Ad Hist Ya
-
Upload
evi-afifah -
Category
Documents
-
view
122 -
download
1
Transcript of Ad Hist Ya
BAB II
PEMBAHASAN
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik
secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan
prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya
pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju
terwujudnyamasyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan
nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki
kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
2.1 Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru
Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri
kekuasaannya sama persis dengan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan
reformasi. Secara substansial, berakhirnya pemerintahan Orde Baru lebih
disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai
persoalan bangsa dan negara. Artinya, apabila pemerintahan Presiden Suharto
mampu mengatasi segala persoalan bangsa dan negara, niscaya gerakan reformasi
tidak akan terjadi.
Selama ini, pemerintahan Orde Baru sering mengklaim telah berhasil
meningkatkan produksi nasional, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat, dan berbagai keberhasilan di bidang fisik dan non fisik, seperti
perbaikan sarana transportasi, perumahan, perekonomian, olah raga, pendidikan,
dan kesehatan. Gambaran tentang keberhasilan pembangunan nasional sering
dijadikan slogan bahwa pemerintahan Orde Baru telah berhasil mengubah kondisi
kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan orde lama.
3
Namun, pemerintahan Orde Baru tidak memberikan gambaran yang benar bahwa
keberhasilan itu harus dibayar dengan mahal oleh anak cucu bangsa. Kerusakan
hutan, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan asing yang tidak terkontrol
secara baik, harga kebutuhan pokok yang tidak menentu, kehidupan politik yang
terpasung, dan sebagainya. Apakah yang dilakukan PT Freefort di Papua? Apakah
yang dilakukan oleh PT Newmont di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat? Sebab-
sebab berakhirnya pemerintahan Orde Baru adalah terbatasnya kemampuan
pemerintah dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara, seperti:
a. Krisis Moneter
Ketika krisis moneter melanda negara-negara Asia Tenggara, maka
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling lemah kemampuannya untuk
mengatasi krisis itu. Ada beberapa indikator ukuran ketidakmampuan Indonesia,
seperti:
a) Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun sampai titik
terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollat Amerika Serikat.
b) Lembaga perbankan mengalami keterpurukan sehingga beberapa bank
nasional harus dilikuidasi.
c) Harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat sangat tinggi.
d) Dunia investasi mengalami kelesuan.
e) Daya beli masyarakat mengalami penurunan.
Ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi krisis moneter sebagai
akibat dari:
a) Ketergantungan Indonesia pada modal asing yang sangat tinggi.
b) Ketergantungan Indonesia pada barang-barang impor.
c) Ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Misalnya, sebagai negara agraris Indonesia masih mengimpor beras, gula,
minyak, dan sebagainya. Bersumber dari kesalahan pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada industri besar, tetapi tidak didukung dengan pembangunan
industri hulu yang mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi
4
Misalnya, bahan baku industri textil Indonesia sangat bergantung pada hasil
impor. Padahal, Indonesia adalah salah satu penghasil kapas terbesar di dunia.
b. Krisis Ekonomi
Krisis moneter membawa dampak yang sangat besar terhadap krisis
ekonomi. Krisis ekonomi ditandai oleh beberapa indikator, seperti:
a) Lemahnya investasi sehingga dunia industri dan usaha mengalami
keterpurukan sebagai akibat kekurangan modal.
b) Produktivitas dunia industri mengalami penurunan sehingga PHK
menjadi satu-satunya alternatif yang mudah untuk mempertahankan
efisiensi perusahaan.
c) Angka pengangguran sangat tinggi sehingga pendapatan dan daya beli
masyarakat menjadi sangat rendah.
Semua itu membawa akibat terhadap kegiatan ekonomi yang semakin
rendah dan pada akhirnya produktivitas nasional mengalami penurunan.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi bersumber dari
beberapa kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang kurang tepat. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa kenyataan, seperti:
a) Usaha pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil menengah
sebagai soko guru perekonomian nasional kurang maksimal.
b) Jiwa kewirausahaan masyarakat tidak dapat berkembang karena
terbatasnya peluang dan adanya persaingan yang berat.
c) Pemerintah tidak pernah memperhatikan nasib yang hidup di sector
pertanian sehingga para pemuda di desa cenderung pergi ke kota untuk
mencari pekerjaan pada sektor industri. Akibatnya, sektor pertanian tidak
tergarap secara baik karena kekurangan tenaga kerja di satu sisi dan
ketidakmampuan masyarakat memanfaatkan teknologi pertanian di sisi lain.
Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi mengakibatkan kemampuan
pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi menjadi semakin lemah. Sektor
industri tidak mampu bersaing dengan industri negara-negara tetangga.
5
Demikian juga dengan sektor pertanian, di mana hasil pertanian seperti
buah-buahan yang dijualbelikan di mall-mall merupakan hasil impor.
Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang dilaksnakan pemerintahan
Orde Baru tidak didasarkana pada sumber daya alam maupun sumber daya
manusia Indonesia.
c. Krisis Politik
Sebenarnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak terlalu peduli
terhadap model atau sistem politik yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru.
Yang penting masyarakat dapat memperoleh kemudahan dalam mendapatkan
pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan memnuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat hanya mendambakan kehidupan
yang tertib, tenang, damai, aman, serta adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam keadilan.
Namun dalam kenyataannya, dambaan masyarakat itu tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan politik yang dibangun pemerintahan Suharto. Bahkan,
segala kebijakan pembangunan nasional bersumber dari kebijakan politi
pemerintah. Oleh karena itu, ketika harapan masyarakat tidak dapat terpenuhi,
maka muncul tuntutan-tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib
masyarakat kecil.
Di sisi lain, kehidupan politik yang represif (yaitu suatu pemerintahan yang
ditandai dengan tekanan-tekanan) telah melahirkan konflik, kerusuhan, dan
kekacauan sehingga masyarakat merasa cemas dan khawatir karena ketenangan,
ketenteraman, dan keamanannya terancam. Bahkan, kerusuhan dan kekacauan itu
dapat menghentikan aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Keadaan itulah menyebabkan terjadinya krisis politik. Sementara, pemerintahan
Orde Baru sendiri tidak mampu mengatasi krisis politik yang berkembang. Oleh
karena itu, satu-satunya jawaban yang dipandang paling realistik adalah menuntut
Presiden Suharto untuk mengundarkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
6
Pemerintahan Orde Baru dan Presiden Suharto dipandang sudah tidak mampu
menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik sehingga perlu diganti.
d. Krisis Sosial
Krisis moneter, ekonomi, dan politik terus melanda kehidupan bangsa dan
negara Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, harapan terjadinya
perbaikan kehidupan masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera
datang. Berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidup dan kehidupannya semakin hari semakin bertambah berat.
Demonstrasi-demonstrasi yang dipelopori para mahasiswa telah mendorong
terjadinya krisis sosial. Kerusuhan, kekacauan, pembakaran, dan penjarahan
merupakan fenomena yang terus terjadi di beberapa daerah seperti di Situbondo,
Tasikmalaya, Kalimantab Barat, dan Pekalongan. Di samping itu, banyaknya
pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menambah krisis
sosial. Kenyataan itu merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah dalam
menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, tidak berlebihan apabila masyarakat kemudian menuntut agar Presiden
Suharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
e. Krisis Hukum
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum
dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi
pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman dan
seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara.
Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak
dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan
dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hukum
(peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat
7
terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto. Untuk mengatasi
krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan adalah melaksanakan
reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para mahasiswa sebagai
pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan.
Misalnya, adili Suharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintahan yang
bersih dari KKN, tegakkan supremasi hukum. Untuk memenuhi tuntutan
mahasiswa, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
nasional untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama
dan tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolak panggilan dan ajakan Suharto
sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.
2.2 Gerakan Reformasi
Pepatah yang mengatakan bahwa tiada yang kekal di dunia ini pantas
dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto yang
telah berkuasa selama 32 tahun. Krisis multidimensi yang melanda negeri tercinta
ini telah menjadi penyebab lahirnya gerakan reformasi dan jatuhnya pemerintahan
Orde Baru pada tahun 1998. Bagaimanakah proses lahirnya gerakan reformasi
dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru? Persoalan ini layak untuk disimak dan
dicermati karena mengandung pelajaran yang berharga dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik pada masa yang akan datang.
