alat ukur kecemasan 2

26
BAB II TINJAIJAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Kecemasan adalah suatu bentuk emosi yang lain selain emosi dasar (Hilgard dkk., 1979). Kecemasan adalah suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan. Kondisi ini dapat dikatakan pernah dialami oleh semua orang walaupun dengan taraf yang berbeda-beda. Seberapa besar pengaruh dan bagaimana individu menghadapinya tergantung pada kondisi individu tersebut. Jadi kecemasan merupakan pengalaman emosional yang sifatnya subyektif (Atwater, 1983), yang merupakan manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) (Daradjat, 1975). Menurut Drever (1986), kecemasan adalah keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut sebagai unsurnya yang paling menonjol, khusus pada berbagai gangguan syaraf dan mental. Biasanya kecemasan ini timbul karena adanya ancaman-ancaman baik yang bersifat nyata maupun imajiner terhadap keamanan seseorang (Hall dan Lindzey, 1978). Kecemasan sering muncul pada orang yang dianggap normal, meskipun kecemasan merupakan simtom semua 8

description

materi

Transcript of alat ukur kecemasan 2

Page 1: alat ukur kecemasan 2

BAB II

TINJAIJAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengert ian Kecemasan

Kecemasan adalah suatu bentuk emosi yang lain selain emosi dasar

(Hilgard dkk., 1979). Kecemasan adalah suatu keadaan atau kondisi emosi

yang tidak menyenangkan. Kondisi ini dapat dikatakan pernah dialami oleh

semua orang walaupun dengan taraf yang berbeda-beda . Seberapa besar

pengaruh dan baga imana individu menghadapinya te rgantung pada kondisi

individu tersebut . Jadi kecemasan merupakan pengalaman emosiona l yang

sifatnya subyektif (Atwater , 1983), yang merupakan mani fes tas i dari

berbagai proses emosi yang bercampur , yang ter jadi ket ika orang sedang

mengalami tekanan perasaan (f rustas i ) dan per tentangan bat in (konf l ik)

(Daradjat, 1975).

Menurut Drever (1986), kecemasan adalah keadaan emosi yang

kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut sebagai

unsurnya yang pal ing menonjo l , khusus pada berbagai gangguan syaraf dan

mental. Biasanya kecemasan ini t imbul karena adanya ancaman-ancaman

baik yang bers i fa t nyata maupun imaj iner terhadap keamanan seseorang

(Hall dan Lindzey, 1978). Kecemasan sering muncul pada orang yang

d ianggap normal , meskipun kecemasan merupakan s imtom semua

8

Page 2: alat ukur kecemasan 2

9

psikopatologi terutama gangguan neurotik (Davison dan Neale, 1978).

Menurut Hurlock (1973), kecemasan sama seperti kekhawatiran

yang berasal dari ketakutan. Biasanya seseorang yang mengalami

kecemasan mempunyai perasaan yang tidak menyenangkan (Hilgard dkk.,

1979) disertai satu atau lebih keluhan fisik. Perasaan ini hampir sama

seperti bila dia mengalami ketakutan. Akan tetapi pada kecemasan,

perasaan ini sifatnya kabur atau tidak jelas objeknya. Sedangkan pada

ketakutan objeknya jelas. Walaupun demikian tidak jarang kecemasan dan

ketakutan terjadi secara bersamaan (Atwater, 1983).

Kecemasan, walaupun merupakan suatu perasaan yang t idak enak

mempunyai peranan yang konstruktif , yaitu sebagai peringatan akan adanya

bahaya (Atwater , 1983). Dalam keadaan ini seseorang akan lebih waspada

dan berusaha mengatasi masalahnya dengan mengadakan perencanaan

tindakan yang efektif . Sebaliknya bila kecemasan begitu kuat , maka ia

tidak lagi berfungsi sebagai peringatan adanya bahaya, dan seseorang tidak

lagi mampu mengadakan perencanaan yang efektif terhadap t indakannya.

Lazarus (1976) memberikan batasan kecemasan sebagai reaksi

individu terhadap hal yang dihadapi yang merupakan suatu perasaan yang

menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, kekhawat i ran dan

sebagainya yang berhubungan dengan aspek subjektif emosi seseorang.

Ditambahkannya pula bahwa kecemasan merupakan gangguan yang

kompleks, disertai dengan perubahan fisiologis.

Page 3: alat ukur kecemasan 2

10

Lazarus (1976) juga mengatakan bahwa istilah kecemasan

mempunyai dua macam arti, yaitu: kecemasan sebagai suatu respon, dan

kecemasan sebagai intervening variable.

a. Kecemasan sebagai suatu respon

Hampir setiap individu pernah mengalami kecemasan sebagai suatu

peasaan yang tidak menyenangkan. Perasaan ini ditandai oleh kegelisahan,

kebingungan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Perasaan yang

dialami individu tersebut hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh yang

bersangkutan saja. Kecemasan disini dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) State anxiety, adalah gejala kecemasan yang timbul bila individu

berhadapan dengan situasi tertentu yang menyebabkan individu

mengalami kecemasan, dan gejalanya akan selalu kelihatan

selama situasi tersebut terjadi.

