Anak

14
Sedini Apakah ‘Dini’ Itu? OPINI | 22 September 2014 | 21:40 Dibaca: 144 Komentar: 1 1 Angger anak saya berusia tiga tahun setengah. Tahukah Anda apa yang ditanyakan orang-orang padanya? Setelah menanyakan nama, umur, 90% orang bertanya padanya apakah dia sudah sekolah! Luar biasa. Saya juga baru menyadari bahwa itu pertanyaan standar untuk anak-anak balita seperti ‘apa kabar?’ untuk orang dewasa. Untuk pertanyaan, “Sudah sekolah,” Angger selalu menjawab “Belum” tanpa rasa bersalah. Ibunya yang merasa bersalah karena kadang-kadang si penanya menatap saya curiga seolah mengatakan ‘ya ampun anak segini kok belum disekolahkan! Benar-benar melanggar hak anak atas pendidikan’. Kecurigaan saya beralasan karena kadang si penanya langsung menyarankan, “Ikutkan PAUD ini atau Playgroup itu.” Sebetulnya, saya maklum dengan pertanyaan ‘basa-basi’ macam itu. Habis apa yang mesti ditanyakan pada balita atau anak-anak pada umumnya? Hei, berapa harga mobil barumu? Dini Tempo hari saya menulis soal kapan sebaiknya anak mulai belajar bahasa Inggris formal. Tentu saja ada pro-kontra setelahnya. Hal yang biasa. Kalau sudah membicarakan pendidikan, pro kontra itu wajib hukumnya. Seorang teman mengaku stress ketika menyuruh anaknya yang berusia empat tahun belajar piano. Si anak angot-angotan. Sekali waktu bersemangat, lain waktu mogok total. Padahal guru sudah datang dan harus dibayar –mahal!–. Teman lain yang anaknya juga belajar piano di usia empat tahun mengaku punya kendala. Jari-jari si anak masih kurang ‘panjang’ sehingga kurang lincah berpindah ke sana ke mari dan si anak jadi stress sendiri.

description

anak

Transcript of Anak

Page 1: Anak

Sedini Apakah ‘Dini’ Itu?OPINI | 22 September 2014 | 21:40 Dibaca: 144   Komentar: 1   1

Angger anak saya berusia tiga tahun setengah. Tahukah Anda apa yang ditanyakan orang-orang padanya?

Setelah menanyakan nama, umur, 90% orang bertanya padanya apakah dia sudah sekolah! Luar biasa. Saya juga baru menyadari bahwa itu pertanyaan standar untuk anak-anak balita seperti ‘apa kabar?’ untuk orang dewasa.

Untuk pertanyaan, “Sudah sekolah,” Angger selalu menjawab “Belum” tanpa rasa bersalah. Ibunya yang merasa bersalah karena kadang-kadang si penanya menatap saya curiga seolah mengatakan ‘ya ampun anak segini kok belum disekolahkan! Benar-benar melanggar hak anak atas pendidikan’.  Kecurigaan saya beralasan karena kadang si penanya langsung menyarankan, “Ikutkan PAUD ini atau Playgroup itu.” Sebetulnya, saya maklum dengan pertanyaan ‘basa-basi’ macam itu. Habis apa yang mesti ditanyakan pada balita atau anak-anak pada umumnya? Hei, berapa harga mobil barumu?

Dini

Tempo hari saya menulis soal kapan sebaiknya anak mulai belajar bahasa Inggris formal. Tentu saja ada pro-kontra setelahnya. Hal yang biasa. Kalau sudah membicarakan pendidikan, pro kontra itu wajib hukumnya.

Seorang teman mengaku stress  ketika menyuruh anaknya yang berusia empat tahun belajar piano. Si anak angot-angotan. Sekali waktu bersemangat, lain waktu mogok total. Padahal guru sudah datang dan harus dibayar –mahal!–.

Teman lain yang anaknya juga belajar piano di usia empat tahun mengaku punya kendala. Jari-jari si anak masih kurang ‘panjang’ sehingga kurang lincah berpindah ke sana ke mari dan si anak jadi stress sendiri.

Kalau begitu mengapa kita tidak menunggu? Untuk belajar piano misalnya, mengapa kita tidak menunggu sampai si anak katakanlah sepuluh tahun? Ya, sudah telatlah, anak lain sudah belajar sejak dalam kandungan!

