Analisi Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan pada Geguritan ...
Transcript of Analisi Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan pada Geguritan ...
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 32
Analisi Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan pada Geguritan dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Bulan Maret – Mei 2014
oleh : Siti Suwarni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa [email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei 2014, (2) nilai pendidikan pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dan nilai pendidikan yang terdapat pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei 2014. Objek penelitian ini adalah geguritan yang terdapat dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret - Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka dan teknik simak catat. Instrumen yang digunakan adalah peneliti itu sendiri dibantu dengan kartu pencatat data. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik content analysis atau analisis isi. Teknik penyajian hasil analisi data menggunakan teknik informal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dan nilai pendidikan yang terdapat pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei 2014. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna berupa: (a) gaya bahasa retoris meliputi: 4 indikator aliterasi, 3 indikator hiperbol, 5 indikator eufemismus, 12 indikator asonansi, 1 indikator zeugma, dan 2 indikator histeron proteron, (b) gaya bahasa kiasan meliputi: 15 indikator personifikasi, 1 indikator sinekdoke tatum pro parte, 3 indikator sinekdoke pars pro toto, 3 indikator ironi, 1 indikator sinisme, 1 indikator sarkasme, 6 indikator persamaan atau simile,10 indikator metafora,1indikator epitet, 1 indikator fabel, 1 indikator antonomasia, dan 1 indikator metonomia. Nilai pendidikan berupa: (a) 1 indikator nilai pendidikan agama, (b) nilai pendidikan moral: 1) 7 indikator hubungan manusia dengan diri sendiri, 4 indikator hubungan manusia dengan manusia lain, 4 indikator hubungan manusia dengan Tuhannya, dan (c) 1 indikator nilai pendidikan sosial.
Kata Kunci : gaya bahasa, nilai pendidikan, geguritan
Pendahuluan Karya sastra merupakan sebuah hasil kreativitas sesorang yang memiliki unsur
keindahan. Keindahan karya sastra tercipta dari kreativitas pengarang memainkan
kata-kata yang berisikan maksud tertentu yang akan disampaikan pada pembaca. Sama
halnya dengan keindahan puisi juga tercipta dari kreativitas pengarang dalam
memainkan kata-kata. Menurut Waluyo (2010: 29) puisi adalah bentuk karya sastra
yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif yang disusun
dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa baik struktur fisik maupun
struktur batin. Puisi Jawa modern biasa disebut dengan geguritan. Menurut Purwadi
(2007: 455) geguritan merupakan bentuk puisi Jawa yang sudah keluar dari aturan-
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 33
aturan konvensional seperti halnya aturan-aturan yang terdapat pada tembang,
parikan wangsalan dan lain sebagainya. Geguritan biasanya dibaca diwaktu senggang
sebagai hiburan setelah melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Menurut hasil
pengamatan peneliti, peminat pembaca geguritan saat ini semakin berkurang. Hal ini
terjadi karena adanya perkembangan teknologi sehingga banyak tersedianya hiburan
seperti: televisi, game online, internet, dan lain sebagainya. Selain itu, peminat
pembaca geguritan berkurang karena geguritan cenderung menggunakan ungkapan
tidak langsung, intuitif, bermakna ganda, imajinatif, dan banyak menggunakan simbol.
Peminat geguritan yang semakin sedikit tidak menyurutkan semangat para pengarang
dalam membuat geguritan. Hal tersebut terlihat masih eksisnya beberapa media
massa cetak berbentuk majalah berbahasa Jawa, misalnya majalah Djaka Lodang yang
di dalamnya terdapat rubrik geguritan. Gaya bahasa merupakan salah satu unsur
kepuitisan sebuah geguritan yang akan membuat pembaca tertarik. Muljana dalam
Pradopo (2012: 93) menyatakan bahwa, “gaya bahasa ialah susunan perkataan yang
terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan
suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca”. Gaya bahasa dapat dibatasi sebagai
cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang dapat memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 2010: 113). Pengarang dalam membuat geguritan
tidak hanya mempentingkan gaya bahasanya saja tetapi juga menyisipkan
pengetahuan tentang nilai-nilai pendidikan. Menurut Ginanjar (2012: 57) “nilai
pendidikan adalah sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan sesuatu yang positif yang
berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk dimiliki setiap manusia”. Nilai-
nilai pendidikan yang terdapat pada geguritan bisa berupa nilai pendidikan agama,
moral, sosial, dan budaya.
