AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN
Transcript of AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN
AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN
DALAM KONTEKS MODERN
(STUDI PENAFSIRAN MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
oleh:
Ayatullah Jazmi
NIM: 1112034000104
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
AL-QUR'AN DAN WAC,{NA PERBUDAKAN
DALAM KONTEKS MODERN
(STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYiD RIDA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas UshulrrdCin
untuk N,lerrenuhi Persyaratan untuk Nlemperoleh
Gelar Sar.jana .{gama (S.Ag.)
oleh:
Ayatullah JazmiNIN{: 1l12034000104
Pembirnbing
Drs. Ahmad Rifqi Nluchtar. MA.NIP. 19690822 199703 I 002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DA}..ITAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGER] SYARIF HIDAYATUT,LAH
JAKARTA
1440 Ht20t9 M
v
ABSTRAK
Ayatullah Jazmi
“Al-Qur`an dan Wacana Perbudakan Dalam Konteks Modern: Studi Atas
Penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ”
Perbudakan adalah sistem perebutan hak dan kebebasan seorang manusia
untuk bekerja guna keperluan golongan manusia lain. Agama Islam berupaya
untuk menghapuskan tindak ketidakadilan sebagaimana praktik perbudakan, maka
Islam dalam ayat-ayat al-Qur`an banyak memberikan tuntunan untuk keadilan dan
memerdekakan budak. Namun seiring perkembangan zaman, tindak kekerasan
terhadap budak yang terjadi pada zaman dahulu tidak lagi ditemukan, sehingga
ayat-ayat tersebut seakan tidak lagi relevan. Hal inilah yang menjadi penelitian
pada skripsi ini karena al-Qur`an adalah panduan hidup orang Islam yang selalu
dapat diaplikasikan pada tiap zaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ayat-ayat perbudakan yang
diterapkan pada masa modern. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan
data perpustakaan (library research) dan menelitinya dengan metode deskriptif
analitik dan analisis ayat.
Pada penelitian ini, penulis menelusuri penafsiran Rasyîd Riḍâ terhadap
empat term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan perbudakan, baik ayat
yang membicarakan pemerdekaan budak ataupun ayat yang membicarakan sikap
baik terhadap budak sebagai makhluk sosial. Empat term tersebut adalah ‘abd,
amah, raqabah dan mâ malakat aimânukum. Secara garis besar, Rasyîd Riḍâ
mengartikannya sebagai budak, akan tetapi Rasyîd Riḍâ menafsirinya sebagai
kondisi seseorang yang direndahkan atau dirampas haknya. Dalam uraiannya,
Rasyîd Riḍâ menujukkan pada sisi pengangkatan derajat orang yang direndahkan
dan berupaya penyamarataan hak antar manusia sebagai pokok tuntunan
kemanusiaan yang diajarkan agama, sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat
tersebut akan selalu relevan dengan adanya tindak ketidakadilan antar sesama
manusia.
Kata kunci: perbudakan, Rasyîd Riḍâ.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan begitu banyak nikmat sehingga penulis mampu merampungkan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada baginda
nabi besar Muhammad Saw. dan keluarga beserta para sahabatnya, dan semoga
kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.
Aamiin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan dapat rampung
tanpa izin Allah SWT. dan juga bimbingan, arahan, dukungan serta kontribusi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA. selaku Dekan Fakutlas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan
Tafsir yang dengan sabar mengarahkan dan memberi kesempatan yang
besar agar penulis dapat menuntaskan skripsi ini.
4. Bapak Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-
Qur`an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu
dalam bidang administrasi perkuliahan;
5. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA. selaku dosen pembimbing
yang dengan sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu,
arahan, masukan, dan bimbingannya kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Kusmana, MA., Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang
telah menuntun penulis agar dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
vii
7. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir maupun dosen Jurusan
lain di Fakultas Ushuluddin yang telah membagi dan memberikan ilmu
dan pengalamannya kepada penulis.
8. Seluruh civitas akademika baik di tingkat Jurusan, Fakultas ataupun
Universitas yang telah membantu penulis dalam mengurus administrasi
kuliah dan lain sebagainya.
9. Kedua orang tua penulis, Abah H. Badruzzaman dan Mimi Hj. Hindun,
yang telah sabar dan hati-hati mendidik penulis dan selalu mendoakan
serta menuntun penulis, sehingga menjadi motivasi penulis untuk
menyelesaikan studi setinggi mungkin.
10. Seluruh keluarga penulis, kakak-kakak penulis Fasikhah dan
Lailatusysyifa, adik-adik penulis Maulia Zulfa dan Umni Khailizah yang
selalu memberikan dukungan kepada penulis, dan paman bibi semua yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
11. Seluruh teman-teman yang ikut mendukung dan memotivasi penulis
selama proses belajar di Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir sampai akhir
masa studi, dan
12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
mendukung penulis dan memotivasi penulis.
Skripsi ini adalah sebagai upaya penulis untuk memberikan sumbangsih
terhadap khazanah keislaman, namun penulis sadar bahwa banyak kekurangan
dan minimnya pengetahuan penulis sehingga penelitian ini jauh dari kata
sempurna, namun penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan
manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian.
Penulis memohon maaf kepada berbagai pihak atas segala kekeliruan dan
kesalahan yang pernah penulis perbuat, dan penulis memohon ampunan kepada
Allah SWT. atas dosa dan kekhilafan yang telah penulis lakukan. Semoga taufiq,
hidayah, inayah serta magfirah-Nya selalu menyertai kita semua. Aamiin.
Ciputat, 04 Juli 2019
Ayatullah Jazmi
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan ا
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Ṡa ṡ Es dengan titik di atas ث
Jim j Je ج
Ḥa ḥ Ha dengan titik di bawah ح
Kha kh Ka dan ha خ
Dal d De د
Ża ż Zet dengan titik di atas ذ
Ra r Er ر
Zai z Zet ز
Sin s Es س
Syin sy Es dan ye ش
Ṣad ṣ Es dengan titik di bawah ص
Ḍa ḍ De dengan titik di bawah ض
Ṭa ṭ Te dengan titik di bawah ط
Ẓa ẓ Zet dengan titik di bawah ظ
ain ‘ Koma terbalik di atas‘ ع
Gain G Ge غ
Fa f Ef ف
Qaf q Qi ق
Kaf k Ka ك
ix
Lam l El ل
Mim m Em م
Nun n En ن
Wau w We و
Ha h Ha هـ
Hamzah ` Apostrof ء
Ya y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah
i Kasrah
u Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuannya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf, ketentuannya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا â a dengan topi di atas ــــ
î i dengan topi di atas ــــــ ـي
و û u dengan topi di atas ــــــ
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
x
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
E. Syaddah (tasydid)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ( ر و ر الض ة ) tidak ditulis
ad-ḍarûrah melainkan al-ḍarûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûṭah
Transliterasi untuk ta marbûṭah ada dua, yaitu: ta marbûṭah yang hidup atau
mendapat harkat fatḥah, kasrah atau ḍammah maka transliterasinya adalah /t/.
Sedangkan ta marbûṭah yang mati atau mendapat harkat sukûn, transliterasinya
adalah /h/.
Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbûṭah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbûṭah ditransliterasikan dengan ha /h/.
G. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (`) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
ء ي
syai`un : ش
ت ر م umirtu : أ
H. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
xi
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Gazâlî bukan Abû Hâmid Al-
Gazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Abdussamad al-Palimbani tidak
ditulis ‘Abd al-Ṡamad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
I. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah contoh alih aksara atas kalimat-kalimat
dalam bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ب ه ذ
ت س ال
اذ dzahaba al-ustâdzu
م الل ك ر ث
ؤ yu`tsirukum Allâh ي
ر ح ال
ك ة
ر ص ع ال
ي ة al-ḥarakah al-‘aṡriyyah
أ
د ه ش
ن أ
ل
ه ل
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh الل ل
و م
ل حال ك الص ل ا م ن maulânâ malik al-ṡâliḥ
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4
C. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
E. Metodologi Penelitian .............................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 16
A. Pengertian Perbudakan ............................................................. 16
B. Sejarah Perbudakan .................................................................. 16
1. Perbudakan sebelum Islam .................................................. 17
2. Perbudakan setelah Islam..................................................... 21
C. Faktor yang Mendorong terjadinya Perbudakan ...................... 26
D. Tafsir al-Qur`an tentang Perbudakan ....................................... 28
1. Tafsir Klasik – Tafsîr Ibn Kaṡîr ........................................... 29
2. Tafsir Kontemporer – Tafsîr Fî Ẑilal al-Qur`an .................. 31
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUḤAMMAD RASYÎD RIḌA
A. Biografi Muḥammad Rasyîd Riḍâ ............................................ 34
B. Pendidikan ................................................................................ 36
C. Karya-karya Ilmiah ................................................................... 38
D. Pemikiran Keislaman ................................................................ 39
1. Konsep Keagamaan ............................................................. 39
xiii
2. Konsep Pendidikan .............................................................. 40
3. Konsep Kesatuan Umat ....................................................... 41
E. Pemikiran Tafsir al-Qur`an ....................................................... 42
F. Metodologi Tafsîr al-Manâr ..................................................... 44
1. Latar Belakang Penafsiran ................................................... 44
2. Sumber Penafsiran ............................................................... 45
3. Metode Penulisan ................................................................. 46
4. Corak Penafsiran .................................................................. 47
5. Karakteristik Penafsiran ....................................................... 47
BAB IV PENAFSIRAN AYAT PERBUDAKAN MENURUT
MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ .................................................... 49
A. Term Perbudakan dalam al-Qur`an .......................................... 49
1. ‘Abd ...................................................................................... 49
2. Amah .................................................................................... 54
3. Raqabah ............................................................................... 55
4. Mâ Malakat Aimânukum ...................................................... 60
B. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Perbudakan .............................. 68
C. Relevansi Ayat dalam Konteks Modern ................................... 70
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 77
A. Kesimpulan ............................................................................... 77
B. Saran ......................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem perbudakan merupakan fenomena universal yang terjadi hampir di
seluruh bagian dunia. Perbudakan umumnya berbicara perihal tuan yang
memperbudak dan budak yang diperbudak. Perbudakan manusia oleh manusia
dalam pengertian seperti yang terjadi pada zaman jahiliah memang sudah tidak
lagi ditemukan, namun jejak-jejaknya masih dapat dijumpai hingga peradaban
modern saat ini. Kisah tragis beberapa tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi,
Malaysia, Singapura atau lainnya, yang sering diperlakukan tidak manusiawi oleh
para majikannya adalah contoh telanjang mengenai perbudakan dalam bentuk lain
yang terjadi pada zaman sekarang ini. Kisah-kisah senada bahkan juga dapat
dijumpai di Tanah Air, tidak hanya di dunia pembantu rumah tangga, tetapi
hampir semua dimensi kehidupan yang masih memandang manusia hanya sebagai
alat bagi kepentingan kelompok kuat.1
Perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi seseorang
memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan
orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan
praktik perbudakan, dalam hal ini orang bisa dipekerjakan dan dibuang begitu saja
seperti barang.2 Perbudakan bisa pula didefinisikan sebagai kondisi di mana
1 Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an.” Suhuf, Vol. 4 No. 1
(2011): h. 41. 2 Muhammad Tisna Nugraha, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.” At-Turats, Vol.9
Nomor 1 (Juni 2015): h. 57.
1
2
seseorang menerima pemaksaan yang tidak sesuai dengan keinginannya yang
merupakan hak bagi setiap manusia, dalam bidang pendidikan misalnya,
perbudakan yang ada terkesan samar-samar. Hal ini dapat terjadi pada siswa
bahkan terhadap tenaga pendidik atau guru sekalipun. Bentuk perbudakan pada
siswa di antaranya seperti dengan pemberian tugas secara berlebihan atau di luar
kewajaran. Selain itu, perbudakan dalam dunia pendidikan terjadi pula ketika
peserta didik dipaksa untuk menguasai materi-materi yang disampaikan guru
dalam rangka mencapai indikator hasil belajar yang tertuang dalam rencana
pembelajaran.3
Sejak kelas 1 SD sampai SMA bahkan ada pada tingkat Universitas, para
siswa dipaksa duduk diam mendengarkan guru, mencatat, tanpa dialog interaktif
antara guru dan siswa. Selain itu siswa juga disuruh menghafal mata pelajaran
yang abstrak, sehingga menghasilkan generasi robot. Oleh karena itu, wajar saja
bila di kalangan siswa sering terdengar celotehan “Makan tuh rumus-rumus”,
atau kata-kata sejenis yang mengekspresikan betapa pelajaran yang mereka terima
lebih banyak bersifat monoton dan penerapan pembelajaran yang tidak
sewajarnya. Sekolah juga lebih menekankan ‘grade minded’ untuk menentukan
prestasi dan kelulusan.4
Karena itu, sungguh menarik untuk melihat kembali wacana perbudakan
yang terjadi pada konteks modern yang meski tidak sama persis dengan
perbudakan yang terjadi pada zaman jahiliah, tapi faktor hilangnya hak sebagai
manusia merdeka, baik itu hilangnya hak keberadaan atau pun hak memilih dalam
3 Nugraha, “Perbudakan Modern”, h. 57. 4 Muhammad Safak, Kaya Tanpa Bekerja (Jakarta: Republika, 2005), h. 19.
3
hidupnya, tanpa disadari merupakan indikasi adanya esensi perbudakan yang
masih terjadi di zaman sekarang ini.
Wacana ini menjadi kian menarik jika dihubungkan dengan diskursus
perbudakan dalam al-Qur`an. Sebab, bukan saja tema perbudakan merupakan
salah satu topik yang sering disalahpahami oleh orang-orang non-Islam, tetapi
juga kalangan pemikir Islam sendiri tak jarang hanya melakukan apologi ketika
menghadapi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan orang-orang non-Islam bahwa
Islam turut mengakui dan melanggengkan perbudakan.5 Sekilas, al-Qur`an
memang potensial untuk disalahpahami sebagai sumber nilai yang turut
mempertahankan perbudakan, di samping tidak ada satu ayat pun yang secara
tegas melarang praktek perbudakan, di sisi lain ada beberapa ayat yang terkesan
memberikan interpretasi yang membolehkan perbudakan. Bahkan dalam QS. Al-
Mu`minûn ayat 6, QS. Al-Aḥzâb ayat 50 dan QS. Al-Ma’ârij ayat 30 disebutkan
kebolehan menggauli budak perempuan. Lalu bagaimana diskursus al-Qur`an
sebagai rujukan utama agama Islam dalam menyikapi masalah perbudakan
modern?
Sebagai salah satu penafsir dan pemikir Islam kontemporer, Rasyîd Riḍâ
(1865-1935) menuangkan gagasannya dalam hal perbudakan, baik itu melalui
penafsirannya dalam Tafsîr al-Manâr maupun dalam bukunya, misalnya buku al-
Waḥy al-Muḥammadî. Beliau menjelaskan bahwa Islam mengupayakan untuk
hilangnya sistem perbudakan yang merupakan praktik penganiayaan terhadap
kaum lemah, Islam melalui ajarannya menggunakan berbagai cara dalam upaya
memerdekakan budak, baik itu dengan nilai kebajikan yang dijanjikan pahala
5 Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an,” h. 42.
4
yang besar atapun sebagai sangsi dari perbuatan dosa.6 Melihat ulang terhadap
terjadinya tindak penganiayaan terhadap hak manusia masih dapat ditemui pada
zaman modern ini, maka sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam, perlu kiranya
dikaji lebih dalam bagaimana Rasyîd Riḍâ dalam menyikapi perbudakan dalam
konteks modern.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis akan
melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul “Al-Qur`an dan Wacana
Perbudakan dalam Konteks Modern: Studi Atas Penafsiran Muḥammad
Rasyîd Riḍâ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan mengenai kontektualisasi praktek perbudakan di zaman
modern sungguh sangat menarik menurut penulis, namun bahasan ini dapat diteliti
dari berbagai sisi. Agar penelitian ini dapat lebih fokus pada bahasan tertentu,
penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini melingkupi kajian makna term dan aspek sejarah. Dari
makna yang berbeda-beda akan mempunyai hasil yang berbeda pula,
karenanya sangat penting untuk mengurai lebih dalam dari sudut
kebahasaan, begitu juga dari aspek sejarah yang melingkupi turunnya ayat
tersebut kiranya sangat berpengaruh terhadap tujuan makna ayat.
2. Yang dijadikan rujukan pokok kajian penafsiran adalah dengan menelaah
uraian Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam kitabnya Tafsîr al-Manâr dan
6, Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad. Penerjemah Josep C.D.
(Jakarta: Dunia Pustaka, 1983), h. 572-582.