2.2.1 Lahirnya Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatatan perikehidupan lama ke
tatanan perikehidupan baru yang lebih baik. Gerakan reformasi yang terjadi di
Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk
melakukan perubahan dan pembaruan, terutama perbaikan tatanan perikehidupan
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Dengan demikian, gerakan
reformasi telah memiliki formulasi atau gagasan tentang tatanan perikehidupan
baru menuju terwujudnya Indonesia baru. Gerakan reformasi merupakan sebuah
perjuangan karena hasil-hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu yang singkat.
8
Hal ini dapat dimaklumi karena gerakan reformasi memiliki agenda
pembaruan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, semua agenda
reformasi tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dan dalam
waktu yang singkat. Agar agenda reformasi dapat dilaksanakan dan berhasil
dengan baik, maka perlu disusun strategi yang tepat, seperti:
a) Menetapkan prioritas, yaitu menentukan aspek mana yang harus
direformasi
b) lebih dahulu dan aspek mana yang direformasi kemudian.
c) Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai
tujuan dan sasaran secara tepat.
Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan
cenderung menyimpang dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita
reformasi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia akan gagal.
Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan reformasi
adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-
harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng,
minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang
tinggi. Bahkan, warga masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.
Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak
menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan politik dan
ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat
Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat
yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk
memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.2.2 Sebab-sebab Lahirnya Reformasi
Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor
atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak
muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama
9
ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintahan Orde
Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten
dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya
tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masih
ingatkahkamu akan pengertian Orde Baru?
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang
tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila
dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.
Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang
menjadi penyeba umum lahirnya gerakan reformasi, seperti:
a. Krisis politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai
kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang
dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka
pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam
rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.
Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi
yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa.
Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh,
danuntuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk
penguasa.Pemerintahan Orde Baru selalu melakukan intervensi terhadap
kehidupan politik. Misalnya, ketika Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai, sedangkan pemerintahan
Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Kejadian itu mengakibatkan
keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan Orde Baru
yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu
sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan
umum secara mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya.
10
Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah Orde Baru
sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: ‘Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Namun dalam
kenyataannya, kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu. Anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat
dekat para pejabat negara.
Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masyarakat
terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang
menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan
didukung oleh para dosen maupun kaum cendekiawan. Mereka menuntut agar
segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidan
Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.
Gerakan reformasi menuntut untuk melakukan reformasi total dalam segala
bidang kehidupan, termasuk keanggotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat
KKN.
Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan
terhadap lima paket Undang-Undang Politik yang dianggap sebagai sumber
ketidakadilan (lihat dalam bok di bawah ini). Keadaan partaipartai politik dan
Golkar dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi
masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional selama pemerintahan Orde Baru
dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangunan nasional
mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.
Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada
tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh
PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih
ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan
11
yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan
korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan
rekayasa politik yang dibangun pemerintahan Orde Baru.
Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya
tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang
berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:
1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah
dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu
atau demokrasi rekayasa.
3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan
masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga
negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun
Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi
pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis. Ciri-ciri
itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.
Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam
kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan
Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di
Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar). Ketegangan
politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah
menjadi konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan
di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan,
kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.
Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi. Kekecewaan
rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung
pencalonan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998- 2003. Dalam
12
Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan
B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998- 2003. Bahkan,
MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus
kepada presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan
dari komposis keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil
nepotisme. Misalnya, menangkap orang-orang yang dianggap membahayakan
kekuasaannya, pembentukkan Tim Penembak Khusus (Petrus), pembentukkan
dewan-dewan untuk kepentingan kekuasaannya, dan sebagainya.
Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan
kepemimpinan Presiden Suharto melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa,
anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika beberapa aktivitis ditangkap
oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat dibendung dan dipandang
sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia
yang lebih baik.
b. Krisis hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas
pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi.
Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani
kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh
keadilan.
Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan
itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa
‘kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan
pemerintah (eksekutif)’.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah
hukum telah menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya
reformasi di bidang hukum agar setiap persoalan dapat ditempatkan pada
posisinya secara proporsional. Terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan
masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan yang
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut
13
agar reformasi di bidang hukum dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan
kehakiman yang merdeka merupakan salah pilar terwujudnya kehidupan yang
demokratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai dengan
kesalahannya.
c. Krisis ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996
mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi
Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis
ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp
2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember
1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp
5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus
melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.
Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter
Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus dilikuidasi pada
akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah
membentuk
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat
memberikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin besar.
Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang
yang sangat besar dan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia
semakin menurun dan gairah investasi pun semakin melemah. Akibatnya,
pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran
pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan
ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan
terjadinya krisis ekonomi.
14
Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997
sebagai akibat persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar.
Akibatnya, harga-harga sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan
kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua),
Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa.
Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah meminta bantuan kepada Dana
Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF belum dapat
direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani 50 butir
kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998. Krisis ekonomi
yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1) Hutang Luar Negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang
sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu
bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap
upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998,
sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan
Ekonomi yang dipimpin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang Indonesia telah
mencapai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta mencapai
73,962 dollar Amerika Serikat.
2) Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah Orde Baru ingin
menjadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan
kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah
masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan tugas
yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor
industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan Orde Baru karena tidak
dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan konsekuen.
3) Pemerintahan Sentralistik. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik
sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu,
peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi,
15
di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga pemerintah daerah tidak
dapat mengembangkan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi
antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam mengatasi
krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi yang
memadai.
d. Krisis sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis
sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan
terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu
berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan
hukum yang berkeadilan sering menimbulkan ketidakpuasan yang mengarah227
pada terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara,
ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap
krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-
harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang
rentan terhadap krisis sosial.
Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat.
Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dapat menjadi factor penentu karena
sebagian besar warga masyarakat tidak mampu mengendalikan dirinya.
Sementara, para mahasiswa dan para cendekiawan dengan kemampuannya dapat
mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang sering
ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para
mahasiswa telah mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk
melakukan demonstrasi. Semua itu merupakan sumber krisis sosial.
Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di
perkotaan diliputi kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang
tidak terkendali telah mendorong sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina
untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan keamanan.
e. Krisis kepercayaan
16
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto
Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang
demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan
pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah
melahirkan krisis kepercayaan. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh
para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga
BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi mahasiswa
terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa
yang berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah
tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan
Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan para mahasiswa yang
menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlahnya, setelah bentrok
dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.
Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri
KTT G-15 di Kairo, Mesir. Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan
masyarakat menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan,
beberapa kawan terdekatnya mendesak agar Presiden Suharto segera
mengundurkan diri. Dengan demikian, tuntutan pengunduran diri itu tidak hanya
datang dari para mahasiswa dan para oposisi politiknya.
Kunjungan para mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk
mengadakan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR telah berubah menjadi
mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal di gedung wakil
rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan
mahasiswa tersebut mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan
DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan
pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan
pimpinan DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai
17
pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh karena itu, ketidakjelasan sikap elite
politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke
gedung DPR/MPR.
Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto mengadakan
pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta.
Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan tentang pembentukan Dewan
Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu,
dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut
tidak dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk
dalam Dewan Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari
jabatannya. Keadaan itu merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah
menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para mahasiswa, aktivis LSM, pihak
oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari
kawankawan terdekatnya.
Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan
mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan
kepada Wakil Presiden. Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil
sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang
baru di Istana Negara.
2.2.3 Kronologi Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai
berikut:
a) Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie
sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.
Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
Kondisi kehidupan bangsa dan negara tidak kunjung membaik.
Perekonomian nasionalsemakin memburuk dan masalah-masalah sosial
semakin menumpuk. Keadaan itu menimbulkan keprihatinkan dan
kekhawatiran rakyat Indonesia.
18
b) Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai
bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN,
dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Semakin bertambahnya
para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyebabkan aparat
keamanan kewalahan dan terjadilah bentrok antara para mahasiswa dan
aparat keamanan.
c) Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa
Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan
yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas
dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat
mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan
kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
d) Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi
kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami
kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,
bahkan ratusan orang mati terbakar.
e) Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.
Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di
alunalun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung,
guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan
Sri Paku Alam VII. Inti isi maklumat tersebut adalah ‘anjuran kepada
seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa’.
f) Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR
mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto
mengundurkan diri.
g) Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-
tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan
19
dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh
Presiden Suharto. Namun, usaha itu mengalami kegagalan karena sebagian
tokohtokoh yang diundang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi
itu. Sementara, mahasiswa di gedung DPR/MPR tetap menuntut Suharto
turun dari kursi kepresidenan.
h) Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden
Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan
beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945,
kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik
menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
2.3 Orde Reformasi
Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat
semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah
masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu
manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu
yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan
itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.
Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai
dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah.
Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang
bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan
karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik
dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang
yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan
masyarakat.
Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan
banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya
menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional.
20
Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan
terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat
daerah atau pusat.
Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya
tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep
Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan
wilayah perkotaan.Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis,
berfikir sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai
kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional,
pragmatis dan kadang-kadang apatis.
Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,
barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami
Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat
yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain
sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung
tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan.
Pakar komunikasi Dan Nimmo[5] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang
pemilih ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama
ia kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu
mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan
menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif.
Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu
agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye
yang dibawakan partai.
Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori
ketiga yakni pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald
Pomper yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika
pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah
impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang
berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara.
21
Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif,
kata Dan Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi
makna untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur
sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para
aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.
Di sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu
memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis
ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde Baru
diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan.
Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih sepatahpun.
Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti
sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang
langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah, bukanlah
sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik jarang digunakan
dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru.
Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk
memberikan solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi
memegang peranan dalam pengambilan kebijakan.
Pabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa
berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari
adanya ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan
selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga
pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam
menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga
Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir.
Mengkotak-kotakkan ummat dalam menyampaikan pesan-pesan politik partai
akan melahirkan perpecahan yang sulit sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an
22
dan 1960-an banyak memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok
begitu saja sehingga cara berpikirpun berhenti.
2.4 Dampak Hutang Luar Negeri di Era Reformasi
Hutang luar negeri yang dilakukan selama 1950-1988 telah menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara penghutang terbesar dan sebagai salah satu
negara yang sangat tergantung pada hutang luar negeri. Pada akhir tahun 1988
hutang sejumlah US 52,8 milyar merupakan lebih dari setengah Produk Nasional
Bruto dan hampir dua kali lipat nilai ekspor barang dan jasa. Tujuh puluh persen
dari jumlah itu adalah hutang pemerintah yang berjangka menengah dan panjang.
Pinjaman baru pemerintah menyumbang 30% terhadap total pengeluaran
pemerintah dalam tahun anggaran 1988/89.
Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia
mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah
telah bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari
pemerintah negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga
keuangan swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan
pembayaran hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi
perekonomian Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah
mengalami kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan
puluhan menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan
itu di masa depan. Kenaikan tingkat bunga uang dipasar internasional dan resesi
dunia yang menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan
mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga
tahun setelahnya.
Kemudian dilanjutkan dengan krisis moneter melanda Thailand, pada tahun
1997 dimana pemerintah Indonesia juga sejumlah pakar ekonomi berkeyakinan
bahwa krisis moneter Thailand tidak akan berpengaruh terhadap ekonomi
Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Keyakinan bahwa
fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat ini dibangun atas dasar indikator-
23
indikator ekonomi makro. Argumentasi yang disungguhkan pemerintah dan para
pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan laju
inflasi yang terkendali, dibawah dua digit. Akan tetapi selang waktu yang tidak
terlalu lama setelah krisis moneter Thailand, nilai tukar rupiah terdepresiasi
terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis
kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial yang kemudian
mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah panas.
Pada gelombang ke dua krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis
moneter, kepercayaan dan krisis sosial sehingga timbullah krisis ekonomi yang
makin lama makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini
memperkuat krisis yang lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious
circle,(BasalimetAl.2000).
