Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

44
1 Judul : AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA DARI PERCERAIAN BEDA AGAMA (STUDI DI MATARAM) A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan bangsa Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan. Di dalam Agama Islam perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di dalam Islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri

description

Proposal skripsi

Transcript of Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

Page 1: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

1

Judul : AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA DARI

PERCERAIAN BEDA AGAMA (STUDI DI MATARAM)

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang

pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan

bangsa Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam kondisi keberagaman

seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok

masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.

Di dalam Agama Islam perkawinan merupakan sunnah Nabi

Muhammad SAW, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Perkawinan di dalam Islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap

keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan

untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini

telah diatur dalam sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Islam memandang perkawinan bukanlah pekerjaan sambil lalu atau

sekedar legislasi untuk hidup satu atap, bukan pula pekerjaan spekulasi atau

tergesa-gesa. Tetapi ia adalah suatu ibadah yang suci dan agung sifatnya.1

Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam

masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang

merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat

1 Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 21.

Page 2: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

2

pentinganya peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai perkawinan

memang harus dilakukan oleh negara.

Sadar akan sakralitas perkawinan, maka pemerintah Indonesia

memiliki perhatian khusus terhadap pelaksanaan perkawinan, hal ini di

buktikan dengan diberlakukannya setidaknya dua peraturan tentang

perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Undang-Undang Perkawinan) dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Di dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam rumusan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tercantum tujuan

perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini

berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk

jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau

selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak

diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu

saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya

diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Untuk itu suami isteri

perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

Page 3: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

3

mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan

spiritual dan material.

Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”

Jadi dalam Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan bahwa perkawinan

beda agama tidak diperbolehkan, hanya saja Undang-Undang Perkawinan

menyatakan bahwa perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama

adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu

agama, yaitu agama calon suami atau agama calon isteri.

Ketegasan larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama

Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI dengan penegasan bahwa seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang

tidak beragama Islam (non muslim); sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal

40 Huruf (c) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita

yang tidak beragama Islam (non muslim). Larangan ini karena perkawinan

menurut Agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah

dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 KHI

yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad

yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan warahmah.

Page 4: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

4

Sejalan dengan derasnya arus globalisasi dan mobilitas penduduk yang

tinggi, peristiwa perkawinan tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi

juga dilakukan di luar negeri baik dengan sesama warga negara maupun

dengan warga negara yang berbeda, bahkan berbeda agama.

Meskipun perkawinan beda agama dilarang di Indonesia, namun

kenyataannya dalam masyarakat ada saja cara menyiasatinya , diantaranya

adalah :

1. Salah satu pihak melakukan perpindahan agama secara permanen, ini

merupakan jalan keluar yang disarankan,

2. Salah satu pihak melakukan perpindahan agama, namun setelah

perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk

agamanya masing-masing.

3. Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan atau melaksanakan

pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke

catatan sipil / KUA dengan menuliskan kolom ”Agama” dalam akta nikah

sesuai dengan agamanya pasangannya, cara ini sangat tidak disarankan.

Penilaian generasi muda dewasa ini lebih mengutamakan kasih cinta.

Di kota-kota besar atau di daerah-daerah yang sudah maju dengan

percampuran penduduk yang bermacam ragam, dengan peralatan teknologi

modern dimana masuknya pengaruh budaya barat berlebihan. Nampak

kecenderungan generasi muda yang kurang berbekal iman dan takwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, mulai banyak yang menganggap perbedaan agama

tidak merupakan masalah yang berat dalam pembentukan rumah tangga.

Page 5: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

5

Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum

Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116 Huruf k KHI dengan

tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan

terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian tersebut

adalah terhadap anak-anak dan harta bersama.

Sehubungan dengan uraian diatas untuk itu penulis tertarik melakukan

penelitian dengan judul : Akibat Hukum Terhadap Anak dan Harta Dari

Perceraian Beda Agama (Studi di Mataram).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta dari perceraian beda

agama tersebut

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin

dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia.

Page 6: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

6

2. Untuk mengetahui akibat hukum tehadap anak dan harta dari perceraian

beda agama tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang dilaksanakan harus dapat memberikan manfaat

yang jelas. Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan dari sisi:

1. Manfaat Praktis

Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan

mengenai perceraian beda agama.

2. Manfaat Teoritis

a. Bagi perkembangan hukum positif mengenai perceraian beda agama.

b. Menambah referensi dan literatur kepustakaan, khusunya dalam bidang

Hukum Perdata dalam hal akibat hukum terhadap anak dan harta dari

perceraian beda agama.

E. Ruang Lingkup

Pembatasan masalah dalam skripsi yang berjudul “Akibat Hukum

Terhadap Anak dan Harta Dari Perceraian Beda Agama (Studi di Mataram)”

dirumuskan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian

perceraian beda agama di Indonesia, serta akibat hukum terhadap anak dan

harta dari perceraian beda agama.

