ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK...

274
ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH (PERSPEKTIF HUKUM PERPAJAKAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy.) Oleh: DEWI RIKA KOESNAINI NIM. 1111046100071 K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H / 2015 M

Transcript of ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK...

Page 1: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

ANALISIS AKAD MURABAHAH

DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH

(PERSPEKTIF HUKUM PERPAJAKAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy.)

Oleh:

DEWI RIKA KOESNAINI

NIM. 1111046100071

K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1436 H / 2015 M

Page 2: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai
Page 3: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai
Page 4: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai
Page 5: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban studinya. Shalawat teriring salam

semoga tercurahkan kepada pembawa amanah, tauladan umat, Nabi Muhammad

SAW., para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan

hukum-hukumnya.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur

memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih atas segala kepedulian

mereka yang telah memberikan bantuan, baik berupa sapaan moril, kritik, masukan,

dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis secara khusus mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA. dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA., selaku ketua

dan sekretaris Pogram Studi Muamalat (Hukum Ekonomi Islam)

3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH., selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, pikiran dan tenaga

serta kesabarannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA. dan Bapak H. Muh. Fudhail

Rahman, Lc., MA., selaku dosen penguji sidang munaqasah penulis yang

telah banyak memberikan saran dan pandangan yang luas untuk melengkapi

isi karya tulis ini.

5. Seluruh dosen serta civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis.

Page 6: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

vi

6. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,

serta Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Yayat Taryadi dan Ibu Thania Febriani selaku Consumer Bussiness

Division dari Bank Muamalat Indonesia, serta pimpinan dan karyawan

Perpustakaan Muamalat Institute yang telah mengijinkan penulis melakukan

penelitian dan membantu dalam memperoleh data.

8. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Kusnadi, S.E. dan Ibu Evi Susnaini,

selaku motivasi terbesar bagi penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi

ini. Setiap pesan dan nasihat yang disampaikan selalu memberikan inspirasi

serta motivasi bagi penulis dalam melewati setiap langkah kehidupan ini.

Tidak lupa juga, adik-adik penulis yang merupakan anugerah terindah yang

telah Allah SWT berikan, yaitu Muhammad Ilham dan Anindia Khairunnisa

Kusnadi.

9. Sahabat-sahabat penulis yang selalu mendukung penulis secara moril dan

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, yaitu Erna

Setiawati, Fachriatun Halimatussa’diyah, Amrina Rosyada, Sundari Rahayu,

Siti Amaniatus Soleha, Vivi Anggraeni, dan Futuh Ihsan Salsabil.

10. Kru Information Technology (IT Division) Bank Muamalat Indonesia Kantor

Pusat, yaitu Ibu Eva Nurfauziah, Bapak Sahri, Bapak Muhammad Yusuf

Sopian dan yang lain yang tidak dapat disebutkan semua. Mereka yang sudah

memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang menarik selama 3 bulan

penulis melakukan praktek magang di Kantor Pusat Bank Muamalat

Indonesia.

11. Teman-teman seperjuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, khususnya mahasiswa/i Perbankan Syariah angkatan

2011 yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam skripsi ini.

Terima kasih atas semua kenangan yang tidak terlupakan, semoga silaturahim

kita dapat tetap terjalin sampai kapanpun.

Page 7: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

vii

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini,

penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT mencatatnya

sebagai amal dan membalasnya dengan yang lebih baik. Selain itu, penulis akui

bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan

penulis munculnya saran untuk menunjang kesempurnaan atas skripsi ini di waktu

mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan.

Aamiin.

Jakarta, Juli 2015

Dewi Rika Koesnaini

Page 8: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

viii

ABSTRAK

DEWI RIKA KOESNAINI, NIM 1111046100071, Analisis Akad

Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Pada Perbankan Syariah,

Strata Satu (S1), Konsentrasi Perbankan Syariah, Program studi Muamalat, Fakultas

Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

Penelitian ini dilakukan pada dua bank syariah, yaitu Bank Muamalat

Indonesia dan Bank Syariah Mandiri dengan tujuan untuk menganalisis penerapan

pajak pertambahan nilai sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang terbaru

dan melihat konsistensi perbankan syariah dalam membuat klausul baku pembiayaan

murabahah dalam perspektif perlindungan konsumen. Adanya penelitian ini akan

membantu bank syariah dalam mengevaluasi kinerja dalam perspektif hukum positif

yang telah diterbitkan dan diberlakukan pemerintah.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian

lapangan (wawancara dan studi dokumentasi). Alat analisis data yang digunakan

adalah analisis komponensial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak berganda

sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undang

tersebut berlaku mulai tanggal 1 April 2010 yang menyatakan penghapusan pajak

berganda atas pembiayaan murabahah. Namun tanggal 28 Desember 2010

diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang

memberlakukan penghapusan pajak pertambahan nilai atas pembiayaan murabahah.

Selain itu, dilihat dari perspektif hukum mengenai perlindungan konsumen pada

penerapan klausula baku perjanjian pembiayaan, terdapat beberapa perlindungan

konsumen yang tercantum didalamnya seperti terpenuhinya hak nasabah dalam

memilih obyek pembiayaan yang diinginkan. Disamping terpenuhinya beberapa

klausula baku perjanjian pembiayaan murabahah, terdapat pula beberapa klausula

baku yang melanggar peraturan perlindungan konsumen. Pelanggaran-pelanggaran

tersebut meliputi adanya klausula tambahan yang dibuat secara sepihak oleh bank

syariah.

Kata kunci :Pembiayaan murabahah, hunian syariah, pajak pertambahan nilai,

perlindungan konsumen

Pembimbing : H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH.

Page 9: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ ii

HALAMAN PNGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 10

D. Review Studi Terdahulu .......................................................... 12

E. Metode Penelitian ................................................................... 16

F. Sistematika Penulisan.............................................................. 20

Page 10: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

x

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Murabahah

1. Konsep Murabahah ........................................................... 23

2. Landasan Hukum Murabahah ............................................ 25

3. Ketentuan Umum Murabahah ............................................ 26

4. Mekanisme Murabahah ..................................................... 30

B. Perspektif Hukum Positif Terkait Murabahah

1. Undang-Undang Republik Indonesia

Tentang Perpajakan ........................................................... 33

2. Undang-Undang Republik Indonesia

Tentang Perlindungan Konsumen ...................................... 39

BAB III PRAKTEK MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN

HUNIAN SYARIAH

A. Konsep Praktek Murabahah Kontemporer ............................... 52

B. Prosedur Murabahah Dalam Produk Pembiayaan

Hunian Syariah ....................................................................... 57

BAB IV ANALISIS AKAD MURABAHAH

A. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang

Perpajakan

1. Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai

Pada Bank Syariah ............................................................ 64

2. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan

Page 11: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

xi

Undang-Undang omor 42 Tahun 2009 ............................... 69

3. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 .. 74

B. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen

1. Kontrak Pembiayaan Murabahah ...................................... 79

2. Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan

Berdasarkan Akta Perjanjian Pembiayaan .......................... 88

3. Bentuk Pelanggaran Terhadap Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ................................................... 94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 100

B. Saran ....................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104

LAMPIRAN .......................................................................................................

Page 12: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perbanding Studi Terdahulu .......................................................... 12

Page 13: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Murabahah Klasik .............................................................. 32

Gambar 3.1. Alur Murabahah Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah .......................... 54

Gambar 3.2. Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah ........ 55

Gambar 3.3. Alur al-Wakalah wal Murabahah ................................................... 57

Gambar 4.1. Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah ....... 80

Page 14: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam ilmu ekonomi, manusia harus dapat memenuhi segala

kebutuhannya. Kebutuhan adalah perasaan kekurangan yang berasal dari

dalam diri manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan

kepuasan kepada manusia itu sendiri1. Kebutuhan yang mutlak dipenuhi

manusia biasanya dikenal dengan kebutuhan primer. Kebutuhan primer

dimaksudkan apabila kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi, maka manusia akan

mengalami kesulitan dalam hidupnya. Kebutuhan primer yang selayaknya

dipenuhi diantaranya, pakaian (sandang), makanan dan minuman (pangan),

dan tempat tinggal (papan).

Pakaian (sandang) merupakan salah satu kebutuhan pokok yang lazim

dipenuhi. Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan penutup

dirinya. Kebutuhan pokok selanjutnya adalah makanan dan minuman

(pangan). Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang paling utama bagi

semua makhluk hidup, baik hewan maupun manusia. Makanan dan minuman

yang dicerna oleh tubuh makhluk hidup akan menghasilkan energi untuk

bertahan hidup.

1 Sukwiaty, dkk., Ekonomi SMA Kelas X (Jakarta: Yudhistira, 2009), h.2.

Page 15: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

2

Kebutuhan primer yang terakhir adalah tempat tinggal (papan).

Kebutuhan papan ini pada awalnya ditujukan untuk melindungi manusia dari

sinar matahari dan serangan hewan buas. Namun dengan semakin

berkembangnya jaman, tujuan terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal berubah

sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat saat ini.

Seiring dengan semakin pesat pertumbuhan penduduk di Indonesia

saat ini, sehingga menimbulkan banyaknya permintaan akan kebutuhan

tempat tinggal yang layak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan

rumah di Indonesia mencapai 31 juta unit2. Melihat peluang peningkatan

permintaan akan tempat tinggal yang layak huni ini, maka sektor perbankan

mencoba untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal

yang layak huni. Fasilitas perbankan ini biasa dikenal dengan sebutan Kredit

Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR).

Berdasarkan sifatnya, KPR tergolong dalam jenis kredit konsumsi,

yaitu kredit jangka pendek atau jangka panjang yang diberikan kepada debitur

untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala

kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan

nasabah debitur yang bersangkutan3.

2 Meutia Febrina Anugrah, “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”,

artikel diakses pada 3 Oktober 2014 dari

http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-di-indonesia-

membeludak-31-juta-unit. 3 Hermansyah, S.H., M.Hum., Ed., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI

(Jakarta: Kencana, 2001), h.61.

Page 16: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

3

Dalam Undang-Undang perbankan telah dijabarkan mengenai

pengertian lembaga keuangan bank secara otentik yang berbunyi sebagai

berikut4:

“Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak5”.

Dalam pengertian tersebut, tersirat makna dari fungsi bank, yaitu sebagai

intermediary. Fungsi tersebut meliputi menghimpun dan menyalurkan dana

masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.

Fungsi bank sebagai lembaga intermediary jelas terlihat pada

penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan modal usaha

maupun pembiayaan yang bersifat konsumtif termasuk KPR didalamnya.

Di Indonesia memiliki 2 jenis bank umum, yaitu bank umum

konvensional dan bank umum syariah. Pembiayaan KPR bukan hanya

terdapat pada bank konvensional saja, melainkan terdapat pula pada bank

syariah. Meskipun untuk tujuan yang sama, yaitu kepemilikan rumah, namun

pada kenyataannya diantara kedua jenis bank tersebut memiliki aplikasi

praktek yang sangat bertolakbelakang.

4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah Pasal 1 Angka 2. 5 Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Page 17: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

4

Di Indonesia jumlah Bank Umum Syariah (BUS) mencapai 12 unit,

Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 22 unit, dan Bank Perkreditan Rakyat

Syariah (BPRS) mencapai 163 unit6. Lembaga keuangan bank syariah yang

terdapat di Indonesia, rata-rata melakukan penyaluran pembiayaan KPR

menggunakan prinsip jual-beli (al-bai’), yaitu dengan menggunakan akad

murabahah.

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang

Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan

Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, murabahah adalah jual beli barang

sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang

disepakati7.

Karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli

tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang

ditambahkan pada biaya tersebut8. Biaya-biaya tersebut dapat berupa biaya

langsung maupun biaya tidak langsung yang berkaitan dengan pekerjaan

ataupun hal-hal yang berguna dalam mendapatkan barang yang diinginkan

nasabah.

6 Yosi Winosa, “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8

Oktober 2014 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-penambahan-bank-umum-

syariah.html. 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan

Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 8 Ibnu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” dalam Adiwarman A.

Karim, “Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan)” (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h.113.

Page 18: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

5

Sesuai dengan kaidah fiqh muamalah yang tertuang dalam fatwa

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dikatakan

bahwa bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank dan

bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan

harga jual senilai harga beli ditambah keuntungannya9. Dalam kaitan ini bank

harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut

biaya yang diperlukan sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

Pernyataan yang sama dijelaskan pula dalam Peraturan Bank Indonesia

Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana

Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Jadi singkatnya, transaksi yang menggunakan prinsip jual-beli

murabahah mengharuskan bank memiliki (secara prinsip) barang yang

diinginkan ataupun barang yang dipesan oleh nasabah yang mengajukan

pembiayaan. Setelah itu, bank akan menjualnya kepada nasabah peminjam

dengan pembayaran tangguh maupun pembayaran tunai pada waktu yang

telah disepakati bersama.

Namun dalam praktiknya di lembaga keuangan syariah, terutama

perbankan syariah, terdapat beberapa modifikasi yang dilakukan pihak bank

syariah dalam melakukan penyaluran pembiayaan murabahah dalam

pemenuhan produk pembiayaan hunian syariah dan terkadang terkesan

mengabaikan peraturan dan fatwa yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan

9 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah

Page 19: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

6

menerapkan beberapa model modifikasi pembiayaan murabahah ini juga

berpengaruh terhadap bentuk kontrak/akta perjanjian yang menjadi Undang-

Undang dalam melakukan pembiayaan murabahah.

Pada umumnya, kontrak yang akan mengikat perjanjian pembiayaan

biasanya disusun secara sepihak oleh pihak bank syariah. Sehingga nasabah

hanya menerima hasil akhir dari bentuk kontrak tersebut dan

menandatanganinya tanpa ada perundingan terlebih dahulu mengenai isi

kontrak tersebut. Isi kontrak tersebut biasanya menjabarkan mengenai

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak nasabah debitur tanpa

menjelaskan mengenai hak yang didapatkannya. Hal ini dapat bertentangan

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Dalam Undang-Undang ini lebih membatasi dan mengatur para

pelaku usaha atau dalam konteks pembiayaan adalah pihak yang menyediakan

dana.

Selain itu, dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah tidak

diatur mengenai perpajakan yang dimiliki oleh barang atau jasa yang menjadi

objek perjanjian. Dalam pembiayaan hunian syariah, barang yang menjadi

objek perjanjian adalah rumah. Rumah memiliki konsep perpajakan seperti

pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB), dan pajak pertambahan nilai (PPN). Ketiga komponen

pajak tersebut erat kaitannya dalam hal jual-beli properti (rumah). Namun

biasanya dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah yang

Page 20: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

7

memfasilitasi pembiayaan hunian syariah, ketiga komponen perpajakan

tersebut tidak dibahas secara terperinci. Sehingga permasalahan perpajakan

atas suatu barang yang dijadikan objek perjanjian kurang diperhatikan dalam

pelaksanaan penyaluran pembiayaan murabahah yang dipraktikan dalam

lembaga keuangan syariah.

Selain mengenai perpajakan, dalam kontrak pembiayaan terkadang

sering ditemukan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK). Seperti yang ditemukan dalam skripsi

Abdul Hafid Nur. Hasil yang ditemukan mengungkapkan terdapat 13 poin

kesalahan ataupun pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan

Konsumen (UUPK) yang dilakukan oleh pihak bank syariah dalam pembuatan

kontrak pembiayaan10

. Namun dalam konteks ini, penelitian yang dilakukan

oleh Abdul Hafid Nur terbatas pada kontrak pembiayaan musyarakah, dan

bukan mengenai kontrak pembiayaan murabahah.

Untuk itulah, penulis bermaksud untuk mengidentifikasi berbagai jenis

modifikasi akad murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariah di

Indonesia dalam penyaluran pembiayaan hunian syariah dan peranan

perundang-udangan perpajakan dan perlindungan konsumen dalam

penyaluran pembiayaan hunian syariah. Judul penelitian yang dilakukan

10 Abdul Hafid Nur, Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU

No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 83

Page 21: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

8

adalah “Analisis Akad Murabahah dalam Produk Pembiayaan Hunian

Syariah (Perspektif Hukum Perpajakan dan Perlindungan Konsumen)”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Seiring semakin pesatnya perkembangan perbankan syariah di

Indonesia, maka berpengaruh juga terhadap perkembangan produk-

produk yang ditawarkan kepada nasabah. Berdasarkan beberapa

produk yang berkembang dalam industri perbankan syariah, terdapat

produk murabahah yang eksistensinya lebih unggul dari produk-

produk lainnya.

Sebagai perbankan syariah yang pertama didirikan di Indonesia,

Bank Muamalat sangat berpengaruh terhadap eksistensi produk yang

menggunakan akad murabahah. Selain skema yang tidak mempersulit

nasabah, ketetapan dalam penentuan margin keuntungan yang

diperoleh pihak bank syariah menjadi alasan utama berkembangnya

produk yang menggunakan akad murabahah ini.

Produk-produk yang pada umumnya menggunakan akad

murabahah diantaranya pembiayaan kendaraan bermotor dan

pembiayaan pengadaan rumah. Biasanya produk-produk yang

menggunakan akad murabahah adalah pembiayaan yang bersifat

konsumtif. Pembiayaan konsumtif sangat berpengaruh pada tingkat

Page 22: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

9

pengembalian kembali oleh nasabah sehingga tingkat kredit macet

pada produk ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produk

lainnya.

Pada pembiayaan hunian, akad yang ditawarkan tidak hanya

murabahah saja, melainkan terdapat akad lainnya. Disamping itu,

penggunaan akad murabahah masih sering digunakan meskipun pada

akhir-akhir ini akad yang bersifat partnership (kerjasama) hampir

mengalahkan eksistensi akad murabahah selama ini. Dibalik

eksistensinya akad murabahah inilah akan dilihat mengenai penerapan

pada perbankan syariah telah sesuai dengan peraturan-peraturan yang

membatasinya atau belum sesuai dengannya.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan karya tulis ini, agar tidak keluar dan mencapai

fokus yang diharapkan, maka penulis perlu membatasi lingkup

penulisan yang akan dibahas. Ruang lingkup penelitian hanya dibatasi

pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri. Selain itu objek

penelitian yang digunakan hanya sebatas produk pembiayaan hunian

syariah dengan menggunakan akad murabahah.

Proses perumusan masalah merupakan tahapan paling penting

dalam sebuah proses penelitian. Sehingga permasalahan yang menjadi

pokok bahasan menjadi lebih jelas dan terfokus. Adapun secara

Page 23: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

10

spesifik perumusan masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas

produk pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?

2. Bagaimana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas produk

pembiayaan murabahah setelah diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2009?

3. Bagaimana penerapan Undang-Undang dan Peraturan Otoritas

Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen dalam konteks

kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya,

maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini,

diantaranya:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis permulaan terjadinya konflik

pertentangan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas produk

pembiayaan murabahah pada perbankan syariah.

2. Mengidentifikasi, menjelaskan dan menganalisis pemberlakuan Pajak

Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah setelah

diberlakukannya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terbaru.

Page 24: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

11

3. Mengidentifikasi dan menganalisis penerapan Undang-Undang dan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen

dalam konteks kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan

syariah.

Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini dapat dilihat dari beberapa aspek,

diantaranya:

a. Bagi peneliti

Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai

berbagai jenis akad murabahah dalam keterkaitannya dengan

perundang-undangan di Indonesia.

b. Bagi pihak perbankan syariah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan evaluasi terhadap

penerapan aplikasi akad murabahah dalam produk pembiayaan hunian

syariah yang diterapkan pada masing-masing bank syariah.

c. Bagi akademisi

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan dan bahan

untuk pengembangan dan penelitian tentang penerpan akad

murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan hunian syariah.

d. Bagi masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu

pengetahuan dan pemahaman mengenai akad murabahah yang

Page 25: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

12

digunakan dalam produk pembiayaan, khususnya produk pembiayaan

hunian syariah.

D. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, terdapat beberapa jurnal

maupun skripsi yang berkaitan tentang akad-akad yang digunakan dalam

produk pembiayaan hunian syariah ini. Adapun hasil studi review terdahulu

yang dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya:

Tabel 1.1

Perbandingan Studi Terdahulu

Aspek

Perbandingan Studi Terdahulu 1 Studi Terdahulu 2 Studi Terdahulu 3 Skripsi Penulis

Judul/Penulis Analisis Pajak

Pertambahan Nilai

Bagi Produk

Perbankan Syariah

Murabahah.

Penulis: Stevani

Citra Arihta

(Akuntansi, Fakultas

Ekonomi, Trisakti

School of

management)

Aplikasi Kontrak

Musyarakah Di

Bank Syariah X

Ditinjau Dari UU

No.8 Tahun 1999

Tentang

Perlindungan

Konsumen.

Penulis: Abdul

Hafid Nur

(Perbankan Syariah

Fakultas Syariah

dan Hukum UIN

Jakarta)

Studi Komparasi

Penggunaan Akad

Murabahah, Ijarah

Muntahiya

Bittamlik, dan

Musyarakah

Mutanaqisah

Dalam Pembiayaan

KPR di Bank

Syariah. Penulis:

Prasetyo Wardoyo

(Perbankan Syariah

Fakultas Syariah

dan Hukum UIN

Jakarta)

Analisis Akad

Murabahah Dalam

Produk Pembiayaan

Hunian Syariah Pada

Perbankan Syariah

di Indonesia

Page 26: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

13

Pendekatan

Teori

Hakikat penerapan

pajak pertambahan

nilai dalam

pembiayaan

murabahah

berdasarkan Undang-

Undang Pajak

Pertambahan Nilai

dan Pajak Penjualan

Barang Mewah (UU

PPN dan PPnBM)

Hakikat penerapan

kontrak

musyarakah

berdasarkan

Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen

(UUPK)

Hakikat

murabahah, IMBT

dan musyarakah

mutanaqisah

berdasarkan fatwa

DSN dan peraturan

Bank Indonesia

Hakikat

murabahahberdasark

an Undang-Undang,

fatwa DSN dan

peraturan Bank

Indonesia

Fokus Skripsi ini fokus

pada praktek

pemberlakuan Pajak

Pertambahan Nilai

dalam akad

murabahah yang

berlaku pada

perbankan syariah

Skripsi ini fokus

pada bentuk

kontrak dan

ketidaksesuaian isi

kontrak

musyarakah

berdasarkan UU

Perlindungan

Konsumen

Skripsi ini fokus

pada perbandingan

karakteristik, risiko

dan keunggulan

akad-akad

kontemporer yang

berlaku pada bank

syariah di

Indonesia

Skripsi ini fokus

pada isi kontrak

murabahah yang

mengacu pada

kesesuaian UU

perpajakan, UU

perlindungan

konsumen dan

KUHP

Metode

Penulisan

Skripsi ini

menggunakan

metode kualitatif

dengan pendekatan

deskriptif analisis

Skripsi ini

menggunakan

metode kualitatif

dengan pendekatan

konsep, perundang-

undangan dan

pedekatan kasus

Skripsi ini

menggunakan

metode kualitatif

dengan pendekatan

deskriptif

Skripsi ini

menggunakan

metode kualitatif

dengan pendekatan

deskriptif

Page 27: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

14

Hasil

Penelitian

PPN atas

pembiayaan

murabahah

dikenakan lebih

disebabkan karena

pengenaan pajak

tersebut secara tidak

langsung dan

dialihkan kepada

pembeli terakhir.

Sehingga dapat

dikatakan bahwa

pengenaan PPN atas

pembiayaan

murabahah

merupakan salah satu

pajak atas konsumsi

dan pihak Direktorat

Jenderal Pajak tetap

ingin menarik pajak

tersebut.

Kontrak

musyarakah belum

memenuhi

ketentuan UU

Perlindungan

Konsumen

dikarenakan

terdapat banyak

pelanggaran yang

dilakukan oleh

pihak bank syariah

Perbedaan

karakteristik lebih

terletak pada

prinsip. Risiko

pada bank lebih

pada wanprestasi

yang dilakukan

nasabah.

