ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK...
Transcript of ANALISIS AKAD MURABAHAH DALAM PRODUK...
ANALISIS AKAD MURABAHAH
DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH
(PERSPEKTIF HUKUM PERPAJAKAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy.)
Oleh:
DEWI RIKA KOESNAINI
NIM. 1111046100071
K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H / 2015 M
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban studinya. Shalawat teriring salam
semoga tercurahkan kepada pembawa amanah, tauladan umat, Nabi Muhammad
SAW., para keluarga, sahabat dan orang-orang yang tercerahkan untuk membumikan
hukum-hukumnya.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur
memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat dan terima kasih atas segala kepedulian
mereka yang telah memberikan bantuan, baik berupa sapaan moril, kritik, masukan,
dorongan semangat, dukungan finansial maupun sumbangan pemikiran dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis secara khusus mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA. dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA., selaku ketua
dan sekretaris Pogram Studi Muamalat (Hukum Ekonomi Islam)
3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu, pikiran dan tenaga
serta kesabarannya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA. dan Bapak H. Muh. Fudhail
Rahman, Lc., MA., selaku dosen penguji sidang munaqasah penulis yang
telah banyak memberikan saran dan pandangan yang luas untuk melengkapi
isi karya tulis ini.
5. Seluruh dosen serta civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis.
vi
6. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
serta Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak Yayat Taryadi dan Ibu Thania Febriani selaku Consumer Bussiness
Division dari Bank Muamalat Indonesia, serta pimpinan dan karyawan
Perpustakaan Muamalat Institute yang telah mengijinkan penulis melakukan
penelitian dan membantu dalam memperoleh data.
8. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Kusnadi, S.E. dan Ibu Evi Susnaini,
selaku motivasi terbesar bagi penulis untuk secepatnya menyelesaikan skripsi
ini. Setiap pesan dan nasihat yang disampaikan selalu memberikan inspirasi
serta motivasi bagi penulis dalam melewati setiap langkah kehidupan ini.
Tidak lupa juga, adik-adik penulis yang merupakan anugerah terindah yang
telah Allah SWT berikan, yaitu Muhammad Ilham dan Anindia Khairunnisa
Kusnadi.
9. Sahabat-sahabat penulis yang selalu mendukung penulis secara moril dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, yaitu Erna
Setiawati, Fachriatun Halimatussa’diyah, Amrina Rosyada, Sundari Rahayu,
Siti Amaniatus Soleha, Vivi Anggraeni, dan Futuh Ihsan Salsabil.
10. Kru Information Technology (IT Division) Bank Muamalat Indonesia Kantor
Pusat, yaitu Ibu Eva Nurfauziah, Bapak Sahri, Bapak Muhammad Yusuf
Sopian dan yang lain yang tidak dapat disebutkan semua. Mereka yang sudah
memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang menarik selama 3 bulan
penulis melakukan praktek magang di Kantor Pusat Bank Muamalat
Indonesia.
11. Teman-teman seperjuangan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya mahasiswa/i Perbankan Syariah angkatan
2011 yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam skripsi ini.
Terima kasih atas semua kenangan yang tidak terlupakan, semoga silaturahim
kita dapat tetap terjalin sampai kapanpun.
vii
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini,
penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT mencatatnya
sebagai amal dan membalasnya dengan yang lebih baik. Selain itu, penulis akui
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, besar harapan
penulis munculnya saran untuk menunjang kesempurnaan atas skripsi ini di waktu
mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan.
Aamiin.
Jakarta, Juli 2015
Dewi Rika Koesnaini
viii
ABSTRAK
DEWI RIKA KOESNAINI, NIM 1111046100071, Analisis Akad
Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah Pada Perbankan Syariah,
Strata Satu (S1), Konsentrasi Perbankan Syariah, Program studi Muamalat, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Penelitian ini dilakukan pada dua bank syariah, yaitu Bank Muamalat
Indonesia dan Bank Syariah Mandiri dengan tujuan untuk menganalisis penerapan
pajak pertambahan nilai sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang terbaru
dan melihat konsistensi perbankan syariah dalam membuat klausul baku pembiayaan
murabahah dalam perspektif perlindungan konsumen. Adanya penelitian ini akan
membantu bank syariah dalam mengevaluasi kinerja dalam perspektif hukum positif
yang telah diterbitkan dan diberlakukan pemerintah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian
lapangan (wawancara dan studi dokumentasi). Alat analisis data yang digunakan
adalah analisis komponensial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak berganda
sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-Undang
tersebut berlaku mulai tanggal 1 April 2010 yang menyatakan penghapusan pajak
berganda atas pembiayaan murabahah. Namun tanggal 28 Desember 2010
diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang
memberlakukan penghapusan pajak pertambahan nilai atas pembiayaan murabahah.
Selain itu, dilihat dari perspektif hukum mengenai perlindungan konsumen pada
penerapan klausula baku perjanjian pembiayaan, terdapat beberapa perlindungan
konsumen yang tercantum didalamnya seperti terpenuhinya hak nasabah dalam
memilih obyek pembiayaan yang diinginkan. Disamping terpenuhinya beberapa
klausula baku perjanjian pembiayaan murabahah, terdapat pula beberapa klausula
baku yang melanggar peraturan perlindungan konsumen. Pelanggaran-pelanggaran
tersebut meliputi adanya klausula tambahan yang dibuat secara sepihak oleh bank
syariah.
Kata kunci :Pembiayaan murabahah, hunian syariah, pajak pertambahan nilai,
perlindungan konsumen
Pembimbing : H. Ah. Azharuddin Lathif, MA., MH.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................ ii
HALAMAN PNGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 10
D. Review Studi Terdahulu .......................................................... 12
E. Metode Penelitian ................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan.............................................................. 20
x
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Murabahah
1. Konsep Murabahah ........................................................... 23
2. Landasan Hukum Murabahah ............................................ 25
3. Ketentuan Umum Murabahah ............................................ 26
4. Mekanisme Murabahah ..................................................... 30
B. Perspektif Hukum Positif Terkait Murabahah
1. Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Perpajakan ........................................................... 33
2. Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Perlindungan Konsumen ...................................... 39
BAB III PRAKTEK MURABAHAH DALAM PRODUK PEMBIAYAAN
HUNIAN SYARIAH
A. Konsep Praktek Murabahah Kontemporer ............................... 52
B. Prosedur Murabahah Dalam Produk Pembiayaan
Hunian Syariah ....................................................................... 57
BAB IV ANALISIS AKAD MURABAHAH
A. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang
Perpajakan
1. Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai
Pada Bank Syariah ............................................................ 64
2. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan
xi
Undang-Undang omor 42 Tahun 2009 ............................... 69
3. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 .. 74
B. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
1. Kontrak Pembiayaan Murabahah ...................................... 79
2. Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan
Berdasarkan Akta Perjanjian Pembiayaan .......................... 88
3. Bentuk Pelanggaran Terhadap Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ................................................... 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 100
B. Saran ....................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 104
LAMPIRAN .......................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perbanding Studi Terdahulu .......................................................... 12
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Murabahah Klasik .............................................................. 32
Gambar 3.1. Alur Murabahah Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah .......................... 54
Gambar 3.2. Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah ........ 55
Gambar 3.3. Alur al-Wakalah wal Murabahah ................................................... 57
Gambar 4.1. Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah Di Bank Syariah ....... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu ekonomi, manusia harus dapat memenuhi segala
kebutuhannya. Kebutuhan adalah perasaan kekurangan yang berasal dari
dalam diri manusia terhadap benda atau jasa yang dapat memberikan
kepuasan kepada manusia itu sendiri1. Kebutuhan yang mutlak dipenuhi
manusia biasanya dikenal dengan kebutuhan primer. Kebutuhan primer
dimaksudkan apabila kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi, maka manusia akan
mengalami kesulitan dalam hidupnya. Kebutuhan primer yang selayaknya
dipenuhi diantaranya, pakaian (sandang), makanan dan minuman (pangan),
dan tempat tinggal (papan).
Pakaian (sandang) merupakan salah satu kebutuhan pokok yang lazim
dipenuhi. Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan penutup
dirinya. Kebutuhan pokok selanjutnya adalah makanan dan minuman
(pangan). Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang paling utama bagi
semua makhluk hidup, baik hewan maupun manusia. Makanan dan minuman
yang dicerna oleh tubuh makhluk hidup akan menghasilkan energi untuk
bertahan hidup.
1 Sukwiaty, dkk., Ekonomi SMA Kelas X (Jakarta: Yudhistira, 2009), h.2.
2
Kebutuhan primer yang terakhir adalah tempat tinggal (papan).
Kebutuhan papan ini pada awalnya ditujukan untuk melindungi manusia dari
sinar matahari dan serangan hewan buas. Namun dengan semakin
berkembangnya jaman, tujuan terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal berubah
sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat saat ini.
Seiring dengan semakin pesat pertumbuhan penduduk di Indonesia
saat ini, sehingga menimbulkan banyaknya permintaan akan kebutuhan
tempat tinggal yang layak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan
rumah di Indonesia mencapai 31 juta unit2. Melihat peluang peningkatan
permintaan akan tempat tinggal yang layak huni ini, maka sektor perbankan
mencoba untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin memiliki tempat tinggal
yang layak huni. Fasilitas perbankan ini biasa dikenal dengan sebutan Kredit
Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR).
Berdasarkan sifatnya, KPR tergolong dalam jenis kredit konsumsi,
yaitu kredit jangka pendek atau jangka panjang yang diberikan kepada debitur
untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala
kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan
nasabah debitur yang bersangkutan3.
2 Meutia Febrina Anugrah, “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”,
artikel diakses pada 3 Oktober 2014 dari
http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-di-indonesia-
membeludak-31-juta-unit. 3 Hermansyah, S.H., M.Hum., Ed., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI
(Jakarta: Kencana, 2001), h.61.
3
Dalam Undang-Undang perbankan telah dijabarkan mengenai
pengertian lembaga keuangan bank secara otentik yang berbunyi sebagai
berikut4:
“Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak5”.
Dalam pengertian tersebut, tersirat makna dari fungsi bank, yaitu sebagai
intermediary. Fungsi tersebut meliputi menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.
Fungsi bank sebagai lembaga intermediary jelas terlihat pada
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan modal usaha
maupun pembiayaan yang bersifat konsumtif termasuk KPR didalamnya.
Di Indonesia memiliki 2 jenis bank umum, yaitu bank umum
konvensional dan bank umum syariah. Pembiayaan KPR bukan hanya
terdapat pada bank konvensional saja, melainkan terdapat pula pada bank
syariah. Meskipun untuk tujuan yang sama, yaitu kepemilikan rumah, namun
pada kenyataannya diantara kedua jenis bank tersebut memiliki aplikasi
praktek yang sangat bertolakbelakang.
4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah Pasal 1 Angka 2. 5 Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
4
Di Indonesia jumlah Bank Umum Syariah (BUS) mencapai 12 unit,
Unit Usaha Syariah (UUS) mencapai 22 unit, dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) mencapai 163 unit6. Lembaga keuangan bank syariah yang
terdapat di Indonesia, rata-rata melakukan penyaluran pembiayaan KPR
menggunakan prinsip jual-beli (al-bai’), yaitu dengan menggunakan akad
murabahah.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, murabahah adalah jual beli barang
sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang
disepakati7.
Karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli
tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut8. Biaya-biaya tersebut dapat berupa biaya
langsung maupun biaya tidak langsung yang berkaitan dengan pekerjaan
ataupun hal-hal yang berguna dalam mendapatkan barang yang diinginkan
nasabah.
6 Yosi Winosa, “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8
Oktober 2014 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-penambahan-bank-umum-
syariah.html. 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 8 Ibnu Rusyd, “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” dalam Adiwarman A.
Karim, “Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan)” (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h.113.
5
Sesuai dengan kaidah fiqh muamalah yang tertuang dalam fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dikatakan
bahwa bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank dan
bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli ditambah keuntungannya9. Dalam kaitan ini bank
harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut
biaya yang diperlukan sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Pernyataan yang sama dijelaskan pula dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Jadi singkatnya, transaksi yang menggunakan prinsip jual-beli
murabahah mengharuskan bank memiliki (secara prinsip) barang yang
diinginkan ataupun barang yang dipesan oleh nasabah yang mengajukan
pembiayaan. Setelah itu, bank akan menjualnya kepada nasabah peminjam
dengan pembayaran tangguh maupun pembayaran tunai pada waktu yang
telah disepakati bersama.
Namun dalam praktiknya di lembaga keuangan syariah, terutama
perbankan syariah, terdapat beberapa modifikasi yang dilakukan pihak bank
syariah dalam melakukan penyaluran pembiayaan murabahah dalam
pemenuhan produk pembiayaan hunian syariah dan terkadang terkesan
mengabaikan peraturan dan fatwa yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan
9 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
6
menerapkan beberapa model modifikasi pembiayaan murabahah ini juga
berpengaruh terhadap bentuk kontrak/akta perjanjian yang menjadi Undang-
Undang dalam melakukan pembiayaan murabahah.
Pada umumnya, kontrak yang akan mengikat perjanjian pembiayaan
biasanya disusun secara sepihak oleh pihak bank syariah. Sehingga nasabah
hanya menerima hasil akhir dari bentuk kontrak tersebut dan
menandatanganinya tanpa ada perundingan terlebih dahulu mengenai isi
kontrak tersebut. Isi kontrak tersebut biasanya menjabarkan mengenai
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak nasabah debitur tanpa
menjelaskan mengenai hak yang didapatkannya. Hal ini dapat bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam Undang-Undang ini lebih membatasi dan mengatur para
pelaku usaha atau dalam konteks pembiayaan adalah pihak yang menyediakan
dana.
Selain itu, dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah tidak
diatur mengenai perpajakan yang dimiliki oleh barang atau jasa yang menjadi
objek perjanjian. Dalam pembiayaan hunian syariah, barang yang menjadi
objek perjanjian adalah rumah. Rumah memiliki konsep perpajakan seperti
pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB), dan pajak pertambahan nilai (PPN). Ketiga komponen
pajak tersebut erat kaitannya dalam hal jual-beli properti (rumah). Namun
biasanya dalam kontrak perjanjian pembiayaan murabahah yang
7
memfasilitasi pembiayaan hunian syariah, ketiga komponen perpajakan
tersebut tidak dibahas secara terperinci. Sehingga permasalahan perpajakan
atas suatu barang yang dijadikan objek perjanjian kurang diperhatikan dalam
pelaksanaan penyaluran pembiayaan murabahah yang dipraktikan dalam
lembaga keuangan syariah.
Selain mengenai perpajakan, dalam kontrak pembiayaan terkadang
sering ditemukan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Seperti yang ditemukan dalam skripsi
Abdul Hafid Nur. Hasil yang ditemukan mengungkapkan terdapat 13 poin
kesalahan ataupun pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) yang dilakukan oleh pihak bank syariah dalam pembuatan
kontrak pembiayaan10
. Namun dalam konteks ini, penelitian yang dilakukan
oleh Abdul Hafid Nur terbatas pada kontrak pembiayaan musyarakah, dan
bukan mengenai kontrak pembiayaan murabahah.
Untuk itulah, penulis bermaksud untuk mengidentifikasi berbagai jenis
modifikasi akad murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariah di
Indonesia dalam penyaluran pembiayaan hunian syariah dan peranan
perundang-udangan perpajakan dan perlindungan konsumen dalam
penyaluran pembiayaan hunian syariah. Judul penelitian yang dilakukan
10 Abdul Hafid Nur, Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU
No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 83
8
adalah “Analisis Akad Murabahah dalam Produk Pembiayaan Hunian
Syariah (Perspektif Hukum Perpajakan dan Perlindungan Konsumen)”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Seiring semakin pesatnya perkembangan perbankan syariah di
Indonesia, maka berpengaruh juga terhadap perkembangan produk-
produk yang ditawarkan kepada nasabah. Berdasarkan beberapa
produk yang berkembang dalam industri perbankan syariah, terdapat
produk murabahah yang eksistensinya lebih unggul dari produk-
produk lainnya.
Sebagai perbankan syariah yang pertama didirikan di Indonesia,
Bank Muamalat sangat berpengaruh terhadap eksistensi produk yang
menggunakan akad murabahah. Selain skema yang tidak mempersulit
nasabah, ketetapan dalam penentuan margin keuntungan yang
diperoleh pihak bank syariah menjadi alasan utama berkembangnya
produk yang menggunakan akad murabahah ini.
Produk-produk yang pada umumnya menggunakan akad
murabahah diantaranya pembiayaan kendaraan bermotor dan
pembiayaan pengadaan rumah. Biasanya produk-produk yang
menggunakan akad murabahah adalah pembiayaan yang bersifat
konsumtif. Pembiayaan konsumtif sangat berpengaruh pada tingkat
9
pengembalian kembali oleh nasabah sehingga tingkat kredit macet
pada produk ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produk
lainnya.
Pada pembiayaan hunian, akad yang ditawarkan tidak hanya
murabahah saja, melainkan terdapat akad lainnya. Disamping itu,
penggunaan akad murabahah masih sering digunakan meskipun pada
akhir-akhir ini akad yang bersifat partnership (kerjasama) hampir
mengalahkan eksistensi akad murabahah selama ini. Dibalik
eksistensinya akad murabahah inilah akan dilihat mengenai penerapan
pada perbankan syariah telah sesuai dengan peraturan-peraturan yang
membatasinya atau belum sesuai dengannya.
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan karya tulis ini, agar tidak keluar dan mencapai
fokus yang diharapkan, maka penulis perlu membatasi lingkup
penulisan yang akan dibahas. Ruang lingkup penelitian hanya dibatasi
pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri. Selain itu objek
penelitian yang digunakan hanya sebatas produk pembiayaan hunian
syariah dengan menggunakan akad murabahah.
Proses perumusan masalah merupakan tahapan paling penting
dalam sebuah proses penelitian. Sehingga permasalahan yang menjadi
pokok bahasan menjadi lebih jelas dan terfokus. Adapun secara
10
spesifik perumusan masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas
produk pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?
2. Bagaimana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas produk
pembiayaan murabahah setelah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009?
3. Bagaimana penerapan Undang-Undang dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen dalam konteks
kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya,
maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini,
diantaranya:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis permulaan terjadinya konflik
pertentangan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas produk
pembiayaan murabahah pada perbankan syariah.
2. Mengidentifikasi, menjelaskan dan menganalisis pemberlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas produk pembiayaan murabahah setelah
diberlakukannya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai terbaru.
11
3. Mengidentifikasi dan menganalisis penerapan Undang-Undang dan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen
dalam konteks kontrak pembiayaan murabahah pada perbankan
syariah.
Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini dapat dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya:
a. Bagi peneliti
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
berbagai jenis akad murabahah dalam keterkaitannya dengan
perundang-undangan di Indonesia.
b. Bagi pihak perbankan syariah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan evaluasi terhadap
penerapan aplikasi akad murabahah dalam produk pembiayaan hunian
syariah yang diterapkan pada masing-masing bank syariah.
c. Bagi akademisi
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan dan bahan
untuk pengembangan dan penelitian tentang penerpan akad
murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan hunian syariah.
d. Bagi masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan pemahaman mengenai akad murabahah yang
12
digunakan dalam produk pembiayaan, khususnya produk pembiayaan
hunian syariah.
D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, terdapat beberapa jurnal
maupun skripsi yang berkaitan tentang akad-akad yang digunakan dalam
produk pembiayaan hunian syariah ini. Adapun hasil studi review terdahulu
yang dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya:
Tabel 1.1
Perbandingan Studi Terdahulu
Aspek
Perbandingan Studi Terdahulu 1 Studi Terdahulu 2 Studi Terdahulu 3 Skripsi Penulis
Judul/Penulis Analisis Pajak
Pertambahan Nilai
Bagi Produk
Perbankan Syariah
Murabahah.
