AL-QUR’AN DAN PROBLEMA PENAFSIRAN - tukarpendapat file · Web viewPENGANTAR STUDI AL-QUR’AN....
Transcript of AL-QUR’AN DAN PROBLEMA PENAFSIRAN - tukarpendapat file · Web viewPENGANTAR STUDI AL-QUR’AN....
PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN
Kajian Praktis Untuk Penalaran
Oleh M. Nawawi
Al-qur’an adalah petunjuk langsung Allah untuk manusia yang
disampaikan kepada Rasululluah Muhammad melalui malaikat Jibril. Menurut
Sayid Husen Nasr, al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
Pertama, sebagai doktrin yang memberi petunjuk dan pngetahuan tentang
struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin ini mengandung a) .
petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at. Yang mengatur
kehidupan manusia sehari-hari. b). metafisikan tentang Tuhan , kosmologi
tentang alam semesta dan kehidupan akhirat. c). penjelasan tentang kehidupan
manusia , tentang sejarah dan eksistensi manusia. d). pelajaran yang diperlukan
manusia unt5uk mengetahui siapa dirinya, dimana ia berada dan kemana akan
pergi.
Kedua, berisi petunjuk yang menyerupai sejarah ringkas perjalanan
manusia; mulai dari rakyat biasa, raja-raja, orang suci dan orang-orang yang
membangkang. Walaupun berisi sejarah tetapi ia merupakan petunjuk moral yang
ditujukan kepada jiwa manusia.
Ketiga, al-Qur’an berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bahasa
modern, sesuatu yang dalam istilah agama disebut mukjizat. Oleh karena
diturunkan oleh Allah, al-Qur’an mengandung kekuatan , yang menyerupai ‘
azimat’. Ayat-ayatnya seakan memiliki kekuatan magis yang diperlukan sebagai
obat dan penghubur bagi manusia.
1
Salah satu petujuk al-qur’an adalah sebagai dalil “fiqih”. Bersama dengan
hadist Rasul ia menjadi “dalil munsyi’ “ (panduan yang mencipta). Di sebut
demikian, karena keberadaannya tidak memerlukan dalil lain kecuali dirinya
sendiri. Sedangkan dalil selaqin al-Qur’an dan Hadits disebut “ dalil mudlhir”
( dalil yang menyingkap).
Pentingnya penafsiran
Telah disepakati oleh jumhur ulama bahwa al-Qur’an merupakan “ kalam
Allah” yang azali dan abadi. Demikian pula telah disepakati bahwa “Hakikat al-
Quir’an “ bukanlah teks yang tertulis di antara dua sampul Mushaf . Al-Qur’an
adalah Kalam Alah yang tanpa huruf dan tanpa suara.
Kemudian apa bedanya anntara “kalam Allah “ dengan teks kalam Allah.
Pertanyaan ini muncul karena yang dihadapi dalam tafsir adalah “teks tentang al-
Qur’an. Itulah sebabanya maka Teks al-Qur’an disebut sebagai dalil/ tanda/ayat
al-Qur’an.
Dalam sejarah teologi islam telah terjadi perdebatan mengenai masalah ini
antara penganut Muktazilah dan Asy’ariyah . Bagi Muktazilah , kalam Allah
merupakan “makhluq” ciptaan Allah. Sedang menurut Asy’ariyah, kalam Allah
itu abadi sebagai bagian dari sifatNya. Dari perdebatan ini maka disimpulkan
bahwa teks al-Qur’an memiliki dua dimensi: Historis dan Transhistoris. Ia
menjembatani jarak antara Tuhan yang azali dan maha Mutlaq dengan manusia
yang relatif. Tuhan hadir menyapa manusia dibalik hijab kalamNya kemudia
kalam itu menyejarah melalui teks tentang kalamNya.
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang Maha Mutlaq , kemudian
direkamkan kepada Manusia (Muhammad Saw). Lalu menjilma kedalam lisan
arab yang bersifat budaya. Maka untuk menjamin kebenaran kalam Allah itu,
Nabi Muhammad haruslah Ma’shum dan ummi.
2
Para Teolog sepakat bahwa bahasa wahyu pada mulanya bukanlah bahasa
tulis, tetapi karena harus dikomunikasikan kepada manusia , maka harus
dituangkan ke dalam simbul-huruf yang bisa difahami oleh manusia, berupa teks
yang bersifat historis. Sebuah teks itu pada dasarnya adalah pelembagaan
simbolik dari sebuah wacana, dan sekaligus menjembatani sebuah jarak. Apabila
hal ini dikaitkan dengan al-Qur’an , maka teks al-Qur’an akan menjadi jenbatan
antara Nabi dan para sahabatnya serta generasi muslim dibelakang dengan corak
budaya dan latar belakangnya yang beragam. Oleh karena itu penafsiran
terhadaop al-qur’an mutlaq diperlukan , sebab jika peristiwa wacana itu
dilembagakan kedalam teks, maka banyak aspek fondamentalnya yang hilang.
Al-Qur’an adalah kalam Allah , Sedang teks al-Qur’an yang berbahasa
Arab, yang dijadikan wahananya, pada tataran tertentu adalah termasuk kategori
budaya . Maka konsekuensinya maksud al-Qur’an secara lengkap belum tentu
dapat terekam secara jelas kedalam teks. Untuk itu diperlukan penafsiran.
Lebih dari itu , watak teks al-Qur’an banyak yang bersifat garis besar
(mujmal), ambigu (musytarak), majaz, kinayah dan sebagainya. Hal ini
mendorong dilakukannya penafsiran supaya lebih bisa difahami sesuai dengan
tujuannya. Penafsir yang paling otoritatif adalah Rasulullah Muhammad saw.
Oleh karena itu hadits Nabi dan sunnahnya (termasuk didalamnya adalah asbab
nuzul) memiliki peran sangat penting bagi penefsiran al-Qur’an. Sunnguh-pun
demikian, berhubung al-Qur’an itu bersifat universal dan untuk sepanjang zaman
serta tempat, dan untuk semua bangsa, ( dan pada saat yang sama zaman itu
bersifat dinamis dan tranformatif, yang mengalami perubahan), maka penggunaan
hadits dan sunnah sebagai penafsir haruslah dipahami sesuai dengan konteksnya.
Antara Kandungan Ma’na yang Qath’I dan Dhanni.
Term qoth’I dan dhanni sebenarnya merupakan wacana ushul fiqih.
Istilah yang mirip sebagai wacana tafsir biasanya menggunakan term muhkam
3
dan mutasyabih. Akan tetapi berhubung istilah qath’I dan dhanni ini merupakan
bagian dari media untuk memahami al-Qur’an, maka tidak ada salahnya untuk
dimasukkan dalam bagian pembahasan al-qur’an.
Istilah qath’I dan dhanni ini masing-masing memiliki dua bagian; yaitu
dari segi kebenaran sumber (tsubut/wurud) dan dari segi kandungan makna
(dilalah). Dari segi kebnaran sumber , telah disepakati bahwa al-qur’an adalah
qath’I al-tsubut. karena diriwayatkan secara muitawatir sejak genarasi awal
hinggi kini, dan tidak ada perdebatan sama sekali. Oleh katrena itu tidak perlu
dibicarakan lebih rinci.
Yang menjadi persoalan adalah dari sisi kandungan maknanya. Meskipun
kebenaran sumber al-Qur’an disepakati sebagai qath’I (pasti), namun dari sisi
kandungan maknanya , lebih banyak yang bersifat dhanni (relatif). Hal ini
disebabkan antara lain oleh karakter al-Qur’an yang bersifat unifersal dan berlaku
untuk sepanjang zaman dan ruang. Serta berlaku uintuk seluruh suku bangsa
disetiap generasi.
Dalam kaitan ini Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer dari
al-Jazair, menyatakan : Kitab suci itu (al-Qur’an) mengandung kemungkinan
makna yang tak terbatas. Ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan
pada tingkat dasariyah eksistensi yang absolut. Ia dengan demikian selalu
terbuka , tak pernah tertutup hanya pada satu penafsiran makna.
Senada dengan pemikiran ini , Abdullah Darraz, seorang ulama bersar di
al-Azhar menyatakan: Apabila anda membaca al-Qur’an, makna akan jelas
dihadapan anda, tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, maka anda akan
menemukan makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu, …..
Semuanya benar . Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda. Dan tidak mustahil jika anda mempetrsilahkan orang lain
memandangnya , maka dia akan melihat lebih banyak lagi dari apa yang anda
lihat.
4
Dari penjelasan ini , kita dapat memaklumi pendapat yang menyatakan
bahwa setiap Nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kandungan makna).
Bagi pengucapnya, redaksi itu hanya mengandung satu arti saja . Hal ini disebut
sebagai dilalah haqiqiyah. Sedang bagi para pendengar atau penbaca, maka
dalalah (kandungan makna) suatu redaksi dalalahnya bersifat relatif, sebab
mereka tidak bisa memastikan maksud pembicara, dan karena pemahaman
mererka selalu dipengaruhi oleh banyak faktor.. Kandungan makna yang kedua ini
disebut sebagai dilalah nisbiyah.
Menurut sebagian ulama,, misalnya Abdul Wahab Khallaf dan kawan-
kawannya, menyatakan bahwa ayat ( atau pernyataan lainnya ) yang Qath’I al-
Dilalah adalah ayat (atau nash lain ) yang menunjuk kepada makna tertentu dan
tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak memberi peluang untuk
dipahami selain makna tersebut. Salah satu contoh adalah pernyataan al-Qur’an
dalah surat al-Nur ayat 2
جلدة مائة منهما واحد كل فاجلدوا والزاني الزانيةungkapan seratus kali jilid dalam ayat di atas tidak bisa dipahami lain kecuali
menunjuk kepada jumlah tertentu yaitu seratus.
Sementara al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menyatakan bahwa jarang
sekali ada suatu yang pasti dalam dalam dalil-dalil syara’( jika berdiri sendiri-
sendiri ). Dalil syara’ yang memiliki kepastian makna (qath’I al-dilalah) muncul
dari sekumpulan dalil dzanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna
yang sama. Hal ini akan memberikan kekuatan sehingga dalil tersebut memiliki
kepastian, semacam mutawatir maknawi.
Salah satu contoh adalah pernyataan al-Qur’a, “ الصالة ,misalnya “ أقيموا
maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya
berbentuk perintah, sebab banyak ayat yang menggunakan kalimat perintah tetapi
dinilai bukan sebagai perintah wajib. Kepastian makna tentang wajibnya shalat
tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain (yang walaupun
5
memiliki konteks yang berbeda) yang disepakati meiliki kemungkinan makna
yang sama. Misalnya
a. perintah shalat kepada setiap mukallaf dalam kaadaan apa saja, baik
sakit, sehat, dalam kaadaan damai atau perang
b. adanya dalil yang memuji kepada orang-orang yang menjalankan
shalat
c. adanya dalil yang mengecam dan mengancam mereka yang lalai atau
meninggalkan shalat
d. pengalaman yang diketahu secara turun-temurun sejak zaman Nabi,
sahabat, tabi’in dan seterusnya, yang tidak pernah meninggalkan
shalat.
Kumpulan nash sebagaimana di atas itulah yang memberikan makna
qath’I . Biasanya para ulama menunjuk kepada ijma’. Karena jika mereka
mengambil nash secara parsial (sendiri-sendiri dan terpisah antara nash yang satu
dengan yang lain) akan timbul peluang untuk memunculkan makna lain yang
berbeda.
Satu catatan bahwa suatu nash itu bisa mengandung makna yang pasti
(qath’I) dan makna relatif (dzanni) dalam waktu yang sama . Sal;ah satu contoh
adalah ungkapan ayat 6 al-Maidah
الكعبين إلى وأرجلكم برءوسكم وامسحوا para ulama sepakat bahwa mengusap kepala ketika berwudlu itu wajib, tetapi
mereka berbeda pendapat dalam menetapkan batas –batas yang dibasuh.
Dari penjelasan ini bisa dipahami mengapa terajadi perbedaan dalam penafsiran
dan dalam menetapkan keputusan hukum.
Pembagian Ayat Makiyah dan Madaniyah
Ayat –ayat al-qur’an diturunkan secara berangsur-angser aelama kurun
waktu 23 tahun . Ada yang turun ketikan Nabi masih berada di Makkah, dan ada
6
yang turun kertika Nabi telah berada di kota Madinah. Perbedaan waktu turun ini
menyebabkan adanya klasifikasi ayat menjadi ayat makkiyah dan ayat
madaniyah.
Ayat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah disebut sebagai
ayat Makkiyah. Sedangkan ayat yang turun sesudah Hijrah ke Madinah dinamai
ayat madaniyah, walaupun ayat bersangkutan tidak turun di Madinah; misalnya
ayat yang turrun di Makkah ketiha peristiwa Fathu Makkah dan ketika hajji
wada’.
Ayat makkiyah biasanya membicarakan masalah keimanan dan aqidah.
