Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah
-
Upload
universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta -
Category
Law
-
view
698 -
download
3
Transcript of Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan syariah
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad
Murabahah pada Perbankan Syariah
Abstraksi
Dewasa ini, perkembangan keuangan atau perekonomian syariah sedang dalam iklim positif di bumi pertiwi. Secara fisik produk-produk keuangan syariah seperti bank-bank Islam semakin banyak bermunculan. Hal ini dapat kita lihat pada regulasi-regulasi yang mengatur ekonomi syariah yang banyak dibentuk baik oleh Dewan Syariah Nasional, Otoritas Jasa Keuangan maupun lembaga-lembaga terkait. Bahkan Undang-undang yang mengatur ekonomi syariah ini telah dibuat dalam peraturan perundang-udangan.
Kita kerucutkan tulisan ini kepada perbankan. Salah satu produk Perbankan Syariah yang banyak diminati masyarakat ialah akad atau kontrak murabahah yang notabenenya merupakan akad jual-beli. Dalam perspektif bisnis, termasuk bisnis syariah sebagaimana murabahah pasti menggunakan konsep profit oriented, tentu dengan berbagai perbedaan mendasar antara syariah dengan konvensional. Oleh karena perbankan menganut asas profit oriented dan asas prudential maka akad atau kontrak bisnis pada perbankan ini perlu menggunakan “Jaminan”.
Murabahah menggunakan konsep jaminan syariah dalam transaksinya. Namun, hukum yang mengatur mengenai jaminan syariah ini belum ada dalam peraturan perundang-undangan. Padahal, jaminan menjadi hal yang penting bagi bank, sebab jaminan merupakan alat yang dijadikan sebagai kepercayaan bank terhadap debiturnya dan alat berjaga-jaga jika debiturnya wanprestasi. Oleh karenanya, tidak adanya hukum yang mengatur mengenai jaminan syariah, maka akan berimplikasi pada kepercayaan masyarakat sebagai debitur dan proses penyelesaian sengketanya di Peradilan Agama.
Payung hukum jaminan syariah menjadi penting untuk dibentuk. Sebab tanpa payung hukum yang jelas yang mengatur mengenai jaminan syariah ini, akan rancu bagi Peradilan Agama tatkala menyelesaikan sengketa murabahah serta akan semakin banyak masyarakat yang meragukan keabsahan kontrak jaminan syariah sebagai kontrak yang menganut prinsip syariah.
Kata kunci: akad murabahah, akad jaminan syariah, hukum jaminan syariah.
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan Nasional
bertujuan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasar Pancasila dan Undang-Undang 1945. Dalam rangka pembangunan
ekonomi Nasional, bidang hukum membutuhkan perhatian yang serius dalam
pembinaan hukumnya di antaranya ialah hukum jaminan. Pembinaan hukum
dalam bidang Hukum Jaminan adalah sebagai konsekuensi logis dan merupakan
perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum guna mengimbangi lajunya
kegiatan-kegiatan ekonomi. Kegiatan tersebut yang pada akhirnya memerlukan
adanya fasilitas kredit dalam usahanya dan di pihak lain pemberi modal
mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit demi keamanan modal dan
kepastian hukumnya.1
Bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga keuangan pada
umumnya berupa jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, dan penyertaan modal atau
kemitraan. Bank sebagai kreditur biasanya akan mempertimbangkan kemampuan
nasabah dalam pengembalian pembiayaan tersebut dikarenakan pembiayaan yang
dilakukan oleh bank ini mengandung resiko kredit macet, moral hazard, dan lain
sebagainya. Secara umum, bank akan menyetujui untuk melakukan pembiayaan
jika nasabah memberikan jaminan yang layak. Jaminan tersebut akan menjadi
indikator penentuan yang digunakan oleh bank untuk menilai kelayakan nasabah
debitur dalam memperoleh jumlah pembiayaan dari bank dan jangka waktunya.
Kreditur memerlukan adanya perlindungan hukum untuk melindungi
piutangnya terhadap debitur. Perlindungan tersebut meliputi adanya jaminan
kepastian hukum akan hak-haknya, dan adanya sarana yang mudah dan cepat
untuk melakukan eksekusi atas kekayaan debitur.2 Hal-hal inilah yang menjadi
obyek pengaturan Hukum Jaminan. Munir Fuady menyebutkan bahwa pada
prinsipnya campur tangan sektor yuridis untuk mengatur masalah perkreditan
adalah untuk memenuhi unsur safety, soundness, dan with-out substantial risk;
1 Purwahid Patrik, Kashadi, 1998, Hukum Jaminan, Edisi Revisi Dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 2-3. Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 222 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 23
perlindungan yang seimbang antara nasabah dan bank, dan menjamin berjalannya
kompetisi dan efisiensi.3 Soedewi menyebutkan bahwa adanya jaminan mampu
menunjang perkembangan kegiatan ekonomi dan pengkreditan serta memudahkan
masyarakat dalam memperoleh modal.
