Ad Hist Ya

50
BAB II PEMBAHASAN Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnyamasyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat. 2.1 Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri kekuasaannya sama persis dengan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Secara substansial, berakhirnya pemerintahan Orde Baru lebih 3

Transcript of Ad Hist Ya

Page 1: Ad Hist Ya

BAB II

PEMBAHASAN

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik

secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan

prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya

pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju

terwujudnyamasyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan

nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum,

sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki

kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.

2.1 Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru

Faktor-faktor yang menyebabkan pemerintahan Orde Baru harus mengakhiri

kekuasaannya sama persis dengan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan

reformasi. Secara substansial, berakhirnya pemerintahan Orde Baru lebih

disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai

persoalan bangsa dan negara. Artinya, apabila pemerintahan Presiden Suharto

mampu mengatasi segala persoalan bangsa dan negara, niscaya gerakan reformasi

tidak akan terjadi.

Selama ini, pemerintahan Orde Baru sering mengklaim telah berhasil

meningkatkan produksi nasional, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat, dan berbagai keberhasilan di bidang fisik dan non fisik, seperti

perbaikan sarana transportasi, perumahan, perekonomian, olah raga, pendidikan,

dan kesehatan. Gambaran tentang keberhasilan pembangunan nasional sering

dijadikan slogan bahwa pemerintahan Orde Baru telah berhasil mengubah kondisi

kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintahan orde lama.

3

Page 2: Ad Hist Ya

Namun, pemerintahan Orde Baru tidak memberikan gambaran yang benar bahwa

keberhasilan itu harus dibayar dengan mahal oleh anak cucu bangsa. Kerusakan

hutan, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan asing yang tidak terkontrol

secara baik, harga kebutuhan pokok yang tidak menentu, kehidupan politik yang

terpasung, dan sebagainya. Apakah yang dilakukan PT Freefort di Papua? Apakah

yang dilakukan oleh PT Newmont di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat? Sebab-

sebab berakhirnya pemerintahan Orde Baru adalah terbatasnya kemampuan

pemerintah dalam mengatasi persoalan bangsa dan negara, seperti:

a. Krisis Moneter

Ketika krisis moneter melanda negara-negara Asia Tenggara, maka

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling lemah kemampuannya untuk

mengatasi krisis itu. Ada beberapa indikator ukuran ketidakmampuan Indonesia,

seperti:

a) Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun sampai titik

terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollat Amerika Serikat.

b) Lembaga perbankan mengalami keterpurukan sehingga beberapa bank

nasional harus dilikuidasi.

c) Harga barang-barang kebutuhan pokok meningkat sangat tinggi.

d) Dunia investasi mengalami kelesuan.

e) Daya beli masyarakat mengalami penurunan.

Ketidakmampuan Indonesia dalam mengatasi krisis moneter sebagai

akibat dari:

a) Ketergantungan Indonesia pada modal asing yang sangat tinggi.

b) Ketergantungan Indonesia pada barang-barang impor.

c) Ketidakmampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Misalnya, sebagai negara agraris Indonesia masih mengimpor beras, gula,

minyak, dan sebagainya. Bersumber dari kesalahan pembangunan ekonomi

yang berorientasi pada industri besar, tetapi tidak didukung dengan pembangunan

industri hulu yang mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi

4

Page 3: Ad Hist Ya

Misalnya, bahan baku industri textil Indonesia sangat bergantung pada hasil

impor. Padahal, Indonesia adalah salah satu penghasil kapas terbesar di dunia.

b. Krisis Ekonomi

Krisis moneter membawa dampak yang sangat besar terhadap krisis

ekonomi. Krisis ekonomi ditandai oleh beberapa indikator, seperti:

a) Lemahnya investasi sehingga dunia industri dan usaha mengalami

keterpurukan sebagai akibat kekurangan modal.

b) Produktivitas dunia industri mengalami penurunan sehingga PHK

menjadi satu-satunya alternatif yang mudah untuk mempertahankan

efisiensi perusahaan.

c) Angka pengangguran sangat tinggi sehingga pendapatan dan daya beli

masyarakat menjadi sangat rendah.

Semua itu membawa akibat terhadap kegiatan ekonomi yang semakin

rendah dan pada akhirnya produktivitas nasional mengalami penurunan.

Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi bersumber dari

beberapa kebijakan pemerintah di bidang ekonomi yang kurang tepat. Hal ini

dapat dilihat dari beberapa kenyataan, seperti:

a) Usaha pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil menengah

sebagai soko guru perekonomian nasional kurang maksimal.

b) Jiwa kewirausahaan masyarakat tidak dapat berkembang karena

terbatasnya peluang dan adanya persaingan yang berat.

c) Pemerintah tidak pernah memperhatikan nasib yang hidup di sector

pertanian sehingga para pemuda di desa cenderung pergi ke kota untuk

mencari pekerjaan pada sektor industri. Akibatnya, sektor pertanian tidak

tergarap secara baik karena kekurangan tenaga kerja di satu sisi dan

ketidakmampuan masyarakat memanfaatkan teknologi pertanian di sisi lain.

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi mengakibatkan kemampuan

pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi menjadi semakin lemah. Sektor

industri tidak mampu bersaing dengan industri negara-negara tetangga.

5

Page 4: Ad Hist Ya

Demikian juga dengan sektor pertanian, di mana hasil pertanian seperti

buah-buahan yang dijualbelikan di mall-mall merupakan hasil impor.

Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang dilaksnakan pemerintahan

Orde Baru tidak didasarkana pada sumber daya alam maupun sumber daya

manusia Indonesia.

c. Krisis Politik

Sebenarnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak terlalu peduli

terhadap model atau sistem politik yang dibangun oleh pemerintahan Orde Baru.

Yang penting masyarakat dapat memperoleh kemudahan dalam mendapatkan

pekerjaan, meningkatkan pendapatan, dan memnuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat hanya mendambakan kehidupan

yang tertib, tenang, damai, aman, serta adil dalam kemakmuran dan makmur

dalam keadilan.

Namun dalam kenyataannya, dambaan masyarakat itu tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan politik yang dibangun pemerintahan Suharto. Bahkan,

segala kebijakan pembangunan nasional bersumber dari kebijakan politi

pemerintah. Oleh karena itu, ketika harapan masyarakat tidak dapat terpenuhi,

maka muncul tuntutan-tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib

masyarakat kecil.

Di sisi lain, kehidupan politik yang represif (yaitu suatu pemerintahan yang

ditandai dengan tekanan-tekanan) telah melahirkan konflik, kerusuhan, dan

kekacauan sehingga masyarakat merasa cemas dan khawatir karena ketenangan,

ketenteraman, dan keamanannya terancam. Bahkan, kerusuhan dan kekacauan itu

dapat menghentikan aktivitas masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Keadaan itulah menyebabkan terjadinya krisis politik. Sementara, pemerintahan

Orde Baru sendiri tidak mampu mengatasi krisis politik yang berkembang. Oleh

karena itu, satu-satunya jawaban yang dipandang paling realistik adalah menuntut

Presiden Suharto untuk mengundarkan diri dari jabatannya sebagai presiden.

6

Page 5: Ad Hist Ya

Pemerintahan Orde Baru dan Presiden Suharto dipandang sudah tidak mampu

menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik sehingga perlu diganti.

d. Krisis Sosial

Krisis moneter, ekonomi, dan politik terus melanda kehidupan bangsa dan

negara Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, harapan terjadinya

perbaikan kehidupan masyarakat tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera

datang. Berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

hidup dan kehidupannya semakin hari semakin bertambah berat.

Demonstrasi-demonstrasi yang dipelopori para mahasiswa telah mendorong

terjadinya krisis sosial. Kerusuhan, kekacauan, pembakaran, dan penjarahan

merupakan fenomena yang terus terjadi di beberapa daerah seperti di Situbondo,

Tasikmalaya, Kalimantab Barat, dan Pekalongan. Di samping itu, banyaknya

pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) telah menambah krisis

sosial. Kenyataan itu merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah dalam

menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Oleh

karena itu, tidak berlebihan apabila masyarakat kemudian menuntut agar Presiden

Suharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.

e. Krisis Hukum

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum

dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi

pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak

mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman dan

seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara.

Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak

dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan

bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan

dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hukum

(peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat

7

Page 6: Ad Hist Ya

terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto. Untuk mengatasi

krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan adalah melaksanakan

reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para mahasiswa sebagai

pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan.

Misalnya, adili Suharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintahan yang

bersih dari KKN, tegakkan supremasi hukum. Untuk memenuhi tuntutan

mahasiswa, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh

nasional untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama

dan tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolak panggilan dan ajakan Suharto

sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.

2.2 Gerakan Reformasi

Pepatah yang mengatakan bahwa tiada yang kekal di dunia ini pantas

dialamatkan kepada pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto yang

telah berkuasa selama 32 tahun. Krisis multidimensi yang melanda negeri tercinta

ini telah menjadi penyebab lahirnya gerakan reformasi dan jatuhnya pemerintahan

Orde Baru pada tahun 1998. Bagaimanakah proses lahirnya gerakan reformasi

dan jatuhnya pemerintahan Orde Baru? Persoalan ini layak untuk disimak dan

dicermati karena mengandung pelajaran yang berharga dalam membangun

kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik pada masa yang akan datang.

2.2.1 Lahirnya Reformasi

Reformasi merupakan suatu perubahan tatatan perikehidupan lama ke

tatanan perikehidupan baru yang lebih baik. Gerakan reformasi yang terjadi di

Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk

melakukan perubahan dan pembaruan, terutama perbaikan tatanan perikehidupan

dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Dengan demikian, gerakan

reformasi telah memiliki formulasi atau gagasan tentang tatanan perikehidupan

baru menuju terwujudnya Indonesia baru. Gerakan reformasi merupakan sebuah

perjuangan karena hasil-hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu yang singkat.

8

Page 7: Ad Hist Ya

Hal ini dapat dimaklumi karena gerakan reformasi memiliki agenda

pembaruan dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu, semua agenda

reformasi tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dan dalam

waktu yang singkat. Agar agenda reformasi dapat dilaksanakan dan berhasil

dengan baik, maka perlu disusun strategi yang tepat, seperti:

a) Menetapkan prioritas, yaitu menentukan aspek mana yang harus

direformasi

b) lebih dahulu dan aspek mana yang direformasi kemudian.

c) Melaksanakan kontrol agar pelaksanaan reformasi dapat mencapai

tujuan dan sasaran secara tepat.

Reformasi yang tidak terkontrol akan kehilangan arah, dan bahkan

cenderung menyimpang dari norma-norma hukum. Dengan demikian, cita-cita

reformasi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia akan gagal.

Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan reformasi

adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-

harga sembilan bahan pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng,

minyak tanah, gula, susu, telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang

tinggi. Bahkan, warga masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.

Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak

menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan politik dan

ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat

Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.

Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat

yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945. Oleh karena itu, tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk

memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2.2.2 Sebab-sebab Lahirnya Reformasi

Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor

atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak

muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama

9

Page 8: Ad Hist Ya

ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Pemerintahan Orde

Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten

dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya

tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Masih

ingatkahkamu akan pengertian Orde Baru?

Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan

penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang

tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila

dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan.

Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang

menjadi penyeba umum lahirnya gerakan reformasi, seperti:

a. Krisis politik

Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai

kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang

dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka

pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam

rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya.

Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi

yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa.

Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh,

danuntuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk

penguasa.Pemerintahan Orde Baru selalu melakukan intervensi terhadap

kehidupan politik. Misalnya, ketika Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua partai, sedangkan pemerintahan

Suharto menunjuk Drs. Suryadi sebagai ketua PDI. Kejadian itu mengakibatkan

keadaan politik dalam negeri mulai memanas. Namun, pemerintahan Orde Baru

yang didukung Golongan Karya (Golkar) merasa tidak bersalah. Keadaan itu

sengaja direkayasa oleh pemerintah dalam rangka memenangkan pemilihan

umum secara mutlak seperti tahun-tahun sebelumnya.

10

Page 9: Ad Hist Ya

Rekayasa-rekayasa politik terus dibangun oleh pemerintah Orde Baru

sehingga pasal 2 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Pasal 2 UUD 1945 berbunyi bahwa: ‘Kedaulatan ada di tangan rakyat dan

dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Namun dalam

kenyataannya, kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu. Anggota

MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggota MPR itu

diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Oleh karena itu, tidak

mengherankan apabila anggota MPR/DPR terdiri dari para istri, anak, dan kerabat

dekat para pejabat negara.

Keadaan itu mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya masyarakat

terhadap institusi pemerintah, MPR, dan DPR. Ketidakpercayaan itulah yang

menyebabkan lahirnya gerakan reformasi yang dipelopori para mahasiswa dan

didukung oleh para dosen maupun kaum cendekiawan. Mereka menuntut agar

segera dilakukan pergantian presiden, reshuffle kabinet, menggelar Sidan

Istimewa MPR, dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya.

Gerakan reformasi menuntut untuk melakukan reformasi total dalam segala

bidang kehidupan, termasuk keanggotaan MPR dan DPR yang dipandang sarat

KKN.

Di samping itu, gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaruan

terhadap lima paket Undang-Undang Politik yang dianggap sebagai sumber

ketidakadilan (lihat dalam bok di bawah ini). Keadaan partaipartai politik dan

Golkar dianggap tidak mampu menampung dan memperjuangkan aspirasi

masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional selama pemerintahan Orde Baru

dipandang telah gagal mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dalam

kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Bahkan, pembangunan nasional

mengakibatkan terjadinya ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.

Krisis politik semakin memanas, setelah terjadi peristiwa kelabu pada

tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa itu sebagai akibat pertikaian internal dalam tubuh

PDI. Kelompok PDI pimpinan Suryadi menyerbu kantor pusat PDI yang masih

ditempati oleh PDI pimpinan Megawati. Peristiwa itu menimbulkan kerusuhan

11

Page 10: Ad Hist Ya

yang membawa korban, baik kendaraan, rumah, pertokoan, perkantoran, dan

korban jiwa. Pada dasarnya, peristiwa itu merupakan ekses dari kebijakan dan

rekayasa politik yang dibangun pemerintahan Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya

tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang

berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah

dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik

Indonesia).

2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu

atau demokrasi rekayasa.

3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan

masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.

4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga

negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun

Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi

pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis. Ciri-ciri

itulah yang menjadi isi tuntutan atau agenda reformasi di bidang politik.

Sepanjang tahun 1996, telah terjadi pertikaian sosial dan politik dalam

kehidupan masyarakat. Kerusuhan terjadi di mana-mana, seperti pada bulan

Oktober 1996 di Situbondo (Jatim), Desember 1996 di Tasikmalaya (Jabar) dan di

Sanggau Ledo yang meluas ke Singkawang dan Pontianak (Kalbar). Ketegangan

politik terus berlanjut sampai menjelang Pemilu Tahun 1997 yang berubah

menjadi konflik antar etnik dan agama. Pada bulan Maret 1997, terjadi kerusuhan

di Pekalongan (Jateng) yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan,

kerusuhan di Banjarmasin meminta korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.

Keadaan itulah yang ikut mendorong lahirnya gerakan reformasi. Kekecewaan

rakyat semakin memuncak ketika semua fraksi di DPR/MPR mendukung

pencalonan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998- 2003. Dalam

12

Page 11: Ad Hist Ya

Sidang Umum MPR bulan Maret 1998, Suharto terpilih sebagai Presiden RI dan

B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden untuk masa jabatan 1998- 2003. Bahkan,

MPR menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan kewenangan khusus

kepada presiden untuk mengendalikan negara. Semua itu tidak dapat dipisahkan

dari komposis keanggotaan MPR yang lebih mengarah pada hasil-hasil

nepotisme. Misalnya, menangkap orang-orang yang dianggap membahayakan

kekuasaannya, pembentukkan Tim Penembak Khusus (Petrus), pembentukkan

dewan-dewan untuk kepentingan kekuasaannya, dan sebagainya.

Kekecewaan masyarakat terus bergulir dan berusaha menekan

kepemimpinan Presiden Suharto melalui berbagai demonstrasi. Para mahasiswa,

anggota LSM, cendekiawan semakin marah ketika beberapa aktivitis ditangkap

oleh aparat keamanan. Gerakan reformasi tidak dapat dibendung dan dipandang

sebagai satu-satunya jawaban untuk menata kehidupan masyarakat Indonesia

yang lebih baik.

b. Krisis hukum

Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas

pada bidang politik. Dalam bidang hukumpun, pemerintah melakukan intervensi.

