kajian proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah dengan ...
Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt...
-
Upload
apri-setya -
Category
Documents
-
view
44 -
download
15
description
Transcript of Aida Setiawan-pemberian Alpha Lipoic Acid Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis Dan Kadar Alt...
TESIS
PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL
MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS
DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN
YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
AIDA SETIAWAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL
MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS
DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN
YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
AIDA SETIAWAN
NIM 1290761036
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL
MENGHAMBAT PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS
DAN KADAR ALT PADA TIKUS WISTAR JANTAN
YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
AIDA SETIAWAN
NIM 1290761036
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL : 8 April 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes. Prof.Dr.dr. Wimpie I.Pangkahila, Sp.And., FAACS NIP : 196105051990022001 NIP : 194612131971071001
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik Direktur Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.And., FAACS Sp.S (K) NIP : 194612131971071001 NIP : 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
Oleh Panitia Penguji Program Pascasarjana
Universitas Udayana
pada Tanggal : 8 April 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 753/UN.14.4/HK/2014
Tanggal : 21 Maret 2014
Ketua : Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes.
Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS
2. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And.
3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK.
4. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan, Bapa yang Maha Baik
atas segala berkat dan karunia-Nya yang luar biasa, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : Pemberian Alpha-lipoic Acid
Oral Menghambat Peningkatan Jumlah Steatosis dan Kadar ALT pada Tikus
Wistar Jantan yang Diberi Minyak Jelantah. Tesis ini disusun guna memenuhi
persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister
Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan
dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,
M.Kes., selaku pebimbing I dan Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,
FAACS., selaku pembimbing II atas bimbingan, perhatian, saran-saran serta
motivasi yang telah diberikan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini.
Perkenankanlah juga penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih
secara tulus kepada :
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di
Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku Ketua
Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine dan
Pembimbing II, yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, dan saran
yang membangun kepada penulis.
4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And., selaku penguji yang
dengan penuh kesabaran telah memberikan banyak ilmu, dorongan,
bimbingan, dan masukan yang sangat berharga kepada penulis selama
penyusunan dan penyelesaian tesis ini.
5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., selaku penguji yang telah banyak
memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan ilmiah kepada penulis selama
penelitian dan penyelesaian tesis ini.
6. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH., selaku penguji yang telah banyak
memberikan ilmu, bimbingan, dan masukan terutama dalam hal penulisan,
penyusunan, dan penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Sukidi dan seluruh staf, dari Laboratorium Animal Unit bagian
Histologi FK Universitas Sebelas Maret, yang telah menyediakan fasilitas
penelitian serta banyak memberikan bantuan dan masukan kepada penulis
dalam menyelesaikan penelitian. Bagian Patologi Klinik FK Universitas
Gajah Mada, atas segala sarana dan bantuan yang diberikan dalam
pelaksanaan penelitian.
8. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik yang telah banyak
memberikan ilmu dan bimbingan selama pendidikan, serta seluruh staf
bagian Ilmu Biomedik yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah membantu selama pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis ini.
9. PT. KK Indonesia dan segenap Pimpinan, terutama Dato’ DR. Andrew Ho
dan Bapak Edy, S.E., yang telah memberikan kesempatan untuk
menjalankan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana dan
memberikan dukungan yang luar biasa, baik moral maupun material,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan
baik.
10. Mamaku terkasih Bernadeth Gow Wen Nio, yang telah mencurahkan
perhatian dan kasih sayang tanpa batas, dan menyertai setiap langkahku
dengan doa dari awal pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
11. Suamiku tercinta Norman Tjahjanto, yang selalu tulus mencintaiku dan
dengan penuh pengertian mendampingi, menguatkan, dan membantuku
selama pendidikan hingga penyelesaian tesis ini.
12. Almarhum Papaku terkasih Yohanes Tio Wan Kie dan Sandra Deviana
keponakanku tersayang, yang kuyakini selalu mencintai, menyertai, dan
mendoakanku dari Surga.
13. Rekan sejawat dan seniorku dr. Novita Ingriani, serta dr. Jessica Tara W.
dan rekan sejawat lainnya, yang telah banyak memberikan dorongan,
masukan, dan saran selama penelitian, penyusunan, dan penyelesaian tesis
ini.
Penulis juga menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka
dari itu penulis ingin menyampaikan permohonan maaf jika masih terdapat
kekurangan dalam tesis ini. Adanya kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan. Meski tak sempurna penulis tetap berharap tesis ini dapat
memberikan manfaat, baik bagi penulis pribadi, bagi Program Magister Program
Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, serta bagi
pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Akhir kata, semoga Allah Bapa Yang Maha Kuasa senantiasa
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah turut
berperan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini. Amin.
Denpasar, April 2014
Penulis
ABSTRAK
PEMBERIAN �LPHA LIPOIC ACID ORAL MENGHAMBAT
PENINGKATAN JUMLAH STEATOSIS DAN KADAR ALT PADA TIKUS
WISTAR JANTAN YANG DIBERI MINYAK JELANTAH
Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik. Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam patogenesis perlemakan hati non alkoholik. Alpha-lipoic Acid (ALA) merupakan antioksidan kuat yang dapat meningkatkan sintesis antioksidan endogen dalam tubuh dan mendaur ulang komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan koenzim Q10. ALA juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki resistensi insulin dan menekan respon inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ALA oral dalam menghambat perlemakan hati non alkoholik yang dilihat dari jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan post-
test only control group design, yang dilaksanakan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Penelitian ini menggunakan 30 (tiga puluh) ekor tikus Wistar jantan yang dibagi secara acak menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml (aquadest); Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 5,4 mg; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg. Perlakuan diberikan selama 14 hari. Uji perbandingan antar ketiga kelompok sesudah perlakuan dengan menggunakan One Way Anova menunjukkan rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ± 5,547. Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis dan kadar ALT Kelompok P1 dan Kelompok P2 lebih rendah secara bermakna dibandingkan Kelompok P0, sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ALA oral selama 14 hari menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah. Penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT lebih besar pada Kelompok P2 dibandingkan Kelompok P1. Kata kunci : minyak jelantah, perlemakan hati non alkoholik, Alpha-lipoic Acid, jumlah steatosis, kadar ALT.
ABSTRACT
ORAL ADMINISTRATION OF ALPHA LIPOIC ACID INHIBITS THE
INCREASE OF STEATOSIS COUNT AND ALT LEVEL IN MALE
WISTAR RATS FED WITH WASTE COOKING OIL
Waste cooking oil as free radicals will cause oxidative stress in the body. Continuous oxidative stress will lead to aging acceleration and cause degenerative and chronic diseases, such as Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). Insulin resistance, oxidative stress, inflammation, and the activation of immune system contribute in the pathogenesis of NAFLD. Alpha-lipoic Acid (ALA) is a powerful antioxidant which has the capability to enhance the synthesis of endogenous antioxidants and regenerates other antioxidants such as, vitamin C, vitamin E, and Coenzyme Q10. ALA as a potent antioxidant has been proven to improve insulin resistance and suppress inflammation response. This research was aimed to investigate the effect of oral administration of ALA in inhibiting NAFLD, which was assessed by the steatosis count and alanine aminotransferase (ALT) level in male Wistar rats fed with waste cooking oil. This experimental research applied post-test only control group design, which was conducted in the Animal Unit Laboratory - Histology Department at the University of Sebelas Maret Faculty of Medicine, and Clinical Pathology Department at the University of Gajah Mada Faculty of Medicine. This research was done on 30 male Wistar rats which were divided into three research groups. The first group was the Control Group (P0) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 1 ml placebo (aquadest). The second group was the Treated Group 1 (P1) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 5,4 mg ALA. And the third group was Treated Group 2 (P2) which was administered 0,42 ml waste cooking oil and 10,8 mg ALA. The treatment was conducted for 14 days. Comparison test between the three treated groups by One Way Anova, resulted in the mean steatosis count of the P0 group was 76,70 ± 4,138, the mean steatosis count of the P1 group was 64,30 ± 5,658, and the mean steatosis count of the P2 group was 22,90 ± 5,547. The mean ALT level of the P0 group was 91,40 ± 9,663, the mean ALT level of the P1 group was 75,60 ± 8,529, and the mean ALT level of the P2 group was 62,20 ± 7,269. Comparison test result showed that the mean steatosis count and ALT level of the P1 group and the P2 group were significantly lower than the P0 group, after treated for 14 days (p < 0,05). This study showed that oral administration of ALA for 14 days inhibited the increase of steatosis count and ALT level in male wistar rats fed with waste cooking oil. The inhibition result of steatosis count and ALT level was more significant on the P2 group than the P1 group. Keywords : waste cooking oil, Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD), Alpha-lipoic Acid, steatosis count, alanine aminotransferase (ALT) level.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
PRASYARAT GELAR...................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI................................................................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................. v
ABSTRAK.......................................................................................................... viii
ABSTRACT........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI...................................................................................................... x
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xvii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xix
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 8
1.3.1 Tujuan Umum................................................................................. 8
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 8
1.4.1 Manfaat Ilmiah................................................................................ 8
1.4.2 Manfaat Praktis............................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................... 10
2.1 Penuaan....................................................................................................... 10
2.2 Radikal Bebas............................................................................................. 12
2.2.1 Definisi dan Sifat Radikal Bebas.................................................... 12
2.2.2 Sumber Radikal Bebas.................................................................... 13
2.2.3 Stres Oksidatif................................................................................. 15
2.3 Antioksidan................................................................................................. 15
2.4 Minyak Goreng........................................................................................... 18
2.4.1 Komposisi Minyak Goreng............................................................. 19
2.5 Proses Menggoreng Deep Frying dan Minyak Jelantah............................ 21
2.5.1 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan......... 26
2.6 Hati.............................................................................................................. 29
2.6.1 Fungsi Hati...................................................................................... 29
2.6.2 Histologi dan Fisiologi Hepatosit................................................... 30
2.6.3 Perubahan Regresif Hepatosit......................................................... 33
2.7 Non-alcoholic Fatty Liver Disease atau Penyakit Perlemakan Hati
Non-alkoholik............................................................................................. 35
2.7.1 Faktor Penyebab dan Faktor Resiko NAFLD................................. 36
2.7.2 Patogenesis NAFLD...................................................................... 38
2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD............................. 39
2.7.7.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD.......................... 45
2.7.3 Diagnosis NAFLD.......................................................................... 46
2.7.4 Gambaran Histologis NAFLD........................................................ 49
2.8 Alpha-lipoic Acid (ALA)............................................................................ 51
2.8.1 Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan.......................... 52
2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive
Nitrogen Species................................................................. 54
2.8.1.2 Regenerasi Antioksidan Lain.............................................. 54
2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation............................... 55
2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione............................................... 55
2.8.2 Manfaat Alpha-lipoic Acid.............................................................. 56
2.8.3 Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD....................................... 59
2.8.4 Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran............................ 63
2.8.5 Efek Samping Alpha-lipoic Acid.................................................... 64
2.8.6 Interaksi Obat.................................................................................. 65
2.9 Hewan Coba................................................................................................ 66
2.9.1 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium......................... 68
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ................. 69
3.1 Kerangka Berpikir....................................................................................... 69
3.2 Konsep Penelitian....................................................................................... 71
3.3 Hipotesis Penelitian.................................................................................... 71
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 72
4.1 Rancangan Penelitian.................................................................................. 72
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................... 73
4.2.1 Tempat Penelitian........................................................................... 73
4.2.2 Waktu Penelitian............................................................................. 73
4.3 Penentuan Sumber Data.............................................................................. 74
4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian.............................................................. 74
4.3.2 Penentuan Besar Sampel................................................................. 74
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel.......................................................... 75
4.4 Variabel Penelitian...................................................................................... 76
4.4.1 Klasifikasi Variabel........................................................................ 76
4.4.2 Definisi Operasional Variabel........................................................ 76
4.4.3 Hubungan Antar Variabel............................................................... 78
4.5 Alat dan Bahan Penelitian........................................................................... 78
4.5.1 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian................................... 78
4.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian............................ 79
4.6 Prosedur Penelitian..................................................................................... 80
4.6.1 Penentuan Dosis Minyak Jelantah.................................................. 80
4.6.2 Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid................................................ 80
4.6.3 Penentuan Dosis Plasebo................................................................ 80
4.6.4 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian.................. 81
4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba....................................................... 81
4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba....................................................... 81
4.6.5 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian......................... 82
4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah................................................ 82
4.6.5.2 Pemberian Plasebo.............................................................. 82
4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid.............................................. 82
4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah................................................ 83
4.6.5.5 Pembedahan........................................................................ 83
4.6.6 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian................... 83
4.6.7 Pemeriksaan Kadar ALT................................................................. 84
4.6.8 Pembuatan Sediaan......................................................................... 84
4.6.9 Pengamatan..................................................................................... 87
4.6.10 Alur Penelitian................................................................................ 88
4.6.11 Analisis Data................................................................................... 89
BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................. 90
5.1 Uji Normalitas Data.................................................................................... 90
5.2 Uji Homogenitas Data................................................................................ 91
5.3 Uji Komparasi............................................................................................ 92
5.3.1 Jumlah Steatosis............................................................................. 92
5.3.2 Kadar ALT...................................................................................... 94
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN.............................................. 98
6.1 Subjek Penelitian........................................................................................ 98
6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian.............................................. 98
6.3 Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non
Alkoholik.................................................................................................... 99
6.3.1 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit”................ 100
6.3.2 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit”............. 104
6.4 Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging
Medicine...................................................................................................... 108
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 109
7.1 Simpulan..................................................................................................... 109
7.2 Saran........................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 110
LAMPIRAN........................................................................................................... 120
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik.......................... 37
Tabel 5.1. Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT Antar
Kelompok Sesudah Perlakuan............................................................. 91
Tabel 5.2. Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT
Antar Kelompok Sesudah Perlakuan.................................................... 91
Tabel 5.3. Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan............ 92
Tabel 5.4. Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah
Perlakuan...............................................................................................93
Tabel 5.5. Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan..................... 95
Tabel 5.6. Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah
Perlakuan...............................................................................................96
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Minyak Jelantah………………............…………….....……..…... 22
Gambar 2.2. Sistem Asinus dan Sistem Lobulus Hati...……………………..... 32
Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Two-Hit” Theory…………………………...... 39
Gambar 2.4. Struktur Alpha-lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid....................... 53
Gambar 3.1. Skema Konsep Penelitian............................................................... 71
Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian.......................................................... 72
Gambar 4.2. Skema Hubungan Antar Variabel................................................... 78
Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian.................................................................... 88
Gambar 5.1. Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok...... 94
Gambar 5.2. Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok............... 97
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Ethical Clearance........................................................................... 122
Lampiran 2. Tabel Konversi Perhitungan Dosis................................................. 123
Lampiran 3. Hasil Penghitungan Jumlah Steatosis............................................. 124
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Kadar ALT....................................................... 125
Lampiran 5. Uji Normalitas Data........................................................................ 126
Lampiran 6. Uji One Way Anova........................................................................ 126
Lampiran 7. Foto Hasil Pemeriksaan Histopatologi........................................... 129
Lampiran 8. Foto Pendukung Penelitian............................................................. 132
DAFTAR SINGKATAN
AAM = Anti-Aging Medicine
ACC = Acetyl CoA Carboxylase
ALA = Alpha-lipoic Acid
ALT = Alanine Aminotransferase
AO = Antioksidan
ApoB-100 = Apoliprotein B-100
AST = Aspartate Transaminase
ATGL = Adipose Triglyceride Lipase
ATP = Adenocine Triphosphate
BB = Berat Badan
BPOM = Badan Pengawasan Obat dan Makanan
CAT = Catalase
ChREBP = Carbohydrate Response Element Binding Protein
CPO = Crude Palm Oil
CPT-1 = Carnitine Palmonitoyl Transferase-1
CT = Computerized Tomography
DGAT-2 = Diacylglycerol O-acyltransferase-2
DHLA = Dihydrolipoic Acid
DM = Diabetes Mellitus
DNA = Deoxyribonucleic Acid
FASN = Fatty Acid Synthase
FFA = Free Fatty Acid
GCL = Gamma-glutamylcysteine Ligase
GPAT-1 = Glycerol-3-phosphate acyltransferase-1
GR = Glutathione Reductase
GSH-Px = Glutathione Peroxydase
HDL = High Density Lipoproteins
HNE = Trans-4-Hydroxy-2-Nonenal
HOCL = Hypochlorous Acid
HSL = Hormone-sensitive Lipase
IL-6 = Interleukin-6
IR = Insulin Receptor
IRS-1 = Insulin Receptor Substrates-1
LDL = Low Density Lipoproteins
LPL = Lipoprotein Lipase
LSD = Least Significant Difference
MDA = Malondialdehyde
MIT = Microsomal TG Transfer Protein
MRI = Magnetic Resonance Imaging
MS = Multiple Sclerosis
MUFA = Mono-unsaturated Fatty Acids
NAFL = Non-alcoholic Fatty Liver
NAFLD = Non-alcoholic Fatty Liver Disease
NASH = Non-alcohlic Steatohepatitis
NIH = The National Institutes of Health
OLETF = Otsuka Long-Evans Tokushima Fatty
PHNA = Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik
PJK = Penyakit Jantung Koroner
PPAR-� = Peroxisome Proliferator Activated Receptor- �
PPAR-� = Peroxisome Proliferator Activated Receptor- �
PUFA = Poly Unsaturated Fatty Acid
RNA = Ribonucleic Acid
RNS = Reactive Nitrogen Species
ROS = Reactive Oxygen Species
SFA = Saturated Fatty Acid
SIRT = Sirtuin
SOD = Super Oxide Dismutase
SREBP-1 = Sterol Regulatory Element Binding Protein-1
TG = Trigliserida
TNF-� = Tumor Necrosis Factor- �
USG = Ultrasonography
VLDL = Very Low Density Lipoprotein
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah sebuah proses yang pasti terjadi, namun laju proses
penuaan dapat berbeda-beda pada setiap orang. Banyak faktor yang menyebabkan
dan mempengaruhi laju penuaan itu sendiri. Dengan mengetahui penyebabnya,
maka dapat dilakukan berbagai upaya berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk
menghambat atau memperlambat proses penuaan, sehingga seseorang dapat
menua dengan kualitas hidup yang baik.
Penuaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan faktor-faktor itu secara
garis besar dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal misalnya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikolasi,
metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Contoh faktor
eksternal misalnya gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan
salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).
Salah satu teori tentang radikal bebas dikemukakan Goldman dan Klantz
(2003), bahwa penimbunan radikal bebas akan menyebabkan stres oksidatif yang
pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan, bahkan kematian sel dalam tubuh.
Radikal bebas dapat berasal dari dalam dan luar tubuh.
Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, misalnya akibat proses
respirasi sel, proses metabolisme, proses inflamasi, sedangkan yang berasal dari
luar, misalnya polutan, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar
matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun pestisida, minyak
goreng jelantah, dan masih banyak lagi yang lainnya (Pham-Huy et al., 2008).
Masyarakat Indonesia pada umumnya sangat menyukai makanan yang
digoreng (Oeij et al., 2007). Salah satu proses menggoreng makanan yang paling
sering dilakukan adalah deep frying. Deep frying adalah cara memasak atau
memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak,
berulang , dan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC, (Sartika, 2009; Ghidurus et al.,
2010). Selama proses deep frying terjadi berbagai reaksi degradasi, yaitu
hidrolisis, oksidasi termal, dan polimerisasi minyak goreng. Minyak jelantah
adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses
menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi (Fransiska, 2010; Wahab et al.,
2011). Indikator paling mudah untuk mengetahui minyak jelantah adalah
warnanya coklat tua sampai hitam (Rahayu, 2007).
Minyak yang telah rusak dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan
efek negatif pada tekstur, rasa dan gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga
berdampak buruk bagi kesehatan (Khomsan, 2003). Minyak jelantah sebagai
radikal bebas dapat memicu terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh, maka
konsumsi minyak jelantah dapat menimbulkan kerusakan DNA, protein,
peroksidasi lipid, dan kerusakan membran sel. Stres oksidatif yang berlangsung
terus menerus dapat mempercepat penuaan dan menyebabkan timbul penyakit-
penyakit yang bersifat kronis dan degeneratif (Dorffman et al., 2009).
Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan minyak jelantah sebagai
radikal bebas adalah perlemakan hati non alkoholik atau Nonalcoholic Fatty Liver
Disease (Murray, 2003; Dabhi et al., 2008). Nonalcoholic Fatty Liver Disease
(NAFLD) mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis sederhana
(perlemakan hati atau fatty liver), Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH), fibrosis,
hingga sirosis hati (Tacer and Rozman, 2011).
Beberapa dekade belakangan ini prevalensi penyakit perlemakan hati non-
alkoholik di seluruh dunia meningkat dengan pesat. Di Indonesia sampai saat ini
belum ada data prevalensi NAFLD pada populasi umum. Namun, penelitian Hasan
et al. (2002) pada populasi urban di Jakarta dengan USG hati didapatkan
prevalensi NAFLD sekitar 30%. Di RSUP Kariadi Semarang dengan pemeriksaan
USG hati pada tahun 2005-2009 didapatkan peningkatan kasus perlemakan hati
dari tahun ketahun, masing-masing pertahun adalah 4%, 4.5%, 5%, 6% dan 7%
(Hasan et al., 2002). Resistensi insulin adalah faktor penting yang mendasari
NAFLD, maka seiring dengan meningkatnya prevalensi dan insiden obesitas dan
sindrom metabolik, prevalensi dan insiden NAFLD pun semakin meningkat
(Nurman and Huang, 2007).
Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkoholik
memerlukan bukti adanya perubahan perlemakan pada hati (steatosis) tanpa
adanya riwayat konsumsi alkohol berlebihan. NAFLD adalah suatu kelainan hati
dimana lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak (Amarapurkar, 2010). Batasan
konsumsi alkohol yang masih diijinkan dalam NAFLD yaitu 140 g etanol/minggu
untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007).
NAFLD merupakan penyebab paling sering dari peningkatan kadar
alanine aminotransferase (ALT) persisten yang tidak jelas penyebabnya (Sanyal,
2002; Anania and Parekh, 2007). ALT dianggap lebih spesifik daripada AST
karena ALT paling banyak ditemukan di dalam hati, sedangkan AST juga dapat
ditemukan di jantung, otot rangka, otak dan ginjal (Maulida, 2010; Raharjo and
Jusup, 2011). Pada umumnya, peningkatan ALT pada NAFLD tidak melebihi 5
kali batas atas nilai normal (Nurman and Huang, 2007). Namun, pemeriksaan
laboratorium tidak dapat secara akurat membedakan steatosis dengan
steatohepatitis. Biopsi hati masih menjadi standar emas untuk diagnosis dan
penentuan prognosis NAFLD (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012).
Walaupun kasus NAFLD terus berkembang pesat selama beberapa dekade
belakangan, terapi yang ditujukan untuk mengobati atau mencegah terjadinya
penyakit ini masih sangat terbatas. Hingga saat ini, belum ada uji klinis besar yang
mampu menunjukkan keefektivan dalam mengubah perjalanan alami NAFLD.
(Anania and Parekh, 2007).
Berdasarkan pemahaman yang ada tentang patogenesis NAFLD, terapi-
terapi baru ditargetkan pada pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan
perbaikan resistensi insulin. Modifikasi gaya hidup dan penurunan berat badan
melalui pengurangan asupan kalori atau peningkatan aktivitas fisik telah
dibuktikan dapat membantu memperbaiki resistensi insulin (Anania and Parekh,
2007). Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa obat-obat penurun
lipid, insulin-sensitizing agents, cytoprotective agents, dan antioksidan tampak
menjanjikan (Collantes et al., 2004).
