ABSTRAK -...
Transcript of ABSTRAK -...
ABSTRAK
BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus
sp. Perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan
Riau Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Ita Karlina, S.Pi., M.Si dan Fadhliyah Idris,
S.Pi., M.Si.
Penelitian mengenai Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. telah
dilakukan di perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang, Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui kepadatan strombus sp. dan
keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kepadatan strombus sp. di perairan Sekatap.
Penelitian ini dilakukan dengan metode acak sebanyak 30 titik menggunakan plot
berukuran 1x1 meter. Hasil penelitian ditemukan 3 jenis lamun yaitu, Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis dan 2 jenis Strombus sp.
yaitu Strombus canarium dan Strombus turturella. Komposisi jenis lamun yang paling
tinggi dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak berada pada jenis
Enhalus acoroides dengan persentase nilai sebesar 54%. Berdasarkan hasil penelitian
kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan Gonggong,
artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi Kepadatan Gonggong
sebesar 0,1808 individu. Dengan nilai R-square sebesar 0.9332 yang berarti sebesar
93,32% data yang diambil dapat menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun
terhadap Kepadatan Siput Gonggong.
Kata kunci : lamun, kerapatan, strombus sp., tanjungpinang
ABSTRACT
BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Seagrass Density Relation with Strombus sp.
Waters of Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Riau Islands Province
Department of Marine Science, Faculty of Marine Science and Fisheries, Raja Ali Haji
Maritime University. Advisor by Ita Karlina, S.Pi., M.Si and Fadhliyah Idris, S.Pi.,
M.Si.
Research on Seagrass Density Relation with Strombus sp. Has been done in the
waters of Sekatap Kelurahan Dompak Tanjungpinang City, The purpose of this
research is to know Know the density of strombus sp. And the relation between
seagrass density and density of strombus sp. In the waters of Sekatap. This research
was conducted by random method as much as 30 point using plot measuring 1x1 meter.
The results of the study found three types of seagrasses, namely, Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, and Halodule uninervis and 2 types of Strombus sp. Namely
Strombus canarium and Strombus turturella. The highest seagrass species composition
in the research location is Sekatap Kelurahan Dompak waters located in Enhalus
acoroides type with percentage value of 54%. Based on the research of seagrass density
has a negative relation to density of strombus, meaning that every increase of 1 density
of seagrass will reduce the density of strombus equal to 0,1808 individual. With R-
square value of 0.9332 which means 93.32% of data taken can explain the relationship
between Seagrass Density to Strombus Density.
Keyword : Seagrass, density, strombus sp., Tanjungpinang
BAB I PENDAHULUAN
Kawasan pesisir merupakan
kawasan yang memiliki potensi
sumberdaya hayati yang beragam,
diantaranya ekosistem mangrove,
lamun, terumbu karang dan biota-biota
laut yang berasosiasi di dalamnya salah
satunya gastropoda. Perairan Sekatap
juga memiliki potensi sumberdaya
seperti gastropoda dan ekosistem
lamun. Gastropoda yang terdapat di
perairan Sekatap salah satunya adalah
siput gonggong (strombus sp.). Siput
gonggong merupakan salah satu jenis
gastropoda yang mendiami areal
pasang surut dengan substrat yang
ditumbuhi lamun.
Lamun merupakan salah satu
ekosistem yang terletak di daerah
pesisir. Ekosistem lamun juga tidak
terlepas dari peranannya sebagai daerah
pemijahan (sp.awning ground), tempat
pengasuhan (nursery ground), tempat
mencari makan (feeding ground), dan
daerah pembesaran (rearing ground)
bagi biota perairan (Kordi,. 2011).
Kelimpahan komunitas yang tinggi pun
akan dipengaruhi dengan tingkat
kerapatan lamun yang tinggi sebagai
habitat dan tempat tumbuhan akan
secara optimal.
Secara ekologis komunitas
gastropoda merupakan komponen yang
penting dalam rantai makanan di
padang lamun, beberapa jenis
gastropoda merupakan hewan dasar
pemakan detritus tersuspensi di dalam
air guna mendapatkan makanan
(Tomascik et al., 1997). Lamun juga
dapat menyokong rantai makanan dan
penting dalam proses siklus nutrien
serta sebagai pelindung pantai dari
ancaman erosi dan abrasi.
Jumlah permintaan siput gonggong
(strombus sp.) yang tinggi dengan cara
berlebihan tanpa memperhatikan
keberlangsungannya dikhawatirkan
menurunkan populasi siput gonggong
(strombus sp.) akan terus terjadi bahkan
diprediksi akan terjadi kepunahan.
Perlu adanya usaha dalam melestarikan
habitat melalui restoking dan
pembudidayaan untuk mengurangi
dampak dari adanya pengambilan stok
dialam secara berlebih, mengingat
masih banyaknya masyarakat yang
belum mengetahui keberadaan dan
pemanfaatan siput gonggong. Agar
didapatkan hasil yang optimal maka
perlu adanya penelitian dasar, dalam
hal ini perlu diteliti kepadatan siput
gonggong (strombus sp.) di habitatnya.
