Analisa empiris atas asset dan growth beta dalam penentuan cost of capital

25
www.futurumcorfinan.com Page 1 Paper Analisa Empiris atas Asset dan Growth Beta dalam Penentuan Cost of Capital: Konteks Indonesia Latar belakang penelitian Keputusan investasi tidak dapat dibuat tanpa pengetahuan mengenai cost of capital sehingga cost of capital adalah input utama dalam proses capital budgeting. Meskipun terdapat banyak argumen baik secara teoritikal maupun empiris yang menentangnya, single-period CAPM tealh merupakan metode yang paling popular dalam menentukan cost of equity capital untuk proyek-proyek investasi. Graham and Campbell (2001) dalam surveynya terhadap 302 Chief Financial Officers mengenai cost of capital, capital budgeting dan capital structure mendapatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar sangat mengandalkan penggunaan teknik-teknik present value dan capital asset pricing model, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil relatif lebih banyak menggunakan kriteria payback. Dan lebih mengejutkan adalah banyak perusahaan yang menggunakan firm risk daripada project risk dalam mengevaluasi investasi baru. Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com

Transcript of Analisa empiris atas asset dan growth beta dalam penentuan cost of capital

www.futurumcorfinan.com

Page 1

Paper Analisa Empiris atas Asset dan

Growth Beta dalam Penentuan Cost of

Capital: Konteks Indonesia

Latar belakang penelitian

Keputusan investasi tidak dapat dibuat tanpa pengetahuan mengenai cost of capital

sehingga cost of capital adalah input utama dalam proses capital budgeting. Meskipun

terdapat banyak argumen baik secara teoritikal maupun empiris yang menentangnya,

single-period CAPM tealh merupakan metode yang paling popular dalam menentukan

cost of equity capital untuk proyek-proyek investasi. Graham and Campbell (2001)

dalam surveynya terhadap 302 Chief Financial Officers mengenai cost of capital, capital

budgeting dan capital structure mendapatkan bahwa perusahaan-perusahaan besar

sangat mengandalkan penggunaan teknik-teknik present value dan capital asset pricing

model, sedangkan perusahaan-perusahaan kecil relatif lebih banyak menggunakan

kriteria payback. Dan lebih mengejutkan adalah banyak perusahaan yang menggunakan

firm risk daripada project risk dalam mengevaluasi investasi baru.

Sukarnen

DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,

ATAU MENDISTRIBUSIKAN

SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN

INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS

DARI PENULIS

Untuk pertanyaan atau komentar bisa

diposting melalui website

www.futurumcorfinan.com

www.futurumcorfinan.com

Page 2

Tabel dan grafik diambil dari Graham dan Campbell (2001)

www.futurumcorfinan.com

Page 3

Jagannathan dan Iwan Meier (2002) memberikan penjelasan atau argumentasi

mengapa manager tetap menggunakan CAPM sebagai alat utama dalam mengestimasi

cost of capital. Alternatif model yang lain yang dapat disebut sebagai empirically

motivated factors (Fama dan French, 1992 dan Fama dan French, 1993) yang kemudian

lebih dikenal sebagai Fama-French three-factors model, adalah bermasalah untuk

menentukan cost of capital karena factor loadings adalah sangat tidak stabil sepanjang

waktu dan terdapat perbedaan pendapat di antara akademik mengenai apakah factor

loading tersebut adalah resiko. Alternatif model yang juga diajukan, misalnya

berdasarkan spesifikasi stochastic discount factor atau versi inter-temporal dari CAPM

membutuhkan input yang relatif sulit untuk diamati atau diestimasi (Brennan dan Xia,

2006; Ang dan Liu, 2004; Letta dan Wachter, 2005). Keunggulan utama CAPM memang

terletak pada hanya dibutuhkan tiga estimasi yang relatif mudah diperoleh atau dihitung,

yaitu:

1. risk-free rate

2. risk premium on market portfolio, dan

3. asset’s beta.

www.futurumcorfinan.com

Page 4

Salah satu kesulitan yang ditemukan pada saat mengimplementasikan CAPM adalah

bahwa proyek-proyek investasi bukan merupakan traded securities dan oleh karenanya

tidak mempunyai beta yang secara langsung dapat diamati. Praktik standar yang dipakai

untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengestimasi beta proyek berdasarkan

sekumpulan sekuritas yang diperdagangkan dan dapat diperbandingkan (comparable

traded securities). Buku-buku teks keuangan yang standar lebih lanjut menyebutkan

bahwa comparables yang dipakai harus memiliki cyclicality dan operating leverage yang

sama dan bahwa dampak dari financial leverage atas equity beta harus difaktorkan ke

dalam penentuan beta proyek (lihat Brealey dan Myers, 2003).

Dalam paper ini, kami ingin memperlihatkan secara empiris bahwa growth opportunities

adalah faktor penentu yang paling penting dalam penentuan beta perusahaan, bahkan

sesudah operating dan financial leverage dikendalikan, dan kegagalan untuk

memperhitungkan hal ini memberikan mis-estimasi cost of equity capital dengan sekian

persentase tergantung industrinya.

