AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH
Transcript of AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) TERHADAP
BAKTERI Streptococcus pneumoniae RESISTAN MAKROLIDA
VIRA MAULIDINA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1442 H
i
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) TERHADAP
BAKTERI Streptococcus pneumoniae RESISTAN MAKROLIDA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
VIRA MAULIDINA
11160950000068
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M / 1442 H
ii
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEH
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) TERHADAP
BAKTERI Streptococcus pneumoniae RESISTAN MAKROLIDA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
VIRA MAULIDINA
11160950000068
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Program Sudi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M. Si
NIP. 197505262000122001
Pembimbing I,
Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si
NIP. 197203222002122002
Pembimbing II,
Dodi Safari, S. Si., Ph. D
NIP. 197703052014061001
iii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis
(L.) Kuntze) terhadap Bakteri Streptococcus pneumoniae Resistan
Makrolida” yang ditulis oleh Vira Maulidina, NIM 11160950000068 telah diuji
dan dinyatakan LULUS dalam siding Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober
2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env., Stud.
NIP. 196904042005012005
Penguji II,
Etyn Yunita, M. Si
NIP. 197006282014112002
Penguji I,
Narti Fitriana, M. Si
NIDN. 0331107403
Ketua Program Studi Biologi,
Dr. Priyanti, M. Si
NIP. 197505262000122001
Pembimbing I,
Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si
NIP. 197203222002122002
Pembimbing II,
Dodi Safari, S. Si., Ph. D
NIP. 197703052014061001
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Oktober 2020
Vira Maulidina
11160950000068
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim, hamdan wa syukron lillah. Puji dan syukur
Penulis panjatkan ke hadirat Allah Azza wa jalla, atas rahmat dan karunia-Nya,
Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis (L.) Kuntze) terhadap
Bakteri Streptococcus pneumoniae Resistan Makrolida” dengan baik di tengah
pandemi COVID-19.
Penyelesaian tulisan ini tentu tidak luput dari masukan dan bantuan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih
atas segala bantuan, bimbingan dan dukungan kepada seluruh pihak yang terlibat.
Dengan rasa hormat Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env Stud. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M. Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta penguji I pada Seminar
Proposal dan Seminar Hasil yang telah memberikan saran dan masukan yang
membangun kepada Penulis.
3. Narti Fitriana, M. Si. selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta penguji I pada Sidang
Skripsi yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun kepada
Penulis.
4. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si. dan Dodi Safari, S. Si., Ph. D. selaku
pembimbing I dan II yang telah memberikan arahan, masukan, nasihat dan
saran yang membangun kepada Penulis.
5. Arina Findo Sari, M. Si. selaku penguji II pada seminar proposal dan hasil
yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun kepada Penulis.
6. Etyn Yunita, M. Si. selaku penguji II pada Sidang Skripsi yang telah
memberikan saran dan masukan yang membangun kepada Penulis.
7. Prof. dr. Amin Soebandrio, Sp.MK. selaku kepala Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
kepada Penulis untuk menyelesaikan riset tugas akhir di sana.
vi
8. Wisnu Tafroji dan Yayah Winarti selaku Pembina lapangan yang telah
membantu dan memberi arahan selama pelaksanaan kegiatan penelitian.
9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini secara penulisan maupun subtansi belum
sempurna sehingga Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk skripsi ini ke depannya.
Jakarta, Oktober 2020
Penulis
vii
ABSTRAK
Vira Maulidina. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Teh (Camellia sinensis
(L.) Kuntze) terhadap Bakteri Streptococcus pneumoniae Resistan
Makrolida. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh
Megga Ratnasari Pikoli dan Dodi Safari.
Streptococcus pneumoniae adalah bakteri patogen penyebab penyakit infeksi
saluran napas bawah seperti pneumonia, dan dilaporkan telah mengalami
resistansi terhadap antibiotik makrolida yang menyebabkan upaya pengobatan
menjadi sulit dilakukan. Teh (Camellia sinensis (L.) Kuntze) merupakan tanaman
obat yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui potensi aktivitas antibakteri ekstrak daun teh asal Kampung Naga
terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida. Penelitian ini menggunakan
metode eksperimen dengan 2 perlakuan berupa variasi pelarut ekstraksi. Ekstraksi
daun teh dilakukan dengan metode maserasi bertingkat menggunakan pelarut etil
asetat dan etanol 96%. Uji antibakteri dengan difusi cakram menunjukkan ekstrak
etil asetat dan etanol 96% memiliki aktivitas antibakteri dengan rerata diameter
zona hambat masing-masing sebesar 15,7±0,3 mm dan 7,7±0,6 mm. Penentuan
nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum
(KBM) dengan mikrodilusi menunjukkan bahwa nilai KHM dan KBM ekstrak etil
asetat masing-masing sebesar 0,625 mg/ml dan 1,25 mg/ml. Studi literatur
menunjukkan senyawa fitokimia yang terkandung dalam ekstrak daun teh adalah
katekin, alkaloid, tanin, flavonoid, steroid dan terpenoid, serta fenolik. Senyawa
katekin diduga berperan dalam aktivitas antibakteri ekstrak daun teh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun teh dari kedua pelarut memiliki
potensi aktivitas antibakteri terhadap S. pneumoniae resistan makrolida, dengan
aktivitas penghambatan yang tergolong intermediat dan lemah.
Kata kunci: antibakteri; Camellia sinensis; makrolida; Streptococcus pneumoniae;
resistan
viii
ABSTRACT
Vira Maulidina. Antibacterial Activity of Tea Leaves Extract (Camellia
sinensis (L.) Kuntze) Extract against Macrolide-Resistant Streptococcus
pneumoniae. Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of
Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah
Jakarta. Advised by Megga Ratnasari Pikoli dan Dodi Safari.
Streptococcus pneumoniae is one of the pathogen bacteria causing lower
respiratory tract infection like pneumonia, and these bacteria have been reported
to be resistant to macrolide antibiotics which causing difficulties in treatment. Tea
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) is medicinal plants having potential for
antibacterial activity. This study is aimed to determine the potency of the
antibacterial activity of tea leaves extract from Kampung Naga against Macrolide-
Resistant Streptococcus pneumoniae (MRSP). The study is conducted by
experiment with 2 variables. Tea leaves were extracted by multilevel maceration
using ethyl acetate and ethanol 96%. The antibacterial activity by disc diffusion
showed that ethyl acetate and ethanol 96% extracts had antibacterial activity
measured by diameter of inhibition zone of 15,7±0,3 mm and 7,7±0,6 mm,
respectively. Determination of Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and
Minimum Bactericidal Concentration (MBC) using ethyl acetate extract by
microdilution showed that the minimum concentration were 0.625 mg/ml and 1.25
mg/ml, respectively. Phytochemical compounds of tea leaves extract by literature
studies consisted of catechin, alkaloids, tannins, flavonoids, steroids and
terpenoid, and phenolic. The catechin might have a role in antibacterial activity of
tea leaves extract. The results showed that the extracts had the potency of
antibacterial activity against MRSP classified as intermediate and weak.
Key words: antibacterial; Camellia sinensis; macrolide; Streptococcus
pneumoniae; resistant
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3. Hipotesis Penelitian ................................................................................. 3
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 3
1.6. Kerangka Berpikir ................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1. Antibakteri ............................................................................................... 5
2.2. Tanaman Teh ........................................................................................... 7
2.2.1. Deskripsi dan klasifikasi .............................................................. 7
2.2.2. Kandungan fitokimia dan manfaat ............................................... 9
2.3. Bakteri Streptococcus pneumoniae........................................................ 10
2.3.1. Deskripsi dan klasifikasi ............................................................ 10
2.3.2. Mekanisme resistansi ................................................................... 12
BAB III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 14
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................... 14
3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 14
3.3. Rancangan Penelitian............................................................................... 15
3.4. Cara Kerja ................................................................................................ 15
3.4.1. Pemerolehan dan Pembuatan Simplisia Daun Teh ......................... 15
3.4.2. Pengukuran Kadar Air Simplisia Daun Teh Asal Kampung Naga . 16
3.4.3. Ekstraksi Simplisia Daun Teh Asal Kampung Naga ...................... 16
3.4.5. Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri S. pneumoniae ................ 17
3.4.6. Sub Kultur Bakteri .......................................................................... 17
3.4.7. Uji Cakram Antibakteri ................................................................... 18
3.4.8. Penentuan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) Antibakteri .......................... 19
3.5. Pendugaan Kadar Senyawa Fitokimia Ekstrak Daun Teh Asal Kampung
Naga melalui Studi Literatur ................................................................. 21
3.6. Analisis Data ........................................................................................... 21
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 22
4.1. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Teh Asal Kampung Naga terhadap
Bakteri S. pneumoniae Resistan Makrolida .......................................... 22
x
4.2. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum
(KBM) Ekstrak Daun Teh Asal Kampung Naga terhadap Bakteri S.
pneumoniae Resistan Makrolida ........................................................... 28
4.3. Penelusuran dan Pendugaan Senyawa Fitokimia Ekstrak Daun Teh Asal
Kampung Naga ...................................................................................... 31
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 35
5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 35
5.2. Saran ........................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 36
LAMPIRAN ............................................................................................................ 45
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian ........................................................... 4
Gambar 2. Struktur Molekuler Antibiotik Golongan Makrolida ....................... 6
Gambar 3. Mekanisme Kerja Antibiotik Golongan Makrolida ........................ 6
Gambar 4. Morfologi Tanaman Teh .................................................................. 8
Gambar 5. Koloni Bakteri Streptococcus Pneumoniae ..................................... 10
Gambar 6. Mekanisme Resistansi Makrolida ................................................... 12
Gambar 7. Rerata Diameter Zona Hambat Kedua Esktrak Daun Teh .............. 24
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Perhitungan Kadar Air Simplisia Daun Teh ................................. 45
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Ekstrak.................................................... 45
Lampiran 3. Perhitungan Rerata Diameter Zona Hambat Ekstrak Daun Teh... 46
Lampiran 4. Gambar Uji Antibakteri Metode Difusi Cakram .......................... 47
Lampiran 5. Gambar Uji Penentuan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum ...... 48
Lampiran 6. Gambar Uji Penentuan Nilai Konsentrasi Bunuh Minimum ........ 49
Lampiran 7. Perhitungan Pendugaan Kadar Senyawa Fitokimia ..................... 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit
menular yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.
Menurut Troeger et al. (2018) sebanyak 2,3 juta orang dari segala usia dan lebih
dari 600 ribu anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal akibat Infeksi Saluran
Napas Bawah Akut (ISNBA) pada tahun 2016. Bakteri dan virus merupakan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan ISNBA (Schrag, Beall, & Dowell
2001). Streptococcus pneumoniae adalah salah satu bakteri patogen penyebab
ISNBA seperti pneumonia. Bakteri ini juga menyebabkan penyakit infeksi lainnya
seperti meningitis, sepsis, bakteremia dan otitis media. Secara global pada tahun
2016 lebih dari 1 juta kematian terjadi akibat infeksi S. pneumoniae dibanding
sebab penyakit lainnya (Troeger et al., 2018). World Health Organization (WHO)
(2013) melaporkan pada tahun 2008 sebanyak 476 ribu anak negatif HIV yang
berusia dibawah 5 tahun meninggal akibat infeksi S. pneumoniae. Berdasarkan
data Kementerian Kesehatan RI (2018) kasus pneumonia secara nasional
diperkirakan sebesar 3,55%. Selain itu, pada tahun 2016-2017 terjadi peningkatan
angka kematian balita akibat pneumonia dari 0,22% menjadi 0,34%.
Upaya intervensi terhadap infeksi bakteri S. pneumoniae dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu menggunakan vaksin dan pengobatan antibiotik. Vaksin
konjugat pneumokokus (PCV7) merupakan vaksin pneumonia yang
diperkenalkan pada tahun 2000-an di Amerika Serikat terbukti mampu
mengurangi infeksi pneumokokus pada anak-anak, satu dekade setelahnya
dikeluarkan vaksin PCV13 (Whitney et al., 2003; Farrell, Mendes, & Jones,
2015). Biaya vaksin pneumokokus di Indonesia masih terbilang cukup mahal
yaitu berkisar antara 600-800 ribu rupiah, akibatnya banyak balita yang tidak di
imunisasi vaksin pneumonia. Alternatif lain untuk mengatasi infeksi bakteri S.
pneumoniae adalah menggunakan antibiotik golongan makrolida. Tetapi, saat ini
banyak penelitian melaporkan bahwa bakteri S. pneumoniae telah mengalami
resistansi terhadap antibiotik golongan makrolida. Pada tahun 1990-an di
Indonesia, laju resistansi antibiotik golongan makrolida jenis eritromisin terhadap
2
bakteri S. pneumoniae pertama kali dilaporkan sebesar 36% (Lestari & Severin,
2009). Penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2019) melaporkan bahwa 95%
galur S. pneumoniae telah mengalami resistansi terhadap antibiotik eritromisin.
Masalah yang timbul mengenai pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri S.
pneumoniae resistan makrolida menjadi latar belakang perlu dilakukannya
penelitian terkait alternatif lain.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
infeksi bakteri adalah tanaman obat. Mateen et al. (2014) menyatakan tanaman
obat banyak dimanfaatkan di berbagai negara karena merepresentasikan sumber
agen antibakteri dan sumber dari banyak obat yang potensial. Kandungan
fitokimia tanaman obat dimanfaatkan oleh hampir 80% populasi di dunia sebagai
pengobatan tradisional (Namita & Mukesh., 2012). Secara tidak langsung,
kandungan fitokimia dalam tanaman dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik.
Perbedaan faktor lingkungan di suatu wilayah, dapat menyebabkan satu spesies
tanaman yang sama dapat memiliki kandungan senyawa fitokimia berbeda
(Borges, Minatel, Gomez-Gomez, & Lima, 2017).
Tanaman teh merupakan tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat
Indonesia, salah satunya di Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya.
Berdasarkan hasil wawancara, tanaman tersebut dipercaya dan digunakan
masyarakat setempat untuk mengobati batuk dan sakit perut. Ekstrak etanol daun
teh asal Chennai, India memiliki kandungan senyawa fitokimia yang terdiri dari
tanin, saponin, flavonoid, terpenoid, fenol, steroid dan alkaloid. Ekstrak tersebut
mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans (Anita,
Sivasamy, Kumar, Balan, & Ethiraj, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh
Ardiansyah, Adirestuti, & Desmiaty (2015) menunjukkan bahwa ekstrak etil
asetat daun teh asal Bandung memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram
positif yaitu Propionibacterium acnes dan Staphylococcus aureus.