Manfaat dari penelitian ini yaitu
memberikan informasi kondisi kualitas
perairan, jenis-jenis lamun, jenis-jenis
siput gonggong (strombus sp.) dan
hubungan kerapatan lamun kepadatan
dengan siput gonggong (strombus sp.)
yang terdapat di perairan Sekatap.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Siput Gonggong
(strombus sp.) menurut (Wye., 1997 in
Utami., 2012) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Ordo : Neotaenioglossa
Famili : Strombidae
Genus : Strombus
Seperti halnya dengan kelas
Gastropoda lainnya, ciri-ciri siput
gonggong ialah memiliki cangkang
berbentuk asimetri seperti kerucut,
terdiri dari tiga lapisan periostraktum,
lapisan prismatik yang terdiri dari
kristal kalsium karbonat dan lapisan
nakre (lapisan mutiara). Siput
gonggong berjalan dengan perut dan
biasanya menggulung seperti ulir
memutar ke kanan, menggendong
cangkang yang berwarna coklat
kekuningan, kakinya besar dan lebar
untuk merayap dan mengeruk pasir atau
lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini
menghasilkan lendir, sehingga pada
tempat yang dilalui meninggalkan
bekas lendir. Cangkang digunakan
untuk melindungi diri dari serangan
musuh atau kondisi lingkungan yang
tidak baik (Zaidi et al., 2009).
Siput gonggong merupakan salah
satu spesies dari siput laut menengah,
yang termasuk dalam filum moluska
dan berada dalam keluarga strombidae
yang dianggap sebagai spesies
ekonomis penting di Indo-Pasifik
Barat. Pada tingkat individu dewasa
siput gonggong memiliki cangkang
berwarna coklat kekuningan. Panjang
maksimum cangkang dapat mencapai
100 mm, tetapi umumnya berukuran 65
mm (Utami., 2012).
Siput gonggong memiliki satu
cangkang yang memperlihatkan
perputaran spiral dengan sudut 180º,
disebut torsion (pilinan/putaran),
umumnya putaran cangkang bersifat
dekstral (kekanan), yaitu putaran yang
terjadi saat pertumbuhan berlawanan
dengan arah jarum jam.
Menurut (Siddik., 2011) ciri-ciri
gonggong lainnya ialah memiliki
cangkang berbentuk seperti kerucut,
terdiri dari tiga lapisan periostrakum,
lapisan prismatik yang terdiri dari
kristal kalsium karbonat dan lapisan
nacre (lapisan mutiara). Bentuk kepala
jelas, mempunyai tentakel, mata dan
radula serta probosis yang besar yang
berguna untuk menyapu dan menyedot
makanan yang bercampur dengan
lumpur yang berada di dasar perairan.
Sebagian besar jenis-jenis siput
mempunyai tutup cangkang yang
disebut operkulum yang menempel
pada kakinya. Pada saat sedang tidak
berjalan, operkulum ini menutupi
bagian bukaan cangkang (Kozloff,
1990 in Siddik, 2011). Operkulum
berbentuk pipih memanjang dan
bergerigi (Gambar 2), yang berfungsi
ganda untuk melindungi tubuh yang
berada dalam cangkang, dan sebagai
alat bantu berpindah tempat.
Di alam siput gonggong menyukai
habitat pasir berlumpur. Menurut
(Amini, 1986), siput gonggong banyak
terdapat hidup di perairan pantai
dengan dasar pasir berlumpur dan
kondisi perairan dimana banyak
ditemukan rumput laut. Sedangkan
menurut Dharma. (1988), Strombus
hidupnya diatas pasir, jika berjalan
seperti melompat-lompat dengan
menggunakan operkulum atau penutup
cangkangnya yang berbentuk seperti
pisau berduri.
Siput gonggong lebih bersifat
epifauna atau hidup di atas permukaan
substrat, walaupun hewan ini juga
memiliki kebiasaan membenamkan diri
pada waktu-waktu tertentu. Pemilihan
ini dikarenakan kegiatan mencari
makan dan reproduksi dilakukan di
permukaan substrat.
Siput gonggong termasuk hewan
hermaprodit, artinya siput gonggong
memiliki sel kelamin jantan dan betina
tetapi dalam proses perkawinannya
tidak bisa membuahi dirinya sendiri,
sehingga harus didahului dengan proses
perkawinan semu antara dua gonggong.
Tidak lama setelah melakukan
perkawinan semu gonggong akan
bertelur dan telur menetas bergantung
pada kondisi lingkungannya (Zaidi et
al., 2008).
Faktor utama yang menentukan
penyebaran, kepadatan, dan komposisi
jenis gastropoda adalah substrat dasar
perairan, yaitu lumpur, pasir, dan
kerikil. Tipe substrat suatu perairan
akan mempengaruhi penyebaran,
kepadatan, dan komposisi gastropoda
salah satunya adalah siput gonggong.
Pada jenis sedimen berpasir,
kandungan oksigen relatif besar
dibandingkan pada sedimen yang halus
karena pada sedimen berpasir terdapat
pori udara yang memungkinkan
terjadinya pencampuran yang lebih
intensif dengan air di atasnya, tetapi
pada sedimen ini tidak banyak nutrien,
sedangkan pada substrat yang lebih
halus walaupun oksigen sangat terbatas
tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar
(Wood., 1987 in Utami., 2012). Spesies
siput gonggong umumnya mendiami
substrat lunak dan dapat ditemukan
pada substrat yang didominasi oleh
pasir hingga pasir berlumpur (Dody.,
2007).
Substrat pasir dengan kandungan
lumpur pada ekosistem padang lamun
dalam jumlah tertentu merupakan
habitat yang ideal bagi kehidupan siput
gonggong, namun bila komposisi
substrat didominasi oleh lumpur maka
akan membahayakan kehidupan siput
itu sendiri. Tingginya kandungan
lumpur pada substrat dasar perairan
akan menyebabkan makin
meningkatnya partikel terlarut dan
tersuspensi dalam air. Hal ini akan
berakibat pada rendahnya kadar
oksigen dalam sedimen atau hipoksia
(Borja et al,. 2000 in Dody., 2007).
