AHU si singamangaraja

6
Tugas Sinopsis AHU SI SINGAMANGARAJA Jl. Artha Kencana Kav. C1 No.1 Sektor XII, Kencana Loka, BSD Tangerang 15318

Transcript of AHU si singamangaraja

Page 1: AHU si singamangaraja

Tugas Sinopsis

AHU SI SINGAMANGARAJA

Jl. Artha Kencana Kav. C1 No.1Sektor XII, Kencana Loka, BSD

Tangerang 15318

Nama : Aldo Leonardo S. Kelas : VII-1

No. Absen : 1

Page 2: AHU si singamangaraja

AHU SI SINGAMANGARAJA

Data BukuJudul : Ahu Si SingamangarajaPengarang : PROF. DR. W. Bonar SidjabatPenerbit : Sinar HarapanTahun Terbit : 1983Jumlah Halaman : 408

Sinopsis

Pada tahun 1875 Patuan Bosar yang kemudian digelari dengan Raja Ompu Pulo

Batu, ditabalkan menjadi Si Singamangaraja XII di Bakara. Si Singamangaraja XI (Ompu

Sohahuaon), ayahanda Si Singamangaraja XII, nyatanya telah berfungsi sebagai Raja-

Imam Batak dalam tenggang waktu yang lama sekali (50 tahun), yaitu dari tahun 1825

hingga tahun 1875, yakni setelah Tuanku Rau, penganjur aliran wahhabi itu membunuh

Si Singamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) pada tahun 1825 di dekat Siborong-borong.

Menurut adat istiadat Batak, putra tertua dari suatu keluargalah yang

diutamanakan melanjutkan pekerjaan dan fungsi orang tuanya, khususnya di bidang adat

dan pemerintahan. Karena itulah maka penduduk di Bakara dan sekitarnya ingin

menabalkan Ompu Parlopuk menjadi Si Singamangaraja XII. Tetapi karena untuk dapat

menjadi Singamangaraja, seseorang harus mempunyai ciri-ciri kharismatis pula.

Persyaratan itu harus dapat dipenuhi oleh orang yang akan ditabalkan menjadi penerus

pimpinan kerajaan dan keimanan Si Singamangaraja.

Kepemimpinan Kharimatis harus ada pada setiap Si Singamangaraja, yang pada

masa lampau, diyakini selalu syarat mutlak daripada kepemimpinan dalam kerajaan, oleh

penduduk yang masih dipengaruhi oleh suasana magis dan mystis. Calon Si

Singamangaraja harus dapat mencabut PISO GAJA DOMPAK dari sarungnya,

menurunkan hujan dan membuat tanda-tanda luar biasa (mukjizat). Persyaratan ini

nyatanya tidak dapat dipenuhi oleh Ompu Parlopuk tetapi dapat dipenuhi oleh adiknya,

yaitu Patuan Bosar. PISO GAJA DOMPAK itu ada sejak Si Singamangaraja I yaitu

sekitar pertengahan abad XVI masehi. PISO GAJA DOMPAK adalah lambang kerajaan

Si Singamangaraja. Keris itu bukanlah sembarang keris. Keris panjang ini adalah salah

Page 3: AHU si singamangaraja

satu terpenting di kerajaan Si Singamangaraja yang di mulai dan berpusat di Bakara,

ditepi Danau Toba, hanya sekitar 8 km dari Pulau Samosir yang indah itu.

Setelah melalui suatu proses yang berliku-liku, Patuan Bosar pun, yang

sebenarnya masih muda belia (sekitar 17 tahun) ditabalkan pada tahun 1875 menjadi Si

Singamangaraja XII, karena ia mampu mencurahkan hujan pada musim kemarau yang

parah waktu itu.

Selaku singa yang melampaui dan singa yang terlampaui “beliau mempunyai

fungsi sebagai pengatur kerajaan manusia bermata hitam” di Sumatera. Ini ditambah lagi

dengan fungsi kepemimpinannya dalam bidang agama, adat istiadat, hukum, ekonomi,

pertanian pendidikan, kebudayaan dan militer. Jadi jelas bukan hanya sebagai PRIESTER

KONING sebagaimana dikemukakan oleh pihak kolonial Belanda.

