All About Mikroba

9
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 67 P angan merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia. Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan oleh pemerintah antara lain melalui program ketahanan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh pangan yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanan- nya agar masyarakat terhindar dari bahaya mengkonsumsi pangan yang tidak aman. Dengan menghasilkan produk pertanian atau bahan pangan yang aman dan ber- mutu maka citra Indonesia di lingkungan masyarakat internasional akan meningkat pula (Rahayu 2005). Perdagangan global memberikan dampak terhadap produk pertanian, baik produk hewani maupun tanaman pangan, yaitu munculnya isu keamanan pangan. Isu tersebut sering diberitakan media massa sehingga mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kesadaran dan per- hatian masyarakat Indonesia. Beberapa isu tentang keamanan pangan produk pertanian yang meresahkan masyarakat adalah kasus antraks, keracunan susu, avian influenza (flu burung), cemaran mikroba patogen pada produk ternak, dan cemaran aflatoksin pada jagung dan kacang tanah (Wuryaningsih 2005; Dharmaputra 2006; Rahmianna 2006). Industri pangan di Indonesia ber- kembang pesat, baik industri kecil, me- nengah maupun besar, dengan orientasi ekspor maupun untuk memenuhi kebutuh- an domestik. Perkembangan ini berdampak positif bagi sektor pertanian serta akan CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN, PENYAKIT YANG DITIMBULKAN DAN PENCEGAHANNYA Titiek F. Djaafar dan Siti Rahayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jalan Rajawali No. 28, Demangan Baru, Yogyakarta 55281 ABSTRAK Akhir-akhir ini di Indonesia banyak terjadi kasus keracunan atau penyakit yang diakibatkan mengkonsumsi makanan yang tercemar oleh mikroba patogen seperti kasus salmonelosis atau makanan kedaluwarsa. Kasus ke- racunan makanan selama tahun 20032005 yang diberitakan oleh berbagai media massa, dapat memberikan gambaran tentang kondisi keamanan pangan di Indonesia. Dari 18 kasus keracunan makanan yang terjadi pada tahun 2003, 83,30% disebabkan oleh bakteri patogen, dan pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing 60% dari 41 kasus dan 72,20% dari 53 kasus. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas cemaran mikroba pada produk pertanian sebagai bahan pangan serta untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya menghasilkan produk pertanian yang bermutu, aman, bergizi, dan halal. Cemaran mikroba dapat terjadi pada semua produk per- tanian, baik produk peternakan, tanaman pangan, hortikultura maupun perikanan. Oleh karena itu, proses produksi pertanian harus menerapkan sistem keamanan pangan mulai dari tahap budi daya hingga makanan siap santap (from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan nasional perlu didukung berbagai pihak, baik produsen, pemerintah maupun konsumen. Kata kunci: Produk pertanian, cemaran mikroba, keamanan pangan ABSTRACT Microbial contamination on agricultural products, its pile disease and prevention There are a lot of poisoned cases or diseases in Indonesia caused by microbial contaminated food as the salmonellosis, even by expired food. The cases of food poisoning between 20032005 reported by mass media gave the information about condition of food safety in Indonesia. In 2003, from 18 cases, 83.30% was caused by bacterial pathogen, and in 2004 and 2005, the figures were 60% from 41 cases and 72.20% from 53 cases, respectively. This article reviewed the existence of microbial in the agricultural products as food and gave understanding and awareness to all of us about the importance to produce certifiable agricultural products, lowful nutritious and safety to be consumed. Microbial contamination occurred in all agricultural products, i.e. livestock and diary products, food crops, horticulture and also fisheries. Therefore, agricultural production processes have to apply food safety system starting from the farm to the table. Application of national food safety system requires support from producers, government, and consumers. Keywords: Agricultural products, microbial contamination, food safety

description

tentang mikroba, mikrobiologi

Transcript of All About Mikroba

Page 1: All About Mikroba

Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 67

Pangan merupakan kebutuhan palingdasar bagi manusia. Oleh karena itu,

ketersediaan pangan yang cukup, baikkualitas maupun kuantitasnya, terusdiupayakan oleh pemerintah antara lainmelalui program ketahanan pangan.Melalui program tersebut diharapkanmasyarakat dapat memperoleh panganyang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halaluntuk dikonsumsi.

Produk pertanian sebagai sumberpangan, baik pangan segar maupunolahan, harus selalu terjamin keamanan-nya agar masyarakat terhindar dari bahaya

mengkonsumsi pangan yang tidak aman.Dengan menghasilkan produk pertanianatau bahan pangan yang aman dan ber-mutu maka citra Indonesia di lingkunganmasyarakat internasional akan meningkatpula (Rahayu 2005).

Perdagangan global memberikandampak terhadap produk pertanian, baikproduk hewani maupun tanaman pangan,yaitu munculnya isu keamanan pangan.Isu tersebut sering diberitakan mediamassa sehingga mempunyai pengaruhcukup besar terhadap kesadaran dan per-hatian masyarakat Indonesia. Beberapa

isu tentang keamanan pangan produkpertanian yang meresahkan masyarakatadalah kasus antraks, keracunan susu,avian influenza (flu burung), cemaranmikroba patogen pada produk ternak, dancemaran aflatoksin pada jagung dankacang tanah (Wuryaningsih 2005;Dharmaputra 2006; Rahmianna 2006).

Industri pangan di Indonesia ber-kembang pesat, baik industri kecil, me-nengah maupun besar, dengan orientasiekspor maupun untuk memenuhi kebutuh-an domestik. Perkembangan ini berdampakpositif bagi sektor pertanian serta akan

CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN,PENYAKIT YANG DITIMBULKAN DAN

PENCEGAHANNYA

Titiek F. Djaafar dan Siti Rahayu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jalan Rajawali No. 28, Demangan Baru, Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Akhir-akhir ini di Indonesia banyak terjadi kasus keracunan atau penyakit yang diakibatkan mengkonsumsimakanan yang tercemar oleh mikroba patogen seperti kasus salmonelosis atau makanan kedaluwarsa. Kasus ke-racunan makanan selama tahun 2003−2005 yang diberitakan oleh berbagai media massa, dapat memberikangambaran tentang kondisi keamanan pangan di Indonesia. Dari 18 kasus keracunan makanan yang terjadi padatahun 2003, 83,30% disebabkan oleh bakteri patogen, dan pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing 60% dari 41kasus dan 72,20% dari 53 kasus. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas cemaran mikroba pada produk pertaniansebagai bahan pangan serta untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya menghasilkanproduk pertanian yang bermutu, aman, bergizi, dan halal. Cemaran mikroba dapat terjadi pada semua produk per-tanian, baik produk peternakan, tanaman pangan, hortikultura maupun perikanan. Oleh karena itu, proses produksipertanian harus menerapkan sistem keamanan pangan mulai dari tahap budi daya hingga makanan siap santap(from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan nasional perlu didukung berbagai pihak, baik produsen,pemerintah maupun konsumen.

