akhirnyaaa

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan salah satu cabang dari hukum internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa. Dibandingkan dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga menyangkut individu. Hal ini cukup unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional publik adalah negara atau organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan. Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat noninternasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan

Transcript of akhirnyaaa

Page 1: akhirnyaaa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum humaniter internasional atau hukum humaniter adalah nama lain dari apa yang dulu

disebut dengan hukum perang atau hukum sengketa bersenjata. Hukum humaniter merupakan

salah satu cabang dari hukum internasional publik, yaitu bidang hukum yang mengatur masalah-

masalah lintas batas antar negara. Cabang hukum internasional publik lainnya antara lain hukum

diplomatik, hukum laut, hukum perjanjian internasional dan hukum angkasa. Dibandingkan

dengan cabang hukum internasional publik lainnya, hukum humaniter mempunyai suatu

keunikan yaitu bahwa sekalipun ketentuan-ketentuan yang mengaturnya dibuat melalui suatu

perjanjian multilateral atau melalui hukum kebiasaan internasional, namun substansinya banyak

mengatur hal-hal yang menyangkut individu, atau dengan kata lainnya subjek hukumnya juga

menyangkut individu. Hal ini cukup unik, karena pada umumnya subjek hukum internasional

publik adalah negara atau organisasi internasional. Hukum humaniter banyak mengatur tentang

perlindungan bagi orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat dalam suatu peperangan. Dalam

hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata

yang bersifat internasional dan yang bersifat noninternasional. Pada perkembangannya,

pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga

memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing

dan perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata

internasional. Hukum humaniter juga mengatur sengketa bersenjata yang bersifat

noninternasional, yaitu sengketa bersenjata yang terjadi didalam suatu wilayah negara. Dalam

situasi-situasi tertentu, sengketa bersenjata yang tadinya bersifat internal (noninternasional) bisa

berubah sifat menjadi sengketa bersenjata yang bersifat internasional. Hal yang terakhir ini

disebut dengan internasionalisasi konflik internal (internationalized internal conflict). Namun

demikian tidak semua sengketa bersenjata internal bisa menjadi bersifat internasional apabila ada

campur tangan dari negara lain.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama.

Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat

Page 2: akhirnyaaa

ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam

peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu

itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan

tawanan perang.

B. Rumusan Masalah

Pada makalah ini saya akan menguraikan beberapa permasalahan mengenai hukum humaniter

internasional, yaitu :

1. Apa pengertian Hukum Humaniter Internasional ?

2. Apa pengertian Perang, Konflik Bersenjata dan Damai ?

3. Prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter ?

4. Tujuan Hukum Humaniter ?

5. Sumber-sumber Hukum Humaniter ?

6. Definisi ahli Hukum Humaniter ?

7. Jenis-jenis konflik bersenjata ?

8. Jenis-jenis konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter?

C. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan tim penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai

tugas yang di berikan oleh Dosen mata kuliah Hukum Internasional sebagai tugas individu

semester dua Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.

Selain itu tujuan pembelajaran dari Hukum Humaniter Internasional adalah untuk mengetahui

bahwa hukum humaniter internasional tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk

mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan

perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk

membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan

ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang

berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat

dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui

Page 3: akhirnyaaa

mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena

itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi

hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum

humaniter tersebut, yaitu :

1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan

yang tidak perlu (unnecessary suffering).

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan

musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak

diperlakukan sebagai tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang

terpenting adalah asas kemanusiaan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Humaniter

Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum

sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama

tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu

kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia

hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa

keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat

manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan

ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar

Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum

internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-

tulisan mengenai hukum perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat

ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan

modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah

setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalamanpengalaman pahit

Page 4: akhirnyaaa

atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan

kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya

komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas

perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional

diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

B. Perang, Konflik Bersenjata dan Damai

Secara implisit dalam pengertian perjuangan Nasional atau memperjuangkan kepentingan

Nasional, tidak dapat dilepaskan dengan kemungkinan-kemungkinan adanya pertentangan

kepentingan dengan bangsa lain, bahkan pula pertentangan kepentingan antar kelompok dalam

tubuh bangsa sendiri. Dari sini timbullah situasi konflik. Penyelesaian konflik dapat dilakukan

dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan

tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-

bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan

sebagainya.

