alat ukur kecemasan 2
-
Upload
yasho-al-frida -
Category
Documents
-
view
727 -
download
1
description
Transcript of alat ukur kecemasan 2
BAB II
TINJAIJAN PUSTAKA
A. Kecemasan
1. Pengert ian Kecemasan
Kecemasan adalah suatu bentuk emosi yang lain selain emosi dasar
(Hilgard dkk., 1979). Kecemasan adalah suatu keadaan atau kondisi emosi
yang tidak menyenangkan. Kondisi ini dapat dikatakan pernah dialami oleh
semua orang walaupun dengan taraf yang berbeda-beda . Seberapa besar
pengaruh dan baga imana individu menghadapinya te rgantung pada kondisi
individu tersebut . Jadi kecemasan merupakan pengalaman emosiona l yang
sifatnya subyektif (Atwater , 1983), yang merupakan mani fes tas i dari
berbagai proses emosi yang bercampur , yang ter jadi ket ika orang sedang
mengalami tekanan perasaan (f rustas i ) dan per tentangan bat in (konf l ik)
(Daradjat, 1975).
Menurut Drever (1986), kecemasan adalah keadaan emosi yang
kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut sebagai
unsurnya yang pal ing menonjo l , khusus pada berbagai gangguan syaraf dan
mental. Biasanya kecemasan ini t imbul karena adanya ancaman-ancaman
baik yang bers i fa t nyata maupun imaj iner terhadap keamanan seseorang
(Hall dan Lindzey, 1978). Kecemasan sering muncul pada orang yang
d ianggap normal , meskipun kecemasan merupakan s imtom semua
8
9
psikopatologi terutama gangguan neurotik (Davison dan Neale, 1978).
Menurut Hurlock (1973), kecemasan sama seperti kekhawatiran
yang berasal dari ketakutan. Biasanya seseorang yang mengalami
kecemasan mempunyai perasaan yang tidak menyenangkan (Hilgard dkk.,
1979) disertai satu atau lebih keluhan fisik. Perasaan ini hampir sama
seperti bila dia mengalami ketakutan. Akan tetapi pada kecemasan,
perasaan ini sifatnya kabur atau tidak jelas objeknya. Sedangkan pada
ketakutan objeknya jelas. Walaupun demikian tidak jarang kecemasan dan
ketakutan terjadi secara bersamaan (Atwater, 1983).
Kecemasan, walaupun merupakan suatu perasaan yang t idak enak
mempunyai peranan yang konstruktif , yaitu sebagai peringatan akan adanya
bahaya (Atwater , 1983). Dalam keadaan ini seseorang akan lebih waspada
dan berusaha mengatasi masalahnya dengan mengadakan perencanaan
tindakan yang efektif . Sebaliknya bila kecemasan begitu kuat , maka ia
tidak lagi berfungsi sebagai peringatan adanya bahaya, dan seseorang tidak
lagi mampu mengadakan perencanaan yang efektif terhadap t indakannya.
Lazarus (1976) memberikan batasan kecemasan sebagai reaksi
individu terhadap hal yang dihadapi yang merupakan suatu perasaan yang
menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, kekhawat i ran dan
sebagainya yang berhubungan dengan aspek subjektif emosi seseorang.
Ditambahkannya pula bahwa kecemasan merupakan gangguan yang
kompleks, disertai dengan perubahan fisiologis.
10
Lazarus (1976) juga mengatakan bahwa istilah kecemasan
mempunyai dua macam arti, yaitu: kecemasan sebagai suatu respon, dan
kecemasan sebagai intervening variable.
a. Kecemasan sebagai suatu respon
Hampir setiap individu pernah mengalami kecemasan sebagai suatu
peasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini ditandai oleh kegelisahan,
kebingungan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Perasaan yang
dialami individu tersebut hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh yang
bersangkutan saja. Kecemasan disini dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) State anxiety, adalah gejala kecemasan yang timbul bila individu
berhadapan dengan situasi tertentu yang menyebabkan individu
mengalami kecemasan, dan gejalanya akan selalu kelihatan
selama situasi tersebut terjadi.
2) Trait anxiety, adalah kecemasan sebagai suatu keadaan yang
menetap pada individu. Kecemasan ini berhubungan erat dengan
kepribadian individu yang sedang mengalami kecemasan. Dengan
kata lain kecemasan mengandung pengertian disposisi untuk
menjadi cemas dalam menghadapi bermacam-macam situasi.
Sehubungan dengan hal ini, kecemasan dipandang sebagi suatu
simtom, yaitu keadaan yang menunjukkan kesukaran dalam
menyesuaikan diri.
