1
Judul : AKIBAT HUKUM TERHADAP ANAK DAN HARTA DARI
PERCERAIAN BEDA AGAMA (STUDI DI MATARAM)
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang
pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari semboyan
bangsa Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam kondisi keberagaman
seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok-kelompok
masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan.
Di dalam Agama Islam perkawinan merupakan sunnah Nabi
Muhammad SAW, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.
Perkawinan di dalam Islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap
keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan
untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini
telah diatur dalam sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Islam memandang perkawinan bukanlah pekerjaan sambil lalu atau
sekedar legislasi untuk hidup satu atap, bukan pula pekerjaan spekulasi atau
tergesa-gesa. Tetapi ia adalah suatu ibadah yang suci dan agung sifatnya.1
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang
merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat
1 Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 21.
2
pentinganya peranan hidup bersama, maka pengaturan mengenai perkawinan
memang harus dilakukan oleh negara.
Sadar akan sakralitas perkawinan, maka pemerintah Indonesia
memiliki perhatian khusus terhadap pelaksanaan perkawinan, hal ini di
buktikan dengan diberlakukannya setidaknya dua peraturan tentang
perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Undang-Undang Perkawinan) dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Di dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dikatakan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Dalam rumusan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tercantum tujuan
perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini
berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk
jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau
selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak
diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu
saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya
diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Untuk itu suami isteri
perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
3
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”
Jadi dalam Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan bahwa perkawinan
beda agama tidak diperbolehkan, hanya saja Undang-Undang Perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama
adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu
agama, yaitu agama calon suami atau agama calon isteri.
Ketegasan larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama
Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI dengan penegasan bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama Islam (non muslim); sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal
40 Huruf (c) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
yang tidak beragama Islam (non muslim). Larangan ini karena perkawinan
menurut Agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah
dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 KHI
yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad
yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah.
4
Sejalan dengan derasnya arus globalisasi dan mobilitas penduduk yang
tinggi, peristiwa perkawinan tidak hanya dilakukan di dalam negeri, tetapi
juga dilakukan di luar negeri baik dengan sesama warga negara maupun
dengan warga negara yang berbeda, bahkan berbeda agama.
Meskipun perkawinan beda agama dilarang di Indonesia, namun
kenyataannya dalam masyarakat ada saja cara menyiasatinya , diantaranya
adalah :
1. Salah satu pihak melakukan perpindahan agama secara permanen, ini
merupakan jalan keluar yang disarankan,
2. Salah satu pihak melakukan perpindahan agama, namun setelah
perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk
agamanya masing-masing.
3. Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan atau melaksanakan
pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke
catatan sipil / KUA dengan menuliskan kolom ”Agama” dalam akta nikah
sesuai dengan agamanya pasangannya, cara ini sangat tidak disarankan.
Penilaian generasi muda dewasa ini lebih mengutamakan kasih cinta.
Di kota-kota besar atau di daerah-daerah yang sudah maju dengan
percampuran penduduk yang bermacam ragam, dengan peralatan teknologi
modern dimana masuknya pengaruh budaya barat berlebihan. Nampak
kecenderungan generasi muda yang kurang berbekal iman dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mulai banyak yang menganggap perbedaan agama
tidak merupakan masalah yang berat dalam pembentukan rumah tangga.
5
Perkawinan beda agama merupakan hal yang prinsip dalam hukum
Islam. Berkenaan dengan hal itu, menurut Pasal 116 Huruf k KHI dengan
tegas ditentukan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagai penyebab atau alasan
terjadinya perceraian. Jika hal itu terjadi, maka akibat dari perceraian tersebut
adalah terhadap anak-anak dan harta bersama.
Sehubungan dengan uraian diatas untuk itu penulis tertarik melakukan
penelitian dengan judul : Akibat Hukum Terhadap Anak dan Harta Dari
Perceraian Beda Agama (Studi di Mataram).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta dari perceraian beda
agama tersebut
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui penyelesaian perceraian beda agama di Indonesia.