5
karyanya al-Waḥy al-Muḥammadî. Karena beliau menguraikan panjang
lebar perihal perbudakan dan menjadikannya pada bab tersendiri.
3. Ayat yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah ayat-ayat
yang menjelaskan tentang perbudakan, karena yang menjadi rujukan
pokok adalah Tafsîr al-Manâr, maka ayat yang dikaji dalam penelitian ini
adalah ayat 177, 178 dan 221 surah al-Baqarah, ayat 24, 25, 36 dan 92
surah al-Nisâ`, ayat 89 surah al-Mâidah, dan ayat 60 surah al-Taubah.
Tafsîr al-Manâr mempunyai 12 jilid yang di dalamnya ditafsiri mulai dari
surah al-Fâtiḥah hingga surah Yûsuf, dan dari jumlah surah yang telah
ditafsiri dalam Tafsîr al-Manâr, ayat-ayat tersebutlah yang membahas
tentang perbudakan.
Berdasarkan batasan masalah yang dikemukakan di atas, penulis
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat yang
menjelaskan tentang perbudakan dengan diskursus perbudakan modern?”
C. Tinjauan Pustaka
Dalam upaya untuk melakukan penelitian yang dapat memberikan
kontribusi ilmiah yang baru, maka penulis melakukan tinjauan pustaka untuk
memastikan bahwa penelitian ini belum pernah dibahas.
Sejauh penelusuan penulis tentang penelitian skripsi yang terkait dengan
masalah yang penulis kaji, penulis menemukan penelitian skripsi yang ditulis oleh
M. Fikri Halim pada tahun 2013 yang diajukan pada Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
6
Hidayatullah Jakarta,7 skripsi ini berjudul “Analisis Wacana Kritis tetang
Perbudakan Modern dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro
TV”. Penelitian yang diangkat dalam skripsi tersebut adalah mengenai perbudakan
modern yang dikupas dalam acara media televisi yang menfokuskan pada
program yang berjudul Bedah Editorial yang ditayangkan oleh Metro TV,
penelitian ini dikaji melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi,
dengan demikian sangatlah berbeda dengan penelitian yang dikaji oleh penulis
yang menggunakan pengumpulan dan analisi data yang objeknya pun berbeda.
Selanjutnya, skripsi karya Khamdatul Aliyati yang diajukan pada tahun
2015 pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang.8
Skripsi ini berjudul “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia”.
Penelitian yang diangkat dalam skripsi tersebut adalah bagaimana penafsiran ayat-
ayat perbudakan menurut para mufassir Indonesia, para mufassir yang disebutkan
dalam skripsi ini antara lain adalah Mahmud Yunus, Ahmad Hasan, Muhammad
Hashbi Ash-Shiddiqiey, HAMKA, dan Quraish Shihab. Kesamaan yang
ditemukan adalah tema perbudakannya, akan tetapi mempunyai perbedaan yaitu
pada aspek penelitian, dalam skripsi tersebut terpaku pada para mufassir
Indonesia, sedangkan penulis meneliti dalam penafsiran Rasyîd Riḍâ dalam
menafsiri ayat-ayat perbudakan.
Skripsi yang berjudul “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an” karya
Hariroh yang diajukan pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
7 M. Fikri Halim, “Analisis Wacana Kritis tetang Perbudakan Modern dalam Program
Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV.” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013). 8 Khamdatul Aliyati, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia.” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015).
7
Hidayatullah Jakarta9 dan skripsi yang berjudul “Strategi Menghapuskan
Perbudakan Klasik dan Modern Menurut al-Qur`an” karya Nurjannah Nunik
yang diajukan pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.10 Akan tetapi, skripsi tersebut tidak dapat dijangkau dan
ditelaah oleh penulis karena skripsi tersebut sudah dimasukkan ke dalam gudang
Perpustakaan Utama (PU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, apabila
dilihat dari judul yang diangkat dalam skripsi tersebut, tinjauan penelitian yang
dikaji berbeda dengan penelitian yang diangkat penulis, skripsi yang pertama
meneliti konsep perbudakan dalam al-Qur`an secara umum bahkan terkesan
menjurus ke pandangan klasik, dan skripsi yang kedua meneliti kajian perbudakan
dalam upaya penghapusannya, sedangkan penulis dalam penelitian ini mengkaji
relevansi penafsiran al-Qur`an tentang ayat-ayat perbudakan dengan fenomena
perbudakan pada era modern.
Skripsi “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas
Penafsiran Ibn Kaṡîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim”, skripsi ini disusun oleh
Iqbal Firdaus yang diajukan pada tahun 2018 pada Fakultas Ushuluddin
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,11 yang meneliti penafsiran ayat
perbudakan yang menggunakan kata mâ malakat aimânukum dalam kitab Tafsîr
Ibn Kaṡîr, yang ditinjau adalah penelitian pemaknaan kata tersebut terhadap
budak sehingga pada ayat-ayat yang menggunakan kata mâ malakat aimânukum
tidak semuanya mempunyai arti yang sama. Apabila dilihat dari tinjauan
9 Hariroh, “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Jakarta). 10 Nurjannah Nunik, “Strategi Menghapuskan Perbudakan Klasik dan Modern Menurut al-
Qur`an.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta). 11 Iqbal Firdaus, “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas
Penafsiran Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018).
8
penelitiannya, maka penelitian ini berbeda dengan yang penulis angkat pada
penelitian ini, mulai dari tinjauan penelitian, kata yang dibahas dan tokoh yang
diangkat.
Skripsi “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-
Qur`an”, skripsi ini disusun oleh Nurul Fitri yang diajukan pada tahun 2018 pada
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-Raniry,12 yang
meneliti tentang penafsiran ayat-ayat perbudakan, ada dua hal yang menjadi
tinjauan utamanya, pertama adalah bagaimana Sayyid Quṭb menafsiri ayat-ayat
perbudakan dalam kitab tafsirnya, dan yang kedua bagaimana Sayyid Quṭb
menafsiri dan menjelaskan ayat-ayat yang menguraikan pembebasan budak. Dari
kedua tinjauan penelitian tersebut, maka penelitian dalam skripsi ini berbeda
dengan penelitian yang penulis angkat.
Skripsi berjudul “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan” yang
ditulis oleh Siti Nurrahmah yang diajukan pada Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah pada tahun 2018.13 Skripsi
ini meneliti tentang metode yang dilakukan Islam mengenai pembebasan
perbudakan, sehingga yang diteliti adalah langkah-langkah yang dilakukan agama
Islam untuk menghapuskan sistem perbudakan dan hal-hal yang mendukung
pembebasan perbudakan. Sehingga penelitian dalam skripsi ini berbeda dengan
penelitian yang penulis angkat, karena yang menjadi pokok pembahasannya
adalah metode pembebasan budak sedangkan penulis meneliti penafsiran tokoh
kontemporer mengenai ayat-ayat perbudakan.
12 Nurul Fitri, “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an.” (Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-Raniry Darus-Salam Banda
Aceh, 2018). 13 Siti Nurrahmah, “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan.” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, 2018).
9
Skripsi yang berjudul “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam
Pengembangan Islam” yang ditulis oleh Andi Mappiaswan yang diajukan pada
Fakultas Adab dan Humainiora UIN Alauddin Makassar pada tahun 2015.14
Skripsi ini mengangkat Rasyîd Riḍâ dalam pemikirannya tentang perkembangan
Islam, yang diteliti adalah pemikiran Rasyîd Riḍâ dalam pendidikan, pengetahuan
dan politik. Sehingga sangat berbeda sekali dengan penelitian yang penulis angkat
yakni pemikiran Rasyîd Riḍâ dalam penafsirannya tentang ayat-ayat perbudakan.
Disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis
Perbudakan” yang ditulis oleh Alkadri. Disertasi ini diajukan pada Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2016,15 yang meneliti
tentang pemahaman praktik perbudakan dalam hadis-hadis Nabi Saw., sehingga
pembahasannya meliputi sejarah perbudakan dan nilai yang dikandung hadis-
hadis Nabi Saw. dalam menyikapi praktik perbudakan, dengan demikian
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis diangkat yang merupakan
penelitian penafsiran al-Qur`an, sedangkan pada disertasi ini menelitian
pemahaman hadis-hadis Nabis Saw.
Jurnal yang berjudul “Perbudakan Modern (Modern Slavery)” yang ditulis
oleh Muhamad Tisna Nugraha.16 Penelitian ini menganalisis sejarah dan
pendidikan yang dapat dipelajari dari praktik perbudakan, sehingga penelitian ini
membahas bentuk-bentuk perbudakan zaman dahulu dan yang dapat dikatakan
sebagai praktik perbudakan pada zaman modern, kemudian meneliti tindakan
yang dapat mengikis terjadinya praktik perbudakan pada masa modern. Sehingga
14 Andi Mappiaswan, “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam Pengembangan
Islam.” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humainiora UIN Alauddin Makassar, 2015). 15 Alkadri, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis Perbudakan.” (Disertasi S3 Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016). 16 Nugraha, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.”
10
dari pokok bahasan penelitian tersebut, penelitian ini tidak meneliti mengenai
penafsiran ayat-ayat perbudakan dalam al-Qur`an, berbeda dengan penelitian yang
penulis angkat yang merupakan penelitian penafsiran al-Qur`an.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Rasyîd
Riḍâ dalam menjelaskan ayat-ayat yang menguraikan informasi perbudakan dan
bagaimana Rasyîd Riḍâ menyikapi relevansi ayat-ayat tersebut dengan realita
pada zaman modern, sekaligus bertujuan untuk mengetahui sejauh mana syariat
Islam dalam memperhatikan realitas perbudakan di zaman modern.
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini diantaranya
adalah :
1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan khazanah keilmuan para
penuntut ilmu terutama dalam literatur tafsir.
2. Memberikan kontribusi sudut pandang yang mendalam terkait ayat-ayat
yang dianggap tidak lagi relevan pada zaman modern.
3. Memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat luas dari kandungan
ayat-ayat yang menguraikan perihal perbudakan dengan realita kehidupan
modern.
4. Menjadi tugas akhir yang dapat mengantarkan penulis mendapatkan gelar
strata satu di Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi yang bersifat tematik, yakni menelaah
konsep syariat Islam mengenai perbudakan di zaman modern, dengan demikian
studi sumber al-Qur`an mengenai pokok masalah perbudakan menjadi acuan
utama.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga (3) metode, yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam pencarian data untuk dijadikan bahan penulisan, penulis
menggunakan metode perpustakaan (libary research), dengan metode
tersebut penulis mengumpulkan data-data yang bersinggungan dengan
bahasan dalam pembahasan tulisan ini yang diambil dari berbagai sumber
tulisan yang dianggap pantas untuk dijadikan referensi, baik data-data
sumber tersebut diambil dari buku ataupun dari bentuk tulisan lain, seperti
skripsi, tesis, jurnal atau yang lainnya.17 Metode ini digunakan untuk
mengumpulkan data pembahasan dan pemaparan tentang perbudakan yang
kemudian diteliti lebih dalam dengan metode analisis data.
Dalam hal ini, penulis memetakan referensi menjadi dua bagian, buku
primer dan buku skunder. Yang dijadikan referensi primer dalam penulisan
ini, penulis menggunakan kitab Tafsîr al-Manâr dan al-Waḥy al-
Muḥammadî, yang kedua-duanya merupakan karya Muḥammad Rasyîd
Riḍâ.
17 Suarsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 231.
12
2. Metode Analisis
Dalam menempuh analisis data dari data-data yang dikumpulkan, penulis
menggunakan dua (2) metode:
a. Deskriptif Analitik, metode yang digunakan untuk mengkaji dan
mendiskripsikan pemikiran-pemikiran tentang suatu masalah.18
Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data-data yang telah
dikumpulkan untuk lebih memahami pemikiran-pemikiran yang
diuraikan tentang perbudakan.
b. Analisis Ayat, metode ini merupakan penelitian dari penghimpunan
ayat-ayat yang satu tema dari berbagai ayat yang ada dalam al-
Qur`an.19 Metode ini penulis gunakan untuk menghimpun ayat-ayat
yang membahas tentang perbudakan yang diuraikan oleh Rasyîd Riḍâ
dalam Tafsîr al-Manâr, kemudian penulis analisa untuk lebih
memahami maksud dari uraian Rasyîd Riḍâ tentang persoalan
perbudakan.
3. Metode Penulisan
Dalam metode penulisannya, penulis berkiblat pada buku Panduan
Akademik tahun 2012, di dalam buku tersebut diuraikan bagaimana
sistematika penulisan footnote, penulisan data nukilan, penulisan daftar
pustaka dan lainya.20 Sedangkan untuk sistematika transilerasi, penulis
berkiblat pada keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 248. 19 Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2008), h. 5. 20 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012-2013 (Jakarta: Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Jakarta, 2012).
13
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor:
0543b/U/1987.
F. Sistematika Penulisan
Dalam upaya mempermudah pemahaman dalam penelitian ini, penulis
meruntutkan pembahasannya dalam bab-bab sebagaimana biasanya sebuah
penelitian tertulis. Dalam tata urut bab-bab penelitian ini, penulis merangkainya
sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan uraian pendahuluan yang meliputi latar belakang
munculnya masalah yang diangkat penulis dalam penelitian ini. Selanjutnya,
penulis menguraikan pembatasan masalah agar penelitian ini dapat lebih fokus
dan mendalam, kemudian penulis menguraikan perumusan masalah dalam bentuk
pertanyaan sebagai masalah yang harus terjawab dalam penelitian ini. Selain itu,
pada bab ini penulis juga menguraikan tujuan dan manfaat penelitian, dan kajian
pustaka sebagai analisis terhadap penelitian-penelitian sebelumnya agar tidak
terjadi pengulangan penelitian yang sama. Kemudian, penulis menguraikan
metodologi yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini sekaligus menguraikan
sistematika dalam penulisannya.
Bab kedua, merupakan tinjauan pustaka yang menguraikan ruang lingkup
perbudakan meliputi pengertian dan sejarahnya. Kemudian penulis juga
menguraikan penafsiran ayat-ayat tentang perbudakan dari mufasir klasik dan
mufasir kontemporer sebagai gambaran umum para mufasir terkait penafsiran
ayat-ayat perbudakan.
14
Bab ketiga, merupakan uraian tokoh yang diangkat dalam penelitian ini,
yaitu Muḥammad Rasyîd Riḍâ, yang meliputi biografi tokoh untuk mengetahui
latar belakang kehidupannya, lalu penulis menguraikan pendidikan dan karyanya
untuk mengetahui ruang lingkup kajiannya dan dilanjutkan dengan uraian
pemikiran keislaman dan pemikiran tafsir al-Qur`an untuk mengetahui pendapat-
pendapatnya dalam permasalahan keagamaan. Sebagai penutup bab ketiga,
penulis menguraikan metodologi tafsir yang dikarang oleh Muḥammad Rasyîd
Riḍâ untuk mengetahui latar belakang kitab tafsir ini muncul dan ruang lingkup
penafsirannya yang meliputi sumber penafsiran, metode penafsiran, corak
penafsiran dan karakteristik penafsirannya.
Bab keempat, merupakan uraian inti bahasan penelitian ayat-ayat tentang
perbudakan menurut Muḥammad Rasyîd Riḍâ meliputi pengertian term-term yang
digunakan dalam al-Qur`an. Dalam menguraikan penafsiran Muḥammad Rasyîd
Riḍâ terhadap ayat-ayat perbudakan, penulis mengelompokkannya masing-masing
term yang digunakan ayat-ayat al-Qur`an dalam menyebutkan bahasan
perbudakan kemudian menguraikan penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ dan
memfokuskannya pada penafsirannya terhadap bahasan perbudakan, kemudian
dilanjutkan analisis penafsiran yang telah diuraikan dengan lebih mengkerucutkan
pembahasan term-term perbudakan agar lebih fokus pada pemaknaan dan
penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ, dan kemudian diuraikan pula relevansi yang
didapatkan dari penjelasan penafsiran ayat-ayat tersebut dengan fenomena praktik
perbudakan dalam konteks modern.
Bab kelima, merupakan penutup dari penelitian ini. Dalam bab ini, penulis
uraikan jawaban masalah yang diangkat dalam perumusan masalah penelitian ini,
15
dan kemudian memberikan saran untuk pembaca baik untuk penelitian selanjutnya
maupun rekomendasi pemanfaaatan praktis.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perbudakan
Perbudakan atau budak sepadan dengan kata hamba atau jongos yang
berartikan seseorang yang dirampas kemerdekaan hidupnya untuk bekerja
memenuhi kepentingan golongan lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
budak diartikan sebagai anak, abdi, jongos. Sedangkan perbudakan adalah sistem
sekelompok manusia yang direbut kebebasannya untuk bekerja guna keperluan
golongan manusia lain.1 Dari pengertian ini dapat diambil garis besarnya bahwa
perbudakan atau budak adalah manusia yang tidak mendapatkan hak-hak
hidupnya karena diperdaya atau diperalat oleh manusia lainnya. Hal ini senada
dengan keterangan dalam ayat al-Qur`an:
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun”. (QS. Al-Naḥl [16]: 75).
