Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt...

151
TESIS PEMBERIAN LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH AIDA SETIAWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

description

pemberian alpha lipoic acid

Transcript of Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt...

Page 1: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

TESIS

PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL

MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS

DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN

YANG DIBERI MINYAK JELANTAH

AIDA SETIAWAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

TESIS

PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL

MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS

DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN

YANG DIBERI MINYAK JELANTAH

AIDA SETIAWAN

NIM 1290761036

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL

MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS

DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN

YANG DIBERI MINYAK JELANTAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

AIDA SETIAWAN

NIM 1290761036

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 4: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL : 8 April 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes. Prof.Dr.dr. Wimpie I.Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP : 196105051990022001 NIP : 194612131971071001

Mengetahui

Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Direktur Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.And., FAACS Sp.S (K) NIP : 194612131971071001 NIP : 195902151985102001

Page 5: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

Oleh Panitia Penguji Program Pascasarjana

Universitas Udayana

pada Tanggal : 8 April 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 753/UN.14.4/HK/2014

Tanggal : 21 Maret 2014

Ketua : Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes.

Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS

2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And.

3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK.

4. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH.

Page 6: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan, Bapa yang Maha Baik

atas segala berkat dan karunia-Nya yang luar biasa, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : Pemberian Alpha-lipoic Acid

Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis dan Kadar ALT pada Tikus

Wistar Jantan yang Diberi Minyak Jelantah. Tesis ini disusun guna memenuhi

persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister

Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan

dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,

M.Kes., selaku pebimbing I dan Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,

FAACS., selaku pembimbing II atas bimbingan, perhatian, saran-saran serta

motivasi yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

Perkenankanlah juga penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih

secara tulus kepada :

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas

Udayana yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di

Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Ketua

Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine dan

Pembimbing II, yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, dan saran

yang membangun kepada penulis.

4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And., selaku penguji yang

dengan penuh kesabaran telah memberikan banyak ilmu, dorongan,

Page 7: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

bimbingan, dan masukan yang sangat berharga kepada penulis selama

penyusunan dan penyelesaian tesis ini.

5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., selaku penguji yang telah banyak

memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan ilmiah kepada penulis selama

penelitian dan penyelesaian tesis ini.

6. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH., selaku penguji yang telah banyak

memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan terutama dalam hal penulisan,

penyusunan, dan penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Sukidi dan seluruh staf, dari Laboratorium Animal Unit bagian

Histologi FK Universitas Sebelas Maret, yang telah menyediakan fasilitas

penelitian serta banyak memberikan bantuan dan masukan kepada penulis

dalam menyelesaikan penelitian. Bagian Patologi Klinik FK Universitas

Gajah Mada, atas segala sarana dan bantuan yang diberikan dalam

pelaksanaan penelitian.

8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik yang telah banyak

memberikan ilmu dan bimbingan selama pendidikan, serta seluruh staf

bagian Ilmu Biomedik yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang

telah membantu selama pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis ini.

9. PT. KK Indonesia dan segenap Pimpinan, terutama Dato’ DR. Andrew Ho

dan Bapak Edy, S.E., yang telah memberikan kesempatan untuk

menjalankan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana dan

memberikan dukungan yang luar biasa, baik moral maupun material,

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan

baik.

10. Mamaku terkasih Bernadeth Gow Wen Nio, yang telah mencurahkan

perhatian dan kasih sayang tanpa batas, dan menyertai setiap langkahku

dengan doa dari awal pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.

11. Suamiku tercinta Norman Tjahjanto, yang selalu tulus mencintaiku dan

dengan penuh pengertian mendampingi, menguatkan, dan membantuku

selama pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.

Page 8: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

12. Almarhum Papaku terkasih Yohanes Tio Wan Kie dan Sandra Deviana

keponakanku tersayang, yang kuyakini selalu mencintai, menyertai, dan

mendoakanku dari Surga.

13. Rekan sejawat dan seniorku dr. Novita Ingriani, serta dr. Jessica Tara W.

dan rekan sejawat lainnya, yang telah banyak memberikan dorongan,

masukan, dan saran selama penelitian, penyusunan, dan penyelesaian tesis

ini.

Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka

dari itu penulis ingin menyampaikan permohonan maaf jika masih terdapat

kekurangan dalam tesis ini. Adanya kritik dan saran yang membangun sangat

penulis harapkan. Meski tak sempurna penulis tetap berharap tesis ini dapat

memberikan manfaat, baik bagi penulis pribadi, bagi Program Magister Program

Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, serta bagi

pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Akhir kata, semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa senantiasa

melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah turut

berperan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini. Amin.

Denpasar, April 2014

Penulis

Page 9: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

ABSTRAK

PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT

PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS

WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH

Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik. Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam patogenesis perlemakan hati non alkoholik. Alpha-lipoic Acid (ALA) merupakan antioksidan kuat yang dapat meningkatkan sintesis antioksidan endogen dalam tubuh dan mendaur ulang komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan koenzim Q10. ALA juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki resistensi insulin dan menekan respon inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ALA oral dalam menghambat perlemakan hati non alkoholik yang dilihat dari jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan post-

test only control group design, yang dilaksanakan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Penelitian ini menggunakan 30 (tiga puluh) ekor tikus Wistar jantan yang dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml (aquadest); Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 5,4 mg; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg. Perlakuan diberikan selama 14 hari. Uji perbandingan antar ketiga kelompok sesudah perlakuan dengan menggunakan One Way Anova menunjukkan rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ± 5,547. Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis dan kadar ALT Kelompok P1 dan Kelompok P2 lebih rendah secara bermakna dibandingkan Kelompok P0, sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ALA oral selama 14 hari menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT lebih besar pada Kelompok P2 dibandingkan Kelompok P1. Kata kunci : minyak jelantah, perlemakan hati non alkoholik, Alpha-lipoic Acid, jumlah steatosis, kadar ALT.

Page 10: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

ABSTRACT

ORAL ADMINISTRATION OF ALPHA LIPOIC ACID INHIBITS THE

INCREASE OF STEATOSIS COUNT AND ALT LEVEL IN MALE

WISTAR RATS FED WITH WASTE COOKING OIL

Waste cooking oil as free radicals will cause oxidative stress in the body. Continuous oxidative stress will lead to aging acceleration and cause degenerative and chronic diseases, such as Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Insulin resistance, oxidative stress, inflammation, and the activation of immune system contribute in the pathogenesis of NAFLD. Alpha-lipoic Acid (ALA) is a powerful antioxidant which has the capability to enhance the synthesis of endogenous antioxidants and regenerates other antioxidants such as, vitamin C, vitamin E, and Coenzyme Q10. ALA as a potent antioxidant has been proven to improve insulin resistance and suppress inflammation response. This research was aimed to investigate the effect of oral administration of ALA in inhibiting NAFLD, which was assessed by the steatosis count and alanine aminotransferase (ALT) level in male Wistar rats fed with waste cooking oil. This experimental research applied post-test only control group design, which was conducted in the Animal Unit Laboratory - Histology Department at the University of Sebelas Maret Faculty of Medicine, and Clinical Pathology Department at the University of Gajah Mada Faculty of Medicine. This research was done on 30 male Wistar rats which were divided into three research groups. The first group was the Control Group (P0) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 1 ml placebo (aquadest). The second group was the Treated Group 1 (P1) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 5,4 mg ALA. And the third group was Treated Group 2 (P2) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 10,8 mg ALA. The treatment was conducted for 14 days. Comparison test between the three treated groups by One Way Anova, resulted in the mean steatosis count of the P0 group was 76,70 ± 4,138, the mean steatosis count of the P1 group was 64,30 ± 5,658, and the mean steatosis count of the P2 group was 22,90 ± 5,547. The mean ALT level of the P0 group was 91,40 ± 9,663, the mean ALT level of the P1 group was 75,60 ± 8,529, and the mean ALT level of the P2 group was 62,20 ± 7,269. Comparison test result showed that the mean steatosis count and ALT level of the P1 group and the P2 group were significantly lower than the P0 group, after treated for 14 days (p < 0,05). This study showed that oral administration of ALA for 14 days inhibited the increase of steatosis count and ALT level in male wistar rats fed with waste cooking oil. The inhibition result of steatosis count and ALT level was more significant on the P2 group than the P1 group. Keywords : waste cooking oil, Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD), Alpha-lipoic Acid, steatosis count, alanine aminotransferase (ALT) level.

Page 11: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i

PRASYARAT GELAR...................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI................................................................. iv

UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................. v

ABSTRAK.......................................................................................................... viii

ABSTRACT........................................................................................................ ix

DAFTAR ISI...................................................................................................... x

DAFTAR TABEL.............................................................................................. xvii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xix

DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 8

1.3.1 Tujuan Umum................................................................................. 8

Page 12: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................ 8

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 8

1.4.1 Manfaat Ilmiah................................................................................ 8

1.4.2 Manfaat Praktis............................................................................... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 10

2.1 Penuaan....................................................................................................... 10

2.2 Radikal Bebas............................................................................................. 12

2.2.1 Definisi dan Sifat Radikal Bebas.................................................... 12

2.2.2 Sumber Radikal Bebas.................................................................... 13

2.2.3 Stres Oksidatif................................................................................. 15

2.3 Antioksidan................................................................................................. 15

2.4 Minyak Goreng........................................................................................... 18

2.4.1 Komposisi Minyak Goreng............................................................. 19

2.5 Proses Menggoreng Deep Frying dan Minyak Jelantah............................ 21

2.5.1 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan......... 26

2.6 Hati.............................................................................................................. 29

2.6.1 Fungsi Hati...................................................................................... 29

2.6.2 Histologi dan Fisiologi Hepatosit................................................... 30

2.6.3 Perubahan Regresif Hepatosit......................................................... 33

2.7 Non-alcoholic Fatty Liver Disease atau Penyakit Perlemakan Hati

Page 13: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Non-alkoholik............................................................................................. 35

2.7.1 Faktor Penyebab dan Faktor Resiko NAFLD................................. 36

2.7.2 Patogenesis NAFLD...................................................................... 38

2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD............................. 39

2.7.7.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD.......................... 45

2.7.3 Diagnosis NAFLD.......................................................................... 46

2.7.4 Gambaran Histologis NAFLD........................................................ 49

2.8 Alpha-lipoic Acid (ALA)............................................................................ 51

2.8.1 Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan.......................... 52

2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive

Nitrogen Species................................................................. 54

2.8.1.2 Regenerasi Antioksidan Lain.............................................. 54

2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation............................... 55

2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione............................................... 55

2.8.2 Manfaat Alpha-lipoic Acid.............................................................. 56

2.8.3 Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD....................................... 59

2.8.4 Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran............................ 63

2.8.5 Efek Samping Alpha-lipoic Acid.................................................... 64

2.8.6 Interaksi Obat.................................................................................. 65

2.9 Hewan Coba................................................................................................ 66

2.9.1 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium......................... 68

Page 14: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ................. 69

3.1 Kerangka Berpikir....................................................................................... 69

3.2 Konsep Penelitian....................................................................................... 71

3.3 Hipotesis Penelitian.................................................................................... 71

BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 72

4.1 Rancangan Penelitian.................................................................................. 72

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................... 73

4.2.1 Tempat Penelitian........................................................................... 73

4.2.2 Waktu Penelitian............................................................................. 73

4.3 Penentuan Sumber Data.............................................................................. 74

4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian.............................................................. 74

4.3.2 Penentuan Besar Sampel................................................................. 74

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel.......................................................... 75

4.4 Variabel Penelitian...................................................................................... 76

4.4.1 Klasifikasi Variabel........................................................................ 76

4.4.2 Definisi Operasional Variabel........................................................ 76

4.4.3 Hubungan Antar Variabel............................................................... 78

4.5 Alat dan Bahan Penelitian........................................................................... 78

4.5.1 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian................................... 78

4.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian............................ 79

4.6 Prosedur Penelitian..................................................................................... 80

Page 15: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.1 Penentuan Dosis Minyak Jelantah.................................................. 80

4.6.2 Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid................................................ 80

4.6.3 Penentuan Dosis Plasebo................................................................ 80

4.6.4 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian.................. 81

4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba....................................................... 81

4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba....................................................... 81

4.6.5 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian......................... 82

4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah................................................ 82

4.6.5.2 Pemberian Plasebo.............................................................. 82

4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid.............................................. 82

4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah................................................ 83

4.6.5.5 Pembedahan........................................................................ 83

4.6.6 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian................... 83

4.6.7 Pemeriksaan Kadar ALT................................................................. 84

4.6.8 Pembuatan Sediaan......................................................................... 84

4.6.9 Pengamatan..................................................................................... 87

4.6.10 Alur Penelitian................................................................................ 88

4.6.11 Analisis Data................................................................................... 89

BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................. 90

5.1 Uji Normalitas Data.................................................................................... 90

5.2 Uji Homogenitas Data................................................................................ 91

Page 16: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

5.3 Uji Komparasi............................................................................................ 92

5.3.1 Jumlah Steatosis............................................................................. 92

5.3.2 Kadar ALT...................................................................................... 94

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.............................................. 98

6.1 Subjek Penelitian........................................................................................ 98

6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian.............................................. 98

6.3 Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non

Alkoholik.................................................................................................... 99

6.3.1 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit”................ 100

6.3.2 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit”............. 104

6.4 Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging

Medicine...................................................................................................... 108

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 109

7.1 Simpulan..................................................................................................... 109

7.2 Saran........................................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110

LAMPIRAN........................................................................................................... 120

Page 17: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik.......................... 37

Tabel 5.1. Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar

Kelompok Sesudah Perlakuan............................................................. 91

Tabel 5.2. Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT

Antar Kelompok Sesudah Perlakuan.................................................... 91

Tabel 5.3. Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan............ 92

Tabel 5.4. Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah

Perlakuan...............................................................................................93

Tabel 5.5. Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan..................... 95

Tabel 5.6. Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah

Perlakuan...............................................................................................96

Page 18: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Minyak Jelantah………………............…………….....……..…... 22

Gambar 2.2. Sistem Asinus dan Sistem Lobulus Hati...……………………..... 32

Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Two-Hit” Theory…………………………...... 39

Gambar 2.4. Struktur Alpha-lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid....................... 53

Gambar 3.1. Skema Konsep Penelitian............................................................... 71

Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian.......................................................... 72

Gambar 4.2. Skema Hubungan Antar Variabel................................................... 78

Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian.................................................................... 88

Gambar 5.1. Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok...... 94

Gambar 5.2. Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok............... 97

Page 19: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Ethical Clearance........................................................................... 122

Lampiran 2. Tabel Konversi Perhitungan Dosis................................................. 123

Lampiran 3. Hasil Penghitungan Jumlah Steatosis............................................. 124

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Kadar ALT....................................................... 125

Lampiran 5. Uji Normalitas Data........................................................................ 126

Lampiran 6. Uji One Way Anova........................................................................ 126

Lampiran 7. Foto Hasil Pemeriksaan Histopatologi........................................... 129

Lampiran 8. Foto Pendukung Penelitian............................................................. 132

Page 20: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR SINGKATAN

AAM = Anti-Aging Medicine

ACC = Acetyl CoA Carboxylase

ALA = Alpha-lipoic Acid

ALT = Alanine Aminotransferase

AO = Antioksidan

ApoB-100 = Apoliprotein B-100

AST = Aspartate Transaminase

ATGL = Adipose Triglyceride Lipase

ATP = Adenocine Triphosphate

BB = Berat Badan

BPOM = Badan Pengawasan Obat dan Makanan

CAT = Catalase

ChREBP = Carbohydrate Response Element Binding Protein

CPO = Crude Palm Oil

CPT-1 = Carnitine Palmonitoyl Transferase-1

CT = Computerized Tomography

DGAT-2 = Diacylglycerol O-acyltransferase-2

DHLA = Dihydrolipoic Acid

Page 21: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DM = Diabetes Mellitus

DNA = Deoxyribonucleic Acid

FASN = Fatty Acid Synthase

FFA = Free Fatty Acid

GCL = Gamma-glutamylcysteine Ligase

GPAT-1 = Glycerol-3-phosphate acyltransferase-1

GR = Glutathione Reductase

GSH-Px = Glutathione Peroxydase

HDL = High Density Lipoproteins

HNE = Trans-4-Hydroxy-2-Nonenal

HOCL = Hypochlorous Acid

HSL = Hormone-sensitive Lipase

IL-6 = Interleukin-6

IR = Insulin Receptor

IRS-1 = Insulin Receptor Substrates-1

LDL = Low Density Lipoproteins

LPL = Lipoprotein Lipase

LSD = Least Significant Difference

MDA = Malondialdehyde

MIT = Microsomal TG Transfer Protein

Page 22: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

MRI = Magnetic Resonance Imaging

MS = Multiple Sclerosis

MUFA = Mono-unsaturated Fatty Acids

NAFL = Non-alcoholic Fatty Liver

NAFLD = Non-alcoholic Fatty Liver Disease

NASH = Non-alcohlic Steatohepatitis

NIH = The National Institutes of Health

OLETF = Otsuka Long-Evans Tokushima Fatty

PHNA = Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik

PJK = Penyakit Jantung Koroner

PPAR-� = Peroxisome Proliferator Activated Receptor- �

PPAR-� = Peroxisome Proliferator Activated Receptor- �

PUFA = Poly Unsaturated Fatty Acid

RNA = Ribonucleic Acid

RNS = Reactive Nitrogen Species

ROS = Reactive Oxygen Species

SFA = Saturated Fatty Acid

SIRT = Sirtuin

SOD = Super Oxide Dismutase

SREBP-1 = Sterol Regulatory Element Binding Protein-1

Page 23: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

TG = Trigliserida

TNF-� = Tumor Necrosis Factor- �

USG = Ultrasonography

VLDL = Very Low Density Lipoprotein

Page 24: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan adalah sebuah proses yang pasti terjadi, namun laju proses

penuaan dapat berbeda-beda pada setiap orang. Banyak faktor yang menyebabkan

dan mempengaruhi laju penuaan itu sendiri. Dengan mengetahui penyebabnya,

maka dapat dilakukan berbagai upaya berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk

menghambat atau memperlambat proses penuaan, sehingga seseorang dapat

menua dengan kualitas hidup yang baik.

Penuaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor-faktor itu secara

garis besar dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal misalnya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolasi,

metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Contoh faktor

eksternal misalnya gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan

salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Salah satu teori tentang radikal bebas dikemukakan Goldman dan Klantz

(2003), bahwa penimbunan radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang

pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian sel dalam tubuh.

Radikal bebas dapat berasal dari dalam dan luar tubuh.

Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, misalnya akibat proses

respirasi sel, proses metabolisme, proses inflamasi, sedangkan yang berasal dari

luar, misalnya polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar

Page 25: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun pestisida, minyak

goreng jelantah, dan masih banyak lagi yang lainnya (Pham-Huy et al., 2008).

Masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menyukai makanan yang

digoreng (Oeij et al., 2007). Salah satu proses menggoreng makanan yang paling

sering dilakukan adalah deep frying. Deep frying adalah cara memasak atau

memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak,

berulang , dan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC, (Sartika, 2009; Ghidurus et al.,

2010). Selama proses deep frying terjadi berbagai reaksi degradasi, yaitu

hidrolisis, oksidasi termal, dan polimerisasi minyak goreng. Minyak jelantah

adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses

menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi (Fransiska, 2010; Wahab et al.,

2011). Indikator paling mudah untuk mengetahui minyak jelantah adalah

warnanya coklat tua sampai hitam (Rahayu, 2007).

Minyak yang telah rusak dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan

efek negatif pada tekstur, rasa dan gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga

berdampak buruk bagi kesehatan (Khomsan, 2003). Minyak jelantah sebagai

radikal bebas dapat memicu terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh, maka

konsumsi minyak jelantah dapat menimbulkan kerusakan DNA, protein,

peroksidasi lipid, dan kerusakan membran sel. Stres oksidatif yang berlangsung

terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbul penyakit-

penyakit yang bersifat kronis dan degeneratif (Dorffman et al., 2009).

Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan minyak jelantah sebagai

radikal bebas adalah perlemakan hati non alkoholik atau Nonalcoholic Fatty Liver

Page 26: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Disease (Murray, 2003; Dabhi et al., 2008). Nonalcoholic Fatty Liver Disease

(NAFLD) mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis sederhana

(perlemakan hati atau fatty liver), Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH), fibrosis,

hingga sirosis hati (Tacer and Rozman, 2011).

Beberapa dekade belakangan ini prevalensi penyakit perlemakan hati non-

alkoholik di seluruh dunia meningkat dengan pesat. Di Indonesia sampai saat ini

belum ada data prevalensi NAFLD pada populasi umum. Namun, penelitian Hasan

et al. (2002) pada populasi urban di Jakarta dengan USG hati didapatkan

prevalensi NAFLD sekitar 30%. Di RSUP Kariadi Semarang dengan pemeriksaan

USG hati pada tahun 2005-2009 didapatkan peningkatan kasus perlemakan hati

dari tahun ketahun, masing-masing pertahun adalah 4%, 4.5%, 5%, 6% dan 7%

(Hasan et al., 2002). Resistensi insulin adalah faktor penting yang mendasari

NAFLD, maka seiring dengan meningkatnya prevalensi dan insiden obesitas dan

sindrom metabolik, prevalensi dan insiden NAFLD pun semakin meningkat

(Nurman and Huang, 2007).

Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkoholik

memerlukan bukti adanya perubahan perlemakan pada hati (steatosis) tanpa

adanya riwayat konsumsi alkohol berlebihan. NAFLD adalah suatu kelainan hati

dimana lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak (Amarapurkar, 2010). Batasan

konsumsi alkohol yang masih diijinkan dalam NAFLD yaitu 140 g etanol/minggu

untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007).

NAFLD merupakan penyebab paling sering dari peningkatan kadar

alanine aminotransferase (ALT) persisten yang tidak jelas penyebabnya (Sanyal,

Page 27: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2002; Anania and Parekh, 2007). ALT dianggap lebih spesifik daripada AST

karena ALT paling banyak ditemukan di dalam hati, sedangkan AST juga dapat

ditemukan di jantung, otot rangka, otak dan ginjal (Maulida, 2010; Raharjo and

Jusup, 2011). Pada umumnya, peningkatan ALT pada NAFLD tidak melebihi 5

kali batas atas nilai normal (Nurman and Huang, 2007). Namun, pemeriksaan

laboratorium tidak dapat secara akurat membedakan steatosis dengan

steatohepatitis. Biopsi hati masih menjadi standar emas untuk diagnosis dan

penentuan prognosis NAFLD (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012).