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak daun teh asal Kampung
Naga terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida belum pernah dilakukan.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak
daun teh asal Kampung Naga dari 2 pelarut berbeda yang terdiri dari etil asetat
dan etanol 96% terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida. Penggunaan
3
kedua pelarut tersebut diharapkan dapat mengekstraksi senyawa fitokimia dengan
kepolaran yang luas. Selain itu, perlu dilakukan juga penelusuran dan pendugaan
kadar kandungan senyawa fitokimia yang diduga terkandung dalam ekstrak daun
teh asal Kampung Naga dengan metode studi literatur.
1.2. Rumusan Masalah
1) Apakah ekstrak daun teh asal Kampung Naga dari 2 pelarut berbeda memiliki
aktivitas antibakteri terhadap S. pneumoniae resistan makrolida?
2) Berapakah konsentrasi minimum ekstrak daun teh asal Kampung Naga yang
dibutuhkan untuk menghambat (Konsentrasi Hambat Minimum) dan
membunuh (Konsentrasi Bunuh Minimum) S. pneumoniae resistan makrolida?
3) Apa sajakah kandungan senyawa fitokimia yang diduga terdapat dalam
ekstrak daun teh asal Kampung Naga, Tasikmalaya berdasarkan studi
literatur?
1.3. Hipotesis Penelitian
1) Ekstrak daun teh asal Kampung Naga mampu menghambat pertumbuhan
bakteri S. pneumoniae resistan makrolida (menjawab rumusan masalah no. 1).
2) Senyawa fitokimia ekstrak daun teh berdasarkan studi literatur terdiri dari
katekin, alkaloid, tanin, flavonoid, steroid dan terpenoid, serta fenolik.
Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan berperan dalam aktivitas antibakteri
(menjawab rumusan masalah no. 3).
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi aktivitas antibakteri
ekstrak daun teh asal Kampung Naga terhadap bakteri S. pneumoniae resistan
makrolida.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menggali potensi sumber daya ekstrak
daun teh asal Kampung Naga sebagai agen antibakteri dan menyediakan data awal
dalam eksplorasi senyawa bioaktif yang dapat dikembangkan menjadi antibakteri
terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida.
4
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang menjadi landasan dilakukannya penelitian ini
adalah sebagai berikut (Gambar 1).
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
Bakteri S. pneumoniae merupakan
bakteri penyebab ISPA
Bakteri S. pneumoniae diketahui
telah mengalami resistan antibiotik
golongan makrolida
Tanaman teh berpotensi memiliki
aktivitas antibakteri
Tanaman obat digunakan untuk
mengobati penyakit infeksi
Ekstrak daun teh asal Kampung Naga mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.
pneumoniae resistan makrolida
Perlu dilakukan pengujian ekstrak daun teh asal Kampung Naga
terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibakteri
Antibakteri adalah suatu senyawa yang digunakan untuk mengobati
penyakit infeksi dengan cara memengaruhi pertumbuhan, perkembangbiakan, dan
kelangsungan hidup mikroorganisme, tanpa membahayakan kesehatan
penggunanya (WHO, 2014). Mekanisme penghambatan antibakteri secara umum
meliputi inhibisi sintesis dinding sel atau sintesis asam nukleat, inhibisi fungsi
ribosom atau fungsi membran sel (Kaufman., 2011). Berdasarkan aktivitas
spektrumnya, antibakteri dikategorikan menjadi 2, yaitu berspektrum sempit
(narrow spectrum) dan berspektrum luas (broad spectrum). Antibakteri
berspektrum sempit hanya bekerja efektif pada salah satu golongan bakteri, baik
itu Gram positif saja atau Gram negatif saja. Sedangkan antibakteri yang
berspektrum luas dapat efektif melawan keduanya.
Sebagian besar senyawa antibakteri diproduksi oleh tanaman dalam bentuk
senyawa fitokimia sebagai respon pertahanan terhadap stress lingkungan
khususnya invasi mikroorganisme patogen (Borges et al., 2017). Senyawa
fitokimia tanaman dikategorikan menjadi senyawa metabolit primer dan sekunder.
Saat ini senyawa metabolit sekunder telah banyak dimanfaatkan dalam produksi
obat-obatan untuk mengatasi berbagai macam penyakit khususnya penyakit
infeksi (Borges et al., 2017). Senyawa metabolit sekunder dari tanaman telah
banyak dibuktikan memiliki aktivitas terapeutik yang luas terhadap
mikroorganisme patogen. Secara langsung, senyawa metabolit sekunder
berinteraksi dengan beberapa reseptor, sel membran dan asam nukleat pada
mikroorganisme patogen (Roopan & Madhumitha, 2018).
Antibiotik merupakan salah satu kelompok senyawa antibakteri yang
mencegah pertumbuhan bakteri dengan dua cara, yaitu menghentikan pembelahan
sel (bakteriostatik) atau dengan membunuh sel tersebut (bakterisidal) (Dugassa &
Shukuri., 2017). Terdapat berbagai jenis golongan antibiotik, salah satunya adalah
antibiotik makrolida. Antibiotik golongan makrolida seperti eritromisin,
klaritromisin dan azitromisin didefinisikan sebagai struktur kompleks makrosiklik
6
dengan cincin lakton kelompok 12-, 14-, 15-, 16- yang disubstitusi dengan gugus
gula netral dan kelompok gula amino (Gambar 2) (Schroeder, & Stephens., 2016).
Gambar 2. Struktur molekuler antibiotik golongan makrolida (C. M. Wang, Zhao,
Zhang, Chai, & Meng, 2017)
Antibiotik golongan makrolida terdiri dari dua generasi. Generasi pertama
merupakan antibiotik makrolida dari produk alami, contohnya eritromisin.
Generasi kedua merupakan antibiotik generasi pertama yang telah mengalami
modifikasi, seperti klaritromisin dan azitromisin (Gambar 2) (George, 2017).
Ketiga jenis antibiotik tersebut biasa digunakan sebagai terapi pengobatan
terhadap S. pneumoniae (Cherazard et al., 2017).
Gambar 3. Mekanisme kerja antibiotik golongan makrolida jenis azitromisin
(National Information Program on Antibiotics, 2016)
George (2017) menyatakan bahwa pada tahun 1950 antibiotik golongan
makrolida pertama kali diisolasi dari galur Streptomyces dan disebut sebagai
pikromisin karena rasanya yang pahit. Hampir semua antibiotik makrolida
7
diproduksi oleh galur Streptomyces. Namun, beberapa spesies Micronospora
ditemukan memproduksi kelompok 14- atau 16- makrolida lain. Secara umum,
antibiotik golongan makrolida memiliki aktivitas antibakteri yang luas terhadap
bakteri golongan Gram positif, dan hanya memiliki aktivitas yang terbatas
terhadap bakteri golongan Gram negatif. Beberapa bakteri Gram positif yang aktif
diserang oleh antibiotik makrolida diantaranya adalah Staphylococcus,
Streptococcus dan Diplococcus, sedangkan beberapa bakteri Gram negatif, yaitu
Neisseria gonorrhea, Haemophilus influenzae, Bordetella pertusis dan Neisseria
meningitis (George, 2017). Antibiotik makrolida menghambat sintesis protein
bakteri dengan mengikat subunit ribosom 50S (menempati situs P) dan
mengganggu perpanjangan protein dengan menyebabkan disosiasi tRNA-peptidil
yang bergerak dari situs A pada ribosom ke situs P (Gambar 3) sehingga proses
sintesis protein terhenti (Schroeder & Stephens, 2016).
2.2. Tanaman Teh
2.2.1. Deskripsi dan Klasifikasi
Tanaman teh merupakan satu dari banyaknya spesies tanaman dikotil yang
daun dan pucuknya digunakan untuk membuat minuman teh. Sejak 2000 tahun
lalu, teh telah dikonsumsi sebagai minuman di China (Agarwal, Pathak, Bhutani,
Kapoor, & Kant, 2017). Secara global, teh termasuk dalam minuman yang paling
sering diminum setelah air, karena efek terapeutik dan rasanya yang non-alkoholik
(Naveed et al., 2018). Teh merupakan tanaman angiosperma yang termasuk
sebagai pohon kecil, namun tampak seperti perdu karena seringnya pemangkasan.
Tanaman ini termasuk dalam famili Theaceae, yang ketinggiannya bisa mencapai
10-15 m jika tumbuh secara liar, namun jika ditanam pertumbuhan tingginya
hanya akan mencapai 0,6-1,8 m (Gambar 4. A). Batang tanaman teh tegak dan
berkayu, memiliki banyak cabang, ujung ranting dan daun mudanya berambut
halus (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008). Daun tunggal berwarna
hijau muda sampai hijau tua dengan permukaan mengilap, letak berseling,
bertangkai pendek, bentuk daun elips memanjang, ujung dan pangkal daun
runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan daun menyirip (Tariq, Naveed, &
Barkat, 2010). Helai daun kaku, memiliki panjang berkisar antara 5-18 cm dan
8
lebar 2-6 cm (Gambar 4. B-4. E). Bunga tunggal terletak di ketiak daun, tunggal
atau ada yang bergabung menjadi satu, dioceous, berwarna putih cerah dengan
kepala sari berwarna kuning dan memiliki aroma yang harum (Gambar 4. F)
(Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008).
Gambar 4. Morfologi tanaman teh. A. Satu individu pohon; B. Panjang daun
muda; C. Lebar daun muda; D. Panjang daun tua; E. Lebar daun tua; F.
Perbungaan (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Berdasarkan Integrated Taxonomic Information System Report (ITIS
Report) tanaman teh termasuk dalam ordo Ericales, famili Theaceae dan bergenus
Camellia. Pada awalnya tanaman teh dibudidayakan di China, namun saat ini
persebarannya telah meluas mulai dari Jepang, Srilanka, India, Indonesia, Kenya,
Turki, Pakistan, Malawi, dan Argentina, baik dari daerah tropis dan subtropis
A
A
9
tanaman ini dapat ditemukan (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008;
Namita, Mukesh, & Vijay, 2012). Tanaman teh umumnya ditanam pada daerah
perkebunan, dipanen secara manual dan dapat tumbuh pada ketinggian 200-2.300
m dpl (BPOM RI, 2008). Selain itu, tanaman ini dapat tumbuh pada daerah yang
curah hujannya memadai, drainasenya baik dan tanah yang sedikit asam (da Silva
Almeidada et al., 2016). Tanaman ini biasa dikenal dengan sebutan Chha (India),
Cha (Cina), Cajno derevo (Rusia), Tee (Jerman), Theier (Perancis) Itye (Afrika),
Te (Italy), Tea plant (Inggris) dan Tea (Amerika) (BPOM RI, 2008; Namita,
Mukesh, & Vijay, 2012). Di Indonesia sendiri, tanaman teh memiliki beberapa
nama diantaranya adalah, Enteh (Sunda), Teng atau Pokok cha (Sulawesi) dan
Pokok teh (Bugis) (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008).
2.2.2. Kandungan Fitokimia dan Manfaat
Tanaman teh memiliki kandungan fitokimia yang terdiri dari katekin,
kafein, teobromin, teofilin, tanin, minyak atsiri dan natural flourida (Badan
Pengawas Obat dan Makanan RI, 2008). Tanaman teh juga dilaporkan
mengandung hampir 4000 senyawa yang sebagian besarnya adalah polifenol,
yaitu flavonoid (Tariq et al., 2010). Komponen kimiawi lain yang juga dilaporkan
terdapat dalam teh adalah alkaloid, karbohidrat, protein, klorofil dan senyawa
organik lainnya (Namita et al., 2012). Tanaman teh memiliki aktivitas
antioksidan, antimutagenik, antikarsinogenik, antibakteri, antivirus dan
antifibrosis (da Silva Almeidada et al., 2016). Selain memiliki aktivitas
antipenuaan dini, tanaman teh juga memiliki aktivitas terhadap penyakit
neurodegeneratif seperti anti Alzheimer, antiparkinson, antistroke (Namita,
Mukesh, & Vijay, 2012). Tanaman ini juga memiliki aktivitas antidiabetes dan
antikaries pada gigi. Saeed et al. (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
tanaman teh memiliki aktivitas antioksidatif dan antiinflamasi. Konsumsi teh
sebagai minuman juga dapat meningkatkan ingatan dan menjaga kesehatan tulang.
10
2.3.2. Bakteri Streptococcus pneumoniae
2.3.1. Deskripsi dan Klasifikasi
Bakteri S. pneumoniae termasuk famili Streptococcaceae atau biasa juga
disebut pneumokokus dan termasuk dalam ordo Lactobacillales. Bakteri tersebut
tergolong sebagai bakteri Gram positif dan bersifat anaerob fakultatif (Skovsted et
al., 2015). Streptococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku
kata yaitu streptus (liat, sangat lekat) dan coccus (biji-bijian). Jika diamati di
bawah mikroskop sel bakteri S. pneumoniae tampak berpasangan (diplococci)
atau dapat ditemukan juga dalam bentuk tunggal dan rantai pendek. Koloni
bakteri S. pneumoniae dalam media agar darah terlihat berukuran kecil, berwarna
keabuan, permukaannya mengilap, terlihat adanya zona alfa-hemolisis yang
berwarna hijau kehitaman (Gambar 5A) dan elevasi koloninya akan rata (flat)
setelah ditumbuhkan selama 24-48 jam (Gambar 5B) (Central for Disease Control
and Prevention (CDC), 2016). Beberapa bakteri S. pneumoniae ditemukan
memiliki kapsul yang tersusun atas kompleks polisakarida. S. pneumoniae yang
memiliki kapsul bersifat patogenik terhadap manusia dan beberapa hewan uji,
sedangkan bakteri yang tak berkapsul tidak bersifat patogenik.
Gambar 5. Koloni bakteri Streptococcus pneumoniae dalam media agar darah. A.
Koloni bakteri S. pneumoniae dengan zona alfa-hemolisis berwarna
hijau; B. Koloni bakteri S. pneumoniae dengan permukaan yang datar
(CDC, 2016)
Secara alami, pneumokokus dapat ditemukan pada saluran respirasi dan
dapat diisolasi dari nasofaring orang sehat 5%-90% (CDC, 2015). Streptococcus
pneumoniae adalah bakteri komensal yang sangat teradaptasi dan lapisan mukosa
saluran pernapasan atas merupakan reservoir utama S. pneumoniae. Bakteri
tersebut dapat menyebabkan penyakit berat ketika menginvasi daerah yang
11
seharusnya steril seperti rongga telinga, paru-paru, aliran darah dan meninges
(Weiser, Ferreira, & Paton, 2018). Bakteri tersebut merupakan agen penyebab
berbagai macam penyakit mulai dari saluran pernapasan atas dan saluran
pernapasan bawah di antaranya, yaitu pneumonia, meningitis, septikemia, otitis
media, sinusitis dan bronkitis (Wang et al., 2019).