Kata kunci: Produk pertanian, cemaran mikroba, keamanan pangan

ABSTRACT

Microbial contamination on agricultural products, its pile disease and prevention

There are a lot of poisoned cases or diseases in Indonesia caused by microbial contaminated food as the salmonellosis,even by expired food. The cases of food poisoning between 2003−2005 reported by mass media gave theinformation about condition of food safety in Indonesia. In 2003, from 18 cases, 83.30% was caused by bacterialpathogen, and in 2004 and 2005, the figures were 60% from 41 cases and 72.20% from 53 cases, respectively. Thisarticle reviewed the existence of microbial in the agricultural products as food and gave understanding andawareness to all of us about the importance to produce certifiable agricultural products, lowful nutritious and safetyto be consumed. Microbial contamination occurred in all agricultural products, i.e. livestock and diary products,food crops, horticulture and also fisheries. Therefore, agricultural production processes have to apply food safetysystem starting from the farm to the table. Application of national food safety system requires support fromproducers, government, and consumers.

Keywords: Agricultural products, microbial contamination, food safety

Page 2: All About Mikroba

68 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007

mendorong terbukanya kesempatan kerja.Seiring dengan perkembangan tersebut,tuntutan konsumen akan pangan yangaman, sehat, utuh, halal, dan bermutu jugameningkat sesuai dengan makin membaik-nya tingkat kehidupan masyarakat. Bah-kan masyarakat di negara-negara majutelah menuntut adanya jaminan mutu sejakawal proses produksi hingga produk ditangan konsumen (from farm to table).

Tulisan ini menyajikan ulasan ten-tang cemaran mikroba pada produk per-tanian sebagai bahan pangan. Informasiyang disajikan diharapkan dapat mem-berikan pemahaman dan kesadaran akanpentingnya menghasilkan produk per-tanian yang bermutu, aman, bergizi, sehat,dan halal dalam upaya menerapkan peng-amanan pada setiap mata rantai produksipangan.

CEMARAN MIKROBA PADAPRODUK TERNAK

Untuk menghadapi tantangan pasarglobal maka Indonesia harus mampumenghasilkan produk pangan hewaniyang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).Keamanan pangan (food safety) merupa-kan tuntutan utama konsumen. Perminta-an pangan hewani (daging, telur, dansusu) dari waktu ke waktu cenderungmeningkat sejalan dengan pertambahanpenduduk, perkembangan ekonomi,perubahan pola hidup, peningkatan ke-sadaran akan gizi, dan perbaikan pendidik-an masyarakat. Kasryno et al. (2004)menyatakan, dalam dasawarsa mendatangakan terjadi perubahan pola konsumsimasyarakat berupa peningkatan perminta-an produk peternakan dan hortikultura.Permintaan produk ternak meningkatsecara nyata dari 1.445.000 ton pada tahun2000 menjadi 1.931.400 ton pada tahun 2004(Yogaswara dan Setia 2005).

Produk pangan asal ternak berisikotinggi terhadap cemaran mikroba yangberbahaya bagi kesehatan manusia.Beberapa penyakit yang ditimbulkan olehpangan asal ternak adalah penyakitantraks, salmonelosis, brucellosis, tuber-kulosis, klostridiosis, dan penyakit akibatcemaran Staphylococcus aureus (Supardan Ariyanti 2005). Setelah ternak di-potong, mikroba yang terdapat padahewan mulai merusak jaringan sehinggabahan pangan hewani cepat mengalamikerusakan bila tidak mendapat penangan-

an yang baik. Mikroba pada produk ternakterutama berasal dari saluran pencernaan.Apabila daging tercemar mikroba saluranpencernaan maka daging tersebut dapatmembawa bakteri patogen seperti Salmo-nella. Menurut Rahayu (2006b), bakteripatogen dari daging yang tercemar dapatmencemari bahan pangan lain sepertisayuran, buah-buahan, dan makanan siapsantap bila bahan pangan tersebut di-letakkan berdekatan dengan daging yangtercemar. Oleh karena itu, penjualandaging di pasar sebaiknya dipisahkandengan bahan pangan lain, terutamamakanan siap santap.

Cemaran Mikroba pada Unggasdan Produk Olahannya

Salah satu persyaratan kualitas produkunggas adalah bebas mikroba patogenseperti Salmonella sp., Staphylococcusaureus, Escherichia coli, dan Campylo-bacter sp. Banyak kasus penyakit yangdiakibatkan oleh cemaran mikroba patogen(foodborne diseases) pada daging unggasmaupun produk olahannya. Sebagaicontoh yang sering terjadi di Eropa danAmerika Serikat adalah kasus penyakityang disebabkan oleh Salmonellaenteritidis yang ditularkan melalui dagingayam, telur, dan produk olahannya(Baumler et al. 2000). Daging unggascocok untuk perkembangan mikroba,karena unggas dalam kehidupannya selalubersentuhan dengan lingkungan yangkotor. Karkas ayam mentah paling seringdikaitkan dengan cemaran Salmonella danCampylobacter yang dapat menginfeksimanusia (Raharjo 1999).

Berdasarkan hasil penelitian, ketidak-amanan daging unggas dan produkolahannya di Indonesia disebabkan olehbeberapa faktor, antara lain tingkat pe-ngetahuan peternak, kebersihan kandang,serta sanitasi air dan pakan. MenurutNugroho (2005), cemaran Salmonella padapeternakan ayam di daerah Sleman Yogya-karta mencapai 11,40% pada daging dan1,40% pada telur. Sanitasi kandang yangkurang baik dapat menyebabkan timbul-nya cemaran mikroba patogen yang tidakdiinginkan.

Campylobacter jejuni merupakansalah satu bakteri patogen yang men-cemari ayam maupun karkasnya. Cemaranbakteri ini pada ayam tidak menyebabkanpenyakit, tetapi mengakibatkan penyakit

yang dikenal dengan nama campylo-bacteriosis pada manusia. Penyakit ter-sebut ditandai dengan diare yang hebatdisertai demam, kurang nafsu makan,muntah, dan leukositosis. Sekitar 70%kasus campylobacteriosis pada manusiadisebabkan oleh cemaran C. jejuni padakarkas ayam. Cemaran C. jejuni di Indone-sia cukup tinggi. Menurut Poloengan etal. (2005), 20−100% daging ayam yangdipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi,dan Tangerang tercemar bakteri C. jejuni.Oleh karena itu, berkembangnya industrijasa boga di Indonesia perlu mendapatkanperhatian, terutama dalam kaitannyadengan penyediaan pangan yang berasaldari unggas.