Identifikasi, pembatasan dan rumusan permasalahan

Terdapat alasan yang baik untuk mengharapkan, apabila semua sama, maka

perusahaan yang memiliki growth opportunities yang lebih akan memiliki beta yang lebih

tinggi. Pertama, growth opportunities suatu perusahaan termasuk embedded options,

seperti option to delay, abandon, or expand suatu proyek. Keputusan-keputusan ini

tergantung pada informasi mengenai arus kas yang dihasilkan oleh proyek tersebut,

yang tentu saja mempunyai komponen resiko sistematis. Karena embedded options ini

secara implisit memiliki leverage, resiko sistematis dari growth opportunities

kemungkinan akan lebih tinggi daripada asset sejenis yang sudah ada (Berk, Green,

dan Naik, 2004; Carlson, Fisher dan Giammarino, 2004, 2006). Kedua, Campbell dan

Wei (1993) secara empiris memperlihatkan bahwa beta sebagian besar ditentukan oleh

variasi yang umum dalam expected returns. Karena perusahaan dengan growth

opportunities yang lebih besar mempunyai arus kas dengan durasi yang lebih panjang,

maka nilai mereka akan lebih sensitif terhadap perubahan-perubahan tingkat bunga dan

dengan demikian memiliki beta yang lebih tinggi (lihat Cornell, 1999; Dechow, Sloan dan

Soliman, 2004).

www.futurumcorfinan.com

Page 5

Tujuan penelitian

Tujuan kami dalam paper ini adalah

1. untuk memperlihatkan secara empiris adanya hubungan antara growth

opportunities perusahaan dengan asset beta, dan

2. untuk memberikan aturan-aturan yang sederhana mengenai bagaimana memilih

beta proyek berdasarkan penelitian empiris ini.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian, diharapkan dapat ditunjukkan beberapa rules of thumbs yang

penting pada saat menerapkan CAPM dalam capital budgeting atau investasi proyek.

Misalnya, dalam industri retail, pada saat membuka outlet di pasar baru dengan

berbagai options to expat seharusnya memiliki cost of capital yang lebih tinggi daripada

membuka outlet di pasar yang telah mature dan dengan kompetisi yang tinggi. Pada

waktu mencari comparables untuk mengestimasi beta proyek, perusahaan retail dengan

growth opportunities yang tinggi sebaiknya dipakai untuk kasus yang pertama dan untuk

kasus yang kedua, dipilih perusahaan retail dengan growth opportunities yang rendah.

Di samping itu, beta perusahaan sendiri belum tentu merupakan ukuran resiko

sistematis yang baik untuk salah satu proyek investasi, walaupun jika berada pada line

of business yang sama. Analisa kami akan memperlihatkan (jika hipotesa terbukti)

bahwa manajer harus mempertimbangkan apakah perusahaan memiliki relatif growth

opportunities yang lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan proyek yang

dievaluasi. Misalnya, suatu perusahaan oil support telah memiliki dua product line dan

beberapa product line yang akan dikembangkan. Beta perusahaan mungkin bukan

merupakan estimator beta yang baik untuk salah satu product line-nya yang akan

dikembangkan. Pada saat bersamaan, beta perusahaan bukan juga merupakan

estimator beta yang baik untuk salah satu product line yang telah menghasilkan arus

kas signifikan. Beta untuk product line ini akan lebih kecil dan jika digunakan beta

perusahaan untuk mendiskonto arus kas product line tersebut maka akan kemungkinan

menghasilkan nilai product line yang under-estimated. Ini menjadi pertimbangan yang

penting, pada saat, perusahaan akan menjual salah satu product line dengan arus kas

yang signifikan.

www.futurumcorfinan.com

Page 6

Metode yang digunakan dalam penelitian ini juga dapat dipakai untuk menentukan

tingkat diskonto untuk perusahaan baru (startup firms). Ini dapat mengatasi masalah

yang dihadapi pada waktu mencari comparables karena relatif sulit ditemukan. Dengan

mengesampingkan masalah di mana bahwa perusahaan baru secara fundamental

berbeda dengan perusahaan publik atau matang, kita dapat melihat perusahaan baru

sebagai suatu perusahaan dengan tidak ada assets-in-place tetapi hanya memiliki

growth opportunities option. Metode tidak mengestimasi beta untuk growth opportunities

untuk industri dan dapat dipakai untuk mendiskonto arus kas proyeksi untuk perusahaan

startup dalam suatu industri.

Nilai suatu perusahaan dapat dipisahkan ke dalam value of assets-in-place dan growth

opportunities, oleh karenanya, asset beta perusahaan juga merupakan value-weighted

average dari masing-masing beta tersebut. Kami membuat dua asumsi untuk

memisahkan beta assets-in-place dan growth opportunities yang terdapat pada data:

1. book-to-market ratio suatu perusahaan adalah proxi yang baik untuk rasio value

assets-in-place terhadap total value dari perusahaan.

2. beta assets-in-place dan beta growth opportunities adalah konstan untuk semua

perusahaan dalam industri yang sama pada waktu tertentu. Oleh karenanya,

kami mengasumsikan bahwa variasi beta perusahaan dalam industri yang sama

pada waktu tertentu dapat dijelaskan secara lengkap oleh proporsi relative value

assets-in-place terhadap growth opportunities.

Bahwa proporsi relative growth opportunities dan assets-in-place adalah faktor penentu

yang penting dalam beta investasi proyek akan membawa implikasi sebagaimana

dijelaskan di bawah.

Implikasi:

Beta assets-in-place adalah ukuran yang tepat untuk resiko perusahaan yang matang

(mature firms) dengan growth opportunities yang lebih sedikit sedangkan beta growth

opportunities adalah ukuran yang tepat untuk resiko perusahaan yang relatif masih

muda atau baru dimulai (startup firms).

www.futurumcorfinan.com

Page 7

Kaplan dan Peterson (1998) telah mendokumentasikan bahwa beta dari perusahaan-

perusahaan yang memiliki market capitalization yang besar cenderung lebih rendah

daripada beta perusahaan-perusahaan berkapitalisasi kecil.

Dengan demikian, secara umum, pada saat memilih comparable firms untuk

mengestimasi beta investasi, manajer sebaiknya memilih perusahaan berdasarkan proxi

growth opportunities, dalam hal ini, market-to-book ratios.