Walaupun kasus NAFLD terus berkembang pesat selama beberapa dekade

belakangan, terapi yang ditujukan untuk mengobati atau mencegah terjadinya

penyakit ini masih sangat terbatas. Hingga saat ini, belum ada uji klinis besar yang

mampu menunjukkan keefektivan dalam mengubah perjalanan alami NAFLD.

(Anania and Parekh, 2007).

Berdasarkan pemahaman yang ada tentang patogenesis NAFLD, terapi-

terapi baru ditargetkan pada pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan

perbaikan resistensi insulin. Modifikasi gaya hidup dan penurunan berat badan

melalui pengurangan asupan kalori atau peningkatan aktivitas fisik telah

dibuktikan dapat membantu memperbaiki resistensi insulin (Anania and Parekh,

2007). Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa obat-obat penurun

lipid, insulin-sensitizing agents, cytoprotective agents, dan antioksidan tampak

menjanjikan (Collantes et al., 2004).

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan

mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,

Page 28: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

protein dan lemak (Halliwell and Gutteridge, 2007). Secara alami, tubuh memiliki

sistem pertahanan untuk menghadapi serangan radikal bebas dengan mengaktifkan

kinerja antioksidan endogen yang diproduksi oleh tubuh. Antioksidan tersebut

meliputi enzim Superoxide Dismutase (SOD), katalase, metionin reduktase dan

glutathione peroxidase (GSH-Px), dan glutathione reductase. Seluruh antioksidan

endogen tersebut berupa enzim dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan

senyawa-senyawa radikal bebas hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari

luar tubuh, maka antioksidan endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan

enzimatis (Lingga, 2012).

Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh.

Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak ikan,

hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C, vitamin E),

mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha-lipoic Acid

(ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002).

Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki

kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini

memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun

hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di

dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi

ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam regenerasi

antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan glutathione. ALA juga

melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal, dan merkuri (Mason,

2001; Kim et al., 2013).

Page 29: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

ALA dalam sediaan oral dapat diserap dengan cepat dan baik, dan tingkat

toksisitasnya rendah. Karena keuntungan-keuntungan ini, ALA mendapatkan

perhatian yang lebih sebagai agen terapeutik yang sangat potensial dalam berbagai

kondisi klinis yang berhubungan dengan kerusakan yang disebabkan radikal bebas

(Lingga, 2012).

Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam

NAFLD. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat telah ditunjukkan dapat

memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi (Higdon, 2006;

Jung et al., 2012) Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD

melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan

steatosis, stres oksidatif, aktivasi sistem imun, dan inflamasi di hati (Jung et al.,

2012).

ALA dapat menurunkan ekspresi gen-gen hepatik yang terkait dengan

metabolisme lipid seperti Sterol Regulatory Element Binding Protein-1, Fatty

Acid Synthase dan Acetyl CoA Carboxylase, dan meningkatkan ekspresi GLUT-4

di dalam hati tikus OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan meningkat dan

penanda peroksidasi lipid seperti 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang

diberi ALA (Finlay et al., 2012; Jung et al., 2012). ALA juga menurunkan

ekspresi sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-6, IL-1 dan TNF-� (Shay et al., 2009;

Jung et al., 2012).

Manfaat ALA dalam terapi NAFLD telah diketahui memberikan efek yang

menguntungkan (Jung et al., 2012). Namun, penelitian yang membuktikan

keefektivan tersebut masih sangat terbatas dan pada umumnya menggunakan dosis

Page 30: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

besar yang melebihi anjuran, sedangkan terdapat bukti penelitian yang

menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi jangka panjang dapat

memediasi terjadinya kerusakan oksidatif (Shay et al., 2009).

Manfaat ALA dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat

paparan minyak jelantah masih belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengaruh pemberian ALA dalam

menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat paparan minyak jelantah.

Dalam penelitian ini digunakan dosis ALA 300 mg/hari dan 600 mg/hari yang

sesuai dengan batas dosis anjuran (Mason, 2001; Higdon, 2006).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan jumlah

steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah?

2. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan kadar

alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak

jelantah?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah : untuk mengetahui pengaruh

pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam menghambat perlemakan hati non-

alkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.

Page 31: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam

menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang

diberi minyak jelantah.

2. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam

menghambat peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus

Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Ilmiah

1. Mengkonfirmasi dan menguatkan teori dalam tatalaksana perlemakan hati

non-alkoholik.

2. Mengkonfirmasi pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat

perlemakan hati non-alkoholik yang diakibatkan oleh paparan minyak

jelantah.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut untuk

mengetahui manfaat pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat

perlemakan hati non-alkoholik pada manusia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Mengetahui cara-cara yang paling baik dalam menghambat perlemakan

hati non-alkoholik, yaitu dengan pemberian Alpha-lipoic Acid oral, setelah ALA

melalui tahap uji klinis pada manusia, sehingga dapat dijadikan acuan bagi

Page 32: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

masyarakat dalam memilih tatalaksana. Karena seperti yang telah diketahui,

sebagian besar masyarakat pasti menggunakan dan mengkonsumsi minyak

jelantah dalam kehidupan sehari-hari, dan akibatnya risiko terjadinya perlemakan

hati non-alkoholik sangat besar.

Page 33: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Penuaan atau aging, dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi

fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan

tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau, 2010). Pada

umumnya, orang menganggap menjadi tua adalah suatu kemutlakan yang memang

harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul akibat penuaan

harus di alami (Pangkahila, 2011).

Saat ini, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran semakin berkembang

dengan ditemukannya Anti-Aging Medicine (AAM). Anti-Aging Medicine adalah

bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan,

pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai disfungsi, kelainan

dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk

memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan

lagi suatu keadaan normal yang tidak terhindarkan, namun penuaan dapat

diperlakukan seperti suatu penyakit yang dapat dan harus dicegah, diobati dan

bahkan dikembalikan ke keadaan semula. AAM secara progresif berupaya

mengatasi proses penuaan agar keluhan, disfungsi, atau penyakit tidak muncul,

sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup

dipertahankan (Pangkahila, 2011). �

Page 34: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses

penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kematian.

Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor

eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang,

proses glikolasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen.

Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak

sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila,

2011).

Ada beberapa teori yang juga dapat menjelaskan mengapa manusia

mengalami proses penuaan. Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu teori “pakai dan rusak” (wear and tear theory) dan

teori program. Teori “pakai dan rusak” meliputi teori kerusakan DNA, glikosilasi,

dan radikal bebas, sedangkan teori program meliputi teori terbatasnya replikasi

sel, proses imun, dan teori hormon (Pangkahila, 2011).

Menurut teori “pakai dan rusak,” tubuh dan selnya menjadi rusak karena

terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Penyalahgunaan organ tubuh

membuat kerusakan menjadi lebih cepat. Fungsi organ tubuh seperti hati,

lambung, ginjal, kulit, dan yang lain menurun karena toksin di dalam makanan

dan lingkungan, konsumsi berlebihan dari lemak, gula, kafein, alkohol, dan

nikotin, karena paparan sinar ultraviolet, serta karena stres fisik dan emosional

(Pangkahila, 2011).

Dengan mengetahui penyebabnya, maka dapat dilakukan berbagai upaya

berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk menghambat atau memperlambat

Page 35: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

proses penuaan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses

penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup

sehat meliputi olahraga teratur, makanan sehat dan cukup, pengendalian stress,

pemeriksaaan kesehatan berkala sebagai kontrol kesehatan, serta menggunakan

obat dan suplemen sesuai petunjuk ahli. Penggunaan suplemen yang tepat dan

pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan dan

berbagai fungsi organ tubuh yang menurun, sehingga usia harapan hidup lebih

panjang disertai dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011).

Namun, terdapat pula hambatan dalam upaya menghambat proses

penuaan, antara lain disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat, pengetahuan

yang rendah, dan budaya yang tidak benar. Pengetahuan yang rendah

menimbulkan banyak masalah yang menyebabkan upaya menghambat proses

penuaan tidak dipahami sehingga tidak dilakukan dalam hidup sehari-hari.

Pengetahuan yang rendah menyebabkan orang melakukan atau mengonsumsi

sesuatu yang sebenarnya tidak sehat, tidak bermanfaat, bahkan merugikan

(Pangkahila, 2011).

2.2 Radikal Bebas

2.2.1 Definisi dan Sifat Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang

tidak berpasangan. Radikal bebas juga dapat diartikan sebagai molekul yang

dihasilkan selama terjadi metabolisme seluler normal, seperti radikal superoksida,

hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2011).

Page 36: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Radikal bebas bersifat tidak stabil dan memiliki reaktifitas yang tinggi

karena kecenderungannya menarik elektron dan mengubah suatu molekul menjadi

suatu radikal baru oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada

molekul tersebut (Pham-Huy et al., 2008). Peristiwa ini memutus reaksi rantai

karena molekul yang baru yang tidak stabil mencoba mengganti elektronnya yang

hilang, dengan mengambil dari dekatnya dan demikian seterusnya (Pangkahila,

2011).

2.2.2 Sumber Radikal Bebas

Setiap saat tubuh terpapar oleh radikal bebas, baik yang dihasilkan sendiri

oleh tubuh, dari makanan yang dikonsumsi, dan dari lingkungan sekitar. Radikal

bebas yang dihasilkan oleh tubuh secara alami disebut radikal bebas endogen,

sedangkan yang berasal dari luar tubuh disebut radikal bebas eksogen (Lingga,

2012). Adapun sumber radikal bebas antara lain (Pham-Huy et al., 2008) :

1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat

dari berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari

proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi

sel, proses pencernaan, dan proses metabolisme aerobik normal. Radikal bebas

ini dikenal sebagai senyawa oksigen reaktif atau Reactive Oxygen Species

(ROS). Di dalam tubuh, ROS diproduksi oleh mitokondria, membran plasma,

lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel (Pham-Huy et al., 2008). Yang

termasuk ROS adalah singlet oxygen, anion superoksida, hidrogen peroksida,

Page 37: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

radikal hidroksil, radikal peroksida dan lain sebagainya (Bickers and Athar,

2006; Halliwell and Gutteridge, 2007).

2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari

bermacam-macam proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi

oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya

adalah proses inflamasi dan iskemia.

3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, yang berasal dari polutan seperti

asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari (sinar UV),

makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun, pestisida, minyak goreng

jelantah dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun

dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan.

Radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke

tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen lemak,

protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan dengan proses

penuaan (Moini et al., 2002). Dalam keadaan normal tubuh kita memiliki

mekanisme pertahanan terhadap perusakan oleh radikal bebas yang beragam,

efisien dan tersebar di berbagai tempat dalam sel dan dikenal sebagai antioksidan

endogen. Menurut konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal

baru dapat terjadi bila kemampuan mekanisme pertahanan antioksidan tubuh

sudah dilampaui atau menurun (Halliwell and Gutteridge, 2007).

Page 38: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.2.3 Stres Oksidatif

Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi

radikal bebas dan antioksidan. Pada usia muda, keseimbangan antara radikal bebas

dan pertahanan antioksidan berfungsi dengan baik, seiring dengan pertambahan

usia, keseimbangan tersebut terganggu. Kelebihan radikal bebas akan bereaksi

dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga terjadi kerusakan sel atau

jaringan. Stres oksidatif yang diinduksi oleh radikal bebas telah dikaitkan dengan

beberapa penyakit seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, iskemia,

proses penuaan dan penyakit neurodegeneratif (Parkinson, Alzheimer) (Moini et

al., 2002; Pangkahila, 2007; Arief, 2009; Dhibi et.al., 2011). Stres oksidatif saat

ini juga dipercaya mejadi salah satu faktor penting dalam terjadinya NAFLD

(Dhibi et al., 2011).

2.3 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan

mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,

protein dan lemak dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki

radikal bebas sehingga menjadi stabil dan menghambat terjadinya reaksi berantai

pembentukan radikal bebas baru (Halliwell and Gutteridge, 2007). Dalam

pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron,

sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan adalah semua senyawa yang

dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-

protein pengikat logam (Pangkahila, 2011).

Page 39: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Secara alami, tubuh memiliki sistem pertahanan untuk menghadapi

serangan radikal bebas dengan mengaktifkan kinerja antioksidan endogen yang

diproduksi oleh tubuh. Antioksidan endogen disebut juga sebagai antioksidan

primer. Antioksidan tersebut meliputi enzim Superoksida Dismutase (SOD),

katalase, metionin reduktase dan glutathione peroksidase (GSH-Px), dan

glutathione reduktase (GR). Seluruh antioksidan endogen tersebut berupa enzim

dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan senyawa-senyawa radikal bebas

hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari luar tubuh, maka antioksidan

endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan enzimatis (Lingga, 2012).

Sedangkan antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar

tubuh. Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak

ikan, hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C,

vitamin E), mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha

Lipoic Acid (ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002). Masing-

masing antioksidan memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda bergantung

jenisnya. Berikut pengelompokan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya

(Tandon, 2005; Ardhie, 2011; Lingga, 2012) :

1. Antioksidan Primer

Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal bebas dengan mendonasi satu

elektronnya. Ada tiga macam antioksidan primer, yaitu enzim superoksida

dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH-Px), dan katalase. Akibat

kehilangan satu elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas

yang baru. Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil dan lebih lemah, yang

Page 40: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

selanjutnya akan dinetralisir oleh AO lain seperti vitamin C, vitamin E, Alpha-

lipoic Acid (ALA), Co-Q10, flavonoid, asam urat, bilirubin (Moini et al.,

2002).

2. Antioksidan Sekunder

Antioksidan ini bekerja dengan mengikat logam transisi pemicu ROS dan

selanjutnya menyingkirkannya. Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan

sekunder adalah : Alpha-lipoic Acid (ALA), transferin, laktoferin,

seruloplasmin dan albumin.

3. Antioksidan Tersier

Antioksidan ini berfungsi memperbaiki sel dan jaringan yang rusak akibat

radikal bebas. Menumpuknya biomolekul yang telah rusak dapat menimbulkan

kerusakan sel sekitarnya dan menimbulkan kerusakan DNA. Agar tidak terjadi

kerusakan yang lebih parah seperti terjadinya kerusakan DNA, maka

kerusakan akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfoksida reduktase. Protein

yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid

teroksidasi diproses oleh enzim lipase, peroksidase.

2.4 Minyak Goreng

Beberapa tahun belakangan kontribusi minyak goreng dalam asupan energi

total telah meningkat secara signifikan. Bahan makanan yang digoreng menempati

porsi yang cukup besar dalam menu makanan sehari-hari. Makanan yang digoreng

memang lebih disukai karena rasa, warna, dan teksturnya yang renyah (Marinova

Page 41: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

et al., 2012). Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan

atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar, dan biasanya

digunakan untuk menggoreng bahan makanan (Luciana et al., 2005). Minyak

goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, dan

penambah nilai kalori pangan (Winarno, 2004). Minyak goreng yang beredar di

pasaran umumnya bersumber nabati dan dapat terbuat dari beragam bahan dasar,

seperti kelapa, sawit, kedelai, zaitun, jagung, biji bunga matahari, dan lain

sebagainya (Yustinah, 2009; Ketaren, 2005). Sebagian besar minyak goreng yang

dipasarkan dan umum digunakan di Indonesia adalah minyak kelapa sawit (Oeij et

al., 2007).

Minyak dan lemak yang kita kenal dalam makanan sehari-hari sebagian

besar terdiri dari senyawa yang disebut trigliserida atau triasilgliserol, yang

merupakan ikatan ester antara satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak.

Asam lemak disusun oleh rangkaian karbon, yang merupakan unit pembangun dan

memberi sifat khas untuk setiap lemak. Ikatan antar karbon yang satu dengan yang

lainnya pada asam lemak dapat berupa ikatan jenuh (tunggal) dan dapat pula

berupa ikatan tidak jenuh (rangkap) (Ketaren, 2005).

Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada

rangkaian karbonnya. Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen

asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia,

dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Selain komponen asam

lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam

lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan

Page 42: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak

goreng, yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan. Minyak yang

baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak

dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah satunya adalah

minyak nabati seperti minyak sawit (Stier, 2003).

2.4.1 Komposisi Minyak Goreng

Semua minyak tersusun atas unit-unit asam lemak. Tidak ada satu pun

minyak atau lemak tersusun atas satu jenis asam lemak, jadi selalu terdiri dari

campuran beberapa asam lemak. Proporsi campuran perbedaan asam-asam lemak

tersebut menyebabkan lemak dapat berbentuk cair atau padat, bersifat sehat atau

membahayakan kesehatan, stabilitas terhadap pemanasan, tahan simpan, atau

mudah tengik. Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur

molekulnya, minyak dibedakan menjadi (Ketaren, 2005) :

a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids).

Merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai

hidrokarbonnya, bersifat stabil, tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi

asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak

goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat

dan asam kaprat.

b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty

acids/MUFA) ataupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids/PUFA).

Page 43: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap yang

mudah terurai dan bereaksi pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak

jumlah ikatan rangkap itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi atau

mudah berubah menjadi asam lemak jenuh. Minyak nabati umumnya

mengandung asam-asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat,

asam linolenat, dan asam arakidonat (Winarno, 2004).

c. Minyak dengan asam lemak trans (Trans Fatty Acids)

Merupakan asam lemak yang memiliki satu atau ikatan atom karbon rangkap

pada rantai hidrokarbonnya namun bukan dalam konfigurasi cis, melainkan

konfigurasi trans. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh

daripada asam lemak tak jenuh. Asam lemak trans banyak terdapat pada

lemak hewan, margarin, mentega, minyak terhidrogenasi, dan terbentuk dari

proses penggorengan. Minyak goreng yang masih segar mengandung asam

lemak dengan struktur cis jauh lebih banyak dibandingkan asam lemak dengan

struktur trans. Namun setelah minyak digunakan untuk menggoreng dengan

suhu tinggi serta mengalami kontak dengan oksigen, struktur cis akan berubah

menjadi struktur trans (Dhaka et al., 2011).

Minyak goreng sawit memiliki karakteristik pada komponen asam lemak

utama penyusunnya. Jika dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak sawit

mengandung lemak tak jenuh dalam jumlah yang lebih tinggi. Minyak sawit

mengandung sekitar 45,5% asam lemak jenuh (yang didominasi asam lemak

palmitat) dan sekitar 54,1% asam lemak tidak jenuh (yang didominasi asam lemak

oleat / omega-9). Minyak kelapa mengandung 80% asam lemak jenuh dan 20%

Page 44: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

asam lemak tidak jenuh (Sartika, 2009; Yustinah, 2009). Rendahnya lemak jenuh

dalam minyak sawit disebabkan karena minyak sawit mengalami proses

penyaringan sebanyak dua kali (pengambilan lapisan lemak jenuh) menyebabkan

kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi (Khomsan, 2003).

Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak lebih

mudah rusak oleh proses menggoreng (deep frying), karena selama proses ini

minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi. Akibat

pemanasan tinggi dan berulang-ulang maka ikatan rangkap asam lemak tak jenuh

akan putus dan terbentuk lemak jenuh. Adanya kontak dengan oksigen dari udara

luar juga memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Sartika, 2009;

Ketaren, 2005). Minyak yang telah rusak tidak hanya memberikan efek negatif

bagi gizi dan kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa makanan

yang dihasilkan (Khomsan, 2003).

2.5 Proses Menggoreng (Deep Frying) dan Minyak Jelantah

Proses menggoreng atau deep frying dapat didefinisikan sebagai cara

memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang

banyak (sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak)

dan dengan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC (Ketaren, 2005; Sartika, 2009;

Ghidurus et al., 2010). Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata

memerlukan waktu 8 menit untuk matang (Hartono, 2011). Sedangkan minyak

jelantah adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses

menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi, dan telah mengalami perubahan

Page 45: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

baik secara fisik atau kimia yaitu dengan adanya perubahan warna dari bening

menjadi berwarna gelap dan berbau tengik, serta secara kimiawi telah mengalami

perubahan reaksi hidrolisis, oksidasi, dan polimerasi termal (Gambar 2.1)

(Fransiska, 2010; Wahab et al., 2011).

Gambar 2.1. Minyak Jelantah (Andriana, 2013)

Proses deep frying yang disertai paparan udara sekitar menyebabkan

terjadinya berbagai reaksi-reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi dari

molekul triasilgliserol. Produk-produk dekomposisi akan terbentuk akibat reaksi-

reaksi tersebut dan produk-produk ini tidak hanya mempengaruhi kualitas

makanan tetapi juga dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia, misalnya

peroksida, keton, aldehid, polimer, dan trans-fatty acids. (Ketaren, 2005; Oeij et

al., 2007; Farag et al., 2010; Marinova et al., 2012).

Reaksi hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak yang mengandung

komponen asam lemak rantai pendek dan tak jenuh, daripada asam lemak rantai

panjang dan jenuh karena asam lemak rantai pendek dan tak jenuh bersifat lebih

larut dalam air. Bahan pangan yang digoreng akan menghasilkan air dan uap air.

Air dan uap air akan menghidrolisis trigliserida pada suhu tinggi sehingga

menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) (Warner,

Page 46: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2002). Jumlah FFA semakin meningkat dengan lama waktu proses penggorengan.

Pada saat akumulasi FFA berada dalam jumlah yang signifikan, akan terbentuk

asap yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng menurun. (Sartika,

2009).

Proses oksidasi disebabkan keberadaan oksigen yang bereaksi dengan

minyak atau lemak. Reaksi oksidasi tidak hanya terjadi saat proses penggorengan,

namun ternyata juga dapat terjadi selama masa penyimpanan. Reaksi oksidasi

dapat terjadi melalui dua jenis mekanisme, yaitu auto-oksidasi dan foto-oksidasi.

(Azeredo et al., 2004). Kedua jenis reaksi oksidasi ini menghasilkan produk reaksi

primer, yaitu hidroperoksida. Hidroperoksida merupakan produk primer dari

oksidasi minyak. Komponen hidroperoksida ini bersifat sangat tidak stabil dan

sangat sensitif terhadap suhu minyak. Hal ini karena hidroperoksida merupakan

radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Tetapi senyawa ini bukan penyebab

terjadinya perubahan rasa dan bau yang berkaitan dengan ketengikan (oxidative

rancidity). Karena sifatnya yang tidak stabil, hidroperoksida akan segera

terdekomposisi dan menghasilkan produk reaksi sekunder, misalnya senyawa

aldehid (akrolein) dan keton, yang merupakan penyebab adanya ketengikan

(oxidative rancidity). Akrolein juga menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan

pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng

berulang kali (Ketaren, 2005; Rahayu, 2007).