Penyebaran dan kepadatan siput
gonggong berhubungan dengan
diameter rata-rata butiran sedimen,
kandungan debu dan liat, serta
cangkang-cangkang biota yang telah
mati, yang secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin besar ukuran
butiran berarti semakin kompleks
substrat, sehingga semakin beragam
pula jenis biotanya.
Lamun (seagrass) merupakan
tumbuhan berbunga, berbuah, berdaun
dan berakar sejati yang hidupnya
terendam di dalam air laut dangkal dan
jernih, dengan sirkulasi air yang baik.
Lamun tumbuh subur pada daerah
terbuka pasang surut dan perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur,
pasir, kerikil dan patahan karang mati
dengan kedalaman sampai 4 m
(Dahuri., 2003).
Lamun terdiri dari rhizome atau
rhizoma (batang terbenam atau akar
rimpang), daun dan akar. Rhizoma
merupakan batang yang terbenam dan
merayap secara mendatar dan berbuku-
buku atau dikenal sebagai akar
rimpang. Dengan rhizoma dan akarnya
inilah tumbuhan tersebut dapat
menancapkan diri dengan kokoh di
dasar laut hingga tahan terhadap
hempasan gelombang dan arus. Lamun
berbeda dengan tumbuhan laut lain
yang hidup terbenam di dasar laut
seperti makroalga (sea weeds) yang
dikenal sebagai rumput laut. Tumbuhan
lamun memiliki bunga dan buah yang
kemudian berkembang menjadi benih.
Lamun dapat membentuk padang
lamun dengan kepadatan mencapai
4.000 tumbuhan per m2 (Nyabakken.,
1998). Karena tipe perakarannya
rimpang (rhizoma) menyebabkan daun-
daun tumbuhan lamun sangat lebat.
Akar pada tumbuhan lamun tidak
berfungsi penting dalam pengambilan
air, karena daun dapat menyerap
nutrien secara langsung dari dalam air
laut. Kemudian untuk menjaga agar
tubuhnyay tetap mengampung di dalam
air, tumbuhan ini dilengkapi dengan
ruang udara (Dahuri., 2003). Lamun
biasanya terdapat dalam jumlah yang
melimpah dan sering membentuk
padang yang lebat dan luas di perairan
tropik. Sifat-sifat lingkungan pantai
terutama dekat estuari, cocok untuk
pertumbuhan dan perkembangan
lamun. Lamun juga hidup di
lingkungan yang sulit, pengaruh
gelombang, sedimentasi, pemanasan
air, pergantian pasang dan surut.
Lamun merupakan ekosistem yang
tinggi produktivitas organiknya,
dengan keanekaragaman biota yang
cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup
beranekaragam biota laut seperti Ikan,
Krustasea, Moluska ( Pinna sp., Lambis
sp., dan Strombus sp.,) Ekinodermata
(Holothuria sp., Synapta sp., Diadema
sp., Archaster sp., Linckia sp.) dan
cacing ( Polychaeta) (Bengen., 2001).
Tumbuhan lamun membentuk
padang sebagaimana padang rumput di
darat. Karena itu, padang lamun
mempunyai potensi dan fungsi yang
strategis. Ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem di laut dangkal
yang produktif. Di samping itu,
ekosistem lamun mempunyai peranan
penting dalam menunjang kehidupan
dan perkembangan jasad hidup di laut
dangkal. Menurut hasil penelitian,
diketahui bahwa peranan lamun di
lingkungan perairan laut dangkal
sebagai berikut (Bengen., 2001).
Lamun tumbuh padat membentuk
padang, sehingga dikenal dengan
padang lamun (seagrass bads). Padang
lamun dapat mrmbentuk vegetasi
tunggal, tersusun atas satu jenis lamun
yang tumbuh membentuk padang yang
lebat, sedangkan vegetasi camouran
terdiri dari 2-12 jenis lamun yang
tumbuh bersama-sama pada satu
subsrat. Spesies lamun yang biasanya
tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah
Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule
uninerves, Cymodocea serrulata, dan
Thalassodendron ciliatum (Dahuri.,
2003). Pada subsrat berlumpur di
daerah mangrove ke arah laut, sering di
jumpai padang lamun dari spesies
tunggal yang berasosiasi tinggi.
Sementara padang lamun vegetasi
campuran terbentuk di daerah intertidal
yang lebih rendah dan subtidal yang
dangkal. Padang lamun tumbuh dengan
baik yang terlindung dan bersubsrat
pasir, stabil serta dekat sedimen yang
bergerak secara horizontal.
Lamun merupakan satu-satunya
kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga
yang terdapat di lingkungan laut.
Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat
perairan pantai yang dangkal. Berbeda
dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya
(alga dan rumput laut), lamun
berbunga, berbuah, dan menghasilkan
biji. Lamun yang khas lebih sering di
temukan pada substrat lumpur berpasir
yang tebal di antara mangrove dan
terumbu karang (Bengen., 2001).
Lamun merupakan tumbuhan yang
mempunyai akar (Rhizoma), batang,
daun, bunga, dan buah (beberapa
spesies). Berbeda dengan seaweed yang
merupakan makroalga yang tidak
mempunyai akar, batang dan daun
sejati. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi,
seagrass mempunyai sistem reproduksi
dan pertumbuhan yang khas.
Lamun tumbuh subur terutama di
daerah terbuka pasang surut dan
perairan pantai yang dasarnya berupa
lumpur, pasir, kerikil, dan patahan
karang mati, dengan kedalaman
mencapai 4 meter. Seperti layaknya
padang rumput, lamun dapat menyebar
dengan perpanjangan akar. Penyebaran
lamun terlihat sedikit unik dengan pola
penyebaran yang sangat tergantung
pada topografi dasar pantai, kandungan
nutrien dasar perairan (substrat), dan
beberapa faktor fisik dan kimia lainnya.
