AL-QUR’AN DAN FENOMENA ALAM SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
-
Upload
ameersabry -
Category
Documents
-
view
96 -
download
0
Transcript of AL-QUR’AN DAN FENOMENA ALAM SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL
AL-QUR’AN DAN FENOMENA ALAM SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
KEHIDUPAN SOSIAL
Abstraksi
Fenomena alam seperti gempa, tsunami, banjir, kecelakaan pesawat dan lain-lain yang
menimpa Indonesia beberapa tahun ini membuat masyarakat menjadi gelisah, tidak berhenti
disitu akhir-akhir ini banyak masyarakat Indonesia terhentak dengan ramalan-ramalan yang
mengatakan bahwa akhir hidup di dunia atau kiamat akan terjadi pada akhir tahun 2012, hal ini
didukung selain dengan banyaknya fenomena alam yang terjadi di atas ditambah dengan banyak
peristiwa yang tidak biasanya seperti terdapatnya UFO atau piring terbang dan beraneka bentuk
awan yang menyerupai raksasa disekitar wilayah Indonesia Orang yang percaya terhadap
ramalan, ini merupakan tanda-tanda yang sangat angker dan menambah kepercayaan akan
terjadinya kiamat tersebut. Tentang fenomena alam, Islam banyak menjelaskan dalam al-Qur’an
sebagai rujukan utama umat Islam seluruh dunia yang seharusnya dengan rujukan tersebut umat
Islam memahami kejadian tersebut.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Fenomena alam, Keasadaran sosial
Pendahuluan
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan
kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan
(hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)”. ( QS. Isra’(17):16 ) “ Dan
tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya
sebelum hari Kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksa yang sangat keras. Yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Lauh Mahfuz)”. ( QS. Isra’ (17):58 )
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan pengikut Fir’aundan orang-orang yang
sebelum mereka. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan
dosa-dosanya. Sungguh, Allah Maha kuat lagi sangat kersa siksa-Nya”. ( QS. Al-Anfal (8):52 ) “
Dan berilah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari(ketika) azab datang kepada
mereka, maka orang zalim berkata, “ Ya Tuhan kami, berilah kepada kami kesempatan (kembali
ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti
rasul-rasul.” (kepada mereka dikatakan), :Bukankah dahulu (didunia) kamu telah bersumpah
bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?”. ( QS. Ibrahim (14). 44 )
Kutipan beberapa ayat diatas merupakan reaksi beberapa umat Islam yang mengkaitkan
gempa yang terjadi dibeberapa wilayah Indonesia dengan Al-Qur’an. Seperti QS. Isra’(17):16,
ayat ini dikaitkan dengan gempa padang karena terjadi pada pukul 17.16, kemudian QS. Isra’
(17):58 dikaitkan dengan gempa susulan Padang yang terjadi pada pukul 17.58, kemudian QS.
Al-Anfal (8):52 yang dikaitkan gempa Jambi yang terjadi pada pukul,8.52 dan QS. Ibrahim (14).
44 yang dikaitkan dengan gempa Tasik yang terjadi pada pukul 14.44.
Siapa yang harus disalahkan oleh waktu dan zaman ini? Manusia, Teknologi, ataukan
zaman itu sendiri? Apapun pertanyaan atau siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap
keadaan sekarang ini, yang jelas manusia sebagai subjek sekaligus objek alam semesta ini akan
tertimpa oleh ulahnya sendiri. Perkembangan zaman menjadikan manusia rakus seperti halnya
tragedi Raja Midas yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Kalau kita memperhatikan perkembangan zaman sekarang, diberbagai tempat dibangun
rumah-rumah mewah, hotel berbintang puluhan dan tempat pariwisata diperindah dengan
berbagai polesan serta diberbagai daerah dibangun bandara baik tingkat nasional maupun
internasional. Membangun berbagai bangunan tersebut maka tidak bisa tidak bahan materialnya
berasal dari alam itu sendiri, tidak sedikit bukit bahkan gunung telah habis dikeruk untuk
dijadikan bahan pondasi dan bangunannya. Disinilah menarikanya pembahasan tentang al-
Qur’an yang berbicara tentang alam semesta.
Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena terlalu banyaknya
campur tangan manusia didalamnya, baik direncanakan ataupun tidak. Efek rumah kaca akibat
makin banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya
mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon
atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, misalnya “deodoran” dan
“aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk
melindungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa
mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya ( Mahdi Ghulsyani:
1986: 8).
Pemahaman Intelektual terhadap al-Qur’an
Perkembangan pemikiran umat manusia dari zaman ke zaman tidak pernah habisnya
bahkan semakin cemerlang. Zaman klasik ketika ilmu al-Qur’an di dipopulerkan oleh ulama,
para ulama berpandangan bahwa orang yang mampu menafsirkan al-Qur’an adalah mereka yang
menguasai kaidah-kaidah bahasa arab seperti ilmu Nahwu, Sharf, Balagah dan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak sembarangan orang bisa menafsirkan al-Qur’an. Tetapi dengan
perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai metodologi dan
pendekatan banyak kita temukan intelektual Islam yang menginterpretasikan al-Qur’an seperti
tafsir maudu’i/ tematis, interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan Hermeunetik yang sampai saat
ini terus masih diskusikan dan diperdebatkan diberbagai tempat.
Ada beberapa tipologi pemikiran inteleketual Islam tantang pandangan mereka ketika
berbicara tentang al-Qur’an yang berhubungan dengan manusia dan alam semesta ini. Pertama
tipologi formalistik, tipologi ini menyatakan bahwa dalam al-Qur’an telah ada tentang senua
persoalan yang dihadapkan oleh manusia. Al-qur’an telah menjelaskan panjang lebar tentang
persoalan-persoalan manusia dan makhluk dalam alam semesta ini. sesuatu yang terjadi pada
manusia dan alam semesta selalu dicari legitimasinya dari al-Qur’an. Tipologi ini seperti yang
dicontohkan pada beberapa ayat diatas, bahwa gempa yang terjadi pada waktu tertentu suadah
ada tercantum dalam al-Qur’an. Tipologi kedua adalah Substansialistik, tipologi ini menyatakan
bahwa al-Qur’an ketika berbicara tentang manusia dan alam semesta serta ilmu pengetahuan
tidak berbicara secara terperinci tetapi secara universal.
Demikian pembacaan subyektif penulis melihat fenomena keberagamaan dewasa ini yang
begitu plural sehingga sering terjadi kesalahpahaman dalam pemahaman al-Qur’an sebagai
sumber utama ajaran Islam. Dari kesalahpahaman tersebut sering terjadi hujat-menghujat bahkan
pertikaian antar pemeluk agama Islam sendiri.
Menurut Ziauddin sardar seperti yang dikutip Mahdi Ghulsyani mencatat bahwa dalam
menghadapi sains modern yang kaitannya dengan al-Qur’an, ilmuwan Muslim terbagi dalam tiga
kelompok. Pertama, kelompok Muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern
bersifat universal dan netral. Oleh karena itu, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains
modern dengan mencari-cari ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut.
Kelompok ini disebut oleh Sardar sebagai Bucaillism (diambil dari nama Maurice Bucaille yang
buku-bukunya meninjau al-Qur’an dari sudut pandang temuan-temuan sains modern).
Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga
mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak
Islami. Kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat yang
Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan
dan cita-cita Islam. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam, dan berusaha
membangunnya ( Mahdi Ghulsyani: 1986: 21).
Pemahaman terhadap agama dalam hal ini Islam yang memiliki rujukan normatif seperti
al-Qur’an adan al-Hadits sesunguhnya memiliki berbagai pendekatan dalam mengkaji agama
tersebut seperti pendekatan teologi normative seperti rujukan utama tersebut di atas, ada juga
pendekatan antropologis, filosofis, historis dan pendekatan kebudayaan.