B. Sejarah Perbudakan
Perbudakan telah muncul sejak beribu-ribu tahun lalu, dan telah dijumpai
oleh bangsa-bangsa kuno seperti Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, dan
telah disebutkan pula dalam kitab-kitab Nabi-nabi terdahulu, kitab Taurat dan
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), h. 225-226.
16
17
Injil, begitu pula dalam al-Qur`an.2 Dari fenomena tersebut, maka di bawah ini
akan dijelaskan sejarah perbudakan sebelum Islam (sebelum masa kenabian
Muḥammad Saw.) dan sejarah perbudakan setelah kenabian Muḥammad Saw.
1. Perbudakan Sebelum Islam
Perbudakan merupakan fenomena kuno yang selalu ada sepanjang
sejarah manusia, artinya sepanjang sejarah manusia ada maka fenomena
perbudakan pun akan selalu ada menyertainya karena manusia mempunyai
kecenderungan homo homini lupus (keinginan untuk menguasai yang lain),
meskipun keberadaan perbudakan itu sendiri muncul dengan model dan bentuk
yang berbeda-beda pada masanya. Seperti contohnya model perbudakan kuno
dengan mengekploitasi manusia untuk melakukan apapun yang dikehendaki
sang majikan, sedangkan perbudakan modern seperti dengan ekploitasi
manusia terhadap lainnya dengan samar-samar dan berada di balik aktivitas-
aktivitas lainnya,3 seperti praktik yang terjadi pada para pembantu, karyawan
ataupun lainnya yang mengalami tindak penindasan dan kesewenang-
wenangan.
Di dalam al-Qur`an sendiri dikisahkan perbudakan pada masa Nabi Musa
yang dilakukan oleh Fir’aûn:
“Sesungguhnya sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir’aûn dan telah
datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia, (dengan berkata):
"Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Banî Isrâîl yang kamu
2 Abû Bakr Jâbir Al-Jazairî, Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Penerjemah. Mustafa Aini,
Amir Hamzah, Khalif Mutaqin (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 444 3 Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam,” Suara Muhammadiyah 01, No. 98 (1-15 Januari
2011), h. 48.
18
perbudak). Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya
kepadamu.” (QS. Al-Dukhân [44]: 17-18).
Sejarah mengenai fenomena perbudakan kuno yang tercatat dan
ditemukan bukti terjadinya fenomena perbudakan adalah pada masa kerajaan
Hammurabi (1760 SM), pada masa tersebut ditemukan sebuah bukti terjadinya
fenomena perbudakan dengan ditemukannya prasasti Hammurabi4, bahkan
kuburan pra sejarah di Mesir menunjukkan bahwa sejak 8000 SM. masyarakat
Libya telah memperbudak suku lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
perbudakan sudah ada sebelum masa tulis menulis dan telah ada dalam
berbagai kebudayaan.5
Perbudakan dan pelayan diketahui sudah ada sejak zaman Mesir Kuno
dan Timur Tengah, juga China dan India. Budak secara umum berasal dari
bangsa asli yang diperbudak karena sebab hutang maupun hukuman. Hal ini
tampak nyata ketika sebuah rezim ekonomi berkuasa pada masa lalu selalu ada
sistem perbudakan terkait dengan industri. Pada masa berburu, kelompok yang
menang perang tidak hanya mengalahkan musuhnya tetapi juga membunuhnya,
menahan wanita-wanita untuk diperjual belikan. Hal tersebut bagian dari
kemenangan yang terus-menerus dan eksploitasi kultur yang diterapkan secara
skala besar sebagai eksistensi pasca perang, bahwa budak pekerja dapat
menambah persediaan makanan terhadap tuannya dan di waktu yang sama
dapat menambah meringankannya dalam bekerja. Dalam tingkat ini,
4 Prasasti Hammurabi adalah prasasti kuno yang berisi undang-undang pada masa
yang disusun oleh raja Hammurabi, prasasti ini berukuran 2,25 meter dengan tulisan terukir dalam
bahasa Akkadia berisi 282 undang-undang mengenai berbagai ketentuan, di antaranya undang-
undang perdagangan, perbudakan, penuduhan, ganti rugi kerusakan, pencurian dan hubungan
keluarga. Artikel Wikipedia, “Undang-undang Hammurabi” diakses pada 3 April 2019 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/undang-undang_hammurabi 5 Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan dalam Pandangan Islam,” Nuansa, Vol. VIII, No. 2
(Desember 2015), h. 143, dan Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam.” h. 49.
19
pergerakan sosial perbudakan sangat terlihat, dapat dikatakan bahwa budak
merupakan sistem yang mutlak dan universal.6
Di daerah Yunani, perbudakan terjadi disebabkan perang, penculikan
anak-anak, dan pembayaran bagi orang-orang yang tidak membayar hutang,
akan tetapi secara umum perbudakan terjadi karena faktor hukuman. Laki-laki
bekerja di kebun sedangkan wanita bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga,
dalam sejarah perbudakan diketahui pertama kali terjadi di daerah Iona, sekitar
450 SM di pusat-pusat industri seperti Athena dan Corint, sedangkan pasar
budak banyak terdapat di daerah sekitar Aegean. Di daerah Roma perbudakan
terjadi di awal 367 SM, pada tahun 168 SM setelah Roma mengalahkan
Macedonia, 150.000 orang yang tertangkap dijadikan budak untuk dijual.
Seorang budak selain bekerja sebagai pegawai rendah juga diperlakukan kejam
dan tidak manusiawi.7
Pada zaman jahiliyah, perbudakan seperti halnya lembaga sosial yang
dipandang oleh semua orang sebagai hal yang sudah mengakar dalam
kehidupan sosial waktu itu, budak sama halnya dengan harta benda manusia
yang digunakan untuk semua kepentingan tuannya, tak ada seorang pun yang
menentang hal itu. Berbeda dengan minuman keras yang pada zaman jahiliyah
sudah banyak orang yang menentang atau berpantang meminumnya karena
melihat dampak buruk minuman keras, walaupun Islam di masa awalnya tidak
mengharamkan meminum minuman keras, tapi dalam hal perbudakan tak ada
6 Britannica Encyclopedia (Chicago: William Benton Publisher, 1965), XX: 773. 7 Chamber’s Enchclopedia (London: George Newnes Limited, 1950), XII: 597-601.
20
seorang pun yang menentangnya karena hal tersebut sudah menjadi budaya
masyarakat yang sudah mengakar kuat.8
Kondisi perbudakan pada zaman jahiliyah mirip dengan kondisi
perbudakan Yunani dan Romawi, budak diangggap sebagai sebuah barang
yang menguntungkan karena dapat diperjual belikan atau dipertukarkan
sebagai hadiah dan dapat pula diwariskan sebagaimana harta benda lainnya.
Pasar-pasar di jazirah Arab dipenuhi dengan budak sebagai komoditi unggulan,
dan kaum Quraisy yang paling banyak menikmati keuntungan dari hasil
perdagangan budak.9
Faktor yang menjadikan seseorang menjadi budak banyak sekali
sehingga membuka lebar pintu terjadinya praktik perbudakan, dan justru jalan
keluar dari praktik perbudakan sangat sulit bagi yang sudah terlanjur berstatus
sebagai budak. Bisa dikatakan hanya ada dua cara agar seorang budak terbebas
dari belenggu tuannya, yakni lari dari tuannya atau kematian.
Cara pertama, bagi budak yang merasa teraniaya dan tidak tahan dengan
perlakuan tuannya, maka dia akan lari menjauh dari tuannya. Ketika dia lari
menjauh dari tuannya bukan berarti masalah status perbudakannya selesai,
akan tetapi ancaman selalu menghantuinya, apabila dia tertangkap kembali
oleh tuannya pasti dia akan mendapatkan siksaan yang berat, dan apabila dia
ditemukan oleh orang yang mengetahui statusnya sebagai seorang budak maka
orang tersebut menjadi tuan yang baru baginya.
8 Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an,” Shuhuf, Vol. 4, No. 1
(2011), h. 43. 9 Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam,” Ahkam, Vol. XV,
No. 1 (Januari 2015), h. 97.
21
Cara yang kedua, bagi budak yang tak bisa lari dari belenggu tuannya
dan merasa tidak dapat lagi menahan aniaya maka dia akan memilih jalan
pintas yaitu bunuh diri. Sebagai jalan terakhir kematian terkadang dianggap
lebih baik dari pada terus menerus ditempa aniaya dari tuannya.10
Hal tersebut mencerminkan bahwa perbudakan pada masa sebelum Islam
terjadi di berbagai penjuru dunia, bahkan diburu sebagai ladang usaha mereka
baik itu untuk dipekerjakan ataupun diperjual belikan.
2. Perbudakan Setelah Islam
Pada masa awal Islam masuk ke jazirah Arab, Islam tidak secara tegas
menolak praktik perbudakan, bahkan terkesan meneruskan praktik perbudakan
dengan adanya tuntunan-tuntunan dalam al-Qur`an mengenai perbudakan,
sehingga hal tersebut dinilai oleh para pengkritik Islam bahwa Islam
melegalkan perbudakan, terlebih melihat keterangan sejarah bahwa Rasûlullâh
Saw. dan para sahabatnya pernah mempunyai budak. Namun demikian, bukan
berarti Islam memperbolehkan perbudakan, Islam bertujuan untuk menegakkan
hak asasi manusia dan kesamaan hak antar manusia. Islam datang memang
tidak langsung mengharamkan perbudakan, akan tetapi sejarah hidup
Rasûlullâh Saw. menunjukkan bahwa Islam secara perlahan melarang praktik
perbudakan, hal ini terbukti dari banyaknya ajaran Islam yang secara explisit
bertujuan untuk menghapuskan perbudakan. Namun, ketidaktegasan Islam
dalam menghapus perbudakan atau mengharamkan praktik perbudakan
10 Rifqi Muhammad Fatkhi dan Reza Hudan Lisalam, “Membumikan HAM Mengikis
Perbudakan,” Refleksi, Vol. 17, No. 2 (Oktober 2018), h. 155.
22
menjadikan musuh-musuh Islam memfitnah bahwa Islam membudayakan
perbudakan dan melegalkannya.
Melihat kondisi saat pertama kali datang di jazirah Arab, Islam datang
pada masyarakat yang sudah mengakar kuat dengan praktik perbudakan maka
Islam tidak bisa serta merta menolak praktik perbudakan atau
menghilangkannya, karena akan berakibat pada penolakan besar-besaran dari
masyarakat dan juga dapat mengakibatkan kesengsaraan bagi budak yang
belum siap menjadi seorang yang merdeka karena faktor ekomoni ataupun hal
lainnya.11 Islam secara perlahan menghilangkan praktik perbudakan dengan
mengikis faktor terjadinya perbudakan sehingga mempersempit pintu
masuknya praktik perbudakan dan membuka lebar-lebar jalan menuju
kemerdekaan melalui denda penebusan dosa dan lain sebagainya.12
Islam mempersempit pintu perbudakan, dari berbagai macam faktor yang
dapat menjadikan seseorang menjadi budak, Islam memangkasnya menjadi
satu pintu yang memungkinkan orang menjadi budak dengan berbagai
pertimbangan. Satu pintu itu adalah tawanan perang, seseorang yang menjadi
tawanan perang akan dipertimbangkan sesuai kemaslahatannya, apakah dia
dibebaskan atau dijadikan sebagai budak. Syekh ‘Ulwan menjelaskan ada
empat pilihan yang dipertimbangkan terhadap para tawanan.
1. Membebaskannya;
2. Ditebus;
3. Dibunuh;
4. Dijadikan budak.
11 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 98. 12 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 100, dan Hamsah, “Perbudakan
Sebelum Islam.” h. 49.
23
Kebijakan untuk memilih dari salah satu hal di atas dipegang penuh oleh
khalifah atau panglima perang dengan mempertimbangkan kemashlahatan.13
Sebagaimana Rasûlullâh Saw. memperlakukan para tawanan perang yakni
dengan membunuh sebagian dari mereka, meminta tebusan dari sebagian yang
lain serta membebaskan sebagaian lainnya dengan pertimbangan kemaslahatan
bagi kaum Muslimin.14
Hal tersebut di atas bukan berarti setiap perang dapat menjadikan
tawanannya menjadi budak, dalam arti lain perang dalam Islam haruslah sesuai
dengan ketentuan syarî’ât. Adapun perang yang diperboleh dalam Islam
adalah:
1. Memerangi musuh Islam sesuai dengan firman Allah Swt.:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang
yang kafir berperang di jalan ṭagut, sebab itu perangilah kawan-kawan
syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”
(QS. Al-Nisa [4]: 76).
Bolehnya melakukan perang sesuai dengan ayat di atas adalah adanya
perang tidak berlandaskan kemauan hawa nafsu dan tidak bertujuan
untuk menjajah, akan tetapi bertujuan untuk berdakwah keislaman dan
mencari jalan terbaik.
2. Peperangan dilakukan setelah melakukan tiga hal, pertama mengajaknya
masuk agama Islam, kedua memerintahkannya membayar jizyah, dan
13 ‘Abd Allâh Naṣîh ‘Ulwân, Niẓâm al-Riqq fî al-Isâm (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003), h.22-
23. 14 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 444.
24
apabila kedua hal di atas tidak direspon dengan baik maka barulah
diperbolehkan melakukan hal yang ketiga yaitu perang.
Apabila di tengah-tengah masa perang, musuh mengajukan perjanjian
damai maka kaum muslimin menyutujui perdamaian dengan catatan syarat
perjanjian tidak hanya menguntungkan pihak musuh dan merugikan pihak
muslim, akan tetapi perjanjian harus melihat kemaslahatan bagi kedua belah
pihak.15 Karena firman Allah Swt. dalam al-Qur`an:
“Jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya
dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Anfâl [8]: 61).
Selain memangkas terbukanya pintu perbudakan, Islam juga membuka
selebar-lebarnya pintu menuju kemerdekaan dengan berbagai hal. Pintu
menuju kemerdekaan atau pembebasan budak dapat diklasifikasi menjadi dua
jalan, pertama pembebasan budak sebagai ketaatan atau nilai kebajikan dan
yang kedua sebagai sanksi hukum atas kesalahan.16
Klasifikasi pembebasan budak yang pertama adalah sebagai bentuk
ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya dengan mengharapkan keridhaan-
Nya. Tuntunan tersebut tertuang dalam al-Qur`an:
“Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad [90]: 12-13).
15 ‘Ulwan, Nizhâm al-Riqq fî al-Isâm, h.19-22. 16 Muḥammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an.” h. 45.
25
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).
Sedangkan klasifikasi yang kedua dijelaskan dalam al-Qur`an:
“Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (QS. Al-Nisâ`
[4]: 92).
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujâdalah [58]: 3).
26
Islam tidak dapat menghapus perbudakan secara drastis dan radikal,
karena dapat menimbulkan gejolak sosial yang justru merugikan dakwah Islam
dan juga tidak ada hal yang mendukung untuk tujuan itu. Bahkan para budak
pun bisa jadi belum tentu siap untuk menjadi manusia merdeka, karena
karakter dasar mereka yang selalu dalam kontrol tuannya. Sebagai gantinya
Islam memberikan tuntunan hukum untuk memperlakukan budak sebagaimana
manusia pada umumnya dan menghapus perbudakan secara bertahap.17
Sulitnya usaha memerdekakan budak pada masa itu diceritakan dalam al-
Qur`an:
“Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, tahukah
kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan
budak dari perbudaka”. (QS. Al-Balad [90]: 11-13).