Oksidasi juga dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi

mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum

sepenuhnya diketahui. Diperkirakan bahwa senyawa berwarna pada bahan yang

Page 47: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

digoreng terlarut dalam minyak dan menyebabkan terbentuknya warna gelap

(Yustinah, 2009). Proses oksidasi ini akan terus berlangsung hingga pada batas

tertentu mengakibatkan minyak menjadi tidak layak lagi digunakan dan kemudian

disebut sebagai minyak jelantah (Herawati and Akhlus, 2006; Rukmini, 2007).

Reaksi polimerisasi yang terjadi pada minyak dalam proses penggorengan

menghasilkan komponen polar nonvolatil dimer dan polimer. Polimer dapat

terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida. Penggorengan berulang dan suhu

yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer (Warner, 2002). Minyak yang

telah mengalami polimerisasi ditandai dengan peningkatan viskositas dan

penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi akan mempengaruhi kualitas minyak

goreng, menghasilkan warna coklat pada minyak dan terbentuk bahan berupa gum

yang mengendap, bau, serta rasa yang tidak enak (Romaria, 2008).

Pemanasan minyak goreng pada suhu tinggi dapat menyebabkan

pemutusan pada ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh.

Semakin banyak kandungan asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam suatu

minyak goreng akan menyebabkan semakin banyak pemutusan ikatan rangkap

yang terjadi, dan akibatnya semakin banyak menghasilkan asam lemak jenuh

(Ketaren, 2005; Fransiska, 2010).

Wahab et al. (2011) juga menyebutkan bahwa semakin sering minyak

goreng digunakan, maka semakin tinggi kandungan asam lemak jenuhnya.

Kandungan lemak jenuh pada minyak yang belum dipakai sebesar (45,96%),

satu kali pakai (46,09%), dua kali pakai (46,18%), tiga kali pemakaian sebesar

(46,32%). Selain itu semakin sering minyak goreng tersebut digunakan maka

Page 48: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

kandungan asam lemak tidak jenuhnya semakin berkurang. Kandungan asam

lemak tidak jenuh pada minyak yang belum dipakai (53,95%), satu kali pakai

(53,78%), dua kali pakai (53,69%), tiga kali pemakaian sebesar (53,58%), dan

seterusnya (Wahab et al., 2011).

Proses menggoreng dengan cara deep frying dan pengulangannya juga

dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi geometri dan posisi struktur molekul

lemak (Ketaren, 2005). Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis

(struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier)

yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat

menjadi asam elaidat. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh

daripada asam lemak tak jenuh (Ketaren, 2005).

Suatu penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan oleh Sartika

(2009) untuk mengetahui pengaruh menggoreng dengan cara deep frying (suhu

tinggi dan jangka waktu lama) serta berulang terhadap pembentukan asam lemak

trans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak

terkandung pada minyak goreng yang belum digunakan adalah asam oleat (bentuk

cis). Asam lemak elaidat (bentuk trans) baru terbentuk setelah proses menggoreng

(deep frying) pengulangan kedua, dan kadarnya meningkat sejalan dengan

pengulangan penggunaan minyak (Sartika, 2009).

Kerusakan minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis minyak,

mutu minyak goreng segar serta perlakuan terhadap minyak ulangan. Pemanasan

minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama beberapa hari

menyebabkan destruksi dan dekomposisi makin cepat. Minyak yang telah rusak

Page 49: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan efek negatif pada tekstur, rasa dan

gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan

(Khomsan, 2003).

2.5.1 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan

Pemakaian minyak jelantah sampai dua kali masih dapat ditoleransi,

namun jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi

kehitam-hitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan

(Ketaren, 2005). Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang dapat

membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan

akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses

tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun,

sehingga membahayakan tubuh (Mulyati and Meilina, 2007; Pangkahila, 2011).

Minyak jelantah, khususnya yang dihasilkan dari proses deep frying

merupakan radikal bebas dari luar tubuh (eksogen), yang dapat memicu terjadinya

stres oksidatif di dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan karbohidrat, protein,

peroksidasi lipid, kerusakan membran sel, hingga kerusakan DNA (Deoxyribo-

Nucleic Acid) (Reynertson, 2007; Dorffman et al., 2009; Arief, 2009). Stres

oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan

menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis, hingga

kanker (Koch et al., 2007). Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh

radikal bebas minyak jelantah adalah perlemakan hati non alkoholik (Murray et

al., 2003; Dhabi et al., 2008).

Page 50: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM)

menemukan bahwa penggunaan minyak jelantah sebagai minyak goreng

berdampak pada kesehatan. Pemanasan minyak goreng berkali - kali (lebih dari

dua kali) pada suhu tinggi akan membentuk asam lemak trans. Asam lemak trans

dapat meningkatkan kadar Low Density Lipoproteins (LDL), trigliserida, dan

insulin, serta menurunkan High Density Lipoproteins (HDL) di dalam darah

(Dhaka et al., 2011; Wahab et al., 2011). Sehingga peningkatan asupan asam

lemak trans terkait dengan insidensi coronary atherosclerotic disease (Sartika,

2009; Machado et al., 2010).

Beberapa studi pada tikus juga menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi

lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan,

lemak abdominal, lemak subkutaneus, dan terutama akumulasi trigliserida pada

organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam

lemak bebas. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik,

steatosis hepatik, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal

lemak) (Kavanagh et al., 2007; Dorfman et al., 2009).

Percobaan yang dilakukan Machado et al. (2010), dengan menggunakan

tikus percobaan yang diberi diet asam lemak trans, PUFA dan SFA. Ditemukan

bahwa asam lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom

metabolik pada manusia. Asupan asam lemak trans menginduksi akumulasi lemak

di hati yang kemudian memicu terjadinya NASH. Berat hati, konsentrasi

trigliserida plasma, dan glukosa darah tikus yang diberi diet asam lemak trans

lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol.

Page 51: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Asupan minyak yang teroksidasi menyebabkan tingkat peroksidasi lipid

yang lebih tinggi dan konsentrasi antioksidan plasma yang lebih rendah bila

dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi minyak segar. Dari penelitian

yang dilakukan Dhibi et al. (2011), ditemukan adanya suatu korelasi negatif antara

kadar asam lemak trans di dalam diet dan aktivitas SOD, katalase, dan glutahtione

di dalam hati tikus, yang menimbulkan dugaan bahwa peningkatan konsumsi asam

lemak trans terkait dengan penurunan efisiensi sistem antioksidan enzimatik dan

oleh karena itu, menyebabkan terjadinya stres oksidatif di dalam hati tikus. Hasil

histopatologi hati dari kelompok tikus yang diberi diet tinggi asam lemak trans

menunjukkan vakuolisasi sitoplasma tingkat sedang hingga parah, hipertrofi

hepatosit, hepatocyte ballooning, dan nekroinflamasi. Perubahan-perubahan

tersebut mengindikasikan bahwa asam lemak trans memicu terjadinya NAFLD

dan/atau mengakselerasi progresi penyakit tersebut (Dhibi et al., 2011).

2.6 Hati

Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia, beratnya sekitar

1500 g, terletak di kuadran kanan atas abdomen, dan dilindungi oleh peritoneum

viseral. Secara anatomis, hati terbagi menjadi empat lobus dengan lobus utamanya

adalah lobus dekstra dan lobus sinistra, sedangkan lobus yang lain adalah lobus

kuadratus dan lobus kaudatus (Allen, 2002). Konsistensi hati lunak dan dalam

keadaan sehat hati berwarna cokelat kemerahan karena kaya akan suplai darah

yang mengalir. Hati mendapatkan suplai darah dari dua sumber, yang pertama

adalah arteri hepatika yang menghantarkan darah kaya oksigen dari sirkulasi, yang

Page 52: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

kedua adalah vena porta yang menghantarkan darah yang telah mengalami

deoksigenisasi, namun mengandung nutrisi yang berasal dari usus halus (Gray and

Lawrence, 2000).

2.6.1 Fungsi Hati

Hati memegang berbagai fungsi dalam tubuh manusia, yang meliputi

fungsi regulasi, sintesis, dan sekresi (Price and Wilson, 2006). Hati mempunyai

fungsi menyimpan karbohidrat sebagai glikogen. Hati bertanggung jawab dalam

sintesis dan pemecahan lipid dari trigliserid. Hati juga sangat aktif dalam sintesis

dan daur ulang protein. Secara keseluruhan, hati menjalankan fungsi metabolik

seperti metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, untuk mempertahankan

glukosa darah dan homeostasis energi (Gray and Lawrence, 2000; Price and

Wilson, 2006). Banyak substansi-substansi penting seperti faktor-faktor

pembekuan darah, transporter proteins, kolesterol, dan komponen-komponen

empedu disintesis oleh hati. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat

disimpan di dalam parenkim hati (Gray and Lawrence, 2000).

Hati juga berperan dalam metabolisme hemoglobin, obat-obatan dan

steroid, detoksifikasi racun dan hidrogen peroksida; hematopoeisis pada saat

embrio dan fagositosis benda asing. Proses detoksifikasi dilakukan oleh enzim-

enzim di hati terhadap zat-zat beracun, melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau

konjugasi zat-zat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis

tidak aktif. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat disimpan di dalam

parenkim hati (Price and Wilson, 2006; Samuelson, 2007).

Page 53: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.6.2 Histologi dan Fisiologi Hepatosit

Lobus hati tersusun dari sel parenkimal yang disebut hepatosit dan sel non

parenkimal. Hepatosit meliputi 80% dari seluruh sel hati dan melakukan sebagian

besar kemampuan sintesis dan metabolisme, sisanya berupa sel Kupffer yang

merupakan makrofag, sel epithelial sistem empedu, dan sel Ito (Stellate cell)

(Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002). Hepatosit berbentuk polihedral dengan

inti bulat, terletak di tengah dan berwarna lebih gelap, dengan jumlah nukleolus

satu atau lebih dan kromatin yang menyebar. Sitoplasma pada hepatosit agak

berbutir, organel-organel yang mengisi sel membuat sitoplasma tampak

bergranula (Ganong, 2002).

Dengan bantuan miskroskop, dapat dilihat bahwa lobus hati tersusun atas

unit-unit mikroskopis yang disebut lobulus yang secara umum terlihat berbentuk

heksagonal (segi enam). Setiap lobus hati dikelilingi oleh beberapa portal triad,

yang masing-masing berisi satu cabang vena porta, satu cabang arteri hepatika,

dan satu saluran/duktus empedu. Vena sentralis terletak di bagian tengah lobulus

dan sel-sel hati tersusun dalam barisan memanjang (radier) dari vena sentralis

hingga ke tepi lobulus. Barisan sel hati dipisahkan satu sama lain oleh sinusoid

yang berisi darah. Dinding sinusoid dibentuk oleh sel endothelial. Beberapa sel

Kupfer juga terdapat di sepanjang ruang sinusoid. Sel-sel hati sendiri dipisahkan

dari sinusoid oleh suatu celah yang disebut space of Disse. Di celah Disse ini

terdapat Stellate cell. Stellate cell berperan dalam pembentukan fibrosis hepar

dengan cara sintesis kolagen. Hepatosit juga terletak dekat dengan kanalikuli

dimana empedu disekresikan ke dalamnya. Empedu yang diproduksi oleh

Page 54: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

hepatosit mengalir melalui kanal kecil yang disebut kanalikuli empedu. Pada hati

yang normal, sangat sedikit jaringan ikat atau sel-sel inflamasi yang dapat terlihat,

kecuali beberapa limfosit pada saluran portal (Allen, 2002).

Konsep terbaru dari unit fungsional hati terkecil adalah asinus hati yang

terdiri atas sel-sel parenkim sekitar arteriol, venul dan duktus biliaris terminal,

serta terletak di antara dua vena sentralis. Konsep asinus ini dapat menjelaskan

gangguan patofisiologis penyakit hepar. Tiga zona dalam asinus hepar adalah

zona-1, daerah elipsoid yang mengelilingi arteriol hepatika dan venul porta

terminal; zona-2 di tengah; zona-3, dekat vena sentralis (Gambar 2.2) (Gray and

Lawrence, 2000).

Gambar 2.2. A. Sistem asinus hati yang terdiri dari 3 zona, yaitu zona 1, zona 2,

dan

zona 3. B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri

hepatika, dan duktus empedu (Gray and Lawrence, 2000)

Aktivitas metabolik sel-sel tersebut juga berbeda. Zona-1 banyak dijumpai

enzim metabolisme oksidatif, glikogenesis, dan glukoneogenesis, zona-3 banyak

Page 55: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

terdapat enzim glikolisis, lipogenesis, dan metabolisme obat. Sedangkan pada

zona-2 memiliki zona campuran. Sel-sel hepatosit dalam ketiga zona secara

intrinsik memiliki potensi yang sama untuk mengubah struktur dan fungsinya

sebagai respons atas perubahan lingkungan-mikronya. Susunan zona ini

bertanggung jawab dalam kerusakan selektif hepatosit akibat berbagai agen toksik

atau berbagai keadaan penyakit. Pada keadaan toksik, penimbunan lipid dimulai

dari sel-sel hepatosit zona-3. Zona-3 juga merupakan daerah yang paling mudah

terkena cedera akibat insufisiensi vaskuler sehingga terjadi nekrosis sel hepar

(Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002).

2.6.3 Perubahan Regresif Hepatosit

Akibat keterlibatannya dalam semua proses di hati, hepatosit merupakan

sel yang paling rentan terhadap anoksia, berbagai racun dan karsinogen yang

menyebabkan pola karakteristik dari degenerasi di asinus hati (Gray and

Lawrence, 2000). Beberapa jenis kerusakan hepatosit yang dapat terjadi antara

lain, degenerasi sel berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak, fibrosis,

serta kematian sel (Henryk and Peter, 2010).

1. Degenerasi Hidropis

Degenerasi hidropis sering disebut dengan degenerasi vakuoler, degenerasi

balloning, atau perubahan hidropis. Degenerasi vakuoler menunjukkan

perubahan hepatoseluler berat tapi reversible, terjadi akibat sitoplasma sel

terisi cairan. Secara mikroskopis sel hepatosit tampak membengkak akibat

akumulasi air berlebihan (edema intraselular), sitoplasma tampak pucat

Page 56: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

bergranul, inti tetap berada di tengah sel dan kurang jelas, kadang terbentuk

vakuolisasi beraspek keruh, dan akibat pembengkakan hepatosit sinusoid

menyempit bila dibandingkan dengan keadaan normal (Henryk and Peter,

2010).

2. Degenerasi Lemak

Degenerasi lemak sering disebut dengan steatosis, fatty degeneration, fatty

change, atau fatty infiltration. Istilah degenerasi lemak digunakan bila di

dalam sel terjadi akumulasi abnormal lemak (trigliserida) akibat gangguan

metabolisme lemak. Pada degenerasi ini, terbentuk vakuol-vakuol lemak

intrasitoplasmik. Mula-mula tampak di bawah mikroskop cahaya sebagai

vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti. Pada proses selanjutnya,

vakuola melebar membentuk ruang jernih yang mendesak inti ke tepi sel.

Degenerasi ini masih bersifat reversible, namun menunjukkan adanya

gangguan berat dan dapat merupakan permulaan terjadinya nekrosis, fibrosis,

dan sirosis (Mulyono et al., 2009).

Akumulasi lemak dalam hepatosit biasanya terjadi bila terlalu banyak

asupan asam lemak bebas ke dalam hepatosit, terjadi peningkatan sintesis lipid

di dalam hepatosit akibat toksin yang dapat merusak jalur metabolisme lemak,

penurunan mobilisasi lipid keluar dari hepatosit, hipoksia kronis yang

menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, penurunan penggunaan

lipid dalam hepatosit, dan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan

peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa ke hepatosit seperti pada

Page 57: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

saat kelaparan, diabetes melitus dan alkoholik kronis (Henryk and Peter,

2010).

3. Nekrosis (Kematian Sel)

Nekrosis adalah perubahan morfologi (kematian) sel hepar. Nekrosis sel

disebabkan oleh dua hal yaitu proses digesti oleh enzim sel dan denaturasi

protein. Tahapan nekrosis berkaitan dengan perubahan inti. Perubahan itu

adalah piknosis, karioreksis dan kariolisis. Pada piknosis, inti sel menyusut

dan tampak adanya ”awan gelap”. ”Awan gelap” ini dikarenakan kromatin

yang memadat. Pada karioreksis, inti pecah menjadi beberapa bagian,

sedangkan pada saat kariolisis inti menjadi hilang (lisis) sehingga pada

pengamatan tampak sebagai sel yang kosong (Mangunsudirdjo et al., 2001).

Nekrosis hati terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Nekrosis

di zona hepatosit akan menyebabkan dilatasi lobulus hati dan kongesti pada

sinusoid (Henryk and Peter, 2010).

4. Fibrosis

Fibrosis terjadi sebagai respon terhadap radang atau akibat langsung toksin.

Sel Stellate berperan dalam pembentukan fibrosis hepar dengan cara sintesis

kolagen. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis.

5. Sirosis

Sirosis adalah pengerasan pada hati yang terjadi karena kehilangan parenkim

hati disusul pembentukan jaringan parut secara luas, disamping regenerasi dan

hiperplasia, sehingga struktur hati berubah. Sirosis hati dicirikan dengan

Page 58: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

permukaan nodular, granular, irregular, konsistensi keras, fibrosis difus dan

biasanya sulit diinsisi (Henryk and Peter, 2010).

2.7 Non-alcoholic Fatty Liver Diseases atau Penyakit Perlemakan Hati

Non-Alkoholik

Dalam bahasa Indonesia Non-alcoholic Fatty Liver Diseases (NAFLD)

diterjemahkan sebagai penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PHNA)

(Lesmana, 2007; Sari, 2012). Definisi NAFLD adalah suatu kelainan hati dimana

lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak atau lebih dari 5% berat hati

disebabkan oleh lemak, namun kelainan ini terjadi pada individu bukan peminum

alkohol (Amarapurkar, 2010). Oleh karena itu definisi NAFLD juga memerlukan

tidak adanya riwayat konsumsi alkohol yang signifikan. The National Institutes of

Health (NIH) yang telah meneliti NAFLD telah mendefinisikan jumlah konsumsi

alkohol yang masih diijinkan untuk NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria

dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007).

Spektrum patologis penyakit perlemakan hati non-alkoholik bervariasi

yang meliputi perlemakan hati sederhana (simple steatosis), perlemakan hati

dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis (NASH), sampai dengan

fibrosis dan sirosis (Zimmet et al., 2005; Dowman et al., 2011). Dari mereka yang

mengalami NASH, sekitar 20% akan berkembang menjadi sirosis (Anania and

Parekh, 2007). Oleh karena itu, saat ini NAFLD dipertimbangkan sebagai suatu

penyebab umum dari penyakit hati kronis, peningkatan indikasi transplantasi hati

Page 59: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dan penyebab potensial untuk hepatocellular carcinoma (Anania and Parekh,

2007; Wei et al., 2008).

2.7.1 Faktor Penyebab dan Faktor Risiko NAFLD

Telah diketahui banyak kondisi atau penyakit lain yang dapat

menyebabkan steatosis tanpa atau dengan hepatitis (steatohepatitis), selain akibat

alkohol dan non-alkohol. Dikenal empat golongan penyebab penyakit tersebut,

yaitu nutrisi, obat-obatan, kelainan metabolik atau genetik, dan penyebab lain-lain

(Angulo, 2002).

Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik

(Angulo, 2002)

Nutrisi Obat Metabolik atau

Genetik

Lain-lain

Protein Kalori

Malnutrisi (PKM)

Kelaparan

Nutrisi Parenteral

Total

Berat badan turun

sangat cepat

Bypass surgery

untuk kegemukan

Glukokortikoid

Estrogen sintetis

Calcium-blocker

Amidarone

Tamoxifen

Tetrasiklin

Metotreksat

Perheksilin-

maleat

Valproic acid

Kokain

Obat anti virus :

zidofudin,

didanosin,

fialudin

Lipodistrofi

Disbetalipoproteinemia

Penyakit Weber-

Christian

Peyakit Wolman

Cholesterol ester-

storage

Perlemakan hati akut

pada kehamilan

Peyakit

peradangan usus

Divertikulosis

usus halus +

bacterial growth

Infeksi HIV

Hepatotoksik

lingkungan :

fosfor,

petrokimia, jamur

beracun, bahan

organik

Toksin Bacillus

cereus

Page 60: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Terdapat juga beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam

patogenesis penyakit perlemakan hati non-alkoholik. Faktor risiko yang telah

diketahui adalah resistensi insulin, obesitas, Diabetes Mellitus tipe 2,

hiperglikemia, hipertrigliseridemia, dan sindrom metabolik (Anania and Parekh,

2007). Resistensi insulin sekarang diketahui sebagai faktor resiko paling umum

untuk NAFLD. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan

sindrom metabolik memiliki resiko NAFLD 4-11 kali lipat lebih tinggi (Anania

and Parekh, 2007).

Prevalensi NAFLD sangat bervariasi tergantung dari umur, jenis kelamin,

dan status berat badan. Penelitian sebelum 1990 menunjukkan bahwa NAFLD

lebih sering terjadi pada perempuan (53-85%), akan tetapi penelitian belakangan

ini menunjukkan frekuensi yang sama pada laki-laki dan perempuan, yakni sekitar

50% (Lesmana, 2007). Menurut Sanyal (2002) prevalensi NAFLD meningkat

sesuai dengan peningkatan umur, dengan angka tertinggi pada usia 40-49 tahun.

Faktor lingkungan, faktor kepekaan seseorang atau faktor genetik

tampaknya termasuk faktor yang mempengaruhi keparahan NAFLD

(Amarapurkar, 2010; Sari, 2012). Faktor lingkungan antara lain diet (asupan

lemak berlebihan, kekurangan asupan anti-oksidan), aktifitas fisik/olahraga, dan

kemungkinan pertumbuhan bakteri usus berlebihan, dianggap berperan dalam

patogenesis NAFLD (Petta et al., 2009; Sari, 2012). Beberapa penelitian pada

kelompok keluarga (family clustering) dan variasi inter-etnis tentang kepekaan

seseorang menunjukkan bahwa faktor genetik juga berperan penting dalam

menentukan risiko perkembangan memberatnya NAFLD (Sari, 2012).

Page 61: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.7.2 Patogenesis NAFLD

Patogenesis yang mendasari terjadinya steatosis dan progresinya menjadi

NASH belum sepenuhnya dimengerti dan mungkin diakibatkan oleh sejumlah

faktor dalam tingkat genetik. Hipotesis yang umum diterima adalah “two-hit

theory” yang dikemukakan oleh Day dan James pada tahun 1998 (Gambar 2.2).