Pendekatan normatif dalam memahami agama dengan menggunakan ilmu yang bertolak
dari suatu keyakinan. Dalam mengkaji fenomena alam dengan menjadikan al-Qur’an sebagai
rujukan dalam melihat fenomena tersebut muncul apa yang disebut dengan teologi masa kritis
( Abuddin Nata: 2003: 31). Teologi masa kritis merupakan suatu usaha untuk memahami
penghayatan imannya atau penghayatan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya
dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini.
Dalam perkembangan ilmu yang maju dengan pesat di lingkungan umat, yang mengambil
beberapa ajaran yang dihasilkan bangsa-bangsa yang mendahuluinya sebagai masukan,
berkembang pula suatu masalah yang memerlukan pemecahan. Terutama pernyataan para filosof
muslim bahwa alam mempunyai kehendak sendiri, yang diperlihatkannya. Imam al-Gadzali
meluruskan pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa segala reaksi yang diperlihatkan alam
itu kehendak Allah SWT. Kedua pendapat ini akan bertemu bila saja ada orang yang
menyambungnya dengan mengatakan bahwa reaksi alam itu selalu demikian karena mengikuti
sunatullah, aturan-aturan Allah SWT yang ditetapkan-Nya pada saat penciptaan dan diikuti alam
semesta dengan taat. Alam kelihatnnya mempunyai kehendak sendiri karena ia selalu mengikuti
sunatullah yang dikehendaki sang Maha Pencipta (Achmad Baiquni: Yogyakarta: 1997: 78 )
.
Alam Semesta dalam al-Qur’an
Alam berarti dunia fisik, yaitu kita berhubungan dengannya lewat indera kita. Dalam al-
Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang merujuk kepada fenomena alam. Hampir seluruh ayat
ini memerintahkan manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan dengan)
penciptaannya dan merenungkan isinya. Sebagaimana dikukuhkan oleh banyak ulama Islam
terkemuka, al-Qur’an bukanlah sebuah buku ilmu kealaman, akan tetapi kitab petunjuk dan
pencerahan. Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam merupakan tanda-tanda Yang Mahakuasa, dan
suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda yang bisa
membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan ( Mahdi Ghulsyani: 1986: 79 ).
Jagat raya atau alam semesta yang dalam bahasa Inggris di istilahkan dengan universe.
Sedangkan dalam Istilah arab atau bahasa Arab dibahasakan dengan ‘Alam (عالم ). Istilah ‘alam
dalam al-Qur’an hanya datang dalam bentuk jamak ‘almain ( علمين ), yang disebut sebanyak 73
kali yang tergelar dalam 30 surat. Kata ‘alamin (jamak) dalam al-Qur’an tidak sama dengan
istilah ‘alam yang dimaksud kaum teolog dan Filosof Islam. Kaum teolog mendefinisikan ‘alam
ialah segala sesuatu selain Allah (Kullu maujud siwa Allah Ta’ala). Sementara filosof Islam
mendefinisikan ialah kumpulan jauhar yang tersusun dari madat (materi) dan shurat (bentuk)
yang ada di bumi dan di langit. Sedangkan ‘alamain yang dimaksud dalam al-Qur’an sebagai
kumpulan yang sejenis dari makhluk yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati
makhluk yang berakal ( Sirajudin zar: 1995: 20 ).
Ada delapan bentuk kata pengungkapan penciptaan dalam al-Qur’an, Tiga bentuk
diantaranya adalah Khalaq ( ) ’Bada ,( خلق ) dan Fathr ( بدا Penciptaan alam semesta .( فاطر
yang terdiri dari tiga bentuk yang erat kaitannya dengan hal ini, yaitu Khalaq, Bada’ dan Fathr,
tidak ditemukan pada redaksinya penjelasan yang tegas, apakah alam semesta diciptakan dari
materi yang sudah ada atau dari ketiadaan? Ketiga bentuk kata tersebut hanya menjelaskan
bahwa Allah Pencipta alam semesta tanpa menyebutkan dari ada tiadanya.