Pertumbuhan lamun diduga sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal
seperti kondisi fisiologis dan
metabolisme, serta faktor ekternal,
seperti zat-zat hara (nutrient) dan
tingkat kesuburan perairan (Dahuri.,
2003). Untuk tumbuh, lamun
membutuhkan cahaya matahari, suhu
air dan salinitas yang sesuai. Tumbuhan
ini tumbuh di laut dangkal karena
membutuhkan cahaya matahari yang
cukup.
Pola penyebaran yang tidak merata
dengan kerapatan yang relatif rendah
dan bahkan terdapat semacam ruang-
ruang kosong di tengah padang lamun
yang tidak tertumbuhi oleh lamun.
Kadang-kadang terlihat pola
penyebaran yang berkelompok-
kelompok, namun ada juga pola
penyebaran yang merata tumbuh
hampir pada seluruh garis pantai landai
dengan kerapatan yang sedang dan
bahkan tinggi. Jenis-jenis Lamun dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Spesies lamun yang dijumpai
di perairan Indonesia (Azkab., 2009)
Lamun di Indonesia di temukan
13 spesies, yang sebelumnya hanya
dikenal 12 spesies. Sebagai tambahan
adalah spesies Halophila beccari
(Kordi., 2011). Penyebaran lamun di
Indosenia mencakup perairan Jawa,
Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.
Spesies yang dominan dan dijumpai
hampir di seluruh Indonesia adalah
Thalassia hemprichi) yang dikenal
sebagai lamun duyung (dugong grass).
Lamun duyung mempunyai daun
berukuran panjang 5-20 cm dan lebar 4-
10 mm, 10-17 tulang daun mebujur,
serta memiliki ketebalan rhizoma 5
mm. Lamun ini tumbuh di subsrat
berpasir hingga pada pecahan karang.
Sering menjadi spesies dominan pada
padang lamun campuran dan
melimpah.
Siput gongong (strombus sp)
tergolong dalam kelas Gastropoda atau
hewan yang berkaki diperut. Habitat
siput gonggong umumnya adalah
substrat lumpur berpasir yang banyak
ditumbuhi tumbuhan bentik seperti
lamun dan makro alga, mulai dari batas
surut terendah hingga kedalaman ± 6
meter (Abbott., 1960 in Utami., 2012).
Pemilihan habitat ini mengikuti
ketersediaan makanan berupa detritus
dan makro alga serta kondisi
lingkungan yang terlindung dari
gerakan massa air (Nybakken., 1988).
Asosiasi antara rumput laut dengan
Gastropoda, famili Strombidae
khususnya strombus sp, banyak
ditemukan oleh para peneliti. Menurut
(Amini., 1986), Strombus canarium
banyak ditemukan pada substrat pasir
berlumpur yang di tumbuhi rumput laut
samo-samo (Enhalus accoroides) dan
Thalassia spp.
Jenis siput laut ini memiliki tingkah
laku dalam beberapa fase sebagai
berikut fase membenamkan diri ke
dalam substrat, fase aktif mencari
makan di permukaan substrat, dan fase
reproduksi. Siput gonggong akan
membenamkan diri ke dalam substrat
pada saat pergerakan massa air.
BAB III METODE
PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Juni - Agustus 2016, yang
meliputi studi literatur, survei awal
lokasi, pengambilan data lapangan,
analisa sampel, pengolahan data,
analisa data dan penyusunan laporan
hasil penelitian di Perairan Sekatap,
Kelurahan Dompak, Kota
Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan
Riau. Analisis sampel dilakukan di
Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan Universitas Maritim
Raja Ali Haji.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian dapat dilihat pada
Tabel dibawah ini :
Tabel 2 Alat dan Bahan
3.3. Prosedur Pengambilan Data
3.3.1. Penentuan Titik Pengamatan
Penentuan titik pengamatan
ditentukan menggunakan metode
random sampling dibagi atas 30 titik
sampling yang dianggap dapat
mewakili daerah penelitian tersebut.
Penentuan titik pengamatan
berdasarkan metode systematic random
sampling (SRS), dengan melihat
panjang garis pantai yaitu lebih kurang
1 (satu) kilometer.
3.3.2. Pengamatan Siput Gonggong
Pengambilan contoh siput
gonggong dengan transek kuadrat yang
dibuat berukuran 1m x 1m dilakukan
pada saat air surut dengan kedalaman
air antara 10-50 cm yang disamakan
dengan metode pengamatan lamun.
Kemudian untuk mengambil siput
gonggong dengan menggunakan
tangan secara satu persatu. Jumlah siput
gonggong yang digunakan untuk
dijadikan sebagai data ialah siput
gonggong yang menempel pada lamun
dan permukaan substrat.
3.3.3. Pengamatan Lamun
Tahap penelitian dilakukan dengan
beberapa prosedur yaitu
sebagai berikut:
a. Untuk penentuan lokasi
dimulai dari survei terlebih
dahulu tingkat kerapatan
padang lamun dan komposisi
jenis secara visual serta
keberadaan siput gonggong di
lokasi pengamatan
b. Pengamatan lamun dilakukan
dengan transek yang
berukuran 1m x 1m seperti
pada gambar 5.
c. Pengamatan dilakukan pada
titik-titik penelitian yang telah
di tentukan oleh peneliti yang
dianggap mewakili daerah
penelitian tersebut.
d. Jenis lamun yang terdapat
pada transek kemudian
diambil dan dimasukkan ke
kantong plastik dan dibawa ke
Laboratorium untuk
diidentifikasi jenisnya.
e. Pengamatan lamun dilakukan
pada saat surut dengan
kedalaman air antara 10-50
cm.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Kepadatan Siput Gonggong
(strombus sp.)
