KETIKA SEDANG SUKA PADA SESEORANG, PASTI AKAN ADA RASA UNTUK SELALU DEKAT DENGANNYA
AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN:fAU...
Transcript of AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN:fAU...
AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN:fAU DARI
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA
Oleh:
SEPTI SURA YAH
0044119307
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN AL AHWAL ASY SYAHSIYAH
FAKUL T AS SYARI' AH DAN HUKUJ\1
UIN SY ARIF I-IIDA YATULLAH JAKARTA
1425 HI 2004 M
AK.IBA T PERCERAIAN BAGI ANAK DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
DAN HUKUM PERDATA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
SEPTI SURA Y AH 0044119307
Di Bawah Bimbingan:
Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 150031177
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
JURUSAN Al AHWAL ASY SYAHSIYAH
FAKULTAS SY ARI' AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1425 H/ 2004 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Slaipsi yang berjudul AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDAT A telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakaiia pada tanggal 2 Juni 2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S 1) pada Jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah.
Penguji I
Jakaita, 2 Juni 2004 Sidang Munaqasyah
Anggota:
Dekan Fakultas Syari'ah
Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. NIP. 150 050 917
Sekretaris Merangkap Anggota
Dffl. A"f/!rifudho Il, S.H. NIP. 150 268 783
Muhammad Taufik, M.Ag. NIP. 150 290 159
Kama usdiana, S.Ag., M.H. NIP. 150 285 972
Pembimbing,
a~~ Prof. DR. H. Ahmad Sntarmadi
NIP. 150 031 177
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pencipta dan Pernelihara semesta alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Na.bi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat-sahabatnya dan pengikutnya hingga hari pembalasan.
Salah satu sya.ra.t untuk menyelesaikan studi dan miencapai Gelar Sarjana
Strata Satu (SI) di Perguruan Tinggi termasuk UIN SyarifHidayatullah Jakarta adalah
111e111buat karya tulis ilmiah dalam bi:;ntuk skripsi. Dalam ra.ngka itulah penulis
membuat skripsi ini dengan judul "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."
Dalam penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan serta hambatan
yang penulis hadapi. Namun, Alhamdulillah berkat usaha dan kegigihan hati disertai
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara lat1gsung ataupun tidak
langsung, kesulitan serta hambatan tersebut dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Olch karcna itu, dengan penuh suka cita penulis ingin menghaturkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
I. Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. DR. H. Hasanudin
AF, MA. yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis.
2. Ketua Jurusan al-Ahwal asy-Syahsiyah, Dra. Hj. Halimah Ismail dan
Sekretaris Jurusan Ors. Asep Syarifuddin, H. S.H., beserta jajarannya yang
ikut meluangkan waktunya dan membimbing penulis guna menyelesaikan
skripsi.
3. Bapak Dosen Prof. DR. H. AJuuad Sutarmadi yang telah berkenan
meltiangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan nasehat sampai
sclesainya penulisan skripsi ini.
4. Bapak dan !bu kepala Perpustakaan Pusat dan Syari'ah yang telah bersedia
meminjamkan buku ataupun bahan bacaan lainnya.
5. Ayahanda Mansur dan Ibunda Amdaroh yang selalu mendo'akan dan
memberikan motivasi untuk kesuksesan anakmu ini. Serta saudara-saudaraku
Bang Adang, K' Desi, K' Edi dan keponakanku Riska yang selalu menjadi
"musuhku" di saat bosan dan letih.
6. Terima kasih untuk Ade S, yang sudah banyak membantu penulis , tidak lupa
teman-temanku Dina, Ema, Nunung, Rodiah, Edah, Suci, Ana, Qwink dan
seluruh keluarga besar PA/A-B. Kalian akan selalujadi yang terbaik.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik yang telah mereka berikan
mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Jakarta, 18 Mei. 2004 M 28 Rab1'Ul Awai 1425 H
Penulis
DAFTARISI
Halaman
KATA PEN GANT AR ........................................................................................ .
DAFT AR ISi ........................................................................................................ iii
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 3
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
D. Metode Penelitian........................................................................... 5
E. Sistematika Penulisan .................................................................... 6
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENT ANG PERCERAIAN
A. Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Perceraian 7
2. Alasan Perceraian .................................................................... 14
3. Aki bat Perceraian ..... ... ............................ ..... ...... ..................... 17
B. Menurut Hukum Perdata
I. Pengertian Perceraian .............................................................. 20
2. Alasan Perceraian .................................................................... 23
3. Akibat Perceraian .................................................................... 27
BAB Ill AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK
A. Menurut Hukum Islam
1 . Pemeliharaan Anak 30
2. Biaya Hidup Anak ................................................................... 39
B. Menurut Hukum Perdata
I. Pemeliharaan Anak ................................................................. 41
2. Biaya Hidup Anak ................................................................... 46
C. Analisis Perbandingan Masalah Pemeliharaan Anak Dan Biaya
Hidup Anak Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata ............ 48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran ................................................................................... .
DAFTAR PUSTAKA
51
53
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu asas perkawinan yang disyari'atkan ialah perkawinan untuk
selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan sa.ling mencintai. Karena
itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara,
dalam waktu-waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja,
seperti nikah mut'ah, nikah muhallil 1dan sebagainya.2
Melakukan perkawinan bukan pula semata-mata untuk kesenarigan lahiriah
melainkan juga membentuk suatu lembaga yang dengannya kaum pria dan wanita
dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tak senonoh, melahirkan dan
merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan
seksual yang wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan
kebahagiaan. 3
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan
menciptakan kebahagiaan sebuah perkawinan tidaklah rnudah, ha! ini dapat
1 Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang Jelaki terhadap seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi oleh suaminya yang pertama. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Cet. ke-2, h. 82.
2 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. ke-1, h.144
3 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syari'at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet. ke-1, h.7
2
dikarenakan keduanya berlainan tabiat dan tujuan hidup. Adalah di)cetahui dan
diakui bahwa pergaulan yang sangat erat dan rapat diantara pergaulan di dunia ini
adalah pergaulan antara suami isteri. Hari-hari untuk bertemu tidaklah tertentu,
bahkan setiap siang dan malam, berbulan dan bertahun, mereka bergaul dan
berkumpul. Selama dan sepanjang pergaulan itu tentu menghendaki serta
membutuhkan kasih sayang, penyesuaian pendapat dan pandangan hidup, tetapi
tidaklah mustahil apabila di antara suami isteri terdapat perbedaan-perbedaan
mengenai sifat, watak, pendidikan dan pandangan hidup, hal. mana kadang-kadang
dapat menimbulkan kerenggangan ... Berdasarkan ungkapan di atas, tidaklah
mustahil jika dalam masyarakat dijumpai bahwa kehidupan perkawinan terkadang
dengan sesuatu atau beberapa sebab tidak dapat diperbaiki lagi, dan berakhir
d . 4 engan perceraian.
Perceraian memang suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yai1g perlu
untuk tidalc menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar. Karena itu perceraian
adalal1 pintu daruratnya perkawinan guna kemaslahatan bersama. Untuk itulah
Tuhan mengadakan peraturai1-peraturan perceraian di samping peraturan
perkawinan dan atas dasai· ini pulalah negara Republik Indonesia mengatur hal-hal
4 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. ke-2, h. 29
3
yang tidak di atur hukumnya dalam agama, demi kebahagiaan dan ketentraman
keluarga, masyarakat dan negara5•
Sebagaimana perkawinan, perceraian juga menimbulkan berbagai akibat
hukum baik terhadap suami isteri, harta benda maupun anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Dalam ha! perceraian anak adalah pihak yang paling
menderita baik fisik maupun mental.
Sebagai anlanah dan pelanjut keturunan dalam sejarah umat manusia,
sudah selayaknya anak-anak mendapat pemeliharaan, pendidikan dan pembiayaan
hidup dari kedua orang tuanya, baik orang tua masih terikat dalam perkawinan
ataupun setelah perceraian. Sehingga anak dapat menjadi orang yang berbudi Juhur
dan tidak merasakan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua walaupun
mereka telah berpisah.
Sehubungan dengan pentingnya masalah perlindungan anak setelah
perceraian, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut khususnya
ha! yang berkaitan dengan pemeliharaan dan biaya hidup anak yang ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Perdata, yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah
judul skripsi yaitu "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN.JAU DARI
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."
5 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h.12
4
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
Banyak ha! yang dapat menyebabkan suatu ikatan perkawinan berakhir
dengan perceraian sebagaimana tersebut di atas. Begitu pula dengan akibat yang
ditimbulkan dari perceraian tersebut, baik terhadap suan1i isteri, harta benda
maupun anak-anak mereka. Berbagai masalah hukum ym1g ditimbulkan oleh
perceraian menarik untuk dikaji, namun untuk menyamakan persepsi dalam
pembahasan skripsi ini penulis hanya akan membahas masalah pemeliharaan dan
biaya hidup anak akibat perceraian.