“First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati atau

steatosis, kemudian terjadi peningkatan sensitifitas hati terhadap “second hit”,

yaitu peristiwa yang menyebabkan terjadinya inflamasi (steatohepatitis) dan

kerusakan sel hati, yang selanjutnya dapat mengakibatkan fibrosis hati (Reddy and

Rao, 2006; Petta et al., 2009; Sari, 2012).

Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Two-Hit Theory” (Anstee and Goldin, 2006)

2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD

“First hit” adalah akumulasi lemak (trigliserida) di dalam hepatosit yang

didasari perubahan metabolik yang terkait dengan obesitas sentral dan resistensi

insulin (Hübscher, 2006; Reddy and Rao, 2006; Petta et al., 2009). Hati

Page 62: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

memegang peran penting dalam metabolisme lipid dan karbohidrat di dalam

tubuh. Akumulasi lemak, yang bermanifestasi sebagai steatosis, terjadi bila

terdapat ketidakseseimbangan antara hantaran atau sintesis asam lemak dengan

kapasitas hati dalam mengoksidasinya atau mengeluarkannya. Berdasarkan hal

tersebut, ada empat mekanisme yang mendasari terjadinya akumulasi lemak

(Anstee and Goldin; 2006) :

1. Peningkatan pengiriman dan uptake asam lemak ke hepatosit, yang dapat

cetuskan oleh asupan lemak diet yang berlebihan atau peningkatan pelepasan

asam lemak dari jaringan adiposa

Beberapa keadaan meningkatkan pengiriman asam lemak ke hati.

Peningkatan lemak eksogen, seperti konsumsi diet tinggi lemak akan

meningkatkan kandungan TG hati. Lewat suatu penelitian dengan

menggunakan mencit, peningkatan kandungan TG hepatik bahkan dapat

terjadi dalam waktu 10 hari setelah pemberian diet tinggi lemak (den-Boer et

al., 2004).

Kandungan TG hepatosit juga diregulasi oleh aktivitas terintegrasi

beberapa molekul selular yang memfasilitasi uptake TG hepatosit, sintesis dan

esterifikasi asam lemak (input) serta oksidasi asam lemak hepatik dan

pengeluaran TG (ouput). Steatosis terjadi ketika input melebihi output. Hati

bekerja secara harmonis dengan organ-organ tubuh lain dalam mengatur inter-

organ fatty acid/TG partitioning (den-Boer et al., 2004; Anstee and Goldin,

2006; Henryk and Peter, 2010).

Page 63: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Dalam keadaan makan (absorptive state), TG dari makanan

ditransportasikan oleh darah ke organ-organ perifer dalam bentuk kilomikron.

Dengan bantuan Lipoprotein Lipase (LPL) kilomikron akan didegradasi

hingga melepaskan asam lemak. Melalui kerja dari LPL, TG yang berasal dari

asam lemak terutama akan di ambil oleh jaringan perifer (jaringan adiposa dan

otot rangka). Kerja LPL distimulasi oleh insulin, maka aktivitas LPL

meningkat disaat kadar insulin tinggi (den-Boer et al., 2004; Anstee and

Goldin, 2006).

Dalam keadaan puasa (post-absorptive/fasting state), metabolisme TG

pada seluruh bagian tubuh berbeda dengan saat keadaan makan. TG yang

terkandung di dalam jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis

menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim hormone-sensitive lipase (HSL).

Karena HSL dihambat oleh insulin, aktivitas HSL meningkat disaat kadar

insulin rendah (keadaan puasa) (Anstee and Goldin, 2006).

Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat

lipolisis di jaringan adiposa dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke

dalam aliran darah dan hati. Di hati, hiperinsulinemia dan hiperglisemia

menginduksi sintesis asam lemak dan kolesterol, yang kemudian

mengakibatkan peningkatan sintesis trigliserid dan sekresi Very Low-Density

Lipoprotein (VLDL). Bila sintesis TG lebih cepat dari sekresi VLDL, produksi

berlebih dari TG akan di akumulasi dan menyebabkan terjadinya perlemakan

hati (Tacer and Rozman, 2011).

2. Peningkatan sintesis asam lemak dan trigliserida secara de novo di hati

Page 64: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Peningkatan lipogenesis de novo juga berkontribusi terhadap akumulasi

lemak hepatik dan memberikan kontribusi sekitar 25% untuk triasilgliserol di

hati pada pasien dengan NAFLD bila dibandingkan dengan kelompok kontrol,

dimana lipogenesis de novo hanya memberikan kontribusi sebesar 5% (Anania

and Parekh, 2007).

Sintesis asam lemak de novo di dalam hati diregulasi secara independen

oleh insulin dan glukosa. Kemampuan insulin dalam mengaktivasi terjadinya

lipogenesis dimediasi secara transkripsional oleh Sterol Regulatory Element–

Binding Protein-1c (SREBP-1c) (Browning and Horton, 2004; Reddy and

Rao, 2006). Di dalam inti sel, SREBP-1c secara transkripsional mengaktivasi

seluruh gen yang diperlukan dalam lipogenesis. Pengeluaran berlebihan

SREBP-1c pada hati tikus transgenik terbukti memicu terjadinya perlemakan

hati klasik akibat peningkatan proses lipogenesis. Serupa dengan hal tersebut,

kadar glukosa yang meningkat juga mengaktifkan sintesis asam lemak de novo

di dalam hati melalui Carbohydrate Response Element-Binding Protein

(ChREBP) (Browning and Horton, 2004). ChREBP memicu transkripsi gen-

gen yang terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis, yang pada akhirnya

menyebabkan konversi kelebihan glukosa menjadi asam lemak. Meskipun

pengaktifan ChREBP lebih penting dalam keadaan hiperglikemi, namun

aktivasinya juga berkontribusi dalam akumulasi lemak di hati (Anania and

Parekh, 2007).

Suatu penelitian dengan model hewan percobaan dengan resistensi

insulin dan steatosis hepatik, menemukan bahwa faktor transkripsi Peroxisome

Page 65: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Proliferator Activated Receptor-� (PPAR-�) berperan dalam induksi gen-gen

adipogenik di hati dan pembentukan steatosis hepatik (Reddy and Rao, 2006).

3. Penurunan sintesis Very Low-Density Lipoprotein (VLDL) dan pengeluaran

trigliserida dari hati

Apolipoprotein B-100 (ApoB-100) merupakan suatu protein berukuran

besar (512 kilodaltons) yang terlibat dalam transportasi trigliserida dan

kolesterol dari hati ke jaringan perifer. Lipid sebagian besar dikirim keluar

dari hati dalam bentuk VLDL, suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB-

100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid. Perubahan lipid

menjadi apolipoprotein B-100 diperantarai oleh protein Microsomal TG

Transfer Protein (MTP) di dalam retikulum endoplasma dan merupakan

tahapan yang terbatas di dalam penyusunan lipoprotein VLDL. Produksi

ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin, oleh

karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100

hepatosit (Anania and Parekh, 2007).

4. Penurunan pembakaran asam lemak akibat adanya gangguan dalam

mitochondrial �-oxidation di hati

Oksidasi asam lemak dapat terjadi di dalam tiga organel : mitokondria,

peroksisom, dan retikulum endoplasma (mikrosom). �-oksidasi di mitokondria

merupakan jalur utama untuk metabolisme asam lemak dalam kondisi

fisiologis normal. Proses ini dapat terganggu pada beberapa tahap enzimatik

penting. Enzim-enzim yang memediasi proses �-oksidasi di mitokondria

Page 66: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

diregulasi oleh Peroxisome Proliferator Activated Receptor-� (PPAR-�)

(Anstee and Goldin, 2006).

Beta-oksidasi mitokondria juga diregulasi oleh Carnitine Palmonitoyl

Transferase-1 (CPT-1). CPT-1 memediasi transesterifikasi dan pengiriman

asam lemak ke matriks mitokondria. CPT-1 dapat diinhibisi oleh malonyl

CoA, produk intermedia pertama dalam proses sintesis asam lemak, dan oleh

karena itu CPT1 sangat sensitif terhadap efek peningkatan sintesis asam lemak

hepatik. Bila CPT1, dan kapasitas oksidatif mitokondria bekerja secara

berlebihan, jalur oksidasi alternatif di dalam organel subselular lainnya akan

berperan lebih besar dalam mengoksidasi asam lemak (Anstee and Goldin,

2006).

�eta-oksidasi di mitokondria merupakan proses oksidatif dominan

untuk mengolah asam lemak dibawah kondisi fisiologis normal, tapi

sayangnya juga bisa menjadi sumber utama produksi ROS (Browning and

Horton, 2004). Ketika jumlah asam lemak hepatik berlebihan dan terjadi

disfungsi mitokondria, jalur-jalur alternatif di dalam peroksisom dan retikulum

endoplasma (�-oxidation) mengambil peran lebih besar dalam oksidasi asam

lemak hepatik. Jalur-jalur minor fisiologis ini dikatalisasi secara utama oleh

enzim sitokrom P-450 (CYP2E1) dan menghasilkan tambahan ROS yang akan

meningkatkan stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Anstee and Goldin,

2006; Hübscher, 2006).

Page 67: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.7.2.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD

Hipotesis “two hit” menyatakan bahwa, ketika telah terbentuk steatosis,

maka hati akan tersensitisasi, dan akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat

dipresipitasi oleh berbagai macam stimulus. Stres oksidatif diperkirakan

memegang peran kunci dalam “second hit” (Hübscher, 2006).

Oksidasi asam lemak merupakan sumber penting pembentukan ROS

dalam perlemakan hati. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah

penurunan ATP dan nicotinamide dinucleotide, kerusakan DNA, perubahan pada

stabilitas protein, destruksi membran via peroksidasi lipid, dan pelepasan sitokin-

sitokin proinflamasi (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006).

ROS akan menyerang Polyunsaturated Fatty Acids (PUFAs) dan memicu

peroksidasi lipid di dalam sel, yang mengakibatkan pembentukan produk

sampingan aldehid toksik seperti trans-4-Hydroxy-2-Nonenal (HNE) dan

malondialdehyde (MDA) (Browning and Horton, 2004)

Aldehid akan mempengaruhi sintesis nukleotida dan protein, menurunkan

glutathione yang merupakan antioksidan alami, meningkatkan produksi sitokin

proinflamasi NF-�B-dependent (TNF-�, IL-6, IL-1�), mendorong masuknya sel-

sel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel stellate, memicu deposisi

kolagen, fibrosis, dan respon inflamasi. Efek-efek ini memiliki potensi untuk

memicu secara langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis

hati, yang merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004).

Page 68: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.7.3 Diagnosis NAFLD

NAFLD merupakan hasil diagnosis ekslusi yang memerlukan riwayat

medis yang memadai dan gambaran klinis yang mendukung, yang didapat dari

pemeriksaan laboratorium, pencitraan, dan histologi. Pasien yang didiagnosis

menderita NAFLD sebagian besar asimptomatik. Bila ada gejala biasanya tidak

spesifik, meliputi fatigue, malaise, dan adanya rasa nyeri/tidak nyaman pada

abdomen kuadran kanan atas. Hepatomegali menjadi satu-satunya tanda yang

ditemukan pada pemeriksaan fisik lebih dari 75% kasus. (Anania and Parekh,

2007; Lesmana, 2007; Amarapurkar, 2010).

Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkohol memerlukan

bukti adanya perubahan perlemakan pada hati tanpa adanya riwayat konsumsi

alkohol berlebihan. Jumlah konsumsi alkohol yang masih diijinkan untuk

NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk

wanita (Anania and Parekh, 2007)

NAFLD merupakan penyebab peningkatan asimptomatik dari

aminotransferase pada sekitar 42%-90% kasus (Anania and Parekh, 2007).

Pengujian kadar enzim alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase

(AST) sebagai indikasi kerusakan hati sampai saat ini dianggap paling praktis.

ALT dianggap lebih spesifik daripada AST karena ALT paling banyak ditemukan

di dalam hati, sedangkan AST juga dapat ditemukan di jantung, otot rangka, otak

dan ginjal. Penentuan aktivitas ALT juga dianggap sebagai tes yang lebih sensitif

dan spesifik untuk adanya kerusakan hepatoseluler akut. Sedangkan kenaikan

aktivitas AST biasanya lebih tinggi pada kerusakan hati kronik (Maulida, 2010;

Page 69: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Raharjo and Jusup, 2011). Kadar ALT normal adalah 10-35 IU/L, sedangkan AST

berkisar antara 3-83 IU/L (Kee, 2007). Pada umumnya, peningkatan ALT pada

NAFLD tidak melebihi 5 kali batas atas nilai normal. Pada NAFLD kadar AST

juga meningkat, namun peningkatannya tidak setinggi ALT, sehingga rasio AST :

ALT biasanya kurang dari 1 (Nurman and Huang, 2007; Gowda et al., 2009).

Perlu diketahui bahwa pemeriksaan laboratorium tidak dapat secara akurat

membedakan steatosis dengan steatohepatitis, dan NAFLD dengan perlemakan

hati alkoholik. Derajat peningkatan kadar aminotransferase tidak dapat digunakan

sebagai faktor prediksi. Meskipun kadar ALT lebih tinggi dari kadar AST pada

sebagian besar pasien NAFLD, kadar AST dapat lebih tinggi dari kadar ALT pada

kondisi-kondisi tertentu, terutama ketika telah terjadi sirosis. Namun, rasio AST /

ALT hampir tidak pernah > 2 (Sanyal, 2002; Sari, 2012).

Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD

adalah ultrasonography (USG), Computerized Tomography (CT) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan USG hati adalah pilihan pencitraan yang

umum dan paling banyak digunakan dalam praktek klinik dan penelitian di

masyarakat. Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati memberikan gambaran

peningkatan ekogenik difus yang disebut ‘bright liver’ dengan atenuasi posterior

dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal (Sari, 2012). Salah satu keterbatasan

USG adalah hati tidak dapat divisualisasikan dengan baik pada pasien-pasien

dengan obesitas, dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi steatosis ringan yang

mengenai < 33% dari hepatosit dan tidak mampu untuk membedakan subtipe dari

NAFLD (Nurman and Huang, 2007).

Page 70: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak hipodens

dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik terlihat relatif

cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila pemeriksaan CT-scan dengan

injeksi kontras. Pencitraan radiologi noninvasif seperti USG, CT-scan, dan MRI

dapat membantu mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%. Namun, tiga metode

yang paling sering digunakan tersebut telah terbukti tidak satupun dapat

membedakan antara steatosis sederhana dan NASH atau menunjukkan tahap

fibrosis, sehingga dibutuhkan biopsi hati (Sanyal, 2002; Nurman and Huang,

2007; Dabhi et al., 2008).

Hasil histopatologi dari biopsi hati merupakan “gold standard” untuk

diagnosis NAFLD. Biopsi hati adalah satu-satunya metode diagnosis yang dapat

membedakan berbagai spektrum penyakit perlemakan hati non alkoholik, dari

steatosis sederhana, steatohepatitis, dengan dan tanpa fibrosis, hingga sirosis.

Namun hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan antara NAFLD

dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya memiliki gambaran

histologi yang sama (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012).

Namun tindakan biopsi adalah mahal dan invasif dengan mortalitas 0,01%,

komplikasi perdarahan intraperitoneal sebesar 0,3% dari kasus, dan komplikasi

minor seperti nyeri sementara ditemukan pada 20-30% pasien. Oleh karena itu,

biopsi hanya dilakukan bila dianggap memberikan keuntungan dari segi

diagnostik, terapeutik, dan prognostik (Nurman and Huang, 2007).

Page 71: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.7.4 Gambaran Histologis NAFLD

NAFLD secara histologis lebih lanjut dikategorikan menjadi Nonalcoholic

Fatty Liver (NAFL) dan Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH). NAFL

didefinisikan sebagai terjadinya steatosis hepatik tanpa disertai bukti adanya

kerusakan hepatoselular dalam bentuk hepatosit ballooning. NASH didefinisikan

sebagai terjadinya steatosis hepatik dan inflamasi disertai kerusakan hepatosit

ballooning, dengan atau tanpa fibrosis. ((Hübscher, 2006; Chalasani et al., 2012)

Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan suatu

persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis hepatik

merupakan suatu akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di dalam sel

parenkim hati (hepatosit) (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007;

Takahashi et al., 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Gauthier et al. (2006)

pada tikus menunjukkan bahwa akumulasi triasilgliserol di hati secara cepat dan

berlebihan (hingga dua kali lipat) dapat terjadi dalam dua minggu pertama setelah

pemberian diet tinggi lemak. Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan

bahwa steatosis hepatik bahkan dapat terjadi sangat dini, yaitu dalam waktu tiga

hari setelah pemberian diet tinggi lemak (Gauthier et al., 2006).

Steatosis pada hepatosit dibedakan menjadi makrovesikular dan

mikrovesikular. Steatosis makrovesikular ditandai dengan adanya vakuola besar

yang menempati hampir seluruh sitoplasma hepatosit sehingga vakuola tersebut

mendesak nukleus/inti sel hingga ke bagian perifer. Sedangkan steatosis

mikrovesikular ditandai dengan adanya vakuola-vakuola lipid kecil dalam jumlah

banyak di dalam sitoplasma hepatosit, dan nukleus tetap berada di tengah sel.

Page 72: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Biasanya steatosis pada NAFLD merupakan steatosis makrovesikular dan terdapat

pada zona 3 (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007; Takahashi et al.,

2012).

Makrosteatosis yang ditemukan pada tikus yang diberi diet asam lemak

trans terkait dengan resistensi insulin dan peningkatan sintesis asam lemak

hepatik terkait mRNA (SREBP-1c dan PPAR�) dan penurunan MTP mRNA

(Machado et al., 2010).

Sedangkan steatosis mikrovesikular biasanya disebabkan oleh adanya

abnormalitas �-oksidasi asam lemak di mitokondria atau peroksisom, kelainan

genetik atau racun, dan steatosis jenis ini progresivitasnya cenderung cepat dan

lebih parah (Reddy and Rao, 2006; Schiff et al., 2006)

Sedangkan pada NASH, gambaran histologinya meliputi kerusakan

hepatoseluler (lebih dari perubahan steatosis sederhana), inflamasi, dan fibrosis.

Perubahan-perubahan ini juga melibatkan zona acinar 3 secara predominan.

Kriteria diagnostik yang paling penting untuk membedakan steatohepatitis dari

steatosis sederhana adalah keberadaan hepatocyte ballooning. Pembentukan

hepatocyte ballooning pada hepatosit biasanya terkait dengan pembentukan

Mallory’s hyaline atau Mallory’s bodies. Mallory bodies pada NAFLD seringkali

kecil, sulit terbentuk dan sulit dideteksi dengan pewarnaan biasa (Hübscher, 2006;

Takahashi et al., 2012).

Inflamasi pada NASH biasanya masih ringan dan terdiri dari campuran

sejumlah kecil limfosit, makrofag, dan neutrofil. Neutrofil mendominasi infiltrasi

area yang mengalami steatosis. Seiring dengan perjalanan penyakit, steatohepatitis

Page 73: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dapat menjadi lebih berat dan diikuti dengan fibrosis perisinusoidal, yang

kemudian dapat meluas dan menjadi sirosis (Takahashi et al., 2012).

Bila NASH berkembang menjadi sirosis, derajat steatosis berkurang dan

bahkan dapat menghilang. Demikian pula tanda-tanda yang lain dari NASH bisa

berkurang dan pemeriksaan histologi hati dapat hanya menunjukkan bland

inactive cirrhosis. Keadaan ini mengarah ke sirosis kriptogenik (Takahashi et al.,

2012).

2.8. Alpha-lipoic Acid (ALA)

Alpha-lipoic Acid (ALA), atau 1,2-dithiolane-3-pentanoic acid,

merupakan komponen dithiol yang secara alami disintesis secara de novo di dalam

mitokondria dari asam oktanoat. ALA merupakan suatu kofaktor untuk enzim �-

ketoacid dehydrogenase di mitokondria, dan oleh karena itu memegang peran

penting dalam metabolisme energi (Shay et al., 2009).

ALA merupakan salah satu unsur bahan makanan non-esensial yang

mengandung sulfur, terdapat pada berbagai makanan alami, antara lain bayam,

brokoli, ragi, daging, dan jeroan (ginjal, hati) hewan mamalia (Mason, 2001;

Lingga, 2012). Namun, ALA terdapat dalam bahan makanan alami dengan kadar

yang sangat rendah (Higdon, 2006), sehingga biasanya jumlah ALA yang

dikonsumsi sangat kurang, dibandingkan dengan kandungan ALA dalam

suplemen (Shay et al., 2009).

ALA tersusun atas suatu karbon asimetris, yang berarti bahwa ada dua

isomer optikal dari LA yang bentuknya saling menyerupai satu sama lain seperti

Page 74: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

bayangan di cermin (R-LA dan S-LA). Hanya isomer-R yang disintesis secara

endogen dan terikat dengan protein : R-LA terdapat juga pada sumber makanan

alami. Suplemen ALA merupakan free-ALA dan dapat mengandung R-LA atau

campuran antara R-LA dan S-LA dengan perbandingan 50/50 (Higdon, 2006).

Banyak bukti yang bermunculan bahwa suplementasi ALA secara oral

memicu suatu kesatuan aktivitas biokimiawi yang unik dengan nilai

farmakoterapeutik potensial untuk mengatasi gangguan-gangguan patofisiologis.

Konsumsi ALA dari makanan belum ditemukan dapat menyebabkan peningkatan

free-ALA dalam plasma atau sel-sel manusia. Sebaliknya, pemberian suplemen

ALA oral dapat diabsorpsi lebih baik dan cepat, sehingga menyebabkan

peningkatan kadar free-ALA dalam plasma dan sel yang signifikan. Penelitian

farmakokinetik pada manusia menemukan bahwa sekitar 30%-40% dosis oral

ALA (campuran 50/50 R-LA dan S-LA) diabsorpsi tubuh. Kadar ALA dalam

plasma biasanya memuncak dalam waktu satu jam atau kurang (Higdon, 2006).

ALA serta metabolitnya dieksresikan terutama dalam urin (Shay et al., 2009).

2.8.1 Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan

Reaktivitas kimiawi ALA terutama ditentukan oleh cincin dithiolane-nya.

ALA memiliki potensial redoks yang rendah dan sangat mudah memberikan

elektronnya ke senyawa lain, sehingga di dalam sel ALA akan cepat direduksi.

Bentuk tereduksinya dikenal sebagai dihydrolipoic acid (DHLA) (Gambar 2.4).