2) Trait anxiety, adalah kecemasan sebagai suatu keadaan yang

menetap pada individu. Kecemasan ini berhubungan erat dengan

kepribadian individu yang sedang mengalami kecemasan. Dengan

kata lain kecemasan mengandung pengertian disposisi untuk

menjadi cemas dalam menghadapi bermacam-macam situasi.

Sehubungan dengan hal ini, kecemasan dipandang sebagi suatu

simtom, yaitu keadaan yang menunjukkan kesukaran dalam

menyesuaikan diri.

Page 4: alat ukur kecemasan 2

11

b. Kecemasan sebagai intervening variable

Kecemasan disini diartikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi serangkaian stimulus dan respon. Jadi, kecemasan dalam hal

ini tidak dapat diketahui secara langsung melalui observasi, akan tetapi

hanya dapat diketahui secara tidak langsung dari keadaan yang mendahului

dan akibatnya. Observasi hanya dapat mengetahui maupun akibatnya,

dalam bentuk fisiologis keadaan yang mencemaskan (Lazarus, 1969).

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa kecemasan adalah

suatu pengalaman emosional yang dirasakan sebagai suatu yang tidak

menyenangkan, tidak je las apa yang dirasakan dan tidak diketahui pasti

penyebabnya, yang biasanya timbul karena ancaman baik dari luar maupun

dari dalam tubuh terhadap integritas aspek psikologis maupun aspek

fisiologis. Pada umumnya kecemasan dapat mempengaruhi kehidupan

sehari-hari, juga mempengaruhi penyesuaiannya terhadap lingkungan dan

merupakan problem yang subjektif .

2. Reaksi Terhadap Kecemasan

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kecemasan adalah suatu bentuk

emosi yang lain selain emosi dasar, maka reaksi terhadap kecemasan,

seimbang dengan reaksi manusia pada umumnya terhadap emosi yang

meningkat, dapat dibedakan atas reaksi fisiologik dan reaksi psikologik

(Hilgard dkk., 1979).

Page 5: alat ukur kecemasan 2

12

Reaksi fisiologik adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-organ

yang diproses oleh syaraf otonomi simpatik seperti jantung, peredaran

darah, kelenjar , pupil mata, sistem pencernaan makanan, dan sistem

pembuangan (Hilgard dkk., 1979). Dengan meningkatnya emosi atau

perasaan cemas satu atau lebih dari organ-organ tersebut akan meningkat

dalam fungsinya sehingga dapat dijumpai meningkatnya jumlah asam

lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam

memompa darah, sering buang air atau sekresi keringat yang berlebihan.

Dalam situasi ini kadang-kadang individu mengalami rasa sakit yang

berkaitan dengan organ yang meningkat fungsinya secara t idak wajar.

Seirama dengan Hilgard, menurut Kartono (1981), tekanan pikiran yang

berat, menyebabkan keluarnya energi yang luar biasa, yang akhirnya

menjadikan naiknya tekanan darah dan berubahnya susunan kimiawi darah

yang membahayakan kesehatan. Bila hal ini terjadi terus menerus, akan

menimbulkan penyakit lambung, tekanan darah tinggi, dan asma.

Kecemasan dapat terwujud pada reaksi emosional dari keadaan j iwa

individu, baik secara psikologis maupun fisiologis sehingga bisa

mengganggu efisiensi individu dalam menghadapi masalah. Reaksi yang

timbul secara psikologis dapat berupa perasaan yang menyertai reaksi

fisiologis seperti perasaan tegang, rendah diri, kurang percaya diri, tidak

dapat memusatkan perhatian serta adanya gerakkan-gerakkan yang tak

terarah atau tidak pasti (Hadfield, dalam Adi, 1985).

Page 6: alat ukur kecemasan 2

13

Daradjat (1975) mengungkapkan bahwa gejala kecemasan dapat

bersifat fisik maupun bersifat mental. Gejala fisik meliputi u jung-ujung jari

terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung lebih cepat dan

sebagainya. Gejala mental berupa ketakutan, tidak dapat memusatkan

perhatian, tidak tentram dan lain-lain. Individu biasanya tidak mengetahui

penyebab ketakutannya. Pada kecemasan yang tinggi, individu biasanya

sering bermimpi yang menakutkan pada malam hari hingga terkejut dan

tidak dapat tidur lagi. Strange (1976) juga mengemukakan bahwa dalam

kondisi kronis, kecemasan dapat diketahui dari berbagai gejala yang

tampak, seperti misalnya otot kejang, jantung berdebar serta tak teratur,

perubahan kelenjar tubuh serta perasaan akan sesuatu yang tidak

menyenangkan dan tidak diketahui penyebabnya.