Lomba

Aduh betapa kita kini sangat hobi berlomba. Dulu waktu saya kecil, rata-rata anak masuk TK (tanpa playgroup) pada usia lima tahun. Beberapa teman SD saya bahkan tak pernah masuk TK sama sekali. Lalu muncullah playgroup. Dan kini bahkan ada sekolah untuk bayi. Anak-anak mulai ‘bersekolah’ pada usia dua tahun. Saya mafhum sekali. Gabungan antara faktor kedua orang tua yang bekerja, gaya hidup, kampanye pendidikan dini hingga tekanan sosial membuat orang tua seolah harus berlomba bak atlet olimpiade, lebih cepat, lebih kuat, lebih tinggi, lebih dini.

Page 2: Anak

Ini tentu ditangkap oleh pelaku bisnis pendidikan sampai-sampai ada playgroup yang menerima murid dengan syara super ringan: asal sudah bisa jalan. Yang lain bahkan membuka sekolah kepribadian buat balita. Kepribadian!

Budaya Instan

Budaya instan membuat kita bersicepat dan serba tak sabar. Kalau bisa lebih cepat, itu lebih baik. Andai tak ada syarat usia untuk jadi presiden, pasti banyak orangtua yang memprogram anaknya menduduki jabatan itu secepat mungkin.

Kalau bisa pada usia tiga tahun anak sudah bisa baca, usia lima tahun sudah masuk SD, enam tahun harus sudah pernah tampil dalam konser, sepuluh tahun sudah bisa menerbitkan buku, sembilan belas tahun sudah lulus kuliah (SMA-nya ikut akselerasi). Sampai situ bingung deh, mau kerja kok masih unyu-unyu banget, mau menikah belum pantes. Akhirnya, karena masih ada duit kuliah S2 deh. Eh, begitu lulus S2 bingung lagi cari kerja, soalnya nggak mungkin S2 mau gaji rendah. Masalahnya, mau cari posisi yang gajinya tinggi susah karena nggak punya pengalaman.

Ah, tidak, tidak begitu. Ending cerita ini adalah: Pada usia dua puluh tahun dia sudah duduk sebagai eksekutif muda yang sukses atau selebritis terkenal dan orang tuanya tinggal kipas-kipas. Manis sekali.

Siapa yang tidak pengin punya anak hebat dan jenius dan mandiri dengan cepat. Siapa tidak pengin punya anak seperti Sugha Jung, gitaris remaja asal Korea yang sudah mendunia pada usia sangat muda? Atau Sherina? Yang waktu masih SD pun sudah punya album dan main film? Saya sih pengin.

Kalau begitu, mari kita mulai sejak dini. Eh, tapi masalahnya sedini apakah dini itu? Saya kadang menyaksikan anak yang nangis melolong saat ia masuk TK pertama kali. Belum juga ditinggal oleh ibunya, dia sudah nangis kejer, nggak mau masuk kelas.

Ah, nggak papa, nanti juga dia terbiasa. Nanti dia juga nggak nangis. Nanti malah dia suka sekolah. Masalahnya tidak semua anak menangis dan ketakutan saat masuk TK. Kenapa anak ini menangis? Kita tahu jawabannya. Dia belum siap. Dia ketakutan bertemu orang asing. Dia cemas berada di tempat asing. Dia tak mau berpisah dari ibunya.

Justru itu! Kita harus ‘didik’ dia agar berani. Agar tidak cengeng. Agar bisa ‘pisah’ dari ibunya. Begitulah pikiran kita. Terbayangkah si anak akan berpikir, “Mengapa aku ditinggalkan dengan orang asing? Mengapa ibu tega ninggalin aku?” Perasaan ditolak kadang justru lebih mendominasi di sini dan pada anak tertentu dapat menimbulkan trauma mendalam.

“Saya sekolahin anak saya biar mandiri!” Lah, anak tiga tahun kok disuruh mandiri. Dan mengapa pula kita merasa sekolahlah yang bisa memandirikan anak alih-alih orangtuanya sendiri? Mandiri itu jatah orang dewasa, bukan jatahnya anak-anak.

“Iya, kan tapi harus dilatih sejak dini.”