Penulis: Stevani
Citra Arihta
(Akuntansi, Fakultas
Ekonomi, Trisakti
School of
management)
Aplikasi Kontrak
Musyarakah Di
Bank Syariah X
Ditinjau Dari UU
No.8 Tahun 1999
Tentang
Perlindungan
Konsumen.
Penulis: Abdul
Hafid Nur
(Perbankan Syariah
Fakultas Syariah
dan Hukum UIN
Jakarta)
Studi Komparasi
Penggunaan Akad
Murabahah, Ijarah
Muntahiya
Bittamlik, dan
Musyarakah
Mutanaqisah
Dalam Pembiayaan
KPR di Bank
Syariah. Penulis:
Prasetyo Wardoyo
(Perbankan Syariah
Fakultas Syariah
dan Hukum UIN
Jakarta)
Analisis Akad
Murabahah Dalam
Produk Pembiayaan
Hunian Syariah Pada
Perbankan Syariah
di Indonesia
13
Pendekatan
Teori
Hakikat penerapan
pajak pertambahan
nilai dalam
pembiayaan
murabahah
berdasarkan Undang-
Undang Pajak
Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan
Barang Mewah (UU
PPN dan PPnBM)
Hakikat penerapan
kontrak
musyarakah
berdasarkan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK)
Hakikat
murabahah, IMBT
dan musyarakah
mutanaqisah
berdasarkan fatwa
DSN dan peraturan
Bank Indonesia
Hakikat
murabahahberdasark
an Undang-Undang,
fatwa DSN dan
peraturan Bank
Indonesia
Fokus Skripsi ini fokus
pada praktek
pemberlakuan Pajak
Pertambahan Nilai
dalam akad
murabahah yang
berlaku pada
perbankan syariah
Skripsi ini fokus
pada bentuk
kontrak dan
ketidaksesuaian isi
kontrak
musyarakah
berdasarkan UU
Perlindungan
Konsumen
Skripsi ini fokus
pada perbandingan
karakteristik, risiko
dan keunggulan
akad-akad
kontemporer yang
berlaku pada bank
syariah di
Indonesia
Skripsi ini fokus
pada isi kontrak
murabahah yang
mengacu pada
kesesuaian UU
perpajakan, UU
perlindungan
konsumen dan
KUHP
Metode
Penulisan
Skripsi ini
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
deskriptif analisis
Skripsi ini
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
konsep, perundang-
undangan dan
pedekatan kasus
Skripsi ini
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
deskriptif
Skripsi ini
menggunakan
metode kualitatif
dengan pendekatan
deskriptif
14
Hasil
Penelitian
PPN atas
pembiayaan
murabahah
dikenakan lebih
disebabkan karena
pengenaan pajak
tersebut secara tidak
langsung dan
dialihkan kepada
pembeli terakhir.
Sehingga dapat
dikatakan bahwa
pengenaan PPN atas
pembiayaan
murabahah
merupakan salah satu
pajak atas konsumsi
dan pihak Direktorat
Jenderal Pajak tetap
ingin menarik pajak
tersebut.
Kontrak
musyarakah belum
memenuhi
ketentuan UU
Perlindungan
Konsumen
dikarenakan
terdapat banyak
pelanggaran yang
dilakukan oleh
pihak bank syariah
Perbedaan
karakteristik lebih
terletak pada
prinsip. Risiko
pada bank lebih
pada wanprestasi
yang dilakukan
nasabah.
Antisipasinya
dengan
menetapkan uang
muka & jaminan.
Akad murabahah
unggul dengan
cicilan tetap dan
mekanisme mudah,
IMBT serta
musyarakah
mutanaqisah
dengan margin
lebih rendah dan
jangka panjang.
Setelah
dikeluarkannya
Peraturan Menteri
Keuangan Nomor
251/PMK.011/2010,
PPN atas
pembiayaan
murabahah di
perbankan syariah
telah dihapuskan.
Jika dilihat
berdasarkan sisi
perlindungan
hukum, pemerintah
mengeluarkan
peraturan-peraturan
yang juga mencakup
aturan klausula
baku. Namun pihak
bank syariah masih
terdapat pelanggaran
atas peraturan-
peraturan tersebut.
Sumber: diolah dari data sekunder
Berdasarkan beberapa skripsi diatas, terdapat perbedaan permasalahan
yang akan dibahas pada penelitian ini. Pada penelitian ini, penulis melengkapi
serta menggabungkan permasalahan terkait pembiayaan murabahah dalam
produk hunian syariah berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan lainnya
mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Perlindungan Konsumen.
Permasalahan tersebut jelas berbeda dengan studi terdahulu yang
dibahas oleh Stevani Citra Arihta dan Prasetyo Wardoyo. Dalam penelitian
Stevani, penelitian tersebut menjelaskan praktek pembiayaan murabahah dari
awal pertentangan antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dan pihak Bank
15
Indonesia, selain itu penelitian tersebut masih mengacu pada perundang-
undangan pajak sebelum revisi, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo Wardoyo, penelitian
tersebut mengidentifikasi berbagai jenis akad-akad kontemporer yang
berkembang saat ini dan membandingkannya berdasarkan karakteristik, risiko
dan keunggulannya.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hafid Nur
hampir menyerupai dengan penelitian ini. Namun akad yang diteliti berbeda.
Akad yang digunakan oleh Abdul Hafid Nur adalah musyarakah, sedangkan
dalam penelitian ini menggunakan objek akad murabahah. Selain itu, dalam
penelitian yang dilakukan Abdul Hafid Nur menggunakan tinjauan pustaka
berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen saja. Sedangkan
tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berupa Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan perlindungan konsumen.
Sampai disini jelaslah bahwa permasalahan penelitian yang akan dilakukan ini
lebih mengembangkan pada permasalahan penelitian-penelitian terdahulu.
16
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis
penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian kualitatif
dengan menggunakan beberapa pendekatan deskriptif, yaitu pendekatan
konsep, perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif, ucapan atau tulisan yang perilaku yang dapat diamati dari
orang-orang (subyek) itu sendiri11
. Sedangkan pendekatan deskriptif
adalah penelitian yang menggambarkan data informasi yang berdasarkan
pada fakta yang diperoleh di lapangan12
.
Pendekatan konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep
dengan aplikasi yang berlaku di perbankan syariah. Sedangkan
perundang-undangan dilakukan untuk mengungkap konsep kontrak dalam
sistem hukum di Indonesia. Untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa
peraturan perundang-undangan terkait diantaranya, undang-undang
perpajakan dan undang-undang perlindungan konsumen. Terakhir,
pendekatan kasus dilakukan untuk melihat pelanggaran klausula kontrak
11 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif ,
Penerjemah Arief Furchan (Surabaya : Usana Offset Printing, 1992) Cet. Ke-1, hal.21-22. 12 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet. Ke-2, (Jakarta : PT Renika Cipta,
1993), Hal.309.
17
dengan konsep atau teori dan perundang-undangan di lembaga perbankan
syariah.
Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan syariah, maka
dalam penelitian ini lembaga keuangan syariah yang menjadi objek kajian
akan dibatasi hanya pada lembaga keuangan perbankan syariah. Lembaga
keuangan perbankan syariah dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa
praktik kontrak di lembaga keuangan tersebut terdapat banyak melakukan
pelanggaran terhadap perundang-undangan terkait.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sebagai
berikut:
a. Data Primer
Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara pihak yang
bersangkutan, yakni Bank Muamalat Indonesia. Dalam hal ini
peneliti mengajukan pertanyaan atau berkomunikasi secara
langsung dengan pihak-pihak terkait pada produk pembiayaan
hunian syariah.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-
literatur kepustakaan yang berkaitan dengan materi yang akan
18
dibahas13
, baik berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), kontrak
pembiayaan, keterangan-keterangan lain terkait produk pembiayaan
hunian syariah dari brosur/katalog di website bank yang menjadi
sumber penelitian.
3. Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah akad
yang pada umumnya digunakan dalam produk pembiayaan terkait hunian
syariah atau biasa dikenal dengan KPR syariah di perbankan syariah,
yaitu akad murabahah.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, maka dalam
pengumpulan data penulis melakukan penelitian melalui:
a. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah melakukan penelusuran
kepustakaan dan menelaahnya14
. Studi dokumentasi dilakukan
untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang konsep-
konsep yang akan dikaji. Pengumpulan data ini dilakukan dengan
membaca, mempelajari dan menelaah data yang didapat secara
13 Hendry, “Metode Pengumpulan Data”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014
dari http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data. 14 Masri Singarimbun dan Sofwan Effendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta : LPES,
1989) h.192.
19
seksama, selanjutnya dari proses analisa tersebut peneliti
mengambil kesimpulan dari masalah yang bersifat umum kepada
masalah yang bersifat khusus.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah pengumpulan data secara langsung ke
lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui
observasi dan wawancara15
. Adapun dalam penelitian ini cukup
dilakukan wawancara secara mendalam kepada narasumber yang
cakap dan kompeten mengenai bidang penyaluran pembiayaan,
khususnya pembiayaan hunian syariah. Tipe wawancara yang
dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara
yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan
pertanyaan, namun tetap berpegang pada permasalahan yang sesuai
dengan tujuan wawancara16
. Sifat wawancara yang dilakukan
adalah wawancara terbuka, artinya wawancara yang subjeknya
mengetahui bahwa sedang diwawancarai dan mengetahui maksud
dan tujuan wawancara tersebut.
15 Agung, “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”, Artikel diakses pada 17 Desember
2014 dari http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapangan-
penelitian.html. 16 Prastna, “Jenis-jenis Wawancara”, Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari
http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara.
20
5. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis
secara kualitatif. Analisis data yang digunakan adalah analisis
komponensial. Tujuan dari teknik analisis komponensial ialah
menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan yang kontras antara
satu dengan lainnya dalam domain-domain yang telah ditentukan untuk
dianalisis secara rinci17
. Selain itu teknik penulisan laporan penelitian ini
berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2012”yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang dibahas satu persatu
secara sistematis sehingga masalah yang terdapat di dalamnya menjadi jelas.
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
17 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007) h.95-96.
21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan tinjauan umum mengenai
akad murabahah yang digunakan dalam produk pembiayaan
hunian syariah di Indonesia dan penjelasan umum mengenai
perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen.
Pada bab 2 ini terdiri dari 2 (dua) subbab, diantaranya subbab
pertama menguraikan konsep murabahah, meliputi
pengertian, landasan hukum, ketentuan-ketentuan umum akad
murabahah, dan mekanisme akad murabahah menurut fiqih
muamalat klasik. Dan subbab terakhir menguraikan konsep
perundang-undangan perpajakan dan perlindungan konsumen.
BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai praktik
murabahah pada perbankan syariah. Bab ini terdiri dari 3
(tiga) subbab, yaitu subbab pertama membahas tentang model
modifikasi penyaluran pembiayaan di perbankan syariah.
Subbab kedua membahas mengenai prosedur pembiayaan
pada perbankan syariah. dan subbab terakhir membahas
mengenai isi kontrak perjanjian pembiayaan murabahah.
BAB IV ANALISIS
Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai hasil
penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga terdiri atas
22
2 (dua) subbab. Subbab pertama menjelaskan mengenai
pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam
penerapan pembiayaan murabahah. Subbab kedua
menjelaskan mengenai penerapan perlindungan konsumen
dalam pembiayaan murabahah.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini memberikan penutup berupa kesimpulan dan
saran atas penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
Kesimpulan ini berisi hasil dari penelitian yang mengacu pada
perumusan masalah yang telah ditetapkan sejak awal.
Sedangkan saran ditujukan untuk memberikan masukan
terhadap produk pembiayaan hunian syariah ke depannya.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Murabahah
1. Konsep Murabahah
Secara etimologi, murabahah berasal dari kata ribh yang berarti
keuntungan18
. Sedangkan dalam pengertian terminologis, murabahah
adalah jual beli barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan
yang disepakati antara penjual dengan pembeli. Berdasarkan fatwa
DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000, murabahah adalah menjual suatu
barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba19
. Sedangkan
berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dijelaskan
bahwa murabahah merupakan jual beli barang sebesar harga pokok
barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati20
.
Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara
bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan
untuk membeli barang. Dalam teknis ini, bank memperoleh
18 Abdullah al-Muslih & Shalah ash;shawi, “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam
Skripsi Nur Alfi Syahr, “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad Murabahah dan
Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia” (Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta, 2013) h.19. 19 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah 20 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 Tanggal 14 November 2005 tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Menyalurkan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah.
24
keuntungan jual-beli yang disepakati bersama21
. Selain itu, secara
teknis, praktek akad murabahah dalam perbankan dicirikan dengan
adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian
(muajjal), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump
sum (sekaligus)22
. Jadi dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah
akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli23
.
Akad murabahah merupakan salah satu bentuk natural certainty
contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate of
profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh).
Dengan kata lain, praktek murabahah dalam perbankan
mengharuskan pihak bank syariah membeli terlebih dahulu rumah
yang ingin dijadikan sebagai objek pembiayaan kepada nasabah dan
secara prinsip rumah tersebut adalah milik pihak bank syariah, setelah
itu terjadilah transaksi jual-beli antara pihak bank syariah dengan
nasabah peminjam (debitur), dimana pihak bank harus menyertakan
harga perolehan pembelian rumah tersebut dari developer dan adanya
kesepakatan keuntungan yang akan diperoleh dari pembiayaan yang
dilakukan. Akad murabahah terjadi pada saat nasabah mengutarakan
21 Zainul Arifin, “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah”, (Jakarta: Azkia Publisher,
Cet.7, 2009) h.28. 22 Adiwarman A. Karim, “Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, Cet.9, 2013) h.115. 23 Ibid, h.113.
25
maksud mengajukan pembiayaan kepada bank syariah dan
menunjukkan rumah yang akan dijadikan objek pembiayaan tersebut.
2. Landasan Hukum Murabahah
Dasar hukum murabahah mengikuti apa yang menjadi dasar
hukum dari transaksi jual-beli. Hal ini dikarenakan murabahah
merupakan akad yang digunakan dalam transaksi jual-beli. Landasan
hukum akad murabahah terdapat dalam Alqur’an, Hadits, fatwa
Dewan Syariah Nasional, dan peraturan Bank Indonesia.
a. Alqur’an
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 2924
:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kalian saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa : 29)
24 Alqur’an
26
b. Hadits25
Artinya: “Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah:
jual beli tidak secara tunai, muqharadhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah
tangga, bukan untuk dijual”. (HR. Ibn Majah dari Shuhaib)
3. Ketentuan Umum Murabahah
Ketentuan tentang murabahah sebagaimana telah dijelaskan dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000,
yaitu26
:
a. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang
bebas riba.
2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah
Islam.
3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya.
25 Fatwa Dewan Syariah Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah 26 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan
Ekonomi Syariah (Jakarta : Kencana, 2007) h.302-305.
27
4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama
bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah
(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.
7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati
tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan
akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian
khusus dengan nasabah.
9) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
b. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1) Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu
barang atau aset kepada bank.
28
2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli
terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan
pedagang.
3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah
dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan
janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji
tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus
membuat kontrak jual beli.
4) Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut,
biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus
ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.
7) Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif
dari uang muka, maka
a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang
tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik
bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh
29
bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka
tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
c. Jaminan dalam Murabahah:
1) Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya.
2) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan
yang dapat dipegang.
d. Utang dalam Murabahah:
1) Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang
dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan
keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan utangnya kepada bank.
2) Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3) Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian,
nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai
kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran
angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
30
e. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1) Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan
menunda penyelesaian utangnya.
2) Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja,
atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
f. Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan
utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi
sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
4. Mekanisme Murabahah
Kriteria atau persyaratan yang harus dipenuhi dalam menerapkan
akad murabahah dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana
Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah. hal ini tercantum dalam bagian kedua paragraf kedua pasal 9,
diantaranya:
a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual
beli barang.
31
b. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada
Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya;
d. Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk
membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik Bank;
e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau
urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang
oleh nasabah;
f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan
tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
g. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad
dan tidak berubah selama periode Akad;
h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan
secara
proporsional.
Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank
Indonesia, maka dapat digambarkan skema transaksi murabahah
adalah sebagai berikut.
32
Gambar 2.1
Skema Murabahah Klasik
Sumber: Jurnal al-Ahkam Vol.2
27
Keterangan:
1) Nasabah mengajukan pembiayaan ke pihak bank dengan
menyertakan persyaratan pembiayaan. Setelah berkas persyaratan
lengkap, dilakukan negosiasi mengenai objek pembiayaan.
2) Bank membeli objek barang pembiayaan yang diinginkan nasabah
kepada supplier (developer) secara tunai dan objek tersebut secara
prinsip menjadi milik bank.
3) Setelah objek pembelian dimiliki oleh bank, bank menjual kembali
objek pembiayaan kepada nasabah yang mengajukan di awal. Jika
27 Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan
Syariah di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2; Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.
33
objek tersebut sesuai dengan keinginan nasabah, maka diadakan
akad murabahah antara bank dan nasabah. Dalam akad ini,
nasabah juga bisa memberikan uang muka (urbun).
4) Nasabah akan membayarkan angsuran/cicilan berupa pokok
pinjaman ditambah margin keuntungan yang telah disepakati pada
saat akad murabahah dilaksanakan. Secara periodik, nasabah akan
mengangsur cicilannya sampai pada tanggal jatuh tempo.
B. Persepektif Hukum Positif Terkait Murabahah
1. Peraturan-Peraturan Terkait Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai pertama kali dikenal sebagai Pajak
Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang-Undang Darurat
nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang nomor
35 tahun 195328
. Sejak 1 April 1985 istilah Pajak Penjualan telah
diganti dengan istilah Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya
didasarkan pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1983.
Proses penggantian istilah Pajak Penjual dengan Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan pada saat Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat melakukan program reformasi sistem
28 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014 (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014) h. 19.
34
perpajakan nasional pada tahun 198329
. Pajak Pertambahan Nilai
terpilih sebagai pengganti Pajak Penjualan karena memiliki beberapa
karakteristik positif. Menurut Prof. Dr. Ben Terra mengemukakan
bahwa legal character Pajak Pertambahan Nilai secara umum antara
lain30
:
a) General tax o consumption;
b) Indirect tax;
c) Neutral;
d) Non cumulative.
Apabila pernyataan Prof. Dr. Ben Terra mengenai legal character
Pajak Pertambahan Nilai dikaitkan dengan karakteristik Pajak
Pertambahan Nilai di Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut31
:
a) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung
Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara
pemikul beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran
pajak ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Pemikul
beban pajak secara nyata berkedudukan sebagai pembeli objek
pajak, sedangkan penanggungjawab atas pembayaran pajak ke kas
negara adalah Pengusaha Kena Pajak yang bertindak selaku
penjual objek pajak.
29 Ibid., h. 21. 30 Ibid., h.22. 31 Ibid., h. 22 – 35.
35
b) Pajak objektif
Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya
kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya
taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum yang dapat dienakan pajak yang juga disebut dengan nama
objek pajak32
. Dengan kata lain, kewajiban untuk membayar Pajak
Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak, sedangkan
kondisi subjektif dari subjek pajak tidak ikut menentukannya.
c) Multi Stage Tax
Multi stage tax adalah karakteristik Pajak Pertamabahan Nilai
yang bermakna bahwa pajak dikenakan pada setiap mata rantai
jalur produksi maupun jalur distribusi.
d) PPN terutang untuk dibayar ke kas negara dihitung menggunakan
indirect subtraction method
PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan
hasilperhitungaan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP
lain yang dinamakan Pajak Masukan (input tax) dengan PPN yang
dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak
Keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan
tidak langsung (indirect subtraction method).
32 Ibid., h. 28.
36
e) PajakPertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi umum dalam
negeri
Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak
Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri.
