ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

6
ABRI dan Demokratisasi di Indonesia Yahya A. Muhaimin ") PENDAHULUAN Suatu peristiwa besar yang amat monumental dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia telah terjadi pada tanggal21 Mei 1998, yaitu ketika Presiden Soeharto secara tidak begitu terduga menyatakan turun dari kepresidenan Republik Indonesia dan kemudian menyerahkan jabatan Presiden RI kepada Wakil Presiden BJ. Habibie. Tindakan itu dilakukannya setelah mendapat tekanan berat dari kalangan perguruan tinggi dan masyarakat menyusul krisis ekonomi dan moneter dan didahului oleh musim kemarau berkepanjangan akibat "El Nino". Para pendukung Presiden Soeharto dan ABRI benar-benar tidak berdaya lagi mempertahankan otoritas dan legitimasi Presiden Soeharto .yang sejak menjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 mendapat kecaman dankritik tajam <rariberbagai pihak dalam masyarakat, terutama dari kalangan perguruan tinggi. Sejak waktu itulah, Indonesia memasuki masa yang dikenal ") Star pengajar pada ]unJSaI1 Ilmu Hubungan ln1emasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Oadjah Mada, dan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Universitas Oadjah Mad&. JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Transcript of ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

Page 1: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRIdan Demokratisasi di Indonesia

YahyaA. Muhaimin ")

PENDAHULUAN

Suatu peristiwa besar yang amat monumental dalam sejarah perkembanganbangsa Indonesia telah terjadi pada tanggal21 Mei 1998, yaitu ketika PresidenSoeharto secara tidak begitu terduga menyatakan turun dari kepresidenanRepublik Indonesia dan kemudian menyerahkan jabatan Presiden RI kepadaWakil Presiden BJ. Habibie. Tindakan itu dilakukannya setelah mendapattekanan berat dari kalangan perguruan tinggi dan masyarakat menyusul krisisekonomi dan moneter dan didahului oleh musim kemarau berkepanjanganakibat "El Nino".

Para pendukung Presiden Soeharto dan ABRI benar-benar tidak berdayalagi mempertahankan otoritas dan legitimasi Presiden Soeharto .yang sejakmenjelang Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 mendapat kecamandan kritik tajam <rariberbagai pihak dalam masyarakat, terutama dari kalanganperguruan tinggi. Sejak waktu itulah, Indonesia memasuki masa yang dikenal

") Star pengajar pada ]unJSaI1 Ilmu Hubungan ln1emasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Oadjah Mada, dan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian, Universitas Oadjah Mad&.

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Page 2: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRI dan Demokratisasi di Indonesia Yahya A. Muhaimin I Yahya A. MuhaiminABRI dan Demokratisasi di Indonesia

dengan "Era Reformasi" yang sekali lagi membukakan pintu bagiberlangsungnya proses demokratisasi. (Kesempatanbagi proses demokratisasiyang pernah kita punyai adalah pada masa awal 1950-an, dan pada awal1966). Sudah sekian lama sejak mendapatkan kedaulatannya, rakyat Indone-sia tidak henti-hentinya berusaha untuk mendapatkan bentuk demokrasi yang"pas" bagi bangsa Indonesia, di mana kalanganmiliter -karena berbagaialasan danfaktor-memiliki kecenderungan kuat selalu aktif dalam kegiatankemasyarakatan dan demokratisasi.

Tulisan ini akan sepintas mengantarkan ke pembahasanmengenai peranmiliter Indonesia dalam hubungannya dengan proses demokratisasi di Indo-nesia terutama dalam "Massa Reformasi" 1998 ini, dengan lebih dahulumengetengahkan beberapa aspek dari demokrasi.

BEBERAPA ASPEK DEMOKRASI

Sistem demokrasi dalam masyarakat tidak lepas sarna sekali daridan pasti akan terikat pada cara berpikir dan falsafah hidup serta nilai-nilaikultural yang dipegang oleh anggota masyarakat itu sendiri. ltulah sebabnyabanyakaWiyangmenegaskanadanyakeragamansistemdemokrasidi dunia.1Namun, ada beberapa aspek universal yang perlu ditekankan di sini mengenaidemokrasi.