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,
protein dan lemak (Halliwell and Gutteridge, 2007). Secara alami, tubuh memiliki
sistem pertahanan untuk menghadapi serangan radikal bebas dengan mengaktifkan
kinerja antioksidan endogen yang diproduksi oleh tubuh. Antioksidan tersebut
meliputi enzim Superoxide Dismutase (SOD), katalase, metionin reduktase dan
glutathione peroxidase (GSH-Px), dan glutathione reductase. Seluruh antioksidan
endogen tersebut berupa enzim dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan
senyawa-senyawa radikal bebas hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari
luar tubuh, maka antioksidan endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan
enzimatis (Lingga, 2012).
Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh.
Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak ikan,
hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C, vitamin E),
mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha-lipoic Acid
(ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002).
Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki
kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini
memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun
hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di
dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi
ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam regenerasi
antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan glutathione. ALA juga
melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal, dan merkuri (Mason,
2001; Kim et al., 2013).
ALA dalam sediaan oral dapat diserap dengan cepat dan baik, dan tingkat
toksisitasnya rendah. Karena keuntungan-keuntungan ini, ALA mendapatkan
perhatian yang lebih sebagai agen terapeutik yang sangat potensial dalam berbagai
kondisi klinis yang berhubungan dengan kerusakan yang disebabkan radikal bebas
(Lingga, 2012).
Resistensi insulin, stres oksidatif, dan inflamasi berkontribusi dalam
NAFLD. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat telah ditunjukkan dapat
memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi (Higdon, 2006;
Jung et al., 2012) Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD
melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan
steatosis, stres oksidatif, aktivasi sistem imun, dan inflamasi di hati (Jung et al.,
2012).
ALA dapat menurunkan ekspresi gen-gen hepatik yang terkait dengan
metabolisme lipid seperti Sterol Regulatory Element Binding Protein-1, Fatty
Acid Synthase dan Acetyl CoA Carboxylase, dan meningkatkan ekspresi GLUT-4
di dalam hati tikus OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan meningkat dan
penanda peroksidasi lipid seperti 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang
diberi ALA (Finlay et al., 2012; Jung et al., 2012). ALA juga menurunkan
ekspresi sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-6, IL-1 dan TNF-� (Shay et al., 2009;
Jung et al., 2012).
Manfaat ALA dalam terapi NAFLD telah diketahui memberikan efek yang
menguntungkan (Jung et al., 2012). Namun, penelitian yang membuktikan
keefektivan tersebut masih sangat terbatas dan pada umumnya menggunakan dosis
besar yang melebihi anjuran, sedangkan terdapat bukti penelitian yang
menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi jangka panjang dapat
memediasi terjadinya kerusakan oksidatif (Shay et al., 2009).
Manfaat ALA dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat
paparan minyak jelantah masih belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengaruh pemberian ALA dalam
menghambat perlemakan hati non-alkoholik akibat paparan minyak jelantah.
Dalam penelitian ini digunakan dosis ALA 300 mg/hari dan 600 mg/hari yang
sesuai dengan batas dosis anjuran (Mason, 2001; Higdon, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan jumlah
steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah?
2. Apakah pemberian Alpha-lipoic Acid oral menghambat peningkatan kadar
alanine aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak
jelantah?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah : untuk mengetahui pengaruh
pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam menghambat perlemakan hati non-
alkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam
menghambat peningkatan jumlah steatosis pada tikus Wistar jantan yang
diberi minyak jelantah.
2. Untuk mengetahui pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral dalam
menghambat peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT) pada tikus
Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
1. Mengkonfirmasi dan menguatkan teori dalam tatalaksana perlemakan hati
non-alkoholik.
2. Mengkonfirmasi pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat
perlemakan hati non-alkoholik yang diakibatkan oleh paparan minyak
jelantah.
3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui manfaat pemberian Alpha-lipoic Acid oral dalam menghambat
perlemakan hati non-alkoholik pada manusia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Mengetahui cara-cara yang paling baik dalam menghambat perlemakan
hati non-alkoholik, yaitu dengan pemberian Alpha-lipoic Acid oral, setelah ALA
melalui tahap uji klinis pada manusia, sehingga dapat dijadikan acuan bagi
masyarakat dalam memilih tatalaksana. Karena seperti yang telah diketahui,
sebagian besar masyarakat pasti menggunakan dan mengkonsumsi minyak
jelantah dalam kehidupan sehari-hari, dan akibatnya risiko terjadinya perlemakan
hati non-alkoholik sangat besar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Penuaan atau aging, dapat digambarkan sebagai proses penurunan fungsi
fisiologis tubuh secara bertahap yang mengakibatkan hilangnya kemampuan
tumbuh dan kembang serta meningkatnya kelemahan (Bludau, 2010). Pada
umumnya, orang menganggap menjadi tua adalah suatu kemutlakan yang memang
harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul akibat penuaan
harus di alami (Pangkahila, 2011).
Saat ini, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran semakin berkembang
dengan ditemukannya Anti-Aging Medicine (AAM). Anti-Aging Medicine adalah
bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan,
pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai disfungsi, kelainan
dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk
memperpanjang hidup dalam keadaan sehat. Dengan demikian, penuaan bukan
lagi suatu keadaan normal yang tidak terhindarkan, namun penuaan dapat
diperlakukan seperti suatu penyakit yang dapat dan harus dicegah, diobati dan
bahkan dikembalikan ke keadaan semula. AAM secara progresif berupaya
mengatasi proses penuaan agar keluhan, disfungsi, atau penyakit tidak muncul,
sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup
dipertahankan (Pangkahila, 2011). �
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses
penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kematian.
Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang,
proses glikolasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen.
Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak
sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila,
2011).
Ada beberapa teori yang juga dapat menjelaskan mengapa manusia
mengalami proses penuaan. Pada dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu teori “pakai dan rusak” (wear and tear theory) dan
teori program. Teori “pakai dan rusak” meliputi teori kerusakan DNA, glikosilasi,
dan radikal bebas, sedangkan teori program meliputi teori terbatasnya replikasi
sel, proses imun, dan teori hormon (Pangkahila, 2011).
Menurut teori “pakai dan rusak,” tubuh dan selnya menjadi rusak karena
terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Penyalahgunaan organ tubuh
membuat kerusakan menjadi lebih cepat. Fungsi organ tubuh seperti hati,
lambung, ginjal, kulit, dan yang lain menurun karena toksin di dalam makanan
dan lingkungan, konsumsi berlebihan dari lemak, gula, kafein, alkohol, dan
nikotin, karena paparan sinar ultraviolet, serta karena stres fisik dan emosional
(Pangkahila, 2011).
Dengan mengetahui penyebabnya, maka dapat dilakukan berbagai upaya
berdasarkan ilmu pengetahuan terkini untuk menghambat atau memperlambat
proses penuaan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses
penuaan antara lain adalah menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan pola hidup
sehat meliputi olahraga teratur, makanan sehat dan cukup, pengendalian stress,
pemeriksaaan kesehatan berkala sebagai kontrol kesehatan, serta menggunakan
obat dan suplemen sesuai petunjuk ahli. Penggunaan suplemen yang tepat dan
pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan dan
berbagai fungsi organ tubuh yang menurun, sehingga usia harapan hidup lebih
panjang disertai dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2011).
Namun, terdapat pula hambatan dalam upaya menghambat proses
penuaan, antara lain disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat, pengetahuan
yang rendah, dan budaya yang tidak benar. Pengetahuan yang rendah
menimbulkan banyak masalah yang menyebabkan upaya menghambat proses
penuaan tidak dipahami sehingga tidak dilakukan dalam hidup sehari-hari.
Pengetahuan yang rendah menyebabkan orang melakukan atau mengonsumsi
sesuatu yang sebenarnya tidak sehat, tidak bermanfaat, bahkan merugikan
(Pangkahila, 2011).
2.2 Radikal Bebas
2.2.1 Definisi dan Sifat Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang
tidak berpasangan. Radikal bebas juga dapat diartikan sebagai molekul yang
dihasilkan selama terjadi metabolisme seluler normal, seperti radikal superoksida,
hidroksil purin, dan pirimidin (Pangkahila, 2011).
Radikal bebas bersifat tidak stabil dan memiliki reaktifitas yang tinggi
karena kecenderungannya menarik elektron dan mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal baru oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada
molekul tersebut (Pham-Huy et al., 2008). Peristiwa ini memutus reaksi rantai
karena molekul yang baru yang tidak stabil mencoba mengganti elektronnya yang
hilang, dengan mengambil dari dekatnya dan demikian seterusnya (Pangkahila,
2011).
2.2.2 Sumber Radikal Bebas
Setiap saat tubuh terpapar oleh radikal bebas, baik yang dihasilkan sendiri
oleh tubuh, dari makanan yang dikonsumsi, dan dari lingkungan sekitar. Radikal
bebas yang dihasilkan oleh tubuh secara alami disebut radikal bebas endogen,
sedangkan yang berasal dari luar tubuh disebut radikal bebas eksogen (Lingga,
2012). Adapun sumber radikal bebas antara lain (Pham-Huy et al., 2008) :
1. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat
dari berbagai proses enzimatik di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari
proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi
sel, proses pencernaan, dan proses metabolisme aerobik normal. Radikal bebas
ini dikenal sebagai senyawa oksigen reaktif atau Reactive Oxygen Species
(ROS). Di dalam tubuh, ROS diproduksi oleh mitokondria, membran plasma,
lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel (Pham-Huy et al., 2008). Yang
termasuk ROS adalah singlet oxygen, anion superoksida, hidrogen peroksida,
radikal hidroksil, radikal peroksida dan lain sebagainya (Bickers and Athar,
2006; Halliwell and Gutteridge, 2007).
2. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh, yang timbul sebagai akibat dari
bermacam-macam proses non-enzimatik di dalam tubuh, merupakan reaksi
oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi. Contohnya
adalah proses inflamasi dan iskemia.
3. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, yang berasal dari polutan seperti
asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari (sinar UV),
makanan berlemak, kopi, alkohol, obat, bahan racun, pestisida, minyak goreng
jelantah dan masih banyak lagi yang lainnya. Peningkatan radikal bebas pun
dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan.
Radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke
tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen lemak,
protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan dengan proses
penuaan (Moini et al., 2002). Dalam keadaan normal tubuh kita memiliki
mekanisme pertahanan terhadap perusakan oleh radikal bebas yang beragam,
efisien dan tersebar di berbagai tempat dalam sel dan dikenal sebagai antioksidan
endogen. Menurut konsep radikal bebas, kerusakan sel akibat molekul radikal
baru dapat terjadi bila kemampuan mekanisme pertahanan antioksidan tubuh
sudah dilampaui atau menurun (Halliwell and Gutteridge, 2007).
2.2.3 Stres Oksidatif
Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas dan antioksidan. Pada usia muda, keseimbangan antara radikal bebas
dan pertahanan antioksidan berfungsi dengan baik, seiring dengan pertambahan
usia, keseimbangan tersebut terganggu. Kelebihan radikal bebas akan bereaksi
dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga terjadi kerusakan sel atau
jaringan. Stres oksidatif yang diinduksi oleh radikal bebas telah dikaitkan dengan
beberapa penyakit seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, iskemia,
proses penuaan dan penyakit neurodegeneratif (Parkinson, Alzheimer) (Moini et
al., 2002; Pangkahila, 2007; Arief, 2009; Dhibi et.al., 2011). Stres oksidatif saat
ini juga dipercaya mejadi salah satu faktor penting dalam terjadinya NAFLD
(Dhibi et al., 2011).
2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal,
protein dan lemak dengan cara melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki
radikal bebas sehingga menjadi stabil dan menghambat terjadinya reaksi berantai
pembentukan radikal bebas baru (Halliwell and Gutteridge, 2007). Dalam
pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron,
sedangkan dalam pengertian biologis antioksidan adalah semua senyawa yang
dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-
protein pengikat logam (Pangkahila, 2011).
Secara alami, tubuh memiliki sistem pertahanan untuk menghadapi
serangan radikal bebas dengan mengaktifkan kinerja antioksidan endogen yang
diproduksi oleh tubuh. Antioksidan endogen disebut juga sebagai antioksidan
primer. Antioksidan tersebut meliputi enzim Superoksida Dismutase (SOD),
katalase, metionin reduktase dan glutathione peroksidase (GSH-Px), dan
glutathione reduktase (GR). Seluruh antioksidan endogen tersebut berupa enzim
dan enzim-enzim tersebut bekerja menetralkan senyawa-senyawa radikal bebas
hasil metabolisme tubuh atau radikal bebas dari luar tubuh, maka antioksidan
endogen dapat disebut juga sebagai antioksidan enzimatis (Lingga, 2012).
Sedangkan antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar
tubuh. Antioksidan tersebut terdapat dalam makanan sehari hari, seperti minyak
ikan, hati, jeruk, nanas, sayuran hijau, dan dapat berupa vitamin (vitamin C,
vitamin E), mineral (zinc, selenium), beta karoten, likopen, asam lemak, Alpha
Lipoic Acid (ALA) dan sejumlah senyawa lainnya (Stahl and Sies, 2002). Masing-
masing antioksidan memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda bergantung
jenisnya. Berikut pengelompokan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya
(Tandon, 2005; Ardhie, 2011; Lingga, 2012) :
1. Antioksidan Primer
Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal bebas dengan mendonasi satu
elektronnya. Ada tiga macam antioksidan primer, yaitu enzim superoksida
dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH-Px), dan katalase. Akibat
kehilangan satu elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas
yang baru. Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil dan lebih lemah, yang
selanjutnya akan dinetralisir oleh AO lain seperti vitamin C, vitamin E, Alpha-
lipoic Acid (ALA), Co-Q10, flavonoid, asam urat, bilirubin (Moini et al.,
2002).
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan ini bekerja dengan mengikat logam transisi pemicu ROS dan
selanjutnya menyingkirkannya. Antioksidan yang termasuk dalam antioksidan
sekunder adalah : Alpha-lipoic Acid (ALA), transferin, laktoferin,
seruloplasmin dan albumin.
3. Antioksidan Tersier
Antioksidan ini berfungsi memperbaiki sel dan jaringan yang rusak akibat
radikal bebas. Menumpuknya biomolekul yang telah rusak dapat menimbulkan
kerusakan sel sekitarnya dan menimbulkan kerusakan DNA. Agar tidak terjadi
kerusakan yang lebih parah seperti terjadinya kerusakan DNA, maka
kerusakan akan diperbaiki oleh enzim metionin sulfoksida reduktase. Protein
yang teroksidasi akan diproses oleh sistem enzim proteolitik dan lipid
teroksidasi diproses oleh enzim lipase, peroksidase.
2.4 Minyak Goreng
Beberapa tahun belakangan kontribusi minyak goreng dalam asupan energi
total telah meningkat secara signifikan. Bahan makanan yang digoreng menempati
porsi yang cukup besar dalam menu makanan sehari-hari. Makanan yang digoreng
memang lebih disukai karena rasa, warna, dan teksturnya yang renyah (Marinova
et al., 2012). Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan
atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar, dan biasanya
digunakan untuk menggoreng bahan makanan (Luciana et al., 2005). Minyak
goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, dan
penambah nilai kalori pangan (Winarno, 2004). Minyak goreng yang beredar di
pasaran umumnya bersumber nabati dan dapat terbuat dari beragam bahan dasar,
seperti kelapa, sawit, kedelai, zaitun, jagung, biji bunga matahari, dan lain
sebagainya (Yustinah, 2009; Ketaren, 2005). Sebagian besar minyak goreng yang
dipasarkan dan umum digunakan di Indonesia adalah minyak kelapa sawit (Oeij et
al., 2007).
Minyak dan lemak yang kita kenal dalam makanan sehari-hari sebagian
besar terdiri dari senyawa yang disebut trigliserida atau triasilgliserol, yang
merupakan ikatan ester antara satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak.
Asam lemak disusun oleh rangkaian karbon, yang merupakan unit pembangun dan
memberi sifat khas untuk setiap lemak. Ikatan antar karbon yang satu dengan yang
lainnya pada asam lemak dapat berupa ikatan jenuh (tunggal) dan dapat pula
berupa ikatan tidak jenuh (rangkap) (Ketaren, 2005).
Minyak goreng mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada
rangkaian karbonnya. Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen
asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia,
dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Selain komponen asam
lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam
lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan
yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak
goreng, yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan. Minyak yang
baik adalah minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih banyak
dibandingkan dengan kandungan asam lemak jenuhnya, salah satunya adalah
minyak nabati seperti minyak sawit (Stier, 2003).
2.4.1 Komposisi Minyak Goreng
Semua minyak tersusun atas unit-unit asam lemak. Tidak ada satu pun
minyak atau lemak tersusun atas satu jenis asam lemak, jadi selalu terdiri dari
campuran beberapa asam lemak. Proporsi campuran perbedaan asam-asam lemak
tersebut menyebabkan lemak dapat berbentuk cair atau padat, bersifat sehat atau
membahayakan kesehatan, stabilitas terhadap pemanasan, tahan simpan, atau
mudah tengik. Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur
molekulnya, minyak dibedakan menjadi (Ketaren, 2005) :
a. Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids).
Merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai
hidrokarbonnya, bersifat stabil, tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi
asam lemak jenis lain. Asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak
goreng pada umumnya terdiri dari asam miristat, asam palmitat, asam laurat
dan asam kaprat.
b. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (mono-unsaturated fatty
acids/MUFA) ataupun majemuk (poly-unsaturated fatty acids/PUFA).
Merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap yang
mudah terurai dan bereaksi pada rantai hidrokarbonnya. Semakin banyak
jumlah ikatan rangkap itu (poly-unsaturated), semakin mudah bereaksi atau
mudah berubah menjadi asam lemak jenuh. Minyak nabati umumnya
mengandung asam-asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat,
asam linolenat, dan asam arakidonat (Winarno, 2004).
c. Minyak dengan asam lemak trans (Trans Fatty Acids)
Merupakan asam lemak yang memiliki satu atau ikatan atom karbon rangkap
pada rantai hidrokarbonnya namun bukan dalam konfigurasi cis, melainkan
konfigurasi trans. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh
daripada asam lemak tak jenuh. Asam lemak trans banyak terdapat pada
lemak hewan, margarin, mentega, minyak terhidrogenasi, dan terbentuk dari
proses penggorengan. Minyak goreng yang masih segar mengandung asam
lemak dengan struktur cis jauh lebih banyak dibandingkan asam lemak dengan
struktur trans. Namun setelah minyak digunakan untuk menggoreng dengan
suhu tinggi serta mengalami kontak dengan oksigen, struktur cis akan berubah
menjadi struktur trans (Dhaka et al., 2011).
Minyak goreng sawit memiliki karakteristik pada komponen asam lemak
utama penyusunnya. Jika dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak sawit
mengandung lemak tak jenuh dalam jumlah yang lebih tinggi. Minyak sawit
mengandung sekitar 45,5% asam lemak jenuh (yang didominasi asam lemak
palmitat) dan sekitar 54,1% asam lemak tidak jenuh (yang didominasi asam lemak
oleat / omega-9). Minyak kelapa mengandung 80% asam lemak jenuh dan 20%
asam lemak tidak jenuh (Sartika, 2009; Yustinah, 2009). Rendahnya lemak jenuh
dalam minyak sawit disebabkan karena minyak sawit mengalami proses
penyaringan sebanyak dua kali (pengambilan lapisan lemak jenuh) menyebabkan
kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi (Khomsan, 2003).
Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak lebih
mudah rusak oleh proses menggoreng (deep frying), karena selama proses ini
minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi. Akibat
pemanasan tinggi dan berulang-ulang maka ikatan rangkap asam lemak tak jenuh
akan putus dan terbentuk lemak jenuh. Adanya kontak dengan oksigen dari udara
luar juga memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Sartika, 2009;
Ketaren, 2005). Minyak yang telah rusak tidak hanya memberikan efek negatif
bagi gizi dan kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa makanan
yang dihasilkan (Khomsan, 2003).
2.5 Proses Menggoreng (Deep Frying) dan Minyak Jelantah
Proses menggoreng atau deep frying dapat didefinisikan sebagai cara
memasak atau memanaskan makanan menggunakan minyak dalam jumlah yang
banyak (sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam minyak)
dan dengan suhu tinggi sekitar 150oC – 200oC (Ketaren, 2005; Sartika, 2009;
Ghidurus et al., 2010). Pada temperatur tersebut, setiap bahan pangan rata-rata
memerlukan waktu 8 menit untuk matang (Hartono, 2011). Sedangkan minyak
jelantah adalah minyak goreng yang sudah digunakan berkali-kali dalam proses
menggoreng bahan makanan dengan suhu tinggi, dan telah mengalami perubahan
baik secara fisik atau kimia yaitu dengan adanya perubahan warna dari bening
menjadi berwarna gelap dan berbau tengik, serta secara kimiawi telah mengalami
perubahan reaksi hidrolisis, oksidasi, dan polimerasi termal (Gambar 2.1)
(Fransiska, 2010; Wahab et al., 2011).
Gambar 2.1. Minyak Jelantah (Andriana, 2013)
Proses deep frying yang disertai paparan udara sekitar menyebabkan
terjadinya berbagai reaksi-reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi dari
molekul triasilgliserol. Produk-produk dekomposisi akan terbentuk akibat reaksi-
reaksi tersebut dan produk-produk ini tidak hanya mempengaruhi kualitas
makanan tetapi juga dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia, misalnya
peroksida, keton, aldehid, polimer, dan trans-fatty acids. (Ketaren, 2005; Oeij et
al., 2007; Farag et al., 2010; Marinova et al., 2012).
Reaksi hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak yang mengandung
komponen asam lemak rantai pendek dan tak jenuh, daripada asam lemak rantai
panjang dan jenuh karena asam lemak rantai pendek dan tak jenuh bersifat lebih
larut dalam air. Bahan pangan yang digoreng akan menghasilkan air dan uap air.
Air dan uap air akan menghidrolisis trigliserida pada suhu tinggi sehingga
menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) (Warner,
2002). Jumlah FFA semakin meningkat dengan lama waktu proses penggorengan.
Pada saat akumulasi FFA berada dalam jumlah yang signifikan, akan terbentuk
asap yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng menurun. (Sartika,
2009).
Proses oksidasi disebabkan keberadaan oksigen yang bereaksi dengan
minyak atau lemak. Reaksi oksidasi tidak hanya terjadi saat proses penggorengan,
namun ternyata juga dapat terjadi selama masa penyimpanan. Reaksi oksidasi
dapat terjadi melalui dua jenis mekanisme, yaitu auto-oksidasi dan foto-oksidasi.
(Azeredo et al., 2004). Kedua jenis reaksi oksidasi ini menghasilkan produk reaksi
primer, yaitu hidroperoksida. Hidroperoksida merupakan produk primer dari
oksidasi minyak. Komponen hidroperoksida ini bersifat sangat tidak stabil dan
sangat sensitif terhadap suhu minyak. Hal ini karena hidroperoksida merupakan
radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Tetapi senyawa ini bukan penyebab
terjadinya perubahan rasa dan bau yang berkaitan dengan ketengikan (oxidative
rancidity). Karena sifatnya yang tidak stabil, hidroperoksida akan segera
terdekomposisi dan menghasilkan produk reaksi sekunder, misalnya senyawa
aldehid (akrolein) dan keton, yang merupakan penyebab adanya ketengikan
(oxidative rancidity). Akrolein juga menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan
pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak goreng
berulang kali (Ketaren, 2005; Rahayu, 2007).
Oksidasi juga dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, tetapi
mekanisme terjadinya komponen yang menyebabkan warna gelap ini masih belum
sepenuhnya diketahui. Diperkirakan bahwa senyawa berwarna pada bahan yang
digoreng terlarut dalam minyak dan menyebabkan terbentuknya warna gelap
(Yustinah, 2009). Proses oksidasi ini akan terus berlangsung hingga pada batas
tertentu mengakibatkan minyak menjadi tidak layak lagi digunakan dan kemudian
disebut sebagai minyak jelantah (Herawati and Akhlus, 2006; Rukmini, 2007).