Sisingamangaraja bukanlah tokoh mitologis, melainkan tokoh historis yang

pernah benar-benar hidup dan berjuang demi kepentingan rakyat ketika mengadakan

perlawanan sengit terhadap Belanda.

Si Singamangaraja diakui sebagai raja dan imam besar (DATU BOLON) oleh

semua suku Batak. Akan tetapi selain dia, rakyat masih mempunyai imam-imam di

daerah- daerah dan kampung-kampung. Mereka inilah yang mempunyai hak untuk

melakukan upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat masing-masing, seperti pada

saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada pesta perkawinan dan

upacara kematian.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun di Sumatera Utara itu berakhir secara

tragis, bukan bagi keluarga Si Singamangaraja XII dan rakyat Sumatera Utara saja,

melainkan juga bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia di seluruh Nusantara. Hal ini

demikian mengingat bahwa perjuangan Raja Si Singamangaraja XII bukan saja demi

kepentingan dirinya, atau kepentingan keluarganya sendiri, melainkan berupa perjuangan

Nasional yang dilakukan bersama-sama dengan suku bangsa lain untuk melawan para

penjajah Belanda yang datang merebut negeri dan kekayaan penduduk Indonesia.

Pada tanggal 17 Juni 1907, hari yang naas, Raja Si Singamangaraja XII telah

gugur di tembak oleh anak buah Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII tidak gugur

sendirian. Bersama dengan beliau turut juga gugur dua orang putra kandungnya, para

pejuang yang tidak kenal kata menyerah dalam kamusnya, yakni Patuan Nagari dan

Page 4: AHU si singamangaraja

Patuan Anggi. Pun seorang putrinya yang berusia 17 tahun yang bernama Boru Lopian,

seorang srikandi sejati yang selama ini dilupakan, turut juga tewas oleh berondongan

peluru Belanda di suatu jurang yang ditumbuhi hutan rimba yang kelam, di Sindas di kaki

gunung Sitopangan, kira-kira 9 – 10 km dari Pearaja, Sionomhudon, Tapanuli, Sumatera

Utara.

Seorang tokoh lain bernama Ompu Parlopuk, abang Si Singamangaraja XII, telah

meninggal sebelumnya ketika mengadakan perang gerilya menghadapi Belanda.

Permaisuri Si Singamangaraja XII, Boru Situmorang, menjelang tertembaknya Si

Singamangaraja XII meninggal pula karena bergerilya di tengah hutan rimba Sumatera

Utara. Bahkan cucunya yang sangat dicintainya, Pulo Batu, Putra Patuan Nagari telah

menutup usia pada umur amat muda karena kelaparan ketika berkecamuknya perang

gerilya dan dalam keadaan dikejar-kejar oleh Belanda. Ucapan terakhir Si

Singamangaraja XII ketika gugur di jurang Sindas, Sitopangan, ialah “AHU SI

SINGAMANGARAJA”.

Beliau ditembak dengan senapan, waktu itu dikenal oleh rakyat dengan nama

“bedil setan” yang dilepas oleh Hamisi, anak buah kapten H. Christoffel “si macan

Aceh”. Peristiwa itu terjadi pada sore hari tanggal 17 Juni 1907 dalam satu jurang di kaki

Gunung Sitapongan, pada satu tempat bernama Sindias di daerah Sionomhudon, Tapanuli

Utara. Beliau gugur bersama putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Turut pula gugur

seorang putrinya, seorang srikandi yang setia, yakni Boru Lopian, dalam usia 17 tahun. Ia

tertembak ketika dengan tekun berjuang mendampingi ayahandanya. Korban ini

ditambah lagi dengan gugurnya sejumlah panglima dan pejuang lain yang tidak boleh

dilupakan nilai perjuangannya. Mereka adalah pejuang-pejuang yang setia tulang-

tulangnya patah dan berserakan dan namanya pun mungkin telah sama sekali dilupakan.

Sekalipun tubuh mereka telah gugur dalam mempertahankan kedaulatan dan

kemerdekaan, namun “semangat” dan cita-citanya terus berjalan mendorong kita untuk

meningkatkan pengabdian pada Rakyat, Bangsa dan Negara. Patah tumbuh, hilang

berganti.