Kajian Pustaka

Nilai equity perusahaan (dapat pula dibaca sebagai harga saham perusahaan, walaupun

penulis lebih suka menggunakan nilai equity perusahaan) terdiri dari 2 komponen:

1) Nilai tunai uniform, perpetual earnings on assets currently held (dikenal sebagai

“assets-in-place”)

2) Nilai tunai dari opportunities that the firm offers for making additional investments

in real assets that will yield more than the “normal” (market) rate of return.

(dikenal sebagai “growth opportunities”).

Pengakuan adanya dua elemen in dapat ditelusuri ke paper yang ditulis oleh Miller dan

Modigliani (1961). Terdapat beberapa literatur mengenai metode untuk mengukur kedua

elemen tersebut. Misalnya, Kester (1984) menulis bahwa ”.... valuable growth options

constitute well over half the market value of many companies’ equity”.

Myers (1977) mencatat perbedaan antara:

Asset yang dianggap call option untuk membeli real asset di mana nilai akhir

(ultimate) tergantung lebih lanjut pada investasi discretionary oleh perusahaan.

Real asset dengan nilai pasar yang tidak tergantung pada investasi discretionary

lebih lanjut.

Myers mencatat secara spesifik bahwa pemeliharaan aktiva tetap merupakan keputusan

investasi discretionary dan kelanjutan usaha perusahaan saat ini juga merupakan

www.futurumcorfinan.com

Page 8

keputusan investasi discretionary dengan sendirinya. Jadi Myers mengakui adanya

option not to replace assets-in-place. Namun pembicaraan kami sepanjang paper ini

hanya berkaitan antara perbedaan nilai growth opportunities dengan assets-in-place.

Perbedaan ini menjadi penting atau central dalam valuasi equity perusahaan (misalnya

Miller dan Modigliani, 1961), struktur keuangan perusahaan (Myers, 1977) dan

keputusan capital budgeting dan cost of capital perusahaan (Myers dan Turnbull, 1977;

Majd and Pindyck, 1987).

Kedua komponen ini didasarkan pada arus kas masa depan yang tidak pasti. Walaupun

demikian, tidak terdapat dasar untuk mengasumsikan bahwa keduanya memiliki resiko

yang sama. Dengan menggunakan pendekatan CAPM standar, cost of equity capital

untuk keputusan investasi real pada umumnya diambil dari beta saham. Secara teknis

dapat dikatakan ini adalah suatu kesalahan dan ini diakui oleh Myers and Turnbull

(1977). Beta untuk suatu proyek yang menambah assets-in-place secara logika harus

berkaitan dengan beta dari current assets-in-place.

Myers dan Turnbull (1977) mengembangkan lebih lanjut option ini untuk mengakui

bahwa resiko sistematis dari real options kemungkinan berbeda dari risiko sistematis

dari real asset perusahaan dan bahwa investor akan meminta expected rate of return

yang berbeda atas keduanya. Concern utama dari Myers dan Turnbull (1977) adalah

untuk menunjukkan bagaimana beta dari proyek spesifik akan bervariasi tergantung

kepada metode peramalan (forecasting) arus kas, usia asset dan pola arus kas yang

diharapkan. Mereka juga menunjukkan bahwa growth opportunities dapat dilihat secara

luas sebagai option to expand skala dan ruang lingkup dari current assets-in-place.

Karena suatu call option adalah pada umumnya lebih beresiko daripada underlying

asset yang di-write, Myers dan Turnbull (1977) berkesimpulan bahwa beta assets-in-

place kemungkinan lebih kecil daripada beta untuk growth opportunities (dan oleh

karena itu lebih rendah daripada weighted average dari kedua beta tersebut, yang

merupakan equity beta). Dari sini, mereka berkesimpulan bahwa:

“…..the systematic risk of the firm’s stock is an over-estimate of the beta for tangible

assets, and the rate of return derived from observed common stock ‘s will be an

www.futurumcorfinan.com

Page 9

overestimate of the appropriate hurdle rate for capital investment whenever firms have

valuable growth options” (p. 332).

Namun demikian, mereka tidak mengembangkan pemikiran lebih lanjut dan hanya

berkesimpulan bahwa “the practical and theoretical difficulties created by this

phenomenon are obvious” (p. 332).

Kester (1984) menunjukkan suatu metode yang praktis untuk memisahkan nilai equity

(atau harga saham) ke dalam nilai assets-in-place dan growth opportunities.

Pengembangan lebih lanjut dari model ini tampak dalam buku Principles of Corporate

Finance (Brealey dan Myers). Nilai dari harga satu saham perusahaan Ps dan nilai

saham yang berasal dari assets-in-place (Pa) diperoleh dari formula:

Pa = EPS/Ks

Earnings-per-share (EPS) dinilai dalam konteks perpetuity di mana diasumsikan

menghasilkan nilai assets-in-place perusahaan. Arus kas ini didiskonto pada tingkat Ks

yang dihitung dengan menggunakan CAPM (menggunakan equity beta perusahaan).

Pendekatan ini tentu saja mengabaikan pemikiran dari Myers and Turnbull di mana

equity beta perusahaan tidak tepat digunakan untuk tujuan ini.

Komponen nilai equity (atau nilai saham) perusahaan yang berasal dari growth

opportunities, Pg, dihitung dari :

Pg = Ps – Pa

Baik Kester dan Brealey and Myers menggunakan model untuk menunjukkan growth

opportunities yang membentuk bagian terbesar (seringkali di atas 50%) dari sebagian

besar nilai saham perusahaan-perusahaan.

Danbolt, Hirst dan Jones (2002) mencoba menggunakan model Kester dan Brealey dan

Myers di atas terhadap sample 278 perusahaan besar di Inggris untuk tahun 1987 –

1995 dan mendapatkan bahwa pengujian atas model tersebut memberikan keraguan

terhadap kredibilitas hasil yang diperoleh dan validitas dari model.