11
b. Kecemasan sebagai intervening variable
Kecemasan disini diartikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi serangkaian stimulus dan respon. Jadi, kecemasan dalam hal
ini tidak dapat diketahui secara langsung melalui observasi, akan tetapi
hanya dapat diketahui secara tidak langsung dari keadaan yang mendahului
dan akibatnya. Observasi hanya dapat mengetahui maupun akibatnya,
dalam bentuk fisiologis keadaan yang mencemaskan (Lazarus, 1969).
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa kecemasan adalah
suatu pengalaman emosional yang dirasakan sebagai suatu yang tidak
menyenangkan, tidak je las apa yang dirasakan dan tidak diketahui pasti
penyebabnya, yang biasanya timbul karena ancaman baik dari luar maupun
dari dalam tubuh terhadap integritas aspek psikologis maupun aspek
fisiologis. Pada umumnya kecemasan dapat mempengaruhi kehidupan
sehari-hari, juga mempengaruhi penyesuaiannya terhadap lingkungan dan
merupakan problem yang subjektif .
2. Reaksi Terhadap Kecemasan
Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kecemasan adalah suatu bentuk
emosi yang lain selain emosi dasar, maka reaksi terhadap kecemasan,
seimbang dengan reaksi manusia pada umumnya terhadap emosi yang
meningkat, dapat dibedakan atas reaksi fisiologik dan reaksi psikologik
(Hilgard dkk., 1979).
12
Reaksi fisiologik adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-organ
yang diproses oleh syaraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran
darah, kelenjar , pupil mata, sistem pencernaan makanan, dan sistem
pembuangan (Hilgard dkk., 1979). Dengan meningkatnya emosi atau
perasaan cemas satu atau lebih dari organ-organ tersebut akan meningkat
dalam fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam
lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam
memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang berlebihan.
Dalam situasi ini kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang
berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara t idak wajar.
Seirama dengan Hilgard, menurut Kartono (1981), tekanan pikiran yang
berat, menyebabkan keluarnya energi yang luar biasa, yang akhirnya
menjadikan naiknya tekanan darah dan berubahnya susunan kimiawi darah
yang membahayakan kesehatan. Bila hal ini terjadi terus menerus, akan
menimbulkan penyakit lambung, tekanan darah tinggi, dan asma.
Kecemasan dapat terwujud pada reaksi emosional dari keadaan j iwa
individu, baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga bisa
mengganggu efisiensi individu dalam menghadapi masalah. Reaksi yang
timbul secara psikologis dapat berupa perasaan yang menyertai reaksi
fisiologis seperti perasaan tegang, rendah diri, kurang percaya diri, tidak
dapat memusatkan perhatian serta adanya gerakkan-gerakkan yang tak
terarah atau tidak pasti (Hadfield, dalam Adi, 1985).
13
Daradjat (1975) mengungkapkan bahwa gejala kecemasan dapat
bersifat fisik maupun bersifat mental. Gejala fisik meliputi u jung-ujung jari
terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung lebih cepat dan
sebagainya. Gejala mental berupa ketakutan, tidak dapat memusatkan
perhatian, tidak tentram dan lain-lain. Individu biasanya tidak mengetahui
penyebab ketakutannya. Pada kecemasan yang tinggi, individu biasanya
sering bermimpi yang menakutkan pada malam hari hingga terkejut dan
tidak dapat tidur lagi. Strange (1976) juga mengemukakan bahwa dalam
kondisi kronis, kecemasan dapat diketahui dari berbagai gejala yang
tampak, seperti misalnya otot kejang, jantung berdebar serta tak teratur,
perubahan kelenjar tubuh serta perasaan akan sesuatu yang tidak
menyenangkan dan tidak diketahui penyebabnya.
Menurut Bucklew (1960), apabila seseorang mengalami kecemasan,
maka reaksi yang tampak ada dua t ingkatan, yaitu:
a. Tingkat psikologis, pada tingkat ini tampak adanya gejala psikologis
seperti gerakan-gerakan tak terarah, perasaan tegang, ragu-ragu,
khawatir , bingung, sukar berkonsentrasi , perasaan tidak menentu dan
tidak jelas , serta gejala lainnya yang saling bercampur aduk.
b. Tingkat f isiologis, pada t ingkat ini kecemasan menyebabkan adanya
disorganisasi proses f isiologis, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf
seperti keluarnya keringat dingin yang berlebihan, jantung berdebar-
14
debar, tidak dapat tidur, sirkulasi darah tidak teratur, rasa mual,
gemetar dan lain-lain.
Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan cenderung diubah dalam
bentuk gangguan simtomatik yang dapat membahayakan kesehatan, dan
lebih jauh lagi akan dapat mengakibatkan adanya gangguan pada seseorang
dalam merespon stimulus-stimulus yang datang padanya, baik yang datang
dari dalam dirinya maupun yang datang dari luar.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa manifestasi
kecemasan adalah suatu bentuk reaksi emosi selain emosi dasar yang
gejalanya dapat bersifat fisik maupun bersifat mental. Pada gejala yang
bersifat fisik terlihat adanya disorganisasi fungsi sistem syaraf sedangkan
pada gejala yang bersifat mental berupa ketakutan, perasaan tidak menentu
dan tidak jelas.
3. Pengukuran Kecemasan
Manifestasi dari kecemasan dapat berupa aspek psikologis maupun
fisiologis. Untuk mengungkap atau mengukur gejala kecemasan ada
beberapa metode, yaitu:
a). Se l f report atau questionaire, merupakan sejumlah pertanyaan-
pertanyaan yang harus di jawab oleh individu berupa test skala
kecemasan.
15
b). Overt behavioral, dengan melakukan observasi terhadap individu,
dapat terlihat dari ekspresi seperti gemetar, pucat, menggigit-gigit
kuku dan sebagainya.
c). Physiological, menggunakan alat-alat pengukur tertentu, seperti
pengukuran denyut jantung, pernafasan, keluarnya keringat, aktivitas
kelenjar adrenalin dan lain-lain (Davison, dalam Adi, 1985).
Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur kecemasan itu
sendiri ada beberapa macam, yaitu:
a. MMPI
Tes ini dikembangkaan di tahun 1937 oleh Starke Hathaway, seorang
ahli psikologi dan J. Charnley Mckinley, seorang dokter psikiatri .
Minnesota Multiphasic Personality Inventory adalah inventarisasi yang
dilaporkan oleh pasien sendiri ( S e l f - r e p o r t ) terdiri atas 500 lebih
pernyataan dan 17 skala, seperti: A = kecemasan {anxiety), R = Represi
{repression), ES = Kekuatan ego {ego strength), dan lain-lain.
Kelemahannya: cenderung menekankan psikopatologi berat (Kaplan,
dkk., 1997).
b. TMAS
Alat ini merupakan alat pengukur kecemasan yang per tama kali,
diciptakan tahun 1950 oleh Janet Taylor, tes ini disebut TMAS {Taylor
Manifest Anxiety Scale).
16
Taylor mula-mula menggunakan TMAS untuk mengungkap:
1.Variasi tingkat dorongan {drive) yang dimiliki seseorang, yang
berhubungan dengan internal anxiety atau emosionality.
2. Intensitas kecemasan, yang diketahui dari tingkah laku yang nampak
keluar atau yang dimanifestasikan melalui gejala-gejala reaksi
kecemasan (Subandi, 1995).
Komponen yang mendasari terdiri dari:
1. self consciousness, lack of self confidence, constant worrying
(kesadaran diri, kurang percaya diri, dan kecemasan menetap).
2. Fear of blushing, cold hand, sweating (tersipu-sipu, tangan dingin
dan berkeringat).
3. Lost of sleep, worry (gangguan tidur dan cemas).
4. Restlessness, motor tension, heart pounding, out of breath (gelisah,
tekanan terhadap alat gerak, jantung berdebar dan kehabisan nafas).
(Adi, 1985).
IPAT
Sesuai dengan perkembangan teori yang membedakan state dan trait
anxiety maka pengukuran kecemasanpun dibedakan menjadi dua macam.
State anxiety untuk kecemasan yang temporer atau terpengaruh oleh
situasi yang ada, sedangkan trait anxiety menunjukkan proneness atau
kecenderungan individu untuk bersikap cemas. Cattel dan Scheier
17
kemudian mengembangkan IPAT (Anxie ty scale pada institute for
personality and Ability testing). Tes ini untuk mengukur general anxiety
(kecemasan umum) yang disebut juga dengan free floating atau manifest
anxiety. Kecemasan tersebut termasuk dalam tipe trait anxiety dan sudah
diadaptasikan oleh Sumadi Suryabrata dan Bambang Suwarno.
Komponen pada skala IPAT terdiri dari lima unsur yaitu:
1. Q3 = Defective integration, Lack of self sentiment.
2. C - Ego weakness, Lack of ego strength.
3. L = Suspiciousness or paranoid insecurity.
4. O = Guilt proneness.
5. QA = Frustative tension or Id pressure (Adi, 1985).
d. STAI
STAI (State-Traite Anxiety Inventory) dikembangkan oleh Spielberger.
