Agama dan kekuasaan

18
Tugas Kelompok Disusun Oleh Kelompok 3 : Setiawan Kasim Dwi Halima Sari Cakrawati Basri Fardiana Fatha Nur Vinawahyu Mutahhar Syan Hairil Anwar Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Transcript of Agama dan kekuasaan

Page 1: Agama dan kekuasaan

Tugas Kelompok

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Setiawan Kasim

Dwi Halima Sari

Cakrawati Basri

Fardiana Fatha

Nur Vinawahyu

Mutahhar Syan

Hairil Anwar

Pendidikan AntropologiFakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Makassar

PEMBAHASAN

AGAMA DAN KEKUASAAN

Page 2: Agama dan kekuasaan

Pengertian Agama

Umumnya istilah agama sama artinya dengan istilah asing seperti religion

(Inggris), de religie (Belanda). Istilah agama secara etimologis berasal dari bahasa

sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun.

Pada masyarakat sederhana yang tidak mengenal istilah agama, kepercayaan

kepada yang gaib merupakan sebagian dari adatnya yang tradisional. Jadi apa

yang dinamakan ‘ agama suku’ adalah bagian dari ‘ adat suku’ yang menyangkut

keagamaan.

Dalam ensiklopedi indonesia didefinisikan dari segi kepercayaan yakni

pengakuan akan adanya yang suci. Dalam pengertian lain manusia insaf bahwa

ada sesuatu kekuasaan yang mungkin dan melebihi segala yang ada. Berdasarkan

pengertian tersebut menunjukkan bahwa beragama berati menganut agama,

beribadat kalau dikaitkan dengan perilaku yang bermakna perbuatan, maka

perilaku beragama diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ajaran atau

pelaksanaan ajaran agama.

Pengertian agama sebagai kesatuan sistem kepercayaan tersebut juga lebih

jauh di ulas oleh Yusuf, menjelaskan bahwa agama merupakan praktek dimana

suatu masyarakat atau kelompok sosial yang berjaga-jaga menghadapi persoalan

terakhir. Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa agama merupakan seperangkat

jawaban koheren atau dilema keberadaan manusia sehingga menjadikan

kehidupan lebih bermakna.1

Menurut Durkheim bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama.

Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam fakta sosial

nonmaterial.2 Dalam penjelasan tersebut bahwa fakta sosial nonmaterial

menempati posisi yang lebih sentral.

Jadi menurut pendapat kami yang menjadi sebab latar belakang orang

berperilaku keagamaan, percaya kepada yang ghaib adalah dikarenakan ada

dorongan emosi keagamaan dalam batin manusia sendiri. Karena adanya emosi

1 Yusuf, 2001(dalam kepercayaan dan upacara tradisonal kominitas adat sul-sel):532 George Ritzer-Douglas J. Goodman edisi- 6: 22

Page 3: Agama dan kekuasaan

keagamaan maka timbullah pemikiran, pendapat, perilaku kepercayaan terhadap

sesuatu benda yang dianggap mempunyai kekuatan luar biasa, dianggap keramat

atau dikeramatkan dan dianggap suci, serta disayangi atau ditakuti.

Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan

Sebelum membahas tentang fungsi dan kedudukan agama, maka perlu

terlebih dahulu diawali dengan penjelasan mengenai pengertian agama.

Eksisitensi agama dalam kehidupan sering dianggap sebagai way of life yang

ajarannya dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi

pedoman bagi segala aktivitas yang pada gilirannya melahirkan sistem perilaku

yang berpola sebagai pegangan. Fungsi agama inilah yang mendorong sehingga J.

Milton Yinger mengemukakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan

praktek untuk menghadapi aneka masalah manusia dalam masyarakat.3

Demikian pentingnya dan berharganya kedudukan agama dalam kehidupan

masyarakat tersebut mendorong para ahli memberikan beragam fungsi

berdasarkan sudut pandang masing-masing baik secara prosedual maupun secara

fungsional. Karena itu, berangkat dari dasar pemikiran tersebut, maka fungsi dan

kedudukan agama meliputi tiga aspek utama yakni sebagai pencipta keteraturan

sosial, pengintegrasian nilai-nilai, serta pengukuhan dari nilai-nilai atau kontrol

sosial.

Kekuasaan

Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau

kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan

yang diberikan,kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang

3 Hendopuspito, 1983:35

Page 4: Agama dan kekuasaan

diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi

tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku4 .

