditambah

curah hujan yang cukup tinggi. Faktor kedua yaitu kurang optimal pengawasan

57

pembangunan. Hal ini terjadi karena luas wilayah Kabupaten Bogor dan jumlah

SDM yang ada tidak sesuai sehingga pengawasan pembangunan ataupun

perubahan penggunaan lahan kurang maksimal.

Faktor eksternal peluang dalam pengendalian longsor terdiri dari 3 faktor.

Faktor pertama yaitu meminimalkan longsor. Longsor pasti akan menimbulkan

banyak korban baik manusia maupun harta benda, jika bisa meminimalkan

longsor akan bisa membuat nyaman masyarakat dalam melakukan semua kegiatan.

Faktor kedua adalah memaksimalkan penggunaan lahan. Kondisi wilayah

Kabupaten Bogor yang sebagian besar rentan terhadap bahaya longsor tidak

mungkin jika hanya dijadikan hutan untuk pengendalian longsor. Penggunaan

lahan bisa digunakan sesuai kebutuhan dan peraturan yang ada asalkan longsor

bisa dikendalikan secara maksimal. Faktor ketiga yaitu peningkatan sistem

koordinasi. Pengawasan penggunaan lahan yang kurang maksimal bisa berubah

menjadi lebih baik jika ada peningkatan sistem koordinasi, misalnya

mengikutsertakan desa dan warganya untuk ikut mengawasi dan bertanggung

jawab terhadap wilayah mereka.

Faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor terdiri dari 3 faktor.

Faktor pertama adalah pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk terutama

yang tinggal di daerah kawasan lindung akan memberikan ancaman terhadap

perubahan kawasan lindung menjadi permukiman ataupun ladang/tegalan. Faktor

kedua yaitu kondisi ekonomi wilayah yang bisa membuat masyarakat dengan

mudah melakukan apa saja yang tanpa mereka sadari bisa merusak lingkungan

dan merugikan mereka sendiri di masa yang akan datang. Faktor ketiga kurangnya

kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini biasanya terjadi karena kurang

paham masyarakat tentang akibat yang akan terjadi jika mereka tidak menjaga

lingkungan.

Penyusunan Strategi SWOT

Analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui kelemahan, kekuatan, peluang,

dan ancaman dalam pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan

ruang di Kabupaten Bogor. Analisis SWOT dimulai dengan mengidentifikasi

faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki masyarakat serta faktor

eksternal (peluang dan acaman), kemudian menetukan strategi-strategi yang dapat

diterapkan (Suryaningsih et al 2012).

Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengendalian

longsor, maka disusun strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Strategi pengendalian longsor dapat

dibagi menjadi empat macam strategi yang terdiri dari memanfaatkan kekuatan

untuk mendapatkan peluang (SO); memanfaatkan kekuatan untuk menghadapi

ancaman (ST); mengurangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada

(WO) dan strategi mengurangi kelemahan dalam menghadapi ancaman (WT).

Matrik strategi SWOT pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan

ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 29.

58

Tabel 29 Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang

di Kabupaten Bogor

Opportunities

O1

O2

O3

Threats

T1

T2

T3

Strengths

S1

S2

S3

SO1 (S1, O2) Membuat peraturan tambahan untuk

pendirian bangunan di atas lokasi

rawan longsor untuk memaksimalkan

penggunaan lahan.

ST1 (S2, S3, T3) Mensosialisasikan ke masyarakat

tentang pentingnya penanaman

pohon di daerah yang rawan

longsor ditambah pemberian papan

peringatan untuk daerah rawan

longsor.

Strengths

S1

S2

S3

SO2 (S1, O1, O3) Membuat pola ruang yang sudah

mempertimbangkan kondisi bahaya

longsor dan menerapkannya dengan

bantuan perijinan untuk lebih teliti melihat

perijinan, bantuan desa untuk lebih peduli

melihat perubahan lingkungan dan bantuan

bidang pengawasan jika ada perubahan

penggunaan lahan terutama di daerah

rawan longsor

ST2 (S1, T1, T2) Dana yang tersedia digunakan

untuk memberikan pelatihan dan

pembinaan masyarakat terutama di

yang tinggal di sekitar hutan untuk

membuka lapangan pekerjaan

sehingga bisa menaikkan ekonomi

wilayah tanpa perlu merusak

kondisi hutan.

Weakness

es

W1

W2

WO1 (W1, O3) Kondisi fisik yang rawan longsor

membutuhkan kerjasama dari Bina Marga

untuk membuat bangunan tembok penahan

tanah di sekitar daerah yang banyak

masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan

Hidup, Dinas Pertamanan, Desa dan

Kecamatan untuk menjaga lingkungan

tetap ada pohon untuk mencegah longsor.

WT1 (W2, T1, T2) Kurang optimal pengawasan

pembangunan karena kurang SDM

bisa memanfaatkan penduduk

sekitar dengan menjadikan mereka

pengawas lingkungan dan

masyarakat bisa mendapat

tambahan honor.

WO2 (W1, O2) Kondisi tanah subur sekaligus mudah

longsor bisa dimaksimalkan dengan

menyesuaikan lokasi. Membuat sawah

dalam bentuk terasering jika posisi tanah

miring.

WT2 (W2, T3) Meningkatkan kemampuan SDM

untuk bisa mengoptimalkan

pengawasan lingkungan dan

meningkatkaan kesadaran

masyarakat supaya bisa ikut

berperan serta mengawasi

lingkungan.