Skala ini untuk mendapatkan self report (melapor sendiri) pada format
jenis Likert yang relatif singkat dan cukup untuk mengukur baik State
Anxiety {A-State) maupun Trait Anxiety (A-Trait). Dengan demikian test
ini disusun berdasarkan atas dua komponen yaitu:
a). State anxiety {A-State), merupakan kecemasan sesaat atau karena
keadaan.
b). Trait anxiety {A-Trait), merupakan kecemasan yang relatif permanen
atau karena sifat.
18
Kelebihan dari test ini adalah memungkinkan perbedaan keadaan dan
sifat kecemasan diteliti dengan baik, sedangkan kelemahannya adalah
nomor STAI dibuat transparan (Kaplan, dkk., 1997).
Instrumen yang digunakan oleh penulis untuk mengukur tingkat
kecemasan mahasiswa teknik adalah TMAS, digunakannya skala TMAS
karena skala ini menekankan pada kecemasan umum, aitem lebih sedikit
dibandingkan dengan MMPI sehingga subjek tidak mengalami kebosanan,
nomor skala dibuat tidak transparan, dapat mengungkap variasi tingkat
dorongan dan intensitas kecemasan, dan biasanya digunakan untuk
keperluan treatment.
4. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Menurut beberapa ahli (Partosuwido, 1992; Webster, 1962;
Meichati, 1983; Gazali ,1980; Hurlock,1975), faktor-faktor penyebab yang
mempengaruhi kecemasan pada mahasiswa adalah sebagai berikut.
a. Faktor Masa Transisi
Perubahan yang ter jadi pada mahasiswa menyebabkan sikap atau
perlakuan lingkungan juga berubah. Mahasiswa yang masih berada pada
masa remaja akhir menempati posisi antara masa remaja awal dan masa
dewasa, yang perubahan ini sering disebut dengan masa dewasa.
Diskontinuitas peran yang ter jadi , menyebabkan tuntutan yang berbeda
pada tiap periode perkembangan, mengharuskan remaja untuk banyak
19
melakukan penyesuaian pada masa transisi ini. Menurut White dan Watt
(dalam Partosuwido, 1992) Pada mahasiswa tingkat awal dihadapkan
pada situasi baru yang sama sekali asing, suatu kehidupan baru yang
penuh dengan tantangan, sedangkan ia telah memiliki pengalaman dan
kebiasaan lama yang belum tentu sesuai dengan situasi baru. Keadaan
ini menimbulkan rasa cemas, sedih, ragu, sehingga seseorang tidak
mampu menguasai perasaan dan merasa frustasi , suatu keadaan yang
menunjukkan tanda-tanda gangguan penyesuaian. Keadaan ini selalu
dihadapi oleh mahasiswa, walaupun tidak semua mahasiswa
mengalaminya sebagai hambatan, namun dapat dikatakan penuh
tantangan sehingga mudah menimbulkan hambatan, dan menurunkan
kemampuan menyesuaikan diri (Partosuwido, 1992).
Senada dengan white dan watt, menurut Webster (1962) kegagalan
dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan perasaan cemas,
perasaan tidak aman dan kegagalan tersebut membuat individu
kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri dan melemahkan daya
juang pada individu (Meichati , 1983).
b. Faktor fisik
Perkembangan fisik pada masa remaja akhir tetap tampak walaupun
mengalami perlambatan, dalam arti tidak sepesat perkembangan pada
masa remaja awal, yaitu yang menyangkut perubahan fisik seperti tinggi
badan dan proporsi tubuh (Hurlock, 1999), namun kegiatan hormon
20
seksual yang berkaitan dengan dorongan-dorongan seks tidak jarang
menimbulkan konflik dalam diri mereka dikarenakan pertimbangan-
pertimbangan moral yang saling bertentangan dengan pengaruh
dorongan-dorongan seks (Gazali , 1980).
c. Faktor psikologis
Menurut Gessel (dalam Hurlock,1975) remaja mengalami rasa takut
{fear) akibat hubungannya dengan orang lain, juga mengalami rasa
bersalah {guilt) timbul karena konflik internal antar nilai yang
dipegangnya dengan perilaku yang tidak sejalan. Semakin jauh perilaku
remaja menyimpang dari norma, makin besar potensinya untuk merasa
bersalah (Hurlock, 1975).
Menurut Offer (dalam Hurlock, 1999) kebanyakan remaja berada pada
tipe surgent growth dan tumultous growth. Pada surgent growth remaja
berkembang tidak menentu dan mengalami situasi yang labil, kadang
progresif dan kadang regresif Pada tumultous growth remaja tampak
banyak mengalami masalah dalam hal perilaku, timbul kecemasan dan
konflik dengan orang tua.
d. Faktor Kognitif
Reaksi emosional manusia diakibatkan oleh proses kognitif atau cara
manusia berpikir (Burns, 1988; Beck dalam Retnowati , 1990). Menurut
Schachter (Powell, 1983), antara berpikir dan emosi terdapat suatu
hubungan timbal balik. Bila individu menerima suatu stimulus,
21
emosinya akan timbul dan mempengaruhi emosinya. Jadi bila individu
berpikir positif tentang stimulus yang diterimanya, maka ia akan
mengalami emosi yang positif pula.