Alasan peneliti tertarik mengkaji kumpulan geguritan pada majalah Djaka Lodang
edisibulan Maret – Mei 2014 karena terdapat beberapa gaya bahasa khususnya gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang digunakan pengarang untuk
memperindah sebuah geguritan. Selain itu, di dalam sebuah geguritan terkandung
nilai-nilai pendidikan yang biasanya tersirat sehingga perlu adanya penafsiran yang
mendalam. Nilai pendidikan tersebut bermanfaat bagi pembacanya karena dapat
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 34
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan gaya bahasa dan nilai pendidikan pada geguritan dalam majalah
Djaka Lodang edisi buan Maret – Mei 2014.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Menurut Ismawati (2011: 112) data kualitatif digambarkan dengan kata-kata atau
kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk disimpulkan. Subjek penelitian ini
yaitu geguritan dalam majalah Djaka Lodangedisi bulan Maret – Mei 2014, sedangkan
objek penelitian yaitu gaya bahasa dan nilai pendidikan pada geguritan dalam majalah
Djaka Lodang edisi bulan Maret – Mei 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik pustaka dan teknik simak catat. Instrumen yang
digunakan adalah peneliti itu sendiri dibantu dengan kartu pencatat data. Teknik
analisis data dalam penelitian ini adalah teknik content analysis atau analisis isi. Teknik
penyajian hasil analisi data menggunakan teknik informal.
Hasil Penelitian
1. Jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna pada geguritan dalam
majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret – Mei 2014 yaitu:
a. Gaya bahasa retoris
1) Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama. Dalam penelitian ini terdapat 4 indikator yang termasuk dalam gaya
bahasa aliterasi, misalnya: pada geguritan Tanpa Kudune Lan Upamane
(DL, 42,15/03/14) yaitu pada kutipan “Mung dumunung ing ngarsaning
Hyang Widi” ‘Hanya terletak pada kehendak Tuhan’. Pada kutipan
tersebut terdapat perulangan huruf pada huruf konsonan “ng” yaitu di
akhir kata “mung” ‘hanya’, “dumunung” ‘terletak’, “ing” ‘pada’, dan
“Hyang Widi” ‘Tuhan’.
2) Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang
berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Dalam penelitian ini
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 35
terdapat 3 indikator yang termasuk dalam gaya bahasa hiperbol, misalnya:
pada geguritan Ana Lawe Nggubet Gorehing Pangarep-arep (DL,
41,08/03/14) yaitu pada kutipan “rantaman donga diglandhang menyang
awang-awang” ‘untaian doa digiring ke langit’. Pada kutipan tersebut
termasuk gaya bahasa hiperbol karena pengarang dalam mengungkapkan
tentang sesorang yang berdoa sangat khusyu diungkapkan secara
berlebihan yaitu untaian doa yang dipanjatkan diibaratkan digiring sampai
ke langit.
3) Eufemismus adalah gaya bahasa yang berupa ungkapan-ungkapan yang
tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus
untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dalam penelitian ini terdapat 5 indikator yang termasuk
dalam gaya bahasa eufemismus, misalnya: pada geguritan Aja Kandha
Sapa-sapa (DL, 40,01/03/14) yaitu pada kutipan “sesuk ora nemoni
srengenge” ‘besok tidak mememui matahari’. Kutipan tersebut termasuk
dalam kategori gaya bahasa eufemismus karena pengarang dalam
mengungkapkan tentang mati tidak secara langsung, tetapi lebih memilih
menggunkan ungkapan yang dirasa lebih halus agar tidak menyinggung
perasaan orang lain yaitu ‘besok tidak mememui matahari’ yang sama
artinya dengan mati.
4) Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama. Dalam penelitian ini terdapat 12 indikator yang termasuk
dalam gaya bahasa asonansi, misalnya: pada geguritan Tanpa Kudune ”Lan
Upamane (DL, 42,15/03/14) yaitu pada kutipan “iki kang kita impi-impi,
urip sejati saiki iki, ing papan iki” ‘ini yang kita impi-impikan, hidup sejati
sekorang ini, di tempat ini’. Pada kutipan tersebut termasuk gaya bahasa
asonansi karena adanya perulangan huruf vokal yaitu huruf “i” yaitu pada
kata “Iki” ‘ini’, “kita” ‘kita, “impi-impi “ ‘impi-impikan’’, “urip” ‘hidup’,
“sejati” ‘sejati’, “saiki” ‘sekarang’, “iki” ‘ ini’, dan “ing” ‘di’.
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 36
5) Zeugma adalah gaya dimana oang mempergunakan dua konstruksi rapatan
dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata
pertama. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator yang termasuk dalam
gaya bahasa zeugma, misalnya: pada geguritan Mawar Lan Tangan (DL,
48,26/04/14) yaitu pada kutipan “ana tangan njamah lan kandha” ‘ada
tangan menjamah dan berbicara’. Pada kutipan tersebut dikategorikan
gaya bahasa zeugma karena kata tangan yang digunakan untuk
membawahi kata berikutnya yaitu kata menjamah dan berbicara,
sebenarnya hanya cocok untuk salah satunya saja yaitu kata menjamah.
Apabila kata tangan juga diikuti kata berbicara seperti pada kutipan di atas
maka tidak cocok karena tangan tidak bisa digunakan untuk berbicara.
6) Histeron poteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari
sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Dalam
penelitian ini terdapat 2 indikator yang termasuk dalam gaya bahasa
histeron poteron, misalnya: pada geguritan Mawar Lan Tangan (DL,
48,26/04/14) yaitu pada kutipan “tangan liyane uga kandha” ‘tangan
lainnya juga berbicara’. Pada kutipan tersebut dikategorikan gaya bahasa
histeron proteron karena kalimat tersebut merupakan kalimat yang tidak
logis karena sebenarnya tangan merupakan salah satu anggota tubuh yang
digunakan untuk mengambil sesuatu dan tidak bisa digunakan untuk
berbicara, sedangkan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk
berbicara adalah mulut.
b. Gaya bahasa kiasan
1) Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah
memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Dalam penelitian ini terdapat 15 indikator
yang termasuk dalam gaya bahasa personifikasi, misalnya: pada geguritan
Ing Awakmu (DL, 42,15/03/14) yaitu pada kutipan “srengenge gandhulan
ing rambutmu” ‘matahari berpegangan di rambutmu’. Kutipan tersebut
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 37
dikategorikan sebagai gaya bahasa personifikasi karena matahari adalah
benda mati yang merupakan pusat dari tata surya diumpamakan seperti
manusia yang memiliki tangan yang berpegangan pada rambut.
2) Sinekdoke
a) Sinekdoke tatum pro part adalah semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan
keseluruhan. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator yang
termasuk dalam gaya bahasa sinekdoke tatum pro part, misalnya: pada
geguritan Ardi Kelud Tresnamu (DL, 40,01/03/14) yaitu pada kutipan
“tandha sih, ngudani bumi nusantara” ‘tanda kasih, menghujani bumi
nusantara’. Kutipan tersebut dikatogorikan sebagai gaya bahasa
sinekdoke totum pro parte yaitu kata bumi nusantara (Indonesia)
sebagai pengganti nama sebagian daerah di nusantara yang terkena
hujan abu gunung Kelud seperti di wilayah Jawa timur, Jawa tengan
dan Yogjakarta.
b) Sinekdoke pars pro toto adalah semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Dalam
penelitian ini terdapat 3 indikator yang termasuk dalam gaya bahasa
sinekdoke pars pro toto, misalnya: pada geguritan Lawangmu (DL,
41,08/03/14) yaitu pada kutipan “sliramu semendhe pipining
lawangmu” ‘dirimu besandar pipi pintumu’. Pada kutipan tersebut
termasuk gaya bahasa sinekdoke pars pro toto yaitu pada kata pipi
pintumu menyebutkan sebagian dari pintu bagian luar yang mewakili
keseluruhan dari pintu.
3) Ironi, Sinisme, dan Sarkasme
a) Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan
makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam
rangkaian kata-katanya. Dalam penelitian ini terdapat 3 indikator yang
termasuk dalam gaya bahasa ironi, misalnya: pada geguritan Tangise
Wengi Iki Kangenku (DL, 43,22/03/14) yaitu pada kutipan “prasetyamu
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 38
wismalih rupa dadi biru” ‘kesetiaanmu sudah berubah menjadi biru’.
