ABSES PERITONSIL diskusi 2

29
BAB I PENDAHULUAN Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina). Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan 3 . Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Abses ini merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher terutama pada orang dewasa. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior 2 . Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring 1

Transcript of ABSES PERITONSIL diskusi 2

Page 1: ABSES PERITONSIL diskusi 2

BAB IPENDAHULUAN

Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam

dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring,

abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina). Abses leher dalam

terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari

penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala

dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan3.

Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus

(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk

sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Abses ini merupakan penyakit infeksi

yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher terutama pada orang

dewasa. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil

anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior2.

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri

penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar

faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul

tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring4.

Seringkali pasien datang dengan keluhan yang berat, namun

penatalaksanaannya tidaklah terlalu rumit jika kita sebagai dokter tanggap dan

mengetahui dengan benar anatomi, patofisiologi, dan gejala dari penyakit ini.

Diharapkan dari makalah ini kelak kita sebagai dokter dapat memahami penyakit

ini dan memberikan terapi dengan tepat untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

1

Page 2: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Gambar 1. Anatomi Tonsil Palatina dan jaringan sekitarnya.

Anatomi Tonsil Palatina dan Ruang Peritonsil

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa

tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan bagian dari

cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali

digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi

Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual,

pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa

Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium

tuba eustachius (tonsil Gerlach’s)5.

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring

merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle, orofaring yaitu

bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid, sedangkan

laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas

bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior

2

Page 3: ABSES PERITONSIL diskusi 2

faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh

jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya

menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula6.

Tonsil palatina terdiri dari7:

1. Korteks : Didalamnya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan

limfosit, plasma sel.

2. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong

tonsil & berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina7:

1. Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris

yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim

tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.

2. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan

mikrokripta.

3. Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang

berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.

4. Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan

dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.

Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum

mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang

tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar

tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding atas esofagus. Otot ini

lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil

agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan

paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah

dan lateral dinding faring5.

3

Page 4: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang

menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika semilunaris

(supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua

pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak

diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi

karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat

dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,

Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang

sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di

permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama

panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan

limfoid dan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara

kelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel

permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing

tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar

biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi,

baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas,

kuman5.

Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior, sehingga

tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan

tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua

sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara

irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya

jaringan limphoid6.

Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor

faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan turun

dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung dengan

pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring superior

terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna terletak 2,5 cm

di belakang dan lateral tonsilla8.

4

Page 5: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang

merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a. palatina

ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.

glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.

cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus

jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae5.

Ruang Peritonsiler9,10

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsil

palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah

anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior.

Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot

konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan

sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

5

Page 6: ABSES PERITONSIL diskusi 2

m..............BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus

(nanah) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk

sebagai hasil dari proses suppurative

B. EPIDEMIOLOGI

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling

sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada

mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi

jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang

sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik

atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut

merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler1. Di

Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per

tahun, diperkirakan hampir 45.000 kasus setiap tahun2.

C. ETIOLOGI

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau

infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.

Kemungkinan lain adalah disebabkan oleh infeksi pada kripta difusa supra tonsil,

dimana ukurannya besar, merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak

teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil2.

Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis, dapat

ditemukan kuman aerob dan anaerob. Biasanya unilateral dan lebih sering pada

anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda12.

6

Page 7: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun

yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses

peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),

Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme

anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan

karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik13. Sedangkan virus

yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain eipsten-barr, adenovirus,

influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

D. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori

yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis

eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan

abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Berikut ini adalah tiga teori

patogenesa terjadinya abses peritonsiler7 :

- Teori Parkinson (1970)

Penyebaran abses ke ruang peritonsil oleh karena di dalam ruang peritonsil

terdapat kelompok kelenjar yang terletak di permukaan superior dari kapsul tonsil

di pool atas. Kelompok kelenjar ini mudah mendapatkan infeksi dari tonsil. Bila

kelompok ini terinfeksi mudah terjadi abses di dalam ruangan yang terisi jaringan

ikat longgar7.

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses

peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang12.