Untuk menghitung kepadatan siput
gonggong dapat digunakan rumus
(Siddik., 2011):
D = ∑𝑥𝑖
𝑛
Keterangan : D : Kepadatan siput
gonggong (strombus sp.)
Σxi : Jumlah siput
gonggong (ind)
n : Luas petak contoh
(m2)
3.5.2. Kerapatan Vegetasi Lamun
3.5.2.1. Kerapatan Jenis
Kerapatan Jenis (Ki), yaitu jumlah
total individu jenis lamun suatu unit
area yang diukur. Kerapatan jenis
lamun dihitung dengan rumus (Fachrul,
2007):
Ki = 𝑛𝑖
𝐴
Keterangan :
Ki : Kerapatan jenis ke-i
ni : Jumlah total jenis ke-i
A : Luas area total pengambilan
sampel (m2)
3.5.2.2. Kerapatan Relatif
Kerapatan Relatif (KR), yaitu
perbandingan antara jumlah individu
jenis dan jumlah total individu seluruh
jenis. Kerapatan relatif lamun dihitung
dengan rumus (Fachrul., 2007):
KR = 𝑛𝑖
∑𝑛 x 100%
Keterangan :
KR : Kerapatan relatif
ni : Jumlah individu ke-i
Σn : Jumlah individu seluruh jenis
3.5.3. Hubungan Kerapatan Lamun
dengan Kepadatan Strombus sp.
Untuk melihat hubungan antara
jenis lamun dengan kepadatan siput
gonggong digunakan analisis regresi
linear sederhana. Dari hasil tersebut
dapat diketahui hubungan kerapatan
lamun dengan (strombus sp.) siput
gonggong.
Rumus yang digunakan (Hasan.,
2008):
y = a + bx
Keterangan :
y : kepadatan siput gonggong
x : kerapatan lamun
a : intersep
b : koefisien regresi
Analisis data regresi linier
sederhana untuk melihat hubungan
antara kerapatan lamun terhadap
kepadatan siput gonggong
menggunakan software SPSS untuk
pengolahan data statistik penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Kepadatan siput gonggong
(Strombus sp.)
Siput gonggong yang ditemukan
pada vegetasi lamun perairan Sekatap
Kelurahan Dompak selama penelitian
dari 30 titik sampling yaitu 2 jenis,
strombus caranium dan strombus
turturella. Hasil dari kepadatan dapat
dilihat dari gambar 5.
Gambar 5 Hasil kepadatan Strombus
sp.
Berdasarkan hasil penelitian
kepadatan strombus sp. (siput gongong)
di perairan Sekatap Kelurahan Dompak
untuk jenis strombus caranium yaitu
0,50 ind/m2 dan jenis strombus
turturella yaitu 0,30 ind/m2 dari 30 titik
sampling seperti gambar 5 diatas.
Mengacu pada penelitian sebelumnya
yang dilakukan Andrianto (1989) in
Dinas Kelautan Perikanan Pertanian
Kehutanan dan Energi (2012),
kepadatan rata-rata gonggong di Pulau
Dompak pada Oktober 1988 adalah
sebesar 0,72 ind/m2. Artinya Kepadatan
siput gongong menurun dari penelitian
sebelumnya, diduga mungkin karena
penangkapan siput gongong yang
berlebihan dari alam.
Berdasarkan hasil penelitian
kepadatan strombus caranium lebih
besar dari strombus turturella itu
mungkin karena pemilihan sampilng
yang secara acak (random sampling)
seperti metode yang peneliti gunakan
sehingga strombus caranium yang
lebih banyak ditemukan pada plot
kuardat selama penelitian.
4.3. Kerapatan jenis dan
Kerapatan relatif Lamun
Kerapatan spesies lamun adalah
banyak individu tegakkan suatu spesies
lamun yang ditemukan pada luasan
tertentu. Hasil pengamatan lamun pada
lokasi penelitian menunjukkan bahwa
terdapat 3 Spesies lamun yang
ditemukan yaitu; Enhalus acoroides,
Cymodocea serullata, dan Halodule
uninervis. Dapat dilihat dari tabel 3.
Gambar 6 Komposisi jenis lamun
Dari hasil penelitian komposisi
jenis lamun yang paling tinggi dilokasi
penelitian perairan Sekatap Kelurahan
Dompak yaitu adalah jenis Enhalus
acoroides dengan persentase nilai
sebesar 54%, dapat dilihat di gambar 6.
Jenis lamun Enhalus acoroides lebih
mendominasi karena pada titik
pengamatan memiliki substrat pasir
berlumpur, sehingga sangat cocok
untuk lamun jenis Enhalus accorides.
Pada substrat pasir berlumpur banyak
ditumbuhi lamun jenis Enhalus
accoroides. (Amini., 1986 in Siddik.,
2011).
Jenis lamun Enhalus acoroides
mempunyai akar kuat dan diselimuti
oleh benang-benang hitam yang kaku
dan rhizomanya tertanam di dalam
substrat. Jenis lamun ini tumbuh di
perairan dangkal dengan substrat pasir
berlumpur. Spesies Enhalus acoroides
tumbuh subur di daerah yang terlindung
di pinggir bawah dari mintakat pasang
surut dan di batas atas mintakat bawah
litoral (Romimoharto,. dan Juwana,.
2009).