Page 7: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

7

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perkawinan

Rumusan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dikatakan

bahwa:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan menurut Agama Islam ialah pelaksanaan, peningkatan

dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis

manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling

memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi

nalurinya dalam hubungan seksual, untuk melanjutkan keturunan yang sah

serta mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi

keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan

kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.2

Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam memandang bahwa

perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga

dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang

keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek

administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten,

Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo

mengartikan perkawinan adalah “Persekutuan antara seorang pria dan

2 Arididit, Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan Campuran Suatu Tinjauan Yuridis, http://arididit.blogspot.co.id/2014/10/perkawinan-antar-agama-dan-perkawinan.html , diunduh Kamis, 16 Oktober 2014.

Page 8: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

8

seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu

yang kekal”.3

Di Indonesia dikenal istilah perkawinan campuran. Istilah

perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-

hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang

bhineka.

Perkawinan campuran antar agama terjadi apabila seorang pria dan

seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan

perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.4

Namun di Indonesia tidak meemperbolehkan adanya perkawinan campuran

antar agama.

2. Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa

yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti perkawinan itu:

1) Berlangsung seumur hidup,

2) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir,

dan

3 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 61.

4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 13.

Page 9: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

9

3) Suami isteri membantu mengembangkan diri.

Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan

pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Yang termasuk kebutuhan

jasmani, seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan.

Sedangkan kebutuhan rohani, seperti adanya seorang anak yang berasal dari

darah daging.

Dalam pasal 3 KHI menyatakan bahwa perkawinan bertujuan

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang

melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang

dan tentram. Mawadah artinya memiliki keluarga yang didalamnya terdapat

rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Rahmah

artinya memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang,

yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.

3. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan

Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat

melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan

perkawinan adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.

Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam pasal 6

sampai dengan pasal 12 Undang-undang Perkawinan. Di dalam ketentuan

Page 10: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

10

itu ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat

intern dan syarat ekstern.

Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak yang akan

melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi:

1) Persetujuan kedua belah pihak

2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun

3) Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun

4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin

5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu

(iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa

iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-

formalitas dalam pelaksanan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu meliputi:

1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan

Rujuk

2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, memuat:

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari

calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan

juga nama isteri atau suami terdahulu

b. Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.

Sahnya perkawinan menurut perundangan yang diatur dalam pasal

2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan

bahwa:

Page 11: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

11

(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut pearturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah

perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang

berlaku dalam agama masing-masing.

Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat,

hukum agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan pencatatan

perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi lebih

jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat

bukti bagi anak-anaknya dikelak kemudian apabila timbul sengketa, baik di

antara anak kandung maupun saudara tiri, dan (3) sebagai dasar

pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil.5

4. Kedudukan Anak

Secara umum yang dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan

dari perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria, meskipun

dari hubungan yang tidak sah dalam kacamata hukum tetap dikatakan

anak. Anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Seorang anak

hadir sebagai amanah yang dititipkan Allah untuk dirawat, dijaga dan

dididik yang kelak setiap orang tua akan diminta pertanggungjawaban

atas sifat dan perilaku anak semasa di dunia.

5 Salim HS, Op.cit,. hlm. 64.

Page 12: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

12

Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang

mendetail mengenai kedudukan anak. Kedudukan anak dalam Undang-

Undang Perkawinan dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah (pasal 42), dan 2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

(pasal 43 ayat (1)).

Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan

bahwa:

“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Didalam hukum Agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang

mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari

tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah

Page 13: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

13

agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah.

Menurut Abdur Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:

a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkanb. Hak anak dalam kesucian keturunanc. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baikd. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaane. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak waris demi

kelangsungan hidupnyaf. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.6

Adapun hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur

dalam Pasal 45 sampai Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

yaitu:

a) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-

baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau

dpaat berdiri sendiri.

b) Anak wajib menhormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang

baik.

c) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah

tua.

d) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan

ada dibawah kekuasaan orang tua.

e) Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin

mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.

6 Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta, 1992, hlm. 21.

Page 14: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

14

f) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan

barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali

kepentingan si anak menghendakinya.

5. Harta Perkawinan

Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga

menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang

melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga

atau somah (gezin atau household).7

Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah

terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan

diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam

kehidupan berkeluarga.

Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai

kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib “harta perolehan selama

ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-

sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi

suami isteri tersebut”.8 Sedangkan Hazairin menyatakan bahwa:

“Harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-

7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 244.

8 Niamul Huda, Pengertian Harta Bersama, http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-harta-bersama.html, diunduh pukul 15.17.