C. Faktor yang Mendorong Terjadinya Perbudakan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam memangkas
pintu perbudakan sehingga faktor yang memungkinkan terjadinya perbudakan
hanya satu jalan, yakni tawanan perang. Akan tetapi pada sub ini penulis
menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya praktik perbudakan pada
masa jahiliyah sebagai bahasan tambahan mengenai terjadinya praktik perbudakan
yang marak terjadi pada zaman jahiliyah. Terdapat banyak faktor yang
menjadikan orang menjadi budak, antara lain:
1. Keturunan
Seorang budak akan melahirkan seorang budak, keluarga budak akan
terus menjadi budak sampai menurun kepada anak-anaknya. Anak yang lahir
17 Muḥammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an.” h. 44.
27
dari seorang budak akan hidup di bawah pengawasan seorang tuan untuk
menuruti semua perintahnya
2. Perang
Peperangan antar suku, wilayah ataupun negara sangat sering terjadi di
zaman dahulu, bahkan peperanganpun bisa terjadi dikarenakan perbedaan antar
kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda. Pihak yang kalah akan
menjadi tawanan dan dijadikan sebagai budak, dan apabila peperangan tidak
berakhir dengan kekalahan maka tawanan yang telah ditangkap oleh lawan
menjadi budak oleh masing-masing kelompok.18
3. Kefakiran
Tantangan ekonomi juga menjadi faktor besar dalam terjadinya
perbudakan, seseorang yang mengalami himpitan ekonomi menuntutnya untuk
meminjam uang kepada orang kaya, dan apabila hutang tidak terbayarkan
maka peminjam akan menjadi budak bagi yang meminjam.19 Tidak jarang juga
kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan
sebagai budak bagi orang lain, di samping ketidak mampuannya mengurus
anak-anak karena faktor ekomoni, juga karena mereka membutuhkan uang
untuk keberlangsungan hidup mereka membeli makanan yang dibutuhkan
untuk sehari-hari.20
4. Penculikan
Banyak pula seorang jatuh menjadi seorang budak disebabkan
penculikan, dan hal ini banyak terjadi pada anak kecil yang diculik karena
18 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 96. 19 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 96. 20 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 669.
28
kurang pengawasan dari orang tuanya, penculikan tersebut menjadikan
penculik memperbudak korbannya hingga keluarganya dapat menebusnya.21
5. Perampokan dan pembajakan
Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika
dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar
budak Eropa. Di samping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-
kapal yang melintas di lautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika
mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya
di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya.22
Berbagai faktor lain yang dapat menyebabkan orang jatuh ke dalam
perangkap perbudakan, seperti anak yatim tidak mempunyai pengasuh,
pemungutan anak yang terlantar atau tersesat dalam perjalanan, orang yang
melakukan tindakan kurang sopan kepada bangsawan dan lain sebaginya.23
D. Tafsir al-Qur`an
Di bawah ini penulis menguraikan penafsiran dari para mufassir terkait
perbudakan. Sebagai perwakilan dalam menguraikan pendapat para mufassir
terkait perbudakan, penulis uraikan penjelasan dari Ibn Kaṡîr (1301-1372 M)
dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm sebagai mufassir klasik dan Sayyid
Quṭb (1906-1966 M) dalam tafsirnya Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an sebagai mufassir
kontemporer.
21 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 97. 22 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 669. 23 ‘Ulwan, Nizhâm al-Riqq fî al-Isâm, h.12.
29
1. Tafsir Klasik (Tafsîr Ibn Kaṡîr-Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm)
Tafsir ini dikarang oleh ‘Imâduddin Abû al-Fidâ` Ismâîl bin al-Khatîb
Abû Hafṣ Umar bin Kaṡîr al-Syâfi’î al-Quraisyî al-Dimasyqî,24 atau lebih
dikenal dengan Ibn Kaṡîr. Nama kitab ini adalah Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm tapi
lebih dikenal dengan Tafsîr Ibn Kaṡîr karena dinisbatkan kepada
pengarangnya.
Dalam penafsirannya, Ibn Kaṡîr menggunakan sumber penafsiran bî al-
ma`ṡûr atau menjelaskan isi kandungan ayat al-Qur`an dengan menggunakan
ayat al-Qur`an yang lain, hadis-hadis nabi dan pendapat para sahabat.25
Tentang tafsir ini, Rasyîd Riḍa mengomentari bahwa menurutnya tafsir
ini merupakan tafsir yang mempunyai peran besar dalam menjelaskan isi
kandungan al-Qur`an melalui riwayat-riwayat dari para mufassir salaf dan
tidak menghabiskan pembahasannya dengan bahasan kebahasaan seperti i’râb
dan balâgah yang seringkali oleh mufassir lain panjang lebar dibicarakan, oleh
karenanya tafsir ini lebih memfokuskan penjelasan makna ayat dan hukum-
hukum yang terkandung di dalamnya.26
Dalam penjelasannya tentang perbudakan, Ibn Kaṡîr menjelaskan term-
term perbudakan dengan makna yang disesuaikan dengan tema yang diangkat
pada ayat tersebut, dengan arti lain tidak selalu diartikan sebagai budak atau
diartikan sebagai budak tapi tidak secara umum. Sebagai contoh Ibn Kaṡîr
menguraikan penafsirannya pada sûrah al-Nûr ayat 33:
24 ‘Imâduddin Abû al-Fidâ Ismâ’îl bin al-Khatîb Abû Hafṣ ‘Umar bin Kaṡîr, Tafsîr al-
Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid I (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), h. 7. 25 Yûnus Hasan ‘Abidu, Tafsir al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.
Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 4. 26 Manna’ Khalîl Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Penerjemah Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h.528.
30
“Budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka.” (QS. Al-Nûr [24]: 33).
Ibn Kaṡîr mengartikan kata mâ malakat aimânukum sebagai budak yang
dianjurkan bagi tuannya untuk melakukan penebusan kemerdekaannya dengan
akad kitâbah27 apabila diketahui terdapat kebaikan bagi budak tersebut.28
Ibn Kaṡîr menjelaskan bahwa jika pemilik budak mengetahui bahwa
budak memiliki cukup harta untuk memerdekakan dirinya, maka seorang tuan
sangat dianjurkan menerima harta tebusan tersebut. Ibn Kaṡîr mengutip hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menceritakan bahwa seorang
sahabat bertanya kepada Nabi Saw., apakah dia wajib (memerdekakan budak)
apabila dia tahu bahwa budak tersebut memiliki harta (untuk menebus
kemerdekaannya)?, Nabi Saw. menjawab: “Saya tidak berpendapat lain keculai
wajib”.29
Dalam penafsiran ayat lain sûrah al-Nisâ` ayat 3:
“Jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 3).
27 Kata kafârah berasal dari akar kata kafara yang artinya menutupi, maka hukum kafârah
adalah untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuat. (lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1217). 28 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid VI, h. 48. 29 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid VI, h. 49.
31
Ibn Kaṡîr menjelaskan arti perbudakan dalam ayat tersebut dengan kata
al-jawârî al-sarârî yang artinya seorang wanita yang dijadikan sebagai teman
berhubungan badan (jimâ’), apabila dijelaskan lebih lengkapnya adalah
seorang lelaki yang tidak mampu berbuat adil untuk menikah lebih dari satu
istri maka cukup baginya istri satu atau dengan budak wanita yang
diperbolehkan dia gauli.30
2. Tafsir Kontemporer (Tafsîr Sayyid Quṭb-Tafsîr fî Ẓilâl al-Qur`an)
Tafsir ini dikarang oleh Sayyid Quṭb Ibrâhîm Husain Syâzilî, Sayyid
Quṭb adalah tokoh tafsir di abad 20 yang mempunyai pengaruh besar pada
masyarakat Arab bahkan di tingkat dunia.31 Nama Tafsir ini adalah Tafsîr fî
Ẓilâl al-Qur`an yang merupakan karya monumenalnya dalam bidang kajian al-
Qur`an.
Dalam penafsirannya, Sayyid Quṭb menggunakan sumber bi al-ma`ṡûr
dan bi al-ra`y, menafsiri ayat dengan ayat yang lain atau hadis Nabi Saw.
kemudian Sayyid Quṭb menjelaskan hubungannya dengan kesadaran dan
meluruskan pemahaman masyarakat,32 membangkitkan masyarakat untuk
memahami ayat-ayat al-Qur`an dengan benar.
Kitab tafsir ini merupakan upaya yang dilakukan Sayyid Quṭb untuk
mengajak manusia kembali kepada ajaran al-Qur`an, karena menurutnya umat
Islam saat itu sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh paham-
paham dan aliran-aliran yang merusak, dengan hadirnya tafsir ini Sayyid Quṭb
30 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid II, h. 185-186. 31 Husna Husain dan Ibrâhim Hashîm, “Manhaj Sayyid Quṭb dalam Berinteraksi dengan
Ayat-ayat Berkaitan Wanita di dalam al-Qur`an,” Perspektif: Special Issue 1 (2007), h. 21. 32 Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, h. 514.
32
berharap umat Islam kembali kepada petunjuk al-Qur`an. Pada
pendahuluannya Sayyid Quṭb mengungkapkan “Tiada ada ketentraman dan
keharmonisan kecuali kembali kepada Allah Swt.”.33
Mengenai penafsiran Sayyid Quṭb tentang perbudakan, secara umum
Sayyid Quṭb menggolongkan budak ke dalam golongan orang-orang yang
berada dalam kondisi sulit, sehingga dalam beberapa penafsirannya ditujukan
kepada upaya pembebasan budak dari belenggu tuannya. Sebagai contoh
penjelasan Sayyid Quṭb yang menguraikan penafsiran sûrah al-Baqarah ayat
177:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).
Dalam penafsiran ayat tersebut, Sayyid Quṭb menjelaskan bagaimana
hakikat kebajikan, yakni dari mulai beriman kepada Allah Swt. hingga
33 Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, h. 513.
33
menjelaskan pemberian harta berharga milik seseorang kepada orang lain yang
membutuhkan, termasuk di dalamnya adalah budak yang oleh Sayyid Quṭb
dijelaskan sebagai orang yang berada dalam kesulitan harta untuk
memerdekakan dirinya.34 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan
pemerdekaan budak dijadikan sebagai tujuan dari perbudatan baik untuk
kemudian budak dapat mengajukan akad kitâbah dengan tuannya.
34 Sayyid Quṭb Ibrâhîm Ḥusain al-Syażilî, Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an, Jilid 1 (al-Qâhirah:
Dâr al-Syurûq), h. 160.
34
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
(MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ)
A. Biografi Muḥammad Rasyîd Riḍâ
Kenyataan terjadinya kemunduran dunia Islam dalam berbagai bidang, baik
bidang keagamaan, sosial maupun intelektual, seperti pengaruh tarekat yang kuat
yang memunculkan sikap statis yang cenderung toalistik, merajalelanya bid’ah1
dan khurafât2 yang mengotori akidah sehingga umat Islam buta terhadap keaslian
ajaran agama Islam, karena hal tersebut lahirlah gerakan-gerakan pembaharuan
yang menyerukan umat Islam agar kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah. Salah
satu tokoh pembaharuan yang hidup pada sepertiga akhir dari abad ke-19 dan
sepertiga awal abad ke-20 adalah Rasyîd Riḍâ. Kata Syakib Arselan (1869-1946),
sebagai dinukil oleh Aḥmad al-Syirbâsî (1918-1980), “tidaklah mungkin sejarah
Islam akan ditulis dalam bentuk yang sebenarnya serta mencakup beberapa ilmu
pengetahuan tanpa memberikan tempat terhormat bagi Sayyid Muḥammad Rasyîd
Riḍâ di dalamnya”.3
1 Kata bid’ah berasal dari akar kata bada’a yang mempunyai arti mencipta sesuatu yang
belum pernah ada sebelumnya. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 65. Kata bid’ah sering dikaitkan dengan ibadah-ibadah yang tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat. 2 Kata khurafât berasal dari akar kata kharafa yang mempunyai arti kacau pikirannya atau
mengigau. Lihat Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 334. Kata khurafât sering dikaitkan dengan
perbudatan-perbuatan takhayul dan mengada-ngada yang lebih mempercayai mitos. 3 Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam (Jakarta: Rajawali Press,
2013), h. 113-114.
34
35
Nama lengkap Rasyîd Riḍâ ialah Muḥammad Rasyîd ibn ‘Alî Ridâ ibn
Muḥammad Syams al-Dîn al-Qalmûny.4 Ia lahir di Qalamun, sebuah desa dekat
Tripoli, Syria, pada 27 Jumâdâ al-Ûlâ 1282 H/18 Oktober 1865 M, beliau
merupakan keluarga keturunan al-Husain ibn ‘Alî ibn Abî Ṭâlib, oleh karena itu,
beliau diberi gelar al-Sayyid di depan namanya. 5
Ayahnya, ‘Alî Riḍâ, adalah salah seorang ulama dan ahli Tarekat
Syâẑiliyyah, hal ini dapat terlihat seperti dalam berpakaian, selalu memakai jubah
dan serban serta tekun dalam pengajian, wirid, sebagaimana pengikut Tarekat
Syâẑiliyyah lainnya, hal tersebut mempengaruhi perkembangan dan sikap
keberagamaan Rasyîd Riḍâ sejak kecil. Rasyîd Riḍâ bercita-cita untuk
mewariskan keturunan yang mampu dan sadar untuk mengubah nasib umat yang
dilanda segala macam khurafât dan bid’ah serta ajaran-ajaran yang telah
menyeleweng dari kebenaran ajaran agama Islam, hal ini beliau buktikan dengan
berusaha memurnikan ajaran Islam yang dianggapnya telah menyimpang dari al-
Qur`an dan Sunnah, usaha tersebut beliau curahkan dalam bentuk tulisan-tulisan
dan gerakan reformis keagamaan dan kenegaraan di wilayah Mesir dan Tipoli. 6
Rasyîd Riḍâ wafat dalam perjalanan menuju Kairo pada kamis, 22 Jumâdâ
al-Ûlâ 1354 H/22 Agustus 1935 M, tidak lama setelah mengantar Pangeran Sa’ûd
ibn ‘Abd al-‘Azîz ke Suez.7 Dalam keterangan lain, diceritakan bahwa mobil
dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia mengalami luka yang parah pada
4 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke
Masa (Jakarta: Kencana, 2010), h. 75. 5 Ahmad Rofi’ Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim (Bandung: Mizan Pustaka. 2015), h.
476, Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 114, dan Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 60. 6 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 76 7 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 476-477, dan Rusli, Pembaharuan Pemikiran
Modern dalam Islam, h. 118.
36
bagian kepalanya. Selama dalam perjalanan, ia hanya membaca al-Qur`an, walau
ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh
orang-orang yang menyertainya, ia telah wafat dengan wajah yang sangat cerah
disertai senyuman.8
B. Pendidikan
Semasa kecil, Rasyîd Riḍâ masuk madrasah tradisional di Qalamun untuk
belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur`an. Pada tahun 1882 M, Rasyîd
Riḍâ meneruskan pelajarannya di Madrasah al-Wataniyyah al-Islâmiyyah (sekolah
Nasional Islam di Tripoli). Di madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan pula
bahasa Turki dan Perancis, dan pengetahuan-pengetahuan modern.9 Sekolah yang
didirikan oleh al-Syaikh Ḥusain al-Jisr (1845-1909) ini banyak dipengaruhi oleh
ide-ide modern. Menurut Ṡalah al-Khâlidî dalam bukunya, Ta’rîf al-Dârisîn, besar
kemungkinan Rasyîd Riḍâ mengetahui ide-ide Jamâluddin al-Afgânî (1838-1897)
dan Muḥammad ‘Abduh (1849-1905) di sekolah ini melalui tulisan-tulisan
mereka di majalah al-‘Urwah al-Wuṡqâ. Oleh sebab itu, Rasyîd Riḍâ sangat
berkeinginan untuk bertemu dengan dua pembaharu tersebut.10
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Waṭaniyyah Islâmiyyah
di Beirut, Rasyîd Riḍâ menekuni dunia jurnalisme. Hal itu karena ketertarikannya
8 Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsîr al-Manâr, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), h. 80. 9 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa. h. 76, dan Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah dan Gerakan, h. 69. 10 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 93.
37
dengan majalah al-‘Urwah al-Wuṡqâ yang diterbitkan oleh Jamâluddin al-Afgânî
dan Muḥammad ‘Abduh di Paris pada 1302 H/1884 M.11
Ketika Muḥammad ‘Abduh dibuang ke Beirut, Rasyîd Riḍâ berkesempatan
untuk berjumpa dan berdialog dengannya. Perjumpaan dan dialognya dengan
Muḥammad ‘Abduh makin memperkuat kesan dan semangatnya untuk mengikuti
arus pemikiran pembaharuan tokoh asal Mesir ini, terutama tentang masalah-
masalah yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran Islam. Berbekal
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari gurunya, Rasyîd Riḍâ mencoba
menerapkan ide-ide pembaharuannya di negara asalnya, namun upaya serta
usahanya mendapat tantangan dari pemerintah setempat. Lalu Rasyîd Riḍâ pindah
ke negara asal gurunya, yakni Mesir, dan menjadikannya sebagai tanah lahir
kedua dan pusat kegiatan intelektualnya pada akhir abad ke-19.12
Pada 1316 H/1898 M, Rasyîd Riḍâ bersama ‘Abduh menerbitkan majalah
al-Manâr, sebuah majalah yang besar pengaruhnya dalam kebangkitan Islam.