Sebenarnya tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai adalah
mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on
consumption expenditure) dalam bentuk belanja barang atau jasa
yang dibebankan pada anggaran belanja negara.
f) Pajak Pertambahan Nilai berifat netral
Netralisasi Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor,
yaitu33
:
1) PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa
2) Dalam pemungutannya,PPN menganut prinsip tempat tujuan
(destination principle).
g) Tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda
Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak
mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai
tambah saja.
Berdasarkan beberapa karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di
atas, karakteristik mengenai pencegahan pengenaan pajak berganda
33 Ibid., h. 33.
37
ini sempat menjadi polemik pada tahun 2003. Polemik tersebut
dikarenakan pada Undang-Undang nomor 18 tahun 2000 belum
adanya pengaturan Pajak Pertambahan Nilai untuk pembiayaan di bank
syariah. Sehingga dikeluarkan revisi ketiga atas Undang-Undang
nomor 8 tahun 1983, yaitu Undang-Undang nomor 42 tahun 2009
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pejualan Barang Mewah.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang terbaru tersebut, dapat
dikatakan sebagai langkah awal pemerintah mendukung tumbuhnya
perbankan syariah di Indonesia. Dukungan ini dibuktikan dengan
adanya pasal yang mengatur tentang pembiayaan di bank syariah yang
terdapat dalam pasal 1A ayat (1) huruf h menyatakan sebagai berikut.
“Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah: (h) penyerahan Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya
dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.”
Dalam penjelasan mengenai pasal di atas dikatakan bahwa semisal
dalam pembiayaan murabahah penyerahan dilakukan secara langsung
oleh Pengusaha Kena Pajak atau dalam hal ini adalah pihak developer
kepada pihak nasabah, sehingga dalam hal ini penyerahan Barang
Kena Pajak dilakukan hanya satu kali. Penyerahan ini besar
pengaruhnya terhadap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada
pembiayaan murabahah.
38
Lebih lanjut, Menteri Keuangan juga mengeluarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Transaksi Murabahah
Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010. Peraturan Menteri
Keuangan tersebut berlaku mulai 28 Desember 2010. Dalam peraturan
tersebut menyatakan bahwa mulai tanggal 28 Desember 2010 Pajak
Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah sudah dihapuskan dan
tidak berlaku. Namun untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan
sebelumnya tetap dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila
sejumlah Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah
tersebut sudah mendapat Surat Ketetapan Pajak, maka Pajak
Pertambahan Nilai tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan
menggunakan anggaran sebesar Rp 328.454.138.718,00 (tiga ratus
dua puluh delapan miliar empat ratus lima puluh empat juta
seratus tiga puluh delapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah).
Peraturan Menteri Keuangan nomor 251/PMK.011/2010
semakin menegaskan bahwa pemerintah mendukung
perkebangan industri perbankan syariah di Indonesia. Setelah
pada tahun sebelumnya ditetapkan revisi atas Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010.
Motivasi pemerintah dalam perubahan ketiga Undang-Undang PPN
39
dan penerbitan PMK tersebut yaitu untuk menyamakan daya saing
perbankan syariah karena beban PPN yang dikenakan pada jual beli
aset di sistem murabahah tidak dikenakan lagi34
. Seperti yang
diketahui pada tahun 2010 merupakan puncak perkembangan
pembiayaan pada perbankan syariah.
2. Peraturan-Peraturan Terkait Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum
konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah
yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi
kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak yang satu sama lain berkaitan dengan
barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup35
. Ruang
lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti Undang-
Undang Perlindungan Konsumen36
. Sehingga dibutuhkan peraturan
lainnya untuk memfasilitasi pemenuhan perlindungan konsumen,
34 Ungkapan Bapak Agus Suprijanto, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan dalam Rita Yuliana dan Nurul Herawati, “Dampak Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai
Dalam Pembiayaan Murabahah Terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah” (Jurnal Prosiding
Simposium Nasional Perpajakan 4: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura) h. 2. 35 Az. Nasution yang dikutip oleh Shidarta, “Hukum Perlindungan Konsumen
Indonesia” dalam Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 57. 36 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya” ( Jakarta: Kencana, 2008) h. 58.
40
diantaranya terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan dan untuk menunjang pemberlakuan peraturan tersebut,
pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Surat Edaran
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 tentang
Perjanjian Baku. Sehingga dengan dikeluarkannya beberapa peraturan
terkait perlindungan konsumen ini, pelaku usaha (dalam hal ini adalah
pihak bank syariah) dapat menunjang pelaksanaan perlindungan
konsumen (nasabah) dalam konteks pengumpulan dana maupun
penyaluran dana.
Apabila dilihat secaraumum, terdapat dua peraturan yang menjadi
landasan hukum positif terkait perlindungan konsumen, yaitu Undang-
Undang nomor 8 tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
nomor 1/POJK.07/2013. Namun terdapat perbedaan mendasar diantara
keduanya, yaitu peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang tertuang
dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 ketentuan-ketentuan yang
tercantum bersifat umum dan tidak ada spesifikasi khusus didalamnya
mengenai bidang-bidang tertentu. Sedangkan dalam peraturan yang
dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ketentuan-ketentuan yang
tercantum lebih bersifat pada perusahaan-perusahaan yang bergerak
dibidang keuangan.
41
Untuk melihat lebih jelas mengenai perbedaan-perbedaan diantara
kedua jenis peraturan tersebut, berikut ini akan dijelaskan secara
terperinci.
a. Istilah Konsumen
Di dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen disebutkan pengertian konsumen pada
Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”
Pengertian di atas menurut Ahmad Miru37
kurang tepat untuk
digunakan dalam mendefinisikannya. Menurutnya, adanya
kerancuan dalam penggunaan kata “pemakai” dalam pengertian
tersebut. Penggunaan kata “pemakai” dianggap menimbulkan
kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya
telah terjadi transaksi jual-beli. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa
yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya
tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut orang, akan
37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen” (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004) h. 4.
42
tetapi masih terdapat subjek hukum lain yaitu “badan hukum”
yang mengonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan38
.
Sedangkan pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka 2
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan menyebutkan
bahwa:
“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga
Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan,
pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”
Dalam pengertian di atas, dapat dilihat bahwa konsumen yang
dimaksud adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan jasa
keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengertian konsumen
ini dikhususkan untuk jasa keuangan saja dan bukan pengertian
konsumen secara umum.
b. Istilah perusahaan-perusahaan terkait peraturan
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
perlindungan konsumen disebutkan terdapat beberapa istilah yang
dimuat dalam lembaga-lembaga terkait jasa keuangan, diantaranya
bank umum, Bank Perkreditan Rakyat, perusahaan efek, bank
kustodian, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Sedangkan dalam
38 Ibid., h. 5.
43
Undang-Undang perlindungan konsumen tidak dijelaskan
mengenai lembaga-lembaga yang tercakup di dalam peraturan
yang bersangkutan, namun dalam pasal 1 lebih dijelaskan
mengenai pengertian istilah dari lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat, badan penyelesaian sengketa konsumen,
badan perlindungan konsumen nasional dan klausula baku.
c. Asas atau prinsip diberlakukan perlindungan konsumen
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.”
Berdasarkan substansi Pasal 2 Undang-Undang nomor 8 tahun
1999 tersebut dapat dikatakan bahwa perumusannya mengacu
pada filosofi pembangunan nasional yang berlandaskan pada
falsafah negara39
. Sedangkan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 Pasal 2 disebutkan bahwa:
“Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip: (a)
transparansi; (b) perlakuan yang adil; (c) keandalan; (d)
kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan
(e) penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa
Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.”
Terdapat beberapa perbedaan antara asas yang dicantumkan dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan prinsip dalam
39 Ibid., h.26.
44
Peraturan otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan.
d. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dijelaskan mengenai tujuan perlindungan konsumen. Tujuan
tersebut merupakan sasaran akhir yang harus dicapai40
dalam
merealisasikan perlindungan konsumen. Sedangkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen
tidak mencakup mengenai tujuan diberlakukannya perlindungan
konsumen.
e. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban dan hak sesungguhnya merupakan antinomi41
dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dan
sebagai (merupakan bagian dari) hak konsumen42
. Berdasarkan
pernyataan tersebut, sebagai contohnya dalam Pasal 6 huruf a
Undang-Undang Perlindungan konsumen menjelaskan mengenai
hak yang diperoleh pelaku usaha sebagai berikut:
40 Ibid., h.34. 41 Antinomi (n) kenyataan yang kontroversial; (huk) pertentangan antara dua ayat dalam
undang-undang. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Budaya,
“Kamus Besar Bahasa Indonesia” diakses pada 30 April 2015 dari http://kbbi.web.id/antinomi. 42 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I (Jjakarta: Kencana, 2013) h.51.
45
“hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan”
Sedangkan dalam pasal sebelumnya juga dijelaskan mengenai
kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen sebagai berikut43
.
“Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati”
Sehingga dalam contoh diatas terlihat adanya kejelasan mengenai
hubungan timbal-balik antara hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang melakukan transaksi jual beli.
Sedangkan jika dilihat berdasarkan peraturan yang dibuat oleh
otoritas jasa keuangan terkait perlindungan konsumen pada sektor
jasa keuangan, tidak dijelaskan mengenai hak dan kewajiban yang
seharusnya diperoleh konsumen. Pada peraturan ini lebih
dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban serta tindakan-tindakan
yang tidak seharusnya dilakukan oleh para pelaku usaha sektor
jasa keuangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam peraturan
otoritas jasa keuangan ini lebih mengatur perilaku-perilaku yang
dilakukan oleh para pelaku usaha untuk tidak merugikan pihak
konsumen.
43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 5 Huruf c.
46
f. Mengatur hubungan antar pelaku usaha
Selain kewajiban dan perbuatan yang tidak diperbolehkan
dilakukan oleh para pelaku usaha yang tercantum dalam peraturan
otoritas jasa keuangan, terdapat juga perlindungan untuk para
pelaku usaha mengenai suatu akibat negatif persaingan transaksi
dengan pelaku usaha lainnya44
. Hal ini tercantum dalam pasal 23
ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut.
“Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan
pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dengan Konsumen”
Kata “benturan kepentingan” memiliki makna terjadinya suatu
kecurangan yang dilakukan pelaku usaha terhadap pelaku usaha
lain terkait dengan jenis usahanya. Sehingga hal ini perlu
dicantumkan agar tidak terjadi suatu bentuk kecurangan antar para
pelaku usaha pada sektor jasa keuangan.
Selain berdsarkan bidang perlindungan konsumen, dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan mengenai aturan-
aturan yang perlu dicantumkan dalam klausula baku atau kontrak
perjanjian. Untuk membandingkan peraturan mengenai klausula baku
ini, akan dibandingkan antara aturan dalam Undang-Undang nomor 8
44 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, h.52.
47
tahun 1999 dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor
13/POJK.07/2014 tentang perjanian baku.
Sehubungan dengan diadakannya perjanjian, sering adanya
penggunaan istilah mengenai “kontrak baku” ataupun “klausula baku”.
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, kedua istilah tersebut
dibenarkan. Mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas
yaitu tidak terbatas pada klausula baku yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelak usaha di dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya45
.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 Angka
10 dijelaskan mengenai pengertian istilah klausula baku sebagai
berikut.
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen”
Memperhatikan rumusan pengertian klausula baku di atas, dapat
dilihat bahwa adanya penekanan makna lebih bersifat pada prosedur
pembuatannya yang dilakukan sepihak oleh pelaku usaha. Namun
tidak dapat dihindari bahwa prosedur pembuatan klausula baku
45 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II (Jakarta:
Rajawali Pers, 2004) h.18.
48
mempengaruhi isi perjanjian46
. Maksud atas pernyataan tersebut bahwa
keseluruhan isi perjanjian tersebut yang dicantumkan dalam klausula
baku ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha, dan konsumen
hanya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu take it or leave it
(menyetujui atau menolak) perjanjian yang diajukan.
Dalam hal ini, surat edaran otoritas jasa keuangan pun lebih
menegaskan hal yang serupa dengan menyatakan bahwa:
“Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan
secara sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi,
bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk
menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara
massal47
”
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ataupun
kontrak baku sepenuhnya diatur secara sepihak oleh pelaku usaha dan
klausula-klausula baku yang tercantum didasarkan pada kepentingan
sepihak oleh pelaku usaha.
Terlepas dari kedua pengertian tentang klausula baku dan
perjanjian baku di atas, terdapat intisari pengertian mengenai kontrak
baku diantaranya48
:
46 Ibid., h. 19. 47 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 Tentang Perjanjian
Baku Tanggal 20 Agustus 2014. 48 Hasanuddin Rahman, “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Contract
Drafting” dalam Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana, 2013) h. 70.
49
i. Kontrak merupakan media atau piranti yang dapat menunjukkan
apakah suatu perjanjian dibuat sesuai dengan syarat sahnya suatu
perjanjian;
ii. Kontrak dibuat secara tertulis untuk dapat saling memantau
diantara parapihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan
telah terjadi suatu wanprestasi; dan
iii. Kontrak sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti bagi mereka yang
berkepentingan, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan telah
memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan ganti rugi
kepada pihak lainnya.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengatur mengenai isi dan bentuk klausula baku dalam pasal 18 ayat
(1) yang menyatakan sebagai berikut.
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila: (a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha; (b) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; (c)
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen; (d) Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran; (e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen; (f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; (g) Menyatakan
50
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya; (h) Menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.”
Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku
tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki
kedudukan lebih kuat dan pada akhirnya akan merugikan konsumen49
.
Aturan-aturan mengenai pembuatan klausula baku dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen lebih mengacu pada konsep isi dan
bentuk dari klausula baku yang akan dibuat oleh pihak pelaku usaha.
Untuk melengkapi aturan-aturan yang sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam pasal 18
mengenai klausula baku, maka Otoritas Jasa Keuangan pun
mengeluarkan Surat Edaran nomor 1/POJK.07/2014 yang mengatur
tentang petunjuk pelaksanaan penyesuaian klausula baku dalam
perjanjian baku. Meskipun sebelumnya telah diatur dalam pasal 21 dan
22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2013. Namun
dengn diterbitkannya surat edaran tersebut, diharapkan mampu
melengkapi hal-hal tertentu dalam pencantuman klausula baku.
49 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2004) h.124.
51
Disamping itu, surat edaran yang diterbitkan Otoritas Jasa
Keuangan tersebut lebih mengacu pada praktek pelaksanaan berkenaan
dengan perjanjian baku. Hal ini dibutikan dengan dicantumkannya
bagian ketiga angka 6 huruf a yang menyatakan sebagai berikut.
“PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen
dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam
Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan
Konsumen”
Selain itu, juga terdapat ketentuan mengenai bentuk elektronik
perjanjian baku (e-contract) dalam peraturan otoritas jasa keuangan
tersebut. Hal-hal yang seperti ini yang terkadang kurang diperhatikan
dalam pembuatan kontrak baku, baik dari segi isi dan bentuk kontrak
maupun praktek pelaksanaannya.
Setelah diterapkannya praturan-peraturan tersebut, baik dalam
bentuk Undang-Undang maupun peraturan lainnya, diharapkan
penyalahgunaan keadaan terhadap perlindungan konsumen dapat
semakin baik karena adanya aturan-aturan mengenai pencantuman
klausula-klausula baku dalam perjanjian antara pelaku usaha dan
konsumen.
52
BAB III
PRAKTEK MURABAHAH
DALAM PRODUK PEMBIAYAAN HUNIAN SYARIAH
A. Konsep Praktek Murabahah Dalam Produk Pembiayaan Hunian Syariah
Aplikasi jual beli murabahah pada perbankan syariah di Indonesia
didasarkan pada keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran
Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah. Atas dasar peraturan tersebut, perbankan syariah melaksanakan
pembiayaan murabahah. Namun demikian pada praktiknya tidak ada
keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah. Oleh karena itu,
terdapat beberapa tipe penerapan praktik murabahah dalam perbankan syariah,
diantaranya50
:
1. Konsistensi Fiqih Muamalah
Dalam tipe penerapan murabahah sesuai kaidah fiqih muamalah,
bank dan nasabah melakukan perjanjian terlebih dahulu dan
50 Ah. Azharuddin Lathif, Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah
Di Indonesia, (Jurnal Al-Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012) h.74.
53
menentukan spesifikasi barang yang akan dibeli oleh nasabah dari
pihak bank. Kemudian bank melakukan pembelian barang yang
diinginkan oleh nasabah sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada
perjanjian dari pihak supplier. Barang tersebut dibeli atas nama bank
dan kemudian dijual kembali ke nasabah dengan harga perolehan
ditambah margin keuntungan yang telah disepakati bersama. Untuk
lebih jelasnya penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 3.1.
Alur Murabahah
Sesuai Kaidah Fiqih Muamalah
Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2
Pembelian kepada pihak supplier dan pembayaran angsuran oleh
nasabah dapat dilakukan secara tunai maupun tangguh. Namun pada
umumnya pembayaran angsuran oleh nasabah dilakukan secara
tangguh, baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu.
54
2. Penyerahan Dari Pihak Supplier KepadaNasabah
Tipe penerapan murabahah ini hampir sesuai dengan tipe pertama
yang sesuai dengan kaidah fiqih muamalah. Namun berbeda pada saat
penyerahan ataupun perpindahan kepemilikan dilakukan langsung oleh
pihak supplier kepada nasabah selaku pembeli terakhir yang menerima
barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan
pihak bank. Mengenai masalah pembayaran oleh nasabah sama halnya
dengan tipe penerapan murabahah yang sesuai kaidah fiqih muamalah,
yaitu dapat secara tunai maupun tangguh. Untuk lebih jelasnya
penerapan murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
Gambar 3.2.
Alur Murabahah Penyerahan Dari Supplier Kepada Nasabah
Sumber: Jurnal Al-Ahkaam Vol.2
55
Transaksi seperti ini lebih dekat dengan murabahah yang asli,
namun rawan dari aspek legal bahwa tidak ada tanda bukti bahwa
nasabah menerima uang dari pihak bank syariah sebagai bukti
pinjaman ataupun hutang. Sehingga dalam beberapa kasus ditemukan
adanya klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank syariah,
namun mereka berhutang kepada pihak supplier yang menyerahkan
barang. Oleh karena itu, untuk menghindari kejadian seperti ini, maka
setelah pihak bank syariah dan nasabah melakukan akad murabahah
kemudian pihak bank syariah akan mentransfer pembayaran barang ke
rekening nasabah dan didebet kembali dengan persetujuan nasabah
untuk ditransfer ke rekenig supplier.
Jika dilihat dari perspektif kesyariahannya, tipe murabahah seperti
ini memiliki peluang untuk melanggar ketentuan syariah. halini
dikarenakan pihak bank syariah selaku pembeli pertama dari pihak
supplier tidak pernah menerima barang atas nama pihak bank syariah,
melainkan langsung atas nama nasabah selaku pembeli terakhir yang
menerima barang tersebut. Secara syariah, akad murabahah dapat
dilakukan setelah barang jual beli menjadi milik bank syariah secara
prinsip.
3. Prinsip al-Murabahah bil Wakalah
Tipe penerapan murabahah ini hampir menyerupai penerapan
kredit pada bank konvensional, dimana pihak bank syariah dan
56
nasabah melakukan perjanjian murabahah, kemudian pada saat yang
bersamaan pihak bank mewakilkan (wakalah) kepada nasabah untuk
membeli barang yang diinginkannya. Dana pembiayaan dikreditkan ke
rekening nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima sejumlah
dana tersebut. Sehingga permasalahan klaim yang akan terjadi pada
tipe murabahah yang kedua dapat dihindari pada tipe murabahah
seperti ini, karena terdapat tanda bukti penerimaan uang pinjaman
yang ditandatangani nasabah. Untuk lebih jelasnya penerapan
murabahah tipe pertama dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 3.3.