Artinya, kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani

kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh

keadilan.

Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Kenyataan

itu bertentangan dengan ketentuan pasa 24 UUD 1945 yanf menyatakan bahwa

‘kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan

pemerintah (eksekutif)’.

Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa, masalah

hukum telah menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya

reformasi di bidang hukum agar setiap persoalan dapat ditempatkan pada

posisinya secara proporsional. Terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan

masyarakat, salah satunya disebabkan oleh sistem hukum atau peradilan yang

tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, para mahasiswa menuntut

13

Page 12: Ad Hist Ya

agar reformasi di bidang hukum dipercepat pelaksanaannya. Kekuasaan

kehakiman yang merdeka merupakan salah pilar terwujudnya kehidupan yang

demokratis, sekaligus sebagai wahana untuk mengadili seseorang sesuai dengan

kesalahannya.

c. Krisis ekonomi

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996

mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ternyata, ekonomi

Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis

ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar

Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp

2,575.oo menjadi Rp 2,603.oo per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember

1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp

5,000.oo per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus

melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.oo per dollar.

Melemahnya nilai tukar rupaih mengakibatkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia menjadi 0% dan iklim bisnis semakin bertambah lesu. Kondisi moneter

Indonesia mengalami keterpurukan dan beberapa bank harus dilikuidasi pada

akhir tahun 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah

membentuk

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Ternyata, usaha pemerintah itu tidak dapat

memberikan hasil karena pinjaman bank-bank bermasalah justru semakin besar.

Keadaan di atas mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hutang

yang sangat besar dan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia

semakin menurun dan gairah investasi pun semakin melemah. Akibatnya,

pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Angka penganggguran

pun terus meningkat dan daya beli masyarakat terus melemah. Kesenjangan

ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin melebar seiring dengan

terjadinya krisis ekonomi.

14

Page 13: Ad Hist Ya

Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk pada akhir tahun 1997

sebagai akibat persediaan sembako semakin menipis dan menghilang dari pasar.

Akibatnya, harga-harga sembako semakin tinggi. Kekurangan makanan dan

kelaparan melanda beberap wilayah Indonesia, seperti di Irian Barat (Papua),

Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah di pulau Jawa.

Untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah meminta bantuan kepada Dana

Moneter Internasional (IMF). Namun, bantuan dana dari IMF belum dapat

direalisasikan. Padahal, pemerintah Indonesia telah menandatangani 50 butir

kesepahaman, Letter of Intent (LoI) pada tanggal 15 Januari 1998. Krisis ekonomi

yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:

1) Hutang Luar Negeri Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia yang

sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu

bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap

upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi. Sampai bulan Februari 1998,

sebagaimana disampaikan Radius Prawiro pada Sidang Pemantapan Ketahanan

Ekonomi yang dipimpin Presiden Suharto di Bina Graha, hutang Indonesia telah

mencapai 63,462 dollar Amerika Serikat, sedangkan hutang swasta mencapai

73,962 dollar Amerika Serikat.

2) Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945. Pemerintah Orde Baru ingin

menjadikan negara RI sebagai negara industri. Keinginan itu tidak sesuai dengan

kondisi nyata masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah

masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).

Oleh karena itu, mengubah Indonesia menjadi negara industri merupakan tugas

yang sangat sulit karena masyarakat Indonesia belum siap untuk bekerja di sektor

industri. Itu semua merupakan kesalahan pemerintahan Orde Baru karena tidak

dapat melaksanakan pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan konsekuen.

3) Pemerintahan Sentralistik. Pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik

sifatnya sehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu,

peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya

sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Misalnya, dalam bidang ekonomi,

15

Page 14: Ad Hist Ya

di mana semua kekayaan diangkut ke Jakarta sehingga pemerintah daerah tidak

dapat mengembangkan daerahnya. Akibatnya, terjadilah ketimpangan ekonomi

antara pusat dan daerah. Keadaan itu mempersulit Indonesia dalam mengatasi

krisis ekonomi karena daerah tidak tidak mampu memberikan kontribusi yang

memadai.

d. Krisis sosial

Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis

sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan

terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu

berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Pelaksanaan

hukum yang berkeadilan sering menimbulkan ketidakpuasan yang mengarah227

pada terjadinya demonstrasi-demonstrasi maupun kerusuhan. Sementara,

ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap

krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-

harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang

rentan terhadap krisis sosial.

Krisis sosial dapat terjadi di mana-mana tanpa mengenal waktu dan tempat.

Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dapat menjadi factor penentu karena

sebagian besar warga masyarakat tidak mampu mengendalikan dirinya.

Sementara, para mahasiswa dan para cendekiawan dengan kemampuannya dapat

mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Untuk itu, salah satu jalan yang sering

ditempuh adalah melakukan demonstrasi secara besar-besaran. Semangat para

mahasiswa telah mendorong para buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk

melakukan demonstrasi. Semua itu merupakan sumber krisis sosial.