Page 3: Anak

Percayalah, anak punya insting buat mandiri yang sangat kuat. Meski nyaman digendong-gendong, dia dengan bersemangat belajar berjalan bukan? Meski lebih gampang disuapi, mereka kadang milih makan sendiri bukan? Meski jadinya kotor dan cemang-cemong?

Pada saatnya nanti, anak-anak kita akan memilih lepas dari orangtuanya.  Saat itulah mungkin berat bagi orangtua untuk melihat sisi gelap dari ‘kemandirian’. Anak-anak akan terbang dan meninggalkan orangtuanya kesepian.

Siap

Saya rasa kita setuju, belajar apa pun butuh kesiapan. Ada teori psikologi yang panjang dibalik alasan mengapa anak disarankan masuk ke dalam pendidikan formal pada usia tujuh tahun. TK dianggap bukan pendidikan formal, tapi toh sekarang banyak TK yang formal juga –yang mengharuskan anak duduk dalam jangka waktu lama, menghapal, dan membaca–. Ada alasan mengapa SD (negeri) sekarang mengharuskan anak berusia tujuh tahun untuk jadi peserta didik. Dan ada Anda harus berusia minimal tujuh belas tahun untuk mendapat SIM A atau ikut pemilu.

Saya sendiri berpendapat sebaiknya menunggu hingga anak berusia lima tahun untuk masuk TK. Biasanya anak usia segitu sudah lulus toilet training, artinya dia sudah bisa ke kamar mandi tanpa dicebokin guru –ngeri saya membayangkan anak kecil ke kamar mandi bersama orang asing meski itu gurunya. Pada usia lima tahun anak juga sudah bisa bicara dan menyatakan perasaannya. Ini penting apabila anak mengalami peristiwa tidak menyenangkan di sekolah, seperti bullying.

Seorang teman bercerita ia melihat anak-anak usia SMP yang mondok di suatu pesantren ternyata dengan mudah mengikuti jejak kakak-kakak kelasnya untuk merokok diam-diam. Yah, saya tidak menyalahkan gurunya. Mana mungkin si guru dapat mengawasi semua anak? Dan pada usia remaja, anak memang lebih suka meniru teman sebaya dibanding manut pada gurunya. Peer pressure terasa sangat kuat dan logika jangka panjang remaja memang belum matang.

Beberapa orangtua, saking penginnya si anak pinter, memaksa mereka untuk belajar apa pun ‘sejak dini’. Hasilnya, si anak stress, orang tuanya lebih stress lagi karena yang terpikir adalah, “Ya ampun, anakku ketinggalan dari anak lain. Kenapa anakku tidak bisa? Aduh, sudah bayar mahal nggak ada hasilnya.”

Semua ini saya rasa akan berkurang bila si anak siap. Beberapa anak siap membaca waktu berusia lima tahun, lainnya waktu berusia tujuh tahun, lainnya lagi dua belas tahun!

Sandra Dodd –pendidik dan praktisi homeschooling di Amerika—menulis bahwa tiga anaknya baru bisa membaca setelah berusia delapan tahun. Bahkan anak bungsunya baru bisa membaca setelah berusia dua belas tahun! Wuih, kalau Anda jadi orang tuanya apa nggak cemas tuh? Sandra  memilih tidak cemas karena melihat si anak ini bisa bercerita dengan runtut dan mudah menghapal. Benar saja, saat usia si anak dua belas tahun, tiba-tiba saja dia bisa membaca. Seolah dia bisa membaca dalam semalam. Begitu dia bisa membaca, dia langsung membaca novel-novel Judy Blume. Dia tidak mengalami kesulitan kosakata –yang kadang membuat stress anak yang belajar membaca di usia dini—karena kosakatanya sudah kaya sekali.

Page 4: Anak

Saya tidak menampik, ada anak yang ‘siap’ lebih cepat dibanding teman-teman sebayanya. Ada anak yang sudah lancar main biola saat berusia empat tahun. Anak lain sudah bisa main gitar klasik waktu TK. Anak-anak ini termasuk anak istimewa yang memang selalu ada pada tiap kelompok. Saya lupa berapa statistiknya, tapi kalau tidak salah lima persen anak ‘mendahului’ rekan-rekannya. Bagi mereka, tak ada istilah terlalu dini. Mereka sudah siap. Itu saja.