Dewasa ini, banyak bermunculan Bank Syariah di Indonesia sebagai
alternatif pembiayaan dan/atau permodalan, khususnya bagi masyarakat muslim
dan bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya. Lembaga keuangan syariah ini
dilengkapi pula dengan Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) sebagai tempat
penyelesaian sengketa yang terjadi di lembaga keuangan syariah, khususnya bank
syariah. Berdasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006, secara implisit ditegaskan
bahwa sengketa muamalah yang terjadi di perbankan syariah menjadi kompetensi
absolut Peradilan Agama.4
Prinsip Hukum Jaminan dalam hukum positif Indonesia tidak bisa begitu
saja diterapkan pada perbankan syariah. Karena prinsip jaminan di perbankan
syariah mesti memerhatikan nilai-nilai syariah dalam sistem dan operasionalnya.
Produk pembiayaan syariah hampir seluruhnya menerapkan jaminan. Sebab,
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jaminan dalam produk pembiayaan
syariah pun sangat diperlukan sebagai pemenuhan prinsip perbankan syariah pada
pasal 2 UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah5 sekaligus sebagai
bentuk penjagaan jika debitur tidak mampu membayar utang.
Salah satu skim fiqh yang paling populer digunakan oleh perbankan
syariah adalah murabahah. Berdasarkan data dari Bank Indonesia6, komposisi
transaksi pembiayaan yang diberikan melalui BUS dan UUS melalui akad
murabahah menjadi top funding selama tiga tahun terakhir yakni sebesar
Rp.110.565 Miliar pada tahun 2013 dan bergerak secara signifikan menjadi
3 Munir Fuady, 2002, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, hlm. 2. Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 23.4 5 Pasal 2 UU No. 21 tahun 2008 berbunyi : “Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian”.6 http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS (Diakses pada tanggal. 14 April 2014)
Rp.117.210 Miliar pada bulan Juni 2015. Sedangkan pembiayaan melalui akad
lain tidak mampu menyaingi jumlah transaksi pembiayaan murabahah.
Tabel 1.1 Komposisi Pembiayaan Yang Diberikan Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah (Miliyar Rupiah)
Transaksi Pembiayaan 2013 2014 Juni 2015
Mudharabah 13,625 14,354 14,906
Murabahah 110,565 117,371 177,777
Salam 0 0 0
Istishna 582 633 678
Ijarah 10,481 11,620 11,561
Qardh 8,995 5,965 4,938
Selama lebih dari 30 tahun perkembangannya, perbankan Syariah lebih
banyak menggunakan akad jual beli murabahah dalam memperoleh keuntungan.
Secara nasional, perbankan syariah di Indonesia saat ini menggunakan akad
murabahah sebagai salah satu produk utama pembiayaannya. Hal ini dikarenakan
sistem dan teknik perhitungannya lebih mudah dilakukan dan dipahami baik oleh
nasabah maupun oleh pihak bank, sehingga aspek kejelasannya lebih terlihat.
Perbankan syariah menggunakan akad murabahah sebagai bentuk pembiayaan
atas pembelian barang oleh bank kepada pihak ketiga yang kemudian dijual
kepada nasabah baik secara angsuran (bitsaman ajil) atau tunai (naqdan)7.
Namun, permasalahannya ialah hukum jaminan yang diterapkan dalam
produk murabahah ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Oleh karenanya,
adanya kekosongan hukum (legal issue) tersebut menjadi persoalan yang menarik
untuk dibahas dalam artikel ini. Permasalahan yang akan dikaji dalam artikel ini
di antaranya ialah bagaimana hukum jaminan yang diterapkan dalam akad
murabahah pada perbankan syariah dan apa urgensinya peraturan (hukum) yang
mengatur jaminan dalam akad murabahah? 7 Dalam buku Adiwarman Karim “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Temporer”, menyatakan bahwa penerapan murabahah naqdan (tunai) tidak ada, yang ada hanyalah murabahah secara angsuran (bai’ bitsaman ajil)
LANDASAN TEORI
Murabahah
Tidak ada tinjauan khusus mengenai akad murabahah baik di dalam Al-
Qur’an maupun Hadits, akan tetapi eksistensi akad ini lazim dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya melalui transaksi jual-beli. Oleh karenanya,
murabahah ialah hasil implementasi dari perbuatan Rasulullah (fi’li) dan
dianggap sah oleh para ulama.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad murabahah adalah jual-beli barang
pada harga asal dengan tambahan yang disepakati.8 Sedangkan menurut Ibnu
Rusyd, murabahah memiliki karakteristik yang melekat yaitu penjual mesti
memberitahukan tentang harga barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambah pada biaya tersebut kepada pembeli.9
Dengan memerhatikan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para
ulama diatas, dapat dipahami bahwa murabahah adalah transaksi jual beli yang
menerapkan prinsip transparansi informasi oleh penjual atas penambahan harga
barang kepada pembeli yang akan diambil oleh penjual sebagai keuntungan atau
mark up. Dengan kata lain, penjualan barang kepada nasabah dilakukan atas dasar
cost plus profit.10
Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam pasal 20 ayat 6,
murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh
shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan
penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang
merupakan keuntungan atau laba bagi shahib almal dan pengembaliannya
dilakukan secara tunai atau angsur.