Sebagaimana al-Qur’an, para saintis mengidentifikasikan evolusi alam semesta sebanyak
enam tahapan atau periode. Evolusi alam ini diawali setelah terjadinya ledakan yang maha
dahsyat. Tahapan-tahapan tersebut ialah:
1. Dalam tahap ini seluruh kosmos yang terdiri dari ruang, materi dan radiasi telah
ditentukan interaksinya, sifat serta kelakuannya. Sedangkan kandungan energi dan materi
dalam alam semesta ditentukan jumlahnya, dan suhu kosmos, karena ekspansi, turun
menjadi seratus juta-juta-juta derajat.
2. Tahap ini dimulai ketika suhu kosmos turun hingga mencapai seratus ribu juta derajat.
Kerapan materi dalam alam semesta adalah empat juta ton tiap liter. Sedangkan bahan
penyusun nuklir, yaitu penyusun inti-inti atom telah tertentu jumlahnya.
3. Tahap ini dimuali ketika suhu kosmos tinggal seribu juta derajat dan kerapan materinya
tinggal 20 kg tiap liter, sedangkan muatan kalistrikannya telah ditetapkan.
4. Tahap ini diawali ketika suhu kosmos berada dibawah seratus juta derajat. Kerapatan
materinya tinggal sepersepuluh kg tiap liter.
5. Tahap ini dimuali ketika atom-atom mulai terbentuk sehingga elektron bebas sangat
berkurang jumlahnya dalam kosmos. Dalam tahap ini cahaya mengisi ruang alam.
6. Tahap ini ketika kabut materi yang terdiri dari atom-atom mulai mengumpul dan
membentukbintang-bintang dan galaksi-galaksi, diantaranya terdapat matahari yang
dikitari oleh bumi dan planet-planet ( A. Baiquni, 1983: 35-39).
Sedangkan para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas alam, mayoritas filsuf dari dulu
sampai sekarang berpendapat bahwa alam adalah kekal. Menurut Plato, alam diciptakan dan
memiliki awal temporal. Kemudian, para filsuf memberikan interpretasi berbeda terhadap
pandangan tersebut dan tidak mengakui bahwa keberawalan alam merupakan keyakinan Plato.
Imam Al-Gazali berpendapat (Al Gazali: 2003: 12) penjelasan bahwa para filsuf tidak
mampu mementahkan keyakinan lawan-lawan polemik mereka tentang relasi kehendak kekal
dengan yang berawal temporal, kecuali sebatas mendasarkan pada klaim “kemestian rasional”.
Bahkan mereka juga tidak bisa berkutik ketika lawan-lawannya menyampaikan kritik balik yang
berseberangan dengan keyakinan mereka dengan klaim yang sama.
Berbeda dengan konsep yang dikemukakan kaum filosof Islam yang berkesimpulan
bahwa alam semesta diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada. Menurut mereka sebagai yang
dipaparkan Ibn Rusyd bahwa tidak mungkin bisa berubah menjadi ada, yang terjadi adalah ada
berubah menjadi ada dalam bentuk (shurat) yang lain. Dalam filsafat memang diyakini bahwa
penciptaan dari tiada adalah suatu hal yang mustahil dan tidak bisa terjadi (Harun Nasution:
1983: 91).
Allah dalam filsafat al-Farabi menciptakan alam semesta melalui emanasi, dalam arti
wujud Allah melimpahkan wujud alam. Emanasi ini terjadi melalui pemikiran atau tafakur Allah
tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Menurut Sayid Zayid sebagaimana dikutip
Harun Nasution, tafakaur tentang zat-Nya adalah ilmu Allah tentang diri-Nya, dan ilmu itu
adalah daya (al-qudrat) yang meciptakan segalanya. Agar sesuatu tercipta cukup sesuatu itu
diketahui Allah (Harun Nasution: 1986: 5).