Bentuk teroksidasi (ALA) dan bentuk tereduksi (DHLA) menciptakan pasangan

redoks yang potensial. Ada bukti menyebutkan baik ALA maupun DHLA mampu

Page 75: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

menangkal berbagai macam ROS, serta memiliki kemampuan yang unik dalam

menetralisir radikal bebas secara langsung, tanpa turut menjadi radikal bebas juga

dalam prosesnya (Moini et al., 2002; Shay et al., 2009; Kim et al., 2013).

Gambar 2.4. Struktur Alpha-Lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid (Shay et al.,

2009)

Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki

kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini

memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun

hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di

dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi

ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam daur ulang

komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan

glutathione. ALA juga melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal,

dan merkuri (Mason, 2001; Shay et al., 2009).

Page 76: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species

Kadar ROS dan RNS yang tinggi diketahui dapat merusak sel-sel (DNA,

protein, dan lipid) dan dikaitkan dengan berbagai macam patogenesis dan progresi

penyakit kronis. Baik ALA dan DHLA dapat secara langsung menetralisir ROS

dan RNS seperti hypochlorous acid (HOCL), radikal hidroksil, radikal peroksil,

superoksida dan peroksinitrit (Moini et al., 2002; Higdon, 2006).

2.8.1.2 Reregenerasi Antioksidan Lain

Ketika suatu antioksidan menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu

akan mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS

lainnya sampai antioksidan itu direduksi. DHLA merupakan suatu agen pereduksi

potensial dengan kapasitas untuk mereduksi bentuk teroksidasi dari beberapa

antioksidan penting lainnya, termasuk vitamin C dan glutathione. DHLA juga

dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari alpha-tocopherol (the alpha-tocopheroxyl

radical), secara langsung mapun tidak langsung, dengan mereduksi bentuk

teroksidasi vitamin C (dehidroaskorbat) kembali menjadi asam askorbat, yang

kemudian dapat mereduksi alpha-tocopheroxyl radical. Coenzyme Q10, suatu

komponen penting dari rantai transpor elektron di mitokondria, juga memiliki

aktivitas sebagai antioksidan. DHLA dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari

coenzyme Q10, yang kemudian mereduksi alpha-tocopheroxyl radical (Higdon,

2006; Shay et al., 2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).

Page 77: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation

Alpha-lipoic Acid juga bekerja sebagai pengikat logam (metal chelation).

Ion-ion redox-active metal, seperti free iron dan tembaga, dapat mendorong

kerusakan oksidatif dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan radikal bebas

yang sangat reaktif. Suatu komponen yang dapat mengikat ion-ion logam bebas

maka dapat mencegah reaksi-reaksi tersebut menghasilkan radikal bebas,

memberikan harapan dalam terapi penyakit-penyakit neurodegeneratif dan

penyakit kronis lainnya dimana kerusakan oksidatif yang diinduksi logam

memegang peran patogeniknya. Baik ALA atau DHLA secara efektif akan

mengkelasi dan membuang logam transisi secara in vivo (Shay et al., 2009).

2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione

Glutathione adalah suatu antioksidan intraselular yang memegang peran

penting dalam detoksifikasi dan eliminasi karsinogen-karsinogen dan toksin-

toksin potensial. Penelitian dengan menggunakan tikus telah menemukan bahwa

sintesis glutathione dan kadarnya di jaringan lebih rendah secara signifikan pada

hewan yang tua dibandingkan dengan hewan yang lebih muda, sehingga

menyebabkan penurunan kemampuan merespon kerusakan akibat stres oksidatif

atau paparan toksin. ALA diketahui dapat meningkatkan kadar glutathione dalam

sel-sel yang dikultur dan dalam jaringan hewan yang diberi ALA (Higdon, 2006;

Shay et al., 2009).

Page 78: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2.8.2 Manfaat Alpha-lipoic Acid

Sebagai antioksidan, ALA merupakan antioksidan universal yang juga

dikenal sebagai “king of antioxidant.” ALA dapat meredam radikal bebas yang

dapat merusak sampai ke tingkat seluler sehingga proses penuaan dan penyakit-

penyakit degeneratif kronis tersebut dapat dicegah. Suplementasi ALA bermanfaat

untuk memperbaiki sistem imun bagi penderita hipertensi, PJK, neuropati

diabetes, gangguan hati, katarak, gangguan fungsi pankreas, gangguan fungsi

otak, serta mencegah penuaan dini (Lingga, 2012).

Pemberian ALA telah terbukti memberikan efek yang positif untuk kasus

stres oksidatif seperti ischemia-reperfusion injury, diabetes (baik ALA dan DHLA

menunjukkan adanya ikatan hidrofobik pada protein seperti albumin, sehingga

dapat mencegah terjadinya reaksi glikasi), pembentukan katarak, degenerasi

syaraf, dan radiation injury (Higdon, 2006).

ALA telah lama dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi

inflamasi yang diinduksi sitokin. Inflamasi terkait stres oksidatif memerlukan

aktivasi NF�B, suatu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen

yang terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel endotel. ALA telah dikenal sebagai

inhibitor untuk NF�B. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ALA

menurunkan ekspresi dari vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan

adhesi endotelial ke monosit, dan menghambat ekspresi MMP yang tergantung

NF�B, pada percobaan in vitro (Shay et al., 2009).

Uji ISLAND menunjukkan adanya penurunan kadar IL-6 dalam serum

yang signifikan sebesar 15%, setelah pemberian suplementasi ALA selama empat

Page 79: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

minggu (300 mg/hari). Penemuan ini penting untuk kesehatan manusia karena IL-

6 dikenal sebagai penanda inflamasi dalam plak aterosklerotik koroner, dan juga

meregulasi ekspresi sitokin-sitokin inflamasi lainnya seperti IL-1 dan TNF-�

(Shay et al., 2009).

ALA juga telah dibuktikan dapat menekan ekspresi gen sitokin

proinflamasi, sehingga dapat memperbaiki tanda klinis penuaan kulit (Higdon,

2006; Kim et al., 2007). ALA juga menghambat penuaan yang terjadi akibat

reaksi glikasi antara glukosa-protein, sehingga mengurangi terjadinya kerusakan

kolagen pada kulit (Higdon, 2006). Pada penelitian dengan tikus model Multiple

Sclerosis (MS), pemberian ALA melalui injeksi subkutan juga mengurangi

gejala-gejala klinis penyakit. ALA telah ditemukan dapat menurunkan produksi

sitokin-sitokin proinflamasi dan menstimulasi produksi cyclic AMP dan

pensinyalan sel-sel imun tertentu, yang mungkin dapat memodulasi efek ALA

pada MS (Higdon, 2006).

Pemberian ALA jangka panjang pada tikus OLETF mencegah terjadinya

peningkatan tekanan sistolik, hiperglikemia, hiperinsulinemia, dislipidemia, dan

penanda-penanda stres oksidatif yang terjadi terkait dengan pertambahan usia.

Terapi jangka panjang dengan ALA memperlihatkan adanya perbaikan pada

toleransi glukosa seluruh tubuh dan sensitivitas insulin, begitu pula dengan kerja

insulin pada transportasi glukosa di otot rangka, pada tikus Zucker obes dan

resistensi insulin. Paparan ALA mengaktifkan elemen-elemen penting dalam

insulin signaling pathways, termasuk di dalamnya fosforilasi tirosin dari IR dan

IRS-1, pengaktifan PI3-kinase, dan fosforilasi Akt. Peningkatan kerja insulin

Page 80: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

setelah pemberian ALA akan diikuti dengan penurunan hiperinsulinemia dan

dislipidemia (Henriksen, 2006). ALA juga dapat meningkatkan translokasi

glucose transporters (GLUT4) ke membran sel dan meningkatkan ambilan

glukosa pada sel adiposa dan sel otot yang dikultur (Higdon, 2006; Shay et al.,

2009).

Pemberian ALA intravena dengan dosis 600 mg dapat memperbaiki respon

terhadap endothelium-dependent vasodilator acetylcholine. Dengan menggunakan

USG, pemberian ALA intravena juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki fungsi

endotel pada pasien dengan kadar glukosa darah puasa terganggu atau toleransi

glukosa terganggu. Namun, suplementasi oral ALA dengan dosis 300 mg/hari

selama 4 minggu juga dapat memperbaiki flow-mediated vasodilation hingga 44%

dibandingkan plasebo (Higdon, 2006).

Pemberian ALA dapat membantu untuk penanganan kasus neuritis

perifer. Sebanyak 181 kasus diberikan dosis 600 mg, 1200 mg atau 1800. Setelah

5 minggu, tampak perubahan gejala dan tanda yang terlihat membaik secara

bermakna. Pada penelitian ini, dosis yang terbaik ditoleransi dan tetap

memberikan manfaat adalah 600 mg sekali sehari (Wong, 2007).

Pasien diabetes berisiko tinggi mengalami penyakit mikrovaskular, yang

dapat berkontribusi pada diabetik neuropati. Pada suatu penelitian tidak terkontrol,

suplementasi ALA oral dengan dosis 1.200 mg/hari selama 6 minggu dapat

memperbaiki pengukuran perfusi kapiler pada jari-jari 8 orang pasien DM dengan

neuropati perifer. Hasil penelitian-penelitian yang ada memberikan dugaan bahwa

pengobatan dengan ALA intravena 600 mg/hari selama 3 minggu dapat

Page 81: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

menurunkan gejala-gejala neuropati diabetik perifer secara signifikan. Ada

beberapa bukti juga menunjukkan bahwa pemberian ALA oral menguntungkan

dalam terapi neuropati diabetik perifer (600-1.800 mg/hari) dan cardiovascular

autonomic neuropathy (800 mg/hari ) (Higdon, 2006).

ALA dapat melewati sawar darah otak, dinding pembuluh darah kecil,

struktur sel otak, dan mudah masuk ke dalam jaringan otak. Diperkirakan ALA

dapat melindungi jaringan otak, syaraf, dan mencegah kerusakan otak dari

pengaruh radikal bebas (Wong, 2007). Suatu penelitian tidak terkontrol dan

terbuka dengan 9 orang pasien yang dicurigai menderita penyakit Alzheimer dan

demensia terkait, yang juga mengkonsumsi acetylcholinesterase inhibitors,

melaporkan bahwa pemberian suplementasi ALA per oral dengan dosis 600

mg/hari tampaknya dapat menstabilkan fungsi kognitif selama periode 1 tahun

(Higdon, 2006).

Hoimcuist et al. (2007) menyatakan bahwa penderita Alzheimer sangat

terbantu kesembuhannya dengan mengonsumsi suplemen ALA secara rutin. ALA

sangat efektif mereduksi radikal bebas beta-amiloid yang mengganggu fungsi

neuron serta melemahkan kemampuan berpikir. Dalam penggunaan praktis,

suplementasi ALA bermanfaat bagi penderita demensia dan Alzheimer (Lingga,

2012).

2.8.3 Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD

Resistensi insulin, stres oksidatif, inflamasi, dan aktivasi sistem imun

innate berkontribusi dalam terjadinya NAFLD yang bermanifestasi sebagai

Page 82: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

steatosis dan inflamasi di dalam hati. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat

telah ditunjukkan dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon

inflamasi. Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD melalui

berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan steatosis,

stres oksidatif, aktivasi sistem imun dan inflamasi di hati (Jung et al., 2012).

ALA menurunkan produksi anion superoksida, berat badan dan kadar FFA

di dalam plasma. ALA juga meningkatkan kadar protein PPAR-� hati.

Kemampuan ALA menurunkan FFA dalam plasma tampaknya sebagian di

sebabkan oleh peningkatan pengeluaran PPAR-�, yang ternyata juga memberikan

efek positif terhadap resistensi insulin (El Midaoui et al., 2011). Baru-baru ini

dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi lipid hepatik dan inflamasi

di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom P450-2E1 dan stres pada

retikulum endoplasma (Kim et al., 2013).

Penelitian yang dilakukan Yang et al. (2006) dengan menggunakan tikus

yang diberi diet tinggi lemak dan ALA selama 4 minggu, membuktikan pemberian

ALA memperbaiki kapasitas AO, menurunkan aktivitas LPL, dan lipid dalam

darah secara signifikan (Yang et al., 2006). Pada percobaan lain dengan tikus yang

diberi makanan tinggi lemak dan 10% minyak teroksidasi ada peningkatan

aktivitas SOD, GSH-Px, glutathione reductase, dan glucose-6-phosphate

dehydrogenase. Pemberian ALA dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim-

enzim tersebut. Pemberian minyak yang telah teroksidasi juga menyebabkan

peningkatan produksi radikal oksigen, terbukti dengan adanya peningkatan

Page 83: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

produksi malondialdehyde, dimana efek ini dapat diatasi dengan pemberian ALA

(Zalejska-Fiolka et al., 2010).

Steatosis non-alkoholik juga dapat merupakan komplikasi hati penting dari

obesitas terkait dengan disfungsi mitokondria dan stres oksidatif. ALA dilaporkan

memiliki efek baik untuk fungsi mitokondria dan mengurangi stres oksidatif.

Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek protektif potensial dari suplementasi

ALA terhadap stres oksidatif terkait pola makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa

ALA mencegah akumulasi trigliserid hepatik dan kerusakan oksidatif di hati

melalui inhibisi produksi radikal hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di

mitokondria. ALA mendorong aktivitas SOD dan GSH-Px. ALA juga

menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA memodulasi

pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT) yang berperan

penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi pertahanan antioksidan

(Valdecantos et al., 2012).

Telah disebutkan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya

akumulasi TG di dalam hepatosit adalah peningkatan sintesis asam lemak dan TG

secara de novo akibat peningkatan ekspresi SREBP-1c dan ChREBP, serta gen-

gen lipogenik lainnya. ALA terbukti menekan peningkatan sintesis TG di darah

dan hati dengan jalan menghambat ekspresi gen lipogenik di hati (seperti sn-

glycerol-3-phosphate acyltransferase-1 dan diacylglycerol O-acyltransferase-2),

menurunkan sekresi TG hepatik, dan menstimulasi clearance lipoprotein yang

kaya TG (Butler, et al., 2009). Pemberian ALA ke tikus percobaan yang diberi

diet tinggi fruktosa ditemukan dapat memperbaiki sensitivitas insulin, menjaga

Page 84: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

sistem antioksidan dan menurunkan peroksidasi lipid, menurunkan ekspresi

uncoupling protein 2,, menurunkan ekspresi SREBP-1c dan gen-gen lipogenik

fatty acid synthase serta glycerol-3-phosphate acyltransferase (Castro et al., 2013)

Penelitian dengan menggunakan tikus Otsuka Long-Evans Tokushima

Fatty (OLETF) yang diberi diet disertai ALA dengan dosis 200 mg/kg/hari selama

16 minggu. Hasilnya kadar insulin, FFA, kolesterol total, TG, leptin, IL-6, dan

glukosa di dalam darah menurun. Kadar adiponektin juga meningkat pada tikus

yang diberi ALA. ALA dapat menurunkan ekspresi SREBP-1 dan Acetyl CoA

Carboxylase (ACC), dan meningkatkan ekspresi GLUT-4 di dalam hati tikus

OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan seperti heme oxygenase-1 and Cu/Zn-

Superoxide Dismutase meningkat pada tikus yang diberi ALA. Penanda

peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang diberi ALA.

Protein-protein yang terkait pengaktifan sistem imun innate dan penanda inflamasi

juga menurun (Jung et al., 2012).

Finlay et al. (2012) melakukan percobaan untuk menentukan efek usia

dan suplementasi ALA pada ekspresi gen hepatik, percobaan ini menggunakan

tikus Fischer jantan berusia 3 bulan dan 24 bulan yang diberi ALA dalam diet

selama 2 minggu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian suplementasi

ALA menurunkan transkripsi gen-gen hepatik yang terkait dengan metabolisme

lipid (gen lipogenik), seperti Fatty Acid Synthase (FASN) dan ACC, baik pada

tikus muda maupun tua. Seperti yang telah diketahui, FASN mengkatalisis tahap

akhir biosintesis asam lemak, oleh karena itu dipercaya menjadi penentu utama

kapasitas maksimal hepatik dalam memproduksi asam lemak melalui jalur

Page 85: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

lipogenesis de novo. Telah dibuktikan bahwa ekpresi mRNA FASN pada hati

orang-orang dengan steatosis hepatik lebih tinggi dibandingkan orang normal

(Tacer and Rozman, 2011). Sedangkan ACC diketahui mengubah acetyl-CoA

menjadi malonyl-CoA di dalam siklus Krebs. Peningkatan produksi malonyl-CoA

menyebabkan inhibisi pada CPT-1 (yang memperantarai asam lemak masuk ke

dalam mitokondria untuk di oksidasi) sehingga terjadi penurunan oksidasi asam

lemak (Browning and Horton, 2004).

2.8.4 Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran

Tidak seperti ALA dalam makanan, suplemen ALA terdapat dalam bentuk

bebas, tidak terikat dengan protein. Jumlah ALA yang terdapat dalam suplemen

harian (200-600 mg) lebih besar sekitar 1.000 kali lipat dibandingkan jumlah yang

terkandung dalam makanan. Di Jerman, ALA telah ditetapkan sebagai terapi

neuropati diabetik dan dapat diresepkan oleh dokter. Sebagian besar suplemen

ALA mengandung campuran R-LA dan S-LA (d,l-LA) dengan perbandingan

50/50. Suplemen ALA yang hanya mengandung R-LA biasanya lebih mahal

harganya, dan informasi kemurniannya tidak tersedia. Direkomendasikan untuk

mengkonsumsi ALA dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan atau

2 jam setelah makan), karena konsumsi bersamaan dengan makanan dapat

menurunkan bioavalabilitasnya (Higdon, 2006).

ALA banyak terdapat dalam bentuk sediaan tablet dan kapsul. Dosis yang

biasa digunakan dalam penelitian 150-600 mg/hari, untuk suplemen harian

digunakan dosis 50-300 mg/hari. ALA memiliki LD50 pada dosis 400-500 mg/kg

Page 86: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dengan kategori pemberian dosis tinggi pada dosis 20 mg/kg (Mason, 2001).

LD50 untuk tikus adalah > 2000 mg/KgBB. Pada dosis 2000 mg/KgBB, beberapa

tikus dilaporkan menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kondisi, seperti

sedasi, apatis, piloereksi, postur membungkuk, dan/atau penutupan mata (Shay et

al., 2009)

Penelitian eksperimental maupun uji klinis yang telah dilakukan dengan

pemberian ALA dosis 600 mg pada manusia telah memberikan bukti konsisten

dalam peran terapeutik ALA sebagai AO dalam pengobatan resistensi insulin dan

diabetik polineuropati. Suatu penelitian dengan 72 orang pasien DM tipe 2

menemukan bahwa pemberian ALA per oral dengan dosis 600 mg/hari, 1.200

mg/hari atau 1.800 mg/hari dapat memperbaiki sensitivitas insulin hingga 25%

setelah pemberian selama 4 minggu. Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara

3 dosis ALA tersebut, yang memberikan dugaan bahwa dosis 600 mg/hari

merupakan dosis efektif maksimum (Higdon, 2006; Lingga 2012).

2.8.5 Efek Samping Alpha-lipoic Acid

Efek samping ALA, dari beberapa penelitian ternyata sangat kecil,

sehingga preparat ALA meningkat penggunaannya sebagai suplemen kesehatan.

ALA mungkin menimbulkan efek samping ringan seperti, sakit kepala, kesemutan

atau rasa pins and needles, ruam kulit serta kram otot. Efek samping yang paling

sering dilaporkan adalah reaksi alergi yang mempengaruhi kulit, seperti

kemerahan, bentol-bentol, dan gatal. Pernah dilaporkan adanya nyeri abdomen,

mual, muntah, diare, dan vertigo, dan satu penelitian gejala-gejala tersebut tidak

Page 87: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

terkait dosis. Pernah ditemukan adanya reaksi anafilaktik ringan dan 1 reaksi

anafilaktik berat, termasuk laringospasme, setelah pemberian ALA secara

intravena. Lebih lanjut lagi, pernah dilaporkan malodorous urine pada orang yang

mengkonsumsi ALA dengan dosis 1.200 mg/hari secara oral (Higdon, 2006).

Penelitian pada suplementasi ALA oral jangka panjang (24 bulan) pada

tikus jantan maupun betina menunjukkan tidak adanya efek samping pada berat

badan, histopatologi, dan kimia darah dengan dosis hingga 60 mg/KgBB per hari.

Pada pemberian dosis kronis yang lebih tinggi, 180 mg/KgBB, ditemukan adanya

penurunan berat badan dan konsumsi makanan, meski tidak ditemukan adanya

bukti patologis. Berdasarkan penemuan tersebut, telah ditetapkan suatu NOAEL

(No Observed Adverse Effect Level) dari dosis 60 mg/KgBB/hari untuk pemberian

suplementasi ALA jangka panjang pada tikus (Shay et al., 2009).

Namun, walaupun telah ada bukti tentang keamanan ALA dosis tinggi,

suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi kronis

pemberian ALA dengan dosis tinggi atau secara intraperitoneal jangka panjang,

dapat memediasi terjadinya kerusakan oksidatif. Masih diperlukan penelitian lebih

lanjut untuk menentukan keamanan dan dosis optimal dari ALA (Shay et al.,

2009).

2.8.6 Interaksi Obat

ALA terbukti memiliki efektivitas yang cukup baik dalam mengontrol

kadar gula, maka konsumsi ALA bersama dengan obat penurun kadar gula darah

harus dilakukan dengan hati-hati, karena sangat mungkin suplementasi ALA dapat

Page 88: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

meningkatkan risiko hipoglikemi pada pasien diabetes yang menggunakan terapi

insulin atau obat antidiabetik oral (Higdon 2006; Ehrlich, 2011; Lingga, 2012).

Maka dari itu, kadar glukosa darah harus dimonitor ketat ketika suplementasi

ALA diberikan sebagai tambahan pada pengobatan diabetes (Higdon, 2006;

Wong, 2007).

ALA juga memiliki efektivitas serupa dengan hormon tiroid, karena itu

bagi orang yang menjalani terapi tiroid dengan mengonsumsi obat pemicu fungsi

tiroid, seperti levothyroxine, sebaiknya mengkonsultasikan dulu keinginan untuk

melakukan suplementasi ALA pada ahlinya (Ehrlich, 2011; Lingga, 2012). ALA

mungkin juga dapat menginterfensi kerja beberapa obat-obatan kemoterapi

(Ehrlich, 2011).

2.9 Hewan Coba

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah

tikus. Tikus merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan

ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Ada dua sifat utama yang

membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah

karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke

dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan

menggunakan sonde lambung, serta tidak mempunyai kantong empedu (Ingriani,

2012).

Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi

dewasa. Tikus laboratorium mencapai dewasa pada umur 50-60 hari. Umumnya

Page 89: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Berat dewasa

rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur (Ingriani, 2012).