6
2. Untuk mengetahui akibat hukum tehadap anak dan harta dari perceraian
beda agama tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang dilaksanakan harus dapat memberikan manfaat
yang jelas. Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan dari sisi:
1. Manfaat Praktis
Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan
mengenai perceraian beda agama.
2. Manfaat Teoritis
a. Bagi perkembangan hukum positif mengenai perceraian beda agama.
b. Menambah referensi dan literatur kepustakaan, khusunya dalam bidang
Hukum Perdata dalam hal akibat hukum terhadap anak dan harta dari
perceraian beda agama.
E. Ruang Lingkup
Pembatasan masalah dalam skripsi yang berjudul “Akibat Hukum
Terhadap Anak dan Harta Dari Perceraian Beda Agama (Studi di Mataram)”
dirumuskan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian
perceraian beda agama di Indonesia, serta akibat hukum terhadap anak dan
harta dari perceraian beda agama.
7
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Perkawinan
Rumusan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dikatakan
bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perkawinan menurut Agama Islam ialah pelaksanaan, peningkatan
dan penyempurnaan ibadah kepada Allah dalam hubungan antara dua jenis
manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling
memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi
nalurinya dalam hubungan seksual, untuk melanjutkan keturunan yang sah
serta mendapat kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi
keselamatan keluarga, masyarakat dan negara serta keadilan dan
kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.2
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga
dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang
keabsahan perkawinan, sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek
administratif, yaitu pencatatan di KUA dan catatan sipil. Asser, Scholten,
Wiarda, Pitlo, Petit, dan Melis dalam R. Soetojo Prawirohamidjojo
mengartikan perkawinan adalah “Persekutuan antara seorang pria dan
2 Arididit, Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan Campuran Suatu Tinjauan Yuridis, http://arididit.blogspot.co.id/2014/10/perkawinan-antar-agama-dan-perkawinan.html , diunduh Kamis, 16 Oktober 2014.
8
seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk hidup bersama/bersekutu
yang kekal”.3
Di Indonesia dikenal istilah perkawinan campuran. Istilah
perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-
hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang
bhineka.
Perkawinan campuran antar agama terjadi apabila seorang pria dan
seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan
perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.4
Namun di Indonesia tidak meemperbolehkan adanya perkawinan campuran
antar agama.
2. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti perkawinan itu:
1) Berlangsung seumur hidup,
2) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir,
dan
3 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 61.
4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 13.
9
3) Suami isteri membantu mengembangkan diri.
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan
pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Yang termasuk kebutuhan
jasmani, seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Sedangkan kebutuhan rohani, seperti adanya seorang anak yang berasal dari
darah daging.
Dalam pasal 3 KHI menyatakan bahwa perkawinan bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang
melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang
dan tentram. Mawadah artinya memiliki keluarga yang didalamnya terdapat
rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Rahmah
artinya memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang,
yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.
3. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan
Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat
melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan
perkawinan adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan didalam peraturan perundang-undangan.
Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam pasal 6
sampai dengan pasal 12 Undang-undang Perkawinan. Di dalam ketentuan
10
itu ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat
intern dan syarat ekstern.
Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi:
1) Persetujuan kedua belah pihak
2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun
3) Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun
4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin
5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu
(iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa
iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam pelaksanan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu meliputi:
1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk
2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, memuat:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan
juga nama isteri atau suami terdahulu
b. Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.
Sahnya perkawinan menurut perundangan yang diatur dalam pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan
bahwa:
11
(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut pearturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama masing-masing.