Pertama, dalam sistem demokrasi berlaku adanya penyaluranaspirasi dari masyarakat secara relatif bebas melalui aturan yang disepakatibersama atau kesepakatan.2Penyaluran aspirasi ini yang dinamakan partisipasipolitik, yang dilakukan melalui lembaga-Iembagayang tersedia yang dibentuksecara relatif bebas dan longgar serta tanpa paksaan (sukarela).3 Lembaga-lembaga penyalur tersebut misalnya partai politik dan kelompok-kelompokkepentingan (yang bertumpu pada penghargaan pada hak-hak dan kewajiban'

Di dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas atau memperdebatkan masalah sistem demokrasi yang

memang bisa kita lihat cukup bervariasi, Misalnya, Demokrasi di AS, Jepang. Malaysia, Inggris, Belgia,Perancis dsb. Antara yang satu dengan yang lain memiliki kekhasan. Namun, bisa ditegaskan bahwademokrasi di sini dilawankan dengan sistem diktator atau otoritarian maupun anarkisme. Lihat, misalnyatulisan Schmitter dalam, Greenstein, Ed. Handbook of Political Science; juga T.J. Pempel Democracy

.in Japan. serta Giovani Sartoni Theory of Democracy Revisited.Kesepakatan bersama dapat berupa, misalnya, kOllHtitusi, Undllng-undang, hukum dan berbagai bentukperaturan baik pada tingkat nasional maupun lokal.Pada sistem otoriter (atau limited pluralism) organisasi penyalur kepentingan itu sifatnya tunggal, hirarkis,terbatas dan paksaan (compulsory). .

58 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

yang dimilikianggotamasyarakat)serta mungkinjuga birokrasi dan lain-lainnya. Di sini asas "egaliter" dan "equality"menjadisangat sentralbagikehidupanmasyarakatdemokratis. Karena itu, integral dengan hal-hal diatas, keterbukaan dan transparasi, sesuai dengan kesepakatan bersama(Undang-undang,hukum, dan peraturan-peraturanlain) menjadi prinsip-prinsip yang amat fundamentaldalam kehidupansetiap sistem demokrasi.Dari sini kita menyadaribahwa kejujuranmenjadi conditio sine qua nonbagimasyarakatdemokratisagartercapaikehidupanyangmakmur,sejahteradanketentraman.Tenteram,olehkarenasemuaanggotamasyarakatmerasadijamin keamananhak-hakdan kewajibannya.Masyarakatdemokratis,disampingmenempatkankejujuransebagaifondasi,jugamenjadikanperadabandanbudayayangluhursebagaisifatdankarakteristiknyayangamatmenonjol.Karena itu, tidak mungkin masyarakat demokratis bisa diciptakan dandipertahankankalautidakadakejujurandan tanpabudayayangluhur. Tidakada demokrasitanpa kejujurandan konsistensi.Kejujuranadalahjantungkehidupandemokrasi.

Kedua, integral denganhal tersebut di atas, masyarakatdemokratisselalu menempatkan"cara" menjadihal yang sangat sentral, yaitu bahwatidak semua cara bisa diperkenankanuntuk mencapai tujuan-tujuanataukepentingan-kepentingananggota masyarakat. Tujuan (kepentingan)yanghendakdicapaiolehanggotamasyarakatdemokratisharusdengancarayangdemokratispula. Standarumumbagicara yangdemokratisyaitubahwacaratersebut harus sesuai dengan kesepakatan bersama dan tidak bolehmengabaikan hak-hak dan kewajiban anggota kelompok lainnya dalammasyarakat.Dalil dari sistempolitik otoritarianyang machiavellismaupunyang anarkis "the endjustifies the means" tidak dikenalsama sekalidalammasyarakat demokratis. Dalil klasik yang berlaku dalam masyarakatdemokratis yaitu "the means must be consonant with ends" (cara yangdigunakanharussamabaiknyadengantujuanyanghendakdicapai).4Karenaitu, pencapaiantujuandankepentingandalammasyarakatdemokratisrelatiflambatdan membutuhkan"kesabaran"dari setiapanggotamasyarakat.5

T.V. Smith & Edward C. Lendeman, The Democratis Way of Life (New York, N. Y.: The New American

Library of World Literature. Inc., 1960) hal. 124, dan 124 - 130 passim.