Di negara-negara demokrasi yang memiliki arti bahwa kekuasaan berasal

dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat seperti yang dikemukakan oleh Presiden

Amerika Serikat Abraham Lincon, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui

jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik dengan cara

pemilihan umum yang dipilih langsung oleh rakyat secara langsung seperti yang

terjadi di Indonesia seperti beberapa waktu yang lalu.

Kekuasaan atau power berarti suatu kemampuan untuk mempengaruhi

orang atau merubah orangatau situasi. Kekuasaan dapat berkonotasi positif

maupun negatif. Kekuasaan dapat didefinisikansebagai suatu potensi pengaruh

dari seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin banyak ditentukan oleh

kemampuannya dalam memahami situasi serta ketrampilan dalam menentukan

macam kekuasaan yang tepat untuk merespon tuntutan situasi.Unsur-unsur

kekuasaan.

Wewenang mengenai peranan atas posisi yang resmi atau adanya hak, ada

kejelasan dan ada surat yang pasti. Wewenang dapat bersifat formal maupun

informal. Wewenang yang bersifat informal biasanya untuk mendapatkan

kerjasama yang baik dengan bawahannya. Contoh : hubungan pembantu rumah

tangga dengan majikannya pembantu rumah tangga melaksanakan perintah-

perintah yang diperintahkan majikannya serta memberikan tenaganya untuk

membantu pekerjaan rumah tangga majikannya dan di pihak majikannya yang

mempunyaiwewenang untuk memerintah agar pekerjaan rumah tangganya dapat

berjalan dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu. Paksaan Adanya

ancaman yang tidak di inginkan kekuasaan yang bersifat ilegal atau tidak resmi

Agama Dan Kekuasaan

Berbicara mengenai agama dan kekuasaan, maka kita juga tidak bisa

terlepas dari kata As-Siyasah. Adapun kata As-Siyasah berasal dari kata mengatur

atau memimpin, Siyasah bisa juga berarti pemerintahan dan politik atau membuat

4 Miriam Budiardjo,2002

Page 5: Agama dan kekuasaan

kebijaksanaan5. Secara terminologi, Siyasah adalah mengatur atau memimpin

sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.

Agama berfungsi sebagai alat pengabsahan dan melindungi kepentingan

politik dan kelas sosial yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu

sndiri. Menurut pandangan ini bahwa agama adalah kekuatan konserfatif secara

inheren, yang secara aktif meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial

yang telah mapan dan menetralisasi setiap usaha yang signifikan untuk mengubah

orde itu.6 Akan tetapi, juga dikemukakan bahwa agama berfungsi sebagai

panggilan berhimpun guna melakukan perubahan besar dalam lembaga-lembaga

yang telah ditetapkan.

Kekuasaan adalah tema sentral dalam dunia perpolitikan. Tak ada

perdebatan yang lebih penting dalam ilmu politik selain mengenai kekuasaan.

Kekuasaan dipandang sebagai jalan untuk mencapai tujuan tetapi lebih banyak

yang memandangnya sebagai tujuan itu sendiri.

Agama berfungsi sebagai alat pengabsahan dan melindungi kepentingan

politik dan kelas sosial yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu

sndiri. Menurut pandangan ini bahwa agama adalah kekuatan konserfatif secara

inheren, yang secara aktif meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial

yang telah mapan dan menetralisasi setiap usaha yang signifikan untuk mengubah

orde itu.7 Akan tetapi, juga dikemukakan bahwa agama berfungsi sebagai

panggilan berhimpun guna melakukan perubahan besar dalam lembaga-lembaga

yang telah ditetapkan.

Negara dan agama adalah dua hal yang, meski pun tidak harus berlawanan,

jelas berbeda. Tidak bisa secara otomatis pemimpin agama layak menjadi

pemimpin negara. Juga tidak “negara agama” dalam pengertian bahwa negara

harus tunduk pada ketentuan-ketentuan legal-formal suatu agama. Karena

sebagian dari hukum agama hanya bisa bermakna jika dijalankan dengan

kesukarelaan hati, sementara pendekatan negara selalu mengandaikan sanksi yang

memaksa. Atau karena hukum agama tertentu tidak bisa begitu saja diterapkan

5 Asy-Syariah hal:2316 Prof. Dr. h. Mahmud Msi-Dr. Ija Suntana, M.Ag :837 Prof. Dr. h. Mahmud Msi-Dr. Ija Suntana, M.Ag :83

Page 6: Agama dan kekuasaan

sebagai hukum positif, tanpa persetuan lebih dahulu dari lembaga publik

(parlemen) , yang tidak otomatis atas dasar nalar agama.