Pada kutipan tersebut termasuk kategori gaya bahasa ironi karena
ungkapan tersebut mengandung makna sindiran terhadap seseorang
yang kesetiaannya berubah menjadi suatu penghianatan.
b) Sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang
mengandung ejekan terhadap keihlasan dan ketulusan hati). Dalam
penelitian ini terdapat satu indikator yang termasuk dalam gaya bahasa
sinisme, misalnya: pada geguritan Bali (DL, 41,08/03/14).
“laku jantramu sangsaya kenes lan kemaki, rumangsamu ayu bagus lan teguhmu kuwi, ya dudu duwekmu, dudu darbekmu sayekti” ‘perbuatan kehendakmu semakin genit dan berlagak pintar, menurutmu cantik bagus dan teguhmu itu, ya bukan punyamu, bukan milikmu sejati’.
Pada kutipan tersebut termasuk kategori gaya bahasa sinisme
karena mengandung sindiran bermaksud mengejek terhadap seseoang
wanita yang terlalu bangga terhadap kecantikan dan kepintarannya,
hakikatnya milik Yang Maha Kuasa yang nantinya bisa diambil kapan
saja.
c) Sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan
yang getir. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator yang termasuk
dalam gaya bahasa sarkasme, misalnya: pada geguritan Kembang
Wengi Si Kembang-kembang Bangah (DL, 48,26/04/14).
“apa kowe ora krungu para sujana sarjana sadonya, gumeder umyung arep padha bareng mbrasta, pakaryanmu kuwi sing dadi ngrembakaning kruma, virus AIDS candhala sing durung ketemu tambane kanggo usada” ‘apa kamu tidak mendengar orang-orang pintar sedunia, hingar bingar hendak besama-sama membrantas, pekerjaanmu itu yang menjadi berkembangnya virus, virus AIDS yang belum ditemukan obatnya untuk mengobati’.
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 39
Kutipan tersebut termasuk dalam gaya bahasa sarkasme karena
mengangandung celaan yang getir kepada para wanita pekerja seks
komersial, bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan yang nista yang
menyebabkan tersebarnya virus AIDS yang belum ada obatnya
sehingga orang-orang pintar seluruh dunia akan besama-sama
membrantas kegiatan seks bebas itu.
4) Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat ekslisit atau
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain. Dalam penelitian ini
terdapat 6 indikator yang termasuk dalam gaya bahasa persamaan atau
simile, misalnya: pada geguritan Bali (DL, 41,08/03/14) yaitu pada kutipan
“bareng kowe lungguh ing kursi mungguh, sapa aruhmu tawa kaya
banyu kali” ‘ketika kamu duduk pada suatu kedudukan, sapaanmu tawar
seperti air sungai’. Pada kutipan tersebut termasuk dalam gaya bahasa
persamaan atau simile karena pengarang pengumpamakan perubahan
sapaan sesorang yang sudah naik jabatan menjadi sombong diibartkan
seperti air sungai yang tawar. Gaya bahasa persamaan atau simile
ditunjukkan dengan penggunaan kata kaya.
5) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Dalam penelitian ini terdapat
10 indikator yang termasuk dalam gaya bahasa metafora, misalnya: pada
geguritan Bali (DL, 41,08/03/14) yaitu pada kutipan “bareng kowe lungguh
ing kursi mungguh, sapa aruhmu tawa kaya banyu kali” ‘ketika kamu
duduk pada suatu kursi, sapaanmu tawar seperti air sungai’. Maksud kursi
pada kutipan tersebut adalah bukan kursi yang digunakan untuk duduk,
tetapi secara tidak langsung menggambarkan tentang sebuah jabatan atau
kedudukan.
6) Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang
khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Dalam penelitian ini terdapat satu
indikator yang termasuk dalam gaya bahasa epitet, misalnya: pada
geguritan Panglocita (DL, 44,29/03/14) yaitu pada kutipan “jaman si jaka
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 40
ngrodha paripaksa si prawan kencur”‘ zaman si perjaka ronda memaksa si
gadis kencur’. Kutipan tersebut termasuk gaya bahasa epitet karena
menyatakan adanya ciri khusus untuk sebutan anak perempuan yang
menginjak masa remaja yaitu dengan sebutan gadis kencur.