Tujuan diadakan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan adalah untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat,
hukum agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan pencatatan
perkawinan adalah: (1) menjadikan peristiwa perkawinan menjadi lebih
jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya, (2) sebagai alat
bukti bagi anak-anaknya dikelak kemudian apabila timbul sengketa, baik di
antara anak kandung maupun saudara tiri, dan (3) sebagai dasar
pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil.5
4. Kedudukan Anak
Secara umum yang dikatakan anak adalah seorang yang dilahirkan
dari perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria, meskipun
dari hubungan yang tidak sah dalam kacamata hukum tetap dikatakan
anak. Anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Seorang anak
hadir sebagai amanah yang dititipkan Allah untuk dirawat, dijaga dan
dididik yang kelak setiap orang tua akan diminta pertanggungjawaban
atas sifat dan perilaku anak semasa di dunia.
5 Salim HS, Op.cit,. hlm. 64.
12
Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang
mendetail mengenai kedudukan anak. Kedudukan anak dalam Undang-
Undang Perkawinan dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah (pasal 42), dan 2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
(pasal 43 ayat (1)).
Mengenai Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan
bahwa:
“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Didalam hukum Agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang
mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari
tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah
13
agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah.
Menurut Abdur Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkanb. Hak anak dalam kesucian keturunanc. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baikd. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaane. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak waris demi
kelangsungan hidupnyaf. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.6
Adapun hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur
dalam Pasal 45 sampai Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:
a) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau
dpaat berdiri sendiri.
b) Anak wajib menhormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang
baik.
c) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah
tua.
d) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan
ada dibawah kekuasaan orang tua.
e) Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin
mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
6 Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta, 1992, hlm. 21.
14
f) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
kepentingan si anak menghendakinya.
5. Harta Perkawinan
Perkawinan mengakibatkan suatu ikatan hak dan kewajiban, juga
menyebabkan suatu bentuk kehidupan bersama dari para pribadi yang
melakukan hubungan perkawinan itu, yaitu membentuk suatu keluarga
atau somah (gezin atau household).7
Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah
terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan
diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam
kehidupan berkeluarga.
Pengertian harta bersama menurut para ahli hukum mempunyai
kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib “harta perolehan selama
ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-
sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi
suami isteri tersebut”.8 Sedangkan Hazairin menyatakan bahwa:
“Harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anak-
7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 244.
8 Niamul Huda, Pengertian Harta Bersama, http://www.pengertianpengertian.com/2011/12/pengertian-harta-bersama.html, diunduh pukul 15.17.
15
anak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya”.9
Dengan demikian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh
selama masa perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah
harta yang didapat atas usaha mereka (suami isteri), atau sendiri-sendiri
selama masa ikatan perkawinan.10
KUHPerdata menyatakan bahwa, sejak saat dilangsungkan
perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara
suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu selama perkawinan
berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan
antara suami isteri (pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka
harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak
bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga
barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam
hal terakhir ini yang mewariskan atau menghibahkan menentukan
kebalikannya dengan tegas (pasal 120). Harta bersama bubar demi hukum,
karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak
ada, perceraian pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta (pasal
126).
9 Ibid.
10 Nanang Suryana, Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam, http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/300-harta-bersama-menurut-kompliasi-hukum-islam, diunduh Senin, 2 Februari 2015 Pukul 09.19.
16
Harta perkawinan dalam Hukum Islam disebut syirkah, yaitu
penyatuan atau penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta
orang lain. Al Quran dan Hadits tidak membicarakan harta bersama secara
tegas, akan tetapi dalam kitab-kitab fikih ada pembahasan yang dapat
diartikan sebagai pembahasan harta bersama, yaitu syirkah atau syarikah.11
Menurut Undang-Undang Perkawinan pasal 35 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing
suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat (1) dan (2)).
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya.
6. Pengertian Perceraian
Pada umumnya, apabila terjadi suatu perkawinan seorang laki-laki
dengan perempuan ingin hidup dalam keadaan selalu rukun dan sejahtera
11 Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan, PT. Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 18.
