abstrak dll

15

Click here to load reader

Transcript of abstrak dll

Page 1: abstrak dll

Penetapan Kadar Akrilamida Dalam Kentang Goreng Pada Restoran Cepat Saji di Kota Medan Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Oleh: Putri Sari Dewi, Fathur Rahman Harun, Siti Morin SinagaFakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Akrilamida merupakan suatu senyawa toksik yang ditemukan dalam beragam jenis makanan terutama pada kentang goreng. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar akrilamida pada kentang goreng dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Sampel pada penelitian ini berasal dari 6 restoran cepat saji di kota Medan yang dianalisis secara KCKT menggunakan kolom C18 (250 X 4,6 mm), detektor UV pada panjang gelombang 230 nm, laju alir 1,0 ml/menit, dan fase gerak asetronitril:larutan asam fosfat 11,45 mM dengan perbandingan (5:95). Metode ini memberikan akurasi dengan persen recovery 94,07 % (RSD 1,69 %), batas deteksi 0,5810 µg/ml dan batas kuantitasi 1,9368 µg/ml.

Dari hasil penelitian terhadap kadar akrilamida pada kentang goreng diperoleh kadar pada rentang 0,4-11 mg/kg dimana kadar tersebut masih berada pada batas dosis letal yaitu 50-500 mg/kg berat badan.

Kata kunci : akrilamida, kentang goreng, KCKT, validasi.

PENDAHULUANA.Latar Belakang

Akrilamida merupakan suatu senyawa yang umumnya digunakan sebagai bahan baku dalam sintesis poliakrilamida, pemurnian air dan produksi kertas. Akrilamida memiliki efek genotoksik dan karsinogenik (Ötles, 2004).Akrilamida terdapat dalam makanan kaya karbohidrat, misalnya roti, beberapa produk kentang, biskuit, jagung, sereal dan lain-lain.

Dari hasil penelitian terhadap beragam jenis makanan kandungan akrilamida yang terbesar terdapat pada makanan berkarbohidrat tinggi yang dimasak pada suhu diatas 1200C (Friedman, 2003). Kentang merupakan kelompok makanan yang mengandung konsentrasi akrilamida tertinggi yaitu keripik kentang sebesar 0,17-3,7 mg/kg dan kentang goreng sebesar 0,2-12 mg/kg (Friedman, 2003), adapun dosis letal akrilamida ialah 50-500 mg/kg setiap harinya pada manusia dengan berat badan kira-kira 76 kg (BPOM, 2002). Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kentang goreng berbahaya bila dikonsumsi berlebihan.

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan hewan tikus, akrilamida diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan sel-sel saraf, gangguan reproduksi, dan pemberian dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumor. Namun demikian, belum ada fakta yang teruji untuk membuktikan bahwa akrilamida dalam makanan berpotensi menyebabkan kanker pada manusia, karena pemberian makanan yang mengandung akrilamida dengan dosis tinggi pada hewan tikus tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung (Harahap, 2006). Analisis akrilamida dalam makanan dapat menggunakan berbagai metode seperti kromatografi gas spektrometri massa, kromatografi cair–spektrometri massa

1

Page 2: abstrak dll

tandem dan kromatografi cair kinerja tinggi (Harahap, 2006; Ötles, 2004; Tanseri, 2009). Uraian di atas menjadi alasan penelitian ini dilakukan, yaitu untuk mengetahui kadar akrilamida pada kentang goreng yang terdapat di restoran cepat saji di kota medan dengan metode KCKT menggunakan kolom C18 (4,6 x 250 mm), detektor UV pada panjang gelombang 230 nm dengan fase gerak asetronitril:aquabidest:asam fosfat (5:94:1) dan laju alir 1,0 ml/menit. Metode KCKT ini lebih sederhana dibanding dengan metode kromatografi gas spektrometri massa dan kromatografi cair–spektrometri massa tandem (Harahap, 2006).

METODOLOGIA. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat instrumen KCKT (Shimadzu Prominence series), kolom Shim-Pack VP-ODS (4,6 x 250 mm), injektor (Rheodyne 7225i) dan detektor UV/Vis (SPD 20 A); syringe 100 μl (SGE); sonifikator (Branson 1510); pompa vakum (Gast DOA-P604-BN); penyaring membran Whatman Cellulose Nitrate 0,45 μm dan PTFE 0,5 μm dengan diameter 47 mm; penyaring membran Whatman Cellulose Nitrate 0,2 μm dengan diameter 13 mm; neraca analitik (Boeco BBL31); spektrofotometer UV (Shimadzu 1800); laboratory shaker (Julabo SW 22); hot plate (Fisons); sentrifugator (Janetzki T5); alat destilasi serta peralatan gelas yang umumnya digunakan dalam laboratorium analitik.