Alur al-Wakalah wal Murabahah
Sumber: Jurnal Al-Ahkam Vol.2
Meskipun dapat menghindari klaim mengenai tanda bukti dana yang
dipinjamkan kepada nasabah, namun tetap saja tipe penerapan
57
pembiayaan murabahah seperti ini masih dianggap menyalahi aturan
kesyariahannya. Hal ini dikarenakan bank memberikan kuasa atau
mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Sedangkan pada
asalnya, akad murabahah dilakukan sebelum barang yang dijadikan
objek perjanjian tersebut menjadi milik bank syariah meskipun hanya
secara prinsip.
B. Prosedur Murabahah Dalam Produk pembiayaan Hunian Syariah
Prosedur dan persyaratan penyaluran dana berdasarkan Akad
Pembiayaan Murabahah di PT. Bank Syariah Mandiri secara garis besar
ditentukan dalam beberapa tahapan prosedur, diantaranya51
:
Tahap Pertama, nasabah melakukan permohonan pembiayaan ke
pihak bank syariah. setelah mengetahui maksud dan tujuan permohonan
pembiayaan nasabah, pihak bank syariah akan memberitahu persyaratan yang
harus dipenuhi oleh nasabah dalam mengajukan pembiayaan murabahah.
Adapun dokumen yang dipersyaratkan yang harus dipenuhi oleh calon
nasabah, meliputi:
1. Dokumen Pribadi:
a. Formulir aplikasi permohonan pembiayaan;
b. Copy KTP/identitas pemohon dan suami/istri;
51
May Nurmawati, Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri Cabang Gatot Subroto, (Universitas Gunadarma, 2013) h. 5-8.
58
c. Copy surat nikah/cerai (apabila ada);
d. Copy kartu keluarga;
e. Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan SPT;
f. Copy slip gaji 3 bulan terakhir; dan
g. SK Pengangkatan jabatan terakhir.
2. Jika nasabah yang mengajukan adalah perusahaan, maka dokumen
tambahan yang perlu dilengkapi diantaranya:
a. Copy laporan keuangan perusahaan selama 6 bulan terakhir;
b. Copy rekening bank perusahaan selama 6 bulan terakhir; dan
c. Copy susunan pengurus perusahaan beserta kartu identitas masing-
masing pengurus perusahaan.
Setelah semua persyaratan diatas dipenuhi oleh nasabah, maka tahap
selanjutnya semua persyaratan diserahkan ke bagian account officer di bagian
back office bank syariah.
Tahap Kedua, dokumen-dokumen persyaratan tersebut diperiksa
kelengkapannya oleh bagian account officer. Selain itu, bagian account
officer juga melakukan survei lapangan dan menganalisa nasabah yang
mengajukan pembiayaan. Dalam menganalisis nasabah biasanya pihak bank
syariah mengacu pada prinsip 5C, diantaranya52
:
1. Character
52 Agung Herutomo, Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir, (Jakarta : PT Elex
Media Komputindo, 2010) h.121.
59
Character adalah keadaan watak/sifat dari calon nasabah pembiayaan,
baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha.
Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana
itikad/kemauan calon nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai
dengan janji yang ditetapkan53
.
Pemberian kredit atas dasar kepercayaan, sedangkan yang mendasari
suatu kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon
debitur memiliki moral, watak dan sifat-sifat pribadi yang positif dan
koperatif. Disamping itu mempunyai tanggung jawab, baik dalam
kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupan sebagai anggota
masyarakat, maupun dalam menjalankan usahanya. Karakter merupakan
faktor yang dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut cukup
mampu untuk menyelesaikan hutangnya, kalau tidak mempunyai itikad
yang baik tentu akan membawa kesulitan bagi bank dikemudian hari.
2. Capacity
Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah pembiayaan
dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan.
Pengukuran capacity dari calon debitur dapat dilakukan melalui berbagai
pendekatan antara lain pengalaman mengelola usahanya (business
record), sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami
53 Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam
Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada
http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/
60
masa sulit atau tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Jadi secara singkat
capacity merupakan ukuran dari ability to pay atau kemampuan dalam
membayar. Selain itu, kegunaan dari penilaian ini adalah untuk
mengetahui atau mengukur sampai sejauh mana calon nasabah
pembiayaan mampu mengembalikan atau melunasi utang-utangnya
(ability to pay) secara tepat waktu, dari hasil usaha yang diperolehnya54
.
3. Capital
Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur
permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on
equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah
layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon
pembiayaan yang layak diberikan.
4. Condition of Economic
Condition of economic adalah situasi kondisi politik, sosial, ekonomi
dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian yang
kemungkinan pada suatu saat mempengaruhi kelancaran usaha calon
nasabah pembiayaan55
. Permasalahan mengenai Condition of economy
erat kaitannya dengan faktor politik, peraturan perundang-undangan
54 Sugyawati, “Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan
Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan”, (Skripsi S1 Fakultas Akuntansi Universitas Sumatera
Utara, 2010) h.43. 55 Ibid., h.44.
61
negara dan perbankan pada saat itu serta keadaan lain yang
mempengaruhi pemasaran seperti gempa bumi, tsunami, longsor, banjir
dan kejadian alam lainnya. Hal ini untuk meminimalisir risiko yang akan
terjadi dikemudian hari.
5. Collateral
Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata
calon debitur benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya .Collateral
diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian
dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta
yang mungkin bisa dijadikan jaminan. Pada hakikatnya bentuk collateral
tidak hanya berbentuk kebendaan bisa juga collateral tidak berwujud,
seperti jaminan pribadi (bortogch), letter of guarantee, rekomendasi.
Penilaian terhadap collateral ini dapat ditinjau dari 2 (dua) segi yaitu56
:
a. Segi ekonomis yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan
digunakan.
b. Segi yuridis apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis
untuk dipakai sebagai agunan.
Setelah menganalisis dan survey langsung mengenai calon nasabah,
maka selanjutnya akan dikeluarkan nota analisa pembiayaan. Nota ini
bertujuan menguraikan hasil yang diperoleh pihak bank mengenai calon
56 Ahmad Sanusi, “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam
Pengambilan Keputusan Pemberian Kredit” artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada
http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/.
62
nasabah yang akan dibiayai. Nota ini juga akan menentukan apakah
pembiayaan yang diajukan disetujui untuk diproses pada tahap selanjutnya
ataukah ditolak dan seluruh dokumen persyaratan dikembalikan kepada calon
nasabah yang bersangkutan. Apabila hasil dari nota analisa pembiayaan
menunjukkan bahwa pembiayaan dapat dilanjutkan dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam bank tersebut, maka tahap selanjutnya
diserahkan kepada bagian komite pembiayaan untuk diproses.
Tahap Ketiga, bagian komite pembiayaan melakukaan full consencuss,
yaitu mempertimbangkan hasil yang diperoleh dari nota analisa pembiayaan
yang didapatkan dari bagian account officer. Hasil dari consencuss ini harus
disetujui bersama-sama oleh semua pihak komite pembiayaan. Apabila hasil
yang didapat sesuai dengan persyaratan yang diinginkan oleh pihak komite
pembiayaan, maka pihak komite pembiayaan akan memerintahkan pihak
account officer untuk membuat SP3 (Surat Penegasan Persetujuan
Pembiayaan).
Tahap Keempat, pada tahapan ini kembali pada tugas dari account
officer, dimana diperintahkan oleh pihak komite pembiayaan untuk membuat
SP3. Setelah SP3 selesai dikerjakan oleh bagian account officer, selanjutnya
surat tersebut ditandatangani oleh kepala cabang dan marketing manager.
Tahap selanjutnya adalah nasabah yang mengajukan pembiayaan dipersilakan
membuka rekening pembiayaan.
63
Tahap Kelima, pihak bank syariah mengkonfirmasi mengenai
persetujuan pembiayaan kepada pihak nasabah yang mengajukan pembiayaan
tersebut. Pihak bank memberitahu mengenai besarnya jumlah dana yang
disetujui untuk disalurkan dalam pembiayaan yang diajukan oleh nasabah.
Jika nasabah menyetujui besarnya dana tersebut, maka selanjutnya pihak
account officer bank syariah akan menginput customer facility dan
mempersiapkan kontrak perjanjian akad pembiayaan murabahah. Kemudian
pihak bank syariah dan nasabah debitur menandatangani kontrak perjanjian
akad murabahah. Selanjutnya bagian account officer melaporkan ke bagian
central operation. Bagian central operation akan memeriksa apakah semua
prosedur sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika sudah sesuai maka
bagian central operation akan mengeluarkan compliance sertificate dan
selanjutnya dana pembiayaan diberikan kepada nasabah.
64
BAB IV
HASIL ANALISIS
A. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Peraturan-Peraturan Terkait
Pajak Pertambahan Nilai
1. Awal Permasalahan Pajak Pertambahan Nilai Pada Perbankan
Syariah
Pada awal berkembangnya bank syariah yang diprakarsai oleh
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, Direktorat Jendral Pajak
mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa pembiayaan murabahah
merupakan salah satu pembiayaan perbankan syariah yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Departemen
Keuangan menerbitkan surat bernomor S-103/PJ.3/1992 yang salah
satu isi surat tersebut menyatakan pengecualian Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas murabahah. Dalam surat tertanggal 12 Mei 1992 itu,
salah satu butirnya menyebutkan penyaluran Barang Kena Pajak
(BKP) dari pemasok pada Bank Muamalat Indonesia dalam rangka
penyaluran dana berbentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan
investasi, sehingga tidak dianggap sebagai penyerahan kena pajak
karena murabahah tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
65
Ketentuan dalam surat Direktorat Jendral Pajak ini menjadi
polemik ketika adanya surat Bank Danamon yang meminta penjelasan
kepada Direktorat Jenderal Pajak tentang perlakuan perpajakan
pembiayaan murabahah. Atas pertanyaan tersebut, Direktorat Jendral
Pajak mengeluarkan Surat Keputusan nomor 243/PJ.53/2003 tanggal
10 Maret 2003 kepada Bank Danamon yang ditembuskan ke Bank
Indonesia dan S-1071/PJ.53/2003 tanggal 4 September 2003 yang
menyatakan bahwa kegiatan jual-beli murabahah oleh perbankan
syariah tidak termasuk jenis jasa di bidang perbankan yang
dikecualikan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini disebabkan
murabahah yang dilakukan berdasarkan prinsip jual-beli, sehingga atas
penyerahan barang tersebut dari bank syariah kepada nasabah
merupakan penyerahan barang kena pajak yang terhutang atas Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
Sebagai tanggapan terhadap surat Direktorat Jenderal Pajak
kepada Bank Danamon, Bank Indonesia melakukan rapat formal
dengan Direktorat Jenderal pajak dengan pokok masukan Bank
Indonesia meminta agar transaksi murabahah di bank syariah
dikecualikan dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Bank
Indonesia menegaskan pandangannya bahwa pembiayaan murabahah
yang dilakukan bank syariah adalah jasa perbankan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Perbankan, sehingga sesuai norma hukum
66
yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dikecualikan dari
terhutang pajak. Ketentuan tentang tidak termasuknya jasa penyedia
pembiayaan bidang perbankan sebagai objek Pajak Pertambahan Nilai
adalah Peraturan Pemerintah No. 144/2000 tentang Kelompok Non-
BKP dan Non-JKP.
Atas surat Bank Indonesia tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
telah menyampaikan balasan dengan surat dan ditegaskan dalam
berbagai rapat bahwa Direktorat Jenderal Pajak menolak argumentasi
Bank Indonesia dan menyatakan tidak mengabulkan usulan Bank
Indonesia karena dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan
perpajakan yang saat ini berlaku.
Walaupun dalam posisi sebagai otoritas pengawasan bank, Bank
Indonesia telah menyampaikan surat kepada seluruh bank bahwa
secara normatif bank memiliki kewajiban untuk memenuhi peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha bank,
Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) telah menetapkan
kesepakatan asosiasi bahwa permasalahan perpajakan bank syariah ini
merupakan area permasalahan yang dianggap memiliki ambiguitas
(ketidaksepahaman) dalam penafsiran hukumnya. Undang-Undang
Perbankan secara tegas mengatur bahwa bank syariah adalah lembaga
perbankan, sehingga jasa pembiayaan murabahah tidak dapat
67
dipersamakan sebagai kegiatan jual-beli di pasar barang. Disamping
itu, esensi isi surat Direktorat Jenderal Pajak yang hakikatnya adalah
penyetaraan perlakuan perpajakan bank syariah dengan bank
konvensional menjadi jurisprudensi hukum yang dapat dijadikan
acuan. Sehingga seluruh anggota ASBISINDO saat ini bersepakat
untuk menolak setiap upaya hukum penagihan pajak murabahah.
Polemik tentang PPN pada pembiayaan murabahah ini bertambah
panas ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 2003
Bank Syariah Mandiri (BSM) dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) PPN No. 00032/207/03/073/04 tanggal 13
Desember 2004 sebesar Rp25,5 miliar atas PPN murabahah63
.
Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya menerbitkan keputusan
penolakan atas keberatan BSM pada 1 Desember 2005 tentang
Keberatan Surat Ketetapan Pajak PPN. Sebagai reaksi atas kebjakan
Direktorat Jenderal Pajak tersebut, Asosiasi Perbankan Syariah
Indonesia dan juga Bank Indonesia pada tahun 2005 pernah
mengajukan surat permohonan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak
mengenakan PPN atas pembiayaan Murabahah dan agar Direktorat
Jenderal Pajak menyampaikan Surat Edaran kepada Kantor Pelayanan
Pajak untuk tidak mengenakan PPN atas semua transaksi murabahah.
63 Ah. Azharuddin Lathif, Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dalam Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah (Jurnal Masyarakat Ekonomi Syariah)
68
Surat ini kemudian di balas dengan surat Direktur Jenderal Pajak No.
S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Pebruari 2006 yang isinya menegaskan
bahwa permohonan pembebasan PPN atas transaksi murabahah tidak
dapat dipenuhi64
. Berdasarkan surat balasan tersebut, bank syariah di
Indonesia menerapkan prinsip double-tax (pajak berganda) atas
penyaluran pembiayaan murabahah. Sehingga bank syariah menerima
pajak masukan65
dan membayar pajak keluaran66
atas transaksi
murabahah dalam produk penyaluran pembiayaannya, dan selisih atas
pajak masukan dan pajak keluaran inilah yang wajib dibayarkan oleh
bank syariah kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Namun, pihak Direktorat Jenderal Pajak memahami permasalahan
yang menjadi concern asosiasi industri bank syariah dan Bank
Indonesia serta menyetujui untuk memasukan kejelasan aturan
perpajakan tentang kegiatan usaha bank syariah sebagai salah satu
kegiatan usaha perbankan yang dikecualikan dari pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai pada paket pembaharuan Undang-Undang
64 Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(ASBISINDO) No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk
Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah 65 Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar oleh
pembeli atau penerima Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa Kena Pajak (JKP). Direktorat
Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak Pertambahan Nilai
(Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5. 66 Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) ataupun Jasa
Kena Pajak (JKP). Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan
Pajak Pertambahan Nilai (Direktorat Jenderal Pajak, 2013) h.5.
69
Perpajakan dan/atau Peraturan Pelaksanaannya yang sedang
disempurnakan.
2. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Berdasarkan alur pembiayaan yang diperoleh dari hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa skema
penyaluran pembiayaan di perbankan syariah menyerupai penyaluran
kredit di perbankan konvensional pada umumnya. Namun yang
membedakan kedua jenis penyaluran tersebut adalah adanya akad
wakalah yang diberikan bank kepada nasabah. Dalam hal ini, pihak
nasabah membeli barang atas nama bank syariah yang bersangkutan.
Sehingga setelah nasabah membeli barang tersebut, secara prinsip
barang (rumah) tersebut sudah dimiliki oleh pihak bank syariah dan
kemudian rumah tersebut akan dijual kepada pihak nasabah yang
bersangkutan dengan pembayaran dengan tangguh maupun dengan
cara mencicil.
Aturan yang menyebutkan membolehkan adanya akad wakalah
sebelum akad murabahah terjadi tercantum pada Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 dalam Akad bagian kedua paragraf
kedua pasal 9 huruf d yang menyebutkan:
70
“Dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk
membeli barang, maka Murabahah harus dilakukan setelah
barang secara prinsip menjadi milik Bank;”
Dari penjabaran aturan tersebut, secara umum pihak bank syariah tidak
sepenuhnya melanggar aturan akad murabahah yang sesuai dengan
kaidah fiqih dan dapat digambarkan bahwa sistem penyaluran
pembiayaan murabahah dalam produk pembiayaan hunian syariah di
bank syariah sbagai berikut67
:
Gambar 4.1.
Skema Penyaluran Pembiayaan Murabahah
Di Bank Syariah
Sumber: Hasil wawancara yang telah diolah
67 Hasil wawancara dengan narasumber Bapak Yayat Taryadi selaku Mortgage
Financing Dept Head di Bank Muamalat Indonesia pada 6 Maret 2015
71
Berdasarkan skema diatas, pihak bank syariah mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli rumah yang menjadi objek perjanjian. Setelah
rumah tersebut dimiliki oleh pihak nasabah (yang mewakili pihak bank
syariah), terjadi penyerahan rumah dari pihak developer/supplier
kepada pihak nasabah yang bersangkutan. Rumah yang diserahkan dari
pihak developer kepada nasabah dapat dikategorikan sebagai Barang
Kena Pajak. Hal ini dipengaruhi oleh adanya transaksi jual beli yang
disertai dengan penyerahan barang yang menjadi objek jual beli
tersebut, sehingga objek tersebut dapat dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan akad wakalah
dalam skema pembiayaan murabahah di bank syariah adalah salah
satu upaya pihak bank syariah agar tidak dikenakan pajak berganda
(double tax) atas barang dan/atau jasa yang menjadi obyek pembiayaan
murabahah.
Apabila merujuk pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dalam konsistensi fikih muamalah, dimana pihak bank membeli
terlebih dahulu objek pembiayaan dan barang tersebut telah dimiliki
oleh bank. Dan bank akan menjual kembali barang tersebut kepada
nasabah, hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa akan terjadi
pengenaan pajak berganda (double tax). Pengenaan pajak berganda
lebih disebabkan faktor adanya penyerahan barang lebih dari satu kali,
72
yaitu pada saat bank membeli barang dari pihak developer dan saat
pihak bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah yang
bersangkutan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bahwa penyerahan
barang kena pajak (BKP) maupun jasa kena pajak (JKP) di dalam
daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Sehingga dalam
transaksi penyerahan rumah antara pihak developer kepada pihak bank
syariah maupun antara pihak bank syariah kepada pihak nasabah,
keduanya dapat dikenakan pajak dan berlaku sistem pajak ganda
(double tax).
Pada hakikatnya penerapan atas sistem pajak ganda (double
tax) memiliki dampak negatif pada perkembangan perbankan syariah
di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh harga jual yang ditawarkan oleh
pihak bank syariah selaku penjual kedua atas barang yang dijadikan
objek jual beli tersebut akan lebih tinggi dari harga jual yang
ditawarkan oleh supplier/developer selaku penjual pertama. Harga jual
yang relatif lebih tinggi tersebut disebabkan adanya pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayarkan oleh pihak bank syariah pada
proses transaksi jual beli pertama. Penawaran harga jual yang lebih
tinggi tersebut akan berpengaruh pada tingkat margin dan besarnya
angsuran yang akan dibayarkan oleh nasabah setiap bulannya.Tingkat
73
angsuran yang relatif lebih tinggi akan membebankan pihak nasabah,
sehingga pihak nasabah akan berpikir ulang untuk melakukan
pembiayaan di perbankan syariah. Hal ini akan berdampak pada
reputasi perbankan syariah di Indonesia.