Berkaitan dengan kecemasan, menurut pandangan Frankl (dalam
Schultz, 1991) kecemasan atau hal-hal yang tidak menyenangkan akan
hilang apabila individu mengubah pola berpikirnya kearah yang posit if
Faktor penyebab yang dianggap penting untuk diteliti oleh penulis
adalah faktor masa transisi dan faktor kognitif , karena pada masa transisi
mahasiswa tahun angkatan awal lebih banyak mengalami kecemasan
dibandingkan dengan tahun angkatan tengah dan akhir, hal ini didasarkan
pada laporan dari bagian pelayanan bimbingan dan konseling mahasiswa di
UGM (Nasori, 2000). Sedangkan faktor kognitif yang juga dianggap
penting oleh penulis untuk diteliti dikarenakan, segala reaksi emosional
manusia diakibatkan oleh proses kognitif atau cara berpikirnya (Burns,
1988).
B. Tahun Angkatan
Istilah tahun dalam lingkungan Perguruan Tinggi ada dua, yaitu
tahun akademik dan tahun angkatan. Pengertian dari tahun akademik
adalah waktu yang digunakan untuk belajar atau kuliah pada seluruh
tingkat perguruan tinggi, sedangkan tahun angkatan adalah tahun yang
menunjukkan individu tercatat sebagai mahasiswa pada suatu Perguruan
22
Tinggi (Moeliono dkk.,1988). Penggunaan kata tahun angkatan terdapat
pada majalah "Warta Kampus" edisi Agustus 1997. Misalnya, Adis Noer
Rachmi Prima Dewi, mahasiswa Fakultas Ekonomi ill I angkatan 1993,
yang dapat diartikan bahwa Adis N. R. P. D. tercatat sebagai peserta didik
di UII pada tahun 1993 (Warta Kampus, 1997).
Berdasarkan pada ketentuan mahasiswa yang dinyatakan layak
melanjutkan studi (Katalog UII, 1997), maka menurut penulis tahun
angkatan mahasiswa dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Angkatan awal adalah terhitung mulai saat mahasiswa terdaftar sebagai
mahasiswa yaitu semester pertama (mahasiswa baru) sampai akhir semester
keempat.
b. Angkatan tengah adalah mahasiswa yang sudah terbebas dari Droup Out dan
belum diperkenankan mengikuti kegiatan akhir seperti: KKN (Kuliah Kerja
Nyata), TA (Tugas Akhir), dan Skripsi. Mereka berada di semester lima dan
enam.
c. Angkatan akhir adalah mahasiswa yang sudah melewati enam semester,
sudah boleh mengambil KKN (Kuliah Ker ja Nyata) , TA (Tugas Akhir),
dan Skripsi.
Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa tahun angkatan adalah
tahun saat pertama kali seorang mahasiswa tercatat sebagai peserta didik di
lembaga Perguruan Tinggi.
23
C. Berpikir Positif
1. Pengertian Berpikir Positif
Berpikir merupakan kemampuan manusia yang membedakannya
dengan makhluk lain. Dengan berpikir manusia menemukan hakikat
kemanusiaannya. Dengan berpikir, manusia menghadapi masalah-masalah
hidupnya. Berpikir secara umum adalah suatu cara penyesuaian individu
terhadap lingkungannya, baik secara internal maupun eksternal. Berpikir
terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar
(Vinacke, 1952), oleh karena itu dapatlah dikemukakan bahwa orang itu
berpikir bila menghadapi permasalahan atau persoalan (Walgito, 1990).
Berpikir positif menurut Peale (1992) adalah cara seseorang
beranjak mengatasi masalah dengan menekanan pada sisi positif dari
kekuatan atau diri sendiri. Contohnya, apabila seseorang dihadapkan pada
banyak rintangan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, maka individu
yang berpikir positif akan lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan yang
ingin dicapainya, Dengan kata lain, perhatian akan lebih banyak diarahkan
pada gambaran-gambaran tentang kepuasan atau perasaan senang pada saat
tujuan telah tercapai daripada terhadap rintangan yang tengah dihadapi saat
ini. Jadi individu memusatkan perhatian lebih banyak pada semua
kemungkinan positif yang ada, agar dapat mempertahankan semangatnya.