Demonstrasi-demonstrasi yang tidak terkendali mengakibatkan kehidupan di

perkotaan diliputi kecemasan, rasa takut, tidak tenteram dan tenang. Situasi yang

tidak terkendali telah mendorong sebagian masyarakat, terutama dari etnis Cina

untuk memilih pergi ke luar negeri dengan alasan keamanan.

e. Krisis kepercayaan

16

Page 15: Ad Hist Ya

Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi

kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto

Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang

demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan

pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah

melahirkan krisis kepercayaan. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh

para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga

BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi mahasiswa

terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa

yang berlangsung secara damai telah berubah menjadi aksi kekerasan, setelah

tertembaknya empat orang mahasiswa, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hendriawan

Lesmana, Heri Hertanto, dan Hafidhin Royan. Sedangkan para mahasiswa yang

menderita luka ringan dan luka parah pun tidak sedikit jumlahnya, setelah bentrok

dengan aparat keamanan yang berusaha membubarkan para demonstran.

Pada waktu tragedi Trisakti terjadi, Presiden Suharto sedang menghadiri

KTT G-15 di Kairo, Mesir. Masyarakat menuntut Presiden Suharto sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan bertanggung jawab atas tragedi tersebut.

Pada tanggal 15 Mei 1998, Presiden Suharto kembali ke Tanah Air dan

masyarakat menuntut agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Bahkan,

beberapa kawan terdekatnya mendesak agar Presiden Suharto segera

mengundurkan diri. Dengan demikian, tuntutan pengunduran diri itu tidak hanya

datang dari para mahasiswa dan para oposisi politiknya.

Kunjungan para mahasiswa ke gedung DPR/MPR yang semula untuk

mengadakan dialog dengan para pimpinan DPR/MPR telah berubah menjadi

mimbar bebas. Para mahasiswa lebih memilih tetap tinggal di gedung wakil

rakyat itu, sebelum tuntutan reformasi total dipenuhinya. Akhirnya, tuntutan

mahasiswa tersebut mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan

DPR/MPR. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR mengeluarkan

pernyataan agar Presiden Suharto mengundurkan diri. Namun, himbauan

pimpinan DPR/MPR agar Presiden Suharto mengundurkan diri dianggap sebagai

17

Page 16: Ad Hist Ya

pendapat pribadi oleh pimpinan ABRI. Oleh karena itu, ketidakjelasan sikap elite

politik nasional telah mengundang banyak mahasiswa untuk berdatangan ke

gedung DPR/MPR.

Untuk menyikapi perkembangan yang terjadi, Presiden Suharto mengadakan

pertemuan dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta.

Kemudian, Presiden Suharto mengumumkan tentang pembentukan Dewan

Reformasi, perombakan Kabinet Pembangunan VII, segera melakukan Pemilu,

dan tidak bersedia dicalonkan kembali. Namun, usaha Presiden Suharto tersebut

tidak dapat dilaksanakan karena sebagian besar orang menolak untuk duduk

dalam Dewan Reformasi dan seorang menteri menyatakan mundur dari

jabatannya. Keadaan itu merupakan bukti bahwa Presiden Suharto telah

menghadapi krisis kepercayaan, baik dari para mahasiswa, aktivis LSM, pihak

oposisi, para cendekiawan, tokoh agama dan masyarakat, maupun dari

kawankawan terdekatnya.

Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto menyatakan

mengundurkan diri (berhenti) sebagai Presiden RI dan menyerahkan kekuasaan

kepada Wakil Presiden. Pada saat itu juga Wakil Presiden B.J. Habibie diambil

sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang

baru di Istana Negara.

2.2.3 Kronologi Reformasi

Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi dapat dipaparkan sebagai

berikut:

a) Sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J. Habibie

sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.

Presiden Suharto membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.

Kondisi kehidupan bangsa dan negara tidak kunjung membaik.

Perekonomian nasionalsemakin memburuk dan masalah-masalah sosial

semakin menumpuk. Keadaan itu menimbulkan keprihatinkan dan

kekhawatiran rakyat Indonesia.

18

Page 17: Ad Hist Ya

b) Pada bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai

bergerak menggelar demonstrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut

penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako), penghapusan KKN,

dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan. Semakin bertambahnya

para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyebabkan aparat

keamanan kewalahan dan terjadilah bentrok antara para mahasiswa dan

aparat keamanan.

c) Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa

Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan

yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery

Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas

dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat

mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan

kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar-besaran.

d) Pada tanggal 13-14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi

kerusuhan massal dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami

kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan isinya dijarah,

bahkan ratusan orang mati terbakar.

e) Pada tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan

tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.

Pada saat yang bersamaan, tidak kurang dari satu juta manusia berkumpul di

alunalun utara Keraton Yogyakarta untuk menghadiri pisowanan agung,

guna mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan

Sri Paku Alam VII. Inti isi maklumat tersebut adalah ‘anjuran kepada

seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa’.

f) Pada tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR

mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Suharto

mengundurkan diri.

g) Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-

tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan

19

Page 18: Ad Hist Ya

dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh

Presiden Suharto. Namun, usaha itu mengalami kegagalan karena sebagian

tokohtokoh yang diundang menolak untuk duduk dalam Dewan Reformasi

itu. Sementara, mahasiswa di gedung DPR/MPR tetap menuntut Suharto

turun dari kursi kepresidenan.

h) Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden

Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan

beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945,

kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.

Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik

menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.

2.3 Orde Reformasi

Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat

semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah

masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tak aneh. Salah satu

manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan partai, sesuatu

yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan

itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.

Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai

dari kalangan pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah.

Apakah mereka mampu menampilkan sebuah format komunikasi politik yang

bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ? Pertanyaan ini sangat menentukan

karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-sifat distrik

dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang

yang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan

masyarakat.

Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan

banyak isyarat tentang keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya

menampilkan sebuah aksi yang lebih dewasa dan bukannya emosional.