7) Fabel adalah metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, dimana
binatang-binatang bahkan mahluk-mahluk yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah sebagai manusia. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator
yang termasuk dalam gaya bahasa fabel, misalnya: pada geguritan Aku
Trima dadi Wayang (DL, 50,03/05/14) yaitu pada kutipan “nyamuk sing
pengin nyolong ispirasi” ‘nyamuk yang ingin mencuri inspirasi’. Pada
kutipan tersebut termasuk dalam gaya bahasa fabel karena nyamuk yang
merupakan salah satu jenis binatang serangga yang digambarkan seolah-
olah dapat melakukan perbuatan manusia yaitu ingin mencuri inspirasi.
8) Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari siekdoke yang berwujud
penggunaan sebuah epita untuk menggantikan nama diri, atau nama gelar
resmi atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Dalam penelitian ini
terdapat satu indikator yang termasuk dalam gaya bahasa antonomasia,
misalnya: pada geguritan Pupuh Ing Urip Sajati (DL, 43,22/03/14) yaitu
pada kutipan “pinesthi ing astane Gusti” ‘ditentukan di tangan Tuhan’.
Pada kutipan tersebut termasuk dalam gaya bahasa antonomasia karena
kata Gusti merupakan kata yang menggantikan sebutan nama untuk
Tuhan.
9) Metonomia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata
untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat
dekat. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator yang termasuk dalam
gaya bahasa metonomi, misalnya: pada geguritan Sukhoi (DL, 53,31/05/14)
yaitu pada kutipan “Sukhoi superjet 100, tekamu dadi angeram-eram
bangsa” ‘Sukhoi superjet 100, kedatanganmu menjadi penantian bangsa’.
Pada kutipan tersebut termasuk gaya bahasa metonomia karena Sukhoi
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 41
superjet 100 merupakan nama pesawat tempur Indonesia yang jatuh di
gunung Salak pada tanggal 9 Mei 2012.
2. Nilai pendidikan yang terdapat pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi
bulan Maret – Mei 2014 yaitu:
a. Nilai pendidikan agama adalah nilai yang berkaitan dengan keyakinan
seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai dasar dalam menjalani
kehidupan. Dalam penelitian ini terdapat satu indikator yang termasuk dalam
nilai pendidikan agama, misalnya: pada geguritan Dayane Donga (DL,
40,01/03/14).
“donga mangka pamepering hawa mangka lumunture aksama mugyantuk papan kang murwat ing niskala mrih niskala, panggayuhing jangka donga mangka panulak bala ngedohake bebala lan panyimpange sarak kewan kruma padha medhak lan memala tan wani nyedhak dayane donga sarap sawan bali ndalan kata-kata sumingkir nyimpang dhemit setan wedi anggodha jalma dur datan wani nyikara” ‘doa untuk menyampaikan maksud hati untuk melunturkanya ampunan semoga memperoleh tempat yang sesuai di zaman kehilangan berharap tanpa halangan, dalam mencapai jangka doa sebagai penola bala menjauhkan kekutan dan penghalang syara hewan kruma saling turun dan kesengsaraan tidak berani mendekat kekuatan doa segala penyakit pulang ke jalan kata-kata menyingkir menyimpang hantu setan takut menggoda manusia jahat tidak berani menyikasa’ Kutipan di atas menceritakan tentang kekuatan doa, yaitu: doa sebagai
sarana untuk menyampaikan maksud hati (keinginan) dan memohon ampunan
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 42
kepada Tuhan, doa sebagai sarana untuk menjauhkan mala dan sesuatu yang
menghalagi syarak, doa untuk menjauhkan dari segala penyakit, segala sesuatu
yang menjadi penghalang, godaan hantu setan sehingga tidak akan berani
menggoda, dan manusia jahat tidak akan berani menyiksa. Pada kutipan di atas
mengajarkan bahwa setiap mukmin harus meyakini akan adanya kekuatan dari
dari doa yang dipanjatkan kepada Tuhan, yaitu sebagai sarana untuk
menyampaikan keinginan, memohon ampunan, menjauhkan dari mala petaka,
setan, jin, dan manusia yang jahat. Setelah seorang mukmin yakin akan adanya
kekutan doa, diharapkan agar senantiasa berdoa kepada Tuhan.
b. Nilai pendidikan moral adalah nilai yang berkaitan dengan tingkah laku atau
budi pekerti manusia yang baik dan buruk agar menjadi pribadi yang baik.
