AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya...

110
LAPORAN AKHIR A AA N NN A AA L LL I II S SS I II S SS G GG E EE N NN D DD E EE R RR D DD A AA L LL A AA M MM P PP E EE R RR E EE N NN C CC A AA N NN A AA A AA N NN P PP E EE M MM B BB A AA N NN G GG U UU N NN A AA N NN DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 2007

Transcript of AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya...

Page 1: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

LAPORAN AKHIR

AAANNNAAALLLIIISSSIIISSS GGGEEENNNDDDEEERRR DDDAAALLLAAAMMM

PPPEEERRREEENNNCCCAAANNNAAAAAANNN PPPEEEMMMBBBAAANNNGGGUUUNNNAAANNN

DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS

2007

Page 2: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-

Nya, sehingga laporan akhir Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan

Pembangunan ini dapat kami selesaikan. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan

kajian, yang merupakan salah satu fungsi Direktorat Kependudukan dan

Pemberdayaan Perempuan.

Kajian ini memiliki dua tujuan, yaitu: pertama, melakukan evaluasi

terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7

kabupaten/kota terpilih; yang dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa

jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah

melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan

lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua adalah melakukan analisis gender

terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam

RPJMN 2004-2009. Analisis gender tersebut dilakukan bersama-sama dengan

Kementerian/lembaga terkait, dengan menggunakan piranti analisis gender yang

disebut Gender Analysis Pathway (GAP).

Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, dan

untuk itu kami haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

berpartisipasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penyusunan kajian

tersebut, khususnya kepada Ibu Dr. Yulfita Raharjo, MA dan Bapak Nardho

Gunawan, MD, MPH; selaku konsultan yang membantu kami dalam pelaksanaan

kajian ini. Di samping itu, masukan dan saran untuk kajian ini juga kami

harapkan, sebagai bahan perbaikan untuk periode selanjutnya.

Jakarta, Desember 2007

Direktur Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan

Page 3: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2

RINGKASAN EKSEKUTIF 5

1. PENDAHULUAN 5

2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS 10

2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA 10

a. Dukungan Politik 10

b. Program yang Responsif Gender 11

c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 12

d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 13

e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) 13

2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH 14

2.3. Lessons Learned 15

2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih 18

2.4.1.Hasil yang Diharapkan 18

2.4.2.Proses Analisis 19

2.4.3.Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 21

2.4.4. Beberapa Isu Kritis 21

3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 23

BAB 1. PENDAHULUAN 25

1.1. Latar Belakang 25

1.2. Tujuan Kajian 28

1.3. Ruang Lingkup Kegiatan 28

1.4. Metodologi 29

1.5. Pengukuran 33

1.6. Hasil yang Diharapkan 35

1.7. Limitasi 36

Page 4: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

4

1.8. Kesimpulan 38

BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA: Tinjauan dari Perspektif gender 39

2.1. Dukungan Politik 42

2.2. Program yang responsif gender 51

2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 53

2.4. Peran Pokja Gender 60

2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 62

2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) 64

2.7. Kesimpulan 65

Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER 67

3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis 68

3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat 70

3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota 86

BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN: KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH 91

4.1. Hasil yang Diharapkan 92

4.2. Proses Analisis 92

4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 95

4.4. Best Practice 96

4.5. Beberapa Isu Kritis 100

BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 102

5.1. Kesimpulan 102

5.2. Rekomendasi 103

Page 5: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

5

RINGKASAN EKSEKUTIF  

1. PENDAHULUAN

 

a. LATAR BELAKANG Strategi  pengarusutamaan  gender  (PUG)  ke  dalam  proses 

pembangunan dewasa  ini  semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu  Instruksi  Presiden  kepada  semua Menteri,  Lembaga  Tinggi  Negara, Panglima  Angkatan  Bersenjata,  Gubernur  dan  Bupati/Walikota  untuk melakukan  PUG  dalam  keseluruhan  proses  perencanaan  dari  seluruh kebijakan dan  program pembangunan.  

  Sebagai  hasil  dari  upaya  pelaksanaan  PUG,  khususnya  pada  tahap perencanaan, dapat dilihat dari Propenas  2000‐2004, yaitu  telah  terdapat 19 program  pembangunan  yang  responsif  gender.  Program‐program  tersebut mencakup  5  sektor  pembangunan  yaitu  bidang  hukum,  ekonomi,  politik, pendidikan, dan sosial budaya. Pada setiap Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) upaya PUG terus dilakukan, dan hasil nyata yang diperoleh adalah bertambahnya program yang  responsif gender. Hingga Repeta 2004,  jumlah program yang  telah  responsif gender bertambah menjadi 38 program, yang terdapat  pada  sektor‐sektor  pembangunan:  ketenagakerjaan,  pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, politik, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup. 

Dalam  Rencana  Pembangunan  Jangka Menengah Nasional  (RPJMN) 2004‐2009, peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda  menciptakan  Indonesia  yang  adil  dan  demokratis.  Bahkan  dalam Rencana  Kerja  Pemerintah  (RKP)  tahun  2006  dan  2007,  pengarusutamaan gender  telah  ditetapkan  sebagai  salah  satu  prinsip  pengarusutamaan  yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan pembangunan.   

Untuk keperluan kajian  tersebut,  terdapat 5  (lima) aspek yang dikaji. Kelima  aspek  tersebut  dianggap  merupakan  prasyarat  dalam  proses melaksanakan  PUG.  Aspek‐aspek  tersebut  adalah:  1)  dukungan  politik;  2) kebijakan/program/kegiatan  yang  responsif  gender;  3)  tersedianya kelembagaan PUG; 4) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam  sistem;  dan  5)  kemampuan  sumber  daya  manusia  (SDM)  dalam melaksanakan dan mengawal PUG.1 

1   Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP). 

Page 6: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

6

Hasil  kajian  pelaksanaan  PUG  (Bappenas,  2005)  tersebut memperlihatkan bahwa: 1)  implementasi 38 program Repeta 2001‐2004 yang responsif gender tersebut dapat dikatakan tidak semuanya dilaksanakan; dan 2)  meskipun  sudah  cukup  banyak  kemajuan,  namun  secara  umum pelaksanaan  PUG  belum  berjalan  optimal.  Beberapa  hal  yang  menjadi penyebabnya, adalah sebagai berikut: 

- Payung hukum yang menyatakan  tentang keharusan melaksanakan PUG di  setiap  sektor/lembaga  baik  di  tingkat  nasional  maupun  di  tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.  

- PUG  lebih  dipahami  sebagai  proyek  kegiatan  untuk  perempuan  atau pemberdayaan perempuan  semata, dan  belum dipahami  sebagai  strategi pembangunan yang sifatnya cross‐cutting, menyeluruh dan terintegrasi; 

- PUG belum melembaga;  - Data  dan  informasi  terpilah  berdasarkan  jenis  kelamin  masih  terbatas. 

Tidak  ada  keharusan  untuk mengumpulkan  data  terpilah menurut  jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis; dan  

- Masih  kurangnya  sumber  daya  manusia  (SDM)  yang  mampu melaksanakan  analisis  gender  dan  mendukung  pelaksanaan  PUG  di tingkat internal masing‐masing lembaga. 

Oleh  sebab  itu,  sesuai  dengan  salah  satu  fungsi  Bappenas  yaitu melakukan  koordinasi  dan  peningkatan  keterpaduan  dalam  penyusunan rencana  dan  program  pembangunan  nasional  (Surat  Keputusan  Menteri Negara  PPN/Kepala  Bappenas  No.  050/M.PPN/03/2002),  Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas  kajian  gender  dalam  perencanaan  pembangunan  dan pelaksanaan  PUG  di  beberapa  bidang  dalam  RPJMN  2004‐2009.  Untuk keperluan  itu,  di  samping  melakukan  ‘revisit’  kepada  12  Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 9 bidang pembangunan (lama), juga menambah dengan  6  (enam)  Kementerian/Lembaga  (baru)  di  tingkat  nasional.  Untuk memperkaya gambaran pelaksanaan PUG di daerah, kajian juga dilakukan di 7  provinsi  dan  7  kabupaten/kota  terpilih,  di  luar  3  provinsi  dan  3 kabupaten/kota yang telah dilakukan pada tahun 2005.   

Dengan  demikian,  kajian  gender  dalam  perencanaan  pembangunan pada tahun 2007 ini mencakup 18 Kementerian/Lembaga dengan fokus pada program‐program  pembangunan dalam RPJMN  2004‐2009  (untuk  nasional) dan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih.   

 

b. TUJUAN KAJIAN

Tujuan  pertama  untuk  melakukan  evaluasi  terhadap  pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih. 

Page 7: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

7

Tujuan  ini  dimaksudkan  untuk  mengetahui  sampai  seberapa  jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi  serta kabupaten/kota yang dikaji  telah melaksanakan  Inpres  No.  9  Tahun  2000,  serta  peraturan  perundang‐undangan lain yang berkaitan dengan PUG.  

Tujuan  kedua  untuk melakukan  analisis  gender  terhadap  beberapa program  pembangunan  terpilih  yang  terdapat  di  dalam RPJMN  2004‐2009. Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender  tersebut dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. Selain  itu,  juga  dimaksudkan  sebagai  bagian  dari  upaya  capacity  building dalam  hal melakukan  analisis  gender  dan mengintegrasikan  isu  gender  ke dalam  dokumen  perencanaan  pembangunan.  Lebih  jauh  lagi,  diharapkan juga  bahwa  melalui  upaya  tersebut  dapat  dibangun  rasa  kepemilikan terhadap program yang  sudah  responsif gender. Analisis gender dilakukan bersama‐sama  dengan  Kementerian/lembaga  terkait  dengan  menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP). 

 

c. METODOLOGI Kerangka Analisis 

Untuk  tujuan  pertama  –yaitu  evaluasi  PUG–, metode  yang  dipakai dalam adalah kombinasi dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif.  Sifat  analisis  kajian  adalah  deskriptif  analisis.  Dimulai  dengan menelaah  dokumen  dasar  perencanaan  program  pembangunan Kementerian/Lembaga  yang  tersedia.  Ini  termasuk  rencana  strategis, pedoman  umum  perencanaan  program  pembangunan,  kebijakan pembangunan, meta  analisis  hasil  kajian  evaluasi  2005,  dan  dokumen  lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih.  

Dari  informasi  dan  gambaran  yang  terkumpul,  disusun  suatu framework  dengan  mengidentifikasikan  beberapa  variabel  kunci  yang kemudian  dijabarkan  pada  pertanyaan‐pertanyaan  yang  relevan,  untuk memandu proses kajian.   Asumsinya  adalah  secara  ideal pelaksanaan PUG dapat  berjalan  baik dalam  suatu Kementerian/Lembaga  jika  tersedia paling tidak  6  (enam)  aspek,  yaitu:  1)  adanya  dukungan  politik  (komitmen)  dari pimpinan/pengambil  kebijaksanaan;  2)  adanya  program/kegiatan  yang responsif  gender  sebagai  suatu  keniscayaan;  3)  adanya  kelembagaan  baik struktural  maupun  fungsional  sebagai  acuan  dalam  pelaksanaan  PUG  di Kementeriaan/Lembaga  yang  bersangkutan;  4)  tersedianya  dan  efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber  daya  manusia  (SDM)  yang  memahami  gender  dan  mampu 

Page 8: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

8

melaksanakan  dan  mengawal  PUG;  dan  6)  tersedianya  dana  untuk pelaksanaan PUG2. 

 

Metode Pelaksanaan Kajian 

Dalam merancang kajian, telah disetujui bersama bahwa sifat kajian ini adalah  partisipatori.  Pada  prinsipnya,  pendekatan  partisipatori  lebih memberikan waktu dan  ruang untuk berdiskusi dua arah antara  tim kajian dengan para responden.  

(1) Focus  Group  Discussion  (FGD),  forum  FGD  menjadi  piranti  yang penting dalam mengumpulkan data informasi;  

(2) Briefing  dan  konsultasi  dengan  para  pimpinan,  pengelola  (unit)  dan anggota  staf  (seperti  dari  Biro  Perencanaan,  Sekretaris/Ditjen  yang berkaitan dengan kegiatan PUG,  focal point gender, Pokja Gender, dll), untuk mendapatkan gambaran  tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi  serta perlakuan  lembaga  terhadap  isu  gender pada umumnya,  dan  isu  gender  dalam  perencanaan  program  pada khususnya;  

(3) Wawancara dilakukan dengan pengelola senior dari beberapa program dalam Kementeriaan/Lembaga terkait;  

(4) Telaah  dokumen  dilakukan  secara  sistematis  terhadap  dokumen perencanaan  yang  relevan,  khususnya  Rencana  Strategis  (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat kebijakan, strategi,  target/sasaran, termasuk  program  dan  kegiatan  pembangunan,  framework  dan  piranti analisis dari beberapa Kementerian/ Lembaga terpilih;  

(5) Meta  analisis  terhadap  hasil  kajian  perencanaan  program  yang responsif gender (2005);  

(6) Kuesioner  sebagai  kajian  cepat  untuk  menjajagi  dukungan, kelembagaan  dan mekanisme  PUG  serta  sumber  daya manusia  yang tersedia  dan  mampu  melaksanakan  analisis  gender  di Kementerian/Lembaga yang dikaji;  

(7) Debriefing  dan  konsultasi  dengan  para  pengelola  (unit)  dan  anggota staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan dengan kegiatan PUG, gender focal point, Pokja Gender). 

Untuk  tujuan  kedua  –yaitu  analisis  gender  terhadap  program pembangunan–  maka  metode  yang  digunakan  adalah  learning  by  doing 

2  Opsional  sifatnya,  anggaran  untuk  gender  dan  PUG  masih  perlu  didiskusikan  dan disepakati  bersama  para  pemangku  kebijakan.  Sebab  itu,  hanya  beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan dalam kuesioner,  tetapi kebanyakan tidak dapat melengkapi. 

Page 9: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

9

melalui  lokakarya. Lokakarya Analisis Gender untuk Perencanaan Program tersebut menggunakan piranti  (tool) analisis Gender Analysis Pathway  (GAP). Program‐program  yang  dianalisa merupakan  pilihan  oleh wakil‐wakil  dari Kementerian/Lembaga  yang  diambil  dari  program  pembangunan  RPJMN 2004‐2009. 

Data 

 Data  yang  digunakan  ada  data  sekunder  (hasil  pelaksanaan  kajian PUG Tahun 2005 dan data‐data  lainnya) dan data primer. Terdapat 3  (tiga) fokus pengumpulan data primer dan informasi yang digunakan yaitu: 1) Bagi Kementerian/Lembaga  serta  Provinsi/Kabupaten/Kota  yang  baru,  kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5 (lima) aspek yang dianggap suatu  keadaan  ideal  untuk melaksanakan  PUG,  ditambah  satu  aspek  lagi yaitu  ketersediaan  gender  budget;  2)  Bagi  Kementerian/Lembaga/Provinsi/ Kabupaten/Kota  yang  pernah  dilakukan  kajian, maka  fokus  kajian  kali  ini adalah dengan melihat dinamika dari  5  (lima)  aspek  tersebut di  atas,  serta aplikasinya; dan 3) Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif (kuesioner, desk review) dan kualitatif  (interview mendalam dan FGD dengan nara  sumber  yang  dianggap  sebagai  pengambil  kebijakan, mengetahui/terlibat  dengan  perencanaan  program/  kegiatan  maupun pelaksanaan  PUG).  Diskusi  partisipatif  juga  dilakukan  dengan  stakeholders terkait  untuk  mengidentifikasi  masalah,  tantangan,  dan  masukan/ rekomendasi. Sifat analisis adalah deskriptif. 

Page 10: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

10

2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS

 

Tujuan  pertama  melakukan  kajian  gender  dalam  perencanaan pembangunan  adalah  mengetahui  sampai  seberapa  jauh Kementerian/Lembaga  serta  provinsi/kabupaten/kota  yang  dikaji melaksanakan  Instruksi  Presiden  No.  9  Tahun  2000  serta  peraturan perundang‐undangan lain yang mengikutinya, dengan fokus utama pada isu‐isu kritis dalam pelaksanaan PUG.  

 

2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA

Sejumlah  informasi  telah  terkumpul  dari  hasil  kajian  ini.  Demi konsistensi  dengan  kajian  serupa  yang  dilakukan  pada  tahun  20053  dan aggregasi  temuan‐temuan,  serta  untuk  keperluan  diskusi  dan  melihat dinamikanya,  maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji. Ke‐lima aspek tersebut dipilih karena merupakan prasyarat ideal untuk  melaksanakan  PUG,  khususnya  untuk  suatu  proses  perencanaan pembangunan  yang  responsif  gender4.  Aspek‐aspek  tersebut  adalah:  1) dukungan  (Politik)  dari  pimpinan  Kementeriaan/Lembaga;  2)  ketersediaan wadah,  baik  struktural  maupun  fungsional  yang  memungkinkan  PUG (berpotensi)  terlembaga;  3)  ketersediaan  dan  efektifnya  sistem  data  dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 4) SDM yang memahami dan mampu  melaksanakan  dan  mengawal  PUG;  5)  jumlah  program/kegiatan yang responsif gender.  

a. Dukungan Politik

Dukungan politik merupakan cerminan dari komitmen para pimpinan Kementerian/Lembaga,  yang  seringkali  dituangkan  dalam  bentuk  payung hukum untuk melaksanakan PUG di  institusi masing‐masing,  seperti  Surat Keputusan,  Instruksi,  Surat  Perintah,  Surat  Edaran,  dan  lain‐lain. Dari  segi capaian pelaksanaan PUG diukur dari  terlaksananya  sosialisasi  internal  atas keberadaan  payung  hukum  tersebut,  terutama  di  antara  jajaran  pimpinan lembaga  (horizontal)  dan  di  antara  penanggung  jawab  program/kegiatan (vertikal). 

Meskipun  telah  tersedia  berbagai  payung  hukum  sebagai  dukungan politk terhadap pelaksanaan PUG, namun kurang tersosialisasi secara baik –

3  Kementerian  Negara  Perencanaan  Pembangunan  Nasional  (BAPPENAS)  bekerjasama dengan  Kementerian  Negara  Pemberdayaan  Perempuan  (KPP),  Evaluasi  Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005) 4 Aspek ke  ‐6 yaitu gender budget,  tidak  jadi dikaji, karena masih belum  ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya .  

Page 11: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

11

terutama  di  antara  para  pimpinan  dan  pembuat  keputusan  di Kementeriaan/Lembaga.  Oleh  karena  itu  keberadaannya  seringkali  hanya diketahui  oleh  orang‐orang  yang  tercantum  namanya  dalam  SK  tersebut. Umumnya  para  pimpinan/pengambil  kebijakan  banyak  yang  belum memahami  konsep  gender  dan  PUG  serta  manfaatnya5.  Oleh  sebab  itu meskipun PUG  telah   dikuatkan dalam  Inpres No. 9 Tahun 2000 dan dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004‐2009, akan tetapi karena pemahaman mengenai gender/PUG yang masih kurang, dan bahkan seringkali  ‘keliru’,  maka  dukungan  politik  terhadap  PUG  masih  lemah. Hambatan  lain  PUG  adalah  pendanaan  yang  kurang  diperhitungkan  saat perencanaan. SK yang dikeluarkan tentu berimplikasi pada pendanaan, yang karena  bersifat  ad  hoc  berarti  alokasi  dananya  tidak  direncanakan sebelumnya. 

Dari  best  practise  seperti  yang  diperlihatkan  oleh  Departemen Pendidikan  Nasional,  Departemen  Kesehatan,  dan  Departemen  Pertanian, bahwa dukungan politik, payung hukum dan piranti  lain  (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun,  jika ada prakarsa  internal yang dilakukan oleh sekelompok  orang  yang  mempunyai  komitmen  tinggi,  konsisten,  dan didukung oleh orang‐orang yang kompeten. 

Data  empirik memperlihatkan  bahwa dukungan politik  bisa  tumbuh dari prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang responsif gender,  dengan  disertai  upaya  advokasi  pada  para  pimpinan/pengambil kebijakan.  Namun,  perlu  diwaspadai  bahwa  dukungan  politik  dapat melemah bila Surat Keputusan pelaksanaan PUG tidak efektif dipergunakan, sebagaimana halnya yang terjadi di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. 

 

b. Program yang Responsif Gender

Dari evaluasi PUG 2005, diketahui bahwa 38 program (Propenas) yang sudah  responsif  gender,  hampir  tidak  ada  yang  dilaksanakan,  kecuali beberapa  bagian  kegiatan  hasil  dari  pelatihan  analisis  gender  yang  pernah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya peralihan dari Propenas ke  RPJMN  2004‐2009,  sehingga  masing‐masing  Kementerian/Lembaga menyesuaikan  dengan  misi  dan  fokus  RPJMN  2004‐2009.  Penyebab  lain adalah  38  program  yang  sudah  dibuat  gender  responsif  oleh  individu‐individu  yang mengikuti  pelatihan  gender  analisis,  tidak  otomatis menjadi dokumen resmi dari lembaga yang diwakilinya. Selain minimnya diseminasi internal hasil pelatihan gender,  juga karena kedudukan  individu  tersebut di dalam  lembaga  yang  diwakilinya  tidak  cukup  kuat  untuk  meyakinkan 

5 Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.

Page 12: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

12

atasan/rekan  kerjanya  mengenai  program/  kegiatan  yang  telah  dibuatnya gender  responsif.  Yang  sering  tidak  disadari  adalah  membuat  rancangan program  itu  adalah  suatu  proses  yang  melibatkan  banyak  orang  dan petahapan  yang  tidak  selalu  kondusif  untuk menerima  sesuatu  yang  baru seperti perspektif gender dalam perencanaan program. 

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan program pembangunan yang  responsif  gender:  1)  Kementeriaan/Lembaga  sudah  semakin  terbuka menerima perspektif gender kedalam program dan kegiatanya,  tetapi  teknis pelaksanaannya  masih  menjadi  kendala,  demikian  juga  dengan  hierarki birokratis  pengambilan  keputusan;  2)  pejabat  eselon  3  dan  4  yang  sudah dilatih  gender  analisis  untuk  perencanaan  program merupakan  focal  point gender  dan  ujung  tombak  pelaksanaan  PUG  di  unitnya  masing‐masing. Namun  menghadapi  kesulitan  dalam  meyakinkan  pimpinan  dan  rekan kerjanya yang masih bias/buta gender; dan  3) proses perencanaan program dan  kegiatan  melibatkan  berbagai  pihak,  termasuk  yang    berada  di  luar unitnya dan wewenangnya. 

 

c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional

Tidak semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural maupun fungsional.  Sebagai  contoh DKP  dan  LAN  tidak/belum mempunyai  kedua kelembagaan  tersebut. Bahkan di  antara Kementerian/Lembaga yang  secara eksplisit memiliki kelembagaan akan  tetapi bentuk, struktur serta  fungsinya beragam.  Tiga  pola  teridentifikasi:  1)  kelembagaan  fungsional;  2) kelembagaan dengan wadah struktural kombinasi dengan wadah fungsional; dan  3)  belum  mempunyai  keduanya,  baik  wadah  struktural  maupun fungsional. 

