AKHLAK
description
Transcript of AKHLAK
AKHLAK
Akhlak berasal dari kata “akhlaq” yang merupakan jama’ dari “khulqu” dari bahasa Arab yang
artinya perangai, budi, tabiat dan adab.
Macam-Macam Akhlak
1. Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul
Mahmudah) Ex : seperti berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, amanah, dan lain
sebagainya.
2. dan Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul Mazmumah). Ex:
berbuat dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir, curang, dan lain sebagainya.
A. AKHLAK
Ada dua pendekatan untuk mendefenisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik
(kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab
yakni khuluqun yang menurut loghat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian denga perkataan
khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan
makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk
dengan makhluk.
Secara terminologi kata "budi pekerti" yang terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah yang
ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio
atau character. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh hati, yang
disebut behavior. Jadi budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang
termanifestasikan pada karsa dan tingkah laku manusia.
Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan
dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah
sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak
pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu
sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa
merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari.
Akhlak yang mulia, menurut Imam Ghazali ada 4 perkara; yaitu
bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan
hawa nafsu) dan bersifat adil.
Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada
akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “
Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan seorang hamba) adalah akhlak
yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash radhiallahu
‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik
akhlaknya.”
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan Akhlak yang
Baik.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi)
sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa rashulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan
balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi
kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi)
Hubungan Akhlak dengan keimanan.
Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan
oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya
ialah yang terbaik akhlaknya.” (HR Tirmidzi)
Orang-orang mukmin yang bagus keimanannya dan lebih baik diantara mereka adalah yang
paling mulia akhlaknya. Dan masih banyak lagi dalil yang menunjukkan bahwa Islam
menempatkan akhlaq di posisi yang sangat tinggi.
Adapun cara-cara dalam membentuk akhlak yang baik :
a. Mengetahui macam-macam akhlak yang baik yang telah ditetapkan dalam agama Islam dan
juga macam-macam akhlak yang buruk yang telah dilarang oleh Islam.
b. Seseorang muslim juga harus mengetahui dan menyadari akan pentingnya ia berakhlak yang
baik karena hal ini berhubungan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
c. Tidak cukup hanya dengan mengetahuinya saja, tapi juga harus direalisasikan dalam prilaku
sehari-hari sebagai bukti nyata dari keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Swt. karena
akhlaq yang buruk itu menunjukkan lemahnya keimanannya kepada sang Khalik, tapi akhlak
yang mulia menunjukkan tingginya iman dan takwa kepada Allah Swt.
d. Memelihara ma’ani-ma’ani aqidah Islam dalam diri karena ia merupakan kunci keimanan
kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya yang bisa membuka jiwa dalam menerima akhlak-akhlak
Islami serta merealisasikannya didalam kehidupan sehari-hari.
lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu :
1. perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran
3. bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah
perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang
bersangkutan. Bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan
manusia yang dapat dinilai baik atau buruk.
4. bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesunggunya, bukan
main-main atau karena bersandiwara
5. sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan
karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
B. ETIKA
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang
berarti watak kesusilaan ata adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Etika merupakan sinonim dari akhlak. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni ethos
yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan yang dimaksud kebiasaan adalah kegiatan yang
selalu dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan seperti merokok yang
menjadi kebiasaan bagi pecandu rokok. Sedangkan etika menurut filasafat dapat disebut
sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Etika membahasa tentang tingkah laku manusia.
Ada orang berpendapat bahwa etika dan akhlak adalah sama. Persamaan memang ada
karena kedua-duanya membahas baik dan buruknya tingkah laku manusia.
Etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut.
1) dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbutaan
yang dilakukan oleh manusia.
2) dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran dan filsafat.
Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutla, absolut dan tidak pula
universal.
3) dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap suatu perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat,
terhina dsb.
4) dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-rubah sesuai
tuntutan zaman.
Dengan ciri-ciri yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dengan kata lain etika
adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
C. MORAL
Moral berasal dari bahasa latin yakni mores kata jamak dari mos yang berarti
adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan
susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.
Antara etika dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula
berbedaannya, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih
banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang
tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral
secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan.
- kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau
buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran
moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang
dan berlangsung di masyarakat.
Istilah moral senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai
manusia.
Rasulullah saw bersabda: " Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah ialah yang paling
baik akhlaknya".