Dalam penelitian ini terdapat nilai pendidikan moral, meliputi: 7 indikator
hubungan manusia dengan diri sendiri, 4 indikator hubungan manusia dengan
manusia lain, 4 indikator hubungan manusia dengan Tuhannya. Misalnya pada
geguritan Sangu Urip (DL, 46,12/04/2014)
“wong urip iku kudu gelem obah lamun nora obah ora bakal mamah nanging aja seneng grayah-grayah lan jarah rayah amarga iku ora bakal dadi berkah tundone marai padha congkrah lan gawe dredah” ‘orang hidup itu harus bekerja kalau tidak bekerja tidak bisa memenuhi kebutuhan tetapi jangan suka mencuri karena hal itu tidak akan menjadi berkah akhirnya menyebabkan pertengkaran dan membuat peselisihan’ Kutipan di atas menceritakan tentang nasihat yang disampaikan
pengarang kepada pembaca dalam menjalani kehidupan mau bekerja untuk
memenuhi kebutuhan dan nasihat untuk tidak mencuri karena hasil yang
diperoleh tidak akan menjadi berkah, membuat pertengkaran serta
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 43
perselisihan. Kutipan di atas mengajarkan bahwa manusia untuk memenuhi
segala kebutuhan hidupnya harus bekerja keras dengan mencari pekerjaan
yang halal agar hasil yang diperoleh nantinya akan menjadi berkah dan
senantiasa menjauhi perbuatan yang tidak baik seperti mencuri.
c. Nilai pendidikan sosial adalah nilai pendidikan atau hikmah yang dapat diambil
dari interkasi sosial di suatu lingkungan masyarakat. Dalam penelitian ini
terdapat nilai misalnya: pada geguritan Ardi Kelud Tresnamu (DL, 40,01/03/14)
“aku muntah among asung peling, padha sangkul sinangkula marang kadhang rowangira” ‘aku muntah hanya memberi peringatan saling gotong royonglah kepada saudara-saudaramu’ Kutipan di atas menceritakan tentang meletusnya gunung Kelud yang
memberikan pesan agar sesama saudara saling gotong royong. Kutipan di atas
mengajarkan bahwa manusia harus mengambil hikmah disetiap kejadian,
seperti halya kejadian meletusnya gunung kelud yang memberikan hikmah
agar saling bergotong royong dalam membantu saudara yang terkena musibah
agar beban dan kesedihan para korban sedikit berkurang.
Simpulan Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdapat pada
geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei 2014 adalah (a) gaya
bahasa retoris meliputi: aliterasi, hiperbol, eufemismus, asonansi, zeugma, dan
histeron proteron, (b) gaya bahasa kiasan meliputi: personifikasi, sinekdoke tatum pro
parte, sinekdoke pars pro toto, ironi, sinisme, sarkasme, persamaan atau simile,
metafora, epitet, fabel, antonomasia, dan metonomia. Nilai-nilai pendidikan yang
terdapat terdapat pada geguritan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Maret-Mei
2014 anatara lain: (a) nilai pendidikan agama berupa kekuatan doa, (b) nilai pendidikan
moral, meliputi: 1) hubungan antara manusia dengan diri sendiri, seperti: kesabaran,
kesetiaan, keikhlasan, pasrah, bekerja keras, dan penyesalan, 2) hubungan manusia
dengan manusia lain, seperti: penghianatan, percintaan, empati, dan menepati janji, 3)
Vol. / 07 / No. 03 / Oktober 2015
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 44
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, seperti: mengingat Tuhan, beribadah,
dan perzinaan, (c) nilai pendidikan sosial berupa gotong royong.
Daftar Pustaka Ginanjar, Nurhayati dkk. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: Cakrawala Media. Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Ikrar. Mandiriabadi. Ismawati, esti. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta:
Yuma Pustaka. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. Pradopo, Rohmatmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press. Purwardi. 2007. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka. Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press
Salatiga.