Maksud al-Farabi mengemukakan paham emanasi adalah untuk menghindarkan arti
banyak dalam diri Allah. Karenanya Allah tidak bisa secara langsung menciptakan alam yang
banyak jumlah unsurnya. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam semesta yang plural ini,
tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra tauhid. Nurcholis
Madjid dalam hal ini dapat diterima karena Filosof Islam terdorong mempelajari dan menerima
doktrin Plotinus itu karena pahamnya memberikan kesan tauhid (Nurcholis Madjid: 1984: 24 ).
Adapun pendapat kaum teolog rasionalis tentang penciptaan alam semesta telah terwakili
oleh kaum filosof Islam yang telah dibahas diatas. Karena pendapat mereka tentang hal ini sama
dengan pandangan kaum filosof Islam. Namun bedanya mereka tidak membawakan filsafat
emanasi sebagaimana kaum filosof Islam.
Al- Qur’an tentang alam Semesta dan Fenomena Alam
Salah satu ‘ijaz al-Qur’an adalah ketika al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Arab yang
merupakan bahasa yang tinggi balagahnya pada peradaban Arab. Al-Qur’an menantang
pujangga-pujangga Arab pada waktu itu untuk membuat kitab seperti al-Qur’an (Abdul Jalal:
1998: 268), sesungguhnya tidak hanya zaman al-Qur’an diturunkan pujangga tersebut ditantang
tetapi bahasa al-Qur’an yang universal menantang siapapun sampai saat ini untuk membuat
karya seperti al-Qur’an. Tetapi, dari dahulu sampai dengan zaman kontemporer tantangan
tersebut belum ada yang mampu menandingi al-Qur’an.
Bahasa al-Qur’an dengan bahasa Arab diinformasikan al-Qur’an secara eksplisit dalam
dua bentuk. Bentuk pertama dengan ungkapan Quran ‘arabiyy (al-Qur’an yang berbahasa Arab)
sebanyak enam kali. Sementara bentuk kedua dengan ungkapan Lisan ‘arabiyy (dengan bahasa
Arab) sebanyak tiga kali. Keistimewaan bahasa Arab yang dipilih Allah SWT menjadi bahasa al-
Qur’an ialah redaksinya ringkas, teliti lagi padat serta kaya dengan isi dan makna yang dalam
( Sirajuddin Zar: 1995: 48).
Ada tiga hal yang berhubungan dengan al-Qur’an yang membahas tentang alam dan
fenomenanya; 1) al-Qur’an memerintahkan atau menganjurkan kepada manusia untuk
memperhatikan dan mempelajari alam raya dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-
kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarnya kepada kesadaran akan keesaan dan
kemahakuasaan Allah SWT. 2) Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang
mengaturnya, diciptakan, dimiliki, dan dibawah kekuasan Allah SWT serta diatur dengan sangat
teliti. 3) Redaksi ayat-ayat kauwwniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman
atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat variasi, sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penfasir (Quraish Syihab: 1992: 132).
Seperti diuraikan pada awal penulisan ini bahwa secara garis besar al-Qur’an telah
banyak berbicara tentang alam semesta dan fenomenal alam itu sendiri. Tentang alam semesta
bisa kita cermati surat an-Naba’, surat al-Ghaasyiyah, surat ar-Ra’d, surat an-Naml dan banyak
lagi lainnya.
Adapun tentang fenomena alam seperti hujan, gempa, mendung dan lain sebagainya
secara langsung maupun tidak langsung ada beberapa ayat telah berbicara tentang fenomena
tersebut. Tentang gempa misalnya, Secara ilmiah bisa dijelaskan dan tidak bertentangan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut.