Pada 1331 H/1912 M, Rasyîd Riḍâ mendirikan sebuah sekolah dakwah,
Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyâd, untuk menyebarluaskan berbagai pemikiran
pembaharuaanya.13 Melihat perjalanan dan perjuangannya di atas, Rasyîd Riḍâ
dapat dikatakan sebagai ulama yang gigih dan selalu berjuang dalam
kehidupannya demi kemajuan Islam.
11 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 476 12 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 78. 13 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 477.
38
C. Karya-Karya Ilmiah
Semasa hidupnya Rasyîd Riḍâ telah menulis beberapa karya yang menyertai
gagasan-gagasannya, adapun beberapa karya-karyanya antara lain:
1. Al-Ḥikmah al-Syar’iyyah fî Muḥkamât al-Qâdiriyyah wa al-Rifâ’iyyah,
buku ini adalah karya pertama Rasyîd Riḍâ, isinya adalah bantahan kepada
‘Abd al-Hady al-Ṣayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar ‘Abd al-Qâdir
al-Jîlânî (1078-1167 M), juga menjelaskan kekeliruan-kekeliruan yang
dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana muslim, sikap
meniru non-muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.
2. Al-Azhar, yang berisi antara lain tentang sejarah al-Azhar, perkembangan
dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama al-Azhar yang
menentang pendapat-pendapatnya.
3. Târikh al-Ustâẑ al-Imâm al-Syaikh ‘Abduh, yang berisi riwayat hidup
Muḥammad ‘Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.
4. Al-Waḥy al-Muḥammadî, berisi tentang intisari wahyu Allah yang
diberikan kepada Nabi Muḥammad SAW.
5. Nidâ ilâ al-Jins al-Laṭîf, yang berisi uraian tentang hak dan kewajiban-
kewajiban wanita.
6. Al-Waḥdah al-Islâmiyyah,
7. Syubuhât al-Naṣara wa Hujaj al-Islâm,
8. Dzikrâ al-Maulîd al-Nabawî,
9. Yusr al-Islâm wa Uṣûl al-Tasyri’ al-‘Âm,
10. Al-Khilâfah aw al-Imâmah al-‘Uẓmâ,
11. Risâlah Hujjah al-Gâzalî,
12. Al-Sunnah wa al-Syi’ah,
13. Ḥaqiqah al-Ribâ`,
14. Majalah al-Manâr, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354
H/1935 M.,
15. Tafsîr al-Manâr, yang merupakan tulisan Rasyîd Riḍâ dari pengajian yang
diikutinya dengan Muḥammad ‘Abduh, dan setelah Muḥammad ‘Abduh
39
wafat, Rasyîd Riḍâ melanjutkan penafsirannya secara mandiri hingga
penafsiran sûrah Yûsuf dengan mengikuti corak penafsiran gurunya.
16. Tafsir sûrah al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâṣ, dan al-Mu’awwiẑatain.14
D. Pemikiran Keislaman
1. Konsep Keagamaan
Referensi keagamaan yang dijadikan pijakan oleh Rasyîd Riḍâ adalah
referensi keagamaan yang memiliki banyak sisi dan yang membentuk satu
konsep utuh bagi kehidupan beserta ragam dimensinya. Pengambilan Rasyîd
Riḍâ atas referensi keagamaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh pelajaran-
pelajaran yang disampaikan al-Afgânî. Bahkan, Rasyîd Riḍâ mengakui sendiri
bahwa dirinya membuat pemahaman baru tentang Islam yang bersifat
takammulî (integral). Islam bukan hanya spiritualisme saja, melainkan agama
spiritual dan non-spiritual, agama akhirat dan dunia, yang salah satu tujuannya
ialah menunjukkan manusia pada kepemimpinan mereka di bumi sebagai wakil
Allah di bumi.15
Rasyîd Riḍâ mengatakan kemunduran umat Islam adalah karena umat
Islam tidak memahami ajaran agama dengan benar dan menyeleweng dari
ajaran agama, sehingga timbul bid’ah dan khurafât yang menjadikan umat
Islam tertutup untuk menerima ajaran agama yang sebenarnya.16
Oleh sebab itu, ajaran agama tidak hanya berhenti pada tataran ukhrawi
saja, tetapi juga pada tataran kehidupan duniawi. Hal ini tentu saja menuntut
14 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 477, dan Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar,
79-80. 15 Sa’id Ismâ’îl ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Penerjemah
Muhammad Zaenal Arifin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 200-201. 16 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 118-119.
40
direalisasikannya kemajuan ilmiah di berbagai ranah kehidupan, kemudian
menuntut umat Islam untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan termasuk
tokoh-tokoh Barat untuk mempelajari hal yang dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan.
2. Konsep Pendidikan
Rasyîd Riḍâ menekankan akan pentingnya melandaskan pendidikan pada
agama, bukan hanya pada kerja praksis dan rasionalitas seperti persangkaan
kaum sekuler. Agama Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang selaras dengan
akal, fitrah dan kemaslahatan umat, memerintahkan sesuatu karena
mengandung manfaat dan faedah, serta melarang sesuatu karena mengandung
bahaya dan kerusakan. Inilah konsep dasar Islam yang melihat semua
persoalan dengan mempertimbangkan asas manfaat, setiapkali memerintahkan
atau melarang selalu dikaitkan dengan asas manfaat dan faedah. (majalah al-
Manâr, Agustus 1912 M).17
Menurut Rasyîd Riḍâ, membangun sekolah-sekolah lebih baik dari pada
membangun masjid-masjid, karena dengan membangun sekolah-sekolah maka
kebodohan dapat dihapus dan akan memberikan kemajuan bagi dunia
pendidikan. Rasyîd Riḍâ juga mengatakan umat Islam harus belajar ilmu
pengatahuan modern meskipun dari Barat, karena menurutnya mengambil ilmu
pengetahuan dari Barat sebenarnya adalah mengambil kembali ilmu
pengetahuan yang pernah dimiliki oleh umat Islam dan direbut oleh Barat
melalui Spanyol dan Tanah Suci. Maka Rasyîd Riḍâ merasa perlu adanya
17 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, h. 201.
41
pembaharuan dalam kurikulum mata pelajaran yang mencakup bidang
sosiologi, ekonomi, ilmu bumi dan lain sebagainya, di samping bidang fikih,
tafsir dan hadis yang biasa diajarkan pada sekolah-sekolah klasik.18
3. Konsep Kesatuan Umat
Rasyîd Riḍâ memperingatkan umat Islam secara keseluruhan agar terus
berhati-hati atas pembagian fanatisme-fanatisme kebangsaan, sesungguhnya di
antara malapetaka umat Islam dalam agama adalah mereka terpecah belah
menjadi beberapa umat yang masing-masing umat memiliki ciri keturunan,
bahasa atau hukum sendiri-sendiri, dan mereka menyingkirkan al-Qur`an.
(majalah al-Manâr, Mei 1909 M)19
Rasyîd Riḍâ juga mengenengahkan konsepsinya tentang perhimpunan
Islam, menurutnya perhimpunan Islam terbagi menjadi dua. Pertama,
perhimpunan yang mencakup kalangan penganut agama Islam dan mempererat
mereka dengan ikatan persaudaraan iman sehingga menjadi seperti satu jasad
yang utuh. Kedua, perhimpunan yang mempertalikan antara umat Islam dengan
umat agama-agama lain dengan ikatan keadilan yang menjadikan mereka
semua berada pada tatanan persamaan.20
Pada dasarnya, pokok-pokok pemikiran dan usaha-usaha yang dilakukan
Rasyîd Riḍâ dalam perjuangan Islam tidak jauh berbeda dengan pokok-pokok
pikiran para tokoh pembaharu lainnya, seperti Jamâluddin al-Afgânî dan
18 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 121-122. 19 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. h. 200. 20 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. h. 200
42
Muḥammad ‘Abduh, yaitu berpangkal pada tuntunan adanya kemurnian ajaran
Islam, baik dari akidahnya atau dari segi amaliahnya.
Timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut bermula pada pengalaman yang
diperolehnya sewaktu dalam masa pendidikan, melalui membaca kitab-kitab
dan buku-buku serta majalah yang dibicarakan tentang keberadaan ajaran
agama Islam bagi penganutnya. Salah satu bahan bacaan yang sangat
mempengaruhi Rasyîd Riḍâ adalah majalah ‘Urwah al-Wuṡqâ yang terbit di
Paris di bawah asuhan Jamâluddin al-Afgânî dan Muḥammad ‘Abduh.21
E. Pemikiran Tafsir al-Qur`an
Rasyîd Riḍâ mempunyai nuansa penafsiran yang ingin mendorong umat
Islam menjadi umat yang mau berpikir dan berkemajuan. Rasyîd Riḍâ melihat
perlu adanya tafsir modern dalam memahami isi kandungan al-Qur`an, yaitu
penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya.
Tujuan pokok penafsiran al-Qur`an, menurut Rasyîd Ridâ, ialah
menekankan fungsi-fungsi kehidayahan al-Qur`an untuk manusia agar mereka
dapat menjalani kehidupan di bawah petunjuk (hidâyah) al-Qur`an. Penekanan
dari segi hidayah ini ditegaskan kembali oleh Rasyîd Riḍâ dalam mukadimah
Tafsîr al-Manâr. Rasyîd Riḍâ mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan
bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidâyah (petunjuk) dan cahaya yang terang untuk
mengajarkan hikmah dan hukum-hukum-Nya untuk mensucikan kehidupan dan
21 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 77.
43
menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.22 Allah Swt. berfirman
dalam al-Qur`an:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,
dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]:
185).
Pada dasarnya, Rasyîd Riḍâ dalam penafsirannya mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muḥammad ‘Abduh, di antaranya:
23
1. Memandang setiap sûrah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2. Ayat al-Qur`an bersifat umum.
3. Al-Qur`an adalah sumber akidah dan hukum.
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an.
5. Bersikap hati-hati terhadap riwayat hadis Nabi Saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat para sahabat.
22 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 26. 23 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 85-116.
44
Sedangkan perbedaan pemikiran penafsiran Rasyîd Ridha dengan
Muḥammad ‘Abduh antara lain: 24
1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-
hadis Nabi Saw.
2. Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang
dibutuhkan masyarakat, seperti dalam bidang hukum, perbandingan
agama, hukum-hukum Allah dalam masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
3. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
4. Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi.
F. Metodologi Tafsîr al-Manâr
1. Latar Belakang Penafsiran
Kondisi sosial pada abad ke-19, masa penulis tafsir ini hidup, adalah
masa yang memprihatinkan bagi kaum muslim di seluruh negara-negara Arab.
Kemajuan ilmu pengetahuan Barat menjadikan mereka menjajah dan
menduduki negara-negara Arab. Di sisi lain, muncul beberapa aliran yang
menjauhkan umat muslim dari ajaran agama yang sebenarnya.25 Melihat
kondisi seperti ini, muncul beberapa cendekiawan muslim yang ingin
mengembalikan umat muslim kepada ajaran al-Qur`an, di antaranya adalah
Jamâluddin al-Afganî, Muḥammad ‘Abduh dan Muḥammad Rasyîd Riḍâ.
Salah satu langkah yang dilakukannya adalah dengan memunculkan
penafsiran al-Qur`an yang bernuansa modern, salah satu tafsir yang muncul
pada saat itu adalah Tafsîr al-Manâr. Nama asal tafsir ini adalah Tafsîr al-
Qur`an al-Ḥakîm, akan tetapi lebih dikenal dengan nama Tafsîr al-Manâr
24 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 117-142. 25 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 88-89.
45
karena mulanya tafsir ini adalah sebuah tulisan-tulisan yang ditulis oleh Rasyîd
Riḍâ dan dimuat secara berkala dalam majalah al-Manâr yang terbit di Kairo,
kemudian tulisan-tulisan tersebut dijadikan buku tafsir.
Berawal dari ketertarikan Rasyîd Riḍâ terhadap pemikiran dan ide-ide
pembaharuan gurunya, Muḥammad ‘Abduh, kemudian Rasyîd Riḍâ
memintanya untuk mengajarkan materi tafsir di Masjid al-Azhar Kairo yang
kemudian Rasyîd Riḍâ mencatat materi yang disampaikan gurunya untuk
dikoreksi kembali oleh gurunya dan selanjutnya dipublikasikan di majalah al-
Manâr. Setelah itu, materi yang ditulis oleh Rasyîd Riḍâ mengenai penafsiran
Muḥammad ‘Abduh yang dimuat dalam majalah al-Manâr dikumpulkan dan
dibukukan menjadi kitab tafsir yang diberi nama Tafsîr al-Qur`an al-Ḥakîm
dan kemudian lebih dikenal dengan nama Tafsîr al-Manâr.
Muḥammad ‘Abduh meninggal dunia pada tahun 1323 H/1905 M,
setelah Muḥammad ‘Abduh menafsirkan sûrah al-Fâtiḥah hingga sûrah al-
Nisâ` ayat ke-125 (5 jilid pertama). Kemudian penafsiran dilanjutkan oleh
Rasyîd Riḍâ sampai pada sûrah Yusuf (jilid ke-12), dan Rasyîd Riḍâ pun
menyusul gurunya, meninggal dunia pada tahun 1354 H/1935 M.
2. Sumber Penafsiran
Sumber yang digunakan untuk menafsirkan dalam Tafsîr al-Manâr
adalah kolaborasi antara tafsîr bi al-Ma’tsûr dan tafsîr bi al-Ra’y. Penafsiran
ayat dengan ayat menjadi sumber utama dalam menjelaskan kandungan ayat
demi ayat, apalagi ketika menjelaskan ayat yang mempunyai keterkaitan tema
dengan ayat lainnya.
46
Hadis-hadis Nabi Saw. yang ṣahîh sesuai dengan kajian ilmu hadis
menjadi sumber berikutnya. Akal digunakan untuk mendalami dari sumber-
sumber tersebut, selain untuk menghindari taqlîd buta terhadap penafsiran para
ulama terdahulu, pendalaman dengan akal juga bertujuan untuk mengaitkan
penafsiran dengan berbagai problematika yang terjadi pada masa itu.26
3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam Tafsîr al-Manâr adalah metode taḥlîlî,
yakni penafsiran yang dimulai dari sûrah al-Fâtiḥah, al-Baqarah, al-Nisâ` dan
seterusnya, atau berdasarkan tartîb muṣḥafî, menjelaskan dan menafsirkan ayat
demi ayat sekaligus menyoroti dan menganalisis ayat-ayat al-Qur`an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam ayat yang
ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap ayatnya.
Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai
seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufasirnya
yang disajikan secara runtut sesuai dengan peruntutan ayat-ayat dalam
Muṣḥaf.27
Namun, meringkas pembahasan tentang kebahasaan dan sastranya,
karena menurut Muḥammad ‘Abduh, banyak para mufassir menyibukkan
penafsirannya pada tatanan kebahasaan dan hilang dalam memahami
kandungan ayat yang dapat dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat itu.28
Metode ini bisa memiliki beragam corak penafsiran yang ditekankan oleh
mufasirnya, di antara coraknya adalah kebahasaan, hukum, sosial budaya, ilmu
26 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 94-95. 27 Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 378. 28 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 96.
47
pengetahuan yang terkandung dalam ayat al-Qur`an dan lainnya.29 Tafsîr al-
Manâr lebih banyak menyorot corak sosial budaya atau budaya
kemasyarakatan.
4. Corak Penafsiran
Ada bermacam-macam corak penafsiran al-Qur`an. Seperti halnya
dijelaskan di atas, bahwa Tafsîr al-Manâr menggunakan metode Taḥlîlî,
metode tersebut mempunyai bermacam-macam coraknya, salah satu di
antaranya adalah corak adâbî ijtimâ’î (budaya kemasyarakatan). Corak ini
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur`an pada segi ketelitian redaksinya,
kemudian menyusun kandungannya dalam redaksi yang menonjolkan segi-segi
petunjuk al-Qur`an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.30
5. Karakteristik Penafsiran
Tafsîr al-Manâr mempunyai peranan penting dalam penafsiran al-Qur`an
yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran yang sesuai dengan maksud dan
tujuan al-Qur`an diturunkan dengan kehidupan masyarakat.
Tafsîr al-Manâr adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi sosial
budaya dan kemasyarakatan. Di antara pokok persoalan yang menjadi pokok
pemikiran yang dicurahkan dalam Tafsîr al-Manâr adalah membebaskan akal
pikiran dari belenggu-belenggu taqlîd yang menghambat perkembangan
29 Shihab, Kaidah Tafsir, h. 378. 30 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 24-25.
48
pengetahuan agama31, maka Tafsîr al-Manâr mengantarkan pengkajinya untuk
memahami ajaran agama langsung dari sumber pokoknya, yakni al-Qur`an.