Sementara itu, Albrecht (dalam Susetyo, 1998) memberikan batasan
berpikir positif yang berkaitan dengan positive attention (perhatian
24
terhadap segi-segi yang posit if) dan positive verbalization (verbalisasi
positif). Segi-segi positif yang dimaksudkan diatas adalah pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan, harapan-harapan yang posit if , serta sifat-
sifat baik yang ada pada diri sendiri, orang lain maupun masalah yang
tengah dihadapi. Sedang verbalisasi positif menunjuk pada penggunaan
istilah-istilah yang positif dalam mengekspresikan pikiran maupun
perasaan. Menurut Susetyo (1998), berpikir positif adalah kemampuan
berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari
keadaan diri, orang lain, dan situasi yang dihadapi.
Berpikir positif merupakan sebuah keterampilan yang harus terus
dipelajari dan diusahakan, dan tidak akan datang dengan sendirinya. Orang
lebih mudah berpikir negatif daripada tetap mempertahankan pola berpikir
positif. Setiap saat individu harus selalu mengakt i fkan kembali
perhatiannya pada hal-hal yang positif. Berusaha untuk menemukan aspek
positif bukanlah hal yang mudah, terutama pada saat individu mengalami
situasi menekan yang berat dan beruntun. Asumsi ini juga dihasilkan dari
penelitian Goodhart (1985), bahwa efek berpikir negatif terbukti lebih
bertahan lama bila dibandingkan dengan efek berpikir positif . Hasil
pemusatan perhatian pada aspek yang negatif ternyata bertahan lama di
dalam ingatan individu, sehingga efeknyapun menjadi lebih lama.
Berdasarkan batasan-batasan diatas, dapat ditarik suatu pengertian
bahwa berpikir positif adalah kecenderungan kemampuan berpikir
25
seseorang yang lebih memusatkan perhatian pada aspek-aspek positif dari
keadaan diri sendiri, orang lain maupun masalah yang tengah dihadapi.
2. Efek Berpikir Positif
Menurut Albrecht (Susetyo 1998), dalam proses berpikir sadar
terdapat tiga bahasa berpikir, yaitu isyarat verbal, isyarat visual dan isyarat
kinestetik. Isyarat verbal berupa kata-kata yang dihasilkan oleh pikiran
individu. Misalnya seseorang berusaha mengkonsentrasikan pikirannya
pada suatu makanan yang lezat, maka individu tersebut akan menyebutkan
nama makanan tersebut di dalam pikirannya. Kemudian, isyarat visual
adalah kelanjutan dari isyarat verbal yang terjadi dalam bentuk bayangan,
gambaran atau imajinasi tentang apa yang tengah dipikirkan individu
tersebut. Jadi bila individu tersebut menyebutkan makanan yang lezat,
maka dalam pikirannya akan tergambar pula bentuk makanan tersebut,
kemudian yang terakhir adalah isyarat kinestetik yang berupa sensasi
keseluruhan yang dapat menimbulkan respon fisik maupun psikis.
Misalnya, individu tersebut menjadi lapar, terbentuk air liur, timbul suatu
keinginan untuk membeli sampai pada perilaku untuk mewujudkan
keinginannya tersebut.
Efek berpikir positif dapat di jelaskan berdasarkan proses berpikir
sadar. Misalnya seseorang memusatkan perhatiannya pada kesuksesan,
akan timbul suatu bayangan tentang situasi yang menggambarkan
26
kesuksesan dan menimbulkan pula suatu sensasi keseluruhan seperti rasa
bangga, puas, senang, keinginan untuk sukses, serta semangat untuk
memperjuangkannya. Jadi pada prinsipnya, dengan memusatkan perhatian
pada hal-hal yang positif , individu akan mengalami sensasi keseluruhan
yang posit if
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Berpikir Positif
Menurut Vinacke (1952), secara garis besar dapat dikatakan bahwa
ada faktor utama yang mempengaruhi cara berpikir seseorang, yaitu:
a. Faktor etnosentris
Faktor etnosentris, menurut Vinacke (1952) adalah sifat-sifat yang
dimiliki oleh suatu kelompok atau suatu area yang menjadi cirikhas dari
kelompok atau ras tersebut yang berbeda dengan kelompok atau ras
lainnya. Faktor etnosentris ini berupa keluarga, status sosial, jenis
kelamin, agama, kebangsaan dan kebudayaan. Hal-hal tersebut akan
membentuk kecenderungan cara berpikir yang sama diantara individu-
individu dalam kelompok sosial yang sama. Penelit ian Davis, Gardner
dan Gardner (Vinacke, 1952) mengemukakan bahwa orang kulit putih
yang digolongkan dalam masyarakat kelas atas cenderung memiliki cara
berpikir yang lebih positif bila dibandingkan dengan orang kulit hitam
yang digolongkan dalam masyarakat kelas bawah.
m 27
b. Faktor egosentris
Faktor egosentris adalah sifat-sifat yang dimiliki t iap individu yang
didasarkan pada fakta bahwa tiap pribadi itu lain. Faktor egosentris ini
akan membedakan cara berpikir individu yang satu dengan yang lain,
karena adanya keunikan pribadi masing-masing individu.