Sedangkan ayat madaniyah lebih banyak membicarakan masalah hukum (fiqih).
Permbagian seperti ini menyebabkan sebagian ulama’ tidak mau menggunakan
ayat makkiyah sebagai dalil ketentuan hukum (fiqih), padahal dalam kelompok
ayat makkiyah terdapat ayat yang berbicara mengenai hukum. Salah satu
contohnya adalah ayat 141 al- An-am. Surat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas
merupakan kelompok Makkiyah yang turun sekaligus.
والنخل معروشات وغير معروشات جنات أنشأ الذي وهو
متشابه وغير متشابها والرمان والزيتون أكله مختلفا والزرع
ال إنه تسرفوا وال حصاده يوم حقه وءاتوا أثمر إذا ثمره من كلوا
) المسرفين )141يحب
Ayat di atas oleh sebagian ulama’ dijadikan sebagai dalil utama untuk
menjelaskan bahwa kewajiban zakat mencakup semua jenis tanaman. Namun
sebagian ulama yang lain mengabaikan ayat ini sebagai dalil zakat, dengan alasan
karena ia turun sebelum hijrah, padahal kewajiban zakat baru ditentukan ketika
Nabi setelah hijrah ke Madinah.
7
Dari keterangan ini dipahami mengapa diantara para ulama berbeda pendapat
dalam mengambil keputusan. Hal ini tak lain karena dalam penafsiran ada prolem
akibat pembagian ayat makkiyah dan madaniyah.
Sebab Turun (Asbab al-Nuzul)
Ayat-ayat al-qur’an yang turun secara bertahab tersebut ada yang
diturunkan tanpa sebab, misalnya seperti ayat yang memerintahkan shalah,
pembayaran mahar perkaninan dan sebagainya. Tetapi banyak juga ayat-ayat yang
diwahyukan guna menjawab persoalan kongkrit yang dihadapi masyarakat.
Misalnya dalam perang uhud, seorang sahabat Syahid (bernama Sa’ad ibn Rabi’)
meninggalkan seorang istri dan dua anak perempuan serta sejumlah harta.
Beberapa waktu setelah peristiwa ini, saudara laki-laki Sa’ad datang mengambil
kekayaan Saad. Sesuai dengan adat Jahiliyah , janda Sa’ad dan anak-anaknya
tidak memperoleh bagian apapun.. Oleh karena itu Janda Sa’;ad melaporkan
peroistiwa itu kepada Nabi. Rasulullah kemudian bersabda : Tungguilah Allah
pasti akan menurunkan wahyu untuk menyelesaikan masalah anda. Maka
turunlah ayat 11-12 surat al-Nisa’ yang menjeladskan hak waris anak, orang tuan,
suami dan istri. Peristiwa yang berhubungan dengan pewahyuan suatu ayat ini
populer dengan sebutan asbab al-nuzul.
Dari penjelas di atas terkesan bahwa ada ayat yang memiliki sebab nuzul
dan sebagian ayat ada yang tidak memiliki sebab nuzul. Pendapat dan kesan
seperti ini oleh sebnagian ulama, terutama kalangan kontemporer. tidak
disepakati. Kelompok yang terahir ini berpendapat bahwa langsung atau tidak ,
ayat al-qur’an itu pasti diturunkan untuk menghadapi kehidupan, jalam pikiran,
tradisi masyarakat waktu itu, dan realitas sosial yang ada. Pendapat yang kedua ini
agaknya ingin meletakkan al-qur’an dalam setting yang lebih luas, yaitru adat
istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Arab zaman Nabi. Jadi al-qur’an turun
tidak dalam kevakuman, tetapi dal;am konteks yang riil. Mengikuti jalan pikiran
kedua ini , maka dengan memperhatikan latar belakang sosial budaya masyarakat
Arab waktu itu, akan diperoleh pemahaman tentang illat atau hikmah yang tersirat
8
dari suatu ayat. Dengan demikian akan membatu para ulama’ dalam menerapkan
ajarannya secara kontektual. Bahkan ada kemungkinan dilakukannya perubahan
ketentuan formal , jika sekiranya aturan tersebut sudak tidak sesuai lagi dengan
illat dan hikmah yang ingi dicapai oleh ayat tersebut.
Nasih Mansukh serta Ayat yang Menerangkan dan Ayat yang di Terangkan
Diturunkannya al-qur’an secara bertahab menyebabkan adanya perbedaan
waktu turun. Hal ini menuntut perlunya pengetahuan tentang mana ayat yang
turun pertama dan mana ayat yang turun kemudian (belakangan). Mana ayat yang
diterangkan dan mana ayat yang menerangkan.
Menurut sebagain ulama pengetahuan tentang tertib turunnya ayat ini
penting karena diperlukan sebagai dasar menentukan mana ayat yang nasikh dan
mana ayat yang mansukh. Tetapi menurut sebagian ulama’ lainnya, pengetahuan
tentang tertib turunnya ayat ini diperlukan bukan untuk kepentingan pembatalan,
nemun untuk kepentingan mana ayat yang diterangkan dan mana ayat yang
menerangkan.
Term nasikh-mansukh ini diperdebatkan oleh kalangan ulama. Sebagain
menyatakan bahwa dalam al-qur’an terdapat ayat yang dinaskh hukumnya.
Pendapat ini mengambil dalil ayat beriku :
أن تعلم ألم مثلها أو منها بخير نأت ننسها أو ءاية من ننسخ ما
) قدير شيء كل على البقرة)106اللهSementara sebagian ulama yang menolak adanya nasih-mansukh dalam al-Qur’an
menyatakan bahwa pembatalan hukum Allah akan menimbulkan satu dari dua
kemustahilan-Nya, yaitu a) ketidaktahuan sehingga Dia perlu mengganti hukuim
yang lain; b)kesia-siaan. Hal ini mestahil bagi Allah, sebab dalam al-qur’an tidak
ada kebatilan sama sekali . Firman Allah dalam surat Fusshilat
9
) حميد حكيم من تنزيل خلفه من وال يديه بين من الباطل يأتيه ال42(
Secara etimologi, makna nasakha bisa berarti pembatalan, penghapusan,
pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan , pembatasan, dan
penulisan. Sedangkan secara terminologi pengertian Naskh adalah sebagai
berikut:
Bagi Ulama’ Mutaqaddimin (yang hidup pada abad I-3 H) mendefinisikan
sebagai beriku::
a) pembatalah hukum yang ditretaplkan terdahulu oleh hukum yang datang
kemudian;
b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian;
c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar ;
d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu oleh penjelasan yang datang
kemdian.
Definisi ini kemudian dipersrempit oleh ulama Muta’akhirin hanya
menyangkut pembatalah hukum yang datang terdahulu oleh hukum yang datang
kemudian.
Untuk menjembatani antara dua pendapat ektrin antara yang menolak
dengan yang menerima nasih mansukh, terdapat pendapat yang moderat. Merreka
berpendapat memang terdapat naskh dalam al-Qur’an, tetapi pengertiannya yang
dipahami adalah pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain. Artinya bahwa
semua ayat al-qur’an tetap berlaku, karena tidak ada kontradeksi. Yang ada
hanyalah penggantian hukum bagi madsyarakat atau orang tertentu karena
perbedaan kondisi. Maka ayat hukum yang tidak berlaku bagi masyarakat tertentu,
akan tetap berlaku bagi masyarakat lain yang kondisinya sama dengan masyarakat
semula. Jadi semua ayat tetap berlaku sesuai dengan koteks masing-masing.
10
Salah satu ayat yang bisa dijadikan contoh adalah tentang pemberlakuan
larangan hamer.
للناس ومنافع كبير إثم فيهما قل والميسر الخمر عن يسألونك
..… البقرة نفعهما من أكبر 219وإثمهما
ما تعلموا حتى سكارى وأنتم الصالة تقربوا ال ءامنوا الذين ياأيها
النساء…. 43تقولون
رجس واألزالم واألنصاب والميسر الخمر إنما ءامنوا الذين ياأيها
) تفلحون لعلكم فاجتنبوه الشيطان عمل المائدة) 90منAyat –ayat ini menurut pendapat yang tetahir tadi semuanya berlaku pada
konteksnya masing-masing. Namun menurut pendapat yang setuju adanya saakh,
maka ayat yang berlaku hukumnya hanyalah ayat yang tetahir.
Al-Qur’an Sebagai Dalil Fiqih
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa salah satu petunjuk al-qur’an al-
qur’an adalah sebagai dalil (panduan) dibidang fiqih. Bersama dengan sunnah
Rasul, al-qur’an disebut sebagai dalil munsyi’(dalil yang mencipta). Disebut
demikian kartena keberadaannya sebagai dalil tidak tergantung pada dalil yang
lain, selain dirinya sendiri. Berbeda dengan dalil lain , seperti qiyas istihsan dll,
dalil –dalil yang kedua ini keberadaannya tergantung kepada dalil al-qur’an damn
sunnah Rasul. Oleh karena itu disebut sebagai dalil mudhhir (dalil turunan / dalil
yang menyingkap)
Para ulama sepakat bahwa tidak semua ayat al-qur’an bisa digunakan
sebagai dalil fiqih. Jadi ada ayat hukum dan ayat non hukum. Dalam kaitannya
dengan pembahasan ini perlu diingat bahwa walaupun pembagian ayat ahkam dan
bukan ayat hukum ditemukan (diisyaratkan) dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat
7 :
11
منه الكتاب عليك أنزل الذي محكمات هو الكتاب ءايات أم هن
تشابه ما فيتبعون زيغ قلوبهم في الذين فأما متشابهات وأخر
الله إال تأويله يعلم وما تأويله وابتغاء الفتنة ابتغاء منه
يذكر وما ربنا عند من كل به ءامنا يقولون العلم في والراسخون
) األلباب أولو )7إال
tetapi pembagiannya secara jelas tidak ditemukan dalam al-Qur/an ataupun
sunnah Rasul Oleh karena itu pembagian secara rinci mengenai ayat ahkam
merupakan upaya ijtihad para ulama’. Hal ni terbukti dengan adanya ketidak
sepakatan diantara mereka . Imam al-Ghazali menyatakan bahwa ayat ahkam
hanya sekitar 500 ayat. Sedangkan bagi Abdul Wahab Khallah jumlah ayat hukum
hanya sekitar 368 ayat.
Dalam surat al-Baqarah misalnya para ulama berbeda dalam menentukan
jumlah ayat hukum. Al-Jasshas (pengikut madzhab Hanafi w. th 370 H)
menyatakan bahwa jumlah ayat hukum dalam surat al-Baqarah terdapat 140 ayat.
Sementara Ibnu al-Arabi (pengikut madzhab Maliki w. th. 543 H) menyatakan
bahwa jumlah ayat hukum dalam surat al-baqarah terdapat 86 ayat.Dibawah ini
ada dua ayat yang secara konkrit bisa dijadikan bukti perbedaan penentuan.
وأرنا لك مسلمة أمة ذريتنا ومن لك مسلمين واجعلنا ربنا
) الرحيم التواب أنت إنك علينا وتب البقرة) 128مناسكناتعبدون ما لبنيه قال إذ الموت يعقوب حضر إذ شهداء كنتم أم
وإسماعيل إبراهيم ءابائك وإله إلهك نعبد قالوا بعدي من
) مسلمون له ونحن واحدا إلها البقرة)133وإسحاق
12
Kedua ayat pada surat al-baqarah di atas menurut al-Jasshas sebagai ayat
hukum, sedang menurut Ibnu al-Arabi , bukan sebagai ayat hukum. Hal ini
menjadi bukti bahwa penentuan ayat hukum akan sangat bergantung kepada
kemampuan dan kapasitas para mujtahid. Jadi pembagian ayat hukum dengan ayat
bukan hukum merupakan produk dari penafsiran para mujtahid. Yang menjadi
pertanyaan adalah apa dasar atau keriterian yang dijadikan ukuran oleh para
ulama’ untuk menentukan sutu ayat sebagai kelompok ayat hukum. Mengapa
dalam hal ini terjadi perbedaan.
Pengantar Kuliah Pada
STAI Qomaruddin
13
PENGANTAR STUDI HADITS
Oleh; M. Nawawi
Dari berbagai definisi tentang hadits Nabi saw, dapat disimpulkan bahwa
hadits Nabi / hadits Rasul adalah penuturan (periwayatan verbal ) sahabat
tentang Rasulullah, baik mengenai perkataan, perbuatan, atau taqrirnya, bahkan
juga tentang sifat-sifatnya.
Jika kata-kata yang digunakan para sahabat itu merupakan redaksi yang
digunakan Nabi, maka dinamakan penuturan dengan makna (riwayat bi al-lafdzi).
Apabila yang dituturkan itu merupakan kata-kata (misalnya pidato) Nabi, maka
boleh jadi penuturan itu persis kata-kata Nabi, Akan tetapi bisa juga penuturan
sahabat itu menggunakan redaksi atau kalimat sahabat sendiri. Penuturan dengan
cara yang terahir ini dinamakan riwayat bi al-makna (meskipun yang dituturkan
sahabat itu bersumber dari qawlun Nabi).