Rasyîd Riḍâ mengatakan bahwa kemunduran umat Islam adalah karena
mereka telah menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya. Di antara sebabnya
adalah masuknya bid’ah dan khurafât yang mengotori akidah umat Islam, dan
fanatik mazhab yang menjadikan pengikutnya dibutakan oleh taqlîd tanpa tahu
tujuan ajaran yang sebenarnya.32
Persoalan pokok yang menjadi pokok pemikiran lainnya adalah
menghubungkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur`an dengan
kehidupan masa tafsir ini dituliskan. 33
31 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 16. 32 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 119. 33 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 16.
49
BAB IV
PENAFSIRAN PERBUDAKAN MENURUT
MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ
A. Term Perbudakan dalam al-Qur`an
Al-Qur`an menggunakan term perbudakan dengan berbagai macam kosa
kata yang masing-masing mempunyai arti yang berbeda meskipun garis besar
maknanya adalah sama-sama menjelaskan tentang penghambaan. Term
perbudakan yang terdapat dalam al-Qur`an antara lain:
1. ‘Abd
Term ‘Abd banyak ditemukan dalam al-Qur`an, baik dalam bentuk ism
(kata benda) ataupun dalam bentuk fi’l (kata kerja). Secara bahasa kata ‘Abd
mempunyai arti orang, budak, hamba, orang negro. Sedangkan kata ‘Abada
mempunyai arti beribadah, menyembah. Sedangkan kata ‘Abuda dengan dibaca
ḍamah mempunyai arti menjadi hamba sahaya atau budak. Sedangkan kata
‘Abida dengan dibaca kasrah mempunyai arti marah, membenci atau
menjauhkan diri.1
Kata ‘Abd dengan akar kata ‘abada banyak sekali disebutkan dalam al-
Qur`an dengan berbagai bentuk katanya, secara keseluruhan terdapat 275
penyebutan, namun yang menggunakan kata ‘abd yang didalamnya mencakup
kata ‘ibâd dan ‘âbid disebutkan sebanyak 131.2 Sedangkan kata ‘abd sendiri
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
886-887. 2 Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur`an (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 177.
49
50
dalam bentuk mufrad-nya hanya disebutkan sebanyak 18 kali.3 Penulis
mengkaji penafsiran Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 178 dan 221,
karena selebihnya term ‘abd terdapat pada Sûrah al-Qur`an yang tidak ditafsiri
oleh Rasyîd Riḍâ atau tidak menjelaskan tentang perbudakan, seperti pada QS.
Al-Nisâ` [4]: 172, ayat tersebut menjelaskan tentang ketaatan terhadap tuhan
sebagai pencipta dari makhluk-Nya,4 dan QS. Al-Baqarah [2]: 23, ayat tersebut
menjelaskan penyebutan ‘abd terhadap Nabi Saw.5
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 221:
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]:
221).
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengawalinya dengan
menjelaskan asbâb al-Nuzûl dari ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ menukil beberapa
3 Muḥammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur`an al-Karîm
(Mesir: Dâr al-Kutub al-Miṣriyyah, 1346), h. 443. 4 Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VI (Mesir: Hay`ah al-Miṣriyyah, 1990),
h. 79. 5 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 159.
51
hadis Nabi Saw. yang memungkinkan menjadi sebab turunnya ayat tersebut,6
yakni:
1. Hadis tentang meminta izinnya Ibn Abî Marṡad kepada Nabi Saw.
untuk menikahi seorang wanita musyrik, kemudian turun ayat di atas
yang menjadi larangan menikahi wanita musyrik dengan
membandingkan amat yang beriman lebih patut untuk dinikahi dari
pada menikahi seorang wanita musyrik.7
2. Hadis yang menceritakan sahabat ‘Abdullâh bin Rawâḥah yang
mempunyai seorang budak perempuan, kemudian suatu hari dia
memukul budak tersebut dan kabar tersebut terdengar oleh Nabi Saw.
dan kemudian Nabi Saw. memerintahkannya untuk memerdekakan
budak tersebut dan menikahinya sebagai balasan atas perlakuan
kasarnya. Kemudian orang-orang yang mengetahui pernikahan tersebut
menghina ‘Abdullâh bin Rawâḥah karena menikahi bekas budak,
akhirnya turunlah ayat tersebut untuk menjelaskan bahwa menikahi
budak wanita yang beriman lebih baik dari pada menikahi wanita
musyrik.8
Kata musyrikîn dan musyrikât menurut Rasyîd Riḍâ bukanlah orang-
orang musyrik secara umum, melainkan orang-orang musyrik yang bukan ahli
kitab, oleh karenanya dapat dipahami bahwa salah satu tujuan larangan
6 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid 2, h. 276. 7 Abû Dâwud Sulaimân bin al-`Asy’aṡ bin Ishâq al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, Jidil II
(Dâr al-Risâlah al-‘Alamiyyah, 2009), h. 176. 8 Abû Bakr Aḥmad bin ‘Umar Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, Jilid XI (Madînah: Maktabah
al-‘Ulûm wa al-Ḥikam, 2009), h. 241.
52
menikahi orang musyrik dalam ayat tersebut adalah karena orang musyrik yang
tidak mempunyai kitab pedoman dalam hidupnya tidak mempunyai batasan
dalam menjalani kehidupannya, sehingga dalam ayat tersebut dikatakan dengan
jelas bahwa mereka akan menjerumuskan ke lembah neraka.9
Selanjutnya, penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai kata ‘abd dan amah
Rasyîd Riḍâ secara tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘abd dan
amah dalam ayat tersebut adalah mamlûkah dan mamlûkah yang mempunyai
arti budak yang beriman yang dimiliki oleh seseorang, dalam ayat tersebut
dijelaskan bahwa ia lebih utama dari pada seorang yang musyrik, sehingga
dapat dipahami bahwa Islam mengangkat derajat budak seperti halnya manusia
lainnya, bahkan Islam membandingkan derajat budak lebih tinggi
dibandingkan dengan orang musyrik yang mempunyai kelebihan baik dalam
segi nasab ataupun harta. Dalam penjelasannya mengenai penyebutan bahasan
budak Rasyîd Riḍâ juga menyebutkan kata ‘abd Allah yang artinya hamba
Allah dan kata mu`min yang artinya orang yang beriman, karena yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang beriman. Serta menyebutkan
kata raqîq yang artinya lembut, tipis atau budak, dan kata qin yang artinya
budak secara umum.10
Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa tujuan pernikahan bukanlah syahwat
lahiriah semata, akan tetapi lebih kepada kebersamaan dalam kehidupan rumah
tangga dengan satu pandangan yakni syariat Islam, karena kehidupan rumah
9 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 280. 10 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 278-279.
53
tangga erat kaitannya dengan ajaran-ajaran keagamaan seperti dalam mendidik
anak ataupun dalam menggunakan harta yang sesuai dengan tuntunan agama.11
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 178:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 178).
Dalam menafsiri ayat ini, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ajaran Islam
sangatlah moderat dan adil, ketika orang Yahudi memberlakukan hukum balas
dengan semena-mena, seperti misalnya seseorang membunuh seorang laki-laki
merdeka maka berlaku hukum balas dengan menghukum pembunuh serta
sepuluh orang dari keluarga pembunuh untuk dihukum mati, ketika seorang
membunuh seorang perempuan merdeka maka berlaku hukum balas
menghukum pembunuh serta satu orang laki-laki dari keluarga pembunuh
untuk dihukum mati, dan ketika seseorang membunuh budak maka berlaku
hukum balas menghukum pembunuh serta satu orang merdeka dari keluarga
pelaku untuk dihukum mati, ataupun cara hukum balas yang lainnya. Maka
11 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 279.
54
Islam mengajarkan hukum qiṣâṣ12 atau hukum balas sesuai dengan apa yang
telah dilakukan pelaku, karena tujuan pemberlakuan hukuman adalah untuk
membuat jera pelaku dan mendidik yang lainnya.13
Rasyîd Riḍâ menafsiri kata ‘abd pada ayat di atas dengan kata ‘abd pula
yang memiliki arti budak atau hamba sahaya, sehingga dapat dipahami bahwa
seorang budak yang membunuh budak lainnya, maka hukumannya adalah
hukuman mati bagi budak pembunuh, hukuman tersebut tidak menimpa
tuannya seperti hukum qiṣâṣ zaman jahiliyah. Jadi hukuman qiṣâṣ seorang
budak sama dengan hukuman qiṣâṣ yang berlaku bagi orang merdeka.14
2. Amah
Kata amah berasal dari kata amawah yang mempunyai arti menjadi
budak, contoh amat al-jâriyah yang berarti perempuan muda yang menjadi
budak.15 Kata amah disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak dua kali, disebutkan
dalam bentuk mufrad (tunggal) pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan disebutkan
dalam bentuk jama’ (plural) pada QS. Al-Nûr [24]: 32.16 Penulis mengkaji
penafsiran Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 221, karena Rasyîd Riḍâ
tidak menafsiri QS. Al-Nur [24].
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada term amah yang terdapat pada QS. Al-
Baqarah [2]: 221 telah penulis uraikan di atas.
12 Qisâs secara bahasa artinya sepadan atau hukuman yang setimpal (lihat Munawwir,
Kamus al-Munawwir, h. 1126), maka hukum qisâs adalah hukuman sepadan yang dijatuhkan
kepada pelaku seperti yang telah dilakukannya (lihat Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 101). 13 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 100. 14 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 102. 15 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 279. 16 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 93.
55
3. Raqabah
Kata raqabah secara bahasa mempunyai arti leher. Kata raqabah
menjadi term perbudakan dalam al-Qur`an karena budak yang seringkali
terbelenggu lehernya, maka kata raqabah juga bisa diartikan sebagai budak
atau hamba sahaya.17 Kata raqabah menjadi salah satu term perbudakan yang
digunakan dalam al-Qur`an, selain itu al-Qur`an juga menggunakan kata riqâb
yang merupakan bentuk plural dari kata raqabah.
Kata raqabah disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Qur`an yang
terdapat pada empat sûrah, yakni QS. Al-Nisâ` [4]: 92 diulang sebanyak tiga
kali, QS. Al-Mâidah [5]: 89, QS. Al-Mujâdalah [58]: 3 dan QS. Al-Balad [90]:
13. Sedangkan kata raqabah diseburkan dalam bentuk jama’ (plural), riqâb,
disebutkan sebanyak tiga kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 177, QS. Al-
Taubah [9]: 60 dan QS. Muḥammad [47]: 4.18 Penulis mengkaji penafsiran
Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 177, QS. Al-Nisâ` [4]: 92, QS. Al-
Mâidah [5]: 89 dan QS. Al-Taubah [9]: 60, karena Rasyîd Riḍâ tidak menafsiri
selain sûrah-sûrah tersebut.
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 177:
17 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 520. 18 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 323-324.
56
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengawalinya dengan
menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa
ayat tersebut turun ketika orang-orang Nasrani dan Yahudi menyibukkan diri
mereka dengan arah kiblat mereka ketika sembahyang, sehingga umat Islam
pun ikut terpengaruh oleh kesibukkan mereka, maka turunlah ayat di atas untuk
menjelaskan bahwa bukanlah tujuan pokok agama mengenai kemana arah
untuk menghadap ketika sembahyang, akan tetapi yang paling penting adalah
melakukan kebaikan yang pokok dengan benar, yakni dari mulai beriman
hingga berbuat baik kepada sesama.19
Dalam menafsiri kata al-Riqâb pada ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ
menggunakan kata al-ariqqâ` yang merupakan bentuk plural dari kata al-raqîq
yang artinya budak, yang merupakan akar kata dari raqîq adalah raqqa yang
artinya halus atau tipis. Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa salah satu pokok
tuntunan kebaikan dalam ayat di atas adalah saling menolong dengan sesama,
di antaranya dengan al-Riqâb atau budak, maka seseorang dapat membantu
19 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 89.
57
budak untuk menjadi merdeka.20 Dari uraian ini dapat dipahami bahwa Islam
sangat memperhatikan penghapusan praktik perbudakan terbukti Islam
menjadikan tuntunan menolong budak menuju kemerdekaannya sebagai
tuntunan pokok dalam agama.
Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa Islam tidak secara tegas
menghapuskan praktik perbudakan karena Islam melihat ada kemashalatan
bagi budak untuk tetap menjadi budak dikarenakan beberapa hal, di antaranya
karena budak belum siap untuk menjadi merdeka karena faktor ekonomi
sehingga tidak bisa menopang hidupnya sendiri ataupun dikarenakan alasan
yang lainnya.21
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 92:
“Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
20 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 94. 21 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 94.
58
beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat
dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 92).
Pada ayat ini kata raqabah diulang sebanyak tiga kali, Rasyîd Riḍâ
menggunakan kata riqq untuk menafsiri kata raqabah yang dimaknai sebagai
budak yang menjadi pengganti orang merdeka yang terbunuh, Rasyîd Riḍâ
menjelaskan bahwa kafârah22 adalah sebagai penggantian nyawa yang hilang
dan diwujudkan kembali dengan hadirnya budak mukmin yang telah
dimerdekakan, karena melihat fenomena pada masa jahiliyah bahwa
keberadaan budak tidak diakui oleh masyarakat dan hanya menjadi alat bagi
tuannya, dengan memerdekakannya maka eksistensinya akan diakui oleh
masyarakat.23 Ayat ini menjadi salah satu ayat yang membuktikan bagaimana
Islam berupaya untuk menghapuskan sistem perbudakan.
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Mâidah ayat 89:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin,
22 Kata kafârah berasal dari akar kata kafara yang artinya menutupi, maka hukum kafârah
adalah untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuat. (lihat Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.
1217). 23 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 270.
59
Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-
sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah
sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-
Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Mâidah [5]: 89).
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengartikan kata raqabah
dengan kata al-qinn yang mempunyai arti budak yang dalam penafsirannya
seperti halnya ayat 92 sûrah al-Nisâ` dijelaskan sebagai budak tebusan
kesalahan dan dosa, sehingga memerdekakan budak dengan niat ikhlas mencari
ridha Allah Swt. diharapkan dapat melebur dosa yang telah diperbuat,
peleburan siksaan di dunia dan juga di akhirat. Rasyîd Riḍâ juga menggunakan
kata raqîq dan ‘abd dalam menyebutkan budak.24 Ayat ini juga menjadi salah
satu ayat penggerak dalam penghapusan praktik perbudakan.
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Taubah ayat 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]: 60).
24 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VII, h. 31.
60
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengartikan kata riqâb
menggunakan kata raqîq dalam menafsirkannya dan diartikan sebagai budak
yang dimerdekakan. Budak menjadi salah satu golongan yang berhak
menerima zakat sebagai bentuk perhatian Islam terhadap penghapusan budak.
Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa memerdekakan budak adalah kebaikan
kemanusiaan yang sangat besar sebagai rahmat dari tuntunan agama Islam.
Dalam pengaplikasiannya zakat dapat diberikan kepada budak yang sedang
melakukan akad kitâbah (cicilan penebus kemerdekaan) atau untuk membeli
budak kemudian memerdekakannya. Rasyîd Riḍâ juga menggunakan kata
mukâtab untuk menyebutkan budak, kata mukâtab mempunyai arti budak yang
mempunyai akad cicilan dengan tuannya.25
4. Mâ Malakat Aimânukum
Kata mâ malakat aimânukum secara bahasa mempunyai arti sesuatu yang
dimiliki kalian.26 Term perbudakan yang menggunakan kata mâ malakat
aimânukum banyak sekali, di bawah ini penulis uraikan penafsiran Rasyîd Riḍâ
dari term mâ malakat aimânukum.
Kata mâ malakat aimânukum disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak 16
kali, namun tidak semuanya disebutkan dengan ḍamir (kata ganti) jama’
muẑakkar mukhattab (kum) akan tetapi disebutkan dengan berbagai bentuk
ḍamir lainnya, baik itu dengan ḍamir jama’ muẑakkar gâib (hum), ḍamir jama’
muannaṡ gâibah (hunna) ataupun dengan ḍamir mufrad muẑakkar (anta).27
25 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid X, h. 429. 26 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1358. 27 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 673.
61
Dalam penelitian ini, penulis menelaah ayat yang menyebutkan term mâ
malakat aimânukum yang terdapat pada QS. Al-Nisâ` [4] ayat 24, 25 dan 36,
karena ayat yang menyebutkan term mâ malakat aimânukum yang terdapat
dalam sûrah yang lainnya tidak ditafsiri dalam kitab Tafsîr al-Manâr.
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 24:
“(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 24).
Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah
kondisi umat Islam yang berada jauh dari istri-istri mereka karena mereka
berada di kemah-kemah dalam masa peperangan, dan keinginan biologisnya
muncul akan tetapi tetap berusaha menghindari perbuatan zina, maka turunlah
ayat tersebut yang memperbolehkan umat Islam menikahi perempuan-
perempuan tawanan perang.28
28 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 5.