Antisipasinya

dengan

menetapkan uang

muka & jaminan.

Akad murabahah

unggul dengan

cicilan tetap dan

mekanisme mudah,

IMBT serta

musyarakah

mutanaqisah

dengan margin

lebih rendah dan

jangka panjang.

Setelah

dikeluarkannya

Peraturan Menteri

Keuangan Nomor

251/PMK.011/2010,

PPN atas

pembiayaan

murabahah di

perbankan syariah

telah dihapuskan.

Jika dilihat

berdasarkan sisi

perlindungan

hukum, pemerintah

mengeluarkan

peraturan-peraturan

yang juga mencakup

aturan klausula

baku. Namun pihak

bank syariah masih

terdapat pelanggaran

atas peraturan-

peraturan tersebut.

Sumber: diolah dari data sekunder

Berdasarkan beberapa skripsi diatas, terdapat perbedaan permasalahan

yang akan dibahas pada penelitian ini. Pada penelitian ini, penulis melengkapi

serta menggabungkan permasalahan terkait pembiayaan murabahah dalam

produk hunian syariah berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan lainnya

mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Perlindungan Konsumen.

Permasalahan tersebut jelas berbeda dengan studi terdahulu yang

dibahas oleh Stevani Citra Arihta dan Prasetyo Wardoyo. Dalam penelitian

Stevani, penelitian tersebut menjelaskan praktek pembiayaan murabahah dari

awal pertentangan antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dan pihak Bank

Page 28: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

15

Indonesia, selain itu penelitian tersebut masih mengacu pada perundang-

undangan pajak sebelum revisi, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Wardoyo, penelitian

tersebut mengidentifikasi berbagai jenis akad-akad kontemporer yang

berkembang saat ini dan membandingkannya berdasarkan karakteristik, risiko

dan keunggulannya.

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hafid Nur

hampir menyerupai dengan penelitian ini. Namun akad yang diteliti berbeda.

Akad yang digunakan oleh Abdul Hafid Nur adalah musyarakah, sedangkan

dalam penelitian ini menggunakan objek akad murabahah. Selain itu, dalam

penelitian yang dilakukan Abdul Hafid Nur menggunakan tinjauan pustaka

berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen saja. Sedangkan

tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berupa Undang-Undang

Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan perlindungan konsumen.

Sampai disini jelaslah bahwa permasalahan penelitian yang akan dilakukan ini

lebih mengembangkan pada permasalahan penelitian-penelitian terdahulu.

Page 29: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

16

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis

penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif

dengan menggunakan beberapa pendekatan deskriptif, yaitu pendekatan

konsep, perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus.

Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif, ucapan atau tulisan yang perilaku yang dapat diamati dari

orang-orang (subyek) itu sendiri11

. Sedangkan pendekatan deskriptif

adalah penelitian yang menggambarkan data informasi yang berdasarkan

pada fakta yang diperoleh di lapangan12

.

Pendekatan konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep

dengan aplikasi yang berlaku di perbankan syariah. Sedangkan

perundang-undangan dilakukan untuk mengungkap konsep kontrak dalam

sistem hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa

peraturan perundang-undangan terkait diantaranya, undang-undang

perpajakan dan undang-undang perlindungan konsumen. Terakhir,

pendekatan kasus dilakukan untuk melihat pelanggaran klausula kontrak

11 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif ,

Penerjemah Arief Furchan (Surabaya : Usana Offset Printing, 1992) Cet. Ke-1, hal.21-22. 12 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet. Ke-2, (Jakarta : PT Renika Cipta,

1993), Hal.309.

Page 30: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

17

dengan konsep atau teori dan perundang-undangan di lembaga perbankan

syariah.

Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan syariah, maka

dalam penelitian ini lembaga keuangan syariah yang menjadi objek kajian

akan dibatasi hanya pada lembaga keuangan perbankan syariah. Lembaga

keuangan perbankan syariah dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa

praktik kontrak di lembaga keuangan tersebut terdapat banyak melakukan

pelanggaran terhadap perundang-undangan terkait.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sebagai

berikut:

a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara pihak yang

bersangkutan, yakni Bank Muamalat Indonesia. Dalam hal ini

peneliti mengajukan pertanyaan atau berkomunikasi secara

langsung dengan pihak-pihak terkait pada produk pembiayaan

hunian syariah.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-

literatur kepustakaan yang berkaitan dengan materi yang akan

Page 31: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

18

dibahas13

, baik berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, fatwa Dewan

Syariah Nasional (DSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), kontrak

pembiayaan, keterangan-keterangan lain terkait produk pembiayaan

hunian syariah dari brosur/katalog di website bank yang menjadi

sumber penelitian.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah akad

yang pada umumnya digunakan dalam produk pembiayaan terkait hunian

syariah atau biasa dikenal dengan KPR syariah di perbankan syariah,

yaitu akad murabahah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka dalam

pengumpulan data penulis melakukan penelitian melalui:

a. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah melakukan penelusuran

kepustakaan dan menelaahnya14

. Studi dokumentasi dilakukan

untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep-

konsep yang akan dikaji. Pengumpulan data ini dilakukan dengan

membaca, mempelajari dan menelaah data yang didapat secara

13 Hendry, “Metode Pengumpulan Data”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014

dari http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data. 14 Masri Singarimbun dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : LPES,

1989) h.192.

Page 32: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

19

seksama, selanjutnya dari proses analisa tersebut peneliti

mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada

masalah yang bersifat khusus.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke

lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui

observasi dan wawancara15

. Adapun dalam penelitian ini cukup

dilakukan wawancara secara mendalam kepada narasumber yang

cakap dan kompeten mengenai bidang penyaluran pembiayaan,

khususnya pembiayaan hunian syariah. Tipe wawancara yang

dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara

yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan

pertanyaan, namun tetap berpegang pada permasalahan yang sesuai

dengan tujuan wawancara16

. Sifat wawancara yang dilakukan

adalah wawancara terbuka, artinya wawancara yang subjeknya

mengetahui bahwa sedang diwawancarai dan mengetahui maksud

dan tujuan wawancara tersebut.

15 Agung, “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”, Artikel diakses pada 17 Desember

2014 dari http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapangan-

penelitian.html. 16 Prastna, “Jenis-jenis Wawancara”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari

http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara.

Page 33: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

20

5. Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis

secara kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah analisis

komponensial. Tujuan dari teknik analisis komponensial ialah

menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan yang kontras antara

satu dengan lainnya dalam domain-domain yang telah ditentukan untuk

dianalisis secara rinci17

. Selain itu teknik penulisan laporan penelitian ini

berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012”yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dibahas satu persatu

secara sistematis sehingga masalah yang terdapat di dalamnya menjadi jelas.

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian,

identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

17 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2007) h.95-96.

Page 34: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan tinjauan umum mengenai

akad murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan

hunian syariah di Indonesia dan penjelasan umum mengenai

perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen.

Pada bab 2 ini terdiri dari 2 (dua) subbab, diantaranya subbab

pertama menguraikan konsep murabahah, meliputi

pengertian, landasan hukum, ketentuan-ketentuan umum akad

murabahah, dan mekanisme akad murabahah menurut fiqih

muamalat klasik. Dan subbab terakhir menguraikan konsep

perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen.

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai praktik

murabahah pada perbankan syariah. Bab ini terdiri dari 3

(tiga) subbab, yaitu subbab pertama membahas tentang model

modifikasi penyaluran pembiayaan di perbankan syariah.

Subbab kedua membahas mengenai prosedur pembiayaan

pada perbankan syariah. dan subbab terakhir membahas

mengenai isi kontrak perjanjian pembiayaan murabahah.

BAB IV ANALISIS

Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai hasil

penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga terdiri atas

Page 35: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

22

2 (dua) subbab. Subbab pertama menjelaskan mengenai

pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam

penerapan pembiayaan murabahah. Subbab kedua

menjelaskan mengenai penerapan perlindungan konsumen

dalam pembiayaan murabahah.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini memberikan penutup berupa kesimpulan dan

saran atas penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.

Kesimpulan ini berisi hasil dari penelitian yang mengacu pada

perumusan masalah yang telah ditetapkan sejak awal.

Sedangkan saran ditujukan untuk memberikan masukan

terhadap produk pembiayaan hunian syariah ke depannya.

Page 36: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Murabahah

1. Konsep Murabahah

Secara etimologi, murabahah berasal dari kata ribh yang berarti

keuntungan18

. Sedangkan dalam pengertian terminologis, murabahah

adalah jual beli barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan

yang disepakati antara penjual dengan pembeli. Berdasarkan fatwa

DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000, murabahah adalah menjual suatu

barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba19

. Sedangkan

berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dijelaskan

bahwa murabahah merupakan jual beli barang sebesar harga pokok

barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati20

.

Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara

bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan

untuk membeli barang. Dalam teknis ini, bank memperoleh

18 Abdullah al-Muslih & Shalah ash;shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam

Skripsi Nur Alfi Syahr, “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad Murabahah dan

Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia” (Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Jakarta, 2013) h.19. 19 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah 20 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 Tanggal 14 November 2005 tentang

Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Menyalurkan Kegiatan Usaha Berdasarkan

Prinsip Syariah.

Page 37: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

24

keuntungan jual-beli yang disepakati bersama21

. Selain itu, secara

teknis, praktek akad murabahah dalam perbankan dicirikan dengan

adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian

(muajjal), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump

sum (sekaligus)22

. Jadi dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah

akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan

keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli23

.

Akad murabahah merupakan salah satu bentuk natural certainty

contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of

profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh).

Dengan kata lain, praktek murabahah dalam perbankan

mengharuskan pihak bank syariah membeli terlebih dahulu rumah

yang ingin dijadikan sebagai objek pembiayaan kepada nasabah dan

secara prinsip rumah tersebut adalah milik pihak bank syariah, setelah

itu terjadilah transaksi jual-beli antara pihak bank syariah dengan

nasabah peminjam (debitur), dimana pihak bank harus menyertakan

harga perolehan pembelian rumah tersebut dari developer dan adanya

kesepakatan keuntungan yang akan diperoleh dari pembiayaan yang

dilakukan. Akad murabahah terjadi pada saat nasabah mengutarakan

21 Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah”, (Jakarta: Azkia Publisher,

Cet.7, 2009) h.28. 22 Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, (Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada, Cet.9, 2013) h.115. 23 Ibid, h.113.

Page 38: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

25

maksud mengajukan pembiayaan kepada bank syariah dan

menunjukkan rumah yang akan dijadikan objek pembiayaan tersebut.

2. Landasan Hukum Murabahah

Dasar hukum murabahah mengikuti apa yang menjadi dasar

hukum dari transaksi jual-beli. Hal ini dikarenakan murabahah

merupakan akad yang digunakan dalam transaksi jual-beli. Landasan

hukum akad murabahah terdapat dalam Alqur’an, Hadits, fatwa

Dewan Syariah Nasional, dan peraturan Bank Indonesia.

a. Alqur’an

Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 2924

:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kalian saling

memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di

antaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya

Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa : 29)

24 Alqur’an

Page 39: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

26

b. Hadits25

Artinya: “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah:

jual beli tidak secara tunai, muqharadhah (mudharabah), dan

mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah

tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibn Majah dari Shuhaib)

3. Ketentuan Umum Murabahah

Ketentuan tentang murabahah sebagaimana telah dijelaskan dalam

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000,

yaitu26

:

a. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:

1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang

bebas riba.

2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah

Islam.

3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian

barang yang telah disepakati kualifikasinya.

25 Fatwa Dewan Syariah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah 26 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan

Ekonomi Syariah (Jakarta : Kencana, 2007) h.302-305.

Page 40: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

27

4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama

bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah

(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus

keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu

secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya

yang diperlukan.

7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati

tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan

akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian

khusus dengan nasabah.

9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli

barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus

dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

b. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu

barang atau aset kepada bank.

Page 41: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

28

2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli

terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan

pedagang.

3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah

dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan

janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji

tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus

membuat kontrak jual beli.

4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk

membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal

pemesanan.

5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut,

biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus

ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa

kerugiannya kepada nasabah.

7) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif

dari uang muka, maka

a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang

tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik

bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh

Page 42: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

29

bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka

tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi

kekurangannya.

c. Jaminan dalam Murabahah:

1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius

dengan pesanannya.

2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan

yang dapat dipegang.

d. Utang dalam Murabahah:

1) Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi

murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang

dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.

Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan

keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk

menyelesaikan utangnya kepada bank.

2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran

berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian,

nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai

kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran

angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Page 43: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

30

e. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan

menunda penyelesaian utangnya.

2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja,

atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya,

maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi

Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui

musyawarah.

f. Bangkrut dalam Murabahah:

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan

utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi

sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

4. Mekanisme Murabahah

Kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerapkan

akad murabahah dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana

Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah. hal ini tercantum dalam bagian kedua paragraf kedua pasal 9,

diantaranya:

a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual

beli barang.

Page 44: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

31

b. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada

Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;

c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian

barang yang telah disepakati kualifikasinya;

d. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk

membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah

barang secara prinsip menjadi milik Bank;

e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau

urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang

oleh nasabah;

f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan

tambahan selain barang yang dibiayai Bank;

g. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad

dan tidak berubah selama periode Akad;

h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan

secara

proporsional.

Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank

Indonesia, maka dapat digambarkan skema transaksi murabahah

adalah sebagai berikut.

Page 45: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

32

Gambar 2.1

Skema Murabahah Klasik

Sumber: Jurnal al-Ahkam Vol.2

27

Keterangan:

1) Nasabah mengajukan pembiayaan ke pihak bank dengan

menyertakan persyaratan pembiayaan. Setelah berkas persyaratan

lengkap, dilakukan negosiasi mengenai objek pembiayaan.

2) Bank membeli objek barang pembiayaan yang diinginkan nasabah

kepada supplier (developer) secara tunai dan objek tersebut secara

prinsip menjadi milik bank.

3) Setelah objek pembelian dimiliki oleh bank, bank menjual kembali

objek pembiayaan kepada nasabah yang mengajukan di awal. Jika

27 Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan

Syariah di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2; Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.

Page 46: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

33

objek tersebut sesuai dengan keinginan nasabah, maka diadakan

akad murabahah antara bank dan nasabah. Dalam akad ini,

nasabah juga bisa memberikan uang muka (urbun).

4) Nasabah akan membayarkan angsuran/cicilan berupa pokok

pinjaman ditambah margin keuntungan yang telah disepakati pada

saat akad murabahah dilaksanakan. Secara periodik, nasabah akan

mengangsur cicilannya sampai pada tanggal jatuh tempo.

B. Persepektif Hukum Positif Terkait Murabahah

1. Peraturan-Peraturan Terkait Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai pertama kali dikenal sebagai Pajak

Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-Undang Darurat

nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang nomor

35 tahun 195328

. Sejak 1 April 1985 istilah Pajak Penjualan telah

diganti dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya

didasarkan pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1983.

Proses penggantian istilah Pajak Penjual dengan Pajak

Pertambahan Nilai dilakukan pada saat Pemerintah bersama-sama

Dewan Perwakilan Rakyat melakukan program reformasi sistem

28 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014 (Jakarta: Rajawali

Pers, 2014) h. 19.

Page 47: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

34

perpajakan nasional pada tahun 198329

. Pajak Pertambahan Nilai

terpilih sebagai pengganti Pajak Penjualan karena memiliki beberapa

karakteristik positif. Menurut Prof. Dr. Ben Terra mengemukakan

bahwa legal character Pajak Pertambahan Nilai secara umum antara

lain30

:

a) General tax o consumption;

b) Indirect tax;

c) Neutral;

d) Non cumulative.

Apabila pernyataan Prof. Dr. Ben Terra mengenai legal character

Pajak Pertambahan Nilai dikaitkan dengan karakteristik Pajak

Pertambahan Nilai di Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut31

:

a) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung

Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara

pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran

pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul

beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli objek

pajak, sedangkan penanggungjawab atas pembayaran pajak ke kas

negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku

penjual objek pajak.

29 Ibid., h. 21. 30 Ibid., h.22. 31 Ibid., h. 22 – 35.

Page 48: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

35

b) Pajak objektif

Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya

kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya

taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan

hukum yang dapat dienakan pajak yang juga disebut dengan nama

objek pajak32

. Dengan kata lain, kewajiban untuk membayar Pajak

Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak, sedangkan

kondisi subjektif dari subjek pajak tidak ikut menentukannya.

c) Multi Stage Tax

Multi stage tax adalah karakteristik Pajak Pertamabahan Nilai

yang bermakna bahwa pajak dikenakan pada setiap mata rantai

jalur produksi maupun jalur distribusi.

d) PPN terutang untuk dibayar ke kas negara dihitung menggunakan

indirect subtraction method

PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan

hasilperhitungaan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP

lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang

dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak

Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan

tidak langsung (indirect subtraction method).

32 Ibid., h. 28.

Page 49: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

36

e) PajakPertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum dalam

negeri

Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak

Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri.

Sebenarnya tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai adalah

mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on

consumption expenditure) dalam bentuk belanja barang atau jasa

yang dibebankan pada anggaran belanja negara.

f) Pajak Pertambahan Nilai berifat netral

Netralisasi Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor,

yaitu33

:

1) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa

2) Dalam pemungutannya,PPN menganut prinsip tempat tujuan

(destination principle).

g) Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda

Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak

mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai

tambah saja.

Berdasarkan beberapa karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di

atas, karakteristik mengenai pencegahan pengenaan pajak berganda

33 Ibid., h. 33.

Page 50: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

37

ini sempat menjadi polemik pada tahun 2003. Polemik tersebut

dikarenakan pada Undang-Undang nomor 18 tahun 2000 belum

adanya pengaturan Pajak Pertambahan Nilai untuk pembiayaan di bank

syariah. Sehingga dikeluarkan revisi ketiga atas Undang-Undang

nomor 8 tahun 1983, yaitu Undang-Undang nomor 42 tahun 2009

tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pejualan Barang Mewah.

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang terbaru tersebut, dapat

dikatakan sebagai langkah awal pemerintah mendukung tumbuhnya

perbankan syariah di Indonesia. Dukungan ini dibuktikan dengan

adanya pasal yang mengatur tentang pembiayaan di bank syariah yang

terdapat dalam pasal 1A ayat (1) huruf h menyatakan sebagai berikut.

“Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena

Pajak adalah: (h) penyerahan Barang Kena Pajak oleh

Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan

yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya

dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak

yang membutuhkan Barang Kena Pajak.”

Dalam penjelasan mengenai pasal di atas dikatakan bahwa semisal

dalam pembiayaan murabahah penyerahan dilakukan secara langsung

oleh Pengusaha Kena Pajak atau dalam hal ini adalah pihak developer

kepada pihak nasabah, sehingga dalam hal ini penyerahan Barang

Kena Pajak dilakukan hanya satu kali. Penyerahan ini besar

pengaruhnya terhadap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada

pembiayaan murabahah.

Page 51: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

38

Lebih lanjut, Menteri Keuangan juga mengeluarkan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 tentang Pajak

Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Transaksi Murabahah

Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010. Peraturan Menteri

Keuangan tersebut berlaku mulai 28 Desember 2010. Dalam peraturan

tersebut menyatakan bahwa mulai tanggal 28 Desember 2010 Pajak

Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah sudah dihapuskan dan

tidak berlaku. Namun untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan

sebelumnya tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila

sejumlah Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah

tersebut sudah mendapat Surat Ketetapan Pajak, maka Pajak

Pertambahan Nilai tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan

menggunakan anggaran sebesar Rp 328.454.138.718,00 (tiga ratus

dua puluh delapan miliar empat ratus lima puluh empat juta

seratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah).

Peraturan Menteri Keuangan nomor 251/PMK.011/2010

semakin menegaskan bahwa pemerintah mendukung

perkebangan industri perbankan syariah di Indonesia. Setelah

pada tahun sebelumnya ditetapkan revisi atas Undang-Undang

Pajak Pertambahan Nilai yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010.

Motivasi pemerintah dalam perubahan ketiga Undang-Undang PPN

Page 52: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

39

dan penerbitan PMK tersebut yaitu untuk menyamakan daya saing

perbankan syariah karena beban PPN yang dikenakan pada jual beli

aset di sistem murabahah tidak dikenakan lagi34

. Seperti yang

diketahui pada tahun 2010 merupakan puncak perkembangan

pembiayaan pada perbankan syariah.

2. Peraturan-Peraturan Terkait Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum

konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah

yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi

kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen adalah

keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan

masalah antara berbagai pihak yang satu sama lain berkaitan dengan

barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup35

. Ruang

lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan

menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-

Undang Perlindungan Konsumen36

. Sehingga dibutuhkan peraturan

lainnya untuk memfasilitasi pemenuhan perlindungan konsumen,

34 Ungkapan Bapak Agus Suprijanto, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian

Keuangan dalam Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai

Dalam Pembiayaan Murabahah Terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah” (Jurnal Prosiding

Simposium Nasional Perpajakan 4: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura) h. 2. 35 Az. Nasution yang dikutip oleh Shidarta, “Hukum Perlindungan Konsumen

Indonesia” dalam Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 57. 36 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 58.

Page 53: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

40

diantaranya terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan dan untuk menunjang pemberlakuan peraturan tersebut,

pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 tentang

Perjanjian Baku. Sehingga dengan dikeluarkannya beberapa peraturan

terkait perlindungan konsumen ini, pelaku usaha (dalam hal ini adalah

pihak bank syariah) dapat menunjang pelaksanaan perlindungan

konsumen (nasabah) dalam konteks pengumpulan dana maupun

penyaluran dana.

Apabila dilihat secaraumum, terdapat dua peraturan yang menjadi

landasan hukum positif terkait perlindungan konsumen, yaitu Undang-

Undang nomor 8 tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

nomor 1/POJK.07/2013. Namun terdapat perbedaan mendasar diantara

keduanya, yaitu peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang tertuang

dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 ketentuan-ketentuan yang

tercantum bersifat umum dan tidak ada spesifikasi khusus didalamnya

mengenai bidang-bidang tertentu. Sedangkan dalam peraturan yang

dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ketentuan-ketentuan yang

tercantum lebih bersifat pada perusahaan-perusahaan yang bergerak

dibidang keuangan.

Page 54: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

41

Untuk melihat lebih jelas mengenai perbedaan-perbedaan diantara

kedua jenis peraturan tersebut, berikut ini akan dijelaskan secara

terperinci.

a. Istilah Konsumen

Di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen disebutkan pengertian konsumen pada

Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau

jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan”

Pengertian di atas menurut Ahmad Miru37

kurang tepat untuk

digunakan dalam mendefinisikannya. Menurutnya, adanya

kerancuan dalam penggunaan kata “pemakai” dalam pengertian

tersebut. Penggunaan kata “pemakai” dianggap menimbulkan

kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya

telah terjadi transaksi jual-beli. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa

yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya

tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut orang, akan

37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” (Jakarta:

Rajawali Pers, 2004) h. 4.

Page 55: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

42

tetapi masih terdapat subjek hukum lain yaitu “badan hukum”

yang mengonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan38

.