Selanjutnya jika penuturan sahabat tentang perbuatan, taqrir, kebiasaan
dan sifat-sifat Nabi, maka tentu periwayatan ini merupakana riwayat bi al-
makna., karena para sahabat menceritakan hasil penyaksian /pandangan mata
tentang sikap dan perbuatan Rasulullah.
Secara umum istilah hadits nabi dengan istilah sunnah Nabi itu identik,
tetapi untuk kepentingan fiqih, sebagian ulama ada yang membedakan. Sebagian
ulama membedakan antara sunnah Rasul dan hadits Rasul. Sunnah adalah
perbuatan/Sikap Nabi yang memiliki nilai hukum, atau dalam ungkapan lain
sunnah adalah prbuatan/sikap Nabi yang dapat digunakan sebagai dalil hukum
(termasuk yang tidak dituturkan secara verbal). Sedangkan hadits merupakan
keseluruhan periwayatan (verbal) tetang Nabi (Rasul), baik yang bernilai hukum
maupun tidak.
14
Perbedaan ini menurut mereka memiliki arti sangat penting , karena
sunnah Nabi (terutama yang bersumber dari perbuatan dan sikap Nabi) ,
disamping ada yang diriwayatakan dengan kata-kata, ada juga yang diriwatkan
dengan perbuatan sahabat. Maksudnya sahabat Nabi di Madinah mengamalkan
langsung perbuatan/sikap Rasul, kemudian dilanjutkan para tabi’in, tanpa ada
penjelasan verbal bahwa amal itu sumbernya dari Nabi.
Periwayatan dengan perbuatan (tanpa ada penjelsan kata-kata) pada masa
sahabat dan tabi’in merupakan sesuatu yang sangat mungkin, sebab jarak antara
Nabi dengan generasi sahabat dan tabi’in masih sangat dekat. Sebagai sahabat,
mereka sangat memahami pribadi Rasul, mereka telah melakukan penyerapan
nilai-nilai dan kebijakan yang telah dilakukan Nabi. Oleh karena itu maka prilaku
sahabat dapat dinyatakan sebagai cerminan sunnah Nabi. Akan tetapi lama
kelamaan sesudah berselang dua generasi , periwayatan melalui perbuatan (tanpa
riwayat verbal) ini pertanggungjawabannya sulit dilakukan, karena dihawatirkan
terjadia pergeseran orisinalitas / keaslian sunnah . Oleh karena itu maka sejak
generasi ketiga (tabi’-tabi’in) terdapat ulama’ yang menetapkan bahwa setiap
amal/tradisi yang dinyatakan sebagai sunnah Nabi harus dudukung dengan
periwayatan verbal (hadits). Praktik / amaliyah yang tidak didukung penuturan
verbal (hadits) , tidak dapat diterima sebagai sunnah Rasul. (dan maksimal
dianggap sebagai hasil ijtihat para sahabat atau tabi’in). Sejak saat ini sunnah
amaliyah selalu dikaitkan secara ketat dengan hadits, sehingga ahirnya sunnah
nabi menjadi identik dengan hadits Nabi.
Pembagian Hadits Qawli dan Fi’li
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa hadits Nabi itu ada yang bersifat
qawli dan fi’li. Hadits qawli adalah penuturan tentang semua ucapan, seperti
perintah, larangan atau pidato Rasul dalam berbagai kesempatan, yang
berhubungan dengan tasyri’ (legislasi). Misalnya :
15
قال الرزاق عبد أخبرنا قال الحنظلي إبراهيم بن إسحاق حدثنا
يقول هريرة أبا سمع أنه منبه بن همام عن معمر قال أخبرنا
حتى أحدث من صالة تقبل ال وسلم عليه الله صلى الله رسول
فساء يتوضأ قال هريرة أبا يا الحدث ما حضرموت من رجل قال
البخاري – اخرجه ضراط أو
Surat-surat beliau , baik surat perjanjian (misalnya Piagam Madinah atau
Hudaibiyah); atau surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernurnya di daerah
dan surat-surat lainnya, juga dianggap sebagai hadits qawli.
Sedang hadits fi’li adalah penuturan para sahabat tentang semua perbuatan
Rasulullah yang ada hubungannya dengan tasyri’, misalnya cara beliau shalat,
cara berwudhu’ dan sebagainya. Termasuk kategori hadits fi’li adalah isyarat
beliau yang tidak diikuti kata-kata. Demikian pula sikap keengganan beliau
melakukan sesuatu.. Salah satu contohnya :
عن أسلم بن زيد عن سفيان حدثنا قال يوسف بن محمد حدثنا
عباس ابن عن يسار بن عليه عطاء الله صلى النبي توضأ قال
مرة مرة البخاري- وسلم اخرجهحدثنا قال محمد بن يونس حدثنا قال عيسى بن حسين حدثنا
عن حزم بن عمرو بن بكر أبي بن الله عبد عن سليمان بن فليح
زيد بن الله عبد عن تميم بن عليه عباد الله صلى النبي أن
مرتين مرتين توضأ البخاري- وسلم الخرجه
Para ulama’ sepakat bahwa hadits qawli meiliki nilai penuh sebagai dalil,
artinya diamalkan sesuai dengan isi kandungan yang dimaksud.
16
Sedangkan mengenai hadits fi’li , oleh para ulama dibedakan menjadi du
kelompok. Pertama, hadits fi’li yang merupakan penjelasan ayat al-qur’an atau
hadits qawli.. Kedua , hadits fi’li yang bukan merupakan penjelasan terhadap ayat
al-qur’an atau hadits qawli., seperti cara beliau berjalan (agak membungkuk dan
cepat), model rambut beliau yang agak panjang, jenis baju dan tutup kepala yang
dikenakan dll..
Terhadap hadits fi’li kelompok pertama , pada prinsipnya para ulama
sepakat bahwa hukum perbuatan itu sesuai dengan isi kandungan al-qur’an atau
hadits qawlinya. Tetapi dalam praktik ternyata tetap terjadi perselisihan pendapat
di kalangan sahabat dan ulama, karena perbedaan penilaian atau karena perbuatan
itu dilakukan secara berulang-ulang dan ada perbedaan. Misalnya cara Nabi
Shalat adalah merupakan penjelasan dari hadits qawli :
أصل رأيتموني كما صلوا
Rasulullah shalat setiap hari berkali-kali melaksanakan shalat, baik fardlu
maupun sunnat, selama bertahun-tahun. Kadang-kadang beliau mengangkat
tangan (ketika takbir) sejajar dengan daun telinga, tetapi kadang pula mngangkat
tangan sejajar dengan dada. Sekali tempo Rasul membaca basmalah dengan
memelankan bacaan basmalah, tetapi kadang menjaherkan (mengeraskan)
basmalah. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, praktik mana yang harus diikuti. Ada yang berpendapat
bahwa terjadi nasih mansukh, sehingga yang mansukh tidak boleh dikerjakan lagi.
Tetapi ada yang berpendapat bahwa semua contoh Nabi (dengan segala perbedaan
yang ada) boleh dikerjakan mana suka.
Dalam surat al-ma’idah : 6 telah dijelaskan mana saja anggota badan yang
mesti dibasuh dalam berwudlu’. Kemudian Rasulullah menjelaskan dengan
tuntunan kongkritnya melalui contoh perbuatan. Berhubung perbuatan wudlu
yang dilakukan Rasul ini terjadi berulang-ulang selama bertahun-tahun, dan ada
17
perbedaan , maka dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat. Dalam surat
al-maidah : 6 telah disebut bahwa orang yang berwudlu harus mengusap
kepalanya, Dalam hal ini Rasulullah kadang mengusap seluruh kepala, tetapi
sering pula hanya mengusap umbun-umbunnya. Nah mana contoh Rasul yang
lebih afdhal dijadikan penjelas al-qur’an.
Sedangkan untuk hadits fi’li kelompok kedua, di kalangan para ulama
terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang menganggapnya bernilai
sunnat, ada yang menganggapnya bernilai mubah. Bahkan ada yang
menganggapnya bernilai wajib, sehingga mesti diikuti. Misalnya makan sepiring
secara rame-rame, ada yang menganggapnya sunnat dan ada pula yang menilai
mubah.
Otoritas Hadits Nabi
Islam sebagai ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw adalah
bersumber kepada wahyu Allah, yang terbagi atas wahyu yang terbaca (matluw)
dan wahyu yang tak terbaca (ghairu matluw). Wahyu yang terbaca dituangkan
dalam al-Qur’an al-Karim yang bersifat universal. Oleh sebab itu maka
pernyataan dan redaksinya banyak yang bersifat garis besar, sebagai ketentuan
dasar yang pokok dan berupa prinsip-perinsip. Itulah sebabnya maka ajaran ini
berlaku sepanjang masa sesuai dengan situasi dan kondisi zaman yang dihadapi.
Sebagai ajaran dasar yang berbentuk prinsip-prinsip, bahasa dan redaksi
yang dipilihnya banyak yang bersifat mujmal. musykil, khafi, am, mutlaq, atau
mitasyabih, yang masih memerlukan pejelasan , rincian dan contoh pelaksanaan.
Penjelasan lebih rinci terhadap ajaran pokok yang tertuang dalam al-Qur’an ini
yang paling otoritatif adalah oleh Syari (Allah) sendiri melalui wahyu juga, baik
yang terbaca atau tidak terbaca (ghoiru matluw) , yang disampaikan oleh utusan
Syari’ (Rasulullah).
18
Dalam Surat al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa kaum muslimin
diperintah menjadikan Rasul sebagai teladan. Al-Qur’an juga meminta Rasul agar
memutuskan persoalan kaum muslimun berdasar wahyu. Dengan demikian maka
jelas bahwa otoritas legislasi Islam adalah al-Qur’an. Akan tetapi meski demikian,
al-Qur’an juga menyatakan bahwa Rasul (Nabi) bertugas sebagai penafsir al-
Qur’an, mengumumkan wahyu, memberi pendidikan moral, mengajarkan al-
Qur’an dan hukmah (kearifan). Bahkan lebih dari itu, al-Quran menegaskan
bahwa kepatuhan kepada Rasul merupakan suatu kewajiban dan bukti keimanan.
Atas dasar penjelasan al-Qur’an ini maka dapat disimpulkan bahwa Rasul dengan
petunjuk-petunjuknya, bukan hanya penting bagi kaum muslimin, tetapi juga
sangat berarti bagi al-Qur”an sendiri. Tanpa petunjuk Rasul, al-Quran hampir
tidak dapat berbunyi dan tidak dapat dipraktikkan secara efektif. Itulah sebabnya
maka ketaatan kepada Rasul memiliki nilai sebanding dengan ketaatan kepada
Allah. Oleh karena itulah ummat islam sejak periode awwal, secara praktis telah
sepakat menerima dan mematuhi ajaran dan petunjuk Rasul.
Dari kenyataan sebagaimana diterangkan di atas, bahwa fungsi petunjuk
Rasul ( yang secara verbal dituturkan melalui hadits Nabi) menentukan dan
menjelaskan al-Qur’an, maka berarti al-Qur’an lebih bergantung kepada petunjuk
Rasul dari pada sebaliknya. Maka atas dasar penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hadits Nabi ( sebagai laporan verbal tentang penjelasan ,
petunjuk dan perilaku Nabi) secara konseptual dan garis besar merupakan hujjah
yang memiliki otoritas untuk digunakan sebagai dalil dan pedoman hidup.
Pertanyaan yang mungkin muncul kemudian ialah apakah semua hadits
sebagai penuturan sahabat tentang Nabi itu memiliki otoritas yang mengikat kaum
muslimin, padahal hadits Nabi itu ada yang berkaitan dengan gambaran fisik Nabi
dan pada saat yang sama Nabi itu memiliki kapasitas yang beragam,; misalnya
sebagai suami, ayah , panglima perang, bahkan sebagai seorang manusia (basyar).
Untuk menjawab problimatika ini sebagian ulama mengklasifikasikan hadits
menjadu dua bagian sebagai berikut :
19
1. Hadits Tasyri yaitu hadits-hadits yang bersifat sebagai penetapan ajaran
agama yang wajib ditaati
2. Hadits irsyadi, yaitu hadits –hadits yang bersifat bukan sebagai penetapan
ajaran agama, boleh ditiru sebagai anjuran.
Dengan kata lain hadits tasyri’ adalah hadits-hadits yang bersumber dari
kerasulan Muhammad saw. sedang hadits irsyadi adalah hadits yang bersumber
dari basyariyah Muhammad. Sebagai gambaran konkrit adalah pendapat Rasul
tentang tawanan Badar, mengawinkan bunga kurma, model pakaian dan masalah
pengetahuan tehnik duniawi lainnya.