Miles (1986) mencoba menguji dampak dari growth options terhadap beta perusahaan.

Dengan menggunakan teori CAPM dan Black-Scholes option theory, Miles membangun

www.futurumcorfinan.com

Page 10

model teoritis yang mengkaitkan beta saham dengan beta assets-in-place. Namun

Miles tidak mencoba menerapkan model tersebut terhadap data-data aktual

perusahaan. Memang didapatkan bahwa akan sulit untuk menguji model tersebut

karena model tersebut memerlukan nilai numerik untuk elastisitas ekspektasi dan

variabel-variabel lainnya yang tidak dapat diamati secara langsung. Angka-angka yang

digunakan dalam tabel mereka hanya menunjukkan hubungan antara kedua beta secara

ilustratif daripada secara empiris.

Paper oleh Ben-Horim dan Callen (1989) merekomendasikan penggunaan Tobin’s q

untuk mengestimasi future growth opportunities. Mereka menggunakan dividend

discount model terhadap perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang besar. Namun

demikian, Ben-Horim dan Callen tidak menggunakan asset-pricing model dan hanya

mengukur cost of equity capital yang didefinisikan sebagai return saham yang

diharapkan oleh investor.

Paper Pindyck (1988) mewakili sejumlah paper yang menawarkan solusi matematika

terhadap model spesifik dari perusahaan. Model Pyndick mencakup fungsi permintaan

stochastic untuk produt perusahaan dan juga fungsi biaya. Khusus pernyataannya :

”Thus an implication of the model is that for many firms, the fraction of market value

attributable to the value of capital in place should be one-half or less” (p.979).

Walaupun model Pindyck (1988) dapat menjelaskan bahwa real asset perusahaan

diidentifikasi sebagai kapasitas perusahaan dan real options adalah options untuk

menambah “more units of capacity” di masa depan, paper Pindyck sebagian besar

bersifat teoritis dan dan memberikan dukungan empiris yang nyata hanya pada satu

variable dalam modelnya, yaitu product price volatility.

Chung dan Charoenwong (1991) memeriksa dampak dari growth opportunities

perusahaan terhadap resiko tertentu dengan menggunakan Black-Scholes option-pricing

model. Kedua penulis ingin menunjukkan hubungan umum, walaupun model mereka

dapat digunakan pada tingkat perusahaan individu. Sekalipun demikian, Chung dan

Charoenwong menggunakan nilai buku equity untuk mengukur proporsi equity sebagai

cerminan assets-in-place. Ini adalah simplifikasi yang mempunyai masalah. Jika nilai

www.futurumcorfinan.com

Page 11

perusahaan sebagian terdiri dari net-present-value (NPV) dari proyek-proyek masa

depan, akan sangat beralasan untuk mengasumsikan bahwa proyek saat ini juga

mempunyai NPV yang positif dan nilai pasar akan melebihi nilai bukunya.

Hubungan teoritis antara Growth Options dan Beta

Kaitan antara beta perusahaan dengan growth opportunitiesnya telah banyak ditemukan

di literature-literatur akademik. Beberapanya adalah sebagai berikut:

Carlson, Fisher dan Giammarino (selanjutnya disebut CFG; 2004, 2006)

memperlihatkan bahwa growth opportunities memiliki leverage secara implicit dan oleh

karena itu, beta growth opportunities akan lebih besar daripada beta assets-in-place.

Dalam bagian ini, kami menyajikan versi yang disederhanakan dan dimodifikasi sedikit

dari hasil yang telah dibuktikan oleh CFG.

Bayangkan adalah perusahaan dengan assets-in-place dengan market value pada

waktu t, denoted At, yang mengikuti proses difusi

di mana

μ adalah expected growth rate of return dari assets-in-place

σ adalah return volatility

zt adalah standard Wiener process

Perusahaan juga mempunyai growth opportunities yang memungkinkan ia menduplikasi

arus kas dari assets-in-place untuk investasi X. Dengan kata lain, perusahaan

mempunyai option atas assets-in-place. Misalkan Ct menunjukkan nilai growth

opportunities dari perusahaan pada waktu t. Diasumsikan opportunity investasi dapat

dilakukan pada waktu tertentu t+T dan bahwa resiko assets-in-place perusahaan diwakili

oleh returns on tradeable asset, maka nilai growth opportunities dalam pasar yang

frictionless sebagaimana diberikan oleh formula Black-Scholes adalah :

www.futurumcorfinan.com

Page 12

Black-Scholes model berlaku untuk European options tetapi dalam hal ini, perusahaan

dapat memilih kapan memutuskan untuk melaksanakan suatu proyek. Timing options ini

merupakan bagian yang penting dari real options. Analisa teoritis dari CFG

www.futurumcorfinan.com

Page 13

memperlihatkan bahwa hubungan antara growth options dan resiko memungkinkan

penerapannya dalam memasukkan timing decision.

Data untuk menghitung nilai growth opportunities (call option atas underlying assets-in-

place) diambil dari laporan keuangan perusahaan, di mana data yang tersedia adalah

nilai asset, nilai hutang dan rata-rata tertimbang jangka waktu hutang. Suku bunga

bebas resiko (risk-free rate) digunakan data JIBOR (Jakarta Inter-Bank Offered Rate).

Implied volatilitas diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan metode iterasi dari

Newton-Rhapson. Metode ini sudah digunakan oleh Manester dan Koehler (1982) dan

Cuthberson dan Nitsche (2001) di mana harga awal dari standar deviasi adalah :

Hasil perhitungan standar deviasi awal di atas kemudian dilanjutkan dengan proses

iterasi dengan persamaan :

Iterasi ini dilakukan berulang-ulang sampai didapat harga standar deviasi σ yang stabil.

Namun pekerjaan ini dengan mudah diselesaikan dengan menggunakan tools Solver

dari software Excel.

