absolute power corrupt absolutely.
Transcript of absolute power corrupt absolutely.
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------
Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara
Continuing Legal Education,” Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai
Penjaga Konstitusi dan Pengawal Demokrasi Dalam Sengketa Pemilu”
Jakarta, 3 Mei 2013
1. Reformasi Politik dan Hukum
Pada 1998, bangsa Indonesia mengalami reformasi politik yang diiringi dengan reformasi
konstitusi. Ketika itu para akademisi dan praktisi serta elemen-elemen mahasiswa
sepakat bahwa UUD 1945 yang kita miliki turut andil dalam melahirkan rezim otoriter
sehingga perlu diamandemen. Oleh karena itu, pada 1999 sampai dengan 2002
dilakukan amandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai
tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pemisahan kekuasaan, kesejahteraan sosial,
eksistensi negara demokrasi dan negara hukum serta hal-hal lain sesuai dengan
perkembangan aspirasi masyarakat dan kebutuhan bangsa.
Reformasi konstitusi telah melahirkan beberapa lembaga negara baru, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Kelahiran lembaga-
lembaga ini didasari atas pemikiran dan semangat untuk memperkuat mekanisme saling
mengendalikan dan saling mengimbangi (checks and balances) antar cabang-cabang
kekuasaan negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal
ini senada dengan pendapat Lord Acton yang mengatakan,”power tends to corrupt,
absolute power corrupt absolutely.
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan bahwa MK memiliki empat
kewenangan konstitusional (constitutional authorities) dan satu kewajiban konstitusional
(constitusional obligation). Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi (UU MK) mempertegas ketentuan tersebut dengan menyebut empat
kewenangan MK, yaitu:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
1
bphn
2. Memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) dan
Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat
(2) UU MK, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memberi keputusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Selain memiliki empat
kewenangan dan satu kewajiban, MK juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari
kewenangannya itu, yakni pengawal kontitusi (the guardian of constitution), penafsir
akhir konstitusi (the final interpreter of constitution), pengawal demokrasi (the guardian
of democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s
constitutional right), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).
Dalam konteks pembangunan hukum yang berkeadilan, keempat kewenangan dan satu
kewajiban tersebut memiliki peran yang sangat strategis. Mekanisme judicial review,
misalnya, merupakan upaya paling efektif pada saat ini guna menjamin dan memastikan
bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi penuntun
penyelenggaraan negara agar selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar telah
merobohkan doktrin supremasi parlemen (supremacy of parliament) yang menjadi
paradigma dasar UUD 1945 sebelum perubahan dan menggantikannya dengan ajaran
supremasi konstitusi (supremacy of constitution).
Di sisi lain, MK tidak hanya berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
constitution), tetapi juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the guardian of
ideology), yakni Pancasila. Artinya, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara konstitusi, maka selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, juga harus
mendasarkan pada Pancasila sebagai batu uji dalam setiap perkara konstitusionalitas
produk undang-undang.
3. Paradigma Keadilan Substantif Dalam Memutus Sengketa Pemilu
Secara normatif, MK hanya berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
hasil Pemilu yang meliputi Pemilu legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pemilukada.
Namun, dalam perkembangannya, untuk mencapai demokrasi substansial, MK dapat
pula mengadili tidak hanya pada sengketa hasil Pemilu, melainkan juga pada
keseluruhan proses Pemilu sepanjang proses itu terbukti dalam persidangan melanggar
2
bphn
asas Pemilu yang Luber dan Jurdil. Hal ini merupakan ikhtiar MK untuk mencapai
demokrasi yang substansial bukan hanya demokrasi yang melulu bersifat prosedural.
Oleh karena itu, saat memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa Pemilukada Provinsi
Jawa Timur, meskipun dalil Pemohon hanya sedikit mempermasalahkan sengketa hasil
suara, namun dalam pemeriksaan fakta di persidangan secara nyata telah terbukti
adanya pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massive yang menciderai
asas-asas Pemilukada yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Oleh karenanya, Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di
tiga kabupaten, yaitu Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.