Oleh karena dinilai dapat membahayakan industri perbankan
syariah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang terbaru tentang pajak
pertambahan nilai yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tercantum poin yang mengatur
mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai didasarkan pada
penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah. Pada poin tersebut ditegaskan bahwa
penyerahan barang kena pajak atas pembiayaan yang berdasarkan
prinsip syariah dianggap dilakukan langsung oleh pihak
pemasok/developer kepada nasabah atau pembeli akhir. Sehingga
secara tidak langsung Undang-Undang ini menegaskan bahwa pihak
nasabah lah yang wajib membayar hutang pajak pertambahan nilai,
dikarenakan pihak nasabah yang menerima penyerahan dari pihak
pemasok/developer. Selain itu, pada poin Undang-Undang tersebut
juga seakan merujuk pada penerapan skema pembiayaan murabahah
yang menggunakan akad wakalah dalam hal pembelian obyek
74
pembiayaan yang diwakilkan kepada pihak nasabah. Oleh sebab ini
juga pihak perbankan syariah tidak merubah skema pembiayaan yang
sebelumnya juga menggunakan skema yang sama.
3. Penerapan Pajak Pertambahan Nilai Setelah Diberlakukan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010
Upaya pemerintah dalam mendukung perkembangan industri
perbankan syariah di Indonesia selain dengan dikeluarkannya Undang-
Undang terkait pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
pada produk pembiayaan di perbankan syariah, juga dikeluarkannya
peraturan lainnya seperti peraturan pemerintah dan Peraturan Menteri
Keuangan. Dalam rangka mendukung penetapan revisi ketiga atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, yaitu Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan tanggal 1 April 2010,
Kementrian Keuangan yang menaungi Direktorat Jenderal Pajak
mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah
dihapuskan. Peraturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 251/PMK.011/2010 dan mulai berlaku pada tanggal 28
Desember 2010.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut membawa angin segar untuk
industri perbankan syariah, sehingga pihak perbankan syariah tidak
75
perlu mencemaskan kembali permasalahan pembebanan Pajak
Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Selain itu, pihak
nasabah ataupun calon nasabah juga tidak perlu dibebani dengan
penagihan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah di
bank syariah.
Disamping menetapkan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai
atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 juga menetapkan bahwa
pembiayaan murabahah yang dilaksanakan sebelum tanggal 1 April
2010 tetap akan ditagih oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Namun
nominal pajak tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dengan
syarat telah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pembiayaan murabahah yang dilakukan/dicairkan
sebelum tanggal 1 April 2010 masih merapkan sistem pajak berganda
(double tax) dan pajak berganda ini sepenuhnya akan ditanggung oleh
pemerintah apabila sudah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak dari
Direktorat Jenderal Pajak. Namun nominal pajak yang ditanggung
pemerintah dibatasi mencapai anggaran Rp 328.454.138.718,00.
Sedangkan untuk pembiayaan murabahah yang dilakukan setelah
tanggal 1 April 2010 dan sebelum tanggal 28 Desember 2010
diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-Undang
perpajakan yang berlaku pada saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor
76
42 Tahun 2009 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1A ayat (1)
huruf h yang menyatakan bahwa:
“Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang
membutuhkan Barang Kena Pajak”
Sehingga dalam kurun waktu 1 April 2010 sampai 28 Desember 2010
diterapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai tunggal dimana
pemasok/supplier/developer menyerahkan obyek pembiayaan
murabahah langsung kepada nasabah yang memesannya. Dan pada
kasus ini Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan satu kali, yaitu
pada saat pemasok menyerahkan barang atau obyek pembiayaan
murabahah kepada nasabah dan nasabah yang menanggung beban
pajak tersebut. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 hanya berlaku selama kurang
lebih 8 bulan untuk mengatur permasalahan Pajak Pertambahan Nilai
atas pembiayaan murabahah di perbankan syariah. selanjutya
permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah
ini dinyatakan dihapuskan dengan ditetapkannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang mulai dierlakukan pada
tanggal 28 Desember 2010.
77
Selain mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan
Nilai, peraturan menteri keuangan tersebut juga mengatur mengenai
wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan
Nominal Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan murabahah. Hal
ini dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
251/PMK.011/2010 yang menyatakan bahwa:
“Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat Ketetapan
Pajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku”
Dengan demikian wajib pajak yang telah membayar Surat Ketetapan
Pajak sebelum tanggal 1 April 2010, pembayaran tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak yang bersangkutan. Namun
pengembalian ini harus disesuaikan dengan ketentuang-ketentuan
pajak yang berlaku.
Dalam praktek skema yang diterapkan, baik sebelum maupun
sesudah ditetapkannya peraturan menteri keuangan ini, pada
pembiayaan murabahah adalah sama seperti skema pembiayaan
murabahah pada sebelum diberlakukannya peraturan ini, yaitu dengan
78
menerapkan akad wakalah untuk mewakili bank syariah dalam
pembelian barang atau obyek akad murabahah.
Apabila dalam praktek pembiayaan murabahah pada saat
diberlakukannya sistem pajak berganda (double tax system)
menggunakan skema pembiayaan dengan melakukan akad wakalah
sebelum diadakan akad murabahah, hal ini dilakukan pihak bank
syariah dengan tujuan agar tidak adanya pembebanan pajak secara
berganda yang akan mempengaruhi harga jual barang atau obyek
pembiayaan. Sedangkan dalam masa pemberlakuan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai terbaru , skema pembiayaan tersebut juga
tetap diberlakukan. Meskipun pada saat itu, sistem pajak berganda
(double tax system) sudah tidak diberlakukan lagi. Namun dalam pasal
1A ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa penyerahan barang kena
pajak pada saat penyerahan obyek pembiayaan yang berlandaskan
prinsip syariah dianggap dilakukan langsung oleh pemasok atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP) kepada nasabah. Klausula peraturan
tersebut seakan mengarahkan pihak perbankan syariah untuk
mengadakan akad wakalah sebelum dilakukannya akad murabahah.
Dan pada saat diberlakukan peraaturan menteri keuangan pun pihak
bank syariah tetap mempertahankan skema pembiayaan tersebut.
79
B. Analisis Akad Murabahah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
1. Kontrak Pembiayaan Murabahah
Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan
tertentu, biasanya secara tertulis68
. Para pihak yang bersepakat
mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan
melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan
hubungan hukum. Pada umumnya kontrak yang dibuat untuk
keperluan pembiayaan pada perbankan syariah adalah jenis kontrak
tertulis. Kontrak tertulis dapat dibedakan menjadi 3 kelompok,
diantaranya69
:
a) Perjanjian di bawah tangan
Perjanjian di bawah tangan merupakan perjanjian yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Perjanjian ini
hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak
mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.
b) Perjanjian dengan saksi notaris
68 Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan dalam Saefuddin Arif dan
Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011) h.1. 69 Saefuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h.6.
80
Perjanjian dengan saksi notaris bertujuan untuk melegalisasi tanda
tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen
semata-mata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan
para pihak. Namun pihak notaris tidak bertanggungjawab atas
keabsahan isi dari perjanjiang tersebut.
c) Perjanjian otentik
Perjanjian otentik merupakan perjanjian yang dibuat dihadapan
dan oleh pejabat yang berwenang atau notaris dan dibuat dalam
bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di
hadapan dan di muka pejabat yang berwenang. Dokumen ini
merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang
bersangkutan maupun pihak ketiga.
Dalam kontrak yang digunakan oleh pihak bank syariah untuk
memfasilitasi pembiayaan, biasanya pihak bank syariah sudah
menyiapkan draft yang berisi pokok-pokok perjanjian pembiayaan. Hal
ini dilakukan untuk menghemat waktu dan pembebanan biaya yang
berlebihan.
Saat ini penulis ingin menjabarkan mengenai isi dari kontrak
perjanjian pembiayaan yang menjadi obyek penelitian penulis. Kontrak
perjanjian yang diteliti merupakan draft atas perjanjian pembiayaan
murabahah dari 2 (dua) Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia,
81
yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Berikut isi
dari klausula perjanjian pembiayaan murabahah.
Pertama, dalam pasal yang menjelaskan mengenai pokok akad
dijelaskan bahwa pihak bank syariah menjual dan menyerahkan barang
yang dipesan oleh nasabah. Namun pada realisasinya pihak bank
syariah memberikan kuasa kepada pihak nasabah untuk membeli
sendiri barang atau rumah yang diinginkan. Sehingga pemberian kuasa
ini dikenal sebagai akad wakalah antara bank syariah dan nasabah.
Selain penyataan mengenai kepemilikan obyek akad tersebut, dalam
pasal ini juga dijabarkan mengenai manfaat obyek, harga pokok obyek
akad, besaran margin yang dikenakan sebagai besaran keuntungan
yang akan diperoleh pihak bank syariah atas penyaluran pembiayaan
tersebut, serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank
syariah dan akan dibebankan kepada nasabah untuk memperoleh
obyek tersebut dan jangka waktu pembiayaan beserta tanggal jatuh
tempo pembayaran angsuran pembiayaan murabahah.
Kedua, dalam klausula baku terdapat satu pasal yang
menjelaskan mengenai persyaratan pencairan pembiayaan murabahah.
Pasal ini menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak
nasabah pemohon pembiayaan. Persyaratan-persyarata tersebut harus
dilengkapi berupa penyerahan dokumen-dokumen berupa form
permohonan realisasi pembiayaan, bukti-bukti kepemilikan
82
jaminan/agunan beserta akta pendukung atas jaminan tersebut dan
dokumen-dokumen pendukung lainnya. Dalam draft perjanjian yang
dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia ditambahkan adanya surat kuasa
debet. Surat tersebut ditujukan untuk memberi kuasa kepada pihak
bank untuk mengurangi secara otomatis dari saldo tabungan maupun
giro milik nasabah yang bersangkutan.
Ketiga, pasal selanjutnya membahas mengenai jangka waktu
dan tata cara pembayaran. Meskipun pada pasal sebelumnya
dijabarkan mengenai jangka waktu beserta jumlah yang harus diangsur
oleh pihak nasabah peminjam. Namun pada pasal ini diatur mengenai
mekanisme atau tata cara pembayaran yang diatur oleh pihak bank
syariah dan harus dipatuhi oleh pihak nasabah peminjam dalam
melakukan pembayaran angsuran setiap periode jatuh tempo. Dalam
klausula ini terdapat perbedaan poin-poin yang diatur oleh pihak bank
syariah dan hal ini bergantung pada kebijakan masing-masing bank
syariah.
Pada draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat oleh
Bank Muamalat Indonesia, pasal yang menjelaskan mengenai jangka
waktu dan tata cara pembayaran terdapat 7 (tujuh) poin. Dan di dalam
poin-poin tersebut tidak dituliskan berapa lama jangka waktu
pembiayaan murabahah. Selain itu, dijelaskan pula mengenai
pembayaran jatuh tempo pada hari libur dan pihak nasabah diwajibkan
83
melunasi pada 1 hari kerja bank sebelum tanggal jatuh tempo yang
bertepatan bukan pada hari kerja bank.
Sedangkan pada draft kontrak pembiayaan yang dibuat oleh
Bank Syariah Mandiri, dalam klausul yang menjelaskan jangka waktu
dan tata cara pembayaran disebutkan lamanya jangka waktu yang
diberikan untuk melunasi hutang murabahah tersebut. Selain itu dalam
draft tersebut juga lebih ringkas dengan menggunakan 4 (empat) poin
saja dan mencakup mengenai mekanisme pembayaran serta besaran
denda yang ditetapkan jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran
setiap periodenya. Namun bedanya dengan Bank Muamalat Indonesia,
dalam draft Bank Syariah Mandiri ditetapkan pembayaran jatuh tempo
angsuran bertepatan bukan di hari kerja bank diberikan tambahan
waktu pembayaran sampai pada hari kerja pertama bank setelah
tanggal jatuh tempo yang bertepatan pada bukan hari kerja bank
tersebut.
Keempat, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur
mengenai pengenaan biaya, potongan dan pajak atas barang atau obyek
akad. Untuk pengenaan biaya-biaya yang terkait dengan obyek akad
maupun pelaksanaan kontrak pembiayaan ini, seperti biaya
administrasi, biaya notaris, premi asuransi dan biaya lainnya, menjadi
tanggung jawab nasabah pemohon pembiayaan dan harus dibayarkan
oleh nasabah tersebut. Begitu pula dengan pengenaan pajak yang
84
berkaitang dengan obyek akad pembiayaan murabahah, nasabah
bertanggung jawab untuk melunasi pajak-pajak tersebut. Lebih lanjut,
dalam draft yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia disebutkan
pula mengenai biaya advokat apabila terjadi cidera janji (wanprestasi)
dan menggunakan jasa advokat untuk menagih pembayaran yang
belum dilunasi. Dalam poin tersebut, disebutkan bahwa biaya advokat
menjadi tanggung jawab nasabah untuk membayarnya meskipun pada
dasarnya pihak bank syariah yang menggunakan jasanya.
Kelima, jaminan merupakan bagian yang terpenting dalam
sebuah pembiayaan, oleh karena itu jaminan perlu juga diatur dalam
kontrak pembiayaan. Dalam kontrak pembiayaan harus secara jelas
disebutkan mengenai spesifikasi barang yang dijadikan jaminan
pelunasan pembiayaan. Disamping itu, bank juga perlu menilai harga
dari barang jaminan tersebut. Dasar penilaian tersebut adalah harga
pasar barang tersebut. Jadi apabila harga pasar atas barang yang
dijadikan jaminan tersebut dinilai kurang dapat menutup jumlah
pembiayaan yang diberikan, maka nasabah perlu menambahkan
sejumlah barang sebagai agunan tambahan sampai nilai dari barang-
barang tersebut dapat dinilai cukup untuk menutupi nilai pembiayaan
yang diberikan oleh pihak bank syariah.
Keenam, pengenaan denda dan ganti rugi juga diatur dalam
kontrak pembiayaan murabahah. Denda dapat dikenakan apabila
85
terjadi keterlambatan pembayaran agsuran setiap periodenya. Besarnya
pengenaan denda ini bergantung pada kebijakan bank syariah masing-
masing. Hal ini disebabkan sistem perhitungan dari masing-masing
bank berbeda, sehingga tidak dapat ditetapkan secara umum mengenai
besarnya denda yang diberikan. Biasanya penetapan denda ini sudah
dinegosiasikan terlebih dahulu antara kedua pihak (bank syariah dan
nasabah) sebelum penandatanganan kontrak pembiayaan murabahah.
Selain denda, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur
mengenai ganti rugi. Ganti rugi dikenakan apabila adanya pembatalan
sepihak yang dilakukan oleh pihak nasabah pemohon pembiayaan.
Oleh karena itu, nasabah bertanggungjawab membayar ganti rugi atas
biaya-biaya yang sudah terealisasi dan dibayarkan oleh pihak bank
syariah yang berhubungan dengan pembiayaan murabahah yang
diberikan.
Ketujuh, cidera janji atau yang lebih dikenal dengan istilah
wanprestasi merupakan perbuatan yang tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur70
. Dalam sebuah
kontrak pembiayaan murabahah, peristiwa wanprestasi perlu diatur
untuk menghindari perbuatan yang dapat merugikan salah satu pihak
70 Salim H.S., Hukum Kontrak cetakan ke-4 dalam Saefudin Arif dan Ah. Azharuddin
Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
h.8.
86
maupun kedua pihak yang melakukan perjanjian. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) diatur mengenai yang
menjadi sebab terjadinya wanprestasi dalam pasal 1234 sebagai
berikut71
:
a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan;
c) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau
d) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak diperbolehkan
melakukannya.
Dalam kontrak pembiayaan pembahasan mengenai sebab terjadi
perbuatan wanprestasi juga masih terkait dengan sebab wanprestasi
yang diatur dalam KUH Perdata, namun dalam kontrak pembiayaan
dibuat lebih luas penjabaran mengenai perbuatan yang dianggap cidera
janji (wanprestasi). Dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang
dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia terdapat 16 poin yang dianggap
dapat menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi,
sedangkan dalam draft kontrak pembiayaan murabahah yang dibuat
oleh Bank Syariah mandiri hanya memuat 8 poin yang dianggap dapat
menyebabkan pihak nasabah melakukan perbuatan wanprestasi. Selain
menjelaskan megenai sebab terjadinya perbuatan yang dianggap
71 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1234
87
wanprestasi, dalam pasal yang terpisah juga disebutkan akibat atau
dampak jika nasabah melakukan salah satu perbuatan yang dianggap
wanprestasi dalam kontrak tersebut.
Kedelapan, adanya pernyataan ataupun pengakuan dari pihak
nasabah untuk mengikatkan diri dalam perjanjian yang ditandatangani.
Penyataan ini menjelaskan mengenai pernyataan yang membenarkan
bahwa nasabah yang menandatangani ini tunduk dan patuh atas segala
aturan yang tertuang di dalam kontrak pembiayaan tersebut.
Kesembilan, dalam pasal yang berbeda, diatur pula mengenai
pembatasan tindakan nasabah dan tindakan yang wajib dilakukan oleh
nasabah. pembatasan tindakan nasabah secara umum menyerupai
sebab-sebab terjadinya wanprestasi, namun yang membedakan dalam
pembatasan tindakan nasabah ini hanya mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh nasabah selama masa
perjanjian pembiayaan murabahah. Sedangkan pasal yang mengatur
tentang tindakan yang wajib dilakukan oleh nasabah lebih bersifat
pada kewajiban yang harus dilakukan oleh nasabah terkait dengan
pelaksanaan perjanjian murabahah selama jangka waktu perjanjian
tersebut.
Kesepuluh, pembahasan mengenai risiko yang menjadi
tanggung jawab nasabah sepenuhnya. Risiko yang ditanggung oleh
88
nasabah ini terkait dengan obyek pembiayaan murabahah beserta
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek tersebut.
Kesebelas, dalam kontrak pembiayaan murabahah juga diatur
mengenai asuransi yang diberikan untuk barang yang dijadikan
jaminan atas sejumlah hutang murabahah. Barang tersebut dapat
diasuransikan pada perusahaan-perusahaan asuransi syariah yang
bekerjasama dengan pihak bank syariah yang memberikan penyaluran
dana tersebut. Meskipun barang jaminan tersebut diberikan asuransi
oleh pihak bank, namun yang bertanggungjawab atas pembayaran
premi asuransi setiap bulannya adalah pihak nasabah peminjam.
Keduabelas, pokok kontrak pembiayaan murabahah yang
terakhir menjelaskan mengenai tata cara penyelesaian perselisihan
antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian, yaitu bank syariah dan
nasabah.
2. Bentuk Perlindungan Konsumen Yang Diterapkan Berdasarkan
Akta Perjanjian Pembiayaan
Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat memiliki resiko,
oleh karena itu penyalurannya harus hati-hati dan memperhatikan asas-
asa perbankan syariah, prinsip kehati-hatian serta jaminan dalam
memberikan pembiayaan bank syariah wajib memiliki keyakinan atas
kemauan dan kemampuan nasabah untuk melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan akad yang diperjanjikan. Jaminan diartikan sebagai
89
bagian dari yang dimaksud keyakinan atas kemauan dan kemampuan
nasabah dalam melakukan kewajibannya.
Klausula baku yang dibuat oleh pihak kantor cabang sebuah
bank syariah merupakan akad yang mewakili kepentingan kantor pusat
bank syariahyang bersangkutan. Untuk efisiensi waktu dan biaya,
pihak bank syariah biasanya telah mempersiapkan formulir-formulir
akad yang memuat tentang hasil kesepakatan yang dibuat untuk
dituangkan ke dalam klausula baku yang akan ditandatangani oleh
pihak bank syariah dan pihak nasabah yang bersangkutan. Dalam
formulir akad tersebut mengharuskan pihak bank melakukan negosiasi
mengenai hal-hal tertentu, khususnya mengenai penetapan margin
keuntungan. Sehingga dalam pembuatan klausula baku tersebut telah
terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan isi
dari klausul baku yang diterbitkan oleh Bank Muamalat Indonesia dan
Bank Syariah Mandiri, diketahui beberapa aspek yang menyatakan
terdapat perlndungan konsumen yang diberikan oleh pihak bank
syariah, diantaranya:
Pertama, bahasa dan istilah yang digunakan dalam klausula
baku yang ditandatangani oleh kedua belah pihak mudah dipahami
oleh nasabah. Hal ini didukung adanya pasal yang menjelaskan tentang
istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku tersebut. Sehingga
90
nasabah dapat memahami istilah-istilah tersebut sebelum membaca
lebih jauh isi klausula baku tersebut.