Hubungan al-hadits Dengan al-Qur’an
Berbicara mengenai hubungan hadits dengan al-qur’an, paling tidak ada
dua hal yang mesti diperhatikan; yaitu fungsi hadits terhadap al-qur’an, dan
Hadits sebagai penafsir al-qur’an.
Fungsi hadits terhadap al-qur’an terbagi kedalam dua bidang; yaitu bidang
fiqih dan di luar fiqih. Untuk bidang fiqih hadits berfungsi :
1. konfirmatif / ta’kid. Fungsi yang pertama ini sifatnya hanya bersifat
penegasan kembali atas pelbagai ketentuan yang telah disinggung al-
qur’an.
2. Tafsil, semacam petunjuk pelaksanaan dan tehnisnya. Dalam kaitannya
dengan fungsi ini hadits Nabi biasanya hadir sebagai pentafsil ketentuan
yang mujmal, mentakhsis ayat-ayat yang “am (termasuk mengcualikan
beberapa ke umuman ayat), mentaqyid (membatasi) ketentuan yang
mutlak, dan sebagainya
3. Tasyri’, semacam ketentuan tambahan. Dalam hal ini hadits bisa
menambah hukum-hukum baru yang belum disebut dalam al-qur’an. Salah
satu contohnya antara lain mengenai jenis makanan (hewan) yang haram
20
dikonsumsi. Dalam surat al-Baqarah dan surat al-Ma’idah telah secara
gamblang dinyatakan jenis makanan yang diharamkan, tetapi dalam hadits
Nabi ada ketentuan tambahan beberapa jenis binatang. Misalnya binatang
buas . Perhatikan ayat dan hadits berikut:
به ه الل لغير lهل أ وما الخنزير lولحم lوالدم lالميتة lمl عليك مت حlر
ما إال lعl ب الس أكل وما lطيحة والن lترديةlوالم lوذةlوالموق lنخنقةlوالم
صlب الن على ذlبح وما lم يت فسق ذك lم ذلك باألزالم تستقسمlوا وأن
اليوم واخشون تخشوهlم فال lم دينك من وا lكفر ذين ال يئس اليوم
اإلسالم lمl لك lورضيت نعمتي lم عليك lوأتممت lم دينك lم لك lأكملت
غفlور ه الل فإن إلثم مlتجانف غير مخمصة في اضطlر فمن دينا
المائدة) 3رحيم(
ه الل لغير به lهل أ وما الخنزير ولحم والدم الميتة lمl عليك م حر ما إن
) رحيم غفlور ه الل إن عليه إثم فال عاد وال باغ غير اضطlر فمنالبقرة)173
عن شعبة حدثنا أبي حدثنا العنبري معاذ بن الله عبيد حدثنا
عباس ابن عن مهران بن ميمون عن رسول الحكم نهى قال
كل وعن السباع من ناب ذي كل عن وسلم عليه الله صلى الله
الطير من مخلب بن ذي سهل حدثنا الشاعر بن حجاج حدثني و
- مسلم رواه مثله اإلسناد بهذا شعبة حدثنا حماد
Jumhur ulama sepakat terhadap ketiga fungsi tersebut, namun dalam
praktik mereka berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut:
21
1. perbedaan dalam menetapkan apakah suatu ayat memang memerlukan
penjelasan atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa suatu ayat
sudah cukup jelas, dan karena itu tidak memerlukan penjelasan. Sedang
ulama lain menganggap sutu ayat tersebut masih belum jelas . karena itu
memerlukan penjelasan, maka harus dipadu dengan hadits. Salah satu
contohnya adalah ayat dalam al-Baqarah dan dan al-Maidah di atas.
Menurut madzhab Maliki ayat di atas cukup jelas dan tidak perlu di
jelaskan lagi. Maka semua hewan selain yang disebut dalam ayat di atas
hukumnya halal. Ulama Syafi’I menganggap ayat di atas memang cukup
jelas, tetapi masih boleh ditambah. Oleh karena itu keterangan hadits Nabi
yang melarang mengkonsumsi binatang buas menjadi ketentuan tambahan
yang harus dipatuhi. Bagi Madzhab Maliki, ketentuan hadits tidak bisa
mengalahkan al-Qur’an, karena itu maka larangan Nabi maksimal
hanyalah Makruh.
2. Perbedaan dalam menentukan hadits mana yang menjadi penjelas.
Maksudnya jika para ulama telah sepakat bahwa suatu ayat memerlukan
penjelasan , maka dalam menentukan hadits mana yang dijadikan
penjelasan, belum tentu terjadi kesepakatan. Salah satu contohnya adalah
tentang mengusap kepala ketika berwudlu. Mereka sepakat bahwa ayat
ini memerlukan penjelasan, tetapi ternyata mereka berbeda pendapat.
Sebagian menyatakan bahwa bagian kepala yang harus diusap adalah
keseluruhan, sedang lainnya hanya menetapkan sebagain kepala saja.
Keduanya sama-sama berdasar hadits Nabi.
3. Perbedaan dalam menilai kualitas suatu hadits (maqbul atai tidaknya),
sehingga ada hadits yang oleh sebagian ulama’ dinyatakan memenuhi
syarat untuk diamalkan, sedang menurut ulama lainnya dinyatakan belum
memenuhi syarat, karena itu, maka hadist tersebut diperselisihkan
pengamalannya. Contohnya antara lain adalah hadits tentang qunut subuh.
22
Sedangkan mengenai fungsi hadits diluar fiqih para ulama tidak
memberikan keterangan yang tegas dan jelas. Di dalam ilmu Kalam
dikembangkan pendapat bahwa nash hadits yang bisa dijadikan dalil aqidah
adalah yang bersifat qothi al-wurud., karena memiliki kekuatan mengikat. Dengan
demikian hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai dalil persoalan aqidah. Akan
tetapi jika sekiranya digunakan, maka tidak disalahkan.
Demikian pula hadits yang berkaitan dengan pengetahuan tehnis (misalnya
tentang tehnonologi atau kedokteran), Hadist hadits tentang persoalan tehnis ini
tidak mengikat, sebab kondisi zaman Nabi dengan perkembangan kaum muslimin
tidak otomatis sama. . Namun begitu jika dicoba untuk digunakan (diamalkan)
juga tidak disalahkan.
Tentang fungsi hadits sebagai tafsir al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Para ulama cenderung melihat al-qur’an sebagai satu kesatuan, dan hadits
sebagai suatu kesatuan pula . Maksudnya ayat al-qur’an itu bisa ditafsiri
oleh hadits mana saja yang cocok, tanpa memperhatikan waktu turunnya..
Para ulama cenderung merasa tidak penting memperhatikan dan
menjelaskan apakah hadits yang digunakan menafsirkan ayat itu
diucapkan (dilakukan) nabi setelah turunnya ayat bersangkutan atau
sebelumnya.. Dengan kata lain para ulama tidak keberatan menggunakan
hadits yang lebih awal dari turunnya ayat. Contohnya antara lain tentang
hukuman zina mukhson
2. Semua ulama sepakat bahwa keberadaan hadits (karena dzanni al-wurud)
lebih rendah dibawah al-qur’an (qath’I al-wurud). Sungguhmpun
demikian sebagian ulama dibawah kepeloporan Imam al-Syafi’I,
berpendapat bahwa sunnah (hadita) tidak boleh dinaskh oleh al-qur’an.
Sekiranya sebuah sunnah Rasul dinaskh oleh al-qur’an, maka (menurut al-
Syafi’I ) harus ada sunnah baru yang berfungsi menjelaskan ayat tersebut.
23
Dengan demikian , maka sunnah baru inilah yang menasakh sunnah yang
lama. Contohnya adalah perpindahan qiblat dari masjid al-Aqsha ke
masjid al-Haram. Dengan alasan ini Imam al-Syafii menentang
penasekhan hadits-hadits tentang rajam dengan ayat والزاني . … الزانية
Sekiranya hukuman rajam dihapus tentu ada pratik atau penjelasan Rasul.
Selama tidak keterangan apapun dari Nabi, maka hadits tidak bisa
dinasekh oleh al-qur’an.
Otentisitas Hadits Nabi
Sekiranya hadits Nabi telah tertulis secara sistematis pada zaman Nabi
tentu persoalannya tidak sekompleks yang kita rasakan. Sebenarnya tidak sedikit
para sahabat yang telah menulis hadits , namun sifatnya hanya untuk kepentingan
pribadi. Periwayatan hadits pada umumnya (saat itu) dilakukan melalui hafalan
dan ingatan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor :
a. bahan untuk keperluan tulis menulis sangat langka. Mushaf yang ditulis pada
masa Utsman saja hanya terdiri dari empat copy. Untuk itu menulis hadits
yang jumlahnya sanghat banyak tentu mengalami banyak hambatan.
b. Orang yang memiliki kemampuan baca-tulis amat sedikit sehingga
dihawatirkan terjadi percampuran dengan al-qur’an
c. Tradisi saat itu memngharuskan orang melakukan periwayatan dengan lisan,
Periwayatan dengan cara yang tidak lazim (misalnya dengan tulisan ) akan
dinilai kurang sempurna;
d. Pendokumentasian al-qur’an dipandang lebih mendesak di banding hadits
Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan pada abad II H. pada masa
pemerintahan Umar bin Abd Aziz (99-101 H) Namun penulisan secara sistematis
dan secara besatr-besaran baru terjadi pada abad III H. Di antara tokohnya adalah
Imam Bukhari ( 194 – 256 H) dan Imam Muslim ( w.261 H) Penilisan ini
dianggap selesai pada ahir abad IV H.
24
Oleh karena jarak antara masa Rasul dengan masa penulisan secara resmi
dan massal , relatif jauh , maka peran sanad (mata rantai perawi) yang
menghubungkan dengan para penulis hadits secara resmi (mukharrij), menempati
posisi yang amat penting. Karena itu harus menjadi perhatian serius. Dilihat dari
sudut ilmu sejarah , sanad dalam hal ini berfungsi sebagai sumber sejarah. Para
sahabat Nabi sebagai perowi pertama merupakan sumber primer, sedang para
prerawi generasi berikutnya merupakan sumber skunder. Keabsahan suatu hadits
tergantung kepada validitas dan kebenaran sumber tersebut. Oleh karena
demikian pentingnya kedudukan sanad hadits , maka ia disebut sebagai نصف Separuh lainnya terletak pada kebenaran. الدين matan hadits. Kritik terhadap
sanad disebut sebagai kritik eksternal, الخارجي sedang kritik matan disebut النقد
dengan istilah kritik internal. الداخلي . النقد Sebuah berita, khabar, atau
periwayatan yang dinyatakan sebagai hadits Nabi harus memiliki sanad, tanpa
sanad maka khabar itu tidak bisa disebut sebagai hadits Nabi.
Dari segi kuantitas sanad , hadits dibedakan menjadi mutawatir dan ahad
(masyhur, aziz dan gharib). Hadit mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan orang
banyak mulai pada thabaqat (generasi) pertama sampai pada para Mukharrij,
sehingga bisa dijakini bahwa periwayatan itu tidak mungkin bohong. Maka oleh
karena kekuatan (kebenaran) sumber (sanad) nya, hadits mutawatir disejajarkan
dengan al-quran sebagai dalil yang qath’I al-wurud. Dengan persyaratan sanad
yang cukup ketat tersebut diyakini , bahwa jumlah hadits mutawatir hanya sedikit.
Sedang hadits ahad adalah hadits yang sebagian atau keselutuhan sanadnya
belum mencapai jumlah mutawatir. Karena itu masik mungkin mengandung
kekliruan. Dan keberadaannya dinamakan dzanni al-wurud. Artinya kuat dugaan
berasal dari Rasul , namun tetap ada kemungkinan mengandung kekeliruan. Oleh
karena itu penelitian terhadap sanad dan rawi hadits menjadi amat penting.
Dari segi kualitas, kebenaran hadits mutawatir tidak perlu diragukan lagi.
Sedangkan hadits ahad dibedakan kedalam hadits shahih, hasan dan dha’if. Para
25
ulama berpendapat bahwa hadits sahih dan hasan bisa dijadikan dalil bidang
hukum. Sedangkan hadits yang dhaif, menurut sebagain ulama , masih bisa
ditolerir penggunaannya (hususnya di bidang keutamaan amal) dengan beberapa
syarat: 1). Tidak terlalu lemah, yakni tidak sampai pada tingkat mungkar atau
maudlu’; 2) memiliki beberapa jalur sanad, sehingga walaupun kesemuanya dhaif,
dianggap saling memperkuat; 3) masalah yang diatur oleh hadits tersebut bukan
masalah pokok, tapi masalah perbuatan sunnat atau makruh ( Fadlo’il al-a’mal).
Dalam kaitannya dengan keabsahan suatu hadits (yang berstatus ahad) perlu
digaris bawahi beberapa hal sebagai berikut :
1. Kaidah ketentuan kualitas hadits (shahih, hasan, dhaif) merupakan produk
ijtihad para ulama, dan pada masing masing ulama masih terdapat perbedaan,
baik dalam menentukan persyaratan pokok, maupun dalam menetapkan
persyaratan tambahan. Oleh karena itu dalam menetapkan penilaian terhadap
kualitas perawi dan hadits, belum bisa dihindari adanya perbedaan pendapat.