Sedangkan pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyebutkan

bahwa:

“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya

dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga

Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan,

pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada

perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan

peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Dalam pengertian di atas, dapat dilihat bahwa konsumen yang

dimaksud adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan jasa

keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian konsumen

ini dikhususkan untuk jasa keuangan saja dan bukan pengertian

konsumen secara umum.

b. Istilah perusahaan-perusahaan terkait peraturan

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang

perlindungan konsumen disebutkan terdapat beberapa istilah yang

dimuat dalam lembaga-lembaga terkait jasa keuangan, diantaranya

bank umum, Bank Perkreditan Rakyat, perusahaan efek, bank

kustodian, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sedangkan dalam

38 Ibid., h. 5.

Page 56: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

43

Undang-Undang perlindungan konsumen tidak dijelaskan

mengenai lembaga-lembaga yang tercakup di dalam peraturan

yang bersangkutan, namun dalam pasal 1 lebih dijelaskan

mengenai pengertian istilah dari lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat, badan penyelesaian sengketa konsumen,

badan perlindungan konsumen nasional dan klausula baku.

c. Asas atau prinsip diberlakukan perlindungan konsumen

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta

kepastian hukum.”

Berdasarkan substansi Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 tahun

1999 tersebut dapat dikatakan bahwa perumusannya mengacu

pada filosofi pembangunan nasional yang berlandaskan pada

falsafah negara39

. Sedangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 Pasal 2 disebutkan bahwa:

“Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: (a)

transparansi; (b) perlakuan yang adil; (c) keandalan; (d)

kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan

(e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa

Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.”

Terdapat beberapa perbedaan antara asas yang dicantumkan dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan prinsip dalam

39 Ibid., h.26.

Page 57: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

44

Peraturan otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen

sektor jasa keuangan.

d. Tujuan perlindungan konsumen

Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

dijelaskan mengenai tujuan perlindungan konsumen. Tujuan

tersebut merupakan sasaran akhir yang harus dicapai40

dalam

merealisasikan perlindungan konsumen. Sedangkan dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen

tidak mencakup mengenai tujuan diberlakukannya perlindungan

konsumen.

e. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi41

dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dan

sebagai (merupakan bagian dari) hak konsumen42

. Berdasarkan

pernyataan tersebut, sebagai contohnya dalam Pasal 6 huruf a

Undang-Undang Perlindungan konsumen menjelaskan mengenai

hak yang diperoleh pelaku usaha sebagai berikut:

40 Ibid., h.34. 41 Antinomi (n) kenyataan yang kontroversial; (huk) pertentangan antara dua ayat dalam

undang-undang. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Budaya,

“Kamus Besar Bahasa Indonesia” diakses pada 30 April 2015 dari http://kbbi.web.id/antinomi. 42 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I (Jjakarta: Kencana, 2013) h.51.

Page 58: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

45

“hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan”

Sedangkan dalam pasal sebelumnya juga dijelaskan mengenai

kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen sebagai berikut43

.

“Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati”

Sehingga dalam contoh diatas terlihat adanya kejelasan mengenai

hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban masing-masing

pihak yang melakukan transaksi jual beli.

Sedangkan jika dilihat berdasarkan peraturan yang dibuat oleh

otoritas jasa keuangan terkait perlindungan konsumen pada sektor

jasa keuangan, tidak dijelaskan mengenai hak dan kewajiban yang

seharusnya diperoleh konsumen. Pada peraturan ini lebih

dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban serta tindakan-tindakan

yang tidak seharusnya dilakukan oleh para pelaku usaha sektor

jasa keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam peraturan

otoritas jasa keuangan ini lebih mengatur perilaku-perilaku yang

dilakukan oleh para pelaku usaha untuk tidak merugikan pihak

konsumen.

43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 5 Huruf c.

Page 59: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

46

f. Mengatur hubungan antar pelaku usaha

Selain kewajiban dan perbuatan yang tidak diperbolehkan

dilakukan oleh para pelaku usaha yang tercantum dalam peraturan

otoritas jasa keuangan, terdapat juga perlindungan untuk para

pelaku usaha mengenai suatu akibat negatif persaingan transaksi

dengan pelaku usaha lainnya44

. Hal ini tercantum dalam pasal 23

ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut.

“Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan

pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib

menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa

Keuangan dengan Konsumen”

Kata “benturan kepentingan” memiliki makna terjadinya suatu

kecurangan yang dilakukan pelaku usaha terhadap pelaku usaha

lain terkait dengan jenis usahanya. Sehingga hal ini perlu

dicantumkan agar tidak terjadi suatu bentuk kecurangan antar para

pelaku usaha pada sektor jasa keuangan.

Selain berdsarkan bidang perlindungan konsumen, dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan mengenai aturan-

aturan yang perlu dicantumkan dalam klausula baku atau kontrak

perjanjian. Untuk membandingkan peraturan mengenai klausula baku

ini, akan dibandingkan antara aturan dalam Undang-Undang nomor 8

44 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h.52.

Page 60: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

47

tahun 1999 dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor

13/POJK.07/2014 tentang perjanian baku.

Sehubungan dengan diadakannya perjanjian, sering adanya

penggunaan istilah mengenai “kontrak baku” ataupun “klausula baku”.

Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, kedua istilah tersebut

dibenarkan. Mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas

yaitu tidak terbatas pada klausula baku yang telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelak usaha di dalam

suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya45

.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka

10 dijelaskan mengenai pengertian istilah klausula baku sebagai

berikut.

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-

syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu

dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi

oleh konsumen”

Memperhatikan rumusan pengertian klausula baku di atas, dapat

dilihat bahwa adanya penekanan makna lebih bersifat pada prosedur

pembuatannya yang dilakukan sepihak oleh pelaku usaha. Namun

tidak dapat dihindari bahwa prosedur pembuatan klausula baku

45 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II (Jakarta:

Rajawali Pers, 2004) h.18.

Page 61: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

48

mempengaruhi isi perjanjian46

. Maksud atas pernyataan tersebut bahwa

keseluruhan isi perjanjian tersebut yang dicantumkan dalam klausula

baku ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan konsumen

hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu take it or leave it

(menyetujui atau menolak) perjanjian yang diajukan.

Dalam hal ini, surat edaran otoritas jasa keuangan pun lebih

menegaskan hal yang serupa dengan menyatakan bahwa:

“Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan

secara sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi,

bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk

menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara

massal47

Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ataupun

kontrak baku sepenuhnya diatur secara sepihak oleh pelaku usaha dan

klausula-klausula baku yang tercantum didasarkan pada kepentingan

sepihak oleh pelaku usaha.

Terlepas dari kedua pengertian tentang klausula baku dan

perjanjian baku di atas, terdapat intisari pengertian mengenai kontrak

baku diantaranya48

:

46 Ibid., h. 19. 47 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 Tentang Perjanjian

Baku Tanggal 20 Agustus 2014. 48 Hasanuddin Rahman, “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract

Drafting” dalam Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana, 2013) h. 70.

Page 62: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

49

i. Kontrak merupakan media atau piranti yang dapat menunjukkan

apakah suatu perjanjian dibuat sesuai dengan syarat sahnya suatu

perjanjian;

ii. Kontrak dibuat secara tertulis untuk dapat saling memantau

diantara parapihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan

telah terjadi suatu wanprestasi; dan

iii. Kontrak sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti bagi mereka yang

berkepentingan, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan telah

memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan ganti rugi

kepada pihak lainnya.

Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

mengatur mengenai isi dan bentuk klausula baku dalam pasal 18 ayat

(1) yang menyatakan sebagai berikut.

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian apabila: (a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab

pelaku usaha; (b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak

menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; (c)

Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

dibeli oleh konsumen; (d) Menyatakan pemberian kuasa dari

konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun

tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang

berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran; (e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya

kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh

konsumen; (f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan

konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; (g) Menyatakan

Page 63: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

50

tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan

jasa yang dibelinya; (h) Menyatakan bahwa konsumen memberi

kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,

hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh

konsumen secara angsuran.”

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku

tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki

kedudukan lebih kuat dan pada akhirnya akan merugikan konsumen49

.

Aturan-aturan mengenai pembuatan klausula baku dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen lebih mengacu pada konsep isi dan

bentuk dari klausula baku yang akan dibuat oleh pihak pelaku usaha.

Untuk melengkapi aturan-aturan yang sebagaimana telah diatur

dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam pasal 18

mengenai klausula baku, maka Otoritas Jasa Keuangan pun

mengeluarkan Surat Edaran nomor 1/POJK.07/2014 yang mengatur

tentang petunjuk pelaksanaan penyesuaian klausula baku dalam

perjanjian baku. Meskipun sebelumnya telah diatur dalam pasal 21 dan

22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013. Namun

dengn diterbitkannya surat edaran tersebut, diharapkan mampu

melengkapi hal-hal tertentu dalam pencantuman klausula baku.

49 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta:

Rajawali Pers, 2004) h.124.

Page 64: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

51

Disamping itu, surat edaran yang diterbitkan Otoritas Jasa

Keuangan tersebut lebih mengacu pada praktek pelaksanaan berkenaan

dengan perjanjian baku. Hal ini dibutikan dengan dicantumkannya

bagian ketiga angka 6 huruf a yang menyatakan sebagai berikut.

“PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen

dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam

Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan

Konsumen”

Selain itu, juga terdapat ketentuan mengenai bentuk elektronik

perjanjian baku (e-contract) dalam peraturan otoritas jasa keuangan

tersebut. Hal-hal yang seperti ini yang terkadang kurang diperhatikan

dalam pembuatan kontrak baku, baik dari segi isi dan bentuk kontrak

maupun praktek pelaksanaannya.

Setelah diterapkannya praturan-peraturan tersebut, baik dalam

bentuk Undang-Undang maupun peraturan lainnya, diharapkan

penyalahgunaan keadaan terhadap perlindungan konsumen dapat

semakin baik karena adanya aturan-aturan mengenai pencantuman

klausula-klausula baku dalam perjanjian antara pelaku usaha dan

konsumen.

Page 65: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

52

BAB III

PRAKTEK MURABAHAH

DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH

A. Konsep Praktek Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah

Aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di Indonesia

didasarkan pada keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia (DSN-MUI) Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 dan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran

Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah. Atas dasar peraturan tersebut, perbankan syariah melaksanakan

pembiayaan murabahah. Namun demikian pada praktiknya tidak ada

keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah. Oleh karena itu,

terdapat beberapa tipe penerapan praktik murabahah dalam perbankan syariah,

diantaranya50

:

1. Konsistensi Fiqih Muamalah

Dalam tipe penerapan murabahah sesuai kaidah fiqih muamalah,

bank dan nasabah melakukan perjanjian terlebih dahulu dan

50 Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah

Di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.

Page 66: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

53

menentukan spesifikasi barang yang akan dibeli oleh nasabah dari

pihak bank. Kemudian bank melakukan pembelian barang yang

diinginkan oleh nasabah sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada

perjanjian dari pihak supplier. Barang tersebut dibeli atas nama bank

dan kemudian dijual kembali ke nasabah dengan harga perolehan

ditambah margin keuntungan yang telah disepakati bersama. Untuk

lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada

gambar berikut ini.

Gambar 3.1.

Alur Murabahah

Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah

Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2

Pembelian kepada pihak supplier dan pembayaran angsuran oleh

nasabah dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh. Namun pada

umumnya pembayaran angsuran oleh nasabah dilakukan secara

tangguh, baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.

Page 67: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

54

2. Penyerahan Dari Pihak Supplier KepadaNasabah

Tipe penerapan murabahah ini hampir sesuai dengan tipe pertama

yang sesuai dengan kaidah fiqih muamalah. Namun berbeda pada saat

penyerahan ataupun perpindahan kepemilikan dilakukan langsung oleh

pihak supplier kepada nasabah selaku pembeli terakhir yang menerima

barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan

pihak bank. Mengenai masalah pembayaran oleh nasabah sama halnya

dengan tipe penerapan murabahah yang sesuai kaidah fiqih muamalah,

yaitu dapat secara tunai maupun tangguh. Untuk lebih jelasnya

penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut

ini.

Gambar 3.2.

Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah

Sumber: Jurnal Al-Ahkaam Vol.2

Page 68: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

55

Transaksi seperti ini lebih dekat dengan murabahah yang asli,

namun rawan dari aspek legal bahwa tidak ada tanda bukti bahwa

nasabah menerima uang dari pihak bank syariah sebagai bukti

pinjaman ataupun hutang. Sehingga dalam beberapa kasus ditemukan

adanya klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank syariah,

namun mereka berhutang kepada pihak supplier yang menyerahkan

barang. Oleh karena itu, untuk menghindari kejadian seperti ini, maka

setelah pihak bank syariah dan nasabah melakukan akad murabahah

kemudian pihak bank syariah akan mentransfer pembayaran barang ke

rekening nasabah dan didebet kembali dengan persetujuan nasabah

untuk ditransfer ke rekenig supplier.

Jika dilihat dari perspektif kesyariahannya, tipe murabahah seperti

ini memiliki peluang untuk melanggar ketentuan syariah. halini

dikarenakan pihak bank syariah selaku pembeli pertama dari pihak

supplier tidak pernah menerima barang atas nama pihak bank syariah,

melainkan langsung atas nama nasabah selaku pembeli terakhir yang

menerima barang tersebut. Secara syariah, akad murabahah dapat

dilakukan setelah barang jual beli menjadi milik bank syariah secara

prinsip.

3. Prinsip al-Murabahah bil Wakalah

Tipe penerapan murabahah ini hampir menyerupai penerapan

kredit pada bank konvensional, dimana pihak bank syariah dan

Page 69: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

56

nasabah melakukan perjanjian murabahah, kemudian pada saat yang

bersamaan pihak bank mewakilkan (wakalah) kepada nasabah untuk

membeli barang yang diinginkannya. Dana pembiayaan dikreditkan ke

rekening nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima sejumlah

dana tersebut. Sehingga permasalahan klaim yang akan terjadi pada

tipe murabahah yang kedua dapat dihindari pada tipe murabahah

seperti ini, karena terdapat tanda bukti penerimaan uang pinjaman

yang ditandatangani nasabah. Untuk lebih jelasnya penerapan

murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 3.3.

Alur al-Wakalah wal Murabahah

Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2

Meskipun dapat menghindari klaim mengenai tanda bukti dana yang

dipinjamkan kepada nasabah, namun tetap saja tipe penerapan

Page 70: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

57

pembiayaan murabahah seperti ini masih dianggap menyalahi aturan

kesyariahannya. Hal ini dikarenakan bank memberikan kuasa atau

mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Sedangkan pada

asalnya, akad murabahah dilakukan sebelum barang yang dijadikan

objek perjanjian tersebut menjadi milik bank syariah meskipun hanya

secara prinsip.

B. Prosedur Murabahah Dalam Produk pembiayaan Hunian Syariah

Prosedur dan persyaratan penyaluran dana berdasarkan Akad

Pembiayaan Murabahah di PT. Bank Syariah Mandiri secara garis besar

ditentukan dalam beberapa tahapan prosedur, diantaranya51

:

Tahap Pertama, nasabah melakukan permohonan pembiayaan ke

pihak bank syariah. setelah mengetahui maksud dan tujuan permohonan

pembiayaan nasabah, pihak bank syariah akan memberitahu persyaratan yang

harus dipenuhi oleh nasabah dalam mengajukan pembiayaan murabahah.

Adapun dokumen yang dipersyaratkan yang harus dipenuhi oleh calon

nasabah, meliputi:

1. Dokumen Pribadi:

a. Formulir aplikasi permohonan pembiayaan;

b. Copy KTP/identitas pemohon dan suami/istri;

51

May Nurmawati, Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Gatot Subroto, (Universitas Gunadarma, 2013) h. 5-8.

Page 71: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

58

c. Copy surat nikah/cerai (apabila ada);

d. Copy kartu keluarga;

e. Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan SPT;

f. Copy slip gaji 3 bulan terakhir; dan

g. SK Pengangkatan jabatan terakhir.

2. Jika nasabah yang mengajukan adalah perusahaan, maka dokumen

tambahan yang perlu dilengkapi diantaranya:

a. Copy laporan keuangan perusahaan selama 6 bulan terakhir;

b. Copy rekening bank perusahaan selama 6 bulan terakhir; dan

c. Copy susunan pengurus perusahaan beserta kartu identitas masing-

masing pengurus perusahaan.

Setelah semua persyaratan diatas dipenuhi oleh nasabah, maka tahap

selanjutnya semua persyaratan diserahkan ke bagian account officer di bagian

back office bank syariah.

Tahap Kedua, dokumen-dokumen persyaratan tersebut diperiksa

kelengkapannya oleh bagian account officer. Selain itu, bagian account

officer juga melakukan survei lapangan dan menganalisa nasabah yang

mengajukan pembiayaan. Dalam menganalisis nasabah biasanya pihak bank

syariah mengacu pada prinsip 5C, diantaranya52

:

1. Character

52 Agung Herutomo, Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir, (Jakarta : PT Elex

Media Komputindo, 2010) h.121.

Page 72: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

59

Character adalah keadaan watak/sifat dari calon nasabah pembiayaan,

baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha.

Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana

itikad/kemauan calon nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai

dengan janji yang ditetapkan53

.

Pemberian kredit atas dasar kepercayaan, sedangkan yang mendasari

suatu kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon

debitur memiliki moral, watak dan sifat-sifat pribadi yang positif dan

koperatif. Disamping itu mempunyai tanggung jawab, baik dalam

kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupan sebagai anggota

masyarakat, maupun dalam menjalankan usahanya. Karakter merupakan

faktor yang dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut cukup

mampu untuk menyelesaikan hutangnya, kalau tidak mempunyai itikad

yang baik tentu akan membawa kesulitan bagi bank dikemudian hari.

2. Capacity

Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah pembiayaan

dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan.

Pengukuran capacity dari calon debitur dapat dilakukan melalui berbagai

pendekatan antara lain pengalaman mengelola usahanya (business

record), sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami

53 Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam

Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada

http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/

Page 73: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

60

masa sulit atau tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Jadi secara singkat

capacity merupakan ukuran dari ability to pay atau kemampuan dalam

membayar. Selain itu, kegunaan dari penilaian ini adalah untuk

mengetahui atau mengukur sampai sejauh mana calon nasabah

pembiayaan mampu mengembalikan atau melunasi utang-utangnya

(ability to pay) secara tepat waktu, dari hasil usaha yang diperolehnya54

.

3. Capital

Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang

dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur

permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on

equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah

layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon

pembiayaan yang layak diberikan.

4. Condition of Economic

Condition of economic adalah situasi kondisi politik, sosial, ekonomi

dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian yang

kemungkinan pada suatu saat mempengaruhi kelancaran usaha calon

nasabah pembiayaan55

. Permasalahan mengenai Condition of economy

erat kaitannya dengan faktor politik, peraturan perundang-undangan

54 Sugyawati, “Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan

Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan”, (Skripsi S1 Fakultas Akuntansi Universitas Sumatera

Utara, 2010) h.43. 55 Ibid., h.44.

Page 74: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

61

negara dan perbankan pada saat itu serta keadaan lain yang

mempengaruhi pemasaran seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir

dan kejadian alam lainnya. Hal ini untuk meminimalisir risiko yang akan

terjadi dikemudian hari.

5. Collateral

Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata

calon debitur benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya .Collateral

diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian

dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta

yang mungkin bisa dijadikan jaminan. Pada hakikatnya bentuk collateral

tidak hanya berbentuk kebendaan bisa juga collateral tidak berwujud,

seperti jaminan pribadi (bortogch), letter of guarantee, rekomendasi.

Penilaian terhadap collateral ini dapat ditinjau dari 2 (dua) segi yaitu56

:

a. Segi ekonomis yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan

digunakan.

b. Segi yuridis apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis

untuk dipakai sebagai agunan.

Setelah menganalisis dan survey langsung mengenai calon nasabah,

maka selanjutnya akan dikeluarkan nota analisa pembiayaan. Nota ini

bertujuan menguraikan hasil yang diperoleh pihak bank mengenai calon

56 Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam

Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada

http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/.

Page 75: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

62

nasabah yang akan dibiayai. Nota ini juga akan menentukan apakah

pembiayaan yang diajukan disetujui untuk diproses pada tahap selanjutnya

ataukah ditolak dan seluruh dokumen persyaratan dikembalikan kepada calon

nasabah yang bersangkutan. Apabila hasil dari nota analisa pembiayaan

menunjukkan bahwa pembiayaan dapat dilanjutkan dan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dalam bank tersebut, maka tahap selanjutnya

diserahkan kepada bagian komite pembiayaan untuk diproses.

Tahap Ketiga, bagian komite pembiayaan melakukaan full consencuss,

yaitu mempertimbangkan hasil yang diperoleh dari nota analisa pembiayaan

yang didapatkan dari bagian account officer. Hasil dari consencuss ini harus

disetujui bersama-sama oleh semua pihak komite pembiayaan. Apabila hasil

yang didapat sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh pihak komite

pembiayaan, maka pihak komite pembiayaan akan memerintahkan pihak

account officer untuk membuat SP3 (Surat Penegasan Persetujuan

Pembiayaan).

Tahap Keempat, pada tahapan ini kembali pada tugas dari account

officer, dimana diperintahkan oleh pihak komite pembiayaan untuk membuat

SP3. Setelah SP3 selesai dikerjakan oleh bagian account officer, selanjutnya

surat tersebut ditandatangani oleh kepala cabang dan marketing manager.

Tahap selanjutnya adalah nasabah yang mengajukan pembiayaan dipersilakan

membuka rekening pembiayaan.

Page 76: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

63

Tahap Kelima, pihak bank syariah mengkonfirmasi mengenai

persetujuan pembiayaan kepada pihak nasabah yang mengajukan pembiayaan

tersebut. Pihak bank memberitahu mengenai besarnya jumlah dana yang

disetujui untuk disalurkan dalam pembiayaan yang diajukan oleh nasabah.

Jika nasabah menyetujui besarnya dana tersebut, maka selanjutnya pihak

account officer bank syariah akan menginput customer facility dan

mempersiapkan kontrak perjanjian akad pembiayaan murabahah. Kemudian

pihak bank syariah dan nasabah debitur menandatangani kontrak perjanjian

akad murabahah. Selanjutnya bagian account officer melaporkan ke bagian

central operation. Bagian central operation akan memeriksa apakah semua

prosedur sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika sudah sesuai maka

bagian central operation akan mengeluarkan compliance sertificate dan

selanjutnya dana pembiayaan diberikan kepada nasabah.

Page 77: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

64

BAB IV

HASIL ANALISIS

A. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Peraturan-Peraturan Terkait

Pajak Pertambahan Nilai

1. Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai Pada Perbankan

Syariah

Pada awal berkembangnya bank syariah yang diprakarsai oleh

Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, Direktorat Jendral Pajak

mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa pembiayaan murabahah

merupakan salah satu pembiayaan perbankan syariah yang dibebaskan

dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Departemen

Keuangan menerbitkan surat bernomor S-103/PJ.3/1992 yang salah

satu isi surat tersebut menyatakan pengecualian Pajak Pertambahan

Nilai (PPN) atas murabahah. Dalam surat tertanggal 12 Mei 1992 itu,

salah satu butirnya menyebutkan penyaluran Barang Kena Pajak

(BKP) dari pemasok pada Bank Muamalat Indonesia dalam rangka

penyaluran dana berbentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan

investasi, sehingga tidak dianggap sebagai penyerahan kena pajak

karena murabahah tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Page 78: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

65

Ketentuan dalam surat Direktorat Jendral Pajak ini menjadi

polemik ketika adanya surat Bank Danamon yang meminta penjelasan

kepada Direktorat Jenderal Pajak tentang perlakuan perpajakan

pembiayaan murabahah. Atas pertanyaan tersebut, Direktorat Jendral

Pajak mengeluarkan Surat Keputusan nomor 243/PJ.53/2003 tanggal

10 Maret 2003 kepada Bank Danamon yang ditembuskan ke Bank

Indonesia dan S-1071/PJ.53/2003 tanggal 4 September 2003 yang

menyatakan bahwa kegiatan jual-beli murabahah oleh perbankan

syariah tidak termasuk jenis jasa di bidang perbankan yang

dikecualikan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini disebabkan

murabahah yang dilakukan berdasarkan prinsip jual-beli, sehingga atas

penyerahan barang tersebut dari bank syariah kepada nasabah

merupakan penyerahan barang kena pajak yang terhutang atas Pajak

Pertambahan Nilai (PPN).