Sedangkan menurut Adiwarman Karim, Murabahah (al-ba’i bi tsaman
ajil) berasal dari kata ribhu (keuntungan) yang artinya adalah transaksi jual-beli
8 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2001), hlm. 1019 Adiwarman Karim, Bank Islam, hlm. 11310 Prof. Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syarih dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, hlm. 223
dimana pihak bank menyebutkan jumlah keuntungannya. Bank (shahibul mal)
bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual tersebut
adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).11 Sehingga
transaksi murabahah ini termasuk kedalam akad Natural Certainty Contracs
karena memberikan kepastian pembiayaan, baik dari segi jumlah (amount)
maupun waktu (timing)-nya dan memiliki cash flow yang dapat diprediksi dan
relative pasti.12
DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No. 4 Tahun 2000 mengenai ketentuan
murabahah bagi perbankan syariah, berikut Ketentuan Bagian Pertama:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri,
dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini
Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah
berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip, menjadi milik bank.
11 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 9812 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 51
Dalam aplikasinya, klien Bank Syariah membeli suatu barang menurut
rincian tertentu dan menghendaki agar Bank mengirimkannya kepada mereka
berdasarkan imbuhan harga tertentu menurut persetujuan awal kedua belah
pihak.13 Sehingga Bank Syariah selaku shahib mal membiayai barang dengan
spesifikasi yang ditentukan oleh nasabah dengan cara membeli kepada pihak
ketiga secara tunai, kemudian menjual barang tersebut dengan menyebutkan
transparansi keuntungan atau mark-up kepada nasabah secara cicilan oleh nasabah
sesuai kesepakatan awal kedua belah pihak.
Gambar 1.1 Ilustrasi Transaksi Akad Murabahah di Perbankan Syariah
2. Supplier menjual barang 4. Bank menjual barang + keuntungan
1. Akad
3. Bank membeli barang tunai 5. Nasabah membeli secara cicilan+margin
Peran bank selaku penjual dalam pembiayaan murabahah lebih tepat
digambarkan sebagai pembiaya dan bukan penjual barang, karena bank tidak
memegang barang, tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja bank hampir
semuanya hanya terkait penanganan dokumen-dokumen.14 Murabahah
dimasukkan kedalam kategori financing yang memiliki peran untuk memberikan
pembiayaan dari pihak shahibul mal kepada nasabah (mudharib). Sehingga
Murabahah mengalami perkembangan arti dalam konteks pengaplikasian pada
perbankan syariah.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu bentuk
akad pembiayaan Bank Syariah yang pendapatan keuntungannya mesti disebutkan
kepada nasabah dan pembayarannya dapat dilakukan baik secara tunai atau cicilan
(sesuai kesepakatan di awal akad).
Pengertian Jaminan13 Prof. M. Abdul Mannan, MA., Ph.D, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 16814 Bagya Agung Prabowo. Januari, 2009. Konsep Akad Murabahah pada Perbankan Syariah (Analisis Kritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia). Jurnal Hukum, Volume. 16 No. 1, hal. 111
Supplier NasabahBank Syariah
Jaminan yang berasal dari kata jamin yang berarti tanggung. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jaminan merupakan tanggungan atau
agunan atas pinjaman yang diterima. Tanggungan yang dimaksud diperjelas
dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari,
menjadi tanggunganuntuk segala perikatan.”
Singkatnya, jaminan merupakan sebuah tanggungan berupa kebendaan,
baik yang bergerak maupun tidak yang dibebankan kepada pihak debitur atas
pinjaman yang ia terima sebagai bentuk keseriusan kepada kreditur.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan
Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan
bank atas kesanggupam debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 yang dimaksud
dengan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.15
Bentuk-bentuk Jaminan
Jaminan dibagi menjadi dua macam bentuk, yakni jaminan yang timbul
dari undang-undang dan jaminan yang timbul dari perjanjian.
1. Jaminan umum (1131 KUH Perdata) yaitu, jaminan dari pihak debitur
yang terjadi atau timbul dari undang-undang. Perwujudan dari jaminan
umum berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata ini, menentukan
bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak, baik
yang ada ataupun yang akan ada menjadi jaminan untuk segala perikatan.
Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti kreditur telah
diberikan jaminan yang berupa harta benda milik debitur tanpa khusus
diperjanjikan terlebih dahulu. Namun, dengan jaminan semacam itu
15 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 73
kedudukan kreditur hanyalah sebagai kreditur konkuren saja terhadap
seluruh kekayaan debitur.
2. Jaminan khusus (1133 dan Ps. 1134 KUH Perdata) yaitu bahwa setiap
jaminan utang yang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian
tertentu, baik yang khusus terhadap benda-benda tertentu maupun orang
tertentu. Sehingga jaminan khusus dibagi menjadi dua sifat:
a. Jaminan yang bersifat kebendaan
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa
hak mutlak atas suatu benda dari debitur yang dapat dipertahankan
terhadap siapapun. Jaminan ini mempunyai ciri-ciri, yakni :
1) Mempunyai hubungan langsung atas bendanya;
2) Dapat dipertahankan kepada siapapun;
3) Selalu mengikuti bendanya (droit de surte);
4) Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi;
5) Dapat diperalihkan kepada orang lain.16
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka benda jaminan pada
jaminan kebendaan harus benda yang dapat dialihkan dan mempunyai
nilai jual (ekonomis).