Misalkan menunjukkan beta assets-in-place pada waktu t dan demikian juga

menunjukkan beta growth opportunities perusahaan pada waktu t sehingga dapat

ditunjukkan hubungannya :

www.futurumcorfinan.com

Page 14

Juga diketahui bahwa dGt/dAt = N(d1) sehingga dihasilkan . Intuisi ini

sederhana : growth opportunities perusahaan adalah opsi atas assets-in-place dan

karena option ini mempunyai leverage secara implisit maka beta growth opportunities

lebih besar daripada beta assets-in-place.

Berk, Green dan Naik (2004) menunjukkan bahwa dalam konteks penilaian new

ventures, keputusan untuk melanjutkan suatu proyek seringkali tergantung pada hasil

dari systematic uncertainty. Compound option atas systematic uncertainty ini

memberikan leverage secara implisit atas growth opportunities sehingga dengan

demikian, ia memberikan resiko sistematis yang lebih tinggi daripada underlying assets-

in-place. Mekanisme teoritis yang berbeda diajukan oleh Berk, Green dan Naik (1999) di

mana mereka berargumentasi bahwa dengan expected cash flows yang konstan,

perusahaan – perusahaan cenderung untuk menerima proyek-proyek dengan tingkat

resiko yang rendah dan menolak proyek-proyek dengan tingkat resiko tinggi. Dengan

demikian, assets-in-place cenderung memiliki tingkat resiko yang lebih rendah

dibandingkan dengan growth opportunities perusahaan.

Alasan alternative untuk perbedaan beta growth opportunities dan beta assets-in-place

juga dibicarakan oleh Campbell dan Mei (1993), dan Dechow, Sloan dan Soliman

(2004). Campbell dan Mei (1999) menunjukkan secara empiris bahwa beta sebagian

besar ditentukan atau berkaitan dengan common variation in expected returns. Karena

arus kas dari growth opportunities cenderung datang dari periode yang lebih jauh ke

masa depan dari pada arus kas yang dihasilkan oleh assets-in-place, Dechow, Sloan

dan Soliman (2004) berargumentasi bahwa dampak dari common variation in expected

returns lebih besar untuk perusahaan-perusahaan dengan growth opportunities yang

lebih tinggi. Dengan demikian, kenaikan tingkat bunga, misalnya, tidak hanya

mengakibatkan jatuhnya nilai portofolio pasar, tapi juga mungkin mengakibatkan nilai

growth opportunities turun lebih besar daripada penurunan nilai assets-in-place, yang

berimplikasi covariation yang lebih tinggi antara market returns dan assets dengan

durasi yang lebih panjang (sehingga memiliki beta yang lebih tinggi). Dengan

menggunakan alur berpikir yang sama, Cornell (1999) memberikan argumentasi bahwa

beta perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri farmasi misalnya Amgen akan

www.futurumcorfinan.com

Page 15

terlalu besar untuk dapat dijelaskan oleh resiko sistematis yang ada pada arus kas

mereka.

Dalam kerangka empiris yang dijelaskan di bawah ini, kami tidak memperdulikan

sumber perbedaan antara beta growth opportunities dan beta assets-in-place. Implikasi

dari pengetahuan bahwa βG> βA for capital budgeting pada suatu perusahaan,

misalnya Amgen, adalah bahwa resiko sistematis suatu proyek R&D lebih besar pada

awal-awal dari life-cyle-nya. Tujuan kami adalah untuk menunjukkan dukungan

kuantitatif terhadap hipotesa ini dan memberikan petunjuk praktis untuk memilih tingkat

diskonto.

Kerangka pemikiran

Dekomposisi Growth Options atas Beta

Untuk mengkuantifikasi dampak growth opportunities perusahaan atas asset beta

perusahaan, pertama-tama dilakukan pemisahan/dekomposisi nilai perusahaan i pada

waktu t ke dalam dua komponen, value of assets-in-place, Ai,t, dan nilai sekarang dari

growth opportunities, Gi,t :

Vi,t = Ai,t + Gi,t

Asset beta perusahaan adalah weighted-average dari beta assets-in-place dan beta

growth opportunities:

Untuk mengoperasionalkan dekomposisi ini, perlu dibuat dua asumsi penting.

Pertama, kami mengasumsikan bahwa rasio nilai assets-in-place terhadap total nilai

perusahaan, Ai,t/ Vi,t, adalah diwakili oleh rasio (nilai buku utang jangka panjang

ditambah nilai buku common equity) terhadap (nilai buku utang jangka panjang

ditambah market value equity) perusahaan i pada waktu t.

www.futurumcorfinan.com

Page 16

Kedua, untuk memisahkan beta assets-in-place dengan beta growth opportunities, kami

mengasumsikan bahwa beta-beta ini adalah sama untuk semua perusahaan dalam

industri yang sama pada waktu kapanpun. Asumsi ini berimplikasi bahwa variasi dari

beta perusahaan dalam suatu industri pada waktu kapanpun ditentukan oleh variasi

proporsi nilai assets-in-place terhadap total nilai perusahaan. Dengan demikian,

dimungkinkan bahwa beta assets-in-place dan growth opportunities dalam suatu industri

berbeda-beda sepanjang waktu tetapi kami mengasumsikan bahwa beta-beta ini tidak

berbeda-beda antar perusahaan dalam suatu industri pada waktu tertentu. Walaupun

terdapat alasan yang baik untuk meyakini bahwa terhadap variasi beta assets-in-place

dan growth opportunites dalam industri (misalnya perusahaan-perusahaan dalam suatu

industri mungkin saja dalam tahap-tahap yang berbeda dalam life-cycle mereka), kami

memperkirakan bahwa variasi ini relatif kecil sehingga biaya yang timbul dari asumsi ini

kecil dibandingkan manfaat yang diperoleh dengan mengurangi estimation error melalui

penggunaan rata-rata. Pengelompokkan industri mengikuti klasifikasi industri yang ada

di Bursa Efek Indonesia.