Imam al-Syafii cenderung menganggap sahih dan maqbul terhadap hadits
ahad yang sanadnya sambung dan perawinya orang baik. Tetapi Imam malik
masih menambahkan syarat lagi bahwa isi (matan) hadits ahad tidak boleh
bertentangan dengan amal (praktik) yang berlaku di Madinah
2. Hadits Nabi telah diamalkan sejak Rasulullah masih hidup, kemudian
diturunkan kepada generasi berikutnya secara lisan dan terpencar-pencar.
Artinya setelah Rasul wafat, para sahabat berpencar keberbagai wilayah dan
masing-masing menbawa hadits , kemudian hadits ini diturunkan kepada
orang-orang diwilayah masing-masing (beluim bisa disampaikan secara lintas
wilayah).Oleh karena itu hadits yang populer di suatu daerah, belum tentu
populer di daerah lain.
Sementara itu usaha pembukuan secara sistematis dan massal serta kritis, baru
dilaksanakan pada abad ke III H.sampai abad IV H., padahal ijtihad yang
dilakukan para ulama sudah dimulai pada abad ke II H.(sebelum semua hadits
selkesai dibukukan) . Karena itu ada hadits yang sebenarnya populeh di suatu
26
tempat , bisa jadi luput dan tidak dipakai oleh ulama di kawasan lain. Maka
dengan terbukukannya hampir seluruh hadits Nabi, selayaknya antara
pendapat para ulama’ madzhab didialogkan dengan hadits hadits yang telah
diteliti para Mukharrij.
Berdasar uraian di atas rasanya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa di
depan kita masih terbuka lapangan yang amat luas untuk melakukan kajian
pengembangan pemikiran di bidang hadits.
HADIST SHAHIH
Ulama’ hadits dari kalangan Mutaqaddimin (ulama’ hadits sampai abad III
H), sebenarnya belum mendefinisikan secara eksplisit (sharih) tentang hadits
Shahih. Mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang keriteria
hadist atau berita yang dapat dipegangi. Imam al-Syafi’I misalnya telah
menetapkan keriteria hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :
1. diriwayatkan oleh oleh para perawi yang
a. Dapat dipercaya pengamalan agamanya ;
b. dikenal sebagai orang yang jujur;
c. memahami dengan baik hadist yang diriwayatkannya;
d. mengetahui perubahan makna hadits apabila terjadi perubahan lafadnya;
e. mampu menyampaikan hadits secara lafdzi. Artinya tidak meriwayatkan
hadits secara makna;
f. terpelihara hafalannya, bila ia mereriwayatkan secara hafalan, dan
terpeliharacatatannya bila ia meriwayatkan melalui kitabnya;
g. apabila hadits yang diriwayatkan, juga diriwayatkan oleh orang lain, maka
bunyi hadits itu tidak berbeda;
h. terhindar dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis).
2. rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi,
27
Definisi hadits shahih baru dirumuskan secara eksplisit oleh para ulama’
hadits Muta’akhirin (ulama hadist yang hidup sejak abad IV H). Sungguhpun
demikian, pada umumnya definisi yang dibuat tersebut tetap mengacu kepada
keriteria yang telah ditetapkan oleh ulama’ Mutaqaddimin. Salah satu contohnya
adalah definisi yang dirumuskan oleh Ibnu Shalah (wafat 643 H) sebagai berikut :
Yaitu hadist yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi) ,
diriwayatjkan oleh perawi yang adil dan dlabit sampai akhir
sanad, tidah terdapat kejanggalan (syudzudz) dan tidak cacat
(‘illat)
Para ulama’ pada umumnya sepakat dengan definisi ini, akan tetapi hal ini
tidak berarti telah terjadi ijma’. Ibnu Katsir misalnya berpendapat bahwa hadits
shahih bukan hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja , melainkan
juga yang benrsambung hanya sampai pada tingkat sahabat, atau lainnya.
Sekalipun demukian Ibnu Katsir mengakui bahwa pendapat yang diikuti pada
umumnya adalah pendapat Ibnu Shalah.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pengertian hadits shahih
adalah :Hadits yang bersambung sanadnya , diriwayatkan oleh orang yang adil
dan dlabit, serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Pengertian ini telah mencakup persyaratan kesahihan sanad dan matan
sekaligus. Keriteria yang mengharuskan persambungan sanad, dan seluruh
perawinya harus adil serta dlabit adalah keriteria kesahihan sanad. Sedangkan
keriteria keterhindaran dari syudzudz dan illat, selain untuk keriteria kesahihan
sanad, juga sekaligus sebagai keriteria kesahihan matan. Atas dasar keriteria ini
maka para ulama’ hadits pada umumnya menyatakan bahwa hadits yang
sanadnya shahih belum tentu matannya juga shahih. Demikian pula sebaliknya ,
matan yang shahih belum tentu sanadnya shahih. Jadi kesahihan hadits tidak
hanya ditentukan oleh kesahihan sanad saja, melainkan juga ditentukan oleh
kesahihan matan. Itulah sebabnya, maka dalam menguji kesahihan seatu hadits
diperlukan keritik sanad dan juga kritik matan.
28
Keriteria atau persyaratan kesahihan hadits sebagaimana tersebut oleh para
ulama dinyatakan juga sebagai kaidah mayor, sebab masing-masing unsur di atas
masih memiliki persyaratan-persyaratan husus. Misalnya apa saja persyaratan
atau kereteria tentang adil, dlabit dll. Keriteria-keriteria khusus tersebut oleh
para ulama dinamakan sebagai kaidah minor.
Disusun Oleh:
M. Nawawi
KAIDAH MINOR
KESAHIHAN HADITS
1. Sanad Bersambung
Yang dimaksud sanad bersambung adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam
sanad tersebut, menerima riwayat hadits dari rawi terdekat sebelumnya.
Kaadaan ini berlangsung mulai sanad pertama hingga yang terahir. Artinya
seluruh rangkaian perawi sejak dari muharrij sampai pada rawi tingkat
sahabat yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam
periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung –tidaknya sanad para ulama biasanya
menempuh langkah-langkah berikut:
a. mencatat semua nama perawi yang terdapat dalam sanad hadits
b. mempelajari riwayat hidup masing-masing rawi, dengan bantuan kitab-
kitab Rijalul haditds, misalnya Kitab Tahdzib al-Tahdzib, susunan Ibnu
Hajar al-Atsqalani dll. Tujuannya untuk mengetahui sejarah hidup para
perawi, mulai dari tahun kelahiran, tempat kelahiran , tahun wafat dan
dimana tempatnya, Apakah semasa hidup mereka terkenal sebagai orang
yang adil, dlabit, atau sebaliknya. Ketika mereka belajar hadits, siapa
29
saja gurunya, dan ketika mereka mengajarkan hadits, maka siapa saja
muridnya. Apakah di antara mereka yang meriwayatkan hadits itu terjadi
pertemuan dan kesezamanan, atau sebaliknya dlsb.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat yang satu
dengan lannya. Misalnya, apakah kata-kata yang dipergunakan tersebut
berupa “Haddatsana, Haddatsani, Akhbarana, Akhbarani, ‘An, ‘Anna,
atau Sami’tu dll.
Suatu sanad baru dinyatakan bersambung apabila:
a. Seluruh perawi dalam sanad tersebut benar-benar Tsiqah (adil dan dlabit)
b. Antara masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya telah
benar-benar terjadi hubungan periwayatan, misalnya terbukti telah terjadi
pertemuan dalam satu generasi. Atau antara keduanya terdapat hubungan
sebagai guru dan murid.
c. Sanad hadits tersebut terbukti bersambung sampai kepada Nabi
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa unsur, atau kaidah minor Sanad
Bersambung, adalah muttashil, marfu’, dan mahfudz.
2. Perawi yang Adil
Kata adil menurur bahasa artinya proporsional, sedangkan secara istilah,
hususnya mengenai perawi hadits, dikalangan para ulama terdapat perbedaan
dalam menetapkan unsur dan kreterianya.
a. Imam al-Hakim menyatakan bahwa rawi yang adil adalah meraka yang
beragama islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiyat.
b. Ibnu Shalah menetapkan keriteria adil; beragama islam, baligh, beraqal,
memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasiq.
30
c. Ibnu Hajar al-Atsqalani menetapkan adil; dengan taqwa, memelihara
muru’ah, tidak melakukan dosa besar, tidak berbuat bid’ah, dan tidak
berbuat fasiq
d. Al-Tirmisi memberi keriteria adil sebagai orang yang memelihara
muru’ah, tidak berbuat dosa besar, menjauhi dosa kecil , tidak berbuat
bid’ah, dan tidak berlaku fasiq.
e. Ibnu Qudamah menentukan adil sebagai orang yang memelihara
muru’ah, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar dan menjauhi
dosa kecil.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil pemahaman bahwa unsur kaidah minor
tentang rawi yang adil adalah beragama islam, mukallaf, taat menjalankan
ketentuan agama, dan menjaga muru’ah.
Sebagai catatan, bahwa para ulama’ dalam menentukan rincian dari kaidah
minor ini juga masih terdapat perbedaan, misalnya dalam menetapkan
keriteria menjaga muru’ah, dlsb. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika
dikalangan para ulama terjadi perbedaan dalam menilai keabsahan suatu
hadits. Suatu riwayat yang telah dinyatakan shahih oleh sebagian ulama ,
boleh jadi ditolak oleh sebagian ulama yang lain. Dalam kaitannya dengan
sikap para ulama terhadap persyaratan keadilan rawi, dibedakan kedalam
tiga kelompok; yaitu kelompok mutasyaddidun (sangat ketat dalam
memberikan persyaratan), kelompok mutawassithun ( tidak terlalu ketat,
namun tidak longgar) dan kelompok mutasahhilun ( agak longgar dalam
menetapkan persyaratan).
3. Perawi yang Dhabit
Ada dua istilah dlabit; yaitu dlabith Shadr dan dlabith Kitabah
Dlabith shadr dperuntukkan bagi orang yang :
a. hafal dengan sempurna hadits yang diterimanya
31
b. mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepada
orang lain
c. faham dengan baik terhadap hadits yang dihafalnya
Sedang dlabith kitabah adalah istilah bagi mereka yang menerima dan
menyampaikan hadits melalui cara al-Qira’ah ala al-Syeikh atau dengan
cara ijazah. Kreterianya adalah :
a. memahami dengan baik tulisan hadits yang tetera dalam kitab yang ada
padanya
b. apabila terdapat kesalahan tulisan dalam kitab, maka ia mengetahui letak
kesalahannya
4. Terhindar dari Syudzudz
Ulama berbeda pendapat tentang pengertian istilah Syadz dalam
hadits. Menurut Imam al-Hakim al-Naisabury; Hadits syadz adalah hadits
yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi tidak ada perawi tsiqah
lainnya yang meriwayatakan hadits tersebut. Jadi menurut al-Hakim, suatu
hadits dinyatakan sebagai mengandung syudzudz apabila:
a. hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi saja
b. perawi yang sendirian itu bersifat tsiqah. Jadi hadits syadz adalah hadits
yang sanadnya tidak memiliki muttabi’ atau dsyahid
Menurut Imam al-Syafi’I, suatu hadits tidak atau belum dinyatakan
sebagai mengandung syudzudz , bila hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh
seorang perawi yang tsiqah, sedang perawi yang lannya tidak meriwayatkan
hadits itu. Suatu hadits baru dinyatakan mengandung syudzudz, apabila
hadits yang diriwayatakan oleh seorang rawi yang tsiqah tersebut
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang juga
tsiqah. Dari pendapat al-Syafi’I itu dapat disimpulkan bahwa kreteria hadits
yang mengandung syudzudz adalah :
32
a. hadits itu memiliki lebih dari satu sanad
b. para perawi hadits itu seluruhnya tsiqah
c. matan atau sanad hadits tersebut ada yang mengandung pertentangan.
5. Terhindar dari Illat
Pengertian illat adalah sebab-sebab tersembunyi yang mengakibatkan
rusaknya kualitas hadits. Artinya keberadaan illat tersebut menyebabkan
hadits yang tampaknya secara lahir shahih, akhirnya menjadi tidak shahih.
Pengertian illat disini berbeda dengan pengertian cacat secara umum. Illat di
sini adalah merupakan cacat yang sangat tersembunyi sehingga diperlukan
keahlian yang prima dalam melakukan penelitian. Untuk itu diperlukan
pemahaman , hafalan dan intuisi yang mendalam. Menurut Ali al-Madiny,
untuk mengetahui illat hadits, maka terlebih dahulu semua sanad yang
berkaitan dengan hadits bersangkutan harus dikumpulkan untuk diteliti
secara seksama. Sesudah itu semua rangkaian dan kualitas perawi diteliti
berdasarkan pendapat para kritikus perawi dan illat hadits. Dengan jalan
demikian ini barulah diketahui apakah hadits tersebut mengandung illat atau
tidak.