Dalil-dalil yang berhubungan dengan akhlak, moral, dan etika
Firman Allah swt:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran: 190)
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat maruf, atau
mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar. (QS. An-nisa: 114)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. Al Anfal:2)
Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezki (nimat) yang
mulia. (QS. Al Anfal:4)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mumin, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu
mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain)
daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan
itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah: 111)
Sabda Rasulullah:
‘Sesungguhnya aku Muhammad s.a.w. tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak.’
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian system nilai yang ada.
Namun, etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian
tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk
rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi
kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang
berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal
dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
4. Susila
Secara bahasa kesusilaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu su dan sila yang mendapat
tambahan ke-an. Su berarti baik, bagus dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau
norma. Susila juga dapat berarti sopan beradab, baik budi bahasanya. Sehingga kesusilaan berarti
kesopanan. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu pada upaya membimbing, memandu,
mengarahkan, membiasakan memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan keadaan di mana orang selalu
menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik.
B. PERSAMAAN-PERSAMAAN Diantara akhlaq, etika, moral, dan susila memiliki obyek yang sama, yaitu sebagai obyek materialnya adalah manusia dan sebagai obyek formalnya adalah perbuatan manusia yang kemudian ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Dari segi fungsinya sama dalam menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya
Dari segi tujuannya sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik,
teratur, aman, damai, dan tenteram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriah.
C. PERBEDAAN-PERBEDAAN Dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan
tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur
norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat),
dan dalam akhlaq menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-
buruknya. Dalam hal ini etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran
konsep-konsep (bersifat teoretis), sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul
dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat (bersifat praktis).
Etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada, sedangkan
moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai.
Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, tapi moral dan
susila lebih bersifat local dan individual.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perbedaaan antara akhlak, moral, dan etika adalah terletak pada sumber yang dijadikan
patokan untuk menentukan baik dan buruk. Pada etika, penilaian baik buruk berdasarkan
pendapat akal pikiran, dan pada moral berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di
masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah
al-Qur'an dan al-hadis.
RIYA DAN UJUB
DEFINISI RIYA'
Secara lughah (bahasa), riya' اء�� ي اء�ى : adalah mashdar dari kata الر� اء�ى – ر� �ر� �اء�ا و� ر�ء�اء� – ي ر�ي
اء�اه�) اء�اة� ( ر� م�ر� Ia memperlihatkan bahwasanya ia orang baik, padahal hatinya tidak demikian.
Artinya, apa yang nampak berbeda dengan apa yang sebenarnya ada padanya”.[
Sedangkan secara istilah syar'i, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi riya'.
yaitu : Hakikat riya' adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan pada asalnya
adalah mencari posisi tempat di hati manusia.
Jadi riya' adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji
pelakunya dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang
melihatnya.
Ciri-ciri riya:
Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia
malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga
tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia
berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).
PERBEDAAN RIYA' DAN SUM'AH
Perbedaan riya' dan sum'ah ialah, riya' berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain.
Sedangkan sum'ah ialah, beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain. Riya' berkaitan
dengan indera mata, sedangkan sum'ah berkaitan dengan indera telinga
Ujub adalah ,,
'Ujub, menurut bahasa berarti kekaguman, kesombongan atau kebanggaan. Yaitu seorang
bangga dengan dirinya atau pendapatnya. Ujub adalah memperlihatkan ibadah dalam bentuk
sombong dan membesarkan diri dari manusia dan memperbanyak amalan terserbut.
'Ujub adalah mengagumi diri sendiri, yaitu ketika kita merasa bahwa diri kita memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.
Imam Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) berkata : “Ketahuilah, bahwa keikhlasan niat
terkadang dihalangi oleh penyakit 'ujub. Barangsiapa berlaku 'ujub (mengagumi) amalnya
sendiri, maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong”.[10]
SEBAB-SEBAB RIYA'
1. Senang menikmati pujian dan sanjungan
2. Menghindari atau takut celaan manusia
3. Tamak (sangat menginginkan) terhadap apa yang ada pada orang lain.
MACAM-MACAM RIYA'
1. Riya' yang berasal dari badan, seperti memperlihatkan bentuk tubuh yang kurus dan pucat
agar tampak telah berusaha sedemikian rupa dalam beribadah dan takut pada akhirat
2.Riya' yang berasal dari pakaian dan gaya, seperti menundukkan kepala ketika berjalan,
sengaja membiarkan bekas sujud di wajah, memakai pakaian tebal, mengenakan kain wol,
menggulung lengan baju dan memendekkannya serta sengaja berpakaian lusuh (agar dianggap
ahli ibadah).