Saya termasuk anak yang cepat membaca. Saya bisa membaca waktu saya duduk di TK. Kelas satu SD sementara anak-anak lain belajar mengeja, saya sudah membaca buku. Saya sudah siap. Saya tak ingat ada paksaan dari orangtua untuk membaca. Saya membaca karena saya ingin. Saya tidak kebingungan membedakan ‘d’ dan ‘b’. Dan meski saya ingat ibu mengajari saya membaca, rasanya saya juga bisa membaca begitu saja. Tak butuh waktu lama.

Masalahnya bagaimana kita tahu anak kita siap? Masih menurut Sandra Dodd, Anda pasti tahu. Anda tahu kapan anak Anda siap berjalan, kapan dia siap makan sendiri, kapan dia sudah bisa naik perosotan. Jadi Anda pasti juga tahu kapan dia siap membaca.

Wah, sayang dong kalau anak tidak belajar sejak dini. Kan anak-anak itu kayak spons, cepat sekali menyerapnya. Buktinya lho, anak saya itu lagi dengar lagu sekali langsung bisa menirukan. Lengkap dan benar!

Tentu saja. Anak-anak mudah sekali mengingat bahwa yang catnya ‘merah putih’ itu pom bensin, bahwa Indomaret jualan ice cream, bahwa yang bisa terbang itu burung, bahwa setelah empat itu lima. Tapi coba saya Anda ajarkan pada anak tiga tahun bahwa yang kayak cacing itu adalah huruf ‘s’ dan kalau ‘s’ tambah ‘a’ bunyinya ‘sa’. Saya yakin 90% anak tidak akan mudeng apa yang sedang Anda omongkan. Karena itu semua tidak aktual baginya. Alam bawah sadar anak bekerja lebih kuat daripada logikanya. (Ngapain saya harus mengingat huruf ‘s’ dan ‘a’?).

Semua anak –bahkan semua orang—saya pikir pasti akan terdorong belajar tanpa dipaksa bila menyangkut dua hal ini: 1. Yang ia pelajari ia butuhkan. 2. Yang ia pelajari menyenangkan. Apakah ‘s’ dan ‘a’ dibutuhkan anak? Tidak. Menyenangkan? Apalagi.

Prodigy

Ananda Sukarlan –pianis kebanggaan Indonesia– belajar piano sejak lima tahun. Djaduk Ferianto –seniman multitalenta– mulai belajar gamelan pada saat ia berusia delapan tahun. Jubing Kristianto –gitaris kondang– juga mulai belajar gitar pada saat usianya delapan tahun. Tapi Ian Antono baru mulai belajar gitar pada saat ia berusia dua belas tahun! Tuwir sekali ya. Tapi toh ia jadi gitaris kondang.

Yang tidak selalu kita ingat adalah mereka semua belajar dari keluarga dan lingkungan terdekat. Ananda belajar piano pertama kali dari kakaknya. Djaduk tentu saja sudah sejak bayi dikelilingi bunyi gamelan berhubung bapaknya adalah maestro tari dan pemilik padepokan seni. Ayah ibu Jubing adalah pecinta seni. Ian Antono belajar gitar mengekor kakak-kakaknya yang sudah terlebih dahulu punya band.

Lah, bagaimana kalau saya pengin anak saya pintar main piano/ masak/ bahasa Inggris, sementara orangtuanya sama sekali tak menguasai bidang itu? Ada tiga jawaban:

Page 5: Anak

1. Berhentilah berharap. Anak butuh dukungan lingkungan.

2. Berpikirlah selalu ada keajaiban. Orangtua saya bukan penulis, tapi toh akhirnya saya jadi penulis.

3. Ikuti saran Charlotte Mason. Tugas orang tua adalah ‘menggelar jamuan’ bergizi dan se-bervariasi mungkin untuk anak-anak mereka.

Charlotte Mason adalah pendidik dari Inggris yang hidup pada tahun 1900an. Filosofinya tentang pendidikan masih banyak diikuti oleh pendidik-pendidik zaman sekarang. Salah satu poinnya tentang pendidikan adalah, gelarlah ‘jamuan’ bergizi dan bervariasi untuk anak-anak Anda setiap saat. Tentunya ini jamuan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan keahlian.