6. Tolok Ukur Kesahihan Matan
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa matan yang sahih adalah yang
terhindar dari Syudzudz dan illat. Akan tetapi sampai kini para ulama masih
belum memiliki keseragaman dalam menetapkan kreteria kaidah minornya
secara tegas. Pada umumnya para ulama’ hanya menetapkan tolok ukur
kesahihan matan secara garis besar saja. Misalnya Al-Khatib al-Baghdadi
menjelaskan bahwa matan yang maqbul adalah :
a. tidak bertentangan dengan akal sehat
b. tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang muhkam
c. tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
33
d. tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
e. tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama salaf
f. tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih
kuat.
Selain ketentuan di atas masih ada lagi yang menambahkan
a. tidak bertentangan dengan panca indra, dan fakta sejarah
b. susunan bahasanya mencerminkan ciri-ciri sabda kenabian
c. isinya tidak bertentangan dengan sunnatullah.
Tolok ukur ini formatnya sangat gelobal , karena itu masih mungkin untuk
dikembangkan
KEHUJAHAN HADITS SHAHIH
Ulama telah sepakat bahwa hadits yang mutawatir wajib diterima dan
diamalkan.sebab ia Qath’I al-wurud .Mengingkari hadits mutawatir sama
dengan mengingkari Rasul.. Tidak demikian halnya terhadap hadits ahad.
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena berstatus Dzani al-wurud. Sebagian lagi berpendapat
bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah untuk masalah hukum ,
tetapi tidak untuk masalah aqidah. Sebab soal keyakinan harus didasarkan
pada dalil yang qath’I, padahal hadits ahad itu tidak qoth’I, tetapi hanya
dzanni.
Berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat yang ketiga, Pendapat
ini menyatakan bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah ,
termasuk bagi masalah aqidah.. Pendapat ini mengemukakan alasan bahwa
hadits ahad yang sahih bisa berstatus qath’I al-wurud. Alasannya :
34
a. Suatu hadits dinyatakan dzanni, apabila ia memiliki kemungkinan salah.
Hadits yang telah diteliti secara cermat dan ternyata bekualitas shahih
berarti ia terhindar dari kesalahan. Atas dasar ini maka hadits yang sahih
, walau berkategori ahad, memiliki status qath’I al’wurud
b. Nabi Muhammad sering mengutus beberapa sahabat untuk menjadi
muballigh kepelbagai daerah . Jumlah mereka tidak mencapai kategori
mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita
mutawatir, maka niscaya masyarakat tidak akan menerima dakwah
muballigh yang diutus oleh Nabi tersebut.
c. Sahabat Umar pernah membatalkan hasil ijtihadnya, setelah mendengar
hadits Nabi yang disampaikan oleh al-Dhahhaq secara ahad.
Petunjuk dan Ketentuan Umum Memahami Sunnah Nabi
Sampai saat ini belum dijumpai perumusan sistematis dan komprehensip
yang disepakati oleh para ulama mengenai cara memahami sunnah Nabi. Hal ini
terjadi karena para ulama dihadapkan kepada beberapa persoalan akibat dari
sunnah Nabi yang kebanyakannya bersifat dhanni al-wurud. Mereka berbeda
dalam beberapa hal. Antara lain :
1. Apakah setiap sunnah itu bersifat universal atau sebagiannya ada yang
bersifat kondisional dan lokal (trikat dengan konteksnya);
2. Sebagai dalil tasyri', mereka berbeda dalam menetapkan persyaratan
pengamalannya. Al-Syafi'i berpendapat bahwa setiap sunnah Nabi yang
maqbul, tidak terkecuali hadis ahad bisa digunakan sebagai dalil yang
otoritatif. Sementara itu ulama Hanafi dan ulama Maliki menetapkan
beberapa persyaratan lagi;
3. Terhadap dilalah hadis fi'liyah, mereka berbeda pendapat mengenai
jangkauan otoritas yang dimilikinya.
35
Untuk itu dalam pembahasan ini akan dikemukakan ketentuan dan petunjuk-
petunjuk pemahaman yang bersifat umum, sehingga segala perbedaan yang ada
masih dapat tergambar di dalamnya.
Secara umum pemahaman yang terjadi di kalangan para ulama dibagi atas
dua kategori, yaitu pemahaman tekstual dan pemahaman kontekstual. Kedua
pemahaman tersebut menurut DR. Quraish Shihab sudah dikenal bahkan
dipraktekkan sejak awal oleh para sahabat Nabi. Namun demikian mendudukkan
antara sunnah yang harus dipahami secara tekstual dengan sunnah yang harus
dipahami secara kontekstual, merupakan perdebatan yang belum ter-selesaikan.
Untuk kepentingan perumusan petunjuk dan ketentuan umum guna
memahami sunnah Nabi, diusahakan meng-akomodir beberapa pendapat
yang berkembang di kalangan para ulama. Secara rinci formulasi
pemahaman tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sunnah Nabi merupakan penjelas dan pelengkap al-Qur'an.
Dari paradigma ini, dipahami bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan
dengan al-Qur'an, sebab keduanya berasal dari Allah sebagai petunjuk. Apabila
terdapat pertenta-ngan, maka dapat dipastikan bahwa sunnah tersebut tidak
shahih atau pemahamnnya yang keliru. Sebagai bayan al-Qur'an, sunnah Nabi
boleh jadi bersifat konfirmatif, atau menjelaskan ketentuan umum. Oleh karena itu
ia lebih rinci dan mengandung bnyak dimensi dari pada yang dijelaskan (al-
Qur'an).
Berangkat dari pemahaman di atas, apabila terdapat sunnah Nabi yang
secara lahir bertentangan dengan al-Qur'an, maka tidak boleh begitu saja ditolak,
tetapi perlu diadakan penelitian secara seksama terlebih dahulu. Di sinilah kahati-
hatian dalam menilai sebuah sunnah sangat diperlukan agar tidak terjebak ke
dalam kesalah pahaman yang tidak berdasar.
36
Di antara contohnya ialah tentang hukuman rajam bagi pezina muhshan..
Praktek (sunnah) ini oleh sementara orang tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan al-Qur'an surat al-Nur ayat 2, yang menyatakan bahwa
hukuman pelaku zina didera seratus kali. Tetapi apabila sunnah Nabi dipahami
sebagai penjelas dan juklak al-Qur'an maka ketentuan hukuman rajam tersebut
bisa merupakan takhshish dari ketentuan al-Qur'an yang bersifat umum. Dengan
demikian sunnah rajam di atas tidak bisa dianggap bertentangan dengan al-
Qur'an.
Memang terdapat perbedaan di antara ulama Hanafi, Maliki dan jumhur
dalam menetapkan syarat pengamalan hadis ahad, termasuk dalam kaitannya
dengan fungsi takhshish terhadap al-Qur'an. Tetapi dalam konteks hukuman rajam
di atas, ulama Hanafi (yang meletakkan persyaratan sangat ketat) ternyata juga
mengamalkan hukuman tersebut.
Al-Sunnah, kata al-Syafi'i, tidak bertentangan dengan kitab Allah, tetapi
akan selalu mengikutinya sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan atau
menjelaskan arti yang dikehendaki. Al-Sunnah dalam keadaan apapun selalu
mengikuti kitab Allah. Sebab Allah menegakkan hujjah atas makhluknya melalui
dua jalan, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.
2. Sunnah Nabi Tidak Mengandung Pertentangan
Rasulullah sebagai penyampai dan penafsir al-Qur'an diyakini tidak
mungkin mengajarkan dua hal yang bertenta-ngan kepada ummatnya. Sebab hal
ini akan menimbulkan ketidak pastian dan kekacauan.
Al-Syafi'i dalam al-Risalah menyatakan bahwa tidak ada hadis dari Nabi
yang ditemukan, yang bersifat kontradiktif, sebab ia selalu berhasil
mempertemukan hadis-hadis yang dianggap bertentangan satu sama lain.
37
Rasulullah, kata al-Syafi'i adalah orang Arab, kadang-kadang ia memberi
pernyataan umum, tetapi kadang-kadang mempunyai konotasi khusus. Jika
ditanya sesuatu tertentu, ia akan menjawab sesuai keperluan. Dalam hal ini di
antara perawi ada yang mengkhabarkan dengan menggunakan redaksi yang
ringkas, tetapi juga ada yang menuturkannya secara lengkap. Dalam pada itu ada
juga perawi yang meriwayatkan jawaban Nabi tanpa mengetahui inti pertanyaan
yang sesungguhnya, padahal dengan memahami pertanyaan yang diajukan akan
mendapatkan pemahaman yang benar. Di sinilah akarnya mengapa terjadi ikhtilaf
dalam sunnah Nabi yang disebabkan oleh periwayatan kurang lengkap, sesuai
dengan konteks yang dimaksud.
Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pemahaman yang benar, harus
dihimpun semua hadis-hadis shahih yang memiliki tema sama, kemudian
mengembalikan kandungannya kepada pemahaman yang benar, dengan cara
mempertemukan antara yang tlakmu dengan yang muqayyad, menafsirkan yang
`am dengan yang khash dan seterusnya. Maka dengan cara ini hadis-hadis yang
satu topik akan saling melengkapi dan memberikan pemahaman yang benar.
Di antara contohnya adalah hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah.
المقبري 5341 سعيد أبي بن سعيد حدثنا شعبة حدثنا آدم حدثنا
عليه اللهم صلى النبي عن عنهم اللهم رضي هريرة أبي عن
النار وسلم ففي اإلزار من الكعبين من أسفل ما *قال
Memperhatikan hadis di atas akan memperoleh kesan bahwa setiap orang
yang memakai kain memanjang sampai melewati mata kaki, dianggap telah
melanggar dosa. Akan tetapi apabila digabungkan dengan hadis lain yang
membahas topik sama, akan memeperoleh pemahaman yang berbeda, yaitu hadis.
38
بن 5337 وعبدالله نافع عن مالك حدثني قال إسماعيل حدثنا
عنهمما اللهم رضي عمر ابن عن يخبرونه أسلم بن وزيد دينار
قال وسلم عليه اللهم صلى الله رسول من أن إلى الله ينظر ال
خيالء * ثوبه جر
Dari perpaduan dua hadis di atas, dipahami bahwa sesungguhnya larangan
yang tercantum pada hadis pertama berlaku bagi orang-orang yang melakukannya
dengan sikap sombong. Dengan demikian kedua hadis yang secara tekstual
berbeda, setelah dikaji dan dipadukan justru memberikan pemahaman yang saling
melengkapi. Untuk itu pemahaman tematik akan banyak membantu penyelesaian
hadis-hadis mukhtalif 1
3. Menghubungkan Kandungan Sunnah Dengan Fungsi Yang Disandang
Rasulullah
Sebagaimana dinyatakan dalam pembahasan terdahulu, Rasulullah
di samping menyandang predikat sebagai Nabi (rasul), juga sebagai kepala
negara, panglima perang, hakim, seorang suami dan pribadi. Menurut
Mahmud Saltut mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan
mengaitkan pada fungsi yang disandangnya akan memeberi manfaat yang
amat besar.
Sebagian ulama menyatakan bahwa sunnah Nabi yang
berhubungan dengan fungsinya sebagai rasul ialah berbagai penjelasan
yang disampaiakan Nabi tentang kandungan al-Qur'an, macam-macam
1 Secara umum metode penyelesaian melalui pemahaman tematik ini mirip dengan metode al-Jam’u yang telah berkembang di kalangan ulama’ hadits . Mtode ini meliputi :
One. Penyelesaian hadits mukhtalif melalui pendekatan kaidah Ushul;Two. Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual;Three. Penyelesaian berdasar pemahaman korelatif;Four. Penyelesaian dengan menggunakan ta’wil;Five. Penyelesaian berdasar pemahaman tanawu’ al-ibadah.
39
pelaksanaan ibadah dan penetapan halal haram. Terhadap sunnah
demikian ini ulama sepakat bahwa umat wajib mematuhinya.
Sedangkan sunnah yang berkaitan dengan kapasitas di luar
fungsinya sebagai rasul, seperti pengiriman angkatan perang, pemungutan
dana untuk baitul mal dan lain-lain, di kalangan para ulama terdapat
perselisihan pendapat, menurut sebagian di antara mereka menganggap
bahwa sunnah seperti itu tidak merupakan ketentuan syari'at yang bersifat
umum. Dalam konteks ini akal fikiran didorong untuk menemukan dan
mewujudkan kemaslahatan berdasar petunjuk-petunjuk umum syari'at,
sehingga pemahamannya diperoleh dari pendekatan konteks.