4.4. Parameter Kualitas Perairan
4.4.1. Suhu
Suhu adalah salah satu faktor yang
amat penting bagi kehidupan
organisme di lautan, karena suhu
mempengaruhi aktivitas metabolisme
maupun perkembangbiakan dari
organsme-organisme tersebut
(Hutabarat., 2000). Hasil pengukuran
suhu dapat dilihat pada tabel 4.
Dari hasil pengukuran suhu di
perairan Sekatap Kelurahan Dompak
rata-rata suhu pada pagi hari yaitu
28,73 0C, pada siang hari 30,72 0C dan
pada waktu sore hari 29,39 0C.
Sedangkan baku mutu menurut
Kepmen-LH No 51 tahun 2004
lampiran 3 tentang biota laut suhunya
berkisar antara 280C - 300C. Dengan
demikian kondisi suhu pada perairan
Sekatap Kelurahan Dompak masih
dikategorikan normal untuk kehidupan
biota laut dengan acuan Kepmen-LH
No 51 tahun 2004.
Suhu air merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi
aktivitas serta memacu atau
menghambat perkembangbiakan
organisme perairan. Perubahan suhu
dapat menjadi isyarat bagi organisme
untuk memulai atau mengakhiri
berbagai aktivitas, misalnya reproduksi
(Nybakken., 1988). Menurut Dody.
(2007), bahwa, siput gonggong
(strombus sp.) hidup pada kisaran suhu
antara 28,5-29,9 °C.
4.4.2. Salinitas
Salinitas adalah banyaknya zat
yang terlarut dalam air laut. Zat yang
terlarut ini meliputi garam-garam
anorganik, senyawa-senyawa organik
yang berasal dari organisme hidup dan
gas-gas terlarut. Fraksi terbesar dari
bahan terlarut terdiri dari garam-garam
anorganik yang berbentuk ion-ion
(Nybakken., 1992). Salinitas juga
mempunyai peranan penting dalam
kehidupan organisme, khususnya bagi
siput gonggong (Utami., 2012). Hasil
salinitas dapat dilihat pada tabel 5.
Hasil pengukuran salinitas
menunjukkan bahwa nilai salinitas
pada perairan Sekatap Kelurahan
Dompak berkisar antara 32,800/00 –
33,400/00. Menurut Kepmen-LH No 51
tahun 2004 lampiran 3 tentang biota
laut salinitas berkisar antara 330/00-
340/00. Berarti kadar salinitas pada
perairan Sekatap Kelurahan Dompak
memiliki salinitas normal untuk biota
laut, termasuk lamun yang berada
diperairan tersebut. Menurut Dody.
(2007), bahwa kadar salinitas siput
gonggong berkisar antara 31,0-33,3 ‰.
Salinitas adalah konsentrasi seluruh
larutan garam yang diperoleh dalam air
laut. Salinitas sangat berpengaruh
terhadap tekanan osmotik didalam air,
semakin tinggi salinitasnya maka akan
semakin besar pula tekanan
osmotiknya. Biota di perairan
memerlukan banyak energi dari
makanannya untuk menyesuaikan diri
terhadap tekanan osmotik tersebut
(Kordi., 2007).
4.4.3. pH (derajat keasaman)
Derajat keasaman atau (pH)
digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki
oleh suatu larutan adapun yang
dimaksudkan “keasaman” di sini
adalah konsentrasi ion hydrogen (H+)
dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari
0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan
netral apabila memiliki nilai pH =7.
Nilai pH >7 menunjukkan larutan
memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH
< 7 menunjukan keasaman (Effendi.,
2003). Hasil penelitian pH (derajat
keasaman) dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6 Hasil pengukuran Derajat
Keasaman perairan Sekatap
Kondisi derajat keasaman (pH) dari
hasil penelitian pada perairan Sekatap
Kelurahan Dompak dengan rata-rata
pada saat pagi hari 7,54, pada siang hari
7,74 dan pada sore hari 7,66. Dengan
demikian kondisi derajat keasaman
(pH) ini baik untuk kehidupan optimal
biota laut. Jika mengacu pada ketetapan
Kepmen-LH No 51 tahun 2004 yang
menentukan bahwa nilai derajat
keasaman (pH) yang optimum bagi
kehidupan biota laut adalah pada
kisaran 7 – 8,5.
4.4.4. DO (oksigen terlarut)
Oksigen terlarut (DO) salah satu
bentuk gas terlarut yang paling penting
dalam sistem kehidupan perairan.
Oksigen terlarut juga merupakan
variabel kimia yang mempunyai peran
penting sekaligus menjadi faktor
pembatas bagi kehidupan biota air
(Nybakken., 1988). Menurut
Setyobudiandi., (2000) in Ippah.,
(2007), bahwa penurunan oksigen
terlarut tidak mempunyai pengaruh
yang berarti karena moluska dapat
melakukan metabolisme secara
anaerob. Dengan demikian nilai
oksigen terlarut perairan dapat dilihat
pada tabel 7.
Hasil pengukuran kandungan
Oksigen terlarut (DO) diperairan
Sekatap Kelurahan Dompak yaitu
dengan hasil rata-rata pada waktu pagi
hari adalah sebesar 7,30 mg/L, pada
siang hari sebesar 7,33 mg/L dan pada
sore hari sebesar 7,47 mg/L. Menurut
Kepmen–LH No 51 tahun 2004 tentang
biota laut kandungan Oksigen terlarut
(DO) yang sesuai untuk kehidupan
organisme akuatik adalah sebesar > 5
mg/L. Dengan demikian kondisi
Oksigen terlarut (DO) melebihi kisaran
optimal yang ditentukan sehingga layak
untuk kehidupan biota laut.
Sedangkan menurut Effendi.