Dengan dua asumsi di atas, maka kami bisa memperoleh hubungan sebagai berikut:

untuk semua peruahaan i pada industri tertentu pada waktu t.

β i,t adalah unlevered beta perusahaan yang diperoleh dengan :

(i) menghitung equity beta perusahaan berdasarkan market model satu faktor

dengan lima tahun window period (minimum tiga tahun kalau data tidak

memadai) dan dimuktahirkan secara tahunan; dan

(ii) unlevering equity beta menggunakan formula :

www.futurumcorfinan.com

Page 17

di mana

adalah equity beta perusahaan i pada waktu t

Tc adalah rata-rata tarif pajak perusahaan

Di,t/Ei,t adalah rasio hutang jangka panjang terhadap nilai pasar ekuitas perusahaan

untuk perusahaan i pada waktu t.

Salah satu cara untuk mengestimasi dan dilakukan dengan regresi

cross-sectional untuk menentukan intercept dan slope dari persamaan ini :

Di mana Єi,t adalah measurement error dalam estimasi β i,t. Namun demikian, kami tidak

melakukan regresi ini. Hal ini karena regressor yang kami pakai yaitu Ai,t/ Vi,t diwakili oleh

book-to-market ratio yang merupakan ukuran yang noise dari nilai assets-in-place

terhadap total nilai perusahaan.

Perumusan Hipotesis

Untuk semua periode dan semua industri, perusahaan-perusahaan dengan growth

opportunities di atas rata-rata (sebagaimana ditunjukkan oleh rasio market-to-book yang

tinggi) mempunyai unlevered beta perusahaan yang lebih tinggi daripada perusahaan-

perusahaan dengan growth opportunities yang di bawah rata-rata (rasio market-to-book

yang rendah). Atau dengan kata lain, secara empiris, dapat ditunjukkan bahwa beta

growth opportunities lebih besar daripada beta assets-in-place.

.

Untuk semua periode dan semua industri, beta growth opportunities lebih besar

daripada beta assets-in-place.

www.futurumcorfinan.com

Page 18

Metodologi penelitian

Dari hasil penelitian empiris akan dihasilkan tiga tabel yaitu:

1.Tabel rata-rata beta perusahaan

Untuk menghitung rata-rata beta perusahaan per industri, langkah-langkah yang

dilakukan adalah:

1. Equity beta dari market model satu faktor yang dihitung secara rolling basis

menggunakan data lima tahun terakhir dan kemudian di-unlevered

menggunakan leverage ratio perusahaan.

2. Pada akhir setiap tahun, perusahaan-perusahaan pada setiap industri disortasi

berdasarkan market-to-book ratio mereka (dihitung rasio market equity dan

hutang terhadap book equity dan hutang).

3. Kemudian dihitung rata-rata unlevered beta secara keseluruhan (Q2), unlevered

beta untuk rata-rata 25th percentile market-to-book (Q1) dan 75th percentile

market-to-book (Q3) pada setiap industri

Rata-rata beta dihitung untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998

– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006).

Periode sesudah 1997 dipilih dengan alasan untuk menghindari beta perusahaan yang

berubah akibat krisis moneter. Dalam hal ini diutamakan stabilitas beta perusahaan

(catatan : untuk ini diperlukan penelitian apakah memang beta perusahaan berubah

secara signifikan sebelum, selama dan sesudah krisis moneter 1997).

Tabel ini untuk menguji secara empiris atas hipotesa I bahwa :

Untuk semua periode dan semua industri, perusahaan-perusahaan dengan growth

opportunities di atas rata-rata (sebagaimana ditunjukkan oleh rasio market-to-book yang

tinggi) mempunyai unlevered beta perusahaan yang lebih tinggi daripada perusahaan-

perusahaan dengan growth opportunities yang di bawah rata-rata (rasio market-to-book

yang rendah). Atau dengan kata lain, secara empiris, dapat ditunjukkan bahwa beta

growth opportunities lebih besar daripada beta assets-in-place (lihat Tabel 2).

www.futurumcorfinan.com

Page 19

Apabila hipotesa ini dapat dibuktikan secara empiris maka, implikasinya terhadap capital

budgeting, beta growth opportunities menjadi penting karena akan berdampak pada

perhitungan cost of capital (catatan : dalam penelitian empiris ini, tidak dipertimbangkan

permasalah penentuan market equity risk premium, atau dengan kata lain, market equity

risk premium diasumsikan given).

Hasil penelitian empiris akan dibandingkan apakah konsisten dengan temuan empiris

dalam penelitian yang dilakukan oleh Carlson, Fisher dan Giammarino (2004) dan Fama

dan French (2002). Fama dan French (2002) menemukan adanya korelasi cross-

sectional yang lemah antara equity beta dengan equity book-to-market ratio. Perlu

dicatat terdapat dua perbedaan antara penelitian empiris ini dengan penelitian yang

dilakukan oleh Fama dan French, di mana

(a) Fama dan French menguji kaitan antara equity beta dengan equity book-to-

market ratio sedangkan kami menguji kaitan antara unlevered beta dan rasio

book-to-market perusahaan. Unlevering akan menghasilkan hubungan negatif

yang lebih kuat antara unlevered beta dan rasio book-to-market perusahaan

karena market leverage dan book-to-market berkorelasi secara negative.

(b) Fama dan French menguji korelasi antara equity beta dengan ratio equity book-

to-market tanpa mengendalikan industrinya, sedangkan penelitian empiris ini

disortasi berdasarkan industri. Kami menghitung korelasi cross-sectional antara

asset beta perusahaan dan rasio book-to-market perusahaan yang disortasi

berdasarkan industri setiap tahun.