17
selama-lamanya hingga meninggal dunia. Namun adakalanya suatu
perkawinan tidak demikian dan berakhir dengan perceraian.12
Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntuan salah satu pihak dalam perkawinan
itu”.13
Perceraian adakalanya terjadi, karena tindakan sewenang-wenang
dari pihak laki-laki. Di beberapa daerah di Indonesia, angka perceraian
meningkat, sebelum rancangan Undang-Undang Perkawinan berhasil
diundangkan.14 Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan tersebut,
tidaklah mudah perceraian itu terjadi tanpa alasan yang dapat diterima.
Dalam pasal 38 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:
“perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) keputusan pengadilan”.
Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) memuat ketentuan bahwa:
“Perceraian hanya dapat di lakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.
Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan
istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga)
antara suami dan isteri tersebut. Walaupun perceraian adalah urusan
pribadi, baik itu atas kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu
campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, demi menghindari
12 Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm.29.
13 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar
Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 20.
14 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 63.
18
tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami (karena pada
umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan juga
untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga
peradilan. Dengan adanya ketentuan yang menyatakan bahwa perceraian
harus dilakukan di depan sidang, maka ketentuan ini berlaku untuk seluruh
warga Negara Indonesia, termasuk juga bagi mereka yang beragama Islam.
Dalam pasal 114 sampai 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian
hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah
pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak
terlebih dahulu namun tidak berhasil. Perceraian yang terjadi karena
keputusan Pengadilan Agama dapat terjadi karena talak atau gugatan
perceraian serta telah cukup adanya alasan yang ditentukan oleh undang-
undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-isteri tersebut.
7. Alasan-alasan Perceraian
Perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus
karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan.15
Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan perceraian harus
15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 116.
19
ada cukup alasan yang diajukan oleh suami atau isteri untuk dijatuhkan
talak atau gugatan perceraian ke pengadilian. Alasan-alasan itu adalah
sebagai beriku:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar Ta’lik Talak.8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
8. Tata Cara Perceraian
Dalam melakukan perceraian, selain harus memenuhi beberapa
alasan sebagaimana telah disyaratkan oleh ketentuan yang berlaku,
perceraian juga harus dilakukan sesuai dengan tata cara yang benar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Pengatuaran tata cara perceraian ini
terdapat dalam pasal 39 ayat (3) dan pasal 40 Undang-Undang Perkawinan
serta pasal 14 sampai pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dikenal dua
macam prosedur perceraian, yaitu:
20
1. Cerai talak (diatur dalam pasal 14 sampai pasal 18)
2. Cerai gugat (diatur dalam pasal 19 sampai pasal 36)
Prosedur perceraian secara talak berlaku bagi suami yang
melangsungkan perkawinan menurut agama islam. Sedangkan prosedur
perceraian secara gugat berlaku untuk seorang isteri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain islam (non muslim).
Dalam hal penggunaan prosedur cerai talak maupun cerai gugat harus
menggunakan salah satu alasan sebagaimana telah disebutkan dalam
bagian alasan perceraian.
Prosedur perceraian secara talak diatur dalam Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
21
Kemudian mengenai prosedur cerai gugat diatur dalam Pasal 73
Undang-Undang Nomo 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang
berbunyi:
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan pereceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi temapt perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
G. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan
dalam suatu kegiatan ilmiah. Dengan suatu metode penelitian, diharapkan
mampu untuk menemukan, menganalisis maupun memecahkan masalah
dalam penelitian ini diperlukan metode yang tepat, maka penulis melakukan
metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif empiris.
Penelitian normatif, yaitu penelitian yang lebih berorientasi pada
gejala-gejala hukum yang bersifat normatif melalui studi kepustakaan.
Sedangkan metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian
nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan
22
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil
dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum
atau badan pemerintah.
2. Metode Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang dipergunakan didalam
penelitian ini adalah:
a) Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statue Approach), yaitu
pendekatan yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum dan norma-norma hukum
yang terkait dengan penelitian ini.
b) Pendekatan kasus (Case Approach), dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
c) Pendekatan Sosiologis (Sosiological Approach), digunakan untuk
mengetahui bagaimana aturan hukum dilaksanakan berkaitan
dengan kajian hukum dengan objek yang diteliti.