(2003), kandungan oksigen terlarut
minimal 2 mg/L sudah cukup
mendukung kehidupan organisme
perairan secara normal. Namun
menurut Kordi. (2007), meskipun
beberapa jenis organisme akuatik
masih dapat hidup pada kondisi oksigen
2-3 mg/L, namun sebagian besar biota
akuatik hidup baik pada kadar oksigen
minimal 5 mg/L. Sastrawijaya. (2000),
mengatakan bahwa kondisi Oksigen
Terlarut (DO) diperairan tergantung
pada suhu, fotosintesis, tingkat
penetrasi cahaya, aliran air, serta
jumlah bahan organik yang diuraikan
dalam air.
4.5. Karakteristik Subsrat
Tipe atau jeins subsrat dianalisis
dengan menggunakan skala wenwort.
Penentuan tipe substrat dasar perairan
Sekatap Kelurahan Dompak kota
Tanjungpinang dilakukan dengan
pengambilan sample sebanyak 30 titik
sampling. Berdasarkan hasil penelitian
tipe substrat dasar perairan Sekatap
Kelurahan Dompak hampir sama 30
titik sampling, maka diambil per area
dimana area I itu dipangkal wilayah
area sampling, area II diambil pada
tengah wilayah sampling, dan area III
itu diujung wilayah area sampling.
Adapun komposisi substrat pada setiap
area sampling dapat dilihat pada tabel
8.
Tabel 8 Hasil pengukuran fraksi subsrat
perairan Sekatap Kelurahan Dompak
Tipe substrat pada lokasi penelitian
di perairan Sekatap Kelurahan Dompak
yang didapatkan dari hasil analisis
laboratorium dari ukuran partikel
substrat yang merupakan habitat siput
gonggong yaitu sebagian besar terdiri
dari pasir berlumpur. Menurut Dody.
(2007), bahwa spesies siput gonggong
umumnya mendiami substrat lunak dan
dapat ditemukan pada substrat yang
didominasi oleh pasir hingga pasir
berlumpur dan berada pada areal yang
tenang dan terlindung dari gerakan arus
yang kuat. Sedangkan Menurut Amini.,
(1986) in Dody., (2012), menyatakan
bahwa siput gonggong di perairan
Pulau Bintan Riau, sering ditemukan di
antara tumbuhan lamun dengan substrat
pasir berlumpur.
4.6. Hubungan Kerapatan Lamun
dengan Kepadatan Strombus
sp.
Berdasarkan uji asumsi, data dapat
digunakan untuk perhitungan regresi
karena asumsinya terpenuhi. Analisis
regresi ini bertujuan untuk memberi
gambaran tentang hubungan antara
Kerapatan Lamun dengan Kepadatan
strombus sp. (Siput Gonggong)
dilokasi penelitian yaitu perairan
Sekatap Kelurahan Dompak.
Berdasarkan perhitungan statistik
diperoleh nilai p-value (0,1663) <
signifikan (0,05), dengan demikian
berarti persamaan regresi tersebut dapat
digunakan untuk menjelaskan
hubungan antar variabel yang diteliti.
Data hasil perhitungan regresi
menunjukkan nilai R-square sebesar
0,9332 yang berarti sebesar 93,32%
data yang diambil dapat menjelaskan
hubungan antara Kerapatan Lamun
terhadap Kepadatan Siput Gonggong.
Persamaan regresi untuk kedua variabel
yang diteliti yaitu kerapatan lamun dan
kepadatan siput gonggong adalah y =
1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut kerapatan lamun
memiliki hubungan yang negatif
terhadap kepadatan Gonggong, artinya
setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan
mengurangi Kepadatan Gonggong
sebesar 0,1808 individu. Kurva Regresi
Linear Sederhana dapat dilihat pada
gambar 11 berikut.
Hasil perhitungan regresi yang
menunjukkan hubungan yang negatif
dilokasi penelitian, artinya peningkatan
kerapatan lamun, justru akan
mengurangi tingkat kepadatan Siput
Gonggong. Hal ini disebabkan karena
dilokasi penelitian yaitu perairan
Sekatap Kelurahan Dompak, lamun
lebih didominasi oleh jenis Enhalus
accoroides yang kurang sesuai untuk
habitat Siput Gonggong. Kepadatan
siput gonggong tergolong rendah hal ini
dikarenakan siput gonggong paling
banyak memanfaatkan lamun jenis
Halophila spp sebagai media untuk
menempelkan telurnya pada helai daun.
(Zaidi., 2009).
Kerapatan lamun yang terlalu
tinggi akan menghambat aktifitas dari
organisme dasar yaitu Siput Gonggong
karena sistem perakaran yang rapat,
sehingga tidak ada ruang yang ideal
untuk pergerakan bagi siput gonggong.
Strombus urceus dan Strombus
canarium merupakan jenis Gastropoda
umumnya kedua spesies ini banyak
ditemukan penutupan relatif lamun
kurang dari 50%, hal ini karena pada
penutupan lamun yang tinggi/ padat
akan menyulitkan pergerakan
Gastropoda jenis ini (Syari., 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
1. Siput gonggong yang
ditemukan pada lamun perairan
Sekatap Kelurahan Dompak
selama penelitan yaitu 2 jenis
dengan jenis strombus
caranium dan strombus
turturella dan terdapat 3
Spesies lamun yang ditemukan
pada lokasi penelitian, yaitu;
Enhalus accoroides,
Cymodocea serullata, dan
Halodule uninervis. Komposisi
jenis lamun yang paling tinggi
dilokasi penelitian yaitu
perairan Sekatap Kelurahan
Dompak berada pada jenis
Enhalus acoroides dengan
persentase nilai sebesar 54%.