Pemilihan umum merupakan sarana utama pembentukan dan penyelenggaraan
demokrasi karena di dalamnya ada partisipasi rakyat dalam memilih dan menentukan
pemimpin maupun wakilnya. Oleh karena itu, pemilihan umum harus dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tidak boleh ada lagi suara
pemilih yang tidak dihitung atau dimanipulasi, karena hal tersebut sama saja halnya
dengan menyelewengkan kedaulatan rakyat (people’s sovereignty).
Dalam perkara perselisihan hasil pemilu, wewenang MK bukan sekedar menghitung
perselisihan suara saja, tetapi wajib mencari keadilan atas pelanggaran prinsip-prinsip
pemilu yang demokratis. MK memang tidak diperkenankan mengadili pelanggaran
Pemilu yang bersifat pidana dan administratif, karena bukan menjadi kewenangan yang
dimilikinya. Namun ketika melihat adanya prinsip dan asas Pemilu yang dilanggar
sehingga menyebabkan munculnya ketidakadilan dalam pelaksanaan pemilu, maka MK
secara hati-hati dan selektif akan mengadilinya.
Dalam hal ini, MK telah menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of democracy) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of
citizen’s constitutional right).
4. Addressat Putusan MK
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan,”Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final...” .Sifat putusan MK yang bersifat final artinya bahwa tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh terhadap putusan MK ini. Selain itu, putusan MK juga bersifat mengikat
(binding), tidak hanya mengikat para pihak tetapi juga mengikat seluruh warga negara
Indonesia (erga omnes). Putusan MK ini kemudian harus ditindaklanjuti oleh para
addressad putusan MK,1 dalam hal ini adalah Presiden dan DPR melalui revisi ketentuan
1 Addressat putusan MK ini berbeda-beda dalam setiap pelaksanaan kewenangan MK. Dalam perkara judicial review produk undang-undang, yang menjadi addressad putusan MK adalah Presiden dan DPR. Sedangkan dalam Sengketa Pemilu maupun Pemilukada, addressatnya adalah KPU, dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.
3
bphn
yang telah dibatalkan oleh MK. Oleh karena itu, putusan MK menjadi politik hukum bagi
pembentuk undang-undang dalam proses legislasi nasional. Meskipun MK tidak memiliki
instrumen hukum untuk menegakan putusannya, namun putusan MK menjadi panduan
dan pedoman dalam setiap perkara konstitusi.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan putusan MK ini diserahkan kepada kesadaran
berhukum dan berkonstitusi seluruh masyarakat, terutama para addressat putusan MK.
Keengganan dalam melaksanakan putusan MK merupakan sebuah pelanggaran
konstitusi yang merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) seluruh rakyat Indonesia.
Kasus ini menjadi penanda rendahnya kesadaran berhukum dan berkonstitusi yang
masih menyelimuti sebagian penyelenggara negara.
5. Gagasan Judicial Review Satu Atap
Dalam perkembangan pelaksanaan kewenangan MK, ada sebuah diskursus yang selalu
menjadi bahan diskusi dan perdebatan dalam forum-forum akademis dan ilmiah, yakni
terkait dengan gagasan agar MK diberi kewenangan untuk melakukan judicial review
terhadap semua produk perundang-undangan. Setidaknya ada dua alasan mengapa
gagasan ini muncul. Pertama, dalam perkembangannya, ternyata ada produk hukum
yang posisinya berada di bawah undang-undang seperti PP, Perpres,dan Perda yang
tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi malah bertentangan dengan
konstitusi, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional terhadap warga negara dan
tidak ada saluran hukum yang tersedia, kecuali dilakukan judicial review terhadap
ketentuan itu di MA. Namun, MA hanya memiliki kewenangan untuk melakukan uji
legalitas atas produk hukum yang posisinya berada di bawah undang-undang terhadap
undang-undang dan tidak berwenang melakukan uji konstitusionalitas produk itu
terhadap UUD 1945. Kedua, adanya kesan putusan MA dapat dianulir dan dibatalkan
oleh MK. Padahal kedudukan kedua lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan negara
kita adalah sederajat. Kesan ini muncul tatkala calon legislatif yang kalah dalam Pemilu
melakukan uji legalitas peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 terkait dengan
penghitungan kursi tahap kedua ke MA. Dalam putusannya MA menyatakan bahwa
peraturan KPU tersebut bertentangan dengan undang-undang sehingga MA membuat
penafsiran baru atas Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu tersebut.