Kini ketika beberapa negara lain yang juga terkena krisis ekonomi termasuk
Thailand, sudah bangkit kembali perekomiannya, Indonesia masih juga terpuruk-
puruk dalam kondisi ketidakpastian mengenai masa depan pembangunan
ekonominya. Menyikapi secara kritis sikap optimis pemerintah dan sejumlah
pakar maka setiadaknya menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar yaitu
berkenaan dengan landasan teoritis yang dipergunakan untuk mensikapi data-data
makroekonomi Indonesia, memadaikah pendekatan tersebut yang selama ini
dipakai pemerintah dan para pakar untuk menjelaskan kait-mengkait berbagai
variabel makroekonomi Indonesia?. Kemudian apabila pendekatan teoritis yang
dikemukakan memadai oleh pemerintah dan para pakar yang selama ini dan
diyakini akan tetapi sudah benarkah pembacaan data yang dilakukan pemerintah
dan para pakar tersebut dalam mengambil kesimpulan empiris yang mendasari
sikap optimis terhadap fundamental ekonomi Indonesia?.
Untuk menyikapi beberapa pertanyaan diatas tentu sangat perlu mengkaji
dari hasil hasil penelitian lebih lanjut keterkaitan hutang luar negeri terhadap
variabel makroekonomi yaitu investasi asing yang berdampak terhadap
pendapatan nasional Indonesia. Dari hasil penelitian Arif dan Sasono (1984)
dalam periode 1970-1977 bahwa hutang luar negeri bersama dengan investasi
24
asing langsung berpengaruh negatif dan hutang luar negeri ternyata juga terus
menerus mengalami penurunan kemampuan dalam membiayai impor barang dan
jasa. Kemampuan impor ini yang diukur dengan membandingkan nilai hutang
luar negeri bersih dengan nilai impor barang dan jasa telah turun sebesar 24%
untuk priode 1970/1971 den menjadi 7% tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia
terpaksa harus melakukan pinjaman baru untuk membiayai surplus impor
sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan menggunakan metodologi
yang dikembangkan Dornbusch (1985) dan Click (1986) sebab-sebab kenaikan
stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari aspek domestik dan
aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang dunia. Aspek
domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan
pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan pemerintah
dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah untuk
membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber
dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta. Sedangkan
dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri adalah
kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian defisit
neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti arus modal
masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk
cadangan devisa atau membiayai pelarian modal keluar.
Studi lain Arief dan Sasono (1987) berkaitan dengan hutang luar negeri
dengan investasi asing menemukan bahwa koefisien regresi yang negatif
meskipun secara statistik tidak signifikan. Namun jelas menolak hipotesis ini
yang menyatakan hutang luar negeri dan investasi asing langsung mendorong
pertumbuhan ekonomi sehingga adanya growth promoting effect tetapi juga
terdapat proses growth defeating. Sedangkan penelitian Kuncoro (1988) meneliti
tentang dampak arus modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi dan tabungan
domestik selama tahun 1969-1984. Hasil temuannya menyimpulkan bahwa
bantuan luar negeri membawa dampak langsung dan dampak total yang negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak positif terhadap tabungan dalam
25
negeri. Hasen dan Rand (2004) memperlihatkan bahwa FDI memiliki pengaruh
terhadap GDP baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sedangkan GDP
hanya memperlihatkan pengaruh jangka pendek terhadap FDI. Sementara
penelitian Chowdhury dan Mavrotas (2003) untuk kasus Tahiland dan Malaysia
dengan analisis Todar-Yamamoto dalam kurun waktu 1969-2000 menemukan
bahwa terhadap hubungan kausalitas dua arah antara FDI dengan GDP.