Setelah mengetahui batasan .. masalah dan berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diungkapkan, maka penulis akan memberikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa saja alasan dan akibat hukum yang dapat ditimbulkan dm"i suatu perceraian
menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata?
2. Bagaimana sebenarnya pemeliharam1 anak setelah perceraian ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Perdata?
3. Bagaimana dengan biaya hidup anak setelah perceraian ditinjau dari dua sisi
hukum tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui alasan dan akibat dari perceraian ditinjau dari Hukum Islam
dan Hukum Perdata.
5
2. Untuk lebih mengetahui masalah pemeliharaan anak setelah terjadinya
perceraian.
3. Untuk lebih mengetahui masalah biaya hidup anak setelah perceraian.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
metode "Studi Kepustakaan", yaitu dengan mengumpulkan data-data dari berbagai
sumber yang ada kaitan dan relevansinya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini
baik sifatnya primer ataupun sekunder..
Selanjutnya data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan "Metode
Komparatif' yaitu dengan membandingkan antara Hukwn Islam dan Hukum
Perdata terhadap suatu masalah yang kemudian disajikan dalam kerangka deduktif
yaitu memaparkan permasalahan secara umum untuk kemudian ditarik
kesimpulannya secara khusus.
Dengan kata lain, metode yang akan dikembangkan adalah metode
deskriptif analitis, yakni dengan memaparkan tema tersebut secara teratur,
kemudian dianalisis dengan berbagai pandangan dan informasi lainnya.
Sedangkan teknis penulisannya tetap menggunakan buku "Pedoman
Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah" yang disusun oleh UIN
Jakarta Press. Dengan beberapa pengecualian, yaitu:
I. Dalam daftar pustaka al-Qur'an al-Karim dicantumkan pada urutan pertama
dari sumber-sumber lainnya. Urutan berikutnya disusun secara alfabetis.
6
2. Kutipan langsung yang berasal dari te1jemahan ayat-ayat al-Qur'an dan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tidak disertai catatan kaki (footnote).
3. Kutipan te1jemahan al-Qur'an, al-Hadits dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ditulis satu spasi meskipun kurang dari 6 baris.
E. Sistcmatika Pcnulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan clan penulisan, maka penulis
mengklasifikasikan pennasalahan dalam beberapa bah dengan sistematika sebagai
berikut:
BABI : Merupakan bah Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Batasan Dan Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian,
Sistematika Penulisan.
BAB II : Merupakan uraian sekitar Perceraian, yang tercliri dari ; Pengertian,
Alasan dan Akibat Perceraian menurut Hukum Islam clan Hukum
Perdata.
BAB III : Uraian tentang Akibat Perceraian Bagi Anak., yang terdiri dari;
masa!ah Pemeliharaan Anak dan Biaya Hidup Anak rnenurut Hukum
Islam dan Hukum Perdata serta menganalisis kedua permasalahan
tersebut dari sisi persamaan dan perbedaaimya.
BAB IV : Merupakan bah Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-
saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENT ANG PERCERAIAN
A. Mennrut Hnkum Islam
1. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan antara suami isteri biasa dikenal dengan istilah
"perceraian". Perceraian berasal dari kata "cerai" yang m1~nurut bahasa berarti
"pisah" atau "talak" .1 Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak"
atau "furqoh''. Talak artinya membuka ikatan atau membatalkan pe1janjian.
Furqoh berarti bercerai, lawan dari berkumpul, kemudian kedua kata ini dijadikan
istilah oleh ahli-ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.2
Talak dapat pula didefinisikan:
Artinya:
"Melepas ikatan perkawinan (nikah). "3
Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan definisi talak yaitu.:
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa lndonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Cet. ke-1, h.163
2 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, l 987), Cet. ke- l, h. l 44
3 Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan As San'ani, Subulu As Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, tth), Jilid 3, h. 168
8
Artinya:
"Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. "4
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa talak pada dasarnya merupakan
earn untuk melepaskan ikatan perkawinan. Dan sudah menjadi ketentuan syara'
bahwa talak itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya ia saja yang boleh
mentalak isterinya, orang lain biarpun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai
wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan talak hak laki-laki atau
suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban
perbelanjaan rumah tangga, nafkah isteri, anak-anak dan kewajiban lain.5 Adapun
dasar hukum yang menjelaskan masalah talak diantaranya ialah:
Artinya: "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati masa
iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma 'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukumhukum Allah permainan ... "(Q.S. Al Baqarah/2: 231)
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), Cet. ke-4, Jilid 2, h. 206
5 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.40
seq.
9
Macam-macam talak:
I. Talak raj'i, yaitu talak suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi
kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah baru, seperti talak satu
a tau talak dua. U ntuk dapat kembali rujuk, maka bekas suami isteri pernah
melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan) dari pihak
isteri.
2. Talak ba'in, yaitu talak suami yang dijatuhkan kepada iseri dan suami tidak
boleh rujuk kecuali dengan akad nikah baru.
Talak ba'in terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Talak ba'in shugro (kecil), yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada
isterinya yang belum dicampuri (qobla al dukhul), atau talak yang
disertakan tebusan/ uang ganti rugi dari isteri (khulu').6
b. Talak ba'in kubro (besar), yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada
isterinya. Bagi kcdua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad
nikah baru kecuali bekas isteri telah melakukan perkawinan baru dengan
laki-laki lain, kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami
meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan bekas suami
pertama setelah selesai menjalani masa iddahnya.7
6 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina llmu, 1993), h.331
7 R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), Cet. ke-1, h. 98 et
10
Dalam Islam talak hanyalah salah satu bentuk yang dapat
menyebabkan putusnya perkawinan selain khulu'. Khulu' berarti permintaan
talak oleh isteri kepada suaminya dengan membayar tebusan. Menurut ahli
fiqh, khulu' adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi
kepadanya. 8 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari
pengertian khulu', jika ganti rugi tidak ada maka khulu'nya juga tidak sah.
Dasar hukum khulu' Q.S. Al Baqarah/2:229.
Adapun hal-hal yang dapat memicu terjadinya talak atau khulu', yaitu:
a. Ta'lik Talak
Ta'lik Talak mempunyai arti suatu talak yang digantungkan
jatuhnya kepada te1jadinya suatu ha! yang memang mungkin terjadi yang
telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian.9 Dasar hukum
diperbolehkannya ta'lik ialah Q.S. An Nisaa/4: 128.
b. Syiqaq
Syiqaq adalah perselisihan atau percekcokan antara suami isteri. 10
Berarti pula perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang
8 Sayyid Sabiq, Op. cit, h.253
9 Ibid
"Ahmad Rafiq, Hukum lslam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. ke-3, h.272
h.50.
11
hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
'] k · · 11 p1 m 1sten.
Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat
mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan
persengketaan diantara dua belah pihak suami isteri. Dasar hukum syiqaq
Q.S. An Nisa/4:35.
c. Ila'
Ila' adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh orang Arab di
zaman jahiliyah. Meng-ila' isterinya ialah seorang suami bersumpah tidak
akan menyetubuhi isterinya. Dengan datangnya Islam, maka adat tercela
yang dibiasakan orang Arab itu diubah dengan menetapkan untuk ila'
suatu pembatasan, bahwa ila' itu hanya sampai empat bulan saja dan
setelah empat bulan suami harus memilih antara kembali kepada isterinya
(menyetubuhinya) lagi dengan membayar kafarat sumpah atau
menceraikan. 12 Dasar hukum dari ila' ialah Q.S. Al Baqarah/2: 226.
d. Zhihar
Zhihar berarti punggung. Maksuclnya ialah: perkataan suam1
kepacla isterinya, "untukku engkau seperti punggung ibuku." Apabila
suami telah mengucapkan perkataan tersebut, maka isterinya itu haram
11 Kamal Mukhtar, Op. cit., h.173
12 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. ke-2,
12
dicampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya. Dan untuk dapat
kembali mencampuri isterinya, maka wajib baginya untuk membayar
kafarat (denda). Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian pada masa
Arab Jahiliyyah. 13 Masalah zhihar diatur dalan1 Q.S. Al Mujadalah/58:1-4,
dan Al Ahzab/33:4.