2.Tabel rata-rata asset dan growth beta dan perbedaannya

Tahap selanjutnya, dihitung rata-rata asset dan growth beta (dan perbedaan di antara

keduanya) untuk seluruh industri. Beta ini dihitung dengan cara:

Rata-rata asset dan growth beta dihitung setiap tahun dari beta perusahaan di atas dan

market-to-book ratio perusahaan dengan menggunakan persamaan Black-Scholes

option pricing.

www.futurumcorfinan.com

Page 20

Rata-rata ini disajikan untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998

– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006). Perbedaan yang timbul

antara asset beta dengan growth beta akan diuji secara statistik untuk menentukan

apakah secara statistik signifikan pada level 95%.

Tabel ini untuk menguji secara empiris atas hipotesa I bahwa :

Untuk semua periode dan semua industri, beta growth opportunities lebih besar

daripada beta assets-in-place.

3.Tabel operating leverage dengan asset growth beta

Sesudah itu, juga akan dihitung perbedaan asset beta dengan growth beta untuk

seluruh industri dikaitkan dengan operating leverage. Operating leverage diwakilkan

dengan net margin yang dihitung sebagai :

Net margin = EBITDA dibagi Net Sales

Rata-rata asset dan growth beta dihitung setiap tahun dari beta perusahaan di atas dan

market-to-book ratio perusahaan dengan menggunakan persamaan Black-Scholes

option pricing.

Perbedaan yang ada akan dipisahkan antara perusahaan-perusahaan pada industri

yang sama dengan operating leverage yang tinggi dan rendah.

Rata-rata ini disajikan untuk tiga periode : lima tahun (2002-2006), sepuluh tahun (1998

– 2006), dan seluruh periode pengamatan (1998 – 2006).

Tabel III dilakukan untuk memastikan bahwa perbedaan antara perusahaan-perusahaan

dengan growth opportunities yang tinggi dan rendah bukan merupakan perwujudan dari

perbedaan dalam operating leverage (lihat robustness check bagian (3) di bawah).

www.futurumcorfinan.com

Page 21

Robustness check

Sebagaimana diutarakan di atas, kami menggunakan rasio book-to-market sebagai

proxy untuk rasio nilai assets-in-place terhadap nilai perusahaan Ai,t/ Vi,t. Kami juga

menggunakan proxy yang lain untuk nilai assets-in-place. Misalnya, kami

mengasumsikan bahwa assets-in-place menghasilkan tingkat arus kas yang perpetual

sehingga nilai assets-in-place adalah Ai,t = Ci,t / ri di mana Ci,t adalah arus kas perusahaan

i pada waktu t dan ri adalah tingkat diskonto perusahaan. Di samping arus kas, kami

juga menggunakan earnings dalam pembilang. Kami juga mempertimbangkan

kemungkinan bahwa nilai assets-in-place bisa melebihi total nilai perusahaan sehingga

nilai growth opportunities adalah negatif. Kemungkinan ini adalah beralasan jika,

misalnya, arus kas perusahaan diharapkan turun sepanjang waktu (contohnya,

perusahaan – perusahaan pada sunset industri, seperti rokok); namun demikian,

kemungkinan ini tidak beralasan jika growth opportunities menggambarkan option to

expand di mana lower level nilai growth opportunities adalah nol. Dengan alasan ini

maka kami melakukan analisa tanpa harus memeriksa apakah nilai growth opportunities

bisa negatif.

Karena rasio book-to-market dan proxi-proxi lain yang digunakan, adalah noisy measure

dari Ai,t/ Vi,t, masalah errors-in-variables menjadi penting karena dapat mengakibatkan

downward bias pada slope koefisien dalam regresi. Untuk memastikan apakah hal ini

terjadi maka kami akan melakukan dua robustness check:

1) Kami akan mengulang penelitian kami dengan tingkat agregasi yang lebih tinggi

di mana 2, 4 dan 8 portofolio akan dibuat dengna menggunakan semua

perusahaan yang ada di setiap industri. Kami akan menjalankan regresi atas

persamaan Black-Scholes option pricing untuk latihan ini dan menghitung slope

koeffisien (perbedaan antara beta asset dan growth opportunities) dan melihat

apakah perbedaan tersebut akan signifikan secara statistik antara rata-rata slope

koeffisien antara dua portofolio, 4 portofolio, 8 portofolio dan seluruh perusahaan

untuk semua industri dan tahun dalam sample period.

2) Kami akan menggunakan instrumental variables (IV) regression. Pendekatan

standar untuk mengatasi kesalahan pengukuran adalah mencari instrumental

variables di mana kesalahan pengukurannya tidak memiliki korelasi dnegan

www.futurumcorfinan.com

Page 22

kesalahan pengukuran dalam proxy yang digunakan (book-to-market). Slope

koeffisien dari regresi IV adalah estimator konsisten untuk true slope dan

membantu dalam mengelimasi bias pelemahan (attenuation bias). Kesulitannya,

tentu saja, dalam memilih instrumen yang tepat. Kami bereksperimen dengan

tiga instrumen yang berbeda, yaitu earnings-to-price (E/P), cash flow-to-price

ratio (CF/P) dan dividend yield (D/P). Untuk setiap instrumen, kami menjalankan

standard OLS regression dan IV regression untuk setiap tahun dan setiap

industri (menggunakan semua perusahaan dalam setiap industri). Kami

melakukan test spesifikasi Hausman untuk masing-masing regresi untuk menguji

hipotesa null bahwa kesalahan regresi tidak berkorelasi dengan regressor.