Bandingkan dCDgan pepatah dalam masyarakat kita "biar lambat asaI selamat" (atau "alon-alon watonkelakon"). Pepatah ini harus ditransformasikan secara kultural dalam kehidupan modern, sebagaimanabangsa Jepang yang melakukan ha1 yang sarna, misalnya pada jaman Tokugawa tentang watak samuraiyang dinamis dan disiplilL

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998 59

Page 3: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRI dan o~mokratisasi di IndonesiaYahya A. MuhaiIUinl YahyaA. Muhaimin ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

Semua aturan-aturan harus diikuti secara baik dan adil, sebabperatjIrannya itu sendiri "memang harus adil" karena dibuat dengankesep.akatanbersamauntuk kepentinganumum. Dengan berpegangpadabeber~paprinsiptersebutdi atasmarilahkita melihatbeberapadimensidaridemo)crasi di Indonesia.

UUD 1945 DAN DEMOKRASI

Bila kita melihatkesepakatan bangsa Indonesia sebagaimana kita bacadalarOpembukaan UUD 1945 dan seluruh pasal dalam konstitusi tersebut,maka jelas sekalibahwa Bangsa Indonesia bukan menganut sistem diktatordan bukan pula berpegang pada anarkisme, sebab UUD 45 sama sekali jauhdari sifat machiavellis.Sesuai dengan seluruh isi UUD 45, Indonesia secaraprinsipiil dan konsepsionilmemegang dan menggunakan sistem demokrasi.Pentitlg sekali bagikita untuk selalu melihat falsafah dan jalan pikiran para

peny\Jsun konstitusi tersebut, para founding fath~rs, sebagaimana tertuangdalal11berbagai dOkumen,misalnya saja, yang ditulis oleh Prof. MohamadYamin.6

Namun dari pengalaman yang lalu pelaksanaan UUD 45 ternyatabeberapakali mengalarnipenyelewenganyang serius, sebagaimanakita ketahuidariperjalanan sejarahbangsa Indonesia, rnisalnya pada masa PemerintahanSoekllrno1 dan juga pada Pemerintahan Soeharto8. Penafsiran-penafsiran

MotJalI1ad Yamin, Naskah UUD 1945, (Djakarta: Yayasan Prapantja, 1959; Jilid I). Referensi historis

ini amat biasa dilakukan oleh masyarakat AS, niisalnya, tatkala ada masalah yang timbul karena perbedaan

penjJiSiran terhadap sUatuperaturan, maka pemikitan-pemikiran atau pemyataan-pemyataan yang dahuludikeffiukakan oleh pemikir dan pejuang terdahulu, seperti Alexis de Toqueville, Alexander Hamilton,Thosnas Jefferson, Harry Truman atau lairmya, kerap kali muncul dijadikan referensi pokok.

UntJ,lk mengetahui pelaksanaan UUD 45 pada masa Revolusi 45" lihat misalnya, George Me. T Kahin,Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1966) sedangkan

pa~ masa Soekamo, lihat Herbert Feith, "The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia",(ItaCha, N. Y.: Cornell University Press, 1964),juga Hiebert Feith, "The Dynamics of Guide Democracy"dalaID Ruth Mc Vey,ed., Indonesia (New Haven, COIUL:YaleUniversity Press, & HRAF 1967, Revised);kita lebih relevan menyebut "Pemerintahan Soekarno" daripada "Pemerintahan Orde Lama".