Pembobotan Unsur SWOT berdasarkan AHP

Pembobotan unsur-unsur SWOT diperoleh dari hasil analisis AHP dengan

melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar komponen

Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats. Perbandingan berpasangan

juga dilakukan terhadap faktor untuk masing-masing komponen SWOT. Nilai

perbandingan berpasangan setiap pendapat para pakar/experts (3 orang) disatukan

dengan metode rata-rata geometri, sebagaimana dikemukakan oleh Saaty (2008)

yang menyebutkan bahwa untuk menggabungkan (combined) penilaian individu

menjadi sebuah penilaian kelompok yang representatif, semua penilaian harus

dikombinasikan menggunakan metode rata-rata geometri (geometric mean).

Perhitungan bobot untuk masing-masing komponen SWOT dan masing-masing

59

faktor di setiap komponen SWOT menggunakan software expert choice 2000.

Hasil pembobotan setiap komponen dan setiap faktor komponen SWOT dapat

dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Hasil pembobotan komponen SWOT

Komponen

SWOT

Prioritas

Grup Faktor-faktor SWOT

Prioritas

Faktor

dalam Grup

Prioritas

Faktor

Keseluruhan

Strengths 0.310

1 Peraturan/regulasi 0.749 0.232

2 Ketersediaan sumber dana

pemerintah 0.140 0.043

3 Sarana prasarana 0.111 0.034

Weaknesses 0.101

1 Kondisi fisik wilayah 0.816 0.082

2 Kurang optimal

pengawasan pembangunan 0.184 0.018

Opportunities 0.475

1 Meminimalkan longsor 0.462 0.219

2 Memaksimalkan

penggunaan lahan 0.462 0.219

3 Peningkatan sistem

koordinasi 0.077 0.037

Threats 0.114

1 Pertambahan penduduk 0.126 0.014

2 Kondisi ekonomi wilayah 0.248 0.028

3 Kurangnya kesadaran

masyarakat terhadap

lingkungan

0.626 0.071

Berdasarkan Tabel 30 dapat dilihat bahwa dengan kombinasi pendapat para

pakar, peraturan / regulasi mendapat prioritas paling tinggi untuk faktor internal

kekuatan. Faktor internal kelemahan yang menjadi perhatian utama adalah kondisi

fisik wilayah. Kondisi fisik wilayah Kabupaten Bogor yang rawan longsor tetapi

sekaligus subur membutuhkan penanganan yang sesuai supaya bisa

dimaksimalkan penggunaannya dan meminimalkan bahaya longsor.

Faktor eksternal peluang yang mendapatkan perhatian hampir sama adalah

meminimalkan longsor dan memaksimalkan penggunaan lahan. Masyarakat dan

pemerintah diharapkan bisa bekerjasama untuk memaksimalkan peluang yang ada.

Dengan meminimalkan longsor secara tidak langsung juga meminimalkan

kerugian yang mungkin terjadi jika ada kejadian longsor.

Faktor eksternal ancaman yang membutuhkan perhatian adalah kurangnya

kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Berkaitan dengan faktor-faktor

internal dan eksternal dalam pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dirumuskan strateginya sebagaimana

dapat dilihat pada Tabel 29.

Pemilihan prioritas strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dilakukan dengan mengurutkan/ranking

jumlah setiap unsur yang terkait dalam strategi. Jumlah bobot strategi paling besar

merupakan prioritas utama dalam pengendalian longsor Kabupaten Bogor. Untuk

lebih jelasnya urutan strategi pengendalian longsor dapat dilihat pada Tabel 31.

60

Tabel 31 Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor

No Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking

Strategi (SO)

SO1

SO2

S1, O2

S1, O1, O3

0,451

0,488

2

1

Strategi (ST)

ST1

ST2

S2, S3, T3

S1, T1, T2

0,148

0,274

5

4

Strategi (WO)

WO1

WO2

W1, O3

W1, O2

0,119

0,301

6

3

Strategi (WT)

WT1

WT2

W2, T1, T2

W2, T3

0,060

0,089

8

7

Keterangan

SO1 : Membuat peraturan tambahan untuk pendirian bangunan di atas lokasi

rawan longsor untuk memaksimalkan penggunaan lahan.

SO2 : Membuat pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya

longsor dan menerapkannya dengan bantuan perijinan untuk lebih teliti

melihat perijinan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan

lingkungan dan bantuan bidang pengawasan jika ada perubahan

penggunaan lahan terutama di daerah rawan longsor

ST1 : Mensosialisasikan ke masyarakat tentang pentingnya penanaman pohon

di daerah yang rawan longsor ditambah pemberian papan peringatan

untuk daerah rawan longsor.

ST2 : Dana yang tersedia digunakan untuk memberikan pelatihan dan

pembinaan masyarakat terutama di yang tinggal di sekitar hutan untuk

membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa menaikkan ekonomi

wilayah tanpa perlu merusak kondisi hutan.

WO1 : Kondisi fisik yang rawan longsor membutuhkan kerjasama dari Bina

Marga untuk membuat bangunan tembok penahan tanah di sekitar

daerah yang banyak masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan Hidup,

Dinas Pertamanan, Desa dan Kecamatan untuk menjaga lingkungan

tetap ada pohon untuk mencegah longsor.

WO2 : Kondisi tanah subur sekaligus mudah longsor bisa dimaksimalkan

dengan menyesuaikan lokasi. Membuat sawah dalam bentuk terasering

jika posisi tanah miring.

WT1 : Kurang optimal pengawasan pembangunan karena kurang SDM bisa

memanfaatkan penduduk sekitar dengan menjadikan mereka pengawas

lingkungan dan masyarakat bisa mendapat tambahan honor.

WT2 : Meningkatkan kemampuan SDM untuk bisa mengoptimalkan

pengawasan lingkungan dan meningkatkaan kesadaran masyarakat

supaya bisa ikut berperan serta mengawasi lingkungan.