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kenaikan hutang
luar negeri Indonesia dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama defisit neraca
berjalan disebabkan defisit neraca jasa yang terlalu besar yang tidak dibiayai
dengan arus modal masuk yang berjangka panjang. Dalam hal ini diasumsikan
bahawa defisit neraca berjalan dibiayai terutama dengan arus modal berjangka
panjang yang tidak berbentuk hutang kemudian sisanya baru dengan pinjaman
luar negeri, kedua penggunaan pinjaman luar negeri untuk menambah cadangan
devisa yang dimiliki baik oleh otoritas moneter maupun bank-bank umum dan
ketiga pelarian modal swasta yang mencakup seluruh kehilangan devisa dari
sistem moneter.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan
yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan
munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan
segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan
ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab
sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu
dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada
konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan
benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan
se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
26
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers
Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu
sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat
media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi
lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri
media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan
fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah
antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan
pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang
bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena
berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media
yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut
cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak
mengumbar kecabulan.
Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat
informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain,
biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada
masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering
kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers,
menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara
atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.
Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini.
Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini,
eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku
industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini.
Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan
pandangan teori tanggung jawab sosial.
27
Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak
alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh
pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor
sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor
melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor
memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan
kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian
kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap
informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita
membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible
press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola
media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan
kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di
bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,
kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan
kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli
apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan
rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi
kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak,
baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan
kepentingan sasaran (publik media).
Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik
untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan
sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik
terhadap pemimpinnya dapat terwujud.
2.5 Dampak Negatif Reformasi Terhadap Paham Keagamaan
28
Agama Islam dan Kristen, termasuk, sebenarnya merupakan agama satu
rumpun. Ketiga agama tersebut disebut dengan three abrahamic faith karena
mereferensikan bentuk keimanannya kepada iman Ibrahim. Berbagai narasi yang
menjadi teladan ketiga agama diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang sama, seperti
Kisah Adam dan Hawa, kisah Nuh, Kisah Luth dan kaumnya, dan sebagainya.
Dalam Islam, akar kesejarahan agama Islam tersebut dibakukan dalam salah satu
rukun iman, yaitu iman kepada rasul-rasul Allah.
Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa ketegangan antarumat beragama
yang paling berdarah terjadi di antara ketiga umat tersebut. Perang salib dan
gerakan anti-Yahudi di Eropa adalah perwujudan antagonisme antarumat pemeluk
tiga agama tersebut. Kemesraan hubungan antara ketiga pemeluk agama
seringkali hanya seperti anomie, sebuah kondisi tidak mapan, dibandingkan
dengan ketegangan-ketegangan yang menyelimuti hubungan antara ketiga
pemeluk agama tersebut.
Indonesia yang sejak lama membanggakan bhinneka tunggal ika dan
toleransi antarumat beragama pun tidak mampu menyembunyikan ketegangan
tersebut dari penglihatan dunia internasional. Semenjak awal Era Orde Baru,
ketegangan antara umat Islam dan Kristen menunjukkan grafik yang terus naik.
Runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1966 menandai awal dari
seri pertikaian panjang antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia.
Konversi para mantan anggota PKI ke salah satu agama menjadi amunisi panjang
perdebatan dan pertikaian umat Islam dan Kristen di Indonesia. Isu kristenisasi di
daerah-daerah berbasis massa muslim dan isu islamisasi di daerah-daerah berbasis
massa Kristen menandai sebuah Awal dari fase terburuk hubungan kedua belah
pihak semenjak Era Kolonial.
Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama,
antarumat beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah
tidak mampu berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua
pemeluk agama. Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30
November 1968 yang ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah
29
Umat Beragama pada pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju
ketegangan yang akhirnya membawa kepada konflik.
Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama,
antarumat beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah
tidak mampu berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua
pemeluk agama. Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30
November 1968 yang ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah
Umat Beragama pada pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju
ketegangan yang akhirnya membawa kepada konflik.
Pada awal tahun 1990-an terjadi beberapa ketegangan terbuka antara
pemeluk Islam dan pemeluk Nasrani. Kasus Tabloid Monitor, perayaan Natal
bersama, unjuk rasa dan perusakan terhadap gereja-gereja maupun masjid,
kerusuhan Rengasdengklok-Karawang, amuk massa di Purwakarta dan juga di
Situbondo tahun 1992 menandai konflik terbuka di Era kekuasaan Orde Baru.