Jaminan kebendaan meliputi benda bergerak, contohnya: gadai
dan fidusia. Dan jaminan kebendaan benda yang tidak bergerak,
dengan lembaga jaminannya adalah hipotik dan hak tanggungan.
Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan
debiturnya, tetapi juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak
ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari si
berutang. Pemberian jaminan kebendaan ini memisahkan dari bagian
kekayaan seseorang, apabila tidak adanya pemisahan atau
penyendirian oleh debitur, maka seluruh kekayaan debitur dijadikan
jaminan untuk pembayaran semua utang debitur.17
16 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti 2007), hlm.1317 Hermansyah, Hukum perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada MediaGrup, 2005), hlm. 75
b. Jaminan immaterial (perorangan) adalah
Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan
tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap
harta kekayaan debitur umumnya. Jaminan ini dapat diadakan bahkan
di luar (tanpa) pengetahaun si berhutang tersebut. Atau dapat juga
berarti pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikat diri untuk
memenuhi utang dari debitur, manakala debitur tidak memenuhi
janjinya.18
Akan tetapi orang lebih memilih Jaminan Khusus dalam kegiatannya, hal
ini dikarekanakan :
1. Eksekusi benda jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika debitur
melakukan wanprestasi;
2. Kreditur jaminan khusus didahulukan dibanding kereditur jaminan umum
dalam pemenuhan piutangnya;
3. Dalam bentuk jaminan kebendaan, memberikan kreditur suatu privilege
atau kedudukan istimewa terhadap kreditur lainnya.19
Perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
1. Perjanjian Pokok adalah Perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri
sendiri tanpa bergantung pada adanya perjanjian. Contoh: perjanjian kredit
bank
2. Perjanjian tambahan (assesoir) adalah Perjanjian antara debitur dan
kreditur yang diadakan sebagai perjanjian tambahan dari pada perjanjian
Pokok. Contoh: perjanjian pembenanan jaminan, seperti perjanjian gadai,
tanggungan, dan fidusia.
Jaminan dalam pembiayaan memliki dua fungsi: yaitu pertama, untuk
pembayaran utang seandainya terjadi wanprestasi dengan jalan menguangkan atau
menjual jaminan tersebut. Kedua, sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai
indikator penentuan jumlah pembiayaan yang akan diberikan kepada pihak 18 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty), hlm. 4719 Hermansyah, Hukum perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada MediaGrup), 2005, hal. 75
debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang
dijaminkan.
Menurut Prof. Soebekti, jaminan yang baik dapat dilihat dari :20
1. Dapat membantu memperoleh pembiayaan bagi pihak ketiga.
2. Tidak melemahkan potensi pihak ketiga untuk menerima pembiayaan
guna meneruskan usahanya.
3. Memberikan kepastian kepada bank untuk mengeluarkan pembiayaan
dan mudah diuangkan apabila terjadi wanprestasi.
Jaminan dalam Islam
Jaminan dalam hukum Islam dikenal dengan adh-Dhaman. Perkataan
dhaman berasal dari mashdar “dhimmu” yang berarti menghendaki untuk
ditanggung. Dhaman menurut pengertian etimologis ialah menjamin atau
menyanggupi apa yang ada dalam tanggungan orang lain. Kafalah memiliki
makna yang sama dengan dhamman. Kamus istilah fiqih menyebutkan bahwa
dhaman adalah jaminan utang atau dalam hal lain menghadirkan seseorang atau
barang ke tempat tertentu untuk diminta pertanggung-jawabannya atau sebagai
barang jaminan.21
Menurut Imam Mawardi, dhaman dalam pendata-gunaan harta benda,
tanggungan dalam masalah diyat (denda), jaminan terhadap kekayaan dan jiwa,
serta jaminan terhadap beberapa perserikatan ialah berlandaskan pada kebiasaan
masyarakat (urf).22
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwasannya jaminan dapat
berbentuk benda (Gadai atau rahn) dan jaminan yang ditanggung melalui pihak
lain (kafalah).
1. Rahn (Gadai)
20 Prof. Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni) hal. 2921 M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih¸(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 5922 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, hlm. 260
Kompilasi Hukum Eknoomi Islam meyebutkan bahwa Rahn/gadai
adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai
jaminan. Menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Fathul
Wahab mendefinisikan Rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta
benda sebagai kepercayaan dari suatu yang dapat dibayarkan dari harta
benda itu apabila utang tidak dibayar.23
Menurut hemat penulis, rahn adalah suatu yang memiliki bentuk
dan nilai yang dimiliki oleh debitur dan dapat menjadi sumber
kepercayaan untuk suatu perjanjian. Dalam konteks ini bila kita mengingat
bahwa bentuk rahn serupa dengan jaminan kebendaan dalam BW yakni
objek jaminannya berupa benda, baik benda bergerak maupun tidak
bergerak.