Penggunaan bahasa dan istilah dalam bahasa Indonesia ini
sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa72
:
“Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf,
tulisan, simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara
jelas.”
Lebih lanjut, peraturan tersebut dijelaskan dalam ayat (4) yang
menyatakan bahwa73
:
“Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan
atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda
yang belum dipahami oleh Konsumen.”
Dalam klausul perjanjian pembiayaan murabahah dicantumkan dalam
pasal 1 dengan title “DEFINISI” yang menguraikan penjelasan atas
istilah-istilah yang digunakan dalam klausula baku. Hal ini bertujuan
untuk memudahkan nasabah dalam memahami istilah-istilah yang
digunakan sebelum membaca lebih jauh isi dari perjanjian tersebut.
Hal ini seperti yang tercantum sebagai berikut:
72 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan, hal.5. 73 Ibid.
91
PASAL 1
DEFINISI
Dalam akad ini, yang dimaksud dengan:
a. Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan jual beli
antara BANK sebagai penjual dan penyedia barang dengan
NASABAH sebagai pemesan untuk membeli, yang di dalam
akad jual beli dinyatakan dengan jelas dan rinci mengenai
barang, harga beli BANK dan harga jual BANK kepada
NASABAH sehingga termasuk di dalamnya margin
keuntungan yang diperoleh BANK, serta persetujuan
NASABAH untuk membaayar harga jual BANK tersebut
secara tangguh, baik secara sekaligus (lump-sum) dan atau
secara angsuran.
Kedua, dalam pasal 8 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Setor Jasa Keuangan menyatakan bahwa:
Ringkasan Informasi produk dan/atau layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-
kurangnya memuat:
a. Manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
b. Syarat dan ketentuan.
Hal mengenai pencatatan atas manfaat, risiko dan biaya produk
murabahah serta syarat dan ketentuan yang ditetapkan sudah termasuk
ke dalam materi klausula baku atas perjanjian pembiayaan murabahah
yang dianalisis. Sehingga dapat dikatakan bahwa klausula tersebut
telah memenuhi ketentuan perlindungan konsumen. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada halaman lampiran skripsi ini.
Ketiga, adanya prinsip transparansi dan keadilan dalam
pengalokasian nilai jual barang yang dijadikan jaminan atas
92
pembiayaan murabahah. Hal ini tercermin dari isi klausula baku yang
menyebutkan bahwa:
“Menjual harta benda yang dijaminkan dan atau yang
diserahkan kemudian oleh NASABAH dan/atau penjamin
kepada BANK berdasarkan prinsip transparansi dengan harga
yang disepakati antara BANK dan NASABAH maupun di muka
umum (secara lelang) dan untuk itu NASABAH/Penjamin
memberi kuasa dengan ketentuan pendapatan bersih dari
penjualan pertama-tama dipergunakan untuk pembayaran
seluruh Utang Murabahah dan Keajiban NASABAH kepada
BANK dan jika ada sisa, maka sisa tersebut akan dikembalikan
kepada NASABAH dan/atau Penjamin sebagai pemilik harta
benda yang dijaminkan kepada BANK”
Dalam klausula tersebut, tercermin adanya prinsip transparansi dalam
menyatakan harga jual barang jaminan yang akan digunakan untuk
melunasi sejumlah utang murabahah yang belum dibayarkan.
Pernyataan harga jual yang diinformasikan oleh pihak bank syariah
kepada pihak nasabah atas penjualan barang jaminan tersebut, baik
melalui penjualan berdasarkan kesepakatan di awal ataupun secara
penjualan lelang.
Sedangkan pencerminan dari prinsip keadilan didasarkan pada
isi perjanjian yang menyatakan sisa uang setelah dilakukan pelunasan
terhadap kewajiban murabahah akan dikembalikan ke pihak nasabah
selaku pemilik harta yang telah dijual dan dijaminkan tersebut.
Sehingga pihak bank syariah tidak mendapatkan keuntungan apapun
atas penjualan barang jaminan tersebut, selain itu juga bank syariah
mampu bersifat adil dalam pelaksanaan pembagian harta yang
93
dijaminkan tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bank syariah tidak
mengambil uang yang bukan haknya.
Prinsip transparansi dan keadilan ini sejalan dengan penerapan
prinsip dalam peraturan otoritas jasa keuangan tentang perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 2
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Pelindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Keempat, barang yang dijadikan obyek pembiayan dalam
klausula baku merupakan pesanan nasabah yang mengajukan
permohonan. Dalam hal ini, barang yang dipesan oleh nasabah berupa
sebidang rumah dengan ketentuan yang telah disepakati antara pihak
bank syariah dan pihak nasabah. Hal ini sesuai dengan pemenuhan hak
konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 Huruf b Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa:
“hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan”
Sedangkan dalam kontrak pembiayaan murabahah biasanya tercantum
sebagai berikut:
Pasal 2
POKOK AKAD
94
BANK dengan ini menjual Obyek Akad yang dipesan oleh dan
menyerahkannya kepada NASABAH, dan NASABAH dengan
ini membeli, menerima dan membayar Harga Jual Obyek Akad
kepada BANK.
Selain itu, dalam prakteknya di bank syariah, pihak nasabah memiliki
kebebasan dalam menyampaikan pendapat mengenai syarat dan
ketentuan yang telah ditentukan secara sepihak oleh bank syariah
dalam pemenuhan syarat administratif. Disamping dapat
menyampaikan pendapat, nasabah juga diberikan hak untuk melakukan
negosiasi dengan pihak bank syariah terkait:
a. Jangka waktu pembayaran utang murabahah; dan
b. Jaminan/agunan
3. Bentuk Pelanggaran Terhadap Peraturan-Peraturan Terkait
Perlindungan Konsumen
Dari hasil penelitian penulis pada kontrak murabahah di bank
syariah yang dibuat oleh kedua belah pihak (antara bank dan nasabah)
dengan dilegalkan oleh notaries, maka penulis menemukan beberapa
klausula perjanjian yang sangat memberatkan pihak nasabah sebagai
konsumen. Beberapa klausula tersebut tidak hanya memberatkan pihak
nasabah saja, akan tetapi sudah sampai pada taraf yang sangat tidak
adil bahkan sudah sampai pada pengalihan resiko dan tanggung jawab
masalah.
95
Dibawah ini diuraikan kontrak baku dalam perjanjian
pembiayaan murabahah pada perbankan syariah yang menurut analisis
penulis memberatkan dan merugikan pihak nasabah. Berikut hasil
analisa penulis berdasarkan berbagai aspek, diantaranya:
Pertama, adanya kewajiban untuk mengasuransikan barang
yang dijadikan jaminan dalam perjanjian murabahah. Seperti yang
disebutkan pada pasal 20 ayat (1) dalam draft kontrak pembiayaan
yang dibuat oleh Bank Muamalat Indonesia dan pasal 13 dalam draft
kontrak pembiayaan yang dibuat oleh Bank Syariah mandiri yang
menyebutkan sebagai berikut:
“Selama Utang Murabahah belum lunas, maka Agunan yang
dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh dan atas beban
NASABAH kepada Perusahaan Asuransi syariah yang ditunjuk
dan atau perusahaan asuransi lain yang disetujui oleh BANK
terhadap risiko kerugian yang macam, nilai dan jangka
waktunya ditentukan oleh BANK”
Pernyataan tersebut dianggap dapat melanggar hal-hal yang sudah
diatur dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, lebih tepatnya dalam mencapai tujuan dari
perlindungan konsumen pada pasal 3 huruf c yang menyataan sebagai
berikut:
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
96
Hal yang dapat dianggap melanggar pasal tersebut terdapat pada tidak
berlakunya hak konsumen dalam memilih untuk menentukan
perusahaan asuransi dalam hal mengasuransikan barang yang dijadikan
jaminan/agunan. Dalam hal ini pihak bank syariah sudah menentukan
secara sepihak mengenai perusahaan asuransi yang bekerjasama untuk
mengasuransikan barang-barang yang dijadikan jaminan dalam produk
pembiayaan bank syariah.
Meskipun adanya pilihan dalam menentukan perusahaan
asuransi lain yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah yang
bersangkutan, namun penentuan perusahaan asuransi lain tersebut
harus mendapat persetujuan dari pihak bank syariah. sebelum bank
syariah menyatak persetujuannya dalam hal perusahaan asuransi lain,
pihak bank syariah juga perlu menganalisis lebih jauh mengenai
perusahaan asuransi tersebut.
Selain mengenai adanya pelanggaran dalam hal memilih
perusahaan asuransi, penentuan perusahaan asuransi yang diputuskan
secara sepihak oleh bank syariah juga dapat dikatakan memberatkan
nasabah yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi apabila premi
asuransi yang harus dibayar nasabah jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan premi asuransi di perusahaan asuransi lainnya
yang tidak bekerjasama dengan pihak bank syariah. sehingga hal ini
dapat dikatakan memberatkan pihak nasabah, karena disamping
97
nasabah berkewajiban mengangsur sejumlah uang untuk melunasi
pembiayaan murabahah, nasabah jugadiharuskan membayar premi
asuransi atas barang yang dijadikan agunan selama jangka waktu
pembiayaan atau selama pembiayaan murabahah belum dapat dilunasi
oleh nasabah.
Kedua, adanya ketentuan-ketentuan dalam prosedur
persetujuan pembiayaan, sehingga hal ini berpengaruh pada nilai
pembiayaan dan jaminan yang ditetapkan oleh bank secara sepihak.
Tidak jarang terjadi realisasi pembiayaan dengan nominal yang tidak
sesuai dengan nominal yang diajukan oleh nasabah. berbagai ketentuan
dalam proses persetujuan pembiayaan berupa analisis terkait barang
jaminan dan latar belakang nasabah, dapat berdampak pada nominal
realisasi pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank syariah. sehingga
dalam hal ini adanya ketidaksesuaian terhadap pasal 4 huruf b yang
menyatakan sebagai berikut:
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan
Ketidaksesuaian nominal pengajuan pembiayaan dengan nominal
realisasi pembiayaan ini dapat dikatakan pelanggaran Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dikarenakan nasabah masih harus mencari
dana tambahan dalam mencukupi kekurangan dana yang tidak dapat
98
disetujui oleh pihak bank syariah. selain itu juga, adanya
ketidaksesuaian antara nilai jaminan dengan nominal realisasi
pembiayaan yang ditetapkan pihak bank syariah.
Ketiga, terdapat klausula perjanjian yang menyebutkan
diperlukannya agunan tambahan dalam mencukupi nilai pembiayaan
yang diberikan oleh pihak bank syariah. Dalam klausula tersebut
disebutkan sebagai berikut:
“Dalam hal belum dicukupinya jaminan untuk melunasi Utang
Murabahah dan Kewajiban NASABAH kepada BANK,
NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk dari
waktu ke waktu selama Utang Murabahah dan Kewajibannya
belum lunas akan menyerahkan kepada BANK, jaminan-
jaminan tambahan yang dinilai cukup oleh BANK”
Dalam klausula tersebut, adanya permintaan pihak bank syariah dalam
pemenuhan nilai jaminan yang disesuaikan dengan nilai pembiayaan.
Sedangkan seperti yang diketahui sebelumnya bahwa pembiayaan
murabahah tidak terikat pada nilai jual pasar berjalan, sehingga dapat
dikatakan apabila bank syariah memberikan pembiayaan pada tahun X
sebesar Rp 300.000.000,00 sedangkan harga rumah tersebut jika
dilihat pada harga pasar menjadi dua kali lipat dari nilai pembiayaan,
maka bank syariah tidak dapat mengajukan adanya kekurangan nilai
dari barang agunan yang sebelumnya sudah dinilai mencukupi untuk
menutup nominal pemberian pembiayaan. Seperti halnya dengan
jumlah angsuran yang dibayarkan oleh nasabah kepada bank syariah,
99
tidak dapat diubah selama masa atau jangka waktu pembiayaan. Hal
ini lebih disebabkan pada karakteristik atas pembiayaan murabahah
yang bersifat tetap dengan sesuatu yang sudah tetapkan pada awal
penandatanganan kontrak pembiayaan tersebut.
Apabila terjadi penambahan jaminan dan berpengaruh pula
dengan nominal jaminan yang diberikan kepada pihak bank syariah,
maka dapat dikatakan adanya pelanggaran terhadap pasal 18 ayat (1)
huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan
sebagai berikut:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila: (g) menyatakan tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;”
Bentuk pelanggaran yang terjadi atas klausula perjanjian murabahah
adalah terdapat peraturan tambahan yang dibuat atau disepakati secara
sepihak oleh bank syariah pada jangka waktu pembiayaan. Aturan
tambahan tersebut dibuat dalam bentuk permintaan agunan tambahan
apabila nilai agunan sebelumnya tidak mencukupi nominal
pembiayaan yang telah diberikan di awal akad.
100
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa penulis terhadap hasil wawancara dan isi kontrak
pembiayaan murabahah terkait dengan jenis pembiayaan hunian syariah pada
Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, maka dengan ini dapat
penulis menyimpulkan bahwa:
1. Awal permasalahan Pajak Pertambahan Nilai atas pembiayaan
murabahah ini dipicu dengan adanya surat balasan pihak Direktorat
Jenderal Pajak mengenai pertanyaan yang diajukan oleh salah satu
bank konvensional terkait perlakuan pajak atas pembiayaan
murabahah. Padahal sebelumnya pada tahun 1992 terjadi kesepakatan
antara pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan Bank Muamalat
Indonesia bahwa pembiayaan murabahah terbebas dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai. Seiring berjalan waktu, pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia semakin pesat namun masih belum
memadainya peraturan-peraturan yang mengaturnya, seperti dalam hal
permasalahan perpajakan ini. Peraturan perundang-undangan terakhir
mengenai pajak pertambahan nilai belum adanya konteks aturan yang
mengatur jasa di bidang perbankan syariah terutama pembiayaan
murabahah. Sehingga timbulnya argumentasi yang berbeda antara
101
pihak Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak perbankan syariah,
termasuk Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO).
2. Untuk meredam konflik yang terjadi antara Direktorat Jenderal Pajak
dengan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) terkait
pengenaan pajak berganda (double tax), tahun 2009 dikeluarkan
Undang-Undang terbaru mengenai Pajak Pertambahan Nilai yang di
dalamnya terdapat aturan mengenai pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Aturan tersebut
diatur dalam Pasal 1A Ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009. Selain itu, pada bulan Desember 2010 juga dikeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.011/2010 yang
mengatur tentang penghapusan Pajak Pertambahan Nilai atas
pembiayaan murabahah yang diberlakukan mulai tanggal 28
Desember 2010. Dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan ini
menunjukan bahwa adanya dukungan pemerintah dalam
mengembangkan perbankan syariah di Indonesia.
3. Apabila dilihat dari perspektif hukum perlindungan konsumen, hukum
di Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013. Hukum perlindungan konsumen erat kaitannya
dengan penerapan klausula-klausula dalam kontrak baku
permbiayaaan, oleh karena itu dikeluarkan pula Surat Edaran Otoritas
102
Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.07/2014 yang mengatur tentang
perjanjian baku. Dari hasil analisis penulis terdapat beberapa
pelanggaran yang terjadi dan tidak sesuai dengan ketiga jenis
peraturan-peraturan tersebut. Namun disamping terdapat pelanggaran-
pelanggaran terhadap hukum perlindungan konsumen, kontrak baku
yang digunakan oleh perbankan syariah masih terdapat beberapa
bentuk perlindungan konsumen yang sesuai dengan peraturan-
peraturan yang berlaku.
B. Saran
1. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan di bidang perbankan syariah
dengan melibatkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dan
Departemen Keuangan Republik Indonesia, dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir adanya
perbedaan penafsiran atas perundang-undangan yang berlaku. Selain itu
juga bertujuan sebagai upaya mendorong pertumbuhan perbankan syariah
di Indonesia di masa mendatang.
2. Sebaiknya pihak perbankan syariah meninjau kembali klausul-klausul
yang terdapat didalam kontrak baku yang dibuat, khususnya mengenai
hal-hal yang memberatkan nasabah.
3. Sebaiknya pemerintah membuat regulasi mengenai pelaksanaan akad ini,
khususnya yang berhubungan dengan perlindungan terhadap penerapan
103
klausula baku ini di bank syariah, sehingga akan membedakan antara
praktek bank konvensional dengan bank syariah.
104
DAFTAR PUSTAKA
Alqur’an dan As-Sunnah
Buku-buku
Al-Muslih, Abdullah dan Shalah ash-shawi. “Fikih Ekonomi Keuangan Islam” dalam Skripsi
Nur Alfi Syahr. “Perbandingan Pembiayaan KPR Muamalat iB Dengan Akad
Murabahah dan Musyarakah Mutanaqisah Pada Bank Muamalat Indonesia”.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2013.
Arif, Saefuddin dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah, Ciputat: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Arifin, Zainul “Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah” Cet.7. Jakarta: Azkia Publisher,
2009.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. cet.II. Jakarta: PT Renika Cipta, 1993.
Badrulzaman, Mariam Darus. “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut
Perjanjian Baku (Standard)” dalam Sukarmi. Cyber Law: Kontrak Elektronik
Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha. Jakarta: Pustaka Sutra, 2011.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif . cet.I.
Penerjemah Arief Furchan. Surabaya: Usana Offset Printing, 1992.
Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007.
Eddy, Richard. Aspek Legal Properti – Teori, Contoh dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi
Offset, 2010.
Herutomo, Agung. Rahasia KPR Yang Disembunyikan Para Bankir. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2010.
105
Hermansyah, Ed. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI. Jakarta: Kencana, 2001.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah. Jakarta: Kencana, 2007.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan). Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2013.
Laksmana, Yusak. Tanya Jawab Cara Mudah Mendapatkan PembiayaanDi Bank Syariah.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.II. Jakarta: Rajawali Pers.
2004.
Saliman, Abdul Rasyid. “Hukum Bisnis Untuk Perusahaan” dalam Saefuddin Arif dan Ah.
Azharuddin Lathif. Kontrak Bisnis Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Singarimbun, Masri dan Sofwan Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LPES, 1989.
Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ed. Revisi 2014. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Sukwiaty, dkk. Ekonomi SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira, 2009.
Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen, cet.I. Jakarta: Kencana. 2013.
Peraturan-Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Panduan Pajak
Pertambahan Nilai. Direktorat Jenderal Pajak, 2013.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku Kedua
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
106
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Jurnal, Tesis dan Skripsi
Arihta, Stevani Citra, Analisis Pajak Pertambahan Nilai Bagi Produk Perbankan Syariah
Murabahah. Skripsi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, 2011.
Lathif, Ah. Azharuddin. Analisis Yuridis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam
Pembiayaan Murabahah Di Perbankan Syariah. Jurnal Masyarakat Ekonomi
Syariah, 2012.
Lathif, Ah. Azharuddin. Konsep dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah di
Indonesia. Jurnal Al-Ahkam Vol.XII No.2, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Nur, Abdul Hafid. “Aplikasi Kontrak Musyarakah Di Bank Syariah X Ditinjau Dari UU No.8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Nurmawati, May. Prosedur Pembiayaan Murabahah Pada PT Bank Syariah Mandiri
Cabang Gatot Subroto. Skripsi S1 Universitas Gunadarma, 2013.
Sugyawati. Analisis Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Dengan Akad Pembiayaan
Murabahah Di BNI Syariah Cabang Medan. Skripsi S1 Fakultas Akuntansi,
Universitas Sumatera Utara, 2010.
107
Wardoyo, Prasetyo. Studi Komparasi Penggunaan Akad Murabahah, Ijarah Muntahiya
Bittamlik, dan Musyarakah Mutanaqisah Dalam Pembiayaan KPR di Bank Syariah.
Skripsi S1 Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2010.