Beberapa  isu penting  berkaitan dengan Kelembagaan:  1) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika   yang mengurusi PUG berada di Eselon  yang  rendah.  Secara  struktural,  di  beberapa  Kementerian/Lembaga yang  mengurusi  kegiatan  PUG  ditempatkan  pada  struktur  eselon  3 (Departemen  Sosial)  atau  echelon  4.  Biasanya  digabung  bersama‐sama dengan urusan bidang lain, seperti agama, olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya  yang  rendah  secara  struktural,  sehingga  tidak  cukup  kuat untuk  melakukan  pengawalan  maupun  melakukan  terobosan‐terobosan kedalam  sistim.   Hal  ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG. Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program Wanita dalam  Pembangunan. Hanya  beberapa  instansi  seperti Depkes, Depdiknas, dan Deptan yang  sudah mulai memperlakukan gender  sebagai  cross  cutting issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal;   2) 

Page 13: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

13

Wadah  fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah  fungsional seperti gender  focal  point, Dewan  Pakar,  gender  fasilitator  karena  kedudukannya diluar  struktur,  bekerja  lebih  lentur  sebab  itu  seharusnya  lebih  banyak berperan  baik  dalam  mensosialisasikan  gender  dan  PUG,  maupun melaksanakannya.  Tetapi  tidak  semua  Kementerian/Lembaga    memiliki wadah‐wadah  fungsional  ini.  Wadah  fungsional  yang  paling  banyak dipunyai oleh Kementeriaan/Lembaga yang dikaji adalah focal point gender, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal; 3) Peran serta keterlibatan Focal Point. Semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki focal point gender yang biasanya sudah terpapar dengan isu gender melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dan  lain‐lain. Namun, mereka  tidak mempunyai wewenang yang memadai  untuk  melakukan  intervensi  birokrasi,  karena  umumnya  hanya merupakan  eselon  3  atau  4;    dan  4)  peran  Pokja  Gender.  Hampir  semua Kementerian/Lembaga  telah  memiliki  SK  untuk  membentuk  Pokja gender/PUG. 

 

d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin

Permasalahan  ketersediaan  data  terpilah merupakan masalah  ‘lama’ yang  belum  terselesaikan  di  semua  Kementerian/Lembaga  yang  dikaji. Depdiknas  dan  Depkes  merupakan  dua  Kementerian  yang  sudah mempunyai  data  terpilah  di  tingkat  dasar,  yaitu  di  level  sekolah  dan Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu diagregat lagi di tingkat  kecamatan.  Alasan  umum  yang  banyak  disebutkan  yaitu  karena formulir dari  ‘atas’  (provinsi/nasional) memang  tidak  terpilah menurut  jenis kelamin. 

Beberapa  butir  penting  yang  berkaitan  dengan  ketersediaan  data terpilah:  1)  isu  yang  menonjol  sebenarnya  adalah  kurangnya  komitmen politik  pimpinan  yang  berwenang  berkaitan  dengan  penyediaan  dan penggunaan  data  yang  terpilah  menurut  jenis  kelamin  dalam  melakukan analisis  untuk  perencanaan;  2)  kelangkaan  data  terpilah  di  hampir  semua Kementerian/Lembaga  merupakan  suatu  masalah  serius  yang  sangat menghambat  pelaksanaan  PUG;  dan  3)  penggunaan  data  terpilah  tersebut belum melembaga dalam perencanaan terbukti dari formulir standar masing‐masing Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregasi. 

 

e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)

SDM  yang  mau  dan  mampu  melaksanakan  dan  mengawal pelaksanaan  PUG  masih  amat  sedikit.  Berbagai  kegiatan  capacity  building 

Page 14: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

14

sudah  banyak  dilakukan  di  sebagian  besar  Kementerian/Lembaga  dengan mengundang  pakar,  dari  Kemeneg.  PP maupun  dari  sumber  internal  dan eksternal, akan tetapi hasilnya belum cukup memadai. 

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan kurangnya SDM yang handal melakukan dan mengawal PUG:  1) mengingat  kekurangan  tersebut karena  seringnya  rotasi  pejabat  dan masih  banyaknya  pejabat  yang  belum memahami  konsep  gender  dan  aplikasinya,  maka  sosialisasi  dan  capacity building untuk  tiap‐tiap Kementerian/Lembaga perlu ditingkatkan; 2) materi dan  metode  penyampaian  yang  diberikan  dalam  capacity  building  harus disesuaikan  dengan  keperluan  dan  latarbelakang  peserta;  dan  3)  advokasi mengenai gender dan PUG sangat esensial bagi para pimpinan lembaga agar mereka  lebih  responsif,  aspiratif  dan  akomodatif  terhadap  isu  gender  dan pelaksanaan PUG. 

 

2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH

Isu gender dalam pembangunan di daerah tepat waktu dan tepat asas, tetapi  berpotensi  luput  menggunakan  kesempatan.  Tepat  waktu,  karena Inpres No. 9 Tahun 2000 datang bersamaan dengan adanya pergeseran dari sentralistik ke desentralistik melalui otonomi daerah. Kesempatan besar  itu sekaligus  merupakan  tantangan  luar  biasa  bagi  daerah,  karena  daerah diharapkan  dapat  memanfaatkan  kesempatan  ini  untuk  melakukan terobosan‐terobosan,  melalui  program/kegiatan  pembangunan  –  termasuk pelaksanaan PUG  – yang  lebih  cocok dengan keadaan dan  aspirasi daerah. Namun harapan besar ini kemungkinan besar luput dimanfaatkan daerah.  

PUG  di  telah  dilengkapi  dengan  sejumlah  payung  hukum,  yaitu:  1) KepMendagri  No.  132  Tahun  2003  tentang  Pedoman  Umum  Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah; 2) Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006  tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah; dan 3) Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja (meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan  PUG). Masing‐masing daerah pun  telah menindaklanjutinya  dengan  kesepakatan  politik  dalam  berbagai bentuk.6 Semua provinsi, kabupaten/kota yang dikaji sudah memiliki wadah struktural  dan  fungsional  mengelola/mengawal  pelaksanaan  PUG.  Akan tetapi pada  tatanan praksis,  ‐‐kecuali di beberapa provinsi/kabupaten/kota‐‐, implementasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. 

Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan belum  terlaksana  baik.  Akan  tetapi  beberapa  daerah  telah  menunjukkan kesungguhannya. Desentralisasi yang dinyatakan efektif per tanggal 1 Januari 2001  telah  secara nyata berpengaruh  terhadap pelaksanaan PUG di daerah.  6 Lihat bagian Kesepakatan politik  

Page 15: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

15

Pelimpahan  wewenang  dan  tanggung  jawab  dari  pemerintah  pusat  ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara  itu, pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu.  Demikian  juga  halnya  dengan  detail  prosedur  standar  operasional untuk melaksanakan PUG  juga belum  tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan  KepMendagri  No.  132  Tahun  2003  tentang  Pedoman  Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah. 

Hasilnya  adalah  tanggapan  daerah  beragam  dalam  interpretasi  dan bersikap  terhadap  pelaksanaan  PUG  ini.  Pada  umumnya,  pemahaman mengenai  gender  dan  PUG  direduksi  sebagai  suatu  program,  khususnya program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu dalam struktur  administrasi  ditempatkan  bercampur  bersama‐sama  dengan program‐program  lain  pada  satu  unit  kerja  (eselon  4  atau  3).  Karena umumnya, karena pemahaman yang kurang tersebut, maka gender dan PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan. Hal  ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004‐2008 yang menekankan PUG sebagai suatu  strategi  pembangunan  yang  harus  diarusutamakan  ke  dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam proses perencanaan secara  bermakna  dan  menempatkan  wadah  yang  mengurusi  PUG    pada struktur  yang lebih instrumental yaitu di eselon 2. 

Dalam  proses melaksanakan  PUG  di  era  desentralisasi  yang  kedua‐duanya relatif baru di  Indonesia  ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu  dan  pengalaman  yang  mempunyai  dampak  yang  luas  dan  berjangka panjang. Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di  daerah  sudah  berjalan  sebagaimana  diharapkan,  mengingat  umur keduanya  (PUG  dan  desentralisasi)  belum  cukup  8  tahun.  Beberapa  butir penting  yang  (berpotensi)  berdampak  terhadap  jalanya  pelaksanaan    PUG didaerah.  

2.3. Lessons Learned

Lessons  Learned  yang  harus  dicermati:  1)  pemahaman  yang  masih sering keliru tentang pelaksanaan desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi program atau bahkan menjadi kegiatan; 2) sosialisasi gender  dan  pelatihan  analisis  gender  diperlakukan  seperti  proyek  dengan waktu  pelatihan  yang  kurang  memadai,  sehingga  hasilnya  pemahaman mengenai gender dan kemampuan analisis gender rendah/kurang memadai; 3) dukungan politik pelaksanaan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak disosialisasikan;  (4) ketersediaan data  terpilah menurut  jenis kelamin masih belum  terlembaga  dan  kurang  mendapat  dukungan  politik  untuk melembagakannya.  Konsekuensinya  kebijakan  dan  perencanaan  program pembangunan  dibuat  tidak  berdasarkan  data  yang memadai;  5)  keharusan 

Page 16: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

16

melakukan analisis gender dalam perencanaan masih belum melembaga; 6) orang  yang mendapatkan  pelatihan  analisis  gender  dan  sosialisasi  gender tidak selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan,  bahkan  juga  bukan  orang  yang  bisa  mempengaruhi pengambil  keputusan,  sehingga  tidak  bisa  memastikan  program/kegiatan pembangunan yang dihasilkan telah responsif gender; 7) di beberapa daerah yang  dikaji,  fokus  PUG  masih  terlalu  luas  dan  bersifat  umum,  sehingga berpotensi gagal. Beberapa daerah menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di  Provinsi  Sumatera  Utara  berfokus  pada  beberapa  isu  yaitu  Kekerasan Dalam Rumah Tangga  (KDRT), hak asasi anak, serta  trafficking; dan 8)  tidak semua Pokja Gender di daerah berfungsi, misalnya  tidak  ada agenda kerja, tidak  ada  pertemuan  (rutin).  Namun  di  sebagian  daerah  seperti  Provinsi Sumatera  Utara  dan  Provinsi  Jawa  Tengah,  Pokja  berfungsi  dengan  baik, sesuai  tujuannya.  Di  Provinsi  Sumatera  Utara  misalnya,  Pokja  dibagi  ke dalam  beberapa  gugus‐tugas  sesuai  dengan  isu  yang  ditangani.  Dengan demikian,  Pokja  bekerja  dengan  fokus  yang  lebih  jelas  dan  terukur  dalam menangani  permasalahan.  Bentuk  kelembagaan  fungsional  seharusnya melibatkan  stakeholders  internal  maupun  eksternal  sehingga  menciptakan jejaring kerja yang luas dan beragam.  

 

Proses  pelaksanaan  PUG  tidak  selalu  berjalan  linier  dengan prasyaratan.  

Walaupun  suatu  Kementerian/Lembaga  atau  SKPD provinsi/kabupaten/ kota telah memiliki sebagian besar dari 5 prasyarat PUG,  namun  pelaksanaan  PUG  tidak  berjalan  sebagaimana  yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat instansi yang telah melaksanakan PUG meskipun  baru  pada  program/kegiatan  terbatas,  tanpa  kelengkapan prasyaratan ideal. 

Proses pelaksanaan PUG umumnya dapat dibagi ke dalam  3 pola umum7. Pola pertama adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan Perempuan dalam Pembangunan  (WID). Pola  kedua  adalah yang masih dalam  tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan  dengan  mengaplikasikan  strategi  PUG,  walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah kondisi prasyaratan ideal masih 

7 Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian

ini bentuk kategorisasi tersebut dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainnya.

Page 17: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

17

belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu‐isu tertentu. Akan  tetapi  kegiatan masih  terisolasi  sebagai  kegiatan  Pokja atau  unit  kerja  yang  berinisiatif.  PUG  belum  dipakai  sebagai  strategi untuk  mengintegrasikan  isu  gender  ke  dalam  perencanan  program pembangunan  dan  juga  belum  dilihat  sebagai  isu  lintas  bidang/unit kerja (cross‐cutting issue). 

Pola  pertama,  merupakan  pola  yang  paling  umum  ditemukan  di daerah. Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses kelengkapan  prasyaratan,  belum  sampai  pada  aplikasi  pelaksanaan PUG.  Semua  daerah  yang  dikaji,  baik  di  tingkat  provinsi  maupun kabupaten/kota,  telah  memiliki  SK  Gubenur/Bupati/Walikota  yang berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.8 Namun tidak  selalu  semua  stakeholders  terkait‐bahkan  di  kalangan  internal lembaga/unit  kerja  baik  vertikal  maupun  horizontal‐‐  mengetahui keberadaan  payung  hukum  tersebut.  Umumnya,  hanya  orang‐orang yang terlibat langsung atau namanya tercantum dalam Surat Keputusan tersebut yang mengetahui keberadaannya. 

Pola  kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih dalam  tahap  proses  memenuhi  prasyaratan.  Masalah‐masalah  yang ditengerai pada  pola    pertama,  juga merupakan masalah di  pola    kedua. Perbedaannya  adalah  pada  pola  kedua  sudah  mempunyai  (beberapa) program/kegiatan  PUG meskipun  seringkali masih  bersifat  ad  hoc. Di beberapa  Pemerintah  Daerah  dan  juga  SKPD,  tanpa  menanti terpenuhinya 5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender  di  beberapa  program/kegiatan  pembangunannya. Kementerian/Lembaga  terkait  serta  lembaga  donor  memegang  peran penting  dalam  proses  ini  yaitu  melalui  program  block  grant (Kementerian/Lembaga) maupun melalui  lembaga donor dalam bentuk proyek  ujicoba.  Depdiknas  misalnya  memberikan  block  grant  untuk beberapa  kegiatan  program  pembangunan  pendidikan  yang  responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di daerah9. Program/kegiatan yang  responsif  gender  juga  dibawa  oleh  lembaga  donor/agensi internasional  seperti misalnya  dalam  bentuk  proyek  ujicoba  ataupun bantuan  teknis  lainnya,  melalui  Pemda  atau  SKPD  terpilih.  Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari UNFPA; Propinsi  Sulawesi  Selatan  dari  CIDA;  kabupaten‐kabupaten  Gowa, Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg PP sudah 3 tahun terakhir  ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana 

8 Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan

dengan SK Gubernur. 9 Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan,

bahan ajar, dan capacity building.

Page 18: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

18

stimulan  dimaksudkan  untuk  mendorong  daerah  mengaplikasikan Inpres  No.9  Tahun  2000.  Akan  tetapi  dengan  berjalannya  waktu, masing‐masing  kedeputian  Kemeneg  PP  juga  mempunyai  dana stimulan yang dipakai sesuai dengan masing‐masing misi kedeputian. 

Pola ketiga diwakili oleh Depkes, Pemerintah Daerah Provinsi  Jawa Tengah  dan  Sumatera Utara. Kedua  provinsi  ini  termasuk  yang  telah maju  dalam  usaha melaksanakan  PUG.10 Dengan  atau  tanpa  bantuan block  grant,  dana  stimulan  dan  sejenisnya,  Biro  Pemberdayaan Perempuan sudah menjadi  ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak lepas dari tokoh (‘the singer) yang menahkodai kegiatan  ini,  yang  pada  umumnya  faham  terhadap  apa  yang  mau dilakukan,  penuh  inisiatif,  percaya  pada  apuhnya  jejaring  dengan melibatkan  stakeholders  yang  terkait.  Selain  itu,  semua  instansi  yang dimasukkan    kedalam  pola  ketiga,  semuanya menempatkan  pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup tinggi (eselon 2). 

 

2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih

Tujuan  kedua  dari  kajian  adalah  menghasilkan  beberapa perencanaan  program/kegiatan  pembangunan  terpilih  yang responsif gender dari beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/Lembaga  yang  dikaji  tersebut  sebenarnya sudah  mempunyai  beberapa  program  yang  responsif  gender sebagai hasil dari kegiatan capacity building yang pernah diadakan oleh  Bappenas  dan  KPP  di  tahun  2001‐2002  di  9 Kementerian/Lembaga  terpilih.  Sebagai  hasilnya,  dalam REPETA (2001‐2004)  yang  kemudian  diganti  menjadi  PROPENAS  (2001‐2004),  tercatat    38  program  pembangunan  –  yang  merupakan tanggung  jawab  dari  9  Kementerian/Lembaga  tersebut  –  yang sudah responsif terhadap isu gender.11  

2.4.1.  Hasil yang Diharapkan 

Hasil  yang  diharapkan  dari  kegiatan  bersama  menganalisa gender  ini  adalah:  1)  Kementeriaan/Lembaga  terpilih  memiliki beberapa  (rancangan)  program  pembangunan  yang  responsif gender;  2)  adanya  transfer  of  knowledge,  karena  kegiatan  bersama menganalisa  gender  ini  sekaligus  dimaksudkan  sebagai  bagian 

10 Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg PP

berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing. 11 Lihat Bab 1

Page 19: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

19

dari capacity building melalui  learning by doing, melakukan analisis gender  dan  mengintegrasikan  isu  gender  ke  dalam program/program  kegiatan  mereka  sendiri;  3)  membangun kepemilikan melalui keterlibatan  langsung,  sehingga pengalaman dan  keterampilan  yang  didapat  dari  kegiatan  bersama  ini membangun  rasa  kepemilikan  (sense  of  ownership);  dan  4) membangun  jejaring,  sebab  bekerja  bersama  dengan  stakeholder lainnya  akan  membangun  jejaring  kuat  yang  diperlukan  dalam melaksanakan PUG.  

2.4.2.  Proses Analisis 

Kegiatan  analisis  gender  dirancang  dalam  bentuk  suatu lokakarya  pelatihan  analisis  gender  berdurasi  3  hari.  Dari  18 Kementerian/Lembaga peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg KUKM, Kemeneg  LH, Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans,  dan  Depsos)  adalah  ‘alumni’  dari  dari  kegiatan piloting PUG Bappenas‐KPP 2001‐2002. Peserta dari masing‐masing Kementerian/Lembaga  yang  diundang  sebanyak  2  orang  dan diharapkan  berasal  dari  atau  mereka  yang  berkaitan  dengan perencanaan  program.  Masing‐masing  peserta  membawa  dan bekerja  dengan menggunakan  program/kegiatan  atau  tema  yang dipilih.  Beberapa  Kementerian/Lembaga  peserta  lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1) Depkes (Program  Upaya  Kesehatan  Masyarakat  dan  Program  Sumber Daya  Kesehatan  melalui  Inisiatif  Desa  Siaga  );  2)  Depdiknas (Program Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta  Aksara);  3)  Depsos  (Program  Pemberdayaan  Fakir Miskin, Komunitas  Adat  Terpencil,  dan  Penyandang  Masalah Kesejahteraan  Sosial  Lainnya  melalui  Kegiatan  Usaha  Ekonomi Produktif  dan  Usaha  Kesejahteraan  Sosial);  4)  Deptan  (Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui  Inisiatif Pengembangan Usaha  Agribisnis  Perdesaan);  5)  Kemeneg  KUKM  (Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui  Inisiatif PERKASA); 6) Depnakertrans  (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga  Kerja  melalui  perlindungan  TKW);  7)  LAN  (Program Sumber  Daya  Manusia  Aparatur  melalui  Kegiatan  Peningkatan kemampuan manajerial dan kepemerintahan). 

Waktu. Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang  tepat bagi fasilitator dan  peserta dari  18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan‐kesibukan  rutin  dan  yang  bersifat  ad  hoc  di  internal  lembaga masing‐masing,  membuat    waktu  mereka  terbatas  untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh  sebagian peserta. Sehingga diputuskan 

Page 20: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

20

masing‐masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya  dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya untuk  3  kelompok  itu diadakan  tanggal  2,3 dan  5 Oktober  2007. Penyajian  dari  para  peserta  tidak  dapat  dilakukan  semuanya, sehingga  sebagian  luput dari  komentar  para  fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga  terutama  yang  sudah  terpapar  dengan pelatihan  analisis  gender  sudah  mempersiapkan  program  yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang tidak selesai, pekerjaan itu  dibawa  kembali  ke  instansi  masing‐masing  untuk  dibahas secara  internal. Hasilnya  kemudian diserahkan  kepada  fasilitator untuk  mendapat  komentar  dan  perbaikan.  Akan  tetapi,  tidak semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil program/kegiatan  yang  sudah  responsif  gender  terlampir  (lihat lampiran). 

Peserta. Ada  2 Kementerian/Lembaga  (PAN dan Depdagri) yang tidak mengirimkan wakilnya dalam  lokakarya. Dengan demikian, hanya ada wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam  lokakarya. Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang  datang  dan  berpartisipasi  tidak  selalu  orang  yang  tepat. Pemahamaan  tentang gender dan analisisnya  juga masih  terbatas, sehingga    harus  dilakukan  penjelasan  mengenai  konsep‐konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu dilakukan analisis gender. Waktu  lokakarya  terpaksa  dibagi  sebagian  untuk  sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan demikian, telah mengurangi  waktu  untuk  melakukan  analisis  gender  yang memang  sudah  terbatas  itu.  Akibatnya  hasil  analisis  gender menjadi kurang optimal. 

Fasilitator. Hanya  tersedia  2  fasilitator  untuk memfasilitasi  para peserta  dari  berbagai  Kementerian/Lembaga  setiap  hari  selama lokakarya.  Keterbatasan  ini  turut  mengurangi  efektivitas lokakarya,  sebab  para  peserta  harus  ‘antri’  dalam mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. 

Materi.  Masing‐masing  peserta  lokakarya  diharapkan  untuk membawa  program/  kegiatan  ataupun  kebijakan  yang  dipilih berikut data‐data yang diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas  tidak  semua  peserta  membawa  program/kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi  yang  berkaitan  dengan  PUG  serta menyajikannya  berserta  piranti  analisis  gender  GAP.  Fasilitator menerangkan  lebih  lanjut  tentang  piranti  analisis  gender  GAP ketika  mendampingi  dan  membantu  peserta  selama  mereka 

Page 21: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

21

bekerja  dalam  kelompok.  Hasil  analisis  berupa  matriks  yang sebagian besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan. 

2.4.3.  Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 

Dari  hasil  lokakarya  sehari melakukan  analisis  gender  pada program/kegiatan  yang  diikuti  oleh  wakil  dari  15 Kementerian/Lembaga,  memperlihatkan  ada  beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara kesiapan melakukan analisis gender dengan    faktor keterpaparan  (expose) Sumber Daya Manusia/ kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan analisis gender. Hal  ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga antara  lain  seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg KUKM,  Depnakertrans,  LAN.  Kementerian/Lembaga  yang disebutkan tadi ‐kecuali LAN‐ adalah ‘alumni’ dari kegiatan piloting PUG  yang diprakarsai  oleh Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA  melalui  Women  Support  Project  II  (2001‐2002).  Namun demikian,  tidak  semua  Kementerian/  Lembaga  ‘alumni’  piloting PUG  tersebut  melanjutkan  keterampilan  yang  sudah  didapat sebelumnya.  Kemeneg  LH  dan  Dephukham, misalnya,  yang  juga merupakan  alumni  model  pilot  PUG  Bappenas‐KPP  tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam lokakarya.  