Menurut Bucklew (1960), apabila seseorang mengalami kecemasan,

maka reaksi yang tampak ada dua t ingkatan, yaitu:

a. Tingkat psikologis, pada tingkat ini tampak adanya gejala psikologis

seperti gerakan-gerakan tak terarah, perasaan tegang, ragu-ragu,

khawatir , bingung, sukar berkonsentrasi , perasaan tidak menentu dan

tidak jelas , serta gejala lainnya yang saling bercampur aduk.

b. Tingkat f isiologis, pada t ingkat ini kecemasan menyebabkan adanya

disorganisasi proses f isiologis, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf

seperti keluarnya keringat dingin yang berlebihan, jantung berdebar-

Page 7: alat ukur kecemasan 2

14

debar, tidak dapat tidur, sirkulasi darah tidak teratur, rasa mual,

gemetar dan lain-lain.

Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan cenderung diubah dalam

bentuk gangguan simtomatik yang dapat membahayakan kesehatan, dan

lebih jauh lagi akan dapat mengakibatkan adanya gangguan pada seseorang

dalam merespon stimulus-stimulus yang datang padanya, baik yang datang

dari dalam dirinya maupun yang datang dari luar.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa manifestasi

kecemasan adalah suatu bentuk reaksi emosi selain emosi dasar yang

gejalanya dapat bersifat fisik maupun bersifat mental. Pada gejala yang

bersifat fisik terlihat adanya disorganisasi fungsi sistem syaraf sedangkan

pada gejala yang bersifat mental berupa ketakutan, perasaan tidak menentu

dan tidak jelas.

3. Pengukuran Kecemasan

Manifestasi dari kecemasan dapat berupa aspek psikologis maupun

fisiologis. Untuk mengungkap atau mengukur gejala kecemasan ada

beberapa metode, yaitu:

a). Se l f report atau questionaire, merupakan sejumlah pertanyaan-

pertanyaan yang harus di jawab oleh individu berupa test skala

kecemasan.

Page 8: alat ukur kecemasan 2

15

b). Overt behavioral, dengan melakukan observasi terhadap individu,

dapat terlihat dari ekspresi seperti gemetar, pucat, menggigit-gigit

kuku dan sebagainya.

c). Physiological, menggunakan alat-alat pengukur tertentu, seperti

pengukuran denyut jantung, pernafasan, keluarnya keringat, aktivitas

kelenjar adrenalin dan lain-lain (Davison, dalam Adi, 1985).

Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur kecemasan itu

sendiri ada beberapa macam, yaitu:

a. MMPI

Tes ini dikembangkaan di tahun 1937 oleh Starke Hathaway, seorang

ahli psikologi dan J. Charnley Mckinley, seorang dokter psikiatri .

Minnesota Multiphasic Personality Inventory adalah inventarisasi yang

dilaporkan oleh pasien sendiri ( S e l f - r e p o r t ) terdiri atas 500 lebih

pernyataan dan 17 skala, seperti: A = kecemasan {anxiety), R = Represi

{repression), ES = Kekuatan ego {ego strength), dan lain-lain.

Kelemahannya: cenderung menekankan psikopatologi berat (Kaplan,

dkk., 1997).

b. TMAS

Alat ini merupakan alat pengukur kecemasan yang per tama kali,

diciptakan tahun 1950 oleh Janet Taylor, tes ini disebut TMAS {Taylor

Manifest Anxiety Scale).

Page 9: alat ukur kecemasan 2

16

Taylor mula-mula menggunakan TMAS untuk mengungkap:

1.Variasi tingkat dorongan {drive) yang dimiliki seseorang, yang

berhubungan dengan internal anxiety atau emosionality.

2. Intensitas kecemasan, yang diketahui dari tingkah laku yang nampak

keluar atau yang dimanifestasikan melalui gejala-gejala reaksi

kecemasan (Subandi, 1995).

Komponen yang mendasari terdiri dari:

1. self consciousness, lack of self confidence, constant worrying

(kesadaran diri, kurang percaya diri, dan kecemasan menetap).

2. Fear of blushing, cold hand, sweating (tersipu-sipu, tangan dingin

dan berkeringat).

3. Lost of sleep, worry (gangguan tidur dan cemas).

4. Restlessness, motor tension, heart pounding, out of breath (gelisah,

tekanan terhadap alat gerak, jantung berdebar dan kehabisan nafas).

(Adi, 1985).

IPAT

Sesuai dengan perkembangan teori yang membedakan state dan trait

anxiety maka pengukuran kecemasanpun dibedakan menjadi dua macam.

State anxiety untuk kecemasan yang temporer atau terpengaruh oleh

situasi yang ada, sedangkan trait anxiety menunjukkan proneness atau

kecenderungan individu untuk bersikap cemas. Cattel dan Scheier

Page 10: alat ukur kecemasan 2

17

kemudian mengembangkan IPAT (Anxie ty scale pada institute for

personality and Ability testing). Tes ini untuk mengukur general anxiety

(kecemasan umum) yang disebut juga dengan free floating atau manifest

anxiety. Kecemasan tersebut termasuk dalam tipe trait anxiety dan sudah

diadaptasikan oleh Sumadi Suryabrata dan Bambang Suwarno.