UntJ.lkmengetahui beberapa dimensi dari Pemerintahan Soeharto,lihat, misalnya: Karl Jackson & LucianW. fYe, cds., Political Power and Communications in-Indonesia (Berkeley, Calif.: University ofCali-fornia Press, 1978), juga, Yahya A. Muhaimin Bisnis dan Politik (Jakarta:, Penerbit LP3ES, 1991).Banyak juga informasi dan analisa yang ditulis di berbagai media massa sekitar bulan-bulan menjelangtimbulnya krisis ekonomi dan politik 1967/1998. Di sini menggunakan sebutan "Pemerintahan Suharto"lebi/1pas daripada menggunakan sebutan "Pemerintahan Orde Baru".

60 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

terhadapUUD 45 yang kemudianberupa distorsi yang serius adalahyangmengakibatkanUUD 45 seolah-olahmempunyai wajah yang tidak demokratis,seakan-akanberwajah otoriter. Namun, kekenyalanUUD 1945dapat dijadikanuntuk memantapkan mekanisrne guna penyempurnaan pelaksanaan konstitusitersebut sesuai dengan perkembangan zaman yaitu misalnya dengan membuatamandemen-amandemen. Teknik amandemen ini sangat menonjol dalampenerapan konstitusional yang demokratis di AS.

MILITER DAN POLITIK

Setelah kita membicarakan secara garis besar mengenai beberapadimensi demokrasi di Indonesia dalam kaitan dengan UUD-45, marilah kitarnelihat peranan rniliter Indonesia dengan lebih dulu membicarakan sekedamyaciri-ciri militer secara umum. Militer di manapun di dun'ia adalah suatulembaga yang eksistensinya memang didirikan untuk menciptakan danmemelihara keamanan anggota masyarakat dan mempertahankan negara dariancaman musuh, terutama yang datang dari luar negara. Kedudukan militerseperti ini yang kemudian disebut bahwa tugas dan fungsi militer adalahberupa fungsi pertahanan dan keamanan (fungsi hankam), dan bahwa.militeryang profesional adalah militer yang memiliki kemahiran, keahlian,perlengkapan, dan organisasi yang memadai untuk tugas pertahanan dankeamanan tersebut,9

Namun, dalam perjalanan sejarah perkembangan bangsa Indonesia,kalangan militer Indonesia baik secara perseorangan maupun secarainstitusional telah terlibat dalam fungsi-fungsi sosial-politik.10 Keterlibatantersebut kelihatan secara intensif sejak tahun 1952dan secara graduil rnencapaititik kulrninasi setelah berproses lebih dari 40 tahun, yaitu tatkala militer

Tentang profesionalisme militer, lihat, misalnya, Samuel P. Huntington, The Soldier and the State, (Cam-bridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 1957); lihatjuga Samuel E. Finer, TheMan on Horseback: The Role of the Military in Politics (New York, N. Y. Frederick A. Praeger, 1962),halaman 7-10.

10 Banyak informasi akademik mengenai militer Indonesia dalam bidang sosial-politik-ekonomi; rnisalnya: Ulf Sundhaussen, dalarn, Karl Jackson dan Lucian W. Pye, eds.,op.cit. juga dalarn, Harold Crouch, The

Indonesian Army and Politics in Indonesia (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1978), juga dalarn,Guy J. Paker, "The Role of Military in Indonesia" dalam John J. Johnson, cd., The Role of the Militaryin Undeveloped Countries (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1967) danjuga dalarn, Yahya A.Muhaimin Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress, 1982)

JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998 61

Page 4: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRI dan Demokratisasi di Indonesia Yabya A. Muhail11inl YabyaA. Muhaimin ABRI don Demokratisasi di Indonesia

Indonesia secara sangat menonjol menjadi salah satu tulang punggung prosespembangunan nasional pada Pemerintahan Soeharto. Keterlibatan dan perananmil iter Indonesia dalam politik ini rupanya memang bukan hal yangkonvensional dalam sejarah perkembangan militer dunia. Anti-klimak perananmiliter Indonesia dalam politik ini terjadi berbarengan dengan (tidak lamasesudah) runtuhnya kekuasaan politik Presiden Soeharto yang dianggap "cor-rupt".