Ternyata putusan MA ini menimbulkan kekisruhan politik karena apabila diterapkan,
putusan MA ini dapat menyebabkan disproporsionalitas dan deviasi yang sangat besar
sehingga bertentangan dengan sistem pemilu yang proporsional karena Partai yang
Lain lagi dalam perkara pembubaran partai politik, addressat putusan MK adalah pemerintah dan dalam perkara Impeachment adalah DPR.
4
bphn
perolehan suaranya besar akan memperoleh tambahan kursi, sedangkan partai yang
perolehan suaranya kecil, akan mendapatkan pengurangan kursi.
Polemik ini berakhir ketika beberapa partai politik diantaranya Partai Hanura, Partai
Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera mengajukan judicial review mengenai Pasal 205
Ayat (4) UU No.10 Tahun 2008 ke MK dan MK menjatuhkan putusan conditionally
constitutional, artinya pasal tersebut tetap dinyatakan konstitusional sepanjang
ditafsirkan menurut putusan MK. Namun, ada kesan yang kuat bahwa putusan MA dapat
dibatalkan oleh putusan MK. Hal ini didasari pada perbedaan penafsiran antara MK
dengan MA atas Pasal 205 ayat (4) dan ini merupakan salah satu implikasi dari sistim
judicial review yang berada pada dua atap.
6. Politik Hukum Judicial Review
Terlepas dari adanya diskursus terkait gagasan penyatuatapan proses judicial review.
Saya ingin menegaskan bahwa dualisme judicial review yang saat ini berlaku di negara
kita adalah merupakan sebuah legal policy dari para perubah UUD yang amat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik saat terjadi proses perubahan UUD. Oleh karena itu,
manakala ada sebuah kebutuhan dan keputusan politik untuk merealisasikan gagasan
penyatuatapan proses judicial review, maka yang pertama harus dilakukan adalah
perubahan konstitusi. Karena konstitusi dengan tegas mengatur bahwa uji
konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD merupakan ranah kewenangan MK,
sedangkan uji legalitas produk hukum di bawah undang-undang merupakan
kewenangan MA.
Namun, hendaknya konstitusi tidak terlalu sering diubah, karena akan mengakibatkan
perubahan pada warna dan corak produk hukum yang berada di bawahnya guna
menyesuaikan dengan konstitusi yang baru. Oleh karena itu, sebaiknya hasil
amandemen sekarang dilaksanakan dulu dan tak perlu buru-buru diperbaiki sebab ia
merupakan hasil maksimal yang telah menampung berbagai keinginan secara
kompromistis. Biarlah UUD 1945 yang merupakan garis besar haluan negara dalam
penyusunan kebijakan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan hukum menjadi
kontitusi yang hidup (living constitution).
Jakarta, 1 Mei 2013
Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S.
5
bphn
Peran Mahkamah Konstitusi SebagaiPenjaga Konstitusi dan Pengawal
DemokrasiDalam Sengketa Pemilu
Oleh:Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S.
Continuing Legal EducationPUSLITBANG BPHN
Jakarta, 3 Mei 2013
bphn
• Pada 1998, bangsa Indonesia mengalami reformasi politik yang diiringidengan reformasi konstitusi.