Informasi Elektronik
Admin, “Pertumbuhan Bank Syariah Di Indonesia 2014”. Artikel diakses pada 15
Desember 2014 dari http://artikelekis.blogspot.com/2014/07/pertumbuhan-bank-
syariah-di-indonesia.html.
Agung. “Penjelasan Studi Lapangan Penelitian”. Artikel diakses pada 17 Desember 2014
dari http://teori-ilmupemerintahan.blogspot.com/2011/06/penjelasan-studi-lapangan-
penelitian.html.
Anugrah, Meutia Febrina. “Kebutuhan Rumah di Indonesia Membeludak 31 Juta Unit”,
artikel diakses pada 3 Oktober 2014 dari
http://economy.okezone.com/read/2014/09/02/471/1033216/kebutuhan-rumah-di-
indonesia-membeludak-31-juta-unit.
Beta, Gamma Sigma. ”Analisis Statistik Perbankan Syariah Indonesia Januari 2012”. Artikel
diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 dari
https://dbcgsbipb.wordpress.com/rubrik/artikel-statistika/analisis-statistik-
perbankan-syariah-indonesia-januari-2012/.
Hendry. “Metode Pengumpulan Data”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari
http://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data.
108
Prastna. “Jenis-jenis Wawancara”. Artikel ini diakses pada 17 Desember 2014 dari
http://prastna.wordpress.com/tag/jenis-jenis-wawancara.
Ryan, Elsa. “Krisis Ekonomi Global 2008 Serta Dampaknya Bagi Perekonomian Indonesia”
Artikel diakses pada 15 Desember 2014 dari
http://elsaryan.wordpress.com/2009/09/08/krisis-ekonomi-global-2008-serta-
dampaknya-bagi-perekonomian-indonesia/.
Sanusi, Ahmad. “Analisa Karakter Sebagai Salah Satu Alat Manajemen Dalam Pengambilan
Keputusan Pemberian Kredit”. Artikel diakses pada 4 Januari 2015 pada
http://sanoesi.wordpress.com/tag/prinsip-5c-dalam-kredit/
Syaifurrahman. “Jaminan Dalam Pembiayaan Bank Syariah”. Artikel diakses pada 11
Januari 2015 pada http://tugaskuliah-syaifurrahman.blogspot.com/2013/07/jaminan-
dalam-pembiayaan-bank-syariah.
Winosa, Yosi. “OJK Dorong Penambahan Bank Umum Syariah” artikel diakses pada 8
Oktober 2014 dari http://www.beritasatu.com/ekonomi/215856-ojk-dorong-
penambahan-bank-umum-syariah.html.
Lain-lain
Surat Direktorat Jenderal Pajak Kepada Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) No.
S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Februari 2006 tentang Perlakuan PPN Atas Produk
Pembiayaan Oleh Perbankan Syariah.
MENTEAIKEUANGANREPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 251/PMICOll/2010
TENT ANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS TRANSAKSIMURABAHAH PERBANKAN SYARIAH
TAHUN ANGGARAN 2010
DENGAN RAHMA T TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
Mengingat
Menetapkan
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf p angka5 Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang AnggaranPendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2010, perlumenetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang PajakPertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas TransaksiMurabahah Perbankan Syariah Tahun Anggaran 2010;
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003Nomer 47; Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang PerbendaharaanNegara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomer 4355);
3. Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang AnggaranPendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 156,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 5075)sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 5132);
4. Keputusan Presiden Nomor 56jP Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAKPERTAMBAHAN NILAI DITANGGUNG PEMERINT AH ATASTRANSAKSI MURABAHAH PERBANKAN SYARIAH TAHUNANGGARAN 2010.
MENTERIKEUANGANREPUBUK INDONESIA
- 2 -
Pasall
(1) Atas transaksi murabahah perbankan syariah yang dilakukansebelum tanggal 1 April 2010, dikenai Pajak Pertambahan Nilaisesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksudpada ayat (1) yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak,ditanggung pemerintah.
(3) Pajak Pertambahan .Nilai Ditanggung Pemerintah sebagaimanadimaksud pada ayat (2), diberikan dengan pagu anggaransebesar Rp328.454.138.718,00(tiga ratus dua puluh delapanmiliar empat ratus lima puluh empat juta seratus tiga puluhdelapan ribu tujuh ratus delapan belas rupiah).
(4) Pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3),dialokasikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja NegaraTahun Anggaran 2010dan perubahannya.
Pasal 2
Wajib Pajak bank syariah yang telah membayar Surat KetetapanPajak atas transaksi murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal1, dapat diberikan pengembalian pajak sesuai dengan ketentuanperpajakan yang berlaku.
Pasal 3
Tata cara penatausahaan pajak ditanggung pemerintah dalamPeraturan Menteri Keuangan ini, diatur lebih lanjut denganPeraturan Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Pajak, danDirektur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama-samamaupun sendiri-sendiri.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan.
MENTERIKEUANGANREPUBLIK INDONESIA
- 3 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam BeritaNegara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
~adatanggal 28 Desernber 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
Diundangkan di Jakartapadatangga128 Desernber 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd .
.PATRIALIS AKBAR
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
665
TEMEN
Jasa...
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR: 1/POJK.07/2013
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
111; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank
Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan
Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional maupun secara syariah.
2. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga
- 2 -
Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di
Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta
pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan.
3. Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap
Konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
4. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
5. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
6. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau
Manajer Investasi.
7. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan
Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan
Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek
yang tidak terjual.
8. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan
usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.
9. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola
portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali
perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
10. Penasihat Investasi adalah Pihak yang memberi nasihat kepada
Pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan
memperoleh imbalan jasa.
11. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang memberikan jasa
penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain,
menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening
yang menjadi nasabahnya.
12. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko kerugian,
kehilangan...
- 3 -
kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga, yang timbul dari peristiwa dari tak pasti.
13. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan.
14. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
15. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan mengenai lembaga pembiayaan.
16. Perusahaan Gadai adalah badan usaha yang didirikan untuk
menyalurkan uang pinjaman kepada nasabah dengan menerima
barang bergerak sebagai jaminan.
17. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan
penjaminan.
Pasal 2
Perlindungan Konsumen menerapkan prinsip:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
BAB II
KETENTUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 3
Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak untuk memastikan adanya
itikad baik Konsumen dan mendapatkan informasi dan/atau
dokumen mengenai Konsumen yang akurat, jujur, jelas, dan tidak
menyesatkan.
Pasal 4...
- 4 -
Pasal 4
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau
menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan
yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan
dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai
alat bukti.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. disampaikan pada saat memberikan penjelasan kepada
Konsumen mengenai hak dan kewajibannya;
b. disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan
Konsumen; dan
c. dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara
lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.
Pasal 5
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi yang
terkini dan mudah diakses kepada Konsumen tentang produk
dan/atau layanan.
Pasal 6
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi
kepada Konsumen tentang penerimaan, penundaan atau
penolakan permohonan produk dan/atau layanan.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyampaikan
informasi tentang penundaan atau penolakan permohonan
produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyampaikan alasan
penundaan atau penolakannya kecuali diatur lain oleh peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan istilah, frasa,
dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang
mudah dimengerti oleh Konsumen dalam setiap dokumen yang:
a. memuat hak dan kewajiban Konsumen;
b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan;
dan
c. memuat persyaratan dan dapat mengikat Konsumen secara
hukum.
(2) Bahasa...
- 5 -
(2) Bahasa Indonesia dalam dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat disandingkan dengan bahasa lain jika diperlukan.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menggunakan huruf, tulisan,
simbol, diagram dan tanda yang dapat dibaca secara jelas.
(4) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan penjelasan atas
istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan tanda yang
belum dipahami oleh Konsumen.
(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
menggunakan bahasa asing, bahasa asing tersebut harus
disandingkan dengan Bahasa Indonesia.
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun dan menyediakan
ringkasan informasi produk dan/atau layanan.
(2) Ringkasan informasi produk dan/atau layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat secara tertulis, sekurang-
kurangnya memuat:
a. manfaat, risiko, dan biaya produk dan/atau layanan; dan
b. syarat dan ketentuan.
Pasal 9
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada
Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen.
Pasal 10
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi
mengenai biaya yang harus ditanggung Konsumen untuk setiap
produk dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas
secara otomatis yang mengakibatkan tambahan biaya tanpa
persetujuan tertulis dari Konsumen.
Pasal 11
(1) Sebelum Konsumen menandatangani dokumen dan/atau
perjanjian produk dan/atau layanan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan
wajib menyampaikan dokumen yang berisi syarat dan ketentuan
produk dan/atau layanan kepada Konsumen.
(2) Syarat...
- 6 -
(2) Syarat dan ketentuan produk dan/atau layanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. rincian biaya, manfaat, dan risiko; dan
b. prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan di Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 12
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada
Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan
ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian
mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberitahukan kepada Konsumen paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sebelum berlakunya perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat
dan ketentuan atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(3) Dalam hal Konsumen tidak menyetujui perubahan terhadap
persyaratan produk dan/atau layanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka Konsumen berhak memutuskan produk
dan/atau layanan tanpa dikenakan ganti rugi apapun.
(4) Dalam hal Konsumen sudah diberikan waktu untuk
menyampaikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan Konsumen tidak memberikan pendapatnya maka Pelaku
Usaha Jasa Keuangan menganggap Konsumen menyetujui
perubahan tersebut.
Pasal 13
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyusun pedoman penetapan
biaya atau harga produk dan/atau layanan jasa keuangan.
Pasal 14
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyelenggarakan edukasi
dalam rangka meningkatkan literasi keuangan kepada Konsumen
dan/atau masyarakat.
(2) Rencana penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disusun dalam suatu program tahunan dan
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan rencana
penyelenggaraan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15...
- 7 -
Pasal 15
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang
setara kepada setiap Konsumen sesuai klasifikasi Konsumen atas
produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Klasifikasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan berdasarkan:
(a) latar belakang Konsumen;
(b) keterangan mengenai pekerjaan;
(c) rata-rata penghasilan;
(d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan; atau
(e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi
Konsumen.
Pasal 16
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memperhatikan kesesuaian
antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk
dan/atau layanan ditawarkan kepada Konsumen.
Pasal 17
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi
pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan Konsumen
dengan memanfaatkan kondisi Konsumen yang tidak memiliki pilihan
lain dalam mengambil keputusan.
Pasal 18
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dapat menjual produk dan/atau
layanan dalam satu paket dengan produk dan/atau layanan lain
(bundling product/service).
(2) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menjual produk
dan/atau layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka :
a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memaksa Konsumen
untuk membeli produk dan/atau layanan lain dalam paket
produk dan/atau layanan tersebut; dan
b. Konsumen dapat memilih penyedia produk dan/atau layanan
lain dalam paket produk dan/atau layanan tersebut.
(3) Dalam hal produk dan/atau layanan lain dalam paket produk
dan/atau layanan yang ditawarkan merupakan pilihan
Konsumen...
- 8 -
Konsumen, maka risiko atas pilihan tersebut menjadi tanggung
jawab Konsumen.
Pasal 19
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang melakukan penawaran produk
dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui
sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen.
Pasal 20
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan dalam setiap penawaran atau promosi produk
dan/atau layanan:
a. nama dan/atau logo Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan
b. pernyataan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan terdaftar
dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal penjualan produk dan/atau layanan hanya dapat
dilakukan oleh orang perorangan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan, dalam penawaran atau promosi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan pernyataan bahwa
orang perorangan dimaksud terdaftar dan diawasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 21
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memenuhi keseimbangan,
keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan
Konsumen.
Pasal 22
(1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian
baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku
Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik.
(3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban
Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b. menyatakan...
- 9 -
b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas
barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan
sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika
Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya
kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh
Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha
Jasa Keuangan;
e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau
mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek
perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara
sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa
Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang
dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan
yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.
Pasal 23
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan, agen penjual, dan
pengurus/pegawai dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
menghindari benturan kepentingan antara Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dengan Konsumen.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan informasi
mengenai adanya benturan kepentingan atau potensi benturan
kepentingan.
Pasal 24
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan layanan khusus
kepada Konsumen dengan kebutuhan khusus.
Pasal 25...
- 10 -
Pasal 25
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menjaga keamanan simpanan,
dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 26
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan tanda bukti
kepemilikan produk dan/atau pemanfaatan layanan kepada
Konsumen tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian dengan
Konsumen.
Pasal 27
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan laporan kepada
Konsumen tentang posisi saldo dan mutasi simpanan, dana, aset,
atau kewajiban Konsumen secara akurat, tepat waktu, dan dengan
cara atau sarana sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen.
Pasal 28
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaksanakan instruksi
Konsumen sesuai dengan perjanjian dengan Konsumen dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian
Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak
ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 30
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib mencegah pengurus,
pengawas, dan pegawainya dari perilaku:
a. memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain,
b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya,
yang dapat merugikan Konsumen.
(2) Pengurus...
- 11 -
(2) Pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
mentaati kode etik dalam melayani Konsumen, yang telah
ditetapkan oleh masing-masing Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab kepada
Konsumen atas tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
bertindak untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 31
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dengan cara apapun,
memberikan data dan/atau informasi mengenai Konsumennya
kepada pihak ketiga.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
dalam hal:
a. Konsumen memberikan persetujuan tertulis; dan/atau
b. diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan memperoleh data
dan/atau informasi pribadi seseorang dan/atau sekelompok
orang dari pihak lain dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan akan
menggunakan data dan/atau informasi tersebut untuk
melaksanakan kegiatannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib
memiliki pernyataan tertulis bahwa pihak lain dimaksud telah
memperoleh persetujuan tertulis dari seseorang dan/atau
sekelompok orang tersebut untuk memberikan data dan/atau
informasi pribadi dimaksud kepada pihak manapun, termasuk
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(4) Pembatalan atau perubahan sebagian persetujuan atas
pengungkapan data dan atau informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dilakukan secara tertulis oleh Konsumen
dalam bentuk surat pernyataan.
Pasal 32
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan melaksanakan
mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi
Konsumen.
(2) Mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada Konsumen.
Pasal 33
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengenakan biaya apapun
kepada Konsumen atas pengajuan pengaduan.
Pasal 34...
- 12 -
Pasal 34
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melaporkan secara berkala
adanya pengaduan Konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan
penyelesaian pengaduan Konsumen dimaksud kepada Otoritas
Jasa Keuangan, dalam hal ini Kepala Eksekutif yang melakukan
pengawasan atas kegiatan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap 3 (tiga) bulan. Apabila
tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka penyampaian
laporan dimaksud dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari
libur dimaksud.
Pasal 35
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib segera menindaklanjuti dan
menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 hari kerja setelah
tanggal penerimaan pengaduan.
(2) Dalam hal terdapat kondisi tertentu, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dapat memperpanjang jangka waktu sampai dengan
paling lama 20 hari kerja berikutnya.
(3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang menerima
pengaduan tidak sama dengan kantor Pelaku Usaha Jasa
Keuangan tempat terjadinya permasalahan yang diadukan
dan terdapat kendala komunikasi di antara kedua kantor
Pelaku Usaha Jasa Keuangan tersebut;
b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-dokumen
Pelaku Usaha Jasa Keuangan; dan/atau
c. terdapat hal-hal lain di luar kendali Pelaku Usaha Jasa
Keuangan seperti adanya keterlibatan pihak ketiga di luar
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam transaksi keuangan yang
dilakukan oleh Konsumen.
(4) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan secara
tertulis kepada Konsumen yang mengajukan pengaduan sebelum
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir.
Pasal 36
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki unit kerja dan/atau
fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang
diajukan Konsumen.
(2) Kewenangan...
- 13 -
(2) Kewenangan unit kerja dan/atau fungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib diatur dalam mekanisme pelayanan dan
penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(3) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menunjuk 1 (satu) orang
pegawai di setiap kantor Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
menangani penyelesaian pengaduan Konsumen.
Pasal 37
Dalam hal pengaduan Konsumen terkait transaksi atau kegiatan
melibatkan pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan yang memiliki
kewenangan untuk menangani pengaduan atau pegawai Pelaku
Usaha Jasa Keuangan yang menyelesaikan pengaduan tersebut,
maka penanganan dan penyelesaian pengaduan wajib dilakukan oleh
pegawai lain.
Pasal 38
Setelah menerima pengaduan Konsumen, Pelaku Usaha Jasa
Keuangan wajib melakukan:
a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar,
dan obyektif;
b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;
dan
c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi
(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika
pengaduan Konsumen benar.
Pasal 39
(1) Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian pengaduan,
Konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau melalui pengadilan.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa.
(3) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak dilakukan melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Konsumen dapat menyampaikan permohonan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesaian
pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku di Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
BAB III...
- 14 -
BAB III
PENGADUAN KONSUMEN DAN PEMBERIAN FASILITAS
PENYELESAIAN PENGADUAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 40
(1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi
sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan
Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan
pengaduan yang berindikasi pelanggaran atas ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini
Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan
perlindungan Konsumen.
Pasal 41
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas
Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi
sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:
1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar
Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan,
Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum
paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah);
b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai
dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;
c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya
penyelesaian pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima
penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini;
d. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang
dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau
peradilan, atau lembaga mediasi lainnya;
e. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;
f. pengaduan...
- 15 -
f. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas
Jasa Keuangan; dan
g. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian
Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
kepada Konsumen.
Pasal 42
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
merupakan upaya mempertemukan Konsumen dan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara
mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.
Pasal 43
Otoritas Jasa Keuangan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan
fungsi penyelesaian pengaduan.
Pasal 44
Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen
dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh
Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi
yang memuat:
a. kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang
difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
(1) Pelaksanaan proses fasilitasi sampai dengan ditandatanganinya
Akta Kesepakatan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan menandatangani perjanjian fasilitasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Jangka waktu proses fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja
berikutnya berdasarkan Akta Kesepakatan Konsumen dan Pelaku
Usaha Jasa Keuangan.
Pasal 46...
- 16 -
Pasal 46
(1) Kesepakatan antara Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
yang dihasilkan dari proses fasilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan antara Konsumen dengan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan, maka ketidaksepakatan tersebut
dituangkan dalam berita acara hasil fasilitasi Otoritas Jasa
Keuangan yang ditandatangani oleh Konsumen dan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan.
BAB IV
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 47
(1) Direksi atau pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan bertanggung
jawab atas ketaatan pelaksanaan ketentuan Peraturan ini.
(2) Dewan Komisaris atau pengawas Pelaku Usaha Jasa Keuangan
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi
atau pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan
Peraturan ini.
Pasal 48
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengawasan
bagi Direksi atau pengurus dalam rangka perlindungan
Konsumen.
(2) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib membentuk sistem
pelaporan untuk menjamin optimalisasi pengawasan Direksi atau
pengurus terhadap ketaatan pelaksanaan Peraturan ini.
Pasal 49
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki dan menerapkan
kebijakan dan prosedur tertulis perlindungan Konsumen.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan
dalam standar prosedur operasional yang kemudian dijadikan
panduan dalam seluruh kegiatan operasional Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
(3) Kebijakan...
- 17 -
(3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib ditaati oleh pengurus dan pegawai Pelaku Usaha Jasa
Keuangan.
Pasal 50
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki sistem pengendalian
internal terkait dengan perlindungan Konsumen.
(2) Sistem pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya mencakup:
a. kepatuhan Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip perlindungan Konsumen; dan
b. sistem pelaporan dan monitoring terhadap tindak lanjut
pengaduan Konsumen.
BAB V
PENGAWASAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 51
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan kepatuhan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan
perlindungan Konsumen.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengawasan secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 52
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha
Jasa Keuangan terhadap penerapan ketentuan perlindungan
Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang meminta data dan informasi dari Pelaku
Usaha Jasa Keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan
perlindungan Konsumen.
(2) Permintaan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
diperlukan.
BAB VI...
- 18 -
BAB VI
SANKSI
Pasal 53
(1) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha; dan
e. Pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, atau huruf e dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat
dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, atau huruf e.