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von

Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah

kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat

kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan

politik dengan perjuangan tersebut. Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa

Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya

perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan.

Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara

dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan

dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka

berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam

demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang

bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan

Page 5: akhirnyaaa

dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai

alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.

Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer

terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa

satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas.

Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang

menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki.

Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat

terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau

gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang

bersifat nasional maupun internasional. Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang

sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang

terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk

perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.

Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang

akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan

tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah

Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara

bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk

pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka.

Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut

runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan

dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang

dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di

India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir

abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang

mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.

Page 6: akhirnyaaa

C. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Humaniter

Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction

principle). Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat

ikut serta secara langsung dalam pertempuran (kombatan) disatu pihak, dan kelompok yang tidak

ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran (penduduk sipil).

Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter dikenal pula prinsip-prinsip lain, yaitu:

1. Prinsip kepentingan militer (military necessity). Berdasarkan prinsip ini pihak yang

bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi

tercapainya tujuan dan keberhasilan perang. Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas

kepentingan militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap pihak lawan, suatu

serangan harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle), yaitu: “prinsip yang diterapkan

untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan

mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metoda berperang yang digunakan tidak

boleh tidak proporsional (harus proporsional) dengan keuntungan militer yang

diharapkan.

b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu prinsip yang membatasi penggunaan

alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan akibat yang luar biasa

kepada pihak musuh.

2. Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa

diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk

menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan

yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga disebut dengan “unnecessary

suffering principle”.

3. Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang,

kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan curang

dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

4. Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata

harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu pihak dengan

“combatant” serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak.

Page 7: akhirnyaaa

Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan

dijadikan sasaran. Banyak ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang

paling penting dalam prinsip-prinsip hukum humaniter. Oleh karena itu pada bagian ini akan

diuraikan sedikit lebih rincil tentang prinsip pembedaan yang dimaksud.

D. Tujuan Hukum Humaniter

Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang,

tetapi ditujukan untuk memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang

dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:

1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan

yang tidak perlu (unnecessary suffering).

2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan

musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak

diperlakukan sebagai tawanan perang.

3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang

terpenting adalah asas perikemanusiaan.

E. Sumber-Sumber Hukum Humaniter

Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court of

Justice) sumber-sumber hukum internasional terdiri dari :

a. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang membentuk

aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;

b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima sebagai

hukum;

c. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;

d. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari

berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum.

Oleh karena hukum humaniter adalah cabang dari hukum internasional publik, maka

sumber sumbernya adalah juga sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1)

Statuta ICJ tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas sumber-sumber hukum

Page 8: akhirnyaaa

humaniter yang dimaksud, dengan penekanan kepada sumber yang pertama, yaitu

perjanjian-perjnajian internasional.

F. Definisi Ahli Hukum Humaniter

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perang terbagi menjadi 2:

a) Jus Ad Bellum Hukum tentang perang, mengatur tentang perang dalam hal bagaimana

negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

b) Jus Ad Bello Hukum yang berlaku dalam perang terjadi The Hague Law dan The

Geneva Law.

Dasar Hukum: Pasal 33 (1), 2 (4) UN Charter dimana suatu sengketa diharapkan dapat

diselesaikan secara damai. Pasal 24 (1) = lebih memberikan kewenangan kepada Dewan

Keamanan PBB untuk mengambil tindakan tertentu.*Intinya: Perang itu diperbolehkan tetapi

hanya sebagai upaya terakhir.

Menurut Haryomataram Membagi Hukum Humaniter menjadi 2:

a) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang

(Hukum Den Haag) = tentang sarana dan cara berperang.

b) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk

sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa) = ketika peperangan dan sesudah perang.

Geza Herzegh Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari Hukum Internasional

memberikan perlindungan kepada individu pada saat terjadi konflik/perang.