Reaksi polimerisasi yang terjadi pada minyak dalam proses penggorengan
menghasilkan komponen polar nonvolatil dimer dan polimer. Polimer dapat
terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida. Penggorengan berulang dan suhu
yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer (Warner, 2002). Minyak yang
telah mengalami polimerisasi ditandai dengan peningkatan viskositas dan
penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi akan mempengaruhi kualitas minyak
goreng, menghasilkan warna coklat pada minyak dan terbentuk bahan berupa gum
yang mengendap, bau, serta rasa yang tidak enak (Romaria, 2008).
Pemanasan minyak goreng pada suhu tinggi dapat menyebabkan
pemutusan pada ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh.
Semakin banyak kandungan asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam suatu
minyak goreng akan menyebabkan semakin banyak pemutusan ikatan rangkap
yang terjadi, dan akibatnya semakin banyak menghasilkan asam lemak jenuh
(Ketaren, 2005; Fransiska, 2010).
Wahab et al. (2011) juga menyebutkan bahwa semakin sering minyak
goreng digunakan, maka semakin tinggi kandungan asam lemak jenuhnya.
Kandungan lemak jenuh pada minyak yang belum dipakai sebesar (45,96%),
satu kali pakai (46,09%), dua kali pakai (46,18%), tiga kali pemakaian sebesar
(46,32%). Selain itu semakin sering minyak goreng tersebut digunakan maka
kandungan asam lemak tidak jenuhnya semakin berkurang. Kandungan asam
lemak tidak jenuh pada minyak yang belum dipakai (53,95%), satu kali pakai
(53,78%), dua kali pakai (53,69%), tiga kali pemakaian sebesar (53,58%), dan
seterusnya (Wahab et al., 2011).
Proses menggoreng dengan cara deep frying dan pengulangannya juga
dapat menyebabkan terjadinya isomerisasi geometri dan posisi struktur molekul
lemak (Ketaren, 2005). Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis
(struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi trans (struktur lebih linier)
yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat
menjadi asam elaidat. Bentuk isomer trans lebih menyerupai asam lemak jenuh
daripada asam lemak tak jenuh (Ketaren, 2005).
Suatu penelitian eksperimental laboratorium yang dilakukan oleh Sartika
(2009) untuk mengetahui pengaruh menggoreng dengan cara deep frying (suhu
tinggi dan jangka waktu lama) serta berulang terhadap pembentukan asam lemak
trans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak
terkandung pada minyak goreng yang belum digunakan adalah asam oleat (bentuk
cis). Asam lemak elaidat (bentuk trans) baru terbentuk setelah proses menggoreng
(deep frying) pengulangan kedua, dan kadarnya meningkat sejalan dengan
pengulangan penggunaan minyak (Sartika, 2009).
Kerusakan minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis minyak,
mutu minyak goreng segar serta perlakuan terhadap minyak ulangan. Pemanasan
minyak terputus (dipanaskan-didinginkan-dipanaskan) selama beberapa hari
menyebabkan destruksi dan dekomposisi makin cepat. Minyak yang telah rusak
dan menjadi jelantah tidak hanya memberikan efek negatif pada tekstur, rasa dan
gizi makanan yang dihasilkan tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan
(Khomsan, 2003).
2.5.1 Dampak Penggunaan Minyak Jelantah Terhadap Kesehatan
Pemakaian minyak jelantah sampai dua kali masih dapat ditoleransi,
namun jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi
kehitam-hitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan
(Ketaren, 2005). Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang dapat
membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan
akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses
tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun,
sehingga membahayakan tubuh (Mulyati and Meilina, 2007; Pangkahila, 2011).
Minyak jelantah, khususnya yang dihasilkan dari proses deep frying
merupakan radikal bebas dari luar tubuh (eksogen), yang dapat memicu terjadinya
stres oksidatif di dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan karbohidrat, protein,
peroksidasi lipid, kerusakan membran sel, hingga kerusakan DNA (Deoxyribo-
Nucleic Acid) (Reynertson, 2007; Dorffman et al., 2009; Arief, 2009). Stres
oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan
menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis, hingga
kanker (Koch et al., 2007). Salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh
radikal bebas minyak jelantah adalah perlemakan hati non alkoholik (Murray et
al., 2003; Dhabi et al., 2008).
Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM)
menemukan bahwa penggunaan minyak jelantah sebagai minyak goreng
berdampak pada kesehatan. Pemanasan minyak goreng berkali - kali (lebih dari
dua kali) pada suhu tinggi akan membentuk asam lemak trans. Asam lemak trans
dapat meningkatkan kadar Low Density Lipoproteins (LDL), trigliserida, dan
insulin, serta menurunkan High Density Lipoproteins (HDL) di dalam darah
(Dhaka et al., 2011; Wahab et al., 2011). Sehingga peningkatan asupan asam
lemak trans terkait dengan insidensi coronary atherosclerotic disease (Sartika,
2009; Machado et al., 2010).
Beberapa studi pada tikus juga menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi
lemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat badan,
lemak abdominal, lemak subkutaneus, dan terutama akumulasi trigliserida pada
organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam
lemak bebas. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik,
steatosis hepatik, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal
lemak) (Kavanagh et al., 2007; Dorfman et al., 2009).
Percobaan yang dilakukan Machado et al. (2010), dengan menggunakan
tikus percobaan yang diberi diet asam lemak trans, PUFA dan SFA. Ditemukan
bahwa asam lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom
metabolik pada manusia. Asupan asam lemak trans menginduksi akumulasi lemak
di hati yang kemudian memicu terjadinya NASH. Berat hati, konsentrasi
trigliserida plasma, dan glukosa darah tikus yang diberi diet asam lemak trans
lebih tinggi dibandingkan tikus kontrol.
Asupan minyak yang teroksidasi menyebabkan tingkat peroksidasi lipid
yang lebih tinggi dan konsentrasi antioksidan plasma yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberi minyak segar. Dari penelitian
yang dilakukan Dhibi et al. (2011), ditemukan adanya suatu korelasi negatif antara
kadar asam lemak trans di dalam diet dan aktivitas SOD, katalase, dan glutahtione
di dalam hati tikus, yang menimbulkan dugaan bahwa peningkatan konsumsi asam
lemak trans terkait dengan penurunan efisiensi sistem antioksidan enzimatik dan
oleh karena itu, menyebabkan terjadinya stres oksidatif di dalam hati tikus. Hasil
histopatologi hati dari kelompok tikus yang diberi diet tinggi asam lemak trans
menunjukkan vakuolisasi sitoplasma tingkat sedang hingga parah, hipertrofi
hepatosit, hepatocyte ballooning, dan nekroinflamasi. Perubahan-perubahan
tersebut mengindikasikan bahwa asam lemak trans memicu terjadinya NAFLD
dan/atau mengakselerasi progresi penyakit tersebut (Dhibi et al., 2011).
2.6 Hati
Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh manusia, beratnya sekitar
1500 g, terletak di kuadran kanan atas abdomen, dan dilindungi oleh peritoneum
viseral. Secara anatomis, hati terbagi menjadi empat lobus dengan lobus utamanya
adalah lobus dekstra dan lobus sinistra, sedangkan lobus yang lain adalah lobus
kuadratus dan lobus kaudatus (Allen, 2002). Konsistensi hati lunak dan dalam
keadaan sehat hati berwarna cokelat kemerahan karena kaya akan suplai darah
yang mengalir. Hati mendapatkan suplai darah dari dua sumber, yang pertama
adalah arteri hepatika yang menghantarkan darah kaya oksigen dari sirkulasi, yang
kedua adalah vena porta yang menghantarkan darah yang telah mengalami
deoksigenisasi, namun mengandung nutrisi yang berasal dari usus halus (Gray and
Lawrence, 2000).
2.6.1 Fungsi Hati
Hati memegang berbagai fungsi dalam tubuh manusia, yang meliputi
fungsi regulasi, sintesis, dan sekresi (Price and Wilson, 2006). Hati mempunyai
fungsi menyimpan karbohidrat sebagai glikogen. Hati bertanggung jawab dalam
sintesis dan pemecahan lipid dari trigliserid. Hati juga sangat aktif dalam sintesis
dan daur ulang protein. Secara keseluruhan, hati menjalankan fungsi metabolik
seperti metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, untuk mempertahankan
glukosa darah dan homeostasis energi (Gray and Lawrence, 2000; Price and
Wilson, 2006). Banyak substansi-substansi penting seperti faktor-faktor
pembekuan darah, transporter proteins, kolesterol, dan komponen-komponen
empedu disintesis oleh hati. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat
disimpan di dalam parenkim hati (Gray and Lawrence, 2000).
Hati juga berperan dalam metabolisme hemoglobin, obat-obatan dan
steroid, detoksifikasi racun dan hidrogen peroksida; hematopoeisis pada saat
embrio dan fagositosis benda asing. Proses detoksifikasi dilakukan oleh enzim-
enzim di hati terhadap zat-zat beracun, melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau
konjugasi zat-zat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis
tidak aktif. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak juga dapat disimpan di dalam
parenkim hati (Price and Wilson, 2006; Samuelson, 2007).
2.6.2 Histologi dan Fisiologi Hepatosit
Lobus hati tersusun dari sel parenkimal yang disebut hepatosit dan sel non
parenkimal. Hepatosit meliputi 80% dari seluruh sel hati dan melakukan sebagian
besar kemampuan sintesis dan metabolisme, sisanya berupa sel Kupffer yang
merupakan makrofag, sel epithelial sistem empedu, dan sel Ito (Stellate cell)
(Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002). Hepatosit berbentuk polihedral dengan
inti bulat, terletak di tengah dan berwarna lebih gelap, dengan jumlah nukleolus
satu atau lebih dan kromatin yang menyebar. Sitoplasma pada hepatosit agak
berbutir, organel-organel yang mengisi sel membuat sitoplasma tampak
bergranula (Ganong, 2002).
Dengan bantuan miskroskop, dapat dilihat bahwa lobus hati tersusun atas
unit-unit mikroskopis yang disebut lobulus yang secara umum terlihat berbentuk
heksagonal (segi enam). Setiap lobus hati dikelilingi oleh beberapa portal triad,
yang masing-masing berisi satu cabang vena porta, satu cabang arteri hepatika,
dan satu saluran/duktus empedu. Vena sentralis terletak di bagian tengah lobulus
dan sel-sel hati tersusun dalam barisan memanjang (radier) dari vena sentralis
hingga ke tepi lobulus. Barisan sel hati dipisahkan satu sama lain oleh sinusoid
yang berisi darah. Dinding sinusoid dibentuk oleh sel endothelial. Beberapa sel
Kupfer juga terdapat di sepanjang ruang sinusoid. Sel-sel hati sendiri dipisahkan
dari sinusoid oleh suatu celah yang disebut space of Disse. Di celah Disse ini
terdapat Stellate cell. Stellate cell berperan dalam pembentukan fibrosis hepar
dengan cara sintesis kolagen. Hepatosit juga terletak dekat dengan kanalikuli
dimana empedu disekresikan ke dalamnya. Empedu yang diproduksi oleh
hepatosit mengalir melalui kanal kecil yang disebut kanalikuli empedu. Pada hati
yang normal, sangat sedikit jaringan ikat atau sel-sel inflamasi yang dapat terlihat,
kecuali beberapa limfosit pada saluran portal (Allen, 2002).
Konsep terbaru dari unit fungsional hati terkecil adalah asinus hati yang
terdiri atas sel-sel parenkim sekitar arteriol, venul dan duktus biliaris terminal,
serta terletak di antara dua vena sentralis. Konsep asinus ini dapat menjelaskan
gangguan patofisiologis penyakit hepar. Tiga zona dalam asinus hepar adalah
zona-1, daerah elipsoid yang mengelilingi arteriol hepatika dan venul porta
terminal; zona-2 di tengah; zona-3, dekat vena sentralis (Gambar 2.2) (Gray and
Lawrence, 2000).
Gambar 2.2. A. Sistem asinus hati yang terdiri dari 3 zona, yaitu zona 1, zona 2,
dan
zona 3. B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri
hepatika, dan duktus empedu (Gray and Lawrence, 2000)
Aktivitas metabolik sel-sel tersebut juga berbeda. Zona-1 banyak dijumpai
enzim metabolisme oksidatif, glikogenesis, dan glukoneogenesis, zona-3 banyak
terdapat enzim glikolisis, lipogenesis, dan metabolisme obat. Sedangkan pada
zona-2 memiliki zona campuran. Sel-sel hepatosit dalam ketiga zona secara
intrinsik memiliki potensi yang sama untuk mengubah struktur dan fungsinya
sebagai respons atas perubahan lingkungan-mikronya. Susunan zona ini
bertanggung jawab dalam kerusakan selektif hepatosit akibat berbagai agen toksik
atau berbagai keadaan penyakit. Pada keadaan toksik, penimbunan lipid dimulai
dari sel-sel hepatosit zona-3. Zona-3 juga merupakan daerah yang paling mudah
terkena cedera akibat insufisiensi vaskuler sehingga terjadi nekrosis sel hepar
(Gray and Lawrence, 2000; Allen, 2002).
2.6.3 Perubahan Regresif Hepatosit
Akibat keterlibatannya dalam semua proses di hati, hepatosit merupakan
sel yang paling rentan terhadap anoksia, berbagai racun dan karsinogen yang
menyebabkan pola karakteristik dari degenerasi di asinus hati (Gray and
Lawrence, 2000). Beberapa jenis kerusakan hepatosit yang dapat terjadi antara
lain, degenerasi sel berupa degenerasi hidropis dan degenerasi lemak, fibrosis,
serta kematian sel (Henryk and Peter, 2010).
1. Degenerasi Hidropis
Degenerasi hidropis sering disebut dengan degenerasi vakuoler, degenerasi
balloning, atau perubahan hidropis. Degenerasi vakuoler menunjukkan
perubahan hepatoseluler berat tapi reversible, terjadi akibat sitoplasma sel
terisi cairan. Secara mikroskopis sel hepatosit tampak membengkak akibat
akumulasi air berlebihan (edema intraselular), sitoplasma tampak pucat
bergranul, inti tetap berada di tengah sel dan kurang jelas, kadang terbentuk
vakuolisasi beraspek keruh, dan akibat pembengkakan hepatosit sinusoid
menyempit bila dibandingkan dengan keadaan normal (Henryk and Peter,
2010).
2. Degenerasi Lemak
Degenerasi lemak sering disebut dengan steatosis, fatty degeneration, fatty
change, atau fatty infiltration. Istilah degenerasi lemak digunakan bila di
dalam sel terjadi akumulasi abnormal lemak (trigliserida) akibat gangguan
metabolisme lemak. Pada degenerasi ini, terbentuk vakuol-vakuol lemak
intrasitoplasmik. Mula-mula tampak di bawah mikroskop cahaya sebagai
vakuola lemak kecil dalam sitoplasma di sekitar inti. Pada proses selanjutnya,
vakuola melebar membentuk ruang jernih yang mendesak inti ke tepi sel.
Degenerasi ini masih bersifat reversible, namun menunjukkan adanya
gangguan berat dan dapat merupakan permulaan terjadinya nekrosis, fibrosis,
dan sirosis (Mulyono et al., 2009).
Akumulasi lemak dalam hepatosit biasanya terjadi bila terlalu banyak
asupan asam lemak bebas ke dalam hepatosit, terjadi peningkatan sintesis lipid
di dalam hepatosit akibat toksin yang dapat merusak jalur metabolisme lemak,
penurunan mobilisasi lipid keluar dari hepatosit, hipoksia kronis yang
menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, penurunan penggunaan
lipid dalam hepatosit, dan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan
peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa ke hepatosit seperti pada
saat kelaparan, diabetes melitus dan alkoholik kronis (Henryk and Peter,
2010).
3. Nekrosis (Kematian Sel)
Nekrosis adalah perubahan morfologi (kematian) sel hepar. Nekrosis sel
disebabkan oleh dua hal yaitu proses digesti oleh enzim sel dan denaturasi
protein. Tahapan nekrosis berkaitan dengan perubahan inti. Perubahan itu
adalah piknosis, karioreksis dan kariolisis. Pada piknosis, inti sel menyusut
dan tampak adanya ”awan gelap”. ”Awan gelap” ini dikarenakan kromatin
yang memadat. Pada karioreksis, inti pecah menjadi beberapa bagian,
sedangkan pada saat kariolisis inti menjadi hilang (lisis) sehingga pada
pengamatan tampak sebagai sel yang kosong (Mangunsudirdjo et al., 2001).
Nekrosis hati terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Nekrosis
di zona hepatosit akan menyebabkan dilatasi lobulus hati dan kongesti pada
sinusoid (Henryk and Peter, 2010).
4. Fibrosis
Fibrosis terjadi sebagai respon terhadap radang atau akibat langsung toksin.
Sel Stellate berperan dalam pembentukan fibrosis hepar dengan cara sintesis
kolagen. Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis.
5. Sirosis
Sirosis adalah pengerasan pada hati yang terjadi karena kehilangan parenkim
hati disusul pembentukan jaringan parut secara luas, disamping regenerasi dan
hiperplasia, sehingga struktur hati berubah. Sirosis hati dicirikan dengan
permukaan nodular, granular, irregular, konsistensi keras, fibrosis difus dan
biasanya sulit diinsisi (Henryk and Peter, 2010).
2.7 Non-alcoholic Fatty Liver Diseases atau Penyakit Perlemakan Hati
Non-Alkoholik
Dalam bahasa Indonesia Non-alcoholic Fatty Liver Diseases (NAFLD)
diterjemahkan sebagai penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PHNA)
(Lesmana, 2007; Sari, 2012). Definisi NAFLD adalah suatu kelainan hati dimana
lebih dari 5% hepatosit mengandung lemak atau lebih dari 5% berat hati
disebabkan oleh lemak, namun kelainan ini terjadi pada individu bukan peminum
alkohol (Amarapurkar, 2010). Oleh karena itu definisi NAFLD juga memerlukan
tidak adanya riwayat konsumsi alkohol yang signifikan. The National Institutes of
Health (NIH) yang telah meneliti NAFLD telah mendefinisikan jumlah konsumsi
alkohol yang masih diijinkan untuk NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria
dan 70 g etanol/minggu untuk wanita (Anania and Parekh, 2007).
Spektrum patologis penyakit perlemakan hati non-alkoholik bervariasi
yang meliputi perlemakan hati sederhana (simple steatosis), perlemakan hati
dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis (NASH), sampai dengan
fibrosis dan sirosis (Zimmet et al., 2005; Dowman et al., 2011). Dari mereka yang
mengalami NASH, sekitar 20% akan berkembang menjadi sirosis (Anania and
Parekh, 2007). Oleh karena itu, saat ini NAFLD dipertimbangkan sebagai suatu
penyebab umum dari penyakit hati kronis, peningkatan indikasi transplantasi hati
dan penyebab potensial untuk hepatocellular carcinoma (Anania and Parekh,
2007; Wei et al., 2008).
2.7.1 Faktor Penyebab dan Faktor Risiko NAFLD
Telah diketahui banyak kondisi atau penyakit lain yang dapat
menyebabkan steatosis tanpa atau dengan hepatitis (steatohepatitis), selain akibat
alkohol dan non-alkohol. Dikenal empat golongan penyebab penyakit tersebut,
yaitu nutrisi, obat-obatan, kelainan metabolik atau genetik, dan penyebab lain-lain
(Angulo, 2002).
Tabel 2.1. Beberapa Penyebab Perlemakan Hati Non-alkoholik
(Angulo, 2002)
Nutrisi Obat Metabolik atau
Genetik
Lain-lain
Protein Kalori
Malnutrisi (PKM)
Kelaparan
Nutrisi Parenteral
Total
Berat badan turun
sangat cepat
Bypass surgery
untuk kegemukan
Glukokortikoid
Estrogen sintetis
Calcium-blocker
Amidarone
Tamoxifen
Tetrasiklin
Metotreksat
Perheksilin-
maleat
Valproic acid
Kokain
Obat anti virus :
zidofudin,
didanosin,
fialudin
Lipodistrofi
Disbetalipoproteinemia
Penyakit Weber-
Christian
Peyakit Wolman
Cholesterol ester-
storage
Perlemakan hati akut
pada kehamilan
Peyakit
peradangan usus
Divertikulosis
usus halus +
bacterial growth
Infeksi HIV
Hepatotoksik
lingkungan :
fosfor,
petrokimia, jamur
beracun, bahan
organik
Toksin Bacillus
cereus
Terdapat juga beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam
patogenesis penyakit perlemakan hati non-alkoholik. Faktor risiko yang telah
diketahui adalah resistensi insulin, obesitas, Diabetes Mellitus tipe 2,
hiperglikemia, hipertrigliseridemia, dan sindrom metabolik (Anania and Parekh,
2007). Resistensi insulin sekarang diketahui sebagai faktor resiko paling umum
untuk NAFLD. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan
sindrom metabolik memiliki resiko NAFLD 4-11 kali lipat lebih tinggi (Anania
and Parekh, 2007).
Prevalensi NAFLD sangat bervariasi tergantung dari umur, jenis kelamin,
dan status berat badan. Penelitian sebelum 1990 menunjukkan bahwa NAFLD
lebih sering terjadi pada perempuan (53-85%), akan tetapi penelitian belakangan
ini menunjukkan frekuensi yang sama pada laki-laki dan perempuan, yakni sekitar
50% (Lesmana, 2007). Menurut Sanyal (2002) prevalensi NAFLD meningkat
sesuai dengan peningkatan umur, dengan angka tertinggi pada usia 40-49 tahun.
Faktor lingkungan, faktor kepekaan seseorang atau faktor genetik
tampaknya termasuk faktor yang mempengaruhi keparahan NAFLD
(Amarapurkar, 2010; Sari, 2012). Faktor lingkungan antara lain diet (asupan
lemak berlebihan, kekurangan asupan anti-oksidan), aktifitas fisik/olahraga, dan
kemungkinan pertumbuhan bakteri usus berlebihan, dianggap berperan dalam
patogenesis NAFLD (Petta et al., 2009; Sari, 2012). Beberapa penelitian pada
kelompok keluarga (family clustering) dan variasi inter-etnis tentang kepekaan
seseorang menunjukkan bahwa faktor genetik juga berperan penting dalam
menentukan risiko perkembangan memberatnya NAFLD (Sari, 2012).
2.7.2 Patogenesis NAFLD
Patogenesis yang mendasari terjadinya steatosis dan progresinya menjadi
NASH belum sepenuhnya dimengerti dan mungkin diakibatkan oleh sejumlah
faktor dalam tingkat genetik. Hipotesis yang umum diterima adalah “two-hit
theory” yang dikemukakan oleh Day dan James pada tahun 1998 (Gambar 2.2).
“First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati atau
steatosis, kemudian terjadi peningkatan sensitifitas hati terhadap “second hit”,
yaitu peristiwa yang menyebabkan terjadinya inflamasi (steatohepatitis) dan
kerusakan sel hati, yang selanjutnya dapat mengakibatkan fibrosis hati (Reddy and
Rao, 2006; Petta et al., 2009; Sari, 2012).
Gambar 2.3. Skema Hipotesis “Two-Hit Theory” (Anstee and Goldin, 2006)
2.7.2.1 “First Hit” dalam Patogenesis NAFLD
“First hit” adalah akumulasi lemak (trigliserida) di dalam hepatosit yang
didasari perubahan metabolik yang terkait dengan obesitas sentral dan resistensi
insulin (Hübscher, 2006; Reddy and Rao, 2006; Petta et al., 2009). Hati
memegang peran penting dalam metabolisme lipid dan karbohidrat di dalam
tubuh. Akumulasi lemak, yang bermanifestasi sebagai steatosis, terjadi bila
terdapat ketidakseseimbangan antara hantaran atau sintesis asam lemak dengan
kapasitas hati dalam mengoksidasinya atau mengeluarkannya. Berdasarkan hal
tersebut, ada empat mekanisme yang mendasari terjadinya akumulasi lemak
(Anstee and Goldin; 2006) :
1. Peningkatan pengiriman dan uptake asam lemak ke hepatosit, yang dapat
cetuskan oleh asupan lemak diet yang berlebihan atau peningkatan pelepasan
asam lemak dari jaringan adiposa
Beberapa keadaan meningkatkan pengiriman asam lemak ke hati.
