aliran jabariyah

14
PENDAHULUAN Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?[1] Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan. Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.

description

tasawuf

Transcript of aliran jabariyah

Page 1: aliran jabariyah

PENDAHULUAN

Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?[1]

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

Di samping itu, berbagai ayat alquran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela.

Demikian pula banyak ayat lain dalam alquran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak memiliki kebebasan. Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.

A. ALIRAN JABARIYAH

Paham Jabariah ini muncul bersamaan dengan paham qadariah, dan tampaknya reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan, jika qadariah di irak, maka jabariah di Khurasan Persia.

Menurut bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa namaJabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Menurut faham Jabarih manusia tidak mempunyai kemampuan dan

Page 2: aliran jabariyah

kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali.

Dalam filsafat Barat aliran ini desebut Fatalism atau Predestination. Sedangkan secara istilahJabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwaJabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[2]

Sedangkan menurut al-syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah swt.

Dalam istilah Inggris paham jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar tuhan. Dengan demikian posisis manusia dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak tuhan. Oleh karena itu aliran jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.

Paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama islam datang ke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberi pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Cuaca yang panas terik ternyata tidak dapat member kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan. Dengan suasana alam yang demikian menyebabkan mereka tidak mempunyai kesanggupan apa-apa selain patuh, tunduk, dan pasrah terhadap kehendak tuhan.

Namun terlepas dari ada atau tidaknya kondisi alam yang demikian al-qur’an sendiri banyak memuat ayat-ayat yamh dapat membawa kepada timbulnya paham jabariyah seperti terdapat pada surat-surat berikut:

Surat alsaffat ayat 96 yang berbunyi “allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”

Surat al-an’am ayat 112 yang berbunyi “mereka sebenarnya tidak akan beriman, sekiranya allah tidak menghendaki”.

Surat al-anfal ayat 17 yang berbunyi “bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar (musuh), tetapi allahlah yang melempar mereka.”

Surat al-ikhsan ayat 30 yang berbunyi “bukanlah kamu yang menghendaki, tetapi allah yang menghendaki”.

Page 3: aliran jabariyah

Dengan demikian aliran jabariyah memilki dasar pijak di dalam al-qur’an dan kedudukan yang sejajar dengan paham qadariyah.

Aliran jabariyah kemudian mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu. Jabariyah mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam keadaan terpaksa, tidak mempunayi kebebasan dan kermerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, melainkan terikat pada kehendak tuhan.

Paham jabariyah yang dikemukan jahm bin safwan itu adalah paham jabariyah yang ekstrim. Sementara terdapat pula paham jabariyah yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-najjar dan Dirar Ibn ‘Amr.

Menurut Najjar dan Dirar, bahwa tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan positif maupun negative. Tetapi dalm melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang kemudian disebut kasb atau acquisition.

Jabariyah yang ekstrim dalam istilah yang diberikan oleh al-syahrastani disebut al-jabariyah al-kkalish, yaitu jabariyah yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia. Sedangkan jabariyah yang moderatdiberi istilah al-jabariyah al-mutawasithah, yaitu jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. Sementara itu ada pula yang berpendapat bahwa qudrat yang dimiliki manusia itu mempunyai efek pada perbuatan, yang kemudian dinamakan kasb, dan bukan lagi jabari.

Jika paham jabariyah yang dibawa oleh jahm bin safwan di atas dibandingkan dengan paham jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar, maka paham jabariyah sebagaimana yang dibawa oleh kedua orang yang disebut terakhir itu tidak lagi menggambarkan manusia sebagai wayang. Dalam paham jabariyah yang berakhir ini Nampak bahwa diantara manusia dan tuhan terdapat kerjasama dalam mewujudkan suatu perbuatan, dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbuatannya.

Baik aliran qadariyah maupun jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada al-qur’an. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam islam. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidak dapat dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh tuhan di akhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan mencoba menhubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah.