Ada dua jenis bencana utama yang dapat kita sebutkan yaitu pertama yang berasal dari
iklim dan yang kedua asalnya dari gerak lempeng kulit bumi. Iklim di suatu daerah dapat
menimbulkan kekeringan apabila mekanisme terganggu, sehingga daerah yang tadinya biasa
mendapatkan air hujan selama bulan-bulan tertentu menderita kekeringan yang merusak
tanaman, karena menggesernya daerah tiupan angin yang membawa hujan itu. Iklim juga dapat
menimbulkan bencana angin rebut, badai, atau taufan yang biasanya berawal dari putaran kecil
di daerah sub tropic dan kemudian bergerak ke daerah yang lebih dingin. Hal ini dapat kita
temukan dalam surat al_qomar yat 19 dan 20 yang artinya:”Kami hembuskan kepeda mereka
angin dingin yang kencang secara terus meneruspada hari-hari nahas yang membuat manusia
bergelimpangan bagai batang-batang pohon korma yang tumbang”.
Dari pandangan al-Qur’an kita telah melihat bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk memahami alam. Berikut beberapa tingkatan manusia dalam memahami alam; Pertama,
para perenung (QS. 45:13), kedua orang yang Arif (QS. 2:164), ketiga orang-orang yang
memahami (Ulul al-Bab) (QS.3:180), keempat orang-orang beriman (QS.45:3), kelima orang-
orang yang bertaqwa (QS. 2:63), keenam orang-orang yang berilmu (QS. 10:5), ketujuh orang
yang ingat/sadar (QS.16:13), kedelapan orang yang mendengarkan kebenaran Firman Allah (QS.
30:23), kesembilan orang-orang yang yakin (QS.45:40), dan kesepuluh orang-orang yang
menguji kebenaran, memiliki wawasan, dan memahami (QS.6:98) ( Mahdi Gulsyani: 1986: 102).
Fenomena Alam dan Implikasi Sosial
Uraian tentang fenomena alam yang dikaji dari perspektif al-Qur’an diatas menunjukkan
bahwa al-Qur’an yang diturunkan belasan abad yang lalu telah berbicara banyak tentang
fenomena alam seperti banjir, gempa bumi, bencana alam dan lainnya. Mengakaji al-Qur’an
yang dikaitkan dengan kondisi sosial maka umat Islam menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan
utama yang tidak hanya “melangit” tapi juga harus membumi. Dalam arti bahwa al-Qur’an tidak
dijadikan jargon semata tetapi diaktualisasikan dalam kehidupan.
Kitab suci yang diturunkan kepada umat manusia merupakan tanda kebesaran dan
kemaha-kuasaan Ilahi. Sedangkan teks-teks di dalamnya merupakan himpunan tanda yang
memiliki daya tarik untuk ditafsirkan (Haqqul Yakin: 2009: 27). Kenyataan ini telah lama
berlangsung dalam kajian-kajian keagamaan dimana kajian terhadap teks lain, kajian terhadap
teks kitab suci bisa membawa pengaruh mendalam secara individual maupun sosial.
Kajian terhadap teks kitab suci untuk menjawab fenomena kekinian seperti terjadinya
fenomena alam diatas harus disesuaikan dengan konteks. Untuk itu, ilmu kekinian bisa dijadikn
salah satu pendekatan seperti hermeneutik tanpa mengenyampingkan tafsir, Ushul Fiqh dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya. Pada tahap kritik sejarah, hermeneutika pembebasan (Hanafi:
1983: 179-180) dalam pengertian kegiatan interpretasi belum dilakukan kecuali sebagai sarana
membangun keyakinan akan sifat otoritatif dari teks.
Ayat dalam al-Qur’an seperti diatas ketika berbicara tentang fenomena alam seperti
gempa seyogyanya bisa diinterpretasikan dengan sewajarnya karena ketika terjadinya bencana
alam, banjir, gempa dan kejadian lainnya, umat Islam bukannya sibuk dengan membantu para
korban bencana tetapi sibuk dengan mencari ayat-ayat yang kira-kira sesuai dengan kejadian
tersebut yang kebetulan bersamaan dengan jam kejadian dengan ayat tersebut.