B. BahanBahan yang digunakan jika tidak dinyatakan lain merupakan kualitas p.a.

(pro analysis) keluaran E.Merck antara lain diklorometan, asetonitril, asam fosfat 85%, akrilamida for synthesis dan aquabidest (PT. Ikapharmindo Putramas).

C. SampelSampel yang diperiksa dalam penelitian ini merupakan kentang goreng

yang berasal dari 6 restoran cepat saji yang berada di kota Medan dengan kode A, B, C, D, E, F.

D. Rancangan Penelitian1 Penyiapan Bahan1.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Pembanding Akrilamida

Ditimbang seksama sebanyak 50,0 mg akrilamida baku, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, dilarutkan dengan sedikit pelarut, kemudian dikocok dan diencerkan dengan pelarut sampai garis tanda sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm. Dipipet 5 ml larutan induk baku I, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, diencerkan dengan pelarut sampai garis tanda lalu dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 ppm. Dipipet 5 ml larutan induk baku II, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, diencerkan dengan pelarut sampai garis tanda dan dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 10 ppm.1.3 Pembuatan Larutan Sampel

Sampel ditimbang seksama sebanyak 10,0 g kemudian ditambahkan 60 ml diklorometan dan 3 ml etanol. Larutan tersebut lalu dikocok dengan menggunakan

2

Page 3: abstrak dll

alat laboratory shaker selama 120 menit. Hasilnya disaring kemudian residu dibilas dengan 5 ml diklorometan sebanyak dua kali. Filtrat selanjutnya ditambahkan 25 ml pelarut dan didestilasi hingga diklorometan habis. Untuk memisahkan minyak yang ikut terekstraksi, larutan destilat kemudian disentrifugasi selama 30 menit (Levitta, 2006). Setelah itu, larutan dibekukan dalam freezer lemari pendingin selama 3 jam. Minyak yang sudah memadat dipisahkan secara fisik dari fase air beku. Larutan ini kemudian disebut sebagai larutan sampel.

1.4 Prosedur Analisis1.4.1 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif akrilamida dapat dilakukan dengan membandingkan waktu tambat yang sama (identik) dari kromatogram pada penyuntikan larutan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding akrilamida pada kondisi KCKT yang sama. Untuk mempertegas identifikasi ini, sedikit larutan baku pembanding akrilamida ditambahkan (spiking) ke dalam larutan sampel, lalu dianalisis kembali dengan KCKT. 1.4.2 Analisis Kuantitatif1.4.2.1 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding

AkrilamidaLarutan induk baku III (10 ppm) dipipet 6 ml; 8 ml; 10 ml; 12 ml; dan 13

ml masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml, diencerkan dengan pelarut sampai garis tanda. Lalu dikocok sampai homogen sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 2,4 ppm; 3,2 ppm; 4 ppm; 4,8 ppm; dan 5,2 ppm. Masing-masing larutan tersebut disaring melalui penyaring membran Cellulose Nitrate 0,2 μm dan diawaudarakan selama ± 20 menit. Setelah itu, filtrat larutan baku pembanding disuntikkan sebanyak 100 μl ke dalam sistem KCKT melalui injektor dengan loop 20 μl. Direkam kromatogram dan dibuat kurva kalibrasi antara luas puncak dengan konsentrasi, lalu dihitung persamaan regresi dan koefisien korelasi.1.4.2.2 Penetapan Kadar Akrilamida dalam Sampel

Larutan sampel yang telah disiapkan seperti pada bagian 2.4.1.2 disaring melalui penyaring membran Cellulose Nitrate 0,2 μm dan diawaudarakan selama ±20 menit. Kemudian disuntikkan sebanyak 100 μl ke dalam sistem KCKT melalui injektor dengan loop 20 μl, menggunakan sistem elusi isokratik dengan fase gerak larutan asam fosfat 11,45 mM dan asetonitril dimana perbandingan komposisi dan laju alir sesuai dengan hasil optimasi. Deteksi menggunakan detektor UV pada panjang gelombang hasil optimasi. Direkam kromatogram dan dicatat luas puncak. 1.4.3 Validasi Metode

Validasi dilakukan untuk menguji metode yang digunakan pada penelitian meliputi uji akurasi, uji presisi, batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ). Uji akurasi dilakukan secara penambahan bahan baku (standard addition method) terhadap sampel. Uji akurasi menggunakan konsentrasi sampel dengan rentang spesifik 50%, 100%, dan 150% dihitung dari kadar rerata akrilamida dalam sampel Sampel dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.