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliranJabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi

Page 4: aliran jabariyah

adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah, ajaran jabariah sepertinya diajarkan pertama kalinya oleh Al-Ja’ad bin dirham, meskipun yang lebih banyak menyebarkannya adalah Jahm bin shafwan dari Khurasan. Yang menyebabkan jabariah adalah pendapatnya yang menolak sifat-sifat atas Tuhan, yaitu tidak boleh memberikan sifat kepada Tuhan karena sifat tersebut juga dimiliki oleh manusia.dalam hal ini mereka menetapkan sifatdengan keadaannya yang berkuasa dan pencipta, sebabsifat ini hanya untuk Tuhan.secara prinsip jaham bin Sofyan menolak adanya kekuasaan di dalam diri manusia, karena manusia tidak mempunyai daya, kekuatan dan pilihan, dengan kata lain bahwa perbuatan manusia dipaksa oleh tuhan. Manusia dan benda lain merupakan symbol, pahala dan siksaan adalah paksaan seperti amal juga adalah paksaan.

Selain penyebar aliran jabariah, ia juga dikenal sebagai pemuka murjiah. Jahm bin shafwan juga menentang kekuasaan bani umayah. Akibatnya, ia ditangkap lalu dihukum mati.[3]

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.

Paham jabariah dalam memecahkan beberapa masalahnya didasarkan kepada al-qur’an surat as-shaffat ayat 96, dn mentakwilkan ayat-ayat itu dengan pemahaman mereka sendiri secara tekstual, sebenarnya ayat tersebut hanya menunjukan kelemahan mahluk dalam pengertian bahwa apabila mahluk mengetahui lemah iradahnya, maka mau tidak mau mengakui akan kekuasaan Allah. Hal ini bukan berarti bahwa manusia tidak mempunyai iradah sama sekali, seperti apa yang dikatakan oleh kaum jabariah, tetapi harus diartikan bahwa iradah manusia mampu atas sesuatu tetapi tidak mampu pada sesuatu yang lain[4]

Tokoh jabariyah

Jahm ibn Shofwan

Nama lengkapnya adalah Au Mahrus jahm Ibn shofwan, ia berasal dari khurasan, bertempat tinggal di Khuffah; ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator) : ia menjabat sebagai sekretaris harits Ibn surais, seorang mawali yang menetang bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian di bunuh secara politis tidak ada kaitannya dengan agama.

Mengenai teologi jahm berpendapat bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa.[5]

Page 5: aliran jabariyah

C. ALIRAN QADARIYAH

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpahamQadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwaQadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan.

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.

Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalm menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa campur tangan tuhan.

Selanjutnya qadariyah, sebagaimana dikemukakan Ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri.

Page 6: aliran jabariyah

Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Mushthafa al-Ghurabi antara lain menyatakan “bahwa sesungguhnaya allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh tuhan kepadanya, karena jika allah member beban kepada manusia, namun ia tidak memberikan kekuatan kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi.

Pemahaman tentang qadariyah jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat al-qudrat yang dimiliki oleh allah, karena pemahaman terhadap sifat al-qudrat ini lebih ditujukan kepada upaya ma’rifat kepada allah, sedangkan paham qadariyah lebih ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat yang dimiliki manusia dengan qudrat yang dimiliki tuhan. Qudrat tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat allah, tunggal, tidak berbilang dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan (al-maqdurat), serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrat manusia adalah sementara, berproses, bertambah dan berkurang, dapat hilang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdekadalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu, jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semuanya itu adalah atas pilihannya sendiri.

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhabQadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaranQadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.

Dengan demikian paham qadariyah di samping berbeda dengan paham tentang sifat qudrat allah, juga berbeda dengan paham takdir yang umumnya dipahami masyarakat, yaitu paham yang berpendapat bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu sejak azali, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan oleh tuhan terhadap dirinya. Menurutnya, Allah itu adil allah akan menghukum orang yang bersalah dan member pahala kepada orang yang berbuat kebaikan, manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan lebih dulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya. Manusia harus memiliki kebebasan berkehendak. Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah bergantung pada qadar allah saja, selamat atau celaka seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat, menurut paham ini. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan, dan Allah mustahil melakukan kejahatan.