2. Kafalah
Dalam pengertian Bahasa kafalah berarti adh-dhammu
(menggambungkan). Menurut pengertian syara’, kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil (orang yang berkewajiban melakukan
makful bihi (yang ditanggung) menjadi tanggugnan ashil (orang yang
berhutang) dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang,
barang dan pekerjaan.24
Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Pasal 20 ayat 12 menyebutkan,
kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada
pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua/peminjam.
Lebih jelasnya, kafalah (guaranty) adalah jaminan, beban atau
tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewjiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful).
Atas jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang yang
dijamin.
23 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta, Ekonosia, 2004),hlm. 15624 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung, Al-Ma’arif, 1996), hlm. 157
Perbankan Syariah
Secara teknis yuridis, harus dibedakan antara istilah Perbankan Syariah
dengan Bank Syariah. Bank Syariah adalah bagian dari Perbankan Syariah selain
dari Unit Usaha Syariah (UUS), sedangkan Bank Syariah terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 7 mengenai
Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa bank syariah adalah Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya
terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Sedangkan pada ayat 1 Undang-undang tersebut, menjelaskan Perbankan Syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Jadi, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, dan Unit Usaha Syariah
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah sikap individu yang mengacu pada keyakinan
konsumen atas kualitas dan kehandalan jasa yang diterimamnya. Kepercayaan
dapat diukur berdasarkan komponen-komponen yang berikut ini25:
1. Memelihara titipan
2. Adanya transparansi.
3. Sistem yang bebas dari riba.
4. Menepati janji.
5. Menjaga rahasia.
6. Sumber daya insani yang berkualitas.
Citra Perbankan Syariah
25 Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3, hal. 174
Citra adalah cara seseorang atau masyarakat mempersepsikan atau memikirkan
perusahaan atau produknya. Berdasarkan uraian teori-teori pada tinjauan literatur
maka citra bank syariah adalah persepsi atau kesan yang diperoleh masyarakat
sebagai konsumen dari adanya pengalaman, perasaan, pola pengetahuannya
terhadap bank syariah.26 Hal ini dapat diukur dari aspek-aspek:
1. Kehalalan produk
2. Besaran bagi hasilnya
3. Kualitas perusahaan
4. Persepsi yang terbentuk pada bank syariah
METODE PENULISAN
Data dalam penelitian artikel ini diperoleh melalui penelusuran pustaka
(library research). Analisis data dilakukan secara kualitatif terhadap semua
sumber literatur, Dengan analisis data yang objektif dan reliabel diharapkan akan
diperoleh pembahasan akurat dan valid sebagai jawaban terhadap rumusan
masalah yang dalam penelitian ini.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Jaminan dalam Murabahah pada Perbankan Syariah
Pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah tentu haruslah
memenuhi unsur-unsur yang berada pada jalur koridor syariah. Agar penerapan
pembiayaan murabahah tersebut tidak terdapat unsur kecatatan yang berimplikasi
terhadap keabsahan akad oleh Bank Syariah. Sehingga, DSN-MUI mengeluarkan
Fatwa No. 4 Tahun 2000 mengenai ketentuan murabahah bagi perbankan syariah.
Pembiayaan murabahah yang diberikan oleh bank ini mengandung risiko,
maka dalam pelaksanaannya bank harus memerhatikan asas-asas pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang tertera dalam fatwa DSN-MUI. Untuk 26 Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3, hal. 175
mengurangi risiko, jaminan pada murabahah dalam arti keyakinan atau
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus
diperhatikan oleh bank.27
Oleh karenanya, perjanjian khusus dengan nasabah yang diadakan karena
terjadi penyalahgunaan atau kerusakan akad yang dimaksud poin ke-8 Fatwa
DSN-MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah tidak lain ialah perjanjian
jaminan. Murabahah merupakan akad atau kontrak pokok (prinsipil) yang bersifat
riil. Sebagai akad prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada
dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada akad murabahah. Pada
Bagian Ketiga Fatwa DSN-MUI tersebut pun disebutkan bahwa jaminan dalam
murabahah dibolehkan, serta bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
jaminan yang dapat dipegang.
KUH Perdata memuat ketentuan dasar bahwa suatu jaminan yang terbit
dari perjanjian tertentu disebut Jaminan Khusus yakni jaminan utang yang bersifat
kontraktual. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan
Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan
bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia di atas yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan
tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Bank Syariah di Indonesia pada umumnya dalam memberikan pembiayaan
murabahah, menetapkan syarat-syarat yang dibutuhkan dan prosedur yang harus
ditempuh oleh pembeli yang hampir sama dengan syarat dan prosedur kredit
sebagaimana lazimnya yang ditetapkan oleh bank konvensional. Syarat dan
ketentuan umum pembiayaan murabahah yaitu:28 Umum, tidak hanya 27 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 72 28 Wawancara dengan Arif Wijaya, Account Officer dari PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Syariah Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 2008. Dikutip dari Bagya Agung Prabowo. Januari, 2009. Konsep Akad Murabahah pada Perbankan Syariah (Analisis Kritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia), Jurnal Hukum, Volume. 16 No. 1,
diperuntukan untuk kaum muslim saja; harus cakap hukum, sesuai dengan KUH
Perdata; memenuhi 5 C yaitu: Character (watak); Collateral (jaminan); Capital
(modal); Condition of Economy (prospek usaha); Capability (kemampuan).