Peningkatan lemak eksogen, seperti konsumsi diet tinggi lemak akan
meningkatkan kandungan TG hati. Lewat suatu penelitian dengan
menggunakan mencit, peningkatan kandungan TG hepatik bahkan dapat
terjadi dalam waktu 10 hari setelah pemberian diet tinggi lemak (den-Boer et
al., 2004).
Kandungan TG hepatosit juga diregulasi oleh aktivitas terintegrasi
beberapa molekul selular yang memfasilitasi uptake TG hepatosit, sintesis dan
esterifikasi asam lemak (input) serta oksidasi asam lemak hepatik dan
pengeluaran TG (ouput). Steatosis terjadi ketika input melebihi output. Hati
bekerja secara harmonis dengan organ-organ tubuh lain dalam mengatur inter-
organ fatty acid/TG partitioning (den-Boer et al., 2004; Anstee and Goldin,
2006; Henryk and Peter, 2010).
Dalam keadaan makan (absorptive state), TG dari makanan
ditransportasikan oleh darah ke organ-organ perifer dalam bentuk kilomikron.
Dengan bantuan Lipoprotein Lipase (LPL) kilomikron akan didegradasi
hingga melepaskan asam lemak. Melalui kerja dari LPL, TG yang berasal dari
asam lemak terutama akan di ambil oleh jaringan perifer (jaringan adiposa dan
otot rangka). Kerja LPL distimulasi oleh insulin, maka aktivitas LPL
meningkat disaat kadar insulin tinggi (den-Boer et al., 2004; Anstee and
Goldin, 2006).
Dalam keadaan puasa (post-absorptive/fasting state), metabolisme TG
pada seluruh bagian tubuh berbeda dengan saat keadaan makan. TG yang
terkandung di dalam jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis
menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim hormone-sensitive lipase (HSL).
Karena HSL dihambat oleh insulin, aktivitas HSL meningkat disaat kadar
insulin rendah (keadaan puasa) (Anstee and Goldin, 2006).
Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat
lipolisis di jaringan adiposa dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke
dalam aliran darah dan hati. Di hati, hiperinsulinemia dan hiperglisemia
menginduksi sintesis asam lemak dan kolesterol, yang kemudian
mengakibatkan peningkatan sintesis trigliserid dan sekresi Very Low-Density
Lipoprotein (VLDL). Bila sintesis TG lebih cepat dari sekresi VLDL, produksi
berlebih dari TG akan di akumulasi dan menyebabkan terjadinya perlemakan
hati (Tacer and Rozman, 2011).
2. Peningkatan sintesis asam lemak dan trigliserida secara de novo di hati
Peningkatan lipogenesis de novo juga berkontribusi terhadap akumulasi
lemak hepatik dan memberikan kontribusi sekitar 25% untuk triasilgliserol di
hati pada pasien dengan NAFLD bila dibandingkan dengan kelompok kontrol,
dimana lipogenesis de novo hanya memberikan kontribusi sebesar 5% (Anania
and Parekh, 2007).
Sintesis asam lemak de novo di dalam hati diregulasi secara independen
oleh insulin dan glukosa. Kemampuan insulin dalam mengaktivasi terjadinya
lipogenesis dimediasi secara transkripsional oleh Sterol Regulatory Element–
Binding Protein-1c (SREBP-1c) (Browning and Horton, 2004; Reddy and
Rao, 2006). Di dalam inti sel, SREBP-1c secara transkripsional mengaktivasi
seluruh gen yang diperlukan dalam lipogenesis. Pengeluaran berlebihan
SREBP-1c pada hati tikus transgenik terbukti memicu terjadinya perlemakan
hati klasik akibat peningkatan proses lipogenesis. Serupa dengan hal tersebut,
kadar glukosa yang meningkat juga mengaktifkan sintesis asam lemak de novo
di dalam hati melalui Carbohydrate Response Element-Binding Protein
(ChREBP) (Browning and Horton, 2004). ChREBP memicu transkripsi gen-
gen yang terlibat dalam glikolisis dan lipogenesis, yang pada akhirnya
menyebabkan konversi kelebihan glukosa menjadi asam lemak. Meskipun
pengaktifan ChREBP lebih penting dalam keadaan hiperglikemi, namun
aktivasinya juga berkontribusi dalam akumulasi lemak di hati (Anania and
Parekh, 2007).
Suatu penelitian dengan model hewan percobaan dengan resistensi
insulin dan steatosis hepatik, menemukan bahwa faktor transkripsi Peroxisome
Proliferator Activated Receptor-� (PPAR-�) berperan dalam induksi gen-gen
adipogenik di hati dan pembentukan steatosis hepatik (Reddy and Rao, 2006).
3. Penurunan sintesis Very Low-Density Lipoprotein (VLDL) dan pengeluaran
trigliserida dari hati
Apolipoprotein B-100 (ApoB-100) merupakan suatu protein berukuran
besar (512 kilodaltons) yang terlibat dalam transportasi trigliserida dan
kolesterol dari hati ke jaringan perifer. Lipid sebagian besar dikirim keluar
dari hati dalam bentuk VLDL, suatu kompleks yang terdiri dari protein ApoB-
100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid. Perubahan lipid
menjadi apolipoprotein B-100 diperantarai oleh protein Microsomal TG
Transfer Protein (MTP) di dalam retikulum endoplasma dan merupakan
tahapan yang terbatas di dalam penyusunan lipoprotein VLDL. Produksi
ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin, oleh
karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis ApoB-100
hepatosit (Anania and Parekh, 2007).
4. Penurunan pembakaran asam lemak akibat adanya gangguan dalam
mitochondrial �-oxidation di hati
Oksidasi asam lemak dapat terjadi di dalam tiga organel : mitokondria,
peroksisom, dan retikulum endoplasma (mikrosom). �-oksidasi di mitokondria
merupakan jalur utama untuk metabolisme asam lemak dalam kondisi
fisiologis normal. Proses ini dapat terganggu pada beberapa tahap enzimatik
penting. Enzim-enzim yang memediasi proses �-oksidasi di mitokondria
diregulasi oleh Peroxisome Proliferator Activated Receptor-� (PPAR-�)
(Anstee and Goldin, 2006).
Beta-oksidasi mitokondria juga diregulasi oleh Carnitine Palmonitoyl
Transferase-1 (CPT-1). CPT-1 memediasi transesterifikasi dan pengiriman
asam lemak ke matriks mitokondria. CPT-1 dapat diinhibisi oleh malonyl
CoA, produk intermedia pertama dalam proses sintesis asam lemak, dan oleh
karena itu CPT1 sangat sensitif terhadap efek peningkatan sintesis asam lemak
hepatik. Bila CPT1, dan kapasitas oksidatif mitokondria bekerja secara
berlebihan, jalur oksidasi alternatif di dalam organel subselular lainnya akan
berperan lebih besar dalam mengoksidasi asam lemak (Anstee and Goldin,
2006).
�eta-oksidasi di mitokondria merupakan proses oksidatif dominan
untuk mengolah asam lemak dibawah kondisi fisiologis normal, tapi
sayangnya juga bisa menjadi sumber utama produksi ROS (Browning and
Horton, 2004). Ketika jumlah asam lemak hepatik berlebihan dan terjadi
disfungsi mitokondria, jalur-jalur alternatif di dalam peroksisom dan retikulum
endoplasma (�-oxidation) mengambil peran lebih besar dalam oksidasi asam
lemak hepatik. Jalur-jalur minor fisiologis ini dikatalisasi secara utama oleh
enzim sitokrom P-450 (CYP2E1) dan menghasilkan tambahan ROS yang akan
meningkatkan stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Anstee and Goldin,
2006; Hübscher, 2006).
2.7.2.2 “Second Hit” dalam Patogenesis NAFLD
Hipotesis “two hit” menyatakan bahwa, ketika telah terbentuk steatosis,
maka hati akan tersensitisasi, dan akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat
dipresipitasi oleh berbagai macam stimulus. Stres oksidatif diperkirakan
memegang peran kunci dalam “second hit” (Hübscher, 2006).
Oksidasi asam lemak merupakan sumber penting pembentukan ROS
dalam perlemakan hati. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah
penurunan ATP dan nicotinamide dinucleotide, kerusakan DNA, perubahan pada
stabilitas protein, destruksi membran via peroksidasi lipid, dan pelepasan sitokin-
sitokin proinflamasi (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006).
ROS akan menyerang Polyunsaturated Fatty Acids (PUFAs) dan memicu
peroksidasi lipid di dalam sel, yang mengakibatkan pembentukan produk
sampingan aldehid toksik seperti trans-4-Hydroxy-2-Nonenal (HNE) dan
malondialdehyde (MDA) (Browning and Horton, 2004)
Aldehid akan mempengaruhi sintesis nukleotida dan protein, menurunkan
glutathione yang merupakan antioksidan alami, meningkatkan produksi sitokin
proinflamasi NF-�B-dependent (TNF-�, IL-6, IL-1�), mendorong masuknya sel-
sel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel stellate, memicu deposisi
kolagen, fibrosis, dan respon inflamasi. Efek-efek ini memiliki potensi untuk
memicu secara langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis
hati, yang merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004).
2.7.3 Diagnosis NAFLD
NAFLD merupakan hasil diagnosis ekslusi yang memerlukan riwayat
medis yang memadai dan gambaran klinis yang mendukung, yang didapat dari
pemeriksaan laboratorium, pencitraan, dan histologi. Pasien yang didiagnosis
menderita NAFLD sebagian besar asimptomatik. Bila ada gejala biasanya tidak
spesifik, meliputi fatigue, malaise, dan adanya rasa nyeri/tidak nyaman pada
abdomen kuadran kanan atas. Hepatomegali menjadi satu-satunya tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik lebih dari 75% kasus. (Anania and Parekh,
2007; Lesmana, 2007; Amarapurkar, 2010).
Diagnosis NAFLD atau penyakit perlemakan hati non alkohol memerlukan
bukti adanya perubahan perlemakan pada hati tanpa adanya riwayat konsumsi
alkohol berlebihan. Jumlah konsumsi alkohol yang masih diijinkan untuk
NAFLD, yaitu 140 g etanol/minggu untuk pria dan 70 g etanol/minggu untuk
wanita (Anania and Parekh, 2007)
NAFLD merupakan penyebab peningkatan asimptomatik dari
aminotransferase pada sekitar 42%-90% kasus (Anania and Parekh, 2007).
Pengujian kadar enzim alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase
(AST) sebagai indikasi kerusakan hati sampai saat ini dianggap paling praktis.
ALT dianggap lebih spesifik daripada AST karena ALT paling banyak ditemukan
di dalam hati, sedangkan AST juga dapat ditemukan di jantung, otot rangka, otak
dan ginjal. Penentuan aktivitas ALT juga dianggap sebagai tes yang lebih sensitif
dan spesifik untuk adanya kerusakan hepatoseluler akut. Sedangkan kenaikan
aktivitas AST biasanya lebih tinggi pada kerusakan hati kronik (Maulida, 2010;
Raharjo and Jusup, 2011). Kadar ALT normal adalah 10-35 IU/L, sedangkan AST
berkisar antara 3-83 IU/L (Kee, 2007). Pada umumnya, peningkatan ALT pada
NAFLD tidak melebihi 5 kali batas atas nilai normal. Pada NAFLD kadar AST
juga meningkat, namun peningkatannya tidak setinggi ALT, sehingga rasio AST :
ALT biasanya kurang dari 1 (Nurman and Huang, 2007; Gowda et al., 2009).
Perlu diketahui bahwa pemeriksaan laboratorium tidak dapat secara akurat
membedakan steatosis dengan steatohepatitis, dan NAFLD dengan perlemakan
hati alkoholik. Derajat peningkatan kadar aminotransferase tidak dapat digunakan
sebagai faktor prediksi. Meskipun kadar ALT lebih tinggi dari kadar AST pada
sebagian besar pasien NAFLD, kadar AST dapat lebih tinggi dari kadar ALT pada
kondisi-kondisi tertentu, terutama ketika telah terjadi sirosis. Namun, rasio AST /
ALT hampir tidak pernah > 2 (Sanyal, 2002; Sari, 2012).
Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD
adalah ultrasonography (USG), Computerized Tomography (CT) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan USG hati adalah pilihan pencitraan yang
umum dan paling banyak digunakan dalam praktek klinik dan penelitian di
masyarakat. Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati memberikan gambaran
peningkatan ekogenik difus yang disebut ‘bright liver’ dengan atenuasi posterior
dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal (Sari, 2012). Salah satu keterbatasan
USG adalah hati tidak dapat divisualisasikan dengan baik pada pasien-pasien
dengan obesitas, dan tidak cukup sensitif untuk mendeteksi steatosis ringan yang
mengenai < 33% dari hepatosit dan tidak mampu untuk membedakan subtipe dari
NAFLD (Nurman and Huang, 2007).
Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak hipodens
dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik terlihat relatif
cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila pemeriksaan CT-scan dengan
injeksi kontras. Pencitraan radiologi noninvasif seperti USG, CT-scan, dan MRI
dapat membantu mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%. Namun, tiga metode
yang paling sering digunakan tersebut telah terbukti tidak satupun dapat
membedakan antara steatosis sederhana dan NASH atau menunjukkan tahap
fibrosis, sehingga dibutuhkan biopsi hati (Sanyal, 2002; Nurman and Huang,
2007; Dabhi et al., 2008).
Hasil histopatologi dari biopsi hati merupakan “gold standard” untuk
diagnosis NAFLD. Biopsi hati adalah satu-satunya metode diagnosis yang dapat
membedakan berbagai spektrum penyakit perlemakan hati non alkoholik, dari
steatosis sederhana, steatohepatitis, dengan dan tanpa fibrosis, hingga sirosis.
Namun hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan antara NAFLD
dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya memiliki gambaran
histologi yang sama (Sanyal, 2002; Amarapurkar, 2010; Sari, 2012).
Namun tindakan biopsi adalah mahal dan invasif dengan mortalitas 0,01%,
komplikasi perdarahan intraperitoneal sebesar 0,3% dari kasus, dan komplikasi
minor seperti nyeri sementara ditemukan pada 20-30% pasien. Oleh karena itu,
biopsi hanya dilakukan bila dianggap memberikan keuntungan dari segi
diagnostik, terapeutik, dan prognostik (Nurman and Huang, 2007).
2.7.4 Gambaran Histologis NAFLD
NAFLD secara histologis lebih lanjut dikategorikan menjadi Nonalcoholic
Fatty Liver (NAFL) dan Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH). NAFL
didefinisikan sebagai terjadinya steatosis hepatik tanpa disertai bukti adanya
kerusakan hepatoselular dalam bentuk hepatosit ballooning. NASH didefinisikan
sebagai terjadinya steatosis hepatik dan inflamasi disertai kerusakan hepatosit
ballooning, dengan atau tanpa fibrosis. ((Hübscher, 2006; Chalasani et al., 2012)
Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan suatu
persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis hepatik
merupakan suatu akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di dalam sel
parenkim hati (hepatosit) (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007;
Takahashi et al., 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Gauthier et al. (2006)
pada tikus menunjukkan bahwa akumulasi triasilgliserol di hati secara cepat dan
berlebihan (hingga dua kali lipat) dapat terjadi dalam dua minggu pertama setelah
pemberian diet tinggi lemak. Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan
bahwa steatosis hepatik bahkan dapat terjadi sangat dini, yaitu dalam waktu tiga
hari setelah pemberian diet tinggi lemak (Gauthier et al., 2006).
Steatosis pada hepatosit dibedakan menjadi makrovesikular dan
mikrovesikular. Steatosis makrovesikular ditandai dengan adanya vakuola besar
yang menempati hampir seluruh sitoplasma hepatosit sehingga vakuola tersebut
mendesak nukleus/inti sel hingga ke bagian perifer. Sedangkan steatosis
mikrovesikular ditandai dengan adanya vakuola-vakuola lipid kecil dalam jumlah
banyak di dalam sitoplasma hepatosit, dan nukleus tetap berada di tengah sel.
Biasanya steatosis pada NAFLD merupakan steatosis makrovesikular dan terdapat
pada zona 3 (Reddy and Rao, 2006; Nurman and Huang, 2007; Takahashi et al.,
2012).
Makrosteatosis yang ditemukan pada tikus yang diberi diet asam lemak
trans terkait dengan resistensi insulin dan peningkatan sintesis asam lemak
hepatik terkait mRNA (SREBP-1c dan PPAR�) dan penurunan MTP mRNA
(Machado et al., 2010).
Sedangkan steatosis mikrovesikular biasanya disebabkan oleh adanya
abnormalitas �-oksidasi asam lemak di mitokondria atau peroksisom, kelainan
genetik atau racun, dan steatosis jenis ini progresivitasnya cenderung cepat dan
lebih parah (Reddy and Rao, 2006; Schiff et al., 2006)
Sedangkan pada NASH, gambaran histologinya meliputi kerusakan
hepatoseluler (lebih dari perubahan steatosis sederhana), inflamasi, dan fibrosis.
Perubahan-perubahan ini juga melibatkan zona acinar 3 secara predominan.
Kriteria diagnostik yang paling penting untuk membedakan steatohepatitis dari
steatosis sederhana adalah keberadaan hepatocyte ballooning. Pembentukan
hepatocyte ballooning pada hepatosit biasanya terkait dengan pembentukan
Mallory’s hyaline atau Mallory’s bodies. Mallory bodies pada NAFLD seringkali
kecil, sulit terbentuk dan sulit dideteksi dengan pewarnaan biasa (Hübscher, 2006;
Takahashi et al., 2012).
Inflamasi pada NASH biasanya masih ringan dan terdiri dari campuran
sejumlah kecil limfosit, makrofag, dan neutrofil. Neutrofil mendominasi infiltrasi
area yang mengalami steatosis. Seiring dengan perjalanan penyakit, steatohepatitis
dapat menjadi lebih berat dan diikuti dengan fibrosis perisinusoidal, yang
kemudian dapat meluas dan menjadi sirosis (Takahashi et al., 2012).
Bila NASH berkembang menjadi sirosis, derajat steatosis berkurang dan
bahkan dapat menghilang. Demikian pula tanda-tanda yang lain dari NASH bisa
berkurang dan pemeriksaan histologi hati dapat hanya menunjukkan bland
inactive cirrhosis. Keadaan ini mengarah ke sirosis kriptogenik (Takahashi et al.,
2012).
2.8. Alpha-lipoic Acid (ALA)
Alpha-lipoic Acid (ALA), atau 1,2-dithiolane-3-pentanoic acid,
merupakan komponen dithiol yang secara alami disintesis secara de novo di dalam
mitokondria dari asam oktanoat. ALA merupakan suatu kofaktor untuk enzim �-
ketoacid dehydrogenase di mitokondria, dan oleh karena itu memegang peran
penting dalam metabolisme energi (Shay et al., 2009).
ALA merupakan salah satu unsur bahan makanan non-esensial yang
mengandung sulfur, terdapat pada berbagai makanan alami, antara lain bayam,
brokoli, ragi, daging, dan jeroan (ginjal, hati) hewan mamalia (Mason, 2001;
Lingga, 2012). Namun, ALA terdapat dalam bahan makanan alami dengan kadar
yang sangat rendah (Higdon, 2006), sehingga biasanya jumlah ALA yang
dikonsumsi sangat kurang, dibandingkan dengan kandungan ALA dalam
suplemen (Shay et al., 2009).
ALA tersusun atas suatu karbon asimetris, yang berarti bahwa ada dua
isomer optikal dari LA yang bentuknya saling menyerupai satu sama lain seperti
bayangan di cermin (R-LA dan S-LA). Hanya isomer-R yang disintesis secara
endogen dan terikat dengan protein : R-LA terdapat juga pada sumber makanan
alami. Suplemen ALA merupakan free-ALA dan dapat mengandung R-LA atau
campuran antara R-LA dan S-LA dengan perbandingan 50/50 (Higdon, 2006).
Banyak bukti yang bermunculan bahwa suplementasi ALA secara oral
memicu suatu kesatuan aktivitas biokimiawi yang unik dengan nilai
farmakoterapeutik potensial untuk mengatasi gangguan-gangguan patofisiologis.
Konsumsi ALA dari makanan belum ditemukan dapat menyebabkan peningkatan
free-ALA dalam plasma atau sel-sel manusia. Sebaliknya, pemberian suplemen
ALA oral dapat diabsorpsi lebih baik dan cepat, sehingga menyebabkan
peningkatan kadar free-ALA dalam plasma dan sel yang signifikan. Penelitian
farmakokinetik pada manusia menemukan bahwa sekitar 30%-40% dosis oral
ALA (campuran 50/50 R-LA dan S-LA) diabsorpsi tubuh. Kadar ALA dalam
plasma biasanya memuncak dalam waktu satu jam atau kurang (Higdon, 2006).
ALA serta metabolitnya dieksresikan terutama dalam urin (Shay et al., 2009).
2.8.1 Aktivitas Alpha-lipoic Acid sebagai Antioksidan
Reaktivitas kimiawi ALA terutama ditentukan oleh cincin dithiolane-nya.
ALA memiliki potensial redoks yang rendah dan sangat mudah memberikan
elektronnya ke senyawa lain, sehingga di dalam sel ALA akan cepat direduksi.
Bentuk tereduksinya dikenal sebagai dihydrolipoic acid (DHLA) (Gambar 2.4).
Bentuk teroksidasi (ALA) dan bentuk tereduksi (DHLA) menciptakan pasangan
redoks yang potensial. Ada bukti menyebutkan baik ALA maupun DHLA mampu
menangkal berbagai macam ROS, serta memiliki kemampuan yang unik dalam
menetralisir radikal bebas secara langsung, tanpa turut menjadi radikal bebas juga
dalam prosesnya (Moini et al., 2002; Shay et al., 2009; Kim et al., 2013).
Gambar 2.4. Struktur Alpha-Lipoic Acid dan Dihydrolipoic Acid (Shay et al.,
2009)
Alpha-lipoic Acid merupakan antioksidan potensial yang memiliki
kemampuan yang luas karena sifatnya yang larut dalam air dan lemak, dan hal ini
memfasilitasinya untuk dapat berdifusi pada lingkungan lipofilik maupun
hidrofilik (Mason, 2001; Kim et al., 2013). Ini berarti ALA dapat bekerja baik di
dalam sel maupun di membran sel, dan oleh karena itu memberikan proteksi
ganda (Lingga, 2012; Kim et al., 2013). ALA juga berperan dalam daur ulang
komponen-komponen antioksidan lain, seperti vitamin C dan E, koenzim Q, dan
glutathione. ALA juga melindungi tubuh dari keracunan arsen, cadmium, timbal,
dan merkuri (Mason, 2001; Shay et al., 2009).
2.8.1.1 Penangkap Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species
Kadar ROS dan RNS yang tinggi diketahui dapat merusak sel-sel (DNA,
protein, dan lipid) dan dikaitkan dengan berbagai macam patogenesis dan progresi
penyakit kronis. Baik ALA dan DHLA dapat secara langsung menetralisir ROS
dan RNS seperti hypochlorous acid (HOCL), radikal hidroksil, radikal peroksil,
superoksida dan peroksinitrit (Moini et al., 2002; Higdon, 2006).
2.8.1.2 Reregenerasi Antioksidan Lain
Ketika suatu antioksidan menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu
akan mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS
lainnya sampai antioksidan itu direduksi. DHLA merupakan suatu agen pereduksi
potensial dengan kapasitas untuk mereduksi bentuk teroksidasi dari beberapa
antioksidan penting lainnya, termasuk vitamin C dan glutathione. DHLA juga
dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari alpha-tocopherol (the alpha-tocopheroxyl
radical), secara langsung mapun tidak langsung, dengan mereduksi bentuk
teroksidasi vitamin C (dehidroaskorbat) kembali menjadi asam askorbat, yang
kemudian dapat mereduksi alpha-tocopheroxyl radical. Coenzyme Q10, suatu
komponen penting dari rantai transpor elektron di mitokondria, juga memiliki
aktivitas sebagai antioksidan. DHLA dapat mereduksi bentuk teroksidasi dari
coenzyme Q10, yang kemudian mereduksi alpha-tocopheroxyl radical (Higdon,
2006; Shay et al., 2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).