Akan tetapi, mendudukkan sunnah ke dalam konteks fungsi yang
disandang Nabi, merupakan kerja yang tidak mudah sebab dinding
pemisah fungsi-fungsi tersebut berhimpitan sangat tipis, bahkan hampir
tidak bisa dibedakan. Itulah sebabnya di kalangan para ulama sering
terjadi ketidak sepakatan ketika mereka berhadapan dengan suatu sunnah
Nabi. Ulama yang sepakat dengan pemisahan berbagai predikat yang
disandang Nabi, cenderung berfikir secara kontekstual, sedangkan ulama
lainnya cenderung berfikir tekstual.
Salah satu contohnya ialah hadis Nabi riwayat imam Bukhari dan Muslim,
حدثنا 3896 عبيد بن محمد حدثنا نصر بن إسحاق حدثني
قال عنهمما اللهم رضي عمر ابن عن وسالم نافع عن عبيدالله
األهلية الحمر لحوم أكل عن وسلم عليه اللهم صلى النبي نهى
*
Para sahabat pada umumnya dan jumhur ulama memahami petunjuk hadis
tersebut secara tekstual. Namun Ibnu Abbas (w. 69 H.), seorang ahli tafsir di
40
kalangan sahabat, menyalahi pendapat umum tersebut. Dia berpendapat bahwa
daging keledai kampung adalah halal berdasarkan sura al-An'am : 145. Ia juga
menyatakan bahwa dirinya tidak mengerti apakah larangan tersebut dimaksudkan
untuk melindungi populasi, atau hanya berlaku khusus dalam perang khaibar saja.
Para ulama telah memperdebatkan alasan logis (illat) keharaman daging
keledai. Di antaranya ialah : a) Nabi melarang dalam rangka menjaga populasi
keledai kampung supaya tidak punah; b) Karena binatang tersebut termasuk rijs;
c) Karena binatang tersebut merupakan piaraan rumah; d) Karena Nabi telah
melarangnya.
Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di
antara para ulama, ialah perbedaan pandangan mereka terhadap fungsi Nabi ketika
menyampaikan hadis. Bagi mereka yang berkeyakinan bahwa pada saat itu Nabi
bertindak sebagai rasul, maka larangan yang terkandung dalam hadis diartikan
secara tekstual dan karena itu kandungan isinya bersifat universal. Sedangkan
ualama yang berkeyakinan bahwa Nabi pada saat itu bertindak sebagai panglima
perang, maka kandungan makna hadis tersebut diartikan secara kontekstual dan
oleh karenanya ia bersifat lokal dan temporal.
4. Perlu Pembedaan Antara Sunnah Qauliyah, Fi'liyah dan Taqririyah
Dalam pembahasan ushul fiqh, sunnah Nabi dibedakan atas qauliyah,
fi'liyah dan taqririyah. Sunnah qauliyah merupakan ucapan yang disampaikan
Nabi (di luar al-Qur'an) dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tasyri'.
Sedangkan sunnah fi'liyah ialah penuturan sahabat tentang semua perbuatan Nabi
yang berhubungan dengan tasyri'. Adapun sunnah taqririyah ialah laporan sahabat
tentang persetujuan dan restu Nabi terhadap perbuatan umat yang berkaiatan
dengan tasyri'.
41
Terhadap sunnah qauliyah, ulama sepakat bahwa ia mempunyai otoritas
sebagai dalil, kecuali apabila ada qarinah yang menunjukkan lain. Mengenai
sunnah fi'liyah, para ulama membedakan ke dalam dua kelompok. Pertama,
sunnah fi'liyah yang merupakan penjelasan terhadap al-Qur'an atau sunnah
qauliyah, atau merupakan pelaksanaan hukum. Kedua, sunnah fi'liyah yang bukan
merupakan penjelasan al-Qur'an atau hadis qauliyah.
Terhadap sunnah fi'liyah yang pertama, pada prinsipnya para ulama
sepakat bahwa hukum yang dikandungnya mengikuti hukum yang dijelaskan.
Namun dalam praktek masih terjadi perbedaan pendapat. Contohnya ialah tentang
tata cara berwudlu. Dalam surat al-Maidah : 6 sudah jelas anggota badan yang
harus dibasuh. Tetapi secara operasio-nal masih tergantung pada contoh dan
praktek Nabi. Berhubung cara dan praktek yang dicontohkan beliau sangat
beragam, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menilai
praktek Nabi. Misalnya tentang keharusan mengusap kepala. Di antara mereka
ada yang mengharuskan mengusapnya secara keseluruhan, tetapi bagi yang lain
hanya mengharuskan mengusap sebagian saja.
Hal ini terjadi karena setiap variasi cara yang dicontohkan Nabi tidak
diikuti dengan penjelasan verbal, sehingga menimbulkan perbedaan pemahaman.
Akan tetapi bila kita kembalikan kepada kaedah di atas, maka berbagai variasi
yang dicontohkan Nabi tersebut dapat dipahami melalui pendekatan al-tanawwu'
al-ibadah. Semua yang dicontohkan bisa dipilih secara mana suka sesuai dengan
instruksi Nabi "shalat-lah kamu sebagaimana engkau mengetahui aku shalat".
Terhadap sunnah fi'liyah yang kedua, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebagian di antara mereka menganggapnya hanya sebagai uswah
yang tidak wajib. Tetapi bagi sebagian ulama yang lain perbuatan Nabi tersebut
perlu dilihat terlebih dahulu apakah bisa dikenali sifat tasyri'nya atau tidak.
Apabila bisa dikenali sifat tasyri'nya, maka umat terikat dengan sunnah tersebut
sesuai dengan sifat yang ada. Sebaliknya apabila tidak bisa dikenali sefat tasyri'
42
dan arahnya, maka apabila berupa perbuatan ibadah, hukumnya sunnat. Dan
apabila tidak berupa perbuatan ibadah, maka hukumnya ibahah.
Adapun terhadap sunnah taqririyah, jumhur berpendapat bahwa sunnah ini
hanya memberi faedah ibahah. Akan tetapi apabila sunnah taqriri dianggap bagian
dari sunnah Nabi yang mengkomunikasikan pesan agama, maka setidaknya ia
memiliki jiwa dan semangat yang akan memandu umat manusia dalam proses
pencarian kebenaran melalui teladan Nabi. Dengan demikian, walau secara literal,
otoritasnya hanya bersifat ibahah, namun secara kontekstual memiliki jangkauan
otoritas yang lebih kuat, sebab sunnah Nabi itu tidak hanya terpaku pada kesan
yang muncul di permukaan. Untuk itu sunnah taqririyah jangkauan otoritasnya
masih bisa diperdebatkan.
5. Mempertimbangkan Latar Belakang, Kondisi dan Situasi Hadirnya
Sunnah Nabi Serta Tujuan Yang Dimaksud.
Untuk memperoleh pemahaman sunnah dengan baik hendaknya
mempertimbangkan dan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatar
belakangi munculnya suatu sunnah, atau alasan tertentu, baik yang disebut secara
eksplisit atau disimpulkan dari peristiwa yang menyertainya. Demikian pula
situasi dan kondisi yang meliputi serta di mana dan untuk tujuan apa sunnah
tersebut dihadirkan, merupakan alat bantu yang sangat berharga dalam memahami
apa yang dikehendaki sebuah sunnah.
Sunnah Nabi (sebagai bagian dari produk riwayat) merupakan wacana
teks. Dalam kajian hermeneutik diteorikan bahwa dibalik sebuah teks
sesungguhnya terdapat sekian banyak gagasan yang hendak disajikan. Oleh
karena itu tanpa memahami motif, suasana psikologis dan sasaran yang dituju
(terbayangkan) oleh penyaji sendiri, maka sangat mungkin menimbulkan kesalah
pahaman.
43
Demikian juga halnya dengan tradisi kenabian. Apa yang kita namakan
himpunan hadis adalah sebagian saja dari realitas tradisi keislaman yang dibangun
oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya, sehingga jika kita memahami teks
hadis yang ditarik dan dipisahkan dari asumsi-asumsi sosialnya, sangat mungkin
akan terjadi distorsi informasi atau bahkan salah paham. Salah satu contoh ialah
hadis riwayat imam Bukhari dan Muslim,
عمارة 831 بن حرمي حدثنا قال جعفر بن عبدالله بن علي حدثنا
بن عمرو حدثني قال المنكدر بن بكر أبي عن شعبة حدثنا قال
على أشهد قال سعيد أبي على أشهد قال األنصاري سليم
وسلم عليه اللهم صلى الله الجمعة رسول يوم الغسل قال
محتلم كل على وجد واجب إن طيبا يمس وأن يستن قالوأن
الغسل أما واجب عمرو أنه فالله فأشهد والطيب االستنان وأما
الله عبد أبو قال الحديث في هكذا ولكن ال أم هو أواجب أعلم
بكير عنه رواه هذا بكر أبو يسم ولم المنكدر بن محمد أخو هو
المنكدر بن محمد وكان وعدة هالل أبي بن وسعيد األشج بن
عبدالله * وأبي بكر بأبي يكنى
Tanpa dikaitkan dengan asbab al-wurud, hadis di atas memberikan
pemahaman bahwa mandi pada hari jum'at adalah wajib. Tetapi sesungguhnya
hadis ini memiliki sebab khusus. Pada saat itu ekonomi para sahabat pada
umumnya masih sulit. mereka banyak yang menjadi pekerja kebun dengan
pakaian wol yang kasar. Biasanya setelah menyiram kebun mereka langsung
datang ke masjid menunaikan shalat jum'at, padahal cuaca sangat panas, sehingga
menjadi sumber keringat yang berbau dan mengganggu ketenangan para jama'ah.
Itulah sebabnya maka Nabi bersabda semakna dengan hadis di atas.
44
Dari keterangan asbab al-wurud tersebut, maka jelaslah bahwa kewajiban
mandi pada hari jum'at memiliki konteksnya sendiri. Oleh karena itu bagi
masyarakat yang terbiasa mandi dua kali dengan tempat kerja yang nyaman, di
mana tidak menyebabkan terjadinya gangguan kepada para jama'ah, maka tidak
dibebani kewajiban mandi ketika akan menghadiri jama'ah jum'at.
Sungguhpun demikian, essensi ajaran yang dibawa oleh kandungan hadis
di atas tetap relevan sepanjang masa, bahwa Islam mengajarkan para pemeluknya
supaya tetap menjaga kebersihan terutama dalam melaksanakan ibadah.
Dalam konteks pemahaman ini, Fazlur Rahman menyatakan bahwa
apabila sebuah hadius dibaca sebagai hadis semata-mata, yaitu sebagai riwayat
yang berdiri sendiri, maka hadis tersebut tidak ada artinya dan sedikit manfaatnya.
Tetapi apabila kita benar-benar memahami kekuatan sosiologis yang
menyebabkan wujudnya suatu hadis, maka ia sangat penting artinya bagi kita
sekarang dan berguna sebagai petunjuk di masa datang. Yang penting kita sadari,
bahwa karena sifatnya sebagai petunjuk, maka hadis pada umumnya lebih bersifat
indikatif dari pada legislatif secara spesifik.
Jadi melalui pemahaman ini, sunnah Nabi dapat dibuktikan sebagai
petunjuk yang mampu menghadapi tantangan zaman yang selalu bergerak dan
berubah secara dinamis, karena ia meiliki semangat untuk diinterpretasikan sesuai
dengan tantangan yang dihadapi.
6. Perlu Diperhatikan Antara Kandungan Makna Yang Bersifat Ta'abbudi
dan Ta'aqquli.
Para ulama membagi ajaran Islam ke dalam kategori ma`qul al-ma`na dan
ghairu ma`qul al-ma`na. Ulama sepakat bahwa ajaran yang ta'abbudi tidak
dipahami secara konteks. Imam Abu Hanifah yang begitu longgar dalam konteks
45
pemahamannya, tetapi ketika dihadapkan kepada persoalan pembayaran dam
tamattu' berkata, bahwa dam tersebut tidak boleh dibayar dengan uang, tetapi
dengan darah yang mengalir. Ia beranggapan bahwa masalah dam adalah
persoalan ta'abbudi.
Yang menjadi persoalan kemudian ialah mendudukkan mana ajaran yang
dikategorikan ta'abbudi dan mana yang ta`aqquli. Di sini sering terjadi perbedaan
pendapat, karena hal ini termasuk wilayah ijtihadi. Imam al-Syafi'i yang sangat
ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali di bidang muamalah,
berpendapat bahwa pada dasarnya ayat al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi harus
dipertahankan bunyi teksnya, walau di bidang muamalah. Sebab menurutnya,
bentuk hukum yang ada pada teks bersifat ta'abbudi. Maka oleh karenanya tidak
boleh diubah. Maksud syari'at sebagai kemaslahatan harus dipahami secara
terpadu dengan bunyi teks, kecuali bila ada petunjuk yang mengalihkan makna
lahiriyah teks.