62
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ayat
tersebut menguraikan perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi karena
ayat tersebut meneruskan uraian ayat sebelumnya. Rasyîd Riḍâ menjelaskan
bahwa kata mâ malakat aimânukum dalam ayat di atas dengan kata al-imâ’
yang merupakan kata plural dari kata al-amah yang berarti budak perempuan,
Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa mereka adalah perempuan-perempuan
tawanan yang telah menikah akan tatapi dengan sebab ia tertawan maka status
pernikahannya terputus, oleh karenanya boleh dinikahi oleh orang muslim.
Rasyîd Riḍâ juga menyebutkan kata mamlûkah untuk menyebutkan budak, kata
mamlûkah mempunyai arti budak perempuan yang dimiliki.29
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 25:
“Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian
yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan
berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-
wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah
menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang
29 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 6.
63
keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-
wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri
(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik
bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-
Nisâ` [4]: 25).
Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa apabila
seseorang ingin menikah namun tidak punya biaya untuk menikahi seorang
perempuan merdeka maka dia bisa menikah dengan fatayât (budak
perempuan). Kata fatayât secara bahasa adalah perempuan-perempuan muda,
akan tetapi dalam konteks ayat tersebut penyebutan budak dengan kata fatayât
untuk mengindahkan penyebutan dan mengangkat derajat budak perempuan
sederajat dengan perempuan merdeka. Selain itu, Rasyîd Riḍâ juga
menggunakan kata raqîq dan riqâb dalam menjelaskan budak.
Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ayat tersebut menggunakan kata fatayât
untuk menyebutkan budak perempuan, hal tersebut menunjukkan bahwa Islam
tidak memandang rendah budak dan ingin mengangkat derajat budak di tengah
masyarakat sebagaimana manusia lainnya. Arti dari kata fatayât secara bahasa
adalah perampuan-perampuan muda, dan kata tersebut dihubungkan dengan
kata mâ malakat aimânukum yang berarti budak, maka dapat dipahami bahwa
al-Qur`an menyebutkan budak dengan sebutan yang lembut untuk memuliakan
budak. Selain itu Rasyîd Riḍâ juga menggunakan kata raqîq untuk
menyebutkan budak, yang mempunyai arti lembut, tipis atau budak.30
Rasyîd Riḍâ menambahkan dengan menukil sebuah hadis Nabi Saw.:
30 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 15, dan Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada
Muhammad. Penerjemah Josef CD. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 578.
64
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال تي، وا ما
ابدي أ م: عا
دك حا
ان أ
اقول يا
اق ل يا
ي ب وك: را
ملا ق ،ال م ليا
ك إن
اتي، ف دا
ي سا دي وا ي وك: سا
ملا ق ال ليا اتي، وا تا
اف ايا وا تا
االك: ف
ا ال
جا ز وا ب هوا الله عا الر ، واوناوكملا .ال
“Janganlah kalian mengatakan (kepada budak kalian): budakku amatku,
dan janganlah seorang budak memanggil tuannya: yang memilikiku, akan
tetapi hendaknya seorang tuan mengatakan: laki-laki muda dan
perempuan-perempuan muda, dan seorang budak mengatakan: tuan laki-
lakiku dan tuan perempuanku. Karena sesungguhnya kalian adalah
hamba-hamba yang dimiliki dan pemiliknya adalah Allah ‘Azza wa
jalla.” (HR. Abû Dâwud).31
Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 36:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 36).
Dalam menafsiri kata mâ malakat aimânukum, Rasyîd Riḍâ
menggunakan kata fityân dan fatayât yang berarti pemuda-pemuda dan
pemudi-pemudi, seperti halnya penafsiran pada ayat 25 sûrah al-Nisâ`, Rasyîd
Riḍâ ingin kembali menjelaskan derajat seorang budak yang sama dengan
orang merdeka. Ayat di atas menguraikan tentang kebajikan atau dalam
penafsiran Rasyîd Riḍâ menggunakan kata al-i’ânah (menolong), Rasyîd Riḍâ
31 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Jilid VII, h. 331. Redaksi hadis tersebut diuraikan oleh
Rasyîd Riḍâ dalam tafsirnya dan menyantumkan riwayat Bukhârî Muslim akan tetapi penulis tidak
menemukan hadis tersebut dalam kitab Ṣaḥîḥ Bukhârî dan Ṣaḥîḥ Muslim, yang penulis
menemukan adalah hadis yang semakna dengan hadis di atas dengan redaksi yang berbeda.
65
mengklasifikasikan pertolongan yang dapat dilakukan kepada budak menjadi
tiga garis besar :
1. Memerdekakannya, sebagai kebaikan yang paling utama, atau dengan
menolong memerdekakan seorang budak melalui akad kitâbah (cicilan
untuk menebus kemerdekaan).
2. Tidak membebaninya dengan pekerjaan yang berat atau di luar
kemampuannya.
3. Berlaku baik dan tidak merendahkannya.
Memperlakukan budak dengan manusiawi adalah sebagai bentuk
perlakuan terhadap penolakan terhadap praktik perbudakan, di antaranya
dengan memanggilnya dengan sebutan yang tidak menghinakan, menganggap
mereka sebagai saudara dan memberikan hak mereka berupa sandang maupun
pangan.32 Rasyîd Riḍâ menegaskan hal tersebut dengan menukil hadis Nabi
Saw.:
م كان وا
م إخ
كل وااخ هم وا
ال عا حتا الله جا
ام، ت
يديك
ان أ ما
اانا ف
اوه ك
خاحتا أ
اده ت عمه يا
يط
لا ف
ا ، ممكأ بسه يا
يلل ا وا س، مم با
ل يا
ال فوهم وا
لاكما منا ت عا
ا ال لبهم، ما
غ إن يا
افتموهم ف
لا ك
عينوهم اأايه ف
ال .عا
“Mereka adalah saudara kalian, Allah Swt. menjadikan mereka berada di
bawah kekuasaan kalian, barang siapa yang saudaranya berada di bawah
kekuasaannya maka berilah makan seperti yang ia makan, dan berilah
pakaian seperti yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka
dengan pekerjaan yang berat, apabila kalian memberinya pekerjaan maka
bantulah mereka untuk menyelesaikannya.” (HR. Bukhâri).33
Dalam hadis tersebut juga dijelaskan apabila seorang budak diberi
pekerjaan maka bantulah dalam menyelesaikannya, karena umat manusia
32 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77, dan Ridâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 587. 33 ‘Abdullâh bin Ismâîl Al-Bukhârî, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî, Jilid I (Dâr Thaûq al-Najâḥ, 1422),
Kitâb al-Îmân Bâb al-Ma’âṣî min Amr al-Jâhiliyyah, h. 15.
66
adalah saudara yang dituntut untuk saling membantu satu sama lain, bukan
hanya untuk memerintah tanpa membantu mengerjakannya.
Rasyîd Riḍâ menambahkan dengan menukil sebuah hadis yang
menceritakan bahwa ketika Rasûlullâh Saw. sakit menjelang wafatnya,
Rasûlullâh Saw. berwasiat kepada para sahabatnya, Rasûlullâh Saw.
menyampaikan wasiatnya dengan susah payah karena rasa sakit yang diderita
Rasûlullâh Saw., dalam hadis tersebut terdapat dua wasiat Rasûlullâh Saw.,
yakni untuk menjaga shalat dan berbuat baik terhadap budak. Hal ini
menunjukkan bahwa perhatian Rasûlullâh Saw. begitu besar terhadap nasib dan
pembebasan para budak, sehingga Rasyîd Riḍâ mengatakan kebaikan apalagi
yang diragukan dari wasiat Rasûlullâh Saw. tersebut, Rasûlullâh Saw.
menyampaikan wasiat tersebut sebagai penegasan terhadap pentingnya apa
yang disampaikan.34
عا ى الل
ل سول الله صا ة را صي وا
ة ام ت عا
ااناا ك ما وا
اةا
ل وت: الصا ه ال را ضا ما حينا حا
ل سا يه وا
ال
ه.ان ا لسا فيض بها ا يا ما دره، وا ا في صا رغرها
اعا ا يغ ى جا ت م حا
كان يما
ات أ
اكال ما
“Wasiat Rasulullah Saw. menjelang wafatnya adalah (menunaikan)
shalat dan berbuat baik kepada budak, sehingga membuat sesak dadanya
dan memenuhi mulutnya.” (HR. Al-Bazzâr).35
Muḥammad ‘Abduh menjelaskan terkait hal ini, Muḥammad ‘Abduh
mengatakan bahwa ”Allah Swt. memerintahkan umat manusia agar tidak
menganggap boleh semena-mena menghina orang yang derajatnya rendah
dimata kebanyakan manusia, tidak menganggap seorang budak pantas
34 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77. 35 Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, Jilid XIII, h. 364.
67
dihinakan dan diperlakukan seperti hewan yang dipertontonkan, karena mereka
mempunyai hak yang sama sebagaimana kebanyakan manusia lainnya”.36
Tuntunan al-Qur`an untuk berbuat baik terhadap budak sangat
diaplikasikan oleh para sahabat Nabi Saw. dengan memperlakukan mereka
dengan ramah dan memuliakan mereka. Rasyîd Riḍâ menambahkan kondisi
dan status budak pada masa kejayaan awal kebangkitan Islam lebih baik dan
lebih nyaman daripada orang yang dianggap atau menganggap dirinya merdeka
dewasa ini, masa di mana manusia dipengaruhi oleh negara-negara Barat dan
sebagainya.37
Selain pemerdekaan budak dan perlakukan baik terhadapnya menjadi
tuntunan yang bijaksana dalam al-Qur`an, Islam sangat melaknat praktek
perbudakan dan memasukkannya ke dalam dosa besar, Rasyîd Riḍâ menukil
sebuah hadis terkait penjelasan tersebut:
ا اعا حر ج با را ، وا را داام غ
ى بي ث
اعط
اج أ ة: را اما وما القيا صمهم يا
اا خ
انا أةاثالا: ث
الا الل
ا" ق
اه "ف جرا
ام يعط أ
ال ى منه وا
اوف استا
اجيرا ف
ارا أ جا
أ ج استا را ه، وا نا ما
ا ا ث
اكا أ
“Allah Swt. ada tiga hal yang menjadi musuh-Ku kelak di hari kiamat;
barang siapa menjadi musuh-Ku, pasti Aku tuntut dia: pertama, orang
yang berjanji kepada-Ku lalu ia menipu, kedua, orang yang menjual
orang merdeka lalu ia memakan uangnya, ketiga, orang yang
memperkerjakan buruh dan buruh itu patuh mengerjakan tugasnya tapi
orang tersebut tidak membayar upahnya. (HR. Bukhâri)38
Hadis lain juga disebutkan, ada tiga hal yang menjadikan seseorang tidak
diterima shalatnya, di antara tiga hal tersebut adalah “.... dan orang yang
memperbudak orang merdeka”, dalam arti menjadikan orang merdeka
36 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77. 37 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 589. 38 Al-Bukhârî, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî, Jilid III, h. 82.
68
sebagaimana budak yang direndahkan, seperti menyuruhnya dan melayani
tuanya dengan paksa atau menganggapnya sebagaimana orang terhina yang
terebut kemerdekaannya.39
B. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Perbudakan
Setelah melihat uraian penafsiran Rasyîd Riḍâ di atas, penulis
merangkumnya agar mempermudah dalam memetakan dan menganalisisnya.
Seperti penjelasan yang telah diuraikan, penulis mengklasifikasi term perbudakan
menjadi empat, yakni: ‘abd, amah, raqabah dan mâ malakat aimânukum. Di
bawah ini penulis memetakan penafsiran Rasyîd Riḍâ dengan masing-masing term
perbudakan tersebut :
Dalam memaknai term ‘abd pada sûrah al-Baqarah ayat 178, Rasyîd Riḍâ
menafsirinya dengan kata mamlûk dan mamlûkah dan mengartikannya sebagai
budak secara umum baik itu budak laki-laki ataupun perempuan, budak yang
mempunyai akad kitâbah dengan tuannya ataupun lainnya, karena yang menjadi
inti bahasannya dalam menyinggung perbudakan dalam ayat tersebut adalah
hukuman qiṣâṣ budak yang menjadi pembunuh sama dengan hukum qiṣâṣ orang
merdeka, yakni hukuman jatuh pada dirinya sendiri, tidak menimpa tuannya
sebagaimana hukum jahiliyah.
Term ‘abd dan amah pada sûrah al-Baqarah ayat 221, Rasyîd Riḍâ
menggunakan kata mamlûk dan mamlûkah dalam menafsiri kata ‘abd dan amah.
Rasyîd Riḍâ mengartikannya sebagai budak yang beriman yang mempunyai
derajat yang lebih utama dibanding orang musyrik, hal tersebut menunjukkan
39 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 573.
69
betapa Islam tidak melihat sisi luar dari setiap manusia, baik seorang merdeka
ataupun budak adalah sama, yang dilihat adalah keimanannya yang menjadikan
manusia lebih utama dari yang lainnya.
Dalam memaknai term raqabah pada sûrah al-Baqarah ayat 177, Rasyîd
Riḍâ menggunakan kata raqîq yang mempunyai arti budak, dari akar kata raqqa
yang artinya halus atau tipis, penulis melihat bahwa ayat tersebut membicarakan
tentang kebajikan pokok dalam ajaran agama dan memasukkan kebajikan kepada
budak masuk di antaranya, hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan
perhatian yang lebih terhadap budak menepis kebiasaan perlakuan kaum jahiliyah
terhadap budak.
Term raqabah pada sûrah al-Nisâ` ayat 92 dan sûrah al-Mâidah ayat 89,
Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan kata raqîq, kedua ayat ini menjadi bukti bahwa
Islam berupaya untuk menghapuskan sistem perbudakan dengan menjatuhi
hukuman bagi pendosa dengan memerdekakan budak, pada ayat 92 sûrah al-Nisâ`
Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa salah satu tujuan pemerdekaan budak adalah agar
eksistensi seorang budak diakui oleh masyarakat karena fenomena pada zaman
jahiliyah budak sama sekali tidak mendapatkan tempat di masyarakat bahkan
hanya bisa menjadi alat bagi tuannya, maka melalui ayat ini Islam mengangkat
derajat para budak sederajat dengan manusia lainnya.
Term raqabah pada sûrah al-Taubah ayat 60, Rasyîd Riḍâ menggunakan
kata raqîq untuk menafsiri kata raqabah yang diuraikan sebagai budak yang
dimerdekakan dengan pemberian zakat, dalam ayat ini budak dijadikan sebagai
golongan yang berhak menerima zakat yang bertujuan untuk menebus
70
kemerdekaannya, hal ini juga menunjukkan upaya Islam untuk menghapuskan
praktik perbudakan.
Dalam memaknai term mâ malakat aimânukum pada sûrah al-Nisâ` ayat 24,
Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan kata al-imâ` yang merupakan bentuk plural dari
kata al-amah yang artinya budak perempuan, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa
budak perempuan di dalam ayat tersebut merupakan perempuan-perempuan
tawanan perang yang boleh dinikahi oleh umat Islam, penulis mengambil
kesimpulan terkait ayat ini bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak
menyetubuhi budak perempuan dengan tanpa nikah, maka ayat ini menjadi dalil
akan hal tersebut dan penegasan bahwa Islam menyetarakan budak perempuan
dengan perempuan merdeka pada umumnya.
Term mâ malakat aimânukum pada sûrah al-Nisâ` ayat 25 dan ayat 36,
Rasyîd Riḍâ menggunakan kata fatayât yang bermakna perempuan-perempuan
muda, penggunaan kata fatayât untuk menyebutkan budak perempuan bertujuan
untuk mengindahkan penyebutan kepada budak dan mengangkat derajat budak
perempuan sebagaimana perempuan merdeka.
C. Relevansi Ayat dalam Konteks Modern
Dalam bukunya, al-Waḥy al-Muḥammadî, Rasyîd Riḍâ menguraikan
fenomena perbudakan dan penghapusannya. Dalam uraiannya, Rasyîd Riḍâ
menyebutkan bahwa bangsa Barat pada akhir abad ke-18, pemerinta Amerika
Serikat dan Inggris membebaskan budak-budak akan tetapi pembebasan tersebut
tidak bertujuan untuk kebaikan budak ataupun mengarah kepada persamaan hak
asasi manusia, melainkan hanya untuk kepentingan-kepentingan pribadi mereka.