Page 7: aliran jabariyah

Ajaran qadariah ini kemudian berkembang pesat dan mendapat pengikut yang cukup banyak, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad dan beberapa pengikutnya ditangkap dan ia sendiri dibunuh di damaskus pada tahun 80 hijriah atau 690 masehi. Setelah peristiwa inimaka pengaruh paham semakin surut, akan tetapi dengan munculnya paham mu’tazilah, eksistensinya kembali muncul, karena sebetulnya paham mu’tazilah ini dapat diartikan sebagai jelmaan paham qadariah, karena antara keduanya memiliki kemiripan dalam filsafatnya, yang selanjutnya disebut sebagai kaum qadariah ,u’tazilah.

Sebagian orang mu’tazilah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal dari Allah, sedanggkan perbuatan yang buruk itu dari manusia, atau manusia sendiri yang membuatnya dan tidak ada sangkutpautnya dengan Allah.

Namun demikian paham takdir yang lebih memperlihatkan eksistensi manusia itu tetap saja terbatas, nisbi dan tidak mungkin sama dengan qudrat yang dimiliki tuhan.

Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu dipengaruhi oleh paham dari luar atau tidak, yang jelas di dalam al-qur’an dapat dijumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah sebaimana disebutkan di atas.

Dalam surat al-rad ayat11 yang berbunyi “sesungguhnya allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri”.

Dalam surat al-sajadah ayat 40 yang berbunyi “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu perbuat”.

Dalam surat al-kahfi ayat29 yang berbunyi “katakanlah: kebenaran itu dari tuhanmu, barangsiapa yang mau berimanlah ia, dan barangsiapa yang mau janganlah ia beriman”. Dengan demikian paham qadariyah memiliki dasar yang kuat dalam islam, dan tidaklah beralasan jika ada sebagian orang menilai paham ini sesat atau keluar dari islam

Ada juga hadis yang berhubungan dengan paham ini, yaitu:

Dari hudzaifah r.a. berkata : rasulullah SAW bersabda” bagi tiap-tiap

Umat ada majusinya. Dan majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barang siapa di antara mereka itu mati, maka janganlah kamu menshalati jenazahnya. Dan barang siapa di antara mereka itu sakit, maka janganlah kamu menjenguknya. Mereka adalah golongan dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengkaitkan mereka itu dengan dajjal itu” (HR abu dawud).

Mereka dikatakan majusi, karena itu mereka mengatakan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran majusi atau zaroaster yang

Page 8: aliran jabariyah

mengatakan adanya dewa terang, kebaikan dan siang, disebut Ahura, mazda dan dewa keburukan, gelap dan malam, yang disebut Ahriman atau Angra Manyu

d. Ajaran-ajaran Qadariyah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.

Faham takdir yang dikembangkan olehQadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.

Tokoh qadariyah

Ma’bad Al-Juhani

Ia adalah tokoh pertama yang menyatakan paham ini. Kemudia diikuti oleh Ghailan, ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa melaksanakan perbuatan-perbuatan atas kehendaknya sendiri, dan manusia pula yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat berdasarkan kemampuan dan dayanya. Paham qadariyah telah meletakan manusia pada posisi merdeka [6]dalam menetukan tingkah laku dan kehendaknya (free act free will).[7]

Page 9: aliran jabariyah

KESIMPULAN

Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.

Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyahtersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan

Page 10: aliran jabariyah

berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyahdan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.

Daftar Pustaka:

fauzi, ahmad. Ilmu kalam. Cirebon: STAIN Press 2008

Nata, abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, Dan Tasawuf. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. 1995

Mustopa. Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam. Cirebon: CV Hikmah. 2010

Nasir Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. 1994

[1]. Abuddin Nata, Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. 1995. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cet ke-3, hal. 36

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1

[3] Atang ABD, Hakim, Jaih Mubarak. Metodologi Studi Islam. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2008), Cet ke-2, h. 156

[4] Ahmad fauzi, ilmu kalam. Cirebon: STAIN Press. Hal 76

[5] Mustafa. Mahzab-mahzab ilmu kalam. (Cirebon: CV. Hikmah, 2010) hal,39

7.Mustafa. Mahzab-mahzab ilmu kalam. (Cirebon: CV. Hikmah, 2010) hal,33