3. Jenis dan Sumber Data
a) Jenis data
1) Data Primer
23
Data primer, yaitu data yang diperoleh terutama dari hasil
penelitian empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dalam
masyarakat berdasarkan observasi/pengamatan dan wawancara
secara langsung.
2) Data Sekunder
Data yang akan diperoleh melalui kajian pustaka karya ilmiah,
hasil penelitian atau teori-teori para ahli yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas.
b) Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber hukum pertama. Data primer diperoleh dari wawancara
dengan responden. Tipe wawancara yang dilakukan adalah
wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan
dengan tidak dibatasi oleh waktu dan daftar urutan pertanyaan,
tetapi tetap berpegang pada pokok penting permasalahan yang
sesuai dengan tujuan wawancara. Wawancara tidak terstruktur
ini dimaksudkan agar memperoleh jawaban spontan dan
gambaran yang lugas tentang masalah yang diteliti. Bahan primer
ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu
24
merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga berwenang untuk permasalahan tersebut.16
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan,
yang merupakan hasil penelitian orang lain dalam bentuk buku
atau dokumen dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan objek dan permasalahan yang diteliti. Studi
kepustakaan berasal dari beberapa bahan hukum yang relevan,
meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undnagan:
1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2) Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
3) Peraturan Pemerintah Nomr 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan
4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Perdailan
Agama
16 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum (normative dan empiris), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 157.
25
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari
buku, makalah, dan artikel dari internet yang berkaitan
dengan penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder yang terdiri dari kamus hukum dan kamus
lainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka melakukan penelitian ini, metode yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah :
a) Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu,
percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan yang diwawancarai yang
memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu. Wwancara
dilakukan dengan pegawai Pengadilan Agama (PA) Mataram.
b) Studi Dokumentasi
Dokumentasi dapat diartikan sebagai arah mengumpulkan data
melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga
buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
26
Dokumentasi dilakukan dengan cara membuat ringkasan, abstrak
dan catatan kaki.
5. Analisa Data
Dalam penelitian ini, metode analisa data yang digunakan
adalah metode analisis kualitatif, artinya data yang sudah dikumpulkan
dipilih berdasarkan mutu atau kualitas dan berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas sehingga menghasilkan uaraian yang
bersifat deskriptif kualitatif, artinya menggambarkan kenyataan yang
berlaku dan berkaitan dengan proses penyelesaian perceraian beda
agama dan akibat hukum terhadap anak dan hata dari perceraian beda
agama.
6. Jadwal Penelitian
27
Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan dan mempunyai kegiatan sebagai berikut:
No
.
Kegiatan Bulan
Ags Sep Okt Nov Des Jan
1.
2.
3.
4.
5.
Persiapan
a. Penulisan Proposal
b. Pembimbingan Proposal
c. Ujian Proposal
Pelaksanaan
a. Pengurusan ijin penelitian
b. Pengumpulan data
c. Klasifikasi data
d. Analisa data pelaporan
Seminar hasil penelitian
Perbaikan
Penyusunan laporan penelitian
dan penggandaan
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
7. Kerangka Skripsi
28
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Ruang Lingkup
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perkawinan
B. Tujuan Perkawinan
C. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan
D. Kedudukan Anak
E. Harta Perkawinan
F. Pengertian Perceraian
G. Alasan-alasan Perceraian
H. Tata Cara Perceraian
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Pendekatan
B. Metode Pendekatan
C. Jenis dan Sumber Data
D. Teknik Pendumpulan Data
E. Analisa Data
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Penyelesaian Perceraian Beda Agama di Indonesia
B. Akibat Hukum Terhadap Anak dan Harta Dari Perceraian Beda Agama
BAB V PENUTUP
29
A. Kesimpulan
B. Saran
Top Related