3

Page 4: abstrak dll

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Optimasi Kondisi Kromatografi Sebelum dilakukan penentuan kadar akrilamida dalam sampel terlebih

dahulu kondisi kromatografi dioptimasi yaitu meliputi panjang gelombang analisis, komposisi fase gerak dan laju alir. Panjang gelombang analisis ditentukan dengan membuat kurva serapan akrilamida baku menggunakan spektrofotometer UV. Spektrum hasil pengukuran akrilamida baku dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva serapan akrilamida baku secara spektrofotometri UV

Menurut Brown, et.al. (1982) akrilamida memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang sekitar 196-198 nm, dari hasil penentuan panjang gelombang diperoleh panjang gelombang maksimum akrilamida pada 199 nm dengan serapan 0,517 seperti terlihat pada Gambar 1. Adanya perbedaan panjang gelombang ini masih dalam batas-batas yang diterima yaitu ± 2 nm (Moffat, 2004). Penggunaan panjang gelombang pada 199 nm memberikan banyak gangguan dalam analisis karena pelarut asetonitril memiliki serapan pada panjang gelombang 210 nm. Berdasarkan hal tersebut maka analisis akrilamida dalam penelitian ini dilakukan pada panjang gelombang 230 nm, panjang gelombang ini telah digunakan oleh Harahap (2006) untuk menganalisis akrilamida dalam kentang goreng secara KCKT menggunakan fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (5:94:1) dengan laju alir 1,0 ml/menit.

Pada awal penelitian dilakukan analisis terhadap baku akrilamida menggunakan perbandingan komposisi fase gerak dan laju alir yang sama dengan Harahap tetapi dari hasil orientasi diperoleh kromatogram yang kurang baik. Untuk mengatasi kromatogram baku yang kurang baik tersebut maka dilakukan orientasi dengan memvariasikan perbandingan fase gerak yaitu asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (10:89:1), asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (15:84:1) dan asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1).

Komposisi fase gerak yang terbaik diperoleh pada perbandingan asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1), karena kromatogramnya memiliki nilai HETP (High Equivalent of a Theoritical Plate) 89,443, pelat teori yang tinggi, faktor ikutan 1,023 (faktor ikutan ≤ 2) dan puncak yang simetris seperti terlihat pada Gambar 2.

4

No. Panjang Gelombang Absorbansi1 199,00 0,517

Page 5: abstrak dll

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi HETP Pelat Teori Faktor Ikutan1 3.843 0.000 383121 37999 89.443 2795.068 1.023

Gambar 2. Kromatogram hasil penyuntikan baku akrilamida dengan komposisi fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1)

Hasil optimasi yang diperoleh pada baku kemudian diterapkan untuk orientasi sampel, hal ini perlu dilakukan karena sampel merupakan matriks biologi yang memiliki banyak senyawa-senyawa ikutan lainnya sehingga dikhawatirkan kondisi yang diperoleh pada optimasi baku tidak dapat diterapkan untuk menganalisis sampel. Pada awalnya larutan sampel dianalisis menggunakan kondisi KCKT dengan komposisi fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1) dan diperoleh kromatogram seperti terlihat pada Gambar 3.

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi HETP Pelat Teori Faktor Ikutan1 2.062 0.000 1438 88 745.527 335.333 1.1042 2.791 2.124 9937 1400 112.364 2224.906 1.3353 2.976 1.023 3022 726 27.581 9064.319 1.3624 3.275 2.350 2491 583 24.285 10294.377 1.1675 3.443 0.655 2147 136 193.380 1292.794 3.0296 3.879 1.634 4215 805 23.614 10586.882 1.3727 4.800 3.325 1814 164 110.261 2267.355 1.165

Gambar 3. Kromatogram hasil penyuntikan sampel dengan komposisi fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1)Pada kromatogram diatas terdapat beberapa puncak sehingga untuk

mendeteksi puncak akrilamida dilakukan penambahan larutan baku pada sampel (spiking), puncak akrilamida akan mengalami penambahan luas serta tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi HETP Pelat Teori Faktor Ikutan1 3.605 0.000 264849 51228 25.501 9803.515 1.363