• Ketika itu para akademisi dan praktisi serta elemen-elemenmahasiswa sepakat bahwa UUD 1945 yang kita miliki turut andil dalammelahirkan rezim otoriter sehingga perlu diamandemen.
• Oleh karena itu, pada 1999 sampai dengan 2002 dilakukanamandemen UUD 1945 untuk menyempurnakan aturan dasarmengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pemisahankekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dannegara hukum serta hal-hal lain sesuai dengan perkembangan aspirasimasyarakat dan kebutuhan bangsa.
1. Reformasi Politik dan Hukum
bphn
• Reformasi konstitusi telah melahirkan beberapa lembaga negara baru,yaitu Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan KomisiYudisial.
• Kelahiran lembaga-lembaga ini didasari atas pemikiran dan semangatuntuk memperkuat mekanisme saling mengendalikan dan salingmengimbangi (checks and balances) antar cabang-cabang kekuasaannegara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse ofpower).
• Hal ini senada dengan pendapat Lord Acton yang mengatakan,”powertends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.bp
hn
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi • Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan bahwa MK
memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutional authorities)dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation).
• Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentangMahkamah Konstitusi (UU MK) mempertegas ketentuan tersebutdengan menyebut empat kewenangan MK, yaitu:
a) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik;
d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
bphn
• Sementara itu, berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B Ayat (1) sampaidengan Ayat (5) dan Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 yang kemudianditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (2) UU MK, MahkamahKonstitusi memiliki kewajiban untuk memberi keputusan atas pendapatDPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukanpelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhisyarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimanadimaksud dalam UUD 1945.
• Selain memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, MK jugamemiliki fungsi yang merupakan derivasi dari kewenangannya itu,yakni pengawal kontitusi (the guardian of constitution), penafsir akhirkonstitusi (the final interpreter of constitution), pengawal demokrasi(the guardian of democracy), pelindung hak konstitusional warganegara (the protector of citizen’s constitutional right), pelindung hakasasi manusia (the protector of human rights).
bphn
• Dalam konteks pembangunan hukum yang berkeadilan, keempatkewenangan dan satu kewajiban tersebut memiliki peran yang sangatstrategis.
• Mekanisme judicial review, misalnya, merupakan upaya paling efektifpada saat ini guna menjamin dan memastikan bahwa ketentuanperaturan perundang-undangan yang menjadi penuntunpenyelenggaraan negara agar selaras dan tidak bertentangan denganUUD 1945.
• Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap undang-undangdasar telah merobohkan doktrin supremasi parlemen (supremacy ofparliament) yang menjadi paradigma dasar UUD 1945 sebelumperubahan dan menggantikannya dengan ajaran supremasi konstitusi(supremacy of constitution).
bphn
• Di sisi lain, MK tidak hanya berfungsi sebagai pengawal konstitusi (theguardian of constitution), tetapi juga berfungsi sebagai pengawalideologi negara (the guardian of ideology), yakni Pancasila.
• Artinya, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkarakonstitusi, maka selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945,juga harus mendasarkan pada Pancasila sebagai batu uji dalam setiapperkara konstitusionalitas produk undang-undang.
bphn
3. Paradigma Keadilan Substantif Dalam Memutus Sengketa Pemilu
• Secara normatif, MK hanya berwenang memeriksa, mengadili, danmemutus sengketa hasil Pemilu yang meliputi Pemilu legislatif, PemiluPresiden, maupun Pemilukada.
• Namun, dalam perkembangannya, untuk mencapai demokrasisubstansial, MK dapat pula mengadili tidak hanya pada sengketa hasilPemilu, melainkan juga pada keseluruhan proses Pemilu sepanjangproses itu terbukti dalam persidangan melanggar asas Pemilu yangLuber dan Jurdil.