2. Persamaan regresi untuk kedua
variabel yang diteliti yaitu y =
1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan
hasil penelitian kerapatan
lamun memiliki hubungan
yang negatif terhadap
kepadatan Gonggong, artinya
setiap kenaikan 1 kerapatan
lamun akan mengurangi
Kepadatan Gonggong sebesar
0,1808 individu. Dengan nilai
R-square sebesar 0.9332 yang
berarti sebesar 93,32% data
yang diambil dapat
menjelaskan hubungan antara
Kerapatan Lamun terhadap
Kepadatan Siput Gonggong
dan sisanya 6,68% dipengaruhi
oleh faktor lain.
5.2. SARAN
Diharapkan kepada peneliti
selanjutnya melakukan penelitian
tepat pada waktu musim siput
gonggong, menurut masyarakat
setempat bertepatan pada bulan
April hingga Mei. Jadi hubungan
lamun dengan siput gonggong
diperkirakan akan tergambar lebih
jelas dan perlu dilakukan penelitian
terhadap faktor lingkungan lain,
serta sejauh mana tingkat toleransi
Siput Gonggong terhadap faktor
lingkungan perairan, serta perlu
dilakukan kajian untuk mengetahui
sejauh mana hubungan antara
faktor lingkungan terhadap tingkat
kepadatan Siput Gonggong.
DAFTAR PUSTAKA
APHA, 1992. Standard Methods for the
Examination of Water and Waste
Water. American Public Health
Association, Washington DC, USA.
Azkab, M. H. 2000. Struktur dan
Fungsi pada Komunitas Lamun.
Oseana (3) 25 : 9.
Azkab, M. H. 2009. Study on seagrass
community structure and biomass in
the southern part of Seribu Islands.
Paper presented at the First Regional
Symposium of the ASEAN-
Australia Coastal Living Resources
Project. Manila, Philippines. 353-
362.
Bengen, D. G. 2001. Sinopsis
Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
61hal.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman
Hayati Laut. Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. 412 hal.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang
Indonesia. PT Sarana Graha.
Jakarta. 135 hal.
Dody, S. 2007 Habitat dan Sebaran
Spasial Siput Gonggong (Strombus
turturella) di Teluk Klabat, Bangka
Belitung. Prosiding Seminar
Nasional Moluska dalam Penelitian,
Konservasi dan Ekonomi. Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI.
Jakarta. 100 hal.
Dody, S. 2012. Pemijahan dan
Perkembangan Larva Siput
Gonggong (Strombus Turturella),
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI. Jakarta. 4 : 107-
113.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).
2012. Penyusunan Rencana Zonasi
Pengelolaan Kawasan Habitat
Gonggong (Strombus sp.) Kota
Tanjungpinang. Griya Reka
Esterika. Tanjungpinang.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air
bagi Pengelolaan Sumber Daya
Lingkungan Perairan. Kanisus.
Yagyakarta. 258 hal.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling
Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
198 hal.
Hasan, I. 2009. Analisis Data Penelitian
dengan Statistik. Bumi Aksara.
Jakarta. 220 hal.
Hutabarat, S. 2000. Productivitas
Perairan dan Plankton. Telaah
Terhadap Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro.
Ippah, I. 2007. Pola Perubahan
Kepadatan dan Biomassa Populasi
Simping (Placuna placenta Linn,
1758) di Perairan Kron, Kronjo,
Kabupaten Tangerang, Banten.
Skipsi. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautam,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu
Ait Laut
Untuk Biota Laut.
Kordi, G. K. 2007. Pengelola Kualitas
Air dalam Budidaya Perairan. PT
Renika Cipta. Jakarta. 224 hal.
Kordi, G. K. 2011. Ekosistem Lamun
(Seagrass). PT Rineka Cipta. Jakarta
191 hal
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.
Djambatan. Jakarta. 358 hal.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi laut.
suatu pendekatan ekologis.
(Terjemahan dari Marine biology
An ecological approach, 3 rd
edition). Eidman M, Koesoebiono,
Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo
S (penerjemah). PT Gramedia.
Jakarta. 443 hal.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut.
Suatu pendekatan Ekologis.
Diterjemahkan oleh M. eidman., D.
G.. Bengen., M. Hutomo dan S.
Suharjo., PT Gramedia. Jakarta. 459
hal.
Romimohtarto, K., dan Juwana. S.,
2009. Biologi Laut. Ilmu
Pengetahuan tentang Biologi Laut.
Djambatan. Jakarta. 540 hal.
Sastrawijaya, T. 2000. Pencemaran
Lingkungan. PT Rineka Cipta.
Jakarta. 14 hal.
Siddik, J. 2011. Sebaran Spasial dan
Potensi Reproduksi Populasi Siput
Gonggong (Strombus Turturela) di
Teluk Klabat Bangka – Belitung.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Syari, I. A. 2005. Asosiasi Gastropoda
di Ekosistem Padang Lamun
Perairan Pulau Lepar Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and
Moosa, M. K. 1997. The Ecology of
Indonesian Seas Part Two. Periplus
Edition. 642 pp.
Utami, D. K. 2012. Studi Bioekologi
Habitat Siput Gonggong (Strombus
Turturella) Di Desa Bakit, Teluk
Klabat, Kabupaten Bangka Barat,
Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H.,
Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2008.
Sexual polymorphism in a
population of Strombus canarium L
at Merambong Shoal, Malaysia.
Journal Zoological Studies 47 : 318–
325.
Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H.,
Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2009.
Species Description and
Distribution of Strombus (Mollusca:
Strombidae) in Johor Straits and its