Produk olahan unggas seperti sateayam, ayam panggang maupun ayam oporyang diproduksi oleh industri jasa bogajuga berisiko tercemar mikroba. Pengolah-an sate ayam yang memerlukan waktupenyiapan yang panjang menyebabkanproduk ini rentan terhadap cemaranmikroba. Harmayani et al. (1996) me-nyebutkan karkas ayam mentah yangdigunakan sebagai bahan sate pada suatuindustri jasa boga telah tercemar S. auressebanyak 1,60 x 106 CFU/g. Hal ini perlumendapat perhatian karena S. aureusmampu memproduksi enterotoksin yangtahan terhadap panas. Bergdoll (1990)menyatakan, S. aureus 105 CFU/g merupa-kan pedoman terhadap kerawanan adanyatoksin tersebut. Namun berdasarkan hasilpenelitian, enterotoksin belum dapat ter-deteksi pada total S. aureus >106 CFU/g.

Pada kasus-kasus keracunan makan-an, biasanya jumlah S. aureus mencapai108 CFU/g atau lebih (Harmayani et al.1996). Pemanasan dapat menurunkan totalS. aureus menjadi 2,60 x 103. Oleh karenaitu, dalam pengolahan sate ayam ada be-berapa tahap yang perlu diperhatikansebagai titik kendali kritis, yaitu tahap pe-nyiapan (pemotongan dan penusukan),pembekuan, pemanggangan, serta peng-angkutan dan penyajian (Harmayani et al.1996).

Produk lain dari industri jasa bogayang biasa disajikan dalam acara per-kawinan atau pertemuan adalah ayampanggang bumbu sate. Berdasarkan hasilpengujian Harmayani et al. (1996), karkasayam mentah yang digunakan sebagaibahan dasar pembuatan ayam panggangbumbu sate memiliki total bakteri 6,50 x107 CFU/g dan total S. aureus 7,30 x 105

CFU/g. Karkas ayam mentah diproses

Page 3: All About Mikroba

Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 69

melalui tahap pencucian dan perebusan.Pada akhir tahap perebusan, total bakterimenurun menjadi 1,70 x 106 CFU/g dan totalS. aureus < 103 CFU/g. Setelah pem-bakaran, total S. aureus berkurang lagimenjadi 5 x 102 CFU/g. Namun populasi S.aureus meningkat menjadi 1,50 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan danmenunggu waktu disajikan (pada suhukamar selama 7,50 jam). Oleh karena itu,penyajian merupakan tahap penting yangperlu mendapat perhatian. Sebaiknyaayam panggang bumbu sate disajikandalam keadaan panas sehingga dapatmenekan populasi mikroba.

Selain sate dan ayam panggangbumbu sate, di pasar juga banyak beredarbakso ayam, salah satu produk yang di-gunakan sebagai bahan pengisi sup padaindustri jasa boga. Bakso ayam sering di-produksi sendiri oleh industri jasa boga.Menurut Harmayani et al. (1996), karkasayam mentah yang digunakan untuk mem-buat bakso ayam tercemar S. aureus 1,40 x105 CFU/g dengan total bakteri 1,90 x 107

CFU/g. Namun melalui proses pemanasanatau pengolahan, total S. aureus menurunmenjadi 4,30 x 103 CFU/g dan total bakterimenjadi 6,40 x 105 CFU/g. Walaupun totalmikroba selama pengolahan menurun,angka tersebut masih tinggi. Menurut SNI01-3818-1995, cemaran S. aureus dalamproduk bakso maksimal 1 x 102 CFU/g, totalbakteri maksimal 1 x 105 CFU/g, dan negatifterhadap Salmonella.

Bakteri patogen lain yang sering men-cemari daging ayam dan produk olahan-nya adalah Salmonella. Keswandani(1996) menyatakan, karkas ayam yangdigunakan dalam industri jasa boga diDaerah Istimewa Yogyakarta sudah ter-cemar bakteri Salmonella sp. 6,10 x 105

CFU/g dengan total bakteri > 3 x 108 CFU/g. Padahal batas maksimum cemaranmikroba dalam karkas ayam mentah ber-dasarkan SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 CFU/g dan harus negatifdari Salmonella sp. Jika mengacu padaperaturan itu maka kualitas karkas ayamyang digunakan dalam industri jasa bogatersebut sudah tergolong buruk. Apalagitingkat cemaran Salmonella sp. sebanyak105 CFU/g sudah dalam ambang yangmembahayakan konsumen. Namun demi-kian, proses pemasakan atau pemanasandapat menurunkan cemaran mikrobamenjadi 103 CFU/g dan negatif terhadapSalmonella sp. (Keswandani 1996).

Cemaran Mikroba pada Telurdan Produk Olahannya

Telur merupakan produk unggas yangselalu dihubungkan dengan cemaranSalmonella. Cemaran Salmonella padatelur dapat berasal dari kotoran ayam dalamkloaka atau dalam kandang. Secara alami,cangkang telur merupakan pencegah yangbaik terhadap cemaran mikroba.

Cemaran bakteri dapat terjadi padakondisi suhu dan kelembapan yang tinggi.Cemaran pada telur bebek lebih banyakdibanding pada telur ayam. Apabila pe-nanganan telur tidak dilakukan denganbaik, misalnya kotoran unggas masihmenempel pada cangkang telur, makakemungkinan Salmonella dapat men-cemari telur, terutama saat telur dipecah.Cemaran mikroba tersebut dapat dikurangidengan cara mencuci dan mengemas telursebelum dipasarkan.

Cemaran Mikroba pada DagingSapi dan Produk Olahannya

Daging sapi banyak dikonsumsi olehmasyarakat setelah daging ayam. Dagingsapi mudah rusak dan merupakan mediayang cocok bagi pertumbuhan mikroba,karena tingginya kandungan air dan giziseperti lemak dan protein. Kerusakandaging dapat disebabkan oleh perubahandalam daging itu sendiri (faktor internal)maupun karena faktor lingkungan (eks-ternal).

Daging yang tercemar mikroba me-lebihi ambang batas akan menjadi ber-lendir, berjamur, daya simpannya menurun,berbau busuk dan rasa tidak enak sertamenyebabkan gangguan kesehatan biladikonsumsi. Beberapa mikroba patogenyang biasa mencemari daging adalah E.coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp.Kandungan mikroba pada daging sapidapat berasal dari peternakan dan rumahpotong hewan yang tidak higienis(Mukartini et al. 1995). Oleh karena itu,sanitasi atau kebersihan lingkunganpeternakan maupun rumah potong hewanperlu mendapat perhatian.

Proses pengolahan daging yangcukup lama juga memungkinkan terjadinyacemaran mikroba pada produk olahannya.Produk olahan daging seperti kornet dansosis harus memenuhi syarat mutu yang

sudah ditetapkan. Berdasarkan SNI 01-3820-1995, cemaran Salmonella pada sosisdaging harus negatif, Clostridium perfri-ngens negatif, dan S. aureus maksimal 102

koloni/g.

Cemaran Mikroba pada Susudan Produk Olahannya

Susu merupakan bahan pangan yangberasal dari sekresi kelenjar ambing padahewan mamalia seperti sapi, kambing,kerbau, dan kuda. Susu mengandungprotein, lemak, laktosa, mineral, vitamin,dan enzim-enzim (Lampert 1980). Susu sapiyang berasal dari sapi yang sehat dapattercemar mikroba nonpatogen yang khassegera setelah diperah. Pencemaran jugadapat berasal dari sapi, peralatan pemerah-an, ruang penyimpanan yang kurangbersih, debu, udara, lalat dan penangananoleh manusia (Volk dan Wheeler 1990).