3. Riya' dengan perkataan, seperti dalam hal memberi nasihat, peringatan, menghapal kisah-
kisah terdahulu dan atsar dengan maksud untuk berdebat atau memperlihatkan kedalaman
ilmunya dan perhatiannya terhadap keadaan para salaf.
4. Riya' dengan perbuatan, seperti riya' yang dilakukan orang yang shalat dengan
memanjangkan bacaan saat berdiri, memanjangkan ruku' dan sujud atau menampakkan
kekhusyuan atau yang lainnya
5. Riya' dengan teman atau orang-orang yang berkunjung kepadanya, seperti seseorang
memaksakan dirinya supaya dikunjungi oleh ulama atau ahli ibadah ke rumahnya, agar
dikatakan “si fulan telah dikunjungi ulama dan banyak ulama yang sering datang ke rumahnya”.
Perbedaan antara Ujub dan Riya’
Ujub itu temannya riya’, tetapi riya’ itu perbuatan syirik kepada Alloh dan yang dijadikan sekutu
adalah makhluk selain dirinya, sedangkan ujub yang dijadikan sekutu adalah dirinya sendiri.
(Jadi riya’ itu beribadah kepada Alloh tetapi disertai niatan dan tujuan lain dari perkara dunia,
sementara ujub itu merasa hebat, paling pintar dan menyombongkan diri dihadapan Allah.
Diantara sifat yang terkumpul dalam ujub :
Buta dengan dosa yang telah ia lakukan Menganggap kecil dosa yang banyak Buta dengan kesalahan-kesalahannya Perkataannya bukan Al-haq Menimbulkan sombong dan bangga diatas orang lain Menipu Alloh ta’ala yang ditunjukkan dengan amal dan ilmunya sampai seakan-akan ia
adalah orang yang mendapat karunia (yang dipilih) Alloh
Celaan Ujub baik dari Al-Qur’an atau Sunnah dan Perkataan Salaf
Alloh berfirman dalam surat At-taubah : 25 Artinya: Dan ingatlah peperangan hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banayak itu tidak memberikan manfaat kepadamu sedikitpun.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Tiga hal yang membinasakan yaitu sifat bakhil yang ditaati, nafsu yang dituruti dan seorang ujub ( bangga diri ) dengan dirinya .
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: Seandainya kalian tidak berdosa, dikhawatirkan kalian menjadi banyak ujub.
Berkata Ibnu Mas’ud: Kehancuran dan kebinasaan itu terjadi di dua perkara putus asa dan ujub.
Dari Hudzaifah Ibnu Yaman: Cukup seseorang itu dikatakan berilmu jika ia takut kepada Alloh dan cukup seorang itu dikatakan bodoh jika ia ujub dengan ilmunya.
Berkata Muthorrif Ibn Abdillah: Sungguh saya lebih suka tidur dimalam hari dan paginya menyesal daripada sholat malam sedang paginya ujub.
Berkata Adz-dzahaby: Demi Alloh tidak akan beruntung orang yang mentazkiah dirinya atau ujub pada dirinya.
Berkata Abu Utsman Al–Hairy: Takut kepada Alloh akan menyampaikanmu kepada Alloh, sedang sombong dan ujub akan memutuskan dirimu dari Alloh.
Kata Ibnu Mubarok: Saya tidak melihat pada orang yang shalat (rajin sholat) keburukannya daripada ujub.
Mengobati Sifat Ujub
1. Mengenal Alloh, merealisasi pengagungan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya pengagungan, menegakkan peribadatan kepada-Nya dengan Asma dan Sifat-Nya; sesungguhnya kebaikan itu semua ditangan Alloh, rohmat-Nya meliputi segala sesuatu. Alloh berfirman : Artinya : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Alloh lah datangnya”. ( An-nahl : 53 )
2. Selalu mengingat akan hakikat diri3. Selalu sadar akan hakikat dunia dan akherat4. Selalu mengingat nikmat Alloh
5. Selalu ingat tentang kematian dan kehidupan setelah mati6. Tidak berkawan dengan orang yang kagum diri7. Memperhatikan keadaan orang yang sedang sakit, bahkan keadaan orang yang meninggal
dunia, ziarah kubur dan merenungkan keadaan ahli kubur8. bedoá kepada Alloh agar kita terhindar dari sifat ini..