Bank Syariah menerapkannya rahn sebagai perjanjian jaminan assessor
untuk akad murabahah. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa sekarang di
Indonesia dikenal ada tiga jenis transaksi jaminan, yaitu Pertama, Gadai (Pand)
menurut KUH Perdata yang digunakan sebagai jaminan dalam kegiatan usaha
Bank Konvensional; Kedua, Gadai (Verpanding) menurut Aturan Dasar Pe-
gadaian/ADP (Pandhuis Reglement) sebagai kegiatan usaha pokok pada Perum
Pegadaian; Ketiga, Gadai Syariah (Rahn) sebagai jaminan peminjaman uang pada
kegiatan usaha Bank Syariah dan Pegadaian Syariah.29
Bank Syariah masih menggunakan ketentuan Hukum Jaminan
konvensional. Padahal jaminan syariah (rahn) dan jaminan konvensional tentu
memiliki perbedaan. Sehingga, konsep jaminan konvensional yang diatur dalam
Hukum Jaminan baik dalam KUH Perdata maupun peraturan perundang-
undangan tidak bisa diterapkan pada jaminan syariah.
Tabel 1.2 Perbandingan Jaminan dan Jaminan Syariah (Rahn)30
Jaminan Jaminan Syariah (Rahn)Pengertian Hak kreditur untuk
mengambil pelunasan atas benda jaminan
Hak kreditur untuk mengambil pelunasan atas benda jaminan
Pemberi Jaminan Debitur atau pihak III DebiturPenerima Jaminan Orang perseorangan, Bank Orang perseorangan, BankObyek Jaminan Benda bergerak bertubuh
dan tidak bertubuhBenda yang mempunyai nilai ekonomis, dapat dimanfaatkan dan dapat dikualifikasi
Utang yang dijamin Utang dari semua jenis perikatan
Pinjam-meminjam uang tanpa bunga
Hak Penerima Jaminan 1. Parate eksekusi (hak menjual benda jaminan atas kekuasaan sendiri)2. hak revindikasi dan
1. hak menguasai benda jaminan sampai hutang dilunasi2. hak menjual untuk
hal. 11129 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 2430 Budiman Setyo Haryanto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1, hal. 25
hak-hak kebendaan lainnya3. hak retensi4. hak mengambil pelunasan lebih dahulu5. dibebaskan dari tuntutan hukum yang berkaitan dengan benda jaminan
mengambil pelunasan
Kewajiban Penerima Jaminan
1. memberi tahu debitur kalau melakukan eksekusi2. memelihara benda jaminan dan menanggung kerusakan karena salahnya3. mengembalikan uang sisa hasil eksekusi4. berhak menerima bunga dari piutang yang dijaminkan
1. memelihara dan menyimpan benda jaminan2. memberi tahu debitur agar segera melunasi hutangnya3. mengembalikan uang sisa eksekusi
Hak Pemberi Jaminan 1. menerima pengembalian uang sisa eksekusi2. meminta pengembalian benda jaminan kalau disalahgunakan3. menerima ganti rugi kalau benda jaminan hilang/rusak
1. menerima pengembalian uang sisa eksekusi2. menerima ganti rugi kalau benda jaminan hilang/rusak
Kewajiban Pemberi Jaminan
Menjamin bahwa benda jaminan adalah milik pemberi jaminan
1. membayar biaya pemeliharaan dan penyimpanan2. menjamin bahwa benda jaminan adalah milik pemberi jaminan
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa jaminan syariah (rahn)
termasuk salah satu lembaga jaminan kebendaan, dan menjadi sub sistem hukum
jaminan nasional mengenai penjaminan benda bergerak. Namun, tidak ada
ketentuan yang mengatur jaminan yang berlandaskan pada prinsip syariah ini baik
dalam KUH Perdata maupun peraturan perundang-undangan.
Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
hukum jaminan syariah sebagai pola hubungan hukum baru di bidang transaksi
jaminan, menimbulkan keadaan vacuum of law atau kekosongan hukum di bidang
jaminan syariah. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, untuk mengisi kekosongan
hukum diperlukan alat bantu berupa konstruksi hukum yaitu tindakan analisis
kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan
bangunan hukumnya.31
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada
Perbankan Syariah
Kepercayaan Masyarakat terhadap Murabahah pada Perbankan Syariah
Tidak adanya hukum yang mengatur jaminan syariah (rahn) berimplikasi
pada kepercayaan masyarakat pada akad pembiayaan murabahah. Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas bahwa sebagai produk pembiayaan, murabahah
mengandung beberapa risiko. Sehingga pembiayaan ini mesti membangun baik
kepercayaannya terhadap masyarakat maupun kepercayaan masyarakat terhadap
bank syariah itu sendiri. Salah satu jalan yang dapat membangun kepercayaan ini
adalah dengan mengaplikasikan jaminan sebagai akad assesoir terhadap akad
murabahah. Namun, kenyataan yang ada bahwa hukum yang mengatur akad
assesoir ini belum ada dalam peraturan perundang-undangan mengakibatkan
kepercayaan masyarakat berkurang.