• Hal ini merupakan ikhtiar MK untuk mencapai demokrasi yangsubstansial bukan hanya demokrasi yang melulu bersifat prosedural.
bphn
• Oleh karena itu, saat memeriksa, mengadili, dan memutus sengketaPemilukada Provinsi Jawa Timur, meskipun dalil Pemohon hanyasedikit mempermasalahkan sengketa hasil suara, namun dalampemeriksaan fakta di persidangan secara nyata telah terbukti adanyapelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massive yangmenciderai asas-asas Pemilukada yang bersifat langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karenanya, Mahkamahmemerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di tigakabupaten, yaitu Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan.bp
hn
• Pemilihan umum merupakan sarana utama pembentukan danpenyelenggaraan demokrasi karena di dalamnya ada partisipasi rakyatdalam memilih dan menentukan pemimpin maupun wakilnya. Olehkarena itu, pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tidak boleh ada lagi suarapemilih yang tidak dihitung atau dimanipulasi, karena hal tersebutsama saja halnya dengan menyelewengkan kedaulatan rakyat(people’s sovereignty).
bphn
• Dalam perkara perselisihan hasil pemilu, wewenang MK bukansekedar menghitung perselisihan suara saja, tetapi wajib mencarikeadilan atas pelanggaran prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. MKmemang tidak diperkenankan mengadili pelanggaran Pemilu yangbersifat pidana dan administratif, karena bukan menjadi kewenanganyang dimilikinya. Namun ketika melihat adanya prinsip dan asasPemilu yang dilanggar sehingga menyebabkan munculnyaketidakadilan dalam pelaksanaan pemilu, maka MK secara hati-hatidan selektif akan mengadilinya.
• Dalam hal ini, MK telah menjalankan fungsinya sebagai pengawaldemokrasi (the guardian of democracy) dan pelindung hakkonstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutionalright).
bphn
• Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan,”MahkamahKonstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhiryang putusannya bersifat final...”.
• Sifat putusan MK yang bersifat final artinya bahwa tidak ada upayahukum yang dapat ditempuh terhadap putusan MK ini.
• Selain itu, putusan MK juga bersifat mengikat (binding), tidak hanyamengikat para pihak tetapi juga mengikat seluruh warga negaraIndonesia (erga omnes).
4. Addressat Putusan MK
bphn
• Putusan MK ini kemudian harus ditindaklanjuti oleh para addressadputusan MK, dalam hal ini adalah Presiden dan DPR melalui revisiketentuan yang telah dibatalkan oleh MK.
• Oleh karena itu, putusan MK menjadi politik hukum bagi pembentukundang-undang dalam proses legislasi nasional. Meskipun MK tidakmemiliki instrumen hukum untuk menegakan putusannya, namunputusan MK menjadi panduan dan pedoman dalam setiap perkarakonstitusi.
bphn
• Dalam perkembangannya, pelaksanaan putusan MK ini diserahkankepada kesadaran berhukum dan berkonstitusi seluruh masyarakat,terutama para addressat putusan MK. Keengganan dalammelaksanakan putusan MK merupakan sebuah pelanggaran konstitusiyang merupakan kesepakatan luhur (modus vivendi) seluruh rakyatIndonesia.
• Kasus ini menjadi penanda rendahnya kesadaran berhukum danberkonstitusi yang masih menyelimuti sebagian penyelenggaranegara.
bphn
5. Gagasan Judicial Review Satu Atap
• Dalam perkembangan pelaksanaan kewenangan MK, ada sebuahdiskursus yang selalu menjadi bahan diskusi dan perdebatandalam forum-forum akademis dan ilmiah, yakni terkait dengangagasan agar MK diberi kewenangan untuk melakukan judicialreview terhadap semua produk perundang-undangan. Setidaknyaada dua alasan mengapa gagasan ini muncul.
bphn
• Pertama, dalam perkembangannya, ternyata ada produk hukumyang posisinya berada di bawah undang-undang seperti PP,Perpres,dan Perda yang tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi malah bertentangan dengan konstitusi, sehinggamenimbulkan kerugian konstitusional terhadap warga negara dantidak ada saluran hukum yang tersedia, kecuali dilakukan judicialreview terhadap ketentuan itu di MA.