Gambar 4. Kromatogram hasil spike sampel dengan komposisi fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat 10% (20:79:1)

5

Page 6: abstrak dll

Dari Gambar 3 dan 4 dapat disimpulkan bahwa kromatogram dari sampel kurang baik karena puncak akrilamida memiliki faktor ikutan 2,637 (faktor ikutan ≤ 2) maka dilakukan orientasi dengan memvariasikan perbandingan fase gerak yaitu asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (15:85), asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (10:90), dan asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95). Komposisi fase gerak yang terbaik untuk sampel diperoleh pada perbandingan asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95) karena menunjukkan nilai pelat teori yang tertinggi, HETP yang terendah, faktor ikutan 1,590 (≤ 2) dan puncak yang simetris seperti terlihat pada Gambar 5.

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi

HETP Pelat Teori Faktor Ikutan

1 3.987 0.000 167140 52237 8.411 29722.506 1.590

Gambar 5. Kromatogram hasil penyuntikan sampel dengan komposisi fase gerak asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95)

B. Analisis KualitatifHasil identifikasi sampel kentang goreng dari 6 restoran cepat saji

menunjukkan adanya akrilamida, hal ini dapat dilihat dari waktu retensi sampel terhadap baku akrilamida yang hampir sama (≤ 5%). Salah satu contoh kromatogram sampel dan baku akrilamida hasil analisis KCKT ini dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7 .

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi

HETP Pelat Teori Faktor Ikutan

1 3.987 0.000 167140 52237 8.411 29722.506 1.590

Gambar 6. Kromatogram hasil penyuntikan sampel dengan komposisi fase gerak asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95)

6

Page 7: abstrak dll

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi HETP Pelat Teori Faktor Ikutan1 4.042 0.000 194296 137377 10.324 24215.833 1.948

Gambar 7. Kromatogram hasil penyuntikan baku akrilamida 10 ppm dengan kondisi fase gerak asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95)

Untuk mempertegas identifikasi yang diperoleh, ditambahkan larutan akrilamida baku ke dalam larutan sampel (spiking). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas dan tinggi puncak akrilamida yang diamati dari sebelumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa puncak yang diamati dalam larutan sampel adalah benar merupakan puncak akrilamida. Kromatogram larutan sampel setelah spiking dapat dilihat pada Gambar 8.

Puncak Waktu Retensi Resolusi Luas Tinggi

HETP Pelat Teori Faktor Ikutan

1 4.002 0.000 269348 83784 9.113 27432.819 1.667

Gambar 8. Kromatogram hasil penyuntikan larutan sampel yang telah di-spike dengan larutan baku pembanding akrilamida dengan kondisi KCKT yang sama untuk uji kualitatif

C. Kadar Akrilamida dalam Sampel Kentang Goreng Sampel kentang goreng diambil dari 6 restoran cepat saji di kota Medan,

dengan kode A, B, C, D, E, F. Alasan pengambilan sampel karena restoran-restoran tersebut terkenal dan memiliki banyak pengunjung sehingga pengambilan sampel akan mewakili sampel kentang goreng yang dikonsumsi oleh penduduk di kota Medan. Data rerata kadar sampel dan rentang kadar setelah uji statistik terdapat dalam Tabel 1.

7

Page 8: abstrak dll

Tabel 1. Kadar Akrilamida dalam Sampel Kentang GorengNo Sampel Rentang Kadar

Akrilamida(mg/kg sampel)

1 A 3,1805-3,19512 B 1,8243-1,84353 C 0,4151-0,45234 D 5,0715-5,09575 E 1,7248-1,82166 F 11,0482-11,266

Ket: rerata kadar akrilamida diperoleh dari 6 kali replikasiDari tabel diatas dapat dilihat rentang kadar akrilamida dalam kentang

goreng yaitu 0,4-11 mg/kg, kadar keenam sampel tersebut masih berada pada batas dosis letal yaitu 50-500 mg/kgbb (BPOM, 2002). Kadar akrilamida tertinggi terdapat pada sampel F, hal ini tidak sesuai dengan pengamatan berdasarkan warna sampel yang menyatakan makin gelap warna sampel maka makin tinggi kadar akrilamida yang terkandung didalamnya. Keenam sampel tersebut memiliki warna kekuningan kecuali sampel E dengan warna lebih kecoklatan dibanding lima sampel lainnya tetapi setelah dianalisis kadarnya lebih kecil daripada sampel F. Tingginya kadar akrilamida pada sampel F kemungkinan disebabkan oleh lama waktu penyimpanan kentang yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa sehingga meningkatkan kadar akrilamida (Viklund, 2006).