61

Dari Tabel 31 dapat dilihat bahwa strategi SO2 (Membuat pola ruang yang

sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan menerapkannya dengan

bantuan perijinan untuk lebih teliti melihat perijinan, bantuan desa untuk lebih

peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan bidang pengawasan jika ada

perubahan penggunaan lahan terutama di daerah rawan longsor) merupakan

prioritas utama untuk dilakukan dalam pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Strategi SO2 merupakan

gabungan faktor S1, O1 dan O3 dengan bobot 0,488. Kondisi yang ada perijinan

jauh lebih banyak setiap tahun sehingga kadang-kadang membuat petugas kurang

teliti dalam melihat syarat-syarat yang seharusnya ada. Selain itu SDM yang

kurang untuk pengawasan dan pihak pejabat terbawah seperti desa terkesan tidak

peduli dalam memperhatikan perubahan penggunaan lahan membuat pengawasan

semakin lemah. Mungkin ke depan juga harus dipikirkan tentang sistem

pengawasan terpadu antara masyarakat setempat, pihak swasta sampai ke

pemerintah.

Prioritas kedua adalah strategi SO1 (Membuat peraturan tambahan untuk

pendirian bangunan di atas lokasi rawan longsor untuk memaksimalkan

penggunaan lahan) yang merupakan gabungan S1 dan O2 dengan bobot 0,451.

Keadaan Kabupaten Bogor termasuk daerah dengan bahaya longsor sedang dan

tinggi cukup besar harus mampu membuat pembangunan secara maksimal tetapi

meminimalkan bahaya longsor. Seharusnya daerah rawan longsor perlu dihindari

untuk pembangunan. Aturan tambahan untuk meminimalkan longsor di daerah

rawan yang bisa dibuat misalnya dengan memberi syarat pada pembangunan

perumahan atau industri untuk tetap membiarkan sebagian wilayahnya untuk

resapan air dan juga harus menyertakan syarat-syarat pembuatan bangunan

dengan rekayasa teknik supaya bangunan tersebut aman dari longsor.

Prioritas pengendalian longsor yang ketiga adalah strategi WO2 dengan

bobot 0,301. Kondisi tanah subur sekaligus mudah longsor bisa dimaksimalkan

dengan menyesuaikan lokasi. Membuat sawah dalam bentuk terasering jika posisi

tanah miring. Bentuk lahan di Kabupaten Bogor yang mempunyai lereng

bervariasi kadang-kadang menjadi kendala ketika menggunakan lahan. Lahan

yang subur masih bisa digunakan dengan menggunakan metode yang sesuai

sehingga aman dari bahaya longsor. Ketiga strategi ini pada dasarnya adalah

untuk mengendalikan longsor tapi tetap memaksimalkan penggunaan lahan yang

ada. Jadi pemanfaatan lahan tidak terpengaruh dengan bahaya longsor yang ada.

Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang

menurut hasil A’WOT yang dapat diusulkan meliputi :

1. Melakukan revisi pola ruang yang sudah ada dan disesuaikan dengan

sebaran bahaya longsor.

2. Melaksanakan kegiatan perizinan, pengawasan dan penertiban yang sesuai

dengan pola ruang yang mengintegrasikan berbagai pihak yang terkait, baik

pemerintah maupun masyarakat.

3. Membuat peraturan tambahan yang mendukung perizinan pendirian

bangunan yang berada pada lokasi rawan longsor. Peraturan tambahan yang

memberi syarat rekayasa teknik supaya bangunan aman dari bencana

longsor, misal dengan pondasi sesuai kondisi tanah, pembuatan bronjong

atau tembok penahan tanah untuk kekuatan geser tanah, pembuatan saluran

air yang sesuai dengan kapasitas volume air yang akan mengalir. Selain itu

62

juga syarat penanaman pohon di sekitar bangunan jika kondisi tanah agak

miring.

4. Pembuatan terasering untuk sawah atau ladang dengan posisi tanah yang

mempunyai lereng terjal untuk mengurangi risiko longsor.

5. Memberikan pelatihan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas di tingkat

masyarakat yang bisa digunakan sebagai pengawasan dalam perubahan

penggunaan lahan.

6. Memberikan pelatihan dan pembinaan masyarakat terutama di yang tinggal

di sekitar hutan untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa

menaikkan ekonomi wilayah tanpa perlu merusak kondisi hutan.

7. Mensosialisasikan ke masyarakat tentang pentingnya penanaman pohon di

daerah yang rawan longsor ditambah pemberian papan peringatan untuk

daerah rawan longsor.

8. Kondisi fisik yang rawan longsor membutuhkan kerjasama dari Bina Marga

untuk membuat bangunan tembok penahan tanah di sekitar daerah yang

banyak masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan Hidup, Dinas

Pertamanan, Desa dan Kecamatan untuk menjaga lingkungan tetap ada

pohon untuk mencegah longsor.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Urutan parameter penyebab longsor di Kabupaten Bogor menurut analisis

faktor adalah curah hujan, tanah, penggunaan lahan, batuan, dan kemiringan

lereng. Bahaya longsor di Kabupaten Bogor cukup variatif, meliputi kelas

rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Persentase terbesar pada kelas

bahaya rendah (33.68%).