2.4.4.   Beberapa Isu Kritis Tujuan  utama  dari mengadakan  lokakarya  pelatihan  analisis 

gender bagi Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan  yang  responsif  gender.  Hasil  lokakarya memperlihatkan  beberapa  program  sudah  tanggap  terhadap  isu gender,  meskipun  masih  harus  disempurnakan.  Sebagian  besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan. Agar hasil dari  lokakarya itu  bermanfaat  dan  operasional,  beberapa  isu  kritis  ditengerai:  1) Diseminasi dan  ’pengawalan’ program/kegiatan   yang  sudah digenderkan harus  dilakukan.  Analisis  gender  adalah  salah  satu  langkah pelaksanaan  PUG  dalam  siklus  perencanaan  program;  2)  perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan terintegrasi pada  tiap  tahapan  perencanaan  itu  dibuat.  Analisis  gender  pada program/kegiatan  adalah  salah  satu  tahapan.    Sering  dipahami rancu,  seolah‐olah  dengan  selesainya  suatu  program/kegiatan menjadi gender responsif, PUG telah dilaksanakan; dan 3) melibatkan banyak  aktor.  Tahapan‐tahapan  sebelum  dan  sesudah  melakukan analisis gender, melibatkan banyak  aktor yang belum  tentu  sudah gender sensitif. Hal  ini yang sering  luput dari perhatian. Sebab  itu 

Page 22: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

22

membangun  kepemilikan  (ownership)  dari  program/kegiatan  yang sudah responsif gender itu menjadi penting. 

Page 23: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

23

3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan Inpres  No.  9  tahun  2000  mengenai  keharusan  semua  sektor 

pembangunan  untuk  melaksanakan  Pengarusutamaan  Gender  (PUG), merupakan  tonggak  penting  dalam  sejarah  terhadap  segala  usaha  untuk mencapai  kesetaraan  gender  yang  merupakan  bagian  dari  Hak  Azasi Manusia dan Keadilan Sosial. 

Hampir satu dekade  telah berlalu sejak dikeluarkannya Inpres  tersebut telah cukup banyak hasil yang diperlihatkan, akan tetapi masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan PUG dalam pembangunan  adalah  bahwa  Kementerian/Lembaga,  Provinsi  serta Kabupaten/Kota yang dikaji  sebagian besar  telah memiliki  empat atau  lima unsur  ideal  PUG,  yaitu  dukungan  politik,  kelembagaan,  program  yang responsif  gender,  data  dan  informasi  terpilah menurut  jenis  kelamin,  dan SDM yang handal gender 

Akan  tetapi,  hasil  kajian  ini  –dan  juga merujuk  dari  hasil  dua  kajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007– mengindikasikan  bahwa  baik  di  tingkat  nasional  (Kementerian/Lembaga) maupun  di  tingkat  Provinsi/Kabupaten/Kota,  ditemukan  beberapa masalah utama yang menghambat/memperlambat PUG. 

Walaupun  sosialisasi gender  relatif  sering dilakukan, bahkan  sejumlah Kementerian/Lembaga yang  sudah melaksanakan pelatihan  analisis gender, namun  pemahaman  sebagian  besar  para  pejabat  Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang, bahkan  rancu. Seringkali kerancuan  itu  berkaitan  dengan  rendahnya  pemahaman  tentang  beberapa konsep dasar, seperti ‘gender’ dan kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama  dengan  perempuan;  kerancuan  dalam  penggunaan  istilah‐istilah keadilan gender, kesetaraan gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.  

Rekomendasi - Direkomendasikan  untuk  melakukan  evaluasi  secara  berkala  setiap 

tahun mengenai dampak serta metode sosialisasi dan pelatihan gender. 

- Penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat nasional maupuan daerah dengan regulasi dan peraturan daerah yang lebih memadai. 

- Perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan  cukup  rinci kegiatan‐kegiatan  dan  sasaran  capaian  yang  diharapkan  dalam  kurun  waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah. 

- Data  terpilah menurut  jenis kelamin dilembagakan di  semua program dan kegiatan Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD. 

Page 24: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

24

- Sebaiknya  KPP  –didukung  oleh  Bappenas  dan  pakar  gender–  dapat menerbitkan  telaah  berbagai  piranti  yang  ada  dengan  memberi penjelasan mengenai tujuan dan kegunaannya. 

- Pengawalan  dari  KPP,  Bappenas,  Biro  PP  serta  Bappeda,  dan  juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan  saat penyusunan RKP dan  saat pengalokasian  anggaran,  hingga  pelaksanaan  program  yang  responsif gender  dapat  terwujud,  dengan melibatkan  legislatif  dan  Civil  Society Organisations (CSOs). 

- Direkomendasikan adanya fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan  lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang paling efektif untuk setiap target audience. 

- Dalam  sosialisasi  PUG  dan  pelatihan  analisis  gender,  diperlukan narasumber  dari  bagian  perencana  (Bappenas  dan  Bappeda),  selain narasumber  gender.  Selain  itu,  perlu  digarisbawahi  bahwa  target audience  sosialisasi/ pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil sosialisasi/ pelatihan. 

- Rekomendasi  untuk  perencanaan  pembangunan  5  (lima)  tahun mendatang dalam rangka PUG: 

• Data  terpilah menurut  jenis  kelamin menjadi mandatori  di  semua bidang pembangunan 

• Keluaran  dan  sasaran  dari  setiap  program  pembangunan mencerminkan perspektif gender 

- Rekomendasi PUG di Bappenas: 

• Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana. 

• Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas. 

Page 25: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

25

 

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan

dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal

tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres)

No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu

Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara,

Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk

melakukan PUG dalam setiap tahap pembangunan dari seluruh kebijakan

dan program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

monitoring hingga evaluasi. Adapun peraturan lain yang berkaitan dengan

PUG, antara lain adalah:

• Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025;

• Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009,

yang antara lain menyebutkan tentang peningkatan kualitas hidup

perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia

yang adil dan demokratis; dan

• Perpres No. 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

tahun 2006, dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang RKP Tahun 2007,

yang menetapkan PUG sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan

yang harus dilakukan dalam seluruh kegiatan pembangunan.

Sejak tahun 2001, pelaksanaan PUG pada tahap perencanaan program

telah mulai berjalan. Sejumlah sosialisasi dan pelatihan analisis gender

dilakukan di tingkat pusat yang menghasilkan 19 program pembangunan

(Propenas 2000-2004) yang responsif gender di 5 (lima) bidang

pembangunan, yang meliputi ketenagakerjaan, pendidikan, hukum,

Page 26: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

26

pertanian, dan koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM). Jumlah

program tersebut di atas bertambah menjadi 38 program (hingga Repeta

2004), dengan menambahkan lagi 4 (empat) bidang lainnya yaitu:

kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan

hidup12.

Untuk mengetahui sampai seberapa jauh implementasi dari perencanaan

38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut,

pada tahun 2005 Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara

Pemberdayaan Perempuan (KPP) melakukan kajian di 9 (sembilan) sektor

pembangunan yang mencakup 12 Kementerian/Lembaga terpilih. Selain

itu, kajian juga diperluas dengan menambah kajian pelaksanaan PUG di

daerah, yaitu dengan mengambil 3 (tiga) provinsi dan 3 (tiga)

kabupaten/kota yang dipilih secara acak. Ketiga provinsi dan

kabupaten/kota tersebut adalah: Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten

Langkat, Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak, serta Provinsi

Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo.

Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji.

Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses

melaksanakan PUG. Aspek-aspek tersebut adalah: a) dukungan politik; b)

kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; c) tersedianya

kelembagaan PUG; d) data dan informasi yang terpilah menurut jenis

kelamin dalam sistem; dan e) kemampuan sumber daya manusia (SDM)

dalam melaksanakan dan mengawal PUG.13

Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan

bahwa: 1) implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004

yang sudah responsif gender tersebut dapat dikatakan sebagian besar

belum terlaksana; 2) meskipun sudah ada kemajuan, akan tetapi secara

umum pelaksanaan PUG belum berjalan dengan baik. Beberapa penyebab

utamanya adalah sebagai berikut:

12 Sebanyak 38 program pembangunan dari 9 sektor ini merupakan bagian kegiatan pemula

pengintegrasiaan gender ke dalam perencanaan program pembangunan yang dilakukan Bappenas bersama dengan sektor terkait. Sektor-sektor tersebut dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: 1) dianggap sudah siap untuk pelaksanaan PUG; dan/atau 2) dianggap cukup banyak mengandung isu gender; dan/atau 3) dianggap sektor yang sangat instrumental/mempunyai daya ungkit tinggi.

13 Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP).

Page 27: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

27

• Adanya perubahan dari Repeta 2001-2004 menjadi RPJMN 2004-2009,

berdampak terhadap operasionalisasi ke-38 program yang sudah

responsif gender itu, karena tidak lagi menjadi program yang

diusulkan.

• Inpres No. 9 tahun 2000 yang merupakan payung hukum pelaksanaan

PUG di setiap instansi baik di tingkat nasional maupun di tingkat

daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.

• PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau

pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai

strategi pembangunan yang sifatnya cross-cutting, menyeluruh dan

terintegrasi;

• Dampak otonomi daerah yang mengindikasikan bahwa sebagian besar

pemerintah daerah tidak menempatkan kesenjangan gender sebagai

isu utama, dan tidak memprioritaskan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun

2000 tentang pelaksanaan PUG.

Yang patut untuk dicatat juga adalah:

• Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih sangat

terbatas. Hal ini disebabkan karena tidak ada keharusan bagi setiap

instansi untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin,

apalagi digunakan untuk keperluan analisis.

• Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu

melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di

masing-masing lembaga.

Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu

melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan

kebijakan dan perencanaan program pembangunan nasional (Surat

Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.

050/M.PPN/03/2002), Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan

Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian analisis

gender dalam perencanaan pembangunan dengan mengevaluasi

pelaksanaan PUG di beberapa program pembangunan yang tercantum

dalam RPJMN 2004-2009.

Page 28: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

28

1.2. Tujuan Kajian

Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan mempunyai dua

tujuan yang hendak dicapai, sebagai berikut:

Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di

18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih.

Tujuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh

Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji

telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan

perundang-undangan lain yang berkaitan dengan PUG.

Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa

program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004-2009.

Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut

dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif

gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity

building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu

gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi,

diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa

kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis

gender dilakukan bersama-sama dengan Kementerian/lembaga terkait

dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender

Analysis Pathway (GAP).14

1.3. Ruang Lingkup Kegiatan

Untuk keperluan tujuan pertama:

• Dilakukan revisit terhadap 12 Kementerian/Lembaga yang pernah

dievaluasi di tahun 2005 (Bappenas, 2005), yaitu Kementerian Negara

Lingkungan Hidup, Kementerian Negara Koperasi dan UKM,

Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen

Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen

Pertanian, Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian

RI, Kejaksaaan Agung, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana

14 Piranti GAP dikembangkan di tahun 1998 oleh Bappenas bersama KPP dengan bantuan teknis dari CIDA melalui Women’s Support Project II.

Page 29: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

29

Nasional dengan fokus pada: 1) updating data; dan (2) dinamika

pelaksanaan PUG dalam 2 tahun terakhir, yaitu sejak kajian 2005;

• mengkaji 6 Kementerian/Lembaga lainnya, yaitu Kementerian Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Negara Riset dan

Teknologi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan

Perikanan, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi

Negara, dengan fokus pada pelaksanaan PUG serta kelengkapan data

pendukung;

• mengkaji 7 (tujuh) provinsi terpilih yaitu Sumatera Barat, Riau, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan

Sulawesi Utara, juga dengan fokus pada kelengkapan data pendukung

serta pelaksanaan PUG; dan

• mengkaji 7 (tujuh) kabupaten/kota terpilih (yang ditetapkan oleh

provinsi yang bersangkutan), yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten

Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar,

Kota Banjarmasin, dan Kota Manado, dengan fokus pada kelengkapan

data pendukung serta pelaksanaan PUG.

Sedangkan untuk keperluan tujuan kedua yaitu analisis gender, ruang

lingkup kegiatan adalah wakil-wakil dari 18 Kementerian/Lembaga

melakukan analisis gender terhadap program-program pembangunan

yang diambil dari RPJMN 2004-2006 sesuai pilihan masing-masing

Kementerian/Lembaga.

1.4. Metodologi

Metode yang digunakan untuk tujuan pertama kajian ini adalah kombinasi

dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat kajian

adalah deskriptif analisis, yang dimulai dengan menelaah dokumen dasar

perencanaan program pembangunan Kementerian/Lembaga yang

tersedia. Dokumen-dokument tersebut termasuk rencana strategis,

pedoman umum perencanaan program pembangunan, kebijakan

pembangunan, meta-analisis hasil kajian evaluasi PUG 2002 dan 2005,

dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih.

Page 30: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

30

Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework

dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian

dijabarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang relevan, untuk memandu

proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat

berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika telah terdapat

paling tidak 5 dari 6 (enam) aspek pelaksanaan PUG, yaitu: 1) adanya

dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2)

adanya program/kegiatan yang responsif gender sebagai suatu

keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional

sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yang

bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi

yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya

manusia (SDM) yang memahami dan mampu melaksanakan dan

mengawal PUG; dan 6) tersedianya jumlah dana untuk pelaksanaan

PUG15.

Sejak awal merancang kajian ini, telah disetujui bersama bahwa sifat

kajian adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih

memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian

dengan para responden.

a. Focus Group Discussion (FGD). Dalam kajian ini, forum FGD

menjadi wadah yang penting dalam mengumpulkan data informasi.

Tim Kajian menjadi fasilitator dan pencatat selama FGD berlangsung,

sebab Tim Kajian seringkali didaulat oleh para responden (yang juga

merupakan peserta FGD) untuk menerangkan konsep gender dan

mengapa harus melaksanakan PUG. Peserta Focus Group Discussion

(FGD) di Kementerian/Lembaga adalah para pengelola (dari Biro

Perencanaan, Kepala Unit, dan lain-lain), Focal point Gender, serta staf

dari beberapa unit sektor terkait (Depsos, Depdagri, Polri,

Depnakertrans, Dephukham, Depkes, DKP, Depnakertrans, BKKBN,

dan BKN).

15 Bersifat opsional, karena hingga saat ini gender responsive budgeting masih dalam tahap

pengembangan. Oleh sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan ketersediaan dana dalam kuesioner, dan kebanyakan tidak dapat melengkapi. Bahkan antara Kementerian/Lembaga yang melengkapi kuesioner dana, besar kemungkinan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai anggaran untuk gender (gender budget) ini. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan mengenai gender budget ini diabaikan.

Page 31: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

31

b. Briefing dan konsultasi, tidak banyak dilaksanakan. Rencana awal

adalah melakukan briefing dan konsultasi dengan para pimpinan,

pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan,

Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point

gender, Pokja Gender, dan lain-lain), untuk mendapatkan gambaran

tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi serta

perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu

gender dalam perencanaan program pada khususnya. Akan tetapi

karena kesibukan rutin dan ad hoc dari para pengelola yang cukup

tinggi, yang berdampak kepada keterbatasan waktu mereka yang

tersedia, briefing dan konsultasi itu tidak selalu dapat dilaksanakan.

Terkadang briefing dan konsultasi dapat terlaksana, tetapi pejabat

yang diharapkan ternyata digantikan oleh orang yang mewakili. Untuk

mengatasi keadaan ini, tim kajian meminta waktu bertemu dengan

pimpinan yang terkait (Sekjen, Kepala Biro Perencana, atau pimpinan

unit), sebelum diadakan FGD. Cara ini berhasil dilaksanakan di Depkes,

Dephukham, dan BKN.

c. Wawancara. Sejumlah wawancara dilakukan dengan pejabat senior

yang mengelola beberapa program dalam Kementerian/Lembaga

terkait (Depdiknas, Depkes, dan Dephukham). Selain menghimpun

data, dalam kesempatan itu sekaligus juga dilakukan advokasi tentang

PUG, karena banyak pernyataan-pernyataan dari para responden yang

menggambarkan ketidak-pahaman dan kesalah-pahaman sekaligus

ketidak-tahuan tentang gender, khususnya tentang gender dalam

perencanaan dan keberadaan payung hukum yang mengharuskan

Kementerian/Lembaga pemerintah melaksanakan PUG dalam bidang

pembangunannya. Dari hasil advokasi yang singkat, beberapa

pengelola senior Kementerian/Lembaga (seperti Dephukham dan BKN)

memandang perlu untuk mengumpulkan staf agar hadir dalam

pertemuan meskipun sebenarnya tidak ada dalam agenda untuk

berdiskusi dengan Tim Kajian. Sementara itu, di beberapa

Kementerian/Lembaga lain (seperti Deptan, Dephukham,

Depnakertrans, BKN, dan DKP) bahkan mengundang Tim Kajian untuk

memfasilitasi pertemuan tentang Gender Analysis Pathway (GAP).

Page 32: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

32

d. Telaah dokumen. Kajian juga dilakukan dengan menelaah secara

sistematis dokumen perencanaan yang relevan, khususnya dokumen

Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat

kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan

pembangunan, framework dan piranti analisis dari beberapa

Kementerian/Lembaga terpilih.

e. Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang

responsif gender (2005).

f. Kuesioner sebagai kajian cepat untuk menjajagi dukungan,

kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang

tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/

Lembaga yang dikaji.

g. Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota

staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan

dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender),

membicarakan temuan kajian, seraya mendapatkan masukan untuk

pengembangan solusi dan rekomendasi, tidak jadi dilaksanakan,

sebagai gantinya disatukan dengan kegiatan lokakarya mengenai

analisis gender.

h. Lokakarya. Metode ini khusus untuk tujuan kedua, yaitu melakukan

analisis gender bagi perencana dari beberapa Kementerian/Lembaga

yang dikaji. Materi yang dipakai adalah program-program

pembangunan RPJMN 2004-2009 yang dipilih untuk dianalisis. Hasil

dari lokakarya adalah beberapa program/kegiatan pembangunan yang

responsif gender untuk Kementerian/Lembaga yang ikut serta dalam

lokakarya; keterampilan bagi peserta dalam melakukan analisis gender

dan perencanaan program yang responsif gender; serta terbangunnya

rasa kepemilikan dan kebersamaan antar unit kerja.

Page 33: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

33

1.5. Pengukuran

Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data dan informasi yang

digunakan yaitu:

a. Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang

baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5

(lima) aspek yang dianggap suatu keadaan ideal untuk

melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan

gender budget. Akan tetapi data dan informasi mengenai gender

budget ini tidak terkumpul dengan baik, karena masih belum

jelasnya konsep tentang gender budget ini dan cara menghitungnya

baik bagi para responden maupun peneliti kajian sendiri.

1) Dukungan Politik dari pimpinan Kementerian/Lembaga.

Komponen yang dipakai untuk mengukur adalah ketersediaan

kebijakan, peraturan, instruksi, surat perintah, Surat Keputusan

(SK internal) sebagai payung hukum berkaitan dengan

pelaksanaan PUG dan sebagai cerminan dari kesungguhan/

komitmen pimpinan.

2) Program/Kegiatan. Dukungan politik/kebijakan untuk

memfasilitasi pelaksanaan PUG, kemampuan SDM dalam

melakukan analis gender serta melaksanakan PUG, ketersediaan

dan dipakainya data terpilah, seharusnya tercemin dalam

program/kegiatan yang direncanakan oleh masing-masing

Kementerian/Lembaga. Komponen yang digunakan untuk

mengukur: a) jumlah dan proporsi program/kegiatan yang

responsif gender; dan b) jumlah dan proporsi program/kegiatan

yang mengacu pada kebutuhan praktis perempuan.

3) Kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan

PUG di Kementerian/Lembaga, sehingga PUG berpotensi

berkelanjutan dan melembaga. Komponen yang dipakai untuk

mengukur: a) keberadaan struktur unit kerja yang menangani

PUG (nomenklatur, letak unit, dan jenjang eselon); b)

keberadaan unit kerja fungsional seperti focal point, kelompok

Page 34: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

34

kerja, Forum PUG, Dewan Pakar, dan seterusnya; c) mekanisme

kelembagaan, apakah terintegrasi ke dalam perencanaan sektor

atau masih bersifat ad hoc; d) penambahan atau pengurangan

kegiatan-kegiatan PUG seperti sosialisasi, advokasi, pelatihan

analisis gender, dan proses PUG di suatu Kementerian/Lembaga

atau SKPD; dan e) Jenis piranti analisis gender yang dikuasai

dan digunakan.

4) Sistem Informasi. Ketersediaan data dan informasi yang terpilah

menurut jenis kelamin serta dana dan sarana (data sistem).

Komponen yang dipakai untuk mengukur: a) ketersediaan data

terpilah menurut jenis kelamin; b) ketersediaan sistem yang

menangani data; dan/atau updating data; c) demand (internal)

terhadap data terpilah; dan d) kegiatan capacity building seperti

sosialisasi, advokasi, dan pelatihan.

5) Sumber daya manusia (SDM) yang memahami konsep gender,

dapat melakukan analisis gender, dan mampu mengawal PUG di

dalam instansinya. Komponen yang dipakai untuk mengukur: a)

jumlah staf yang sudah mendapat sosialisasi/advokasi dan atau

pelatihan tentang gender/analisis gender/PUG; dan b) jumlah

orang/unit yang sudah mengimplementasikannya ke dalam

proses perencanaan program/kegiatan.

b. Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/Kabupaten/Kota yang pernah

dievaluasi sebelumnya, maka fokus kajian kali ini adalah dengan

melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta

aplikasinya. Komponen yang dikaji antara lain: a) jumlah

peraturan, Surat Keputusan (SK), instruksi yang berkaitan dengan

PUG (jumlah, tingkat, dan aplikasinya); b) program/kegiatan

pembangunan yang responsif gender dalam Kementerian/Lembaga

(jumlah dan aplikasinya); c) struktur yang menangani PUG (adakah

ada perubahan dalam nomenklatur, tingkat eselon), dan

dibandingkan dengan hasil kajian (Bappenas dan KPP, 2005); d)

lembaga fungsional yang menangani PUG (adakah perubahan ke

arah yang lebih baik jika dibandingkan dengan kajian 2005

Page 35: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

35

tersebut, dan sebutkan lembaga-lembaga fungsional tersebut); e)

ketersediaan, penyediaan, dan penggunaan data terpilah menurut

jenis kelamin; dan f) capacity building di setiap Kementerian/

Lembaga.

c. Bagi Kementerian/Lembaga yang pernah dilakukan kajian, maupun

yang baru dilakukan kajian, fokus juga diberikan pada 4 (empat)

temuan penting hasil kajian Bappenas bekerjasama dengan KPP

berkaitan dengan pelaksanaan PUG (tahun 2005), yaitu: a) apakah

PUG sudah melembaga?; b) apakah pemahaman/pelaksanaan

mengenai PUG sudah lebih baik?; c) apakah data dan informasi

terpilah menurut jenis kelamin sudah mulai masuk ke dalam sistem

dan sudah mulai dimanfaatkan?; dan d) kemampuan dan komitmen

SDM untuk melaksanakan analisis gender dan PUG sudah

bertambah baik dan bertambah banyak.

Keempat masalah tersebut di atas dilihat dari dimensi: a) apa isu

gender yang muncul dalam pelaksanaan PUG di dalam instansi

dan/atau antarsektor terkait?; b) apa tantangannya?; dan c) apa

rekomendasinya.

d. Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif

(kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan

FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil

kebijakan, mengetahui/terlibat dengan perencanaan program/

kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga

dilakukan dengan stakeholders terkait untuk mengidentifikasi

masalah, tantangan, dan masukan/rekomendasi. Sifat analisis

adalah deskriptif.

1.6. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah:

a. Tersusunnya gambaran pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/

Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih; dan

b. Tersusunnya beberapa program/kegiatan (RPJMN 2004-2009) yang

sudah responsif gender.