Sudah lama banyak kalangan berpendapat bahwa militer di Indonesiasebagai kekuatan politik mempunyai kekuasaan yang eksetif, mengemban"weight ofpower" yang terlalu besarll; dan kaum militer ini justru merupakanalat penopang penting bagi sistem politik pada masa pemerintahan Soeharto.Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa peranan militer ini dirasakantelah berubah, yaitu tidak lagi sebagaimana pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya tatkala militer Indonesia menjadi kekuatan politikpenting dalam menentang otoritarianisme Presiden Soekarno, dan merupakanfaktor penting dan menentukan pada masa sebelumnya; Mayor IenderalSuwarto (almarhum), LetnanJenderal T.B. Simatupang(aim.), Jenderal A.H.Nasution mempunyai peran sangat besar pada waktu itu. Ada beberapa faktoryang menyebabkan militer Indonesia mengalami perubahan peran dalamkaitannya dengan proses pembinaan kehidupan politik atau prosesdemokratisasi; berubah dari peran yang kontruktif bagi proses pembinaandemokrasi Pancasila menjadi kekuatan politik yang peranannya di bidangpolitik dipertanyakan oleh banyak kalangan.

Pertama, militer di manapun, baik di negara maju maupun di negarayang sedang berkembang, dalam kehidup bangsa secara inheren mempu~yaipolitical strength. 12 Namun, hal ini ternyata membawa ekses dan konskeuensiyang cukupluas danmendalampadaberbagaibidangkehidupanmasyarakatdi Indonesia, oleh karena dalam time-frameyang lama hal tersebut secarakonsepsional maupun secara kongkrit tidak mendapat penanganan yangmemadai.

11 Tenninologi "weight of power" ini diambil dari Harold Lasswell dan Abraham Kaplan, "Power andSecurity: A Frameworkfor Political Inquiry ", (New Haven, COM.,Yale University Press. 1950), halaman73-77 dan 143.

12 S.E. Finer, op.cit., halaman II passim. Di samping memiliki "political strenght ", militer jugamengidap

"political weakness ".

62 J5P. Vol. I, No.3 - Maret 1998

Kedua, tugas dan beban militer secara akseleratif menjadi semakinbertambah berat, terutama karena tugas-tugas kepolisian dimasukkan secaraintegral dalam struktur kemiliteran Indonesia yang kemudian dinamakanAngkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Beban tugas polisionil yangdilekatkan kepada militer tersebut benar-benar amat memberatkan tugashankammiliter. Hal ini dalam satu segi karena kurang memadainya pembinaanaparat kepolisian oleh pimpinan ABRI, dan dalam segi lain masalah ketertibanmasyarakat, seiring denganderas dan cepatnyaproses modemisasi masyarakat,menjadi semakin komplek terutama dalam dua dasawarsa terakhir ini.

Ketiga, proses modemisasi, terutama dalam bidang ekonomi, telahmenyebabkan adanya kecenderungan pada ABRI dalam membina bidanghankam dari waktu ke waktu menjadi kurang seimbang dibandingkan denganpembinaan aktifitas ABRI di bidang sosial, politik dan ekonomi. Dan kitatahu bahwa kekuatan militer di bidang hankam tersebut yang justru secarainheren militer mempunyai political strenght. Di samping itu penangananbidang hankam yang kurang memadai jelas akan tidak menguntungkan bangsadan negara seperti Indonesiayang letaknya "terkepung" oleh 10 negaratetanggadanberadadi tengahlalu lintasperdaganganduniaantaniSamuderaHindiadan Pasifik, di antara benua Asia dan Australia, dan justru terdiridari ribuan kepulauan.Kondisiobyektif seperti itu memerlukankekuatanhankamyang betul-betulmemadai terutama pada matra udara dan matralaut, di samping matra darat. Kecenderunganseperti ini mengakibatkantimbulnya kecenderungan lain pada kalangan personil ABRI, yaitumengendurnya"disiplin" dan mungkinjuga agak melemahnya"semangattempur". Cukup banyak para "oknum-oknum" ABRI yang melakukanberbagaipelanggarandi bidangsosial,politikdanekonomi.Kecenderungansepertiini di sampingtidakmenopangprosespembinaandemokrasidi Indo-nesia,juga menjadi counter-productiveterhadapesensi keterlibatanmiliterdalampembangunannasionalsehinggaimagemiliterdi hadapanmasyarakatturun makakehidupankeamanannasionalpasti"mengalamidampaknegatiftersebutsecara langsung.