Adapun beberapa kiat untuk menghilangkan penyakit riya’, menurut Imam Ghozali adalah :
1. Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan anusias dengan apa-apa yang ada pada manusia,
2. . Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. . Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia” [QS. Al-Baqarah: 264]
Hadist Rasulullah SAW (diriwayatkan oleh Abusy-syaikh) :”Ada tiga hal yang merusakkan (ahlak, jiwa dan agama) yaitu, kikir yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan dan keheranan seseorang pada dirinya sendiri (’ujub)”
Bahaya ‘Ujub (membanggakan diri sendiri) itu banyak sekali, antaranya :
‘ujub itu menyebabkan timbulnya rasa sombong bila seseorang sudah dihinggapi penyakit ‘ujub, ia lupa pada bahaya-bahaya ‘ujub itu
sendiri, ia sudah tertipu oleh perasaan, dan pendapatnya sendiri. karena ‘ujubnya ia kurang sadar terhadap kedudukan dirinya, ia akan memuji-muji
dirinya, menyanjung dirinya sendiri dan menganggap suci dirinya serta bersih dari segala seorang ‘ujub tidak suka mencari kemanfaatan ilmu pengetahuan pada orang lain, sebab
sudah merasa amat pandai jika usahanya gagal, orang ‘ujub ini akan melemparkan kesalahan pada orang lain, rekan
atau bawahannya.
Faktor Penyebab Timbulnya 'Ujub
1. Banyak dipuji orang
2. Banyak meraih kesuksesan
3. Kekuasaan
4. Tersohor di kalangan orang banyak
5. Mempunyai intelektualitas dan kecerdasan yang tinggi
6. Memiliki kesempurnaan fisik
7. Lalai atau tidak memahami hakikat dirinya sendiri.
8. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Dampak Sifat Ujub :
1. Membatalkan pahala
2. Menyebabkan Murka Alloh
Nabi n bersabda, "Seseorang yang menyesali dosanya, maka ia menanti rahmat Alloh. Sedang seseorang yang merasa 'ujub, maka ia menanti murka Alloh." (HR. Baihaqi)
3. Terjerumus ke dalam sikap ghurur (terperdaya) dan takabur.
4. Menyebabkan mengumbar nafsu dan melupaka dosa-dosa
5. Menyebabkan orang lain membenci pelakunya.
6. Menyebabkan Su'ul Khotimah dan kerugian di Akherat
Nabi n bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang suka menyebut-nyebut kembali pemberiannya, seorang yang durhaka, dan pecandu minuman keras." (HR. Nasa'i)
7.Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
TAWADHU’ dan SOMBONG
PengertianTawadhu’
Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti
kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap orang yang
beriman, atau mau menerima kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu’ adalah :
1.Mengenal Allah SWT2. Mengenal Diri3. Mengenal Aib Diri4. Merenungkan nikmat Allah
Berkata al-Fudhail rahimahullah: “Tawadhu’ adalah sikap menerima kebenaran dan melaksanakannya dan menerima kebenaran tersebut dari siapapun datangnya.”
Jenis-Jenis Tawadhu’
1. Bersikap tawadhu’ pada agama: Yaitu menerima semua apa yang bersumber dari ALLAH SWT dan Rasul-NYA, dengan tunduk dan pasrah sebulat-bulatnya.
a. Tidak menolak sedikitpun baik akalnya, perasaannya, maupun perbuatannya
b. Tidak meragukan dalil agama tersebut
2. Ridha terhadap apa yang diridhai oleh kebenaran, maka jadilah ia sebagai budak ALLAH SWT dan saudara bagi orang muslim dan tidaklah bermusuhan dengan kebenaran itu setitikpun.
3. Segera menjadikan kebenaran itu bagian dari dirinya, baik dalam pemikirannya maupun perbuatannya.
Syarat Tawadhu’ 1. Ikhlas karena Alloh semata.
2.Kemampuan
Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda;“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan angkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Keutamaan Tawadhu’
1. Menjalankan perintah Alloh subhanahu wata'ala
Alloh berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. asy-Syu’aro)
2. Alloh membenci orang yang sombong
3. Perangai hamba yang terpuji
4. Jalan menuju surga
5. Mengangkat derajat seorang hamba
6. Mendatangkan rasa cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian
Sombong,,
Sikap sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain.