Tikus yang banyak dibiakkan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih

(Rattus norvegicus). Rattus norvegicus paling banyak digunakan di laboratorium

karena mudah dipelihara, relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macam

penelitian. Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri panjang tubuh total 440 mm,

panjang ekor 205 mm, bobot badan 140-500 g dengan rataan 400 g. Rattus

norvegicus memiliki beberapa keunggulan, antara lain : penanganan dan

pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, kemampuan reproduksi yang

tinggi dengan masa kebuntingan yang singkat, sehat, bersih, dan memiliki

karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Ingriani,

2012).

Terdapat tiga galur tikus Rattus norvegicus, yaitu galur Sprague Dawley

yang memiliki kepala kecil, berwarna albino, dan ekornya lebih panjang dari

badannya. Galur Wistar, memiliki kepala besar, berwarna putih, dan ekor yang

lebih pendek. Galur Long Evans, lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna

hitam pada kepala hingga tubuh bagian depan, serta warna putih pada tubuh

bagian belakang (Ingriani, 2012).

Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar merupakan salah satu tikus

percobaan yang sering digunakan dalam berbagai penelitian. Tikus ini telah

diketahui dengan baik sifat, karakteristik, struktur anatomi, dan zat gizi yang

diperlukannya hampir sama dengan manusia. Tikus Wistar juga mempunyai tipe

metabolisme sama dengan manusia. Dengan menggunakan tikus, hasilnya dapat

Page 90: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

digeneralisasi pada manusia. Selain itu, dengan menggunakan tikus sebagai hewan

coba, maka pengaruh diet dapat benar-benar dikendalikan dan terkontrol

(Rukmini, 2007). Dalam penelitian seringkali dipakai tikus Wistar jantan saja

karena tikus jantan lebih sedikit dipengaruhi faktor hormonal dibandingkan

dengan tikus betina (Suwandi, 2012).

Tikus Wistar jantan juga jarang berkelahi seperti mencit jantan. Ukuran

tikus juga lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan

tikus lebih menguntungkan. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini

tenang dan mudah ditangani di laboratorium (Ingriani, 2012).

2.9.1 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium

Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ingriani, 2012) antara lain :

a. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu

kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan

gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah

menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.

b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan

fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang

ekstrim harus dihindari).

c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus

adalah 600 cm2, tinggi 20 cm.

d. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.

Page 91: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Masyarakat Indonesia umumnya sangat menyukai makanan yang

digoreng. Asupan makanan yang digoreng dengan minyak jelantah dapat menjadi

sumber asam lemak dan radikal bebas. Minyak jelantah adalah minyak goreng

bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berulang kali dan dengan suhu

tinggi, akibatnya terjadi peningkatan kejenuhan asam lemak dari minyak, kadar

peroksida, dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik bagi sel tubuh.

Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif

di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat

mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan

degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik atau NAFLD.

NAFLD mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis

sederhana, steatohepatitis fibrosis, hingga sirosis hati. Steatosis hepatik

didefinisikan sebagai akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di hepatosit dan

merupakan karakteristik utama dari NAFLD, maka jumlah steatosis yang terdapat

pada lebih dari 5% hepatosit adalah suatu persyaratan penting di dalam

menegakkan diagnosis NAFLD.

Hati dengan kelebihan lemak lebih rentan terhadap stressor seperti reactive

oxygen species, stres oksidatif, peroksidasi lipid dan sitokin-sitokin proinflamasi.

Page 92: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Hal tersebut menyebabkan kerusakan lebih lanjut, peradangan, hingga fibrosis,

yang merupakan gambaran dari NASH.

Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di

dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Pemeriksaan kadar enzim

ALT merupakan indikator yang lebih spesifik terhadap tes fungsi hati sebab enzim

ALT sumber utamanya di hati sedangkan enzim AST banyak terdapat pada

jaringan lain terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak. Seringkali juga

ditemukan kadar ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD.

Berdasarkan patogenesis NAFLD yang telah diketahui, tatalaksana

ditujukan pada pencegahan dan pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan

perbaikan resistensi insulin. Alpha-lipoic Acid (ALA) memiliki potensi sebagai

antioksidan kuat. Pemberian ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD

melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan

steatosis, stres oksidatif, menekan aktivasi sistem imun serta inflamasi di hati.

Lewat beberapa penelitian ALA juga telah dibuktikan dapat memperbaiki

sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi.

Page 93: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusun

kerangka konsep untuk penelitian terhadap tikus sebagai berikut :

Keterangan

: Diteliti

: Tidak diteliti Gambar 3.1. Skema Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis yang diajukan adalah :

1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah

steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.

2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar

alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi

minyak jelantah.

Page 94: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian true experimental dengan menggunakan

Post-test Only Control Group Design (Marczyk et al., 2005).

Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian

Keterangan :

P = Populasi

S = Sampel

R = Randomisasi

P0 = Perlakuan pada Kelompok Kontrol yang diberi minyak jelantah

0,42 ml dan plasebo (aquadest) 1 ml, selama 14 hari

P1 = Perlakuan pada Kelompok 1 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml

dan ALA dosis 5,4 mg, selama 14 hari

Page 95: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

P2 = Perlakuan pada Kelompok 2 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml

dan ALA dosis 10,8 mg, selama 14 hari

O1 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada

Kelompok Kontrol post-test

O2 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada

Kelompok Perlakuan 1 post-test

O3 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada

Kelompok Perlakuan 2 post-test

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo dan bagian Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (35

hari) dengan perincian sebagai berikut :

1. Tujuh (7) hari untuk adaptasi tikus.

2. Empat belas (14) hari untuk pemberian minyak jelantah dan Alpha-lipoic Acid.

3. Tujuh (7) hari untuk pemeriksaan kadar ALT darah tikus serta pembuatan dan

pemeriksaan preparat hati tikus.

4. Tujuh (7) hari untuk analisis data dan penyusunan laporan.

Page 96: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian

1. Kriteria inklusi :

a. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar

b. Umur 3-4 bulan

c. Berat badan 200-210 gram

d. Sehat dan aktif

2. Kriteria drop-out : tikus mati dalam penelitian

4.3.2 Penentuan Besar Sampel

Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan

menggunakan rumus Federer (2008) :

( n – 1 ) ( t – 1 ) � 15

Dimana : n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t = jumlah kelompok perlakuan

Dalam penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan (t=3) , maka jumlah

sampel yang diperlukan : ( n – 1 ) ( 3 – 1 ) � 15

(n – 1)2 � 15

2n � 15 + 2

n = 8,5 dibulatkan menjadi 9

Page 97: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Jadi dalam penelitian ini diperlukan minimal 27 ekor tikus Wistar jantan

yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan dan masing-masing kelompok terdiri

dari 9 ekor tikus. Untuk mengantisipasi drop-out maka ditambahkan 10% dari

total seluruh tikus, yaitu 2,7 dibulatkan menjadi 3 ekor, dan jumlah total tikus

menjadi 30 ekor. Berarti jumlah tikus untuk masing-masing kelompok perlakuan

menjadi 10 ekor.

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Dari populasi tikus, diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi :

tikus Wistar jantan, umur 3-4 bulan, berat 200 – 210 gram.

2. Dari populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi, diambil secara random 30

ekor yang akan menjadi sampel post test only control group design.

3. Dari kelompok sampel ini kemudian dibagi menjadi 3 kelompok secara acak

sederhana, yaitu Kelompok Kontrol, Kelompok Perlakuan 1 dan 2. Masing-

masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi Variabel

1. Variabel bebas : Alpha-lipoic Acid

2. Variabel tergantung : jumlah steatosis dan kadar ALT serum

Page 98: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

3. Variabel kendali : galur tikus, jenis kelamin, umur, berat badan, pakan

dan minuman, serta lingkungan pemeliharaan (suhu, cahaya, kelembapan)

4.4.2 Definisi Operasional Variabel

1. Minyak jelantah adalah minyak sawit yang telah mengalami proses pemanasan

berulang sebanyak 6 kali, masing-masing selama 8 menit, untuk menggoreng

tahu pada suhu 150oC. Dosis minyak jelantah yang diberikan kepada seluruh

kelompok adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus. Minyak jelantah diberikan 1 jam

setelah tikus diberi plasebo (Kelompok Kontrol) atau ALA (Kelompok

Perlakuan 1 dan 2), per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari.

2. Alpha-lipoic Acid yang digunakan dalam penelitian adalah ALA murni

berbentuk tablet yang didapat dari PT. L dengan dosis yang dikonversikan dari

dosis anjuran untuk manusia. ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1)

dengan dosis 5,4 mg/200 gram BB tikus dan Kelompok Perlakuan 2 (P2)

dengan dosis 10,8 mg/200 gram BB tikus. ALA tablet sebelumnya digerus dan

dilarutkan dalam 1 ml aquadest. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi

minyak jelantah, per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari.

3. Plasebo yang diberikan pada Kelompok Kontrol (P0) berupa aquadest, dengan

dosis 1 ml/200 gram BB tikus. Plasebo diberikan 1 jam sebelum tikus diberi

minyak jelantah, per oral melalui sonde 1 kali per hari, selama 14 hari.

4. Steatosis dihitung dari jumlah sel hati (hepatosit) yang sitoplasmanya berisi

vakuola lemak dan nukleusnya terdesak ke perifer. Hepatosit dianalisis dari

preparat jaringan hati tikus yang telah diwarnai dengan pewarnaan

Page 99: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Haematoxilin Eosin. Setiap preparat diamati pada 5 lapangan pandang yaitu

pada keempat sudut dan bagian tengah preparat dengan perbesaran lensa

objektif 400x, difoto, kemudian jumlah steatosis dihitung menggunakan

perangkat lunak Image Tool dan dijumlahkan.

5. Alanine aminotransferase (ALT) adalah kadar enzim hati yang keluar bila

terjadi kerusakan hati secara akut. Kadar ALT dinilai dari plasma darah tikus

dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kadar ALT normal pada tikus

adalah 17,5 – 30,2 IU/L.

6. Tikus yang digunakan untuk penelitian ini adalah tikus galur Wistar

berkelamin jantan.

7. Umur tikus yang dipilih untuk penelitian ini adalah usia 3-4 bulan.

8. Berat badan tikus ditimbang dengan timbangan gram. Berat badan tikus yang

dipilih untuk penelitian ini adalah 200-210 gram. Berat badan penting

diketahui karena berhubungan dengan dosis pemberian ALA.

9. Lingkungan pemeliharaan adalah kondisi lingkungan penelitian yang dialami

oleh tikus dewasa dan pada penelitian ini kondisi lingkungan dibuat sama

(suhu, cahaya, dan kelembaban).

Page 100: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.4.3 Hubungan Antar Variabel

Gambar 4.2. Skema Hubungan Antar Variabel

4.5 Alat dan Bahan Penelitian

4.5.1 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian

1. Kandang tikus putih beserta kelengkapan pemberian makanan dan minuman

2. Timbangan

3. Sonde

4. Perangkat pengambilan darah (spuit injeksi, mikrokapiler, rak, tabung reaksi,

tabung effendorf, pipet mikro, sentrifuge)

5. Perangkat bedah untuk tikus (disecting kit)

6. Perangkat pembuatan preparat histologi (botol falcon untuk menempatkan

jaringan hati, gelas benda, gelas penutup, cawan petri, kaki tiga dan bunsen,

staining kit, holder, mikrotom)

Page 101: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

7. Mikroskop elektrik merk Olympus CX21

8. Spektrofotometer dengan panjang gelombang 365 nm untuk pemeriksaan

kadar ALT.

4.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian

1. Tikus Wistar jantan

2. Makanan pellet dan air minum untuk tikus

3. Alpha-lipoic Acid

4. Minyak jelantah

5. Aquadest

6. Ketamine HCl

7. Bahan untuk pembuatan preparat histologi [ether, formalin 10%, alkohol

bertingkat (30%, 40%, 50%, 70%, 80%, 90%, 96%), toluol, xylol, Meyers

albumin, parafin, pewarna Hematoxylin-Eosin, dan aquadest]

8. Bahan untuk analisis ALT (seperangkat kit ALT merk DiaSys)

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Penentuan Dosis Minyak Jelantah

Minyak jelantah dibuat dengan memanaskan minyak goreng sawit untuk

menggoreng tahu pada suhu 150oC (diukur dengan termometer masak) sebanyak 6

kali, masing-masing selama 8 menit. Dosis minyak jelantah yang digunakan

dalam penelitian ini adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus (Hartono, 2011; Raharjo

and Jusup, 2011).

Page 102: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.2 Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid

Sediaan ALA berbentuk tablet dan mengandung ALA murni 600 mg, di

dapatkan dari PT. L. Dosis yang diberikan ke tikus sesuai dengan dosis anjuran

untuk manusia, yaitu 300 mg/hari dan 600 mg/hari (Mason, 2001; Higdon, 2006;

Lingga 2012). Dosis tersebut kemudian dikonversikan dari dosis manusia ke tikus

dengan faktor konversi 0,018 yang di dapat dari tabel konversi Laurence and

Bacharach (Lampiran 2), sehingga didapatkan : 5,4 mg/200gramBB/hari untuk

Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan 10,8 mg/200gramBB/hari untuk Kelompok

Perlakuan 2 (P2).

4.6.3 Penentuan Dosis Plasebo

Plasebo adalah substansi yang bukan merupakan zat aktif dan digunakan

sebagai kontrol dalam suatu penelitian. Plasebo yang digunakan dalam penelitian

ini adalah aquadest, dengan dosis 1 ml/200 gram BB tikus (Ingriani, 2012).

4.6.4 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian

4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba

Tikus yang dipilih sebagai sampel adalah tikus galur Wistar jantan, sehat,

berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus Wistar jantan yang

digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 ekor, dan dibagi secara acak menjadi

3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus :

1. Kelompok P0 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan

plasebo 1 ml/200 gram berat badan selama 14 hari.

Page 103: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

2. Kelompok P1 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan

ALA dengan dosis 5,4 mg/200 gram selama 14 hari.

�� Kelompok P2 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan

ALA dengan dosis 10,8 mg/200 gram selama 14 hari.�

4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba

� Tikus dipelihara dalam kandang individual yang terbuat dari kawat dengan

alas sekam padi. Kandang harus tahan terhadap gigitan hewan, mudah

dibersihkan, dan hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang juga harus

berventilasi baik, mendapat penyinaran cukup, dan suhu normal.

Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan adaptasi selama tujuh (7) hari di

tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Selama proses adaptasi

maupun perlakuan tikus tetap diberi makan dan minum secara ad libitum.

4.6.5 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian

4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah

Minyak jelantah diberikan pada ketiga kelompok dengan dosis

0,42ml/200grBB. Pada Kelompok Kontrol (P0) minyak jelantah diberikan 1 jam

setelah tikus diberi plasebo dan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2

(P2), minyak jelantah diberikan 1 jam setelah tikus diberi ALA. Minyak jelantah

diberikan secara oral melalui sonde, 1 kali per hari, dan selama 14 hari

Page 104: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.5.2 Pemberian Plasebo

� Plasebo diberikan hanya pada Kelompok Kontrol (P0) dengan dosis 1

ml/200grBB. Cara pemberiannya sama dengan cara pemberian ALA, yaitu

diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral melalui sonde, 1

kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.

4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid

ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan dosis 5,4

mg/200grBB dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dengan dosis 10,8 mg/200grBB.

Sebelum diberikan, tablet ALA digerus dan dilarutkan dalam aquadest hingga 1

ml. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral

melalui sonde, 1 kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.

4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah

Pada hari ke-22, semua kelompok diambil darahnya untuk pemeriksaan

kadar ALT. Pengambilan darah tikus dilakukan dengan menggunakan

mikrokapiler melalui medial canthus sinus orbitalis. Tikus dianastesi dulu

sebelum diambil darahnya dengan menggunakan Ketamine HCl secara

intramuskular. Kemudian ujung tabung mikrokapiler dimasukkan ke sudut bagian

dalam kantung mata, dengan mengarahkan ujungnya pada sudut 45o dari tengah

mata. Darah diambil sebanyak 1 cc. Sampel darah kemudian ditampung dalam

tabung reaksi dengan antikoagulan (EDTA) untuk didapatkan plasmanya.

Page 105: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.5.5 Pembedahan

Pada hari ke-22 semua kelompok juga dibedah untuk diambil organ

hatinya. Pengambilan organ hati dilakukan setelah pengambilan darah. Sebelum

dibedah, tikus dikurbankan dengan diberikan Ketamine HCl secara intramuskular.

Kemudian tikus dibedah, diambil organ hati bagian dekstra, dan dibuat preparat

menggunakan metode histologi baku dengan pengecatan Haematoxilin Eosin.

4.6.6 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian

Setelah semua prosedur penelitian selesai dilakukan, jasad tikus yang telah

dikurbankan, diurus dengan layak untuk selanjutnya dikuburkan dengan baik.

4.6.7 Pemeriksaan Kadar ALT

Sampel darah yang telah dimasukkan ke dalam tabung dengan

antikoagulan disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Plasma

darah selanjutnya diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung.

Kemudian dilakukan pengukuran kadar ALT menggunakan kit ALT merk DiaSys.

Dengan menggunakan kit ALT, plasma sebanyak 100 �l ditambah dengan

1000�l larutan reagen 1, dicampur hingga homogen dan diinkubasi selama 5 menit

pada suhu 37 ºC. Kemudian plasma yang telah dicampur dengan reagen 1, diberi

reagen 2 sebanyak 250 �l dan dicampur hingga homogen. Pembacaan aktivitas

ALT dilakukan 1 menit kemudian dengan menggunakan alat spektrofotometer UV

dengan panjang gelombang 365 nm, didasarkan pada pembacaan absorbansi

NAD+ yang spesifik pada panjang gelombang tersebut. Pembacaan absorbansi

Page 106: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dilakukan setiap menit selama 3 menit. Delta absorben / menit selanjutnya

dikalikan faktor konversi sebesar 3971 untuk mendapatkan kadar ALT. Kadar

ALT normal pada tikus putih adalah 17,5-30,2 IU/L (Maulida, 2010).

4.6.8 Pembuatan Sediaan

Pembuatan sediaan hati dilakukan dengan metode parafin menurut Suntoro

dengan tahapan sebagai berikut (Hartono, 2011) :

a. Fiksasi

Potongan jaringan dimasukkan ke dalam botol-botol falcon yang sudah berisi

larutan fiksatif (formalin 10%) yang volumenya minimal 10 kali besar

potongan jaringan selama 4 jam.

b. Washing (pencucian)

Pencucian potongan jaringan dengan alkohol 70% karena fiksatif yang

digunakan adalah larutan formalin.

c. Dehidrasi

Molekul air dihilangkan dengan memasukkan jaringan ke dalam alkohol 30%,

40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing selama dua kali

selama 30 menit.

d. Clearing (Pembersihan)

Proses ini meliputi penggantian molekul alkohol dengan toluol. Potongan

jaringan dipindahkan ke dalam botol yang berisi toluol hingga jaringan

menjadi transparan.

e. Embeding (Penanaman)

Page 107: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Memasukkan jaringan hati ke dalam xilol-parafin cair bertingkat selama 20

menit, kemudian memasukkan ke parafin cair (57oC) I, II, III masing-masing

selama 20 menit. Menyiapkan cetakan atau bisa menggunakan cawan petri

yang diolesi gliserin. Menuangkan parafin cair ke dalam cetakan sampai

penuh, kemudian membenamkan potongan organ ke dalam parafin tersebut.

f. Sectioning (Pemotongan)

Setelah jaringan mengeras, blok jaringan dipotong menggunakan mikrotom

dengan ketebalan 4 - 5 �m.

g. Affixing (Penyematan)

Pita parafin hasil irisan direntangkan diatas kaca obyek. Kemudian diletakkan

diatas hot plate bersuhu 45oC sampai parafin meleleh dan sisa air dihisap

dengan kertas tissue.

h. Staining (Pewarnaan)

Memasukkan kaca benda yang berisi irisan organ ke dalam xilol murni I, II

masing-masing selama 5 menit, lalu ke alkohol – xilol bertingkat selama 5

menit, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% masing-masing selama 5

menit lalu ke aquades I, II masing-masing selama 5 menit, kemudian ke

pewarna hematoxylin selama 7 detik. Setelah itu kembali dimasukkan ke

dalam aquades dan alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing

beberapa celupan lalu dimasukkan ke pewarna kedua yaitu eosin selama 5

menit. Kemudian dimasukkan ke alkohol 96% I, II masing-masing sebanyak

beberapa celupan setelah itu dimasukkan ke alkohol- xilol (1:1), xilol murni I,

Page 108: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

II, III masing-masing beberapa celupan, setelah itu preparat dikering-

anginkan.

i. Mounting (Penutupan)

Penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup.

j. Labelling (Pemberian Label)

Memberi identitas preparat

4.6.9 Pengamatan

Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan

persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis dalam

sediaan histologis tampak sebagai vakuola-vakuola bening yang terdapat dalam

sitoplasma hepatosit dan dapat mendesak inti hingga ke perifer. Steatosis

menyerang sampai ke daerah sentrilobular.

Pengamatan preparat jaringan hati dilakukan dengan bantuan mikroskop

elektrik Olympus CX21 yang dihubungkan dengan Optilab (sebagai pencitra

preparat) dan komputer yang dilengkapi dengan piranti lunak Optilab Image

Rester. Pengamatan dimulai dengan perbesaran lensa obyektif 100x untuk

mengamati seluruh lapangan pandang, untuk menentukan daerah yang akan

diamati, yaitu daerah sentrilobular di sekitar vena sentralis lobulus hati. Kemudian

preparat histologis hati diamati dengan perbesaran lensa obyektif 400 kali dan

pada lima lapangan pandang yang berbeda. Dari setiap lapangan pandang dihitung

20 sel secara acak, sehingga dalam 1 preparat akan teramati 100 sel hati. Steatosis

dari 5 lapangan pandang dijumlahkan.

Page 109: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.10 Alur Penelitian

Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian

Page 110: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4.6.11 Analisis Data

Data yang diperoleh diproses dengan program SPSS 16.0 for Windows,

dengan uji statistik seperti di bawah ini :

1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk analisis statistik (uji

hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki.

2. Uji normalitas

Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro Wilk. Data penelitian

berdistribusi normal dengan nilai p > 0,05.

3. Uji homogenitas

Uji homogenitas data dilakukan dengan uji Levene. Data penelitian homogen

dengan nilai p > 0,05.