Keempat, cepat dan derasnya proses globalisasi yang menuntutketerbukaandan efektifitasdalamsetiapkegiatankemasyarakatan,memangtelahdipikirkandan telah ditanggapioleh ABRI,hanyasaja respontersebutrupanyabelum memadai.Proses globalisasiyang dibarengi kemajuanluarbiasadi bidangteknologiterutamadi bidangtelekomunikasidan transportasi,

J5P. Vol. I, No.3 - Maret 1998 63

Page 5: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRI dan Demokratisasi di Indonesia Yahya A. Muhaiminl 'lahya A. MuhaiminABRI dan Demokratisasi di Indonesia

yangmenyebabkantingginyamobilitasanggotamasyarakatdi segalabidangtidaksecaramemadaiditanggapiolehmiliter. Implikasinyaadalahbahwadibidangsosialpolitik-ekonomi,walaupunperananABRImasihtetap.pentingdandominan,namuntidakcompatibledengantuntutanmasyarakatumumbelakangan ini, sebab keterbukaanmaupun efektifitasyang dibina bukanyang secara esensial diperlukanoleh tuntutanglobalisasitersebut, namunyang dibina adalahdalamkerangkakepentingandan tradisi kemiliteran.

Kelima,paraperwira"Generasi45" danjugagenerasialumniAkademiMiliter sebelum 1975-an- katakan saja "Generasi Penyambung" - kelihatantidak seimbang dengan kalangan sipil dalam memecahkan masalah politik,apalagi masalah ekonomi nasional. Di samping itu kecenderungan kebanyakanpara perwira generasi sesudah pertengahan tahun 1970-an - bisa disebut"Generasi Orde Baru" - kelihatan mempunyai minat yang lebih keeil terhadapkegiatan di bidang sosial politik dibandingkan dengan Generasi '45 atau"Generasi Penyambung" tersebut. Hal ini disebabkan dalam satu segi karenapersiapan akademik dan pengalaman sosial politik yang berbeda dibandingdengan counterpart merekadari kalangansipildan juga Generasi'45.

Bila dalam kondisi "ketidakpastian" seperti ini mereka "dipaksakan"oleh pimpinan ABRI untuk tetap melakukan kegiatan sosial-politik denganintensitas sebagaimana pada masa yang lalu maka akan berakibat tidakkonstruktif bagi kehidupan dan pembangunan bangsa dalam jangka pendekdan jangka panjang, serta akan lebih lagi menurunkan "wibawa ABRI" dan"Kebanggaan terhadap ABRI" sebagai tulang punggung kekuatan hankampada kalangan rakyat.

ABRI DAN DEMOKRATISASI

Dari hal-hal yang diutarakan di muka, kita dapat mengatakan adanyafaktor "psychopolitics n perkembanganmiliter Indonesiadalam kehidupanpolitik nasional. Pada masa kini dan masa mendatang militer Indonesia secaraindividual atau secara institusional memerlukan saluran politik bagikepentingan dan aspirasi mereka. Disamping itu ABRI nmngkindapat menjadipenyalur aspirasinya sendiri dan aspirasi kelompok masyarakat lainnya secaraproporsional. Proporsional dalam arti bahwa tugas dan fungsi hi1nkamharusmendapatkan perhatian dan perioritas yang lebih memadai dan jugamengurangi beban fungsi di bidang sosial politik ekonomi secara gradual

64 jSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998

sehingga sampai pada titik di mana terdapat equilibrium antara peran yangdimiliki oleh militer dengan yang dimiliki oleh kelompok sipil di dalambidang hankam ~upun di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Namun,pada masa mendatang, sangat vital adanya counter.veiling"power terhadapperan ABRI dalam bidang politik agar tidak terjadi lagi ekses-ekses destruktifdalam masyarakat.