Komponen pada skala IPAT terdiri dari lima unsur yaitu:

1. Q3 = Defective integration, Lack of self sentiment.

2. C - Ego weakness, Lack of ego strength.

3. L = Suspiciousness or paranoid insecurity.

4. O = Guilt proneness.

5. QA = Frustative tension or Id pressure (Adi, 1985).

d. STAI

STAI (State-Traite Anxiety Inventory) dikembangkan oleh Spielberger.

Skala ini untuk mendapatkan self report (melapor sendiri) pada format

jenis Likert yang relatif singkat dan cukup untuk mengukur baik State

Anxiety {A-State) maupun Trait Anxiety (A-Trait). Dengan demikian test

ini disusun berdasarkan atas dua komponen yaitu:

a). State anxiety {A-State), merupakan kecemasan sesaat atau karena

keadaan.

b). Trait anxiety {A-Trait), merupakan kecemasan yang relatif permanen

atau karena sifat.

Page 11: alat ukur kecemasan 2

18

Kelebihan dari test ini adalah memungkinkan perbedaan keadaan dan

sifat kecemasan diteliti dengan baik, sedangkan kelemahannya adalah

nomor STAI dibuat transparan (Kaplan, dkk., 1997).

Instrumen yang digunakan oleh penulis untuk mengukur tingkat

kecemasan mahasiswa teknik adalah TMAS, digunakannya skala TMAS

karena skala ini menekankan pada kecemasan umum, aitem lebih sedikit

dibandingkan dengan MMPI sehingga subjek tidak mengalami kebosanan,

nomor skala dibuat tidak transparan, dapat mengungkap variasi tingkat

dorongan dan intensitas kecemasan, dan biasanya digunakan untuk

keperluan treatment.

4. Faktor-faktor Penyebab Kecemasan

Menurut beberapa ahli (Partosuwido, 1992; Webster, 1962;

Meichati, 1983; Gazali ,1980; Hurlock,1975), faktor-faktor penyebab yang

mempengaruhi kecemasan pada mahasiswa adalah sebagai berikut.

a. Faktor Masa Transisi

Perubahan yang ter jadi pada mahasiswa menyebabkan sikap atau

perlakuan lingkungan juga berubah. Mahasiswa yang masih berada pada

masa remaja akhir menempati posisi antara masa remaja awal dan masa

dewasa, yang perubahan ini sering disebut dengan masa dewasa.

Diskontinuitas peran yang ter jadi , menyebabkan tuntutan yang berbeda

pada tiap periode perkembangan, mengharuskan remaja untuk banyak

Page 12: alat ukur kecemasan 2

19

melakukan penyesuaian pada masa transisi ini. Menurut White dan Watt

(dalam Partosuwido, 1992) Pada mahasiswa tingkat awal dihadapkan

pada situasi baru yang sama sekali asing, suatu kehidupan baru yang

penuh dengan tantangan, sedangkan ia telah memiliki pengalaman dan

kebiasaan lama yang belum tentu sesuai dengan situasi baru. Keadaan

ini menimbulkan rasa cemas, sedih, ragu, sehingga seseorang tidak

mampu menguasai perasaan dan merasa frustasi , suatu keadaan yang

menunjukkan tanda-tanda gangguan penyesuaian. Keadaan ini selalu

dihadapi oleh mahasiswa, walaupun tidak semua mahasiswa

mengalaminya sebagai hambatan, namun dapat dikatakan penuh

tantangan sehingga mudah menimbulkan hambatan, dan menurunkan

kemampuan menyesuaikan diri (Partosuwido, 1992).

Senada dengan white dan watt, menurut Webster (1962) kegagalan

dalam melakukan penyesuaian diri akan menimbulkan perasaan cemas,

perasaan tidak aman dan kegagalan tersebut membuat individu

kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri dan melemahkan daya

juang pada individu (Meichati , 1983).

b. Faktor fisik

Perkembangan fisik pada masa remaja akhir tetap tampak walaupun

mengalami perlambatan, dalam arti tidak sepesat perkembangan pada

masa remaja awal, yaitu yang menyangkut perubahan fisik seperti tinggi

badan dan proporsi tubuh (Hurlock, 1999), namun kegiatan hormon

Page 13: alat ukur kecemasan 2

20

seksual yang berkaitan dengan dorongan-dorongan seks tidak jarang

menimbulkan konflik dalam diri mereka dikarenakan pertimbangan-

pertimbangan moral yang saling bertentangan dengan pengaruh

dorongan-dorongan seks (Gazali , 1980).

c. Faktor psikologis

Menurut Gessel (dalam Hurlock,1975) remaja mengalami rasa takut

{fear) akibat hubungannya dengan orang lain, juga mengalami rasa

bersalah {guilt) timbul karena konflik internal antar nilai yang

dipegangnya dengan perilaku yang tidak sejalan. Semakin jauh perilaku

remaja menyimpang dari norma, makin besar potensinya untuk merasa

bersalah (Hurlock, 1975).