(4) Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan
tentang sanksi administratif berupa denda yang berlaku untuk
setiap sektor jasa keuangan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
Perjanjian baku yang telah dibuat oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 paling lambat pada saat berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VIII...
- 19 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang mengatur perlindungan
Konsumen di sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 56
Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memiliki kelengkapan internal
untuk melaksanakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan.
Pasal 57
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 2013
KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 118
Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA DIVISI BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
-1-
Yth.
Direksi/Pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan,
di Tempat.
SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13/SEOJK.07/2014
TENTANG
PERJANJIAN BAKU
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431), maka perlu diatur ketentuan
mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam Perjanjian
Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut:
I. KETENTUAN UMUM
Dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara
sepihak oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk,
maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk
dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.
2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat PUJK, adalah
Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat
Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan
Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya
secara konvensional maupun secara syariah.
3. Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau
memanfaatkan pelayanan yang tersedia di PUJK antara lain nasabah
pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
Perasuransian ...
-2-
Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
II. KLAUSULA DALAM PERJANJIAN BAKU
1. PUJK wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam
pembuatan perjanjian dengan Konsumen.
2. Dalam hal PUJK merancang, merumuskan, menetapkan, dan
menawarkan Perjanjian Baku, PUJK wajib mendasarkan pada ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada angka 1.
3. Klausula dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat:
a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak
dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak
dan/atau menambah kewajiban Konsumen.
b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku
yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap
kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang
mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan
secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat,
biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan.
4. Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK
kepada Konsumen;
b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang
telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang
dibeli;
c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik
secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala
tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen,
kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang
menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan
yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK;
e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk
dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang
menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak
oleh ...
-3-
oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau
layanan yang dibelinya; dan/atau
g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas
produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara
angsuran.
III. FORMAT PERJANJIAN BAKU
1. Perjanjian Baku yang memuat hak dan kewajiban Konsumen dan
persyaratan yang mengikat Konsumen secara hukum, wajib
menggunakan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang
dapat dibaca, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia
yang mudah dimengerti oleh Konsumen.
2. Apabila Konsumen menemukan ketidakjelasan, PUJK wajib memberikan
penjelasan atas istilah, frasa, kalimat dan/atau simbol, diagram dan
tanda yang belum dipahami oleh Konsumen, baik secara tertulis di
dalam Perjanjian Baku, maupun secara lisan sebelum Perjanjian Baku
ditandatangani.
3. Dalam hal Perjanjian Baku menggunakan istilah, frasa, dan/atau
kalimat dari bahasa lain selain Bahasa Indonesia, maka istilah, frasa,
dan/atau kalimat dari bahasa lain tersebut harus disandingkan dengan
istilah, frasa, dan/atau kalimat dalam Bahasa Indonesia.
4. Dalam Perjanjian Baku wajib memuat pernyataan sebagai berikut:
“PERJANJIAN INI TELAH DISESUAIKAN DENGAN KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERMASUK KETENTUAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN”.
5. Selain berbentuk cetak, Perjanjian Baku dapat berbentuk digital atau
elektronik atau disebut e-contract untuk ditawarkan oleh PUJK melalui
media elektronik.
6. Dalam hal Perjanjian Baku berbentuk cetak, maka berlaku hal-hal
sebagai berikut:
a. PUJK wajib memastikan terdapat persetujuan tertulis Konsumen
dengan cara antara lain membubuhkan tanda tangan dalam
Perjanjian Baku atau dokumen lain yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Perjanjian Baku yang menyatakan persetujuan
Konsumen.
b. PUJK dapat menggandakannya sehingga transaksi dapat memenuhi
tujuan, yaitu cepat, efektif, efisien, berulang, dan memberikan
kepastian hukum.
c. PUJK ...
-4-
c. PUJK memberikan waktu yang cukup bagi Konsumen untuk
membaca dan memahami Perjanjian Baku sebelum
menandatanganinya atau sebelum efektif berlakunya Perjanjian
Baku.
d. PUJK wajib mematuhi ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain undang-undang yang mengatur
mengenai informasi dan transaksi elektronik.
IV. KETENTUAN LAIN – LAIN
1. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini, PUJK melakukan penyesuaian terhadap klausula dalam Perjanjian
Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan, maka PUJK harus memberitahukan kepada
Konsumen.
2. Dalam hal pada saat berlakunya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
ini, PUJK belum selesai melaksanakan pemenuhan penyesuaian
ketentuan dalam Pasal 54 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, maka PUJK membuat action plan yang disetujui oleh Bidang
Pengawasan masing-masing PUJK terkait.
V. KETENTUAN PENUTUP
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 20 Agustus 2014
ANGGOTA DEWAN KOMISIONER BIDANG
EDUKASI DAN PERLINDUNGAN
KONSUMEN,
Ttd.
KUSUMANINGTUTI S. SOETIONO
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANGPERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945;
b. bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;
e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai
Halaman 1
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundangundangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g. bahwa untuk itu perlu dibentuk undangundang tentang perlindungan konsumen.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945
Dengan persetujuanDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANGUNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam undangundang ini yang dimaksud dengan : 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Halaman 2
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia. 9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non
pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Halaman 3
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hakhaknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian PertamaHak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Halaman 4
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Pasal 5Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian KeduaHak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
Halaman 5
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Pasal 7Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANGBAGI PELAKU USAHA
Pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
Halaman 6
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Halaman 7
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 9 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah: a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j. menggunakan katakata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Halaman 8
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan; a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu
tertentu;b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah tidak mengandung cacat
tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
Halaman 9
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Halaman 10
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17 (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa; d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan; f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai
periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB VKETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
Halaman 11
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undangundang ini.
Halaman 12
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VITANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
Halaman 13
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Halaman 14
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut: a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila: a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
Halaman 15
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.
BAB VIIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29 (1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
Halaman 16
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian KeduaPengawasan
Pasal 30
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(3) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(4) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(5) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(6) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(7) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Halaman 17
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32 Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34 (1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas: a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat; e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
Halaman 18
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35 (1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36 Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur: a. pemerintah;
Halaman 19
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. pelaku usaha; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; d. akademis; dan e. tenaga ahli.
Pasal 37 Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat;c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38 Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena: a. meninggaldunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia; d. sakit secara terus menerus; e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau f. diberhentikan.
Pasal 39 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu
oleh sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. (3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Halaman 20
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 40
(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk
perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42 Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IXLEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44 (1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat.
Halaman 21
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian PertamaUmum
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Halaman 22
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KeduaPenyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Halaman 23
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian KetigaPenyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XIBADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. berusia sekurangkurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Halaman 24
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50 Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas: a. ketua merangkap anggota; b. wakil ketua merangkap anggota; c. anggota.
Pasal 51 (1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat. (2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat. (3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi: a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
Halaman 25
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undangundang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undangundang ini. Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54 (1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian
sengketa konsumen membentuk majelis.
Halaman 26
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikitsedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan majelis final dan mengikat. (4) Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
Pasal 55 Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56 (1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Halaman 27
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58 (1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59 (1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
Halaman 28
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
S A N K S I
Bagian PertamaSanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Halaman 29
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sanksi Pidana
Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha.
Halaman 30
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB XIVKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undangundang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini.
BAB XVKETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undangundang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di JakartaPada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di JakartaPada tanggal 20 April 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA
Halaman 31
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
ttd.
AKBAR TANDJUNGLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999
NOMOR 42
PENJELASANATAS
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANGPERLINDUNGAN KONSUMEN
I. UMUM Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batasbatas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Halaman 32
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undangundang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undangundang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Disamping itu, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UndangUndang Dasar 1945.
Disamping itu, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen,
Halaman 33
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
sebab sampai pada terbentuknya Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undangundang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti: a. Undangundang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undangundang;
b. Undangundang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; c. Undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah; d. Undangundang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;e. Undangundang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; f. Undangundang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; g. Undangundang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; h. Undangundang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; i. Undangundang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; j. Undangundang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); k. Undangundang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; l. Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m. Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; n. Undangundang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undangundang Hak
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 7 Tahun 1987; o. Undangundang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten; p. Undangundang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor
19 Tahun 1989 tentang Merek; q. Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; r. Undangundang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; s. Undangundang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; t. Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAK) tidak diatur dalam Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
Halaman 34
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
diatur dalam Undangundang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undangundang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undangundang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undangundang baru yang pada dasarnya memuat ketentuanketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1
Cukup jelas Angka 2
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undangundang ini adalah konsumen akhir.
Angka 3 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lainlain.
Angka 4 Cukup jelas
Angka 5
Halaman 35
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelasAngka 6
Cukup jelasAngka 7
Cukup jelas Angka 8
Cukup jelas Angka 9
Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Angka 10 Cukup jelas
Angka 11 Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.
Angka 12 Cukup jelas
Angka 13 Cukup jelas
Pasal 2
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Halaman 36
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Cukup jelas Huruf e
Cukup jelas Huruf f
Cukup jelas Huruf g
Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.
Halaman 37
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf h Cukup jelas
Huruf i Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Pelaku usaha dilarang membedabedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membedabedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Huruf f
Cukup jelas Huruf g
Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1)
Halaman 38
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas
Huruf f Cukup jelas
Huruf g Jangka waktu penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
Huruf h Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas Huruf j
Cukup jelas Ayat (2)
Barangbarang yang dimaksud adalah barangbarang yang tidak membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (3)
Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Halaman 39
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (4) Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas Pasal 11 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
Huruf e Cukup jelas
Huruf f Cukup jelas
Pasal 14
Halaman 40
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas
Huruf f Cukup jelas
Huruf g Cukup jelas
Huruf h
Halaman 41
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 19 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 20 Cukup jelas
Pasal 21 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Halaman 42
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 22 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 23
Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf cYang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Halaman 43
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf dCukup jelas
Huruf eJangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi
Pasal 28Cukup jelas
Pasal 29 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 30 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Yang bertanggung jawab dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
Halaman 44
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (3) Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lainlain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas Pasal 31
Cukup jelas Pasal 32
Cukup jelas Pasal 33
Cukup jelas Pasal 34 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas
Halaman 45
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).
Huruf f Cukup jelas
Huruf g Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama.Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 36 Huruf a
Cukup jelas
Halaman 46
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Akademis adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.
Huruf e Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 37
Cukup jelas Pasal 38 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Cukup jelas Huruf d
Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.Huruf e
Cukup jelas Huruf f
Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Halaman 47
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalahkeputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 42
Cukup jelas Pasal 43
Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas
Halaman 48
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undangundang ini.
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 46 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Undangundang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Halaman 49
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Huruf c Cukup jelas
Huruf d Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 47 Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Pasal 48
Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen.
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Halaman 50
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 50 Cukup jelas
Pasal 51 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53 Cukup jelas
Pasal 54 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 55 Cukup jelas
Halaman 51
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 56 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 59 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Halaman 52
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas
Pasal 60 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 61Cukup jelas
Pasal 62 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas Pasal 63
Cukup jelas Pasal 64
Cukup jelas
Halaman 53
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 65
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANOMOR 3821
Halaman 54
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana, serta mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang ...
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
Pasal I ...
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
a. Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568);
b. Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986),
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
3. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa ...
- 4 -
6. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha ...
- 5 -
15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli ...
- 6 -
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor ...
- 7 -
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
2. Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1A
(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan ...
- 8 -
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
3. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
(1a) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Orang ...
- 9 -
(3) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A ...
- 10 -
Pasal 4A
(1) Dihapus.
(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.
(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa ...
- 11 -
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.
6. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
(2) Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
7. Ketentuan Pasal 5A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
(3) Ketentuan ...
- 12 -
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
8. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. ekspor Jasa Kena Pajak.
(3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
(2) Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
(3) Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Ketentuan ...
- 13 -
(4) Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
10. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang
meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain.
(2) Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
11. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) dihapus, ayat (2), ayat (2a), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (13) dan
ayat (14) diubah, di antara ayat (2a) dan ayat (3) disisipkan
1 (satu) ayat, yakni ayat (2b), di antara ayat (4) dan ayat (5)
disisipkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (4a) sampai dengan ayat
(4f), di antara ayat (6) dan ayat (7) disisipkan 2 (dua) ayat,
yakni ayat (6a) dan ayat (6b), dan di antara ayat (7) dan ayat
(8) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (7a) dan ayat (7b)
sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Dihapus.
(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan
dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi
sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang
pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan.
(2b) Pajak ...
- 14 -
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan
Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak
Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian
pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak
Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum
berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian ...
- 15 -
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang
mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat
ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena
Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang
pajak dapat diketahui dengan pasti dari
pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan
dengan penyerahan yang terutang pajak.
(6) Apabila ...
- 16 -
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan ...
- 17 -
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak;
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (6);
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan; dan
j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal
atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2a).
(9) Pajak ...
- 18 -
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Dihapus.
(13) Ketentuan mengenai penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
12. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan ayat (2) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor ...
- 19 -
h. ekspor Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran.
(3) Dihapus.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain
sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat
terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi
perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan
ketidakadilan.
(5) Dihapus.
13. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang
pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan
dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau
tempat lain selain tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan
yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha
Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan
1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak
terutang.
(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat
Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Orang ...
- 20 -
(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
14. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau
huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g; dan/atau
d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal
penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum
penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal
penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Dikecualikan ...
- 21 -
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
15. Di antara ...
- 22 -
15. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
(1) Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
16. Ketentuan Pasal 16B ayat (1) diubah sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16B
(1) Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
(3) Pajak ...
- 23 -
(3) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
17. Ketentuan Pasal 16D diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
18. Di antara Pasal 16D dan Pasal 17 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 16E dan Pasal 16F sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16E
(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur ...
- 24 -
c. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
a. paspor;
b. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
c. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 16F
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
PASAL II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Agar ...
- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 150
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983
TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
I. U M U M
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Perubahan ...
- 2 -
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan
mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi biaya kepatuhan. Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula
dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
4. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
5. Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan
negara tetap menjadi pertimbangan.
6. Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2 ...
- 3 -
Angka 2
Pasal 1A
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Huruf d ...
- 4 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.
Huruf f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
Huruf g ...
- 5 -
Huruf g
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak, pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A Undang-Undang ini.
Huruf h
Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf b ...
- 6 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 3 ...
- 7 -
Angka 3
Pasal 3A
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
a. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. memungut pajak yang terutang;
c. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
d. melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut.
Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Angka 4 ...
- 8 -
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Huruf b
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak.
Huruf c ...
- 9 -
Huruf c
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.
Huruf d
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf e
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Misalnya ...
- 10 -
Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf f
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Huruf g
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a) penerimaan...
- 11 -
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf h
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 4A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) ...
...
- 12 -
Ayat (2)
Huruf a
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
a. minyak mentah (crude oil);
b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c. panas bumi;
d. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e. batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
Huruf b
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. beras;
b. gabah;
c. jagung;
d. sagu;
e. kedelai;
f. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. telur ...
...
- 13 -
h. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
i. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
1. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
2. jasa dokter hewan;
3. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
4. jasa kebidanan dan dukun bayi;
5. jasa paramedis dan perawat;
6. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
7. jasa ...
...
- 14 -
7. jasa psikolog dan psikiater; dan
8. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
Huruf b
Jasa pelayanan sosial meliputi:
1. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
2. jasa pemadam kebakaran;
3. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
4. jasa lembaga rehabilitasi;
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
6. jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
Huruf c
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
Huruf d
Jasa keuangan meliputi:
1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) anjak piutang;
c) usaha kartu kredit; dan/atau
d) pembiayaan konsumen;
4. jasa ...
- 15 -
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
5. jasa penjaminan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi.
Huruf f
Jasa keagamaan meliputi:
1. jasa pelayanan rumah ibadah;
2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
4. jasa lainnya di bidang keagamaan.
Huruf g
Jasa pendidikan meliputi:
1. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
2. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Huruf h
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan.
Huruf i ...
- 16 -
Huruf i
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Jasa tenaga kerja meliputi:
1. jasa tenaga kerja;
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
3. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Huruf l
Jasa perhotelan meliputi:
1. jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
2. jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
Huruf m
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
Huruf n ...
- 17 -
Huruf n
Yang dimaksud dengan “jasa penyediaan tempat parkir” adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut bayaran.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam” adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 5
Ayat (1)
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Yang ...
- 18 -
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” adalah:
1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat ini adalah kegiatan:
a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
e. membotolkan ...
- 19 -
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Angka 7
Pasal 5A
Ayat (1)
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya ...
- 20 -
c. biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Jasa Kena Pajak yang dibatalkan” adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8 ...
- 21 -
Angka 8
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,
a. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
b. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
c. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Angka 9 ...
- 22 -
Angka 9
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Ayat (2)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Ayat (3)
Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan.
Ayat (4) ...
- 23 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 8A
Ayat (1)
Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
b. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
c. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
d. Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
Ayat (2) ...
- 24 -
Ayat (2)
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal:
a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
b. penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
Angka 11
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a) ...
- 25 -
Ayat (2a)
Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Contoh:
Masa Pajak Mei 2010
Pajak Keluaran = Rp2.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
= Rp4.500.000,00
--------------------(-)
Pajak yang lebih dibayar = Rp2.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
Masa Pajak ...
- 26 -
Masa Pajak Juni 2010
Pajak Keluaran = Rp3.000.000,00
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
=
Rp2.000.000,00
------------------- (-)
Pajak yang kurang dibayar = Rp1.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak
Mei 2010 yang dikompensasikan ke
Masa Pajak Juni 2010 = Rp2.500.000,00
------------------- (-)
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak
Juni 2010 = Rp1.500.000,00
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (4c)
Cukup jelas.
Ayat (4d)
Cukup jelas.
Ayat (4e) ...
- 27 -
Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Apabila dalam pemeriksaan dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan ini tidak berlaku.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B.
Pengusaha ...
- 28 -
Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
c. penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
a. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
b. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
c. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00.
Ayat (6) ...
- 29 -
Ayat (6)
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu:
a. penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
b. penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan sebesar Rp2.500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (6a)
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal yang telah dikembalikan harus dibayar kembali.
Ayat (6b) ...
- 30 -
Ayat (6b)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam rangka menyederhanakan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (7a)
Dalam rangka memberikan kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
Ayat (7b)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf b ...
- 31 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha A melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
Huruf e ...
- 32 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal tertentu dapat terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Huruf i
Sesuai dengan sistem self assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dilaporkan:
Pajak Keluaran = Rp10.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
Dari hasil pemeriksaan diketahui:
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp11.000.000,00
Dalam ...
- 33 -
Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00
Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00
----------------------(-)
Kurang Bayar menurut
hasil pemeriksaan = Rp 7.000.000,00
Kurang Bayar menurut
Surat Pemberitahuan = Rp 2.000.000,00
----------------------(-)
Masih kurang dibayar = Rp 5.000.000,00
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (9)
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh: ...
- 34 -
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d ...
- 35 -
Huruf d
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Ayat (3) ...
- 36 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 12
Ayat (1)
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh 1:
- 37 -
Contoh 1: Orang pribadi A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya, apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Contoh 2: PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.
Dalam ...
- 38 -
Dalam hal PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
Ayat (2)
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
Angka 14
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ...
- 39 -
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.
Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.
Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2010.
Contoh 2: ...
- 40 -
Contoh 2:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September.
Contoh 3:
Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.
Ayat (6) ...
- 41 -
Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
a. faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
b. untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
c. terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.
Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur ...
- 42 -
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
Angka 15
Pasal 15A
Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Dalam ...
- 43 -
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Angka 16
Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas untuk:
a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
c. mendorong ...
- 44 -
c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
g. mendorong pembangunan tempat ibadah;
h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
m. membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
o. menjamin ...
- 45 -
o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3) ...
- 46 -
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
Angka 17
Pasal 16 D
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.
Namun ...
- 47 -
Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.
Angka 18
Pasal 16E
Ayat (1)
Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
Ayat (2)
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) ...
- 48 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16F
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
PASAL II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5069