Untuk itu maka militer Indonesia perlu melakukan transformasi dirisehinggabenar-benarmenjadi "non-traditional institution", dan memilikikedudukan yang pas didalam kehidupan bangsa pada masa kini dan masamendatang. Hal ini dapat berarti; pertama, anggota ABRI diberi hak untukmemberikan suara dalam pemilihan anggota DPR maupun dalam pemilihanPresiden dan Wakil Presiden melalui partai politik yang ada, atau melaluiperwakilan yang ditentukan oleh DPR untuk keperluan tersebut. Kedua haltersebut disertai dengan syarat institusi militer akan bersikap dan bertindaknetral dalam arti yang sebenar-benarnya dalam kehidupan politik. Kedua,militer mendapat sejumlah kursi perwakilan di dalam legislatif gunamenyalurkan aspirasinya, di DPR dan MPR, atau dicukupkan hanya di MPR.Sedangkan pula di lembaga eksekutif militer tidak harus dilibatkan. Alternatifketiga, anggota ABRI tidak mempunyai wakil di lembaga legislatif, namundilibatkan di dalam jabatan-jabatan eksekutif tertentu pada tingkat nasionaldengan catatan bahwa personal ABRI yang menduduki jabatan eksekutifbertanggungjawab kepada lembaga yang jelas (tidak dualistis dan tidakambivalen); mungkin kepada lembaga eksekutif atasannya, atau dapat pulakepada lembaga otoritatif yang dibentuk khusus untuk keperluan tersebutoleh Presiden dan lembaga tersebut langsung di bawah otoritas presiden danbersama DPR. Sedangkan, anggota-anggota lembaga tersebut diusulkan olehMabes ABRI dan disetujui oleh DPR, yaitu diambil baik dari kalangan militerdan kalangan "sipil murni" dalamjumlah yang proporsional. Dalam konteksini, maka anggota ABRI yang telah berhenti, secara struktural dan fungsionaltidak lagi mempunyai hubungan langsung dengan Mabes ABRI. Nanmn perluditegaskan bahwa software ABRI yang sangat vital seperti "Sapta Marga n

atau "DelapanWajibABRr secaraidealmemanghamsdijiwaibukanhanyaoleh anggota ABRI tetapi juga oleh para purnawirawan dan bahkansemangatnya harus juga dijiwai oleh seluruh warga negara Indonesiasebagaimananilai-nilaidemokrasi(pluralisme)yangtetapharusdijiwaiolehseluruhwarganegaratermasukpara anggotaABRI.

jSP ·Vol. I. No.3 - Maret 1998 65

Page 6: ABRI dan Demokratisasi di Indonesia

ABRI dan Demokratisasi di Indonesia Yahya A. Muhai%

PENUTUP

Sebagaiakhir dari tulisan ini saya ketengahkanpesan patriotik dariseorangpejuangdanpemikirrevolusioneryangdiaserukankepadabangsanyatatkalamenghadapikrisisdansaat-saatkritisakibatpertentangankerasdalammasyarakatyang membingungkansemua pihak; pesan tersebut saya kirasangatrelevandengankondisibangsaIndonesiasekarangini. Pesanituadalah:

"Daripada saling pandang memandang dengan penuh kecurigaandan rasa ingin tahu yang berisi kebimbangan, marilah kita salingmengulurkan tangan yang tulus dan penuh rasa persahabatan danbersatu pada membentuk satU barisan sebagai lambangpersaudaraan serta dapat menghilangkan perselisihan yang selamaini ada. Marilah kita menghilangkan sebutan kelompok-kelompokpartisan, dan janganlah ada sebutan lain yang kedengaran kecualisebutan "warganegara yang baik,' seorang sahabat yang lapanghati dan berpendirian tegas; seorang pembela yang jujur dari hak-hak azasi manusia dan Negara Republik Indonesia yang Merdeka,Demokratis dan Sejahtera".

66 JSP. Vol. I, No.3 - Maret 1998