- Teori Ballenger(1977)

7

Page 8: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Perluasan infeksi ke ruang peritonsil, berasal dari kripte yang besar di pole

atas yang merupakan celah yang berhubungan erat dengan bagian luar tonsil,

sehingga infeksi yang terjadi pada kripte mudah menjalar ke atas belakang

(superior posterior) dari ruangan peritonsil7.

- Teori Paparella (1980)

Terjadinya abses oleh karena infeksi yang berasal dari proses akut tonsil

dan menembus kapsul, sampai ke ruangan peritonsil tetapi masih dalam batas otot

konstriktor faring7.

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses

peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak

juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak

dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,

uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses

dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru12.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis

kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya9. PTA dapat juga merupakan suatu

gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr10.

Abses peritonsil yang timbul sebagai kelanjutan tonsilitis akut biasanya

timbul pada hari ke 3 dan ke 4 dari tonsillitis akut. Sumber infeksi berasal dari

salah satu kripta yang mengalami peradangan, biasanya kripta fossa supratonsil,

dimana ukurannya besar, merupakan kavitas seperti celah dengan tepi tidak

teratur, dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil1.

8

Page 9: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Muara dari kripta yang mengalami infeksi tersebut tertutup sehingga abses yang

terbentuk di dalam saluran kripta akan pecah melalui kapsul tonsil dan berkumpul

pada tonsil “bed”. Pus yang berkumpul pada fosa supratonsil tersebut akan

menimbulkan penonjolan, pembengkakan dan edema dari palatum molle sehingga

tonsil akan terdorong kearah medial bawah. Walaupun sangat jarang abses

peritonsil dapat terbentuk di inferior14.

Abses peritonsiler juga bisa sebagai kelanjutan dari infeksi yang

bersumber dari kelenjar mukus weber. Kelenjar ini berhubungan dengan

permukaan atas tonsil lewat duktus dan kelenjar ini membersihkan area tonsil dari

debris dan sisa makanan yang terperangkap di kripta tonsil. Inflamasi pada

kelenjar weber dapat menyebabkan selulitis. Infeksi ini menyebabkan duktus

sampai permukaan tonsil menjadi lebih terobstruksi akibat inflamasi sekitarnya.

Hasilnya adalah nekrosis jaringan dan pembentukan pus yang menghasilkan tanda

dan gejala abses peritonsil15.

E. GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Dari anamnesis mungkin ditemukan riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan

rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin

memburuk. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus.

Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat15.

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan

odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa

sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)

ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah

yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem

dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem

perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)

yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus

menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,

9

Page 10: ABSES PERITONSIL diskusi 2

sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan

inflamasi otot tengkuk (cervical muscle inflammation), pasien sering

mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis)7,2.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring

sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada

kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri

palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada

palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi

fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas,

untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis 16,2.

PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang

terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan

bahkan seperti bintil – bintil kecil10. Palpasi daerah palatum mole terdapat

fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk

penderita yang mengalami gangguan pernafasan15.

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).

Tempat aspirasi dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine

dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran

10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan

material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab

infeksi demi kepentingan terapi antibiotika16,1.

10

Page 11: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Gambar 2. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).

2. Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan9:

1. Hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan kultur darah. Karena

pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan

menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya

asupan makanan. Usap dan kultur tenggorok (throat swab and culture). Untuk

membantu dalam indentifikasi organisme penyebab infeksi. Hasilnya dapat

digunakan dalam pemilihan antibiotik yang tepat serta efektif, dan untuk

mencegah timbulnya resistensi antibiotik.

2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan

tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,

penderita memerlukan evaluasi/ penilaian hepatosplenomegaly. Liver function

tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.

3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi

organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan

11

Page 12: ABSES PERITONSIL diskusi 2

antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi

antibiotik.

4. Pemeriksaan radiologi dapat membantu pada terapi abses peritonsil yang tidak

mengalami perbaikan setelah dilakukan inspirasi dan drainase atau terdapat

perburukan edema pada selulitis peritonsil yang telah diterapi. Pada kasus

tertentu dimana ternyata absesnya terdapat di tonsil itu sendiri dan atau

sebagian abses tersembunyi pada inferior atau posterior tonsil. Foto polos

dapat berupa pandangan jaringan lunak lateral dari nasofaring dan orofaring

dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses

retropharyngeal. Pada posisi AP, terdapat distorsi jaringan lunak, tapi tidak

begitu membantu dalam menentukan lokasi abses.