Menurut Offer (dalam Hurlock, 1999) kebanyakan remaja berada pada

tipe surgent growth dan tumultous growth. Pada surgent growth remaja

berkembang tidak menentu dan mengalami situasi yang labil, kadang

progresif dan kadang regresif Pada tumultous growth remaja tampak

banyak mengalami masalah dalam hal perilaku, timbul kecemasan dan

konflik dengan orang tua.

d. Faktor Kognitif

Reaksi emosional manusia diakibatkan oleh proses kognitif atau cara

manusia berpikir (Burns, 1988; Beck dalam Retnowati , 1990). Menurut

Schachter (Powell, 1983), antara berpikir dan emosi terdapat suatu

hubungan timbal balik. Bila individu menerima suatu stimulus,

Page 14: alat ukur kecemasan 2

21

emosinya akan timbul dan mempengaruhi emosinya. Jadi bila individu

berpikir positif tentang stimulus yang diterimanya, maka ia akan

mengalami emosi yang positif pula.

Berkaitan dengan kecemasan, menurut pandangan Frankl (dalam

Schultz, 1991) kecemasan atau hal-hal yang tidak menyenangkan akan

hilang apabila individu mengubah pola berpikirnya kearah yang posit if

Faktor penyebab yang dianggap penting untuk diteliti oleh penulis

adalah faktor masa transisi dan faktor kognitif , karena pada masa transisi

mahasiswa tahun angkatan awal lebih banyak mengalami kecemasan

dibandingkan dengan tahun angkatan tengah dan akhir, hal ini didasarkan

pada laporan dari bagian pelayanan bimbingan dan konseling mahasiswa di

UGM (Nasori, 2000). Sedangkan faktor kognitif yang juga dianggap

penting oleh penulis untuk diteliti dikarenakan, segala reaksi emosional

manusia diakibatkan oleh proses kognitif atau cara berpikirnya (Burns,

1988).

B. Tahun Angkatan

Istilah tahun dalam lingkungan Perguruan Tinggi ada dua, yaitu

tahun akademik dan tahun angkatan. Pengertian dari tahun akademik

adalah waktu yang digunakan untuk belajar atau kuliah pada seluruh

tingkat perguruan tinggi, sedangkan tahun angkatan adalah tahun yang

menunjukkan individu tercatat sebagai mahasiswa pada suatu Perguruan

Page 15: alat ukur kecemasan 2

22

Tinggi (Moeliono dkk.,1988). Penggunaan kata tahun angkatan terdapat

pada majalah "Warta Kampus" edisi Agustus 1997. Misalnya, Adis Noer

Rachmi Prima Dewi, mahasiswa Fakultas Ekonomi ill I angkatan 1993,

yang dapat diartikan bahwa Adis N. R. P. D. tercatat sebagai peserta didik

di UII pada tahun 1993 (Warta Kampus, 1997).

Berdasarkan pada ketentuan mahasiswa yang dinyatakan layak

melanjutkan studi (Katalog UII, 1997), maka menurut penulis tahun

angkatan mahasiswa dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

a. Angkatan awal adalah terhitung mulai saat mahasiswa terdaftar sebagai

mahasiswa yaitu semester pertama (mahasiswa baru) sampai akhir semester

keempat.

b. Angkatan tengah adalah mahasiswa yang sudah terbebas dari Droup Out dan

belum diperkenankan mengikuti kegiatan akhir seperti: KKN (Kuliah Kerja

Nyata), TA (Tugas Akhir), dan Skripsi. Mereka berada di semester lima dan

enam.

c. Angkatan akhir adalah mahasiswa yang sudah melewati enam semester,

sudah boleh mengambil KKN (Kuliah Ker ja Nyata) , TA (Tugas Akhir),

dan Skripsi.

Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa tahun angkatan adalah

tahun saat pertama kali seorang mahasiswa tercatat sebagai peserta didik di

lembaga Perguruan Tinggi.

Page 16: alat ukur kecemasan 2

23

C. Berpikir Positif

1. Pengertian Berpikir Positif

Berpikir merupakan kemampuan manusia yang membedakannya

dengan makhluk lain. Dengan berpikir manusia menemukan hakikat

kemanusiaannya. Dengan berpikir, manusia menghadapi masalah-masalah

hidupnya. Berpikir secara umum adalah suatu cara penyesuaian individu

terhadap lingkungannya, baik secara internal maupun eksternal. Berpikir

terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar

(Vinacke, 1952), oleh karena itu dapatlah dikemukakan bahwa orang itu

berpikir bila menghadapi permasalahan atau persoalan (Walgito, 1990).

Berpikir positif menurut Peale (1992) adalah cara seseorang

beranjak mengatasi masalah dengan menekanan pada sisi positif dari

kekuatan atau diri sendiri. Contohnya, apabila seseorang dihadapkan pada

banyak rintangan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, maka individu

yang berpikir positif akan lebih memusatkan perhatiannya pada tujuan yang

ingin dicapainya, Dengan kata lain, perhatian akan lebih banyak diarahkan

pada gambaran-gambaran tentang kepuasan atau perasaan senang pada saat

tujuan telah tercapai daripada terhadap rintangan yang tengah dihadapi saat

ini. Jadi individu memusatkan perhatian lebih banyak pada semua

kemungkinan positif yang ada, agar dapat mempertahankan semangatnya.