Sebagai tanggapan terhadap surat Direktorat Jenderal Pajak

kepada Bank Danamon, Bank Indonesia melakukan rapat formal

dengan Direktorat Jenderal pajak dengan pokok masukan Bank

Indonesia meminta agar transaksi murabahah di bank syariah

dikecualikan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Bank

Indonesia menegaskan pandangannya bahwa pembiayaan murabahah

yang dilakukan bank syariah adalah jasa perbankan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Perbankan, sehingga sesuai norma hukum

Page 79: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

66

yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dikecualikan dari

terhutang pajak. Ketentuan tentang tidak termasuknya jasa penyedia

pembiayaan bidang perbankan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai

adalah Peraturan Pemerintah No. 144/2000 tentang Kelompok Non-

BKP dan Non-JKP.

Atas surat Bank Indonesia tersebut, Direktorat Jenderal Pajak

telah menyampaikan balasan dengan surat dan ditegaskan dalam

berbagai rapat bahwa Direktorat Jenderal Pajak menolak argumentasi

Bank Indonesia dan menyatakan tidak mengabulkan usulan Bank

Indonesia karena dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan

perpajakan yang saat ini berlaku.

Walaupun dalam posisi sebagai otoritas pengawasan bank, Bank

Indonesia telah menyampaikan surat kepada seluruh bank bahwa

secara normatif bank memiliki kewajiban untuk memenuhi peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha bank,

Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) telah menetapkan

kesepakatan asosiasi bahwa permasalahan perpajakan bank syariah ini

merupakan area permasalahan yang dianggap memiliki ambiguitas

(ketidaksepahaman) dalam penafsiran hukumnya. Undang-Undang

Perbankan secara tegas mengatur bahwa bank syariah adalah lembaga

perbankan, sehingga jasa pembiayaan murabahah tidak dapat

Page 80: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

67

dipersamakan sebagai kegiatan jual-beli di pasar barang. Disamping

itu, esensi isi surat Direktorat Jenderal Pajak yang hakikatnya adalah

penyetaraan perlakuan perpajakan bank syariah dengan bank

konvensional menjadi jurisprudensi hukum yang dapat dijadikan

acuan. Sehingga seluruh anggota ASBISINDO saat ini bersepakat

untuk menolak setiap upaya hukum penagihan pajak murabahah.

Polemik tentang PPN pada pembiayaan murabahah ini bertambah

panas ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 2003

Bank Syariah Mandiri (BSM) dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

Kurang Bayar (SKPKB) PPN No. 00032/207/03/073/04 tanggal 13

Desember 2004 sebesar Rp25,5 miliar atas PPN murabahah63

.

Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya menerbitkan keputusan

penolakan atas keberatan BSM pada 1 Desember 2005 tentang

Keberatan Surat Ketetapan Pajak PPN. Sebagai reaksi atas kebjakan

Direktorat Jenderal Pajak tersebut, Asosiasi Perbankan Syariah

Indonesia dan juga Bank Indonesia pada tahun 2005 pernah

mengajukan surat permohonan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak

mengenakan PPN atas pembiayaan Murabahah dan agar Direktorat

Jenderal Pajak menyampaikan Surat Edaran kepada Kantor Pelayanan

Pajak untuk tidak mengenakan PPN atas semua transaksi murabahah.

63 Ah. Azharuddin Lathif, Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dalam Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah (Jurnal Masyarakat Ekonomi Syariah)

Page 81: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

68

Surat ini kemudian di balas dengan surat Direktur Jenderal Pajak No.

S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Pebruari 2006 yang isinya menegaskan

bahwa permohonan pembebasan PPN atas transaksi murabahah tidak

dapat dipenuhi64

. Berdasarkan surat balasan tersebut, bank syariah di

Indonesia menerapkan prinsip double-tax (pajak berganda) atas

penyaluran pembiayaan murabahah. Sehingga bank syariah menerima

pajak masukan65

dan membayar pajak keluaran66

atas transaksi

murabahah dalam produk penyaluran pembiayaannya, dan selisih atas

pajak masukan dan pajak keluaran inilah yang wajib dibayarkan oleh

bank syariah kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Namun, pihak Direktorat Jenderal Pajak memahami permasalahan

yang menjadi concern asosiasi industri bank syariah dan Bank

Indonesia serta menyetujui untuk memasukan kejelasan aturan

perpajakan tentang kegiatan usaha bank syariah sebagai salah satu

kegiatan usaha perbankan yang dikecualikan dari pemungutan Pajak

Pertambahan Nilai pada paket pembaharuan Undang-Undang

64 Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia

(ASBISINDO) No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk

Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah 65 Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar oleh

pembeli atau penerima Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP). Direktorat

Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak Pertambahan Nilai

(Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5. 66 Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dipungut oleh

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa

Kena Pajak (JKP). Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan

Pajak Pertambahan Nilai (Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5.

Page 82: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

69

Perpajakan dan/atau Peraturan Pelaksanaannya yang sedang

disempurnakan.

2. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah diberlakukan

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Berdasarkan alur pembiayaan yang diperoleh dari hasil

wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa skema

penyaluran pembiayaan di perbankan syariah menyerupai penyaluran

kredit di perbankan konvensional pada umumnya. Namun yang

membedakan kedua jenis penyaluran tersebut adalah adanya akad

wakalah yang diberikan bank kepada nasabah. Dalam hal ini, pihak

nasabah membeli barang atas nama bank syariah yang bersangkutan.

Sehingga setelah nasabah membeli barang tersebut, secara prinsip

barang (rumah) tersebut sudah dimiliki oleh pihak bank syariah dan

kemudian rumah tersebut akan dijual kepada pihak nasabah yang

bersangkutan dengan pembayaran dengan tangguh maupun dengan

cara mencicil.

Aturan yang menyebutkan membolehkan adanya akad wakalah

sebelum akad murabahah terjadi tercantum pada Peraturan Bank

Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dalam Akad bagian kedua paragraf

kedua pasal 9 huruf d yang menyebutkan:

Page 83: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

70

“Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk

membeli barang, maka Murabahah harus dilakukan setelah

barang secara prinsip menjadi milik Bank;”

Dari penjabaran aturan tersebut, secara umum pihak bank syariah tidak

sepenuhnya melanggar aturan akad murabahah yang sesuai dengan

kaidah fiqih dan dapat digambarkan bahwa sistem penyaluran

pembiayaan murabahah dalam produk pembiayaan hunian syariah di

bank syariah sbagai berikut67

:

Gambar 4.1.

Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah

Di Bank Syariah

Sumber: Hasil wawancara yang telah diolah

67 Hasil wawancara dengan narasumber Bapak Yayat Taryadi selaku Mortgage

Financing Dept Head di Bank Muamalat Indonesia pada 6 Maret 2015

Page 84: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

71

Berdasarkan skema diatas, pihak bank syariah mewakilkan kepada

nasabah untuk membeli rumah yang menjadi objek perjanjian. Setelah

rumah tersebut dimiliki oleh pihak nasabah (yang mewakili pihak bank

syariah), terjadi penyerahan rumah dari pihak developer/supplier

kepada pihak nasabah yang bersangkutan. Rumah yang diserahkan dari

pihak developer kepada nasabah dapat dikategorikan sebagai Barang

Kena Pajak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya transaksi jual beli yang

disertai dengan penyerahan barang yang menjadi objek jual beli

tersebut, sehingga objek tersebut dapat dikenakan Pajak Pertambahan

Nilai. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan akad wakalah

dalam skema pembiayaan murabahah di bank syariah adalah salah

satu upaya pihak bank syariah agar tidak dikenakan pajak berganda

(double tax) atas barang dan/atau jasa yang menjadi obyek pembiayaan

murabahah.

Apabila merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

dalam konsistensi fikih muamalah, dimana pihak bank membeli

terlebih dahulu objek pembiayaan dan barang tersebut telah dimiliki

oleh bank. Dan bank akan menjual kembali barang tersebut kepada

nasabah, hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa akan terjadi

pengenaan pajak berganda (double tax). Pengenaan pajak berganda

lebih disebabkan faktor adanya penyerahan barang lebih dari satu kali,

Page 85: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

72

yaitu pada saat bank membeli barang dari pihak developer dan saat

pihak bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah yang

bersangkutan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 42

Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bahwa penyerahan

barang kena pajak (BKP) maupun jasa kena pajak (JKP) di dalam

daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Sehingga dalam

transaksi penyerahan rumah antara pihak developer kepada pihak bank

syariah maupun antara pihak bank syariah kepada pihak nasabah,

keduanya dapat dikenakan pajak dan berlaku sistem pajak ganda

(double tax).

Pada hakikatnya penerapan atas sistem pajak ganda (double

tax) memiliki dampak negatif pada perkembangan perbankan syariah

di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh harga jual yang ditawarkan oleh

pihak bank syariah selaku penjual kedua atas barang yang dijadikan

objek jual beli tersebut akan lebih tinggi dari harga jual yang

ditawarkan oleh supplier/developer selaku penjual pertama. Harga jual

yang relatif lebih tinggi tersebut disebabkan adanya pembayaran Pajak

Pertambahan Nilai yang dibayarkan oleh pihak bank syariah pada

proses transaksi jual beli pertama. Penawaran harga jual yang lebih

tinggi tersebut akan berpengaruh pada tingkat margin dan besarnya

angsuran yang akan dibayarkan oleh nasabah setiap bulannya.Tingkat

Page 86: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

73

angsuran yang relatif lebih tinggi akan membebankan pihak nasabah,

sehingga pihak nasabah akan berpikir ulang untuk melakukan

pembiayaan di perbankan syariah. Hal ini akan berdampak pada

reputasi perbankan syariah di Indonesia.

Oleh karena dinilai dapat membahayakan industri perbankan

syariah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang terbaru tentang pajak

pertambahan nilai yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dalam

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tercantum poin yang mengatur

mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai didasarkan pada

penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang dilakukan

berdasarkan prinsip syariah. Pada poin tersebut ditegaskan bahwa

penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang berdasarkan

prinsip syariah dianggap dilakukan langsung oleh pihak

pemasok/developer kepada nasabah atau pembeli akhir. Sehingga

secara tidak langsung Undang-Undang ini menegaskan bahwa pihak

nasabah lah yang wajib membayar hutang pajak pertambahan nilai,

dikarenakan pihak nasabah yang menerima penyerahan dari pihak

pemasok/developer. Selain itu, pada poin Undang-Undang tersebut

juga seakan merujuk pada penerapan skema pembiayaan murabahah

yang menggunakan akad wakalah dalam hal pembelian obyek

Page 87: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

74

pembiayaan yang diwakilkan kepada pihak nasabah. Oleh sebab ini

juga pihak perbankan syariah tidak merubah skema pembiayaan yang

sebelumnya juga menggunakan skema yang sama.

3. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010

Upaya pemerintah dalam mendukung perkembangan industri

perbankan syariah di Indonesia selain dengan dikeluarkannya Undang-

Undang terkait pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

pada produk pembiayaan di perbankan syariah, juga dikeluarkannya

peraturan lainnya seperti peraturan pemerintah dan Peraturan Menteri

Keuangan. Dalam rangka mendukung penetapan revisi ketiga atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, yaitu Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 2010,

Kementrian Keuangan yang menaungi Direktorat Jenderal Pajak

mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah

dihapuskan. Peraturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 251/PMK.011/2010 dan mulai berlaku pada tanggal 28

Desember 2010.

Peraturan Menteri Keuangan tersebut membawa angin segar untuk

industri perbankan syariah, sehingga pihak perbankan syariah tidak

Page 88: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

75

perlu mencemaskan kembali permasalahan pembebanan Pajak

Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Selain itu, pihak

nasabah ataupun calon nasabah juga tidak perlu dibebani dengan

penagihan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di

bank syariah.

Disamping menetapkan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai

atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah, Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 juga menetapkan bahwa

pembiayaan murabahah yang dilaksanakan sebelum tanggal 1 April

2010 tetap akan ditagih oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Namun

nominal pajak tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan

syarat telah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak. Sehingga dapat

dikatakan bahwa pembiayaan murabahah yang dilakukan/dicairkan

sebelum tanggal 1 April 2010 masih merapkan sistem pajak berganda

(double tax) dan pajak berganda ini sepenuhnya akan ditanggung oleh

pemerintah apabila sudah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak dari

Direktorat Jenderal Pajak. Namun nominal pajak yang ditanggung

pemerintah dibatasi mencapai anggaran Rp 328.454.138.718,00.

Sedangkan untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan setelah

tanggal 1 April 2010 dan sebelum tanggal 28 Desember 2010

diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-Undang

perpajakan yang berlaku pada saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor

Page 89: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

76

42 Tahun 2009 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1A ayat (1)

huruf h yang menyatakan bahwa:

“Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan

berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap

langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang

membutuhkan Barang Kena Pajak”

Sehingga dalam kurun waktu 1 April 2010 sampai 28 Desember 2010

diterapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai tunggal dimana

pemasok/supplier/developer menyerahkan obyek pembiayaan

murabahah langsung kepada nasabah yang memesannya. Dan pada

kasus ini Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan satu kali, yaitu

pada saat pemasok menyerahkan barang atau obyek pembiayaan

murabahah kepada nasabah dan nasabah yang menanggung beban

pajak tersebut. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 hanya berlaku selama kurang

lebih 8 bulan untuk mengatur permasalahan Pajak Pertambahan Nilai

atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah. selanjutya

permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah

ini dinyatakan dihapuskan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang mulai dierlakukan pada

tanggal 28 Desember 2010.

Page 90: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

77

Selain mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan

Nilai, peraturan menteri keuangan tersebut juga mengatur mengenai

wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan

Nominal Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Hal

ini dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor

251/PMK.011/2010 yang menyatakan bahwa:

“Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat Ketetapan

Pajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku”

Dengan demikian wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan

Pajak sebelum tanggal 1 April 2010, pembayaran tersebut dapat

dikembalikan kepada wajib pajak yang bersangkutan. Namun

pengembalian ini harus disesuaikan dengan ketentuang-ketentuan

pajak yang berlaku.

Dalam praktek skema yang diterapkan, baik sebelum maupun

sesudah ditetapkannya peraturan menteri keuangan ini, pada

pembiayaan murabahah adalah sama seperti skema pembiayaan

murabahah pada sebelum diberlakukannya peraturan ini, yaitu dengan

Page 91: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

78

menerapkan akad wakalah untuk mewakili bank syariah dalam

pembelian barang atau obyek akad murabahah.

Apabila dalam praktek pembiayaan murabahah pada saat

diberlakukannya sistem pajak berganda (double tax system)

menggunakan skema pembiayaan dengan melakukan akad wakalah

sebelum diadakan akad murabahah, hal ini dilakukan pihak bank

syariah dengan tujuan agar tidak adanya pembebanan pajak secara

berganda yang akan mempengaruhi harga jual barang atau obyek

pembiayaan. Sedangkan dalam masa pemberlakuan Undang-Undang

Pajak Pertambahan Nilai terbaru , skema pembiayaan tersebut juga

tetap diberlakukan. Meskipun pada saat itu, sistem pajak berganda

(double tax system) sudah tidak diberlakukan lagi. Namun dalam pasal

1A ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa penyerahan barang kena

pajak pada saat penyerahan obyek pembiayaan yang berlandaskan

prinsip syariah dianggap dilakukan langsung oleh pemasok atau

Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada nasabah. Klausula peraturan

tersebut seakan mengarahkan pihak perbankan syariah untuk

mengadakan akad wakalah sebelum dilakukannya akad murabahah.

Dan pada saat diberlakukan peraaturan menteri keuangan pun pihak

bank syariah tetap mempertahankan skema pembiayaan tersebut.

Page 92: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

79

B. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1. Kontrak Pembiayaan Murabahah

Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling

berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan

tertentu, biasanya secara tertulis68

. Para pihak yang bersepakat

mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan

melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan

hubungan hukum. Pada umumnya kontrak yang dibuat untuk

keperluan pembiayaan pada perbankan syariah adalah jenis kontrak

tertulis. Kontrak tertulis dapat dibedakan menjadi 3 kelompok,

diantaranya69

:

a) Perjanjian di bawah tangan

Perjanjian di bawah tangan merupakan perjanjian yang

ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Perjanjian ini

hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak

mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.

b) Perjanjian dengan saksi notaris

68 Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan dalam Saefuddin Arif dan

Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011) h.1. 69 Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h.6.

Page 93: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

80

Perjanjian dengan saksi notaris bertujuan untuk melegalisasi tanda

tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen

semata-mata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan

para pihak. Namun pihak notaris tidak bertanggungjawab atas

keabsahan isi dari perjanjiang tersebut.

c) Perjanjian otentik

Perjanjian otentik merupakan perjanjian yang dibuat dihadapan

dan oleh pejabat yang berwenang atau notaris dan dibuat dalam

bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di

hadapan dan di muka pejabat yang berwenang. Dokumen ini

merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang

bersangkutan maupun pihak ketiga.

Dalam kontrak yang digunakan oleh pihak bank syariah untuk

memfasilitasi pembiayaan, biasanya pihak bank syariah sudah

menyiapkan draft yang berisi pokok-pokok perjanjian pembiayaan. Hal

ini dilakukan untuk menghemat waktu dan pembebanan biaya yang

berlebihan.

Saat ini penulis ingin menjabarkan mengenai isi dari kontrak

perjanjian pembiayaan yang menjadi obyek penelitian penulis. Kontrak

perjanjian yang diteliti merupakan draft atas perjanjian pembiayaan

murabahah dari 2 (dua) Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia,

Page 94: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

81

yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berikut isi

dari klausula perjanjian pembiayaan murabahah.

Pertama, dalam pasal yang menjelaskan mengenai pokok akad

dijelaskan bahwa pihak bank syariah menjual dan menyerahkan barang

yang dipesan oleh nasabah. Namun pada realisasinya pihak bank

syariah memberikan kuasa kepada pihak nasabah untuk membeli

sendiri barang atau rumah yang diinginkan. Sehingga pemberian kuasa

ini dikenal sebagai akad wakalah antara bank syariah dan nasabah.

Selain penyataan mengenai kepemilikan obyek akad tersebut, dalam

pasal ini juga dijabarkan mengenai manfaat obyek, harga pokok obyek

akad, besaran margin yang dikenakan sebagai besaran keuntungan

yang akan diperoleh pihak bank syariah atas penyaluran pembiayaan

tersebut, serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank

syariah dan akan dibebankan kepada nasabah untuk memperoleh

obyek tersebut dan jangka waktu pembiayaan beserta tanggal jatuh

tempo pembayaran angsuran pembiayaan murabahah.

Kedua, dalam klausula baku terdapat satu pasal yang

menjelaskan mengenai persyaratan pencairan pembiayaan murabahah.

Pasal ini menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak

nasabah pemohon pembiayaan. Persyaratan-persyarata tersebut harus

dilengkapi berupa penyerahan dokumen-dokumen berupa form

permohonan realisasi pembiayaan, bukti-bukti kepemilikan

Page 95: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

82

jaminan/agunan beserta akta pendukung atas jaminan tersebut dan

dokumen-dokumen pendukung lainnya. Dalam draft perjanjian yang

dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia ditambahkan adanya surat kuasa

debet. Surat tersebut ditujukan untuk memberi kuasa kepada pihak

bank untuk mengurangi secara otomatis dari saldo tabungan maupun

giro milik nasabah yang bersangkutan.

Ketiga, pasal selanjutnya membahas mengenai jangka waktu

dan tata cara pembayaran. Meskipun pada pasal sebelumnya

dijabarkan mengenai jangka waktu beserta jumlah yang harus diangsur

oleh pihak nasabah peminjam. Namun pada pasal ini diatur mengenai

mekanisme atau tata cara pembayaran yang diatur oleh pihak bank

syariah dan harus dipatuhi oleh pihak nasabah peminjam dalam

melakukan pembayaran angsuran setiap periode jatuh tempo. Dalam

klausula ini terdapat perbedaan poin-poin yang diatur oleh pihak bank

syariah dan hal ini bergantung pada kebijakan masing-masing bank

syariah.

Pada draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat oleh

Bank Muamalat Indonesia, pasal yang menjelaskan mengenai jangka

waktu dan tata cara pembayaran terdapat 7 (tujuh) poin. Dan di dalam

poin-poin tersebut tidak dituliskan berapa lama jangka waktu

pembiayaan murabahah. Selain itu, dijelaskan pula mengenai

pembayaran jatuh tempo pada hari libur dan pihak nasabah diwajibkan

Page 96: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

83

melunasi pada 1 hari kerja bank sebelum tanggal jatuh tempo yang

bertepatan bukan pada hari kerja bank.

Sedangkan pada draft kontrak pembiayaan yang dibuat oleh

Bank Syariah Mandiri, dalam klausul yang menjelaskan jangka waktu

dan tata cara pembayaran disebutkan lamanya jangka waktu yang

diberikan untuk melunasi hutang murabahah tersebut. Selain itu dalam

draft tersebut juga lebih ringkas dengan menggunakan 4 (empat) poin

saja dan mencakup mengenai mekanisme pembayaran serta besaran

denda yang ditetapkan jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran

setiap periodenya. Namun bedanya dengan Bank Muamalat Indonesia,

dalam draft Bank Syariah Mandiri ditetapkan pembayaran jatuh tempo

angsuran bertepatan bukan di hari kerja bank diberikan tambahan

waktu pembayaran sampai pada hari kerja pertama bank setelah

tanggal jatuh tempo yang bertepatan pada bukan hari kerja bank

tersebut.

Keempat, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur

mengenai pengenaan biaya, potongan dan pajak atas barang atau obyek

akad. Untuk pengenaan biaya-biaya yang terkait dengan obyek akad

maupun pelaksanaan kontrak pembiayaan ini, seperti biaya

administrasi, biaya notaris, premi asuransi dan biaya lainnya, menjadi

tanggung jawab nasabah pemohon pembiayaan dan harus dibayarkan

oleh nasabah tersebut. Begitu pula dengan pengenaan pajak yang

Page 97: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

84

berkaitang dengan obyek akad pembiayaan murabahah, nasabah

bertanggung jawab untuk melunasi pajak-pajak tersebut. Lebih lanjut,

dalam draft yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia disebutkan

pula mengenai biaya advokat apabila terjadi cidera janji (wanprestasi)

dan menggunakan jasa advokat untuk menagih pembayaran yang

belum dilunasi. Dalam poin tersebut, disebutkan bahwa biaya advokat

menjadi tanggung jawab nasabah untuk membayarnya meskipun pada

dasarnya pihak bank syariah yang menggunakan jasanya.

Kelima, jaminan merupakan bagian yang terpenting dalam

sebuah pembiayaan, oleh karena itu jaminan perlu juga diatur dalam

kontrak pembiayaan. Dalam kontrak pembiayaan harus secara jelas

disebutkan mengenai spesifikasi barang yang dijadikan jaminan

pelunasan pembiayaan. Disamping itu, bank juga perlu menilai harga

dari barang jaminan tersebut. Dasar penilaian tersebut adalah harga

pasar barang tersebut. Jadi apabila harga pasar atas barang yang

dijadikan jaminan tersebut dinilai kurang dapat menutup jumlah

pembiayaan yang diberikan, maka nasabah perlu menambahkan

sejumlah barang sebagai agunan tambahan sampai nilai dari barang-

barang tersebut dapat dinilai cukup untuk menutupi nilai pembiayaan

yang diberikan oleh pihak bank syariah.