Ajak anak untuk mengunjugi museum, taman, kebun. Ajaklah ia menonton konser dan pameran seni. Ajak dia untuk bercakap-cakap dengan banyak orang. Bacakan buku-buku bermutu untuknya. Dan ini semua akan terserap di benak si anak serta membantunya memilih bidang apa yang ia sukai.

Mungkin kita tak bisa memaksa-maksa anak untuk belajar membaca pada usia empat tahun, tapi mungkin dia senang melihat gambar dan mendengar cerita. Sesekali ia akan bertanya, “Ini huruf apa?”Jawab saja tanpa berharap dia akan mengingatnya nanti, apalagi berharap dia bakal bisa membaca setelah itu. Tapi sungguh, saya pikir ia tengah bersiap-siap. Dan saat dia siap, tak ada lagi kata ‘terlalu dini’ atau ‘terlambat’. Yang ada hanyalah ‘ini saatnya’.

Disclaimer: Ini (lagi-lagi) sekadar opini. Yang mau menambahkan teori ilmiah, silakan.

Tags:

 

setuju, jangan memaksakan anak. tiap anak beda2 kok. yg penting biarkan mereka menikmati dunia anak2 tanpa tercemari hal2 negatif dari lingkungan (sinetron, kata2 kotor, kasar). dll.

nggung jawab agamanya, maka perjalanan hidup manusia terbagi dalam tiga periode : masa pra-latih (di bawah 7 tahun), masa pelatihan/tadrib (7 – 12 tahun), dan masa pembebanan/taklif (di atas 12 tahun).

Maka orangtua yang bijak adalah orangtua yang menempatkan sang anak pada tempatnya. Mereka tak akan membebani anak sebelum masanya. Dalam hal ini tak berlaku kaidah lebih cepat lebih baik.

Page 6: Anak

Hendaklah para orangtua takut akan datangnya Hari Pengadilan, di mana seorang anak mengadukan orangtuanya kepada Allah, karena mereka dipaksa latih sebelum waktunya, dan dibebani taklif syar’ie sebelum waktunya.

 Saat ini banyak para orangtua dengan semangat beragama menggebu-gebu ingin sesegera mungkin melekatkan identitas syar’iyyah kepada anak-anaknya. Padahal agama menetapkan bahwa pelatihan dan pembiasaan syari’ah dimulai pada usia 7 tahun.

 Contohnya : banyak orangtua yang telah menjilbabkan anak gadisnya pada usia yang masih sangat kecil, jauh sebelum 7 tahun, bahkan bayi. Maksudnya tentunya sangat baik, dalam rangka pembiasaan sejak dini. Begitu juga dengan orangtua yang menargetkan jumlah hafalan AlQur’an tertentu pada anak usia dini.

 

tulisan ini saya buat karena saya sedang menghadapi kasus siswa-siswa SMA yang dilaporkan orangtua mereka sebagai “tak lagi berkomitmen pada Islam”. Padahal waktu kecilnya mereka ditanamkan Al-Islam dengan baik dan ketat.

 

Dalam Islam, ada tiga periodisasi pendidikan yang diajarkan Rasulullah SAW, dan dibakukan oleh sejumlah ulama, seperti DR Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam kitab “Tarbiyatul Aulad”. Usia tadrib dimulai dari 7 tahun (“Ajarilah anakmu shalat saat dia telah berusia 7 tahun” => Hadits). Sedangkan usia taklif adalah saat aqil-baligh (agama menyebut mereka sebagai mukallaf).

 Kalau toh ada sejumlah ulama yang mengalami akselerasi, saya yakin itu bukan hasil drilling para orangtua mereka. Tapi atas kesadaran sendiri karena nilai-nilai cinta yang telah ditanamkan para orangtua. Lalu orangtua memandu anak yang atas cinta dan kesadaran sendiri ingin menghafal AlQur’an dsb.

 Jadi, walaupun kewajiban belajar calistung baru dimulai pada usia 7 tahun, tapi jika anak atas kemauan sendiri ingin belajar pada usia 5 tahun, ya silakan langsung dipandu. Jangan ditunda-tunda dengan alasan “belum waktunya”. Dan kunci dari “kesadaran sendiri” ini adalah KETELADANAN.