2.8.1.3 Pengikat Logam atau Metal Chelation
Alpha-lipoic Acid juga bekerja sebagai pengikat logam (metal chelation).
Ion-ion redox-active metal, seperti free iron dan tembaga, dapat mendorong
kerusakan oksidatif dengan mengkatalisis reaksi yang menghasilkan radikal bebas
yang sangat reaktif. Suatu komponen yang dapat mengikat ion-ion logam bebas
maka dapat mencegah reaksi-reaksi tersebut menghasilkan radikal bebas,
memberikan harapan dalam terapi penyakit-penyakit neurodegeneratif dan
penyakit kronis lainnya dimana kerusakan oksidatif yang diinduksi logam
memegang peran patogeniknya. Baik ALA atau DHLA secara efektif akan
mengkelasi dan membuang logam transisi secara in vivo (Shay et al., 2009).
2.8.1.4 Induksi Sintesis Glutathione
Glutathione adalah suatu antioksidan intraselular yang memegang peran
penting dalam detoksifikasi dan eliminasi karsinogen-karsinogen dan toksin-
toksin potensial. Penelitian dengan menggunakan tikus telah menemukan bahwa
sintesis glutathione dan kadarnya di jaringan lebih rendah secara signifikan pada
hewan yang tua dibandingkan dengan hewan yang lebih muda, sehingga
menyebabkan penurunan kemampuan merespon kerusakan akibat stres oksidatif
atau paparan toksin. ALA diketahui dapat meningkatkan kadar glutathione dalam
sel-sel yang dikultur dan dalam jaringan hewan yang diberi ALA (Higdon, 2006;
Shay et al., 2009).
2.8.2 Manfaat Alpha-lipoic Acid
Sebagai antioksidan, ALA merupakan antioksidan universal yang juga
dikenal sebagai “king of antioxidant.” ALA dapat meredam radikal bebas yang
dapat merusak sampai ke tingkat seluler sehingga proses penuaan dan penyakit-
penyakit degeneratif kronis tersebut dapat dicegah. Suplementasi ALA bermanfaat
untuk memperbaiki sistem imun bagi penderita hipertensi, PJK, neuropati
diabetes, gangguan hati, katarak, gangguan fungsi pankreas, gangguan fungsi
otak, serta mencegah penuaan dini (Lingga, 2012).
Pemberian ALA telah terbukti memberikan efek yang positif untuk kasus
stres oksidatif seperti ischemia-reperfusion injury, diabetes (baik ALA dan DHLA
menunjukkan adanya ikatan hidrofobik pada protein seperti albumin, sehingga
dapat mencegah terjadinya reaksi glikasi), pembentukan katarak, degenerasi
syaraf, dan radiation injury (Higdon, 2006).
ALA telah lama dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi
inflamasi yang diinduksi sitokin. Inflamasi terkait stres oksidatif memerlukan
aktivasi NF�B, suatu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen
yang terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel endotel. ALA telah dikenal sebagai
inhibitor untuk NF�B. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ALA
menurunkan ekspresi dari vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan
adhesi endotelial ke monosit, dan menghambat ekspresi MMP yang tergantung
NF�B, pada percobaan in vitro (Shay et al., 2009).
Uji ISLAND menunjukkan adanya penurunan kadar IL-6 dalam serum
yang signifikan sebesar 15%, setelah pemberian suplementasi ALA selama empat
minggu (300 mg/hari). Penemuan ini penting untuk kesehatan manusia karena IL-
6 dikenal sebagai penanda inflamasi dalam plak aterosklerotik koroner, dan juga
meregulasi ekspresi sitokin-sitokin inflamasi lainnya seperti IL-1 dan TNF-�
(Shay et al., 2009).
ALA juga telah dibuktikan dapat menekan ekspresi gen sitokin
proinflamasi, sehingga dapat memperbaiki tanda klinis penuaan kulit (Higdon,
2006; Kim et al., 2007). ALA juga menghambat penuaan yang terjadi akibat
reaksi glikasi antara glukosa-protein, sehingga mengurangi terjadinya kerusakan
kolagen pada kulit (Higdon, 2006). Pada penelitian dengan tikus model Multiple
Sclerosis (MS), pemberian ALA melalui injeksi subkutan juga mengurangi
gejala-gejala klinis penyakit. ALA telah ditemukan dapat menurunkan produksi
sitokin-sitokin proinflamasi dan menstimulasi produksi cyclic AMP dan
pensinyalan sel-sel imun tertentu, yang mungkin dapat memodulasi efek ALA
pada MS (Higdon, 2006).
Pemberian ALA jangka panjang pada tikus OLETF mencegah terjadinya
peningkatan tekanan sistolik, hiperglikemia, hiperinsulinemia, dislipidemia, dan
penanda-penanda stres oksidatif yang terjadi terkait dengan pertambahan usia.
Terapi jangka panjang dengan ALA memperlihatkan adanya perbaikan pada
toleransi glukosa seluruh tubuh dan sensitivitas insulin, begitu pula dengan kerja
insulin pada transportasi glukosa di otot rangka, pada tikus Zucker obes dan
resistensi insulin. Paparan ALA mengaktifkan elemen-elemen penting dalam
insulin signaling pathways, termasuk di dalamnya fosforilasi tirosin dari IR dan
IRS-1, pengaktifan PI3-kinase, dan fosforilasi Akt. Peningkatan kerja insulin
setelah pemberian ALA akan diikuti dengan penurunan hiperinsulinemia dan
dislipidemia (Henriksen, 2006). ALA juga dapat meningkatkan translokasi
glucose transporters (GLUT4) ke membran sel dan meningkatkan ambilan
glukosa pada sel adiposa dan sel otot yang dikultur (Higdon, 2006; Shay et al.,
2009).
Pemberian ALA intravena dengan dosis 600 mg dapat memperbaiki respon
terhadap endothelium-dependent vasodilator acetylcholine. Dengan menggunakan
USG, pemberian ALA intravena juga telah ditunjukkan dapat memperbaiki fungsi
endotel pada pasien dengan kadar glukosa darah puasa terganggu atau toleransi
glukosa terganggu. Namun, suplementasi oral ALA dengan dosis 300 mg/hari
selama 4 minggu juga dapat memperbaiki flow-mediated vasodilation hingga 44%
dibandingkan plasebo (Higdon, 2006).
Pemberian ALA dapat membantu untuk penanganan kasus neuritis
perifer. Sebanyak 181 kasus diberikan dosis 600 mg, 1200 mg atau 1800. Setelah
5 minggu, tampak perubahan gejala dan tanda yang terlihat membaik secara
bermakna. Pada penelitian ini, dosis yang terbaik ditoleransi dan tetap
memberikan manfaat adalah 600 mg sekali sehari (Wong, 2007).
Pasien diabetes berisiko tinggi mengalami penyakit mikrovaskular, yang
dapat berkontribusi pada diabetik neuropati. Pada suatu penelitian tidak terkontrol,
suplementasi ALA oral dengan dosis 1.200 mg/hari selama 6 minggu dapat
memperbaiki pengukuran perfusi kapiler pada jari-jari 8 orang pasien DM dengan
neuropati perifer. Hasil penelitian-penelitian yang ada memberikan dugaan bahwa
pengobatan dengan ALA intravena 600 mg/hari selama 3 minggu dapat
menurunkan gejala-gejala neuropati diabetik perifer secara signifikan. Ada
beberapa bukti juga menunjukkan bahwa pemberian ALA oral menguntungkan
dalam terapi neuropati diabetik perifer (600-1.800 mg/hari) dan cardiovascular
autonomic neuropathy (800 mg/hari ) (Higdon, 2006).
ALA dapat melewati sawar darah otak, dinding pembuluh darah kecil,
struktur sel otak, dan mudah masuk ke dalam jaringan otak. Diperkirakan ALA
dapat melindungi jaringan otak, syaraf, dan mencegah kerusakan otak dari
pengaruh radikal bebas (Wong, 2007). Suatu penelitian tidak terkontrol dan
terbuka dengan 9 orang pasien yang dicurigai menderita penyakit Alzheimer dan
demensia terkait, yang juga mengkonsumsi acetylcholinesterase inhibitors,
melaporkan bahwa pemberian suplementasi ALA per oral dengan dosis 600
mg/hari tampaknya dapat menstabilkan fungsi kognitif selama periode 1 tahun
(Higdon, 2006).
Hoimcuist et al. (2007) menyatakan bahwa penderita Alzheimer sangat
terbantu kesembuhannya dengan mengonsumsi suplemen ALA secara rutin. ALA
sangat efektif mereduksi radikal bebas beta-amiloid yang mengganggu fungsi
neuron serta melemahkan kemampuan berpikir. Dalam penggunaan praktis,
suplementasi ALA bermanfaat bagi penderita demensia dan Alzheimer (Lingga,
2012).
2.8.3 Manfaat Alpha-lipoic Acid pada NAFLD
Resistensi insulin, stres oksidatif, inflamasi, dan aktivasi sistem imun
innate berkontribusi dalam terjadinya NAFLD yang bermanifestasi sebagai
steatosis dan inflamasi di dalam hati. Kemampuan ALA sebagai antioksidan kuat
telah ditunjukkan dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan menekan respon
inflamasi. Suplementasi ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD melalui
berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan steatosis,
stres oksidatif, aktivasi sistem imun dan inflamasi di hati (Jung et al., 2012).
ALA menurunkan produksi anion superoksida, berat badan dan kadar FFA
di dalam plasma. ALA juga meningkatkan kadar protein PPAR-� hati.
Kemampuan ALA menurunkan FFA dalam plasma tampaknya sebagian di
sebabkan oleh peningkatan pengeluaran PPAR-�, yang ternyata juga memberikan
efek positif terhadap resistensi insulin (El Midaoui et al., 2011). Baru-baru ini
dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi lipid hepatik dan inflamasi
di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom P450-2E1 dan stres pada
retikulum endoplasma (Kim et al., 2013).
Penelitian yang dilakukan Yang et al. (2006) dengan menggunakan tikus
yang diberi diet tinggi lemak dan ALA selama 4 minggu, membuktikan pemberian
ALA memperbaiki kapasitas AO, menurunkan aktivitas LPL, dan lipid dalam
darah secara signifikan (Yang et al., 2006). Pada percobaan lain dengan tikus yang
diberi makanan tinggi lemak dan 10% minyak teroksidasi ada peningkatan
aktivitas SOD, GSH-Px, glutathione reductase, dan glucose-6-phosphate
dehydrogenase. Pemberian ALA dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim-
enzim tersebut. Pemberian minyak yang telah teroksidasi juga menyebabkan
peningkatan produksi radikal oksigen, terbukti dengan adanya peningkatan
produksi malondialdehyde, dimana efek ini dapat diatasi dengan pemberian ALA
(Zalejska-Fiolka et al., 2010).
Steatosis non-alkoholik juga dapat merupakan komplikasi hati penting dari
obesitas terkait dengan disfungsi mitokondria dan stres oksidatif. ALA dilaporkan
memiliki efek baik untuk fungsi mitokondria dan mengurangi stres oksidatif.
Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek protektif potensial dari suplementasi
ALA terhadap stres oksidatif terkait pola makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa
ALA mencegah akumulasi trigliserid hepatik dan kerusakan oksidatif di hati
melalui inhibisi produksi radikal hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di
mitokondria. ALA mendorong aktivitas SOD dan GSH-Px. ALA juga
menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA memodulasi
pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT) yang berperan
penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi pertahanan antioksidan
(Valdecantos et al., 2012).
Telah disebutkan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari terjadinya
akumulasi TG di dalam hepatosit adalah peningkatan sintesis asam lemak dan TG
secara de novo akibat peningkatan ekspresi SREBP-1c dan ChREBP, serta gen-
gen lipogenik lainnya. ALA terbukti menekan peningkatan sintesis TG di darah
dan hati dengan jalan menghambat ekspresi gen lipogenik di hati (seperti sn-
glycerol-3-phosphate acyltransferase-1 dan diacylglycerol O-acyltransferase-2),
menurunkan sekresi TG hepatik, dan menstimulasi clearance lipoprotein yang
kaya TG (Butler, et al., 2009). Pemberian ALA ke tikus percobaan yang diberi
diet tinggi fruktosa ditemukan dapat memperbaiki sensitivitas insulin, menjaga
sistem antioksidan dan menurunkan peroksidasi lipid, menurunkan ekspresi
uncoupling protein 2,, menurunkan ekspresi SREBP-1c dan gen-gen lipogenik
fatty acid synthase serta glycerol-3-phosphate acyltransferase (Castro et al., 2013)
Penelitian dengan menggunakan tikus Otsuka Long-Evans Tokushima
Fatty (OLETF) yang diberi diet disertai ALA dengan dosis 200 mg/kg/hari selama
16 minggu. Hasilnya kadar insulin, FFA, kolesterol total, TG, leptin, IL-6, dan
glukosa di dalam darah menurun. Kadar adiponektin juga meningkat pada tikus
yang diberi ALA. ALA dapat menurunkan ekspresi SREBP-1 dan Acetyl CoA
Carboxylase (ACC), dan meningkatkan ekspresi GLUT-4 di dalam hati tikus
OLETF. Ekspresi enzim-enzim antioksidan seperti heme oxygenase-1 and Cu/Zn-
Superoxide Dismutase meningkat pada tikus yang diberi ALA. Penanda
peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang diberi ALA.
Protein-protein yang terkait pengaktifan sistem imun innate dan penanda inflamasi
juga menurun (Jung et al., 2012).
Finlay et al. (2012) melakukan percobaan untuk menentukan efek usia
dan suplementasi ALA pada ekspresi gen hepatik, percobaan ini menggunakan
tikus Fischer jantan berusia 3 bulan dan 24 bulan yang diberi ALA dalam diet
selama 2 minggu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
ALA menurunkan transkripsi gen-gen hepatik yang terkait dengan metabolisme
lipid (gen lipogenik), seperti Fatty Acid Synthase (FASN) dan ACC, baik pada
tikus muda maupun tua. Seperti yang telah diketahui, FASN mengkatalisis tahap
akhir biosintesis asam lemak, oleh karena itu dipercaya menjadi penentu utama
kapasitas maksimal hepatik dalam memproduksi asam lemak melalui jalur
lipogenesis de novo. Telah dibuktikan bahwa ekpresi mRNA FASN pada hati
orang-orang dengan steatosis hepatik lebih tinggi dibandingkan orang normal
(Tacer and Rozman, 2011). Sedangkan ACC diketahui mengubah acetyl-CoA
menjadi malonyl-CoA di dalam siklus Krebs. Peningkatan produksi malonyl-CoA
menyebabkan inhibisi pada CPT-1 (yang memperantarai asam lemak masuk ke
dalam mitokondria untuk di oksidasi) sehingga terjadi penurunan oksidasi asam
lemak (Browning and Horton, 2004).
2.8.4 Suplemen Alpha-lipoic Acid dan Dosis Anjuran
Tidak seperti ALA dalam makanan, suplemen ALA terdapat dalam bentuk
bebas, tidak terikat dengan protein. Jumlah ALA yang terdapat dalam suplemen
harian (200-600 mg) lebih besar sekitar 1.000 kali lipat dibandingkan jumlah yang
terkandung dalam makanan. Di Jerman, ALA telah ditetapkan sebagai terapi
neuropati diabetik dan dapat diresepkan oleh dokter. Sebagian besar suplemen
ALA mengandung campuran R-LA dan S-LA (d,l-LA) dengan perbandingan
50/50. Suplemen ALA yang hanya mengandung R-LA biasanya lebih mahal
harganya, dan informasi kemurniannya tidak tersedia. Direkomendasikan untuk
mengkonsumsi ALA dalam keadaan lambung kosong (1 jam sebelum makan atau
2 jam setelah makan), karena konsumsi bersamaan dengan makanan dapat
menurunkan bioavalabilitasnya (Higdon, 2006).
ALA banyak terdapat dalam bentuk sediaan tablet dan kapsul. Dosis yang
biasa digunakan dalam penelitian 150-600 mg/hari, untuk suplemen harian
digunakan dosis 50-300 mg/hari. ALA memiliki LD50 pada dosis 400-500 mg/kg
dengan kategori pemberian dosis tinggi pada dosis 20 mg/kg (Mason, 2001).
LD50 untuk tikus adalah > 2000 mg/KgBB. Pada dosis 2000 mg/KgBB, beberapa
tikus dilaporkan menunjukkan tanda-tanda adanya penurunan kondisi, seperti
sedasi, apatis, piloereksi, postur membungkuk, dan/atau penutupan mata (Shay et
al., 2009)
Penelitian eksperimental maupun uji klinis yang telah dilakukan dengan
pemberian ALA dosis 600 mg pada manusia telah memberikan bukti konsisten
dalam peran terapeutik ALA sebagai AO dalam pengobatan resistensi insulin dan
diabetik polineuropati. Suatu penelitian dengan 72 orang pasien DM tipe 2
menemukan bahwa pemberian ALA per oral dengan dosis 600 mg/hari, 1.200
mg/hari atau 1.800 mg/hari dapat memperbaiki sensitivitas insulin hingga 25%
setelah pemberian selama 4 minggu. Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
3 dosis ALA tersebut, yang memberikan dugaan bahwa dosis 600 mg/hari
merupakan dosis efektif maksimum (Higdon, 2006; Lingga 2012).
2.8.5 Efek Samping Alpha-lipoic Acid
Efek samping ALA, dari beberapa penelitian ternyata sangat kecil,
sehingga preparat ALA meningkat penggunaannya sebagai suplemen kesehatan.
ALA mungkin menimbulkan efek samping ringan seperti, sakit kepala, kesemutan
atau rasa pins and needles, ruam kulit serta kram otot. Efek samping yang paling
sering dilaporkan adalah reaksi alergi yang mempengaruhi kulit, seperti
kemerahan, bentol-bentol, dan gatal. Pernah dilaporkan adanya nyeri abdomen,
mual, muntah, diare, dan vertigo, dan satu penelitian gejala-gejala tersebut tidak
terkait dosis. Pernah ditemukan adanya reaksi anafilaktik ringan dan 1 reaksi
anafilaktik berat, termasuk laringospasme, setelah pemberian ALA secara
intravena. Lebih lanjut lagi, pernah dilaporkan malodorous urine pada orang yang
mengkonsumsi ALA dengan dosis 1.200 mg/hari secara oral (Higdon, 2006).
Penelitian pada suplementasi ALA oral jangka panjang (24 bulan) pada
tikus jantan maupun betina menunjukkan tidak adanya efek samping pada berat
badan, histopatologi, dan kimia darah dengan dosis hingga 60 mg/KgBB per hari.
Pada pemberian dosis kronis yang lebih tinggi, 180 mg/KgBB, ditemukan adanya
penurunan berat badan dan konsumsi makanan, meski tidak ditemukan adanya
bukti patologis. Berdasarkan penemuan tersebut, telah ditetapkan suatu NOAEL
(No Observed Adverse Effect Level) dari dosis 60 mg/KgBB/hari untuk pemberian
suplementasi ALA jangka panjang pada tikus (Shay et al., 2009).
Namun, walaupun telah ada bukti tentang keamanan ALA dosis tinggi,
suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian ALA dosis tinggi kronis
pemberian ALA dengan dosis tinggi atau secara intraperitoneal jangka panjang,
dapat memediasi terjadinya kerusakan oksidatif. Masih diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk menentukan keamanan dan dosis optimal dari ALA (Shay et al.,
2009).
2.8.6 Interaksi Obat
ALA terbukti memiliki efektivitas yang cukup baik dalam mengontrol
kadar gula, maka konsumsi ALA bersama dengan obat penurun kadar gula darah
harus dilakukan dengan hati-hati, karena sangat mungkin suplementasi ALA dapat
meningkatkan risiko hipoglikemi pada pasien diabetes yang menggunakan terapi
insulin atau obat antidiabetik oral (Higdon 2006; Ehrlich, 2011; Lingga, 2012).
Maka dari itu, kadar glukosa darah harus dimonitor ketat ketika suplementasi
ALA diberikan sebagai tambahan pada pengobatan diabetes (Higdon, 2006;
Wong, 2007).
ALA juga memiliki efektivitas serupa dengan hormon tiroid, karena itu
bagi orang yang menjalani terapi tiroid dengan mengonsumsi obat pemicu fungsi
tiroid, seperti levothyroxine, sebaiknya mengkonsultasikan dulu keinginan untuk
melakukan suplementasi ALA pada ahlinya (Ehrlich, 2011; Lingga, 2012). ALA
mungkin juga dapat menginterfensi kerja beberapa obat-obatan kemoterapi
(Ehrlich, 2011).
2.9 Hewan Coba
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus merupakan spesies pertama mamalia yang didomestikasi untuk tujuan
ilmiah karena memiliki daya adaptasi yang baik. Ada dua sifat utama yang
membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah
karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke
dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan
menggunakan sonde lambung, serta tidak mempunyai kantong empedu (Ingriani,
2012).
Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi
dewasa. Tikus laboratorium mencapai dewasa pada umur 50-60 hari. Umumnya
berat tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat tikus liar. Berat dewasa
rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi tergantung pada galur (Ingriani, 2012).
Tikus yang banyak dibiakkan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih
(Rattus norvegicus). Rattus norvegicus paling banyak digunakan di laboratorium
karena mudah dipelihara, relatif sehat, dan cocok untuk berbagai macam
penelitian. Rattus norvegicus memiliki ciri-ciri panjang tubuh total 440 mm,
panjang ekor 205 mm, bobot badan 140-500 g dengan rataan 400 g. Rattus
norvegicus memiliki beberapa keunggulan, antara lain : penanganan dan
pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, kemampuan reproduksi yang
tinggi dengan masa kebuntingan yang singkat, sehat, bersih, dan memiliki
karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Ingriani,
2012).
Terdapat tiga galur tikus Rattus norvegicus, yaitu galur Sprague Dawley
yang memiliki kepala kecil, berwarna albino, dan ekornya lebih panjang dari
badannya. Galur Wistar, memiliki kepala besar, berwarna putih, dan ekor yang
lebih pendek. Galur Long Evans, lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna
hitam pada kepala hingga tubuh bagian depan, serta warna putih pada tubuh
bagian belakang (Ingriani, 2012).
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar merupakan salah satu tikus
percobaan yang sering digunakan dalam berbagai penelitian. Tikus ini telah
diketahui dengan baik sifat, karakteristik, struktur anatomi, dan zat gizi yang
diperlukannya hampir sama dengan manusia. Tikus Wistar juga mempunyai tipe
metabolisme sama dengan manusia. Dengan menggunakan tikus, hasilnya dapat
digeneralisasi pada manusia. Selain itu, dengan menggunakan tikus sebagai hewan
coba, maka pengaruh diet dapat benar-benar dikendalikan dan terkontrol
(Rukmini, 2007). Dalam penelitian seringkali dipakai tikus Wistar jantan saja
karena tikus jantan lebih sedikit dipengaruhi faktor hormonal dibandingkan
dengan tikus betina (Suwandi, 2012).
Tikus Wistar jantan juga jarang berkelahi seperti mencit jantan. Ukuran
tikus juga lebih besar daripada mencit, maka untuk beberapa macam percobaan
tikus lebih menguntungkan. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini
tenang dan mudah ditangani di laboratorium (Ingriani, 2012).