Page 36: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

36

1.7. Limitasi

Dalam pelaksanaan kajian, beberapa kendala yang dapat

mempengaruhi kelengkapan data dan informasi, antara lain adalah:

a. Limitasi responden dalam hal pemahaman gender dan pelaksanaan

PUG. Dalam sejumlah FGD yang dilakukan, nampak bahwa masih

banyak kerancuan dalam memahami konsep gender, seperti

ungkapan atau pernyataan yang sering terlontar yang menyamakan

gender dengan (kodrat) perempuan atau mengartikan PUG sama

dengan cara untuk emansipasi, dan seterusnya. Beberapa

responden dengan jelas dapat menyebutkan definisi gender dan

PUG, akan tetapi diakuinya tidak mengetahui bagaimana

implementasinya. Dengan terbukanya komunikasi dua arah dalam

forum FGD, maka para responden maupun tim kajian masing-

masing dapat saling memberi pembelajaran berkaitan dengan

gender dan pelaksanaan PUG dalam konteks Kementerian/

Lembaga/Daerah yang bersangkutan. Bahkan informasi dan

tambahan pengetahuan didapat baik bagi tim kajian maupun para

peserta FGD, di luar jangkauan dari panduan yang tertulis.

Bersama-sama dengan peserta FGD, tim kajian berhasil

mengidentifikasikan isu gender sampai dengan merumuskan

rekomendasi.

Di tingkat daerah, FGD dilaksanakan dengan lebih lengkap. Peserta

untuk FGD di tingkat daerah adalah Pokja/Tim Teknis Gender serta

wakil Bappeda dan SKPD. Pertemuan di beberapa daerah juga

dihadiri anggota DPRD dari Komisi E. Seperti halnya pengalaman di

tingkat nasional, beberapa peserta yang diharapkan hadir, justru

tidak dapat hadir, dan digantikan oleh staf lain, yang seringkali

kurang memiliki pemahaman tentang gender dan bahkan bukan

berasal dari unit yang menangani PUG.

b. Kurangnya waktu yang tersedia dari para responden (pejabat/staf)

Kementerian/Lembaga untuk berdiskusi dan wawancara mengenai

pelaksanaan PUG. Sebelum melakukan FGD dan wawancara,

Bappenas menulis surat secara resmi kepada Kementerian/

Page 37: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

37

Lembaga yang bersangkutan mengenai rencana kedatangan Tim

Kajian. Waktu yang tepat untuk bertemu adalah salah satu

kendalanya. Meskipun sudah disetujui waktu pertemuan baik untuk

wawancara maupun FGD, seringkali tidak terjadi sesuai agenda.

Kendala yang juga banyak ditemui adalah banyaknya urusan-

urusan penting yang mendadak harus dilakukan segera oleh

kandidat responden16. Hal ini tergambar pada beberapa

Kementerian/Lembaga yang ditemui Tim Kajian. Di beberapa

Kementerian/Lembaga, pertemuan tidak dapat dilakukan dalam

bentuk FGD karena hanya dihadiri oleh satu pengelola/Focal point.

Di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung wawancara hanya

dihadiri oleh satu orang staf/bukan responden kunci; di

Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, LAN,

Kemeneg. Ristek dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Tim

Kajian hanya ditemui oleh 2 (dua) orang, sedangkan di Departemen

Pendidikan Nasional FGD dengan Tim Kajian hanya dihadiri oleh 3

(tiga) orang, sehingga FGD tersebut harus dibatalkan dan sebagai

gantinya dilakukan wawancara.17

c. Pejabat/staf/responden yang ditemui tidak selalu penanggungjawab

pelaksanaan PUG atau orang mengetahui proses PUG di

instansinya. Hal ini terjadi di hampir semua Kementerian/Lembaga

yang dikaji. Bahkan ketika waktu pertemuan telah disetujui, tidak

ada kepastian apakah responden kunci dapat menghadiri

pertemuan. Terkadang, responden/peserta kunci diganti oleh staf

yang tidak mengetahui permasalahan gender. Namun, tidak jarang

justru staf pengganti dapat memberikan informasi yang relevan.

Dari segi perspektif partisipatif, Tim Kajian tetap dapat

memanfaatkan ‘ketidaktahuannya’ itu sebagai data dan informasi

yang berguna. Alasan lain adalah pergantian pejabat/staf

(termasuk yang menangani proses PUG) cukup sering terjadi, dan

16 Seorang peserta FGD dari satu instansi menyatakan secara eksplisit bahwa PUG masih belum

menjadi prioritas di instansinya. Pernyataan ini merupakan gambaran umum yang juga dirasakan oleh tim peneliti.

17 FGD yang lengkap terjadi di Kementerian/Lembaga (Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia, Departemen Dalam Negeri, BKN, dan Departemen Kesehatan). Di tingkat daerah, FGD terjadi di Kabupaten Bogor; di Kabupaten Tanah Datar.

Page 38: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

38

tampaknya informasi/sosialisasi dari pengelola lama ke pengelola

baru, kurang berjalan berkesinambungan.

d. Dengan keterbatasan waktu untuk wawancara dan FGD, Tim Kajian

kurang cukup dapat mendalami dan memahami dinamika budaya

internal Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, khususnya

yang berkaitan dengan penanganan dan pelaksanaan PUG.

1.8. Kesimpulan

Dari hasil kajian-kajian evaluasi pelaksanaan PUG di tingkat pusat

dan daerah di tahun 2002 dan 2005, dapat disimpulkan bahwa Inpres No.

9 Tahun 2000 tentang pelaksanaan PUG belum dijalankan di sebagian

besar Kementerian/Lembaga. Pelaksanaan PUG belum melembaga dan

belum menjadi arus-utama di Kementerian/Lembaga dan di SKPD provinsi

dan kabupaten/kota yang dikaji. Umumnya Kementerian/Lembaga masih

menjalankan PUG seperti suatu proyek di salah satu unit atau bagian unit.

Berbagai kendala dihadapi dalam upaya pengumpulan data dan

informasi, terutama dalam hal keterbatasan waktu, pemahaman, dan

kehadiran responden (pejabat/staf) untuk FGD dan wawancara.

Page 39: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

39

BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA:

Tinjauan dari Perspektif gender

Gender masuk ke dalam khasanah pembangunan -khususnya

perencanaan pembangunan- relatif baru, yaitu sebagai tindak-lanjut dari

kesepakatan global seperti tertuang dalam Bejing Platform for Action

(1995) yang mengimbau negara-negara yang hadir dalam Pertemuan

Perempuan Sedunia ke-IV di Bejing, untuk melaksanakan

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam usaha pembangunannya. Di

Indonesia, kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres

No. 9 Tahun 2000 yang mengharuskan seluruh Kementerian/Lembaga dan

pemerintah daerah melaksanakan PUG di setiap proses pembangunan.

Inpres tersebut diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan

Perempuan No. B.55/Menteri PP/Dep.II/VI/2002 tentang kebutuhan

membentuk focal point disetiap sektor pemerintahan di tingkat nasional

dan daerah; Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No.

B.110/Menteri PP/Dep.II/IX/ 2003 tentang kebutuhan membentuk POKJA

Gender.

Dokumen perencanaan yang juga memuat tentang PUG adalah Perpres

No. 7 Tahun 2004 tentang RPJMN 2004-2009 dan Perpres No. 39 Tahun

2005 tentang RKP tahun 2006 dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang

RKP tahun 2007, yang menetapkan gender sebagai salah satu dari 4

prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan

pembangunan. Ketiga prinsip lain yang diutamakan adalah: pembangunan

berkelanjutan, penurunan kemiskinan, tatalaksana pemerintahan yang

baik. Artinya keempatnya harus menjadi isu lintas bidang, lintas unit

kerja, dan lintas program yang menangani usaha pembangunan di

masing-masing bidang/sektor. Observasi awal terhadap dokumen

perencanaan tersebut mengindikasikan bahwa ketiga prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan, penurunan kemiskinan, dan tatalaksana

pemerintahan yang baik telah menjadi arus utama, kecuali gender.

Page 40: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

40

Gender terutama belum benar-benar mengarus-utama di dalam dokumen

rencana tahunan pemerintah, RKP, sebab hanya isu gender muncul di

sejumlah kecil program dan kegiatan.

Berkaitan dengan isu gender dalam pembangunan ini, maka hasil yang

ingin dicapai adalah kesetaraan gender, yaitu kesetaraan perempuan dan

laki-laki dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, seperti pendidikan,

kesehatan, sosial-ekonomi, hukum, politik, dan seterusnya. Usaha ke arah

itu dilakukan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

pembangunan, yaitu suatu strategi yang memberi kepastian, bahwa isu

yang berkaitan dengan gender teridentifikasi dan tertangani di dalam

keseluruhan proses pembangunan, mulai dari perencanaan dan

pelaksanaan termasuk pemantauan dan evaluasinya.

Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan (KPP) mengembangkan suatu piranti analisis gender khusus

untuk mendukung proses perencanaan dan memudahkan perencana

untuk menemukan isu gender serta memformulasikan rencana tindak

dalam program pembangunan. Piranti analisis tersebut adalah Gender

Analysis Pathway (GAP) dan Policy Outlook Plan of Action (POP), yang

telah disosialisasikan dan digunakan secara luas di tingkat nasional

maupun daerah.

Lebih dari satu dekade berlalu setelah komitmen melaksanakan PUG itu

dibangun dan dilaksanakan. Telah banyak kemajuan yang dicapai, tetapi

banyak juga terdapat kelemahan dan hambatan yang perlu dicermati dan

diperbaiki. Bab II ini menyajikan suatu tinjauan evaluatif mengenai

bagaimana masing-masing Kementerian/Lembaga yang dikaji merespon

dan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kementerian/Lembaga yang

dikaji dalam melaksanakan PUG, sejumlah unsur-unsur keberhasilan

maupun kendala telah diidentifikasikan dan dapat menjadi masukan untuk

mendapatkan pola-pola umum yang dapat dipakai untuk melaksanakan

PUG ke depan dalam hal perencanaan pembangunan. Bab II difokuskan

pada hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat Kementerian/Lembaga;

Page 41: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

41

sedangkan gambaran pelaksanaan PUG di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota akan diuraikan di Bab III.

Dengan mengacu pada kerangka acuan yang dipakai dalam kajian ini18,

secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi proses telah ada

kemajuan yang dicapai Kementerian/Lembaga dalam usaha melaksanakan

PUG. Kemajuan itu antara lain: 1) mayoritas Kementerian/Lembaga

sekarang sudah memiliki payung hukum yang berkaitan dengan

pelaksanaan PUG; 2) sebagian besar sudah memiliki wadah (struktural

maupun fungsional) yang mengurusi PUG; 3) usaha melakukan sosialisasi

meningkatkan kesadaran gender dan membangun kemampuan, seperti

pelatihan analisis gender, meskipun hasilnya belum optimal; 4) di

beberapa Kementerian/Lembaga sudah mempunyai program, kegiatan

yang sudah di buat responsif gender; dan 5) semakin banyak sumber

daya manusia (SDM) Kementerian/Lembaga yang sudah mengenal PUG,

dan yang sudah terpapar terhadap analisis gender, bahkan juga sudah

terampil melakukan analisis dan mengintegrasikannya ke dalam

kebijakan/program/kegiatan pembangunannya.

Namun demikian, dari segi capaian pelaksanaan masih banyak

kekurangan dan kelemahannya. Tim Kajian mengidentifikasikan

kekurangan dan kelemahan itu berkaitan erat dengan: 1) payung hukum

yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG masih belum tersosialisasi

dengan baik di dalam lembaga baik secara horizontal maupun vertikal; 2)

kebijakan dan program/kegiatan yang telah dibuat responsif gender masih

berupa dokumen, dan belum/tidak dilaksanakan; 3) wadah (struktural)

yang mengurus pelaksanaan PUG pada umumnya ditempatkan pada posisi

yang kurang/tidak instrumental, sehingga kurang efektif dan optimal; 4)

belum ada usaha nyata dalam menanggulangi kelangkaan data terpilah

menurut jenis kelamin dan; dan 5) pengembangan kemampuan SDM

untuk melaksanakan PUG belum merata.

Gambaran detail dari cerita sukses maupun kelemahan dan hambatan

diuraikan di sub-bab 2 di bawah ini.

18 Lihat Bagian 1 hal 2

Page 42: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

42

Pelaksanaan PUG di beberapa Kementerian/Lembaga terpilih

Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi

dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 200519 dan aggregasi

temuan-temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya,

maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji.

Aspek-aspek tersebut adalah: 1) Dukungan (politik) pimpinan

Kementerian/Lembaga; 2) Tersedianya wadah, baik struktural maupun

fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; 3)

Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah

menurut jenis kelamin; 4) Sumberdaya manusia (SDM) yang memahami

dan mampu melaksanakan PUG serta ’mengawalnya’; 5) Trend/jumlah

Program/Kegiatan yang responsif gender. Kelima aspek tersebut dipilih

karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya

untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender20.

2.1. Dukungan Politik

Dukungan politik dimaksudkan di sini sebagai cermin dari

kesungguhan/komitmen yang diberikan pimpinan Kementerian/ Lembaga,

sekaligus merupakan payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi

masing-masing. Dukungan politik ditingkat Kementerian/ Lembaga itu dari

segi proses diukur dari jumlah produk hukum seperti Surat Keputusan,

Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan seterusnya yang dikeluarkan

oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan yang berkaitan dengan

pelaksanaan PUG dilembaganya masing-masing. Dari segi capaian

pelaksanaan PUG diukur dari tersosialisasinya keberadaan payung hukum

itu di internal lembaga, terutama diantara jajaran pimpinan lembaga

(horizontal) dan di antara penanggung jawab program dan staf

professional yang merancang dan melaksanakan perencanaan (vertikal).

Dilihat dari produk hukum yang dihasilkan, dari ke-18

Kementerian/Lembaga yang dikaji, 16 Kementerian/Lembaga telah

memiliki payung hukum. Dewan Kelautan dan Perikanan (DKP) dan 19 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005).

20 Aspek ke -6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya.

Page 43: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

43

Lembaga Administrasi Negara (LAN) belum mengeluarkan produk hukum

untuk mewadahi PUG secara internal.21

Bentuk, maksud, serta waktu dikeluarkannya payung hukum itu beragam.

Ada beberapa Kementerian/Lembaga seperti Depdiknas, Deptan, Depkes,

Kemenneg KUKM, BKKBN, Dephukham, Depdagri, dan Depsos telah

mengeluarkan produk hukum itu dalam bentuk Surat Keputusan (SK)

Menteri/Instruksi Menteri dan atau yang sederajat; sebagian lagi

dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang lainnya, seperti Sekjen, atau

pejabat setingkat Eselon I.

Dari pengalaman beberapa Kementerian/Lembaga, teridentifikasi

beberapa pola bagaimana suatu payung hukum dikeluarkan, yaitu:

a. Kebutuhan praktis/keterlibatan dalam proyek. Keterlibatan beberapa

Kementerian/Lembaga dalam (pilot) proyek yang mengharuskan sensitif

gender. Contohnya proyek Development Planning Assistance (DPA) yang

difasilitasi Bappenas/KPP/dan CIDA WSP II (2001-2002) dimana salah

satunya adalah capacity building melalui pelatihan analisis gender. Untuk

keperluan tersebut, Kementerian/Lembaga di unit kerja yang

bersangkutan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk membentuk

Pokja Gender, karena melibatkan personel dari beberapa unit kerja.

Departemen Sosial cq Badan Litbangsos misalnya, mengeluarkan SK

Kepala Badan Litbangsos No. 01/PPS/KSM/SK/I/2002 berkenaan

dibentuknya Tim Teknis Pokja PUG. Surat Keputusan Kepala Badan

Litbangsos ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkan SK Mensos RI No.

07/PEGHUK/2002 tentang dibentuknya Pokja PUG Bidang Kesos kemudian

direvisi dan ditingkatkan menjadi SK Mensos RI No. 93/HUK/2005 tentang

Keanggotaan Pokja PUG Bidang Kesos.

Di Kemeneg. LH, embrio Pokja PUG bahkan sudah terbentuk di Bapedal

pada tahun 1994, dengan nama Kelompok Diskusi, yaitu suatu wadah

fungsional yang terbentuk karena adanya proyek Environmental

Management Development in Indonesia (EMDI). Kelompok Diskusi ini aktif

membicarakan tentang perempuan dan lingkungan hidup. Kelompok kerja 21 Kemeneg. PAN menyatakan telah memiliki, tetapi tidak jelas nomor dan isinya, bahkan responden

tidak dapat menjelaskan siapa yang menyimpan dokumennya.

Page 44: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

44

ini berakhir dengan selesainya proyek EMDI. Tahun 1997 di Bapedal

dibentuk Kelompok Kerja Gender dan Lingkungan (KKGL) berkaitan

dengan proyek kerjasama dengan Kanada yaitu Collaborative Environment

Project in Indonesia (CEPI) yang memiliki komponen gender di dalamnya.

Anggota KKGL tidak hanya dari internal Bapedal, tetapi juga dari

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Pusat Pengkajian

Studi Lingkungan Universitas Indonesia, dan individu yang tertarik dengan

masalah gender di lingkungan hidup. Kegiatan KKGL ini berakhir dengan

selesainya proyek. Beberapa anggota KKGL bergabung lagi dalam Pokja

ketika tahun 2001 Bapedal (kemudian digabung menjadi satu dengan

Kemeneg. LH) menjadi pilot proyek Development Planning Assistance

(DPA) untuk melakukan pelatihan analisis gender yang difasilitasi oleh

Bappenas, KPP dan Women Support Proyect II (CIDA)22. Pokja Gender

dibentuk dengan diterbitkannya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103

Tahun 2003. Akan tetapi dengan berakhirnya proyek DPA, kegiatan Pokja

di Kemeneg. LH itupun berakhir.

Dengan bergabungnya Bapedal serta adanya reorganisasi dan

restrukturisasi di dalam Kemeneg. LH pada tahun 2002, maka Surat

Keputusan Pokja Gender tersebut menjadi tidak jelas dan bentuk dari

dukungan politik terkait lainnya tidak berlanjut. Bahkan beberapa

personel yang tercantum nama-namanya baik sebagai Tim Pengarah dan

Tim Pokja, tidak mengetahui kelanjutan dari SK tersebut.

Saat ini, dukungan politik untuk melaksanakan PUG di Kemeneg. LH

sangat rendah. Hal ini menguatkan hasil evaluasi pelaksanaan PUG pada

tahun 2005 yang mengindikasikan bahwa proses PUG di Kemeneg. LH

mengalami stagnasi. Salah satu sebabnya adalah karena isu gender tidak

dianggap relevan dengan isu lingkungan.23 Dari hasil evaluasi tersebut

diidentifikasi bahwa anggapan irrelevansi di Kemeneg LH lebih karena

para pengambil keputusan kurang tersentuh dengan sosialisasi dan

advokasi yang berkaitan dengan gender.

22 Ada 9 Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam pilot proyek Bappenas/KPP/ WSP 2 CIDA (2001-

2002), yaitu Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Deptan, Dephukham, Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH, dan BKKBN.

23 Isu gender disebut berkali-kali dalam Rio Deklarasi

Page 45: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

45

Salah seorang anggota Pokja, yang pernah menjadi gender focal point,

dan sekarang duduk di eselon II, membawa isu gender ke dalam

beberapa programnya. Beberapa staf yang pernah menjadi anggota Pokja

dan staf dari bagian Perencanaan, sangat peduli dengan isu gender dalam

programnya dan program lingkungan hidup pada umumnya. Akan tetapi

tidak dapat berbuat banyak, karena kurang/tidak ada dukungan dari

pimpinan dan pengambil keputusan.

Departemen Pertanian (Deptan) termasuk Kementerian/Lembaga yang

sejak lama memberi dukungan dan perhatian pada masalah perempuan

dalam program-programnya. Pokja Gender yang disebut Pokja Gender in

Extension terbentuk pada Badan Pengembangan SDM pada tahun 2000

sehubungan dengan keterlibatannya dalam proyek Decentralized

Agricultural and Forestry Extension (DAFEP). Pada tahun 2003, Deptan

mengeluarkan SK Menteri No. 247/Kpts/KP.150/4/2003 tentang

Pembentukan Tim Koordinasi PUG Departemen Pertanian. Tim koordinasi

beranggotakan pejabat-pejabat dengan kedudukan yang sangat

instrumental. Contoh, Ketua Tim Koordinasi dijabat Sekretaris Jendral,

dan Wakil Ketua adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, serta

Sekretaris adalah Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan. Para

anggota adalah Kepala Bagian dan Sub-Bagian Perencanaan dan/atau

salah satu staf dari eselon I. Pada tahun 2005, Deptan juga menerbitkan

Peraturan Menteri Pertanian No. 394/Kpts/RC.120/11/2005 tentang

Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pertanian Tahun 2005-2009

yang memasukkan aspek gender sebagai salah satu pertimbangan

penting yang harus diperhatikan.

Adapun Departemen Kesehatan (Depkes), pada tahun 2004 mengeluarkan

Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 615/Menkes/VI/2004 tentang

Pelaksanaan PUG-BK; meskipun sebelumnya secara de facto Tim Pokja

sudah terbentuk dan bekerja, sehubungan dengan keterlibatannya dengan

berbagai proyek yang yang menuntut agar kegiatan-kegiatan terkait

responsif gender, seperti Development Assistance Project di tahun 2001.

Sejalan dengan pelaksanaan PUG yang semakin berkembang di bidang

kesehatan, pada tahun 2007 Depkes mengeluarkan SK Menteri Kesehatan

Page 46: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

46

No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG-BK. Melalui Surat Edaran

yang baru tersebut, para pengambil keputusan tingkat Eselon I dilibatkan

secara lebih aktif dengan menduduki posisi Tim Pengarah (ex-oficio).

Lebih jauh, para pejabat tingkat Eselon II ditunjuk sebagai gender focal

point di unit kerja masing-masing dan bertangung-jawab terhadap

pelaksanaan PUG di unit kerjanya.24

Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di Departemen

Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas banyak terlibat dengan

proyek-proyek bantuan maupun kerjasama yang menargetkan program-

program dan kegiatan-kegiatan terkait responsif gender. Beberapa

contohnya adalah program Education For All (EFA) sebagai tindak lanjut

dari kesepakatan Dakar, dan program-program kerjasama UNESCO dan

UNICEF. Pokja Gender terbentuk pada tahun 2002, berkaitan dengan

keterlibatan Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dalam pilot proyek

Development Assistance Project (DAP). Sebagai kelanjutan dari pilot

proyek maka dikeluarkan SK Pokja Dirjen PLS SK Pokja PUG Depdiknas

No. KEP-89/E/MS/2002. SK tersebut menetapkan Tim Pengarah terdiri

dari semua Eselon I, Tim Teknis terdiri dari semua eselon II, Tim Pakar,

terdiri dari pakar gender internal dan eksternal, serta Tim Sekretariat

yang terdiri dari Kabag Perencanaan semua unit, di samping Tim

Pelaksana. Surat keputusan Dirjen ini diperbaharui setiap tahun. Pada

tahun 2007 SK Dirjen PLS tersebut ditingkatkan menjadi SK Menteri

Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang pembentukan Kelompok Kerja PUG

Bidang Pendidikan.25

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) secara lembaga sudah terpapar

dengan isu gender sejak lama. Di pertengahan tahun 90-an, Depdagri

dipilih sebagai pilot proyek Perencanaan dari bawah dan dari Atas yang

berperspektif gender, dengan sponsor UNIFEM. Untuk keperluan itu

diterbitkan SK tentang Pembentukan Pokja Gender. Tahun 2003, sesuai

dengan tupoksi Depdagri, dikeluarkan Kepmendagri No. 132 tahun 2003

24 Saat Tim Kajian mendatangi Depkes, draft kedua Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Kesehatan

sedang dipersiapkan. 25 Saat Tim Kajian datang untuk wawancara, Depdiknas sedang menyusun Peraturan Menteri Diknas

mengenai Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan (draft 2) yang rencananya akan terbitkan pada akhir tahun 2007, atau paling tidak di awal tahun 2008.