 Ketika Rasulullah SAW bersabda : “Ajarilah anak-anakmu shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun”

 Saat itu saya bertanya-tanya, kenapa Rasulullah SAW tidak berkata : “Ajarilah anak-anakmu shalat sedini mungkin” ???

 Ternyata masa 7 tahun itu adalah masa memulai sebuah proses tadrib syar’ie. Teori-teori psikologi sangat banyak bicara rentang usia 7 – 12 tahun ini. Ternyata, Allah dan RasuNya selalu benar. Maka sebagai ummatnya, kita ya nurut Rasulullah SAW aja lah…

 Tidak ada salahnya anak melatih dirinya sebelum itu, selama atas kesadarannya sendiri, hasil motivasi dan keteladanan dari kedua orangtuanya. Itulah yang disebut dalam psikologi sebagai Learning Readiness.

Page 7: Anak

 Tugas pendidikan sebelum 7 tahun adalah : TANAMKAN CINTA ATAS ALLAH. AL-ISLAM, RASULULLAH DAN ALQUR’AN, MELALUI MOTIVASI DAN KETELADANAN. Jika karena dorongan cinta itu akhirnya anak atas KEHENDAKNYA SENDIRI ingin mentadrib dirinya dengan syari’ah sebelum 7 tahun, maka tak dilarang membantu anak untuk melakukannya.

 Misalkan contoh tadi,  memaksakan berjilbab pada usia pra-latih itu nggak boleh, Tapi kalau anaknya sendiri yang kepengen, karena termotivasi atas keteladanan orangtuanya, ya silakan.Itu alhamdulillah banget.

 Sekali lagi, jangan sampai anak kita kelak di Mahkamah Allah mengcomplain kita, karena kita merampas hak-hak yang telah Allah berikan pada mereka..

 KENYANGKAN HAK ANAK PADA WAKTUNYA, MAKA IA AKAN MELAKSANAKAN KEWAJIBANNYA PADA WAKTUNYA.

 Lebih banyak orang tua yang “santai” namun bertanggung jawab dalam pendidikan agama anak-anaknya, ternyata menghasilkan anak-anak yang lebih komit pada agamanya, daripada analk-anak hasil drilling dan paksaan orangtua.

 

Jangan lupa : KEHIDUPAN BAGAIKAN LARI MARATHON, DAN AKHIR ITU LEBIH PENTING DARIPADA PERMULAAN.

 

Pendidikan dasar harus kuat landasan agamanya. Yang salah adalah kalau di sekolah agama tersebut anak-anak kurang mendapatkan sentuhan aqidah, tapi malah syari’ah dan akhlaq melulu. Walau yang utama adalah tanggung jawab pendidikan agama itu di rumah, bukan di sekolah.

 Allah menyatakan bahwa syariah itu taklif (beban), sesuatu yang anak nggak suka. Hanya aqidah lah yang membuat segala hal yang berat menjadi terasa ringan.

 

TAK AKAN ADA ANAK YANG MENCINTAI SHALAT. NAMUN JIKA DIA MENCINTAI ALLAH, MAKA DIA AKAN MENEGAKKAN SHALAT DENGAN PENUH KECINTAAN.

 

Landasan dari semua amal shaleh adalah iman/aqidah. Iman itu yang akan melahirkan kecintaan pada alhaq dan kebencian pada albathil. Rasulullah sendiri membangun iman selama 13 tahun di Makkah, baru menegakkan sebagian besar syari’ah di Madinah.

 Maka, kunci utama pendidikan aanak adalah keimanan. Inilah yang harus ditekankan pada pendidikan usia dini.

Page 8: Anak

 MISI PENDIDIKAN ANAK KITA ADALAH MEMBENTUK MUSLIM KAAFFAH, BUKAN MEMBENTUK MUSLIM SPESIALIS AGAMA.

 Ada anak dari kecil sudah dipesantrekan, sudah hafidz qur’an. Tapi menginjak dewasa malah kabur dari pesantren. Ada dua penyebabnya :

 Pertama, iman dan keridhaan atas Allah sebagai rabb, Islam sebagai AdDiin, Muhammad sebagai Rasul tidak lagi menjadi landasan pendidikan agama anak-anak kita. Segalanya dibentuk paksa.

 Kedua, segalanya dilakukan tidak pada waktunya. Ada semangat keislaman yang menggebu-gebu, tapi tanpa ilmu.