Untuk dapat dikonsumsi, susu harusmemenuhi persyaratan keamanan pangankarena susu mudah terkontaminasimikroba (bakteri, kapang, dan khamir), baikpatogen maupun nonpatogen dari ling-kungan (peralatan pemerahan, operator,dan ternak), residu pestisida, logam beratdan aflatoksin dari pakan serta residuantibiotik saat pengobatan penyakit padaternak. Kandungan mikroba yang tinggimenyebabkan susu cepat rusak sehinggaIndustri Pengolahan Susu (IPS) kadang-kadang tidak dapat menerima atau membelisusu dari peternak. Akibatnya, sebagianbesar IPS menggunakan bahan dasar susuimpor.

Pertumbuhan mikroba dalam susudapat menurunkan mutu dan keamananpangan susu, yang ditandai oleh perubah-an rasa, aroma, warna, konsistensi, danpenampakan. Oleh karena itu, susu segarperlu mendapat penanganan denganbenar, antara lain pemanasan dengan suhudan waktu tertentu (pasteurisasi) untukmembunuh mikroba yang ada. Apabilatidak tersedia pendingin, setelah diperahsusu dapat diberi senyawa thiosianat danhidrogen peroksida untuk memaksimalkankerja laktoperoksidase (enzim dalam susuyang bersifat bakteriostatik). Namun,penggunaan senyawa tersebut masihdikaji terutama efektivitas dan residunya(Thahir et al. 2005).

Mikroba patogen yang umum men-cemari susu adalah E. coli. Standar

Page 4: All About Mikroba

70 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007

Nasional Indonesia tahun 2000 mensyarat-kan bakteri E. coli tidak terdapat dalamsusu dan produk olahannya. Bakteri E.coli dalam air susu maupun produkolahannya dapat menyebabkan diare padamanusia bila dikonsumsi.

Beberapa bakteri patogen yangumum mencemari susu adalah Brucellasp., Bacillus cereus, Listeria monocyto-genes, Campylobacter sp., Staphylo-coccus aureus, dan Salmonella sp.(Adams dan Motarjemi 1999). MenurutThahir et al. (2005), bahan dasar susupasteurisasi pada beberapa produsensusu di Jawa Barat mengandung totalmikroba 104−106 CFU/g susu, namunproses pasteurisasi dapat menurunkankandungan mikroba hingga 0−103 CFU/gsusu. Standar Nasional Indonesia (SNI 01-6366-2000) mensyaratkan ambang batascemaran mikroba yang diperbolehkandalam susu adalah 3 x 104 CFU/g sehinggasusu pasteurisasi yang dihasilkan olehprodusen susu di Jawa Barat aman dikon-sumsi.

Proses pengolahan susu memung-kinkan terjadinya cemaran mikroba padaproduk olahannya. Syarat mutu produkolahan susu seperti keju dan susu bubukditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 danSNI 01-3775-1995.

CEMARAN MIKROBA PADAPRODUK TANAMANPANGAN

Produk tanaman pangan seperti serealiadan kacang-kacangan merupakan mediayang baik bagi pertumbuhan mikroba,khususnya kapang (jamur/cendawan).Cemaran kapang dapat terjadi saat tanam-an masih di lapang, yang dikenal dengancemaran prapanen, maupun selama pe-nanganan pascapanen. Kapang yangumum mencemari serealia dan kacang-kacangan adalah Aspergillus flavus danA. parasiticus yang sangat berbahayabagi kesehatan manusia. Kedua jeniskapang ini dapat menghasilkan aflatoksinyang merupakan secondary metabolicproducts dan bersifat toksik bagi manusia.

Aflatoksin merupakan molekul kecilyang tidak suka terhadap air, tahanterhadap perlakuan fisik, kimia maupunbiologis dan tahan terhadap suhu tinggi(Rahayu 2006a). Aflatoksin yang umumdijumpai adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2,M1, dan M2 (Agus et al. 2006; Silalahi2006). Dari enam jenis aflatoksin tersebut,

yang paling berbahaya bagi kesehatanmanusia adalah aflatoksin B1.

Berdasarkan keputusan KepalaBadan Pengawasan Obat dan MakananNomor HK.00.05.1.4057 tanggal 9 Septem-ber 2004, batas maksimum kandunganaflatoksin B1 dan aflatoksin total padaproduk olahan jagung dan kacang tanahmasing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb.Sementara itu Codex AlimentariusCommission pada tahun 2003 menentukanbatas maksimum kandungan aflatoksintotal pada kacang tanah yang akan di-proses sebesar 15 ppb. Hal ini menunjuk-kan bahwa penerapan keamanan pangandi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara maju.

Cemaran A. flavus pada saat budidaya dipengaruhi oleh beberapa faktor,antara lain suhu tanah, lengas tanah,kandungan unsur hara dalam tanah (Zndan Ca), serta hama dan penyakit(Rahmianna 2006). A. flavus akan lebihkompetitif jika lengas tanah rendah,kelembapan udara tinggi (90−98%), dansuhu tanah 17−42°C.

Menurut Dharmaputra (2006), kan-dungan aflatoksin total pada jagung pipillebih tinggi dibanding jagung tongkol.

Dari 35 sampel yang diuji, semua sampeltercemar oleh aflatoksin B1 serta 31% ter-cemar aflatoksin B2 dengan total aflatoksinberkisar antara 48,10–213,80 ppb. Cemaranaflatoksin pada jagung bergantung padakondisi lingkungan dan perlakuan pasca-panen (Gambar 1 dan 2). Jagung yangtercemar aflatoksin, apabila digunakansebagai pakan maka aflatoksin akan masukke dalam tubuh ternak (unggas danruminansia) dan terakumulasi pada dagingmaupun hati (Rahayu 2006b).

Cemaran aflatoksin juga sering di-jumpai pada kacang tanah dan produkolahannya seperti bumbu pecel. Cemaranaflatoksin pada kacang tanah di tingkatpetani maupun pengecer dapat mencapailebih dari 100 ppb. Menurut Dharmaputra(2006), cemaran aflatoksin total padaolahan kacang tanah seperti bumbu peceldapat mencapai rata-rata 41,60 ppb danpada enting-enting gepuk 20,80 ppb.

Selain aflatoksin, fumonisin jugamerupakan salah satu mikotoksin yangdihasilkan kapang Fusarium moniliforme.Kapang ini umumnya menyerang produkpertanian seperti jagung, namun peneliti-an tentang mikotoksin belum banyakdilakukan.

Gambar 1. Cara panen dengan mem-biarkan tongkol mengeringdi lahan memungkinkanterjadinya cemaran kapang(dok. Rahayu 2006b).