Keenam, pengenaan denda dan ganti rugi juga diatur dalam

kontrak pembiayaan murabahah. Denda dapat dikenakan apabila

Page 98: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

85

terjadi keterlambatan pembayaran agsuran setiap periodenya. Besarnya

pengenaan denda ini bergantung pada kebijakan bank syariah masing-

masing. Hal ini disebabkan sistem perhitungan dari masing-masing

bank berbeda, sehingga tidak dapat ditetapkan secara umum mengenai

besarnya denda yang diberikan. Biasanya penetapan denda ini sudah

dinegosiasikan terlebih dahulu antara kedua pihak (bank syariah dan

nasabah) sebelum penandatanganan kontrak pembiayaan murabahah.

Selain denda, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur

mengenai ganti rugi. Ganti rugi dikenakan apabila adanya pembatalan

sepihak yang dilakukan oleh pihak nasabah pemohon pembiayaan.

Oleh karena itu, nasabah bertanggungjawab membayar ganti rugi atas

biaya-biaya yang sudah terealisasi dan dibayarkan oleh pihak bank

syariah yang berhubungan dengan pembiayaan murabahah yang

diberikan.

Ketujuh, cidera janji atau yang lebih dikenal dengan istilah

wanprestasi merupakan perbuatan yang tidak memenuhi atau lalai

melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam

perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur70

. Dalam sebuah

kontrak pembiayaan murabahah, peristiwa wanprestasi perlu diatur

untuk menghindari perbuatan yang dapat merugikan salah satu pihak

70 Salim H.S., Hukum Kontrak cetakan ke-4 dalam Saefudin Arif dan Ah. Azharuddin

Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)

h.8.

Page 99: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

86

maupun kedua pihak yang melakukan perjanjian. Dalam Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diatur mengenai yang

menjadi sebab terjadinya wanprestasi dalam pasal 1234 sebagai

berikut71

:

a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana

yang dijanjikan;

c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau

d) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak diperbolehkan

melakukannya.

Dalam kontrak pembiayaan pembahasan mengenai sebab terjadi

perbuatan wanprestasi juga masih terkait dengan sebab wanprestasi

yang diatur dalam KUH Perdata, namun dalam kontrak pembiayaan

dibuat lebih luas penjabaran mengenai perbuatan yang dianggap cidera

janji (wanprestasi). Dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang

dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia terdapat 16 poin yang dianggap

dapat menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi,

sedangkan dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat

oleh Bank Syariah mandiri hanya memuat 8 poin yang dianggap dapat

menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi. Selain

menjelaskan megenai sebab terjadinya perbuatan yang dianggap

71 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1234

Page 100: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

87

wanprestasi, dalam pasal yang terpisah juga disebutkan akibat atau

dampak jika nasabah melakukan salah satu perbuatan yang dianggap

wanprestasi dalam kontrak tersebut.

Kedelapan, adanya pernyataan ataupun pengakuan dari pihak

nasabah untuk mengikatkan diri dalam perjanjian yang ditandatangani.

Penyataan ini menjelaskan mengenai pernyataan yang membenarkan

bahwa nasabah yang menandatangani ini tunduk dan patuh atas segala

aturan yang tertuang di dalam kontrak pembiayaan tersebut.

Kesembilan, dalam pasal yang berbeda, diatur pula mengenai

pembatasan tindakan nasabah dan tindakan yang wajib dilakukan oleh

nasabah. pembatasan tindakan nasabah secara umum menyerupai

sebab-sebab terjadinya wanprestasi, namun yang membedakan dalam

pembatasan tindakan nasabah ini hanya mengatur tentang perbuatan-

perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh nasabah selama masa

perjanjian pembiayaan murabahah. Sedangkan pasal yang mengatur

tentang tindakan yang wajib dilakukan oleh nasabah lebih bersifat

pada kewajiban yang harus dilakukan oleh nasabah terkait dengan

pelaksanaan perjanjian murabahah selama jangka waktu perjanjian

tersebut.

Kesepuluh, pembahasan mengenai risiko yang menjadi

tanggung jawab nasabah sepenuhnya. Risiko yang ditanggung oleh

Page 101: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

88

nasabah ini terkait dengan obyek pembiayaan murabahah beserta

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek tersebut.

Kesebelas, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur

mengenai asuransi yang diberikan untuk barang yang dijadikan

jaminan atas sejumlah hutang murabahah. Barang tersebut dapat

diasuransikan pada perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang

bekerjasama dengan pihak bank syariah yang memberikan penyaluran

dana tersebut. Meskipun barang jaminan tersebut diberikan asuransi

oleh pihak bank, namun yang bertanggungjawab atas pembayaran

premi asuransi setiap bulannya adalah pihak nasabah peminjam.

Keduabelas, pokok kontrak pembiayaan murabahah yang

terakhir menjelaskan mengenai tata cara penyelesaian perselisihan

antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian, yaitu bank syariah dan

nasabah.

2. Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan Berdasarkan

Akta Perjanjian Pembiayaan

Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat memiliki resiko,

oleh karena itu penyalurannya harus hati-hati dan memperhatikan asas-

asa perbankan syariah, prinsip kehati-hatian serta jaminan dalam

memberikan pembiayaan bank syariah wajib memiliki keyakinan atas

kemauan dan kemampuan nasabah untuk melaksanakan kewajibannya

sesuai dengan akad yang diperjanjikan. Jaminan diartikan sebagai

Page 102: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

89

bagian dari yang dimaksud keyakinan atas kemauan dan kemampuan

nasabah dalam melakukan kewajibannya.

Klausula baku yang dibuat oleh pihak kantor cabang sebuah

bank syariah merupakan akad yang mewakili kepentingan kantor pusat

bank syariahyang bersangkutan. Untuk efisiensi waktu dan biaya,

pihak bank syariah biasanya telah mempersiapkan formulir-formulir

akad yang memuat tentang hasil kesepakatan yang dibuat untuk

dituangkan ke dalam klausula baku yang akan ditandatangani oleh

pihak bank syariah dan pihak nasabah yang bersangkutan. Dalam

formulir akad tersebut mengharuskan pihak bank melakukan negosiasi

mengenai hal-hal tertentu, khususnya mengenai penetapan margin

keuntungan. Sehingga dalam pembuatan klausula baku tersebut telah

terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan isi

dari klausul baku yang diterbitkan oleh Bank Muamalat Indonesia dan

Bank Syariah Mandiri, diketahui beberapa aspek yang menyatakan

terdapat perlndungan konsumen yang diberikan oleh pihak bank

syariah, diantaranya:

Pertama, bahasa dan istilah yang digunakan dalam klausula

baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak mudah dipahami

oleh nasabah. Hal ini didukung adanya pasal yang menjelaskan tentang

istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku tersebut. Sehingga

Page 103: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

90

nasabah dapat memahami istilah-istilah tersebut sebelum membaca

lebih jauh isi klausula baku tersebut.

Penggunaan bahasa dan istilah dalam bahasa Indonesia ini

sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa72

:

“Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf,

tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara

jelas.”

Lebih lanjut, peraturan tersebut dijelaskan dalam ayat (4) yang

menyatakan bahwa73

:

“Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan

atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda

yang belum dipahami oleh Konsumen.”

Dalam klausul perjanjian pembiayaan murabahah dicantumkan dalam

pasal 1 dengan title “DEFINISI” yang menguraikan penjelasan atas

istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku. Hal ini bertujuan

untuk memudahkan nasabah dalam memahami istilah-istilah yang

digunakan sebelum membaca lebih jauh isi dari perjanjian tersebut.

Hal ini seperti yang tercantum sebagai berikut:

72 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan, hal.5. 73 Ibid.

Page 104: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

91

PASAL 1

DEFINISI

Dalam akad ini, yang dimaksud dengan:

a. Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan jual beli

antara BANK sebagai penjual dan penyedia barang dengan

NASABAH sebagai pemesan untuk membeli, yang di dalam

akad jual beli dinyatakan dengan jelas dan rinci mengenai

barang, harga beli BANK dan harga jual BANK kepada

NASABAH sehingga termasuk di dalamnya margin

keuntungan yang diperoleh BANK, serta persetujuan

NASABAH untuk membaayar harga jual BANK tersebut

secara tangguh, baik secara sekaligus (lump-sum) dan atau

secara angsuran.

Kedua, dalam pasal 8 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Setor Jasa Keuangan menyatakan bahwa:

Ringkasan Informasi produk dan/atau layanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-

kurangnya memuat:

a. Manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan

b. Syarat dan ketentuan.

Hal mengenai pencatatan atas manfaat, risiko dan biaya produk

murabahah serta syarat dan ketentuan yang ditetapkan sudah termasuk

ke dalam materi klausula baku atas perjanjian pembiayaan murabahah

yang dianalisis. Sehingga dapat dikatakan bahwa klausula tersebut

telah memenuhi ketentuan perlindungan konsumen. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada halaman lampiran skripsi ini.

Ketiga, adanya prinsip transparansi dan keadilan dalam

pengalokasian nilai jual barang yang dijadikan jaminan atas

Page 105: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

92

pembiayaan murabahah. Hal ini tercermin dari isi klausula baku yang

menyebutkan bahwa:

“Menjual harta benda yang dijaminkan dan atau yang

diserahkan kemudian oleh NASABAH dan/atau penjamin

kepada BANK berdasarkan prinsip transparansi dengan harga

yang disepakati antara BANK dan NASABAH maupun di muka

umum (secara lelang) dan untuk itu NASABAH/Penjamin

memberi kuasa dengan ketentuan pendapatan bersih dari

penjualan pertama-tama dipergunakan untuk pembayaran

seluruh Utang Murabahah dan Keajiban NASABAH kepada

BANK dan jika ada sisa, maka sisa tersebut akan dikembalikan

kepada NASABAH dan/atau Penjamin sebagai pemilik harta

benda yang dijaminkan kepada BANK”

Dalam klausula tersebut, tercermin adanya prinsip transparansi dalam

menyatakan harga jual barang jaminan yang akan digunakan untuk

melunasi sejumlah utang murabahah yang belum dibayarkan.

Pernyataan harga jual yang diinformasikan oleh pihak bank syariah

kepada pihak nasabah atas penjualan barang jaminan tersebut, baik

melalui penjualan berdasarkan kesepakatan di awal ataupun secara

penjualan lelang.

Sedangkan pencerminan dari prinsip keadilan didasarkan pada

isi perjanjian yang menyatakan sisa uang setelah dilakukan pelunasan

terhadap kewajiban murabahah akan dikembalikan ke pihak nasabah

selaku pemilik harta yang telah dijual dan dijaminkan tersebut.

Sehingga pihak bank syariah tidak mendapatkan keuntungan apapun

atas penjualan barang jaminan tersebut, selain itu juga bank syariah

mampu bersifat adil dalam pelaksanaan pembagian harta yang

Page 106: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

93

dijaminkan tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bank syariah tidak

mengambil uang yang bukan haknya.

Prinsip transparansi dan keadilan ini sejalan dengan penerapan

prinsip dalam peraturan otoritas jasa keuangan tentang perlindungan

konsumen sektor jasa keuangan. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 2

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Pelindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Keempat, barang yang dijadikan obyek pembiayan dalam

klausula baku merupakan pesanan nasabah yang mengajukan

permohonan. Dalam hal ini, barang yang dipesan oleh nasabah berupa

sebidang rumah dengan ketentuan yang telah disepakati antara pihak

bank syariah dan pihak nasabah. Hal ini sesuai dengan pemenuhan hak

konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Huruf b Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

menyatakan bahwa:

“hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan”

Sedangkan dalam kontrak pembiayaan murabahah biasanya tercantum

sebagai berikut:

Pasal 2

POKOK AKAD

Page 107: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

94

BANK dengan ini menjual Obyek Akad yang dipesan oleh dan

menyerahkannya kepada NASABAH, dan NASABAH dengan

ini membeli, menerima dan membayar Harga Jual Obyek Akad

kepada BANK.

Selain itu, dalam prakteknya di bank syariah, pihak nasabah memiliki

kebebasan dalam menyampaikan pendapat mengenai syarat dan

ketentuan yang telah ditentukan secara sepihak oleh bank syariah

dalam pemenuhan syarat administratif. Disamping dapat

menyampaikan pendapat, nasabah juga diberikan hak untuk melakukan

negosiasi dengan pihak bank syariah terkait:

a. Jangka waktu pembayaran utang murabahah; dan

b. Jaminan/agunan

3. Bentuk Pelanggaran Terhadap Peraturan-Peraturan Terkait

Perlindungan Konsumen

Dari hasil penelitian penulis pada kontrak murabahah di bank

syariah yang dibuat oleh kedua belah pihak (antara bank dan nasabah)

dengan dilegalkan oleh notaries, maka penulis menemukan beberapa

klausula perjanjian yang sangat memberatkan pihak nasabah sebagai

konsumen. Beberapa klausula tersebut tidak hanya memberatkan pihak

nasabah saja, akan tetapi sudah sampai pada taraf yang sangat tidak

adil bahkan sudah sampai pada pengalihan resiko dan tanggung jawab

masalah.

Page 108: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

95

Dibawah ini diuraikan kontrak baku dalam perjanjian

pembiayaan murabahah pada perbankan syariah yang menurut analisis

penulis memberatkan dan merugikan pihak nasabah. Berikut hasil

analisa penulis berdasarkan berbagai aspek, diantaranya:

Pertama, adanya kewajiban untuk mengasuransikan barang

yang dijadikan jaminan dalam perjanjian murabahah. Seperti yang

disebutkan pada pasal 20 ayat (1) dalam draft kontrak pembiayaan

yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia dan pasal 13 dalam draft

kontrak pembiayaan yang dibuat oleh Bank Syariah mandiri yang

menyebutkan sebagai berikut:

“Selama Utang Murabahah belum lunas, maka Agunan yang

dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh dan atas beban

NASABAH kepada Perusahaan Asuransi syariah yang ditunjuk

dan atau perusahaan asuransi lain yang disetujui oleh BANK

terhadap risiko kerugian yang macam, nilai dan jangka

waktunya ditentukan oleh BANK”

Pernyataan tersebut dianggap dapat melanggar hal-hal yang sudah

diatur dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, lebih tepatnya dalam mencapai tujuan dari

perlindungan konsumen pada pasal 3 huruf c yang menyataan sebagai

berikut:

Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

Page 109: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

96

Hal yang dapat dianggap melanggar pasal tersebut terdapat pada tidak

berlakunya hak konsumen dalam memilih untuk menentukan

perusahaan asuransi dalam hal mengasuransikan barang yang dijadikan

jaminan/agunan. Dalam hal ini pihak bank syariah sudah menentukan

secara sepihak mengenai perusahaan asuransi yang bekerjasama untuk

mengasuransikan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam produk

pembiayaan bank syariah.

Meskipun adanya pilihan dalam menentukan perusahaan

asuransi lain yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah yang

bersangkutan, namun penentuan perusahaan asuransi lain tersebut

harus mendapat persetujuan dari pihak bank syariah. sebelum bank

syariah menyatak persetujuannya dalam hal perusahaan asuransi lain,

pihak bank syariah juga perlu menganalisis lebih jauh mengenai

perusahaan asuransi tersebut.

Selain mengenai adanya pelanggaran dalam hal memilih

perusahaan asuransi, penentuan perusahaan asuransi yang diputuskan

secara sepihak oleh bank syariah juga dapat dikatakan memberatkan

nasabah yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi apabila premi

asuransi yang harus dibayar nasabah jauh lebih tinggi jika

dibandingkan dengan premi asuransi di perusahaan asuransi lainnya

yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah. sehingga hal ini

dapat dikatakan memberatkan pihak nasabah, karena disamping

Page 110: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

97

nasabah berkewajiban mengangsur sejumlah uang untuk melunasi

pembiayaan murabahah, nasabah jugadiharuskan membayar premi

asuransi atas barang yang dijadikan agunan selama jangka waktu

pembiayaan atau selama pembiayaan murabahah belum dapat dilunasi

oleh nasabah.

Kedua, adanya ketentuan-ketentuan dalam prosedur

persetujuan pembiayaan, sehingga hal ini berpengaruh pada nilai

pembiayaan dan jaminan yang ditetapkan oleh bank secara sepihak.

Tidak jarang terjadi realisasi pembiayaan dengan nominal yang tidak

sesuai dengan nominal yang diajukan oleh nasabah. berbagai ketentuan

dalam proses persetujuan pembiayaan berupa analisis terkait barang

jaminan dan latar belakang nasabah, dapat berdampak pada nominal

realisasi pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank syariah. sehingga

dalam hal ini adanya ketidaksesuaian terhadap pasal 4 huruf b yang

menyatakan sebagai berikut:

hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan

Ketidaksesuaian nominal pengajuan pembiayaan dengan nominal

realisasi pembiayaan ini dapat dikatakan pelanggaran Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dikarenakan nasabah masih harus mencari

dana tambahan dalam mencukupi kekurangan dana yang tidak dapat

Page 111: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

98

disetujui oleh pihak bank syariah. selain itu juga, adanya

ketidaksesuaian antara nilai jaminan dengan nominal realisasi

pembiayaan yang ditetapkan pihak bank syariah.

Ketiga, terdapat klausula perjanjian yang menyebutkan

diperlukannya agunan tambahan dalam mencukupi nilai pembiayaan

yang diberikan oleh pihak bank syariah. Dalam klausula tersebut

disebutkan sebagai berikut:

“Dalam hal belum dicukupinya jaminan untuk melunasi Utang

Murabahah dan Kewajiban NASABAH kepada BANK,

NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk dari

waktu ke waktu selama Utang Murabahah dan Kewajibannya

belum lunas akan menyerahkan kepada BANK, jaminan-

jaminan tambahan yang dinilai cukup oleh BANK”

Dalam klausula tersebut, adanya permintaan pihak bank syariah dalam

pemenuhan nilai jaminan yang disesuaikan dengan nilai pembiayaan.

Sedangkan seperti yang diketahui sebelumnya bahwa pembiayaan

murabahah tidak terikat pada nilai jual pasar berjalan, sehingga dapat

dikatakan apabila bank syariah memberikan pembiayaan pada tahun X

sebesar Rp 300.000.000,00 sedangkan harga rumah tersebut jika

dilihat pada harga pasar menjadi dua kali lipat dari nilai pembiayaan,

maka bank syariah tidak dapat mengajukan adanya kekurangan nilai

dari barang agunan yang sebelumnya sudah dinilai mencukupi untuk

menutup nominal pemberian pembiayaan. Seperti halnya dengan

jumlah angsuran yang dibayarkan oleh nasabah kepada bank syariah,

Page 112: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

99

tidak dapat diubah selama masa atau jangka waktu pembiayaan. Hal

ini lebih disebabkan pada karakteristik atas pembiayaan murabahah

yang bersifat tetap dengan sesuatu yang sudah tetapkan pada awal

penandatanganan kontrak pembiayaan tersebut.

Apabila terjadi penambahan jaminan dan berpengaruh pula

dengan nominal jaminan yang diberikan kepada pihak bank syariah,

maka dapat dikatakan adanya pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1)

huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan

sebagai berikut:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian apabila: (g) menyatakan tunduknya konsumen

kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,

lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya;”

Bentuk pelanggaran yang terjadi atas klausula perjanjian murabahah

adalah terdapat peraturan tambahan yang dibuat atau disepakati secara

sepihak oleh bank syariah pada jangka waktu pembiayaan. Aturan

tambahan tersebut dibuat dalam bentuk permintaan agunan tambahan

apabila nilai agunan sebelumnya tidak mencukupi nominal

pembiayaan yang telah diberikan di awal akad.

Page 113: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

100

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa penulis terhadap hasil wawancara dan isi kontrak

pembiayaan murabahah terkait dengan jenis pembiayaan hunian syariah pada

Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, maka dengan ini dapat

penulis menyimpulkan bahwa:

1. Awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan

murabahah ini dipicu dengan adanya surat balasan pihak Direktorat

Jenderal Pajak mengenai pertanyaan yang diajukan oleh salah satu

bank konvensional terkait perlakuan pajak atas pembiayaan

murabahah. Padahal sebelumnya pada tahun 1992 terjadi kesepakatan

antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan Bank Muamalat

Indonesia bahwa pembiayaan murabahah terbebas dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai. Seiring berjalan waktu, pertumbuhan

perbankan syariah di Indonesia semakin pesat namun masih belum

memadainya peraturan-peraturan yang mengaturnya, seperti dalam hal

permasalahan perpajakan ini. Peraturan perundang-undangan terakhir

mengenai pajak pertambahan nilai belum adanya konteks aturan yang

mengatur jasa di bidang perbankan syariah terutama pembiayaan

murabahah. Sehingga timbulnya argumentasi yang berbeda antara

Page 114: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

101

pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak perbankan syariah,

termasuk Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO).

2. Untuk meredam konflik yang terjadi antara Direktorat Jenderal Pajak

dengan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) terkait

pengenaan pajak berganda (double tax), tahun 2009 dikeluarkan

Undang-Undang terbaru mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang di

dalamnya terdapat aturan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan

Nilai atas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Aturan tersebut

diatur dalam Pasal 1A Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2009. Selain itu, pada bulan Desember 2010 juga dikeluarkan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang

mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atas

pembiayaan murabahah yang diberlakukan mulai tanggal 28

Desember 2010. Dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan ini

menunjukan bahwa adanya dukungan pemerintah dalam

mengembangkan perbankan syariah di Indonesia.

3. Apabila dilihat dari perspektif hukum perlindungan konsumen, hukum

di Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013. Hukum perlindungan konsumen erat kaitannya

dengan penerapan klausula-klausula dalam kontrak baku

permbiayaaan, oleh karena itu dikeluarkan pula Surat Edaran Otoritas

Page 115: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

102

Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 yang mengatur tentang

perjanjian baku. Dari hasil analisis penulis terdapat beberapa

pelanggaran yang terjadi dan tidak sesuai dengan ketiga jenis

peraturan-peraturan tersebut. Namun disamping terdapat pelanggaran-

pelanggaran terhadap hukum perlindungan konsumen, kontrak baku

yang digunakan oleh perbankan syariah masih terdapat beberapa

bentuk perlindungan konsumen yang sesuai dengan peraturan-

peraturan yang berlaku.

B. Saran

1. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan di bidang perbankan syariah

dengan melibatkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan

Departemen Keuangan Republik Indonesia, dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pajak. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir adanya

perbedaan penafsiran atas perundang-undangan yang berlaku. Selain itu

juga bertujuan sebagai upaya mendorong pertumbuhan perbankan syariah

di Indonesia di masa mendatang.

2. Sebaiknya pihak perbankan syariah meninjau kembali klausul-klausul

yang terdapat didalam kontrak baku yang dibuat, khususnya mengenai

hal-hal yang memberatkan nasabah.

3. Sebaiknya pemerintah membuat regulasi mengenai pelaksanaan akad ini,

khususnya yang berhubungan dengan perlindungan terhadap penerapan

Page 116: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

103

klausula baku ini di bank syariah, sehingga akan membedakan antara

praktek bank konvensional dengan bank syariah.

Page 117: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

104

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an dan As-Sunnah

Buku-buku

Al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-shawi. “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam Skripsi

Nur Alfi Syahr. “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad

Murabahah dan Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia”.

Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2013.

Arif, Saefuddin dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, Ciputat: Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011.

Arifin, Zainul “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah” Cet.7. Jakarta: Azkia Publisher,

2009.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. cet.II. Jakarta: PT Renika Cipta, 1993.

Badrulzaman, Mariam Darus. “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut

Perjanjian Baku (Standard)” dalam Sukarmi. Cyber Law: Kontrak Elektronik

Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha. Jakarta: Pustaka Sutra, 2011.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif . cet.I.

Penerjemah Arief Furchan. Surabaya: Usana Offset Printing, 1992.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2007.

Eddy, Richard. Aspek Legal Properti – Teori, Contoh dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi

Offset, 2010.

Herutomo, Agung. Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2010.