Sejak berdirinya Perbankan Syariah sampai saat ini, Perbankan Syariah
selalu menghadapi lack of trusty (kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan syariah). Tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap Perbankan
Syariah dan Perbankan Konvensional itu sama. Sehingga sejak saat itu pula,
Perbankan Syariah mesti membangun kepercayaan masyarakat dengan berbagai
macam cara, misalnya dengan kegiatan sosialisasi mengenai eksistensi perbankan
syariah kepada masyarakat. Namun, usaha tersebut belum saja bisa meyakinkan
masyarakat sepenuhnya.
31 konstruksi hukum dibutuhkan khususnya untuk memahami suatu hubungan hukum baru yang belum ada aturan hukum yang secara khusus mengaturnya, sehingga dapat ditentukan aturan hukumnya. Caranya adalah dengan menerapkan salah satu ketentuan hukum atau berbagai aturan hukum secara bersamaan atau model campuran. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyelidiki apa yang esensial dari suatu hubungan hukum itu, di antaranya dengan melakukan abstraksi, dan membuang semua bentuk kekhususannya dan pada akhirnya dapat ditentukan esensinya. Dengan demikian yang dinamakan konstruksi hukum adalah suatu tindakan analitis kritis untuk memahami suatu pola hubungan hukum sehingga dapat ditentukan bangunan hukumnya (Paul Scholten). Dikutip dari Budiman Setyo Haryanto, Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1 Januari 2010, hal. 22.
Dari hasil penelitian Bank Indonesia di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur didapatkan bahwa nasabah Perbankan Syariah memiliki
kecenderungan untuk berhenti menjadi nasabah salah satunya adalah karena faktor
keraguan terhadap konsistensi penerapan prinsip syariah pada Perbankan
Syariah.32
Buku II KUH Perdata menurut doktrin bersifat tertutup, dalam arti orang
tidak leluasa membuat hak kebendaan baru kecuali yang sudah diatur dalam
undang-undang. Penambahan hak kebendaan baru harus dilakukan berdasarkan
suatu undang-undang, seperti Fidusia berdasar Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999, dan Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Oleh karenanya, tidak adanya payung hukum yang mengatur jaminan
syariah ini bisa mengakibatkan citra akad jaminan syariah berkurang. Masyarakat
akan meragukan prinsip atau landasan yang digunakan akad jaminan syariah ini.
Berdasarkan doktrin dalam KUH Perdata di atas masyarakat juga tidak akan
merasa leluasa atau merasa ragu dalam bertransaksi dengan jaminan syariah yang
belum ada payung hukumnya. Dengan demikian, peraturan baru yang mengatur
jaminan syariah yang digunakan sebagai akad assesoir pada akad murabahah
harus dibuat dalam bentuk undang-undang.
Penyelesaian Sengketa Murabahah pada Perbankan Syariah
Pasal 55 Ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah mengatur bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi di
Perbankan Syariah dilakukan di lingkungan Peradilan Agama. Namun, ketentuan
Pasal 55 ayat (2) membuka peluang penyelesaian sengketa di tempat lain. Sebab,
penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan secara operasional penyelesaian
sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Alternatif penyelesaian sengketa
tersebut yakni a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ayat (2) di atas menyebabkan
32 Bank Indonesia. 2000. Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa (Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan).
adanya dualisme (choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara
Peradilan Agama dan Peradilan Umum.
Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa syariah mesti berdasarkan pada
prinsip syariah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (3) Undang-
undang di atas. Namun, ayat (2) Pasal tersebut telah memungkinkan dilakukannya
penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena
penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum dilakukan berdasarkan Hukum
Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa
melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No.
8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.33
Pada tanggal 29 Agustus 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.
93/PUU/X/2012 mengakhiri dualisme (choice of forum) penyelesaian sengketa
ekonomi syariah antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum. Penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Oleh
karenanya pihak-pihak yang melakukan akad berdasarkan prinsip-prinsip syariah
telah tertutup untuk melakukan pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan
di luar pengadilan agama.34 Namun, hukum yang mengatur jaminan syariah dalam
akad murabahah nyatanya belum ada dalam peraturan perundang-undangan.
Sehingga, Peradilan Agama belum memiliki dasar hukum yang jelas yang dapat
digunakan dalam penyelesaian sengketa murabahah dengan jaminan. Sehingga
peraturan baru yang mengatur jaminan syariah yang digunakan sebagai akad
assesoir pada akad murabahah harus dibuat dalam bentuk undang-undang.
PENUTUP
Kesimpulan
33 www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4572/akad-murabahah-dan-penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal 21 April 2016). 34 www.pa-manna.go.id/wp-content/uploads/2014/10/sengketa-ekonomi-syariah-dan-kesiapan-peradilan-agama.pdf (Diakses pada tanggal 18 April 2016)
Akad Murabahah merupakan produk pembiayaan yang paling banyak
digunakan oleh Perbankan Syariah. Akad ini mengandung risiko, sehingga
Perbankan Syariah perlu memerhatikan jaminan sebagai alat yang dapat
digunakan untuk berjaga-jaga (prudential) manakala nasabah wanprestasi.