Islam Melarang dan Mencela Sikap Sombong
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” )QS. Luqman:18(
Allah Ta’ala berfirman,
�ر�ين� :ب �ك ت :م�س: ال �ح�ب? ي ال� Dه� �ن إ“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” )QS. An Nahl: 23(
Hakekat Kesombongan
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
م�ن: Nة Dذ�ر :ق�ال� م�ث �ه� :ب ق�ل ف�ي �ان� ك م�ن: Dة� ن :ج� ال �د:خ�ل� ي ال��ا ن ح�س� �ه� �و:ب ث �ون� �ك ي �ن: أ �ح�ب? ي ج�ل� Dالر Dن� إ eج�ل ر� ق�ال� Nر: �ب ك:ر� �ب :ك ال :ج�م�ال� ال �ح�ب? ي eج�م�يل Dه� الل Dن� إ ق�ال� �ة� ن ح�س� �ه� �ع:ل و�ن
Dاس� الن و�غ�م:ط� :ح�ق� ال �ط�ر� ب“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ )HR. Muslim no. 91(
An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran
sombong adalah menolak kebenaran dan suka meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain.
Hukuman Pelaku Sombong di Dunia
“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” )H.R. Muslim no. 3766(.
# Di dalam hadits, Rasulullah Saw bersabda:Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan (HR. Muslim).
Ada banyak dampak negatif atau bahaya dari sifat sombong ini, diantara adalah:
Pertama, Tidak senang pada saran apalagi kritik
Kedua, Tidak senang terhadap kemajuan yang dicapai orang lain
Ketiga, Menolak kebenaran meskipun ia meyakininya sebagai sesuatu yang benar
Keempat, Dibenci Allah Swt yang menyebabkannya tidak akan masuk syurga.
TAJASUS,PRASANGKA dan GIBAH
Tajassus adalah aktivitas memata-matai orang lain. Orang yang melakukan tajassus atau spionase ini
disebut jaasus (mata-matai)
Janganlah kalian mencari kesalahan-kesalahan orang lain ...'' (QS Al-Hujurat [49]: 12). At-tajassus dikenal
dalam bahasa keseharian kita dengan memata-matai atau mencari-cari kekurangan orang lain.
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw:
“Orang yang menyadap pembicaraan orang lain dan mendengarkan apa yang mereka tidak akan suka bila tahu ia telah mendengarnya, kedua telinganya akan dituangi dengan cairan kuningan nanti pada hari Kiamat.” [HR. Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir].
Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang biasa mencuri-curi dengar tidak akan masuk surga.” [HR. Bukhari dari Hudzaifah, Imam Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Daruqutniy].
Dalam sunnah, Nabi Saw bersabda:
“..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling
berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan…”[HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Hukum Tajassus
Hukum tajassus bisa haram, jaiz, dan wajib, ditinjau dari siapa yang dimata-matai.*2) Al-Qur’an melarang dengan tegas aktivitas tajassus yang ditujukan kepada kaum muslimin. Allah berfirman, artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanykan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)…” (Qs. al-Hujuraat [49]: 12).
Prasangka
Prasangka dalam perspektif Islam dapat kita lihat dari bentuk dan akibat
sebagaimana yang termaktub dalam Al-qur`an surah Al-Hujurat ayat 12.
Terjemah:
“Hai orang-orang yang beriman (yang beragama), jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah berbuat ghibah /menggunjingkan (membicarakan keburukan) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat ayat 12).
Di dalam ayat kedua di atas ada 3 (tiga) perbuatan yang harus dihindari oleh orang-orang yang
beriman. Ketiga hal tersebut adalah :
a. Berprasangka buruk
b. Memata-matai orang (mencari-cari kesalahan orang lain)
c. Menggunjing orang lain
Jadi, prasangka merupakan praduga/predesposisi yang bisa berkonotasi positif atau negatif terhadap suatu objek. Isi dari prasangka adalah pemberian kesan atau label negatif pada orang atau suatu kelompok tertentu yang berbeda dengan keadaan sesungguhnya. Pengertian prasangka itu diperkuat dalam surah Al-An`am ayat 143 yang terjemahannya: ”Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira”.
Kedua, dalam ayat di atas terdapat potongan ayat yang terjemahannya: “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (membicarakan keburukan) satu sama lain.” Ayat ini mengandung larangan Allah terhadap dua bentuk prasangka yaitu mencari keburukan orang dan bergunjing/ghibah. Kemudian, perumpamaan (qiyas) prasangka dan bentuk-bentuknya tersebut tergambar dalam redaksi ayat : “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Salah satu daripada tanda penyakit rohani ialah prasangka-prasangka yang buruk, antara lain anggapan yang bukan-bukan terhadap Allah dan RasulNya. Firman Allah yang bermaksud:
‘Dan ingatlah ketika orang munafik dan orang yang dihatinya ada penyakit berkata: ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kita melainkan tipuan.’