Mochtar Kusumaatmadja Hukum Humaniter = bagian dari hukum yang mengatur tentang

perlindungan korban perang,berlainan dengan Hukum Perang yang mengatur perang itu sendiri

dan segala sesuatu yang menyangkut cara perang itu sendiri.

G. Jenis-Jenis Konflik Bersenjata

Page 9: akhirnyaaa

1) Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional

Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang

pembebasan Nasional (War Of National Liberation)  dan konflik bersenjata internal yang

diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict).

Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau

lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara

negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini

seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi

berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I,

bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.

Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud

adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari

negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir.

Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international

character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed

conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau

protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol

Tambahan 1977.

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar

negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara

terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol

Tambahan I tahun 1977.

2) Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional

Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang

pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil

Page 10: akhirnyaaa

war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan

melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan

untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-

internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.

Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut

Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya

mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut

dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut

dengan sengketa bersenjata non-internasional.

1. Dieter Fleck

Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang

berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak

buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah

mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.

2. Pietro Verri

Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu

negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun

juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan

sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat

yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada

konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-

internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.

3. Hans-Peter Gasser

Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu

negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain.

Page 11: akhirnyaaa

Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak,

kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau

istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk

memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan

diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam;

seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya

yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di

dalam negara tersebut.

Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur

mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa

tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian,

apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka

hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum

internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah

akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata

tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de

jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini

dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan

pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal

adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak

bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung

penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-

ketentuan sebagai berikut :

Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota

angkatan perang yang telah meletakkan senjatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut

serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan

bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun

juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau

Page 12: akhirnyaaa

kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan

berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas

pada waktu dan di tempat apapun juga :

1. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan,

penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

2. Penyanderaan;

3. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan

martabat;

4. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan

oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan

peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa

bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3

Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas

perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa

bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok

utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan

juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi

Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat

menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa

selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus,

semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan

tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha

untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam

peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku,

melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat

Page 13: akhirnyaaa

diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak

tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa

maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak

dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.

H. Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter

Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur

dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977

yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam

negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir,  serta

tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”.

Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena

jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan

intensitas konflik yang relatif masih rendah.

BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Secara garis besar, hanya ada dua tipe konflik saja yang diatur dalam Hukum Humaniter, yaitu :

1) Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional (international armed

conflict)

Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar

negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara

terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol

Tambahan I tahun 1977.

Page 14: akhirnyaaa

2) Sengketa bersenjata yang bersifat Nasional / non-internasional” (non-international

armed conflict).

Sedangkan sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang

pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil

war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan

melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan

untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-

internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article

Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.

Kemudian selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang

tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Mengapa demikian? Karena tidak semua ‘konflik’ yang

ada diatur dalam Hukum Humaniter walaupun konflik tersebut menggunakan senjata serta

mengakibatkan kerusakan dan kehancuran. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)

Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan

ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis

dan terisolir,  serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan

sengketa bersenjata”.

Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena

jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan

intensitas konflik yang relatif masih rendah.

B.    Saran-saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami

tentang Hukum Humaniter Internasional lebih khusus lagi mengenai jenis-jenis konflik

bersenjata.

Kita sebagai manusia tentu masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling

mengisi kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan.

Page 15: akhirnyaaa

Penulis menyadari bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan sangat terbatas

untuk meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan

pemikiran dari mahasiswa lainnya / pembaca. Karena penulis memahami sebagai seorang

mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Zulkarnain, S.H, M.H & Insarullah, S.H, Buku Ajar Hukum Humaniter dan HAM, Fakultas Hukum Untad, Palu, 2002.

Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H, LLM, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.

ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.

———-, Penghormatan Terhadap Hukum Humaniter Internasional : Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No. 1 tahun 1999, ICRC, 1999.

C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Brig. Jend TNI. (Purn). GPH. Haryo Mataram, S.H, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.

———-, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.

http://cenya95.wordpress.com/2009/01/25/perang-konflik-bersenjata-dan-damai/