Page 47: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

47

tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah

dan kemudian disusul dengan SK Mendagri No. 411/1245/SJ tahun 2006

tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dalam PUG di Daerah.

b. Tindak lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000.

Pola yang paling banyak terjadi di Kementerian/Lembaga adalah

keluarnya SK yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG sebagai tindak

lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Surat Edaran Menteri

Pemberdayaan Perempuan No. B.110/Men PP/Dep.II/IX/2003 tentang

Pembentukan Pokja Gender di setiap Kementerian/Lembaga. Beberapa

Kementerian/Lembaga lebih lambat merespon dibandingkan dengan

Kementerian/Lembaga lainnya. Hingga saat ini, selain DKP dan LAN,

semua Kementerian/Lembaga yang dikaji telah membentuk Pokja Gender.

Pada tahun 2001, Kemeneg. KUKM membentuk Kelompok Kerja

Pemberdayaan Perempuan melalui SK Kepala Badan Pengembangan

Sumberdaya Koperasi dan PKM No. 2/KEP/K.BD/1/2001. Kemudian,

diterbitkan pula SK Menteri Negara KPKM No. 58/KEP/SES.MENEG/

VII/2001 tentang Pembentukan Tim PUG dan Pemberdayaan Perempuan

Sektor KPKM. Pada tahun 2002, kedua SK tersebut diganti dengan SK

Menteri Negara KUKM No. 29/Kep/M.KUKM/IV/2002 tentang Pembentukan

Tim PUG Sektor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (TimPUG-PP-KUKM).

Anggota tim umumnya pejabat tingkat Eselon II yang merupakan

perwakilan dari setiap kedeputian dan Sekretariat Menteri .

Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2000, Kejaksaan Agung menerbitkan

Keputusan Jaksa Agung No. 680/A/JA/2001 mengenai pembentukan Focal

point dan Pokja Gender di lingkungan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung

Muda Bidang Pembinaan menjadi Focal point dan melibatkan hampir

seluruh jajaran di lingkungan Kejaksaaan Agung. Pada tahun 2004

Keputusan tersebut diperbaharui menjadi Keputusan Jaksa Agung RI No.

KEP-008/C/Cr.3/01/2004. Keputusan ini yang menjadi dasar dari Kep-X-

05/C/05/2005 tentang Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kejaksaan

Agung Republik Indonesia.

Page 48: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

48

Departemen Hukum dan HAM (Dephukham) pada tahun 2002

menerbitkan SK Pemimpin Proyek PUG Bidang Hukum Sekretariat Jendral

No. A1/PUGKM/1/01A tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Kesetaraan

dan Keadilan Gender (KKG). Tim ini beranggotakan para Kepala Biro

sebagai Ketua Tim KKG dan sekretaris unit utama dengan ketua dari unit

terkait yakni unit Perlindungan HAM, unit Peraturan Perundangan dan

BPHN. Tim KKG dibantu oleh 4 Pokja yang bertangung-jawab terhadap isu

tertentu seperti peningkatan kesadaran gender, KIE, Forum Konsultasi

serta Monitoring dan Evaluasi. Beberapa rekomendasi yang responsif

gender dihasilkan dari kerjasama antara tim KKG, Tim Pokja, dan para

narasumber, antara lain tentang melakukan penyempurnaan peraturan

perundang-undangan nasional agar responsif gender; isi, format, dan

penyajian laporan dengan memakai data terpilah menurut jenis kelamin;

materi kegiatan penyuluhan hukum yang sensitif gender, khususnya

tentang UU kewarganegaraan dan UU Imigrasi; menunjuk pejabat sebagai

Focal point; serta membentuk Pokja PUG dan Pusat Studi Wanita dan

Gender (PSWG) dalam struktur Kampus Pengayoman. Tidak semua

rekomendasi itu dijalankan karena adanya beberapa kendala, antara lain

kegiatan PUG masih merupakan kegiatan di luar sistem Dephukham;

Kegiatan PUG di Dephukham seperti halnya di sebagian besar

Kementerian/Lembaga lain masih bersifat ad Hoc. Penekanan kegiatan

masih pada sosialisasi dan seminar tentang peningkatan kesadaran

gender dalam bidang hukum. Focal point Gender yang baru merupakan

pejabat dari Eselon II dan bertekad untuk melakukan terobosan-terobosan

kekegiatan yang kongkrit dan terukur. Masalah yang sama dihadapi oleh

Dephukham adalah dukungan politik dari pimpinan lembaga masih

terbatas pada terbitnya Surat Keputusan dan sejenisnya. Dokumen-

dokumen itu belum tersosialisasi dan belum tercermin ke dalam program-

program dan kegiatan-kegiatan Dephukham.

c. Bagian dari struktur dan tatakerja lembaga. Di BKKBN, gender

merupakan bagian dari struktur dan tatakerja lembaga, seperti tertuang

dalam SK Meneg PP/Ka BKKBN tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata

Kerja BKKBN. Kemudian dikeluarkan SK Kepala BKKBN No. 22/KT-

005/G3/2003 tentang Pokja Gender di Lingkungan Kantor Pusat BKKBN.

Page 49: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

49

Sesuai dengan tupoksinya, BKKBN mempunyai satu kedeputian bidang

Peranserta Laki-laki. Namun demikian tidak dengan sendirinya BKKBN

menerapkan startegi PUG untuk keseluruhan programnya.

Surat Keputusan dan sejenisnya memang diperlukan sebagai payung legal

dari kesepakatan untuk melaksanakan PUG. Namun tidak selalu

keberadaan Surat Keputusan dan sejenisnya itu berlanjut ataupun

melembaga dan menjadi dukungan politik kongkrit. Di beberapa

Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup cq Bapedal,

Pokja gender sudah terbentuk relatif lama yaitu dengan keterlibatannya

dalam berbagai proyek yang mengharuskan kegiatan terkait lebih

responsif gender. Akan tetapi Pokja-Pokja yang dibentuk bersifat ad Hoc

sejalan dengan project yang tidak lestari keberadaanya. Keberadaan

berbagai Surat Keputusan ternyata tidak juga menginspirasi keluarnya SK

baru yang lebih tinggi dan instrumental. Sebaliknya, seperti yang

diperlihatkan di Deptan, Depdiknas, dan Depsos, SK yang semula

dikeluarkan karena keikutsertaan suatu unit kerja dalam proyek, telah

berlanjut dan ditingkatkan menjadi Surat Keputusan Menteri untuk

pelaksanaan PUG Departemen/Lembaga secara keseluruhan.

Sementara itu, ada beberapa Kementerian/Lembaga yang tidak/belum

memiliki Surat Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG, tetapi

program kegiatannya sudah gender sensitif, contohnya di Departemen

Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Lembaga Admistrasi Negara (LAN).

Meskipun kedua lembaga ini belum mempunyai SK mengenai Pokja

gender atau pelaksanaanya, akan tetapi beberapa program kegiatannya

sudah ada yang responsif gender. DKP misalnya, memiliki program

kegiatan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi perempuan di

perkampungan nelayan, sehingga kegiatan ekonomi di perkampungan

nelayan tidak hanya didukung oleh para nelayan laki-laki. LAN, sebagai

lembaga yang memberikan pelatihan jenjang pegawai negeri, sangat

instrumental bagi sosialisasi PUG. Akan tetapi, sampai saat ini LAN belum

mengeluarkan payung hukum untuk mendukung pelaksanaan PUG di LAN.

Isu gender dimungkinkan masuk ke dalam materi pelatihan, misalnya

Page 50: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

50

melalui thematic issues dan dosen tamu, tetapi cara ini jelas tidak

membuat gender melembaga di LAN.

Dibuatnya suatu SK (Kelompok Kerja Gender, Tim Koordinasi, dan lain

sebagainya) belum berarti PUG dapat berjalan. Karena berlainan dengan

pola pertama (keterlibatan dalam proyek), biasanya pola yang terakhir ini

masih sangat terbatas kegiatannya. Hampir semua kegiatan hanya

melanjutkan program-program yang ada, yaitu program-program dengan

target spesifik perempuan (Wanita dan Pembangunan).

Beberapa isu penting berkaitan dengan Dukungan dan Kemauan Politik:

a) Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan

politik terhadap pelaksanaan PUG, dan untuk membentuk Pokja,

sayangnya payung Hukum itu kurang tersosialisasi secara baik –

terutama diantara para pimpinan dan pembuat keputusan di

Kementerian/Lembaga. Bahkan keberadaan Surat Keputusan

berkaitan dengan pelaksanaan PUG yang dikeluarkan internal lembaga

(SK Menteri dan sejenisnya), tidak selalu cukup tersosialisasi di antara

unit kerja. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui

oleh orang-orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut.

b) Dukungan politik ini sangat erat berkaitan dengan pemahaman,

terutama pemahaman dari para pimpinan dan pengambil kebijakan.

Terindikasi bahwa para pimpinan/pengambil kebijakan sebenarnya

belum banyak terpapar dan belum memahami PUG serta

manfaatnya26. Sebab itu meskipun kita telah mengadopsi berbagai

konvensi PBB tentang anti-diskriminasi (CEDAW), bahkan telah

menjadikannya Undang-undang (UU No. 7 Tahun 1984), serta

menyetujui PUG sebagai hasil kesepakatan global (Beijing Platform)

bahkan telah menguatkanya ke dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan

Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005, akan tetapi karena pemahaman

mengenai gender/PUG yang masih kurang bahkan seringkali ‘keliru’,

maka kemauan serta dukungan politik itupun belum terbangun.

26 Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil

keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.

Page 51: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

51

c) Hambatan lain, seperti yang sering diutarakan selama melakukan

wawancara maupun FGD adalah menyangkut persoalan dana. Dengan

dikeluarkanya suatu SK ada konsekuensi pendanaan; padahal pos

untuk itu seringkali bersifat ad hoc karena memang tidak direncanakan

sebelumnya.

d) Dari best practise seperti yang diperlihatkan oleh Departemen

Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan, Departemen

Pertanian, memperlihatkan bahwa dukungan politik, payung legal dan

piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada

prakarsa internal yang dilakukan oleh (sekelompok) orang yang

‘committed’, ajeg (konsisten) dan difasilitasi oleh orang-orang yang

kompeten.

e) Ada beberapa peluang untuk menghasilkan dukungan politik. Data

empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari

prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang

responsif gender sampai usaha advokasi pada para

pimpinan/pengambil kebijakan.

f) Degradasi dukungan politik bisa terjadi ketika keberadaan Surat

Keputusan tidak efektif dipergunakan. Contoh, yang terjadi di

Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

g) Tenggang waktu dikeluarkannya Surat Keputusan yang lebih permanen

itu beragam, yang terbanyak adalah antara tahun 2006-2007, yaitu

setelah kurang lebih 6 – 7 tahun dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun

2000 tersebut atau sekitar 5 tahun sejak dikeluarkannya SK Men UPW

berkaitan dengan pembentukan Kelompok Kerja Gender di masing-

masing sektor.

2.2. Program yang responsif gender

Dari evaluasi 2005 diketahui bahwa dari 38 program (Propernas) yang

sudah responsif gender hasil intervensi Bappenas dan KPP dengan

difasilitasi oleh WSP II Canada, hampir tidak ada yang sudah

dilaksanakan, kecuali beberapa cuplikan dari bagian kegiatan hasil dari

Page 52: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

52

pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Beberapa responden

memberi alasan yaitu karena ada peralihan dari Propernas ke RPJMN

2004-2009, sehingga masing-masing Kementerian/Lembaga

menyesuaikan dengan misi dan fokus RPJMN 2004-2009. Lainnya

memberi alasan keterlambatan mengajukan. Kemungkinan lain adalah ke

38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individu-individu

yang ikut pelatihan gender analisis, tidak dengan sendirinya ‘dimiliki’ atau

menjadi dokumen resmi dari lembaga atau unit yang diwakilinya. Selain

minimnya desiminasi internal dari hasil pelatihan itu, sebab lain adalah

karena kedudukan serta peran dari individu didalam lembaga/unit yang

diwakilinya tidak cukup kuat dalam meyakinkan atasan/rekan kerjanya

mengenai program/kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif.

Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah

suatu proses yang melibatkan banyak orang dan pentahapan yang tidak

selalu kondusif untuk menerima ‘sesuatu yang baru’ seperti memasukan

perspektif gender dalam (perencanaan) program.

Beberapa responden mengatakan bahwa meskipun beberapa program dan

kegiatannya sudah gender responsif seperti tertulis dalam dokumen akan

tetapi “seperti pengakuan banyak responden” tidak selalu melalui suatu

analis gender.

Responden lain juga mengatakan bahwa meskipun sudah selesai ikut

latihan analisis gender, dirinya masih belum jelas bagaimana

‘mendaratkan’ PUG ke dalam program/kegiatan nyata. Rata-rata mereka

yang pernah mengikuti sosialisasi gender ataupun pelatihan analis gender

menyebutkan bahwa secara teori/wacana konsep gender, konsep PUG,

apa dan mengapa PUG, sudah mereka dipahami. Akan tetapi bagaimana

operasionalisasinya masih belum jelas.

Di hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki program/kegiatan

yang responsif gender, paling sedikit kegiatan sosialisasi dan capacity

building. Bahkan beberapa unit di Kementerian Pendidikan, Kesehatan,

dan Pertanian misalnya program kegiatan unggulannya sudah dijadikan

responsif gender.

Page 53: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

53

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan Program yang responsif

gender:

a. Kementerian/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif

gender kedalam program dan kegiatanya. Tetapi masalah teknis

dalam pelaksanaannya masih menjadi kendala. Kendala itu

termasuk kendala kemampuan untuk melakukan maupun kendala

hirarki birokratis dalam mengambil keputusan

b. Pejabat Eselon III dan IV yang sudah dilatih gender analisis untuk

perencanaan program merupakan ujung tombak dalam membawa

PUG ke program dan kegiatanya di unitnya masing-masing. Kendala

yang masih dihadapi adalah meyakinkan pimpinannya dan kolega

kerjanya yang pada umumnya masih bias/ buta gender.

c. Proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan banyak

individu termasuk di luar unitnya yang seringkali berada di luar

wewenangnya.

2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional

Tidak semua Departemen/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau

kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural

maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai

kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga

yang secara eksplisit sudah memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk,

struktur, serta fungsinya beragam. Tiga pola teridentifikasi: a).

Kelembagaan fungsional; b) Kelembagaan dengan wadah struktural

kombinasi dengan wadah fungsional; c) Belum mempunyai keduanya,

baik wadah struktural maupun fungsional.

a) Kelembagaan fungsional. Di beberapa Kementerian/Lembaga

pelaksanaan PUG justru dimulai dengan kelembagaan fungsional. Di

Kemeneg. LH kelembagaannya non-struktur. Wadah fungsional berada di

Gender Focal point yang dijabat oleh Eselon I. Wadah lain, yaitu Pokja

Gender yang pernah terbentuk, tetapi sekarang tidak jelas keberadaanya.

Page 54: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

54

Ketika masih berada di Bapedal, berkaitan dengan proyek lingkungan

yang peduli dengan isu gender (EMD, CEPI) telah dibentuk Pokja Gender

yang kuat, melibatkan bukan saja personel yang terlibat dengan proyek,

tetapi juga mitra kerja dari Kemeneg. PP, akademisi dan masyarakat

madani lainya. Kegiatan Pokja Gender ketika itu lebih menekankan pada

membagi pemahaman para anggota akan isu gender di ranah lingkungan

hidup. Secara berkala Kelompok Kerja tersebut melakukan diskusi/telaah

literatur dan ‘berbagi pengalaman dari lapangan’, termasuk mengundang

narasumber dari luar. Namun, kelompok kerja ini berakhir dengan

berakhirnya proyek.

Kelompok kerja di Kemeneg. LH dibentuk kembali dan dijadikan formal

dengan dikeluarkanya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103 Tahun 2003

tentang pembentukan Tim Pokja, yatu ketika Kemeneg. LH menjadi pilot

proyek DAP (Bappenas, Kemeneg. PP dan CIDA Women Support Project

II). Dari hasil kajian evaluasi yang diselenggarakan Bappenas/Kemeneg.

PP (2005), menunjukkan bahwa setelah Bapedal dan Departemen

Lingkungan Hidup bergabung menjadi Kemeneg. LH pada tahun 2004,

Pokja tersebut sudah tidak aktif lagi. Hal ini berkaitan dengan

penggabungan tersebut, yang diikuti dengan restrukturisasi. Banyak

anggota Pokja sudah berpindah tempat/struktur. Sebagian menganggap

ditempatnya yang baru tidak ada kaitannya dengan isu gender27. Lagi pula

ditempatnya yang baru, pimpinan/pengambil keputusan tidak

mendukung, sebagian besar karena pimpinan sendiri kurang pemahaman

tentang isu gender. Sebagian kecil dari anggota Pokja masih membawa

isu gender ke tempat yang baru28. Sisi cerah dari pengabungan ini adalah

telah ditunjuk focal point gender setingkat Eselon I. Kajian yang dilakukan

2007 ini, masih memperlihatkan hal yang sama. Di Kemeneg LH, PUG

hampir tidak berjalan, kecuali Unit Peran serta Masyarakat yang masih

memasukkan isu gender ke dalam kegiatan programnya.

Pengarusutamaan Gender di Departemen Pendidikan Nasional ditangani

oleh kelembagaan fungsional yaitu dalam bentuk Pokja Gender; dahulu

27 Kemungkinan besar, pelatihan yang selama ini diikuti, tidak cukup dipahami di tingkat

implementasi. 28 Patut dicatat disini beberapa staf masih terus memperhatikan dan meneruskan minatnya pada isu

gender ditempatnya yang baru.

Page 55: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

55

dibawah Direktorat Pendidikan Luas Sekolah (SK Pokja DirJen PLS SK

Pokja PUG Depdiknas No. KEP-89/E/MS/2002), tetapi dengan

dikeluarkanya SK Menteri Pendidikan RI No. 060/P/2007, sebagai

peningkatan dari SK Dirjen PLS tersebut diatas, Pokja Gender Nasional

berada dibawah Sekretaris Jendral dan lembaga Focal point diketuai oleh

Direktur Jendral PNFI. Komposisi keanggotaan Pokja Gender Nasional

selain melibatkan pejabat dan staf internal juga bergabung pakar gender

dari luar, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat. Pada unit-unit

utama dibentuk sub-Pokja yang bertugas merumuskan program/kegiatan

program yang responsif gender dan melaksanakannya. Jika keduanya

berjalan efektif, diharapkan maksud dari gender sebagai lintas isu dan

lintas unit dapat tercapai. Persoalan yang dihadapi di Departemen

Pendidikan Nasional, seperti juga di Kementerian/Lembaga lainya adalah

‘terisolasinya’ program/kegiatan di masing-masing unit. Dengan

dijadikanya gender sebagai isu lintas unit/program dan peran ketua Pokja

gender dan Focal point dipegang oleh para pejabat tinggi, maka

diharapkan permasalahan ini dapat diatasi. Namun demikian, mengingat

kesibukan rutin dan ad Hoc kedua pejabat yang bertanggung-jawab

terhadap PUG di Departemen Pendidikan Nasional, maka peran sekretariat

yang handal menjadi penting. Mereka yang tergabung dalam sekretariat

bukan sekedar petugas administrasi, tetapi seharusnya juga mengerti

substansi dari peran Pokja dan focal point.

Keadaan yang sama juga terjadi di Departemen Kesehatan. Telah

diterbitkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang dibentuknya

Tim PUG-BK. Dalam Surat Edaran yang baru tersebut melibatkan para

pengambil keputusan (eselon I) yang duduk sebagai tim pengarah (ex-

oficio); serta Eselon II ditunjuk sebagai gender focal point di unit kerja

masing-masing yang bertangung-jawab terhadap pelaksanaan PUG di unit

kerjanya. Bergabung dengan PUG-BK adalah pakar gender dari luar yang

juga menjadi fasilitator nasional. Dengan ditingkatkannya Tim PUG-BK

menjadi Tim Nasional, maka kerancuan persepsi yang selalu

menempatkan PUG sebagai bagian dari kegiatan Direktorat Bina

Kesehatan Ibu (dahulu KESGA) dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan

Direktorat PLS di Departemen Pendidikan, Direktorat Bina Kesehatan Ibu

Page 56: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

56

sebagai penggagas pertama, keduanya dianggap ‘pemilik’ dari kegiatan

yang berkaitan dengan PUG.

Masuk dalam pola pertama ini adalah Departemen Hukum dan HAM,

Kejaksaaan, dan Kepolisian.

b) Kombinasi wadah struktural dengan wadah fungsional. Di Departemen

Sosial, secara struktural yang mengurusi PUG berada di Eselon III

bercampur dengan mengurusi perempuan, dan bidang lainya. Oleh

karena Balitbangsos terlibat sebagai pilot project DSA (Bappenas/KPP/

WSP II CIDA) maka gender dan PUG selalu dilekatkan dengan

Balitbangsos. Karena kedudukanya dalam struktur berada di Eselon III,

sehingga ruang geraknya untuk melakukan PUG di lingkungan

Departemen menjadi terbatas. Nomenklatur yang bergabung dengan

bidang lain juga rentan untuk ‘terhapus’, apabila misi untuk melaksanakan

PUG belum jelas dan belum tersosialisasi dengan baik.

Kelompok Gender telah dibentuk yang disebut Pokja Gender Sektor

Kesejahteraan Sosial melalui SK MENSOS No.7 Tahun 2002 dan

diperbaharui menjadi No. 93/HUK/2005. Selain itu juga dibentuk Tim

Teknis, berdasarkan atas SK Kepala Balitbangsos No. 01/PPJ/KSM/2002.

Bersamaan dengan itu juga ditunjuk gender Focal point (tanpa SK).

Kegiatan-kegiatan dalam struktur yang umumnya berkaitan dengan

kegiatan rutin sesuai dengan tupoksinya berjalan seperti biasa.

Sedangkan kegiatan Kelompok Gender sebagai wadah fungsional sangat

tergantung pada kegiatan-kegiatan berorientasi proyek.

(c) Belum ada wadah struktural maupun fungsional. DKP dan LAN masuk

ke dalam pola ketiga, yaitu belum mempunyai keduanya, baik struktural

maupun fungsional. Meskipun demikian, kedua lembaga tersebut

mempunyai program kegiatan yang gender responsif.

Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan:

(a) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi

kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika yang

mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di

Page 57: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

57

beberapa Kementerian/Lembaga yang mengurusi kegiatan PUG

ditempatkan pada struktur Eselon III (Depsos) atau Eselon IV. Biasanya

digabung bersama-sama dengan urusan bidang lain, seperti agama,

olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara

struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan

maupun melakukan terobosan-terobosan kedalam sistem. Hal ini

disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG.

Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program yang berkaitan dengan

program yang sudah ada sejak lama yaitu program Wanita dalam

Pembangunan. Hanya beberapa Kementerian (Depkes, Depdiknas, dan

Deptan) yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting

issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal.