Jikalau masa Orde Baru dipandang sebagai titik kulminasi ketegangan umat
Islam dengan umat Kristen, era Reformasi merupakan era di mana ketegangan
tersebut memperoleh momentum untuk menjadi konflik terbuka. Era reformasi
adalah sebuah titik balik dari kehidupan sosial-politik yang tersentralisir dengan
pendekatan keamanan yang dominan di masa Orde Baru. Era reformasi dimulai
dengan jatuhnya Presiden Suharto setelah didemo secara besar-besaran oleh para
mahasiswa di seluruh Indonesia, yang sebagian di antaranya menduduki gedung
MPR.
Era Reformasi membuka kran politik yang tersumbat sehingga aspirasi
masyarakat mengalir deras sebagai perwujudan eforia kebebasan. Aturan pers
yang semakin terbuka membuat wacana publik menjadi ajang pertukaran gagasan
sampai alat untuk mengemukakan gosip politik ke tengah-tengah masyarakat.
Hubungan Islam-Kristen pada Era Reformasi pun mulai kepada sebuah
babak baru. Ketegangan yang terjadi pada masa Orde Baru biasanya dilokalisir
oleh pemerintah dan dicarikan solusi bersama, meskipun sering tidak cukup
efektif sekarang memperoleh momentum untuk meledak menjadi konflik sosial.
30
Kasus perusakan rumah ibadah masih tetap terjadi, bahkan dengan
pendekatan baru. Pada era reformasi terjadi peledakan Masjid Istiqlal dan disusul
dengan peledakan berbagai gereja di Tanah Air. Perilaku dan isu terorisme
berbagai ketegangan sosial yang terjadi di Indonesia. Isu-isu klasik masih tetap
mewarnai ketegangan dua kelompok agama tersebut, ditambah dengan beberapa
isu baru. Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso, Sulawesi
Tengah, merupakan babakan baru hubungan Islam Kristen di Indonesia. Di Nusa
Tenggara Timur, beberapa bangunan milik umat Islam mengalami perusakan. Hal
itu menunjukkan sebuah respon aktif dari pihak Kristen dalam menanggapi
tekanan umat Islam.
Di bidang pendidikan, keberadaan sekolah-sekolah Kristen dengan siswa
muslim menjadi persoalan tersendiri dalam hubungan Islam dan Kristen. Sebagai
sekolah dengan missi Kristen, sekolah-sekolah Kristen merasa perlu memberikan
pengajaran agama kepada para siswanya tanpa memandang agama mereka.
Apabila para siswa muslim bersekolah di sekolah Kristen, mereka wajib
mengikuti tta tertib sekolah, termasuk mengikuti pelajaran agama Kristen.
Kondisi tersebut tentu tidak menyenangkan umat Islam. Kenyataannya, bagi
orang-orang Islam yang belum memiliki pemahaman Islam yang baik, pelajaran
agama Kristen tersebut dapat berpengaruh besar terhadap mereka. Hal itulah yang
mendorong pemerintah, dengan Menteri Pendidikan Malik Fajar, untuk
mengajukan aturan baru agar persoalan tersebut dapat diselesaikan bersama
dengan persoalan pendidikan lainnya.
Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi perbaikan sistem
pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memberikan pijakan tentang arah
pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia. Secara prinsipil tidak ada hal
yang bermasalah dari undang-undang tersebut, kecuali persoalan tentang guru
agama bagi sekolah swasta yang berada di bawah organisasi keagamaan. Undang-
undang menyatakan bahwa sekolah harus menyediakan guru agama yang
seagama bagi murid-muridnya yang memeluk agama lain.
31
Beberapa Kasus Konflik Pada Era Reformasi
1. Kasus Perusakan Tempat Ibadah dan Fasilitas Publik
2. Amuk Massa di Kupang
3. Amuk Massa di Ketapang
4. Amuk Massa di Mataram Nusa Tenggara Barat
5. Kasus Poso
6. Kasus Ambon-Maluku
7. Kontroversi Otonomi daerah dan Perda Syariat
8. Kontroversi Undang-undang Sisdiknas
9. Tsunami Aceh
32