4. Uji Komparasi

Data penelitian berdistribusi normal dan homogen maka untuk uji kemaknaan

digunakan uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Least Significant

Different (LSD) untuk mengetahui efek perlakuan mana yang lebih baik.

Page 111: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB V

HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih galur Wistar (Rattus

norvegicus) jantan, sehat, berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram

sebagai sampel, dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok, masing-masing

kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok Kontrol (P0) yang

diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, Kelompok Perlakuan 1 (P1)

yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA dosis 5,4 mg, dan Kelompok

Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg.

Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji

komparasi, dan uji efek perlakuan.

5.1 Uji Normalitas Data

Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah

perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan

menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal

(p > 0,05) yang disajikan pada Tabel 5.1.

Page 112: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Tabel 5.1

Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT

Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Kelompok Perlakuan n p Keterangan

Jumlah Steatosis Kontrol

Jumlah Steatosis Perlakuan 1

Jumlah Steatosis Perlakuan 2

Kadar ALT Kontrol

Kadar ALT Perlakuan 1

Kadar ALT Perlakuan 2

10

10

10

10

10

10

0,430

0,275

0,394

0,788

0,374

0,864

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

5.2 Uji Homogenitas Data

Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah

perlakuan pada masing-masing kelompok diuji homogenitasnya dengan

menggunakan uji Levene. Hasilnya menunjukkan data homogen (p > 0,05) yang

disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2

Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT

Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Variabel F p Keterangan

Jumlah Steatosis

Kadar ALT

0,638

0,727

0,536

0,493

Homogen

Homogen

Page 113: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

5.3 Uji Komparasi

5.3.1 Jumlah Steatosis

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah steatosis antar

kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One

Way Anova disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Kelompok Subjek n Rerata Jumlah

Steatosis

SB F p

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

10

10

10

76,70

64,30

22,90

4,138

5,658

5,547

298,008

0,001

Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis Kelompok

Kontrol adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 64,30 ± 5,658,

dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 22,90 ± 5,547. Analisis kemaknaan

dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 298,008 dan nilai p =

0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis ketiga kelompok sesudah

diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji

disajikan pada Tabel 5.4.

Page 114: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Tabel 5.4

Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Kelompok Subjek Beda Rerata Jumlah

Steatosis

p Interpretasi

Kontrol dan Perlakuan 1

Kontrol dan Perlakuan 2

Perlakuan 1 dan Perlakuan 2

12,40

53,80

41,40

0,001

0,001

0,001

Berbeda Bermakna

Berbeda Bermakna

Berbeda Bermakna

Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa :

1. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna

dengan Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah

daripada rerata Kelompok Kontrol).

2. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna

dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah

daripada rerata Kelompok Kontrol).

3. Rerata jumlah steatosis Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna

dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah

daripada rerata Kelompok Perlakuan 1).

Page 115: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Gambar 5.1. Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok

Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan

jumlah steatosis pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2

dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.

5.3.2 Kadar ALT

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar alanine

aminotransferase (ALT) antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil

analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5.

Page 116: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Tabel 5.5

Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Kelompok Subjek n Rerata Kadar ALT (IU/L)

SB F p

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

10

10

10

91,40

75,60

62,20

9,663

8,529

7,269

29,127

0,001

Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar ALT Kelompok

Kontrol adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 75,60 ± 8,529,

dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis kemaknaan

dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan nilai p =

0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah diberikan

perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).

Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu

dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji

disajikan pada Tabel 5.6.

Page 117: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Tabel 5.6

Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan

Kelompok Subjek Beda Rerata Kadar

ALT (IU/L)

p Interpretasi

Kontrol dan Perlakuan 1

Kontrol dan Perlakuan 2

Perlakuan 1 dan Perlakuan 2

15,80

29,20

13,40

0,001

0,001

0,002

Berbeda Bermakna

Berbeda Bermakna

Berbeda Bermakna

Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa :

1. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan

Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah

daripada rerata Kelompok Kontrol).

2. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan

Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah

daripada rerata Kelompok Kontrol).

3. Rerata Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan Kelompok

Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata

Kelompok Perlakuan 1).

Page 118: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Gambar 5.2. Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok

Gambar 5.2 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan kadar

ALT pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 dibandingkan

dengan Kelompok Kontrol.

Page 119: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1 Subjek Penelitian

Untuk menguji pemberian Alpha-lipoic Acid (ALA) oral dalam

menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, maka dilakukan

penelitian pada tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan, sehat, berumur

3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus yang digunakan sebagai

sampel berjumlah 30 ekor dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok,

masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok

Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, 1 kali per

hari; Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA

dosis 5,4 mg 1 kali per hari; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak

jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg, 1 kali per hari. Penelitian dilakukan

selama 14 hari. Selama penelitian tikus tetap diberi makan dan minum standar

secara ad libitum. Dan selama penelitian berlangsung tidak ada sampel yang

mengalami drop out.

6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian

Data hasil penelitian berupa data jumlah steatosis dan kadar alanine

aminotransferase (ALT) dari ketiga kelompok, sebelum dianalisis lebih lanjut

terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Hasil uji normalitas data dengan

menggunakan uji Shapiro-Wilk menunjukkan data berdistribusi normal (p > 0,05)

Page 120: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dan hasil uji homogenitas data dengan menggunakan uji Levene menunjukkan

data homogen (p > 0,05).

6.3 Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non

Alkoholik

Uji komparasi/perbandingan rerata jumlah steatosis dan kadar ALT antar

ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan menggunakan uji One Way Anova.

Rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah adalah 76,70 ± 4,138, rerata

Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ±

5,547. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai

F = 298,008 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis

ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p <

0,05).

Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok

P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis

kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan

nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah

diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).

Hasil uji lanjutan antar ketiga kelompok menggunakan uji Least

Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna

pada rerata jumlah steatosis dan kadar ALT, antara Kelompok Kontrol (P0)

dengan Kelompok Perlakuan 1 (P1), Kelompok Kontrol (P0) dengan Kelompok

Perlakuan 2 (P2), dan Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan Kelompok Perlakuan 2

Page 121: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

(P2). Hal ini berarti bahwa terjadi penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan

kadar ALT secara bermakna pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok

Perlakuan 2 (P2) dibandingkan Kelompok Kontrol (P0) sesudah diberikan

perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Namun, perlu diperhatikan bahwa hasil yang

didapat pada Kelompok Perlakuan 2 (P2) lebih baik jika dibandingkan dengan

Kelompok Perlakuan 1 (P1).

Pemberian ALA oral dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam

mekanisme yang kemudian menyebabkan penghambatan peningkatan jumlah

steatosis dan kadar ALT, pencegahan stres oksidatif, penekanan aktivasi sistem

imun serta inflamasi di hati (Jung et al., 2012).

6.3.1 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit”

“First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati

yang didasari perubahan metabolik terkait resistensi insulin (Hübscher, 2006;

Reddy and Rao, 2006; Anania and Parekh, 2007; Petta et al., 2009).

1. Alpha-lipoic Acid memperbaiki resistensi insulin dan sensitivitas tubuh

terhadap insulin

Peningkatan pengiriman dan sintesis asam lemak di hepatosit, dapat

dicetuskan oleh konsumsi diet tinggi lemak atau peningkatan pelepasan asam

lemak dari jaringan adiposa (Anstee and Goldin, 2006; Henryk and Peter,

2010). Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat kerja

enzim hormone-sensitive lipase, sehingga TG yang terkandung di dalam

jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis menjadi asam lemak

Page 122: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

dan gliserol, dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke dalam aliran darah

dan hati (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006).

Akumulasi lemak juga dapat terjadi akibat adanya penurunan sintesis

VLDL dan penurunan pengeluaran TG dari hati (Anania and Parekh, 2007;

Tacer and Rozman, 2011). VLDL merupakan suatu kompleks yang terdiri dari

protein ApoB-100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid.

Produksi ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin,

oleh karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis

ApoB-100 hepatosit, yang kemudian menyebabkan penurunan sintesis dan

sekresi VLDL dari hati (Anania and Parekh, 2007).

Penelitian eksperimental maupun uji klinis pada manusia telah

memberikan bukti konsisten peran terapeutik ALA sebagai AO dalam

pengobatan resistensi insulin dan diabetik polineuropati. Terapi jangka

panjang ALA pada percobaan dengan menggunakan tikus Zucker obes dan

resisten insulin, memperlihatkan adanya perbaikan pada toleransi glukosa

seluruh tubuh dan sensitivitas terhadap insulin, begitu pula dengan kerja

insulin pada transportasi glukosa di otot rangka. Paparan ALA mengaktifkan

elemen-elemen penting dalam insulin signaling pathways, termasuk di

dalamnya fosforilasi tirosin dari Insulin Receptor (IR) dan Insulin Receptor

Substrates-1 (IRS-1) (Henriksen, 2006; Higdon, 2006; Jung et al., 2012).

2. Alpha-lipoic Acid menurunkan ekspresi gen-gen hepatik terkait metabolisme

lipid

Page 123: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Steatosis juga dapat terbentuk akibat adanya peningkatan sintesis asam

lemak dan TG secara de novo di hati, yang didasari oleh adanya peningkatan

ekspresi SREBP-1c dan ChREBP dan gen-gen lipogenik yang diaktivasinya

(Browning and Horton, 2004; Anania and Parekh, 2007). Pemberian ALA

telah terbukti menurunkan SREBP-1c dan ChREBP di sitoplasma. ALA juga

menghambat ekspresi gen lipogenik di hati seperti glycerol-3-phosphate

acyltransferase-1 (GPAT-1) dan diacylglycerol O-acyltransferase-2 (DGAT-

2) (Butler et al., 2009). Jung et al. (2012) mengatakan bahwa ALA dapat

menurunkan ekspresi SREBP-1 dan ACC, serta meningkatkan ekspresi

GLUT-4 di dalam hati tikus OLETF. Percobaan yang dilakukan Finlay et al.

(2012) menunjukkan bahwa pemberian ALA menurunkan transkripsi gen-gen

lipogenik seperti FASN dan ACC.

3. Alpha-lipoic Acid meningkatkan ekspresi PPAR-�

Mekanisme terakhir dalam “first hit” yang mendasari terjadinya

akumulasi lemak adalah penurunan oksidasi asam lemak akibat adanya

gangguan dalam mitochondrial �-oxidation di hati. Sistem �-oksidasi di

mitokondria dan peroksisom serta �-oksidasi di mikrosom, dikontrol oleh

PPAR-�. PPAR-� yang bekerja secara inefektif menyebabkan terjadinya

penurunan pembakaran energi, yang pada akhirnya menyebabkan steatosis

hepatik dan steatohepatitis (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006).

ALA meningkatkan kadar protein PPAR-� hati, yang ternyata juga

memberikan efek positif terhadap resistensi insulin (Yang et al., 2008; El

Midaoui, et al., 2011).

Page 124: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

4. Alpha-lipoic Acid menurunkan kadar enzim sitokrom P450-(CYP2E1)

Ketika kapasitas oksidatif mitokondria terganggu, maka akan terjadi

akumulasi asam lemak di sitosol. Proses alternatif di dalam peroksisom dan

mikrosom akan diaktifkan, yang akibatnya menghasilkan tambahan ROS.

Pada tahap awal � oksidasi di peroksisom akan dibentuk hidrogen peroksida.

Oksidasi mikrosomal dari asam lemak, yang dikatalisasi secara utama oleh

enzim sitokrom P-450-(CYP2E1) juga menghasilkan ROS. Resistensi insulin

juga mendorong terjadinya CYP2E1-mediated �-oxidation lebih lanjut. Efek

kumulatif dari oksidasi asam lemak ekstramitokondrial adalah peningkatan

lebih lanjut dari stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Browning and

Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006; Reddy and Rao,

2006). Baru-baru ini dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi

lipid hepatik dan inflamasi di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom

P450-2E1 dan stres pada retikulum endoplasma (Kim et al., 2013).

6.3.2 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit”

Ketika telah terbentuk steatosis, maka hati lebih mudah tersensitisasi dan

akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat dipresipitasi oleh berbagai macam

stimulus. Stres oksidatif diperkirakan memegang peran kunci dalam “second hit”

((Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006).

Oksidasi asam lemak di dalam hepatosit merupakan sumber produksi

utama dari ROS. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah kerusakan

DNA nukleus, DNA mitokondria, membran fosfolipid, dan pelepasan sitokin-

Page 125: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

sitokin proinflamasi. ROS juga dapat menginduksi ekspresi Fas ligand pada

hepatosit dan mendorong terjadinya paracrine-induced apoptotic cell death.

Terjadinya stres oksidatif secara lebih jauh akan memperparah kerusakan

mitokondria (Anstee and Goldin, 2006).

Kerusakan DNA mitokondria ditandai dengan adanya 8-hydroxy-20-

deoxyguanosine di dalam mitokondria dan penurunan ekspresi enzim DNA

mismatch repair MutY. Peroksidasi lipid sel menghasilkan produk sampingan

aldehid yang toksik, termasuk MDA dan HNE yang lebih persisten dibandingkan

ROS, dan semakin menyebabkan kerusakan organel-organel intraselular lebih

lanjut serta menurunkan glutathione di hepatosit (Browning and Horton, 2004;

Anstee and Goldin, 2006).

Lebih lanjut lagi, aldehid akan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi

NF-�B-dependent (TNF-�, IL-6, IL-1�), meningkatkan ekspresi TGF-�1,

mendorong masuknya sel-sel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel

Stellate hepatik yang bersifat fibrogenik. Efek-efek ini dapat memicu secara

langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis hati, yang

merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin,

2006).

Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di

dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Seringkali ditemukan kadar

ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD. Dari hasil penelitian

terbaru, akumulasi lemak hepatik pada obesitas anak-anak dan NAFLD dapat

menyebabkan peningkatan kadar ALT serum. Peningkatan kadar ALT ternyata

Page 126: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

terkait juga dengan penurunan sensitivitas insulin, adiponektin, dan toleransi

glukosa, begitu pula dengan peningkatan asam lemak bebas dan TG (Gowda et al.,

2009).

Hasil analisis data penelitian dengan uji One Way Anova dan uji Least

Significant Difference menunjukkan rerata kadar ALT berbeda secara bermakna

pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dibandingkan

Kelompok Kontrol (P0), sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05).

Dari hasil pemeriksaan histopatologi jaringan hati juga tidak ditemukan adanya

sel-sel inflamasi, nekrosis hepatosit, dan fibrosis hati. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa pemberian ALA oral dapat menghambat kenaikan kadar

ALT serta mencegah progresi NAFL menjadi NASH, dan hal ini terjadi melalui

beberapa mekanisme, seperti :

1. Alpha-lipoic Acid memiliki efek protektif terhadap mitokondria

ALA telah dilaporkan memiliki efek protektif pada mitokondria, dapat

mengurangi stres oksidatif, dan kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek

protektif potensial dari suplementasi ALA terhadap stres oksidatif terkait pola

makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa ALA mencegah akumulasi TG hepatik

dan kerusakan oksidatif di hati melalui inhibisi produksi radikal

hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di mitokondria. ALA juga

menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA

memodulasi pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT)

Page 127: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

yang memegang peran penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi

pertahanan AO (Valdecantos et al., 2012).

2. Alpha-lipoic Acid meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim

antioksidan

Suatu penelitian membuktikan bahwa pemberian ALA menurunkan

stres oksidatif di hati serta meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim

AO (Yang et al., 2008; Castro et al., 2013). Ekspresi enzim-enzim AO seperti

heme oxygenase-1, Cu/Zn-Superoxide Dismutase, glutathione peroxidase, dan

glutathione reductase, meningkat pada tikus yang diberi ALA. (Shay et al.,

2009; Zalejska-Fiolka et al., 2010; Jung et al., 2012; Valdecantos et al., 2012).

3. Alpha-lipoic Acid meregenerasi antioksidan endogen lain

Ketika suatu AO menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu akan

mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS

lainnya sampai AO itu direduksi. ALA tampaknya mampu meregenerasi AO

endogen lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan coenzyme Q10 (Shay et al.,

2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).

4. Alpha-lipoic Acid menetralisir radikal bebas dan menurunkan produksi ROS

ALA memiliki kemampuan yang unik dalam menetralisir radikal bebas

tanpa turut menjadi radikal bebas juga dalam prosesnya (Shay et al., 2009; Seo

et al., 2012; Kim et al., 2013). ALA juga terbukti menurunkan produksi ROS.

Penanda peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang

diberi ALA (Jung et.al., 2012). Peningkatan produksi MDA akibat pemberian

Page 128: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

minyak yang telah teroksidasi juga dapat diatasi dengan pemberian ALA

(Zalejska-Fiolka et al., 2010).

5. Alpha-lipoic Acid menghambat aktivasi sitokin-sitokin penyebab inflamasi dan

menghambat ekspresi TGF-�

Peningkatan stres oksidatif di dalam tubuh memegang peran penting

dalam inflamasi kronis dan prosesnya memerlukan aktivasi NF�B, suatu faktor

transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen yang terlibat dalam

inflamasi dan migrasi sel endotel (Shay et al., 2009). ALA telah lama

dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi inflamasi yang

diinduksi sitokin. Pemberian ALA terbukti dapat menghambat aktivasi sitokin-

sitokin penyebab inflamasi seperti NF�B, TNF-�, IL-6, IL-1� (Shay et al.,

2009; Jung et al., 2012). ALA juga dapat menghambat ekspresi TGF-� yang

memicu fibrogenesis (Kim et al., 2013).

6.4 Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging

Medicine

Aktivitas antioksidan ALA telah ditunjukkan sangat efektif dalam terapi

penyakit-penyakit lain seperti neuropati diabetik, penyakit Alzheimer, multiple

sclerosis, arterosklerosis, patologi terkait hati, hipertrigliseridemia, begitu pula

dengan aktivitasnya di dalam anti-aging (Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).

Pada penelitian ini, ALA terbukti dapat menghambat perlemakan hati non-

alkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah, yang dapat dilihat

dari penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, dan tampaknya

Page 129: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

ALA juga dapat mencegah progresi penyakit dari perlemakan hati sederhana

menjadi perlemakan hati dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis

(NASH). Pemberian suplementasi ALA oral dalam perlemakan hati non-

alkoholik, sesuai dengan prinsip Anti-Aging Medicine, dimana ilmu pengetahuan

dan teknologi kedokteran terkini digunakan untuk melakukan deteksi dini,

pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai

disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan

untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2011).

Page 130: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pemberian Alpha-lipoic Acid oral pada tikus

Wistar jantan didapatkan simpulan sebagai berikut :

1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah

steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.

2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar

alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi

minyak jelantah.

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada hewan coba dalam jangka

waktu yang lebih panjang untuk melihat adanya efek samping pemberian

Alpha-lipoic Acid oral yang mungkin timbul.

2. Perlu dilakukan uji klinis untuk mengetahui manfaat pemberian Alpha-

lipoic Acid oral dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik pada

manusia.

3. Penggunaan minyak jelantah dalam kehidupan sehari-hari harus dihindari,

karena minyak jelantah terbukti menyebabkan peningkatan jumlah

steatosis dan kadar ALT.

Page 131: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

DAFTAR PUSTAKA

Allen, E.S. 2002. The Liver : Anatomy, Physiology, Disease and Treatment.

Northeastern University. Amarapurkar, D. 2010. NAFLD Current Concepts. Int Jour of Hep. Vol 1 (4) :

45-9. Anania, F.A., Parekh, S. 2007. Abnormal Lipid and Glucose Metabolism in

Obesity : Implications for Nonalcoholic Fatty Liver Disease. J of

Gastroent. Vol 132 : 2191-2207. Andriana, T. 2013. Serba Serbi Minyak Jelantah. Available from:

http://www.google.com/imgres?imgurl=http://www.putraindonesiamalang.or.id. Accessed : October, 16th, 2013.

Angulo, P. 2002. Nonalcoholic Fatty Liver Disease. N Engl J Med. Vol 346 : 1221- 1231. Anstee, Q. M., Goldin, R. D. 2006. Mouse Models in Non-alcoholic Fatty Liver

Disease and Steatohepatitis Research. Int J Exp Path. Vol 87 : 1–16. Ardhie, A.M. 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah

Penuaan. Medicinus. Vol 24 (1) : 4-9.

Arief, S. 2009. Radikal Bebas. Available from : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10RadikalBebas102.pdf/10RadikalBebas102.html. Accessed : June, 25th, 2013.

Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., Silva. 2004. Minimization of Peroxide Formation

Rate in Soybean Oil by Antioxidant Combinations. Food R Inter. Vol 37 : 689-694.

Bickers, D.R., Athar, M. 2006. Oxidative Stress in The Pathogenesis of Skin

Disease. J of Invest Dermatol. vol 126. p. 2565–2575.

Bludau, J. H. 2010. Aging, But Never Old : The Realities, Myths, and

Misrepresentations of the Anti-Aging Movement (The Praeger Series on

Contemporary Health and Living).1st edition. Publisher Praeger. Browning, J. D., Horton, J. D. 2004. Molecular Mediators of Hepatic Steatosis

and Liver Injury. The Jour of Clin Invest. Vol 114 (2) : 147-152. Butler, J. A., Hagen, T. M., Moreau, R. 2009. Lipoic Acid Improves

Hypertriglyceridemia by Stimulating Triacylglycerol Clearance and

Page 132: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Downregulating Liver Triacylglycerol Secretion. Arch Biochem Biophys. Vol 485 (1) : 63–71.

Castro, M. C., Massa, M. L., Schinella, G., Gagliardino, J. J., Francini, F. 2013. Lipoic Acid Prevents Liver Metabolic Changes Induced by Administration of A Fructose-rich Diet. Biochem Biophys Acta. Vol 1830 (1) : 2226-2232.

Chalasani, N., Younossi, Z., Lavine, J. E., Diehl, A. E., Brunt, E. M., Cusi, K., Charlton, M., Sanyal, A. J. 2012. The Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease : Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology. Vol 55 (6) : 2005-2018.

Collantes, R., Ong, J.P., Younossi, Z.M. 2004. Nonalcoholic Fatty Liver Disease

and The Epidemic of Obesity. Cleveland Clin J of Med. Vol 71 (8) : 657-664.

Dabhi, A.S., Brahmbhatt, J., Pandya, T.P., Thorat, P.B., Shah, M.C. 2008. Non

Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). J Indian Acad of Clin Med. Vol 9 (1) : 36-41.

den-Boer, M., Voshol, P. J., Kuipers, F., Havekes, L. M., Romijn, J. A. 2004.

Hepatic Steatosis : A Mediator of The Metabolic Syndrome. Lessons From Animal Models. Arterioscler Thromb Vasc Biol. Vol 24 : 644-649.