71
Rasyîd Riḍâ menguraikan contoh sebagai bukti tindak perbudakan masih terjadi
ketika itu dengan mengatakan: “Amerika Serikat sampai saat ini tetap memandang
lebi tinggi derajat orang-orang Eropa kulit putih daripada orang kulit merah”,
Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa “orang kulit putih diperbolehkan menyiksa
orang kulit merah apabila berbuat dosa terhadap orang kulit putih, dan penegak
hukum tidak dapat berbuat banyak lantarakn kekuasaan yang dipegang oleh orang
kulit putih.40 Hal ini sebagai contoh praktik perbudakan modern yang terjadi
dalam bentuk politik.
Sebagai contoh lain, Rasyîd Riḍâ mencontohkan tindakan orang-orang
Inggris yang sangat memandang rendah serta menghina orang-orang India.
Setelah orang-orang India mampu berontak dengan bangkit dan bergerak, maka
perlakuan merendahkan dan menghinakan tersebut berkurang.41 Uraian Rasyîd
Riḍâ mengenai contoh perbudakan modern tersebut membuktikan bahwa praktik
perbudakan bukan hanya praktik kekejaman seperti yang terjadi pada jaman
jahiliyah, akan tetapi hingga masa modern ini tindakan yang menjadi jejak-jejak
praktik perbudakan masih dapat dijumpai, sehingga tuntunan Islam dalam
penghapusan perbudakan dan persamaan hak antar manusia akan terus
diaplikasikan terhadap bentuk-bentuk ketidak adilan.
Setelah memaparkan penafsiran Rasyîd Riḍâ tentang ayat-ayat perbudakan
dalam kitab tafsirnya dan setelah memetakan pemaknaan dan penafsiran setiap
term perbudakan dalam al-Qur`an, penulis akan menguraikan relevansi ayat-ayat
perbudakan dengan konteks modern.
40 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 564-565. 41 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 565
72
Dari semua pemaparan Rasyîd Riḍâ di atas, penulis mengklasifikasikan
pembahasan ayat perbudakan menjadi dua dengan melihat pokok tujuan dari ayat
tersebut.
1. Tentang Pembebasan Budak atau Pemerdekaan Budak
Memerdekakan budak adalah kebaikan kemanusiaan yang sangat besar,
mengingat budak dipandang sebelah mata dengan status budaknya, maka
kemerdekaan adalah jalan terang bagi para budak untuk keluar dari konsidi
belenggu perbudakan.
Ayat perbudakan yang menjelaskan pemerdekaan budak terdapat pada
sûrah al-Baqarah: 177, sûrah al-Nisâ`: 92, sûrah al-Mâidah: 89 dan sûrah al-
Taubah: 60, Rasyîd Riḍâ menafsiri term perbudakan pada ayat-ayat tersebut
dengan menggunakan kata raqîq yang mempunyai akar kata raqqa yang berarti
halus, penulis mengaitkan penggunaan kata tersebut dengan impian dari
seorang budak menjadi seorang merdeka dan memerdekakan budak merupakan
kebajikan yang sangat besar pahalanya. Melalui pemerdekaan budak, pelaku
akan mendapat pahala besar dan budak akan menggapai kebebasan dalam
kehidupannya.
Pada ayat-ayat tersebut, pemerdekaan budak dilakukan sebagai penebus
perlakuan salah dan dosa, dan juga sebagai kebajikan mengharap keridaan
Allah Swt.
2. Tentang Memperlakukan Budak dengan Baik
Memperlakukan budak dengan baik dengan kata lain memperlakukan
budak sebagaimana orang merdeka, karena setiap manusia mempunyai hak
terhadap kemerdekaannya.
73
Ayat perbudakan yang membicarakan perlakuan baik terhadap budak
terdapat pada sûrah al-Baqarah: 178 dan 221, al-Nisa: 24-25 dan 26. Rasyîd
Riḍâ dalam menafsiri ayat-ayat tersebut menggunakan berbagai macam kata,
yakni: ‘abd, amah, mamlûk dan fatayât.
Rasyîd Riḍâ sangat menekankan penyebutan terhadap budak dengan
sebutan yang lembut yang tidak merendahkan budak, dengan mengawali
penyebutan yang baik akan berdampak pula pada perlakuan baik terhadap
budak dan tidak menghinakan budak.
Selain itu, Islam mengangkat derajat budak yang dipandang sebelah mata
agar sederajat dengan orang merdeka. Penyamarataan ini dalam hal
menunaikan hak dan hukum seperti pernikahan dengan budak dan hukum
qiṣâṣ, meskipun dalam beberapa hal Islam tetap membedakan pemberlakuan
hukum terhadap orang merdeka dan budak karena melihat kemaslahatan di
dalamnya. Di sisi lain, Islam meninggikan derajat budak yang beriman di atas
derajat orang musyrik walaupun orang tersebut dari kalangan bangswan
ataupun saudagar. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak melihat
lahiriyah dari seseorang sebagai tolak ukur kemuliaannya, akan tetapi yang
dilihat adalah keimanannya.
Di bawah ini, penulis menguraikan tabel analisis pemaknaan dari setiap
term-term perbudakan yang terdapat dalam Tafsîr al-Manâr:
TERM PENAFSIRAN
SÛRAH Tentang Kata Arti
‘abd ( بد (عا بد Hamba, budak عا
QS.
Al-Baqarah [2]
Ayat: 178
Qiṣaṣ
74
بد الله Hamba Allah عا
QS.
Al-Baqarah [2]
Ayat: 221
Kemuliaan
budak mukmin
dibanding orang
musyrik
من Lelaki mukmin مؤ
وك مل Lelaki yang ما
dimiliki
قيق Tipis, halus, budak را
Budak قن
amah ( ة ما
ا(أ
الله ة ما
ا Hamba Allah أ
QS.
Al-Baqarah [2]
Ayat: 221
Kemuliaan
budak mukmin
dibanding orang
musyrik
ةاوك
مل ما
Perempuan yang
dimiliki
ة منا
Perempuan beriman مؤ
Raqabah
( را ا با ق
ة )
قيق Tipis, halus, budak را
QS.
Al-Baqarah [2]
Ayat: 177
Pokok kebajikan
dalam Islam
QS.
Al-Mâidah [5]
Ayat: 89
Penebusan dosa
melanggar
sumpah
QS.
Al-Taubah [9]
Ayat: 60
Yang berhak
menerima zakat
Tipis, halus, budak رق
QS.
Al-Nisâ` [42]
Ayat: 92
Penebusan dosa
membunuh بد Hamba, budak عا
تيق عاBudak yang telah
merdeka QS.
Al-Mâidah [5]
Ayat: 89
Penebusan dosa
melanggar
sumpah قن Budak
ب ااتا مك
Budak yang
melakukan akad
cicilan
kemerdekaan
QS.
Al-Taubah [9]
Ayat: 60
Yang berhak
menerima zakat
Mâ malakat
aimânukum
ت )اكال ا ما ما
م كان يما
ا(أ
ةاوك
مل ما
Perempuan yang
dimiliki
QS. Al-Nisâ` [4]
Ayat: 24-25
Diperbolehkan-
nya menikahi
budak
اة تا
ا Perempuan muda ف
اء Budak إما
قيق ,Tipis, lembut را
budak
اب ا Leher, budak رق
QS. Al-Nisâ` [4]
Ayat: 36
Tuntunan
berbuat baik
ة ,Tipis, lembut رق
budak
ان Laki-laki muda فتيا
ات يا تاا-Perempuan ف
perempuan muda
75
Setelah melakukan penelitian tentang penafsiran Rasyîd Riḍâ tentang
ayat-ayat perbudakan dikaitkan dengan konteks modern, maka dapat diringkas
sebagai berikut:
1. Perampasan hak, mengintimidasi, menghinakan orang lain atau dalam
bentuk lain yang menyudutkan orang lain dari haknya sebagai manusia
pada umumnya dapat dikategorikan sebagai praktik perbudakan modern.
2. Ayat-ayat al-Qur`an yang bersinggungan dengan term ‘abd, ammah,
raqabah dan mâ malakat aimânukum tidak selalu ditafsiri dengan
perbudakan, akan tetapi bisa juga diartikan sebagai penghambaan atau
ketaatan seorang terhadap yang lebih tinggi darinya sebagai bentuk
penghormatan dan sebagai bentuk peribadatan seorang hamba kepada
tuhannya, atau menjelaskan kondisi seseorang yang oleh umumnya
orang lain dianggap sebagai orang yang rendah derajatnya.
3. Ayat-ayat al-Qur`an tentang perbudakan dapat diaplikasikan pada masa
modern kepada orang-orang yang tertindas atau terampas haknya
sebagai arti lain dari praktik perbudakan, sehingga arti perbudakan bisa
diartikan terhadap orang yang derajatnya direndahkan, dan menolong
golongan orang tersebut dan atau membebaskannya dari kondisi yang
menjadikan orang lain menghinakannya adalah bentuk pembebasan
perbudakan.
4. Rasyîd Riḍâ juga menekankan penyebutan atau panggilan yang baik
kepada seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang lain atau
kedudukannya oleh umumnya manusia dianggap rendah, menyebutnya
dengan sebutan yang baik dan memanggilnya dengan panggilan yang
76
tidak merendahkannya. Sekaligus menganggap mereka sebagai saudara,
sehingga orang tersebut dapat diperlakukan baik layaknya saudara
sendiri, hal ini ditegaskan oleh Rasyîd Riḍâ dengan menukil hadis-hadis
yang menjelaskan hal tersebut.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, penulis menguraikan
kesimpulan penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat al-Qur`an yang
menjelaskan perbudakan dalam tafsirnya Tafsîr al-Manâr.
Dalam menjelaskan term-term perbudakan yang digunakan pada ayat-ayat
al-Qur`an, Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan berbagai kata yang dalam bahasa
Arab pada umumnya kata tersebut dapat diartikan sebagai budak. Term-term
perbudakan yang digunakan al-Qur`an antara lain: ‘abd, amah, raqabah dan mâ
malakat aimânukum. Ada sepuluh kata yang digunakan Rasyîd Riḍâ dalam
menafsiri term-term tersebut, antara lain: ‘abd, mamlûk, raqîq, qin, mukâtab,
amah, raqabah, fatâh, mu`min, dan ‘atîq, kata-kata tersebut secara garis besar
diartikan sebagai budak dan disifati sesuai dengan arti asal dari tiap kata tersebut,
misalnya kata mamlûk yang menafsiri term mâ malakat aimânukum pada QS. Al-
Nisâ` [4]: 24-25, yang dimaksud adalah budak yang dimiliki oleh orang lain yang
boleh dinikahi oleh majikannya, begitu pula misalnya kata mukâtab yang
menafsiri kata raqabah pada QS. Al-Taubah [9]: 60, yang dimaksud adalah budak
yang berhak menerima zakat yang digunakan untuk menolong cicilan
kemerdekaannya.
Mengenai relevansi penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat perbudakan
dengan konteks modern, Rasyîd Riḍâ dalam bukunya menguraikan bahwa contoh
77
78
perbudakan modern adalah sikap seseorang semena-mena terhadap hak seorang
lain dengan merampas kemerdekaannya dalam hukum ataupun ketidakadilan
dalam bentuk lainnya, atau sikap menghinakan dan merendahkan orang lain baik
secara golongan ataupun individu, maka ayat-ayat perbudakan akan selalu relevan
selama tindak ketidakadilan terjadi antar manusia.
Rasyîd Riḍâ juga menekankan penyebutan atau panggilan yang baik kepada
seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang lain atau kedudukannya oleh
umumnya manusia dianggap rendah, menyebutnya dengan sebutan yang baik dan
memanggilnya dengan panggilan yang tidak merendahkannya. Sekaligus
menganggap mereka sebagai saudara, sehingga orang tersebut dapat diperlakukan
baik layaknya saudara sendiri.
B. Saran
Penelitian tentang perbudakan dapat dipresentasikan kedalam berbagai sisi,
sehingga perlu kiranya penelitian yang lebih mendalam dengan melibatkan
banyak penafsiran dari mufasir-mufasir, baik dari masa klasik ataupun masa
modern. Oleh karenanya, penelitian tentang perbudakan akan selalu menarik
untuk diteliti kembali dengan melihat fenomena perkembangan zaman.
79
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Bâqî, Muḥammad Fu`âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur`an al-
Karîm, Mesir: Dâr al-Kutub al-Miṣriyyah, 1346.
‘Abidu, Yûnus Hasan, Tafsir al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.
Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007.
‘Alî, Sa’îd Ismâ’il, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Penerjemah
Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.
Aliyati, Khamdatul, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia.” Skripsi
S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,
2015.
Alkadri, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis Perbudakan.” Disertasi S3
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
Arikunto, Suarsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Al-Bazzâr, Abû Bakr Aḥmad bin ‘Umar, Musnad al-Bazzâr, Madînah: Maktabah
al-‘Ulûm wa al-Ḥikam, 2009.
Al-Bukhâri, ‘Abdullâh bin Ismâîl, Ṣaḥîh al-Bukhâri, Dâr Thaûq al-Najâh, 1422.
Britannica Encyclopedia, Chicago: William Benton Publisher, 1965.
Chamber’s Enchclopedia, London: George Newnes Limited, 1950.
Fatkhi, Rifqi Muhammad, Reza Hudan Lisalam, “Membumikan HAM Mengikis
Perbudakan,” Refleksi, Vol. 17, No. 2, (Oktober 2018): h. 155-168.
Firdaus. Iqbal, “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas
Penafsiran Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim.” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018.
80
Fitri, Nurul, “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an.”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-
Raniry Darus-Salam Banda Aceh, 2018.
Halim, M. Fikri, “Analisis Wacana Kritis tetang Perbudakan Modern dalam
Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV.” Skripsi S1
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2013.
Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam,” Suara Muhammadiyah 01, No. 98 (1-15
Januari 2011): h. 48-49.
Hariroh, “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta.
Hasan, Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis, Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Husain, Husna, Ibrahim Hashim, “Manhaj Sayyid Quthb dalam Berinteraksi
dengan Ayat-ayat Berkaitan Wanita di dalam al-Qur`an,” Perspektif:
Special Issue 1, (2007): h. 21-27.
Ibn Kaṡîr, ‘Imâduddin Abû al-Fidâ Ismâîl bin al-Khatîb Abû Hafṣ ‘Umar, Tafsîr
al-Qur`an al-‘Aẓim, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa
ke Masa, Jakarta: Kencana, 2010.
Al-Jazairî, Abû Bakr Jâbir, Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Penerjemah
Mustafa Aini, Amir Hamzah, Khalif Mutaqin. Jakarta, Darul Haq: 2006.
Mappiaswan, Andi, “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam
Pengembangan Islam.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humainiora UIN
Alauddin Makassar, 2015.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
81
Muhammad, Agus, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an,” Suhuf, Vol. 4
No. 1 (2011): h. 41-52.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,
1997.
Nasution, Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan dalam Hukum Islam,” Ahkam,
Vol. XV, No. 1, (Januari 2015): h. 95-102.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 2014.
Nugraha, Muhammad Tisna, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.” At-Turats,
Vol.9 Nomor 1 (Juni 2015): 49-61.
Nunik, Nurjannah, “Strategi Menghapuskan Perbudakan Klasik dan Modern
Menurut al-Qur`an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Jakarta.
Nurrahmah, Siti, “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan.” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden
Fatah Palembang, 2018.
Raharjo, Dawam, Ensiklopedi al-Qur`an, Jakarta: Paramadina, 1996.
Riḍâ, Muḥammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr, Mesir: Hay`ah al-Miṣriyyah, 1990.
-------, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, Penerjemah Josep C.D., Jakarta: Dunia
Pustaka, 1983.
Rusli, Ris’an, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali
Press, 2013.
Al-Qaṭṭân, Manna’ Khalîl, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Penerjemah Mudzakir AS.,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.
Safak, Muhammad, Kaya Tanpa Bekerja, Jakarta: Republika, 2005.
82
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015.
Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsîr al-Manâr, Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
al-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-`Asy’aṡ bin Ishâq, Sunan Abî Dâwud,
Dâr al-Risâlah al-‘Alamiyyah, 2009.
al-Syażilî, Sayyid Quṭb Ibrâhîm Ḥusain, Tafsîr Fî Ẓilal al-Qur`an, al-Qâhirah:
Dâr al-Syurûq.
Syibromalisi, Faizah Ali, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012-2013. Jakarta: Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2012.
‘Ulwan, ‘Abd Allâh Naṣîḥ, Niẓâm al-Riqq fî al-Isâm, Kairo: Dâr al-Salâm, 2003.
Utsmani, Ahmad Rofi’, Amin Husein Nasution, Ensiklopedia Tokoh Muslim.
Bandung: Mizan Pustaka. 2015.
Wahid, Abdul Hakim, “Perbudakan dalam Pandangan Islam,” Nuansa, Vol. VIII,
No. 2 (Desember 2015): h. 141-154.
Wikipedia, “Undang-undang Hammurabi” diakses pada 3 April 2019 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/undang-undang_hammurabi