KESIMPULANDari hasil penelitian menunjukkan metode KCKT menggunakan kolom

C18 (4,6 X 250 mm), dengan perbandingan fase gerak asetonitril:aquabidest:asam fosfat (5:94:1), laju alir 1,0 ml/menit, dan detektor UV pada panjang gelombang 230 nm tidak dapat diterapkan dalam penetapan kadar akrilamida pada kentang goreng karena memberikan hasil pemisahan kromatogram yang kurang baik, tetapi dengan merubah komposisi fase gerak menjadi asetonitril:larutan asam fosfat 11,45 mM (5:95) dihasilkan pemisahan kromatogram yang baik dan metode ini memberikan akurasi dengan persen recovery 94,07 %, relatif standar deviasi 1,69 %, batas deteksi 0,5810 mcg/ml dan batas kuantitasi 1,9368 mcg/ml. Kadar akrilamida pada kentang goreng di restoran cepat saji berada pada rentang 0,4-11 mg/kg dimana kadar tersebut masih berada pada batas dosis letal yaitu 50-500 mg/kg berat badan.

8

Page 9: abstrak dll

DAFTAR PUSTAKA

BPOM. (2002). Akrilamida dalam Makanan. Info POM. Vol 3(8): hal. 2.

Brown, L., Rhead, M.M., dan K.C.C., Bancroft. (1982). Rapid Screening Technique Utilising High-Performance Liquid Chromatography for Assessing Acrylamide Contamination in Effluents. Analyst 107: hal. 749-754.

Castle, L. (2006). Analysis for Acrylamide in Foods. Acrylamide and Other Hazardous Compounds in Heat-Treated Foods. Cambridge. Woodhead Publishing: hal. 121.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: hal. 1002.

FAO dan WHO. (2002). Health Implications of Acrylamide in Food. Report of a Joint FAO/WHO Consultation. Geneva, Switzerland. WHO Headquarters: hal. 12-13.

Friedman, M. (2003). Chemistry, Biochemistry and Safety of Acrylamide. Journal of Agricultural and Food Chemistry 51: hal. 4509, 4517.

Gökmen, V., dan H.Z. Senyuva. (2008). Acrylamide in Heated Foods. Bioactive Compounds in Foods. Editor: Gilbert, J., dan H.Z. Senyuva. Chichester. Blackwell Publishing: hal. 254, 257-259, 273.

Gritter, R.J, Bobbit, J.M, dan Schwarting, A.E. (1985). Introduction of Chromatography. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Pengantar Kromatografi. Edisi Ketiga. Penerbit ITB. Bandung: hal. 186-239.

Harahap, Y. (2006). Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan Analisisnya. Majalah Ilmu Kefarmasian III(3): hal. 107-116.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Review Artikel. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol 1(3): hal. 117-135.

Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1991). Basic Liquid Chromatography. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Dasar Kromatografi Cair. Penerbit ITB. Bandung: hal. 16, 278-279.

9

Page 10: abstrak dll

Leung, R.W.M., Pandey, R.N., dan B.S. Das. (1987). Determination of Polyacrylamides in Coal Washery Effluents by Ultrafiltration/Size-Exclusion Chromatography-Ultraviolet Detection Techniques. Environmental Science Technology 21(5): hal. 476-481.

Levita, J. (2006). Study Of The Formation Of Acrylamide in Fried Cassava with Coconut Oil, Palm Oil and Corn Oil As Cooking Media. Universitas Padjajaran. Bandung: hal. 3.

Moffat, A.C., Osselton, M.D., dan Widdop, B. (2005). Clarke‘s Analysis Of Drug And Poisons. Thirth edition. London: Pharmaceutical Press. Electronic version.

Ötles, S. dan Ö., Semith. (2004). Acrylamide in Food. Electronic Journal of Enviromental, Agricultural and Food Chemistry: hal. 723-726.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Pertama. Yogyakarta.Pustaka Pelajar: 323, 378-382, 393-397, 465-470.

Tanseri, L. (2009) Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Akrilamida Dalam Kentang Goreng Simulasi. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara: 32.

Viklund, G., Mendoza, F., Sjojholm, I., dan Skog, K. (2006). Experimental Set-up For Studying Acrylamide Formation in Potato Crisp. Departemen of Food Technology, Engineering and Nutrition, Lund University, Sweden: 3-4.

10