Rasulullah SAW menegaskan pada hadisnya, “Jauhilah darimu prasangka. Sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.”(Muttafaq ‘alaih)
Macam-macam prasangka
Menurut syekh al-Mishri, ada empat macam prasangka yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari :
1. prasangka yang di haramkan. Prasangka yang termasuk kategori haram itu adalah
berprasangka buruk terhadap Allah serta berprasangka buruk dengan kaum muslimin yang
adil.
2. prasangka yang diperbolehkan adalah yang terlintas dalam hati seorang muslim kepada
saudaranya karena adanya hal yang mencurigakan
3. prasangka yang di anjurkan. Menurut dia, prasangka jenis ini adalah prasangka yang baik
terhadap sesama muslim.
4. prasangka yang di perintahkan. Menurut Syekh al-Mishri, prasangka yang di perintahkan
adalah prasangka dalam hal ibadah, kita cukup berdasarkan perintah yang kuat, seperti
menerima kesaksian dari saksi yang adil, mencari arah kiblat, menaksir kerusakan-kerusakan,
dan denda pidana yang tidak ada nash untuk menentukan jumlah dan kadarnya,”
Sufyan ats-Tsuari menjelaskan ada dua jenis prasangka, yakni :
1. berdosa. Prasangka yang berdosa tutur ats Tsuari, jika seseorang berprasangka dan
mengucapkannya kepada orang lain.
2. tak berdosa adalah prasangka yang tidak diucapkan atau di sebarkan kepada orang lain.
Perhatikan Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sekali-kali janganlah kamu berburuk sangka, karena sungguh buruk sangka itu adalah perkataan
yang paling bohong. Dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah kami saling berebut dan
janganlah kamu saling membenci dan janganlah kamu saling membelakangi dan jadilah kamu
hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari, Muslim dan Daud)
Akibat yang ditimbulkan dari berburuk sangka antara lain adalah :
Dapat memutuskan tali silaturahmi,
merugikan orang lain dan diri sendiri,
mengotori pikiran,
dibenci Allah SWT dan Rasul-Nya
dibenci dan dihindari (dikucilkan) orang lain.
Penyebab buruk sangka: Menuruti hawa nafsu, menuruti bujukan syetan, tidak percaya diri, iri
dengan orang lain dan kurangnya mensyukuri nikmat Allah SWT.
Prasangka tidak sedikitpun mendatangkan kebaikan. Dalam Surat Yunus (10) ayat 36. Allah SWT berfirman, “Prasangka itu tidak mendatangkan kebenaran apapun.”
Firman serupa ditegaskan kembali dalam Surat An Najm (53) ayat 28. Kemudian dalam surat Alhujurat (49): 12, Allah SWT juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah memperbanyak prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa. “Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menegaskan, “Takutlah kalian berprasangka, karena ia merupakan sedusta-dusta perkataan.”
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal
wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan
senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk
memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan
tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya,
maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya.
Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan
kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit
baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.
Mengenai hal mencari-cari kesalahan orang, dengan jelas Allah SWT berfirman: “Dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al Hujurat: 12). Senada dengan hal itu,
Nabi Muhammad SAW pun bersabda: “Sesungguhnya jika kamu suka mencari kesalahan orang
lain, maka kamu telah mencelakakan mereka, atau paling tidak kamu hampir saja mencelakakan
mereka” (HR. Abu Dawud). Jelas bukan? Maka janganlah kita mencelakakan saudara kita
seagama dengan mengumbar kesalahannya.
Lagi pula orang yg suka mencari-cari kesalahan orang lain utk dikupas dan dibicarakan di
hadapan manusia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas dgn membongkar aib walaupun ia
berada di dlm rumahnya. Sebagaimana disebutkan dlm hadits Abu Barzah Al-Aslami
radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
م�ن� Dه� �ن ف�إ ، �ه�م: ات ع�و:ر� �ع�و:ا Dب �ت ت � و�ال ، :ن� �م�ي ل :م�س: ال �وا �اب �غ:ت ت � ال �ه�، :ب ق�ل :م�ان� �ي :إل ا �د:خ�ل� ي �م: و�ل �ه� ان �ل�س� ب آم�ن� م�ن: ر� م�ع:ش� �ا ي
�ه� :ت �ي ب ف�ي �ف:ض�ح:ه� ي �ه� ت ع�و:ر� الله� �ع� Dب �ت ي و�م�ن: �ه�، ات ع�و:ر� Dو�ج�ل Dع�ز الله� �ع� Dب �ت ي �ه�م: ات ع�و:ر� �ع� Dب ات
“Wahai sekalian orang yg beriman dgn lisan dan iman itu belum masuk ke dlm hatinya5.
Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka.
Karena orang yg suka mencari-cari aurat kaum muslimin Allah akan mencari-cari auratnya. Dan
siapa yg dicari-cari aurat oleh Allah niscaya Allah akan membongkar di dlm rumah .”
Rasulullah bersabda: Siapa yang menutupi aib seorang muslim maka akan ditutupi aibnya di
dunia dan di akhirat (HR Ibnu Majah Juz II/79, shahih).
Ghibah atau membicarakan kejelekan atau keburukan orang lain. Dan hal ini penyebab
terjadinya permusuhan antara kaum muslimin dan merusak persaudaraan di antara mereka.
Karena buruknya perbuatan ghibah ini Allah Ta'ala mengumpamakan orang yang berbuat ghibah
dengan orang yang makan daging saudaranya dalam keadaan mati. Sangsi baginya bahwa dia di
alam barzakh (alam antara kehidupan dan hari kiamat), mereka mencabik-cabik muka dan
dadanya sendiri.
"Perbuatan ghibah termasuk dosa besar. Kemudian menyebut orang lain dengan sesuatu yang dia
benci adalah termasuk ghibah yang haram dilakukan, walaupun hal itu benar-benar ada pada
orang tersebut.
Berikut adalah sebab-sebab yang dapat membantu kita untuk berbaik sangka:
1. Doa
2. Menempatkan diri pada posisi orang lain.
3. Membawa ucapan saudara kita kepada kemungkinan terbaik.
5. Jauhi memvonis orang dengan niatnya
6. Ingatlah akibat dari berburuk sangka
BURUK SANGKA
buruk sangka (su'udzon) biasanya berupa tudingan seseorang
tanpa didasarkan pada bukti yang mendukung kebenarannya.
Cara menjauhi buruk Sangka :
1. Menjauhi semua penyebabnya.
2. Menanamkan kesadaran bahwa persaudaraan sesama Muslim
menuntut pemenuhan hak dan kewajiban, dan bertujuan mencari
kedamaian (islah) dalam segala hal.
3. Meyakini bahwa prasangka muncul dari was-was yang di-
sebabkan oleh serum kejahatan setan.
4. Segera meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan
tatkala perasaan itu timbul.
5. Berusaha menanamkan baik sangka (husnudz-dzan)
"Allah berfirman (dalam hadits qudsi),
'Aku ini bagaimana prasangka hamba-hamba kepada-Ku.' "
(HR Abu Daud).
JUJUR dan DUSTA
Hakikat Dusta..
Dusta adalah menceritakan sesuatu tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, baik
sengaja maupun tidak sengaja. Kebenaran dikatakan sebagai kebatilan, kebatilan
dikatakan kebenaran. Kebaikan dikatakan sebagai keburukan dan keburukan dikatakan
kebaikan.
dusta/ bohong” dalam al Qur’an terkandung dalam surat 16 ayat 116 :
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta "ini halal dan ini haram," untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung”.
kata “dusta” sendiri memiliki arti : bohong dan ingkar
dusta merupakan pokok kejahatan, sebagaima disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW :
"Sesungguhnya dusta akan mendorong kepada kejahatan dan kejahatan akan
mengantarkan kepada mereka." (Muttafaq Alaih)
Ayat dan Hadits Tentang Dusta,,
Dusta adalah satu ciri orang Munafik: Nabi Muhammad SAW: “Tanda-tanda orang
munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila
diamanati dia berkhianat. “(HR. Muslim)
Aisyah ra. Berkata, “Perilaku yang paling dibenci oleh Rasulullah Saw. Adalah
berdusta. Apabila terbersit di dalam hati seseorang untuk berdusta hingga keluar
dari hatinya sampai diketahui orang bahwa ia telah berdusta, maka hedaklah ia
bertobat.” (HR. Imam Ahmad)
Pada dasarnya Islam melarang seorang muslim untuk berbohong. Bahkan berbohong
dalam Islam dipandang sebagai salah satu sifat kekufuran dan kemunafikan. Di dalam Al-
Qur'an Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan
hanyalah mereka yang tidak mengimani (mempercayai) tanda-tanda kekuasaan Allah.