Gambar 2. Cemaran Aspergillus padatongkol jagung (dok. Rahayu2006b).

Page 5: All About Mikroba

Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 71

CEMARAN MIKROBA PADABUAH DAN SAYUR

Buah dan sayur dapat tercemar olehbakteri patogen dari air irigasi yang ter-cemar limbah, tanah, atau kotoran hewanyang digunakan sebagai pupuk. Cemaranakan semakin tinggi pada bagian tanamanyang ada di dalam tanah atau dekat dengantanah. Mikroba tertentu seperti Liver flukedan Fasciola hepatica akan berpindahdari tanah ke selada air akibat penggunaankotoran kambing atau domba yangtercemar sebagai pupuk. Air irigasi yangtercemar Shigella sp., Salmonella sp., E.coli, dan Vibrio cholerae dapat men-cemari buah dan sayur. Selain itu, bakteriBacillus sp., Clostridium sp., dan Listeriamonocytogenes dapat mencemari buahdan sayur melalui tanah. Namun, pe-nanganan dan pemasakan yang baik danbenar dapat mematikan bakteri patogentersebut, kecuali bakteri pembentuk spora.

Hasil kajian tentang tingkat cemaranmikroba pada sayuran disajikan pada Tabel1 dan 2, serta kisaran batas maksimumkontaminasi mikroba pada produk panganpada Tabel 3. Tingkat cemaran mikrobapada beberapa jenis sayuran cukup tinggi.Menurut Sulaeman dan Nisa (2005),tingkat cemaran E. coli pada selada,wortel, dan tomat dari Bogor cukup tinggi,yaitu 5,80 x 101 hingga 1,80 x 103 CFU/g(Tabel 2), padahal persyaratan kontami-nasi E. coli dalam produk pangan harusnegatif (Badan Pengawasan Obat danMakanan 2004).

CEMARAN MIKROBA PADAPRODUK PERIKANAN

Ikan merupakan sumber pangan yangmudah rusak karena sangat cocok untukpertumbuhan mikroba baik patogen mau-

pun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadisegera setelah ikan keluar dari air. Kerusak-an dapat disebabkan oleh faktor internal(isi perut) dan eksternal (lingkungan),maupun cara penanganan di atas kapal, ditempat pendaratan atau di tempat peng-olahan. Kerusakan ditandai dengan ada-nya lendir di permukaan ikan, insangmemudar (tidak merah), mata tidak bening,berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas.

Ikan dari perairan pantai sering kalitercemar oleh bakteri Vibrio parahaemoly-

ticus yang dapat menular pada saat trans-portasi maupun pemasaran. Bakteri yangsering mengkontaminasi produk per-ikanan umumnya merupakan bakteri airseperti V. vulnificus dan V. cholerae(Adams dan Motarjemi 1999). MenurutBadan Pengawasan Obat dan Makanan(2004), cemaran bakteri Vibrio sp. dalamproduk pangan harus negatif. Bakteripatogen lain di perairan yaitu Proteusmorganii, Klebsiella pneumoniae, danHafnia alvei (Atmadjaja et al. 1995). Tigaspesies bakteri tersebut sering mencemariikan laut dari famili Scombroidei yangbanyak terdapat di perairan Indonesia.

Kasus keracunan histamin padamulanya lebih dikenal sebagai keracunanscombroid karena melibatkan ikan darifamili Scombroidei, yaitu tuna, bonito,tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikantersebut mengandung histidin bebasdalam jumlah besar pada dagingnya, yangpada kondisi tertentu dapat diubah men-jadi histamin karena adanya aktivitas enzimhistidine dekarboksilase dari bakteri yangmencemari ikan tersebut. Gejala keracunanhistamin dimulai beberapa menit sampaibeberapa jam setelah ikan dikonsumsi.Gejalanya berupa muntah-muntah, diare,pembengkakan pada bibir, kejang-kejang,dan kerongkongan terasa terbakar. Gejalaini berlangsung kurang dari 12 jam dandapat diobati dengan terapi antihistamin.

PENYAKIT AKIBATCEMARAN MIKROBAPATOGEN PADA PANGAN

Foodborne disease merupakan penyakityang diakibatkan karena mengkonsumsimakanan yang tercemar mikroba patogen(Riemann dan Bryan 1979). Lebih dari 90%kejadian penyakit pada manusia disebab-kan mengkonsumsi makanan yang ter-cemar bakteri patogen, seperti penyakittipus, disentri, botulisme, dan intoksikasibakteri lainnya seperti hepatitis A(Winarno 1997).

Mikroba terutama bakteri yang ber-sifat patogen dapat ditemukan di manasaja, di tanah, air, udara, tanaman, bina-tang, bahan pangan, peralatan untukpengolahan bahkan pada tubuh manusia.Pangan membawa berbagai jenis mikroba,yang dapat berasal dari mikroflora alamitanaman atau hewan, baik yang berasaldari lingkungan maupun yang masukselama pemanenan atau penyembelihan,

Tabel 1. Tingkat cemaran mikroba pada beberapa jenis sayuran di JawaBarat dan Jawa Timur (CFU/g).

JenisJawa Barat Jawa Timur

sayuran Petani Pasar Swalayan Petani Pasar Swalayantradisional tradisional

Kubis 3,14 x 107 4,60 x 107 2,80 x 107 1,40 x 107 4,30 x 105 4,50 x 105

Tomat 1,70 x 106 2,50 x 107 2 x 106 5,40 x 104 1,40 x 105 3,30 x 104

Wortel 4,20 x 106 5,70 x 107 1,90 x 107 1,80 x 105 6,10 x 105 7,40 x 105

Sumber: Misgiyarta dan Munarso (2005).

Tabel 2. Tingkat kontaminasi E. colipada sayuran dari Bogor.

Jenis sayuran ProdusenJumlah koloni

(CFU/g)

Selada 1 1,50 x 102

2 1,80 x 103

3 2,30 x 102

Wortel 1 2,40 x 102

2 5 x 102

3 4,50 x 101

Tomat 1 2,50 x 101

2 4,20 x 102

3 5,80 x 101

Sumber: Sulaeman dan Nisa (2005).

Tabel 3. Batas maksimum cemaranmikroba pada produk pangan.

Jenis mikrobaBatas maksimum

(sel/g)

Escherichia coli 0−103

Staphylococcus aureus 0−5 x 103

Clostridium perfringens 0−102

Vibrio cholerae NegatifV. parahaemolyticus NegatifSalmonella NegatifEnterococci 102−103

Kapang 50−104

Khamir 50Coliform faecal 0−102

Sumber: Badan Pengawasan Obat dan Makanan(2004).

Page 6: All About Mikroba

72 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007

distribusi, penanganan pascapanen,pengolahan, serta penyimpanan produk.