Memisahkan antara agama dan kekuasaan pun tidaklah mudah apalagi untuk

menemukan relasi yang tepat diantara keduanya. Agama merupakan keyakinan

transendental yang senantiasa ditempatkan sebagai nilai yang luhur, murni, suci

dan berlawanan dengan kekuasaan yang cenderung menindas, profan, tidak adil,

dan pragmatis atau berorientasi materi semata seperti ungkapan populer power

tends to corrupct.  Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara

kembar, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain

tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah pondasi sementara kekuasaan

adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya pondasi akan rusak dan jika tidak

dijaga, ia akan hilang8. Banyak contoh apabila agama dan kekuasaan itu

dipisahkan misalnya saja terjadi krisis pemimipin yang menjadi panutan

masyarakat, penyelewengan-penyelewengan terjadi seperti KKN dan lain

sebagainya.

Dalam hal inilah terjadilah yang dinamakan kekuasaan negatif yang

merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta

apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan

yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan cara paksaan atau tekanan baik

secara fisik maupun mental.

Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki

kecerdasan intelektual dan emosional yang baik, mereka hanya berfikir pendek

dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam

mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri terkadang tidak dapat

menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau

kelompok yang berada dibawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi.

dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari

keuntungan pribadi atau golongan diatas kekuasannya itu. karena mereka tidak

memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan

apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersebut biasanya tidak

8 Asy-Syariah hal:232

Page 7: Agama dan kekuasaan

akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya

oleh rakyatnya

Memang sejarah kekuasaan agama tidak selamanya putih. Banyak tragedi

kemanusiaan yang diinsinuasi atau dihasud oleh persentuhannya dengan agama.

Kita mengenal perang agama, pertumpahan darah yang kejam, yang

berkelindangan dengan semangat keagamaan. Misalnya perang Salib antara islam

dengan kristen yang melelahkan karena berlangsung dalam 200 tahun dan perang

Israel dengan Negara-negara Arab Beberapa dekade yang lalu. Namun demikian,

jika dibandingkan dengan kekuasaan lain yang atheistik atau bahkan sekedar

sekularistik, maka kekuasaan keagamaan tidak selalu lebih buruk.

Lord Acton mengatakan kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan

yang absolut akan korup secara absolut pula. Berdasarkan teori Max Weber

kekuasaan di bedakan atas tiga jenis otoritas yaitu:

1. Otoritas kharismatis yang berdasarkan pada pengaruh dan

kewibawwaan pribadi.

2. Otoritas traditional yaitu yang di miliki berdasarkan pewarisan atau

turun temurun.

3. Otoritas legal rasional, yaitu yang dimiliki berdasarkan jabatan serta

kemampuannya.9

Hal ini memberikan gambaran jelas bahwa kekuasaan menjadi baik

ataupun buruk sangat bergantung kepada pemilik kekuasaan. Max Weber juga

membuat analisis bagaimana fenomena agama dengan kekuasaan dimana agama

telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme di barat, namun

pada akhirnya agama itu menjadi rintangan sementara.10

Kekuasaan ditangan pemimpin yang tidak tepat dijadikan sebagai alat

untuk menundukkan, mengontrol, mengeksploitasi, menindas, dan melemahkan

lawan politiknya sehingga kekuasaannya dapat bertahan dengan langgeng.

Penguasa menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk membentuk pikiran dan

pandangan orang lain diluar kekuasaannya sebagai yang lemah, yang tidak

9 Sartono Kartodirjo 1993:15010 George Ritzer- Douglas J. Goodman edisi ke-6: 40

Page 8: Agama dan kekuasaan

memiliki kemampuan untuk mengubah keadaannya dan akhirnya bergantung

sepenuhnya kepada penguasa. Kebanyakan kekuasaan bagi penguasa selalu

bertalian erat dengan posisi ekonomis, kelas sosial, atau pada umumnya peranan

seseorang dalam sistem ekonomis, sosial dan politik semata saja, jadi jelaslah

disini bahwa kepentingan kekuasaan semata-mata adalah fungsi ekonomis atau

fungsi lainnya yang merugikan masyarakat luas.

Penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks pemerintahan dimulai dengan

melakukan penyempitan kawasan pengambilan keputusan dengan tidak

memberikan ruang bagi pihak diluar kekuasaan untuk ikut terlibat dalam proses

tersebut. Hal ini menyebabkan proses pengambilan kebijakan hanya menjadi

otoritas dalam lingkaran kekuasaan. Selanjutnya penguasa dengan segala cara

berupaya membatasi partisipasi rakyat atau membungkam suara-suara perlawanan

yang datang dari komunitas pro perubahan, baik itu dengan ancaman, teror,

sabotase, penculikan, pencemaran nama baik, bahkan pembunuhan terhadap

tokoh-tokohnya. Kasus hilangnya aktivis mahasiswa pada tahun 1998 dan kasus

pembunuhan aktivis HAM, Munir, mewakili tindakan penguasa untuk

mempertahankan kekuasaannya secara absolut. Untuk menyempurnakan

hegemoni kekuasaannya, penguasa membentuk opini masyarakat bahwa

penguasa/pemerintah telah melakukan yang terbaik untuk masyarakat dan orang

atau kelompok yang tidak mendukung pemerintah adalah pihak yang

bertanggungjawab terhadap keadaan carut marut bangsa secara totalitas.

Pada sisi lain kekuasaan tidak berdiri secara tunggal tetapi mengandung

nilai moral yang diyakini secara bersama. Ketika kekuasaan tidak menjadi tujuan

melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, maka kecenderungannya kepada

pengambilan kebijakan tidak terbatas hanya dalam lingkaran kekuasaan,

membangun partisipasi rakyat secara luas, dan memiliki nilai luhur untuk

kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. 

Bahaya akibat dari penyalahgunaan kekuasaan tidak ada bedanya dengan

dampak negatif dari tuna kuasa. Tuna kuasa dipahami sebagai ketidakkuasaan

atau ketidakmampuan seseorang untuk keluar dari situasi yang tidak adil pada diri

dan lingkungannya. Orang yang tuna kuasa memandang ketidakadilan dan

Page 9: Agama dan kekuasaan

penindasan yang dialaminya sebagai sebuah kenyataan harus diterima secara

mutlak.

Kondisi tuna kuasa seperti ini yang sedang dialami oleh masyarakat kita

hari ini. Masyarakat tidak lagi peduli dengan kondisi dirinya dan lingkungannya,

masyarakat tidak berani melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan

akhirnya secara tidak langsung kondisi ini melegitimasi hegemoni kekuasaan yang

absolut. Orang atau masyarakat tuna kuasa bukannya tidak menyadari kondisi

ketidakadilan yang dialami tetapi kekuasaan yang absolut melemahkan semangat

dan rasa percaya diri masyarakat untuk keluar dari kondisi yang dialami tersebut.

Dalam kajian kontemporer, agama ditempatkan pada dua sisi yang

bertolak belakang. Satu sisi agama adalah ajaran transendental yang menjadi

kekuatan moral sekaligus sebagai alat legitimasi bagi mereka yang tak mampu

bangkit dari ketertindasannya. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosila-budaya,

marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal yang given. Hal ini berangkat dari

paham jabariyah (fatalistik) yang menyatakan bahwa sesungguhnya segala sesuatu

yang terjadi di dunia ini merupakan takdir Tuhan yang telah ditentukan dan tidak

dapat diubah.

Pada sisi lain agama ditempatkan sebagai ajaran yang menginspirasi

manusia untuk melakukan perlawanan atau membebaskan diri dari ketertindasan,

kemiskinan, kebodohan, dan tindakan eksploitatif secara struktural maupun

kultural. Pandangan tentang agama sebagai nilai moral dan transendental,

memiliki kesamaan dengan pandangan Karl Marx tentang agama sebagai candu

sekaligus alat pembenaran ketidakadilan sosial yang dialami dengan menjanjikan

kebahagiaan sejati di akhirat kelak. Bahwa seluruh derita manusia termasuk

didalamnya kemiskinan, ketidakadilan, penindasan akan mendapatkan balasan

kebahagiaan di akhirat kelak.   

Menurut Frank Whaling, sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai

agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur

pokok itu adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial dan politik (involvement in

social and political contexts). Maka, agama layak disebut sebagai agama yang

Page 10: Agama dan kekuasaan

sejati apabila memiliki keterlibatan sosial dan politik, dimana perubahan sebagai

inspirasi dan tujuannya sekaligus. 

Agama apapun terlebih lagi Islam sejatinya tidak melegitimasi

ketertindasan yang dialami oleh penganutnya apalagi melegitimasi kekuasaan

yang absolut, tetapi harus menjadi nilai yang mengontrol dan mengawasi

kekuasaan sekaligus menjadi inspirasi yang menggerakan manusia untuk

membebaskan diri dari ketertindasan yang dialaminya. Ketika agama hanya

berada pada satu sisi maka ketimpangan akan tetap terjadi dan tidak akan pernah

menyelesaikan hegemoni kekuasaan absolute terhadap mereka yang berada diluar

kekuasaan dan mengalami ketidakkuasaan atau tuna kuasa.