2. Kelas risiko longsor di Kabupaten Bogor bervariasi dari kelas risiko sangat

rendah sampai kelas risiko sangat tinggi. Kelas risiko yang memiliki luasan

tertinggi pada saat ini, berada pada kelas risiko rendah (55.95%), kelas risiko

sangat rendah (36.89%), kelas risiko tinggi (4.42%), dan kelas risiko sangat

tinggi (2.74%). Perubahan luasan tertinggi kelas risiko di masa yang akan

datang, yaitu dari kelas risiko rendah menjadi kelas risiko tinggi atau sangat

tinggi sangat mungkin terjadi, jika terjadi peningkatan jumlah penduduk dan

perubahan penggunaan lahan yang mengarah ke penggunaan lahan

permukiman. Hal ini disebabkan perubahan tersebut akan menaikkan nilai

kerentanan dan menurunkan kapasitas.

3. Peruntukkan lahan (RTRW) di Kabupaten Bogor sebagian masih berada pada

kelas bahaya dan risiko longsor sedang hingga tinggi, terutama pada

peruntukkan lahan permukiman. Hal ini berpotensi besar menimbulkan

kerugian baik kerugian ekonomi, harta benda, maupun korban jiwa. Dengan

demikian, informasi mengenai sebaran risiko longsor perlu menjadi bahan

pertimbangan yang sangat penting dalam sosialisasi maupun untuk

menentukan kebijakan, seperti revisi peruntukkan/pemanfaatan ruang RTRW

dalam rangka menyempurnakan rencana pola ruang dan sebagai upaya dalam

63

mewujudkan mitigasi bencana longsor. Arahan penataan ruang dengan

melihat kondisi bahaya longsor, risiko longsor dan inkonsistensi penggunaan

lahan menghasilkan beberapa strategi untuk pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor, yaitu melakukan

revisi pola ruang yang sudah ada dan disesuaikan dengan sebaran bahaya

longsor. Selain itu juga meningkatkan koordinasi berbagai pihak untuk

meminimalkan perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan

rencana pola ruang.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuat peta bahaya longsor

dengan mengambil sampel kejadian longsor di setiap desa sehingga bisa

lebih menggambarkan kondisi lapangan.

2. Perlu peraturan tambahan untuk mencegah longsor dan meningkatkan

SDM yang ada serta kerja sama semua pihak dalam pengendalian longsor

untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor.

3. Peninjauan ulang terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025

perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek bahaya longsor.

64

DAFTAR PUSTAKA

Arifin S, Carolita I, Winarso G. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG

untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung).

Jurnal Penginderaan Jauh. 3(1) : 77-86

Arsjad ABSM, Hartini S. 2014. Analisis Potensi Risiko Tanah Longsor di

Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Jawa Barat. Majalah Ilmiah Globe.

16(2):165-172.

Asriningrum W. 2001. Analisis Geomorfologis Kawasan Rawan Longsor dari

Data Penginderaan Jauh Satelit. Di dalam : Prasetijaningsih CD, Haris A,

Lukito PK, Prasetyo I, Amalia M, Dwiagus B, Hondri D. Diskusi Terfokus

Pengenalan dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor; 2001 November

1; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Bappenas. Hlm 1-9

Barus B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik

Peubah Tunggal Menggunakan SIG : Studi Kasus Daerah Ciawi-

Puncak_Pacet, Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):7-16.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Peraturan Kepala

Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 Tahun 2012. tentang

Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta (ID). Badan Nasional

Penanggulangan Bencana.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2013. Rekap

Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2012 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana

di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rekap

Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2013 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana

di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2015. Rekap

Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2014 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana

di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Dibyosaputro S. 1999. Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon

Progo. Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia.

13(23):13-34.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.22/PRT/M/2007 tentang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Jakarta

(ID). Direktorat Jenderal Penataan Ruang.

Faizana F, Nugraha AL, Yuwono BD. 2015. Pemetaan Risiko Bencana Tanah

Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip. 4(1) : 223-234

Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk

Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press

Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta (ID).

Gadjah Mada University Press.

Hasnawir. 2012. Intensitas Curah Hujan Memicu Tanah Longsor Dangkal di

Sulawesi Selatan. Di dalam : Hasnawir, Supratman, Sallata MK, Arsyad U,

Paembonan S, Suhasman, Achmad A, editor. Jurnal Penelitian Kehutanan

Wallacea; 2012 Agustus; Makassar, Indonesia. Makassar (ID); Balai

Penelitian Kehutanan Makassar, 1(1):62-73.

Huan LJ, Lin XS. 2002. Study on landslide related to rainfall. Journal of Xiangtan

Normal University. 24(4) : 55-62

65

Ikqra, Tjahjono B, Sunarti E. 2012. Studi Geomorfologi Pulau Ternate dan

Penilaian Resiko Longsor. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 14(1) : 1-6

Indrasmoro GP. 2013. Geographic Information System (GIS) untuk Deteksi

Daerah Rawan Longsor Studi Kasus di Kelurahan Karang Anyar Gunung

Semarang. Jurnal GIS Deteksi Rawan Longsor. 13(1):1-11

Johan Y. 2011. Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya

Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi : Studi Kasus Pulau Sebesi Propinsi

Lampun [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Karnawati D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan

Upaya Penanggulannya. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada.

Kawamoto K, Oda M, Suzuki K. 2000. Hydro-geological study of landslides

caused by heavy rainfall on August 1998 in Fukushima, Japan. Journal of

Natural Disaster Science. 22(1) : 13-23

Kementrian Pekerjaan Umum. 2012. Pedoman Pembuatan Peta Rawan Longsor

dan Banjir Bandang Akibat Runtuhnya Bendungan Alam. Jakarta (ID).

Kementrian Pekerjaan Umum.