e. Fasakh
Fasakh berarti rusak atau batal. 14 Memfasakh akad nikah berarti
membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh
dapat terjadi karena sebab _yang berkenaan dengan akad (sah atau
tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah ber!akunya akad. 15
f. Mubara'ah 16
Mubara'ah merupakan bentuk lain dari perceraian berdasarkan
persetuj uan kedua be I ah pihak dari suan1i isteri. Kalau dalam khulu
dikenal adanya iwadl (semacam penggantian atau tebusan), maka dalam
mubara'ah yang diperlukan hanyalah persetujuan kedua belah pihak dari
suami isteri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan, dan
13 Kamal Muchtar, Op. cit., h.181
14 Mahmud yunus, Kamus Arab-indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 316
15 l-1.S.A. Al Hamdani, Risa/ah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 19fW), h.42
16 /v/ubara 'ah adalah istilah dalam perceraian yang dipergunakan di India
13
"kedua pihak telah merasa puas hanya dengan kemungkinan terlepas dari
ikatan masing-masing. " 17
g. Fahisyah
Fahisyah atau faahisyah artinya kekejian. Dalam hukum
perkawinan fahisyah umumnya diaitikan perzinaan. Dapat pula diaitikan
semua perbuatan buruk dari pihak suami atau isteri yang mencemarkan
nama keluarga tersebut. Dengan demikian fahisyah dapat diaitikan berbuat
zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan. Dasar hukum fa.hisyah adalah Q.S. An Nisaa/4:15. 18
h. Murtad
Kalau salah seorang dari suami isteri itu ke luar dari agama Islam
atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. 19
1. Li'an
Li'an berasal dari kata la'n yang berarti kutukan. Disebut Ji'an
karena masing-masing pihak suami isteri mengutuk pihak yang lain
setelah masing-masing menyatakan persaksian empat kaii.20 Li'an dapat
pula diartikan sebab suami isteri yang bermula'anah pada ucapan yang
kelima "sesungguhnya laknat Allah akan jatuh padanya jika ia tergolong
17 M. Djamil Latif, Op.cit., h.60
18 Sayuti Thalib, Op. cit., h. l 13
19 Ibid. h.l 19
2° Kamal Muchtar, Op. cit., h.186
14
orang yang dusta." Dasar hukum li'an terdapat dalam Q.S. An Nuur/24:6-
7.21
2. Alasan Perceraian
Langgengnya kehidupan perkawinan mernpakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya hingga meninggal
dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rnmah tangga tempat
berlindung dan menikmati kasih sayang. Tetapi, ketika :;alah satu pihak atau
kedua belah pihak dari suami isteri merasa bahwa kehidupan perkawinannya tidak
dapat dilanjutkan adalah merupakan alasan pokok perceraian.
Oleh sebab itu Islam memberikan hak talak kepada suami untuk
menceraikan isterinya dan hale khulu' kepada isteri untulc menceraikan
suaminya.22
Walaupun Islam membolehkan perceraian, narnun pada pnns1pnya
perceraian dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak
atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
/a / -;; /}\ -;: \ / / !\
J%J1~1:~~.i'.'il1~.i'.'il1j~;J~:j~!-;~·c.i'.'il1~~0'.\i ,., ,., ,.,
,,.,-r; \
(,. 4=\t\ ~-' "-":-L. 0'. l_,.:i-' \~".I 0 Gv-) ~)}1J 1,:0 ~
21 Sayid Sabiq, Op. cit., h.270
22 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan da/am Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 110
15
Artinya: "Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian). (I-LR. Abu Daud, Ibn Majah dinilai shahih oleh Hakim).23
Pada dasarnya Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang
mengharuskan suarm untuk mengemukakan sesuatu alasan untulc
mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun suatu alasan
yang mungkin dikemukakan suan1i untuk menjatuhkan talak kepada isterinya
bahwa ia merasa tidak senang lagi kepada isterinya. Demikian juga isteri dapat
mengemukakan alasan bahwa ia merasa sudah tidak senar1g Jagi kepada
suaminya, dan dengan alasan ini ia minta diceraikar1 kepada suaminya. Walaupun
talak semacam ini sangat di benci, tetapi talaknya sah. Namun untuk terwujudnya
hadits Nabi tersebut, demi kelangsungan perkawinan tidak ada halangan bila
alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk perceraian ditetapkan harus ada.24
Alasan-alasan yang membolehkan suami menjatuhkan talak ialah:
a. Isteri berbuat zina.
b. Isteri nusyuz, 25 setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya.
c. Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu
keamanan rum ah tangga. 26
23 Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h.168
24 M. Djamil Latif, Op. cit, h, 43
25 Nusyuz ialah sikap tidak patuh dari isteri dengan tidak ada alasan yang dapat diterima oleh syara. (Lihat Sulairnan Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1995, h. 398)
26 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), Cet ke-15, h. 113.
16
Demikian pula isteri boleh menuntut cerai dari suaminya dengan khulu',
berdasarkan alasan:
a. Kedua suami isteri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu bergaul
secara ma'ruf.
b. Isteri sangat benci kepada suan1inya lantaran sebab-sebab yang tidak
disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suaminya.27
Sedangkan menurut Abdul Qadir Djaelani, alasim perceraian tersebut
adalah:
a. Pertengkaran atau perselisihan yang tidak bisa di atasi lagi.
b. Suan1i dipenjarakan seumur hidup atau jik.a suami pergi dan tidak ada
beritanya lagi atau suami cacat yang tidak memungkinkan untuk bisa mencari
nafkah guna kepentingan isterinya, atau mungkin juga salah satu pihak
berkelakuan jahat atau berperangi kejam atau terlalu bakhil dalam
menafkahkan keluarganya.28
Dan sebagai perbandingan, terpenuhinya alasan lmtuk dapat terjadinya
perceraian menurut Hukum Islam telah diserap oleh Undang-undang Perkawinan
No. I Talmn 1974 pasal 39 ayat 2, yaitu:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak alcan dapat hidup rukun sebagai suarni isteri.
27 Ibid., h.132
28 Abdul Qadir Djaelani, Op. cit, h. 325
17
Alasan-alasan yang dimaksud dalam Hukum Islam tersebut telah
dibukukan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19. Perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ha! lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus te1jadi perselisihan dan gertengkaran dan tidak ada harapan akan hid up rukun lagi dalam rumah tangga. 9
Banyaknya alasan perceraian yang dikemukakan pada dasarnya berawal
dari ketidaksenangan antara pasangan suami isteri yang alchirnya menimbulkan
dampak permasalahan lain.
3. Akibat Perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalal1 sebagai berikut:
a. Akibat bagi bekas suami dan isteri
1. Kepada bekas suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum
dibayar atau dilunasi, sebagaimana firman Allah Surat An Nisa/4: 4.
2. Bekas suami wajib memberi mut'ah, yakni memberi suatu pemberian guna
menggembirakan isteri yang telah ditalalmya (talalc yang tidak atas
29 Ahmad Rafiq, Op. cit., h. 275
18
permintaan isteri) itu, baik berupa uang maupun benda, sesuai dengan
keadaan dan kedudukan suami.
3. Bekas suami wajib memberi nafkab 'iddah, yakni biaiya hidup isteri selama
jangka waktu 'iddab raj'i.
4. Bekas suami wajib menyediakan perumaban, yakni tempat kediaman bagi
isteri yang telah ditalak raj'i, sedang bagi isteri yang ditalak ba'in hanya
disediakan tempat kediaman kalau ia dalam keadaan hamil.
5. Bekas suami wajib memberikan pakaian, yakni kain baju menurut ma'ruf
bagi isteri yang ditalak.30
Prof. DR. H. Malunud Yunus dalam bukunya Hukum Perkawinan Dalam
Islam menambahkan babwa bekas suami wajib memberi belanja untuk
pemeliharaan dan kewaj iban bagi pendidikan anaknya-auaknya menurut batas
kemampuau dau kesauggupannya, sesuai dengan kedudukan suami sampai anak-
anaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan.31
Ketika terjadi perceraian, maka bekas suami berhak untuk rujuk kembali
kepada bekas isterinya selama dalam masa 'iddab.32 Dan untuk bekas isteri
selama masa 'iddah wajib menjaga diri dan kehormatannya serta tidak menerima
pinangan orang lain. Adapun 'iddah yang diwajibkan untuk bekas isteri adalah:
30 M. Djamil Latif, Op. cil., h. 41 et seq.
31 Mahmud Yunus, Op. cit., h. 126
32 lddah adalah masa menanti yang diwajibkan alas isteri yang terputus ikatan perkawinannya dengan suaminya baik karena ditinggalkan mati atau perceraian.
1. 'Iddah isteri yang haid, tiga kali suci;
2. 'Iddah isteri yang tidak Jagi haid, tiga bulan;
3. 'lddah isteri yang ditinggal mati suaminya, empat bulan sepuluh hari;
4. 'lddah isteri yang hamil, sampai melahirkan;
5. Bagi isteri yang belum disetubuhi maka tidak ada 'iddah baginya.33
b. Akibat bagi harta kckayaan
19
Dalam Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri
karena pernikahan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi m:ilik isteri dan dikuasai
penuh olehnya; demikian pula harta.. kekayaan suami tetap menjadi milik suami
dan dikuasai penuh olehnya. Karena itu pula menurut HU:kum Islam perempuan
yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat
melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.
Jika dalam perkawinan diperoleh haita, maka haita ini adalah ha1ta
syirkah, yaitu harta bersama dari suami isteri. Tetapi dalam ha! haita kekayaan
yang terpisah, masing-masing dari suami isteri tidah berhak dan be1wewenang
alas kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi haita bawaan, haita
yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri dan harta
yang diperoleh karena hadiah atau warisan.