5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan

hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan

penyengatan pada perifer (peripheral rim enhancement). Gambaran lainnya

termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.

6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik

pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan

abses.

F. KOMPLIKASI

Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya

rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan

ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalan napas. Abses yang

pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi

pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar

anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi

abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum

menimbulkan mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat

mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele

12

Page 13: ABSES PERITONSIL diskusi 2

poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik) apabila bakteri penyebab

infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi

akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath.

Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda. Komplikasi

juga terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada

arteri supratonsilar12.

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA

diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk

itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.

G. DIAGNOSIS BANDING

Abses peritonsil harus dibedakan infiltrat peritonsil. Untuk

membedakannya, pada stadium infiltrasi belum terdapat trismus, dan kejadiaanya

baru berlangsung 1-3 hari. Untuk membedakannya dilakukan punksi percobaan

dan hasil pungsi tidak didapatkan pus7.

Karsinoma tonsil dicurigai bila permukaan tonsil tidak rata atau

permukaan bunga kubis dan ada jaringan nekrotik atau ulkus7.

Gambaran infeksi ruang submaksila juga bisa seperti abses peritonsil.

Infeksi ini biasanya terjadi akibat karies atau infeksi pada gigi molar. Pus dapat

mendorong otot-otot dalam ke arah konstriktor superior sehingga tonsil terdorong

ke medial, seperti pada quinsy1.

Diagnosis banding lainnya berupa abses leher dalam lainnya seperti abses

retrofaring dan abses parafaring, aneurisma arteri karotis interna, infeksi mastoid,

mononucleosis, infeksi kelenjar liur, dan adenitis tonsil12,10,15.

13

Page 14: ABSES PERITONSIL diskusi 2

H. TERAPI

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat

simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada

leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau

ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,

metronidazol 3-4 x 250-500 mg12.

Irigasi dengan larutan NaCl 0,85% hangat (110-1150F) atau glukosa 5%

tiap 2-3 jam dapat memberikan perbaikan simtomatis dari rasa sakit pada abses

peritonsiler. Kompres hangat di leher dan rahang akan mengendurkan ketegangan

otot1.

Terapi Operasi

Bila telah terjadi fluktuasi dan terapi konservatif tidak menolong, maka

tindakan aspirasi pus cukup memadai, tetapi lebih sering harus diikuti dengan

insisi. Drainase terbaik adalah tonsilektomi ‘quinsy’, yang dilakukan dengan

anastesi umum dan perlindungan antibiotika. Yang mengherankan, tonsil tidak

mengalami perdarahan hebat, dan sebenarnya tindakan ini lebih mudah

dibandingkan pengangkatan tonsil beberapa minggu kemudian, sewaktu ruangan

peritonsil yang sebelumnya terisi pus terah terobliterasi dengan jaringan parut dan

fibrosis, dan kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali1.

Bila tidak terdapat ahli dan fasilitas untuk melakukan tonsilektomi

‘quinsy’, maka terapi yang sesuai adalah insisi dan drainase melalui mulut.

Drainase di tempat praktek membutuhkan lampu kepala dan alat penyedot faring

yang baik, harus dilakukan di lokasi yang tepat, dan harus dilakukan tindakan

untuk menghindarkan aspirasi pus ke paru. Teknik insisi dan drainase

membutuhkan anastesi lokal. Faring disemprot dengan anastesi topikal. Kemudian

2 cc Xilocain dengan adrenalin 1/100.000 disuntikkan di regio insisi. Pisau tonsila

no. 12 atau no.11 dengan plester atau dengan kasa di bagian proksimal pisau dan

gagang pisau untuk mencegah penetrasi yang dalam, insisi dibuat melalui mukosa

14

Page 15: ABSES PERITONSIL diskusi 2

dan submukosa dekat kutub atas fosa tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan

melalui insisi ini dengan lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya

segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dilkeluarkan. Pada anak yang

lebih tua atau dewasa muda dengan trismus yang berat, pembedahan drainase

untuk abses peritonsiler mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4%

pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis untuk

mencapai n. palatina descenden. Anak-anak yang lebih muda membutuhkan

anastesi umum16. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,

atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham

atas terakhir (lipatan supratonsiler)12. Bila dilakukan dengan tepat, hanya akan

terjadi sedikit perlukaan. Kesalahan tersering karena tidak membuat lubang yang

cukup panjang atau cukup dalam. Biasanya evakuasi pus akan diikuti perbaikan

segera gejala-gejala pasien14.