Leskinen AL, Leskinen P, Kurttila M, Kangas J, Kajanus M. 2006. Adapting

Modern Strategic Decision Support Tools in The Participatory Strategic

Process-A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest

Policy and Economics 8:267-278

Makkasau K. 2012. Penggunaan Metode Analytical Hierachi Process (AHP)

dalam Penetuan Prioritas Program Kesehatan (Studi Kasus Program

Promosi Kesehatan). Jurnal Jati Undip.7(2):105-112

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi: Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

Jakarta (ID): Penerbit Grasindo.

Mukhlisin M., Idris I., Salazar AS., Nizam K., Taha MR. 2010. GIS Based

Landslide Hazard Mapping Prediction in Ulu Klang, Malaysia. ITB J. Sci.

42A(2):163-178.

Nasdan, Setiawan B, Skandar D. 2008. Analisis Potensi dan Pengelolaan

Perikanan dalam Perspektif Ketahanan Pangan di Wilayah Pesisir

Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan. 3(3):149-155

Nasiah, Invanni I. 2014. Identifikasi Daerah Rawan Bencana Longsor Lahan

sebagai Upaya Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sinjai. Jurnal

Sainsmat. 3(2) : 109-121

Nurhayati A. 2009. Pemetaan Daerah Rawan Tanah Longsor di Kabupaten

Cianjur Menggunakan Sistem Informasi Geografis [Tesis]. Bogor (ID).

Institut Pertanian Bogor.

Permata D. 2015. Analisis Komoditas Unggulan dan Potensi Wilayah untuk

Mendukung Pengembangan Wilayah Kabupaten Padang Pariaman [tesis].

Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung

(ID). Informatika Bandung.

Pramita V, Gandasasmita K, Munibah K. 2014. Arahan Pemanfaatan Lahan untuk

Upaya Mengurangi Bahaya Longsor di Kabupaten Agam dan Kabupaten

Padang Pariaman Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Globe. 16(2):141-148

[PUSLITANAK] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2004. Laporan Hasil

Kegiatan Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di

66

Kawasan Multi DAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementrian Pertanian RI.

Rahmat AH. 2010. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko

Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi

Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka) [Skripsi].

Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Rangkuti F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):

Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Rosdiana D. 2011. Analisis Komoditas Unggulan Pertanian dan Strategi

Pengembannya di Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor

(ID). Institut Pertanian Bogor.

Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. NY. McGraw Hill

Savitri E. 2007. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Kaitan dengan Resiko Tanah

Longsor di Kabupaten Tanah Datar. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian

Bogor.

Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2008b. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor

No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

Tahun 2005-2025. Cibinong Bogor (ID). Sekretariat Daerah Kabupaten

Bogor.

Setiadi T. 2013. Perancangan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Daerah

Rawan Tanah Longsor, Mitigasi dan Manajemen encana di Kabupaten

Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1) : 1-54.

Silviani RV. 2013. Analisis Bahaya Longsor dan Risiko Longsor di DAS

Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang [Tesis]. Bogor

(ID). Institut Pertanian Bogor

Supranto J. 2010. Analisis Multivariat : Arti dan Interpretasi. Jakarta (ID). Rineka

Cipta.

Suranto JP. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana

Tanah Longsor di Gununglurah Cilongok Banyumas [Tesis]. Semarang (ID).

Universitas Diponegoro

Suryaningsih WH, Purnaweni H, Izzati M. 2012. Persepsi dan Perilaku

Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan Rakyat di Desa Karangrejo

Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Jurnal EKOSAINS. 4(3) : 27-38.

Triantaphyllou E, Mann SH. 1995. Using The Analytical Hierarchy Process For

Decision Making In Engineering Applications: Some Challenges.

International Journal of Industrial Engineering. 2(1):35-44.

Utomo BSS. 2008. Identifikasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor Jawa

Barat[Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Yunianto AC. 2011. Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem

Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor

[Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

67

LAMPIRAN

68

Lam

pir

an 1

Dat

a has

il s

urv

ey l

apan

gan

no

E

(X

) S

(Y

) d

esa

k

eca

ma

tan

tu

tup

an

la

ha

n

lere

ng

(%

) cu

rah

hu

jan

ta

na

h

ba

tua

n

1

10

6,9

17

68

3

-6,6

76

133

ko

po

ci

saru

a

lahan

ko

son

g

8-1

5

tin

ggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

2

10

6,9

04

70

0

-6,6

68

371

ko

po

ci

saru

a

jala

n

15

-25

tin

ggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

3

10

6,9

09

00

0

-6,6

69

056

ko

po

ci

saru

a

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

4

10

6,9

22

00

0

-6,6

71

569

ko

po

ci

saru

a

rum

pun b

am

bu

8

-15

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

5

10

6,9

27

03

3

-6,6

94

333

ci

teko

ci

saru

a

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

6

10

6,9

39

10

0

-6,7

22

795

ci

teko

ci

saru

a

ban

gunan

1

5-2

5

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

7

10

6,9

39

80

0

-6,7

06

306

ci

teko

ci

saru

a

ban

gunan

1

5-2

5

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

8

10

6,9

27

10

0

-6,6

59

183

jo

gjo

gan

ci

saru

a

ban

gunan

0

-8

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

9

10

6,9

52

80

0

-6,7

25

527

ci

beu

reu

m

cisa

rua

ban

gunan

1

5-2

5

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

10

10

6,9

43

30

0

-6,7

02

320

ci

beu

reu

m

cisa

rua

pag

ar

15

-25

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

11

10

6,9

36

40

0

-6,6

90

856

ci

beu

reu

m

cisa

rua

jala

n

0-8

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

12

10

6,9

42

20

0

-6,6

86

288

ci

beu

reu

m

cisa

rua

lahan

ko

son

g

0-8

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

13

10

6,9

47

10

0

-6,6

85

945

ci

beu

reu

m

cisa

rua

ban

gunan

0

-8

tin

ggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

14

10

6,9

87

67

9

-6,6

73

593

tu

gu u

tara

ci

saru

a

ban

gunan

2

5-4

0

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

15

10

7,0

02

50

5

-6,6

54

847

tu

gu u

tara

ci

saru

a

jala

n

25

-40

tin

ggi

lato

sol

gu

nun

g a

pi

16

10

6,9

36

70

0

-6,6

76

149

ci

saru

a

cisa

rua

ban

gunan

0

-8

tin

ggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

17

10

6,8

78

78

3

-6,7

09

483

ci

leu

ng

si

ciaw

i ja

lan

8-1

5

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

18

10

6,8

70

10

0

-6,7

06

753

ci

leu

ng

si

ciaw

i b

ang

unan

8

-15

ti

nggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

19

10

6,9

05

50

0

-6,7

23

903

ci

leu

ng

si

ciaw

i b

ang

unan

1

5-2

5

tin

ggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

20

10

6,8

51

90

0

-6,6

54

576

ci

aw

i ci

aw

i ru

mp

un b

am

bu

0

-8

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

21

10

6,8

54

10

0

-6,6

58

680

b

anja

rwar

u

ciaw

i b

ang

unan

0

-8

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

22

10

6,8

55

70

0

-6,6

69

487

b

anja

rwan

gi

ciaw

i la

dan

g

0-8

ti

nggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

23

10

6,8

73

60

0

-6,6

87

087

Ja

mb

ulu

wu

k

ciaw

i b

ang

unan

0

-8

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

24

10

6,9

01

19

0

-6,7

04

718

Ja

mb

ulu

wu

k

ciaw

i b

ang

unan

8

-15

ti

nggi

po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

68

69

Lam

pir

an 1

Lan

juta

n

no

E

(X

) S

(Y

) d

esa

k

eca

ma

tan

tu

tup

an

la

ha

n

lere

ng

(%

) cu

rah

hu

jan

ta

na

h

ba

tua

n

25

10

6,8

76

98

3

-6,7

20

349

p

anca

wati

ca

ringin

keb

un k

acang

1

5-2

5

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

26

10

6,8

90

70

0

-6,7

26

282

p

anca

wati

ca

ringin

b

ang

unan

1

5-2

5

tin

ggi

sekali

p

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

27

10

6,8

54

70

0

-6,7

19

143

p

anca

wati

ca

ringin

la

dan

g

8-1

5

tin

ggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l gu

nun

g a

pi

28

10

6,8

35

64

9

-6,7

36

283

ci

nag

ara

cari

ngin

b

ang

unan

8

-15

ti

nggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l gu

nun

g a

pi

29

10

6,8

57

05

1

-6,7

46

483

ci

nag

ara

cari

ngin

ja

lan

15

-25

tin

ggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l gu

nun

g a

pi

30

10

6,8

14

61

7

-6,7

36

433

ci

bura

yut

cigo

mb

on

g

jala

n

0-8

ti

nggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l gu

nun

g a

pi

31

10

6,7

91

83

3

-6,7

36

099

ci

sala

da

cigo

mb

on

g

lahan

ko

son

g

0-8

ti

nggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l gu

nun

g a

pi

32

10

6,5

23

38

3

-6,6

18

950

nan

ggu

ng

nan

ggu

ng

b

ang

unan

8

-15

ti

nggi

lato

sol

& l

ito

sol

end

apan

33

10

6,5

22

66

7

-6,6

12

433

nan

ggu

ng

nan

ggu

ng

ja

lan

8-1

5

tin

ggi

lato

sol

& l

ito

sol

end

apan

34

10

6,5

10

26

7

-6,5

93

850

su

kaj

aya

sukaj

aya

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

lato

sol

& l

ito

sol

end

apan

35

10

6,4

76

66

7

-6,5

81

700

su

kam

uli

h

sukaj

aya

ban

gunan

1

5-2

5

tin

ggi

lato

sol

& l

ito

sol

end

apan

36

10

6,8

61

59

0

-6,6

55

110

gad

og

m

egam

end

un

g

ban

gunan

0

-8

tin

ggi

sekali

P

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

37

10

6,8

69

30

0

-6,6

58

661

gad

og

m

egam

end

un

g

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

Po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

38

10

6,8

75

70

0

-6,6

56

833

gad

og

m

egam

end

un

g

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

Po

dso

lik

gu

nun

g a

pi

39

10

6,8

61

21

0

-6,6

54

710

p

asir

angin

m

egam

end

un

g

sem

ak

0

-8

tin

ggi

sekali

P

od

soli

k

gu

nun

g a

pi

40

10

6,8

79

48

0

-6,6

52

620

p

asir

angin

m

egam

end

un

g

ban

gunan

8

-15

ti

nggi

Lat

oso

l gu

nun

g a

pi

41

10

6,8

85

40

0

-6,6

39

202

p

asir

angin

m

egam

end

un

g

sem

ak

8

-15

ti

nggi

Lat

oso

l gu

nun

g a

pi

42

10

6,8

93

30

0

-6,6

40

344

p

asir

angin

m

egam

end

un

g

sem

ak

8

-15

ti

nggi

Lat

oso

l gu

nun

g a

pi

43

10

6,7

22

01

7

-6,5

55

416

b

abak

an

dra

maga

jala

n

0-8

ti

nggi

lato

sol

& r

ego

sol

end

apan

44

10

6,7

59

57

2

-6,6

00

297

ci

om

asra

hayu

ci

om

as

rum

ah

0

-8

tin

ggi

sekali

la

toso

l &

reg

oso

l en

dap

an

69

70

Lampiran 2 Foto-foto hasil survey

Lokasi Desa Nanggung

Kecamatan Nanggung tutupan

lahan Jalan (106,522667 E

dan -6,618950 S

Lokasi Desa Nanggung

Kecamatan Nanggung tutupan

lahan bangunan ( 106,523383

E dan -6,618950 S)