Di Depdiknas misalnya, ada satu bidang (tingkat Eselon III) yang

mengurusi program-program Perempuan (Bidang Pendidikan Perempuan),

sedangkan yang mengurus PUG tempatnya akan berada di Sekretaris

Jenderal. Dan dengan dikeluarkannya SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP-

89/E/MS/2007, PUG akan menjadi cross-cutting kegiatan di masing-

masing Unit Utama. Sementara ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah

(sebagai cikal bakal PUG di Depatemen Pendidikan Nasional), masih tetap

berperan sebagai leading unit, sementara lembaga Sekjen belum efektif.

Depkes telah mengeluarkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006

tentang Tim PUG Bidang Kesehatan, yang menempatkan Direktorat

(Eselon II) sebagai gender focal point yang bertangung-jawab atas

pelaksanaan PUG di-masing-masing unitnya dan Eselon I sebagai Tim

Pengarah.

(b) Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional

seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena

kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya

lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG,

maupun melaksanakannya. Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga

memiliki wadah-wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling

banyak dipunyai oleh Kementerian/Lembaga yang dikaji adalah gender

focal point, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal.

Page 58: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

58

(c) Peran serta keterlibatan Focal point. Semua Kementerian/Lembaga

yang dikaji memiliki individu-individu/ focal point yang biasanya sudah

terpapar dengan isu gender (melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dst).

Sebab itu mereka berpeluang ikut memberi nuansa gender dalam

kegiatannya, meskipun tidak selalu demikian dalam kenyataanya.

Kebanyakan individu-individu yang sama terpapar dengan isu gender

melalui berbagai seminar dan pelatihan, akan tetapi tidak mempunyai

cukup kekuasaan untuk mengintervensi birokrasi, karena umumnya

mereka berasal dari Eselon III atau Eselon IV.

Peran gender focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I jauh

lebih instrumental. Focal Point Gender dapat melakukan advokasi

terhadap pimpinan lembaga/pengambil keputusan untuk memberi

dukungan politis maupun untuk mengeluarkan SK atauSurat Edaran dan

sejenisnya dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG. Secara horizontal

focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I sejatinya akan lebih

mudah melakukan advokasi pada rekan sejawat, jika dibandingkan

dengan focal point yang dijabat oleh Eselon III atau IV. Karena jabatan

strukturalnya yang operasional, focal point yang berasal dari Eselon II

lebih mudah membentuk kelompok kerja baik di unit kerjanya, maupun

dengan unit kerja lainnya.

Sebagai contoh di Depkes, sebenarnya jauh sebelum dikeluarkannya SE

Menteri Menkes 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG Bidang

Kesehatan, PUG sudah ditangani oleh Direktorat Kesehatan Keluarga

(Kesga). Pada mulanya kegiatan PUG dilakukan di Direktorat Kesga

dengan keterlibatan penuh Direktur Kesga (Eselon II) yang juga

merupakan focal point gender. Kegiatan sosialisasi PUG dan pelatihan

analisis gender telah banyak dilakukan dan dihadiri bukan saja oleh staf

Kesga tetapi juga dari unit-unit lain. Peran serta keterlibatan penuh

gender focal point serta individu-individu yang sudah terpapar dengan isu

gender, sangat menonjol dalam proses pelembagaan PUG di Depkes.

Direktorat Kesga menjadi leading unit dalam urusan yang berkaitan

dengan gender. Lebih-lebih lagi ketika Departmen Kesehatan cq

Direktorat Kesga menjadi salah satu pilot proyek kegiatan capacity

Page 59: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

59

building yang dilakukan oleh Bappenas/KPP/WSP II CIDA. Keikutsertan

dalam kegiatan tersebut telah membuka kesempatan untuk memperkuat

sumber daya manusia yang handal serta melakukan kegiatan-kegiatan

lebih sistematis dan terfokus (pelatihan analisis gender, membuat

kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender). Direktorat ini telah

melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosialisasi dan juga melakukan

capacity building secara ekstensif bukan saja di kalangan sendiri, tetapi

juga dengan melibatkan unit-unit lain di Depatemen Kesehatan, baik di

pusat maupun didaerah (provinsi, kabupaten/kota).

Sebab itu suatu payung legal diperlukan, seperti terlihat dengan

diterbitkanya Surat Edaran Menkes No. 615/Menkes/VI/2004 tentang

Pelaksanaan PUG-BK).

Peran serta keterlibatan gender focal point dalam mengeluarkan payung

hukum juga terjadi di Dephukham. Focal point yang berasal dari unit Data

penuh inisiatif melakukan sosialisasi Gender di unit-unit lingkungan

Departemen maupun di lembaga-lembaga yang terkait misalnya dengan

mengikutsertakan peserta dari lembaga Kepolisian, lembaga Kejaksaan,

Badan Penelitian Hukum Nasional (BPHN). Hasilnya antara lain adalah

dikeluarkannya SK Menhukham Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim

KKG Bidang Hukum. Meskipun harus diakui, kegiatannya belum cross-

cutting unit, tetapi lebih pada kegiatan sosialisasi Gender dan PUG. Ketika

focal point tersebut diganti karena mutasi, PUG belum melembaga.

Kegiatan masih diteruskan oleh focal point penggantinya.

Kasus di Depdiknas tidak jauh berbeda. Pada mulanya gender focal point

dijabat oleh Direktur Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kegiatan-kegiatan

yang berkaitan dengan gender lekat dengan Direktorat PLS. Sebab itu,

ada kesan bahwa PUG itu di Depdiknas adalah domain PLS.29 Sementara

itu, sejak tahun 2007, gender focal point untuk Departemen Pendidikan

Nasional dijabat oleh Ditjen PNFI, dengan wakilnya dijabat oleh Direktur

PLS. Gender focal point akan ditempatkan di Sekjen, sehingga akan lebih

mudah menjangkau unit-unit lain. Semua Eselon III bidang perencanaan

duduk sebagai Tim Teknis.

29 Hal yang sama juga terjadi dengan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan

Page 60: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

60

Tiga kasus di atas memperlihatkan bagaimana gender focal point berperan

dalam meningkatkan kelembagaan gender ke tingkat Kementerian/

Lembaga.

2.4. Peran Pokja Gender

Hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki SK untuk

membentuk Pokja gender/PUG. Meskipun ada perbedaan diantara

Kementerian/Lembaga yang dikaji.

Pada 22 Mei Tahun 2007, payung legal yang mencakup PUG untuk seluruh

Kementerian/Lembaga dikeluarkan berupa SK Menteri tentang PUG-

Bidang Kesehatan. Hampir semua pejabat Eselon I dan II dilibatkan.

Panitia Pengarah melibatkan pejabat Eselon I sedangkan pejabat Eselon

II (Direktur), menjadi focal point untuk unitnya masing-masing. Dengan

melibatkan para direktur sebagai focal point untuk unitnya masing-

masing, maka diharapkan pelaksanaan PUG di lingkungan Departemen

Kesehatan akan lebih efektif.

Di Depdiknas pada mulanya inisiatif melaksanakan Pokja PUG datang dari

Direktorat PLS. Tentang pembentukan Pokja Gender dan pembentukan

Dewan Pakar Gender, yang melibatkan personel internal serta Pakar

Gender dari luar Departemen, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat,

dan kalangan akademisi. Surat Keputusan tersebut diperbaharui setiap

tahun dan yang terakhir keluar SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP-

89/E/MS/2007, yang antara lain mengukuhkan Dirjen Pendidikan

Nonformal dan Informal (PNFI) sebagai gender focal point serta direktur

Pendidikan Masyarakat sebagai wakilnya. Sejak keluarnya SK Menteri

tentang pelaksanaan PUG, maka lebih banyak unit kerja di luar Pendidikan

Masyarakat yang menindaklanjuti SK Menteri tersebut, dengan

membentuk kelompok kerja maupun melakukan sosialisasi PUG di unitnya

masing-masing.

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan pelembagaan PUG:

1. Penunjukkan Eselon II sebagai focal point merupakan terobosan

penting mengingat peran dan kedudukannya yang instrumental dan

Page 61: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

61

operasional. Di beberapa Kementerian/Kelembagaan, seperti Depkes

dan Depdiknas, untuk kelembagaan fungsional selain focal point dan

kelompok kerja gender, keberadaan Dewan Pakar juga dikembangkan,

dengan melibatkan pakar gender di kalangan internal dan eksternal

institusi.

2. Ada kecenderungan ketidakjelasan tentang tugas dan kewajiban

sebagai focal point; sehingga keberadaan kelembagaan focal point

tidak selalu berkerja efektif. Sejatinya harus ada semacam Kerangka

Acuan (Terms of Reference) untuk focal point yang relevan dengan

keperluan Kementerian/Lembaga masing-masing. Selain itu harus juga

dipikirkan semacam insentif untuk memangku jabatan itu. Insentif itu

tidak selalu dalam materi saja, tetapi bisa dalam bentuk kewenangan,

misalnya duduk dalam tim review program.

3. Focal point seringkali berada dipos ‘tidak penting’ dan ‘bukan penentu’,

sehingga ia tidak berdaya untuk menghadapi suatu sistem dengan

birokrasi dan hirarki yang kental.

4. Ada kesalahan persepsi tentang pelaksanaan PUG. Pemahaman bahwa

PUG adalah program/kegiatan yang akan ‘mengurangi’ PAGU

Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pada

mulanya keberadaan Tim Pokja Gender yang efektif biasanya

bersamaan dengan adanya kegiatan suatu proyek. Ketika kegiatan

proyek itu selesai, tim Pokja menjadi tidak efektif lagi. Namun

beberapa kasus seperti yang terjadi di Depkes dan Depdiknas, tim

Pokja yang bermula dari keikutsertaan dalam proyek, tetap berlanjut

bahkan melembaga. Dalam hal ini, ada kaitannya dengan peran focal

point yang punya komitmen tinggi.

5. Kegiatan PUG di Kementerian/Lembaga biasanya diidentikkan dengan

unit kerja yang pertama-tama menangani PUG atau di unit dimana

Focal point berada, sehingga ada rasa tidak ‘dimiliki’ sebagai kegiatan

Kementerian/Lembaga secara keseluruhan. Sebab itu, untuk waktu

yang cukup lama kegiatan PUG di Depdiknas diasosiasikan menjadi

Page 62: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

62

kegiatan Direktorat PLS; di Depsos menjadi kegiatannya Balitdiksos;

dan di Depkes ada di Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak.

2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin

Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah klasik yang

belum terselesaikan di semua Kementerian/Lembaga yang dikaji.

Depdiknas dan Depkes merupakan dua Kementerian yang sudah

mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan

Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD

maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu

diagregat lagi di tingkat kecamatan. Alasan umum yang banyak

disebutkan yaitu karena formulir dari provinsi/nasional memang tidak

terpilah menurut jenis kelamin.

Di hampir seluruh Kementerian/Lembaga yang dikaji mempunyai persepsi

bahwa data terpilah itu akan didapat dari Badan Pusat Statistik. Beberapa

faktor teridentifikasi sebagai penyebab tidak berkembangnya data terpilah

ini:

a. Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah, paling tidak

yang tertuang dalam suatu kebijakan/surat keputusan. Namun

demikian, ada beberapa inisiatif dari unit/program, seperti Unit

Partisipasi Masyarakat di Kemeneg. LH, Depsos, dan Polri sudah

memulai mengumpulkan dan menggunakan data terpilah.

b. Tidak tersosialisasi dengan baik alasan mengapa harus mengumpulkan

data yang terpilah menurut jenis kelamin. Lagi pula seperti alasan

yang banyak didengar yaitu tidak ada/kurangnya permintaan

(demand) dari pengguna akan data terpilah ini;

c. Formulir untuk data seperti yang diterima dari instansi diatasnya juga

tidak meminta untuk memilah data menurut jenis kelamin;

d. Kecenderungan umum data yang dikumpulkan dari program/kegiatan

tidak tersimpan ke dalam sistem data;

Page 63: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

63

e. Alasan yang banyak dikemukakan adalah: mengganti formulir yang

ada agar dibagi menurut jenis kelamin dianggap mahal, bukan

wewenangnya untuk mengganti, dan karena seharusnya datang dari

instansi di pusat.

Suatu usaha bersama dengan prakarsa dari Bappenas, Kemeneg. PP serta

BPS untuk mensosialisasikan sekaligus melakukan pelatihan untuk

Kementerian/Lembaga (bagian Pusdatin, perencana, pemegang program,

dan peneliti) dalam hal bagaimana mengumpulkan data terpilah baik

menurut jenis kelamin dan juga menurut kandungan isu gender (gender

statistik) dikumpulkan dan dianalisis. Oleh karena jenjang birokrasi masih

sangat kuat, maka seharusnya dikeluarkan Surat Keputusan atau

Peraturan Menteri untuk kegiatan ini.

Sudah ada inisiatif dari beberapa Kementrian/Lembaga ke arah

melembagakan data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin

(Depdiknas, Depkes, Depsos, beberapa program di Kemeneg. LH).

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah

1. Isu yang menonjol sebenarnya adalah tidak/kurangnya kemauan

politik pimpinan/yang berwenang berkaitan dengan pendataan;

tidak ada keharusan melakukan pendataan yang terpilah menurut

jenis kelamin dan menyimpannya kedalam data sistem serta

keharusan untuk memakai data terpilah dalam melakukan analisis

untuk perencanaan. Seperti yang dikemukan oleh para

responden, bahwa mereka ibaratnya operator yang akan

mengerjakan apa yang diminta oleh para pimpinan.

2. Langkanya data terpilah dihampir semua Kementerian/Lembaga

yang dikunjungi merupakan sesuatu yang serius, jika

Pengarusutamaan Gender akan dilaksanakan di Kementerian/

Lembaga yang bersangkutan. Apalagi mengingat kelangkaan

data terpilah ini sudah ditengerai sejak lama, sementara sudah

ada program/kegiatan yang diklaim telah responsif gender.

Page 64: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

64

3. Selama ini memang keperluan untuk melakukan analisis (dengan

data terpilah) dalam perencanaan masih belum melembaga. Hal

ini terbukti dari formulir standar dari masing-masing

Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregat.

2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)

Sumberdaya Manusia yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal

pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building

sudah relatif lama dilakukan di semua Kementerian/Lembaga. Capacity

building dilakukan internal unit maupun bersama-sama dengan unit lain

dengan mengundang pakar, dari kementrian Pemberdayaan Perempuan

maupun dari sumber internal dan eksternal. Capacity building dalam

bentuk sosialisasi gender merupakan kegiatan yang paling banyak

dilakukan dalam 7 tahun terakhir ini, akan tetapi hasilnya belum cukup

memadai.

Dalam kegiatan sosialisasi maupun pelatihan PUG yang lebih terpapar

adalah para personel dari Eselon III dan IV. Dari hasil FGD mapun

wawancara yang dilakukan di 18 Kementerian/Lembaga memberi indikasi

kurangnya minat dari pengambil kebijakan dan pimpinan untuk mengikuti

sosialisasi gender dan PUG. Sebab itu wawasan mereka tentang gender

dan PUG masih sering rancu yang pada giliranya berdampak terhadap

kebijakan yang diambil.

Rotasi staf (yang sudah paham dan mampu melakukan gender analisis)

yang sering diadakan berdampak terhadap ketersediaan SDM yang

handal. Sebenarnya kepindahan mereka justru dapat memanfaatkan

keterampilannya dalam hal yang berkaitan dengan gender dan PUG. Akan

tetapi ditempatnya yang baru mereka juga menghadapi tantangan baru,

yaitu suasana yang tidak kondusif untuk memanfaatkan keterampilannya

dalam melakukan analisis gender dan PUG.

Keluhan lain yang banyak disampaikan adalah mengenai metode

sosialisasi dan pelatihan gender. Sosialisasi dan pelatihan gender

seringkali disampaikan dengan cara yang tidak memudahkan orang

mengerti dan memahami konsep gender. Materi yang di sampaikan

Page 65: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

65

terkadang tidak jelas atau terlalu umum. Selain itu, cara penyampaian

dan contoh yang digunakan dianggap membingungkan peserta. Konsep

gender dan konsep-konsep yang berkaitan dengan gender, dianggap

terlalu teoritis dan tidak menjawab keinginan-tahuan mereka bagaimana

kongkritnya melaksanakan PUG jika dikaitkan dengan program/kegiatan

sesuai dengan tupoksi Kementerian/Lembaga. Cara penyampaian

dianggap tidak menarik dan kurang relevan, karena tidak banyak

melakukan latihan-latihan dengan program/kegiatan nyata. Waktu yang

disediakan juga kurang untuk mendalami dan diskusi. Keluhan lain adalah

fasilitator seringkali dianggap kurang menguasi materi.

Dari pihak fasilitator sendiri merasa bahwa sebaiknya pelatihan SDM yang

diberikan sesuai dengan tugas dan minatnya. Misalnya mereka yang

terlibat dengan perencanaan dapat lebih mudah mengikuti pelatihan

analisis gender; sebaliknya sosialisasi kesadaran gender akan lebih

bermanfaat untuk para petugas Humas misalnya.

Beberapa butir penting yang berkaitan dengan SDM yang Handal

melakukan dan mengawal PUG, sebagai berikut:

a. Mengingat ‘kekurangan SDM yang handal gender’ di unitnya karena

sering rotasi staf, dan masih banyaknya personel yang belum

mengetahui/memahami konsep gender dan aplikasinya, maka kegiatan

sosialisasi dan capacity building pada umumnya untuk tiap-tiap

Kementerian/Lembaga tetap masih diperlukan, bersamaan dengan

ditingkatkannya pelaksanaan PUG di dalam program dan kegiatannya;

b. Pelatihan yang diberikan (materi dan metode penyampaian) harus

disesuaikan dengan keperluan dan latar belakang peserta);

c. Dipikirkan juga untuk melakukan advokasi gender dan PUG bagi para

pimpinan internal lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan

akomodatif terhadap isu gender.

2.7. Kesimpulan

Meskipun demikian, sudah ada beberapa kemajuan dalam pelaksanaan

PUG, seperti di Depdiknas yang telah berusaha menangani isu gender

secara lintas program/lintas unit, serta menempatkan PUG di Sekretaris

Page 66: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

66

Jenderal dan membentuk Pokja Gender di tingkat Departemen yang

diketuai oleh seorang Direktur Jenderal. Sebuah Peraturan Menteri yang

berkaitan dengan pelaksanaan PUG di Depdiknas dalam dekat akan

segera diluncurkan. Selanjutnya, Depkes telah mengeluarkan SK Menteri

No. 878/Menkes/SK/XI/2006 yang menunjuk seluruh Eselon I menjadi

Tim Pengarah PUG, dan Eselon II menjadi focal point gender di unitnya

masing-masing, serta dibentuk fasilitator nasional, termasuk fasilitator

dari luar untuk memfasilitasi pelaksanaan PUG bidang pendidikan Sama

halnya dengan Depkes yang telah menempatkan isu gender sebagai lintas

program/lintas unit, dan menjadikan Eselon II menjadi focal point gender

di unitnya. Demikian pula halnya Deptan yang keterlibatan dengan isu

perempuan dan gender di pertanian mempunyai sejarah yang panjang.

Deptan telah berhasil menjadikan gender sebagai lintas isu/lintas unit.

Page 67: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

67

Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER

Kesimpulan umum dari hasil evaluasi pelaksanaan PUG di beberapa

provinsi/kabupaten/kota terpilih yang dilakukan tahun 200530 adalah

daerah tidak menggunakan peluang yang terbuka dengan adanya

Otonomi Daerah31 untuk melakukan terobosan-terobosan dalam usaha

pembangunan, khususnya pembangunan manusia melalui strategi PUG.

Ditengerai bahwa di hampir semua daerah yang dikaji tidak menempatkan

kebijakan perencanaan pembangunan manusia, khususnya pembangunan

yang menuju kesetaraan gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki

dalam segi kualitas hidup) menjadi hal yang penting dan menjadi prioritas

di era Otonomi Daerah ini. Dalam eforia Otonomi Daerah yang mengusung

semangat peningkatan pendapatan dan restrukturasi kelembagaan

pemerintah, serta pemahaman yang masih rancu tentang PUG, harus

diakui bahwa urusan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, yaitu

mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan pembangunan daerah

kian termarjinalkan. Bertambah sulit keadaannya ketika daerah harus

memilih, dengan “keterbatasan berbagai sumberdaya dan keterbatasan

pemahaman tentang perlunya pembangunan manusia”, maka pilihan

biasanya akan jatuh pada program yang mudah kelihatan

keberhasilannya, dibandingkan dengan investasi pada pembangunan

manusia yang memerlukan waktu yang lebih panjang untuk melihat

hasilnya.

Kajian 2005 mentengerai dua isu kritis yaitu:

30 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), 2005-2006, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan.

31 Dengan diberlakukanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004

Page 68: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

68

1. (peningkatan) pemahaman sumber daya manusia (SDM) dan

(peningkatan) kapasitas lembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan

PUG.

2. pengawalan kesepakatan Pemerintah Daerah dalam hal urgensi dan

pentingnya (melaksanakan) strategi PUG untuk meningkatkan kualitas

manusia.

Kajian 2007 memperlihatkan bahwa kedua isu kritis tersebut masih

relevan. Namun demikian, dari hasil kajian 2007 juga memperlihatkan

adanya kemajuan dalam beberapa indikator proses, dibandingkan dengan

hasil evaluasi tahun 2005 yang lalu. Bahkan di beberapa

provinsi/kabupaten/kota terpilih memperlihatkan adanya kemajuan yang

cukup berarti dilihat dari capaian implementasi. Memang masih banyak

tantangan menghadang, yang berkaitan dengan masalah konsistensi dan

keberlanjutan hasil capaian. Masalah utama masih tetap menyangkut

persoalan rendahnya pemahaman gender/PUG dan persoalan bagaimana

mengaplikasikannya ke dalam program nyata. Tentu saja ini bukan

tantangan yang mudah untuk diatasi. Terlebih lagi pelaksanaan PUG

masih relatif baru dan lebih ‘liat’ karena menyangkut perubahan mindset.

Bab III menguraikan hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat daerah32

dengan fokus pada dua hal; pertama mengacu pada 5 tolak ukur yang

dipakai dalam kajian ini di tataran proses dan yang kedua pada tataran

praksis seraya mencermati kedua isu kritis tersebut di atas.

PUG dalam Kebijakan/Program Pembangunan Daerah 3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis

Isu gender dalam pembangunan, datang ke daerah tepat waktu dan tepat

asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu,

karena instruksi mengharuskan semua sektor pembangunan di tingkat

32 Di luar 3 provinsi yang dikaji tahun 2005, dipilih tujuh provinsi untuk kajian 2007 ini, yaitu

Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara); dan 7 kabupaten/kota terpilih ditetapkan oleh provinsi yang bersangkutan, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar, Kota Banjarmasin, Kota Manado.

Page 69: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

69

nasional maupun daerah untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam

keseluruhan proses perencanaan (Inpres No. 9 Tahun 2000) datang

bersamaan dengan adanya pergeseran dari pendekatan yang sentralistik

ke pendekatan yang desentralistik yang dibawa oleh Otonomi Daerah.

Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia, maka sejumlah

kekuasaan dan tanggung-jawab berada di tangan pemerintah daerah,

terutama di tingkat kabupaten/kota. Kesempatan besar itu sekaligus

merupakan tantangan luar biasa bagi daerah. Karena daerah diharapkan

dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan terobosan-

terobosan, melalui program/kegiatan pembangunan “termasuk

pelaksanaan PUG” yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah.