Kematian salah satu pihak menimbulkan hak saling waris-mewarisi dari
kekayaan tersebut tetapi perceraian tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap
harta kekayaan tersebut. Berbeda dengan harta syirkah yang merupakai1 haita
33 Abdul Qadir Djaelani, Op. cit., h. 338
20
kekayaan tambahan karena usaha bersama, apabila ikatan perkawinan putus baik
meninggalnya salah satu pihak atau perceraian, maka harta i:ni dibagi antara suami
isteri.34
c. Akibal bagi anak
Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (hadhanah) serta
aluran tentang biaya hidup anak yang hams ditanggung orang tua, ha! ini akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
B. Menurut I-Iukum Perdata
I. Pengcrtian Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau
tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.35
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa
"perceraian" adalah salah satu sebab saja dari bubar atau hapusnya perkawinan,
karena dalam pasal 199 disebutkan bahwa hal-hal yang yang dapat menyebabkan
bubarnya perkawinan adalah:
a. karena kematian b. karena keadaan tak hadir si suami atau si isteri, selan1a sepuluh tahun, diikuti
dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya ... c. karena putusan Hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan
pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil. ..
34 M. Abdul Djamil, Op.cit., h.83
35 Subekti, Pokok-pokok Hukuk Perdata, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), Cet. ke XXIV, h.42.
21
d. karena perceraian ...
Sebab-sebab hapusnya perkawinan tersebut akan dijelaskan secara global,
sebagai berikut;
a. Karena kematian
Bubamya perkawinan karena kematian kiranya tidak perlu mendapat
penjelasan lebih lanjut, karena dengan meninggalnya salah satu pihak, maka
ikatan perkawinan dengan sendirinya hapus.
b. Perihal tak hadirnya salah satu pihak, ini diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 493 BW: jika seorang di antara suami isteri telah meninggalkan
tempat tinggalnya selama I 0 tahun dan tidak ada kabar bagaimana nasibnya,
maka orang yang ditinggalkan dapat minta izin dari Pengadilan untuk
memanggil yang pergi tadi di dalam suatu panggilan umum 3 kali berturut-
turut.
Pasal 494 BW: jika setelah panggilan yang ke-3 ia tidak datang, maim
Pengadilan dapat memberi izin kepada orang yang clitinggalkan itu untuk
kawin.
Pasal 495 BW: jika izin untuk kawin telah diberikan, tapi belum
te1jadi sesuatu perkawinan, maka jika yang pergi itu datang kembali izin yang
telah diberikan itu tidak berlaku lagi.
22
Jika perkawinan telah terjadi dan yang perg1 datang, maka yang
belakangan ini berhak kawin dengan orang lain. 36
c. Perpisahan meja dan ranjang
Bagi sepasang suami isteri yang tidak dapat hidup bersama tetapi
menurut kepercayaan agama atau keinsyafannya sendiri mungkin keberatan
terhadap suatu perceraian, oleh Undang-undang diberikan kemungkinan untuk
meminta suatu "perpisahan meja dan tempat tidur (echschelding van tavel en
bed)." Cara pemecahan ini ada baiknya, karena kesempatan untuk berdamai
yang selalu masih terbuka dan kedua pihak masih terikat oleh pe1ialian
perkawinan.37
Untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus ada alasan
yang sah. Undang-undang menyebutkan alasan-alasan yang sama seperti yang
ditetapkan untuk alasan suatu perceraian, tetapi di samping itu ada juga alasan
yang dinamakan "perbuatan-perbuatan melampaui batas"
(bultensporigheden), sedangkan penganiayaan dan penghinaan berat juga
merupakan alasan untuk minta perpisahan ini.(pasal 33 BW)
Hakim dapat juga mengizinkan perpisahan meja dan tempat tidur atas
persetujuan kedua belah pihak dengan tak usah mengajukan sesuatu alasan,
36 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h.122.
37 Subekti, Op.cit., h.45
23
asal saja perkawinan itu sudah berlangsung paling sedikit dua tahun. (pasal
236 BW)
Akibat perpisahan meja dan tempat tidur, suami isteri dibebaskan dari
kewajibannya untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa
pemisahan kekayaan. Tetapi tidak berakibat hapusnya kekuasaan orang tua
(ouderlijke macht).38
d. Karena perceraian
Adapun yang menjadi dasar bubarnya perkawinan ini, adalah perceraian
yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan tempat tidur.
2. Alasan Pcrccraian
Undang-undang tidak memperbolehkan percera1an dengan
pemufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Dalam
pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa
alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian perkawinan adalah:
a. Zina (over!>pel);
b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwilige verlating);
c. Penghukuman yang melibihi 5 (lima) tahun karena dipersalahkan
melakukan suatu kejahatan;
d. Penganiyaan berat atau membahayakan jiwa.
311 Ibid,
24
Undang-undang menambahkan dua alasan: a. salah satu pihak
mcnclapat cacacl baclan atau panyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami isteri; b. antara suami isteri terus-menerus terjadi
perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga (pasal 19 PP.9/1975).39
Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan alasan-alasan tersebut:
a. Zina
zma adalah persetubuhan yang dilakuka11 oeh laki-laki atau
perempuan yang telah kawin rlengan perempuan atau laki-laki yang bukan
isteri atau suaminya.40 Bagi pihak lain yang tidak kawin ha! yang
demikian ini tidak diartikan sebagai zina.
Penafsiran yang sempit ini merupakan pengertian zina dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284. Berbeda dengan zina
dalam pengertian Hukum Islam, yaitu hubungan kelamin diantara seorang
lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan, tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau
kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing
39 Subekti, Op. cil., h.42, et seq.
"° R. Sugandi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981 ), Cet. kc- I, h.800
25
ataupun belum menikah sama sekali, kata "zina" ini dikenakan baik
terhadap seorang atau keduanya telah menikah ataupun belum.41
Apapun pengertian zina dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata,
zina tetap merupakan salah satu alasan penting untuk memohon
perceraian. Zina erat kaitannya dengan sanksi pidana, karena biasanya
pihak yang bersalah dituntut lebih <lulu di hadapan hakim pidana. Dan atas
dasar putusan ini perkara perdatanya tidak akan mengalan1i kesulitan
untuk diputuskan. Hakim tidak memerlukan pembuktian yang lain.42
Pasal 284 KUHP merupakan suatu delik aduan yang berarti tidak
dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang
dirugikan. 43 0 !eh karena itu, pengakuan di muka sidang dianggap sebagai
pembuktian yang sempurna.
b. Tentang alasan perceraian, karena salah satu pihak meninggalkan pihak
yang lain harus memenuhi dua syarat yar1g diatur dalam pasal 211 dan
pasal 218 BW, yaitu:
1. Harns ada unsur kesengajaan meninggalkan tempat tinggal, yaitu
harus ada sikap tegas w1tuk menolak hi.dup bersarna-sama. Jika suami
mengusir isteri atau suami meninggalkan tempat tinggal untuk
41 Abdur Rahman i DOI, Tindak Pidana Da/am Syari 'at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1992), Cet. ke-1, h.31
42 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.195
43 R. Sugandi, Op. cit. 1 h. 302
26
berdiam di satu tempat di mana isteri tidak mungkin ikut tinggal di
situ, maka hanya isteri yang dapat menuntut suami.
2. Kepergian tersebut harus berlangsung lima tahun dan harus
berlangsung terns. Kalau dalam waktu itu yang pergi datang kembali
kemudian pergi lagi, maka waktu lima tahun harus dihitung mulai
kepergian yang kedua. Jika setelah Iima tahun yang pergi datang
kembali maka tuntutan akan gugur jika perceraian belum diputuskan
oleh Hakim. Jika kepergian itu karena alasan yang sah, maka tenggang
waktu lima tahun itu mulai berlaku pada waktu hapusnya alasan yang
sah itu.44
c. Pcrceraian bcrdasarkan penghukuman ditentukan dalam pasal 210 dan
pasal 219 BW;
Penghukuman karena zma dan penghukum:m yang berlangsung
selama lima tahun atau lebih terhadap salah seorang dari suam1 isteri,
maka untuk memperoleh perceraian cukuplah kiranyajika sebuah turunan
dari keputusan itu disampaikan kepada Pengadilan Negeri disertai dengan
surat keterangan yang menyatakan, bahwa keputusan itu telah
memperoleh kekuatan mutlak.
Kalau keputusan penghukuman itu telah lewat enam bulan tanpa ada
tuntutan perceraian oleh pihak yang lain, maka tuntutan perceraian
menj adi gugur.
44 Ali Afandi, Op. cit., h.128 et seq.
27
d. Perceraian karena melukai berat atau penganiayaan.
Perceraian karena hal ini kiranya sudah culmp jelas, hanya perlu
diterangkan bahwa percobaan pembunuhan yang tidak dilakukan dengan
perbuatan melukai atau penganiayaan bukan mernpakan alasan untuk
bercerai.45
Selain keempat alasan tersebut masih ada satu alasan lagi yang
terdapat dalam yuriprudensi yaitu ketegangan yang tidak dapat diperbaiki
lagi. Alasan ini diambil dari Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia
Kristen (HOCI) staatblad 1933 No.74.