71

Lokasi Desa Cinagara

Kecamatan Caringin tutupan

lahan jalan ( 106,857051 E

dan -6,746483 S)

Lokasi Desa Sukamulih

Kecamatan Sukajaya tutupan

lahan bangunan ( 106,476667

E dan -6,581700 S)

Lokasi Desa Ciburayut

Kecamatan Cigombong tutupan

lahan jalan ( 106,814617 E dan -

6,736433 S)

72

Lam

pir

an 3

Kues

ioner

untu

k m

end

apat

kan

dat

a A

nal

isis

A’W

OT

(dal

am p

enen

tuan

str

ateg

i p

engen

dal

ian l

on

gso

r untu

k m

emak

sim

alkan

pem

anfa

atan

ru

ang d

i K

abupat

en B

ogo

r)

Str

ateg

i P

enge

ndal

ian

Lon

gsor

Kek

uata

nK

elem

ahan

Pel

uang

Anc

aman

Per

atur

an /

reg

ulas

i

Ket

erse

diaa

n su

mbe

r da

na

pem

erin

tah

Sar

ana

pras

aran

a

Kon

disi

fis

ik w

ilay

ah

Kur

ang

opti

mal

pen

gaw

asan

pem

bang

unan

Mem

inim

alka

n lo

ngso

r

Mem

aksi

mal

kan

peng

guna

an l

ahan

Ker

jasa

ma

deng

an

inst

ansi

ter

kait

Per

tam

baha

n pe

ndud

uk

Kon

disi

eko

nom

i w

ilay

ah

Kur

angn

ya k

esad

aran

mas

yara

kat

terh

adap

ling

kung

an

72

73

PENGENDALIAN LONGSOR WILAYAH KABUPATEN

BOGOR

WINDA DIAH PUSPASARI

NRP. A156140194

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

74

KUESIONER AHP

ANALISIS AHP UNTUK STRATEGI PENGENDALIAN

LONGSOR

Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Institut

Pertanian Bogor (IPB), saya :

Nama : WINDA DIAH PUSPASARI

NRP : A156140194

Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah

mengajukan tugas akhir tesis dengan judul : Analisis Bahaya dan Risiko

Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuesioner yang

berkaitan dengan Strategi Peningkatan Sinkronisasi Tata Ruang Wilayah Kota

Bogor Dalam Mendukung Program Pembangunan, Pendekatan Analisis SWOT

dan AHP. Kuesioner AHP ini merupakan lanjutan analisis SWOT yang telah

dilaksanakan sebelumnya dan sudah menghasilkan beberapa Faktor Kekuatan,

Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam penetapan Strategi Terpilih. Untuk itu

kami mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada

dalam kuesioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat agar data tersebut

dapat diolah/dianalisa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan

waktu untuk mengisi kuesioner ini, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

Winda Diah Puspasari

75

BAGIAN I

IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama : ……………………………………………

2. Pekerjaan : ……………………………………………

3. Jabatan : ……………………………………………

4. Pendidikan Terakhir : ……………………………………………

5. Usia : ……………………………………………

Tandatangan

76

Petunjuk Pengisian

Kuisisoner ini merupakan peralatan pendukung analisis AHP (Analytical

Hierarchy Process), dimana kuesioner yang digunakan adalah sistem ranking

yang menilai besarnya pengaruh antara satu elemen faktor dengan faktor lainnya,

dimana responden dapat memilih jawaban yang berada disebelah kiri maupun

sebelah kanan sesuai dengan bobot kepentingannya. Ketentuan pembobotan

masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini :

Nilai Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

7 Elemen yang satu jelas lebih pentingdari elemen yang lain

9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Setiap responden memilih jawaban dengan membandingkan tingkat prioritas

kepentingan (antara 1 dengan 9) dari kedua elemen faktor dengan membubuhkan

tanda silang (X) pada salah satu kolom bobot nilai tersebut, seperti contoh

berikut :

Contoh : Jika faktor A mutlak lebih penting dari faktor B, maka diisi

Faktor

A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Faktor

B

Atau,

Faktor B lebih penting dari Faktor A, maka diisi :

Faktor

A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Faktor

B

Kuesioner ini menggunakan metode proses analisis hirarki (AHP) yang

memanfaatkan skala untuk penilaian pentingnya satu unsur dibandingkan dengan

unsur lainnya dalam suatu kerangka yang sedang dipertimbangkan. Struktur

hirarki yang akan digunakan disusun berdasarkan hasil analisis swot yang telah

dilakukan sebelumnya.

77

DAFTAR PERTANYAAN

Dalam penentuan Strategi Pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor, terdapat 4 komponen SWOT yang

perlu dipertimbangkan yaitu : (1) Kekuatan; (2) Kelemahan; (3) Peluang; dan (4)

Ancaman. Menurut Bapak/Ibu bagaimana urutan kepentingan dari setiap kriteria ?

Urutan Kriteria

Kekuatan

Kelemahan

Peluang

Ancaman

Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan bobot kepentingan dari

setiap kriteria tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?

Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelemahan

Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peluang

Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman

Kelemahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peluang

Kelemahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman

Peluang 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman

1. Berdasarkan faktor Kekuatan terdapat tiga kemungkinan Strategi yang

menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Peraturan/regulasi; (2)

Ketersediaan sumber dana pemerintah; (3) Sarana prasarana. Menurut

Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?