Sementara itu, Albrecht (dalam Susetyo, 1998) memberikan batasan

berpikir positif yang berkaitan dengan positive attention (perhatian

Page 17: alat ukur kecemasan 2

24

terhadap segi-segi yang posit if) dan positive verbalization (verbalisasi

positif). Segi-segi positif yang dimaksudkan diatas adalah pengalaman-

pengalaman yang menyenangkan, harapan-harapan yang posit if , serta sifat-

sifat baik yang ada pada diri sendiri, orang lain maupun masalah yang

tengah dihadapi. Sedang verbalisasi positif menunjuk pada penggunaan

istilah-istilah yang positif dalam mengekspresikan pikiran maupun

perasaan. Menurut Susetyo (1998), berpikir positif adalah kemampuan

berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari

keadaan diri, orang lain, dan situasi yang dihadapi.

Berpikir positif merupakan sebuah keterampilan yang harus terus

dipelajari dan diusahakan, dan tidak akan datang dengan sendirinya. Orang

lebih mudah berpikir negatif daripada tetap mempertahankan pola berpikir

positif. Setiap saat individu harus selalu mengakt i fkan kembali

perhatiannya pada hal-hal yang positif. Berusaha untuk menemukan aspek

positif bukanlah hal yang mudah, terutama pada saat individu mengalami

situasi menekan yang berat dan beruntun. Asumsi ini juga dihasilkan dari

penelitian Goodhart (1985), bahwa efek berpikir negatif terbukti lebih

bertahan lama bila dibandingkan dengan efek berpikir positif . Hasil

pemusatan perhatian pada aspek yang negatif ternyata bertahan lama di

dalam ingatan individu, sehingga efeknyapun menjadi lebih lama.

Berdasarkan batasan-batasan diatas, dapat ditarik suatu pengertian

bahwa berpikir positif adalah kecenderungan kemampuan berpikir

Page 18: alat ukur kecemasan 2

25

seseorang yang lebih memusatkan perhatian pada aspek-aspek positif dari

keadaan diri sendiri, orang lain maupun masalah yang tengah dihadapi.

2. Efek Berpikir Positif

Menurut Albrecht (Susetyo 1998), dalam proses berpikir sadar

terdapat tiga bahasa berpikir, yaitu isyarat verbal, isyarat visual dan isyarat

kinestetik. Isyarat verbal berupa kata-kata yang dihasilkan oleh pikiran

individu. Misalnya seseorang berusaha mengkonsentrasikan pikirannya

pada suatu makanan yang lezat, maka individu tersebut akan menyebutkan

nama makanan tersebut di dalam pikirannya. Kemudian, isyarat visual

adalah kelanjutan dari isyarat verbal yang terjadi dalam bentuk bayangan,

gambaran atau imajinasi tentang apa yang tengah dipikirkan individu

tersebut. Jadi bila individu tersebut menyebutkan makanan yang lezat,

maka dalam pikirannya akan tergambar pula bentuk makanan tersebut,

kemudian yang terakhir adalah isyarat kinestetik yang berupa sensasi

keseluruhan yang dapat menimbulkan respon fisik maupun psikis.

Misalnya, individu tersebut menjadi lapar, terbentuk air liur, timbul suatu

keinginan untuk membeli sampai pada perilaku untuk mewujudkan

keinginannya tersebut.

Efek berpikir positif dapat di jelaskan berdasarkan proses berpikir

sadar. Misalnya seseorang memusatkan perhatiannya pada kesuksesan,

akan timbul suatu bayangan tentang situasi yang menggambarkan

Page 19: alat ukur kecemasan 2

26

kesuksesan dan menimbulkan pula suatu sensasi keseluruhan seperti rasa

bangga, puas, senang, keinginan untuk sukses, serta semangat untuk

memperjuangkannya. Jadi pada prinsipnya, dengan memusatkan perhatian

pada hal-hal yang positif , individu akan mengalami sensasi keseluruhan

yang posit if

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Berpikir Positif

Menurut Vinacke (1952), secara garis besar dapat dikatakan bahwa

ada faktor utama yang mempengaruhi cara berpikir seseorang, yaitu:

a. Faktor etnosentris

Faktor etnosentris, menurut Vinacke (1952) adalah sifat-sifat yang

dimiliki oleh suatu kelompok atau suatu area yang menjadi cirikhas dari

kelompok atau ras tersebut yang berbeda dengan kelompok atau ras

lainnya. Faktor etnosentris ini berupa keluarga, status sosial, jenis

kelamin, agama, kebangsaan dan kebudayaan. Hal-hal tersebut akan

membentuk kecenderungan cara berpikir yang sama diantara individu-

individu dalam kelompok sosial yang sama. Penelit ian Davis, Gardner

dan Gardner (Vinacke, 1952) mengemukakan bahwa orang kulit putih

yang digolongkan dalam masyarakat kelas atas cenderung memiliki cara

berpikir yang lebih positif bila dibandingkan dengan orang kulit hitam

yang digolongkan dalam masyarakat kelas bawah.