Disamping kedua faktor tersebut, menurut Albrecht berpikir positif
juga dipengaruhi oleh harapan-harapan individu yang posit if , yaitu dalam
melakukan sesuatu lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan,
pemecahan masalah dan menjauhkan diri dari bayangan-bayangan
kegagalan, serta memperbanyak penggunaan kata-kata yang mengandung
harapan, seperti "saya dapat melakukannya", "mengapa t idak", "mari kita
lakukan", dan sebagainya (Susetyo, 1998).
D. Perbedaan Tingkat Kecemasan dit injau
dari Tahun Angkatan
Kehidupaan mahasiswa secara relatif penuh dengan tantangan dan
tuntutan, kondisi ini sesuai dengan tugas perkembangan yang sedang
dijalani. Menurut Suryabrata (1982), banyak mahasiswa yang mengalami
hambatan dalam mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini selain
didukung oleh faktor sosiokultural juga banyak dipengaruhi oleh konisi
mahasiswa itu sendiri yang masih berada pada masa remaja akhir. Hal yang
28
menonjol pada masa ini adalah meningginya emosi. Adapun meningginya
emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dari usaha
penyesuaian diri dari pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru
(Hurlock, 1999). Menurut teori kesehataan mental apabila seseorang
dihadapkan pada banyak tuntutan sehingga ia sulit mengambil keputusan,
maka ia akan mudah terlibat dalam gangguan emosional , misalnya rasa
tidak berdaya, rasa cemas, tegang dan mudah tersinggung (Partosuwido,
1992).
Kecemasan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tahun
angkatan pada mahasiswa, terutama angkatan awal atau mahasiswa baru.
Asumsi ini didasarkan pada pandangan White dan Watt (Partosuwido,
1992). Menurut White dan watt, mahasiswa tingkat awal lebih sering
mengalami gangguan perilaku dibandingkan dengan mahasiswa tingkat
studi akhir. Hal ini dikarenakan pada mahasiswa tingkat awal dihadapkan
pada masa transisi, yaitu suatu masa peralihan sekolah menengah ke
lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa dihadapkan pada situasi baru yang
sama sekali asing, suatu kehidupan baru yang penuh dengan tantangan,
sedangkan ia telah memiliki pengalaman dan kebiasaan lama yang belum
tentu sesuai dengan situasi baru (Partosuwido, 1992).
Teori tersebut didukung pula oleh laporan dari bagian pelayanan
bimbingan dan konseling mahasiswa di UGM (Nashori, 2000), yang
menyatakan bahwa mahasiswa tingkat awal ternyata memiliki problem dan
29
berkonsultasi lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa tingkat akhir.
Mahasiswa tingkat akhir juga tidak terlepas dari kecemasan. Karena
pada umumnya mereka mengalami masa penurunan gairah belajar
(Partosuwido, 1992). Saat itu dirasakan sebagai saat yang membosankan,
suatu krisis, karena hilangnya semangat belajar dan tidak lagi dirasakan
perlunya meneruskan belajar. Mahasiswa tingkat akhir sering mengalami
kegelisahan, gelisah karena memikirkan angka-angka prestasi akademis
yang mereka peroleh (Robert, 1978), kegelisahan ini dikarenakan adanya
kekuatiran akan dikeluarkan dari perguruan tinggi ( Kedaulatan Rakyat, 23
Maret 2001) atau kehilangan keunggulan lain dalam penampilan akademis
yang baik, dan mahasiswa tingkat akhir mengkhawatirkan kemungkinan
digeser dari kedudukannya. Dalam hal ini bukan nilai atau kedudukan itu
sendiri, melainkan kepuasan psikologis yang diperoleh (Robert , 1978).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa tahun angkatan awal dan
akhir lebih banyak mengalami kecemasan dibandingkan dengan tahun
angkatan tengah dikarenakan mahasiswa tingkat awal lebih sering
mengalami gangguan perilaku dalam proses penyesuaian dirinya dan
tangung jawab yang semakin berat khususnya mahasiswa tahun angkatan
akhir.