Perbankan Syariah akan menetapkan syarat-syarat yang dibutuhkan dan prosedur
yang harus ditempuh oleh nasabah yang hampir sama dengan syarat dan prosedur
kredit sebagaimana lazimnya yang ditetapkan oleh bank konvensional sebelum
melakukan akad murabahah. Syarat dan ketentuan umum pembiayaan murabahah
yaitu: Umum, tidak hanya diperuntukan untuk kaum muslim saja; harus cakap
hukum, sesuai dengan KUH Perdata; memenuhi 5 C yaitu: Character (watak);
Collateral (jaminan); Capital (modal); Condition of Economy (prospek usaha);
Capability (kemampuan).
Selama ini Perbankan Syariah menggunakan rahn sebagai akad assesoir
terhadap akad murabahah. Rahn merupakan akad jaminan yang berlandaskan
pada prinsip-prinsip syariah, aplikasi rahn dan jaminan konvensional tentu
memiliki perbedaan. Rahn menjadi salah satu lembaga jaminan di samping
lembaga jaminan konvensional dan merupakan subsistem hukum jaminan
nasional mengenai penjaminan benda bergerak. Oleh karenanya, payung hukum
yang mengatur jaminan konvensional tidak bisa begitu saja diterapkan pada rahn.
Adanya kekosongan hukum tersebut berimplikasi pada citra Perbankan
Syariah dan proses penyelesaian sengketa akad murabahah. Sebab akad jaminan
syariah belum memiliki payung hukum yang jelas, masyarakat akan meragukan
keabsahan (kehalalan) akad tersebut sebagai akad yang menganut prinsip syariah.
Menurut doktrin dalam KUH Perdata, disebutkan pula bahwa masyarakat akan
leluasa atau merasa yakin dalam membuat kontrak jaminan bila kontrak jaminan
tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, untuk menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap Perbankan Syariah, mesti dibuat payung hukum
yang jelas yang mengatur jaminan syariah ini.
Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat
diselesaikan di Peradilan Umum. Hal ini menyebabkan terjadinya dualisme
(choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara Peradilan Agama
dan Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah mesti
berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. Namun, dualisme tersebut membuka
kemungkinan penyelesaian sengketa tidak dilakukan berdasarkan pada prinsip
syariah. Sebab penyelesaian sengketa melalui Peradilan Umum dilakukan
berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU/X/2012 mengakhiri dualisme
(choice of forum) penyelesaian sengketa ekonomi syariah antara Peradilan Agama
dan Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah menjadi
kewenangan absolut Peradilan Agama. Namun, Peradilan Agama belum memiliki
dasar hukum yang jelas yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa
murabahah dengan jaminan. Sehingga peraturan baru yang mengatur jaminan
syariah mesti dibuat dalam bentuk undang-undang.
Saran
Jaminan syariah (rahn) harus segera diatur dalam suatu undang-undang
untuk memberikan dasar hukum sebagai salah satu lembaga jaminan kebendaan
yang berbeda dengan jaminan kebendaan konvensional (gadai, fidusia,
tanggungan, dan hipotik). Dasar hukum jaminan syariah ini akan berguna untuk
meningkatkan citra Perbankan Syariah serta dapat dijadikan sebagai landasan
hukum dalam penyelesaian sengketa murabahah di Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Setyo Harianto. Januari, 2010. Kedudukan Gadai Syariah
(Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum
Volume 10 Nomor 1.
Munir, Fuady. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer. PT. Citra Aditya
Bhakti. Bandung.
Karim, Adiwarman. 2014. Bank Islam. Jakarta. Rajawali Press.
M. Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Gema
Insani. Jakarta.
Prof. Mannan, Abdul. 2012. Hukum Ekonomi Syarih dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta. Kencana.
Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi. 2007. Hukum Jaminan di Indonesia:
Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta. Liberty.
Prof. Soebekti. 1986. Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut
Hukum Indonesia. Bandung. Alumni.
M. Mujieb, Abdul dkk. 2002. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta. Pustaka
Firdaus.
M. Ali, Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta.
PT. Raja Grafindo.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi
dan Ilustrasi. Yogyakarta. Ekonosia.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institute Bankir Indonesia. 2003.
Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta. Djambatan.
Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah 12. Bandung. Al-Ma’arif.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada.
Prof. Mannan, Abdul, MA., Ph.D. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi
Islam. Yogyakarta. Dana Bhakti Wakaf.
Hermansyah. 2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta.
Kencana.
J. Satrio. 2007. Hukum Jaminan, Hak jaminan Kebendaan. Bandung. Citra
Aditya Bakti.
Lucky Enggrani Fitri. Februari, 2012. Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan
Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Ekuitas Merek dan Citra Bank
Syariah XYZ di Kota Jambi. Menteri Keuangan, Volume 1 Nomor 3.
Bank Indonesia. 2000. Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat
terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa (Jakarta: Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan).
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/SPS
(Diakses pada tanggal. 14 April 2014)
www.pa-manna.go.id/wp-content/uploads/2014/10/sengketa-ekonomi-
syariah-dan-kesiapan-peradilan-agama.pdf (Diakses pada tanggal 18 April 2016)
www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4572/akad-murabahah-dan-
penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah (Diakses pada tanggal 21 April 2016).