3) Sebagian besar buku-buku teks keuangan menganjurkan bahwa pada saat

memilih perusahaan-perusahaan comparables untuk mengestimasi beta proyek,

manajer sebaiknya menggunakan perusahaan-perusahaan dengan operating

leverage yang sama (misalnya Brealey dan Myers, 2003). Karena operating

leverage dan rasio market-to-book berkorelasi, maka dapat diperkirakan bahwa

perbedaan antara perusahaan dengan growth opportunities yang tinggi dan

rendah merupakan perwujudan perbedaan dalam operating leverage. Untuk

menguji ini, kami melakukan sortasi dua kali secara independen dalam suatu

industri ke dalam rasio market-to-book yang tinggi dan rendah dan operating

leverage yang tinggi dan rendah. Operating leverage tidak dapat diukur secara

langsung, tetapi beralasan untuk diwakili dengan net margins sebagai rasio

EBITDA/Net Sales. Kami menghitung beta assets-in-place dan growth

opportunities menggunakan persamaan Black-Scholes option pricing secara

terpisah untuk perusahaan-perusahaan dengan operating leverage tinggi dan

rendah. Perbedaan ini disajikan di Tabel III.

~~~~~~ ####### ~~~~~~

www.futurumcorfinan.com

Page 23

Daftar Bacaan

Ang, A. and J. Liu, 2004, “How to Discount Cashflows with Time-Varying Expected

Returns,” Journal of Finance 59, 2745-2783.

Ben-Horim, M., and Callen, J.L., (1989), ‘The Cost of Capital, Macaulay's Duration, and

Tobin's q’, Journal of Financial Research, Vol. XII, No. 2, Summer, pp. 143-156.

Berk, J., R. Green, and V. Naik, 1999, “Optimal Investment, Growth Options and

Security Returns,” Journal of Finance 54 , 1553-1608.

Berk, J., R. Green, and V. Naik, 2004, “Valuation and Return Dynamics of New

Ventures,” Review of Financial Studies 17, 1-35.

Brealey, R.A. and S.C. Myers, 2003, Principles of Corporate Finance, New York, NY,

McGraw-Hill Irwin.

Brennan, M.J. and Y. Xia, 2006, “Risk and Valuation under an Intertemporal Capital

Asset Pricing Model,” Journal of Business 79, 1-35.

Campbell, J.Y. and J. Mei, 1993, “Where do Betas Come From? Asset Price Dynamics

and the Sources of Systematic Risk,” Review of Financial Studies 6, 567-592.

Carlson, M., A. Fisher, and R. Giammarino, 2004, “Corporate Investment and Asset

Price Dynamics: Implications for the Cross-section of Returns,” Journal of Finance

59, 2577-2603.

Carlson, M., A. Fisher, and R. Giammarino, 2006, “Corporate Investment and Asset

Price Dynamics: Implications for SEO Event Studies and Long-Run Performance,"

Journal of Finance 61, 1009-1034.

Chung, K.H., and Charoenwong, C., (1991), ‘Investment Options, Assets in Place, and

the Risk of Stocks’, Financial Management, Vol. 20, No. 3, Autumn, pp. 21-33.

Cornell, B., 1999, “Risk, Duration, and Capital Budgeting: New Evidence on Some Old

Questions,” Journal of Business 72, 183-200.

Danbolt, J., Hirst, I., and Jones, E., (2002), ‘Measuring Growth Opportunities’, Applied

Financial Economics, Vol. 12, No. 3, pp. 203-212.

Dechow, P.M., R.G. Sloan, and M.T. Soliman, 2004, “Implied Equity Duration: A New

Measure of Equity Risk,” Review of Accounting Studies 9, 197-228.

Fama, E.F. and K.R. French, 1992, “The Cross-Section of Expected Stock Returns,”

Journal of Finance 47, 427-465.

Fama, E.F. and K.R. French, 1997, “Industry Costs of Equity,” Journal of Financial

Economics 43, 153-193.

www.futurumcorfinan.com

Page 24

Graham, J.R. and C.R. Harvey, 2001, “The Theory and Practice of Corporate Finance:

Evidence from the Field,” Journal of Financial Economics 60, 187-243.

Jagannathan, R. and I. Meier, 2002, “Do We Need CAPM for Capital Budgeting?”

Financial Management 31, 55-77.

Kaplan, P.D. and J.D. Peterson, 1998, “Full-information Industry Betas,” Financial

Management 27, 85-94.

Kester, W.C., (1984), ‘Today's Options for Tomorrow's Growth’, Harvard Business

Review, March/April, pp. 153-160.

Miles, J.A., (1986), ‘Growth Options and the Real Determinants of Systematic Risk’,

Journal of Business Finance and Accounting, Vol. 13, No. 1, Spring, pp. 95-115.

Letta, M. and J.A. Wachter, 2005, “Why is Long-horizon Equity Less Risky? A Duration-

based Explanation of the Value Premium,” Journal of Finance.

Miller, M.H., and Modigliani, F., (1961). ‘Dividend Policy, Growth and the Valuation of

Shares’, Journal of Business, 34, October, 411-433.

Myers, S.C., and Turnbull, S.M., (1977), ‘Capital Budgeting and the Capital Asset Pricing

Model: Good News and Bad News’, Journal of Finance, Vol. XXXII, No. 2, May,

pp. 321-332.

Pindyck, R.S., (1988), ‘Irreversible Investment, Capacity Choice, and the Value of the

Firm’, American Economic Review, Vol. 78, December, pp. 969-985.

www.futurumcorfinan.com

Page 25

Disclaimer

This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as

of the date of writing and are subject to change. The information and analysis contained

in this publication have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable

but FUTURUM does not make any representation as to their accuracy or completeness

and does not accept liability for any loss arising from the use hereof. This material has

been prepared for general informational purposes only and is not intended to be relied

upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors for

specific advice.

This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written

permission of the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post

it at www.futurumcorfinan.com

© FUTURUM. All Rights Reserved