Page 118: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

105

Hermansyah, Ed. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI. Jakarta: Kencana, 2001.

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi

Syariah. Jakarta: Kencana, 2007.

Karim, Adiwarman A. Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan). Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2013.

Laksmana, Yusak. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan PembiayaanDi Bank Syariah.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II. Jakarta: Rajawali Pers.

2004.

Saliman, Abdul Rasyid. “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan” dalam Saefuddin Arif dan Ah.

Azharuddin Lathif. Kontrak Bisnis Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Singarimbun, Masri dan Sofwan Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LPES, 1989.

Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Sukwiaty, dkk. Ekonomi SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira, 2009.

Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I. Jakarta: Kencana. 2013.

Peraturan-Peraturan

Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak

Pertambahan Nilai. Direktorat Jenderal Pajak, 2013.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Kedua

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan

Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah.

Page 119: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

106

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan.

Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Jurnal, Tesis dan Skripsi

Arihta, Stevani Citra, Analisis Pajak Pertambahan Nilai Bagi Produk Perbankan Syariah

Murabahah. Skripsi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, 2011.

Lathif, Ah. Azharuddin. Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam

Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah. Jurnal Masyarakat Ekonomi

Syariah, 2012.

Lathif, Ah. Azharuddin. Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah di

Indonesia. Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2012.

Nur, Abdul Hafid. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU No.8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Nurmawati, May. Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri

Cabang Gatot Subroto. Skripsi S1 Universitas Gunadarma, 2013.

Sugyawati. Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan

Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan. Skripsi S1 Fakultas Akuntansi,

Universitas Sumatera Utara, 2010.

Page 120: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

107

Wardoyo, Prasetyo. Studi Komparasi Penggunaan Akad Murabahah, Ijarah Muntahiya

Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah Dalam Pembiayaan KPR di Bank Syariah.

Skripsi S1 Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2010.

Informasi Elektronik

Admin, “Pertumbuhan Bank Syariah Di Indonesia 2014”. Artikel diakses pada 15

Desember 2014 dari http://artikelekis.blogspot.com/2014/07/pertumbuhan-bank-

syariah-di-indonesia.html.

Agung. “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”. Artikel diakses pada 17 Desember 2014

dari http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapangan-

penelitian.html.

Anugrah, Meutia Febrina. “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”,

artikel diakses pada 3 Oktober 2014 dari

http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-di-

indonesia-membeludak-31-juta-unit.

Beta, Gamma Sigma. ”Analisis Statistik Perbankan Syariah Indonesia Januari 2012”. Artikel

diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 dari

https://dbcgsbipb.wordpress.com/rubrik/artikel-statistika/analisis-statistik-

perbankan-syariah-indonesia-januari-2012/.

Hendry. “Metode Pengumpulan Data”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari

http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data.

Page 121: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

108

Prastna. “Jenis-jenis Wawancara”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari

http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara.

Ryan, Elsa. “Krisis Ekonomi Global 2008 Serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia”

Artikel diakses pada 15 Desember 2014 dari

http://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-serta-

dampaknya-bagi-perekonomian-indonesia/.

Sanusi, Ahmad. “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam Pengambilan

Keputusan Pemberian Kredit”. Artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada

http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/

Syaifurrahman. “Jaminan Dalam Pembiayaan Bank Syariah”. Artikel diakses pada 11

Januari 2015 pada http://tugaskuliah-syaifurrahman.blogspot.com/2013/07/jaminan-

dalam-pembiayaan-bank-syariah.

Winosa, Yosi. “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8

Oktober 2014 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-

penambahan-bank-umum-syariah.html.

Lain-lain

Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) No.

S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk

Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah.

Page 122: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

MENTEAIKEUANGANREPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 251/PMICOll/2010

TENT ANG

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS TRANSAKSIMURABAHAH PERBANKAN SYARIAH

TAHUN ANGGARAN 2010

DENGAN RAHMA T TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN,

Menimbang

Mengingat

Menetapkan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf p angka5 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang AnggaranPendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2010, perlumenetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang PajakPertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas TransaksiMurabahah Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010;

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003Nomer 47; Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4286);

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomer 4355);

3. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang AnggaranPendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 5075)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 5132);

4. Keputusan Presiden Nomor 56jP Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAKPERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINT AH ATASTRANSAKSI MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH TAHUNANGGARAN 2010.

Page 123: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

MENTERIKEUANGANREPUBUK INDONESIA

- 2 -

Pasall

(1) Atas transaksi murabahah perbankan syariah yang dilakukansebelum tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilaisesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak,ditanggung pemerintah.

(3) Pajak Pertambahan .Nilai Ditanggung Pemerintah sebagaimanadimaksud pada ayat (2), diberikan dengan pagu anggaransebesar Rp328.454.138.718,00(tiga ratus dua puluh delapanmiliar empat ratus lima puluh empat juta seratus tiga puluhdelapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah).

(4) Pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3),dialokasikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraTahun Anggaran 2010dan perubahannya.

Pasal 2

Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat KetetapanPajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan ketentuanperpajakan yang berlaku.

Pasal 3

Tata cara penatausahaan pajak ditanggung pemerintah dalamPeraturan Menteri Keuangan ini, diatur lebih lanjut denganPeraturan Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, danDirektur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama-samamaupun sendiri-sendiri.

Pasal 4

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.

Page 124: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

MENTERIKEUANGANREPUBLIK INDONESIA

- 3 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam BeritaNegara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

~adatanggal 28 Desernber 2010

MENTERI KEUANGAN,

ttd.

Diundangkan di Jakartapadatangga128 Desernber 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd .

.PATRIALIS AKBAR

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

665

TEMEN

Page 125: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

Jasa...

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SALINAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR: 1/POJK.07/2013

TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu

menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan;

Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor

111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank

Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank

Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan

Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan

Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan

usahanya secara konvensional maupun secara syariah.

2. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya

dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga

Page 126: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 2 -

Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di

Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta

pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan

di sektor jasa keuangan.

3. Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap

Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa

Keuangan.

4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha

secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.

5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan

kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip

Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran.

6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha

sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau

Manajer Investasi.

7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan

Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan

Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek

yang tidak terjual.

8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan

usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.

9. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya

mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola

portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali

perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan

sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada

Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan

memperoleh imbalan jasa.

11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa

penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta

jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain,

menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening

yang menjadi nasabahnya.

12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang

memberikan jasa dalam penanggulangan risiko kerugian,

kehilangan...

Page 127: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 3 -

kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak

ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti.

13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang

memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan

dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang

dipertanggungkan.

14. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan

menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.

15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan

kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang

modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-

undangan mengenai lembaga pembiayaan.

16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk

menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima

barang bergerak sebagai jaminan.

17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di

bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan

penjaminan.

Pasal 2

Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil;

c. keandalan;

d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan

e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen

secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

BAB II

KETENTUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

SEKTOR JASA KEUANGAN

Pasal 3

Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya

itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau

dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak

menyesatkan.

Pasal 4...

Page 128: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 4 -

Pasal 4

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau

menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan

yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan

dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai

alat bukti.

(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

a. disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada

Konsumen mengenai hak dan kewajibannya;

b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan

Konsumen; dan

c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara

lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.

Pasal 5

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang

terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk

dan/atau layanan.

Pasal 6

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi

kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau

penolakan permohonan produk dan/atau layanan.

(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan

informasi tentang penundaan atau penolakan permohonan

produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan

penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan

perundang-undangan.

Pasal 7

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa,

dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang

mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang:

a. memuat hak dan kewajiban Konsumen;

b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan;

dan

c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara

hukum.

(2) Bahasa...

Page 129: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 5 -

(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.

(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan,

simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas.

(4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas

istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang

belum dipahami oleh Konsumen.

(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

menggunakan bahasa asing, bahasa asing tersebut harus

disandingkan dengan Bahasa Indonesia.

Pasal 8

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan

ringkasan informasi produk dan/atau layanan.

(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-

kurangnya memuat:

a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan

b. syarat dan ketentuan.

Pasal 9

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada

Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen.

Pasal 10

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi

mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap

produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha

Jasa Keuangan.

(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas

secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa

persetujuan tertulis dari Konsumen.

Pasal 11

(1) Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau

perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan

wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan

produk dan/atau layanan kepada Konsumen.

(2) Syarat...

Page 130: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 6 -

(2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan

b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku

Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 12

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada

Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan

ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian

mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari

kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat

dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa

Keuangan.

(3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap

persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk

dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun.

(4) Dalam hal Konsumen sudah diberikan waktu untuk

menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku

Usaha Jasa Keuangan menganggap Konsumen menyetujui

perubahan tersebut.

Pasal 13

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan

biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan.

Pasal 14

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi

dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen

dan/atau masyarakat.

(2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan

dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan rencana

penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 15...

Page 131: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 7 -

Pasal 15

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang

setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas

produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

(2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan:

(a) latar belakang Konsumen;

(b) keterangan mengenai pekerjaan;

(c) rata-rata penghasilan;

(d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan

Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau

(e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi

Konsumen.

Pasal 16

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian

antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk

dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen.

Pasal 17

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi

pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen

dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan

lain dalam mengambil keputusan.

Pasal 18

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau

layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain

(bundling product/service).

(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk

dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka :

a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen

untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket

produk dan/atau layanan tersebut; dan

b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan

lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut.

(3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk

dan/atau layanan yang ditawarkan merupakan pilihan

Konsumen...

Page 132: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 8 -

Konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung

jawab Konsumen.

Pasal 19

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk

dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui

sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.

Pasal 20

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau

menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk

dan/atau layanan:

a. nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan

b. pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar

dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat

dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa

Keuangan, dalam penawaran atau promosi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa

orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas

Jasa Keuangan.

Pasal 21

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan,

keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan

Konsumen.

Pasal 22

(1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian

baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku

Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik.

(3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang

digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban

Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;

b. menyatakan...

Page 133: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 9 -

b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak

menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh

Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku

Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak

langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas

barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan

sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan;

d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika

Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya

kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh

Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha

Jasa Keuangan;

e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk

mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau

mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek

perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara

sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa

Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang

dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku

Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan,

hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan

yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.

Pasal 23

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan

pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib

menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa

Keuangan dengan Konsumen.

(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi

mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan

kepentingan.

Pasal 24

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus

kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus.

Pasal 25...

Page 134: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 10 -

Pasal 25

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan,

dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku

Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 26

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti

kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada

Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan

Konsumen.

Pasal 27

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada

Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset,

atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan

cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.

Pasal 28

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi

Konsumen sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian

Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,

pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak

ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 30

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus,

pengawas, dan pegawainya dari perilaku:

a. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak

lain,

b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya,

yang dapat merugikan Konsumen.

(2) Pengurus...

Page 135: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 11 -

(2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib

mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah

ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada

Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang

bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 31

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun,

memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya

kepada pihak ketiga.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan

dalam hal:

a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau

b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data

dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok

orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan

menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk

melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib

memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah

memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau

sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau

informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk

Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

(4) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas

pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen

dalam bentuk surat pernyataan.

Pasal 32

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan

mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi

Konsumen.

(2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen.

Pasal 33

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun

kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.

Pasal 34...

Page 136: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 12 -

Pasal 34

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala

adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan

penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas

Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan

pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling

lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila

tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian

laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari

libur dimaksud.

Pasal 35

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan

menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah

tanggal penerimaan pengaduan.

(2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa

Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan

paling lama 20 hari kerja berikutnya.

(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:

a. kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menerima

pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa

Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan

dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor

Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut;

b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen

memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen

Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau

c. terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa

Keuangan seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang

dilakukan oleh Konsumen.

(4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara

tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum

jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.

Pasal 36

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau

fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang

diajukan Konsumen.

(2) Kewenangan...

Page 137: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 13 -

(2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan

penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang

pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk

menangani penyelesaian pengaduan Konsumen.

Pasal 37

Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan

melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki

kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku

Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut,

maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh

pegawai lain.

Pasal 38

Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa

Keuangan wajib melakukan:

a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar,

dan obyektif;

b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;

dan

c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi

(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika

pengaduan Konsumen benar.

Pasal 39

(1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan,

Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan atau melalui pengadilan.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian

sengketa.

(3) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui

lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), Konsumen dapat menyampaikan permohonan

kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian

pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku

Usaha Jasa Keuangan.

BAB III...

Page 138: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 14 -

BAB III

PENGADUAN KONSUMEN DAN PEMBERIAN FASILITAS

PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN

Pasal 40

(1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi

sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan

Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan

pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan

peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan

kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini

Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan

perlindungan Konsumen.

Pasal 41

Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas

Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi

sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:

1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar

Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan,

Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum

paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima

puluh juta rupiah);

b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai

dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;

c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya

penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima

penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

ini;

d. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang

dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau

peradilan, atau lembaga mediasi lainnya;

e. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;

f. pengaduan...

Page 139: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 15 -

f. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas

Jasa Keuangan; dan

g. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam

puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian

Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan

kepada Konsumen.

Pasal 42

Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh

Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41

merupakan upaya mempertemukan Konsumen dan Pelaku Usaha

Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara

mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.

Pasal 43

Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan

fungsi penyelesaian pengaduan.

Pasal 44

Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen

dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh

Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi

yang memuat:

a. kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang

difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan

b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang

ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 45

(1) Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya

Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30

(tiga puluh) hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa

Keuangan menandatangani perjanjian fasilitasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 44.

(2) Jangka waktu proses fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja

berikutnya berdasarkan Akta Kesepakatan Konsumen dan Pelaku

Usaha Jasa Keuangan.

Pasal 46...

Page 140: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 16 -

Pasal 46

(1) Kesepakatan antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan

yang dihasilkan dari proses fasilitasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 45 dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang

ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa

Keuangan.

(2) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara Konsumen dengan

Pelaku Usaha Jasa Keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut

dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa

Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha

Jasa Keuangan.

BAB IV

PENGENDALIAN INTERNAL

Pasal 47

(1) Direksi atau pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan bertanggung

jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini.

(2) Dewan Komisaris atau pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan

melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi

atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan

Peraturan ini.

Pasal 48

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengawasan

bagi Direksi atau pengurus dalam rangka perlindungan

Konsumen.

(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib membentuk sistem

pelaporan untuk menjamin optimalisasi pengawasan Direksi atau

pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan Peraturan ini.

Pasal 49

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan menerapkan

kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan Konsumen.

(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan

dalam standar prosedur operasional yang kemudian dijadikan

panduan dalam seluruh kegiatan operasional Pelaku Usaha Jasa

Keuangan.

(3) Kebijakan...

Page 141: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 17 -

(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib ditaati oleh pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa

Keuangan.

Pasal 50

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengendalian

internal terkait dengan perlindungan Konsumen.

(2) Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sekurang-kurangnya mencakup:

a. kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap

pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen; dan

b. sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut

pengaduan Konsumen.

BAB V

PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

SEKTOR JASA KEUANGAN

Pasal 51

(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan

Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan

perlindungan Konsumen.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.

Pasal 52

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha

Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan

Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa

Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku

Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan

perlindungan Konsumen.

(2) Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila

diperlukan.

BAB VI...

Page 142: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 18 -

BAB VI

SANKSI

Pasal 53

(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar

ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini

dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:

a. Peringatan tertulis;

b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang

tertentu;

c. Pembatasan kegiatan usaha;

d. Pembekuan kegiatan usaha; dan

e. Pencabutan izin kegiatan usaha.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,

huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa

didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a.

(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat

dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan

pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,

huruf d, atau huruf e.

(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan

tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk

setiap sektor jasa keuangan.

(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

masyarakat.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 54

Perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha Jasa

Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur

dalam Pasal 22 paling lambat pada saat berlakunya Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan ini.

BAB VIII...

Page 143: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 19 -

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang mengatur perlindungan

Konsumen di sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan ini.

Pasal 56

Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki kelengkapan internal

untuk melaksanakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling

lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan ini diundangkan.

Pasal 57

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu)

tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2013

KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Ttd.

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 118

Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA

Page 144: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

-1-

Yth.

Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan,

di Tempat.

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR 13/SEOJK.07/2014

TENTANG

PERJANJIAN BAKU

Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431), maka perlu diatur ketentuan

mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam Perjanjian

Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dalam Surat Edaran

Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:

I. KETENTUAN UMUM

Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:

1. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara

sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk,

maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk

dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.

2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat PUJK, adalah

Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat

Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan

Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya

secara konvensional maupun secara syariah.

3. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau

memanfaatkan pelayanan yang tersedia di PUJK antara lain nasabah

pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada

Perasuransian ...

Page 145: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

-2-

Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

II. KLAUSULA DALAM PERJANJIAN BAKU

1. PUJK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam

pembuatan perjanjian dengan Konsumen.

2. Dalam hal PUJK merancang, merumuskan, menetapkan, dan

menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada ketentuan

sebagaimana yang dimaksud pada angka 1.

3. Klausula dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat:

a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak

dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak

dan/atau menambah kewajiban Konsumen.

b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku

yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap

kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang

mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan

secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat,

biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan.

4. Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal

sebagai berikut:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK

kepada Konsumen;

b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang

telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang

dibeli;

c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik

secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala

tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen,

kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan;

d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang

menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan

yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK;

e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk

dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang

menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;

f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak

oleh ...

Page 146: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

-3-

oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau

layanan yang dibelinya; dan/atau

g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas

produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara

angsuran.

III. FORMAT PERJANJIAN BAKU

1. Perjanjian Baku yang memuat hak dan kewajiban Konsumen dan

persyaratan yang mengikat Konsumen secara hukum, wajib

menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang

dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia

yang mudah dimengerti oleh Konsumen.

2. Apabila Konsumen menemukan ketidakjelasan, PUJK wajib memberikan

penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan

tanda yang belum dipahami oleh Konsumen, baik secara tertulis di

dalam Perjanjian Baku, maupun secara lisan sebelum Perjanjian Baku

ditandatangani.

3. Dalam hal Perjanjian Baku menggunakan istilah, frasa, dan/atau

kalimat dari bahasa lain selain Bahasa Indonesia, maka istilah, frasa,

dan/atau kalimat dari bahasa lain tersebut harus disandingkan dengan

istilah, frasa, dan/atau kalimat dalam Bahasa Indonesia.

4. Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut:

“PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN”.

5. Selain berbentuk cetak, Perjanjian Baku dapat berbentuk digital atau

elektronik atau disebut e-contract untuk ditawarkan oleh PUJK melalui

media elektronik.

6. Dalam hal Perjanjian Baku berbentuk cetak, maka berlaku hal-hal

sebagai berikut:

a. PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen

dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam

Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan

Konsumen.

b. PUJK dapat menggandakannya sehingga transaksi dapat memenuhi

tujuan, yaitu cepat, efektif, efisien, berulang, dan memberikan

kepastian hukum.

c. PUJK ...

Page 147: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

-4-

c. PUJK memberikan waktu yang cukup bagi Konsumen untuk

membaca dan memahami Perjanjian Baku sebelum

menandatanganinya atau sebelum efektif berlakunya Perjanjian

Baku.

d. PUJK wajib mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku, antara lain undang-undang yang mengatur

mengenai informasi dan transaksi elektronik.

IV. KETENTUAN LAIN – LAIN

1. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan

ini, PUJK melakukan penyesuaian terhadap klausula dalam Perjanjian

Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK harus memberitahukan kepada

Konsumen.

2. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan

ini, PUJK belum selesai melaksanakan pemenuhan penyesuaian

ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan, maka PUJK membuat action plan yang disetujui oleh Bidang

Pengawasan masing-masing PUJK terkait.

V. KETENTUAN PENUTUP

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal

ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat

Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita

Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 20 Agustus 2014

ANGGOTA DEWAN KOMISIONER BIDANG

EDUKASI DAN PERLINDUNGAN

KONSUMEN,

Ttd.

KUSUMANINGTUTI S. SOETIONO

Page 148: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG­UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANGPERLINDUNGAN KONSUMEN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang             : a. bahwa   pembangunan   nasional   bertujuan   untuk   mewujudkan suatu  masyarakat  adil  dan makmur  yang merata  materiil   dan spiritual  dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945;

b. bahwa   pembangunan   perekonomian   nasional   opada   era globalisasi   harus   dapat   mendukung   tumbuhnya   dunia   usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki   kandungan   teknologi   yang   dapat   meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian   atas   barang   dan/jasa   yang   diperoleh   dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;

c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi  ekonomi harus  tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;

d. bahwa   untuk   meningkatkan   harkat   dan   martabat   konsumen perlu   meningkatkan   kesadaran,   pengetahuan,   kepedulian, kemampuan   dan   kemandirian   konsumen   untuk   melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;

e. bahwa   ketentuan   hukum   yang   melindungi   kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai

Halaman  1

Page 149: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

f. bahwa berdasarkan  pertimbangan   tersebut   di   atas  diperlukan perangkat   peraturan   perundang­undangan   untuk   mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;

g. bahwa   untuk   itu   perlu   dibentuk   undang­undang   tentang perlindungan konsumen.

Mengingat               : Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang­Undang Dasar 1945

Dengan persetujuanDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan            : UNDANG­UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam undang­undang ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan   konsumen  adalah   segala   upaya   yang   menjamin   adanya   kepastian 

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen2. Konsumen  adalah setiap orang pemakai barang dan/atau  jasa yang  tersedia dalam 

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,  keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 

3. Pelaku   usaha  adalah   setiap   orang   perseorangan   atau   badan   usaha,   baik   yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun  bersama­sama melalui   perjanjian  menyelenggarakan   kegiatan  usaha  dalam berbagai bidang ekonomi. 

Halaman  2

Page 150: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

4. Barang  adalah   setiap   benda   baik   berwujud  maupun   tidak   berwujud,   baik   bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 

5. Jasa  adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 

6. Promosi  adalah   kegiatan   pengenalan   atau   penyebarluasan   informasi   suatu   barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.

7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.8. Impor jasa  adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah 

Republik Indonesia. 9. Lembaga   Perlindungan   Konsumen   Swadaya   Masyarakat  adalah   lembaga   non­

pemerintah   yang   terdaftar   dan   diakui   oleh   pemerintah   yang   mempunyai   kegiatan menangani perlindungan konsumen. 

10. Klausula   Baku  adalah   setiap   aturan   atau   ketentuan   dan   syarat­syarat   yang   telah dipersiapkan dan ditetapkan  terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. 

11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen  adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. 

12. Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional  adalah   badan   yang   dibentuk   untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 

13. Menteri  adalah   menteri   yang   ruang   lingkup   tugas  dan   tanggung   jawabnya  meliputi bidang perdagangan. 

 BAB II

ASAS DAN TUJUAN 

Pasal 2

Halaman  3

Page 151: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perlindungan   konsumen   berasaskan   manfaat,   keadilan,   keseimbangan,   keamanan   dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.    

Pasal 3Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran,  kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi 

diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses 

negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan   pemberdayaan   konsumen  dalam  memilih,  menentukan   dan   menuntut 

hak­haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum 

dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen 

sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan   kualitas   barang   dan/atau   jasa   yang   menjamin   kelangsungan   usaha 

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 

 BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN 

Bagian PertamaHak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4Hak konsumen adalah : a. hak   atas   kenyamanan,   keamanan,   dan   keselamatan   dalam   mengkonsumsi   barang 

dan/atau jasa; b. hak   untuk   memilih   barang   dan/atau   jasa   serta   mendapatkan   barang   dan/atau   jasa 

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 

Halaman  4

Page 152: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 

d. hak   untuk   didengar   pendapat   dan   keluhannya   atas   barang   dan/atau   jasa   yang digunakan; 

e. hak   untuk   mendapatkan   advokasi,   perlindungan,   dan   upaya  penyelesaian   sengketa perlindungan konsumen secara patut; 

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang 

dan/atau  jasa yang diterima  tidak sesuai  dengan perjanjian atau  tidak  sebagaimana mestinya; 

i. hak­hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan lainnya.  