Page 20: alat ukur kecemasan 2

m 27

b. Faktor egosentris

Faktor egosentris adalah sifat-sifat yang dimiliki t iap individu yang

didasarkan pada fakta bahwa tiap pribadi itu lain. Faktor egosentris ini

akan membedakan cara berpikir individu yang satu dengan yang lain,

karena adanya keunikan pribadi masing-masing individu.

Disamping kedua faktor tersebut, menurut Albrecht berpikir positif

juga dipengaruhi oleh harapan-harapan individu yang posit if , yaitu dalam

melakukan sesuatu lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan,

pemecahan masalah dan menjauhkan diri dari bayangan-bayangan

kegagalan, serta memperbanyak penggunaan kata-kata yang mengandung

harapan, seperti "saya dapat melakukannya", "mengapa t idak", "mari kita

lakukan", dan sebagainya (Susetyo, 1998).

D. Perbedaan Tingkat Kecemasan dit injau

dari Tahun Angkatan

Kehidupaan mahasiswa secara relatif penuh dengan tantangan dan

tuntutan, kondisi ini sesuai dengan tugas perkembangan yang sedang

dijalani. Menurut Suryabrata (1982), banyak mahasiswa yang mengalami

hambatan dalam mengikuti pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini selain

didukung oleh faktor sosiokultural juga banyak dipengaruhi oleh konisi

mahasiswa itu sendiri yang masih berada pada masa remaja akhir. Hal yang

Page 21: alat ukur kecemasan 2

28

menonjol pada masa ini adalah meningginya emosi. Adapun meningginya

emosi terutama karena remaja berada di bawah tekanan sosial dari usaha

penyesuaian diri dari pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru

(Hurlock, 1999). Menurut teori kesehataan mental apabila seseorang

dihadapkan pada banyak tuntutan sehingga ia sulit mengambil keputusan,

maka ia akan mudah terlibat dalam gangguan emosional , misalnya rasa

tidak berdaya, rasa cemas, tegang dan mudah tersinggung (Partosuwido,

1992).

Kecemasan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tahun

angkatan pada mahasiswa, terutama angkatan awal atau mahasiswa baru.

Asumsi ini didasarkan pada pandangan White dan Watt (Partosuwido,

1992). Menurut White dan watt, mahasiswa tingkat awal lebih sering

mengalami gangguan perilaku dibandingkan dengan mahasiswa tingkat

studi akhir. Hal ini dikarenakan pada mahasiswa tingkat awal dihadapkan

pada masa transisi, yaitu suatu masa peralihan sekolah menengah ke

lingkungan perguruan tinggi. Mahasiswa dihadapkan pada situasi baru yang

sama sekali asing, suatu kehidupan baru yang penuh dengan tantangan,

sedangkan ia telah memiliki pengalaman dan kebiasaan lama yang belum

tentu sesuai dengan situasi baru (Partosuwido, 1992).

Teori tersebut didukung pula oleh laporan dari bagian pelayanan

bimbingan dan konseling mahasiswa di UGM (Nashori, 2000), yang

menyatakan bahwa mahasiswa tingkat awal ternyata memiliki problem dan

Page 22: alat ukur kecemasan 2

29

berkonsultasi lebih banyak dibandingkan dengan mahasiswa tingkat akhir.

Mahasiswa tingkat akhir juga tidak terlepas dari kecemasan. Karena

pada umumnya mereka mengalami masa penurunan gairah belajar

(Partosuwido, 1992). Saat itu dirasakan sebagai saat yang membosankan,

suatu krisis, karena hilangnya semangat belajar dan tidak lagi dirasakan

perlunya meneruskan belajar. Mahasiswa tingkat akhir sering mengalami

kegelisahan, gelisah karena memikirkan angka-angka prestasi akademis

yang mereka peroleh (Robert, 1978), kegelisahan ini dikarenakan adanya

kekuatiran akan dikeluarkan dari perguruan tinggi ( Kedaulatan Rakyat, 23

Maret 2001) atau kehilangan keunggulan lain dalam penampilan akademis

yang baik, dan mahasiswa tingkat akhir mengkhawatirkan kemungkinan

digeser dari kedudukannya. Dalam hal ini bukan nilai atau kedudukan itu

sendiri, melainkan kepuasan psikologis yang diperoleh (Robert , 1978).

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa tahun angkatan awal dan

akhir lebih banyak mengalami kecemasan dibandingkan dengan tahun

angkatan tengah dikarenakan mahasiswa tingkat awal lebih sering

mengalami gangguan perilaku dalam proses penyesuaian dirinya dan

tangung jawab yang semakin berat khususnya mahasiswa tahun angkatan

akhir.