Karena abses peritonsil merupakan komplikasi tonsilitis akut yang

berulang-ulang, maka dianjurkan pada penderita abses peritonsil dilakukan

tonsilektomi, supaya tidak timbul abses yang berulang. Dapat dilakukan tindakan

operasi tonsilektomi a chaud (immediate tonsilektomi), yaitu tonsilektomi segera

mungkin setelah drainase abses. A tiede, yaitu tonsilektomi dilakukan 3-4 hari

setelah drainase abses. A froid (interval tonsilektomi), yaitu tonsilektomi

dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses7.

Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3

minggu sesudah drainase abses12. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan

besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi

dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8

minggu kemudian karena mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis,

sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi sesegera mungkin. Indikasi-

indikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil, jika terdapat obstruksi

jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis atau abses ke leher bagian

dalam, riwayat abses peritonsiler sebelumnya, dan riwayat faringitis eksudatifa

berulang14.

15

Page 16: ABSES PERITONSIL diskusi 2

Gambar 3. tonsilektomi

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang

dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous

dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan

mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan

(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya

diberi antibiotik parenteral.

I. PROGNOSIS

Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan

tonsilektomi.

16

Page 17: ABSES PERITONSIL diskusi 2

BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsiler adalah infeksi leher dalam yang seringkali terjadi

sebagai komplikasi dari tonsillitis akut. Pasien dengan abses peritonsiler sering

datang dengan keluhan yang berat dan salah satu gejala yang sering membuat

pasien datang ke dokter adalah trismus karena peradangan pada m.pterigoid

interna. Akan tetapi tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani abses

peritonsiler ini, tidaklah serumit yang dibayangkan, yaitu berupa insisi dan

drainase abses dengan anestesi. namun apabila tidak dilakukan tindakan yang

cepat, tepat dan efektif maka dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berarti.

17

Page 18: ABSES PERITONSIL diskusi 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar H.N, Mangunkusumo E.H, Roezin A.H. Penyakit telinga, hidung,

tenggorok, kepala, dan leher. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. Hal: 350-

352.

2. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar abscess. Diakses pada Desember 2010.

Diakses dari: www.emedicine.com.

3. Soepardi E.A, Iskandar H.N. Abses peritonsiler. Dalam: Buku ajar ilmu

kesehatan telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: FKUl; 2000. Hal:

185-189.

4. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC;

1986. Hal: 296, 308- 09

5. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89.

Jakarta: FKUI; 1993. Hal : 19-21

6. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth

and pharynx. Dalam: Richard AB (ed). Ear, nose and throat disease, a

pocket reference 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook; 1994. Hal:

307 -315.

7. Hasibuan R. A. H. Sp THT. Pharingology. Jakarta: Jala Penerbit; 2004. Hal:

38, 55-58.

8. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. Dalam:

Synopsis of Otolaryngology 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann;

1992. Hal: 288 – 304.

9. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248

10. Preston, M. Peritonsillar abscess (Quinsy). Diakses pada Desember 2010.

Diakses dari: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/

18

Page 19: ABSES PERITONSIL diskusi 2

11. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan,

telinga-hidung-tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. Hal:

185-196.

12. Bailey, Byron J. MD. Tonsillitis, tonsillectomy, and adenoidectomy. dalam :

Head and neck surgey-otolaryngology 2nd edition. Philadelphia:

Lippincott_Raven Publisher; 1999. Hal :1224, 1233-1234.

13. Andrianto P. Penyakit telinga hidung dan tenggorokan, Edisi V Jakarta:

EGC;1993. Hal: 308-309.

14. Steyer, T. E. Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. Diakses pada

Desember 2010. Diakses dari:

http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html.

15. Efendi H. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies, buku

ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC; 1997. Hal: 333-354.

19