30
E. Hubungan antara Pola Berpikir
DenganTingkat Kecemasan
Pola berpikir bisa dibedakan menjadi dua yaitu pola berpikir positif
dan pola berpikir negatif. Peran pola pikir sangat penting dalam
menghadapi permasalahan atau peristiwa yang tidak mengenakkan karena
segala reaksi emosional mahasiswa diakibatkan oleh proses kognitif atau
cara berpikirnya (Burns, 1988).
Sikap positif memandang permasalahan akan membantu individu
menahan tekanan beban psikis dari permasalahannya, serta secara fleksibel
dan adaptif mengatasi masalah tersebut secara objektif. Masalah yang
dihadapi individu sering menjadi lebih berat karena cara individu tersebut
memandang masalahnya. Hal ini disebabkan karena individu berpikir
dengan cara yang menyimpang dan memutar balikkan fakta yang ada
(Burns, 1988).
Kecemasan, walaupun merupakan suatu perasaan yang tidak
mengenakkan namun mempunyai peranan yang konstruktif , yaitu sebagai
peringatan akan adanya bahaya (Atwater, 1983). Dalam keadaan ini
seseorang akan lebih waspada dan berusaha mengatasi masalahnya dengan
mengadakan perencanaan t indakan yang efektif. Sebaliknya bila kecemasan
begitu kuat maka ia tidak lagi berfungsi sebagai peringatan adanya bahaya,
dan seseorang t idak lagi mampu mengadakan perencanaan yang efekt i f
terhadap tindakannya.
31
Berpikir positif diperlukan untuk mengurangi kecemasan. Asumsi ini
didasarkan atas pandangan Frankl berdasarkan pengalaman hidupnya
(dalam Schultz, 1991). Menurut Frankl, individu yang mengubah pola
berpikirnya kearah yang positif dan menyenangkan, maka kesakitan,
ketakutan, kecemasan, ataupun penderitaan akan hilang karena pikiran
positif akan membangkitkan j iwa yang tertekan dan memberikan kekuatan
untuk mengatasi penderitaan dan keputusasaan pada suatu momen.
Teori tersebut didukung pula oleh pandangan yang menyatakan
bahwa pemusatan perhatian pada aspek positif dari keadaan yang tengah
dihadapi akan membuat individu menjadi lebih mampu mempertahankan
emosi posi t ifnya dan mencegah emosi yang negatif, serta membantu
individu menghadapi situasi-situasi yang mengancam atau menimbulkan
stres.
Penelitian Goodhart (1985) terhadap 173 mahasiswa menemukan
bahwa berpikir positif mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kondisi psikologis yang positif , tetapi tidak berhubungan dengan adanya
efek negatif dan simtom psikologis.
Menurut Schachter (dalam Powell 1983) antara berpikir dan emosi
terdapat suatu hubungan timbal balik. Bila individu menerima suatu
stimulus, emosinya akan timbul dan mempengaruhi pikiran individu
tersebut tentang stimulus yang diterimanya. Sebaliknya, apa yang
dipikirkan individu tentang stimulus juga akan mempengaruhi emosinya.
32
Jadi bila individu berpikir positif tentang stimulus yang diterimanya, maka
ia akan mengalami emosi yang positif pula.
Individu yang berpikir positif tidak menganggap masalah sebagai hal
yang harus dihindari , tidak diakui atau disesali, melainkan sebagai bagian
dari kehidupan yang harus dihadapi sehingga akan memperoleh makna
hidupnya. Individu akan memiliki harapan yang positif dan menggunakan
tenaga dan pikiran secara penuh untuk menganalisis kesulitan yang ada
serta mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
yang sedang dihadapi.
Dari penelitian Krantz dan Parkes (Retnowati , 1990) diperoleh bukti
bahwa dalam menghadapi situasi yang menekan, keberhasilan individu
mengatasinya atau coping behavior sangat tergantung pada penilaian
kognitifnya. Individu yang mempunyai penilaian positif akan mampu
mengatasi situasi yang dihadapinya dengan baik, sebaliknya individu yang
mempunyai penilaian negatif akan mengalami kesulitan mengatasi
masalahnya.
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa berpikir
positif akan mendukung perkembangan emosi yang positif , sehingga dapat
memberikan kekuatan untuk mengatasi situasi-situasi yang mengancam
dengan mengadakan perencanaan yang efektif .
33
F. Hipotesis
Berdasarkan telaah teori yang telah dikemukakan, penulis kemudian
mengajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Ada perbedaan tingkat kecemasan antara subjek tahun angkatan awal,
tengah dan subjek tahun angkatan akhir. Tingkat kecemasan subjek
tahun angkatan awal dan akhir lebih tinggi dibanding dengan subjek
tahun angkatan tengah.
2. Ada hubungan negatif antara berpikir positif dengan tingkat kecemasan.
Semakin tinggi berpikir positif semakin rendah kecemasannya.