Pertumbuhan mikroba terjadi dalamwaktu singkat dan pada kondisi yangsesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH,suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelom-pok mikroba pembusuk akan mengubahmakanan segar menjadi busuk bahkandapat menghasilkan toksin (racun), yangkadang-kadang tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau kerusakan fisik (baubusuk kurang nyata) sehingga bahanpangan tetap dikonsumsi. Pada Gambar 3disajikan infeksi mikroba patogen ke dalampangan dan dampaknya terhadap kesehat-an manusia.

Saluran pencernaan manusia merupa-kan sistem yang terbuka. Apabila mikrobapatogen yang terdapat pada makanan ikuttermakan maka pada kondisi yang sesuaimikroba patogen akan berkembang biakdi dalam saluran pencernaan sehinggamenyebabkan gejala penyakit atau seringdisebut infeksi. Racun atau toksin yangdihasilkan oleh mikroba patogen yang ikuttermakan menyebabkan gejala penyakityang disebut keracunan atau intoksikasi.Gejala akut yang disebabkan oleh mikrobapatogen adalah diare, muntah, dan

pusing-pusing bahkan pada kondisi yangparah dapat menyebabkan kematian(Rahayu 2006b).

Aflatoksin merupakan mikotoksinyang dihasilkan oleh A. flavus atau A.parasiticus dan bersifat hepatokarsino-gen. Apabila termakan dan terakumulasidalam jumlah yang berlebihan, aflatoksindapat menyebabkan kerusakan hati padamanusia (Rahayu 2006b). Sama halnyadengan aflatoksin, histamin yang me-rupakan racun dari produk perikananakibat cemaran mikroba patogen dapatmenyebabkan keracunan. Gejala keracun-an histamin dimulai beberapa menit sampaibeberapa jam setelah makanan dikonsum-si, antara lain berupa sakit kepala, kejang-kejang, diare, muntah-muntah, kulit ber-garis merah, pembengkakan pada bibir, dankerongkongan terasa terbakar. Gejala iniumumnya berlangsung kurang dari 12 jamdan dapat diobati dengan terapi antihista-min (Atmadjaja et al. 1995).

Patogen bawaan dari makanan se-perti Clostridium botulinum sangat ber-kaitan dengan penyakit ekstraintestinalakut, yang dapat menyebabkan sindromneuroparalisis dan sering kali berakibatfatal. Penyakit ekstraintestinal juga dapat

disebabkan oleh cemaran Listeria mono-cytogenes yang menyebabkan penyakitringan seperti flu hingga penyakit beratseperti meningitis dan meningoensefalitis.E. coli penghasil verotoksin umumnyamengakibatkan diare berdarah dan dapatmenyebabkan uremia hemolitik, yangditandai dengan trombositopenia, anemiahemolitik, dan gagal ginjal akut terutamapada anak-anak. Salmonelosis merupakanpenyakit yang diakibatkan oleh cemaranSalmonella dan dapat menyebabkanrematik, meningitis, abses limpa, pankrea-titis, septikemia, dan osteomielitis.

PENCEGAHAN CEMARANMIKROBA PADA PRODUKPERTANIAN

Produksi dan pemasaran produk pertanianmelibatkan berbagai pihak yang salingberinteraksi (Gambar 4). Sumber bahanpangan adalah produsen (petani, pe-ternak, nelayan) dan pengolah. Pengolahmengubah bahan dasar (produk pertanian)menjadi produk akhir yang siap di-konsumsi atau mengawetkan produk agarmasa simpannya lebih lama. Dalam meng-hasilkan bahan pangan, produsen danpengolah diharapkan dapat menerapkancara-cara berproduksi yang baik (goodmanufacture practices) sehingga produkyang dihasilkan aman dan sehat dikon-sumsi.

Distributor berfungsi memindahkanbahan pangan dari satu tempat ke tempatlain, dan kadang-kadang menyimpanbahan pangan untuk digunakan lebihlanjut. Bahan pangan sampai ke konsumenmelalui pengecer (pedagang) atau foodservice (rumah makan, pengusaha jasaboga, restoran, warung makan dan se-bagainya).

Dalam jaringan bahan pangan ter-sebut, setiap individu mempunyai peranyang penting dalam menjaga keamananpangan. Dengan kata lain, keamananpangan merupakan tanggung jawab

Gambar 3. Mikrobia patogen pada makanan dan dampaknya pada kesehatanmanusia (Rahayu 2006b).

Mikroba

PertumbuhanLingkungan

Suhu

Pembusukan

Bahan pangan(nutrisi, pH, Aw)

Tanda-tandakerusakan tidakmuncul ataudiabaikan

Toksin Bakteripatogen

Makanan rusaktidak dikonsumsi

Makanan tetapdikonsumsiIntoksikasi Infeksi

Tubuh manusiaSaluran pencernaan

Gejala penyakitDiare, muntah-muntah, sakit kepala, gejala penyakit lainnya

t t

t t t

t

t

t

t

t

t

PatogenPembusuk

Biomassapatogen

Toksin

t t

t tt

Gambar 4. Jaringan bahan panganmanusia.

Produsen

Pengolaht

Pengecer

Food service

KonsumenDistributort t

t

s s s

Page 7: All About Mikroba

Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 73

bersama antara produsen, pengolah,distributor, pemerintah, dan konsumen.Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagaipenentu kebijakan yang berkaitan dengankeamanan pangan serta mengawasipelanggaran atau penyalahgunaan per-aturan yang sudah ditetapkan.

Berkaitan dengan keamanan pangan,Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 yang menyata-kan makanan yang beredar haruslah tidakmembahayakan konsumen. Undang-undang tersebut diikuti dengan PeraturanPemerintah nomor 28 tahun 2004 tentangkeamanan, mutu, dan gizi pangan. Panganyang aman, bermutu, dan bergizi sangatpenting peranannya bagi pertumbuhan,kesehatan, dan peningkatan kecerdasanmasyarakat.

Keamanan bahan pangan harusdiperhatikan mulai dari tahap budi dayahingga pangan tersebut siap disantap.Penerapan sistem keamanan pangan padasetiap tahap produksi harus dilakukandengan baik agar pangan yang dikonsum-si benar-benar aman (Gambar 5). Padatahap budi daya perlu diterapkan GoodFarming Practices (GFP), selanjutnyapada tahap pascapanen dilakukan GoodHandling Practices (GHP). Begitu pulapada tahap pengolahan, penerapan GoodManufacture Practices (GMP) sangatdiperlukan, dan pada tahap distribusiharus diterapkan Good DistributionPractices (GDP) agar produk pertanianmaupun makanan sampai ke konsumendalam keadaan aman. Di Indonesia, tahap-

an-tahapan tersebut telah dilaksanakanoleh industri pengolahan pangan berskalabesar. Namun, untuk industri skala rumahtangga, tahapan-tahapan tersebut belumdilaksanakan. Apabila sistem atau peratur-an tentang sanitasi dan higiene bahanpangan telah diterapkan dengan baik makaperaturan tersebut dapat digunakan se-bagai dasar dalam melakukan praktek budidaya maupun pengolahan pangan untukmeningkatkan keamanan pangan.