2.9.1 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium
Pemantauan keselamatan tikus di laboratorium (Ingriani, 2012) antara lain :
a. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu
kali seminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan
gigitan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah
menyerap air pada umumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi.
b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan
fisiologi tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang
ekstrim harus dihindari).
c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus
adalah 600 cm2, tinggi 20 cm.
d. Tikus harus diperlakukan dengan kasih sayang.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Masyarakat Indonesia umumnya sangat menyukai makanan yang
digoreng. Asupan makanan yang digoreng dengan minyak jelantah dapat menjadi
sumber asam lemak dan radikal bebas. Minyak jelantah adalah minyak goreng
bekas yang sudah dipakai untuk menggoreng berulang kali dan dengan suhu
tinggi, akibatnya terjadi peningkatan kejenuhan asam lemak dari minyak, kadar
peroksida, dan pembentukan radikal bebas yang bersifat toksik bagi sel tubuh.
Minyak jelantah sebagai radikal bebas dapat menyebabkan stres oksidatif
di dalam tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat
mempercepat penuaan dan menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit kronis dan
degeneratif, seperti perlemakan hati non alkoholik atau NAFLD.
NAFLD mencakup suatu spektrum penyakit mulai dari steatosis
sederhana, steatohepatitis fibrosis, hingga sirosis hati. Steatosis hepatik
didefinisikan sebagai akumulasi berlebih dari lemak (trigliserida) di hepatosit dan
merupakan karakteristik utama dari NAFLD, maka jumlah steatosis yang terdapat
pada lebih dari 5% hepatosit adalah suatu persyaratan penting di dalam
menegakkan diagnosis NAFLD.
Hati dengan kelebihan lemak lebih rentan terhadap stressor seperti reactive
oxygen species, stres oksidatif, peroksidasi lipid dan sitokin-sitokin proinflamasi.
Hal tersebut menyebabkan kerusakan lebih lanjut, peradangan, hingga fibrosis,
yang merupakan gambaran dari NASH.
Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di
dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Pemeriksaan kadar enzim
ALT merupakan indikator yang lebih spesifik terhadap tes fungsi hati sebab enzim
ALT sumber utamanya di hati sedangkan enzim AST banyak terdapat pada
jaringan lain terutama jantung, otot rangka, ginjal dan otak. Seringkali juga
ditemukan kadar ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD.
Berdasarkan patogenesis NAFLD yang telah diketahui, tatalaksana
ditujukan pada pencegahan dan pengurangan stres oksidatif intrahepatik dan
perbaikan resistensi insulin. Alpha-lipoic Acid (ALA) memiliki potensi sebagai
antioksidan kuat. Pemberian ALA jangka panjang dapat mencegah NAFLD
melalui berbagai macam mekanisme yang kemudian menyebabkan penurunan
steatosis, stres oksidatif, menekan aktivasi sistem imun serta inflamasi di hati.
Lewat beberapa penelitian ALA juga telah dibuktikan dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan menekan respon inflamasi.
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka, maka disusun
kerangka konsep untuk penelitian terhadap tikus sebagai berikut :
Keterangan
: Diteliti
: Tidak diteliti Gambar 3.1. Skema Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis yang diajukan adalah :
1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah
steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar
alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi
minyak jelantah.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian true experimental dengan menggunakan
Post-test Only Control Group Design (Marczyk et al., 2005).
Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian
Keterangan :
P = Populasi
S = Sampel
R = Randomisasi
P0 = Perlakuan pada Kelompok Kontrol yang diberi minyak jelantah
0,42 ml dan plasebo (aquadest) 1 ml, selama 14 hari
P1 = Perlakuan pada Kelompok 1 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml
dan ALA dosis 5,4 mg, selama 14 hari
P2 = Perlakuan pada Kelompok 2 yang diberi minyak jelantah 0,42 ml
dan ALA dosis 10,8 mg, selama 14 hari
O1 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada
Kelompok Kontrol post-test
O2 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada
Kelompok Perlakuan 1 post-test
O3 = Pemeriksaan kadar ALT dan penghitungan jumlah steatosis pada
Kelompok Perlakuan 2 post-test
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal Unit bagian Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo dan bagian Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian berlangsung dari bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (35
hari) dengan perincian sebagai berikut :
1. Tujuh (7) hari untuk adaptasi tikus.
2. Empat belas (14) hari untuk pemberian minyak jelantah dan Alpha-lipoic Acid.
3. Tujuh (7) hari untuk pemeriksaan kadar ALT darah tikus serta pembuatan dan
pemeriksaan preparat hati tikus.
4. Tujuh (7) hari untuk analisis data dan penyusunan laporan.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Kriteria Sampel Penelitian
1. Kriteria inklusi :
a. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar
b. Umur 3-4 bulan
c. Berat badan 200-210 gram
d. Sehat dan aktif
2. Kriteria drop-out : tikus mati dalam penelitian
4.3.2 Penentuan Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan
menggunakan rumus Federer (2008) :
( n – 1 ) ( t – 1 ) � 15
Dimana : n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = jumlah kelompok perlakuan
Dalam penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan (t=3) , maka jumlah
sampel yang diperlukan : ( n – 1 ) ( 3 – 1 ) � 15
(n – 1)2 � 15
2n � 15 + 2
n = 8,5 dibulatkan menjadi 9
Jadi dalam penelitian ini diperlukan minimal 27 ekor tikus Wistar jantan
yang dibagi dalam 3 kelompok perlakuan dan masing-masing kelompok terdiri
dari 9 ekor tikus. Untuk mengantisipasi drop-out maka ditambahkan 10% dari
total seluruh tikus, yaitu 2,7 dibulatkan menjadi 3 ekor, dan jumlah total tikus
menjadi 30 ekor. Berarti jumlah tikus untuk masing-masing kelompok perlakuan
menjadi 10 ekor.
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Dari populasi tikus, diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi :
tikus Wistar jantan, umur 3-4 bulan, berat 200 – 210 gram.
2. Dari populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi, diambil secara random 30
ekor yang akan menjadi sampel post test only control group design.
3. Dari kelompok sampel ini kemudian dibagi menjadi 3 kelompok secara acak
sederhana, yaitu Kelompok Kontrol, Kelompok Perlakuan 1 dan 2. Masing-
masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas : Alpha-lipoic Acid
2. Variabel tergantung : jumlah steatosis dan kadar ALT serum
3. Variabel kendali : galur tikus, jenis kelamin, umur, berat badan, pakan
dan minuman, serta lingkungan pemeliharaan (suhu, cahaya, kelembapan)
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Minyak jelantah adalah minyak sawit yang telah mengalami proses pemanasan
berulang sebanyak 6 kali, masing-masing selama 8 menit, untuk menggoreng
tahu pada suhu 150oC. Dosis minyak jelantah yang diberikan kepada seluruh
kelompok adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus. Minyak jelantah diberikan 1 jam
setelah tikus diberi plasebo (Kelompok Kontrol) atau ALA (Kelompok
Perlakuan 1 dan 2), per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari.
2. Alpha-lipoic Acid yang digunakan dalam penelitian adalah ALA murni
berbentuk tablet yang didapat dari PT. L dengan dosis yang dikonversikan dari
dosis anjuran untuk manusia. ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1)
dengan dosis 5,4 mg/200 gram BB tikus dan Kelompok Perlakuan 2 (P2)
dengan dosis 10,8 mg/200 gram BB tikus. ALA tablet sebelumnya digerus dan
dilarutkan dalam 1 ml aquadest. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi
minyak jelantah, per oral melalui sonde, 1 kali per hari, selama 14 hari.
3. Plasebo yang diberikan pada Kelompok Kontrol (P0) berupa aquadest, dengan
dosis 1 ml/200 gram BB tikus. Plasebo diberikan 1 jam sebelum tikus diberi
minyak jelantah, per oral melalui sonde 1 kali per hari, selama 14 hari.
4. Steatosis dihitung dari jumlah sel hati (hepatosit) yang sitoplasmanya berisi
vakuola lemak dan nukleusnya terdesak ke perifer. Hepatosit dianalisis dari
preparat jaringan hati tikus yang telah diwarnai dengan pewarnaan
Haematoxilin Eosin. Setiap preparat diamati pada 5 lapangan pandang yaitu
pada keempat sudut dan bagian tengah preparat dengan perbesaran lensa
objektif 400x, difoto, kemudian jumlah steatosis dihitung menggunakan
perangkat lunak Image Tool dan dijumlahkan.
5. Alanine aminotransferase (ALT) adalah kadar enzim hati yang keluar bila
terjadi kerusakan hati secara akut. Kadar ALT dinilai dari plasma darah tikus
dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kadar ALT normal pada tikus
adalah 17,5 – 30,2 IU/L.
6. Tikus yang digunakan untuk penelitian ini adalah tikus galur Wistar
berkelamin jantan.
7. Umur tikus yang dipilih untuk penelitian ini adalah usia 3-4 bulan.
8. Berat badan tikus ditimbang dengan timbangan gram. Berat badan tikus yang
dipilih untuk penelitian ini adalah 200-210 gram. Berat badan penting
diketahui karena berhubungan dengan dosis pemberian ALA.
9. Lingkungan pemeliharaan adalah kondisi lingkungan penelitian yang dialami
oleh tikus dewasa dan pada penelitian ini kondisi lingkungan dibuat sama
(suhu, cahaya, dan kelembaban).
4.4.3 Hubungan Antar Variabel
Gambar 4.2. Skema Hubungan Antar Variabel
4.5 Alat dan Bahan Penelitian
4.5.1 Alat-alat yang Digunakan dalam Penelitian
1. Kandang tikus putih beserta kelengkapan pemberian makanan dan minuman
2. Timbangan
3. Sonde
4. Perangkat pengambilan darah (spuit injeksi, mikrokapiler, rak, tabung reaksi,
tabung effendorf, pipet mikro, sentrifuge)
5. Perangkat bedah untuk tikus (disecting kit)
6. Perangkat pembuatan preparat histologi (botol falcon untuk menempatkan
jaringan hati, gelas benda, gelas penutup, cawan petri, kaki tiga dan bunsen,
staining kit, holder, mikrotom)
7. Mikroskop elektrik merk Olympus CX21
8. Spektrofotometer dengan panjang gelombang 365 nm untuk pemeriksaan
kadar ALT.
4.5.2 Bahan-bahan yang Digunakan dalam Penelitian
1. Tikus Wistar jantan
2. Makanan pellet dan air minum untuk tikus
3. Alpha-lipoic Acid
4. Minyak jelantah
5. Aquadest
6. Ketamine HCl
7. Bahan untuk pembuatan preparat histologi [ether, formalin 10%, alkohol
bertingkat (30%, 40%, 50%, 70%, 80%, 90%, 96%), toluol, xylol, Meyers
albumin, parafin, pewarna Hematoxylin-Eosin, dan aquadest]
8. Bahan untuk analisis ALT (seperangkat kit ALT merk DiaSys)
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Penentuan Dosis Minyak Jelantah
Minyak jelantah dibuat dengan memanaskan minyak goreng sawit untuk
menggoreng tahu pada suhu 150oC (diukur dengan termometer masak) sebanyak 6
kali, masing-masing selama 8 menit. Dosis minyak jelantah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 0,42 ml/200 gram BB tikus (Hartono, 2011; Raharjo
and Jusup, 2011).
4.6.2 Penentuan Dosis Alpha-lipoic Acid
Sediaan ALA berbentuk tablet dan mengandung ALA murni 600 mg, di
dapatkan dari PT. L. Dosis yang diberikan ke tikus sesuai dengan dosis anjuran
untuk manusia, yaitu 300 mg/hari dan 600 mg/hari (Mason, 2001; Higdon, 2006;
Lingga 2012). Dosis tersebut kemudian dikonversikan dari dosis manusia ke tikus
dengan faktor konversi 0,018 yang di dapat dari tabel konversi Laurence and
Bacharach (Lampiran 2), sehingga didapatkan : 5,4 mg/200gramBB/hari untuk
Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan 10,8 mg/200gramBB/hari untuk Kelompok
Perlakuan 2 (P2).
4.6.3 Penentuan Dosis Plasebo
Plasebo adalah substansi yang bukan merupakan zat aktif dan digunakan
sebagai kontrol dalam suatu penelitian. Plasebo yang digunakan dalam penelitian
ini adalah aquadest, dengan dosis 1 ml/200 gram BB tikus (Ingriani, 2012).
4.6.4 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sebelum Penelitian
4.6.4.1 Pemilihan Hewan Coba
Tikus yang dipilih sebagai sampel adalah tikus galur Wistar jantan, sehat,
berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus Wistar jantan yang
digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 ekor, dan dibagi secara acak menjadi
3 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor tikus :
1. Kelompok P0 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan
plasebo 1 ml/200 gram berat badan selama 14 hari.
2. Kelompok P1 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan
ALA dengan dosis 5,4 mg/200 gram selama 14 hari.
�� Kelompok P2 : diberi minyak jelantah 0,42 ml/200 gram berat badan dan
ALA dengan dosis 10,8 mg/200 gram selama 14 hari.�
4.6.4.2 Persiapan Hewan Coba
� Tikus dipelihara dalam kandang individual yang terbuat dari kawat dengan
alas sekam padi. Kandang harus tahan terhadap gigitan hewan, mudah
dibersihkan, dan hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang juga harus
berventilasi baik, mendapat penyinaran cukup, dan suhu normal.
Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan adaptasi selama tujuh (7) hari di
tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Selama proses adaptasi
maupun perlakuan tikus tetap diberi makan dan minum secara ad libitum.
4.6.5 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Saat Penelitian
4.6.5.1 Pemberian Minyak Jelantah
Minyak jelantah diberikan pada ketiga kelompok dengan dosis
0,42ml/200grBB. Pada Kelompok Kontrol (P0) minyak jelantah diberikan 1 jam
setelah tikus diberi plasebo dan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Perlakuan 2
(P2), minyak jelantah diberikan 1 jam setelah tikus diberi ALA. Minyak jelantah
diberikan secara oral melalui sonde, 1 kali per hari, dan selama 14 hari
4.6.5.2 Pemberian Plasebo
� Plasebo diberikan hanya pada Kelompok Kontrol (P0) dengan dosis 1
ml/200grBB. Cara pemberiannya sama dengan cara pemberian ALA, yaitu
diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral melalui sonde, 1
kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.
4.6.5.3 Pemberian Alpha-lipoic Acid
ALA diberikan pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan dosis 5,4
mg/200grBB dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dengan dosis 10,8 mg/200grBB.
Sebelum diberikan, tablet ALA digerus dan dilarutkan dalam aquadest hingga 1
ml. ALA diberikan 1 jam sebelum tikus diberi minyak jelantah, secara oral
melalui sonde, 1 kali per hari, dan diberikan selama 14 hari.
4.6.5.4 Pengambilan Sampel Darah
Pada hari ke-22, semua kelompok diambil darahnya untuk pemeriksaan
kadar ALT. Pengambilan darah tikus dilakukan dengan menggunakan
mikrokapiler melalui medial canthus sinus orbitalis. Tikus dianastesi dulu
sebelum diambil darahnya dengan menggunakan Ketamine HCl secara
intramuskular. Kemudian ujung tabung mikrokapiler dimasukkan ke sudut bagian
dalam kantung mata, dengan mengarahkan ujungnya pada sudut 45o dari tengah
mata. Darah diambil sebanyak 1 cc. Sampel darah kemudian ditampung dalam
tabung reaksi dengan antikoagulan (EDTA) untuk didapatkan plasmanya.
4.6.5.5 Pembedahan
Pada hari ke-22 semua kelompok juga dibedah untuk diambil organ
hatinya. Pengambilan organ hati dilakukan setelah pengambilan darah. Sebelum
dibedah, tikus dikurbankan dengan diberikan Ketamine HCl secara intramuskular.
Kemudian tikus dibedah, diambil organ hati bagian dekstra, dan dibuat preparat
menggunakan metode histologi baku dengan pengecatan Haematoxilin Eosin.
4.6.6 Perlakuan Terhadap Hewan Coba Sesudah Penelitian
Setelah semua prosedur penelitian selesai dilakukan, jasad tikus yang telah
dikurbankan, diurus dengan layak untuk selanjutnya dikuburkan dengan baik.
4.6.7 Pemeriksaan Kadar ALT
Sampel darah yang telah dimasukkan ke dalam tabung dengan
antikoagulan disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Plasma
darah selanjutnya diambil dengan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung.
Kemudian dilakukan pengukuran kadar ALT menggunakan kit ALT merk DiaSys.
Dengan menggunakan kit ALT, plasma sebanyak 100 �l ditambah dengan
1000�l larutan reagen 1, dicampur hingga homogen dan diinkubasi selama 5 menit
pada suhu 37 ºC. Kemudian plasma yang telah dicampur dengan reagen 1, diberi
reagen 2 sebanyak 250 �l dan dicampur hingga homogen. Pembacaan aktivitas
ALT dilakukan 1 menit kemudian dengan menggunakan alat spektrofotometer UV
dengan panjang gelombang 365 nm, didasarkan pada pembacaan absorbansi
NAD+ yang spesifik pada panjang gelombang tersebut. Pembacaan absorbansi
dilakukan setiap menit selama 3 menit. Delta absorben / menit selanjutnya
dikalikan faktor konversi sebesar 3971 untuk mendapatkan kadar ALT. Kadar
ALT normal pada tikus putih adalah 17,5-30,2 IU/L (Maulida, 2010).
4.6.8 Pembuatan Sediaan
Pembuatan sediaan hati dilakukan dengan metode parafin menurut Suntoro
dengan tahapan sebagai berikut (Hartono, 2011) :
a. Fiksasi
Potongan jaringan dimasukkan ke dalam botol-botol falcon yang sudah berisi
larutan fiksatif (formalin 10%) yang volumenya minimal 10 kali besar
potongan jaringan selama 4 jam.
b. Washing (pencucian)
Pencucian potongan jaringan dengan alkohol 70% karena fiksatif yang
digunakan adalah larutan formalin.
c. Dehidrasi
Molekul air dihilangkan dengan memasukkan jaringan ke dalam alkohol 30%,
40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing selama dua kali
selama 30 menit.
d. Clearing (Pembersihan)
Proses ini meliputi penggantian molekul alkohol dengan toluol. Potongan
jaringan dipindahkan ke dalam botol yang berisi toluol hingga jaringan
menjadi transparan.
e. Embeding (Penanaman)
Memasukkan jaringan hati ke dalam xilol-parafin cair bertingkat selama 20
menit, kemudian memasukkan ke parafin cair (57oC) I, II, III masing-masing
selama 20 menit. Menyiapkan cetakan atau bisa menggunakan cawan petri
yang diolesi gliserin. Menuangkan parafin cair ke dalam cetakan sampai
penuh, kemudian membenamkan potongan organ ke dalam parafin tersebut.
f. Sectioning (Pemotongan)
Setelah jaringan mengeras, blok jaringan dipotong menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 4 - 5 �m.
g. Affixing (Penyematan)
Pita parafin hasil irisan direntangkan diatas kaca obyek. Kemudian diletakkan
diatas hot plate bersuhu 45oC sampai parafin meleleh dan sisa air dihisap
dengan kertas tissue.
h. Staining (Pewarnaan)
Memasukkan kaca benda yang berisi irisan organ ke dalam xilol murni I, II
masing-masing selama 5 menit, lalu ke alkohol – xilol bertingkat selama 5
menit, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50% masing-masing selama 5
menit lalu ke aquades I, II masing-masing selama 5 menit, kemudian ke
pewarna hematoxylin selama 7 detik. Setelah itu kembali dimasukkan ke
dalam aquades dan alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% masing-masing
beberapa celupan lalu dimasukkan ke pewarna kedua yaitu eosin selama 5
menit. Kemudian dimasukkan ke alkohol 96% I, II masing-masing sebanyak
beberapa celupan setelah itu dimasukkan ke alkohol- xilol (1:1), xilol murni I,
II, III masing-masing beberapa celupan, setelah itu preparat dikering-
anginkan.
i. Mounting (Penutupan)
Penutupan preparat dengan menggunakan kaca penutup.
j. Labelling (Pemberian Label)
Memberi identitas preparat
4.6.9 Pengamatan
Steatosis yang terdapat pada lebih dari 5% hepatosit merupakan
persyaratan penting di dalam menegakkan diagnosis NAFLD. Steatosis dalam
sediaan histologis tampak sebagai vakuola-vakuola bening yang terdapat dalam
sitoplasma hepatosit dan dapat mendesak inti hingga ke perifer. Steatosis
menyerang sampai ke daerah sentrilobular.
Pengamatan preparat jaringan hati dilakukan dengan bantuan mikroskop
elektrik Olympus CX21 yang dihubungkan dengan Optilab (sebagai pencitra
preparat) dan komputer yang dilengkapi dengan piranti lunak Optilab Image
Rester. Pengamatan dimulai dengan perbesaran lensa obyektif 100x untuk
mengamati seluruh lapangan pandang, untuk menentukan daerah yang akan
diamati, yaitu daerah sentrilobular di sekitar vena sentralis lobulus hati. Kemudian
preparat histologis hati diamati dengan perbesaran lensa obyektif 400 kali dan
pada lima lapangan pandang yang berbeda. Dari setiap lapangan pandang dihitung
20 sel secara acak, sehingga dalam 1 preparat akan teramati 100 sel hati. Steatosis
dari 5 lapangan pandang dijumlahkan.
4.6.10 Alur Penelitian
Gambar 4.3. Skema Alur Penelitian
4.6.11 Analisis Data
Data yang diperoleh diproses dengan program SPSS 16.0 for Windows,
dengan uji statistik seperti di bawah ini :
1. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk analisis statistik (uji
hipotesis) untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki.
2. Uji normalitas
Uji normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro Wilk. Data penelitian
berdistribusi normal dengan nilai p > 0,05.
3. Uji homogenitas
Uji homogenitas data dilakukan dengan uji Levene. Data penelitian homogen
dengan nilai p > 0,05.
4. Uji Komparasi
Data penelitian berdistribusi normal dan homogen maka untuk uji kemaknaan
digunakan uji One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Least Significant
Different (LSD) untuk mengetahui efek perlakuan mana yang lebih baik.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih galur Wistar (Rattus
norvegicus) jantan, sehat, berumur 3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram
sebagai sampel, dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok Kontrol (P0) yang
diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, Kelompok Perlakuan 1 (P1)
yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA dosis 5,4 mg, dan Kelompok
Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg.
Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji
komparasi, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal
(p > 0,05) yang disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT
Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Kelompok Perlakuan n p Keterangan
Jumlah Steatosis Kontrol
Jumlah Steatosis Perlakuan 1
Jumlah Steatosis Perlakuan 2
Kadar ALT Kontrol
Kadar ALT Perlakuan 1
Kadar ALT Perlakuan 2
10
10
10
10
10
10
0,430
0,275
0,394
0,788
0,374
0,864
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
5.2 Uji Homogenitas Data
Data jumlah steatosis dan kadar alanine aminotransferase (ALT) sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok diuji homogenitasnya dengan
menggunakan uji Levene. Hasilnya menunjukkan data homogen (p > 0,05) yang
disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Steatosis dan Kadar ALT
Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Variabel F p Keterangan
Jumlah Steatosis
Kadar ALT
0,638
0,727
0,536
0,493
Homogen
Homogen
5.3 Uji Komparasi
5.3.1 Jumlah Steatosis
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata jumlah steatosis antar
kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One
Way Anova disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Rerata Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata Jumlah
Steatosis
SB F p
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
10
10
10
76,70
64,30
22,90
4,138
5,658
5,547
298,008
0,001
Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa rerata jumlah steatosis Kelompok
Kontrol adalah 76,70 ± 4,138, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 64,30 ± 5,658,
dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 22,90 ± 5,547. Analisis kemaknaan
dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 298,008 dan nilai p =
0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis ketiga kelompok sesudah
diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji
disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Analisis Komparasi Jumlah Steatosis Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Kelompok Subjek Beda Rerata Jumlah
Steatosis
p Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan 1
Kontrol dan Perlakuan 2
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
12,40
53,80
41,40
0,001
0,001
0,001
Berbeda Bermakna
Berbeda Bermakna
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa :
1. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna
dengan Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah
daripada rerata Kelompok Kontrol).