20

Page 19: Ad Hist Ya

Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena puluhan partai akan

terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat

daerah atau pusat.

Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya

tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep

Greetz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan

wilayah perkotaan.Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis,

berfikir sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai

kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional,

pragmatis dan kadang-kadang apatis.

Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih,

barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami

Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat

yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain

sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung

tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan.

Pakar komunikasi Dan Nimmo[5] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang

pemilih ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama

ia kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu

mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan

menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif.

Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu

agama, sosisoekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye

yang dibawakan partai.

Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori

ketiga yakni pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald

Pomper yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika

pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah

impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang

berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara.

21

Page 20: Ad Hist Ya

Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif,

kata Dan Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi

makna untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur

sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para

aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.

Di sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu

mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu

memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis

ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan

masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde Baru

diperlakukan dengan manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan.

Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan terima kasih sepatahpun.

Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti

sesungguhnya. Tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang

langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya untuk para aktivis di daerah, bukanlah

sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik jarang digunakan

dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru.

Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk

memberikan solusi realitis dalam menjaga agar mereka yang korup tidak lagi

memegang peranan dalam pengambilan kebijakan.

Pabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa

berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari

adanya ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan

selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga

pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam

menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga

Indonesia dan warga dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir.

Mengkotak-kotakkan ummat dalam menyampaikan pesan-pesan politik partai

akan melahirkan perpecahan yang sulit sembuhnya. Pengalaman tahun 1950-an

22

Page 21: Ad Hist Ya

dan 1960-an banyak memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak dipatok

begitu saja sehingga cara berpikirpun berhenti.

2.4 Dampak Hutang Luar Negeri di Era Reformasi

Hutang luar negeri yang dilakukan selama 1950-1988 telah menempatkan

Indonesia sebagai salah satu negara penghutang terbesar dan sebagai salah satu

negara yang sangat tergantung pada hutang luar negeri. Pada akhir tahun 1988

hutang sejumlah US 52,8 milyar merupakan lebih dari setengah Produk Nasional

Bruto dan hampir dua kali lipat nilai ekspor barang dan jasa. Tujuh puluh persen

dari jumlah itu adalah hutang pemerintah yang berjangka menengah dan panjang.

Pinjaman baru pemerintah menyumbang 30% terhadap total pengeluaran

pemerintah dalam tahun anggaran 1988/89.

Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia

mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah

telah bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari

pemerintah negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga

keuangan swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan

pembayaran hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi

perekonomian Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah

mengalami kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan

puluhan menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan

itu di masa depan. Kenaikan tingkat bunga uang dipasar internasional dan resesi

dunia yang menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan

mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga

tahun setelahnya.

Kemudian dilanjutkan dengan krisis moneter melanda Thailand, pada tahun

1997 dimana pemerintah Indonesia juga sejumlah pakar ekonomi berkeyakinan

bahwa krisis moneter Thailand tidak akan berpengaruh terhadap ekonomi

Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Keyakinan bahwa

fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat ini dibangun atas dasar indikator-

23

Page 22: Ad Hist Ya

indikator ekonomi makro. Argumentasi yang disungguhkan pemerintah dan para

pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan laju

inflasi yang terkendali, dibawah dua digit. Akan tetapi selang waktu yang tidak

terlalu lama setelah krisis moneter Thailand, nilai tukar rupiah terdepresiasi

terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis

kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial yang kemudian

mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah panas.

Pada gelombang ke dua krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis

moneter, kepercayaan dan krisis sosial sehingga timbullah krisis ekonomi yang

makin lama makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini

memperkuat krisis yang lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious

circle,(BasalimetAl.2000).

Kini ketika beberapa negara lain yang juga terkena krisis ekonomi termasuk

Thailand, sudah bangkit kembali perekomiannya, Indonesia masih juga terpuruk-

puruk dalam kondisi ketidakpastian mengenai masa depan pembangunan

ekonominya. Menyikapi secara kritis sikap optimis pemerintah dan sejumlah

pakar maka setiadaknya menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar yaitu

berkenaan dengan landasan teoritis yang dipergunakan untuk mensikapi data-data

makroekonomi Indonesia, memadaikah pendekatan tersebut yang selama ini

dipakai pemerintah dan para pakar untuk menjelaskan kait-mengkait berbagai

variabel makroekonomi Indonesia?. Kemudian apabila pendekatan teoritis yang

dikemukakan memadai oleh pemerintah dan para pakar yang selama ini dan

diyakini akan tetapi sudah benarkah pembacaan data yang dilakukan pemerintah

dan para pakar tersebut dalam mengambil kesimpulan empiris yang mendasari

sikap optimis terhadap fundamental ekonomi Indonesia?.

Untuk menyikapi beberapa pertanyaan diatas tentu sangat perlu mengkaji

dari hasil hasil penelitian lebih lanjut keterkaitan hutang luar negeri terhadap

variabel makroekonomi yaitu investasi asing yang berdampak terhadap

pendapatan nasional Indonesia. Dari hasil penelitian Arif dan Sasono (1984)

dalam periode 1970-1977 bahwa hutang luar negeri bersama dengan investasi

24

Page 23: Ad Hist Ya

asing langsung berpengaruh negatif dan hutang luar negeri ternyata juga terus

menerus mengalami penurunan kemampuan dalam membiayai impor barang dan

jasa. Kemampuan impor ini yang diukur dengan membandingkan nilai hutang

luar negeri bersih dengan nilai impor barang dan jasa telah turun sebesar 24%

untuk priode 1970/1971 den menjadi 7% tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia

terpaksa harus melakukan pinjaman baru untuk membiayai surplus impor

sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan menggunakan metodologi

yang dikembangkan Dornbusch (1985) dan Click (1986) sebab-sebab kenaikan

stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari aspek domestik dan

aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang dunia. Aspek

domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan

pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan pemerintah

dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah untuk

membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber

dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta. Sedangkan

dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri adalah

kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian defisit

neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti arus modal

masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk

cadangan devisa atau membiayai pelarian modal keluar.