Pasal 5Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan 

barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.  

Bagian KeduaHak dan Kewajiban Pelaku Usaha

 Pasal 6

Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi 

dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak 

baik; 

Halaman  5

Page 153: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

c. hak   untuk   melakukan   pembelaan   diri   sepatutnya   di   dalam   penyelesaian   hukum sengketa konsumen; 

d. hak   untuk   rehabilitasi   nama   baik   apabila   terbukti   secara   hukum   bahwa   kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

e. hak­hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­undangan lainnya. 

Pasal 7Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang 

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan   atau   melayani   konsumen   secara   benar   dan   jujur   serta   tidak 

diskriminatif; d. menjamin   mutu   barang   dan/atau   jasa   yang   diproduksi   dan/atau   diperdagangkan 

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi   kesempatan   kepada   konsumen   untuk   menguji,   dan/atau   mencoba   barang 

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 

f. memberi   kompensasi,   ganti   rugi   dan/atau   penggantian   atas   kerugian   akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 

g. memberi  kompensasi,  ganti   rugi  dan/atau penggantian apabila  barang dan/atau  jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 

   BAB IV

PERBUATAN YANG DILARANGBAGI PELAKU USAHA

Pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa 

yang: 

Halaman  6

Page 154: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

a. tidak   memenuhi   atau   tidak     sesuai   dengan   standar   yang   dipersyaratkan   dan ketentuan peraturan perundang­undangan; 

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; 

c. tidak   sesuai   dengan   ukuran,   takaran,   timbangan   dan   jumlah   dalam   hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; 

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai  dengan  janji  yang dinyatakan dalam label,  etiket,  keterangan,  iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; 

g. tidak   mencantumkan   tanggal   kadaluwarsa   atau   jangka   waktu   penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; 

h. tidak   mengikuti   ketentuan   berproduksi   secara   halal,   sebagaimana   pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak   memasang   label   atau   membuat   penjelasan   barang   yang   memuat   nama barang,   ukuran,   berat/isi   bersih   atau   netto,   komposisi,   aturan   pakai,   tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat; 

j. tidak   mencantumkan   informasi   dan/atau   petunjuk   penggunaan   barang   dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang­undangan yang berlaku. 

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan  farmasi  dan pangan yang  rusak, cacat   atau   bekas   dan   tercemar,   dengan   atau   tanpa   memberikan   informasi   secara lengkap dan benar. 

(4) Pelaku   usaha   yang   melakukan   pelanggaran   pada   ayat   (1)   dan   ayat   (2)   dilarang memperdagangkan   barang   dan/atau   jasa   tersebut   serta   wajib   menariknya   dari peredaran. 

 

Halaman  7

Page 155: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 9 (1) Pelaku   usaha   dilarang   menawarkan,   memproduksikan,   mengiklankan   suatu   barang 

dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah­olah: a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, 

standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; 

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. barang   dan/atau   jasa   tersebut   telah   mendapatkan   dan/atau   memiliki   sponsor, 

persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri­ciri kerja atau aksesori tertentu; 

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; 

e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j. menggunakan   kata­kata   yang   berlebihan,   seperti   aman,   tidak   berbahaya,   tidak 

mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. 

(2) Barang   dan/atau   jasa   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dilarang   untuk diperdagangkan. 

(3) Pelaku  usaha  yang  melakukan  pelanggaran   terhadap  ayat   (1)   dilarang  melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. 

 

Halaman  8

Page 156: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 10 Pelaku   usaha   dalam   menawarkan   barang   dan/atau   jasa   yang   ditujukan   untuk diperdagangkan   dilarang   menawarkan,   mempromosikan,   mengiklankan   atau   membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.  

Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan; a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah­olah telah memenuhi standar mutu 

tertentu;b. menyatakan   barang   dan/atau   jasa   tersebut   seolah­olah   tidak   mengandung   cacat 

tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk 

menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan 

maksud menjual barang yang lain;e. tidak  menyediakan   jasa  dalam kapasitas   tertentu  atau  dalam  jumlah  cukup  dengan 

maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.  

Pasal 12 Pelaku   usaha   dilarang   menawarkan,   mempromosikan   atau   mengiklankan   suatu   barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku 

Halaman  9

Page 157: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.  

Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang 

dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara   cuma­cuma   dengan   maksud   tidak   memberikannya   atau   memberikan   tidak sebagaimana yang dijanjikannya.

(2) Pelaku  usaha  dilarang  menawarkan,  mempromosikan  atau  mengiklankan  obat,  obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. 

 Pasal 14

 Pelaku   usaha   dalam   menawarkan   barang   dan/atau   jasa   yang   ditujukan   untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 

Pasal 15 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.    

Pasal 16 

Halaman  10

Page 158: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang 

dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.  

Pasal 17 (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: 

a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; 

b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau 

jasa; d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau 

persetujuan yang bersangkutan; f. melanggar   etika   dan/atau   ketentuan   peraturan   perundang­undangan   mengenai 

periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran  iklan yang telah melanggar 

ketentuan pada ayat (1). 

BAB VKETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU

Pasal 18 (1) Pelaku   usaha   dalam   menawarkan   barang   dan/atau   jasa   yang   ditujukan   untuk 

diperdagangkan   dilarang   membuat   atau   mencantumkan   klausula   baku   pada   setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 

Halaman  11

Page 159: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

b. menyatakan  bahwa pelaku  usaha  berhak  menolak  penyerahan  kembali   barang yang dibeli konsumen; 

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 

d. menyatakan pemberian kuasa dari  konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; 

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi   hak   kepada   pelaku   usaha   untuk   mengurangi   manfaat   jasa   atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; 

g. menyatakan   tunduknya   konsumen  kepada   peraturan   yang  berupa  aturan   baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; 

h. menyatakan   bahwa   konsumen   memberi   kuasa   kepada   pelaku   usaha   untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai,  atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang  letak atau bentuknya sulit terlihat   atau   tidak   dapat   dibaca   secara   jelas,   atau   yang   pengungkapannya   sulit dimengerti. 

(3) Setiap  klausula  baku  yang   telah  ditetapkan  oleh  pelaku  usaha pada  dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang­undang ini. 

 

Halaman  12

Page 160: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB VITANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

 Pasal 19

 (1) Pelaku   usaha   bertanggung   jawab   memberikan   ganti   rugi   atas   kerusakan, 

pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau   penggantian   barang   dan/atau   jasa   yang   sejenis   atau   setara   nilainya,   atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku. 

(3) Pemberian   gantirugi   dilaksanakan   dalam   tenggang   waktu   7   (tujuh)   hari   setelah tanggal transaksi. 

(4) Pemberian   ganti   rugi   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dan   ayat   (2)   tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 

 Pasal 20

 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.  

Pasal 21 

Halaman  13

Page 161: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(1) Importir   barang   bertanggung   jawab   sebagai   pembuat   barang   yang   diimpor   apabila importasi   barang   tersebut   tidak  dilakukan  oleh  agen  atau  perwakilan  produsen   luar negeri. 

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. 

 Pasal 22

 Pembuktian   terhadap   ada   tidaknya   unsur   kesalahan   dalam   kasus   pidana   sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal   19   ayat   (4),   Pasal   20,   dan   Pasal   21   merupakan   beban   dan tanggungjawab   pelaku   usaha   tanpa   menutup   kemungkinan   bagi   jaksa   untuk   melakukan pembuktian.  

Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.  

Pasal 24 (1) Pelaku   usaha   yang   menjual   barang   dan   atau   jasa   kepada   pelaku   usaha   lain 

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun 

atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan 

barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. 

Halaman  14

Page 162: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari  tanggung jawab atas  tuntutan ganti   rugi  dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha  lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. 

 Pasal 25

 (1) Pelaku usaha yang memproduksi  barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam 

batas   waktu   sekurang­kurangnya   1   (satu)   tahun   wajib   menyediakan   suku   cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. 

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: a. tidak   menyediakan   atau   lalai   menyediakan   suku   cadang   dan/atau   fasilitas 

perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. 

 Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.  

Pasal 27 Pelaku usaha  yang memproduksi  barang dibebaskan dari   tanggung  jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang   tersebut   terbukti   seharusnya   tidak   diedarkan   atau   tidak   dimaksudkan   untuk 

diedarkan; 

Halaman  15

Page 163: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya 

jangka waktu yang diperjanjikan.  

Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha. 

BAB VIIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 Bagian Pertama

Pembinaan 

Pasal 29 (1) Pemerintah   bertanggungjawab   atas   pembinaan   penyelenggaraan   perlindungan 

konsumen   yang   menjamin   diperolehnya   hak   konsumen   dan   pelaku   usaha   serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 

(2) Pembinaan   oleh   pemerintah   atas   penyelenggaraan   perlindungan   konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 

(3) Menteri   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (2)   melakukan   koordinasi   atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 

(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: 

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; 

Halaman  16

Page 164: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya   kualitas   sumberdaya   manusia   serta   meningkatnya   kegiatan 

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen 

diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian KeduaPengawasan

 Pasal 30

 (2) Pengawasan   terhadap  penyelenggaraan  perlindungan  konsumen serta  penerapan 

ketentuan   peraturan   perundang­undangannya   diselenggarakan   oleh   pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 

(3) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

(4) Pengawasan   oleh   masyarakat   dan   lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 

(5) Apabila   hasil   pengawasan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (3)   ternyata menyimpang dari peraturan perundang­undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen,   Menteri   dan/atau   menteri   teknis   mengambil   tindakan   sesuai   dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku. 

(6) Hasil   pengawasan   yang   diselenggarakan   masyarakat   dan   lembaga   perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 

(7) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

 BAB VIII

BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL 

Bagian Pertama

Halaman  17

Page 165: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas 

Pasal 31

Dalam   rangka   mengembangkan   upaya   perlindungan   konsumen   dibentuk   Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 

Pasal 32 Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional   berkedudukan   di   Ibu   Kota   Negara   Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.  

Pasal 33 Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional   mempunyai   fungsi   memberikan   saran   dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. 

Pasal 34 (1) Untuk   menjalankan   fungsi   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   33,   Badan 

Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas: a. memberikan   saran   dan   rekomendasi   kepada   pemerintah   dalam   rangka 

penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan   penelitian   dan   pengkajian   terhadap   peraturan   perundang­undangan 

yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. melakukan   penelitian   terhadap   barang   dan/atau   jasa   yang   menyangkut 

keselamatan konsumen;d. mendorong   berkembangnya   lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya 

masyarakat; e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan 

memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; 

Halaman  18

Page 166: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; 

g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. (2) Dalam   melaksanakan   tugas   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1),   Badan 

Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional. 

 Bagian Kedua

Susunan Organisasi dan Keanggotaan 

Pasal 35 (1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota, 

seorang  wakil   ketua merangkap  anggota,   serta  sekurang­kurangnya  15  (lima belas) orang   dan   sebanyak­banyaknya   25   (duapuluh   lima)   orang   anggota   yang   mewakili semua unsur. 

(2) Anggota   Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional   diangkat   dan   diberhentikan   oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia. 

(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3)   tiga  tahun dan dapat  diangkat kembali  untuk 1   (satu)  kali  masa  jabatan berikutnya. 

(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota. 

Pasal 36 Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur: a. pemerintah; 

Halaman  19

Page 167: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

b. pelaku usaha; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; d. akademis; dan e. tenaga ahli. 

Pasal 37 Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat;c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurang­kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.  

Pasal 38 Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena: a. meninggaldunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia; d. sakit secara terus menerus; e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau f. diberhentikan.

Pasal 39 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu 

oleh sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang 

diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. (3) Fungsi,  tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 

dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 

Halaman  20

Page 168: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Pasal 40

 (1) Apabila   diperlukan   Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional   dapat   membentuk 

perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut 

dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 41

 Dalam pelaksanaan  tugas,  Badan Perlindungan Konsumen Nasional  bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.  

Pasal 42 Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku.  

Pasal 43 Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pembentukan   Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.  

BAB IXLEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN

SWADAYA MASYARAKAT 

Pasal 44 (1) Pemerintah   mengakui   lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya   masyarakat   yang 

memenuhi syarat.

Halaman  21

Page 169: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(2) Lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya   masyarakat   memiliki   kesempatan   untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. 

(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a. menyebarkan   informasi   dalam   rangka   meningkatkan   kesadaran   atas   hak   dan 

kewajiban   dan   kehati­hatian   konsumen   dalam   mengkonsumsi   barang   dan/atau jasa; 

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja   sama   dengan   instansi   terkait   dalam   upaya   mewujudkan   perlindungan 

konsumen; d. membantu   konsumen   dalam   memperjuangkan   haknya,   termasuk   menerima 

keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan   pengawasan   bersama   pemerintah   dan   masyarakat   terhadap 

pelaksanaan perlindungan konsumen. (4) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tugas   lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya 

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 

 BAB X

PENYELESAIAN SENGKETA 

Bagian PertamaUmum

 Pasal 45

 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang 

bertugas  menyelesaikan  sengketa  antara  konsumen dan  pelaku usaha  atau  melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 

(2) Penyelesaian   sengketa   konsumen   dapat   ditempuh   melalui   pengadilan   atau   diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Halaman  22

Page 170: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang­undang. 

(4) Apabila   telah   dipilih   upaya   penyelesaian   sengketa   konsumen   di   luar   pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 

 Pasal 46

 (1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: 

a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga   perlindungan  konsumen  swadaya   masyarakat   yang  memenuhi   syarat, 

yaitu   berbentuk   badan   hukum   atau   yayasan,   yang   dalam   anggaran   dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk   kepentingan   perlindungan   konsumen   dan   telah   melaksanakan   kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; 

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi   yang besar  dan/atau korban yang tidak sedikit. 

(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. 

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   huruf   d   diatur   dengan   Peraturan Pemerintah. 

 

Bagian KeduaPenyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Halaman  23

Page 171: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Pasal 47

 Penyelesaian   sengketa   konsumen   di   luar   pengadilan   diselenggarakan   untuk   mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.  

Bagian KetigaPenyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

 Pasal 48

 Penyelesaian   sengketa   konsumen   melalui   pengadilan   mengacu   pada   ketentuan   tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.  

BAB XIBADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

 Pasal 49

 (1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II 

untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. (2) Untuk   dapat   diangkat   menjadi   anggota   badan   penyelesaian   sengketa   konsumen, 

seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. berusia sekurang­kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. 

Halaman  24

Page 172: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(3) Anggota   sebagaimana  dimaksud  pada  ayat   (2)   terdiri  atas  unsur  pemerintah,  unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. 

(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit­dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak­banyaknya 5 (lima) orang. 

(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota  badan penyelesaian sengketa  konsumen ditetapkan oleh Menteri. 

 

Pasal 50 Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas: a. ketua merangkap anggota; b. wakil ketua merangkap anggota; c. anggota. 

Pasal 51 (1) Badan  penyelesaian sengketa   konsumen dalam menjalankan  tugasnya  dibantu  oleh 

sekretariat. (2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan 

anggota sekretariat. (3) Pengangkatan  dan pemberhentian  kepala  sekretariat  dan anggota  sekretariat  badan 

penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.  

Pasal 52 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui 

mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 

Halaman  25

Page 173: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan   kepada   penyidik   umum   apabila   terjadi   pelanggaran   ketentuan   dalam 

Undang­undang ini; e. menerima   pengaduan   baik   tertulis   maupun   tidak   tertulis,   dari   konsumen   tentang 

terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;g. memanggil   pelaku   usaha   yang   diduga   telah   melakukan   pelanggaran   terhadap 

perlindungan konsumen;h. memanggil  dan menghadirkan saksi, saksi ahli  dan/atau setiap orang yang dianggap 

mengetahui pelanggaran terhadap Undang­undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,  atau 

setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf  g dan huruf  h,  yang  tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. mendapatkan,   meneliti   dan/atau   menilai   surat,   dokumen,   atau   alat   bukti   lain   guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap 

perlindungan konsumen; m. menjatuhkan   sanksi   administratif   kepada   pelaku   usaha   yang   melanggar   ketentuan 

Undang­undang ini. Pasal 53

 Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai  pelaksanaan   tugas  dan  wewenang  badan  penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.  

Pasal 54 (1) Untuk   menangani   dan   menyelesaikan   sengketa   konsumen,   badan   penyelesaian 

sengketa konsumen membentuk majelis. 

Halaman  26

Page 174: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit­sedikitnya 3  (tiga)  orang yang mewakili  semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera. 

(3) Putusan majelis final dan mengikat. (4) Ketantuan teknis  lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat 

keputusan menteri.  

Pasal 55 Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.  

Pasal 56 (1) Dalam   waktu   paling   lambat   7   (tujuh)   hari   kerja   sejak   menerima   putusan   badan 

penyelesaian   sengketa   konsumen   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   55   pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. 

(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. 

(3) Pelaku   usaha  yang   tidak   mengajukan   keberatan   dalam   jangka   waktu   sebagaimana dimaksud  pada  ayat   (2)   dianggap  menerima putusan  badan  penyelesaian  sengketa konsumen.

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh   pelaku   usaha,   badan   penyelesaian   sengketa   konsumen   menyerahkan   putusan tersebut   kepada   penyidik   untuk   melakukan   penyidikan   sesuai   dengan   ketentuan perundang­undangan yang berlaku. 

(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 

 Pasal 57

 

Halaman  27

Page 175: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Putusan  majelis   sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal  54  ayat   (3)   dimintakan  penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. 

 Pasal 58 (1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal   56  ayat   (2)   dalam waktu  paling   lambat   21   (duapuluh   satu)   hari   sejak diterimanya keberatan. 

(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. 

(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. 

 BAB XII

PENYIDIKAN 

Pasal 59 (1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu 

dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang­undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. 

(2) Penyidik   Pejabat   Pegawai   Negeri   Sipil   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) berwenang: a. melakukan   pemeriksaan   atas   kebenaran   laporan   atau   keterangan   berkenaan 

dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan   pemeriksaan   terhadap   orang   lain   atau   badan   hukm   yang   diduga 

melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan 

dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; 

Halaman  28

Page 176: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; 

e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan   penyitaan   terhadap   barang   hasil   pelanggaran   yang   dapat   dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. 

f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. 

(3) Penyidik   Pejabat   Pegawai   Negeri   Sipil   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) memberitahukan   dimulainya   penyidikan   dan   hasil   penyidikannya   kepada   Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 

(4) Penyidik   Pejabat   Pegawai   Negeri   Sipil   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. 

 BAB XIII

S A N K S I 

Bagian PertamaSanksi Administratif

 Pasal 60

 (1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif 

terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. 

(2) Sanksi   administratif   berupa   penetapan   ganti   rugi   paling   banyak   Rp   200.000.000,00 (duaratus juta rupiah). 

(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang­undangan. 

 Bagian Kedua

Halaman  29

Page 177: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Sanksi Pidana 

Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.  

Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 

9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana   penjara   paling   lama   2   (dua)   tahun   atau   pidana   denda   paling   banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan  luka berat,  sakit  berat,  cacat   tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. 

 Pasal 63

 Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah   penghentian   kegiatan   tertentu   yang   menyebabkan   timbulnya   kerugian 

konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha.  

Halaman  30

Page 178: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB XIVKETENTUAN PERALIHAN

 Pasal 64

 Segala   ketentuan   peraturan   perundang­undangan   yang   bertujuan   melindungi   konsumen yang   telah   ada   pada   saat   undang­undang   ini   diundangkan,   dinyatakan   tetap   berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang­undang ini.    

BAB XVKETENTUAN PENUTUP

 Pasal 65

Undang­undang  ini  mulai  berlaku setelah 1   (satu)   tahun sejak diundangkan.  Agar  setiap orang   mengetahuinya,   memerintahkan   pengundangan   undang­undang   ini   dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.    

 Disahkan di JakartaPada tanggal 20 April 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd. 

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE                                                                                                         

Diundangkan di JakartaPada tanggal 20 April 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA

Halaman  31

Page 179: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

ttd. 

AKBAR TANDJUNGLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999

NOMOR 42

PENJELASANATAS

UNDANG­UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANGPERLINDUNGAN KONSUMEN

 I. UMUM  Pembangunan   dan   perkembangan   perekonomian   umumnya   dan   khususnya   di   bidang perindustrian   dan   perdagangan   nasional   telah   menghasilkan   berbagai   variasi   barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi  telekomunikasi dan informatika  telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas­batas wilayah suatu negara, sehingga  barang  dan/jasa   yang  ditawarkan  bervariasi   baik   produksi   luar   negeri   maupun produksi dalam negeri. 

Kondisi   yang   demikian   pada   satu   pihak   mempunyai   manfaat   bagi   konsumen   karena kebutuhan  konsumen  akan   barang   dan/atau   jasa   yang   diinginkan  dapat   terpenuhi   serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. 

Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi   tidak  seimbang dan konsumen berada pada   posisi   yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar­besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. 

Halaman  32

Page 180: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan   konsumen. Oleh karena  itu,  Undang­undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi  landasan hukum   yang   kuat   bagi   pemerintah   dan   lembaga   perlindungan   konsumen   swadaya masyarakat   untuk   melakukan   upaya   pemberdayaan   konsumen   melalui   pembinaan   dan pendidikan konsumen.  

Upaya   pemberdayaan   ini   penting   karena   tidak   mudah   mengharapkan   kesadaran   pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang­undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. 

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku   usaha,   tetapi   justru   sebaliknya   perlindungan   konsumen   dapat   mendorong   iklim berusaha   yang   sehat   yang   mendorong   lahirnya   perusahaan   yang   tangguh   dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

Disamping itu, Undang­undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap   memberikan  perhatian   khusus   kepada   pelaku   usaha  kecil   dan   menengah.  Hal   itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. 

Undang­undang   tentang  Perlindungan  Konsumen   ini   dirumuskan  dengan   mengacu   pada filosofi   pembangunan   nasional   bahwa   pembangunan   nasional   termasuk   pembangunan hukum   yang   memberikan   perlindungan   terhadap   konsumen   adalah   dalam   rangka membangun manusia  Indonesia  seutuhnya yang berlandaskan pada  falsafah kenegaraan Republik   Indonesia   yaitu  dasar  negara  Pancasila  dan   konstitusi   negara  Undang­Undang Dasar 1945. 

Disamping   itu,   Undang­undang   tentang   Perlindungan   Konsumen   pada   dasarnya   bukan merupakan   awal   dan   akhir   dari   hukum  yang  mengatur   tentang  perlindungan  konsumen, 

Halaman  33

Page 181: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

sebab sampai pada terbentuknya Undang­undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang­undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti: a. Undang­undang   Nomor   10   Tahun   1961   tentang   Penetapan   Peraturan   Pemerintah 

Pengganti  Undang­undang  Nomor  1  Tahun  1961   tentang  Barang,  menjadi  Undang­undang; 

b. Undang­undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; c. Undang­undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok­pokok Pemerintahan di Daerah; d. Undang­undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;e. Undang­undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; f. Undang­undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; g. Undang­undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; h. Undang­undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; i. Undang­undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; j. Undang­undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade 

Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); k. Undang­undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; l. Undang­undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m. Undang­undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; n. Undang­undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang­undang Hak 

Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang­undang Nomor 7 Tahun 1987; o. Undang­undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang­undang Nomor 

6 Tahun 1989 tentang Paten; p. Undang­undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang­undang Nomor 

19 Tahun 1989 tentang Merek; q. Undang­undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; r. Undang­undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; s. Undang­undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; t. Undang­undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang­undang Nomor 

7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 

Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAK) tidak diatur dalam Undang­undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah 

Halaman  34

Page 182: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

diatur  dalam Undang­undang Nomor 12 Tahun 1997  tentang Hak Cipta,  Undang­undang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undang­undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau  jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI. 