 ANAK-ANAK YANG DIPESANTRENKAN, MAKA DO’A ANAK TAK AKAN SAMPAI PADA ORANGTUANYA, KARENA BUKAN ORANGTUA MEREKA YANG MENDIDIK MEREKA DIWAKTU KECIL.

 

Pesantrenkanlah anak setelah mereka aqil-baligh. Karena  tujuan dari pendidikan adalah imunisasi, bukan sterilisasi. Yang kita inginkan adalah anak yang imun : anak yang kebel dari penyakit, walau disekitarnya banyak penyakit.

 

Anak yang disterilisasi dari “penyakit” justru akan mudah terkena penyakit. Dan Allah baru akan mengakui hambaNya beriman jika hambaNya telah melalui ujian iman.

———————–

Ustadz Adriano Rusfi, S.Psi.,

PENTING: TEKNIK KOMUNIKASI DENGAN ANAKPenulis: Lita Iqtianti, moderator Mommiesdaily.com - ibu dari Langit Kilau Pelangi (5 tahun)

Sebelum menikah, saya pernah bekerjasama dengan ibu Elly Risman sebagai Board of Consultant untuk program televisi anak-anak pada channel tv kami. Saat pertama bertemu beliau, saya yang sedang hamil kerap dibuat berkaca-kaca mendengar omongan beliau tentang anak-anak (ehm, selain hormon, emang juga cengeng grin emotikon

Setelah melahirkan dan Langit mulai beranjak besar, banyak sekali omongan-omongan ibu Elly yang saya ingat. Contoh kecil, “Sudahkah kamu memeluk anakmu hari ini?” atau, “Namakan hal yang sedang dirasakan anak, seperti senang, sedih, kesal, dan seterusnya”. Dan Alhamdulillah,saya praktikkan hingga saat ini.

Sabtu 26 Februari 2011 lalu, Komunitas Supermoms-ID menyelenggarakan sesi 1 dari rangkaian acara Seminar pengasuhan Anak bersama ibu Elly Risman. Materinya saat itu adalah Komunikasi Pengasuhan Anak. Mungkin banyak yang mikir ya, “ah masa masalah

Page 9: Anak

komunikasi dibikin seminar sendiri. Masih kecil gitu loh, anak gue..” atau “masa ngomong aja mesti diatur sih?”. Tapi begitu dijembreng sama ibu Elly masalah komunikasi dengan anak ini, langsung banyak mommies (dan para ayah) peserta seminar yang ‘tertampar’. Apa saja sih, ini kita catat poin-poinnya:

1. Berbicara dengan terburu-buru, bahkan melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru. Banyak mommies (dan ayah) yang berangkat kerja terburu-buru sehingga kalaupun berkomunikasi dengan anak pasti hanya menyuruh dan menyuruh. Kalau yang saya pelajari di ilmu komunikasi sih, yang namanya komunikasi itu dua arah bukan? *plak, tertampar sendiri*

2. Tidak mengenal diri sendiri. Saya mencoba menjabarkan tentang diri saya sendiri, ternyata lebih mudah untuk mencari kekurangan ya daripada kelebihan (apa karena nggak punya kelebihan, hihihi). Ini karena sedari kecil kita dibiasakan melihat atau mendengar yang jelek-jelek, misalnya “Kamu nakal sekali”, “Aduh, bawel banget”, “Anak perempuan kok males”, dst dsb dkk.. Dengan mengenali diri sendiri maka rasa percaya diri akan meningkat, jangan lupa kenali anak dan pasangan juga, dari situlah komunikasi akan terbuka.

3. Setiap pribadi itu unik dan berbeda. Ini penting banget, kita kalau dibandingkan sama teman kantor atau ipar pasti sebel kan? Nah, begitu juga anak loh! Jangka panjangnya, anak akan menjadi krisis identitas (atau malah over kompetitif) karena dibanding-bandingkan terus yang membuatnya tidak bisa mengenali dirinya sendiri sejak kecil.

4. Bedakan antara keinginan dan kebutuhan. Yah, yang ini mirip-mirip sama kalau mommies naksir tas atau sepatu kali ya, hihihi… Ini mah kasus saya sendiri deh, setiap malam itu pasti kaya orang berantem kalau nidurin Langit. Saya ingin Langit untuk tidur cepat karena besoknya ada acara keluarga, sementara Langit ya butuh main-main dan main karena memang anak-anak butuh main.