Pendekatan lainnya adalah denganmelakukan pengendalian atau pencegah-an terhadap munculnya potensi bahaya,baik biologis, kimia maupun fisik selamaproses produksi hingga penyiapan pa-ngan. Secara sederhana dapat dikemuka-kan bahwa pencegahan terhadap muncul-nya risiko bahaya lebih baik daripadamengatasi bahaya yang telah muncul.

Pada tahun 1993, Codex AlimentariusCommission (CAC) dari Badan DuniaFAO/WHO telah menetapkan sistemHazard Analysis and Critical ControlPoint (HACCP) (Wuryaningsih 2005).HACCP merupakan suatu evaluasi siste-matis terhadap prosedur pengolahan ataupenyiapan pangan untuk mengidentifikasipotensi bahaya yang berkaitan denganbahan atau prosedur pengolahan bahanpangan. Penerapan HACCP juga bertuju-an untuk mengetahui cara mengendalikanrisiko bahaya yang mungkin muncul.Melalui sistem tersebut, selanjutnyaditetapkan langkah-langkah pengolahanyang tepat untuk mencegah dan me-ngendalikan risiko bahaya.

Pada prinsipnya, HACCP merupakansistem manajemen untuk menghindarkanatau mencegah makanan dari bahayabiologis (termasuk mikrobiologis), kimia,dan fisik. Secara sederhana, sistem inidapat diterapkan dengan langkah awalmengidentifikasi potensi bahaya dandilanjutkan dengan tahapan pengendalianagar risiko yang muncul dari bahayatersebut dapat dihilangkan atau ditekan.Pendekatan HACCP terdiri atas tujuhprinsip, yaitu:1. Analisis potensi bahaya. Tindakan ini

dilakukan untuk mengidentifikasi danmengevaluasi potensi bahaya yangdiperkirakan dapat terjadi pada setiaplangkah produksi makanan, mulai daripenanaman (budi daya), pemanenanatau penyembelihan, pengolahan,distribusi dan penyiapan makanansampai konsumen akhir. Pada setiaplangkah tersebut, kemungkinan mun-culnya bahaya dan tingkat keparahanefek buruknya terhadap kesehatandikaji dan diukur sehingga tindakanpengendalian dapat diidentifikasi.

2. Penentuan titik kendali kritis. Setiappotensi bahaya yang teridentifikasipada analisis pertama harus diikuti de-ngan satu atau lebih Critical ControlPoint (CCP) untuk mengendalikanbahaya tersebut. Pada langkah ini,tindakan pengendalian diterapkan danmerupakan tindakan yang pentingsehingga potensi bahaya dapat di-cegah, dihilangkan atau dikurangi ketingkat yang masih dapat diterima.

3. Penetapan batas kritis. Batas kritisadalah kriteria yang memisahkanantara penerimaan dan penolakan.Batas kritis mencerminkan batasanyang digunakan untuk menjaminproses yang berlangsung menghasil-kan produk yang aman. Dalam prosespengolahan, suhu tertentu, kombinasisuhu-waktu, nilai pH atau kadar garamdapat mengendalikan potensi bahayajika hal tersebut dipenuhi dengan baik.Sebagai contoh, pada pH < 4,50 per-tumbuhan C. botulinum dapat dicegahkarena nilai pH tersebut merupakanbatas kritis yang apabila dipenuhidapat mengendalikan bahaya yangditimbulkan oleh patogen tersebut.

4. Penetapan sistem pemantauan. Bagi-an penting dari sistem HACCP adalahpemantauan terhadap parameterkendali (misalnya suhu-waktu, pH)pada titik kendali kritis (CCP) untukmemastikan bahwa pengendalianGambar 5. Skema penerapan sistem keamanan pangan pada tiap tahapan produksi.

GFP GHP GMP GDPPrapanen Pascapanen

Konsumen

Penanganan(pascapanen)

Pengolahanhasil Distribusi

t

s

ss

s

s

t

t

s

t

Budi dayapertanian

Saranaproduksi

Produksipertanian

Pasar

t ts s

Page 8: All About Mikroba

74 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007

terhadap bahaya tengah diterapkandan batas kritis diamati. Dalam peng-olahan makanan komersial, tindakantersebut memerlukan jadwal pengujianatau observasi. Pada tahapan ini di-lakukan serangkaian pengamatan ataupengukuran untuk memeriksa apakahCCP di bawah kendali dan untukmemperoleh catatan yang akurat untukdigunakan dalam verifikasi.

5. Penetapan tindakan korektif. Jikahasil pemantauan menunjukkanbahwa CCP melampaui batas kritismaka segera diketahui tindakan yangdapat dilakukan untuk memperbaikisituasi tersebut dan untuk menanganimakanan yang diproduksi bila titikkendali kritis tidak berada dalamkendali. Sebagai contoh, jika suhuuntuk pemasakan tidak mencapai bataskritis maka makanan mungkin perludipanaskan kembali. Meskipun bukanpersyaratan yang mutlak, tindakanperbaikan harus ditetapkan sebelumrencana HACCP.

6. Penetapan prosedur verifikasi.Verifikasi meliputi uji dan prosedur

tambahan untuk memastikan bahwasistem HACCP berjalan dengan efektif.Langkah ini juga dapat menunjukkanjika rencana HACCP memerlukanmodifikasi.

7. Penetapan dokumentasi dan pe-nyimpanan dokumen. Langkah iniharus mencakup semua dokumentasidan catatan yang sesuai untuk renca-na HACCP, seperti rincian analisis ba-haya, penentuan CCP dan batas kritis,pemantauan dan verifikasi. Dokumen-tasi dan penyimpanan catatan harussesuai dengan jenis rencana tersebut.

KESIMPULAN

Makanan dari produk pertanian merupa-kan sumber gizi bagi tubuh. Setiapindividu berhak mendapatkan makananyang bergizi dan aman agar dapat hidupsehat. Kesalahan dalam memilih makananjustru dapat menuai penyakit bahkanberujung pada kematian.

Kasus keracunan makanan dapat di-sebabkan oleh faktor manusia karena

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M. and Y. Motarjemi. 1999. Basic FoodSafety for Health Workers. World HealthOrganization of the United Nations, Rome.

Agus, A., Nuryono, S. Wedhastri, Maryudani,Sardjono, dan C.K. Noviandi. 2006. Aflatoksindalam pakan. Makalah disampaikan dalamPertemuan Forum Aflatoksin Indonesia,Fakultas Teknologi Pertanian UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari 2006.

Atmadjaja, J.S., S. Sudarmadji, E. Sugiharto, andE.S. Rahayu. 1995. Isolation and identifica-tion of histamine-farming bacteria fromIndonesian little-tuna. Indonesian Food andNutrition Progress 2(1): 36−40.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2004.Status regulasi cemaran dalam produkpangan. Buletin Keamanan Pangan, Nomor6. hlm.4−5.

Baumler, A.J., B.M. Hargis, and R.M. Tsolis. 2000.Tracing origin of Salmonella outbreaks.Science 287(5450): 50−52.