Page 15: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

15

anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya”.9

Dengan demikian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh

selama masa perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah

harta yang didapat atas usaha mereka (suami isteri), atau sendiri-sendiri

selama masa ikatan perkawinan.10

KUHPerdata menyatakan bahwa, sejak saat dilangsungkan

perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara

suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan

dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan

berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan

antara suami isteri (pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka

harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak

bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga

barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam

hal terakhir ini yang mewariskan atau menghibahkan menentukan

kebalikannya dengan tegas (pasal 120). Harta bersama bubar demi hukum,

karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak

ada, perceraian pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta (pasal

126).

9 Ibid.

10 Nanang Suryana, Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam,  http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/300-harta-bersama-menurut-kompliasi-hukum-islam, diunduh Senin, 2 Februari 2015 Pukul 09.19.

Page 16: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

16

Harta perkawinan dalam Hukum Islam disebut syirkah, yaitu

penyatuan atau penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta

orang lain. Al Quran dan Hadits tidak membicarakan harta bersama secara

tegas, akan tetapi dalam kitab-kitab fikih ada pembahasan yang dapat

diartikan sebagai pembahasan harta bersama, yaitu syirkah atau syarikah.11

Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 35 ayat (1) dan (2)

menyatakan bahwa:

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”

Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing

suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat (1) dan (2)).

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan

hukum-hukum lainnya.

6. Pengertian Perceraian

Pada umumnya, apabila terjadi suatu perkawinan seorang laki-laki

dengan perempuan ingin hidup dalam keadaan selalu rukun dan sejahtera

11 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 18.

Page 17: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

17

selama-lamanya hingga meninggal dunia. Namun adakalanya suatu

perkawinan tidak demikian dan berakhir dengan perceraian.12

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim atau tuntuan salah satu pihak dalam perkawinan

itu”.13

Perceraian adakalanya terjadi, karena tindakan sewenang-wenang

dari pihak laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, angka perceraian

meningkat, sebelum rancangan Undang-Undang Perkawinan berhasil

diundangkan.14 Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut,

tidaklah mudah perceraian itu terjadi tanpa alasan yang dapat diterima.

Dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

“perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) keputusan pengadilan”.

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa:

“Perceraian hanya dapat di lakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.

Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan

istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga)

antara suami dan isteri tersebut. Walaupun perceraian adalah urusan

pribadi, baik itu atas kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu

campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, demi menghindari

12 Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm.29.

13 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar

Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 20.

14 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 63.

Page 18: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

18

tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami (karena pada

umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga

untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga

peradilan. Dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian

harus dilakukan di depan sidang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh

warga Negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang beragama Islam.

Dalam pasal 114 sampai 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian

hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah

pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak

terlebih dahulu namun tidak berhasil. Perceraian yang terjadi karena

keputusan Pengadilan Agama dapat  terjadi karena talak atau gugatan

perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-

undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-isteri tersebut.

7. Alasan-alasan Perceraian

Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus

karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan.15

Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan

dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan perceraian harus

15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 116.

Page 19: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

19

ada cukup alasan yang diajukan oleh suami atau isteri untuk dijatuhkan

talak atau gugatan perceraian ke pengadilian. Alasan-alasan itu adalah

sebagai beriku:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar Ta’lik Talak.8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

8. Tata Cara Perceraian

Dalam melakukan perceraian, selain harus memenuhi beberapa

alasan sebagaimana telah disyaratkan oleh ketentuan yang berlaku,

perceraian juga harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang benar sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Pengatuaran tata cara perceraian ini

terdapat dalam pasal 39 ayat (3) dan pasal 40 Undang-Undang Perkawinan

serta pasal 14 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikenal dua

macam prosedur perceraian, yaitu:

Page 20: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

20

1. Cerai talak (diatur dalam pasal 14 sampai pasal 18)

2. Cerai gugat (diatur dalam pasal 19 sampai pasal 36)

Prosedur perceraian secara talak berlaku bagi suami yang

melangsungkan perkawinan menurut agama islam. Sedangkan prosedur

perceraian secara gugat berlaku untuk seorang isteri yang melangsungkan

perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain islam (non muslim).

Dalam hal penggunaan prosedur cerai talak maupun cerai gugat harus

menggunakan salah satu alasan sebagaimana telah disebutkan dalam

bagian alasan perceraian.

Prosedur perceraian secara talak diatur dalam Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi:

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.

(2) Permohonan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Page 21: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

21

Kemudian mengenai prosedur cerai gugat diatur dalam Pasal 73

Undang-Undang Nomo 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang

berbunyi:

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan pereceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi temapt perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

G. Metode Penelitian

Metode adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan

dalam suatu kegiatan ilmiah. Dengan suatu metode penelitian, diharapkan

mampu untuk menemukan, menganalisis maupun memecahkan masalah

dalam penelitian ini diperlukan metode yang tepat, maka penulis melakukan

metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka

metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif empiris.