Kekuasaan dalam pandangan agama merupakan amanat, bukannya berkah

apalagi hak milik yang digunakan untuk mengeruk keuntungan materil sebanyak-

banyaknya. Tanpa peran agama, kekuasaan seringkali disalahgunakan untuk

mendapatkan fasilitas, menumpuk kekayaan, menakut-nakuti, bahkan melakukan

tindakan kekerasan terhadap rakyat yang sesungguhnya telah memberikan mandat

kepada penguasa (pemerintah). Jadi kekuasaan dalam terminologi agama

merupakan titipan Allah Swt untuk mengayomi, melindungi, menyejahterahkan

rakyat yang dipimpinnya. Namun sebaliknya jika kekuasaan ditempakan sebagai

sesuatu yang dimiliki secara mutlak oleh penguasa, maka kekuasaan tidak lagi

mendengar aspirasi masyarakat melainkan melakukan pengkhianatan terhadap

kemanusiaan universal. 

Tuna kuasa atau ketidakkuasaan semakin menguatkan hegemoni

kekuasaan ketika peran agama hanya dipahami secara sempit sebagai nilai vertikal

(hablumminallah) semata dan menggeser peran agama pada wilayah kemanusiaan

(hablumminannas)nya. Sehingga memandang segala hal yang berkaitan dengan

realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi dan yang lainnya adalah otoritas Tuhan

semata tanpa ada usaha dari manusia. Hal ini kemudian menggiring manusia

untuk melupakan keadaan sesamanya (individualis) didalam menyikapi realitas

kehidupan. Agama seakan-akan hanya memberikan rezeki kepada mereka yang

memiliki kekuasaan tidak bagi mereka yang berada diluar lingkaran kekuasaan

Page 11: Agama dan kekuasaan

tersebut sehingga mereka mengalami ketidakadilan sosial dan kemiskinan

struktural maupun kultural.

Agama (Islam) memberikan jaminan bahwa orang atau masyarakat tuna

kuasa yang fatalistik tidak akan mampu untuk keluar dari keadaan yang

dialaminya tanpa memberikan konstribusi secara nyata untuk memperbaiki

keadaannya. Hal ini mengaskan bahwa orang atau masyarakat yang mengalami

ketidakadilan sosial dan penindasan harus menyadari untuk kemudian bangkit dari

kondisi yang dialaminya, karena tanpa upaya dan usaha dari manusia maka tidak

akan terjadi perubahan bagi individu maupun masyarakat.

Proses legitimasi kekuasaan oleh agama adalah upaya politisasi agama,

atau menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan politik penguasa

untuk mengalahkan lawan politiknya sekaligus melanggengkan kekuasaannya.

Agama benar-benar telah disubordinasikan dalam wilayah-wilayah profan dan

pragmatis Penguasa hanya memanfaatkan sentimen agama semata untuk

mendapatkan dukungan masyarakat secara massif sekaligus memburamkan peran

agama ditengah-tengah masyarakat.

Akhirnya patut untuk kita sadari bersama, bahwa kehadiran agama tidak

diperuntukkan kepada Tuhan tapi bagi kemanusiaan sebagai spirit pembebasan

dan perlawan manusia terhadap penindasan dan ketidakadilan sosial politik yang

dialaminya. Agama menjamin hak yang sama bagi semua manusia untuk

mendapatkan kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan bagi umat manusia di muka

bumi. Disinilah pentingnya kita menempatkan moral agama secara tepat

sebagai nilai yang mengarahkan dan mengontrol kekuasaan dan menempatkan

agama disisi lain sebagai keyakinan dan spirit untuk membangun kesadaran

masyarakat untuk kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa dalam

menggunakan kekuasaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern Edisi Ke-

6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Page 12: Agama dan kekuasaan

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bahri, Syamsul, dkk. 2012. Kepercayaan Dan Upacara Tradisional Komunitas

Adat Di Sulawesi Selatan. Makassar: De La Macca.

Mahmud dan Ija Suntana. 2012. Antropologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Majalah Asy Syariah (khazanah ilmu-ilmu islam) 2003.

Abdullah, Syamsuddin. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi

Agama. Jakarta: Logos.

Dahl, Robert A. 1965. Modern Political Analysis. New Jersey: Prentice Hall Inc.