Bergdoll, M.S. 1990. Staphylococcus foodpoisoning. p. 145−168. In FoodborneDisease. Academic Press, San Diego.

Dharmaputra, O.S. 2006. Aflatoksin pada bahanpangan dan produk olahannya di Indonesia.Makalah disampaikan dalam PertemuanForum Aflatoksin Indonesia, FakultasTeknologi Pertanian Universitas GadjahMada, Yogyakarta, 24 Februari 2006.

kurangnya pengetahuan tentang pe-nanganan maupun pengolahan makananyang baik, serta praktek sanitasi danhigiene yang belum memadai. Sering kalicemaran berasal dari pengolah makananmaupun dari peralatan yang digunakandalam pengolahan dan lingkungan tempatpengolahan. Cemaran dapat terjadi karenakontak langsung antara anggota tubuhorang yang sedang sakit dengan makanan,baik yang disengaja maupun tidakdisengaja.

Cemaran mikroba patogen seperti S.aureus, E. coli, C. botulinum, C. perfri-ngens, dan L. monocytogenes yangberbahaya bagi kesehatan manusia harusdikurangi mulai dari tahap budi daya,panen, pascapanen, pengolahan hinggadistribusi. Oleh karena itu, sangatdianjurkan untuk menerapkan GoodAgriculture Practices, Good FarmingPractices, Good Handling Practices, danHazard Analysis and Critical ControlPoint sehingga menghasilkan panganyang aman, bermutu, dan bergizi.

Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami, dan S.Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya konta-minasi S. aureus dan titik kendali kritis padapengolahan produk daging ayam dalam usahajasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu danTeknologi Pertanian 16(3): 7−15.

Kasryno, F., W. Rosegrant, C. Ringler, S.Adiwibowo, R. Beresford, M. Bosworth, G.M.Collado, I. Gonarsya, A. Gulati, B. Isdijo,Natasukarya, D. Prabowo, E.G. Sai’id, S.M.P.Tjonronegoro, dan P. Tjitropranoto. 2004.Strategi pembangunan pertanian dan pedesa-an Indonesia yang memihak masyarakatmiskin. Laporan ADBTA No. 3843-INO.Agricuture and Rural Development Strategy(ARDS) Study. AARD-CASER, ADB,SEAMEO-SEARCA in association withCRESCENT, Bogor.

Keswandani, R. 1996. Identifikasi titik pe-ngendalian kritis pengolahan produk dagingdan ikan dari industri jasa boga golongan A-2 terhadap cemaran bakteri Salmonella sp.Skripsi Jurusan Pengolahan Hasil Pertani-an, Fakultas Teknologi Pertanian, Univer-sitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 96 hlm.

Lampert, C.M. 1980. Modern Dairy Product.New York Publishing, Co. Inc, p. 234−255.

Misgiyarta and S.J. Munarso. 2005. Microbecontaminant at fresh vegetables. Paperpresented in the 9th ASEAN Food Conference,Jakarta 8−10 August 2005.

Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C.M.L.Harper. 1995. Microbiological status of beefcarcass meat in Indonesia. J. Food Safety15: 291−303.

Nugroho, W.S. 2005. Tingkat cemaran Salmonellasp. pada telur ayam ras di tingkat peternakanKabupaten Sleman Yogyakarta. ProsidingLokakarya Nasional Keamanan PanganProduk Peternakan, Bogor, 14 September2005. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. hlm. 160−165.

Poloengan, M., S.M. Noor, I. Komala, danAndriani. 2005. Patogenosis Campylobacterterhadap hewan dan manusia. ProsidingLokakarya Nasional Keamanan PanganProduk Peternakan, Bogor, 14 September2005. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. hlm. 82−90.

Raharjo, S. 1999. Teknik dekontaminasi cemaranbakteri pada karkas dan daging. Agrotech,Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian19(2): 8.

Rahayu, W.P. 2005. Jejaring Intelijen Pangan(JIP) dalam Sistem Keamanan PanganTerpadu (SKPT). Prosiding LokakaryaNasional Keamanan Pangan Produk Pe-ternakan, Bogor, 14 September. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan,Bogor. hlm. 3−5.

Rahayu, E.S. 2006a. Hasil-hasil penelitianaflatoksin. Makalah disampaikan dalam

Page 9: All About Mikroba

Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 75

dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indone-sia, Fakultas Teknologi Pertanian Universi-tas Gadjah Mada Yogyakarta, 24 Februari2006.

Sulaeman, A. and K. Nisa. 2005. Microbiologicalsafety of organic vegetables and the effectof postharvest handling. Paper presented inthe 9th ASEAN Food Conference, Jakarta 8−10 August 2005.

Supar dan T. Ariyanti. 2005. Keamanan panganproduk peternakan ditinjau dari aspek pra-panen: permasalahan dan solusi. ProsidingLokakarya Nasional Keamanan PanganProduk Peternakan, Bogor, 14 September2005. Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan, Bogor. hlm. 27−29.

Thahir, R., S.J. Munarso, dan S. Usmiati. 2005.Review hasil-hasil penelitian keamananpangan produk peternakan. Prosiding Loka-karya Nasional Keamanan Pangan ProdukPeternakan, Bogor, 14 September 2005.Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-ternakan, Bogor. hlm. 18−26.

Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia,Fakultas Teknologi Pertanian UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari 2006.

Rahayu, E.S. 2006b. Amankah produk pangankita: Bebaskan dari cemaran berbahaya.Makalah disampaikan dalam Apresiasi Pe-ningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian.Dinas Pertanian Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta dan Kelompok Pemerhati Ke-amanan Mikrobiologi Produk Pangan,Yogyakarta, 1 April 2006.

Rahmianna, A.A. 2006. Aflatoksin pada kacangtanah dan usaha untuk mengendalikannya.Makalah disampaikan dalam PertemuanForum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Tekno-logi Pertanian Universitas Gadjah MadaYogyakarta, 24 Februari 2006.

Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. FoodborneInfection and Intoxication. 2nd edition,Academic Press, Inc., San Diego.

Silalahi, B.E. 2006. Pengendalian cemaran afla-toksin di Garuda Food. Makalah disampaikan

Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobio-logi Dasar. S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5.Penerbit Erlangga, Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Keamanan Pangan. InstitutPertanian Bogor.

Wuryaningsih, E. 2005. Kebijakan pemerintahdalam pengamanan pangan asal hewan.Prosiding Lokakarya Nasional KeamananPangan Produk Peternakan, Bogor, 14September 2005. Pusat Penelitian danPengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 9−13.

Yogaswara, Y. dan L. Setia. 2005. Kajian hasilmonitoring dan surveilans cemaran mikrobadan residu obat hewan pada produk panganasal hewan di Indonesia. Prosiding LokakaryaNasional Keamanan Pangan Produk Pe-ternakan, Bogor, 14 September 2005. PusatPenelitian dan Pengembangan Peternakan,Bogor. hlm. 144−148.