Penyebaran dan penularan bakteri S. pneumoniae dapat terjadi jika
melakukan kontak erat dengan carrier terutama anak-anak dan dipengaruhi oleh
musim. Penularan lebih sering terjadi pada saat bulan-bulan yang lebih kering dan
dingin ketika sekresi saluran napas lebih banyak. Penyebaran bakteri S.
pneumoniae melalui droplet atau aerosol dari manusia ke manusia dan kolonisasi
saluran nasofaring menjadi sebab utama terjadinya infeksi penyakit pneumokokus
(Numminen et al., 2015). Secara sederhana, proses kolonisasi dan infeksi bakteri
S. pneumoniae terjadi ketika bakteri tersebut masuk ke dalam lubang hidung dan
menempel pada sel-sel epitel saluran nasofaring. Kemudian, bakteri tersebut dapat
mengolonisasi nasofaring atau menyebar ke organ-organ lain seperti telinga, sinus
dan paru-paru hingga akhirnya menyebabkan infeksi serius (Henriques-Normark
& Tuomanen, 2013). Pengeluaran sekret hidung dari carrier yang tidak sesuai
tempat, juga menjadi salah satu faktor penyebaran dan penularan bakteri S.
pneumoniae (Weiser et al., 2018). Kelompok yang paling berisiko mengalami
infeksi pneumokokus terdiri dari lansia, orang yang imunokompeten namun
memiliki kondisi medis seperti kardiovaskular kronis, paru, hati, penyakit saraf
dan diabetes melitus, dan orang yang pertahanan tubuhnya rendah atau mengalami
penurunan respon imun. Risiko lain di antaranya termasuk jenis kelamin laki-laki,
penyalahgunaan alkohol, merokok, asma, kebocoran cairan tulang belakang otak,
koklea implan dan lain-lain (Hung, Tantawichien, Tsai, Patil, & Zotomayor,
2013).
Teknik serotyping kapsul polisakarida dari S. pneumoniae menjadi teknik
yang paling umum digunakan studi epidemiologi dari bakteri tersebut. Sebanyak
kurang lebih 93 struktur atau serotype telah berhasil dideskripsikan (Henriques-
Normark & Tuomanen, 2013). Zhao et al. (2019) melaporkan dalam penelitiannya
pada tahun 2018, serotype bakteri S. pneumoniae yang paling umum ditemukan
pada anak-anak di Shanghai adalah 19F, 6A, 19A, 23F, 14, 6B dan 34.
12
2.3.2. Mekanisme Resistansi
Bakteri S. pneumoniae banyak dilaporkan telah mengalami resistansi
terhadap beberapa golongan antibiotik. Resistansi S. pneumoniae pertama kali
dilaporkan pada tahun 1970-an di Afrika Selatan (Musher, Sexton dan Thorner,
2020). Salah satu resistansinya yaitu terhadap antibiotik golongan makrolida.
Menurut Niederman (2015) laju resistansi S. pneumoniae terhadap antibiotik
makrolida berkisar antara 20%-40%. Thummeepak et al. (2015) melaporkan,
sebanyak 26,3% dan 21,1% dari 38 isolat bakteri S. pneumoniae telah mengalami
resistansi terhadap antibiotik azitromisin dan eritromisin di Thailand. Hung et al.
(2013) melaporkan, resistansi S. pneumoniae terhadap antibiotik eritromisin di
Malaysia mengalami peningkatan dari 3% (1996-1997) menjadi 36,8% (1998-
2001). Studi yang dilakukan di Singapura pada tahun 1995-2001 melaporkan
bahwa resistansi antibiotik eritromisin sebesar 52,9%.
Gambar 6. Mekanisme resistansi makrolida yang dimediasi oleh gen ermB dan
mefA (Thumu dan Halami, 2012)
Resistansi pada S. pneumoniae disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu,
penggunaan antibiotik yang tidak sesuai anjuran, tingkat evolusi bakteri yang
sangat cepat, serta mutasi yang dimediasi melalui transposon (Thummeepak et al.,
2015). Resistansi makrolida pada S. pneumoniae dimediasi oleh dua mekanisme
melalui transposon, yaitu modifikasi target ribosomal dengan metilase yang
dikodekan oleh gen erm(B) dan gen mef(A) yang menyebabkan terjadinya aliran
obat aktif keluar melalui pompa fisiologis pada membran sitoplasma (efflux
13
system) (Gambar 6) (Okitsu et al., 2005; Domon et al., 2018). Resistansi S.
pneumoniae terhadap antibiotik makrolida yang dimediasi oleh efflux system
termasuk sebagai resistansi tingkat rendah, sedangkan resistansi yang dimediasi
oleh modifikasi target ribosomal termasuk tingkat tinggi (Niederman, 2015).
Selain itu, S. pneumoniae merupakan bakteri yang memiliki mekanisme transfer
gen horizontal. Mekanisme ini membuat terjadinya perpindahan gen resistan
antibiotik yang meningkatkan resistansi terhadap antibiotik lainnya (Thummeepak
et al., 2015; Domon et al., 2018).
Bentuk fenotip dari resistansi gen erm(B) dan mef(A) yaitu Macrolide-
Lincosamides-Streptogramin B (MLSB) dan fenotip Macrolide (M). Fenotip
MLSB merupakan bentuk resistansi tertinggi pada makrolida, linkosamida dan
streptogramin B dengan menyebabkan dimetilasi adenin 2058 dalam 23S rRNA
dari subunit ribosom 50S (Edelstein, 2004). Hasil akhir dari fenotip MLSB adalah
terbentuknya enzim metiltransferase yang menyebabkan eritromisin resistan
(Matsuoka, Inoue, Nakajima, & Endo, 2002). Gen mef(A) digambarkan dengan
fenotip M, menyebabkan resistansi pada kelompok antibiotik makrolida yang
memiliki atom karbon C-14 dan C-15 (Edelstein, 2004).
Kedua gen tersebut umumnya ditemukan pada bakteri S. pneumoniae yang
berasal dari 2 kompleks klonal yaitu dari CC236 (klon Taiwan19F-14) dan CC81
(klon Spanyol23F-1) resistan eritromisin di benua Asia (Ko & Song, 2004). Studi
yang dilakukan oleh Safari et al. (2014) di Taiwan pada bakteri S. pneumoniae
resistan azitromisin menunjukkan bahwa dari 486 isolat yang diujikan, 59% isolat
membawa gen erm(B), 22% isolat membawa mef(A) dan sisanya membawa kedua
gen tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Raddaoui et al. (2018) di Tunisia
melaporkan, sebanyak 41 galur bakteri S. pneumoniae yang diamati telah
mengalami resistansi terhadap antibiotik golongan makrolida dengan 90,2% galur
membawa gen erm(B) dan 9,8% membawa gen mef(A). El Ashkar et al. (2017)
dalam penelitiannya di Lebanon Utara melaporkan bahwa gen erm(B) menjadi
gen resistansi yang paling umum ditemukan pada pneumokokus dengan
persentase sebesar 71,1% pada 32 isolat dari total 45 isolat yang diujikan. Selain
itu, resistansi makrolida dimediasi oleh gen mef(A) yang menyebabkan terjadinya
pengeluaran obat aktif oleh pompa pada membran sitoplasma.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih 8 bulan, mulai dari Januari
sampai dengan Agustus 2020. Proses ekstraksi dilaksanakan di Pusat
Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sedangkan
pengujian mikrobiologis dilakukan di Laboratorium Molekuler Bakteriologi
Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan duduk
[Nagako, Kitchen Scales KCB-002], meteran, oven [Memmert], blender [Cosmos
CB-289 G], termometer [Boeco Thermometer HG. Germany.76 mm Immersion],
desikator [Nalgene, 5317-0180], corong, kertas saring, cawan porselen, rotary
vacuum evaporator [Heidolph Instuments, Laborota 4000-efficient], timbangan
analitik [Sartorius], Cryotube 1,8 ml [Biologix], cawan petri [Thermo Scientific],
ose/loop [Goselin], pipet mikro [Eppendorf], multichannel Pippette [Eppendorf],
gelas ukur [Iwaki PYREX Class A], autoklaf, Erlenmeyer 250 ml [Schott duran],
alumunium foil, inkubator CO2 [Thermo Scientific], inkubator 37°C [Thermo
Scientific] Biosafety Cabinet class II [Thermo Scientific], Laminar Air Flow
[Thermo Scientific], densitometer [Grant-bio DEN-1], McFarland Standard
[Remel], filter tips [Axygen], shaker, sentrifus, beaker glass [Schott duran],
vorteks [Thermo Scientific], tabung reaksi, pipet tetes, reservoir [Goselin], kaca
[Fisher Scientific] dan microplate 96well round bottom [FL Medical].
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tanaman teh
asal Kampung Naga, Kec. Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, plastik ziplock yang
telah dilubangi dan yang tidak dilubangi. Satu isolat bakteri S. pneumoniae ATCC
49619 serotype 19F sebagai bakteri kontrol dan 1 isolat bakteri S. pneumoniae
2506 serotype 19F sebagai bakteri resistan makrolida yang merupakan koleksi
dari Laboratorium Molekuler Bakteriologi, Lembaga Biologi Molekuler (LBM)
15
Eijkman, Jakarta. Bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah pelarut etil
asetat, etanol 96%, botol pot urin dan alumunium foil. Bahan untuk uji antibakteri
terdiri dari media Tryptic Soy Agar II (TSA 2) [BD], pelarut dimetil sulfoksida
[Sigma], media Mueller Hinton Agar (MHA) [Oxoid], blank disc [Oxoid],
erythromycin disk 15 µg [Oxoid], antibiotik vankomisin 2,5 mg/ml, lysed-horse
blood [Thermo Scientific], seal [ABI], Mueller Hinton Broth (MHB) [Thermo
Scientific] dan cotton swab [Sensi].
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan 2 perlakuan
berupa variasi pelarut ekstraksi yang terdiri dari etil asetat dan etanol 96% sebagai
variabel bebas. Perlakuan dilakukan dengan 3 kali pengulangan. Variabel terikat
pada uji antibakteri adalah diameter zona hambat yang terbentuk, sedangkan pada
penentuan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah kekeruhan media
dan pada penentuan nilai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) berupa
pertumbuhan bakteri pada media agar darah.
3.4. Cara Kerja
Tahapan kerja dalam penelitian ini meliputi pemerolehan sampel daun teh
asal Kampung Naga, preparasi alat dan bahan, pembuatan simplisia, pengukuran
kadar air simplisia, ekstraksi simplisia, sub kultur bakteri S. pneumoniae, uji
difusi cakram antibakteri, penentuan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) serta pendugaan kadar senyawa
fitokimia ekstrak daun teh asal Kampung Naga melalui metode studi literatur.
3.4.1. Pemerolehan dan Pembuatan Simplisia Daun Teh Asal Kampung Naga
Pemerolehan sampel daun teh dilakukan pada 31 Januari hingga 1 Februari
2020 di Kampung Naga, Kec. Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Daun teh yang
diambil adalah bagian pucuk dan daun muda. Sampel daun teh diambil sebanyak
±350 g, kemudian daun teh tersebut dibersihkan dari kotoran-kotoran yang
menempel. Daun yang telah diperoleh dikeringanginkan pada suhu ruang selama
±22 jam, sebelum disimpan dalam plastik ziplock yang telah dilubangi untuk
16
dibawa ke Jakarta. Setiba di Jakarta, sampel daun teh tersebut dikeringanginkan
kembali pada suhu ruang hingga benar-benar kering.
Pembuatan simplisia mengacu pada prosedur Departemen Kesehatan RI
(2008) yang dimodifikasi. Sampel daun teh yang telah kering, dihaluskan menjadi
serbuk simplisia menggunakan blender. Serbuk simplisia yang telah diperoleh
kemudian disaring agar didapatkan serbuk berukuran homogen. Serbuk yang telah
disaring, dimasukkan ke dalam plastik ziplock, disimpan pada suhu ruang hingga
saat akan digunakan. Bobot simplisia akhir yang diperoleh adalah sebesar 24 g.
3.4.2. Pengukuran Kadar Air Simplisia Daun Teh Asal Kampung Naga
Pengukuran kadar air simplisia dilakukan menggunakan metode gravimetri
yang mengacu pada Depkes RI (2008) yang dimodifikasi. Prinsip metode
gravimetri adalah penguapan air bebas dalam bahan menggunakan proses
pemanasan. Tiga buah cawan porselen yang akan digunakan, dicuci menggunakan
air mengalir lalu dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C selama 30 menit.
Cawan tersebut kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 1 g simplisia daun teh dimasukkan ke
setiap cawan, kemudian ditimbang bobot totalnya. Cawan porselen berisi
simplisia dipanaskan menggunakan oven bersuhu 105°C selama 3 jam, setelah itu
cawan didinginkan kembali menggunakan desikator selama 30 menit. Bobot
simplisia setelah dipanaskan ditimbang kembali. Proses pemanasan dilakukan
terus-menerus tiap 30 menit hingga bobot simplisia konstan. Pengukuran
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo). Persentase kadar air simplisia diukur
dengan cara mengurangi bobot sebelum pengeringan (g) dengan bobot setelah
pengeringan (g) lalu dibagi dengan bobot sebelum pengeringan (g). Hasil
pembagian tersebut kemudian dikali 100%.
3.4.3. Ekstraksi Simplisia Daun Teh Asal Kampung Naga
Ekstraksi simplisia dilakukan menggunakan metode maserasi bertingkat
berdasarkan prosedur Depkes RI (2008) yang dimodifikasi. Prinsip yang
mendasari metode ini adalah prinsip like dissolves like, yaitu senyawa metabolit
akan terlarut dalam pelarut yang kepolarannya sesuai (Permadi, Sutanto &
17
Wardatun, 2018). Simplisia daun teh diekstraksi menggunakan metode maserasi
bertingkat dengan urutan pelarut dari pelarut etil asetat kemudian dilanjutkan ke
pelarut etanol 96%. Serbuk simplisia direndam dalam pelarut urutan pertama (etil
asetat) dengan perbandingan serbuk simplisia:pelarut 1:10 (b/v).
Sebanyak 18 g serbuk simplisia daun teh asal Kampung Naga dilarutkan
ke dalam 180 ml pelarut pertama. Larutan tersebut kemudian diinkubasi selama
24 jam menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm. Larutan yang telah
diinkubasi disaring untuk memisahkan filtrat dan residu. Filtrat yang dihasilkan
dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator bersuhu 50°C agar diperoleh
ekstrak kental etil asetat. Residu hasil ekstraksi pelarut etil asetat dimaserasi
dengan pelarut etanol 96% hingga diperoleh ekstrak etanol 96%. Proses
pemekatan menggunakan rotary vacuum evapotar bertujuan untuk menghilangkan
pelarut dari filtrat, sehingga diperoleh ekstrak kental yang bebas dari pelarut.