3. Akibat Perccraian
a. Akibat bagi suami isteri
Pada saat dibukukannya surat keputusan perceraian dalam register
Catalan Sipil maka bubarlah perkawinan, dengan demikian maka segala
hale dan kewajiban yang bersumber pada perkawinan tidak ada lagi.46
Bagi bekas suami maka dia berhak untuk melangsungkan
perkawinan barn. Berbeda dengan bekas isteri yang berlaku baginya
jangka waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan barn yaitu selama
tiga ratus hari, hal ini tertera dalam pasal 34 BW:
45 Ibid.
·"Ibid., h.132
28
Seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.
Mengenai pemberian nafkah, menurut pasal 225 BW apabila pihak
suami atau isteri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan tidak
mempunyai penghasilan yang cukup guna membehmjai nafkahnya, maka
Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan dari harta
kekayaan pihak yang lain. Selanjutnya pasal 227 BW menjelaskan bahwa
kewajiban memberi tunjangan ini akan berakhir dengan meninggalnya
salah satu pihak. 47
Sedangkan penetapan jumlah nafkah ditentukan oleh Hakim
berdasarkan kepentingan pihak penuntut dan penghasilan (kekayaan)
pihak pemberi nafkah.
b. Akibat bagi harta kekayaan
Hukum Perdata menganut paharn adanya persatuan harta kekayaan
(benda) suami isteri sebelwn dilangsungkarmya perkawinan sepanjang
para pihak tidak menentukan yang lain. Hal ini berdasarkan pasal 119
BW:
Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan pe1janjian kawin tidak diadakan ketentuan lain ...
47 M. Djamil latif, Op. cit., h.91
29
Oleh karena itu, apabila perkawinannya dengan persatuan harta
kekayaan maka pembagiannya pun harus dilakukim menurut cara-cara
seperti tersebut dalam pasal 232 BW.48
Jika suami dan isteri yang dicerai itu, telah berkawin dengan persatuan harta kekayaan, maka pembagian barang-barang persatuan hams berlangsung dalam ha! dan dengan earn yang sarna seperti teratur dalarn bab keenam.
Pembagian ha1ia kekayaan tersebut telah ditentukan caranya dalam
Pasal 128 BW:
Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang mimakah barang-barang itu diperolehnya ...
Keadaan ini akan memungkinkan tmtuk merubah status sosial
seseorang, yang tadinya miskin menjadi kaya setelah cerai dengan seorang
hartawan.
c. Akibat bagi anak
Anak merupakan pihak yang paling menderita ketika terjadi
perceraian, baik fisik maupun mental. Akibat yang jelas terlihat adalah
tentang hak asuh, dengan siapa anak akan tinggal nantinya dan masalah
biaya hidup anak selanjutnya. Oleh karena itu, untnk lebih jelasnya
masalah hak asuh (pemeliharaan) anak dan biaya hidnpnya akan
dijelaskan lebih lanjut dalarn bab selanjutnya.
48 Ibid.
BAB III
AKIBA T PERCERAIAN BAGI ANAK
A. Menurut Hukum Islam
1. Pemeliharaan Anak
Pemeliharaan anak terdiri dari dua kata, yaitu kata pemeliharaan dan kata
anak. Pemeliharaan berasal dari kata pelihara artinya m~njaga, membela dan
mendidik secara baik-baik. 1 Sedangkan kata anak diartikan sebagai: 1. turunan
kedua .. ., 2. manusia yang masih -kecil. .. 2 sehingga kata anak dimaksudkan
sebagai keturunan kedua yang masih kecil.
Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban orang
tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan
mereka gaga! karena perceraian. 3
Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam Islam disebut dengan
hadhanah (:;;WI). Hadhanah berasal dari kata l:.>--.;..;-.:r4>· yang beraiti memeluk
atau mengasuh anak 4
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, I 988), Cet. ke-1, h.661
2 Ibid., h.30
3 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. ke-3, h.247
4 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. l 04
31
Menurut ahli fiqh hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anak-anak
yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi
belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggtmgjawabnya.5
Hadhanah dapat pula diartikan dengan penguasaan, pemeliharaan,
perawatan dan pendidikan anak yang di bawah umur, dapat dilakukan oleh bapak
atau ibu sampai anak itu mumayyiz.6
Sedangkan as San'ani mengemukakan definisi hadhanah yaitu:
Aiiinya: "Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri, dan
menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakannya. "7
Dari beberapa ta'rif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan hadhanah ialah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz
supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab. Mengasuh
anak yang masih keeil merupakan suatu kewajiban dan itu adalah haknya, sebab
apabila disia-siakan tentu akan menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya.
5 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), Cet. ke-4, Ji lid 2, h.288
6 Andi Thahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet. ke-1,h.31
7 Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al kahlani dan as San'ani, Subu/u as Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, tth.), Jilid 3, h.227
32
Kalau sebelum perceraian orang tua berkewajiban untuk memperhatikan
segala kebutuhan anak sekaligus menjaga harta bendanya, begitu pula sebalilmya
ketika orang tua bercerai. Dan menurut Undang-undang Perkawinan No. I Tahun
1974, anak yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya.
Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan ketentuan Undang-undang
Perkawinan No.I Tahun 1974 pasal 49 (!), yaitu:
I. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
2. Ia berkelakuan buruk sekali.
Dan ketika anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, ia berada
di bawah kekuasaan wali. Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan perwalian
adalah meliputi pribadi analc yang bersangkutan maupun harta bendanya hal ini
juga ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 (2). Perwalian
juga dapat dicabut berdasarkan Undang-undang Perkawinan No.I Tahun 1974
pasal 49 (I).
Dan ketika terjadi perceraian antara suami isteri, sedang mereka
mempunyai anak kecil, maka ibu lebih berhalc dari bapalc untuk mengasuh anak
tersebut. Diberikan hale prioritas kepada ibu, karena ia yang menyusukan dan
33
lebih cakap untuk mengasuh dan merawatnya. Oleh karena itu, ibu yang
didahulukan dari pada bapak, semua ini untuk kebaikan masa depannya.8
Firman Allah:
// /./ / / // //.// D
~~(:::;"I\~ JS(\·.~\ . '\ .(b . ~ ".:'i:;'G--:;.,o· ~~GJGG ~- v ,A> V' u,....u:::_: ~ v u ;.. v.. ,.,,, ,, ,,
0/. /.) /.}D
c~rr: o~\) . .. 0;~~:.~==G~:;.v-:i.i;J;J\ ,,
Artinya: "para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan ma 'ruf .. " (Q.S. Al Baqarilh/2: 233)
Adapun aturan yang lebih mengutamakan ibu sebagai pengasuh
berdasarkan hadits Rasul:
Artinya: Dari Abdullah bin 'Amr bahwasannya seorang perempuan berkata: "
Ya Rasulul/ah! Sesungguhnya anakku ini adalah dari kandunganku, dari susuku ia mendapat minuman dan pangkuanku adalah tempat berlindungnya. Dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikan a/cu dan ia hendak mengambil anak ini dariku. " Maka Rasulullah bersabda: " Engkau lebih berhak terhadap anak ini
8 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1994), Cet. ke-1, h.215
34
selama engkau belum menikah lagi. " (H.R. Ahmad dan Abu Daud dinilai shahih oleh Hakim)9
Tiada terdapat ikhtilaf dikalangan ulama terhadap permasalahan ibu lebih
berhak dari bapak dalam ha! mengasuh anak.
Ibnu Abbas menurut hadits yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq,
menyatakan:
A1tinya: "Bau ibunya, tilamnya dan panas tubuhnya lebih baik bagi anak yang
nersangkutan dari padamu (ayah) sqmpai dia remaja dan dapat memilih (anatar ibu dan bapaknya) untuk (kebaikan) dirinya. "10
Tetapi ketika perceraian terjadi karena ibunya yang pindah agama
(murtad), atau sebaliknya, perkawinannya <lulu dilaksanakim pada waktu mereka
sama-sama belum Islam, kemudian suami masuk Islam sementara isteri tidak mau
mengikutinya, riwayat dari Rafi' ibn Sinan ra, menyatakan:
9 Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h.227
IO Ibid
35
Artinya:
" la masuk Islam dan isterinya menolak untuk masuk Islam, maka Nabi SAW mendudukan ibu di satu sisi dan bapak di sisi lain, dan beliau mendudukan si anak di antara keduanya. Kemudian anak itu cenderung kepada ibunya. Beliau bersabda: "Ya Allah berilah petunjuk (hidayah) kepadanya." Kemudian anak itu cenderung kepada bapaknya dan memegangnya. " (Hadits dikeluarkan Abu Daud, al Nasa'I dan dinilai shahih oleh Hakim). 11
Hadits tersebut oleh mayoritas ulama disepakati sebagai dasar bahwa
masalah hadhanah atau pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan muslim,
dipandang tidak berhak karena kekafirannya. 12
Apabila ibu berhalangan untuk memelihara anak.nya, atau perceraian
te1jadi ketika anak belum mumayyiz disusul dengan kematian ibunya, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. !bu dari ibu (nenek) dan seterusnya ke atas;
2. Bapak;
3. Ibu dari bapak;
4. !bu dari ibunya bapak dan seterusnya ke atas;
5. Kerabat terdekat yang perempuan; dan
6. Kerabat yang terdekat laki-laki. 13
Hal ini kemudian dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 (a).