Melihat gejala sosial dalam masyarakat yang cendrung sibuk dengan mencari-cari ayat
yang sesuai dengan gejala alam tersebut dengan mengenyampingkan bantuan kepada korban,
yang muncul kemudian adalah su’sudzan (berburuk sangka) terhadap non-muslim yang dengan
tangkap membatu para korban. Mereka dianggap sebagai misionaris yang menyebarkan agama
dengan mengambil kesempatan dengan terjadinya gempa, tsunami dan lainnya.
Disatu sisi para da’i, khatib dalam menjelaskan peristiwa bencana alam ketika harus
dikaitkan dengan al-Qur’an selalu menjadikan firman Allah SWT yang artinya ” Telah nyata
kerusakan di laut dan bumi akibat ulah manusia”, potongan ayat ini selalu melangit yang tidak
pernah diaktualisasikan dalam kehidupan social dengan cara menjaga kebersihan, menanam
pohon dan kegiatan lainnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah umat Islam sendiri hidup semaunya
tanpa perduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, dalam mengahadapi fenomena alam seperti banjir, tsunami, gempa dan
lainnya hendaknya dijadikan sebagai intropeksi diri untuk berbuat yang lebih baik untuk diri,
lingkungan agar hidup lebih sehat dan nyaman, bukan percaya terhadap sesuatu yang belum jelas
asalnya seperti terjadinya kiamat dalam waktu dengan yang hanya berdasar pada asas praduga.
Persoalan kiamat, sebagai umat yang beriman senantiasa kita harus kembali kepada refrensi
utama kita yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Kesimpulan
Ulasan al-Qur’an yang membahas tentang alam semesta, tentu tidak hanya bagaimana al-
Qur’an berbicara tentang alam semesta an sich tetapi juga bagimana fenomena alam bisa terjadi
yang tidak hanya merupakan takdir tapi itu semua punya proses sehingga terjadi fenomena
seperti yang kita amati sekarang atau yang biasa kita sebut dengan istilah Sunatullah atau hukum
alam.
Terjadinya fenomena kejadian alam disekeliling kita saat ini bukan hanya sebuah takdir
bahwa alam itu akan hancur tetapi itu semua tidak akan lepas oleh ulah tangan penduduk bumi
yang semakin rakus seperti apa yang duraikan pada uraian terdahulu.
Oleh karena itu seyogyanya kita perhatikan apa yang tersurat dan tersirat dalam al-
Qur’an. Kita tidak bisa hanya menyalahkan takdir bahwa bumi ini akan hancur tetapi upaya
pelestarian alam dan perlindungan kita lepas begitu saja sehingga alam sekitar kita tidak terawatt
dengan baik. Karena alam diciptakan bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi untuk kepentingan
manusia sebagai makhluk. Kalau upaya pelestarian sudah menghilang dalam diri kita maka
tunggulah saatnya kehancuran alam semsta ini. Wallahu a’lamu bi Showab
Referensi
Al-Qur’an al-Karim. Yogyakarta: Gema Insani. 2005
Al-Gazali, Abu Hamid, Kerancuan Filsafat, Yogyakarta: Isalamika, 2003
Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prisma Yasa, 1997
………… Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983
Djalal, Abdul, Uluml Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu: 1998
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Qur’an, Jakarta; Mizan, 1986
Hanafi, Hassan, Qadâyâ Mu`âshirah: Fî Fikrinâ al-Mu`âsir, vol. 2. Beirut: Dâr at-Tanwîr, 1983.
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1983
……………… “Sekitar Pendapat Filosof Islam tentang Emanasi dan Kekalnya Alam,” Studi
Islamika, no. 23 IAIN Jakarta, 1986
Natta, Abduddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2003
Shihab, Quraish, “Membumikan” al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Yaqin, Haqqul, Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta:
Suksus Offset: 2009
Zar, Sirajudin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an, Jakarta:
Raja Grafindo, 1995