Demikian   juga   perlindungan   konsumen   di   bidang   lingkungan   hidup   tidak   diatur   dalam Undang­undang   tentang  Perlindungan  Konsumen   ini   karena   telah  diatur   dalam  Undang­undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap  orang  untuk  memelihara  kelestarian  fungsi   lingkungan hidup serta  mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. 

Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang­undang baru yang pada dasarnya   memuat   ketentuan­ketentuan   yang   melindungi   konsumen.   Dengan   demikian, Undang­undang   tentang   Perlindungan   Konsumen   ini   merupakan   payung   yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. 

II. PASAL DEMI PASAL  Pasal 1 Angka 1 

Cukup jelas Angka 2 

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari   proses   suatu   produk   lainnya.   Pengertian   konsumen   dalam   undang­undang   ini adalah konsumen akhir.

Angka 3 Pelaku   usaha   yang   termasuk   dalam   pengertian   ini   adalah   perusahaan,   korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain­lain.

Angka 4 Cukup jelas

Angka 5 

Halaman  35

Page 183: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Cukup jelasAngka 6 

Cukup jelasAngka 7 

Cukup jelas Angka 8 

Cukup jelas Angka 9 

Lembaga   ini   dibentuk   untuk   meningkatkan   partisipasi   masyarakat   dalam   upaya perlindungan   konsumen  serta   menunjukkan   bahwa  perlindungan   konsumen  menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Angka 10 Cukup jelas 

Angka 11 Badan  ini  dibentuk untuk menangani  penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.

Angka 12 Cukup jelas 

Angka 13 Cukup jelas 

 Pasal 2 

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:1. Asas manfaat  dimaksudkan untuk  mengamanatkan bahwa segala  upaya dalam 

penyelenggaraan   perlindungan   konsumen   harus   memberikan   manfaat   sebesar­besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 

2. Asas   keadilan   dimaksudkan   agar   partisipasi   seluruh   rakyat   dapat   diwujudkan secara   maksimal   dan   memberikan   kesempatan   kepada   konsumen   dan   pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 

Halaman  36

Page 184: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

3. Asas   keseimbangan   dimaksudkan   untuk   memberikan   keseimbangan   antara kepentingan  konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 

4. Asas   keamanan   dan   keselamatan   konsumen   dimaksudkan   untuk   memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian   dan   pemanfaatan   barang   dan/atau   jasa   yang   dikonsumsi   atau digunakan. 

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati  hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 

 Pasal 3

Cukup jelas  

Pasal 4 Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Cukup jelas Huruf c 

Cukup jelas Huruf d 

Cukup jelas Huruf e 

Cukup jelas Huruf f 

Cukup jelas Huruf g 

Hak   untuk   diperlukan   atau   dilayani   secara   benar   dan   jujur   serta   tidak   diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.

Halaman  37

Page 185: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf h Cukup jelas 

Huruf i Cukup jelas 

 Pasal 5 

Cukup jelas 

Pasal 6 Cukup jelas 

 Pasal 7 Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Cukup jelas Huruf c 

Pelaku usaha dilarang membeda­bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda­bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

Huruf d Cukup jelas 

Huruf e Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.

 Huruf f 

Cukup jelas Huruf g 

Cukup jelas  Pasal 8 Ayat (1) 

Halaman  38

Page 186: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf a Cukup jelas 

Huruf b Cukup jelas 

Huruf c Cukup jelas 

Huruf d Cukup jelas 

Huruf e Cukup jelas 

Huruf f Cukup jelas 

Huruf g Jangka waktu penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk  makanan.

Huruf h Cukup jelas 

 Huruf i 

Cukup jelas  Huruf j 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Barang­barang   yang   dimaksud   adalah   barang­barang   yang   tidak   membahayakan konsumen menurut peraturan perundang­undangan yang berlaku.

 Ayat (3) 

Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang­undangan yang berlaku.

 

Halaman  39

Page 187: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Ayat (4) Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.

 Pasal 9 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

 Pasal 10 

Cukup jelas  Pasal 11 Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Cukup jelas Huruf c 

Cukup  jelas Huruf d 

Yang dimaksud dengan  jumlah  tertentu dan  jumlah yang cukup adalah  jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.

Huruf e Cukup jelas 

Huruf f Cukup jelas 

 Pasal 14 

Halaman  40

Page 188: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Cukup jelas  Pasal 15 

Cukup jelas  Pasal 16 

Cukup jelas  Pasal 17 Ayat (1) 

Cukup jelas Ayat (2) 

Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) 

Larangan  ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. 

Huruf a Cukup jelas 

Huruf b Cukup jelas 

Huruf c Cukup jelas 

Huruf d Cukup jelas 

Huruf e Cukup jelas 

Huruf f Cukup jelas 

Huruf g Cukup jelas 

Huruf h 

Halaman  41

Page 189: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

 Ayat (4) Cukup jelas 

 Pasal 19 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

Ayat (4) Cukup jelas 

Ayat (5) Cukup jelas 

Pasal 20 Cukup jelas 

 Pasal 21 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

 

Halaman  42

Page 190: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 22 Ketentuan  ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.

 Pasal 23 

Cukup jelas  Pasal 24 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Cukup jelas  Pasal 25 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Cukup jelas  Pasal 26  

Cukup jelas 

Pasal 27 Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Cacat  timbul di  kemudian hari  adalah sesudah  tanggal yang mendapat  jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.

Huruf cYang dimaksud dengan kualifikasi  barang adalah ketentuan standardisasi  yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak. 

Halaman  43

Page 191: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf dCukup jelas

Huruf eJangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi

Pasal 28Cukup jelas 

Pasal 29 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

 Ayat (3) 

Cukup jelas 

Ayat (4) Cukup jelas 

Ayat (5) Cukup jelas  

Pasal 30 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Yang   bertanggung   jawab   dengan   menteri   teknis   adalah   menteri   yang   bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.

 

Halaman  44

Page 192: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Ayat (3) Pengawasan yang  dilakukan  oleh  masyarakat  dan   lembaga perlindungan  konsumen swadaya   masyarakat   dilakukan   atas   barang   dan/atau   jasa   yang   beredar   di   pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. 

Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain­lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang­undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.

 

Ayat (4) Cukup jelas 

Ayat (5) Cukup jelas 

 Ayat (6) 

Cukup jelas  Pasal 31 

Cukup jelas  Pasal 32 

Cukup jelas  Pasal 33 

Cukup jelas  Pasal 34 Ayat (1) Huruf a 

Cukup jelas 

Halaman  45

Page 193: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf b Cukup jelas 

Huruf c Cukup jelas 

Huruf d Cukup jelas 

Huruf e Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).

Huruf f Cukup jelas 

Huruf g Cukup jelas 

 Ayat (2) 

Cukup jelas  Pasal 35 Ayat (1) 

Jumlah  wakil setiap unsur tidak harus sama.Ayat (2) 

Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

 Ayat (4) 

Cukup jelas  Pasal 36 Huruf a 

Cukup jelas 

Halaman  46

Page 194: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf b Cukup jelas 

Huruf c Cukup jelas 

Huruf d Akademis adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.

Huruf e Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.

 Pasal 37 

Cukup jelas  Pasal 38 Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Cukup jelas Huruf c 

Cukup jelas Huruf d 

Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.Huruf e 

Cukup jelas Huruf f 

Cukup jelas  Pasal 39 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Cukup jelas 

Halaman  47

Page 195: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Ayat (3) 

Cukup jelas 

Pasal 40 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Yang   dimaksud   dengan   keputusan   Ketua   Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.

 Pasal 41 

Yang   dimaksud   dengan   keputusan   Ketua   Badan   Perlindungan   Konsumen   Nasional adalahkeputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.

 Pasal 42 

Cukup jelas  Pasal 43 

Cukup jelas  Pasal 44 Ayat (1) 

Yang   dimaksud   dengan   memenuhi   syarat,   antara   lain,   terdaftar   dan   diakui   serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.

 Ayat (2) 

Cukup jelas  Ayat (3) 

Cukup jelas 

Halaman  48

Page 196: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Ayat (4) 

Cukup  jelas  Pasal 45 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan  untuk   menggunakan   penyelesaian   damai   oleh   kedua   belah  pihak   yang bersengketa. 

Yang   dimaksud   dengan   penyelesaian   secara   damai   adalah   penyelesaian   yang dilakukan  oleh   kedua  belah  pihak  yang  bersengketa   (pelaku  usaha  dan  konsumen) tanpa   melalui   pengadilan   atau   badan   penyelesaian   sengketa   konsumen   dan   tidak bertentangan dengan undang­undang ini. 

Ayat (3) Cukup jelas 

Ayat (4) Cukup jelas 

 Pasal 46 Ayat (1) Huruf a 

Cukup jelas Huruf b 

Undang­undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar­benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.

Halaman  49

Page 197: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Huruf c Cukup jelas 

Huruf d Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

Pasal 47 Bentuk   jaminan   yang   dimaksud   dalam   hal   ini   berupa   pernyataan   tertulis   yang menerangkan   bahwa   tidak   akan   terulang   kembali   perbuatan   yang   telah   merugikan konsumen tersebut.

 Pasal 48 

Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) 

Cukup jelas 

 Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Unsur konsumen adalah  lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen.

Ayat (4) Cukup jelas 

Ayat (5) Cukup jelas 

Halaman  50

Page 198: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Pasal 50 Cukup jelas 

Pasal 51 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

 Pasal 52 

Cukup jelas 

Pasal 53 Cukup jelas 

Pasal 54 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Yang   dimaksud   dengan   putusan   majelis   bersifat   final   adalah   bahwa   dalam   badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.

 Ayat (4) Cukup jelas 

Pasal 55 Cukup jelas 

Halaman  51

Page 199: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 56 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

Ayat (4) Cukup jelas 

Ayat (5) Cukup jelas 

 Pasal 57 

Cukup jelas 

Pasal 58 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

Pasal 59 Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) Cukup jelas 

Ayat (3) 

Halaman  52

Page 200: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

Cukup jelas 

 Ayat (4) Cukup jelas 

Pasal 60 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Cukup jelas 

Ayat (3) Cukup jelas 

Pasal 61Cukup jelas 

Pasal 62 Ayat (1) 

Cukup jelas  Ayat (2) 

Cukup jelas  Ayat (3) 

Cukup jelas  Pasal 63 

Cukup jelas  Pasal 64 

Cukup jelas 

Halaman  53

Page 201: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN

 Pasal 65 

Cukup jelas 

 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANOMOR 3821

 

Halaman  54

Page 202: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983

TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA

DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang ...

Page 203: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 2 -

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.

Pasal I ...

Page 204: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 3 -

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:

a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);

b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.

5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

6. Jasa ...

Page 205: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 4 -

6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.

8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.

12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.

13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

15. Pengusaha ...

Page 206: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 5 -

15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.

16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.

21. Pembeli ...

Page 207: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 6 -

21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.

22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.

23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.

24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.

26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.

28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.

29. Ekspor ...

Page 208: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 7 -

29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.

2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1A

(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);

c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;

g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan

h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

b. penyerahan ...

Page 209: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 8 -

b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan

e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Orang ...

Page 210: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 9 -

(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4A ...

Page 211: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 10 -

Pasal 4A

(1) Dihapus.

(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

a. jasa pelayanan kesehatan medis;

b. jasa pelayanan sosial;

c. jasa pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa keuangan;

e. jasa asuransi;

f. jasa keagamaan;

g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;

i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

k. jasa tenaga kerja;

l. jasa perhotelan;

m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;

n. jasa penyediaan tempat parkir;

o. jasa ...

Page 212: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 11 -

o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

q. jasa boga atau katering.

6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan

b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A

(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.

(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.

(3) Ketentuan ...

Page 213: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 12 -

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan

c. ekspor Jasa Kena Pajak.

(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).

(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).

(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Ketentuan ...

Page 214: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 13 -

(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak

Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung

dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang

meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai

Ekspor, atau nilai lain.

(2) Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan

ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan

1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5)

disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat

(4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat,

yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat

(8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b)

sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Dihapus.

(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan

dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi

sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang

pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor

barang modal dapat dikreditkan.

(2b) Pajak ...

Page 215: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 14 -

(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan

Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih

besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan

Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh

Pengusaha Kena Pajak.

(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang

dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,

selisihnya merupakan kelebihan pajak yang

dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dapat diajukan permohonan

pengembalian pada akhir tahun buku.

(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak

Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian

pada setiap Masa Pajak oleh:

a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor

Barang Kena Pajak Berwujud;

b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut

Pajak Pertambahan Nilai;

c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak

Pertambahan Nilainya tidak dipungut;

d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor

Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor

Jasa Kena Pajak; dan/atau

f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum

berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

(4c) Pengembalian ...

Page 216: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 15 -

(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada

Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada

ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang

mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak

berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian

pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan

perubahannya.

(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko

rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan

kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)

diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan

terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana

dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat

ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian

pendahuluan kelebihan pajak.

(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak

menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,

jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi

administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan dan perubahannya.

(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena

Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang

pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang

pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang

pajak dapat diketahui dengan pasti dari

pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat

dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan

dengan penyerahan yang terutang pajak.

(6) Apabila ...

Page 217: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 16 -

(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

a. perolehan ...

Page 218: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 17 -

a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak;

b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung

dengan kegiatan usaha;

c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor

berupa sedan dan station wagon, kecuali

merupakan barang dagangan atau disewakan;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar

Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan

sebagai Pengusaha Kena Pajak;

e. dihapus;

f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan

nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak

pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa

Kena Pajak;

g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar

Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 ayat (6);

h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan

penerbitan ketetapan pajak;

i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan

dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu

dilakukan pemeriksaan; dan

j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal

atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena

Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2a).

(9) Pajak ...

Page 219: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 18 -

(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

(10) Dihapus.

(11) Dihapus.

(12) Dihapus.

(13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.

12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:

a. penyerahan Barang Kena Pajak;

b. impor Barang Kena Pajak;

c. penyerahan Jasa Kena Pajak;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;

f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau

h. ekspor ...

Page 220: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 19 -

h. ekspor Jasa Kena Pajak.

(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan

Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa

Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan

sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak

Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah

Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat

pembayaran.

(3) Dihapus.

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain

sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat

terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi

perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan

ketidakadilan.

(5) Dihapus.

13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,

huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang

pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan

dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau

tempat lain selain tempat tinggal atau tempat

kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan

yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha

Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan

1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak

terutang.

(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat

Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(4) Orang ...

Page 221: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 20 -

(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang

Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak

dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d

dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau

tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.

14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak

untuk setiap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau

huruf f dan/atau Pasal 16D;

b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;

c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

huruf g; dan/atau

d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.

(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus dibuat pada:

a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau

penyerahan Jasa Kena Pajak;

b. saat penerimaan pembayaran dalam hal

penerimaan pembayaran terjadi sebelum

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum

penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal

penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Dikecualikan ...

Page 222: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 21 -

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.

(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.

(3) Dihapus.

(4) Dihapus.

(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

(7) Dihapus.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.

15. Di antara ...

Page 223: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 22 -

15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15A

(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.

(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16B

(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

c. impor Barang Kena Pajak tertentu;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.

(3) Pajak ...

Page 224: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 23 -

(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16D

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16E

(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.

(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;

b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan

c. Faktur ...

Page 225: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 24 -

c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:

a. paspor;

b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan

c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.

(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 16F

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

PASAL II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.

Agar ...

Page 226: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 25 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 15 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150

Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

SETIO SAPTO NUGROHO

Page 227: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 42 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983

TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA

DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

I. U M U M

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Perubahan ...

Page 228: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 2 -

Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.

1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan

mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

3. Mengurangi biaya kepatuhan. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula

dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.

4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat

kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).

5. Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan

negara tetap menjadi pertimbangan.

6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.

Angka 2 ...

Page 229: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 3 -

Angka 2

Pasal 1A

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.

Huruf b

Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).

Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.

Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Huruf d ...

Page 230: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 4 -

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.

Huruf e

Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.

Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.

Huruf f

Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.

Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.

Huruf g ...

Page 231: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 5 -

Huruf g

Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.

Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.

Huruf h

Contoh:

Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.

Huruf b ...

Page 232: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 6 -

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.

Huruf e

Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

Angka 3 ...

Page 233: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 7 -

Angka 3

Pasal 3A

Ayat (1)

Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:

a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. memungut pajak yang terutang;

c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan

d. melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Ayat (1a)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.

Ayat (3)

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Angka 4 ...

Page 234: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 8 -

Angka 4

Pasal 4

Ayat (1)

Huruf a

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.

Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Huruf b

Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.

Huruf c ...

Page 235: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 9 -

Huruf c

Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.

Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;

b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

Huruf d

Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh:

Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Huruf e

Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Misalnya ...

Page 236: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 10 -

Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Huruf f

Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).

Huruf g

Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).

Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:

1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;

3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;

4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:

a) penerimaan...

Page 237: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 11 -

a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan

c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Huruf h

Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 5

Pasal 4A

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) ...

...

Page 238: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 12 -

Ayat (2)

Huruf a

Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:

a. minyak mentah (crude oil);

b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;

c. panas bumi;

d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;

e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan

f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.

Huruf b

Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:

a. beras;

b. gabah;

c. jagung;

d. sagu;

e. kedelai;

f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;

g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;

h. telur ...

...

Page 239: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 13 -

h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;

i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;

j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan

k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

Huruf c

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:

1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;

2. jasa dokter hewan;

3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;

4. jasa kebidanan dan dukun bayi;

5. jasa paramedis dan perawat;

6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;

7. jasa ...

...

Page 240: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 14 -

7. jasa psikolog dan psikiater; dan

8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

Huruf b

Jasa pelayanan sosial meliputi:

1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;

2. jasa pemadam kebakaran;

3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;

4. jasa lembaga rehabilitasi;

5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan

6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.

Huruf c

Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

Huruf d

Jasa keuangan meliputi:

1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;

2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;

3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:

a) sewa guna usaha dengan hak opsi;

b) anjak piutang;

c) usaha kartu kredit; dan/atau

d) pembiayaan konsumen;

4. jasa ...

Page 241: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 15 -

4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan

5. jasa penjaminan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.

Huruf f

Jasa keagamaan meliputi:

1. jasa pelayanan rumah ibadah;

2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;

3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan

4. jasa lainnya di bidang keagamaan.

Huruf g

Jasa pendidikan meliputi:

1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan

2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

Huruf h

Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.

Huruf i ...

Page 242: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 16 -

Huruf i

Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Jasa tenaga kerja meliputi:

1. jasa tenaga kerja;

2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan

3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

Huruf l

Jasa perhotelan meliputi:

1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan

2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Huruf m

Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.

Huruf n ...

Page 243: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 17 -

Huruf n

Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.

Huruf o

Yang dimaksud dengan “jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 5

Ayat (1)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:

a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;

b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;

c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan

d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

Yang ...

Page 244: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 18 -

Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:

1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;

2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;

3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau

4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.

Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.

Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:

a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;

b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;

c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;

d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan

e. membotolkan ...

Page 245: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 19 -

e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

Ayat (2)

Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:

a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau

b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Angka 7

Pasal 5A

Ayat (1)

Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:

a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;

b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau

c. biaya ...

Page 246: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 20 -

c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.

Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:

a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;

b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau

c. biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Angka 8 ...

Page 247: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 21 -

Angka 8

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,

a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;

b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau

c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,

dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).

Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

Ayat (3)

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Angka 9 ...

Page 248: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 22 -

Angka 9

Pasal 8

Ayat (1)

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

Ayat (2)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.

Ayat (3)

Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.

Ayat (4) ...

Page 249: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 23 -

Ayat (4)

Cukup jelas.

Angka 10

Pasal 8A

Ayat (1)

Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut.

Contoh:

a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.

b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.

c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.

d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.

Ayat (2) ...

Page 250: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 24 -

Ayat (2)

Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:

a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau

b. penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.

Angka 11

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.

Ayat (2a) ...

Page 251: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 25 -

Ayat (2a)

Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).

Ayat (2b)

Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).

Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Contoh:

Masa Pajak Mei 2010

Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

= Rp4.500.000,00

--------------------(-)

Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.

Masa Pajak ...

Page 252: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 26 -

Masa Pajak Juni 2010

Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

=

Rp2.000.000,00

------------------- (-)

Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00

Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak

Mei 2010 yang dikompensasikan ke

Masa Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00

------------------- (-)

Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak

Juni 2010 = Rp1.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.

Ayat (4a)

Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).

Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).

Ayat (4b)

Cukup jelas.

Ayat (4c)

Cukup jelas.

Ayat (4d)

Cukup jelas.

Ayat (4e) ...

Page 253: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 27 -

Ayat (4e)

Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ayat (4f)

Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.

Pengusaha ...

Page 254: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 28 -

Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:

a. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00

Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00

b. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00

Pajak Keluaran = nihil

c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00

Pajak Keluaran = nihil

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:

a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00

b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00

c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00

Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.

Ayat (6) ...

Page 255: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 29 -

Ayat (6)

Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:

a. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00

Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00

b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00

Pajak Keluaran = nihil

Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Ayat (6a)

Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.

Ayat (6b) ...

Page 256: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 30 -

Ayat (6b)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7a)

Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

Ayat (7b)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Huruf a

Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

Contoh:

Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.

Huruf b ...

Page 257: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 31 -

Huruf b

Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

Contoh:

Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.

Huruf e ...

Page 258: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 32 -

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Huruf i

Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

Contoh:

Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:

Pajak Keluaran = Rp10.000.000,00

Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00

Dari hasil pemeriksaan diketahui:

Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00

Pajak Masukan = Rp11.000.000,00

Dalam ...

Page 259: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 33 -

Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan

Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00

Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00

----------------------(-)

Kurang Bayar menurut

hasil pemeriksaan = Rp 7.000.000,00

Kurang Bayar menurut

Surat Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00

----------------------(-)

Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat (9)

Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.

Contoh: ...

Page 260: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 34 -

Contoh:

Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.

Ayat (10)

Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas.

Ayat (12)

Cukup jelas.

Ayat (13)

Cukup jelas.

Ayat (14)

Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 11

Ayat (1)

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d ...

Page 261: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 35 -

Huruf d

Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.

Ayat (3) ...

Page 262: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 36 -

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 12

Ayat (1)

Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.

Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.

Contoh 1:

Page 263: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 37 -

Contoh 1: Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Contoh 2: PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.

Dalam ...

Page 264: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 38 -

Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.

Ayat (2)

Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.

Angka 14

Pasal 13

Ayat (1)

Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan ...

Page 265: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 39 -

Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.

Ayat (1a)

Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.

Ayat (2)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.

Ayat (2a)

Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.

Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.

Contoh 2: ...

Page 266: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 40 -

Contoh 2:

Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.

Contoh 3:

Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.

Ayat (6) ...

Page 267: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 41 -

Ayat (6)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:

a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;

b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan

c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.

Ayat (9)

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Faktur ...

Page 268: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 42 -

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.

Angka 15

Pasal 15A

Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Dalam ...

Page 269: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 43 -

Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

Angka 16

Pasal 16B

Ayat (1)

Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.

Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:

a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;

b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;

c. mendorong ...

Page 270: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 44 -

c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;

d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;

e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;

f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;

g. mendorong pembangunan tempat ibadah;

h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;

i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;

j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;

k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;

l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;

m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;

n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau

o. menjamin ...

Page 271: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 45 -

o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.

Ayat (2)

Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).

Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.

Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (3) ...

Page 272: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 46 -

Ayat (3)

Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.

Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

Angka 17

Pasal 16 D

Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.

Namun ...

Page 273: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 47 -

Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

Angka 18

Pasal 16E

Ayat (1)

Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.

Ayat (2)

Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.

Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4) ...

Page 274: ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30371/1/DEWI... · Hukum Universitas Islam Negeri ... dilihat dari perspektif hukum mengenai

- 48 -

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 16F

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

PASAL II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069