Studi lain Arief dan Sasono (1987) berkaitan dengan hutang luar negeri

dengan investasi asing menemukan bahwa koefisien regresi yang negatif

meskipun secara statistik tidak signifikan. Namun jelas menolak hipotesis ini

yang menyatakan hutang luar negeri dan investasi asing langsung mendorong

pertumbuhan ekonomi sehingga adanya growth promoting effect tetapi juga

terdapat proses growth defeating. Sedangkan penelitian Kuncoro (1988) meneliti

tentang dampak arus modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi dan tabungan

domestik selama tahun 1969-1984. Hasil temuannya menyimpulkan bahwa

bantuan luar negeri membawa dampak langsung dan dampak total yang negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak positif terhadap tabungan dalam

25

Page 24: Ad Hist Ya

negeri. Hasen dan Rand (2004) memperlihatkan bahwa FDI memiliki pengaruh

terhadap GDP baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sedangkan GDP

hanya memperlihatkan pengaruh jangka pendek terhadap FDI. Sementara

penelitian Chowdhury dan Mavrotas (2003) untuk kasus Tahiland dan Malaysia

dengan analisis Todar-Yamamoto dalam kurun waktu 1969-2000 menemukan

bahwa terhadap hubungan kausalitas dua arah antara FDI dengan GDP.

Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kenaikan hutang

luar negeri Indonesia dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama defisit neraca

berjalan disebabkan defisit neraca jasa yang terlalu besar yang tidak dibiayai

dengan arus modal masuk yang berjangka panjang. Dalam hal ini diasumsikan

bahawa defisit neraca berjalan dibiayai terutama dengan arus modal berjangka

panjang yang tidak berbentuk hutang kemudian sisanya baru dengan pinjaman

luar negeri, kedua penggunaan pinjaman luar negeri untuk menambah cadangan

devisa yang dimiliki baik oleh otoritas moneter maupun bank-bank umum dan

ketiga pelarian modal swasta yang mencakup seluruh kehilangan devisa dari

sistem moneter.

Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan

yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan

munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan

segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers

Indonesia.

Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari

masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan

ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab

sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu

dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada

konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan

benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan

se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat

dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.

26

Page 25: Ad Hist Ya

Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers

Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu

sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat

media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi

lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri

media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan

fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah

antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan

pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang

bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena

berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media

yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut

cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak

mengumbar kecabulan.

Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat

informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain,

biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada

masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering

kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers,

menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara

atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.

Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini.

Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini,

eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk

menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.

Ide tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku

industri pers di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini.

Satu sisi, yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan

pandangan teori tanggung jawab sosial.

27

Page 26: Ad Hist Ya

Menurut pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak

alamiah yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh

pemerintahan. Dengan asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor

sebagai kejahatan. Hal ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor

melanggar hak alamiah manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor

memungkinkan tiran mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan

kepentingan orang banyak. Ketiga, sensor menghalangi upaya pencarian

kebenaran. Untuk menemukan kebenaran, manusia membutuhkan akses terhadap

informasi dan gagasan, bukan hanya yang disodorkan kepadanya.

Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita

membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible

press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola

media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan

kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press). Di

bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla,

kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan

kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli

apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan

rakyat.

Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi

kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak,

baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan

kepentingan sasaran (publik media).

Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik

untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan

sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan publik

terhadap pemimpinnya dapat terwujud.

2.5 Dampak Negatif Reformasi Terhadap Paham Keagamaan

28

Page 27: Ad Hist Ya

Agama Islam dan Kristen, termasuk, sebenarnya merupakan agama satu

rumpun. Ketiga agama tersebut disebut dengan three abrahamic faith karena

mereferensikan bentuk keimanannya kepada iman Ibrahim. Berbagai narasi yang

menjadi teladan ketiga agama diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang sama, seperti

Kisah Adam dan Hawa, kisah Nuh, Kisah Luth dan kaumnya, dan sebagainya.

Dalam Islam, akar kesejarahan agama Islam tersebut dibakukan dalam salah satu

rukun iman, yaitu iman kepada rasul-rasul Allah.

Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa ketegangan antarumat beragama

yang paling berdarah terjadi di antara ketiga umat tersebut. Perang salib dan

gerakan anti-Yahudi di Eropa adalah perwujudan antagonisme antarumat pemeluk

tiga agama tersebut. Kemesraan hubungan antara ketiga pemeluk agama

seringkali hanya seperti anomie, sebuah kondisi tidak mapan, dibandingkan

dengan ketegangan-ketegangan yang menyelimuti hubungan antara ketiga

pemeluk agama tersebut.

Indonesia yang sejak lama membanggakan bhinneka tunggal ika dan

toleransi antarumat beragama pun tidak mampu menyembunyikan ketegangan

tersebut dari penglihatan dunia internasional. Semenjak awal Era Orde Baru,

ketegangan antara umat Islam dan Kristen menunjukkan grafik yang terus naik.

Runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1966 menandai awal dari

seri pertikaian panjang antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia.

Konversi para mantan anggota PKI ke salah satu agama menjadi amunisi panjang

perdebatan dan pertikaian umat Islam dan Kristen di Indonesia. Isu kristenisasi di

daerah-daerah berbasis massa muslim dan isu islamisasi di daerah-daerah berbasis

massa Kristen menandai sebuah Awal dari fase terburuk hubungan kedua belah

pihak semenjak Era Kolonial. 

Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama,

antarumat beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah

tidak mampu berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua

pemeluk agama. Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30

November 1968 yang ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah

29

Page 28: Ad Hist Ya

Umat Beragama pada pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju

ketegangan yang akhirnya membawa kepada konflik.

Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama,

antarumat beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah

tidak mampu berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua

pemeluk agama. Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30

November 1968 yang ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah

Umat Beragama pada pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju

ketegangan yang akhirnya membawa kepada konflik.

Pada awal tahun 1990-an terjadi beberapa ketegangan terbuka antara

pemeluk Islam dan pemeluk Nasrani. Kasus Tabloid Monitor, perayaan Natal

bersama, unjuk rasa dan perusakan terhadap gereja-gereja maupun masjid,

kerusuhan Rengasdengklok-Karawang, amuk massa di Purwakarta dan juga di

Situbondo tahun 1992 menandai konflik terbuka di Era kekuasaan Orde Baru.

Jikalau masa Orde Baru dipandang sebagai titik kulminasi ketegangan umat

Islam dengan umat Kristen, era Reformasi merupakan era di mana ketegangan

tersebut memperoleh momentum untuk menjadi konflik terbuka. Era reformasi

adalah sebuah titik balik dari kehidupan sosial-politik yang tersentralisir dengan

pendekatan keamanan yang dominan di masa Orde Baru. Era reformasi dimulai

dengan jatuhnya Presiden Suharto setelah didemo secara besar-besaran oleh para

mahasiswa di seluruh Indonesia, yang sebagian di antaranya menduduki gedung

MPR.

Era Reformasi membuka kran politik yang tersumbat sehingga aspirasi

masyarakat mengalir deras sebagai perwujudan eforia kebebasan. Aturan pers

yang semakin terbuka membuat wacana publik menjadi ajang pertukaran gagasan

sampai alat untuk mengemukakan gosip politik ke tengah-tengah masyarakat.

Hubungan Islam-Kristen pada Era Reformasi pun mulai kepada sebuah

babak baru. Ketegangan yang terjadi pada masa Orde Baru biasanya dilokalisir

oleh pemerintah dan dicarikan solusi bersama, meskipun sering tidak cukup

efektif sekarang memperoleh momentum untuk meledak menjadi konflik sosial.

30

Page 29: Ad Hist Ya

Kasus perusakan rumah ibadah masih tetap terjadi, bahkan dengan

pendekatan baru. Pada era reformasi terjadi peledakan Masjid Istiqlal dan disusul

dengan peledakan berbagai gereja di Tanah Air. Perilaku dan isu terorisme

berbagai ketegangan sosial yang terjadi di Indonesia. Isu-isu klasik masih tetap

mewarnai ketegangan dua kelompok agama tersebut, ditambah dengan beberapa

isu baru. Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso, Sulawesi

Tengah, merupakan babakan baru hubungan Islam Kristen di Indonesia. Di Nusa

Tenggara Timur, beberapa bangunan milik umat Islam mengalami perusakan. Hal

itu menunjukkan sebuah respon aktif dari pihak Kristen dalam menanggapi

tekanan umat Islam.

Di bidang pendidikan, keberadaan sekolah-sekolah Kristen dengan siswa

muslim menjadi persoalan tersendiri dalam hubungan Islam dan Kristen. Sebagai

sekolah dengan missi Kristen, sekolah-sekolah Kristen merasa perlu memberikan

pengajaran agama kepada para siswanya tanpa memandang agama mereka.

Apabila para siswa muslim bersekolah di sekolah Kristen, mereka wajib

mengikuti tta tertib sekolah, termasuk mengikuti pelajaran agama Kristen.

Kondisi tersebut tentu tidak menyenangkan umat Islam. Kenyataannya, bagi

orang-orang Islam yang belum memiliki pemahaman Islam yang baik, pelajaran

agama Kristen tersebut dapat berpengaruh besar terhadap mereka. Hal itulah yang

mendorong pemerintah, dengan Menteri Pendidikan Malik Fajar, untuk

mengajukan aturan baru agar persoalan tersebut dapat diselesaikan bersama

dengan persoalan pendidikan lainnya.

Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi perbaikan sistem

pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memberikan pijakan tentang arah

pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia. Secara prinsipil tidak ada hal

yang bermasalah dari undang-undang tersebut, kecuali persoalan tentang guru

agama bagi sekolah swasta yang berada di bawah organisasi keagamaan. Undang-

undang menyatakan bahwa sekolah harus menyediakan guru agama yang

seagama bagi murid-muridnya yang memeluk agama lain.

31

Page 30: Ad Hist Ya

Beberapa Kasus Konflik Pada Era Reformasi

1. Kasus Perusakan Tempat Ibadah dan Fasilitas Publik

2. Amuk Massa di Kupang

3. Amuk Massa di Ketapang

4. Amuk Massa di Mataram Nusa Tenggara Barat

5. Kasus Poso

6. Kasus Ambon-Maluku

7. Kontroversi Otonomi daerah dan Perda Syariat

8. Kontroversi Undang-undang Sisdiknas

9. Tsunami Aceh

32