Urutan Kriteria

Peraturan/regulasi

Ketersediaan sumber dana pemerintah

Sarana prasarana

Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan

dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?

78

2. Berdasarkan faktor Kelemahan terdapat dua kemungkinan bentuk Strategi

yang menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk

memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1)

Kondisi fisik wilayah; (2) Kurang optimal pengawasan pembangunan.

Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?

Urutan Kriteria

Kondisi fisik wilayah

Kurang optimal pengawasan pembangunan

Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan

dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?

3. Berdasarkan faktor Peluang terdapat tiga kemungkinan bentuk Strategi yang

menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan

Peraturan/

regulasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ketersedia

an sumber

dana

pemerintah

Peraturan/

regulasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Sarana

prasarana

Ketersedia

an sumber

dana

pemerintah

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sarana

prasarana

Ketersedia

an sumber

dana

pemerintah

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peraturan/

regulasi

Sarana

prasarana 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Peraturan/

regulasi

Sarana

prasarana 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Ketersedia

an sumber

dana

pemerintah

Kondisi

fisik

wilayah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kurang

optimal

pengawasan

pembangun

an

Kurang

optimal

pengawasan

pembangun

an

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kondisi

fisik

wilayah

79

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Meminimalkan longsor;

(2) Memaksimalkan penggunaan lahan; (3) Peningkatan sistem koordinasi.

Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?

Urutan Kriteria

Meminimalkan longsor

Memaksimalkan penggunaan lahan

Peningkatan sistem koordinasi

Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan

dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?

4. Berdasarkan faktor Ancaman terdapat tiga kemungkinan bentuk Strategi yang

menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan

pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Pertambahan penduduk;

(2) Kondisi ekonomi wilayah; (3) Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap

lingkungan. Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?

Urutan Kriteria

Pertambahan penduduk

Kondisi ekonomi wilayah

Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan

Meminim

alkan

longsor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Memaksi

malkan

penggunaa

n lahan

Meminim

alkan

longsor

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Peningkat

an sistem

koordinasi

Memaksim

alkan

penggunaan

lahan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Peningkat

an sistem

koordinasi

Memaksim

alkan

penggunaan

lahan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Meminima

lkan

longsor

Peningkat

an sistem

koordinasi

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Meminima

lkan

longsor

Peningkat

an sistem

koordinasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Memaksi

malkan

penggunaa

n lahan

80

Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan

dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?

Pertambah

an

penduduk

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kondisi

ekonomi

wilayah

Pertambah

an

penduduk 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kurangnya

kesadaran

masyarakat

terhadap

lingkungan

Kondisi

ekonomi

wilayah

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pertambah

an

penduduk

Kondisi

ekonomi

wilayah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kurangnya

kesadaran

masyarakat

terhadap

lingkungan

Kurangnya

kesadaran

masyarakat

terhadap

lingkungan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pertambah

an

penduduk

Kurangnya

kesadaran

masyarakat

terhadap

lingkungan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kondisi

ekonomi

wilayah

81

Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor

No Parameter Skor Bobot Nilai

1 Curah Hujan (mm/tahun)

Sangat basah (>3.000 mm)

Basah (2.500 – 3.000 mm)

5

4

40

200

160

Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)

Kering (1.500 – 2.000 mm)

Sangat kering (<1.500 mm)

3

2

1

120

80

40

2 Jenis tanah

Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols,

Litosols, Renzina

Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran

Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol,

Lateritik air tanah, Latosol

3

2

1

30

90

60

30

3 Geologi

Batuan vulkanik

Batuan sedimen

Batuan berbahan resent (aluvial)

3

2

1

20

60

40

20

4 Kelerengan (%)

> 45

30 – 45

15 – 30

8 – 15

0 – 8

5

4

3

2

1

10

50

40

30

20

10

82

Lampiran 5 Perhitungan kelas bahaya longsor

No Parameter Skor Bobot Nilai

1 Curah Hujan (mm/tahun)

Sangat basah (>3.000 mm)

Basah (2.500 – 3.000 mm)

5

4

33

165

126

Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)

Kering (1.500 – 2.000 mm)

Sangat kering (<1.500 mm)

3

2

1

99

66

33

2 Jenis tanah

Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols,

Litosols, Renzina

Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran

Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol,

Lateritik air tanah, Latosol

3

2

1

27

81

54

27

3 Penggunaan Lahan

Permukiman

Tegalan, sawah

Semak belukar

Perkebunan

Hutan, Perairan

5

4

3

2

1

20

100

80

60

40

20

4 Geologi

Batuan vulkanik

Batuan sedimen

Batuan berbahan resent (aluvial)

3

2

1

13

39

26

13

5 Kelerengan (%)

> 45

30 – 45

15 – 30

8 – 15

0 – 8

5

4

3

2

1

7

35

28

21

14

7

83

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendal, pada tanggal 18 Oktober 1977 sebagai anak

kedua dari empat bersaudara dari pasangan Gunanto dan Sri Hartati. Telah

menikah dengan Thonang Arthono dan dikarunia dua orang anak, yaitu Qin

Kaynuna Najma Arthono dan Ken Muhammad Zhafran Arthono.

Tahun 1995 penulis diterima di Universitas Diponegoro di Fakultas Teknik

Jurusan Teknik Sipil untuk program Diploma III dan lulus tahun 1999. Pada tahun

1999 melanjutkan di program Ekstension di Universitas Diponegoro di Fakultas

Teknik Jurusan Teknik Sipil dan lulus tahun 2002. Pada Tahun 2010 penulis

diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerinta Daerah Kota

Bogor dan ditempatkan di Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Penulis

mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pasca sarjana

pada tahun 2014 dan diterima pada program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

(PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan

Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren

Bappenas)