Abdullah Suriosubroto

16
Abdullah Suriosubroto Abdullah Suriosubroto (Semarang, 1878 - Yogyakarta, 1941) adalah seorang pelukis Indonesia. Dia adalah anak angkatWahidin Sudirohusodo , seorang tokoh gerakan nasional Indonesia. Dia adalah juga ayah pelukis Indonesia terkenal Sudjono Abdullah dan Basoeki Abdullah . Mengikuti jejak ayah angkatnya, Abdullah masuk sekolah kedokteran di Batavia (kini Jakarta). Kemudian dia meneruskan kuliahnya di Belanda. Di sana, dia beralih ke seni lukis dan masuk sekolah seni rupa. Sepulangnya di Indonesia, dia meneruskan karirnya sebagai pelukis. Abdullah dipandang sebagai pelukis Indonesia yang pertama di abad ke-20. Benda lukisan kesukaannya adalah pemandangan. Dia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki "Mooi Indie" ("Hindia Indah"). Abdullah mulai menetap beberapa tahun di Bandung agar dekat dengan alam yang dia suka lukis. Kemudian dia pindah ke Yogyakarta, di mana dia meninggal tahun 1941.

description

Abdullah Suriosubroto

Transcript of Abdullah Suriosubroto

Page 1: Abdullah Suriosubroto

Abdullah Suriosubroto

Abdullah Suriosubroto (Semarang, 1878 - Yogyakarta, 1941) adalah seorang pelukis Indonesia.

Dia adalah anak angkatWahidin Sudirohusodo, seorang tokoh gerakan nasional Indonesia. Dia

adalah juga ayah pelukis Indonesia terkenal Sudjono Abdullah dan Basoeki Abdullah.

Mengikuti jejak ayah angkatnya, Abdullah masuk sekolah kedokteran di Batavia (kini Jakarta).

Kemudian dia meneruskan kuliahnya di Belanda. Di sana, dia beralih ke seni lukis dan masuk

sekolah seni rupa. Sepulangnya di Indonesia, dia meneruskan karirnya sebagai pelukis.

Abdullah dipandang sebagai pelukis Indonesia yang pertama di abad ke-20. Benda lukisan

kesukaannya adalah pemandangan. Dia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki "Mooi Indie" ("Hindia

Indah").

Abdullah mulai menetap beberapa tahun di Bandung agar dekat dengan alam yang dia suka lukis.

Kemudian dia pindah ke Yogyakarta, di mana dia meninggal tahun 1941.

Page 2: Abdullah Suriosubroto

Affandi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di

pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan

formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO,

dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak

negeri.

Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya,

dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.

Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai

pelukis, yaitu Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek

karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan

ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis

Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdiserta Affandi yang

dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar

dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar

Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama

saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta

yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang

terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--

memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam

Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.

Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung

Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan

tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup

pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat

poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi

rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di

poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis

siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.

Page 3: Abdullah Suriosubroto

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam

kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis

diSantiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di

India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis

lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran

keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili

orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof.

Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang

konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma

diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi

Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak

sebelum revolusi.

Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan

dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang

masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi

mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup

masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi

kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni

Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar.

Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot

di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan

Affandi pun, pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang

pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang

nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan

Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana

dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai

idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih

yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.

Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu

menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu,

Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan

Page 4: Abdullah Suriosubroto

menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi)

gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat

Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali

Gajahwong Yogyakarta.

Page 5: Abdullah Suriosubroto

Barli Sasmitawinata

Barli Sasmitawinata (lahir di Bandoeng, 18 Maret 1921 – meninggal di Bandung, 8

Februari 2007 pada umur 85 tahun) adalah seorang pelukis realis asal Indonesia.

Ia mulai menekuni dunia seni lukis sekitar tahun 1930-an dan merupakan bagian dari "Kelompok

Lima" yang juga beranggotakanAffandi, Hendra Gunawan, Sudarso, dan Wahdi. Awalnya ia menjadi

pelukis atas permintaan kakak iparnya pada tahun 1935 agar ia memulai belajar melukis di studio

milik Jos Pluimentz, pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Di sana ia banyak belajar melukis

alam benda. Setelah berguru pada pelukis Italia Luigi Nobili (juga di Bandung), pada tahun 1950-an

ia lalu melanjutkan pendidikan seni rupa di Eropa. Latar belakang pendidikan tingginya

di Belanda dan Perancis (Académie de la Grande Chaumière, Paris, 1950dan Rijksakademie van

beeldende kunsten, Amsterdam, 1956) terwakili dalam karya-karyanya yang menunjukkan

penguasaan teknik menggambar anatomi tubuh secara rinci.