II Ibid, h. 228 12 Ahmad Rafiq, Hu/cum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet.
ke-3, h.253
13 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Cet. ke-1, h.403
36
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
I. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
Adapun syarat utama untuk dapat mengasuh anak, orang tersebut harus
mampu dan cakap. Dan untuk menilai mampu atau tidaknya dilihat kepada
beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
I. Islam
Wanita kafir tidak boleh mengasuh anak kecil yang beragama Islam, karena
hadhanah (asuhan) itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sedang
Allah melarang orang kafir menguasai orang islam, sebagaimana firman-Nya.
Artinya:
'"Dan Allah seka/i-kali tidak akan memberi ijin kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. "
2. Baligh (dewasa)
Anak-anak tidak boleh mengasuh, karena dia sendiri masih memerlukan
asuhan dari orang lain.
37
3. Berakal
Orang gila dan orang yang kurang akalnya tidak boleh mengasuh anak, sebab
keduanya tidak sanggup mengurus diri masing-masing, apalagi mengurus
orang lain.
4. Mampu
Orang buta dan orang yang berpenyakitan tems-menerus, dan orang lanjut
umur (pikun) dan wanita yang tidak sanggup mengurus rumah tangga, tidak
boleh mengasuh. Jika mereka ditunjuk untuk mengasuh atau mendidik,
dikhawatirkan anak itu akan menjadi terlantar dan sia-sia.
5. Jujur dan dipercaya
Wanita fasik (jahat) bermoral rendah dan berakhlak: buruk, tidak boleh
mengasuh, sebab di bawah asuhannya dikhawatirkan akan berpindah tingkah
lakunya itu kepada anak yang diasuh.
6. Tidak kawin
Apabila wanita pengasuh itu kawin, maka gugurlah hak hadhanah dari
padanya.
7. Merdeka
Budak atau hamba sahaya tidak boleh mengasuh, karena ia sibuk melayani
majikannya, sehingga tidal< ada tempo untuk itu. 14
14 Ibid., h.219
38
Mengenai lamanya masa mengasuh, para ahli fiqh berbeda pendapat, hal
ini dikarenakan tidak adanya ketentuan dalam nash. Adapun pendapat-pendapat
para ahli fiqh tersebut ialah:
a. Madzhab Hanafy, mengasuh anak kecil itu habis masanya kalau anak itu
sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup
melaksanakan keperluannya yang vital, seperti makan, minum, berpakaian
dan mandi. Dan untulc anak perempuan diperpanjang sampai ia dewasa tanpa
adanya ketentuan berapa tahun umurnya, ini berdasarkan pendapat yang lama.
Tetapi dalam pendapat yang baru, menetapkan 7 (tujuh) tahun bagi anak laki-
laki dan 9 (sembilan) tahun bagi anak perempuan.
b. Madzhab Maliki, masa asuhan anak laki-laki diperpai~jang sainpai ia dewasa
dan masa asuhan anak perempuan sampai ia menikah dan hidup dengan
tenang bersama-sama dengan suaminya.
c. Madzhab Syafi'i, sebaiknya anak itu diberi hak untuk memilih kalau ia sudah
mumayyiz. 15
d. Madzhab Hambali, memberi batas mengasuh anak yaitu sampai anak berumur
7 (tujuh) tahun baik laki-laki maupun perempuan. 16
15 Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.61
16 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Cet. ke-2, h.82
39
Para ulama fiqh memang tidak sepakat dalam menentukan batas akhir
pemeliharaan (asuhan) anak, namun hal yang sangat mendasar untuk
menentukannya adalah terletak pada kondisi anak, dengan batas minimal sampai
anak terse but tan1yiz atau berumur tujuh tahun.
Jika masa pemeliharaan telah berakhir, maka ibu dan bapak dari anak
tersebut harus bermusyawarah tentang siapa yang harus mengasuh. Jika keduanya
sepakat, maka dilaksanakanlah kesepakatan itu. Tetapi jika keduanya bersengketa,
maka diserahkan kepada anak bersangkutan untuk memilih. 17 Hal ini berdasarkan
hadits Rasulullah SAW:
/ \ //#/ /./ )\ / /
<.fi_0 L ~:C0 ("'~ LfjJ~:.'S I .0l (ify t":.'.::..J\:; •t:-;1 ~I~ •:II lb(:'~ c.J. I ;j
,..,.,.,,.....,>"' .. ·,.,, .. / // .. / / /"
/} ' / )\ ~ ' // / / / / /
-:::JA.i:.r ~ ~ .0ll ~ .0l1JfyJw . ~<;';"jJJ:..2~c.J.I.; 0'. J!;:. .. jJJ .. ,...,,.. / / . ,,,,,,v,,,.... / / ,, /// / ) i /
,>..?-\ 0 GV") . ..... ~· (j ....: I ..G ) ~.!j ,:.;_ ~ .~. ,....._,.... / / "r /
,, ,, ~ !.1;1 rM
/
Artinya: Dari Abu Hurairah RA bahwa seorang perempuan berkata: "Ya
Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak membawa anakku dan sungguh anak ini berguna bagiku dan dialah yang mengambil air untukku dari sumur Abu 'Inabah" Maka datanglah suami perempuan itu. Maka Nabi SAW bersabda: " Hai anak! lni bapakmu dan ini ibumu, maka pilihlah diantara keduanya yang engkau sukai. " Maka anak itu memilih ibunya, maka pergilah perempuan itu dengan anaknya. (H.R. Ahmad dan At Turmudzi). 18
17 A. Fuad Said, Op. cit., h.225
18 Sayyid Al Imam Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Loe. cit.
40
Pilihan yang dij atuhkan anak tidak bersifat be bas mutlak, karena
adakalanya pilihan anak itu belum tepat dan acap kali salah. Dalam hal ini
diperbolehkan bagi Hakim untuk mengubah pilihan anak.
Pada hakikatnya tidak ada suatu ketentuan pasti dalam masalah ini,
terserah kepada kemashlahatan anak bersangkutan, di mana dia dapat lebih
berkembang dan bermanfaat, maka disitulah ia berada. 19
2. Biaya Hidup Anak
Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya,
baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah
perceraian, anak yang masih kecil dan menyusu berada di bawah pemeliharaan
ibunya, sedangkan masa 'iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan
upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena ia tidal< lagi
menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upal1 tersebut wajib diberikan baik
diminta ataupun tidak. 20
Firman Allal1:
Artinya: " ... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu ma/ca
berikanlah kepada mereka upahnya ... "
19 A. Fuad Said, Op. cit., h.228 20 Zakaria Ahmad Al Barry, Op.cit., h.67
41
Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya
disesuaikan dengan kemampuan si bapak, berdasarkan firman Allah .
-:: 0 )\ .,,,..., / !\ -'..-'.'."' 0/ ) / J
'YI (.;;.Lil I~ Y .Lil I~ (fr;'. C:. j4 ~i'.;-v -....'\:~:;;,. » 0::; A·':'-: .. J ~ _;~ 2;/J ; / .. / / .. / ,,,,,... / // / / '/
" ~ (V: io/0;AkJl)~~-~.Lill~!>!f\<'.t:"
,,. Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi najkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi najkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. "
(Q.S. At Talak: 7).
Tetapi jika ayah tidak mampu, karena ia orang susah, dan berpenghasilan
rendah dan anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk
mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kaum kerabat
yang mau mengasuhnya, maka si ibu berkewajiban mengasuhnya secara mutlak.
Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak
gugur, kecuali dengan ditunaikan.21 Kewajiban tersebut dapat pula ditanggung
oleh kerabat ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain
yang dengan suka rela mendidik anak itu tanpa ongkos, maka ha! tersebut dapat
diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.22
21 A. Fuad Said, Op. cit., h. 224
22 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. ke-1, h.135
42
Namun apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya dengan
tidak memberikan biaya hidupnya padahal bapak cukup mampu, maka Islam
memperingatkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Hal ini berdasarkan
ketentuan hadits berikut:
' // -::: / 1' ' ' / / .f\ \
~ :~~.i!ll~.i!l\J;v.'Jl:; :Jl:; ~.Lill~~~ 0'.i!lb.S-~ ,,...,... / ,,... ,,..,.,,,,.,. /.
) / . (JLllo\.,v-) . ..::i~~:;'Cf 01 ~I~· '.:JC .. .. ;,,.v--,,.,.