Dhaka, V., Gulia, N., Ahlawat, K.S., Khatkar, B.S., 2011. Trans fats—Sources,

Health Risks and Alternative Approach - A Review. J Food Sci

Technol. Vol 48 : 534–541. Dhibi, M., Brahmi, F., Mnari, A., Houas, Z., Chargui, I., Bchir, L., Gazzah, N.,

Alsaif, M. A., Hammami, M. 2011. The Intake of High Fat Diet with Different Trans Fatty Acid Levels Differentially Induces Oxidative Stress and Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) in Rats. Nutri & Metab. Vol 8 (65) : 1-11.

Dorfman, S. E., Laurent, D., Gounarides, J.S., Li, X., Mullarkey, T.L., Rocheford, E.C., Sarraf, F.S., Hirsch, E.A., Hughes, T.E., Commerford, S.R. 2009. Metabolic Implications of Dietary Trans-fatty Acids. J Obesity. Vol 17 (6) :1200-1207.

Dowman, J. K., Tomlinson, J. W., Newsome, P. N. 2011. Systematic review : The Diagnosis and Staging of Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Nonalcoholic Steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther. Vol 33 : 525-540.

Page 133: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Ehrlich, S. D. 2011. Alpha-lipoic Acid. University of Maryland Medical Center. Available from : http://umm.edu/health/medical/altmed/supplement/alphalipoic-acid. Accessed : July, 01st, 2013.

El-Midadoui, A., Lungu, C., Wang, H., Wu, L., Robillard, C., Deblois, D., Couture, R. 2011. Impact of �-lipoic Acid on Liver Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-�, Vascular Remodeling, and Oxidative Stress in Insulin-Resistant Rats. Can J Physiol Pharmacol. Vol 89 (10) : 743-751.

Farag, R. S., Abdel-Latif, S. A., Basuny, A. M. M., El-Hakeem, B. S. 2010. Effect of Non-fried and Fried Oils of Varied Fatty Acid Composition on Rat Organs. Agric Biol J N Am. Vol 1 (4) : 501-509.

Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. 2nd

Edition. New York : Marcel Dekker.

Finlay, L. A., Michels, A. J., Butler, J. A., Smith, E. J., Monette, J. S., Moreau, R. F., Petersen, S. K., Frei, B., Hagen, T. M. 2012. R-�-lipoic Acid Does Not Reverse Hepatic Inflamation of Aging, but Lowers Lipid Anabolism, While Accentuating Circadian Ryhthm Transcript Profiles. Am J Physiol

Regul Integr Comp Physiol. Vol 302 (5) : 587-597.

Fransiska, E. 2010. “Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Ttindakan Ibu Rumah Tangga tentang Penggunaan Minyak Goreng Berulang Kali di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2010.” (Skripsi). Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Ganong, W. F. 2002. Review of Medical Physiology. Edisi ke-20. (Penerjemah :

Wijajakusumah, D). Jakarta : EGC.

Gauthier, M. S., Favier, R., Lavoie, J. M. 2006. Time Course of The Development of Non-Alcoholic Hepatic Steatosis in Response to High-fat Diet-induced Obesity in Rats. Brit Jour of Nutrit. Vol 95 : 273–281.

Ghidurus, M., Turtoi, M., Boskou, G., Niculita, P., Stan, V. 2010. Nutritional and

Health Aspects Related to Frying. Rom Biotech Letters. Vol 15 (6) : 5675-5682.

Goldman, R., Klatz, R. 2003. The New Anti Aging Revolution. Australian Edition.

p. 22-24.

Gowda, S., Desai, P. B., Hull, V. V., Math, A. A. K., Vernekar, S. N., Kulkarni, S. S. 2009. A Review On Laboratory Liver Function Tests. PanAfrican Med

Jour. p. 2-4.

Page 134: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Gray, H., Lawrence, H.B. 2000. Gray’s Anatomy. The Anatomy Basic of

Medicine and Surgery. Liver. New Edition. Elsievier. Oxford. p. 1803-1805.

Halliwel, B., Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and

Medicine. 3th. Ed. New York : Oxford University.

Hartono, E. 2011. “Pemberian Ekstrak Teh Hijau Menurunkan Perlemakan Hati Non Alkoholik Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.

Hasan, I., Gani, R. A., Machmud, R. 2002. Prevalence and Risk Factors For Nonalcoholic Fatty Liver in Indonesia. J Gastr Hepatol. Vol 17 : 154.

Henriksen, E. J. 2006. Exercise Training and The Antioxidant a-lipoic Acid in The

Treatment of Insulin Resistance and Type 2 Diabetes. Free Rad Bio &

Med. Vol 40 : 3-12. Henryk, D., Peter, S. 2010. Clinical Hepatology : Principles and Practice

of Hepatobiliary Diseases. Volume 1. Berlin : Springer. Herawati, Akhlus, S. 2006. Kinerja (Bht) Sebagai Antioksidan Minyak Sawit

Pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta Kimindo. Vol 2 : 1–8.

Higdon, J. 2006. Lipoic Acid. Linus Pauling Institute. Oregon State University. Available from : http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/othernuts/la/#biological_activity . Accessed : July, 01st, 2013.

Hoimcuist, L., Stuchbury, G., Berbaum, K., Muncat, S. 2007. Lipoic Acid as Novel Treatment for Alzheimer’s Disease and Related Dementias.

Pharmacol and Therap. Vol 113 (1) : 154-164.

Hübscher, S. G. 2006. Histological Assessment of Non-alcoholic Fatty Liver Disease. Histopathology. Vol 49 : 450–465.

Ingriani, N. 2012. “Pemberian Ekstrak Biji Irvingia gabonensis Mencegah

Kenaikan Berat Badan Dan Berat Lemak Abdominal Pada Tikus Jantan Yang Diberi Diet Tinggi Karbohidrat Dan Lemak.” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana.

Jung, T. S., Kim, S. K., Shin, H. J., Jeon, B.T., Hahm, J. R., Roh, G. S. 2012. �-Lipoic Acid Prevents Non-alcoholic Fatty Liver Disease in OLETF Rats. Liver Int. Vol 32 (10) : 1565-1573.

Page 135: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Kavanagh, K., Jones, K.L., Sawyer, J., Kelley, K., Carr, J.J., Wagner, J.D., Rudel, L.L. 2007. Trans Fat Diet Induces Abdominal Obesity and Changes in Insulin Sensitivity in Monkeys. J Obesity. Vol 15 (7) : 1675-1684.

Kee, J. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik. Jakarta :

EGC. p. 35-40.

Ketaren, 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. p. 47-53.

Kim, D. C., Jun, D. W., Jang, E. C., Kim, E. K., Lee, S. P., Lee, K. N., Lee, H. L.,

Lee, O. Y., Yoon, B. C., Choi, H. S. 2013. Lipoic Acid Prevents the Changes of Intracellular Lipid Partitioning by Free Fatty Acid. Gut and

Liv. Vol 7 (2) : 221-227.

Kim, H. S., Kim H. J., Kim, Y. N., Kwon, T.K., Kim, J. G., Lee, I. K. 2007. Alpha Lipoic Acid Inhibit matrix metalloproteinase-9 expresion by inhibiting NF-kB transcription activity. Exp and Mol Med. Vol 39 (1) : 106-113.

Koch, A., KÖnig, B., Spielmann, J., Leitner, A., Stang, G.l., Eder, K. 2007.�Thermally Oxidized Oil Increases the Expression of Insulin-Induced Genes and Inhibits Activation of Sterol Regulatory Element-Binding Protein-2 in Rat Liver. J of Nutr :�Biochem, Mol, and Genetic Mech. Vol�137 : 2018–2023.

Lesmana, L. A. 2007. Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik (Non-Alcoholic

Fatty Liver Disease). Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi. p. 301-305.

Lingga, L. 2012. The Healing Power of Antioxidant: Mengenal Lebih Jauh

Sumber Antioksidan Unggulan. Jakarta : Elex Media Komputindo. Luciana, B., Sutanto, A., Khomsan, A. 2005. Minyak Gorengpun Bisa Melawan

Kolesterol. Jakarta : Gramedia. Machado, R. M., Stefano, J. T., Oliveira, C. P. M. S., Mello, E. S., Ferreira, F. D.,

Nunes, V. S., de Lima, V. M. R., Quintao, E. C. R., Catanozi, S., Nakandakare, E. R., Lottenberg, A. M. P. 2010. Intake of Trans Fatty Acids Causes Nonalcoholic Steatohepatitis and Reduces Adipose Tissue Fat Content. J of Nutr. Vol 140 : 1127-1132.

Mangunsudirdjo, S., Ghozali, A., Harijadi, Utoro, T. 2001. Buku Kuliah Patologi

Umum. Edisi 1. Yogyakarta : Bagian Patologi Anatomik FK UGM.

Page 136: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Marczyk, G., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essential of Research Design

and Methodology. New Jersey : John Wiley & Son, Inc.

Marinova, E. M., Seizova, K. A., Totseva, I. R., Panayotova, S. S., Marekov, I. N., Momchilova, S. M. 2012. Oxidative Changes in Some Vegetable Oils During Heating at Frying Temperature. Bulgarian Chem Communic. Vol 44 (1) : 57 – 63.

Mason, P. 2001. Dietary Supplements. 2nd. Ed. United Kingdom : Pharmaceutical Press.

Maulida, F. 2010. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea l.) Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Moini, H., Packer, L., Saris, N. E. 2002. Antioxidant and Prooxidant Activities of

Alpha-lipoic Acid and Dihydrolipoic acid. Toxicol Appl Pharmacol. Vol 182 (1) : 84-90.

Mulyati, S., Meilina, H. 2007. Pemurnian Minyak Jelantah dengan Menggunakan

Sari Mengkudu. Available from : http://222.124.186.229/gdl40/go.php?id= gdlnode-gdl-res-2007-srimulyati-1082&node-3517&start=6 Accessed : May, 11th, 2013.

Mulyono, A., Ristiyanto, Soesanti, N. 2009. Karakteristik Histopatologi Hepar Tikus Got

Rattus norvegicus Infektif Leptospira sp.

J Vektora. Vol 1 (2)

: 84-92.

Murray, R.K., Robert Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper. 26th. Ed. Appleton and Lange Medical Book. p. 609-612.

Nurman, A., Huang, M. A. 2007. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Univ

Medicina. Vol 26 (4) : 205-215. Oeij, Adhika, A., Atmadja, W. L., Achmad, S., Tohardi, A. 2007. Gambaran

Anatomi Mikroskopik dan Kadar Malondialdehida pada Hati Mencit Setelah Pemberian Minyak Kelapa Sawit Bekas Menggoreng. JKM. Vol 7 (1) : 15-25.

Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan

Meningkatkan Kualitas Hidup. Upaya Menghambat Penuaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Gramedia.

Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging : Tetap Muda dan Sehat. Jakarta : Penerbit Buku

Kompas Gramedia.

Page 137: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Petta, S., Muratoreb, C., Craxia, A. 2009. Non-alcoholic Fatty Liver Disease Pathogenesis : The Present And The Future. Editrice Gastroenter Italiana

S.r.l. Elsevier. Vol 41 : 615-625. Pham-Huy, L.A.P., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in

Disease and Health. Int J Biomed Sci. Vol 4 : 89-96.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, p. 472-476. Raharjo, S. S., Jusup, A. 2011. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea L.)

Sebagai Anti Oksidan Alami Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Dan Gambaran Histologi Sel Hepar Rattus norvegicus L. Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Artikel). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Rahayu, A. 2007. “Pengaruh Frekuensi Penggorengan dari Minyak Jelantah Bermerk dan tidak Bermerk terhadap Nekrosis Sel Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).” (Skripsi). Malang : UMM.

Reddy, J. K., Rao, M. S. 2006. Lipid Metabolism and Liver Inflammation. II.

Fatty Liver Disease and Fatty Acid Oxidation. Am J Physiol Gastrointest

Liver Physiol. Vol 290 : 852-858. Reynertson, K. A. 2007. “Phytochemical Analysis of Bioactive Constituens from

Edible Myrtaceae Fruit” (Dissertation). New York : University of New York.

Romaria, M. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses

Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang

Dihasilkan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Rukmini, A. 2007. Regenerasi Minyak Goreng Bekas Dengan Arang Sekam

Menekan Kerusakan organ tubuh. Seminar Nasional Teknologi 2007. ISSN : 1978-9177.

Samuelson, D. A. 2007. Text Book of Veterinary Histology : Liver. Launder Elsevier. Sanyal, A. J. 2002. AGA Technical Review on Nonalcoholic Fatty Liver Disease.

Am Gastroenter Assoc (AGA). Vol 123 : 1705-1725. Sari, G. A. C. 2012. “Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik Pada Sindroma

Metabolik Dewasa : Gambaran Klinik dan Hubungan Antara Jumlah Komponen Sindroma Metabolik Yang Terganggu Dengan Derajat

Page 138: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Ultrasonografi.” (Karya Tulis Ilmiah). Semarang : Universitas Diponegoro.

Sartika, R. A. D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep

Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Mark Sains. Vol 13: 23-28.

Seo, E. Y., Ha, A. W., Kim, W. K. 2012. �-Lipoic Acid Reduced Weight Gain and

Improved The Lipid Profile in Rats Fed with High Fat Diet. Nutri

Research and Pract. Vol 6 (3) :195-200. Schiff, E. R., Sorrell, M. F., Maddrey, W. C. 2006. Schiff’s Disease of The Liver.

8th. Ed. Lippincott-Raven Publisher. p. 83-84. Shay, K. P., Moreau, R. F., Smith, E. J., Smith, A. R., Hagen, T. M. 2009. Alpha-

Lipoic Acid as A Dietary Supplement : Molecular Mechanisms and Therapeutic Potential. Biochem Biophys Acta. Vol 1790 (10) : 1149–1160.

Stahl, W., Sies, H. 2002. Carotenoid and Protection Against Solar UV Radiation.

Skin Pharmacol Appl. Skin Physiol. Vol.15 : 291-296.

Stier, R.F. 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. Available from : www.preparedFood.com. Accessed : March, 09th, 2013.

Suwandi, T. 2012. “Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan

Malondialdehid pada Tikus yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.

Tacer, K.F., Rozman, D. 2011. Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Focus on

Lipoprotein and Lipid Deregulation. J of Lipids. Vol 10 : 1-14. Takahashi, Y., Soejima, Y., Fukusato, T. 2012. Animal Models of Nonalcoholic

Fatty Liver Disease/Nonalcoholic Steatohepatitis. World J Gastroenterol. Vol 18 (19) : 2300-2308.

Tandon, R. 2005. Antioxidant : Past and Present. Available from : URL

http://www pharmainfo.net/reviews/antioxidant past and present. Accessed : February, 25th, 2013.

Valdecantos, M. P., Pérez-Matute, P., González-Muniesa, P., Prieto-Hontoria, P.L., Moreno-Aliaga, M. J., Martínez, J. A. 2012. Lipoic Acid Improves Mitochondrial Function in Nonalcoholic Steatosis Through The Stimulation of Sirtuin 1 and Sirtuin 3. Obesity (Silver Spring). Vol 20 (10) : 1974-1983.

Page 139: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Wahab, A.W., Dewang, S., Armynah, B., Ponganan, K. 2011. “Analisis Spektrum Infra Merah dari Minyak Goreng Kelapa Untuk Identifikasi Perubahan Panjang Gelombang Akibat Variasi Temperatur.” (Makalah Seminar). Ujung Pandang : Universitas Hasanuddin.

Warner, K. 2002. Chemistry of Frying Oils. Food Lipids. 2nd. Ed. New York : Marcel Dekker, Inc.

Wei, Y., Rector, R. S., Thyfault, J. P., Ibdah, J. A. 2008. Nonalcoholic Fatty Liver

Disease and Mitochondrial Dysfunction. World J Gastroentero. Vol 14 (2) : 193-199.��

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Wong, C. 2007. Alpha Lipoic Acid. Available from :

http://altmedicine.about.com.od/alphalipoicacid/a/alphalipoicaccidhtm . Accessed : June, 26th, 2013.

Yang, R., Le, G., Li, A., Zheng, J., Shi, Y. 2006. Effect of Antioxidant Capacity

on Blood Lipid Metabolism and Lipoprotein Lipase Activity of Rats Fed a

High-fat Diet. J of Nutr. Vol (11-12) : 1185-1191.

Yang, R. L., Li, W., Shi, Y. H., Le, G. W. 2008. Lipoic Acid Prevents High-fat Diet-induced Dyslipidemia and Oxidative Stress : A Microarray Analysis. Vol 24 (6) : 582-588.

Yustinah. 2009. Pengaruh Massa Absorben Chitin Pada Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA), Bilangan Peroksida, dan Warna Gelap Minyak Goreng Bekas. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009. p.1-14.

Zalejska-Fiolka, J., Wielkoszyski, T., Kasperczyk, S., Kasperczyk, A., Birkner,

E. 2010. Effects of Oxidized Cooking Oil and �-lipoic Acid on Liver Antioxidants: Enzyme Activities and Lipid Peroxidation in Rats Fed a High Fat Diet. Biol Trace Elem Res. Vol 138 (1-3) : 272-281.

Zimmet, P., Magliano, D., Matsuzawa, Y. 2005. The Metabolic Syndrome : A

Global Health Problem and A New Definition. J Atheroscl Thromb. Vol 12 : 295-300.

Page 140: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 1. ETICHAL CLEARANCE

Page 141: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 2. TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS

Laurence and Bacharach (1964)

Mencit

20 gr

Tikus

200gr

Marmot

400 gr

Kelinci

1,5 kg

Kucing

2 kg

Kera

4 kg

Anjing

12 kg

Manusia

70 kg

Mencit

20 gr

1.0 7.0 12.25 27.8 29.7 64.1 124.2 387.9

Tikus

200 gr

0.14 1.0 1.74 3.9 4.2 9.2 17.8 56.0

Marmot

400 gr

0.08 0.57 1.0 2.25 2.4 5.2 10.2 31.5

Kelinci

1,5 kg

0.04 0.25 0.44 1.0 1.08 2.4 4.5 14.2

Kucing

2 kg

0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0

Kera

4 kg

0.016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1

Anjing

12 kg

0.008 0.06 0.1 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1

Manusia

70 kg

0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0

Page 142: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 3. HASIL PENGHITUNGAN JUMLAH STEATOSIS

No. Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

1 79 61 29

2 81 62 28

3 70 72 25

4 82 60 20

5 72 59 22

6 73 63 30

7 80 66 26

8 78 58 15

9 78 67 15

10 74 75 19

Page 143: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 4. HASIL PEMERIKSAAN KADAR ALT (U/L)

No. Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2

1 109 64 51

2 87 71 66

3 93 82 57

4 92 87 77

5 79 65 61

6 102 67 63

7 89 82 63

8 81 75 68

9 83 86 61

10 99 77 55

Page 144: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 5. UJI NORMALITAS DATA

Tests of Normality

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Jumlah_Steatosis Kontrol .223 10 .171 .928 10 .430

Perlakuan 1 .191 10 .200* .909 10 .275

Perlakuan 2 .148 10 .200* .924 10 .394

Kadar_ALT Kontrol .134 10 .200* .960 10 .788

Perlakuan 1 .172 10 .200* .922 10 .374

Perlakuan 2 .156 10 .200* .967 10 .864

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Lampiran 6. UJI ONE WAY ANOVA

Descriptives

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

Jumlah_Steatosis Kontrol 10 76.70 4.138 1.309 73.74 79.66 70 82

Perlakuan 1 10 64.30 5.658 1.789 60.25 68.35 58 75

Perlakuan 2 10 22.90 5.547 1.754 18.93 26.87 15 30

Total 30 54.63 23.920 4.367 45.70 63.57 15 82

Kadar_ALT Kontrol 10 91.40 9.663 3.056 84.49 98.31 79 109

Perlakuan 1 10 75.60 8.592 2.717 69.45 81.75 64 87

Perlakuan 2 10 62.20 7.269 2.299 57.00 67.40 51 77

Total 30 76.40 14.684 2.681 70.92 81.88 51 109

Page 145: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Jumlah_Steatosis .638 2 27 .536

Kadar_ALT .727 2 27 .493

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Jumlah_Steatosis Between Groups 15873.867 2 7936.933 298.008 .000

Within Groups 719.100 27 26.633

Total 16592.967 29

Kadar_ALT Between Groups 4272.800 2 2136.400 29.127 .000

Within Groups 1980.400 27 73.348

Total 6253.200 29

Page 146: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Multiple Comparisons

LSD

Dependent Variable (I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower

Bound Upper Bound

Jumlah_Steatosis Kontrol Perlakuan 1 12.400*

2.308 .000 7.66 17.14

Perlakuan 2 53.800*

2.308 .000 49.06 58.54

Perlakuan 1 Kontrol -12.400*

2.308 .000 -17.14 -7.66

Perlakuan 2 41.400*

2.308 .000 36.66 46.14

Perlakuan 2 Kontrol -53.800*

2.308 .000 -58.54 -49.06

Perlakuan 1 -41.400*

2.308 .000 -46.14 -36.66

Kadar_ALT Kontrol Perlakuan 1 15.800*

3.830 .000 7.94 23.66

Perlakuan 2 29.200*

3.830 .000 21.34 37.06

Perlakuan 1 Kontrol -15.800*

3.830 .000 -23.66 -7.94

Perlakuan 2 13.400*

3.830 .002 5.54 21.26

Perlakuan 2 Kontrol -29.200*

3.830 .000 -37.06 -21.34

Perlakuan 1 -13.400*

3.830 .002 -21.26 -5.54

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 147: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 7. FOTO HASIL PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 100x

Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 100x

Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 100x

VS

Keterangan Gambar :

VS = Vena Sentralis

� = kumpulan steatosis tampak lebih padat dibandingkan Kelompok P1

VS

Keterangan Gambar :

VS = Vena Sentralis

� = kumpulan steatosis tampak lebih jarang dibandingkan Kelompok P0

VS

Keterangan Gambar :

VS = Vena Sentralis

= hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.

Page 148: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 400x

Kelompok perlakuan 1 (P1) perbesaran 400x

Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 400x

Keterangan Gambar :

Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1

� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer

Keterangan Gambar :

Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0

� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer

� = hepatosit normal

Keterangan Gambar :

VS = Vena Sentralis

� = hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.

VS

Page 149: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 1000x

Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 1000x

Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 1000x

Keterangan Gambar :

Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1

� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer

� = hepatosit normal

Keterangan Gambar :

Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0

� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer

� = hepatosit normal

Keterangan Gambar :

Kumpulan hepatosit normal dengan nukleus yang tampak jelas dan berada di tengah sel

� = hepatosit normal

Page 150: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah

Lampiran 8. FOTO PENDUKUNG PENELITIAN

Page 151: Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah