ABSTRAK -...

24
ABSTRAK BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. Perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Ita Karlina, S.Pi., M.Si dan Fadhliyah Idris, S.Pi., M.Si. Penelitian mengenai Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. telah dilakukan di perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui kepadatan strombus sp. dan keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kepadatan strombus sp. di perairan Sekatap. Penelitian ini dilakukan dengan metode acak sebanyak 30 titik menggunakan plot berukuran 1x1 meter. Hasil penelitian ditemukan 3 jenis lamun yaitu, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis dan 2 jenis Strombus sp. yaitu Strombus canarium dan Strombus turturella. Komposisi jenis lamun yang paling tinggi dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak berada pada jenis Enhalus acoroides dengan persentase nilai sebesar 54%. Berdasarkan hasil penelitian kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan Gonggong, artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi Kepadatan Gonggong sebesar 0,1808 individu. Dengan nilai R-square sebesar 0.9332 yang berarti sebesar 93,32% data yang diambil dapat menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun terhadap Kepadatan Siput Gonggong. Kata kunci : lamun, kerapatan, strombus sp., tanjungpinang

Transcript of ABSTRAK -...

ABSTRAK

BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus

sp. Perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan

Riau Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Ita Karlina, S.Pi., M.Si dan Fadhliyah Idris,

S.Pi., M.Si.

Penelitian mengenai Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. telah

dilakukan di perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang, Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui kepadatan strombus sp. dan

keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kepadatan strombus sp. di perairan Sekatap.

Penelitian ini dilakukan dengan metode acak sebanyak 30 titik menggunakan plot

berukuran 1x1 meter. Hasil penelitian ditemukan 3 jenis lamun yaitu, Enhalus

acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis dan 2 jenis Strombus sp.

yaitu Strombus canarium dan Strombus turturella. Komposisi jenis lamun yang paling

tinggi dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak berada pada jenis

Enhalus acoroides dengan persentase nilai sebesar 54%. Berdasarkan hasil penelitian

kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan Gonggong,

artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi Kepadatan Gonggong

sebesar 0,1808 individu. Dengan nilai R-square sebesar 0.9332 yang berarti sebesar

93,32% data yang diambil dapat menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun

terhadap Kepadatan Siput Gonggong.

Kata kunci : lamun, kerapatan, strombus sp., tanjungpinang

ABSTRACT

BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Seagrass Density Relation with Strombus sp.

Waters of Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Riau Islands Province

Department of Marine Science, Faculty of Marine Science and Fisheries, Raja Ali Haji

Maritime University. Advisor by Ita Karlina, S.Pi., M.Si and Fadhliyah Idris, S.Pi.,

M.Si.

Research on Seagrass Density Relation with Strombus sp. Has been done in the

waters of Sekatap Kelurahan Dompak Tanjungpinang City, The purpose of this

research is to know Know the density of strombus sp. And the relation between

seagrass density and density of strombus sp. In the waters of Sekatap. This research

was conducted by random method as much as 30 point using plot measuring 1x1 meter.

The results of the study found three types of seagrasses, namely, Enhalus acoroides,

Cymodocea serrulata, and Halodule uninervis and 2 types of Strombus sp. Namely

Strombus canarium and Strombus turturella. The highest seagrass species composition

in the research location is Sekatap Kelurahan Dompak waters located in Enhalus

acoroides type with percentage value of 54%. Based on the research of seagrass density

has a negative relation to density of strombus, meaning that every increase of 1 density

of seagrass will reduce the density of strombus equal to 0,1808 individual. With R-

square value of 0.9332 which means 93.32% of data taken can explain the relationship

between Seagrass Density to Strombus Density.

Keyword : Seagrass, density, strombus sp., Tanjungpinang

BAB I PENDAHULUAN

Kawasan pesisir merupakan

kawasan yang memiliki potensi

sumberdaya hayati yang beragam,

diantaranya ekosistem mangrove,

lamun, terumbu karang dan biota-biota

laut yang berasosiasi di dalamnya salah

satunya gastropoda. Perairan Sekatap

juga memiliki potensi sumberdaya

seperti gastropoda dan ekosistem

lamun. Gastropoda yang terdapat di

perairan Sekatap salah satunya adalah

siput gonggong (strombus sp.). Siput

gonggong merupakan salah satu jenis

gastropoda yang mendiami areal

pasang surut dengan substrat yang

ditumbuhi lamun.

Lamun merupakan salah satu

ekosistem yang terletak di daerah

pesisir. Ekosistem lamun juga tidak

terlepas dari peranannya sebagai daerah

pemijahan (sp.awning ground), tempat

pengasuhan (nursery ground), tempat

mencari makan (feeding ground), dan

daerah pembesaran (rearing ground)

bagi biota perairan (Kordi,. 2011).

Kelimpahan komunitas yang tinggi pun

akan dipengaruhi dengan tingkat

kerapatan lamun yang tinggi sebagai

habitat dan tempat tumbuhan akan

secara optimal.

Secara ekologis komunitas

gastropoda merupakan komponen yang

penting dalam rantai makanan di

padang lamun, beberapa jenis

gastropoda merupakan hewan dasar

pemakan detritus tersuspensi di dalam

air guna mendapatkan makanan

(Tomascik et al., 1997). Lamun juga

dapat menyokong rantai makanan dan

penting dalam proses siklus nutrien

serta sebagai pelindung pantai dari

ancaman erosi dan abrasi.

Jumlah permintaan siput gonggong

(strombus sp.) yang tinggi dengan cara

berlebihan tanpa memperhatikan

keberlangsungannya dikhawatirkan

menurunkan populasi siput gonggong

(strombus sp.) akan terus terjadi bahkan

diprediksi akan terjadi kepunahan.

Perlu adanya usaha dalam melestarikan

habitat melalui restoking dan

pembudidayaan untuk mengurangi

dampak dari adanya pengambilan stok

dialam secara berlebih, mengingat

masih banyaknya masyarakat yang

belum mengetahui keberadaan dan

pemanfaatan siput gonggong. Agar

didapatkan hasil yang optimal maka

perlu adanya penelitian dasar, dalam

hal ini perlu diteliti kepadatan siput

gonggong (strombus sp.) di habitatnya.

Manfaat dari penelitian ini yaitu

memberikan informasi kondisi kualitas

perairan, jenis-jenis lamun, jenis-jenis

siput gonggong (strombus sp.) dan

hubungan kerapatan lamun kepadatan

dengan siput gonggong (strombus sp.)

yang terdapat di perairan Sekatap.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Siput Gonggong

(strombus sp.) menurut (Wye., 1997 in

Utami., 2012) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Moluska

Kelas : Gastropoda

Ordo : Neotaenioglossa

Famili : Strombidae

Genus : Strombus

Seperti halnya dengan kelas

Gastropoda lainnya, ciri-ciri siput

gonggong ialah memiliki cangkang

berbentuk asimetri seperti kerucut,

terdiri dari tiga lapisan periostraktum,

lapisan prismatik yang terdiri dari

kristal kalsium karbonat dan lapisan

nakre (lapisan mutiara). Siput

gonggong berjalan dengan perut dan

biasanya menggulung seperti ulir

memutar ke kanan, menggendong

cangkang yang berwarna coklat

kekuningan, kakinya besar dan lebar

untuk merayap dan mengeruk pasir atau

lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini

menghasilkan lendir, sehingga pada

tempat yang dilalui meninggalkan

bekas lendir. Cangkang digunakan

untuk melindungi diri dari serangan

musuh atau kondisi lingkungan yang

tidak baik (Zaidi et al., 2009).

Siput gonggong merupakan salah

satu spesies dari siput laut menengah,

yang termasuk dalam filum moluska

dan berada dalam keluarga strombidae

yang dianggap sebagai spesies

ekonomis penting di Indo-Pasifik

Barat. Pada tingkat individu dewasa

siput gonggong memiliki cangkang

berwarna coklat kekuningan. Panjang

maksimum cangkang dapat mencapai

100 mm, tetapi umumnya berukuran 65

mm (Utami., 2012).

Siput gonggong memiliki satu

cangkang yang memperlihatkan

perputaran spiral dengan sudut 180º,

disebut torsion (pilinan/putaran),

umumnya putaran cangkang bersifat

dekstral (kekanan), yaitu putaran yang

terjadi saat pertumbuhan berlawanan

dengan arah jarum jam.

Menurut (Siddik., 2011) ciri-ciri

gonggong lainnya ialah memiliki

cangkang berbentuk seperti kerucut,

terdiri dari tiga lapisan periostrakum,

lapisan prismatik yang terdiri dari

kristal kalsium karbonat dan lapisan

nacre (lapisan mutiara). Bentuk kepala

jelas, mempunyai tentakel, mata dan

radula serta probosis yang besar yang

berguna untuk menyapu dan menyedot

makanan yang bercampur dengan

lumpur yang berada di dasar perairan.

Sebagian besar jenis-jenis siput

mempunyai tutup cangkang yang

disebut operkulum yang menempel

pada kakinya. Pada saat sedang tidak

berjalan, operkulum ini menutupi

bagian bukaan cangkang (Kozloff,

1990 in Siddik, 2011). Operkulum

berbentuk pipih memanjang dan

bergerigi (Gambar 2), yang berfungsi

ganda untuk melindungi tubuh yang

berada dalam cangkang, dan sebagai

alat bantu berpindah tempat.

Di alam siput gonggong menyukai

habitat pasir berlumpur. Menurut

(Amini, 1986), siput gonggong banyak

terdapat hidup di perairan pantai

dengan dasar pasir berlumpur dan

kondisi perairan dimana banyak

ditemukan rumput laut. Sedangkan

menurut Dharma. (1988), Strombus

hidupnya diatas pasir, jika berjalan

seperti melompat-lompat dengan

menggunakan operkulum atau penutup

cangkangnya yang berbentuk seperti

pisau berduri.

Siput gonggong lebih bersifat

epifauna atau hidup di atas permukaan

substrat, walaupun hewan ini juga

memiliki kebiasaan membenamkan diri

pada waktu-waktu tertentu. Pemilihan

ini dikarenakan kegiatan mencari

makan dan reproduksi dilakukan di

permukaan substrat.

Siput gonggong termasuk hewan

hermaprodit, artinya siput gonggong

memiliki sel kelamin jantan dan betina

tetapi dalam proses perkawinannya

tidak bisa membuahi dirinya sendiri,

sehingga harus didahului dengan proses

perkawinan semu antara dua gonggong.

Tidak lama setelah melakukan

perkawinan semu gonggong akan

bertelur dan telur menetas bergantung

pada kondisi lingkungannya (Zaidi et

al., 2008).

Faktor utama yang menentukan

penyebaran, kepadatan, dan komposisi

jenis gastropoda adalah substrat dasar

perairan, yaitu lumpur, pasir, dan

kerikil. Tipe substrat suatu perairan

akan mempengaruhi penyebaran,

kepadatan, dan komposisi gastropoda

salah satunya adalah siput gonggong.

Pada jenis sedimen berpasir,

kandungan oksigen relatif besar

dibandingkan pada sedimen yang halus

karena pada sedimen berpasir terdapat

pori udara yang memungkinkan

terjadinya pencampuran yang lebih

intensif dengan air di atasnya, tetapi

pada sedimen ini tidak banyak nutrien,

sedangkan pada substrat yang lebih

halus walaupun oksigen sangat terbatas

tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar

(Wood., 1987 in Utami., 2012). Spesies

siput gonggong umumnya mendiami

substrat lunak dan dapat ditemukan

pada substrat yang didominasi oleh

pasir hingga pasir berlumpur (Dody.,

2007).

Substrat pasir dengan kandungan

lumpur pada ekosistem padang lamun

dalam jumlah tertentu merupakan

habitat yang ideal bagi kehidupan siput

gonggong, namun bila komposisi

substrat didominasi oleh lumpur maka

akan membahayakan kehidupan siput

itu sendiri. Tingginya kandungan

lumpur pada substrat dasar perairan

akan menyebabkan makin

meningkatnya partikel terlarut dan

tersuspensi dalam air. Hal ini akan

berakibat pada rendahnya kadar

oksigen dalam sedimen atau hipoksia

(Borja et al,. 2000 in Dody., 2007).

Penyebaran dan kepadatan siput

gonggong berhubungan dengan

diameter rata-rata butiran sedimen,

kandungan debu dan liat, serta

cangkang-cangkang biota yang telah

mati, yang secara umum dapat

dikatakan bahwa semakin besar ukuran

butiran berarti semakin kompleks

substrat, sehingga semakin beragam

pula jenis biotanya.

Lamun (seagrass) merupakan

tumbuhan berbunga, berbuah, berdaun

dan berakar sejati yang hidupnya

terendam di dalam air laut dangkal dan

jernih, dengan sirkulasi air yang baik.

Lamun tumbuh subur pada daerah

terbuka pasang surut dan perairan

pantai yang dasarnya berupa lumpur,

pasir, kerikil dan patahan karang mati

dengan kedalaman sampai 4 m

(Dahuri., 2003).

Lamun terdiri dari rhizome atau

rhizoma (batang terbenam atau akar

rimpang), daun dan akar. Rhizoma

merupakan batang yang terbenam dan

merayap secara mendatar dan berbuku-

buku atau dikenal sebagai akar

rimpang. Dengan rhizoma dan akarnya

inilah tumbuhan tersebut dapat

menancapkan diri dengan kokoh di

dasar laut hingga tahan terhadap

hempasan gelombang dan arus. Lamun

berbeda dengan tumbuhan laut lain

yang hidup terbenam di dasar laut

seperti makroalga (sea weeds) yang

dikenal sebagai rumput laut. Tumbuhan

lamun memiliki bunga dan buah yang

kemudian berkembang menjadi benih.

Lamun dapat membentuk padang

lamun dengan kepadatan mencapai

4.000 tumbuhan per m2 (Nyabakken.,

1998). Karena tipe perakarannya

rimpang (rhizoma) menyebabkan daun-

daun tumbuhan lamun sangat lebat.

Akar pada tumbuhan lamun tidak

berfungsi penting dalam pengambilan

air, karena daun dapat menyerap

nutrien secara langsung dari dalam air

laut. Kemudian untuk menjaga agar

tubuhnyay tetap mengampung di dalam

air, tumbuhan ini dilengkapi dengan

ruang udara (Dahuri., 2003). Lamun

biasanya terdapat dalam jumlah yang

melimpah dan sering membentuk

padang yang lebat dan luas di perairan

tropik. Sifat-sifat lingkungan pantai

terutama dekat estuari, cocok untuk

pertumbuhan dan perkembangan

lamun. Lamun juga hidup di

lingkungan yang sulit, pengaruh

gelombang, sedimentasi, pemanasan

air, pergantian pasang dan surut.

Lamun merupakan ekosistem yang

tinggi produktivitas organiknya,

dengan keanekaragaman biota yang

cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup

beranekaragam biota laut seperti Ikan,

Krustasea, Moluska ( Pinna sp., Lambis

sp., dan Strombus sp.,) Ekinodermata

(Holothuria sp., Synapta sp., Diadema

sp., Archaster sp., Linckia sp.) dan

cacing ( Polychaeta) (Bengen., 2001).

Tumbuhan lamun membentuk

padang sebagaimana padang rumput di

darat. Karena itu, padang lamun

mempunyai potensi dan fungsi yang

strategis. Ekosistem lamun merupakan

salah satu ekosistem di laut dangkal

yang produktif. Di samping itu,

ekosistem lamun mempunyai peranan

penting dalam menunjang kehidupan

dan perkembangan jasad hidup di laut

dangkal. Menurut hasil penelitian,

diketahui bahwa peranan lamun di

lingkungan perairan laut dangkal

sebagai berikut (Bengen., 2001).

Lamun tumbuh padat membentuk

padang, sehingga dikenal dengan

padang lamun (seagrass bads). Padang

lamun dapat mrmbentuk vegetasi

tunggal, tersusun atas satu jenis lamun

yang tumbuh membentuk padang yang

lebat, sedangkan vegetasi camouran

terdiri dari 2-12 jenis lamun yang

tumbuh bersama-sama pada satu

subsrat. Spesies lamun yang biasanya

tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah

Thalassia hemprichii, Enhalus

acoroides, Halophila ovalis, Halodule

uninerves, Cymodocea serrulata, dan

Thalassodendron ciliatum (Dahuri.,

2003). Pada subsrat berlumpur di

daerah mangrove ke arah laut, sering di

jumpai padang lamun dari spesies

tunggal yang berasosiasi tinggi.

Sementara padang lamun vegetasi

campuran terbentuk di daerah intertidal

yang lebih rendah dan subtidal yang

dangkal. Padang lamun tumbuh dengan

baik yang terlindung dan bersubsrat

pasir, stabil serta dekat sedimen yang

bergerak secara horizontal.

Lamun merupakan satu-satunya

kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga

yang terdapat di lingkungan laut.

Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat

perairan pantai yang dangkal. Berbeda

dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya

(alga dan rumput laut), lamun

berbunga, berbuah, dan menghasilkan

biji. Lamun yang khas lebih sering di

temukan pada substrat lumpur berpasir

yang tebal di antara mangrove dan

terumbu karang (Bengen., 2001).

Lamun merupakan tumbuhan yang

mempunyai akar (Rhizoma), batang,

daun, bunga, dan buah (beberapa

spesies). Berbeda dengan seaweed yang

merupakan makroalga yang tidak

mempunyai akar, batang dan daun

sejati. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi,

seagrass mempunyai sistem reproduksi

dan pertumbuhan yang khas.

Lamun tumbuh subur terutama di

daerah terbuka pasang surut dan

perairan pantai yang dasarnya berupa

lumpur, pasir, kerikil, dan patahan

karang mati, dengan kedalaman

mencapai 4 meter. Seperti layaknya

padang rumput, lamun dapat menyebar

dengan perpanjangan akar. Penyebaran

lamun terlihat sedikit unik dengan pola

penyebaran yang sangat tergantung

pada topografi dasar pantai, kandungan

nutrien dasar perairan (substrat), dan

beberapa faktor fisik dan kimia lainnya.

Pertumbuhan lamun diduga sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor internal

seperti kondisi fisiologis dan

metabolisme, serta faktor ekternal,

seperti zat-zat hara (nutrient) dan

tingkat kesuburan perairan (Dahuri.,

2003). Untuk tumbuh, lamun

membutuhkan cahaya matahari, suhu

air dan salinitas yang sesuai. Tumbuhan

ini tumbuh di laut dangkal karena

membutuhkan cahaya matahari yang

cukup.

Pola penyebaran yang tidak merata

dengan kerapatan yang relatif rendah

dan bahkan terdapat semacam ruang-

ruang kosong di tengah padang lamun

yang tidak tertumbuhi oleh lamun.

Kadang-kadang terlihat pola

penyebaran yang berkelompok-

kelompok, namun ada juga pola

penyebaran yang merata tumbuh

hampir pada seluruh garis pantai landai

dengan kerapatan yang sedang dan

bahkan tinggi. Jenis-jenis Lamun dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesies lamun yang dijumpai

di perairan Indonesia (Azkab., 2009)

Lamun di Indonesia di temukan

13 spesies, yang sebelumnya hanya

dikenal 12 spesies. Sebagai tambahan

adalah spesies Halophila beccari

(Kordi., 2011). Penyebaran lamun di

Indosenia mencakup perairan Jawa,

Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi,

Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Spesies yang dominan dan dijumpai

hampir di seluruh Indonesia adalah

Thalassia hemprichi) yang dikenal

sebagai lamun duyung (dugong grass).

Lamun duyung mempunyai daun

berukuran panjang 5-20 cm dan lebar 4-

10 mm, 10-17 tulang daun mebujur,

serta memiliki ketebalan rhizoma 5

mm. Lamun ini tumbuh di subsrat

berpasir hingga pada pecahan karang.

Sering menjadi spesies dominan pada

padang lamun campuran dan

melimpah.

Siput gongong (strombus sp)

tergolong dalam kelas Gastropoda atau

hewan yang berkaki diperut. Habitat

siput gonggong umumnya adalah

substrat lumpur berpasir yang banyak

ditumbuhi tumbuhan bentik seperti

lamun dan makro alga, mulai dari batas

surut terendah hingga kedalaman ± 6

meter (Abbott., 1960 in Utami., 2012).

Pemilihan habitat ini mengikuti

ketersediaan makanan berupa detritus

dan makro alga serta kondisi

lingkungan yang terlindung dari

gerakan massa air (Nybakken., 1988).

Asosiasi antara rumput laut dengan

Gastropoda, famili Strombidae

khususnya strombus sp, banyak

ditemukan oleh para peneliti. Menurut

(Amini., 1986), Strombus canarium

banyak ditemukan pada substrat pasir

berlumpur yang di tumbuhi rumput laut

samo-samo (Enhalus accoroides) dan

Thalassia spp.

Jenis siput laut ini memiliki tingkah

laku dalam beberapa fase sebagai

berikut fase membenamkan diri ke

dalam substrat, fase aktif mencari

makan di permukaan substrat, dan fase

reproduksi. Siput gonggong akan

membenamkan diri ke dalam substrat

pada saat pergerakan massa air.

BAB III METODE

PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada

bulan Juni - Agustus 2016, yang

meliputi studi literatur, survei awal

lokasi, pengambilan data lapangan,

analisa sampel, pengolahan data,

analisa data dan penyusunan laporan

hasil penelitian di Perairan Sekatap,

Kelurahan Dompak, Kota

Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan

Riau. Analisis sampel dilakukan di

Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan

dan Perikanan Universitas Maritim

Raja Ali Haji.

Gambar 3 Peta lokasi penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan

dalam penelitian dapat dilihat pada

Tabel dibawah ini :

Tabel 2 Alat dan Bahan

3.3. Prosedur Pengambilan Data

3.3.1. Penentuan Titik Pengamatan

Penentuan titik pengamatan

ditentukan menggunakan metode

random sampling dibagi atas 30 titik

sampling yang dianggap dapat

mewakili daerah penelitian tersebut.

Penentuan titik pengamatan

berdasarkan metode systematic random

sampling (SRS), dengan melihat

panjang garis pantai yaitu lebih kurang

1 (satu) kilometer.

3.3.2. Pengamatan Siput Gonggong

Pengambilan contoh siput

gonggong dengan transek kuadrat yang

dibuat berukuran 1m x 1m dilakukan

pada saat air surut dengan kedalaman

air antara 10-50 cm yang disamakan

dengan metode pengamatan lamun.

Kemudian untuk mengambil siput

gonggong dengan menggunakan

tangan secara satu persatu. Jumlah siput

gonggong yang digunakan untuk

dijadikan sebagai data ialah siput

gonggong yang menempel pada lamun

dan permukaan substrat.

3.3.3. Pengamatan Lamun

Tahap penelitian dilakukan dengan

beberapa prosedur yaitu

sebagai berikut:

a. Untuk penentuan lokasi

dimulai dari survei terlebih

dahulu tingkat kerapatan

padang lamun dan komposisi

jenis secara visual serta

keberadaan siput gonggong di

lokasi pengamatan

b. Pengamatan lamun dilakukan

dengan transek yang

berukuran 1m x 1m seperti

pada gambar 5.

c. Pengamatan dilakukan pada

titik-titik penelitian yang telah

di tentukan oleh peneliti yang

dianggap mewakili daerah

penelitian tersebut.

d. Jenis lamun yang terdapat

pada transek kemudian

diambil dan dimasukkan ke

kantong plastik dan dibawa ke

Laboratorium untuk

diidentifikasi jenisnya.

e. Pengamatan lamun dilakukan

pada saat surut dengan

kedalaman air antara 10-50

cm.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Kepadatan Siput Gonggong

(strombus sp.)

Untuk menghitung kepadatan siput

gonggong dapat digunakan rumus

(Siddik., 2011):

D = ∑𝑥𝑖

𝑛

Keterangan : D : Kepadatan siput

gonggong (strombus sp.)

Σxi : Jumlah siput

gonggong (ind)

n : Luas petak contoh

(m2)

3.5.2. Kerapatan Vegetasi Lamun

3.5.2.1. Kerapatan Jenis

Kerapatan Jenis (Ki), yaitu jumlah

total individu jenis lamun suatu unit

area yang diukur. Kerapatan jenis

lamun dihitung dengan rumus (Fachrul,

2007):

Ki = 𝑛𝑖

𝐴

Keterangan :

Ki : Kerapatan jenis ke-i

ni : Jumlah total jenis ke-i

A : Luas area total pengambilan

sampel (m2)

3.5.2.2. Kerapatan Relatif

Kerapatan Relatif (KR), yaitu

perbandingan antara jumlah individu

jenis dan jumlah total individu seluruh

jenis. Kerapatan relatif lamun dihitung

dengan rumus (Fachrul., 2007):

KR = 𝑛𝑖

∑𝑛 x 100%

Keterangan :

KR : Kerapatan relatif

ni : Jumlah individu ke-i

Σn : Jumlah individu seluruh jenis

3.5.3. Hubungan Kerapatan Lamun

dengan Kepadatan Strombus sp.

Untuk melihat hubungan antara

jenis lamun dengan kepadatan siput

gonggong digunakan analisis regresi

linear sederhana. Dari hasil tersebut

dapat diketahui hubungan kerapatan

lamun dengan (strombus sp.) siput

gonggong.

Rumus yang digunakan (Hasan.,

2008):

y = a + bx

Keterangan :

y : kepadatan siput gonggong

x : kerapatan lamun

a : intersep

b : koefisien regresi

Analisis data regresi linier

sederhana untuk melihat hubungan

antara kerapatan lamun terhadap

kepadatan siput gonggong

menggunakan software SPSS untuk

pengolahan data statistik penelitian.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kepadatan siput gonggong

(Strombus sp.)

Siput gonggong yang ditemukan

pada vegetasi lamun perairan Sekatap

Kelurahan Dompak selama penelitian

dari 30 titik sampling yaitu 2 jenis,

strombus caranium dan strombus

turturella. Hasil dari kepadatan dapat

dilihat dari gambar 5.

Gambar 5 Hasil kepadatan Strombus

sp.

Berdasarkan hasil penelitian

kepadatan strombus sp. (siput gongong)

di perairan Sekatap Kelurahan Dompak

untuk jenis strombus caranium yaitu

0,50 ind/m2 dan jenis strombus

turturella yaitu 0,30 ind/m2 dari 30 titik

sampling seperti gambar 5 diatas.

Mengacu pada penelitian sebelumnya

yang dilakukan Andrianto (1989) in

Dinas Kelautan Perikanan Pertanian

Kehutanan dan Energi (2012),

kepadatan rata-rata gonggong di Pulau

Dompak pada Oktober 1988 adalah

sebesar 0,72 ind/m2. Artinya Kepadatan

siput gongong menurun dari penelitian

sebelumnya, diduga mungkin karena

penangkapan siput gongong yang

berlebihan dari alam.

Berdasarkan hasil penelitian

kepadatan strombus caranium lebih

besar dari strombus turturella itu

mungkin karena pemilihan sampilng

yang secara acak (random sampling)

seperti metode yang peneliti gunakan

sehingga strombus caranium yang

lebih banyak ditemukan pada plot

kuardat selama penelitian.

4.3. Kerapatan jenis dan

Kerapatan relatif Lamun

Kerapatan spesies lamun adalah

banyak individu tegakkan suatu spesies

lamun yang ditemukan pada luasan

tertentu. Hasil pengamatan lamun pada

lokasi penelitian menunjukkan bahwa

terdapat 3 Spesies lamun yang

ditemukan yaitu; Enhalus acoroides,

Cymodocea serullata, dan Halodule

uninervis. Dapat dilihat dari tabel 3.

Gambar 6 Komposisi jenis lamun

Dari hasil penelitian komposisi

jenis lamun yang paling tinggi dilokasi

penelitian perairan Sekatap Kelurahan

Dompak yaitu adalah jenis Enhalus

acoroides dengan persentase nilai

sebesar 54%, dapat dilihat di gambar 6.

Jenis lamun Enhalus acoroides lebih

mendominasi karena pada titik

pengamatan memiliki substrat pasir

berlumpur, sehingga sangat cocok

untuk lamun jenis Enhalus accorides.

Pada substrat pasir berlumpur banyak

ditumbuhi lamun jenis Enhalus

accoroides. (Amini., 1986 in Siddik.,

2011).

Jenis lamun Enhalus acoroides

mempunyai akar kuat dan diselimuti

oleh benang-benang hitam yang kaku

dan rhizomanya tertanam di dalam

substrat. Jenis lamun ini tumbuh di

perairan dangkal dengan substrat pasir

berlumpur. Spesies Enhalus acoroides

tumbuh subur di daerah yang terlindung

di pinggir bawah dari mintakat pasang

surut dan di batas atas mintakat bawah

litoral (Romimoharto,. dan Juwana,.

2009).

4.4. Parameter Kualitas Perairan

4.4.1. Suhu

Suhu adalah salah satu faktor yang

amat penting bagi kehidupan

organisme di lautan, karena suhu

mempengaruhi aktivitas metabolisme

maupun perkembangbiakan dari

organsme-organisme tersebut

(Hutabarat., 2000). Hasil pengukuran

suhu dapat dilihat pada tabel 4.

Dari hasil pengukuran suhu di

perairan Sekatap Kelurahan Dompak

rata-rata suhu pada pagi hari yaitu

28,73 0C, pada siang hari 30,72 0C dan

pada waktu sore hari 29,39 0C.

Sedangkan baku mutu menurut

Kepmen-LH No 51 tahun 2004

lampiran 3 tentang biota laut suhunya

berkisar antara 280C - 300C. Dengan

demikian kondisi suhu pada perairan

Sekatap Kelurahan Dompak masih

dikategorikan normal untuk kehidupan

biota laut dengan acuan Kepmen-LH

No 51 tahun 2004.

Suhu air merupakan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi

aktivitas serta memacu atau

menghambat perkembangbiakan

organisme perairan. Perubahan suhu

dapat menjadi isyarat bagi organisme

untuk memulai atau mengakhiri

berbagai aktivitas, misalnya reproduksi

(Nybakken., 1988). Menurut Dody.

(2007), bahwa, siput gonggong

(strombus sp.) hidup pada kisaran suhu

antara 28,5-29,9 °C.

4.4.2. Salinitas

Salinitas adalah banyaknya zat

yang terlarut dalam air laut. Zat yang

terlarut ini meliputi garam-garam

anorganik, senyawa-senyawa organik

yang berasal dari organisme hidup dan

gas-gas terlarut. Fraksi terbesar dari

bahan terlarut terdiri dari garam-garam

anorganik yang berbentuk ion-ion

(Nybakken., 1992). Salinitas juga

mempunyai peranan penting dalam

kehidupan organisme, khususnya bagi

siput gonggong (Utami., 2012). Hasil

salinitas dapat dilihat pada tabel 5.

Hasil pengukuran salinitas

menunjukkan bahwa nilai salinitas

pada perairan Sekatap Kelurahan

Dompak berkisar antara 32,800/00 –

33,400/00. Menurut Kepmen-LH No 51

tahun 2004 lampiran 3 tentang biota

laut salinitas berkisar antara 330/00-

340/00. Berarti kadar salinitas pada

perairan Sekatap Kelurahan Dompak

memiliki salinitas normal untuk biota

laut, termasuk lamun yang berada

diperairan tersebut. Menurut Dody.

(2007), bahwa kadar salinitas siput

gonggong berkisar antara 31,0-33,3 ‰.

Salinitas adalah konsentrasi seluruh

larutan garam yang diperoleh dalam air

laut. Salinitas sangat berpengaruh

terhadap tekanan osmotik didalam air,

semakin tinggi salinitasnya maka akan

semakin besar pula tekanan

osmotiknya. Biota di perairan

memerlukan banyak energi dari

makanannya untuk menyesuaikan diri

terhadap tekanan osmotik tersebut

(Kordi., 2007).

4.4.3. pH (derajat keasaman)

Derajat keasaman atau (pH)

digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang dimiliki

oleh suatu larutan adapun yang

dimaksudkan “keasaman” di sini

adalah konsentrasi ion hydrogen (H+)

dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari

0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan

netral apabila memiliki nilai pH =7.

Nilai pH >7 menunjukkan larutan

memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH

< 7 menunjukan keasaman (Effendi.,

2003). Hasil penelitian pH (derajat

keasaman) dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6 Hasil pengukuran Derajat

Keasaman perairan Sekatap

Kondisi derajat keasaman (pH) dari

hasil penelitian pada perairan Sekatap

Kelurahan Dompak dengan rata-rata

pada saat pagi hari 7,54, pada siang hari

7,74 dan pada sore hari 7,66. Dengan

demikian kondisi derajat keasaman

(pH) ini baik untuk kehidupan optimal

biota laut. Jika mengacu pada ketetapan

Kepmen-LH No 51 tahun 2004 yang

menentukan bahwa nilai derajat

keasaman (pH) yang optimum bagi

kehidupan biota laut adalah pada

kisaran 7 – 8,5.

4.4.4. DO (oksigen terlarut)

Oksigen terlarut (DO) salah satu

bentuk gas terlarut yang paling penting

dalam sistem kehidupan perairan.

Oksigen terlarut juga merupakan

variabel kimia yang mempunyai peran

penting sekaligus menjadi faktor

pembatas bagi kehidupan biota air

(Nybakken., 1988). Menurut

Setyobudiandi., (2000) in Ippah.,

(2007), bahwa penurunan oksigen

terlarut tidak mempunyai pengaruh

yang berarti karena moluska dapat

melakukan metabolisme secara

anaerob. Dengan demikian nilai

oksigen terlarut perairan dapat dilihat

pada tabel 7.

Hasil pengukuran kandungan

Oksigen terlarut (DO) diperairan

Sekatap Kelurahan Dompak yaitu

dengan hasil rata-rata pada waktu pagi

hari adalah sebesar 7,30 mg/L, pada

siang hari sebesar 7,33 mg/L dan pada

sore hari sebesar 7,47 mg/L. Menurut

Kepmen–LH No 51 tahun 2004 tentang

biota laut kandungan Oksigen terlarut

(DO) yang sesuai untuk kehidupan

organisme akuatik adalah sebesar > 5

mg/L. Dengan demikian kondisi

Oksigen terlarut (DO) melebihi kisaran

optimal yang ditentukan sehingga layak

untuk kehidupan biota laut.

Sedangkan menurut Effendi.

(2003), kandungan oksigen terlarut

minimal 2 mg/L sudah cukup

mendukung kehidupan organisme

perairan secara normal. Namun

menurut Kordi. (2007), meskipun

beberapa jenis organisme akuatik

masih dapat hidup pada kondisi oksigen

2-3 mg/L, namun sebagian besar biota

akuatik hidup baik pada kadar oksigen

minimal 5 mg/L. Sastrawijaya. (2000),

mengatakan bahwa kondisi Oksigen

Terlarut (DO) diperairan tergantung

pada suhu, fotosintesis, tingkat

penetrasi cahaya, aliran air, serta

jumlah bahan organik yang diuraikan

dalam air.

4.5. Karakteristik Subsrat

Tipe atau jeins subsrat dianalisis

dengan menggunakan skala wenwort.

Penentuan tipe substrat dasar perairan

Sekatap Kelurahan Dompak kota

Tanjungpinang dilakukan dengan

pengambilan sample sebanyak 30 titik

sampling. Berdasarkan hasil penelitian

tipe substrat dasar perairan Sekatap

Kelurahan Dompak hampir sama 30

titik sampling, maka diambil per area

dimana area I itu dipangkal wilayah

area sampling, area II diambil pada

tengah wilayah sampling, dan area III

itu diujung wilayah area sampling.

Adapun komposisi substrat pada setiap

area sampling dapat dilihat pada tabel

8.

Tabel 8 Hasil pengukuran fraksi subsrat

perairan Sekatap Kelurahan Dompak

Tipe substrat pada lokasi penelitian

di perairan Sekatap Kelurahan Dompak

yang didapatkan dari hasil analisis

laboratorium dari ukuran partikel

substrat yang merupakan habitat siput

gonggong yaitu sebagian besar terdiri

dari pasir berlumpur. Menurut Dody.

(2007), bahwa spesies siput gonggong

umumnya mendiami substrat lunak dan

dapat ditemukan pada substrat yang

didominasi oleh pasir hingga pasir

berlumpur dan berada pada areal yang

tenang dan terlindung dari gerakan arus

yang kuat. Sedangkan Menurut Amini.,

(1986) in Dody., (2012), menyatakan

bahwa siput gonggong di perairan

Pulau Bintan Riau, sering ditemukan di

antara tumbuhan lamun dengan substrat

pasir berlumpur.

4.6. Hubungan Kerapatan Lamun

dengan Kepadatan Strombus

sp.

Berdasarkan uji asumsi, data dapat

digunakan untuk perhitungan regresi

karena asumsinya terpenuhi. Analisis

regresi ini bertujuan untuk memberi

gambaran tentang hubungan antara

Kerapatan Lamun dengan Kepadatan

strombus sp. (Siput Gonggong)

dilokasi penelitian yaitu perairan

Sekatap Kelurahan Dompak.

Berdasarkan perhitungan statistik

diperoleh nilai p-value (0,1663) <

signifikan (0,05), dengan demikian

berarti persamaan regresi tersebut dapat

digunakan untuk menjelaskan

hubungan antar variabel yang diteliti.

Data hasil perhitungan regresi

menunjukkan nilai R-square sebesar

0,9332 yang berarti sebesar 93,32%

data yang diambil dapat menjelaskan

hubungan antara Kerapatan Lamun

terhadap Kepadatan Siput Gonggong.

Persamaan regresi untuk kedua variabel

yang diteliti yaitu kerapatan lamun dan

kepadatan siput gonggong adalah y =

1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan hasil

penelitian tersebut kerapatan lamun

memiliki hubungan yang negatif

terhadap kepadatan Gonggong, artinya

setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan

mengurangi Kepadatan Gonggong

sebesar 0,1808 individu. Kurva Regresi

Linear Sederhana dapat dilihat pada

gambar 11 berikut.

Hasil perhitungan regresi yang

menunjukkan hubungan yang negatif

dilokasi penelitian, artinya peningkatan

kerapatan lamun, justru akan

mengurangi tingkat kepadatan Siput

Gonggong. Hal ini disebabkan karena

dilokasi penelitian yaitu perairan

Sekatap Kelurahan Dompak, lamun

lebih didominasi oleh jenis Enhalus

accoroides yang kurang sesuai untuk

habitat Siput Gonggong. Kepadatan

siput gonggong tergolong rendah hal ini

dikarenakan siput gonggong paling

banyak memanfaatkan lamun jenis

Halophila spp sebagai media untuk

menempelkan telurnya pada helai daun.

(Zaidi., 2009).

Kerapatan lamun yang terlalu

tinggi akan menghambat aktifitas dari

organisme dasar yaitu Siput Gonggong

karena sistem perakaran yang rapat,

sehingga tidak ada ruang yang ideal

untuk pergerakan bagi siput gonggong.

Strombus urceus dan Strombus

canarium merupakan jenis Gastropoda

umumnya kedua spesies ini banyak

ditemukan penutupan relatif lamun

kurang dari 50%, hal ini karena pada

penutupan lamun yang tinggi/ padat

akan menyulitkan pergerakan

Gastropoda jenis ini (Syari., 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

1. Siput gonggong yang

ditemukan pada lamun perairan

Sekatap Kelurahan Dompak

selama penelitan yaitu 2 jenis

dengan jenis strombus

caranium dan strombus

turturella dan terdapat 3

Spesies lamun yang ditemukan

pada lokasi penelitian, yaitu;

Enhalus accoroides,

Cymodocea serullata, dan

Halodule uninervis. Komposisi

jenis lamun yang paling tinggi

dilokasi penelitian yaitu

perairan Sekatap Kelurahan

Dompak berada pada jenis

Enhalus acoroides dengan

persentase nilai sebesar 54%.

2. Persamaan regresi untuk kedua

variabel yang diteliti yaitu y =

1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan

hasil penelitian kerapatan

lamun memiliki hubungan

yang negatif terhadap

kepadatan Gonggong, artinya

setiap kenaikan 1 kerapatan

lamun akan mengurangi

Kepadatan Gonggong sebesar

0,1808 individu. Dengan nilai

R-square sebesar 0.9332 yang

berarti sebesar 93,32% data

yang diambil dapat

menjelaskan hubungan antara

Kerapatan Lamun terhadap

Kepadatan Siput Gonggong

dan sisanya 6,68% dipengaruhi

oleh faktor lain.

5.2. SARAN

Diharapkan kepada peneliti

selanjutnya melakukan penelitian

tepat pada waktu musim siput

gonggong, menurut masyarakat

setempat bertepatan pada bulan

April hingga Mei. Jadi hubungan

lamun dengan siput gonggong

diperkirakan akan tergambar lebih

jelas dan perlu dilakukan penelitian

terhadap faktor lingkungan lain,

serta sejauh mana tingkat toleransi

Siput Gonggong terhadap faktor

lingkungan perairan, serta perlu

dilakukan kajian untuk mengetahui

sejauh mana hubungan antara

faktor lingkungan terhadap tingkat

kepadatan Siput Gonggong.

DAFTAR PUSTAKA

APHA, 1992. Standard Methods for the

Examination of Water and Waste

Water. American Public Health

Association, Washington DC, USA.

Azkab, M. H. 2000. Struktur dan

Fungsi pada Komunitas Lamun.

Oseana (3) 25 : 9.

Azkab, M. H. 2009. Study on seagrass

community structure and biomass in

the southern part of Seribu Islands.

Paper presented at the First Regional

Symposium of the ASEAN-

Australia Coastal Living Resources

Project. Manila, Philippines. 353-

362.

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis

Ekosistem dan Sumberdaya Alam

Pesisir dan Laut. Pusat Kajian

Sumberdaya Pesisir dan Laut.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

61hal.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman

Hayati Laut. Aset Pembangunan

Berkelanjutan Indonesia. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta. 412 hal.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang

Indonesia. PT Sarana Graha.

Jakarta. 135 hal.

Dody, S. 2007 Habitat dan Sebaran

Spasial Siput Gonggong (Strombus

turturella) di Teluk Klabat, Bangka

Belitung. Prosiding Seminar

Nasional Moluska dalam Penelitian,

Konservasi dan Ekonomi. Pusat

Penelitian Oseanografi LIPI.

Jakarta. 100 hal.

Dody, S. 2012. Pemijahan dan

Perkembangan Larva Siput

Gonggong (Strombus Turturella),

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan

Tropis. Pusat Penelitian

Oseanografi-LIPI. Jakarta. 4 : 107-

113.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

2012. Penyusunan Rencana Zonasi

Pengelolaan Kawasan Habitat

Gonggong (Strombus sp.) Kota

Tanjungpinang. Griya Reka

Esterika. Tanjungpinang.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air

bagi Pengelolaan Sumber Daya

Lingkungan Perairan. Kanisus.

Yagyakarta. 258 hal.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling

Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

198 hal.

Hasan, I. 2009. Analisis Data Penelitian

dengan Statistik. Bumi Aksara.

Jakarta. 220 hal.

Hutabarat, S. 2000. Productivitas

Perairan dan Plankton. Telaah

Terhadap Ilmu Kelautan dan

Perikanan. Badan Penerbit

Universitas Dipenogoro.

Ippah, I. 2007. Pola Perubahan

Kepadatan dan Biomassa Populasi

Simping (Placuna placenta Linn,

1758) di Perairan Kron, Kronjo,

Kabupaten Tangerang, Banten.

Skipsi. Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautam,

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu

Ait Laut

Untuk Biota Laut.

Kordi, G. K. 2007. Pengelola Kualitas

Air dalam Budidaya Perairan. PT

Renika Cipta. Jakarta. 224 hal.

Kordi, G. K. 2011. Ekosistem Lamun

(Seagrass). PT Rineka Cipta. Jakarta

191 hal

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.

Djambatan. Jakarta. 358 hal.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi laut.

suatu pendekatan ekologis.

(Terjemahan dari Marine biology

An ecological approach, 3 rd

edition). Eidman M, Koesoebiono,

Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo

S (penerjemah). PT Gramedia.

Jakarta. 443 hal.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut.

Suatu pendekatan Ekologis.

Diterjemahkan oleh M. eidman., D.

G.. Bengen., M. Hutomo dan S.

Suharjo., PT Gramedia. Jakarta. 459

hal.

Romimohtarto, K., dan Juwana. S.,

2009. Biologi Laut. Ilmu

Pengetahuan tentang Biologi Laut.

Djambatan. Jakarta. 540 hal.

Sastrawijaya, T. 2000. Pencemaran

Lingkungan. PT Rineka Cipta.

Jakarta. 14 hal.

Siddik, J. 2011. Sebaran Spasial dan

Potensi Reproduksi Populasi Siput

Gonggong (Strombus Turturela) di

Teluk Klabat Bangka – Belitung.

Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Syari, I. A. 2005. Asosiasi Gastropoda

di Ekosistem Padang Lamun

Perairan Pulau Lepar Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung.

Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and

Moosa, M. K. 1997. The Ecology of

Indonesian Seas Part Two. Periplus

Edition. 642 pp.

Utami, D. K. 2012. Studi Bioekologi

Habitat Siput Gonggong (Strombus

Turturella) Di Desa Bakit, Teluk

Klabat, Kabupaten Bangka Barat,

Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H.,

Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2008.

Sexual polymorphism in a

population of Strombus canarium L

at Merambong Shoal, Malaysia.

Journal Zoological Studies 47 : 318–

325.

Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H.,

Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2009.

Species Description and

Distribution of Strombus (Mollusca:

Strombidae) in Johor Straits and its

Surrounding Areas. Journal Sains

Malaysiana 38 : 39–46.