5. Baca bahasa tubuh anak. Kalau anak lagi lari-lari terus jatuh, yang umum sih suka kelepasan ya ngomong “tuh kan, ibu bilang apa? Makanya jangan lari-larian!” Padahal bahasa tubuh anak sudah menunjukkan bahwa ia kesakitan, butuh dipeluk ditenangkan ya, bukan dimarahi smile emotikon Bahasa tubuh seseorang (bahkan kita juga) nggak akan bisa bohong. Karena bahasa tubuh itu terbentuk dari perasaan seseorang terhadap sesuatu. Kata ibu Elly, baca bahasa tubuh anak dulu, maka kamu bisa memahami/mendengarkan perasaannya.

6. Ada 12 gaya bahasa popular turun temurun yang kerap dilontarkan orangtua pada anaknya, baik sengaja maupun tidak sengaja. Dibawah ini ceritanya situasi anak lagi lari-larian terus jatuh. Nah, yuk kita contreng mana saja yang mommies lakukan ya, hehehe…

- Memerintah, “Jangan lari-larian dong!”- Menyalahkan, “Tuh kan jatuh, lagian nggak bisa diem banget sih”- Meremehkan, “Masa gitu saja nangis?”- Membandingkan, “Tuh lihat si A nggak nangis loh!”- Mencap/ memberikan label, “Kamu nakal sih”- Mengancam, “Nangisnya sudah dong, nanti ibu panggilin dokter nih biar disuntik”- Menasehati, “Makanya omongan orangtua itu didengerin”- Membohongi, “Sipakein obat ini nggak sakit kok”- Menghibur, “Nggak apa-apa kok, besok juga sembuh lukanya”

Page 10: Anak

- Mengkritik, “Kamu pake sendalnya yang itu sih, kan licin pantesan saja jatuh”- Menyindir, “Ini akibatnya kalo nggak dengerin orangtua, kualat kan”- Menganalisa, “Gimana nanti kalo udah gede coba, pasti susah dibilangin”

7. Bedakan masalah siapa. Misalnya, anak menelpon kerumah karena PR-nya ketinggalan. Apakah mommies mengantarkan PR atau tidak? Pahami ini masalah siapa, kenapa anak bisa ketinggalan buku PR-nya? Jika kita mengantarkan bukunya, sama saja kita tidak mengajarkan tanggungjawab karena PR kan berarti tanggungjawab anak, bukan kita. Bukan berarti jahat loh moms, tapi anak harus belajar mandiri dan bisa mengambil keputusan sendiri, karena kita tidak akan hidup selamanya untuk mendampingi anak.

8. Sampaikan pesan SAYA, bukan KAMU. Misalnya anak nggak mau makan, biasanya yang akan terucap adalah, “kamu makan dong, nanti sakit, laper, blablabla…” kita ubah jadi gini saja moms, “Ibu sedih/kesal/sebel deh, kalau kamu nggak makan”. Dengan perubahan susunan kalimat ini, anak tidak merasa disalahkan atas kelakuannya, tapi akan tau bahwa tindakan nggak mau makannya ini membuat si ibu sedih/kesal/sebal.

9. Dengarkan anak secara aktif. Ingat tulisan Hanzky tentang have you been listening with your eyes (http://mommiesdaily.com/…/have-you-been-listening-with-you…/) ? Beruntung saya punya ibu yang mau mendengarkan saya, makanya ibu bagi saya juga sekaligus seorang teman curhat. Mudah-mudahan saya bisa seperti itu sampai nanti Langit dewasa.

Nah kan, siapa bilang ngomong itu gampang? Yuk kita ubah pelan-pelan demi kebaikan si kecil. Bagi saya pribadi, catatan ini pengennya sih, nggak hanya saya terapkan untuk anak, semoga bisa diterapkan untuk sehari-hari. Sampai jumpa di Seminar Pengasuhan Anak sesi berikutnya dengan tema Mendidik Anak Dengan Cinta dan Logika ya, moms! (http://mommiesdaily.com/…/mendidik-anak-dengan-cinta-dan-l…/)