• Namun, MA hanya memiliki kewenangan untuk melakukan ujilegalitas atas produk hukum yang posisinya berada di bawahundang-undang terhadap undang-undang dan tidak berwenangmelakukan uji konstitusionalitas produk itu terhadap UUD 1945.bp
hn
• Kedua, adanya kesan putusan MA dapat dianulir dan dibatalkanoleh MK. Padahal kedudukan kedua lembaga ini dalam sistemketatanegaraan negara kita adalah sederajat. Kesan ini muncultatkala calon legislatif yang kalah dalam Pemilu melakukan ujilegalitas peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 terkait denganpenghitungan kursi tahap kedua ke MA. Dalam putusannya MAmenyatakan bahwa peraturan KPU tersebut bertentangan denganundang-undang sehingga MA membuat penafsiran baru atasPasal 205 ayat (4) UU Pemilu tersebut.
• Ternyata putusan MA ini menimbulkan kekisruhan politik karenaapabila diterapkan, putusan MA ini dapat menyebabkandisproporsionalitas dan deviasi yang sangat besar sehinggabertentangan dengan sistem pemilu yang proporsional karenaPartai yang perolehan suaranya besar akan memperolehtambahan kursi, sedangkan partai yang perolehan suaranya kecil,akan mendapatkan pengurangan kursi.
bphn
• Polemik ini berakhir ketika beberapa partai politik diantaranyaPartai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahteramengajukan judicial review mengenai Pasal 205 Ayat (4) UU No.10Tahun 2008 ke MK dan MK menjatuhkan putusan conditionallyconstitutional, artinya pasal tersebut tetap dinyatakankonstitusional sepanjang ditafsirkan menurut putusan MK.Namun, ada kesan yang kuat bahwa putusan MA dapat dibatalkanoleh putusan MK.
• Hal ini didasari pada perbedaan penafsiran antara MK dengan MAatas Pasal 205 ayat (4) dan ini merupakan salah satu implikasidari sistim judicial review yang berada pada dua atap.bp
hn
6. Politik Hukum Judicial Review
• Terlepas dari adanya diskursus terkait gagasan penyatuatapanproses judicial review. Saya ingin menegaskan bahwa dualismejudicial review yang saat ini berlaku di negara kita adalahmerupakan sebuah legal policy dari para perubah UUD yang amatdipengaruhi oleh konfigurasi politik saat terjadi proses perubahanUUD.
• Oleh karena itu, manakala ada sebuah kebutuhan dan keputusanpolitik untuk merealisasikan gagasan penyatuatapan prosesjudicial review, maka yang pertama harus dilakukan adalahperubahan konstitusi.
bphn
• Karena konstitusi dengan tegas mengatur bahwa uji konstitusionalitasundang-undang terhadap UUD merupakan ranah kewenangan MK,sedangkan uji legalitas produk hukum di bawah undang-undangmerupakan kewenangan MA.
• Namun, hendaknya konstitusi tidak terlalu sering diubah, karena akanmengakibatkan perubahan pada warna dan corak produk hukum yangberada di bawahnya guna menyesuaikan dengan konstitusi yang baru.
bphn
• Oleh karena itu, sebaiknya hasil amandemen sekarangdilaksanakan dulu dan tak perlu buru-buru diperbaiki sebab iamerupakan hasil maksimal yang telah menampung berbagaikeinginan secara kompromistis. Biarlah UUD 1945 yangmerupakan garis besar haluan negara dalam penyusunankebijakan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan hukummenjadi kontitusi yang hidup (living constitution).
bphn
SEKIANTERIMAKASIHbp
hn