Persentase rendemen dari masing-masing ekstrak dihitung dengan cara bobot
ekstrak (g) dibagi bobot simplisia (g). Hasil pembagian tersebut kemudian dikali
100%.
3.4.5. Pembuatan Media Pertumbuhan Bakteri S. pneumoniae
Media pertumbuhan yang digunakan untuk sub kultur bakteri adalah
media agar darah. Media tersebut terdiri dari media TSA II yang ditambahkan
dengan darah domba 8%. Penambahan darah domba dilakukan saat media TSA II
telah dilarutkan dan telah disterilisasi. Penambahan dilakukan pada saat media
TSA II berada pada suhu 56°C. Media untuk uji cakram antibakteri adalah media
MHA yang ditambahkan dengan 5% darah domba yang disebut sebagai Mueller
Hinton Blood (MHB). Media yang digunakan untuk penentuan nilai KHM adalah
media MH Broth yang ditambahkan darah kuda 4% (telah dilisiskan) dengan cara
freeze-thawing pada suhu -20˚C.
3.4.6. Subkultur Bakteri
Sub kultur bakteri uji dilakukan dengan mengacu pada prosedur dari
Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI, 2018). Bakteri uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 1 isolat S. pneumoniae ATCC 49619 sebagai bakteri
18
kontrol dan 1 isolat S. pneumoniae 2506 resistan makrolida. Kedua isolat bakteri
uji merupakan koleksi dari Laboratorium Molekuler Bakteriologi LBM Eijkman,
Jakarta.
Kultur stok semua isolat bakteri diinokulasikan pada media agar darah.
Cawan tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator anaerob bersuhu 37°C
dengan kadar CO2 5%, selama 18-20 jam. Semua bakteri yang telah diinkubasi,
diremajakan kembali ke dalam media yang sama seperti kultur awal dan
diinkubasi dalam kondisi yang sama untuk memperoleh koloni murni.
3.4.7. Uji Cakram Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi cakram
(disc diffusion). Difusi cakram merupakan metode yang bertujuan untuk
menentukan ada atau tidaknya aktivitas antibakteri dari kedua ekstrak daun teh.
Metode difusi cakram yang diperkenalkan oleh Kirby-Bauer bertujuan untuk
menguji kepekaan atau resistansi dari bakteri patogen terhadap senyawa
antimikroba. Terbentuknya zona hambat yang ditandai dengan clear zone di
sekitar cakram menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut (Hudzicki, 2009).
Pembuatan larutan ekstrak uji merupakan tahapan pertama yang dilakukan
dalam pengujian aktivitas antibakteri. Larutan ekstrak uji dibuat dengan mengacu
pada prosedur Alaga, Edema, Atayese, & Bankole (2014) yang dimodifikasi.
Larutan ekstrak dari daun teh asal Kampung Naga dibuat dengan melarutkan
ekstrak ke dalam pelarut yang sesuai hingga mencapai konsentrasi 100 mg/ml.
Ekstrak etil asetat dari daun teh asal Kampung Naga dilarutkan menggunakan
pelarut dimetil sulfoksida (DMSO) 100%. Ekstrak etanol 96% dilarutkan
menggunakan pelarut DMSO 10%. Sebanyak 4 mg ekstrak ditransfer ke dalam
cakram kosong berukuran 6 mm dengan cara diteteskan sebanyak 40 µl.
Pembuatan suspensi bakteri merupakan tahapan kedua yang perlu
dilakukan sebelum pengujian aktivitas antibakteri dilakukan. Suspensi bakteri
dibuat dengan mengacu pada protokol CLSI (2018). Satu isolat kontrol yaitu
bakteri S. pneumoniae ATCC 49619 dan 1 isolat bakteri S. pneumoniae 2506
resistan makrolida yang tumbuh dari proses peremajaan dimasukkan ke dalam 5
19
ml media MHB. Suspensi bakteri tersebut dihomogenkan menggunakan vorteks.
Tingkat kekeruhan bakteri diukur menggunakan densitometer. Suspensi dapat
digunakan apabila kekeruhannya mencapai 0,5 McFarland (McF).
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi
cakram yang mengacu pada prosedur CLSI (2018). Suspensi kedua bakteri uji
diulaskan secara merata pada permukaan media MHB menggunakan cotton swab
steril. Cakram yang telah berisi ekstrak daun teh asal Kampung Naga diletakkan
di atas permukaan media. Kedua bakteri tersebut kemudian diinkubasi pada
inkubator anaerob, pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5% selama 20-24 jam.
Aktivitas antibakteri ekstrak daun teh asal Kampung Naga ditunjukkan dengan
adanya zona hambat (clear zone) di sekitar cakram. Pengukuran diameter zona
hambat dilakukan dari batas terluar lingkaran zona hambat yang masih ada
pertumbuhan bakteri CLSI (2018). Antibiotik eritromisin dengan kosentrasi 15
µg/cakram digunakan sebagai kontrol positif, sedangkan kontrol pelarut yang
digunakan adalah larutan DMSO 10% untuk ekstrak etanol 96% dan larutan
DMSO 100% untuk ekstrak etil asetat.
3.4.8. Penentuan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) Antibakteri
Ekstrak daun teh asal Kampung Naga yang diketahui memiliki aktivitas
antibakteri terhadap kedua bakteri uji, diuji lanjut untuk menentukan nilai KHM
dan KBM ekstrak tersebut. Sebelum dilakukan penentuan nilai KHM dan KBM
tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah pembuatan larutan ekstrak. Larutan
ekstrak daun teh asal Kampung Naga dibuat dengan mengacu pada prosedur
Omar, Fares, Almasri, Slaileh & Zurba (2013) yang dimodifikasi. Larutan stok
ekstrak yang konsentrasi awal 100 mg/ml diencerkan terlebih dahulu, lalu
diencerkan bertingkat sebanyak 9 level dengan pola pengenceran 2 kali. Larutan
ekstrak diencerkan dengan mencampurkannya ke dalam media MH broth dengan
perbandingan 10:90. Konsentrasi akhir larutan ekstrak yang digunakan untuk uji
adalah sebesar 10 mg/ml, 5 mg/ml, 2,5 mg/ml, 1,25 mg/ml, 0,625 mg/ml, 0,3125
mg/ml, 0,156 mg/ml, 0,078 mg/ml dan 0,039 mg/ml.
20
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan suspensi bakteri. Suspensi bakteri
dibuat dengan mengacu pada prosedur CLSI (2018). Satu isolat bakteri S.
pneumoniae 2506 resistan makrolida dan 1 isolat S. pneumoniae ATCC 49619 uji
hasil sub kultur disiapkan, masing-masing dipanen lalu dimasukkan ke dalam 5 ml
media MHB, kemudian dihomogenkan menggunakan vorteks. Suspensi bakteri
tersebut diukur kekeruhannya menggunakan densitometer hingga mencapai
kekeruhan 0,5 McFarland (McF). Suspensi bakteri dipindahkan ke media cair
baru. Sebanyak 100 µl suspensi bakteri uji (0,5 McF) dipindahkan ke dalam 10 ml
media MHB yang telah ditambahkan lysed horse blood 4% (MH Blood).
Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan mengacu pada protokol
CLSI (2018) yang dimodifikasi. Penentuan nilai KHM dilakukan dengan metode
mikro dilusi (microdilution) menggunakan microplate 96 well round bottom
(plate). Setiap sumur berisi 90 µl suspensi bakteri yang ditambahkan dengan 10 µl
larutan ekstrak. Sumur kontrol positif berisi 100 µl suspensi bakteri, sedangkan
sumur kontrol pelarut berisi 90 µl suspensi bakteri dengan penambahan 10 µl
DMSO 10% untuk ekstrak etanol 96% dan 10 µl DMSO 100% untuk ekstrak etil
asetat. Sumur kontrol negatif berisi suspensi bakteri 90 µl yang ditambahkan 10 µl
antibiotik vankomisin dengan konsentrasi 2,5 mg/ml. Sumur kontrol pembanding
berisi 90 µl media pertumbuhan bakteri dan 10 µl larutan ekstrak masing-masing
kolom. Selanjutnya plate tersebut diinkubasi secara aerob pada suhu 37°C selama
20-24 jam, setelah itu diamati pertumbuhan bakteri pada masing-masing ekstrak.
Pertumbuhan bakteri ditandai dengan keruhnya warna larutan pada sumur setelah
inkubasi. Konsentrasi ekstrak terendah yang tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan bakteri (bening/tidak keruh) secara visual dideskripsikan sebagai
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM).
Penentuan nilai KBM dilakukan dengan metode drop test. Enam
konsentrasi larutan dari sumur penentuan nilai KHM (sumur 1-6), 1 kontrol
negatif dan 1 kontrol pelarut diambil sebanyak 20 µl, lalu diteteskan pada media
agar darah. Cawan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 20-24
jam. Konsentrasi ekstrak terendah yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri
pada media agar darah, dideskripsikan sebagai Konsentrasi Bunuh Minimum
(KBM) antibakteri.
21
3.5. Pendugaan Senyawa Fitokimia Ekstrak Daun Teh Asal Kampung Naga
melalui Studi Literatur
Penelusuran kandungan senyawa fitokimia yang diduga terdapat dalam
daun teh asal Kampung Naga dilakukan dengan metode studi literatur, kemudian
dilakukan pendugaan kadar senyawa fitokimia pada ekstrak daun teh asal
Kampung Naga dengan mengacu pada kadar senyawa yang diperoleh dari
literatur. Literatur yang digunakan adalah referensi-referensi berupa studi review
dan laporan langsung yang menganalisis kandungan senyawa fitokimia ekstrak
daun teh secara kualitatif maupun kuantitatif. Pendugaan kadar senyawa fitokimia
ekstrak daun teh dilakukan dengan mengalikan nilai rendemen ekstrak daun teh
dengan kadar senyawa fitokimia yang diperoleh dari literatur.
3.6. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif, yaitu dengan
menghitung rata-rata dan standari deviasi dari 3 ulangan pada bobot simplisia dan
diameter zona hambat. Keseluruhan data yang diperoleh termasuk data persentase
rendemen ekstrak etil asetat dan etanol 96% dari daun teh asal Kampung Naga
serta nilai KHM dan KBM dibahas secara deskriptif.
22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Teh Asal Kampung Naga terhadap
Bakteri S. pneumoniae Resistan Makrolida
Aktivitas antibakteri suatu ekstrak tanaman secara tidak langsung
dipengaruhi oleh kualitas simplisia dan senyawa fitokimia yang berhasil
terekstraksi. Salah satu parameter kualitas simplisia adalah jumlah kadar air yang
terkandung dalam bahan. Pengukuran kadar air simplisia merupakan tahapan
pertama dalam proses pengolahan simplisia daun teh asal Kampung Naga. Hasil
pengukuran kadar air simplisia daun teh diperoleh sebesar 13,06%±1,2. Nilai
kadar air simplisia daun teh asal Kampung Naga yang diperoleh telah sesuai
standar kadar air simplisia daun teh yang ditetapkan oleh Kemenkes RI (2017)
bahwa kadar air simplisia daun teh tidak lebih dari 16,0%.
Pengukuran kadar air simplisia tanaman dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan rentang atau batas maksimal kadar air yang diperbolehkan di dalam
suatu bahan. Jumlah kadar air dalam suatu bahan memiliki kaitan yang erat
dengan umur simpan dan tingkat kontaminasi (BPOM RI, 2008). Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa simplisia daun teh asal Kampung
Naga telah memenuhi mutu simplisia yang baik untuk proses penyimpanan dan
pengolahan lebih lanjut. Sejalan dengan yang disampaikan Herawati (2008),
hilangnya kandungan air hingga jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang
daya tahan simplisia selama proses penyimpanan dan mencegah terjadinya
kontaminasi oleh mikroorganisme.
Simplisia daun teh asal Kampung Naga yang telah diperoleh, diekstraksi
menggunakan metode maserasi bertingkat dengan urutan dari pelarut etil asetat
lalu dilanjutkan ke pelarut etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh disajikan dalam
bentuk data persentase rendemen. Rendemen merupakan salah satu mutu ekstrak
yang penting karena rendemen menunjukkan banyaknya senyawa fitokimia yang
berhasil terekstraksi. Semakin tinggi persen rendemen menunjukkan semakin
banyak senyawa fitokimia yang diperoleh dari proses ekstraksi (Wijaya,
Novitasari, & Jubaidah, 2018).
23
Rendemen ekstrak daun teh dari pelarut etil asetat memperoleh nilai yang
lebih tinggi sebesar 5% dibandingkan rendemen yang diperoleh dari pelarut etanol
96% sebesar 4,5%. Nilai rendemen ekstrak etil asetat yang lebih tinggi
menunjukkan bahwa senyawa fitokimia yang terkandung dalam simplisia daun teh
asal Kampung Naga diduga memiliki lebih banyak kandungan senyawa fitokimia
yang bersifat semipolar dibandingkan senyawa-senyawa polar. Sesuai dengan
yang disampaikan oleh Rahardjo, Fauzantoro, & Gozan (2018), senyawa-senyawa
semipolar akan larut dalam pelarut etil asetat yang juga bersifat semipolar (prinsip
like dissolves like) seperti beberapa golongan alkaloid, flavonoid, sterol, dan fenol
hidrokuinon (Widyawati et al. 2014).
Proses ekstraksi senyawa fitokimia dilakukan dengan menggunakan
pelarut etil asetat dan etanol 96%. Kedua pelarut tersebut sering digunakan untuk
ekstraksi senyawa fitokimia dari tanaman (Widyawati, Budianta, Kusuma, &
Wijaya, 2014). Etil asetat merupakan pelarut semipolar dengan indeks polaritas
sebesar 4,4, sedangkan etanol merupakan pelarut yang sangat polar dengan indeks
polaritas sebesar 5,2 (Sarker, Latif, & Gray, 2006). Penggunaan kedua pelarut
tersebut diharapkan dapat mengekstraksi senyawa-senyawa fitokimia dari yang
bersifat non polar, semipolar hingga senyawa polar. Pelarut etil asetat dan etanol
96% dapat menarik senyawa-senyawa yang bersifat non polar hingga polar
(Endarini, 2019; Putra, Supriyadi, & Santoso, 2019). Ekstrak dari kedua pelarut
dilanjutkan ke uji difusi cakram untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kedua
ekstrak terhadap bakteri S. pneumoniae resistan makrolida.
Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak daun teh asal Kampung Naga
dilakukan terhadap dua bakteri uji yang terdiri dari 1 isolat bakteri S. pneumoniae
ATCC 49619 sebagai kontrol positif dan 1 isolat bakteri S. pneumoniae 2506
sebagai bakteri resistan makrolida. Kontrol positif antibiotik yang digunakan
adalah antibiotik eritromisin dengan konsentrasi sebesar 15 µg. Kontrol pelarut
yang digunakan adalah DMSO 100% untuk ekstrak etil asetat dan DMSO 10%
untuk ekstrak etanol 96%. Hasil pengujian difusi cakram (Gambar 7)
menunjukkan bahwa bakteri S. pneumoniae ATCC 49619 yang merupakan
kontrol positif masih memiliki sensitivitas terhadap antibiotik eritromisin ditandai
dengan terbentuknya diameter zona hambat sebesar 29,35±0,5 mm dan 28,9±01
24
mm. Pengujian terhadap bakteri S. pneumoniae 2506 menunjukkan bahwa tidak
terbentuk zona hambat di sekitar cakram antibiotik (Gambar 7). Hal tersebut
ditunjukkan dengan masih ditemukannya pertumbuhan bakteri uji pada
permukaan media tumbuh, sehingga aktivitas antibakteri yang sedikit terlihat
tidak dapat dikategorikan sebagai diameter zona hambat (Lampiran 4, kolom
bakteri S. pneumoniae 2506). Kategori tersebut sejalan dengan protokol CLSI
(2018), bakteri S. pneumoniae dikatakan sensitif terhadap antibiotik eritromisin
apabila Diameter Zona Hambat (DZH) yang dihasilkan dari uji difusi cakram
adalah ≥ 21 mm. Bakteri tersebut dikatakan resistan apabila diameter yang
dihasilkan dari uji difusi cakram adalah ≤ 15 mm. Pertumbuhan bakteri S.
pneumoniae 2506 masih terjadi karena bakteri tersebut sudah tidak memiliki
sensitivitas dan telah mengalami resistansi terhadap antibiotik eritromisin
golongan makrolida. Suatu bakteri dikategorikan telah mengalami resistansi
apabila diameter zona hambat yang dihasilkan di bawah standar yang telah
ditentukan atau pertumbuhannya tidak terhambat saat diberikan konsentrasi dosis
normal antibiotik yang biasa digunakan dalam uji difusi cakram (CLSI, 2018).
Gambar 7. Rerata diameter zona hambat kedua ekstrak daun teh terhadap bakteri
Streptococcus pneumoniae
Pengujian kedua ekstrak daun teh asal Kampung Naga menunjukkan
bahwa keduanya memiliki aktivitas antibakteri terhadap kedua bakteri uji
(Gambar 7). Ekstrak etil asetat daun teh mampu menghambat pertumbuhan kedua
0
29,35
18,6
0
28,9
7,7
0 0
15,7
0 0
7,7
0
5
10
15
20
25
30
35
DM
SO
100%
Eri
trom
isin
Ekst
rak
DM
SO
10%
Eri
trom
isin
Ekst
rak
Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol 96%
Rer
ata
dia
met
er z
ona
ham
bat
(m
m)
S. pneumoniae
ATCC 49619
S. pneumoniae
2506
25
bakteri uji dengan rerata diameter zona hambat yang dihasilkan sebesar 18,6±1,0
mm dan 15,7±0,3 mm, secara berturut-turut (Gambar 7). Perbedaan diameter zona
hambat yang dihasilkan menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri ekstrak etil
asetat daun teh lebih besar terhadap bakteri kontrol yaitu S. pneumoniae ATCC
49619 dibandingkan terhadap bakteri S. pneumoniae 2506 resistan makrolida
(Gambar 7). Ekstrak etanol 96% juga mampu menghambat pertumbuhan kedua
bakteri uji, namun rerata diameter zona hambat yang dihasilkan sebesar 7,7±0,6
mm, lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak etil asetat (DZH= 18,6±1,0 mm dan
15,7±0,3 mm) terhadap kedua bakteri uji (Gambar 7). Hasil pengujian juga
menunjukkan bahwa diameter zona hambat yang dihasilkan sama besar, hal
tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% daun teh memiliki aktivitas
antibakteri yang sama besarnya terhadap kedua bakteri uji (Gambar 7).
Aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga
tergolong intermediat terhadap kedua bakteri uji, namun ekstrak tersebut dapat
dikatakan memiliki kemampuan penghambatan yang lebih besar (DZH= 18,6
mm) terhadap bakteri S. pneumoniae ATCC 49619 dibandingkan terhadap bakteri
S. pneumoniae 2506 resistan makrolida (DZH= 15,7 mm). Aktivitas antibakteri
ekstrak etanol 96% daun teh tergolong lemah terhadap kedua bakteri uji dan
ekstrak tersebut dapat dikatakan memiliki kemampuan penghambatan yang sama
besarnya (DZH= 7,7 mm) terhadap kedua bakteri uji. Kategori tersebut sesuai
dengan kategori yang disampaikan oleh Zhang et al. (2017), akvititas antibakteri
suatu ekstrak dapat dikategorikan berdasarkan diameter zona hambat yang
dihasilkan. Kategori lemah jika diameter yang dihasilkan (<12 mm), intermediat
(13-19 mm) dan kuat (>20 mm). Perbedaan kemampuan penghambatan ekstrak
daun teh asal Kampung Naga dari kedua pelarut terhadap kedua bakteri uji diduga
karena hasil ekstraksi dari kedua pelarut memperoleh senyawa fitokimia berbeda
yang berperan sebagai agen antibakteri. Menurut Fitriah, Mappiratu, &
Prismawiryanti (2017), perbedaan kandungan senyawa aktif dalam suatu ekstrak
dapat menyebabkan perbedaan diameter zona hambat yang dihasilkan. Kontrol
negatif DMSO menunjukkan tidak terbentuknya zona hambat di sekitar cakram.
Hal tersebut membuktikan bahwa aktivitas antibakteri berasal dari senyawa
26
bioaktif yang berperan sebagai agen antibakteri dalam kedua ekstrak, dan tidak
dipengaruhi oleh pelarut DMSO.
Aktivitas antibakteri ekstrak daun teh asal Kampung Naga dari kedua
pelarut terhadap bakteri uji dapat dikatakan belum seefektif antibiotik eritromisin
terhadap bakteri S. pneumoniae ATCC 49619 (Gambar 7). Diameter zona hambat
yang dihasilkan dari kedua ekstrak daun teh berbeda jauh (DZH= 15,7 mm dan
7,7 mm) terhadap diameter zona hambat yang dihasilkan oleh antibiotik
eritromisin (DZH= 29,35 mm dan 28,9 mm). Hal tersebut diduga karena ekstrak
yang digunakan masih berupa ekstrak kasar yang masih bercampur dengan
senyawa-senyawa lain sehingga aktivitas antibakterinya belum begitu efektif.
Berbeda dengan senyawa murni seperti antibiotik, ekstrak kasar adalah produk
hasil ekstraksi dari tanaman yang mengandung campuran kompleks senyawa
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, terpenoid, fenol dan
senyawa-senyawa lain. Ekstrak kasar yang masih bercampur dengan senyawa lain
yang tidak berperan sebagai antibakteri berpeluang untuk menurunkan aktivitas
antibakteri dalam ekstrak tersebut (Fadila, 2018). Diameter zona hambat yang
dihasilkan oleh ekstrak etil asetat daun teh lebih besar (DZH= 18,6 mm dan 15,7
mm) baik terhadap kedua bakteri uji dibanding diameter yang dihasilkan ekstrak
etanol 96% (DZH= 7,7 mm) (Gambar 7). Hal tersebut diduga karena kadar
senyawa-senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai agen antibakteri
lebih banyak ditemukan dalam ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga.
Pernyataan tersebut diperkuat dari nilai rendemen yang diperoleh. Nilai rendemen
ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga memiliki nilai yang lebih tinggi
5% dibandingkan rendemen ekstrak etanol 96% 4,5%. Ardiansyah et al. (2015)
dalam penelitiannya juga menyatakan, keberadaan senyawa-senyawa metabolit
sekunder seperti flavonoid, polifenol, tanin, steroid dan triterpenoid serta
monoterpenoid dan seskuiterpenoid dalam fraksi etil asetat ekstrak daun teh
berperan besar dalam menghambat pertumbuhan bakteri.
Keberadaan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman berperan besar
sebagai agen antibakteri. Ekstrak daun teh yang memiliki aktivitas antibakteri
terhadap kedua bakteri uji diduga memiliki sifat yang cenderung semipolar hingga
polar. Konstituen senyawa fitokimia utama yang paling menarik dari teh adalah
27
polifenol yang sebagian besar terdapat dalam bentuk katekin (Song & Seong,
2007). Senyawa katekin termasuk dalam golongan senyawa flavonoid, memiliki
cincin benzena yang disebut cincin A dan cincin B (Gopal, Muthu, Paul, Kim, &
Chun, 2016). Senyawa katekin juga dapat ditemui sebagai kelompok senyawa
tanin apabila gugus hidroksil yang dimiliki lebih dari atau sama dengan 20
(Nishida, 2017). Kandungan katekin teh dapat berubah bergantung pada
bagaimana teh itu diproses. Senyawa katekin inilah yang memiliki aktivitas
antibakteri (Song & Seong, 2007).
Gopal et al. (2016) melaporkan bahwa senyawa polifenol katekin yang
memiliki cincin A dan B pada daun teh, menyebabkan ekstrak daun teh memiliki
efek bakterisidal. Keberadaan senyawa ini menyebabkan terjadinya kerusakan
pada membran sel bakteri S. mutans. Penelitian-penelitian sebelumnya
mengungkapkan bahwa senyawa fitokimia yang paling sering ditemukan dalam
jumlah besar dari ekstrak daun teh adalah katekin. Banyak penelitian melaporkan
bahwa senyawa katekin berperan besar sebagai agen antibakteri. Senyawa katekin
memiliki kemampuan berikatan dengan membran sel bakteri, khususnya bakteri
Gram positif. Adanya ikatan ini dapat menyebabkan terganggunya proses-proses
pada membran sel, dan menyebabkan kerusakan membran sel yang meningkatkan
permeabilitas membran hingga menyebabkan lisisnya sel bakteri (Reygaert,
2018). Keberadaan senyawa katekin dalam ekstrak daun teh berperan sebagai
agen antibakteri salah satunya dengan merusak permeabilitas membran sel pada
bakteri S. aureus (Steinmann, Buer, Pietschmann, & Steinmann, 2013).
Kemampuan senyawa katekin dari daun teh untuk berikatan dengan membran sel
bakteri menyebabkan beberapa hal lain, yaitu hilangnya kemampuan bakteri untuk
menempel pada sel inang. Hilangnya kemampuan bakteri untuk membentuk
quorum sensing dan biofilm pada bakteri Fusobacterium nucelatum dan S. mutans
serta menyebabkan hilangnya fungsi protein membran transporter yang
bertanggung jawab untuk sekresi toksin dan aliran obat keluar sel seperti
senyawa-senyawa antibakteri (Reygaert, 2018).
Adanya senyawa katekin dalam ekstrak daun teh juga dapat memengaruhi
fungsi-fungsi sel bakteri. Gradišar, Pristovšek, Plaper, & Jerala (2007)
menyatakan bahwa senyawa katekin dalam ekstrak daun teh mampu menghambat
28
DNA girase bakteri sehingga menghambat pembentukan supercoiling DNA dan
menyebabkan kematian sel bakteri. Senyawa ini juga dapat mengurangi
kemampuan hemolisis dan produksi hidrogen sulfida (H2S) yang berperan sebagai
faktor virulensi pada bakteri F. nucelatum (Ben Lagha, Haas, & Grenier, 2017).
Senyawa katekin dalam ekstrak daun teh juga mampu menghambat biosintesis
asam lemak dengan cara menghambat enzim-enzim yang terlibat dalam jalur
metabolismenya. Asam lemak memiliki peran yang sangat penting bagi bakteri
untuk pembentukan membran sel, sumber energi dan terlibat dalam produksi
racun sel bakteri (Reygaert, 2018). Senyawa-senyawa lain seperti alkaloid,
flavonoid, tanin, terpenoid dan fenolik yang terdapat dalam ekstrak daun teh asal
Kampung Naga diduga juga berperan sebagai agen antibakteri. Ekstrak alkaloid
dari kulit melur dan ekstrak tanin dari belimbing wuluh memiliki aktivitas
antibakteri terhadap Escherichia coli (Rachmawaty, 2016). Ekstrak terpenoid dari
rimpang putih dan ekstrak fenolik dari buah mengkudu memiliki aktivitas
antibakteri terhadap S. aureus (Rita, 2010; Purwantiningsih, Suranindyah, &
Widodo, 2014). Ekstrak flavonoid dari kulit awar-awar juga memiliki aktivitas
antibakteri terhadap E. coli (Sukadana, 2010). Tariq, Nirjantha, & Reyaz (2013)
juga melaporkan bahwa senyawa-senyawa fitokimia seperti alkaloid, flavonoid,
tanin dan katekin dalam ekstrak daun teh berperan penting sebagai bentuk
mekanisme pertahanan. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan mampu mereduksi
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.
4.2. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) Ekstrak Daun Teh Asal Kampung Naga terhadap
Bakteri S. pneumoniae Resistan Makrolida
Ekstrak daun teh asal Kampung Naga yang telah diketahui memiliki
aktivitas antibakteri pada saat uji difusi cakram, diuji lanjut untuk menentukan
nilai KHM dan KBM. Penentuan nilai KHM dan KBM sangat penting untuk
dilakukan. Penentuan nilai KHM digunakan untuk menguji kepekaan bakteri
terhadap antibiotik dan untuk mengevaluasi aktivitas antibakteri dari senyawa
antibakteri baru (Wiegand, Hilpert, & Hancock, 2008).
29
Tabel 1. Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) ekstrak daun teh
Ekstrak
S. pneumoniae
ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
Rasio
KBM/KHM
Etil asetat KHM (mg/ml) 0,625 0,625 1
KBM (mg/ml) 0,625 1,25 2
Etanol
96%
KHM (mg/ml) >10 >10 -
KBM (mg/ml) >10 >10
Penentuan nilai KHM dilakukan menggunakan 9 level konsentrasi ekstrak
daun teh asal Kampung Naga. Pembacaan nilai KHM dilakukan dengan melihat
kekeruhan kolom sumur uji. Apabila kekeruhannya tampak sama dengan kontrol
pembanding, maka konsentrasi tersebut dianggap sebagai nilai terendah untuk
menghambat pertumbuhan bakteri (Lampiran 5). Pembacaan nilai KBM dilakukan
dengan melihat ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri dari 6 sumur uji yang
diteteskan pada permukaan media agar darah (Lampiran 6).
Ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga memiliki nilai KHM dan
KBM yang berkisar antara 0,625 mg/ml hingga 1,25 mg/ml (Tabel 1). Bakteri S.
pneumoniae ATCC 49619 dan bakteri S. pneumoniae 2506 resistan makrolida
dapat terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi ekstrak etil asetat terendah
sebesar 0,625 mg/ml (Tabel 1). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi
minimum yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri S. pneumoniae ATCC
49619 dan S. pneumoniae 2506 resistan makrolida sama besarnya. Konsentrasi
terendah ekstrak etil asetat daun teh yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri S.
pneumoniae ATCC 49619 dan bakteri S. pneumoniae 2506 resistan makrolida
masing-masing sebesar 0,625 mg/ml dan 1,25 mg/ml (Tabel 1). Artinya,
dibutuhkan konsentrasi minimum ekstrak satu tingkat lebih besar untuk
membunuh bakteri S. pneumoniae 2506 resistan makrolida dibandingkan dengan
bakteri S. pneumoniae ATCC 49619. Pernyataan tersebut juga diperkuat dari hasil
uji difusi cakram yang menunjukkan bahwa kemampuan aktivitas antibakteri
ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga terhadap bakteri S. pneumoniae
ATCC 49619 lebih besar (DZH= 18,6 mm) dibandingkan terhadap bakteri S.
pneumoniae 2506 (DZH= 15,7 mm).
30
Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa konsentrasi minimum ekstrak etil asetat
daun teh yang dibutuhkan untuk menghambat dan membunuh bakteri S.
pneumoniae ATCC 49619 sama besarnya, yaitu 0,625 mg/ml. Hasil pengujian
juga menunjukkan bahwa dibutuhkan konsentrasi ekstrak etil asetat yang lebih
besar untuk membunuh bakteri S. pneumoniae 2506 (KBM= 1,25 mg/ml)
dibandingkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (KHM= 0,625
mg/ml). Hal tersebut dikarenakan bakteri S. pneumoniae 2506 telah mengalami
resistansi. Ambrose, Nisbet, & Stephens (2005) menyatakan bahwa resistansi S.
pneumoniae yang dimediasi oleh efflux system menyebabkan bakteri tersebut
memiliki kemampuan untuk memompa substansi obat ke luar sel, sehingga
dibutuhkan konsentrasi ekstrak daun teh satu tingkat lebih besar untuk membunuh
bakteri tersebut.
Penentuan nilai KHM menggunakan ekstrak etanol 96% masih
menunjukkan kekeruhan pada semua konsentrasi ekstrak dalam sumur uji
(Lampiran 5), dan saat penentuan nilai KBM dari 6 konsentrasi sumur uji masih
menunjukkan pertumbuhan kedua bakteri (Lampiran 6). Berdasarkan Tabel 1
untuk menghambat dan membunuh kedua bakteri uji menggunakan ekstrak etanol
96% daun teh asal Kampung Naga dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih
besar dari 10 mg/ml ekstrak. Hal tersebut terjadi karena senyawa fitokimia dalam
ekstrak etanol 96% memiliki aktivitas antibakteri yang tidak begitu kuat.
Pernyataan ini juga didukung dari hasil uji difusi cakram ekstrak etanol 96% daun
teh bahwa ekstrak ini memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong lemah (DZH=
7,7 mm), sehingga dibutuhkan konsentrasi ekstrak yang lebih besar untuk
menghambat dan membunuh kedua bakteri uji.
Kuspradini, Pasedan, & Kusuma (2016) menyatakan bahwa, tujuan dari
penentuan nilai KHM dan KBM adalah untuk mengetahui efektivitas dari
senyawa antibakteri terhadap bakteri uji. Selain itu, hal tersebut dilakukan sebagai
bentuk antisipasi terjadinya masalah resistansi bakteri di kemudian hari karena
penggunaan dosis yang berlebih. Penggunaan dosis antibiotik berlebih dan
pemakaian yang tidak sesuai anjuran dokter menjadi satu dari banyaknya sebab
kejadian resistansi antibiotik. Efisiensi aktivitas antibakteri dapat terlihat dari
tinggi rendahnya nilai KHM dan KBM. Nilai KHM dan KBM yang rendah,
31
mengindikasikan tingginya efisiensi aktivitas antibakteri tersebut terhadap bakteri
uji (Fadila, 2018).
Ekstrak etil asetat daun teh asal Kampung Naga memilki aktivitas yang
tergolong intermediat dengan nilai konsentrasi 0,625 mg/ml terhadap kedua
bakteri uji (Tabel 1). Pernyatan tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh
Snoussi et al. (2018), interpretasi aktivitas antibakteri suatu ekstrak kasar dapat
dikelompokkan berdasarkan nilai KHM yang diperoleh. Suatu ekstrak kasar yang
memiliki nilai KHM 0,05-0,5 mg/ml didefinisikan memiliki aktivitas antibakteri
yang kuat, intermediat apabila konsentrasinya 0,6-1,5 mg/ml dan lemah apabila
konsentrasinya >1,5 mg/ml. Hal tersebut juga sejalan dengan klasifikasi aktivitas
antibakteri berdasarkan diameter zona hambat pada saat uji difusi cakram.
Ekstrak etil asetat bersifat bakterisidal intermediat baik terhadap bakteri S.
pnuemoniae ATCC 49619 dan S. pnuemoniae 2506 dengan rasio KBM/KHM
sebesar 1 dan 2, secara berturut-turut (Tabel 1). Hal tersebut sejalan dengan yang
sampaikan oleh Hossan et al. (2018) bahwa suatu ekstrak antibakteri dapat
dikategorikan menjadi 2 kelompok berdasarkan rasio KBM/KHM. Senyawa
antibakteri dikatakan bersifat bakteriostatik apabila memiliki rasio KBM/KHM>4.
Sedangkan senyawa tersebut dikatakan bersifat bakterisidal apabila rasio
KBM/KHM≤4. Nilai KHM ekstrak etil asetat dapat dikatakan lebih lemah (0,625
mg/ml atau setara dengan 625 µg/ml) dibandingkan dengan standar KHM untuk
antibiotik eritromisin yaitu sebesar 0,5 µg/ml (CLSI, 2018). Hal tersebut karena
ekstrak yang digunakan masih berupa ekstrak kasar yang masih bercampur
dengan senyawa-senyawa lain, sehingga diperlukan pemurnian ekstrak daun teh
dan pengujian lebih lanjut untuk memperoleh nilai konsentrasi yang lebih optimal.
4.3. Pendugaan Kadar Senyawa Fitokimia Ekstrak Daun Teh Asal Kampung
Naga melalui Studi Literatur
Penentuan kandungan senyawa fitokimia dalam ekstrak daun teh asal
Kampung Naga dilakukan menggunakan metode studi literatur. Banyak penelitian
menyatakan bahwa konsumsi minuman teh memberikan berbagai keuntungan
bagi kesehatan manusia dikarenakan efek dari senyawa-senyawa fitokimia dalam
teh tersebut. Senyawa fitokimia merupakan senyawa hasil produksi tanaman yang
32
memiliki peran vital dalam membantu kelangsungan hidup tanaman. Adanya
senyawa fitokimia dalam tanamanlah yang menjadikannya kaya akan sumber-
sumber obat terapeutik (Borges et al., 2017).
Tabel 2. Pendugaan kadar senyawa fitokimia dalam ekstrak daun teh asal
Kampung Naga melalui metode studi literatur
Senyawa
fitokimia
Persentase
(%) Referensi
Pendugaan Persentase (%)
Etil asetat Etanol 96%
Katekin 30-40 Agarwal et al.
(2017)
1,5-2 1,35-1,8
Flavonoid 5-10 0,25-0,5 0,2-0,45
Polifenol 17-35
Ekayanti,
Ardiana, Najib,
Sauriasari, &
Elya (2017)
0,85-1,75 0,77-1,6
Asam galat 0,5
Agarwal et al.
(2017)
0,025 0,02
Asam askorbat 1-2 0,05-0,1 0,045-0,09
Karbohidrat 10-15 0,5-0,75 0,45-0,68
Mineral-
mineral 6-8 0,3-0,4 0,3-0,36
Asam amino
bebas 1,5-5 Gopal et al.
(2016) 0,075-0,25 0,068-0,23
Senyawa identitas utama ekstrak daun teh adalah katekin yang banyak
ditemukan dalam bentuk flavonoid dan tanin (Kemenkes RI, 2017). Terdapat 5
jenis katekin utama yang ditemukan dalam daun teh yaitu (+)-catechin (C), (-)-
epicatechin (EC), (-)-epigallo-catechin (EGC), epicatechin gallate (ECG) dan
epigallocatechin gallate (EGCG) (Song & Seong, 2007). Katekin menempati
porsi senyawa fitokimia paling besar diantara senyawa-senyawa lainnya (Tabel 2).
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa kandungan fitokimia ekstrak daun teh
sangat bervariasi dan memiliki kadar yang berbeda-beda (Tabel 2). Senyawa
katekin memiliki kadar yang paling tinggi di antara senyawa-senyawa lainnya
(Tabel 2). Hal tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa senyawa katekin merupakan senyawa utama yang ditemukan
paling banyak dalam ekstrak daun teh. Martono & Setiyono (2014) melaporkan
dalam penelitiannya, kadar senyawa katekin dari 6 genotip teh yang diujikan
menunjukkan kadar yang sangat bervariasi mulai dari 11,73% hingga 18,22%.
Penelitian kuantitatif ekstrak daun teh yang dilakukan oleh Izzreen & Fadzelly
(2013) juga melaporkan, total senyawa fenolik dan flavonoid ekstrak daun teh asal
Sabah, Malaysia adalah sebesar 80,27±0,61 (mg GAE/g) dan 35,17±0,91 (mg
33
QE/g). Selain itu, Ananthi & Giri (2018) melaporkan bahwa hasil pengukuran
kadar senyawa alkaloid, flavonoid, tanin dan fenolik diperoleh masing-masing
sebesar 50 mg/g, 168 mg/g, 33 mg/g dan 300 mg/g.
Pendugaan kadar senyawa fitokimia ekstrak daun teh asal Kampung Naga
dilakukan dengan cara mengalikan nilai rendemen kedua ekstrak daun teh dengan
kadar senyawa fitokimia dari referensi-referensi yang ada dalam Tabel 2.
Rendemen ekstrak etil asetat dan etanol 96% daun teh asal Kampung Naga
masing-masing diperoleh sebesar 5% dan 4,5%. Hasil pendugaan kadar senyawa
fitokimia ekstrak daun teh asal Kampung Naga memiliki nilai yang sangat
bervariasi. Persentase kandungan senyawa fitokimia kedua ekstrak menunjukkan
nilai yang tidak berbeda jauh (Tabel 2). Namun, dapat terlihat bahwa senyawa-
senyawa hasil ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat sedikit lebih banyak
dibandingkan hasil dari pelarut etanol 96% (Tabel 2). Senyawa katekin dalam
ekstrak daun teh asal Kampung Naga dari kedua pelarut diperkirakan sebesar
1,35%-2%. Senyawa fitokimia dalam tanaman teh sangat bervariasi dan
bergantung pada sebaran geografis, kondisi iklim, jenis klon tanaman teh, proses
kultivasi dan umur daun teh, musim dan kondisi tanah, perlakuan kultur teknis,
dan banyaknya sinar matahari yang diterima (Martono & Setiyono, 2014;
Banerjee & Chatterjee, 2015). Hal tersebut juga diperkuat oleh Borges et al.
(2017) faktor abiotik seperti iklim, ketersediaan air, suhu, jumlah makro dan
mikronutrisi dalam tanah dan radiasi sinar matahari dapat memengaruhi variasi
senyawa metabolit sekunder dalam tumbuhan.
Penelitian mengenai kandungan senyawa fitokimia daun teh secara kualitatif
juga telah banyak dilakukan untuk membuktikan khasiatnya dan kepentingan
studi kefarmasian. Penelitian yang dilakukan oleh Endarini (2019) melaporkan
bahwa terdapat 7 senyawa metabolit sekunder yang ditemukan pada ekstrak daun
teh asal Ciwidey, Kabupaten Bandung yang meliputi alkaloid, saponin, steroid,
triterpenoid, flavonoid, polifenol dan tanin. Ardiansyah et al. (2015) dalam
penelitiannya melaporkan bahwa pada ekstrak daun teh asal Gambung, Ciwidey
ditemukan senyawa metabolit sekunder yang terdiri dari flavonoid, polifenol,
tanin, steroid dan triterpenoid, serta monoterpenoid dan seskuiterpenoid.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Martono & Setiyono (2014)
34
melaporkan hampir semua senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin,
tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida, ditemukan pada 6
genotipe tanaman teh asal perkebunan teh Tambi Wonosobo yang diujikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Latteef (2016) kandungan senyawa fitokimia
ekstrak daun teh asal Baghdad terdiri dari tanin, saponin, flavonoid dan alkaloid.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa senyawa fitokimia yang
sering ditemukan dalam ekstrak daun teh meliputi alkaloid, tanin, flavonoid,
steroid, terpenoid dan fenolik. Senyawa-senyawa tersebut diduga juga ditemukan
dalam ekstrak daun teh asal Kampung Naga. Selain itu, dalam penelitian-
penelitian tersebut dapat terlihat bahwa senyawa flavonoid dan tanin, selalu
ditemukan dalam ekstrak daun teh. Hal tersebut memperkuat pernyataan bahwa
senyawa katekin menempati porsi yang besar dalam ekstrak daun teh.
35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Ekstrak daun teh asal Kampung Naga dari kedua pelarut berpotensi memiliki
aktivitas antibakteri yang tergolong intermediat dan lemah terhadap bakteri S.
pneumoniae resistan makrolida dengan diameter zona hambat yang dihasilkan
masing-masing sebesar 15,7±0,3 mm dan 7,7±0,6 mm.
2) Konsentrasi minimum ekstrak etil asetat yang dibutuhkan untuk menghambat
dan membunuh bakteri S. pneumoniae resistan makrolida adalah sebesar
0,625 mg/ml dan 1,25 mg/ml.
3) Senyawa fitokimia yang terkandung dalam ekstrak daun teh asal Kampung
Naga berdasarkan studi literatur terdiri dari katekin, alkaloid, tanin, flavonoid,
steroid dan terpenoid, serta fenolik. Selain itu, senyawa metabolit sekunder
yang diduga memiliki peran sebagai agen antibakteri adalah katekin.