Sasmitawinata dikenal sebagai orang menekankan pentingnya pendidikan seni rupa. Tahun 1948 ia

mendirikan studio Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Setelah menyelesaikan pendidikan di

luar negeri, ia mendirikan Sanggar Rangga Gempol di kawasanDago, Bandung pada tahun 1958. Ia

pernah mengajar seni lukis di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan adalah salah seorang perintis

jurusan seni rupa di Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (kini bernama Universitas

Pendidikan Indonesia) pada tahun 1961. Barli lalu kemudian lebih banyak mengajar murid secara

informal di sanggar. Tahun 1992 ia mendirikan Museum Barli Bandung.

Antara murid-murid yang pernah dididiknya adalah Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Yusuf

Affendi, AD Pirous, Anton Huang, R Rudiyat Martadiraja, Chusin Setiadikara, Sam Bimbo, Rudi

Pranajaya.

Karya-karyanya pernah dipamerkan baik di dalam maupun luar negeri. Koleksinya juga dipamerkan

di Museum Barli Bandung. Pada tahun 2000, ia menerima penghargaanSatyalancana

Kebudayaan dari presiden.

Ia meninggalkan 2 anak kandung, 3 anak tiri, 15 cucu, dan 9 buyut. Setelah istri pertamanya, Atikah

Basari (menikah 1946) meninggal tahun 1991, ia menikah lagi dengan Nakisbandiyah tahun 1992.

Page 6: Abdullah Suriosubroto
Page 7: Abdullah Suriosubroto

Delsy SyamsumarDelsy Syamsumar (lahir di Medan, 7 Mei 1935 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 2001 pada umur 66

tahun) adalah seorang pelukis“Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatera Barat.

Pelukis ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu perang revolusi

keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi. Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum

bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara

pertama pada setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat.[1]

Pada usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik sejarah dan karangannya sendiri yang ia

kirim sendiri per pos ke majalah ibukota. Karyanya seperti Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut

Aceh” dimuat di majalah “Aneka” telah membuat ia terkenal diseluruh Indonesia pada usia yang

amat muda.

Kalau perantau-perantau Minang umumnya cenderung mengadu nasib sebagai pedagang, maka

berbeda dengan bocah Delsy ini yang di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup.

Atas adanya kepastian itu Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan anaknya tersebut

menjadi “pelukis terkenal” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. Delsy sejak di SD sudah

dibelikan cat minyak oleh ayahnya seorang yang pengukir Rumah Gadang. Meskipun Delsy dikenal

sebagai sosok seorang pelukis komik sejarah,illustrator, wartawan masmedia dan penata artistik di

berbagai banyak Film nasional,namun ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak.

Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai

pembuat kartun di beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai

Art Director senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival

Nasional dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga

membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran

tunggal Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena

gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif

dan ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam

“Suara Pembaharuan”)

Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun

sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan

pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil

kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang

tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy kadang-kadang filmis, karena

mungkin kehidupannya sebagai orang film mempengaruhinya. Komposisi penuangan karya-

karyanya apik dan enak dipandang bagaikan sudut pengambilan gambar lewat kamera.

Page 8: Abdullah Suriosubroto

Pameran tunggal Delsy pernah diadakan di Hotel Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta. Lukisan

karyanya pernah tercatat sebagai lukisan termahal yang terjual pada Pameran bersama pelukis-

pelukis (Basuki Abdullah, Affandi, Lee Man Fong dsb.) ternama Indonesia yang di Gedung Kesenian

Jakarta(Taman Ismail Mardzuki). Dan pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya saat pra

reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu mencatat rekor sebagai lukisan yang paling banyak diminati

para kolektor lukisan. Pada tahun 1992 ia juga sempat melakukan pameran bersama dengan Basuki

Abdullah.

Dunia film telah membenamkan Delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art

director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami

dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy di dalam banyak lukisan yang

bertemakan legenda dan sejarah, termasuk di dalamnya merekam sejarah perjuangan bangsa

Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam),

Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang

menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur

Umum dan karya terakhirnya pada tahun 2000 “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja" cukup

kolosal.

Page 9: Abdullah Suriosubroto

Hendra Gunawan Hendra Gunawan adalah seorang pelukis dan pematung. Dia dilahirkan di Bandung, 11 Juni 1918

dan meninggal di Bali, 17 Juli 1983. Semasa hidupnya, Hendra sempat belajar melukis pada Wahdi,

seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis.

Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada

kelompok sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah

kemampuannya.

Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi

seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju.

Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut

mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia

membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah

beberapa kali mengadakan pameran bersama.

Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya.

Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya

lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu

dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat

juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.

Pada tahun 1947, ia mendirikan sanggar Pelukis Rakyat bersama temannya, Affandi. Dari sanggar

ini banyak melahirkan pelukis yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain

melukis, mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. Hasilnya, patung batu Jenderal

Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta.

Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara

tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih

terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar.

Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter

ikan yang tidak mengenal diam.

Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang teduh,

tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber

Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai

Hendra karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun

menulis puisi.

Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habis-habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat warna

alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang tenggelamnya kapal

Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan potret diri yang diserbu ikan-

Page 10: Abdullah Suriosubroto

ikan. Ternyata, potret itulah manifestasi dirinya berterima kasih pada ikan-ikan yang menjadi sumber

inspirasinya. Sayangnya lukisan tersebut tidak selesai dan diberi judul Terima Kasih Kembali

Protein. Karya lukisan ini merupakan pertanda terakhir Hendra Gunawan sebelum menghadap Illahi.

Ia meninggal di RSU Sanglah, Denpasar, Bali, 17 Juli 1983. Dan dimakamkan di Pemakaman

Muslimin Gang Kuburan Jalan A. Yani, Purwakarta.

Page 11: Abdullah Suriosubroto

Raden SalehRaden Saleh Sjarif Boestaman (1807[1][2] atau 1811[3] - 23 April 1880) adalah

pelukis Indonesia beretnis Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia

Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu

dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.

Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas

menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19,

Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).

Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.

Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus

ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824)

dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang

membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.

Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang

romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain.

Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap

pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas

di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan

kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.

"Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh (1857).

Page 12: Abdullah Suriosubroto

"Penyerahan Diri Diponegoro" karya Nicolaas Pieneman (1835).

Raden Saleh terutama dikenang karena lukisan historisnya, Penangkapan Pangeran Diponegoro,[5] yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan pihak Belanda kepada Pangeran

Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Sang Pangeran dibujuk untuk hadir

di Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun pihak Belanda tidak

memenuhi jaminan keselamatannya, dan Diponegoro pun ditangkap.

Pada waktu Saleh, peristiwa tersebut telah dilukis oleh pelukis Belanda Nicolaas Pieneman dan

dikomisikan oleh Jenderal de Kock. Diduga Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal

di Eropa. Seakan tidak setuju dengan gambaran Pieneman, Raden memberikan sejumlah

perubahan signifikan pada lukisan versinya; Pieneman menggambarkan peristiwa tersebut dari

sebelah kanan, Saleh dari kiri. Sementara Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah

lesu dan pasrah, Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah.

Pieneman memberi judul lukisannyaPenyerahan Diri Diponegoro, Saleh memberi

judul Penangkapan Diponegoro. Diketahui bahwa Saleh sengaja menggambar tokoh Belanda di

lukisannya dengan kepala yang sedikit terlalu besar agar tampak lebih mengerikan.[5]

Perubahan-perubahan ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Saleh akan tanah

kelahirannya di Jawa. Hal ini juga dapat terlihat pada busana pengikut Diponegoro. Pieneman

sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda, dan karena itu ia menggambarkan pengikut Diponegoro

seperti orang Arab.[5] Gambaran Saleh cenderung lebih akurat, dengan kain batik danblangkon yang

terlihat pada beberapa figur. Saleh juga menambahkan detil menarik, ia tidak melukiskan senjata

apapun pada pengikut Diponegoro, bahkan keris Diponegoro pun tidak ada. Ini menunjukkan bahwa

peristiwa tersebut terjadi pada bulanRamadhan, karena itu Pangeran dan pengikutnya datang

dengan niat baik.

Page 13: Abdullah Suriosubroto

Setelah selesai dilukis pada 1857, Saleh mempersembahkan lukisannya kepada Raja Willem

III di Den Haag. Penangkapan Pangeran Diponegoro baru pulang ke Indonesia pada 1978.

Kepulangan lukisan tersebut merupakan perwujudan janji kebudayaan antara Indonesia-Belanda

pada 1969, tentang kategori pengembalian kebudayaan milik Indonesia yang diambil, dipinjam, dan

dipindahtangan ke Belanda di masa lampau. Namun dari itu, lukisan Penangkapan tidak termasuk

ketiga kategori tersebut, karena sejak awal Saleh memberikannya kepada Raja Belanda dan tidak

pernah dimiliki Indonesia. Lukisan tersebut akhirnya diberikan sebagai hadiah dari Istana Kerajaan

Belanda dan sekarang dipajang di Istana Negara, Jakarta.[5]