Artinya: Dari Abdullah bin 'Umar RA berkata, bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda: "Seseorang telah cukup dikatakan berbuat dosa, bila ia menyianyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (H.R. An Nasai).23
Masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak laki-laki apabila ia
telah dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan bagi anak perempuan
sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka nafkahnya menjadi
kewajiban suaminya. 24
B. Mcnurut Hukum Pcrdata
1. Pcmcliharaan Anak
Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau
kawin berada di bawah kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) selama kedua
23 Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h. 67
24 Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan fs/am dan Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), Cet. ke-1, h. 106
43
orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan, tidak dipecat dan dibebaskan
dari kekuasaannya.
Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 299 BW:
Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampa1 ia menjadi dewasa, tetap di bawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecet dari kekuasaan itu.
Kekuasaan orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan
memelihara anaknya yang meliputi pemberian nafkah pakaian dan perumahan.25
Adapun penge1iian belum dewasa dalam pasal 299 BW dijelaskan dalam
pasal 330 BW, yaitu:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa ...
Jadi unsur yang penting adalah:
a. belum mencapai umur dua puluh satu tahun
b. belum kawin26
Kekuasaan orang tua dapat menjadi hapus selain karena perceraian juga
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang se1ia pada waktu anak-
anak itu sudah menjadi dewasa atau telah kawin dan kekuasaan ini diganti dengan
suatu perwalian.
25 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), Cet. ke XXIV, h.50.
26 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h. 154
44
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan
harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua. 27
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, mereka adalah:
a. anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang
tua;
b. anak sah yang orang tuanya telah bercerai;
c. anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind).
Jika salah satu orang tua meninggal, menurut pasal 345 BW orang tua
yang lainnya dengan sendirinya menj adi wali dari anak-,maknya. Perwalian ini
dinamakan perwalian menurut uandang-undang (wettelijke voogdij). Sedangkan
menurut pasal 359 BW, seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada di
bawah perwalian orang tua yang mengakuinnya. Apabila seorang anak yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, Hakim
akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang
berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Ada pula dalam pasal
355 BW dinyatakan, kemungkinan seorang ayah atau ibu di dalam surat
wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan
yang dimaksudkan akan berlalu, jika orang tua yang lainnya karena sesuatu sebab .
tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan pe1walian menurut wasiat
(testamentaice voogdij).
27 Ibid., h.156
45
Pada urnumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja, kecuali
apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya
menjadi kawan wali (modevoogd).28
Adapun perwalian yang terjadi karena perceraian, maka Hakim menunjuk
salah satu dari kedua orang tua anak tersebut. Mengenai perwalian ini ada
ketentuan-ketentuan seperti berikut:
a. Setelah oleh Hakim dijatuhkan putusan di dalam ha! perceraian ia harus
memanggil bekas suarni isteri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari
anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang
wali. Hakim kemudian rnenetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua
orang tua itu yang harus menjadi wali. Dalam ha! ini bisa terjadi bahwa ada
beberapa anak yang diserahkan kepada perwalian si ayah dan lainnya kepada
si ibu. Di dalam ha! itu orang ketiga dapat juga ditetapkan menjadi wali
pengawas.
b. Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesuatu ha! yang
penting, maka atas permintaan bekas suami isteri, penetapan pengangkatan
wali dapat diubah oleh Hakim. 29
28 Subekti, Op. cit., h. 53
"Ali Afandi, Op. cit., h.133 et seq
46
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa seorang
Hakim mempunyai peranan yang sangat pent:ing dalam menentukan hak
perwalian terhadap anak ketika orang tua bercerai.
Ketika akan menetapkan perwalian, malrn Hakim harus mendengar
keterangan dari keluarga pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat
hubungannya dengan anak-analc tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah
atau ibu yang menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap
atau lebih baik mengingat kepentingan anak-anak.30
Dan bila mereka tidak cakap. dalam menunaikan kewajiban memelihara
dan mendidik anak-anak mereka, maka mereka akan dibebaskan dari kewajiban
ini. Pasal 382 (c) BW menjelaskan:
Apabila wali bapak dan wali ibu tak cakap atau tak mampu menunaikan kewajiban memelihara dan mendidik analc-analc mereka, dan kepentingan anakanak atas dasar lain talc menentang alcan pembebasan mereka dari perwalian, maka atas permintaan Dewan Perwalian atau tuntutan Jawatan Kejaksaan, bolehlah kedua mereka oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka, atau Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka terakhir, dibebaskan dari perwalian itu terhadap seorang anak mereka atau lebih.
Hukum Perdata juga telah menetapkan bahwa seseorang yang diangkat
menjadi wali, harus menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang isteri
yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk
minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alasan itu antara lain jika ia,
untuk kcpcntingan Negara harus berada di luar Ncgeri, jika ia seorang anggota
30 Subekti, Op. cit., h.44
47
tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berumur 60 ( enam puluh) tahun, jika ia
sudah menjadi wali untuk seorang anak lain ataujika ia sendiri sudah mempunyai
lima orang anak a tau lebih. 31
Menurut pasal 379 BW, ada golongan orang yang sama sekali tidak boleh
menjadi wali. Mereka itu adalah:
a. Pejabat-pejabat Pengadilan
b. Orang yang sakit ingatan
c. Orang yang belum dewasa
d. Orang yang di bawah pengampuan
e. Orang yang dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian
f. Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan
Dan pada akhirnya perwalian berakhir:
a. Jika anak yang di bawah perwalian telah dewasa.
b. Jika anak itu meninggal dunia.
c. Jika wali meninggal dunia atau dibebaskan atau dipecat dari perwalian.32
2. Biaya Hidup Anak
Perceraian membawa dampak kepada hapusnya kekuasaan orang tua
terhadap anak yang berubah menjadi perwalian. Meskipun demikian, mereka
31 Ibid., h. 53.
32 Ali Afandi, Op. cit., h.160
48
tetap berkewajiban untuk memberi tunjangan bagi pemeliharaan dan penghidupan
anak-anak mereka.
Hal ini berdasarkan pasal 298 BW:
... si bapak dan ibu, keduanya berwajib memelihara clan mendidik sekalian anak mereka yang belumdewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjungan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu ...
Menurut pasal 229 BW, anak-anak yang belum dewasa oleh Pengadilan
harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami atau bekas isteri anak-anak
itu harus turut. Apabila pihak yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut pasal 230 BW, Hakim dapat
menentukan sejumlah uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut
membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak tadi.33
Besar biaya yang harus diberikan orang tua terlebih dahulu ditentukan
oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan ketentuan pasal 329 (a) BW:
Nafkah yang harus diberikan berdasarkan buku ini, termasuk juga didalamnya, apa yang harus diberikan guna memelihara dan mendidik seorang anak belum dewasa, harus ditentukan dalam keseimbangan antara kebutuhan pihak yang menikmati nafkah itu disebelah satu, dan pendapatan beserta kekayaan pihak yang be1wajib memberikannya ...
Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa besar biaya pemeliharaan dan
pendidikan ditentukan oleh dua faktor:
I. Berdasarkan kebutuhan anak
33 M. Djamil Latif, Op. cit., h.91
49
2. Berdasarkan pendapatan beserta kekayaan pihak penanggung
Penentuan ini bertuj uan agar terciptanya kesinarnbungan antara penerima
dan penanggung nafkah, yang menerima nafkah tidak terlantar karena kekurangan
dan yang memberi nafkah pun dapat hidup dalam kecukupan.
Dan telah disebutkan pada sub bab sebelumnya, bahwa pada perwalian
kedua orang tua dapat tidak menjadi wali dan digantikan oleh pihak ketiga. Oleh
karena itu, wali berhak menerima upah kecuali wali bapak atau ibu dan kawan
wali.
Mengenai besarnya upah wali tel ah disebutkan dalam pasal 411 B W:
Semua wali, kecuali bapak atau ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga perseratus dari segala pendapatan, dua setengah perseratus dari segala pengeluaran dan satu setengah perseratus dari jumlah uang modal yang mereka terima, kecuali mernka lebih suka menerima· up ah yang kiranya disaj ikan bagi mereka dengan surat wasiat atau dengan akta otentik ...
Sebagaimana perwalian, maka kewajiban nafkah anak pun akan berakhir
sampai mereka dewasa yaitu berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah
kawin.
C. Analisis Perbandingan Masalah Pemeliharman Anak Dan Biaya Hid up Anak
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata
I. Persamaan-persamaan
a. ketika perkawinan hapus karena adanya perceraian, baik Hukum Islam
maupun Hukum Perdata mengatur bahwa orang tua tetap mempunyai
50
kewajiban untuk memelihara, mendidik dan membiayai kehidupan anak
anak tersebut sampai tamyiz (dalam Hukum Islam), dewasa (dalam
Hukum Perdata) atau kawin (dalam Hukum Islam dan Perdata).
b. Adapun kriteria orang tua yang dipilih untuk mdaksanakan pemeliharaan
anak tersebut yaitu orang tua yang dianggap lebih cakap dalam
menyelenggarakan segala kebutuhan anak, baik kebutuhan jasmani
maupun rohani dan semua ini hanya demi kepentingan si anak, bukan
karena kepentingan bapak atau ibu.