Mereka adalah kaum pendusta." (An-Nahl: 105)
Allah Swt. Berfirman, “sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada
tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (An-Nisa 4:145)
Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Wajib atasmu
berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan
jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan keduanya di
neraka”. [HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya, juz 5, hal. 368, no. 5743]
Dampak Perilaku pendusta,,
Para pendusta tidak akan mendapat hidayah.Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya
Allah tidak menunjukkan orang yang berlebihan dan sangat berdusta (QS. Ghafir:28)
Ia mendapat laknat dari Allah. Allah SWT berfirman : “ Laknat Allah kepada orang-
orang yang dusta. (QS.Ali Imran:61)
Dusta menyebabkan pelakunya menuju kejahatan. Dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra berkata.
Bersabda Rasulullah SAW : “ Menjauhlah kalian dari dusta, sesungguhnya dusta
menunjukkan kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan menunjukkan kepada
neraka.Seseorang tidak berhenti berdusta dan masih menjalankan dusta hingga tercatat di
sisi Allah kaddzab (pendusta berat). ( HR.Bukhari dan Muslim )
Dusta adalah khianat paling besar.dari An Nawas ra berkata. Rasulullah SAW bersabda :
“ Khianat besar adalah menceritakan kepada saudara kalian sebuah kisah lalu ia
membenarkanmu sedangkan anda mendustainya.
Dusta menyebabkan keraguan.Sebagaimana hadits nabi SAW : “ Dan sesungguhnya
dusta itu ragu-ragu. ( HR. At. Turmudzi )
Tidak diberkahi
Terjerumusnya Seseorang ke dalam Salah Satu Tanda Munafiq
Memutarbalikan Kebenaran.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang melampau batas lagi
pendusta.” (Al-Mu’min:28).
Cara meninggalkan dusta,,
Kita harus mampu menghadirkan keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala dan
memantapkannya.
Melatih jiwa, membiasakan diri melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan
untuk kita.
Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Dusta
Tipisnya rasa takut kepada Allah Ta’ala. Usaha memutarbalikkan fakta dengan berbagai motifnya; baik untuk melariskan barang
dagangan, melipatganda-kan keuntungan atau yang lain. Mencari perhatian, seperti ikut dalam seminar dan diskusi dengan membawakan trik-trik
dan kisah-kisah bohong menarik supaya para peserta terpesona. Tiadanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan hidup. Kebiasaan berdusta sejak kecil, baik karena pengaruh kebiasaan orang tua atau
lingkungan tempat tinggalnya. Merasa bangga dengan kebohongannya, karena ia menganggap kebohongan itu suatu
kecerdikan, kecepatan daya nalar dan perbuatan baik.
Menceritakan segala hal yang ia dengar.
Jujur,,
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada.
Jujur ialah kesesuaian ucapan dengan hati kecil dan kenyataan objek yang dikatakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Hendaklah kalian jujur, karena
kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan ke surga"
(H.R. Bukhori dan Muslim).
Keutamaan Jujur
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan.
Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-
firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
Macam-Macam Kejujuran
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal
tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan
pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang
dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan.
Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan
maksud mereka.
2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali
dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling
tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau
Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.”
Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu
atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah
(janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika
Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah
dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan
kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan
berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi
(kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda
antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama
antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah
hambaku yang benar/jujur.’”
5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana
jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara
ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan
tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan
orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
al-Hujurat: 15)
Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam pengertian
yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah dan
bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan
sebagai kebalikan orang yang jujur, firman Allah :
�اف�ق�ين� :م�ن ال �ع�ذ�ب� و�ي �ص�د:ق�ه�م: ب الصDاد�ق�ين� الله� �ج:ز�ي� �ي ل
Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya,
dan menyiksa orang munafik... (QS. Al-Ahzab:24)
Dan karena itulah:
eة� :ب ر�ي �ذ�ب� :ك و�ال eة� :ن �ي ن: ط�م�أ الص�د:ق� Dن� ف�إ
"Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan."i Sebagaimana
disebutkan dalam hadits.
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
ل(م' م(ع' و( س'خ2ص0 أ( ء9 ف7ي ي0ر( ي' ول0 م7م2ا ش( ث9 ف7ي إ7ال2 ك(ذ7بD الن2اس0 ي(ق0 ب0 ث(ال( ر' ح0 ال'ح( ال( 7ص' اإل' ب(ي'ن( و(
د7يث0 الن2اس7 ل7 و(ح( ج0 (ت(ه0 الر2 أ ر( د7يث0 ام' (ة7 و(ح( أ ر' ا ال'م( ه( و'ج( ز(
“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam
tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta
suami terhadap istri atau istri terhadap suami.
i