Page 23: alat ukur kecemasan 2

30

E. Hubungan antara Pola Berpikir

DenganTingkat Kecemasan

Pola berpikir bisa dibedakan menjadi dua yaitu pola berpikir positif

dan pola berpikir negatif. Peran pola pikir sangat penting dalam

menghadapi permasalahan atau peristiwa yang tidak mengenakkan karena

segala reaksi emosional mahasiswa diakibatkan oleh proses kognitif atau

cara berpikirnya (Burns, 1988).

Sikap positif memandang permasalahan akan membantu individu

menahan tekanan beban psikis dari permasalahannya, serta secara fleksibel

dan adaptif mengatasi masalah tersebut secara objektif. Masalah yang

dihadapi individu sering menjadi lebih berat karena cara individu tersebut

memandang masalahnya. Hal ini disebabkan karena individu berpikir

dengan cara yang menyimpang dan memutar balikkan fakta yang ada

(Burns, 1988).

Kecemasan, walaupun merupakan suatu perasaan yang tidak

mengenakkan namun mempunyai peranan yang konstruktif , yaitu sebagai

peringatan akan adanya bahaya (Atwater, 1983). Dalam keadaan ini

seseorang akan lebih waspada dan berusaha mengatasi masalahnya dengan

mengadakan perencanaan t indakan yang efektif. Sebaliknya bila kecemasan

begitu kuat maka ia tidak lagi berfungsi sebagai peringatan adanya bahaya,

dan seseorang t idak lagi mampu mengadakan perencanaan yang efekt i f

terhadap tindakannya.

Page 24: alat ukur kecemasan 2

31

Berpikir positif diperlukan untuk mengurangi kecemasan. Asumsi ini

didasarkan atas pandangan Frankl berdasarkan pengalaman hidupnya

(dalam Schultz, 1991). Menurut Frankl, individu yang mengubah pola

berpikirnya kearah yang positif dan menyenangkan, maka kesakitan,

ketakutan, kecemasan, ataupun penderitaan akan hilang karena pikiran

positif akan membangkitkan j iwa yang tertekan dan memberikan kekuatan

untuk mengatasi penderitaan dan keputusasaan pada suatu momen.

Teori tersebut didukung pula oleh pandangan yang menyatakan

bahwa pemusatan perhatian pada aspek positif dari keadaan yang tengah

dihadapi akan membuat individu menjadi lebih mampu mempertahankan

emosi posi t ifnya dan mencegah emosi yang negatif, serta membantu

individu menghadapi situasi-situasi yang mengancam atau menimbulkan

stres.

Penelitian Goodhart (1985) terhadap 173 mahasiswa menemukan

bahwa berpikir positif mempunyai hubungan yang signifikan dengan

kondisi psikologis yang positif , tetapi tidak berhubungan dengan adanya

efek negatif dan simtom psikologis.

Menurut Schachter (dalam Powell 1983) antara berpikir dan emosi

terdapat suatu hubungan timbal balik. Bila individu menerima suatu

stimulus, emosinya akan timbul dan mempengaruhi pikiran individu

tersebut tentang stimulus yang diterimanya. Sebaliknya, apa yang

dipikirkan individu tentang stimulus juga akan mempengaruhi emosinya.

Page 25: alat ukur kecemasan 2

32

Jadi bila individu berpikir positif tentang stimulus yang diterimanya, maka

ia akan mengalami emosi yang positif pula.

Individu yang berpikir positif tidak menganggap masalah sebagai hal

yang harus dihindari , tidak diakui atau disesali, melainkan sebagai bagian

dari kehidupan yang harus dihadapi sehingga akan memperoleh makna

hidupnya. Individu akan memiliki harapan yang positif dan menggunakan

tenaga dan pikiran secara penuh untuk menganalisis kesulitan yang ada

serta mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan

yang sedang dihadapi.

Dari penelitian Krantz dan Parkes (Retnowati , 1990) diperoleh bukti

bahwa dalam menghadapi situasi yang menekan, keberhasilan individu

mengatasinya atau coping behavior sangat tergantung pada penilaian

kognitifnya. Individu yang mempunyai penilaian positif akan mampu

mengatasi situasi yang dihadapinya dengan baik, sebaliknya individu yang

mempunyai penilaian negatif akan mengalami kesulitan mengatasi

masalahnya.

Dari uraian yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa berpikir

positif akan mendukung perkembangan emosi yang positif , sehingga dapat

memberikan kekuatan untuk mengatasi situasi-situasi yang mengancam

dengan mengadakan perencanaan yang efektif .

Page 26: alat ukur kecemasan 2

33

F. Hipotesis

Berdasarkan telaah teori yang telah dikemukakan, penulis kemudian

mengajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Ada perbedaan tingkat kecemasan antara subjek tahun angkatan awal,

tengah dan subjek tahun angkatan akhir. Tingkat kecemasan subjek

tahun angkatan awal dan akhir lebih tinggi dibanding dengan subjek

tahun angkatan tengah.

2. Ada hubungan negatif antara berpikir positif dengan tingkat kecemasan.

Semakin tinggi berpikir positif semakin rendah kecemasannya.