2. Rerata jumlah steatosis Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna
dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah
daripada rerata Kelompok Kontrol).
3. Rerata jumlah steatosis Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna
dengan Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah
daripada rerata Kelompok Perlakuan 1).
Gambar 5.1. Rerata Jumlah Steatosis Sesudah Perlakuan Antar Kelompok
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan
jumlah steatosis pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2
dibandingkan dengan Kelompok Kontrol.
5.3.2 Kadar ALT
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar alanine
aminotransferase (ALT) antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil
analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Rerata Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Kelompok Subjek n Rerata Kadar ALT (IU/L)
SB F p
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
10
10
10
91,40
75,60
62,20
9,663
8,529
7,269
29,127
0,001
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa rerata kadar ALT Kelompok
Kontrol adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok Perlakuan 1 adalah 75,60 ± 8,529,
dan rerata Kelompok Perlakuan 2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis kemaknaan
dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan nilai p =
0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah diberikan
perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakukan uji lanjut dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil uji
disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Analisis Komparasi Kadar ALT Antar Kelompok Sesudah Perlakuan
Kelompok Subjek Beda Rerata Kadar
ALT (IU/L)
p Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan 1
Kontrol dan Perlakuan 2
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
15,80
29,20
13,40
0,001
0,001
0,002
Berbeda Bermakna
Berbeda Bermakna
Berbeda Bermakna
Hasil uji lanjutan di atas menunjukkan bahwa :
1. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan
Kelompok Perlakuan 1 (rerata Kelompok Perlakuan 1 lebih rendah
daripada rerata Kelompok Kontrol).
2. Rerata kadar ALT Kelompok Kontrol berbeda secara bermakna dengan
Kelompok Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah
daripada rerata Kelompok Kontrol).
3. Rerata Kelompok Perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan Kelompok
Perlakuan 2 (rerata Kelompok Perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata
Kelompok Perlakuan 1).
Gambar 5.2. Rerata Kadar ALT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok
Gambar 5.2 menunjukkan bahwa terjadi penghambatan peningkatan kadar
ALT pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 dibandingkan
dengan Kelompok Kontrol.
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1 Subjek Penelitian
Untuk menguji pemberian Alpha-lipoic Acid (ALA) oral dalam
menghambat peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, maka dilakukan
penelitian pada tikus putih galur Wistar (Rattus norvegicus) jantan, sehat, berumur
3-4 bulan, dengan berat badan 200-210 gram. Tikus yang digunakan sebagai
sampel berjumlah 30 ekor dan dibagi secara acak menjadi tiga (3) kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari sepuluh (10) ekor tikus, yaitu : Kelompok
Kontrol (P0) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml dan plasebo 1 ml, 1 kali per
hari; Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberi minyak jelantah 0,42 ml/ dan ALA
dosis 5,4 mg 1 kali per hari; dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberi minyak
jelantah 0,42 ml dan ALA dosis 10,8 mg, 1 kali per hari. Penelitian dilakukan
selama 14 hari. Selama penelitian tikus tetap diberi makan dan minum standar
secara ad libitum. Dan selama penelitian berlangsung tidak ada sampel yang
mengalami drop out.
6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian
Data hasil penelitian berupa data jumlah steatosis dan kadar alanine
aminotransferase (ALT) dari ketiga kelompok, sebelum dianalisis lebih lanjut
terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Hasil uji normalitas data dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk menunjukkan data berdistribusi normal (p > 0,05)
dan hasil uji homogenitas data dengan menggunakan uji Levene menunjukkan
data homogen (p > 0,05).
6.3 Pengaruh Alpha-lipoic Acid Oral Terhadap Perlemakan Hati Non
Alkoholik
Uji komparasi/perbandingan rerata jumlah steatosis dan kadar ALT antar
ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan menggunakan uji One Way Anova.
Rerata jumlah steatosis Kelompok P0 adalah adalah 76,70 ± 4,138, rerata
Kelompok P1 adalah 64,30 ± 5,658, dan rerata Kelompok P2 adalah 22,90 ±
5,547. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai
F = 298,008 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah steatosis
ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p <
0,05).
Rerata kadar ALT Kelompok P0 adalah 91,40 ± 9,663, rerata Kelompok
P1 adalah 75,60 ± 8,529, dan rerata Kelompok P2 adalah 62,20 ± 7,269. Analisis
kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 29,127 dan
nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar ALT ketiga kelompok sesudah
diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Hasil uji lanjutan antar ketiga kelompok menggunakan uji Least
Significant Difference (LSD) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna
pada rerata jumlah steatosis dan kadar ALT, antara Kelompok Kontrol (P0)
dengan Kelompok Perlakuan 1 (P1), Kelompok Kontrol (P0) dengan Kelompok
Perlakuan 2 (P2), dan Kelompok Perlakuan 1 (P1) dengan Kelompok Perlakuan 2
(P2). Hal ini berarti bahwa terjadi penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan
kadar ALT secara bermakna pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok
Perlakuan 2 (P2) dibandingkan Kelompok Kontrol (P0) sesudah diberikan
perlakuan selama 14 hari (p < 0,05). Namun, perlu diperhatikan bahwa hasil yang
didapat pada Kelompok Perlakuan 2 (P2) lebih baik jika dibandingkan dengan
Kelompok Perlakuan 1 (P1).
Pemberian ALA oral dapat mencegah NAFLD melalui berbagai macam
mekanisme yang kemudian menyebabkan penghambatan peningkatan jumlah
steatosis dan kadar ALT, pencegahan stres oksidatif, penekanan aktivasi sistem
imun serta inflamasi di hati (Jung et al., 2012).
6.3.1 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “First Hit”
“First hit” adalah peristiwa yang menginduksi akumulasi lemak di hati
yang didasari perubahan metabolik terkait resistensi insulin (Hübscher, 2006;
Reddy and Rao, 2006; Anania and Parekh, 2007; Petta et al., 2009).
1. Alpha-lipoic Acid memperbaiki resistensi insulin dan sensitivitas tubuh
terhadap insulin
Peningkatan pengiriman dan sintesis asam lemak di hepatosit, dapat
dicetuskan oleh konsumsi diet tinggi lemak atau peningkatan pelepasan asam
lemak dari jaringan adiposa (Anstee and Goldin, 2006; Henryk and Peter,
2010). Pada keadaan resistensi insulin, tubuh tidak mampu menghambat kerja
enzim hormone-sensitive lipase, sehingga TG yang terkandung di dalam
jaringan adiposa secara terus menerus akan dihidrolisis menjadi asam lemak
dan gliserol, dan memicu pelimpahan asam lemak bebas ke dalam aliran darah
dan hati (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006).
Akumulasi lemak juga dapat terjadi akibat adanya penurunan sintesis
VLDL dan penurunan pengeluaran TG dari hati (Anania and Parekh, 2007;
Tacer and Rozman, 2011). VLDL merupakan suatu kompleks yang terdiri dari
protein ApoB-100, lipid (trigliserid atau ester kolesterol), dan fosfolipid.
Produksi ApoB-100 messenger RNA telah diketahui dapat diubah oleh insulin,
oleh karena itu resistensi insulin dapat mengganggu kapasitas biosintesis
ApoB-100 hepatosit, yang kemudian menyebabkan penurunan sintesis dan
sekresi VLDL dari hati (Anania and Parekh, 2007).
Penelitian eksperimental maupun uji klinis pada manusia telah
memberikan bukti konsisten peran terapeutik ALA sebagai AO dalam
pengobatan resistensi insulin dan diabetik polineuropati. Terapi jangka
panjang ALA pada percobaan dengan menggunakan tikus Zucker obes dan
resisten insulin, memperlihatkan adanya perbaikan pada toleransi glukosa
seluruh tubuh dan sensitivitas terhadap insulin, begitu pula dengan kerja
insulin pada transportasi glukosa di otot rangka. Paparan ALA mengaktifkan
elemen-elemen penting dalam insulin signaling pathways, termasuk di
dalamnya fosforilasi tirosin dari Insulin Receptor (IR) dan Insulin Receptor
Substrates-1 (IRS-1) (Henriksen, 2006; Higdon, 2006; Jung et al., 2012).
2. Alpha-lipoic Acid menurunkan ekspresi gen-gen hepatik terkait metabolisme
lipid
Steatosis juga dapat terbentuk akibat adanya peningkatan sintesis asam
lemak dan TG secara de novo di hati, yang didasari oleh adanya peningkatan
ekspresi SREBP-1c dan ChREBP dan gen-gen lipogenik yang diaktivasinya
(Browning and Horton, 2004; Anania and Parekh, 2007). Pemberian ALA
telah terbukti menurunkan SREBP-1c dan ChREBP di sitoplasma. ALA juga
menghambat ekspresi gen lipogenik di hati seperti glycerol-3-phosphate
acyltransferase-1 (GPAT-1) dan diacylglycerol O-acyltransferase-2 (DGAT-
2) (Butler et al., 2009). Jung et al. (2012) mengatakan bahwa ALA dapat
menurunkan ekspresi SREBP-1 dan ACC, serta meningkatkan ekspresi
GLUT-4 di dalam hati tikus OLETF. Percobaan yang dilakukan Finlay et al.
(2012) menunjukkan bahwa pemberian ALA menurunkan transkripsi gen-gen
lipogenik seperti FASN dan ACC.
3. Alpha-lipoic Acid meningkatkan ekspresi PPAR-�
Mekanisme terakhir dalam “first hit” yang mendasari terjadinya
akumulasi lemak adalah penurunan oksidasi asam lemak akibat adanya
gangguan dalam mitochondrial �-oxidation di hati. Sistem �-oksidasi di
mitokondria dan peroksisom serta �-oksidasi di mikrosom, dikontrol oleh
PPAR-�. PPAR-� yang bekerja secara inefektif menyebabkan terjadinya
penurunan pembakaran energi, yang pada akhirnya menyebabkan steatosis
hepatik dan steatohepatitis (Anstee and Goldin, 2006; Reddy and Rao, 2006).
ALA meningkatkan kadar protein PPAR-� hati, yang ternyata juga
memberikan efek positif terhadap resistensi insulin (Yang et al., 2008; El
Midaoui, et al., 2011).
4. Alpha-lipoic Acid menurunkan kadar enzim sitokrom P450-(CYP2E1)
Ketika kapasitas oksidatif mitokondria terganggu, maka akan terjadi
akumulasi asam lemak di sitosol. Proses alternatif di dalam peroksisom dan
mikrosom akan diaktifkan, yang akibatnya menghasilkan tambahan ROS.
Pada tahap awal � oksidasi di peroksisom akan dibentuk hidrogen peroksida.
Oksidasi mikrosomal dari asam lemak, yang dikatalisasi secara utama oleh
enzim sitokrom P-450-(CYP2E1) juga menghasilkan ROS. Resistensi insulin
juga mendorong terjadinya CYP2E1-mediated �-oxidation lebih lanjut. Efek
kumulatif dari oksidasi asam lemak ekstramitokondrial adalah peningkatan
lebih lanjut dari stres oksidatif dan kerusakan mitokondria (Browning and
Horton, 2004; Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006; Reddy and Rao,
2006). Baru-baru ini dilaporkan bahwa ALA juga menurunkan akumulasi
lipid hepatik dan inflamasi di hati dengan menurunkan kadar enzim sitokrom
P450-2E1 dan stres pada retikulum endoplasma (Kim et al., 2013).
6.3.2 Mekanisme Kerja Alpha-lipoic Acid dalam “Second Hit”
Ketika telah terbentuk steatosis, maka hati lebih mudah tersensitisasi dan
akan terjadi suatu respon inflamasi yang dapat dipresipitasi oleh berbagai macam
stimulus. Stres oksidatif diperkirakan memegang peran kunci dalam “second hit”
((Anstee and Goldin, 2006; Hübscher, 2006).
Oksidasi asam lemak di dalam hepatosit merupakan sumber produksi
utama dari ROS. Beberapa konsekuensi dari peningkatan ROS adalah kerusakan
DNA nukleus, DNA mitokondria, membran fosfolipid, dan pelepasan sitokin-
sitokin proinflamasi. ROS juga dapat menginduksi ekspresi Fas ligand pada
hepatosit dan mendorong terjadinya paracrine-induced apoptotic cell death.
Terjadinya stres oksidatif secara lebih jauh akan memperparah kerusakan
mitokondria (Anstee and Goldin, 2006).
Kerusakan DNA mitokondria ditandai dengan adanya 8-hydroxy-20-
deoxyguanosine di dalam mitokondria dan penurunan ekspresi enzim DNA
mismatch repair MutY. Peroksidasi lipid sel menghasilkan produk sampingan
aldehid yang toksik, termasuk MDA dan HNE yang lebih persisten dibandingkan
ROS, dan semakin menyebabkan kerusakan organel-organel intraselular lebih
lanjut serta menurunkan glutathione di hepatosit (Browning and Horton, 2004;
Anstee and Goldin, 2006).
Lebih lanjut lagi, aldehid akan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi
NF-�B-dependent (TNF-�, IL-6, IL-1�), meningkatkan ekspresi TGF-�1,
mendorong masuknya sel-sel inflamasi ke dalam hati, dan mengaktifkan sel
Stellate hepatik yang bersifat fibrogenik. Efek-efek ini dapat memicu secara
langsung kematian dan nekrosis hepatosit, inflamasi, dan fibrosis hati, yang
merupakan ciri khas dari NASH (Browning and Horton, 2004; Anstee and Goldin,
2006).
Bila hepatosit mengalami kerusakan, maka enzim-enzim yang terdapat di
dalamnya akan terlepas ke dalam sirkulasi sistemik. Seringkali ditemukan kadar
ALT meningkat secara persisten pada pasien NAFLD. Dari hasil penelitian
terbaru, akumulasi lemak hepatik pada obesitas anak-anak dan NAFLD dapat
menyebabkan peningkatan kadar ALT serum. Peningkatan kadar ALT ternyata
terkait juga dengan penurunan sensitivitas insulin, adiponektin, dan toleransi
glukosa, begitu pula dengan peningkatan asam lemak bebas dan TG (Gowda et al.,
2009).
Hasil analisis data penelitian dengan uji One Way Anova dan uji Least
Significant Difference menunjukkan rerata kadar ALT berbeda secara bermakna
pada Kelompok Perlakuan 1 (P1) dan Kelompok Perlakuan 2 (P2) dibandingkan
Kelompok Kontrol (P0), sesudah diberikan perlakuan selama 14 hari (p < 0,05).
Dari hasil pemeriksaan histopatologi jaringan hati juga tidak ditemukan adanya
sel-sel inflamasi, nekrosis hepatosit, dan fibrosis hati. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pemberian ALA oral dapat menghambat kenaikan kadar
ALT serta mencegah progresi NAFL menjadi NASH, dan hal ini terjadi melalui
beberapa mekanisme, seperti :
1. Alpha-lipoic Acid memiliki efek protektif terhadap mitokondria
ALA telah dilaporkan memiliki efek protektif pada mitokondria, dapat
mengurangi stres oksidatif, dan kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Valdecantos et al. (2012) menganalisis efek
protektif potensial dari suplementasi ALA terhadap stres oksidatif terkait pola
makan tinggi lemak. Ditemukan bahwa ALA mencegah akumulasi TG hepatik
dan kerusakan oksidatif di hati melalui inhibisi produksi radikal
hidroperoksida dan stimulasi pertahanan AO di mitokondria. ALA juga
menurunkan kerusakan oksidatif di dalam mitochondrial DNA. ALA
memodulasi pertahanan mitokondria dengan meningkatkan sirtuin (SIRT)
yang memegang peran penting dalam regulasi fungsi mitokondria dan aktivasi
pertahanan AO (Valdecantos et al., 2012).
2. Alpha-lipoic Acid meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim
antioksidan
Suatu penelitian membuktikan bahwa pemberian ALA menurunkan
stres oksidatif di hati serta meningkatkan kapasitas dan ekspresi enzim-enzim
AO (Yang et al., 2008; Castro et al., 2013). Ekspresi enzim-enzim AO seperti
heme oxygenase-1, Cu/Zn-Superoxide Dismutase, glutathione peroxidase, dan
glutathione reductase, meningkat pada tikus yang diberi ALA. (Shay et al.,
2009; Zalejska-Fiolka et al., 2010; Jung et al., 2012; Valdecantos et al., 2012).
3. Alpha-lipoic Acid meregenerasi antioksidan endogen lain
Ketika suatu AO menetralisir radikal bebas, maka antioksidan itu akan
mengoksidasi dirinya sendiri dan tidak dapat menetralisir ROS atau RNS
lainnya sampai AO itu direduksi. ALA tampaknya mampu meregenerasi AO
endogen lain, seperti vitamin C, vitamin E, dan coenzyme Q10 (Shay et al.,
2009; Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).
4. Alpha-lipoic Acid menetralisir radikal bebas dan menurunkan produksi ROS
ALA memiliki kemampuan yang unik dalam menetralisir radikal bebas
tanpa turut menjadi radikal bebas juga dalam prosesnya (Shay et al., 2009; Seo
et al., 2012; Kim et al., 2013). ALA juga terbukti menurunkan produksi ROS.
Penanda peroksidasi lipid yaitu 4-hydroxynonenal menurun pada tikus yang
diberi ALA (Jung et.al., 2012). Peningkatan produksi MDA akibat pemberian
minyak yang telah teroksidasi juga dapat diatasi dengan pemberian ALA
(Zalejska-Fiolka et al., 2010).
5. Alpha-lipoic Acid menghambat aktivasi sitokin-sitokin penyebab inflamasi dan
menghambat ekspresi TGF-�
Peningkatan stres oksidatif di dalam tubuh memegang peran penting
dalam inflamasi kronis dan prosesnya memerlukan aktivasi NF�B, suatu faktor
transkripsi yang menginduksi ekspresi banyak gen yang terlibat dalam
inflamasi dan migrasi sel endotel (Shay et al., 2009). ALA telah lama
dipelajari kemampuan antioksidannya dalam mengatasi inflamasi yang
diinduksi sitokin. Pemberian ALA terbukti dapat menghambat aktivasi sitokin-
sitokin penyebab inflamasi seperti NF�B, TNF-�, IL-6, IL-1� (Shay et al.,
2009; Jung et al., 2012). ALA juga dapat menghambat ekspresi TGF-� yang
memicu fibrogenesis (Kim et al., 2013).
6.4 Manfaat Alpha-lipoic Acid dalam Perkembangan Ilmu Anti Aging
Medicine
Aktivitas antioksidan ALA telah ditunjukkan sangat efektif dalam terapi
penyakit-penyakit lain seperti neuropati diabetik, penyakit Alzheimer, multiple
sclerosis, arterosklerosis, patologi terkait hati, hipertrigliseridemia, begitu pula
dengan aktivitasnya di dalam anti-aging (Seo et al., 2012; Kim et al., 2013).
Pada penelitian ini, ALA terbukti dapat menghambat perlemakan hati non-
alkoholik pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah, yang dapat dilihat
dari penghambatan peningkatan jumlah steatosis dan kadar ALT, dan tampaknya
ALA juga dapat mencegah progresi penyakit dari perlemakan hati sederhana
menjadi perlemakan hati dengan inflamasi atau Non-acoholic Steatohepatitis
(NASH). Pemberian suplementasi ALA oral dalam perlemakan hati non-
alkoholik, sesuai dengan prinsip Anti-Aging Medicine, dimana ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran terkini digunakan untuk melakukan deteksi dini,
pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula dari berbagai
disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan
untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2011).
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pemberian Alpha-lipoic Acid oral pada tikus
Wistar jantan didapatkan simpulan sebagai berikut :
1. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan jumlah
steatosis pada tikus Wistar jantan yang diberi minyak jelantah.
2. Pemberian Alpha-lipoic Acid secara oral menghambat peningkatan kadar
alanine-aminotransferase (ALT) pada tikus Wistar jantan yang diberi
minyak jelantah.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada hewan coba dalam jangka
waktu yang lebih panjang untuk melihat adanya efek samping pemberian
Alpha-lipoic Acid oral yang mungkin timbul.
2. Perlu dilakukan uji klinis untuk mengetahui manfaat pemberian Alpha-
lipoic Acid oral dalam menghambat perlemakan hati non-alkoholik pada
manusia.
3. Penggunaan minyak jelantah dalam kehidupan sehari-hari harus dihindari,
karena minyak jelantah terbukti menyebabkan peningkatan jumlah
steatosis dan kadar ALT.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, E.S. 2002. The Liver : Anatomy, Physiology, Disease and Treatment.
Northeastern University. Amarapurkar, D. 2010. NAFLD Current Concepts. Int Jour of Hep. Vol 1 (4) :
45-9. Anania, F.A., Parekh, S. 2007. Abnormal Lipid and Glucose Metabolism in
Obesity : Implications for Nonalcoholic Fatty Liver Disease. J of
Gastroent. Vol 132 : 2191-2207. Andriana, T. 2013. Serba Serbi Minyak Jelantah. Available from:
http://www.google.com/imgres?imgurl=http://www.putraindonesiamalang.or.id. Accessed : October, 16th, 2013.
Angulo, P. 2002. Nonalcoholic Fatty Liver Disease. N Engl J Med. Vol 346 : 1221- 1231. Anstee, Q. M., Goldin, R. D. 2006. Mouse Models in Non-alcoholic Fatty Liver
Disease and Steatohepatitis Research. Int J Exp Path. Vol 87 : 1–16. Ardhie, A.M. 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah
Penuaan. Medicinus. Vol 24 (1) : 4-9.
Arief, S. 2009. Radikal Bebas. Available from : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10RadikalBebas102.pdf/10RadikalBebas102.html. Accessed : June, 25th, 2013.
Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., Silva. 2004. Minimization of Peroxide Formation
Rate in Soybean Oil by Antioxidant Combinations. Food R Inter. Vol 37 : 689-694.
Bickers, D.R., Athar, M. 2006. Oxidative Stress in The Pathogenesis of Skin
Disease. J of Invest Dermatol. vol 126. p. 2565–2575.
Bludau, J. H. 2010. Aging, But Never Old : The Realities, Myths, and
Misrepresentations of the Anti-Aging Movement (The Praeger Series on
Contemporary Health and Living).1st edition. Publisher Praeger. Browning, J. D., Horton, J. D. 2004. Molecular Mediators of Hepatic Steatosis
and Liver Injury. The Jour of Clin Invest. Vol 114 (2) : 147-152. Butler, J. A., Hagen, T. M., Moreau, R. 2009. Lipoic Acid Improves
Hypertriglyceridemia by Stimulating Triacylglycerol Clearance and
Downregulating Liver Triacylglycerol Secretion. Arch Biochem Biophys. Vol 485 (1) : 63–71.
Castro, M. C., Massa, M. L., Schinella, G., Gagliardino, J. J., Francini, F. 2013. Lipoic Acid Prevents Liver Metabolic Changes Induced by Administration of A Fructose-rich Diet. Biochem Biophys Acta. Vol 1830 (1) : 2226-2232.
Chalasani, N., Younossi, Z., Lavine, J. E., Diehl, A. E., Brunt, E. M., Cusi, K., Charlton, M., Sanyal, A. J. 2012. The Diagnosis and Management of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease : Practice Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterological Association. Hepatology. Vol 55 (6) : 2005-2018.
Collantes, R., Ong, J.P., Younossi, Z.M. 2004. Nonalcoholic Fatty Liver Disease
and The Epidemic of Obesity. Cleveland Clin J of Med. Vol 71 (8) : 657-664.
Dabhi, A.S., Brahmbhatt, J., Pandya, T.P., Thorat, P.B., Shah, M.C. 2008. Non
Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). J Indian Acad of Clin Med. Vol 9 (1) : 36-41.
den-Boer, M., Voshol, P. J., Kuipers, F., Havekes, L. M., Romijn, J. A. 2004.
Hepatic Steatosis : A Mediator of The Metabolic Syndrome. Lessons From Animal Models. Arterioscler Thromb Vasc Biol. Vol 24 : 644-649.