5.2.Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengujian senyawa fitokimia
ekstrak daun teh asal dari Kampung Naga, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif dan perlu dilakukan pengukuran aktivitas antibakteri dari senyawa
katekin yang terdapat dalam ekstrak daun teh asal Kampung Naga terhadap
bakteri S. pneumoniae resistan makrolida.
36
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, U., Pathak D, P., Bhutani, R., Kapoor, G., & Kant, R. (2017). Review
on Camellia sinensis –Nature’s Gift. International Journal of
Pharmacognosy and Phytochemical Research, 9(08), 1119–1126.
Alaga, T. O., Edema, M. O., Atayese, A. O., & Bankole, M. O. (2014).
Phytochemical and in vitro anti-bacterial properties of Hibiscus sabdariffa L
(Roselle) juice. Journal of Medicinal Plants Research, 8(7), 339–344.
https://doi.org/10.5897/jmpr12.1139
Ambrose, K. D., Nisbet, R., & Stephens, D. S. (2005). Macrolide efflux in
Streptococcus pneumoniae is mediated by a dual efflux pump (mel and mef)
and is erythromycin inducible. Antimicrobial agents and chemotherapy,
49(10), 4203–4209.
Anita, P., Sivasamy, S. P. D., Kumar, M., Balan, N., & Ethiraj, S. (2015). In vitro
antibacterial activity of Camellia sinensis extract against cariogenic
microorganisms. Journal of Basic and Clinical Pharmacy, 6(1), 35–39.
https://doi.org/10.4103/0976-0105.145777
Ananthi, J., & Giri, R. S. (2018). Screening of bioactive compounds of green tea
(Camellia sinensis). World Journal of Pharmaceutical and Medical
Research, 4(9), 222–226.
Ardiansyah, S. A., Adirestuti, P., & Desmiaty, Y. (2015). Pengujian ekstrak air
dan fraksi-fraksi daun teh hijau (Camellia sinensis (L.) Kuntze) terhadap
aktivitas bakteri penyebab jerawat (Propionibacterium acnes dan
Staphylococcus aureus). Indonesian Journal of Pharmaceutial Science and
Technology, IV(1), 28–35.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. (2008). Acuan sediaan herbal edisi 4
volume pertama. BPOM RI. Jakarta.
Banerjee, S., & Chatterjee, J. (2015). Efficient extraction strategies of tea
(Camellia sinensis) biomolecules. Journal of Food Science and Technology,
52(6), 3158–3168. https://doi.org/10.1007/s13197-014-1487-3
Ben Lagha, A., Haas, B., & Grenier, D. (2017). Tea polyphenols inhibit the
growth and virulence properties of Fusobacterium nucleatum. Scientific
Reports, 7(2), 1–10. https://doi.org/10.1038/srep44815
Borges, C. V., Minatel, I. O., Gomez-Gomez, H. A., & Lima, G. P. P. (2017).
Medicinal plants: Influence of environmental factors on the content of
secondary metabolites. Medicinal Plants and Environmental Challenges,
259–277. https://doi.org/10.1007/978-3-319-68717-9_15
Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Pinkbook | Pneumococcal |
Epidemiology of vaccine preventable diseases | CDC. Retrieved December
37
3rd, 2019, from https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/pneumo.html
Central for Disease Control and Prevention. (2016). CHAPTER 8 Identification
and Characterization of Streptococcus pneumoniae. Retrieved August 31st,
2020, from National Center for Immunization and Respiratory Diseases
website:https://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual/chpt08-id-
characterization-streppneumo.html
Cherazard, R., Epstein, M., Doan, T., Pharm, D., Salim, T., & Smith, M. A.
(2017). Antimicrobial resistant Streptococcus pneumoniae: Prevalence,
mechanisms, and clinical implications. American Journal of Therapeutics,
24(3), 1–9.
CLSI. (2018). Performance standars for antimicrobial susceptibility testing. 28th
ed. CLSI supplement M100. Clinical Laboratory Standard Institute. Wayne,
PA.
da Silva Almeidada, J, R, G., Oliveira, A. P., G., L., A., de Oliveira-Júnior, R. G.,
de Souza Siqueira Quintans, J., de Medeiros, F. A., Barbosa-Filho, J. M., &
Quintans-Júnior, L, J. (2016). Camellia sinensis (L.) Kuntze: A review of
chemical and nutraceutical properties. Natural Product: Research Reviews,
4, 21–62.
Departemen Kesehatan, R. (2008). Farmakope herbal Indonesia. Direktorat
Jerndral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
Domon, H., Maekawa, T., Yonezawa, D., Nagai, K., Oda, M., Yanagihara, K., &
Terao, Y. (2018). Mechanism of macrolide-induced inhibition of
pneumolysin release involves impairment of autolysin release in macrolide-
resistant Streptococcus pneumoniae. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, 62(11), 1–11. https://doi.org/doi.org/10.1128/AAC.00161-18
Dugassa, J., & Shukuri, N. (2017). Review on antibiotic resistance and its
mechanism of development. Journal of Health, Health, Medicine and
Nursing, 1(3), 1–17.
Edelstein, P. H. (2004). Pneumococcal resistance to macrolides, lincosamides,
ketolides, and streptogramin B agents: molecular mechanisms and resistance
phenotypes. Clinical Infectious Diseases, 38(4), S322–S327.
https://doi.org/10.1086/382687
Ekayanti, M., Ardiana, L., Najib, S. Z., Sauriasari, R., & Elya, B. (2017).
Pharmacognostic and phytochemical standardization of white tea leaf
(Camellia sinensis (L.) Kuntze) ethanolic extracts. Pharmacognosy Journal,
9(2), 221–226. https://doi.org/10.5530/pj.2017.2.37
El Ashkar, S., Osman, M., Rafei, R., Mallat, H., Achkar, M., Dabboussi, F., &
Hamze, M. (2017). Molecular detection of genes responsible for macrolide
resistance among Streptococcus pneumoniae isolated in North Lebanon.
38
Journal of Infection and Public Health, 10(6), 745–748.
https://doi.org/10.1016/j.jiph.2016.11.014
Endarini, L. H. (2019). Analisis rendemen dan penetapan kandungan ekstrak
etanol 96 % daun teh hijau (Camellia sinensis (L.) Kuntze) dengan metode
kromatografi lapis tipis. SEMNASKes-2019 “Improving The Quality of
Health through Advances in Research of Health Sciences,” 30–40.
Fadila, F. (2018). Aktivitas antibakteri ekstrak rumput kebar (Biophytum
petersianum Klotzsch) dan sarang semut (Myrmecodia pendens) terhadap
bakteri patogen pernapasan. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor (IPB).
Farrell, D. J., Mendes, R. E., & Jones, R. N. (2015). Antimicrobial activity of
solithromycin against serotyped macrolide-resistant Streptococcus
pneumoniae isolates collected from U.S. medical centers in 2012.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 59(4), 2432–2434.
https://doi.org/10.1128/AAC.04568-14
Fitriah, F., Mappiratu, M., & Prismawiryanti, P. (2017). Uji aktivitas antibakteri
ekstrak daun tanaman johar (Cassia siamea Lamk.) dari beberapa tingkat
kepolaran pelarut. Kovalen, 3(3), 242.
George, D. P. (2017). The macrolide antibiotic renaissance. British Journal of
Pharmacology, 174(18), 2967–2983. https://doi.org/10.1111/bph.13936
Gopal, J., Muthu, M., Paul, D., Kim, D. H., & Chun, S. (2016). Bactericidal
activity of green tea extracts: The importance of catechin containing nano
particles. Scientific Reports, 6(19710), 1–14.
https://doi.org/10.1038/srep19710
Gradišar, H., Pristovšek, P., Plaper, A., & Jerala, R. (2007). Green tea catechins
inhibit bacterial DNA gyrase by interaction with its ATP binding site.
Journal of Medicinal Chemistry, 50(2), 264–271.
Henriques-Normark, B., & Tuomanen, E. I. (2013). The pneumococcus:
Epidemiology, microbiology, and pathogenesis. Cold Spring Harbor
Perspectives in Medicine, 3(7), 1–15.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a010215
Herawati, H. (2008). Penentuan umur simpan pada produk pangan. Jurnal Litbang
Pertanian, 27(4), 124–130.
Hossan, M. S., Jindal, H., Maisha, S., Raju, C. S., Sekaran, S., Nissapatorn, V., …
Wiart, C. (2018). Antibacterial effects of 18 medicinal plants used by the
Khyang tribe in Bangladesh. Pharmaceutical Biology, 56(1), 201–208.
https://doi.org/10.1080/13880209.2018.1446030
Hudzicki, J. (2009). Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol
Author Information. American Society For Microbiology, 1–13.
39
Hung, I. F. N., Tantawichien, T., Tsai, Y. H., Patil, S., & Zotomayor, R. (2013).
Regional epidemiology of invasive pneumococcal disease in Asian adults:
Epidemiology, disease burden, serotype distribution, and antimicrobial
resistance patterns and prevention. International Journal of Infectious
Diseases, 17(6), e364–e373. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2013.01.004
Integrated Taxonomic Information System Report. (n.d.). (Camellia sinensis (L.)
Kuntze). Retrieved December 3rd, 2019, from
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search
_value=506801#null
Izzreen, N. Q, & Mohd Fadzelly, A. B. (2013). Phytochemicals and antioxidant
properties of different parts of Camellia sinensis leaves from Sabah Tea
plantation in Sabah, Malaysia. International Food Research Journal, 20(1),
307–312.
Kaufman, G. (2011). Antibiotics: mode of action and mechanisms of resistance.
Nursing Standard (Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987), 25(42),
49–55. https://doi.org/10.7748/ns2011.06.25.42.49.c8583
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Farmakope Herbal Indonesia, Edisi II.
Kemeneterian Kesehatan RI. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Profil kesehatan Republik Indonesia tahun
2017. Kemeneterian Kesehatan RI. Jakarta.
Ko, K. S., & Song, J. (2004). Evolution of erythromycin‐resistant Streptococcus
pneumoniae from Asian countries that contains erm(B) and mef(A) genes.
The Journal of Infectious Diseases, 190(4), 739–747.
https://doi.org/10.1086/422156
Kuspradini, H., Pasedan, W. F., & Kusuma, I. W. (2016). Aktivitas antioksidan
dan antibakteri ekstrak daun Pometia pinnata. Jurnal Jamu Indonesia, 1(1),
26–34.
Latteef, N. S. (2016). Phytochemical, antibacterial and antioxidant activity of
Camellia sinensis methanolic and aqueous extracts. IOSR Journal of
Pharmacy and Biological Scinces (IOSR-JPBS). 11(6), 113–119.
https://doi.org/10.9790/3008-110606113119
Lestari, E. S., & Severin, J. A. (2009). Antimicrobial resistance in Indonesia:
prevalance, determinants and genetic basis. [Disertasi]. Erasmus Universiteit
Rotterdam.
Martono, B., & Setiyono, R. T. (2014). Skrining fitokimia enam genotipe teh.
Jurnal Tanaman Industri Dan Penyegar, 1(2), 63–68.
Mateen, A., Waheed, M. A., N, M. A. R., Ahmad, S. G., Alam, I., Saher, N., …
Ali, S. (2014). Antimicrobial activity of some herbal drugs used in unani
system of medicine. International Journal of Herbal Medicine, 2(5), 11–14.
40
Matsuoka, M., Inoue, M., Nakajima, Y., & Endo, Y. (2002). New erm gene in
Staphylococcus aureus clinical isolates. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, 46(1), 211–215. https://doi.org/10.1128/AAC.46.1.211-
215.2002
Musher, D., Sexton, D. J., & Thorner, A. R. (2020). Resistance of Streptococcus
pneumoniae to the macrolides, azalides, lincosamines, and ketolides.
Retrieved December 6th, 2020, from
https://www.uptodate.com/contents/resistance-of-streptococcus-pneumoniae-
to-the-macrolides-azalides-lincosamides-and-ketolides#H2
Namita, P., Mukesh, R., & Vijay, K. J. (2012). Camellia sinensis (green tea): A
review. Global Journal of Pharmacology, 6(2), 52–59.
Namita, Parmar, & Mukesh, R. (2012). Medicinal plants used as antimicrobial
agents: a review. International Research Journal of Pharmacy, 3(1), 31–40.
National Information Program on Antibiotics. (2016). Antibiotic drugs,
information, description on azithromycin. Retrieved December 3rd, 2019,
from http://www.antibiotics-info.org/azithromycin.html
Naveed, M., BiBi, J., Kamboh, A. A., Suheryani, I., Kakar, I., Fazlani, S. A., …
XiaoHui, Z. (2018). Pharmacological values and therapeutic properties of
black tea (Camellia sinensis): A comprehensive overview. Biomedicine and
Pharmacotherapy, 100(November 2017), 521–531.
https://doi.org/10.1016/j.biopha.2018.02.048
Nishida, K. (2017). Green tea science part 1: polyphenols, catechins and egcg -
15 commonly asked questions and how you can benefit. Retrieved August
20th, 2020, from https://www.japanesegreenteain.com/blogs/green-tea-and-
health/catechins#Catechines2
Niederman, M. S. (2015). Macrolide-resistant pneumococcus in Community-
Acquired Pneumonia is there still a role for macrolide therapy?. American
Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 191(11), 1216–1217.
https://doi.org/10.1164/rccm.201504-0701ED
Numminen, E., Chewapreecha, C., Turner, C., Goldblatt, D., Nosten, F., Bentley,
S. D., … Corander, J. (2015). Climate induces seasonality in pneumococcal
transmission. Scientific Reports, 5(11344), 1–14.
https://doi.org/10.1038/srep11344
Omar, G., Fares, S., Abdallah, L., & Almasri, M. Slaileh, A., Zurba, Z. (2013).
Antibacterial activity of selected Palestinian wild Plant extracts against
Multidrug-Resistant clinical isolate of Streptococcus pneumoniae. Journal
Pharmacy Research, 1(10), 963–969.
Permadi, A., Sutanto, & Wardatun, S. (2018). Perbandingan metode ekstraksi
bertingkat dan tidak bertingkat terhadap flavonoid total herba ciplukan
41
(Physalis angulata L.) secara kolorimetri. Jurnal Online Mahasiswa (JOM),
Bidang Farmasi, 1(1), 1–10.
Purwantiningsih, T. I., Suranindyah, Y. Y., & Widodo. (2014). Aktivitas senyawa
fenol dalam buah mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai antibakteri alami
untuk penghambatan bakteri penyebab mastitis. Buletin Peternakan, 38(1),
59–64. https://doi.org/10.21059/buletinpeternak.v38i1.4618
Putra, A. Y. T., Supriyadi, & Santoso, U. (2019). Skrining fitokimia ekstrak etil
asetat daun simpor (Dillenia suffruticosa). JITIPARI (Jurnal Ilmiah
Teknologi Dan Industri Pangan UNISRI), 4(1), 36–40.
https://doi.org/10.33061/jitipari.v4i1.3017
Rachmawaty, D, U. (2016). Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, etil asetat dan
petroleum eter rambut jagung manis (Zea mays ssaccharata Sturt) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. [Skripsi]. UIN Maulana
Malik Ibrahim.
Raddaoui, A., Tanfous, F. Ben, Chebbi, Y., Achour, W., Baaboura, R., &
Benhassen, A. (2018). High prevalence of multidrug-resistant international
clones among macrolide-resistant Streptococcus pneumoniae isolates in
immunocompromised patients in Tunisia. International Journal of
Antimicrobial Agents, 52(6), 893–897.
https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2018.04.015
Rahardjo, A. P., Fauzantoro, A., & Gozan, M. (2018). Fractionation and
characterization of semi polar and polar compounds from leaf extract
Nicotiana tabaccum L. reflux ethanol extraction results. AIP Conference
Proceedings, 1933.
Rani, R., Nagpal, D., Gullaiya, S., Madan, S., & Agrawal, S. S. (2014).
Phytochemical, pharmacological and beneficial effects of green tea.
International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research, 6(3),
420–426.
Reygaert, W. C. (2018). Green tea catechins: their use in treating and preventing
infectious diseases. Hindawi BioMed Research International. 1–9.
Rita, W. S. (2010). Isolasi, identifikasi, dan uji aktivitas antibakteri senyawa
golongan triterpenoid pada rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg)
Roscoe). Jurnal Kimia, 4(1), 20–26.
Roopan, S. M., & Madhumitha, G. (2018). Bioorganic phase in natural food: An
overview. Bioorganic Phase in Natural Food: An Overview, 135–156.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-74210-6
Saeed, M., Naveed, M., Arif, M., Kakar, M. U., Manzoor, R., Abd El-Hack, M.
E., … Sun, C. (2017). Green tea (Camellia sinensis) and L-theanine:
Medicinal values and beneficial applications in humans—A comprehensive
42
review. Biomedicine and Pharmacotherapy, 95(9), 1260–1275.
https://doi.org/10.1016/j.biopha.2017.09.024
Safari, D., Kuo, L. C., Huang, Y. T., Liao, C. H., Sheng, W. H., & Hsueh, P. R.
(2015). Increase in the rate of azithromycin-resistant Streptococcus
pneumoniae isolates carrying the erm(B) and mef(A) genes in Taiwan, 2006-
2010. BMC Infectious Diseases, 14(1), 1–6. https://doi.org/10.1186/s12879-
014-0704-z
Sarker, S., Latif, Z., & Gray, A. (2006). Natural Products Isolation, 2nd ed.
Humana Press Inc: New Jersey.
Schrag, S. J., Beall, B. &, & Dowell, S. (2001). Resistant penumococcal
infections: the burden of disease and challenges in monitoring and
controlling antimicrobil resistance (No. WHO/CDS/CSR/DSR/2001.6).
Geneva.
Schroeder, M. R., & Stephens, D. S. (2016). Macrolide resistance in
Streptococcus pneumoniae. Frontiers in Cellular and Infection
Microbiology, 6(98), 1–9. https://doi.org/10.1159/000069788
Skovsted, I. C., Elverdal, P. L., Kerrn, M. B., Sørensen, J. F., Otte, S., Fuursted,
K., ... & Konradsen, H. B. (2015). Textbook in diagnosis, serotyping,
virulence factors and Enzyme-Linked mmunosorbent Assay (ELISA) for
measuring Pneumococcal antibodies. Hillerød, Denmark: SSI Diagnostica.
Snoussi, M., Noumi, E., Punchappady-Devasya, R., Trabelsi, N., Kanekar, S.,
Nazzaro, F., … Al-Sieni, A. (2018). Antioxidant properties and anti-quorum
sensing potential of Carum copticum essential oil and phenolics against
Chromobacterium violaceum. Journal of Food Science and Technology,
55(8), 2824–2832. https://doi.org/10.1007/s13197-018-3219-6
Song, J. M., & Seong, B. L. (2007). Tea catechins as a potential alternative anti-
infectious agent. Expert Review of Anti-Infective Therapy, 5(3), 497–506.
https://doi.org/10.1586/14787210.5.3.497
Sri Widyawati, P., Budianta, T. D. W., Kusuma, F. A., & Wijaya, E. L. (2014).
Difference of solvent polarity to phytochemical content and antioxidant
activity of Pluchea indicia less leaves extracts. International Journal of
Pharmacognosy and Phytochemical Research, 6(4), 850–855.
Steinmann, J., Buer, J., Pietschmann, T., & Steinmann, E. (2013). Anti-infective
properties of epigallocatechin-3-gallate (EGCG), a component of green tea.
British Journal of Pharmacology, 168(5), 1059–1073.
https://doi.org/10.1111/bph.12009
Sukadana, I. (2010). Aktivitas antibakteri senyawa flavonoid dari kulit akar awar-
awar (Ficus septica Burm F). Jurnal Kimia, 4(1), 63–70.
Tariq, A. L., Nirjantha, D., & Reyaz, A. L. (2013). Antimicrobial activity of
43
Camellia sinensis leaves against gram positive and gram negative bacteria.
World Research Journal of Pharmaceutical Research, 1(1), 1–4.
Tariq, M., Naveed, A., & Barkat, A. K. (2010). The morphology, characteristics,
and medicinal properties of Camellia sinensis tea. Journal of Medicinal
Plants Research, 4(19), 2028–2033. https://doi.org/10.5897/jmpr10.010
Thummeepak, R., Leerach, N., Kunthalert, D., Tangchaisuriya, U., Thanwisai, A.,
& Sitthisak, S. (2015). High prevalence of multi-drug resistant Streptococcus
pneumoniae among healthy children in Thailand. Journal of Infection and
Public Health, 8(3), 274–281. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2014.11.002
Thumu, S. C. R., & Halami, P. M. (2012). Acquired resistance to macrolide-
lincosamide-streptogramin antibiotics in lactic acid bacteria of food origin.
Indian Journal of Microbiology, 52(4), 530–537.
https://doi.org/10.1007/s12088-012-0296-5
Troeger, C., Blacker, B., Khalil, I. A., Rao, P. C., Cao, J., Zimsen, S. R. M., …
Reiner, R. C. (2018). Estimates of the global, regional, and national
morbidity, mortality, and aetiologies of lower respiratory infections in 195
countries, 1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of
Disease Study 2016. The Lancet Infectious Diseases, 18(11), 1191–1210.
https://doi.org/10.1016/S1473-3099(18)30310-4
Wang, C., Chen, Y., Fang, C., Zhou, M., Xu, H., Jing, C., … Zhang, C. (2019).
Antibiotic resistance profiles and multidrug resistance patterns of
Streptococcus pneumoniae in pediatrics. Medicine, 98(24), 1–7.
https://doi.org/dx.doi.org/10.1097/MD.0000000000015942
Wang, C. M., Zhao, F. L., Zhang, L., Chai, X. Y., & Meng, Q. G. (2017).
Synthesis and antibacterial evaluation of a series of 11,12-cyclic carbonate
azithromycin-3-O-descladinosyl-3-O-carbamoyl glycosyl derivatives.
Molecules, 22(12), 1–9. https://doi.org/10.3390/molecules22122146
Weiser, J. N., Ferreira, D. M., & Paton, J. C. (2018). Streptococcus pneumoniae:
Transmission, colonization and invasion. Nature Reviews Microbiology,
16(6), 355–367. https://doi.org/10.1038/s41579-018-0001-8
Whitney, C. G., Farley, M. M., Hardler, J., Harrison, L. H., Bennett, N. M.,
Lynfield, R., … Schuchat, A. (2003). Decline in invasive pneumococcal
disease after the introduction of protein conjugate vaccine. The New England
Journal of Medicine, 343(18), 1543–1554.
Wiegand, I., Hilpert, K., & Hancock, R. E. W. (2008). Agar and broth dilution
methods to determine the minimal inhibitory concentration (MIC) of
antimicrobial substances. Nature Protocols, 3(2), 163–175.
https://doi.org/10.1038/nprot.2007.521
Wijaya, H., Novitasari, & Jubaidah, S. (2018). Perbandingan metode ekstraksi
44
terhadap rendemen ekstrak daun rambut laut (Sonneratia caseolaris L. Engl).
Jurnal Ilmiah Manuntung, 4(1), 79–83.
World Health Organization. (2013). Estimated Hib and pneumococcal deaths for
children under 5 years of age, 2008. Retrieved December 3rd, 2019, from
WHOwebsite:
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/estimate
s/Pneumo_hib/en/
World Health Organization. (2014). Antimicrobial resistance: global report on
surveillance. In WHO Library Cataloouging-in- Publication Data.
Zhang, J., Ye, K. P., Zhang, X., Pan, D. D., Sun, Y. Y., & Cao, J. X. (2017).
Antibacterial activity and mechanism of action of black pepper essential oil
on meat-borne escherichia coli. Frontiers in Microbiology, 7(1), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fmicb.2016.02094
Zhao, W., Pan, F., Wang, B., Wang, C., Sun, Y., Zhang, T., … Zhang, H. (2019).
Epidemiology characteristics of Streptococcus pneumoniae from children
with pneumonia in shanghai: A retrospective study. Frontiers in Cellular and
Infection Microbiology, 9(7), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fcimb.2019.00258
45
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan kadar air simplisia daun teh
Ulangan Bobot Awal (g) Bobot Akhir (g) Kadar Air (%) Rerata
I 1 0,8828 11,72 13,06
II 1 0,8672 13,37 STD
III 1 0,8592 14,08 1,210365
Kadar air = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑔)−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑔)
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑔) × 100%
= 1−0,8828
1 × 100%
= 11,72%
Lampiran 2. Perhitungan rendemen ekstrak
Pelarut Bobot Ekstrak (g) Bobot Simplisia (g) % Rendemen
Etil asetat 0,9 18 5
Etanol 96% 0,84 18 4,5
% Rendemen = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 (𝑔)
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 (𝑔) × 100%
= 0,9
18 × 100%
= 5%
46
Lampiran 3. Perhitungan rerata diameter zona hambat ekstrak daun teh
Ekstrak etanol 96%
Kontrol negatif Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
DMSO 10% 0 0
Kontrol positif Ulangan Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
Eritromisin I 28,8 0
II 29 0
Rerata ±
Standar deviasi 28,9 ± 0,1 0 ± 0
Larutan
uji Ulangan
Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
Ekstrak
Etanol
96%
I 7 8
II 8 7
III 8 8
Rerata ±
Standar deviasi 7,67 ± 0,6 7,67 ± 0,6
Ekstrak etil asetat
Kontrol negatif Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
DMSO 100% 0 0
Kontrol positif Ulangan Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
Eritromisin I 29,7 0
II 29 0
Rerata ±
Standar deviasi 29,4 ± 0,5 0 ± 0
Larutan uji Ulangan Diameter zona hambat (mm)
S. pneumoniae ATCC 49619 S. pneumoniae 2506
Ekstrak etil
asetat
I 17,7 15,4
II 19,5 16
III 18 15,7
Rerata ±
Standar deviasi 18,63 ± 1,0 15,7 ± 0,3
47
Lampiran 4. Gambar uji antibakteri metode difusi cakram
Bakteri uji Larutan uji
Ekstrak etanol 96% DMSO 10% Ekstrak etil asetat DMSO 100%
S. pneumoniae
ATCC 49619
S. pneumoniae
2506
Keterangan: (A) antibiotik eritromisin (15µg), (B) pelarut DMSO 10% (ekstrak etanol 96%) dan DMSO 100% (ekstrak etil asetat), (1, 2,
3) ulangan ekstrak (100 mg/ml).
48
Lampiran 5. Gambar uji penentuan nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
Keterangan
1. Sumuran A1-A9 = 90 µl bakteri S. pneumoniae ATCC 49619 + 10 µl ekstrak
etil asetat
2. Sumuran B1-B9 = 90 µl bakteri S. pneumoniae 2506 + 10 µl ekstrak etanol
96%
3. Sumuran E1-E9 = 90 µl bakteri S. pneumoniae 2506 + 10 µl ekstrak etil asetat
4. Sumuran F1-F9 = 90 µl bakteri S. pneumoniae 2506 + 10 µl ekstrak etanol
96%
5. Sumuran C1-C9 dan G1-G9 = 90 µl media pertumbuhan bakteri + 10 µl
ekstrak etanol 96% (kontrol pembanding)
6. Sumur kontrol pelarut = 90 µl bakteri uji + 10 µl DMSO (DMSO 10% untuk
ekstrak etanol 96% dan DMSO 100% untuk ekstrak etil asetat)
7. Sumur kontrol negatif = 90 µl bakteri uji + antibiotik vankomisin 2,5 mg/ml
8. Sumur kontrol positif = 100 µl suspensi bakteri
9. = Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
49
Lampiran 6. Gambar uji penentuan nilai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
Bakteri S. pneumoniae ATCC 49619
NA
Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol 96%
Keterangan:
1-6 : sumur uji KHM
10 : kontrol pelarut DMSO
11 : kontrol negatif
NA : Not available (gambar tidak tersedia)
Bakteri S. pneumoniae 2506
Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol 96%
Keterangan:
1-6 : sumur uji KHM
10 : kontrol pelarut DMSO
11 : kontrol negatif
50
Lampiran 7. Perhitungan pendugaan kadar senyawa fitokimia ekstrak daun teh
asal Kampung Naga
% kadar senyawa fitokimia ekstrak daun teh asal Kampung Naga = rendemen
ekstrak × kadar senyawa fitokimia dari literatur dalam tabel 3.
Perhitungan pendugaan kadar senyawa fitokimia ekstrak etil asetat daun teh asal
Kampung Naga
% kadar senyawa fitokimia katekin daun teh asal Kampung Naga = 5% × 30%
=0,05 × 30%
=1,5%
% kadar senyawa fitokimia katekin daun teh asal Kampung Naga = 5,75% × 40%
=0,05 × 40%
=2%
Perhitungan pendugaan kadar senyawa fitokimia ekstrak etanol 96% daun teh asal
Kampung Naga
% kadar senyawa fitokimia katekin daun teh asal Kampung Naga = 4,5% × 30%
=0,045 × 30%
=1,35%
% kadar senyawa fitokimia katekin daun teh asal Kampung Naga = 4,5% × 40%
=0,045 × 40%
=1,8 %