Penelitian normatif, yaitu penelitian yang lebih berorientasi pada

gejala-gejala hukum yang bersifat normatif melalui studi kepustakaan.

Sedangkan metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode

penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian

nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan

Page 22: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

22

masyarakat. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil

dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum

atau badan pemerintah.

2. Metode Pendekatan

Adapun metode pendekatan yang dipergunakan didalam

penelitian ini adalah:

a) Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach), yaitu

pendekatan yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum dan norma-norma hukum

yang terkait dengan penelitian ini.

b) Pendekatan kasus (Case Approach), dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

c) Pendekatan Sosiologis (Sosiological Approach), digunakan untuk

mengetahui bagaimana aturan hukum dilaksanakan berkaitan

dengan kajian hukum dengan objek yang diteliti.

3. Jenis dan Sumber Data

a) Jenis data

1) Data Primer

Page 23: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

23

Data primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari hasil

penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dalam

masyarakat berdasarkan observasi/pengamatan dan wawancara

secara langsung.

2) Data Sekunder

Data yang akan diperoleh melalui kajian pustaka karya ilmiah,

hasil penelitian atau teori-teori para ahli yang berhubungan

dengan masalah yang dibahas.

b) Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber hukum pertama. Data primer diperoleh dari wawancara

dengan responden. Tipe wawancara yang dilakukan adalah

wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan

dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan,

tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang

sesuai dengan tujuan wawancara. Wawancara tidak terstruktur

ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban spontan dan

gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti. Bahan primer

ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu

Page 24: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

24

merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh

lembaga berwenang untuk permasalahan tersebut.16

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan,

yang merupakan hasil penelitian orang lain dalam bentuk buku

atau dokumen dan peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Studi

kepustakaan berasal dari beberapa bahan hukum yang relevan,

meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undnagan:

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

2) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

3) Peraturan Pemerintah Nomr 9 Tahun 1975 Tentang

Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan

4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Perdailan

Agama

16 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum (normative dan empiris), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 157.

Page 25: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

25

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari

buku, makalah, dan artikel dari internet yang berkaitan

dengan penelitian.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder yang terdiri dari kamus hukum dan kamus

lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka melakukan penelitian ini, metode yang

digunakan untuk mengumpulkan data adalah :

a) Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,

percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang

mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan yang diwawancarai yang

memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu. Wwancara

dilakukan dengan pegawai Pengadilan Agama (PA) Mataram.

b) Studi Dokumentasi

Dokumentasi dapat diartikan sebagai arah mengumpulkan data

melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga

buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan

lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Page 26: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

26

Dokumentasi dilakukan dengan cara membuat ringkasan, abstrak

dan catatan kaki.

5. Analisa Data

Dalam penelitian ini, metode analisa data yang digunakan

adalah metode analisis kualitatif, artinya data yang sudah dikumpulkan

dipilih berdasarkan mutu atau kualitas dan berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas sehingga menghasilkan uaraian yang

bersifat deskriptif kualitatif, artinya menggambarkan kenyataan yang

berlaku dan berkaitan dengan proses penyelesaian perceraian beda

agama dan akibat hukum terhadap anak dan hata dari perceraian beda

agama.

6. Jadwal Penelitian

Page 27: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

27

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan dalam jangka

waktu 6 (enam) bulan dan mempunyai kegiatan sebagai berikut:

No

.

Kegiatan Bulan

Ags Sep Okt Nov Des Jan

1.

2.

3.

4.

5.

Persiapan

a. Penulisan Proposal

b. Pembimbingan Proposal

c. Ujian Proposal

Pelaksanaan

a. Pengurusan ijin penelitian

b. Pengumpulan data

c. Klasifikasi data

d. Analisa data pelaporan

Seminar hasil penelitian

Perbaikan

Penyusunan laporan penelitian

dan penggandaan

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

7. Kerangka Skripsi

Page 28: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

28

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Ruang Lingkup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perkawinan

B. Tujuan Perkawinan

C. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan

D. Kedudukan Anak

E. Harta Perkawinan

F. Pengertian Perceraian

G. Alasan-alasan Perceraian

H. Tata Cara Perceraian

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Pendekatan

B. Metode Pendekatan

C. Jenis dan Sumber Data

D. Teknik Pendumpulan Data

E. Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Penyelesaian Perceraian Beda Agama di Indonesia

B. Akibat Hukum Terhadap Anak dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

BAB V PENUTUP

Page 29: Akibat Hukum Terhadap Anak Dan Harta Dari Perceraian Beda Agama

29

A. Kesimpulan

B. Saran