7. Perlu Pemahaman Terhadap Bentuk-Bentuk Matan Hadis Nabi.
Hadis-hadis yang disampaiakan oleh Rasulullah kepada para sahabat (atau
penuturan sahabat tentang Rasulullah), mempunyai bentuk redaksi yang
bermacam-macam. Ada yang tersusun dalam bentuk jami` al-kalim (ungkpan
singkat namun padat makna) ada pula yang berupa tamsil (perumpamaan), bahasa
simbolik, bahasa percakapan (dialog) dan berupa ungkapan analogi (qiyas).
Memahami pilihan kata yang digunakan oleh suatu hadis sangat
membantu untuk memperoleh pemahaman yang sempurna. Rasulullah sebagai
orang Arab tentu tidak luput juga menyampaikan pesan-pesannya dengan redaksi
yang dikenal di kalangan bangsa Arab, seperti ungkapan dalam bentuk tamsil,
kata simbolik dan lain-lain dengan tujuan supaya mudah dipahami. Di antara
contohnya adalah hadis riwayat Imam Bukhari,
46
أبي 1691 عن منصور عن سفيان حدثنا يوسف بن محمد حدثنا
صلى النبي قال قال عنهم اللهم رضي هريرة أبي عن حازم
يفسق ولم يرفث فلم البيت هذا حج من وسلم عليه رجعاللهم
أمه * ولدته كيوم
Secara tekstual hadis tersebut mengibaratkan orang yang berhasil
menunaikan ibadah haji dengan baik, bagaikan bayi yang baru lahir. Tetapi karena
ungkapan yang dipergunakan berbentuk tamsil, maka makna sebenarnya lebih
tepat dipahami secara kontekstual. Sebab yang dimaksud ialah bahwa orang yang
ibadah hajinya diterima oleh Allah akan memperoleh ampunan dari segala dosa
yang telah dilakukan, sehingga ia bersih sebagaimana pada saat baru
dilahirkan.
8. Membedakan Antara Sarana Yang Berubah Dan Sasaran Yang Tetap.
DR. Yusuf Qardlawi menyatakan bahwa di antara penyebab kekacauan
dalam memahami sunnah Nabi ialah karena menyampur adukkan antara tujuan
dan sasaran yang hendak dicapai dengan sarana temporer (lokal). Apa yang
sebenarnya merupakan saran (lokal) dianggap sebagai tujuan. Di antara
contohnya adalah pernyataan hadis,
وهو 5 يزيد عن األعلى عبد بن ومحمد مسعدة بن حميد أخبرنا
أبي حدثني قال عتيق أبي بن الرحمن عبد حدثني قال زريع ابن
وسلم عليه اللهم صلى النبي عن عائشة سمعت قالقال
للرب مرضاة للفم مطهرة النسائي * السواك اخرجه
Sebagian orang menganggap bahwa membersihkan mulut dengan
menggunakan kayu siwak tertentu merupakan anjuran Nabi. Berdasar pemahaman
ini, maka pemakaian sikat gigi dianggap tidak memiliki nilai ibadah.
47
Akan tetapi apabila kita simak dengan seksama maka yang menjadi tujuan
sabda Nabi di atas adalah anjuran untuk membersihkan mulut dari segala kotoran
dan bau yang tidak sedap. Sedangkan kayu siwak merupakan sarana yang mudah
di dapat pada saat itu. Itulah sebabnya menurut sebagian ulama siwak itu bisa
dibuat dari kayu arjun, kayu arak, kayu zaitun atau lainnya yang tidak
membahayakan.
Imam al-Nawawi dalam konteks ini, sebagaimana dikutip Yusuf Qardlawi
berpendapat bahwa dengan apa saja seorang melakukan siwak asal dapat
membersihkan kotoran dan bau mulut, maka ia telah memenuhi anjuran Nabi,
baik alat itu berupa sepotong kain atau ujung jarinya sendiri.
Sampurnan, 21 Juli 2000
M. Nawawi
PENELITIAN HADITS
A. Pendahuluan
Seandainya periwayatan hadits nabi saw sama dengan periwayatan al-
Qur’an, yakni sama-sama bersifat mutawatir, maka istilah hadits shahih, hasan
dan dha’if tidak akan muncul. Ketiga istilah ini muncul karena kebanyakan
periwayatan hadits itu bersifat ahad. Para ulama’ sepakat bahwa riwayat yang
mutawatir berstatus qath’i al-wurud. Sedangkan untuk hadits ahad, mereka
berbeda pendapat; sebagian menyatakan bahwa hadits ahad berstartus zhanni al-
wurud, dan bagi sebagian yang lain berpendapar bahwa hadits ahad yang shahih
berstatus qath’I al-wurud.
48
Berdasarkan kenyataan di atas, bahwa dalam periwayatan terdapat hadits
yang berstatus zhanni al-wurud, yang mungkin terdapat kesalahan, maka
diperlukan penelitian hadits dengan cermat.
Bagian hadits yang diteliti adalah meliputi sanad dan matan.Penelitian
sanad, lazim disebut dengan istilah naqd al-sanad (kritik sanad) atau dalam istilah
penelitian ilmu sejarah disebut naqd al-khariji (kritik extern). Sedangkan
penelitian matan lazim disebut dengan istilah naqd al-matan (kritik matan) atau
al-naqd al-dakhili ( kritik intern).
B. Pentingnya Penelitian Hadits
1. Menurut petunjuk al-qur’an hadits Nabi saw merupakan sumber ajaran
islam di samping al-Qur’an, orang yang menolak hadits Nabi saw sebagai
hujjah sama dengan menolak petunjuk al-qur’an. Dengan meyakini hadits
Nabi sebagai sumber ajaran, maka penelitian hadits , hususnya hadits ahad,
memiliki nilai yang penting, agar supaya dalam penggunaan dalil hadits
dapat terhindar dari hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sebagai sebuah doktrin yang berasal dari Nabi, maka ke- benarn hadits
adalah pasti. Akan tetapi, berhubung hadits nabi yang sampai kepada kita
telah melaluki perjalanan yang panjang (melalui proses sejarah), maka
mungkin saja dalam perjalanan sejarahnya itu terdapat kesalahan. Itulah
alasannya, maka penelitian hadits menjadi amat penting;
2. Walaupun pada masa Nabi saw, sudah terdapat usaha penulisan hadits
secara individual, namun tidak semua hadits nabi sudah tertulis pada masa
itu. Masih banyak hadits Nabi yang diriwayatkan melalui hafalan. Dalam
pada itu pada perjalanan sejarahnya, hadits pernah mengalami pemalsuan.
Untuk itu maka penelitian hadits Nabi menjadi penting, supaya terhindar
dari penggunaan hadits yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
3. Penghumpunan hadits secara resmi dan massal baru dilakukan pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Abd Aziz (w. 101 H) . Puncak
49
pembukuan hadits ini secara sistematik baru terjadi pada pertengahan abad
ke 3 Hijriyah. Maka dengan jarak yang demikian jauh antara masa Nabi
dengan masa pembukuan, tidak menutup kemungkinan adanya kasalahan.
Untuk itu penelitian hadits menjadi penting dalam rangka menjaga
kesahihan hadits.
4. Jumlah kitab hadits sangat banyak, dan masing-masing memiliki metode
yang beragam. Demikian pula persaratan dan keriteria kaidah yang
digunakan juga beragam. Dengan demikian , maka dalam menentukan sah
tidaknya suatu hadist juga terdapat perbedaan . Nah untuk mendapatkan
kepastian kualitas hadits, diperlukan penelitian yang seksama;
5. Telah terjadi penuturan hadits secara makna. Padahal untuk mengetahui
kandungan makna diperlukan pengetahuan tentang susunan teks (redaksi)
hadits, hususnya tentang hadits qawli. Untuk itu, penelitian hadits sangat
penting.
Walhasil, dengan adanya kegiatan penelitian hadits, baik melalui kritik sanad
atau kritik matan, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan
sebagai hadits itu benar-benar merupakan hadits Nabi yang dapat
dipertanggung jawabkan atau tidak.
B. Unsur-Unsur Yang di Teliti
Sebagaimana disinggung di depan bahwa yang menjadi obyek penelitian
hadits adalah sanad dan matan hadits. maka yang akan ditelaah dan dikritik
adalah rangkaian perawi dan materi hadits itu sendiri.
Sedangkan bagian sanad yang dijadikan obyek penelitian adalah;
a. Nama-nama dan sejarah hidup para perawi yang terlibat dalam
periwayatan hadits, baik mengenai keadilannya, maupun kekuatan
hafalan. Wal hasil mencakup kredibilitas dan kapabilitasnya.
b. Lambang-lambang periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-
masing perawi yang tergabung dalam sanad hadits , misalnya sami’tu,
akhbarana, haddatsana, ‘an, anna, qala, dll.
50
Penelitian terhadap kedua unsur di atas dimaksudkan untuk mendapatkan
pembuktian apakah hadits yang bersangkutan benar-benar muttashil atau
tidak; marfu’ atau tidak; mahfudl ( terhindar dari syudzuzd dan illat) atau
tidak. Di samping itu juga untuk membuktikan apakah para perawi yang
tergabung dalam sanad benar-benar adil dan memiliki kekuatan hafalan yang
sempurna, atau tidak.
Sedangkan bagian matan yang perlu diteliti pada dasarnya adalah terletak
pada redaksi hadits itu sendiri. Hanya saja ,oleh karena dalam periwayatan
hadits juga telah digunakan riwayat bil-ma’na, maka perlu dilakukan melalui
berbagai pendekatan. Apabila yang diteliti menyangkut hadits Nabi tentang
aturan ibadah tertentu, misalnya mengenai bacaan shalat, maka pendekatan
yang dipakai adalah pendekatan semantik (redaksi hadits diteliti dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa). Sedangkan apabila hadits yang sedang
diteliti menyangkut ketentuan diluar ibadah, maka penelitiannya ditujukan
kepada kandungan maknanya. Sungguhpun begitu pendekatan semantik tetap
diperlukan dalam rangka membantu menemukan kandungan makna yang
benar.
Untuk kepentingan penelitian matan ini, maka disamping pendekatan
semantik, diperlukan juga melalui pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-
prinsip ajaran islam.
C. Tujuan penelitian hadits
Tujuan pokok penelitian hadits baik dari segi sanad maupun matan, adalah
untuk mengetahuai kualitas hadits yang diteliti, hususnya terhadap hadits ahad.
Sedangkan kepada hadits mutawatir, penelitian ini dimaksudkan bukan untuk
meneliti kualitasnya, tetapi lebih ditujukan untuk membuktikan apakah hadits
yang diteliti bener-benar berstatus mutawatir atau tidak.
51
Sebenarnya para ulama telah banyak melakukan penelitian terhadap
hadits, namun penelitian ulang tetap saja perlu dilakukan karena memiliki
manfaat. Tujuannya untuk mengretahui seberapa jauh akurasi penelitian yang
telah mereka lakukan, dan berguna untuk menghindari penggunaan dalil yang
tidak memenuhi syarat.
Sampurnan, 25 Pebruari 2002
M. Nawawi
EVALUASI PERKULIAHAN
STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS
STAI QOMARUDDIN KELAS AKSELERASI
1. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang azali . Keazalian itu bersifat tak
terjangkau oleh manusia yang bersifat relatif , sebab ia صوت وال حرف . بالAkan tetapi kenyataannya al-Qur’an sampai kepada kita dalam bentuk bahasa
yang bisa dibaca. Bagaimana anda menjelaskan hubungan antara al-qur’an
yang azali dengan teks al-qur’an yang ada pada kita, dan apa konsekuensinya
terhadap pemahaman dan tafsir al-qur’an. (untuk membantu penjelasan ini
ada baiknya anda baca bukunya Dr. Qomaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, mulai halaman 101 sampai 123}.
52
2. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai makna
istilah hadits Nabi dengan Sunnah Nabi. Bagaimana anda menjelaskan
perbedaan pengertian itu dan apa akibat perbedaan tersebut bagi pemahaman
dan pengamalan hadits Nabi. ( bisa di padukan antara bahan kuluah dengan
buku Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis .Editor : M. Mas’udi dan
Yunahar Ilyas, hal. 95 –104 ; 141-154 ; sebagai tambahan bisa juga halaman
53 -66)
3. Dalam al-Quran. Terdapat pembagian ayat makiyah dan madniyah.
Pebagian ini berakibat pada penentuan ayat-ayat hukum. Kemukakan 3
ayat Makiyah yang dijadikan dalil hukum.
4. Sementara itu dalam hadits Rasul terdapat pembagian hadits qawli dan
fi’li. Pembedaan ini berakibat pada pemahaman terhadap hadits fi’li., dan
pada gilirannya terdapat ikhtilaf dikalangan ulama. Berikan 3 contoh
hadits f’li yang digunakan sebagian ulama’ sebagai dalil, tetapi tidak
dipakai oleh ulama yang lan.
5. Baik dalam pembahasan al-qur’an maupun hadits sama-sama dikenal term
qath’I dan dzanni. Terangkan masing-masing dengn contoh.
53