Dhaka, V., Gulia, N., Ahlawat, K.S., Khatkar, B.S., 2011. Trans fats—Sources,
Health Risks and Alternative Approach - A Review. J Food Sci
Technol. Vol 48 : 534–541. Dhibi, M., Brahmi, F., Mnari, A., Houas, Z., Chargui, I., Bchir, L., Gazzah, N.,
Alsaif, M. A., Hammami, M. 2011. The Intake of High Fat Diet with Different Trans Fatty Acid Levels Differentially Induces Oxidative Stress and Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) in Rats. Nutri & Metab. Vol 8 (65) : 1-11.
Dorfman, S. E., Laurent, D., Gounarides, J.S., Li, X., Mullarkey, T.L., Rocheford, E.C., Sarraf, F.S., Hirsch, E.A., Hughes, T.E., Commerford, S.R. 2009. Metabolic Implications of Dietary Trans-fatty Acids. J Obesity. Vol 17 (6) :1200-1207.
Dowman, J. K., Tomlinson, J. W., Newsome, P. N. 2011. Systematic review : The Diagnosis and Staging of Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Nonalcoholic Steatohepatitis. Aliment Pharmacol Ther. Vol 33 : 525-540.
Ehrlich, S. D. 2011. Alpha-lipoic Acid. University of Maryland Medical Center. Available from : http://umm.edu/health/medical/altmed/supplement/alphalipoic-acid. Accessed : July, 01st, 2013.
El-Midadoui, A., Lungu, C., Wang, H., Wu, L., Robillard, C., Deblois, D., Couture, R. 2011. Impact of �-lipoic Acid on Liver Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-�, Vascular Remodeling, and Oxidative Stress in Insulin-Resistant Rats. Can J Physiol Pharmacol. Vol 89 (10) : 743-751.
Farag, R. S., Abdel-Latif, S. A., Basuny, A. M. M., El-Hakeem, B. S. 2010. Effect of Non-fried and Fried Oils of Varied Fatty Acid Composition on Rat Organs. Agric Biol J N Am. Vol 1 (4) : 501-509.
Federer, W. 2008. Statistics and Society : Data Collection and Interpretation. 2nd
Edition. New York : Marcel Dekker.
Finlay, L. A., Michels, A. J., Butler, J. A., Smith, E. J., Monette, J. S., Moreau, R. F., Petersen, S. K., Frei, B., Hagen, T. M. 2012. R-�-lipoic Acid Does Not Reverse Hepatic Inflamation of Aging, but Lowers Lipid Anabolism, While Accentuating Circadian Ryhthm Transcript Profiles. Am J Physiol
Regul Integr Comp Physiol. Vol 302 (5) : 587-597.
Fransiska, E. 2010. “Karakteristik, Pengetahuan, Sikap, dan Ttindakan Ibu Rumah Tangga tentang Penggunaan Minyak Goreng Berulang Kali di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Sunggal Tahun 2010.” (Skripsi). Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Ganong, W. F. 2002. Review of Medical Physiology. Edisi ke-20. (Penerjemah :
Wijajakusumah, D). Jakarta : EGC.
Gauthier, M. S., Favier, R., Lavoie, J. M. 2006. Time Course of The Development of Non-Alcoholic Hepatic Steatosis in Response to High-fat Diet-induced Obesity in Rats. Brit Jour of Nutrit. Vol 95 : 273–281.
Ghidurus, M., Turtoi, M., Boskou, G., Niculita, P., Stan, V. 2010. Nutritional and
Health Aspects Related to Frying. Rom Biotech Letters. Vol 15 (6) : 5675-5682.
Goldman, R., Klatz, R. 2003. The New Anti Aging Revolution. Australian Edition.
p. 22-24.
Gowda, S., Desai, P. B., Hull, V. V., Math, A. A. K., Vernekar, S. N., Kulkarni, S. S. 2009. A Review On Laboratory Liver Function Tests. PanAfrican Med
Jour. p. 2-4.
Gray, H., Lawrence, H.B. 2000. Gray’s Anatomy. The Anatomy Basic of
Medicine and Surgery. Liver. New Edition. Elsievier. Oxford. p. 1803-1805.
Halliwel, B., Gutteridge, J.M.C. 2007. Free Radicals in Biology and
Medicine. 3th. Ed. New York : Oxford University.
Hartono, E. 2011. “Pemberian Ekstrak Teh Hijau Menurunkan Perlemakan Hati Non Alkoholik Pada Tikus Wistar Jantan Yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.
Hasan, I., Gani, R. A., Machmud, R. 2002. Prevalence and Risk Factors For Nonalcoholic Fatty Liver in Indonesia. J Gastr Hepatol. Vol 17 : 154.
Henriksen, E. J. 2006. Exercise Training and The Antioxidant a-lipoic Acid in The
Treatment of Insulin Resistance and Type 2 Diabetes. Free Rad Bio &
Med. Vol 40 : 3-12. Henryk, D., Peter, S. 2010. Clinical Hepatology : Principles and Practice
of Hepatobiliary Diseases. Volume 1. Berlin : Springer. Herawati, Akhlus, S. 2006. Kinerja (Bht) Sebagai Antioksidan Minyak Sawit
Pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta Kimindo. Vol 2 : 1–8.
Higdon, J. 2006. Lipoic Acid. Linus Pauling Institute. Oregon State University. Available from : http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/othernuts/la/#biological_activity . Accessed : July, 01st, 2013.
Hoimcuist, L., Stuchbury, G., Berbaum, K., Muncat, S. 2007. Lipoic Acid as Novel Treatment for Alzheimer’s Disease and Related Dementias.
Pharmacol and Therap. Vol 113 (1) : 154-164.
Hübscher, S. G. 2006. Histological Assessment of Non-alcoholic Fatty Liver Disease. Histopathology. Vol 49 : 450–465.
Ingriani, N. 2012. “Pemberian Ekstrak Biji Irvingia gabonensis Mencegah
Kenaikan Berat Badan Dan Berat Lemak Abdominal Pada Tikus Jantan Yang Diberi Diet Tinggi Karbohidrat Dan Lemak.” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana.
Jung, T. S., Kim, S. K., Shin, H. J., Jeon, B.T., Hahm, J. R., Roh, G. S. 2012. �-Lipoic Acid Prevents Non-alcoholic Fatty Liver Disease in OLETF Rats. Liver Int. Vol 32 (10) : 1565-1573.
Kavanagh, K., Jones, K.L., Sawyer, J., Kelley, K., Carr, J.J., Wagner, J.D., Rudel, L.L. 2007. Trans Fat Diet Induces Abdominal Obesity and Changes in Insulin Sensitivity in Monkeys. J Obesity. Vol 15 (7) : 1675-1684.
Kee, J. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnostik. Jakarta :
EGC. p. 35-40.
Ketaren, 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. p. 47-53.
Kim, D. C., Jun, D. W., Jang, E. C., Kim, E. K., Lee, S. P., Lee, K. N., Lee, H. L.,
Lee, O. Y., Yoon, B. C., Choi, H. S. 2013. Lipoic Acid Prevents the Changes of Intracellular Lipid Partitioning by Free Fatty Acid. Gut and
Liv. Vol 7 (2) : 221-227.
Kim, H. S., Kim H. J., Kim, Y. N., Kwon, T.K., Kim, J. G., Lee, I. K. 2007. Alpha Lipoic Acid Inhibit matrix metalloproteinase-9 expresion by inhibiting NF-kB transcription activity. Exp and Mol Med. Vol 39 (1) : 106-113.
Koch, A., KÖnig, B., Spielmann, J., Leitner, A., Stang, G.l., Eder, K. 2007.�Thermally Oxidized Oil Increases the Expression of Insulin-Induced Genes and Inhibits Activation of Sterol Regulatory Element-Binding Protein-2 in Rat Liver. J of Nutr :�Biochem, Mol, and Genetic Mech. Vol�137 : 2018–2023.
Lesmana, L. A. 2007. Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik (Non-Alcoholic
Fatty Liver Disease). Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi. p. 301-305.
Lingga, L. 2012. The Healing Power of Antioxidant: Mengenal Lebih Jauh
Sumber Antioksidan Unggulan. Jakarta : Elex Media Komputindo. Luciana, B., Sutanto, A., Khomsan, A. 2005. Minyak Gorengpun Bisa Melawan
Kolesterol. Jakarta : Gramedia. Machado, R. M., Stefano, J. T., Oliveira, C. P. M. S., Mello, E. S., Ferreira, F. D.,
Nunes, V. S., de Lima, V. M. R., Quintao, E. C. R., Catanozi, S., Nakandakare, E. R., Lottenberg, A. M. P. 2010. Intake of Trans Fatty Acids Causes Nonalcoholic Steatohepatitis and Reduces Adipose Tissue Fat Content. J of Nutr. Vol 140 : 1127-1132.
Mangunsudirdjo, S., Ghozali, A., Harijadi, Utoro, T. 2001. Buku Kuliah Patologi
Umum. Edisi 1. Yogyakarta : Bagian Patologi Anatomik FK UGM.
Marczyk, G., DeMatteo, D., Festinger, D. 2005. Essential of Research Design
and Methodology. New Jersey : John Wiley & Son, Inc.
Marinova, E. M., Seizova, K. A., Totseva, I. R., Panayotova, S. S., Marekov, I. N., Momchilova, S. M. 2012. Oxidative Changes in Some Vegetable Oils During Heating at Frying Temperature. Bulgarian Chem Communic. Vol 44 (1) : 57 – 63.
Mason, P. 2001. Dietary Supplements. 2nd. Ed. United Kingdom : Pharmaceutical Press.
Maulida, F. 2010. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea l.) Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Moini, H., Packer, L., Saris, N. E. 2002. Antioxidant and Prooxidant Activities of
Alpha-lipoic Acid and Dihydrolipoic acid. Toxicol Appl Pharmacol. Vol 182 (1) : 84-90.
Mulyati, S., Meilina, H. 2007. Pemurnian Minyak Jelantah dengan Menggunakan
Sari Mengkudu. Available from : http://222.124.186.229/gdl40/go.php?id= gdlnode-gdl-res-2007-srimulyati-1082&node-3517&start=6 Accessed : May, 11th, 2013.
Mulyono, A., Ristiyanto, Soesanti, N. 2009. Karakteristik Histopatologi Hepar Tikus Got
Rattus norvegicus Infektif Leptospira sp.
J Vektora. Vol 1 (2)
: 84-92.
Murray, R.K., Robert Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. 2003. Biokimia Harper. 26th. Ed. Appleton and Lange Medical Book. p. 609-612.
Nurman, A., Huang, M. A. 2007. Perlemakan Hati Non Alkoholik. Univ
Medicina. Vol 26 (4) : 205-215. Oeij, Adhika, A., Atmadja, W. L., Achmad, S., Tohardi, A. 2007. Gambaran
Anatomi Mikroskopik dan Kadar Malondialdehida pada Hati Mencit Setelah Pemberian Minyak Kelapa Sawit Bekas Menggoreng. JKM. Vol 7 (1) : 15-25.
Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan
Meningkatkan Kualitas Hidup. Upaya Menghambat Penuaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Gramedia.
Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging : Tetap Muda dan Sehat. Jakarta : Penerbit Buku
Kompas Gramedia.
Petta, S., Muratoreb, C., Craxia, A. 2009. Non-alcoholic Fatty Liver Disease Pathogenesis : The Present And The Future. Editrice Gastroenter Italiana
S.r.l. Elsevier. Vol 41 : 615-625. Pham-Huy, L.A.P., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in
Disease and Health. Int J Biomed Sci. Vol 4 : 89-96.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, p. 472-476. Raharjo, S. S., Jusup, A. 2011. “Efek Ekstrak Daun Krokot (Portulaca oleracea L.)
Sebagai Anti Oksidan Alami Terhadap Kadar Alanin Transaminase (ALT) Dan Gambaran Histologi Sel Hepar Rattus norvegicus L. Yang Diberi Minyak Goreng Deep Frying.” (Artikel). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Rahayu, A. 2007. “Pengaruh Frekuensi Penggorengan dari Minyak Jelantah Bermerk dan tidak Bermerk terhadap Nekrosis Sel Hati pada Tikus Putih (Rattus norvegicus).” (Skripsi). Malang : UMM.
Reddy, J. K., Rao, M. S. 2006. Lipid Metabolism and Liver Inflammation. II.
Fatty Liver Disease and Fatty Acid Oxidation. Am J Physiol Gastrointest
Liver Physiol. Vol 290 : 852-858. Reynertson, K. A. 2007. “Phytochemical Analysis of Bioactive Constituens from
Edible Myrtaceae Fruit” (Dissertation). New York : University of New York.
Romaria, M. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses
Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang
Dihasilkan. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Rukmini, A. 2007. Regenerasi Minyak Goreng Bekas Dengan Arang Sekam
Menekan Kerusakan organ tubuh. Seminar Nasional Teknologi 2007. ISSN : 1978-9177.
Samuelson, D. A. 2007. Text Book of Veterinary Histology : Liver. Launder Elsevier. Sanyal, A. J. 2002. AGA Technical Review on Nonalcoholic Fatty Liver Disease.
Am Gastroenter Assoc (AGA). Vol 123 : 1705-1725. Sari, G. A. C. 2012. “Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik Pada Sindroma
Metabolik Dewasa : Gambaran Klinik dan Hubungan Antara Jumlah Komponen Sindroma Metabolik Yang Terganggu Dengan Derajat
Ultrasonografi.” (Karya Tulis Ilmiah). Semarang : Universitas Diponegoro.
Sartika, R. A. D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep
Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Mark Sains. Vol 13: 23-28.
Seo, E. Y., Ha, A. W., Kim, W. K. 2012. �-Lipoic Acid Reduced Weight Gain and
Improved The Lipid Profile in Rats Fed with High Fat Diet. Nutri
Research and Pract. Vol 6 (3) :195-200. Schiff, E. R., Sorrell, M. F., Maddrey, W. C. 2006. Schiff’s Disease of The Liver.
8th. Ed. Lippincott-Raven Publisher. p. 83-84. Shay, K. P., Moreau, R. F., Smith, E. J., Smith, A. R., Hagen, T. M. 2009. Alpha-
Lipoic Acid as A Dietary Supplement : Molecular Mechanisms and Therapeutic Potential. Biochem Biophys Acta. Vol 1790 (10) : 1149–1160.
Stahl, W., Sies, H. 2002. Carotenoid and Protection Against Solar UV Radiation.
Skin Pharmacol Appl. Skin Physiol. Vol.15 : 291-296.
Stier, R.F. 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. Available from : www.preparedFood.com. Accessed : March, 09th, 2013.
Suwandi, T. 2012. “Pemberian Ekstrak Kelopak Bunga Rosela Menurunkan
Malondialdehid pada Tikus yang Diberi Minyak Jelantah.” (Tesis). Denpasar : Universitas Udayana.
Tacer, K.F., Rozman, D. 2011. Nonalcoholic Fatty Liver Disease : Focus on
Lipoprotein and Lipid Deregulation. J of Lipids. Vol 10 : 1-14. Takahashi, Y., Soejima, Y., Fukusato, T. 2012. Animal Models of Nonalcoholic
Fatty Liver Disease/Nonalcoholic Steatohepatitis. World J Gastroenterol. Vol 18 (19) : 2300-2308.
Tandon, R. 2005. Antioxidant : Past and Present. Available from : URL
http://www pharmainfo.net/reviews/antioxidant past and present. Accessed : February, 25th, 2013.
Valdecantos, M. P., Pérez-Matute, P., González-Muniesa, P., Prieto-Hontoria, P.L., Moreno-Aliaga, M. J., Martínez, J. A. 2012. Lipoic Acid Improves Mitochondrial Function in Nonalcoholic Steatosis Through The Stimulation of Sirtuin 1 and Sirtuin 3. Obesity (Silver Spring). Vol 20 (10) : 1974-1983.
Wahab, A.W., Dewang, S., Armynah, B., Ponganan, K. 2011. “Analisis Spektrum Infra Merah dari Minyak Goreng Kelapa Untuk Identifikasi Perubahan Panjang Gelombang Akibat Variasi Temperatur.” (Makalah Seminar). Ujung Pandang : Universitas Hasanuddin.
Warner, K. 2002. Chemistry of Frying Oils. Food Lipids. 2nd. Ed. New York : Marcel Dekker, Inc.
Wei, Y., Rector, R. S., Thyfault, J. P., Ibdah, J. A. 2008. Nonalcoholic Fatty Liver
Disease and Mitochondrial Dysfunction. World J Gastroentero. Vol 14 (2) : 193-199.��
�
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Wong, C. 2007. Alpha Lipoic Acid. Available from :
http://altmedicine.about.com.od/alphalipoicacid/a/alphalipoicaccidhtm . Accessed : June, 26th, 2013.
Yang, R., Le, G., Li, A., Zheng, J., Shi, Y. 2006. Effect of Antioxidant Capacity
on Blood Lipid Metabolism and Lipoprotein Lipase Activity of Rats Fed a
High-fat Diet. J of Nutr. Vol (11-12) : 1185-1191.
Yang, R. L., Li, W., Shi, Y. H., Le, G. W. 2008. Lipoic Acid Prevents High-fat Diet-induced Dyslipidemia and Oxidative Stress : A Microarray Analysis. Vol 24 (6) : 582-588.
Yustinah. 2009. Pengaruh Massa Absorben Chitin Pada Penurunan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA), Bilangan Peroksida, dan Warna Gelap Minyak Goreng Bekas. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009. p.1-14.
Zalejska-Fiolka, J., Wielkoszyski, T., Kasperczyk, S., Kasperczyk, A., Birkner,
E. 2010. Effects of Oxidized Cooking Oil and �-lipoic Acid on Liver Antioxidants: Enzyme Activities and Lipid Peroxidation in Rats Fed a High Fat Diet. Biol Trace Elem Res. Vol 138 (1-3) : 272-281.
Zimmet, P., Magliano, D., Matsuzawa, Y. 2005. The Metabolic Syndrome : A
Global Health Problem and A New Definition. J Atheroscl Thromb. Vol 12 : 295-300.
Lampiran 1. ETICHAL CLEARANCE
Lampiran 2. TABEL KONVERSI PERHITUNGAN DOSIS
Laurence and Bacharach (1964)
Mencit
20 gr
Tikus
200gr
Marmot
400 gr
Kelinci
1,5 kg
Kucing
2 kg
Kera
4 kg
Anjing
12 kg
Manusia
70 kg
Mencit
20 gr
1.0 7.0 12.25 27.8 29.7 64.1 124.2 387.9
Tikus
200 gr
0.14 1.0 1.74 3.9 4.2 9.2 17.8 56.0
Marmot
400 gr
0.08 0.57 1.0 2.25 2.4 5.2 10.2 31.5
Kelinci
1,5 kg
0.04 0.25 0.44 1.0 1.08 2.4 4.5 14.2
Kucing
2 kg
0.03 0.23 0.41 0.92 1.0 2.2 4.1 13.0
Kera
4 kg
0.016 0.11 0.19 0.42 0.45 1.0 1.9 6.1
Anjing
12 kg
0.008 0.06 0.1 0.22 0.24 0.52 1.0 3.1
Manusia
70 kg
0.0026 0.018 0.031 0.07 0.076 0.16 0.32 1.0
Lampiran 3. HASIL PENGHITUNGAN JUMLAH STEATOSIS
No. Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2
1 79 61 29
2 81 62 28
3 70 72 25
4 82 60 20
5 72 59 22
6 73 63 30
7 80 66 26
8 78 58 15
9 78 67 15
10 74 75 19
Lampiran 4. HASIL PEMERIKSAAN KADAR ALT (U/L)
No. Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2
1 109 64 51
2 87 71 66
3 93 82 57
4 92 87 77
5 79 65 61
6 102 67 63
7 89 82 63
8 81 75 68
9 83 86 61
10 99 77 55
Lampiran 5. UJI NORMALITAS DATA
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Jumlah_Steatosis Kontrol .223 10 .171 .928 10 .430
Perlakuan 1 .191 10 .200* .909 10 .275
Perlakuan 2 .148 10 .200* .924 10 .394
Kadar_ALT Kontrol .134 10 .200* .960 10 .788
Perlakuan 1 .172 10 .200* .922 10 .374
Perlakuan 2 .156 10 .200* .967 10 .864
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 6. UJI ONE WAY ANOVA
Descriptives
N Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Jumlah_Steatosis Kontrol 10 76.70 4.138 1.309 73.74 79.66 70 82
Perlakuan 1 10 64.30 5.658 1.789 60.25 68.35 58 75
Perlakuan 2 10 22.90 5.547 1.754 18.93 26.87 15 30
Total 30 54.63 23.920 4.367 45.70 63.57 15 82
Kadar_ALT Kontrol 10 91.40 9.663 3.056 84.49 98.31 79 109
Perlakuan 1 10 75.60 8.592 2.717 69.45 81.75 64 87
Perlakuan 2 10 62.20 7.269 2.299 57.00 67.40 51 77
Total 30 76.40 14.684 2.681 70.92 81.88 51 109
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Jumlah_Steatosis .638 2 27 .536
Kadar_ALT .727 2 27 .493
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Jumlah_Steatosis Between Groups 15873.867 2 7936.933 298.008 .000
Within Groups 719.100 27 26.633
Total 16592.967 29
Kadar_ALT Between Groups 4272.800 2 2136.400 29.127 .000
Within Groups 1980.400 27 73.348
Total 6253.200 29
Multiple Comparisons
LSD
Dependent Variable (I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower
Bound Upper Bound
Jumlah_Steatosis Kontrol Perlakuan 1 12.400*
2.308 .000 7.66 17.14
Perlakuan 2 53.800*
2.308 .000 49.06 58.54
Perlakuan 1 Kontrol -12.400*
2.308 .000 -17.14 -7.66
Perlakuan 2 41.400*
2.308 .000 36.66 46.14
Perlakuan 2 Kontrol -53.800*
2.308 .000 -58.54 -49.06
Perlakuan 1 -41.400*
2.308 .000 -46.14 -36.66
Kadar_ALT Kontrol Perlakuan 1 15.800*
3.830 .000 7.94 23.66
Perlakuan 2 29.200*
3.830 .000 21.34 37.06
Perlakuan 1 Kontrol -15.800*
3.830 .000 -23.66 -7.94
Perlakuan 2 13.400*
3.830 .002 5.54 21.26
Perlakuan 2 Kontrol -29.200*
3.830 .000 -37.06 -21.34
Perlakuan 1 -13.400*
3.830 .002 -21.26 -5.54
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 7. FOTO HASIL PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 100x
Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 100x
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 100x
VS
Keterangan Gambar :
VS = Vena Sentralis
� = kumpulan steatosis tampak lebih padat dibandingkan Kelompok P1
VS
Keterangan Gambar :
VS = Vena Sentralis
� = kumpulan steatosis tampak lebih jarang dibandingkan Kelompok P0
VS
Keterangan Gambar :
VS = Vena Sentralis
= hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 400x
Kelompok perlakuan 1 (P1) perbesaran 400x
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 400x
Keterangan Gambar :
Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1
� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer
Keterangan Gambar :
Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0
� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer
� = hepatosit normal
Keterangan Gambar :
VS = Vena Sentralis
� = hepatosit normal tersusun dalam barisan radier.
VS
Kelompok kontrol (P0) dengan perbesaran 1000x
Kelompok perlakuan 1 (P1) dengan perbesaran 1000x
Kelompok perlakuan 2 (P2) dengan perbesaran 1000x
Keterangan Gambar :
Kumpulan steatosis tampak lebih padat dan lebih banyak dibandingkan Kelompok P1
� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer
� = hepatosit normal
Keterangan Gambar :
Kumpulan steatosis tampak lebih jarang dan lebih sedikit dibandingkan Kelompok P0
� = steatosis dengan nukleus yang terdesak ke perifer
� = hepatosit normal
Keterangan Gambar :
Kumpulan hepatosit normal dengan nukleus yang tampak jelas dan berada di tengah sel
� = hepatosit normal
Lampiran 8. FOTO PENDUKUNG PENELITIAN