2. Perbedaan-perbedaan
a. Mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak ketika terjadi perceraian,
dalam I-Iukum Islam kekuasaan tersebut yang meliputi masalah
pemeliharaan anak, ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan pokok anak tetap ada dan tidak menjadi hapus, sehingga
mereka tetap berkewaj iban untuk turut serta dalam hal pemeliharaan
anaknya meskipun tidak ditunjuk sebagai pemelihara atau pengasuh.
Sedangkan dalam I-Iukum Perdata kekuasaan orang dapat menjadi hapus
dan berganti dengan perwalian. Pada perwalian, orang tua bisa tidak
menjadi wali tetapi digantikan oleh pihak ke-3.
b. Mengenai siapa yang lebih diutamakan untuk memel.ihara anak setelah
perceraian, dalam 1-Iukum Islam maka ibulah yang lebih diutamakan dari
pada bapak, ha! ini dikarenakan ibu dianggap lebih cakap dan sabar dalam
merawat anak-anak yang belum tamyiz. Bila ibu berhalangan maka
51
kerabat ibu didahulukan dari pada kerabat bapak. Sedangkan dalam
Hukum Perdata kedua belah pihak mempunyai hak yang sama untuk
memelihara anak mereka dan untuk menentukannya didengarlah
keterangan dari para kerabat, siapa yang dianggap paling cakap dan baik.
c. Mengenai masa berakhirnya pemeliharaan anak, dalam Hukum Islam tidak
terdapat nash yang menyatakan hal ini secara jelas, sehingga
menirnbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun batas
minimal berakhirnya masa pemeliharaan anak adalah sampai anak tersebut
tamyiz dan telah berumur 7 (tujuh tahun), setelah itu anak diberi
kebebasan untuk memilih kepada siapa dia akan iknt apakah tetap bersama
ibunya atau akan ikut bapaknya. Sedangkan dalam Hukum Perdata, masa
pemeliharaan anak akan berakhir bila mereka telah berumur 21 ( dua puluh
satu) tahun atau telah melangsungkan perkawinan.
d. Mengenai siapa yang bertanggung jawab clalam hal pembiayaan hiclup
anak setelah perceraian, maka Hukum Islam menegaskan bahwa bapaklah
yang bertanggung jawab. Bila bapak ticlak mampu kewajiban tersebut
beralih kepacla kerabat yang terclekat yang cukup mampu clan semua biaya
yang clikeluarkan tersebut akan menjacli hutang untuk bapak yang wajib
clibayar kecuali telah clirelakan. Seclangkan clalam Hukum Perclata, bapak
clan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama untuk membiayai anak
mereka. Namun apabila pihak yang cliserahi anak itu ticlak mampu
52
memikul biaya pemeliharaan anaknya, maka pihak lain dapat turut serta
memikul tanggung jawab biaya pemeliharaan tersebut.
e. Mengenai besarnya jumlah biaya hidup anak yang harus diberikan, Hukum
Islam mempunyai batasan yaitu sesuai dengan kemampuan dan
pendapatan bapak. Dan dalam Hukum Perdata, biaya yang harus
dikeluarkan disesuaikan dengan kebutuhan anak yang berdasarkan
kemampuan serta pendapatan pihak yang menjadi wali.
A. Kesimpulan
BAB IV
PENUTUP
1. Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata, perceraian hanyalah alternatif
terakhir, sebagai "pintu darurat" yang boleh ditempuh, manakala bahtera
rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan
kesinambungannya. Perceraian juga merupakan saliah satu sebab saja dari
bubarnya atau putusnya perkawinan. Adapun alasan terpenting yang dapat
menyebabkan putusnya perkawinan adalah sudah tidak adanya pergaulan
yang baik dan sehat antara suami isteri. Sedangkan akibat dari perceraian
diantaranya adalah mengenai hubungan suami isteri, mengenai harta kekayaan
dan mengenai pemeliharaan serta biaya hidup anak nantinya.
2. Pemeliharaan anak:
a. Menurut Hukum Islam, pemeliharaan anak setelah perceraian dikenal
dengan istilah hadhanah. Hadhanah tetap ada walaupun orang tua telah
bercerai, adapun pemeliharaan anak yang belum. tamyiz lebih diutamakan
kepada ibu. Setelah mereka tamyiz atau minimal berusia 7 (tujuh) tahun,
maka diperbolehkan untuk memilih akan tinggal. dengan siapa.
b. Menurut Hukum Perdata, kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum
dewasa berakhir ketika te1jadi perceraian dan berganti dengan perwalian.
Dalam pe1walian salah satu pihak baik bapak maupun ibu atau bahk~n
54
keduanya dapat tidak menjadi wali bagi anaknya. Karena perwalian
dilakukan oleh pihak yang ditunjuk oleh Hakim berdasarkan kecakapan
pihak terse but. Perwalian berakhir ketika mereka berusia 21 ( dua puluh
Satu) tahun atau telah menikah.
3. Biaya hidup anak:
a. Menurut Hukum Islam, bapak mempunyai tanggung jawab untuk
membiayai segala kebutuhan anak baik selama perkawinan berlangsung
ataupun setelah perceraian. Kecuali bapak tidak mampu, maka kewajiban
tersebut beralih kepada ibu lalu kepada kerabat terdekat yang cukup
mampu. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan
kemampuan dan pendapatan si bapak.
b. Menurut Hukum Perdata, bapak dan ibu mempunyai kewajiban yang sama
untuk membiayai hidup anaknya. Apabila pihak yang diserahi anak itu
tidak mampu membiayai, maka pihak lain diharuskan untuk turut serta
membayar biaya pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Besar biaya
yang harus dibayarkan disesuaikan dengan kebutuhan anak dan
pendapatan pihak yang memberi nafkah.
55
B. Saran-saran
Anak adalah titipan dan karunia yang diberikan Tuhan kepada para orang
tua. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban mereka untuk memelihara dalam
ha! ini meliputi berbagai ha!, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu
yang menjadi kebutuhan anak, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau
ketika perkawinan mereka gaga! karena perceraian.
Ketika perceraian te1jadi, maka diharapkan kepada para pihak yang
berkompeten untuk memilih orang tua yang dianggap paling cakap, perhatian dan
baik untuk mcmelihara dan menyelenggarakan segala kebutuhan anaknya. Dan
kepada para anak korban perceraian hendaknya tetap menghormati keputusan
yang telah dibuat para orang tua.
Demikian uraian tentang akibat perceraian bagi anak ditinjau dari Hukum
Islam dan Hukum Perdata yang dapat penulis paparkan. Akhimya, W ALLAHU
A'LAM BI MURADIHI.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur'an dan Terjemahnya
Al Kahlani, Sayyid Al Imam Muhammad bin Ismail dan As San'ani, Subulu As Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, tth, Jilid 3.
Ahmad Al Barry, Zakariya. Hukum Anak-anak Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Al Hamdani, H., S.A. Risa/ah Nikah, Pekalongan: Raja Murah, 1980.
Afandi, Ali, Prof., S.H., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. BinaAksara, 1986.
Djamali, R. Abdul, S.H., Hukum Islam, Bandung: CV. Mandar Maju, 1992, Cet. ke-1.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. ke-1.
Djaelani, Abdul Qadir, H., Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Departemen Agama R.I., 2000.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, Cet. ke-1.
Hamid, Zahri, H. Drs., Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, Cet. ke-1.
Hamid, Andi Thahir, S.I-I., Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, Cet. ke-1.
Latif, M. Djamil, H. S.H., Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, Cet. ke-2.
Muchtar, Kamal, Drs., Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. ke-1.
Prakoso, Joko, S.H. dan Ketut Murtika, S.H., Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Rahman, Abdur, Perkawinan Dalam Syari 'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, Cet. ke-1.
,!I<
Rafiq, Ahmad, Drs. M.A., Hukum Islam }Ji Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, Cet. ke-3.
Rahman I doi, Abdur, Tindak Pidana Dalam Syari 'at Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, Cet. ke-1.
Rasjidi, Lili, Prof. Dr. S.H., Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
Rasjid, Sulaiman, H., Fiqh Islam, Bandung: Sinar Barn, 1995.
Soemiyati, S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986, Cet. ke-2.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Al Sunnah, Beirut: Dar Al fikr, 1983, Cet. Ke-4, Jilid 2.
Subekti, Prof, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. lntermasa, 1992, Cet. keXXIV.
---------------------, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001, Cet. ke-31.
Sugandi, R, S.H., KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981, Cet. ke-1
Said, A. Fuad, H., Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1994, Cet. ke-1.
Thalib, Sayuti, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Ul-Press, 1986, Cet. ke-5.
Yunus, Mahmud, Prof. DR. H., Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
--------------------, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996, Cet. ke-15.