Tepat asas, karena dengan maraknya semangat reformasi yang

berasaskan tatalaksana pemerintahan yang baik, demokratis dan

berkeadilan, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menjadi

peluang, sebagai ‘entry point’ yang instrumental untuk melaksanakan

strategi PUG yaitu suatu strategi pembangunan yang demokratis,

mengakomodasi suara dan aspirasi perempuan dan laki-laki serta

berkeadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) dalam

berpartisipasi dan menikmati (hasil) pembangunan dan pada gilirannya

mencapai kesetaraan seperti terukur dalam berbagai kualitas hidupnya

termasuk hubungan sosial di antara keduanya (kesetaraan gender).

Namun harapan besar yang disandarkan pada otonomi daerah ini banyak

yang luput dimanfaatkan oleh daerah. Meskipun PUG di daerah sebagai

kebijakan pembangunan daerah sudah dilengkapi dengan sejumlah

payung hukum, yaitu:

1. KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum

Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah;

2. Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan

Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah;

3. Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja

(meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG) .

Page 70: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

70

Masing-masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan

politik dalam berbagai bentuk. Semua provinsi, kabupaten/kota yang

dikaji sudah memiliki wadah struktural dan fungsional mengelola/

mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, “kecuali di

beberapa provinsi/kabupaten/kota”, implementasinya tidak berjalan

seperti yang diharapkan.

3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat

Di beberapa daerah, walaupun telah memiliki sebagian besar dari 5

prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang

diharapkan. Sebaliknya, terdapat daerah tanpa kelengkapan prasyaratan

ideal telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan

terbatas.

Proses pelaksanaan PUG di daerah umumnya dapat dibagi ke dalam 3

pola umum33. Pola pertama adalah daerah masih dalam tahap proses

memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan

Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah masih dalam

tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai

(beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG,

walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah prasyaratan ideal

masih belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu-

isu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja

atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk

mengintegrasikan isu gender ke dalam perencanan program

pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja

(cross-cutting issue).

Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah.

Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses

kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG.

Semua daerah yang dikaji, baik di tingkat provinsi maupun

33 Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian ini bentuk

kategorisasi tersebut. dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainya.

Page 71: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

71

kabupaten/kota, telah memiliki SK Gubenur/Bupati/Walikota yang

berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.34 Namun

tidak selalu semua stakeholders terkait ”bahkan di kalangan internal

lembaga/unit kerja baik vertikal maupun horizontal” mengetahui

keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang-orang yang

terlibat langsung atau namanya tercantum dalam surat keputusan

tersebut yang mengetahui keberadaannya.

Sosialisasi mengenai SK tersebut hampir tidak pernah dilakukan.

Seringkali hanya disampaikan ala kadarnya dalam kegiatan capacity

building yang berkaitan dengan peningkatan penyadaran gender,

pelatihan analisis gender, dan sebagainya. Umumnya kegiatan capacity

building itu dilakukan, difasilitasi dan disiapkan materinya oleh Pemerintah

Pusat (baik dari oleh Kemeneg. PP, maupun oleh Kementerian/Lembaga

Teknis). Sebagai bagian dari materi yang diberikan dalam sosialisasi,

disebutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang keharusan melaksanakan

PUG di semua sektor, di semua lapisan pemerintahan, akan tetapi

seringkali luput menyentuh keberadaan payung hukum lokal.

Harus diakui – seperti juga keluhan dari (peserta) daerah – bahwa

mereka yang membawakan sosialisasi itu kebanyakan lebih bertindak

sebagai operator dengan orientasi lokal yang terbatas. Sebagai akibatnya,

kehadiran Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota seringkali tidak

menjadi acuan.

Kebijakan yang eksplisit responsif terhadap isu gender tertera dalam

bentuk Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Tetapi ada juga yang

disebutkan di dalam dokumen Renstrada seperti di Provinsi Jawa Barat,

Provinsi Jawa Tengah (2003-2008). Namun, kebijakan itu tidak selalu

tercermin dalam program/kegiatan pembangunannya. Program/kegiatan

yang diakui (claimed) sebagai hasil melaksanakan PUG; sebenarnya masih

merupakan kelanjutan dari program/kegiatan Perempuan dalam

Pembangunan (Kabupaten Kampar; Kabupaten Semarang; Kota

Banjarmasin). Pemahaman PUG sendiri diartikan sebagai program dengan

34 Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan

dengan SK Gubernur.

Page 72: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

72

fokus pada perempuan, sehingga timbul persepsi umum bahwa PUG

adalah program khusus untuk perempuan.

Program/kegiatan lainnya yang berkaitan dengan gender di daerah adalah

capacity building, dalam bentuk sosialisasi gender dan atau pelatihan

melakukan analisis gender. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh

Kementerian/Lembaga teknis terkait dari pusat. Seperti misalnya,

Depdiknas melakukan capacity building dengan memfasilitasi pelatihan

piranti GAP, sosialisasi bahan ajar yang responsif gender, penyusunan

position paper dengan dana block grant.35 Beberapa departemen teknis

seperti Depkes dan Dephukham juga mempunyai kegiatan sosialisasi dan

penguatan kelembagaan serta pelatihan bagi dinas masing-masing di

daerah. Demikian juga halnya dengan Kemeneg. PP masing-masing

kedeputian mempunyai program dana stimulan dalam bentuk kegiatan

sosialisasi dan pelatihan analisis gender untuk daerah.

Block grant atau dana stimulan itu berasal dari APBN. Bentuknya sebagai

proyek dari sektor teknis yang terkait, maka waktu sosialisasi dan/atau

pelatihan diberikan relatif pendek dan terputus-putus, menyesuaikan

dengan dana pembangunan yang turun setiap tahun. Sebab itu tidak

jarang daerah menjadi obyek sosialisasi gender dari berbagai instansi, -

bahkan dari berbagai kedeputian dari instansi yang sama-- dalam waktu

yang hampir bersamaan. Pemantauan dan evaluasi dari block grant dan

dana stimulan hampir tidak pernah dilakukan, kecuali dari segi

administrasi.

Dengan demikian dari sudut kuantitas sosialisasi dan pelatihan analisis

gender di daerah sudah sering dilakukan, akan tetapi pemahaman tentang

gender dan PUG serta aplikasinya masih belum memadai. Hal ini

tercermin dari keluhan peserta, antara lain diekspresikan oleh peserta

pelatihan dari Kabupaten Kampar: ‘Sosialisasi sudah sering dilakukan,

tetapi pemahaman tentang gender dan PUG masih belum mantap’. ‘Sudah

disosialisasikan dalam 3 tahun terakhir ini, tapi belum diimplementasikan’

(Peserta dari Provinsi Sulawesi Utara).

35 Depdiknas telah memberikan sosialisasi dan pelatihan analisis gender di hampir seluruh provinsi

dan kabupaten/kota.

Page 73: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

73

Dari segi kualitas, beberapa permasalahan teridentifikasi berkaitan

dengan waktu yang disediakan, pelatihan, materi yang diberikan, dan

metode penyampaian. Dari segi waktu, misalnya antara kegiatan

sosialisasi dan kegiatan pelatihan seringkali diberi jatah waktu yang tidak

jauh berbeda. Padahal untuk kegiatan pelatihan, memerlukan waktu yang

jauh lebih panjang dari kegiatan sosialisasi. Akibatnya, kegiatan pelatihan

analisis gender sebenarnya tidak lain adalah sosialisasi piranti analisis

gender.

Materi sosialisasi dan pelatihan sering diberikan di luar konteks

daerah/lembaga/SKPD yang bersangkutan sehingga tidak dianggap

berkaitan/tidak selalu cocok dengan kebutuhan daerah (Kabupaten

Semarang). Sebagai akibatnya, pemahaman yang didapat hanya sampai

tingkat wacana. Beberapa ekspresi yang diberikan oleh beberapa orang

yang pernah mengikuti pelatihan dari berbagai daerah memberikan

gambaran kenyataan yang ada: ‘terlalu teoritis’; ‘perlu contoh-contoh

kongkrit yang cocok dengan program/kegiatan yang ditangani’; ‘perlu

diikuti dengan praktek-praktek’.

Masalah lain adalah yang berkaitan dengan metode penyampaian yang

seringkali dilakukan tanpa memperhitungkan target sasaran. Keluhan dari

para pimpinan dan pengambil keputusan adalah bahwa penyampaian

sosialisasi itu seringkali dianggap ‘tidak cocok’, baik dari segi cara maupun

waktu. Cara-cara penyampaian dalam bentuk role play misalnya,

dianggap ‘kekanak-kanakan’ dianggap tidak sesuai dengan wibawa yang

mereka sandang; demikian juga dengan waktu yang terlalu lama

dianggap tidak sesuai dengan kegiatan-kegiatan mereka. Bentuk advokasi

dengan penyampaian data dan informasi yang relevan dianggap cara yang

efektif bagi mereka. Sebaliknya, dari hasil wawancara dengan eks-peserta

sosialisasi dan pelatihan (termasuk dari Eselon III dan IV), cara-cara

advokasi yang lebih disukai adalah komunikasi dua arah, sedangkan untuk

pelatihan lebih disukai bila ada praktek dan metode role play.

Keluhan lain adalah mengenai fasilitator yang dianggap ‘kurang

menguasai’ materi, cara penyampaian, dan ‘medan yang akan digarap’.

Tentu yang dimaksud disini adalah fasilitator yang bertindak lebih sebagai

Page 74: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

74

operator hanya berbekal paparan, tanpa pemahaman yang cukup tentang

gender dan PUG, serta ‘budaya’ kantor setempat. Dari beberapa

pengalaman fasilitator, diidentifikasi bahwa dalam sosialisasi dan

pelatihan, pertanyaan-pertanyaan tentang gender sangat luas

menyangkut agama, sosial-budaya, ekonomi, politik serta konsep-konsep

di luar konsep gender yang bisa menyulut perdebatan sengit sampai

penolakan-penolakan. Oleh sebab itu, fasilitator gender tidak cukup bila

hanya dilengkapi dengan materi generik tentang gender, tetapi juga harus

dilengkapi dengan pemahaman yang luas tentang apa, mengapa,

bagaimana dan disampaikan secara bijak dan bermakna oleh para

fasilitator.

Kegiatan pelatihan diikuti oleh peserta dengan latar belakang yang

beragam; meskipun sebenarnya pelatihan analisis gender dirancang untuk

mereka yang terlibat dengan perencanaan dan/atau mereka yang terlibat

dalam analisis. Sebagai akibatnya, bagi peserta pelatihan yang tidak

berlatar belakang perencanaan pembangunan menghadapi kesulitan, baik

dari segi substansi maupun minat yang dibangun. Selain itu, pengetahuan

dan keterampilan yang didapat dari pelatihan tidak akan diaplikasikan.

Sebaliknya ada peserta dari bagian perencanaan yang sudah berkali-kali

mengikuti pelatihan, tetapi tidak pernah mengaplikasikan dalam

pekerjaanya. Alasannya adalah ‘belum cukup percaya diri untuk

melakukan’; ‘tidak ada keharusan untuk melakukan’; dan ‘sudah banyak

sosialisasi tapi apa yang perlu dilakukan’ (Peserta dari Kabupaten Lombok

Barat).

Selain itu banyak peserta sosialisasi dan pelatihan analisis gender bukan

orang yang mengambil keputusan’.

Dari segi kelembagaan, secara struktural di pemerintahan daerah maupun

di SKPD, dimasukkan sebagai program/kegiatan yang mengurusi

(pemberdayaan) perempuan dari suatu unit kerja di tingkat sub-bidang di

Eselon IV (Kabupaten Bogor, Kabupaten Kampar, Kabupaten Semarang,

Kota Manado, Kabupaten Lombok Barat) atau di Eselon III (di Provinsi

Riau, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan

Selatan, Kota Banjarmasin, Provinsi Nusa Tenggara Barat). Pemberdayaan

Page 75: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

75

Perempuan dimasukkan ke dalam seksi atau bidang bersama-sama

dengan program lain misalnya yang mengurusi agama, olahraga,

kesejahteraan sosial, keluarga berencana, pemakaman, dan sebagainya.

Karena persepsi umum, PUG disamakan dengan program/kegiatan khusus

yang menyangkut perempuan. Sebagai contoh di Kabupaten Kampar,

Bidang BPMP yang membawahi sub-bidang Pemberdayaan Perempuan

dan sub-bidang lainnya, menyerahkan penanganan program-program

yang berkaitan dengan isu gender termasuk PUG kepada sub-bidang

Pemberdayaan Perempuan.

Karena eselonnya yang relatif rendah (berada di Eselon III dan Eselon IV)

dalam struktur pemerintahan, maka banyak menemui hambatan birokrasi

untuk dapat melakukan advokasi atau mengarusutamakan gender pada

program/kegiatan atau unit-unit lain di internal lembaga. Penempatan ini

berhubungan dengan persepsi yang keliru, yaitu memahami PUG sebagai

suatu program khusus untuk perempuan dan bukan menempatkannya

sebagai strategi yang lintas isu maupun lintas unit kerja.

Secara fungsional di semua daerah yang dikaji sudah terbentuk pokja

gender di lingkungan unit kerja dimana pokja itu ditempatkan, dengan

Surat Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi, Surat Keputusan

Bupati/Walikota untuk tingkat kabupaten/kota, menyusul dikeluarkannya

Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No. B. 110/Menteri

PP/Dep.II/IX/2003, tentang dibentuknya Pokja Gender serta KepMendagri

No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam

Pembangunan Daerah. Selain Pokja Gender, di semua daerah yang dikaji

juga mempunyai kelembagaan fungsional lain seperti focal point gender.

Di beberapa daerah juga dilengkapi dengan Forum Komunikasi PUG.

Ketersediaan dan penggunaan data dan informasi dalam perencanaan

pembangunan masih merupakan masalah. Belum semua SKPD

mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Akan tetapi di beberapa

SKPD di Provinsi Sumatera Barat seperti Kesehatan, Pendidikan dan

Sosial, sudah mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Belum

sepenuhnya dipahami pentingnya mengumpulkan data terpilah serta

kegunaannya untuk melakukan analisis gender, sehingga usaha ke arah

Page 76: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

76

itu belum banyak dilakukan. Beberapa daerah (Kabupaten Sragen dan

Kota Banjarmasin) menyebutkan ketersediaan data terpilah menurut jenis

kelamin pada Kabupaten/Provinsi dalam Angka yang diterbitkan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS) atau pada hasil penerbitan Pusat Studi Wanita

(PSW). Tetapi data tepilah menurut jenis kelamin hasil dari program

maupun yang dikumpulkan untuk perencanaan program di masing-masing

SKPD dan perencanaan daerah pada umumnya hampir tidak pernah

dilakukan. Justru PKK yang telah mempunyai data terpilah untuk

(beberapa) program/kegiatannya.

Depdiknas untuk tingkat sekolah dan Depkes untuk tingkat Puskesmas

rutin mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin sesuai dengan

formulir yang disediakan. Akan tetapi karena tidak ada yang memberikan

penjelasan untuk apa dan mengapa data terpilah itu dilakukan, maka

seringkali data yang sudah terpilah tersebut digabung lagi di tingkat

kecamatan dan ditingkat yang lebih atas.

Permasalahan kurang tersedianya data terpilah menurut jenis kelamin

adalah karena selama ini belum ada keharusan untuk mengumpulkan data

secara terpilah. Persoalan yang lebih besar barangkali juga terletak pada

belum terlembaganya langkah analisis, terlebih lagi analisis gender dalam

proses perencanaan program/kegiatan pembangunan di daerah. Bila

analisis gender diintegrasikan dalam perencanaan program/kegiatan

pembangunan di daerah, maka tentu data-data yang diperlukan akan

dipersiapkan dengan lebih baik, termasuk data yang terpilah menurut

jenis kelamin.

Dengan tidak melembaganya analisis gender dalam proses perencanaan

pembangunan, maka hampir tidak ada data dasar (baseline data) yang

diperlukan untuk menyusun suatu program. Alasan yang juga sering

dikemukakan adalah formulir dari pusat juga tidak mengharuskan data

dipilah menurut jenis kelamin.

SDM yang memahami isu gender dan PUG masih sangat terbatas baik dari

segi jumlah maupun substansi. Meskipun kegiatan capacity building

seperti sosialisasi peningkatan kesadaran gender dan pelatihan analisis

Page 77: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

77

gender dilakukan hampir setiap tahun, akan tetapi tidak ada catatan

berapa sebenarnya jumlah SDM yang pernah ikut pelatihan.

Diakuinya bahwa pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari

pelatihan itu masih dalam tahap wacana, belum mampu dituangkan ke

dalam program/kegiatan pembangunan nyata yang sesuai dengan

tupoksinya. Seperti yang diterangkan di atas, dari hasil uji materi, waktu

dan cara yang diberikan dalam sosialisasi dan pelatihan, memperlihatkan:

a. Dari segi substansi, materi yang diberikan sangat terbatas dan sifatnya

umum, teoritis, dan tidak relevan dengan konteks daerah/ tupoksi.

Dengan kata lain, sosialisasi dan pelatihan kurang memakai materi

yang relevan atau memakai materi dari para peserta sendiri, sehingga

peserta kurang dapat mengenali permasalahannya. Selain itu, materi

yang diberikan tidak memberikan jawaban yang memuaskan terhadap

masalah-masalah yang masih kontroversial ini. Maka dapat dimengerti

jika peserta dalam sosialisasi – bahkan yang sudah ikut berkali-kali –

merasa belum paham dan terlebih lagi mampu melaksanakan PUG

dalam program/kegiatan nyata.

b. Dari sudut waktu yang diberikan biasanya sangat pendek karena

kegiatan ini merupakan kegiatan proyek yang terbatas waktunya.

Misalnya untuk pelatihan analisis gender – yang seharusnya

memerlukan waktu yang lebih banyak – hanya disediakan waktu yang

sama dengan melakukan sosialisasi; sifatnya ad hoc, tidak

berkesinambungan. Muncul kesan bahwa sosialisasi dan pelatihan yang

diberikan selama ini merupakan kegiatan proyek ‘asal telah dilakukan,

tidak jelas bagaimana hasilnya’.

c. Dari sudut metode penyampaian, fasilitator memakai bentuk

komunikasi searah. Tidak memberi waktu yang cukup untuk diskusi isu

di luar materi yang diberikan, meskipun masih relevan.

Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih

dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah-masalah yang

ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua.

Page 78: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

78

Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa)

program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di

beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya

5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di

beberapa program/kegiatan pembangunannya. Kementerian/Lembaga

terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini

yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun

melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya

memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan

pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di

daerah36. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh

lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek

ujicoba ataupun bantuan teknis lainya, melalui Pemda atau SKPD terpilih.

Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari

UNFPA; Provinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten-kabupaten Gowa,

Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg. PP sudah 3 tahun

terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana

stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres

No. 9 tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing-masing

kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai

sesuai dengan masing-masing misi kedeputian.

Dengan dijadikannya Kabupaten Bogor sebagai Kota Tanggap Gender

melalui bantuan dari ADB, maka berbagai kegiatan dan pelatihan

dilakukan yang sifatnya melibatkan banyak stakeholders. Dukungan

politik diwujudkan dalam bentuk SK Bupati No. 460 Tahun 2006 tentang

dibentuknya Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan, setelah

sebelumnya dibentuk Pokja. Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan

melibatkan banyak stakeholders. Selain itu, pada tahun 2007 Kabupaten

Bogor telah melibatkan 27 SKPD dan 10 program dalam pantauan

Bappeda dan Pemberdayaan Perempuan dan 53 focal point gender.

Sosialisasi dan pelatihan gender diberikan untuk SKPD. Misalnya telah

dilakukan sosialisasi gender dan PUG, pelatihan bagi calon fasilitator;

36 Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan,

bahan ajar, dan capacity building.

Page 79: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

79

pelatihan GAP untuk Eselon IV, penyusunan statistik gender (2006). Pada

tahun 2007, kegiatan itu ditambah lagi dengan pengembangan materi KIE

gender, pelatihan untuk Kasi Kecamatan, sosialisasi KDRT, pembuatan

RPK dan pusat pelayanan terpadu, mempersiapkan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam musrenbang yang responsif terhadap isu-isu gender.

Bentuk penguatan kelembagaan di pola kedua meskipun masih banyak

dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan (analisis gender), namun juga

sudah mulai dengan mengaplikasikannya. Selain beberapa program yang

dibawa melalui proyek ujicoba, Departemen juga memberikan block grant

dengan program dan kegiatannya. Depdiknas misalnya memberikan block

grant bagi hampir semua provinsi, kabupaten/kota. Melalui kerjasama

dengan PSW setempat telah melakukan telaah dari perspektif gender

tentang kebijakan pendidikan di daerah yang bersangkutan. Selain itu

SKPD setempat (termasuk provinsi-provinsi Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Jawa barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara)

telah menyusun position paper yang berkaitan dengan isu gender di

bidang pendidikan di daerahnya masing-masing. Berdasarkan position

paper yang mereka siapkan, Depdiknas memfasilitasi pertemuan bagi

daerah untuk membuat rencana kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan

PUG bidang pendidikan di daerah masing-masing. Di beberapa SKPD

seperti Provinsi Jawa Tengah, telah mengeluarkan panduan untuk bahan

ajar yang responsif terhadap isu gender. Beberapa SKPD seperti Dinas

Pertanian di Kabupaten Bogor telah melakukan pengarusutamaan isu

gender ke dalam 3 program dengan 7 kegiatan.

Selain melalui proyek ujicoba, kesadaran akan isu gender dan

peningkatan keterampilan SDM melakukan analisis gender sudah menjadi

kepedulian beberapa Kementerian/Lembaga, seperti terlihat dari block

grant yang disediakan. Meskipun secara umum block grant diperlakukan

sebagai proyek “seperti telah diuraikan di atas” akan tetapi beberapa

SKPD di beberapa daerah telah memanfaatkan dengan baik. Misalnya

Provinsi Jawa Tengah yang telah memanfaatkannya dana block grant dari

Depdiknas dengan menghasilkan panduan bahan ajar yang responsif

gender, pengembangan model Sekolah/Pendidikan Peka Gender.

Page 80: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

80

Kehadiran pilot project dan/atau block grant dimanfaatkan oleh daerah

(Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor) untuk melakukan advokasi

pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan

anggaran yang memadai. Masalahnya adalah tanpa dana block

grant/stimulan, belum dapat dipastikan apakah daerah kabupaten/kota

masih akan meneruskan kegiatan ini atau terhenti. Apakah hasil pelatihan

ditindak lanjuti? Beberapa Pemerintah Daerah (Jawa Tengah, Sumatera

Utara, Jawa Timur, Sumatera Barat) sudah mengalokasi anggaran dari

APBD untuk kegiatan PUG maupun sebagai dana pendamping jika

daerahnya menjadi pilot project.

Seperti halnya di tingkat nasional, perencanaan pembangunan di tingkat

provinsi dan kabupaten/kota juga merupakan kerja kolektif yang

melibatkan berbagai stakeholders baik internal lembaga maupun eksternal

dan juga melibatkan banyak proses. Sehingga program/kegiatan SKPD

yang sudah gender masih harus terus dikawal dan dipertahankan sampai

mendapatkan anggarannya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa

meskipun program/kegiatan yang responsif gender hasil dari pelatihan

maupun pilot proyek sudah terdokumentasi, tidak dengan sendirinya

dapat di implementasi, karena sebab-sebab yang disebutkan di atas.

Pada pola kedua secara struktural tidak berbeda dengan pola pertama.

Beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Tengah,

dan Sumatera Barat, menempatkannya di tingkat Eselon II, sehingga

kehadirannya lebih bermakna dalam melakukan PUG baik secara internal

maupun eksternal. Demikian halnya dengan wadah fungsional; kehadiran

proyek ujicoba yang melibatkan banyak stakeholders, membangun

jejaring yang kuat dan berfungsi. Selain Pokja Gender, terbangun bentuk

jejaring lain seperti Kaukus Legislatif, Forum Pengkajian Pemberdayaan

Perempuan dan Anak, Forum Koalisi Komunikasi Pemberdayaan

Perempuan (Provinsi Sumatera Barat). Contoh lain terlihat di Provinsi

Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Yogyakarta, yang

memiliki sub-sub kelompok kerja yang menangani masalah terfokus,

Page 81: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

81

dalam bentuk gugus tugas atau sub-bidang37. Kelembagaan fungsional ini

lebih berjalan dan berfungsi dalam menangani isu gender, membangun

jejaring dan membangun kepemilikan di antara stakeholders, ketika

wadah struktural Pemberdayaan Perempuan memainkan perannya

sebagai koordinator dan fasilitator.

Di samping payung politik, pada pola kedua umumnya masih ada Surat

Keputusan/Surat Instruksi dari pimpinan yang dikeluarkan berkenaan

dengan adanya proyek ujicoba/kegiatan dekonsentrasi. Surat Keputusan/

Surat Instruksi tersebut menunjuk nama-nama yang terlibat dengan

kegiatan baik secara langsung maupun ex officio. Namun, SK/Surat

Instruksi tersebut hampir tidak tersosialisasi. Oleh karena itu, hanya

orang-orang yang terlibat atau orang yang disebut namanya dalam

SK/Surat Instruksi yang mengetahui dan mendapatkan salinannya.

Karena keterlibatannya dalam proyek ujicoba dan/atau kegiatan block

grant, serta dana stimulan, maka daerah tersebut mempunyai program/

kegiatan yang secara eksplisit memang dirancang agar responsif terhadap

isu-isu gender. Misalnya, Kabupaten Bogor mempunyai program

penyusunan statistik gender, pembuatan RPK dengan Rumah Sakit dan

Pemda.

Keterlibatan dengan proyek juga memungkinkan SDM lebih terlibat

langsung dan lebih intens terpapar dengan analisis gender dan PUG. Akan

tetapi dalam hitungan jumlah, tidak terlalu banyak (sebagian besar

bahkan tidak terdokumentasi). Pada umumnya proyek ujicoba maupun

kegiatan block grant serta dana stimulan bekerja secara ‘eksklusif’, di unit

yang bertanggung jawab terhadap proyek ujicoba, kegiatan blokc grant

atau dana stimulan. Di luar kegiatan-kegiatan tersebut, SDM lainnya, --

termasuk para pimpinan/pengambil kebijakan-- tidak banyak terlibat.

Kekurangan SDM diatasi dengan mengoptimalkan keterlibatan pakar-

pakar gender dari luar, PSW, serta dari LSM.

37 Kedua provinsi yang terakhir tidak termasuk daerah yang dikaji pada tahun 2007, tetapi Provinsi

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang dikaji pada tahun 2005. Tim Kajian juga terlibat dengan beberapa kegiatan evaluasi, antara lain untuk Anugrah Parahita, yaitu anugrah yang diberikan bagi daerah yang melaksanakan PUG dengan baik, dimana beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti Provinsi Sumatera Utara dan DI Yogyakarta, menjadi subyek telaah dan kajian.

Page 82: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

82

Persoalan lain yang berkaitan dengan SDM adalah perpindahan staf yang

terlalu sering terjadi. SDM yang sudah dilatih misalnya bisa menduduki

tempat atau menjadi staf di unit yang dianggap di luar domain gender.

Apalagi ketika staf yang bersangkutan berpindah ke unit lain, seringkali

staf tersebut tidak mengaplikasikan keterampilan analisis gender yang

telah dipelajarinya di tempat yang baru.

Anggaran pada pola kedua ini selain dari dana APBD untuk kegiatan rutin

pemberdayaan perempuan sesuai dengan tupoksi bidang atau seksi, juga

tersedia dana untuk kegiatan piloting ataupun dari APBN melalui block

grant. Salah satu unsur dari kedua kegiatan yang disebutkan belakangan

adalah untuk penyelenggaraan capacity building (sosialisasi, advokasi dan

pelatihan); meskipun masih terbatas dalam lingkungan unit kerja dimana

proyek ujicoba atau kegiatan block grant itu ditempatkan/terlibat.

Ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin masih

merupakan masalah. Bahkan dengan adanya kegiatan pilot proyek yang

sensitif terhadap isu gender, tidak dengan sendirinya ketersediaan,

penggunaan dan pelembagaan data terpilah menurut jenis kelamin ini

menjadi prioritas.

Pola ketiga diwakili oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan

Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam

usaha melaksanakan PUG.38 Dengan atau tanpa bantuan block grant,

dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah

menjadi ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk

disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak

lepas dari tokoh (‘the singer) yang menakhodai kegiatan ini, yang pada

umumnya paham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif,

percaya pada ampuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang

terkait. Selain itu, semua daerah yang termasuk dalam pola ketiga,

menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup

tinggi yaitu Eselon II.

38 Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg. PP

berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing.

Page 83: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

83

Namun harus diakui bahwa sebenarnya secara internal di lingkungan

Pemda sendiri, di luar Biro Pemberdayaan Perempuan, pelaksanaan PUG

tidak terjadi. Program/kegiatan yang berkaitan dengan PUG dianggap

menjadi ranahnya Biro Pemberdayaan Perempuan. Sebenarnya, Biro

Pemberdayaan Perempuan dapat lebih berkiprah secara internal dengan

melakukan sosialisasi/advokasi maupun pelatihan bagi bagian/biro lain di

lingkungan Pemda. Wadahnya dalam struktur yang berada di Eselon II

sangat instrumental untuk melakukan advokasi maupun melakukan

pelatihan untuk mengintegrasikan gender sebagai isu lintas biro, bidang

atau bahkan sektor.

Karena wadahnya dalam struktur cukup tinggi, pola ketiga, pada

umumnya menyiapkan anggaran yang secara eksplisit diperuntukkan bagi

pemberdayaan perempuan dan pelaksanaan PUG. Bahkan jumlah

anggaran dari APBD, semakin tahun semakin meningkat (di Provinsi

Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah). Di tingkat kabupaten,

Kabupaten Sidoarjo masuk dalam kategori pola ketiga ini.

Program dan kegiatan di pola ketiga ini lebih eksplisit menangani isu

gender. Sesuai dengan tupoksinya, Biro Pemberdayaan Perempuan Pemda

Provinsi Sumatera Utara misalnya, memfasilitasi dan memanfaatkan

jejaring dari segi implementasinya. Sebagai contoh, memfasilitasi LSM

untuk membuka Rumah Singgah Korban Kekerasan/Trafficking di Medan;

memfasilitasi rumah lansia mandiri di Binjai.

Tim Koordinasi Pokja Gender di Pola ketiga juga sudah lebih melembaga

dan berfungsi. Pertemuan rutin serta komunikasi antar anggota Pokja

cukup intensif. Tim Koordinasi melibatkan sektor-sektor terkait dan

masyarakat madani yang dibagi ke dalam beberapa pokja dan bekerja

dengan fokus pada masing-masing isu yang telah disepakati untuk

ditangani dengan perspektif gender. Prioritas isu ditentukan atas dasar

analisis sesuai dengan masalah-masalah lokal yang ditangani bersama.

Provinsi Sumatera Utara misalnya mengambil prioritas dengan fokus

KDRT, Trafficking dan pekerja anak; Provinsi Jawa Tengah mengambil

Page 84: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

84

fokus pada wajib belajar39. Dengan memberi fokus pada masalah nyata

(yang mengandung isu gender yang pekat) hasil dari kesepakatan dari

para stakeholders terkait, serta kerja dan hasil yang nyata dari jejaring

gender, maka pro dan kontra tentang isu gender menjadi tidak relevan.

Karena isu gender ditangani, diintegrasikan ke dalam program/kegiatan,

tanpa harus selalu menyebut-nyebut kata gender.

Pada tahapan pola ketiga, perubahan-perubahan dalam hal persepsi

mengenai gender dan PUG juga diperlihatkan dalam banyak hal. Di

Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah dan juga di Kabupaten

Sidoarjo misalnya, kalangan eksekutif maupun legislatif sudah mulai

memberi perhatian pada isu gender pada umumnya dan PUG pada

khususnya. Para responden dari kalangan eksekutif di Provinsi Sumatera

Utara misalnya mengutarakan bahwa banyak pertanyaan-pertanyaan dari

beberapa anggota DPRD di Komisi E mengenai program/kegiatan yang

berkaitan dengan PUG di SKPD masing-masing. Oleh karenanya, kalangan

eksekutif juga harus mempersiapkan jawaban dan alasan-alasannya, yang

pada gilirannya ‘memaksa’ untuk memahami dan menangani isu gender

ini dengan baik. Meskipun pemahaman yang keliru tentang gender di

kalangan eksekutif dan yudikatif masih ada, akan tetapi bentuk tidak

setuju yang konfrontatif sudah melemah. Sebaliknya, contoh konkrit

dukungan terhadap PUG diperlihatkan oleh pimpinan dan anggota DPRD

Komisi E Provinsi Sumatera Utara; demikian pula halnya dengan komisi

yang menangani anggaran. Hal ini terlihat dari jumlah anggaran untuk

melaksanakan PUG selalu bertambah dari tahun ke tahun; juga terjadi di

Provinsi Jawa Tengah.

Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pemda Provinsi Sumatera Utara serta

Provinsi Jawa Tengah dapat menjadi contoh best practise bagaimana Biro

Pemberdayaan Perempuan menempatkan kedudukannya sesuai dengan

tupoksinya, yaitu sebagai fasilitator, koordinator dan motivator/advokasi.

Peran itu bukan saja diakui oleh anggota Pokja, tetapi juga oleh

masyarakat umum. Seperti dalam kasus trafficking dan KDRT, Biro

Pemberdayaan Perempuan sering menerima pengaduan/laporan langsung

39 Di beberapa tempat yang tidak masuk daerah kajian, seperti DI Yogyakarta, Kabupaten Tanah

Datar, juga memberikan prioritas pada beberapa fokus yang akan menjadi target PUG.

Page 85: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

85

dari anggota masyarakat melalui on line yang dibuka untuk keperluan

tersebut. Akan tetapi dalam penanganannya diserahkan pada masing-

masing gugus tugas yang bertanggung-jawab untuk menangani. Dalam

menangani kasus KDRT maupun trafficking, melibatkan lintas unit, lintas

instansi, Perguruan Tinggi (PSW) dan masyarakat madani, sehingga tanpa

mereka menyadari sebenarnya mereka telah melakukan PUG dalam

bentuk nyata. Peran dan fungsi Pemda cq Biro Pemberdayaan Perempuan

sebagai koordinator dan fasilitator serta melakukan advokasi semakin

diakui. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Biro Pemberdayaan

Perempuan Pemda Provinsi Sumatera Utara, ‘surat dari Biro PP sudah

cukup untuk menggerakkan instansi lain yang terkait utuk bergerak’.

SDM Biro Pemberdayaan Perempuan yang paham dan dapat melakukan

PUG masih sedikit. Kebanyakan yang sudah paham dengan isu gender

maupun analisis gender adalah Eselon III dan 4, yaitu mereka yang sering

mengunjungi seminar, terpapar dengan pelatihan (analisis) gender, atau

terlibat aktif dalam kegiatan proyek ujicoba atau block grant. Akan tetapi

karena pergantian staf/pejabat cukup sering, maka kemampuan yang

diperoleh belum melembaga. Masih banyak pimpinan/pejabat/perencana/

staf yang kurang memahami PUG. Bahkan masih banyak pejabat/staf di

luar Biro Pemberdayaan Perempuan yang tidak pernah mengetahui

adanya Inpres No. 9 Tahun 2000. Atau payung hukum tentang

pelaksanaan PUG yang dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota.

Seperti juga dengan kedua pola lainnya, ketersediaan serta penggunaan

data terpilah menurut jenis kelamin belum menjadi prioritas di pola

ketiga. Patut diduga bahwa masalah mendasar tidak terlembaganya data

terpilah ini ada kaitannya dengan tidak melembaganya penggunaan data

–apalagi data terpilah— untuk tujuan analisis maupun perencanaan.

Beberapa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Provinsi Sumatera Utara

dengan difasilitasi oleh Biro Pemberdayaan Perempuan sudah memulainya

dengan mengharuskan data dan informasi yang terkumpul terpilah

menurut jenis kelamin.

Menindaklanjuti evaluasi 2005 yang lebih menitikberatkan pada

ketersediaan prasyarat untuk melaksanakan PUG, maka kajian kali ini

Page 86: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

86

lebih berfokus pada implementasi ke 5 prasyarat tersebut. Tim Kajian

membagi pelaksanaan PUG ke dalam 3 pola. Akan tetapi pembagian pola

itu tidak dimaksudkan untuk membuat klasifikasi yang kaku, namun lebih

dimaksudkan untuk keperluan diskusi. Karena dalam kenyataannya,

unsur-unsur serta kasus-kasus yang ada tidak eksklusif kepunyaan atau

terjadi di pola tertentu. Bisa saja unsur yang ada di pola satu juga

terdapat di pola dua atau di pola tiga; demikian pula sebaliknya.

Fenomena lain adalah kelengkapan prasyarat untuk melakukan PUG, tidak

berjalan liner dengan pelaksanaan PUG. Dari uraian di atas

memperlihatkan bahwa meskipun prasyarat untuk melaksanakan PUG

belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi di beberapa daerah sudah melakukan

implementasi PUG; sebaliknya meskipun prasyarat belum terpenuhi

semuanya, PUG sudah dilaksanakan dengan cakupan yang terbatas.

3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota

Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan

belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan

kesungguhannya. Desentralisasi yang efektif diimplementasikan per

tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap

pelaksanaan PUG di daerah. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa

limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara itu,

pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Kemudian, detail

prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum

tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132

Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam

Pembangunan Daerah.

Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan

menyikapi pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai

gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program

yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu, dalam

struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama-sama dengan

program-program lain pada satu unit kerja (Eselon IV atau III). Karena

karena pemahaman yang kurang tersebut, maka umumnya gender dan

Page 87: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

87

PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan.

Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004-2008 yang menekankan

PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke

dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada

beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam

proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang

mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di Eselon II.

Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang kedua-duanya

relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan

pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang.

Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di

daerah sudah berjalan sebagaimana diharapkan, mengingat umur

keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir

penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalannya pelaksanaan

PUG di daerah.

Akan tetapi ada beberapa lessons learned yang harus dicermati:

• pemahaman yang masih sering keliru tentang pelaksanaan

desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi

program atau bahkan menjadi kegiatan.

• Karena kegiatan sosialisasi gender dan pelatihan keterampilan

menganalisis gender diperlakukan seperti proyek dengan waktu

pelatihan yang kurang memadai, maka hasilnya adalah rendahnya

pemahaman mengenai gender dan isu gender dan kurangnya

keterampilan melakukan analisis gender dengan baik dan benar.

• Dukungan politik untuk melaksanakan PUG (SK Gubernur, Bupati,

Walikota) tidak cukup tersosialisasi.

• Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih menjadi

masalah. Meskipun kenyataan ini sudah ditengerai selama beberapa

tahun belakangan ini baik di tingkat nasional maupun di tingkat

daerah, akan tetapi hampir tidak ada usaha untuk menanggulanginya.

Demikian pula halnya dengan pemutahiran data. Konsekuensinya

adalah kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak

Page 88: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

88

berdasarkan data, khususnya data dan informasi yang terpilah

menurut jenis kelamin. Diusulkan untuk memulainya dengan

mengumpulkan data (terpilah menurut jenis kelamin) dari

kegiatan/program yang sedang ditangani. Bersamaan dengan itu diberi

keterampilan bagaimana mengumpulkan dan mengunakan data

terpilah bertolak dari kegiatan program yang ditangani.

• persoalannya bukan semata-mata karena masih rendahnya

keterampilan untuk melakukan analisis gender dan

mengintegrasikannya ke dalam perencanaan pembangunan, akan

tetapi isu kritis di sini adalah keharusan melakukan analisis sebenarnya

masih belum melembaga.

• proses perencanaan program pembangunan sampai mendapatkan

anggaran dan implementasinya, adalah proses yang panjang dan

melibatkan banyak pihak, yang seringkali di luar ‘jangkauan

perencana’ (musrenbang, SKPD, anggota DPRD termasuk yang

menentukan anggaran untuk menyebut beberapa diantaranya). Isu

kritis di sini adalah bahwa yang tepapar dengan isu gender dan yang

memiliki keterampilan melaksanakan PUG melalui sosialisasi dan

pelatihan (dengan segala kekurangan yang telah disebutkan di atas),

bukan selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan itu, bisa

jadi juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan;

bukan juga orang yang bisa mengawal keseluruhan proses

perencanaan program pembangunan. Sehingga apa yang sering terjadi

adalah meskipun beberapa perencanaan progam/kegiatan sudah

mengintegrasikan isu gender, bahkan sudah terdokumentasi, tidak

dengan sendirinya dapat diimplementasikan. Sosialisasi dan advokasi

serta pengawalan harus terus dilakukan secara tepat (sasaran dan

waktu).

• Di beberapa provinsi, kabupaten/kota yang dikaji, fokus PUG masih

terlalu luas dan bersifat umum. Dengan segala kekurangan yang

dihadapi daerah untuk melaksanakan PUG, masa isu kritis di sini

adalah pelaksanaan PUG yang berpotensi gagal. Beberapa daerah

menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu

strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi

Page 89: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

89

Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT), hak asasi anak, serta trafficking.

Melaksanakan PUG (di beberapa) program yang konkrit dan yang

dapat diukur keberhasilannya dalam waktu dekat dan yang dapat

menjadi show case. Misalnya ketersediaan data terpilah; program yang

menjadi prioritas daerah/lembaga.

• Meskipun Pokja Gender sudah ada di seluruh daerah yang dikaji, tetapi

tidak semuanya berfungsi. Misalnya di beberapa daerah tidak ada

agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin) setelah Pokja terbentuk.

Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan

Provinsi Jawa Tengah, Pokja sudah berfungsi dengan baik, sesuai

dengan tujuan membuat Pokja. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya,

Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus-tugas sesuai dengan isu yang

ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih

jelas dan terukur dalam menangani permasalahan. Bentuk

kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal

maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan

beragam.

Secara de Jure, prasyarat untuk melaksanakan PUG sudah ada, tetapi

pada tatanan praksis, PUG berjalan lambat dan belum/tidak dilaksanakan

secara tepat. Beberapa faktor penyebab adalah:

a. Dukungan Politik masih di tingkat wacana, masih ada kesulitan untuk

menterjemahkannya ke dalam perencanaan pembangunan;

b. Dukungan politik baru pada level eksekutif; dukungan legislatif belum

terlihat dukungan mereka diperlukan dalam perencanaan

pembangunan/perencanaan anggaran. Perencanaan pembangunan

adalah proses politik; melibatkan proses yang panjang dan banyak

stakeholders (eksekutif, legislatif, masyarakat madani) yang belum

tentu responsif terhadap isu gender dalam pembangunan.

c. Pemahaman PUG belum tuntas, perubahan lain terjadi dengan

diaplikasikannya otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999; UU. 23

Page 90: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

90

tahun 1999) berimplikasi pada status kelembagaan yang menangani

PUG, yaitu reduksi kewenangan.

d. Pemahaman gender dan PUG yang masih rancu:

• menyamakan dengan (keperluan) perempuan sudah ada

program (PKK, P2WKSS); sudah ada yang menangani Biro/Unit/

seksi PP

• memandang gender dan PUG terlalu teoritis dan sulit dipahami,

menjadi beban

• tidak relevan dan terkait dengan keperluan sektor/program

karena tidak disosialisasi secara tepat dan benar

e. Dampaknya Isu Gender dalam perencanaan pembangunan:

• tidak diterima secara utuh

• tidak konsisten dilaksanakan

• tidak diperlakukan sebagai isu lintas bidang/unit kerja/program

• pemahaman tereduksi sebagai program atau proyek khusus

perempuan, menjadi ranah biro/unit/program yang menangani

perempuan

• tidak prioritas

Page 91: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

91

BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN:

KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH

Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan

program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari

beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/

Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa

program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity

building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan Kemeneg. PP di tahun

2001-2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam

REPETA (2001-2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (2001-

2004), tercatat 38 program pembangunan – yang merupakan tanggung

jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut – yang sudah responsif

terhadap isu gender.40

Akan tetapi dengan adanya peralihan rencana pembangunan dari

PROPENAS (2001-2004) menjadi RPJMN (2004-2009), maka ke-38

program pembangunan dalam REPETA 2004 yang sudah dibuat responsif

gender itu mengalami perubahan dalam penyusunan RPJMN 2004-2009.

Sebagai akibatnya, hampir tidak ada program RPJMN 2004-2009 yang

tertuang dalam RKP yang secara eksplisit responsif terhadap isu gender.

Padahal disebutkan secara jelas dalam RPJMN 2004-2009 bahwa gender

merupakan salah satu dari empat isu yang harus di arus-utamakan dalam

perencanaan program pembangunan41.

Bertolak dari kenyataan ini, BAPPENAS dan Kemeneg. PP memandang

perlu untuk melanjutkan PUG dalam perencanaan program pembangunan

seperti yang diamanatkan oleh Inpres No. 9 Tahun 2000 dan RPJMN

2004-2009. Untuk keperluan tersebut Bappenas dan Kementerian

Pemberdayaan Perempuan kembali memfasilitasinya pada 18 Kementerian

40 Lihat Bab 1 41 Lihat RPJMN 2004-2009 Bab 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta

Kesejahteraan dan Perlindungan Anak

Page 92: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

92

terpilih42. Mengingat luasnya cakupan yang harus dilakukan, telah

disepakati untuk memulainya dengan beberapa program prioritas atau

beberapa tema yang dipilih sendiri oleh Kementerian/Lembaga yang

bersangkutan. Dalam melakukan analisis gender terhadap program/

kegiatan tersebut akan menggunakan alat analisis Gender Analysis

Pathway (GAP).

4.1. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini

adalah: (1) Kementerian/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan)

program pembangunan yang responsif gender; (2) adanya transfer of

knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus

dimaksudkan sebagai bagian dari capacity building melalui learning by

doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke

dalam program-program kegiatan mereka sendiri; (3) membangun

kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan

keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa

kepemilikan (sense of ownership); dan (4) membangun jejaring, sebab

bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring

kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG.

4.2. Proses Analisis

Kegiatan analisis gender dirancang dalam bentuk suatu lokakarya

pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga

peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH,

Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos)

adalah “alumni” dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas-KPP 2001-2002.

Peserta dari masing-masing Kementerian/Lembaga yang diundang

sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang

berkaitan dengan perencanaan program. Masing-masing membawa dan

bekerja dengan program/kegiatan atau tema yang dipilih

Kementerian/Lembaganya. Beberapa Kementerian/Lembaga peserta

42 Ke-18 Kementerian/Lembaga tersebut adalah: Kemeneg. PAN, Kemeneg. Ristek, Kemeneg. LH,

Kemeneg. KUKM, Dephukham, Depdagri, Depdiknas, Depkes, Deptan, DKP, Depnakertrans, Depsos, BKKBN, LAN, BKN, MA, POLRI, dan Kejagung.

Page 93: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

93

lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1)

Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber

Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program

Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3)

Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil,

dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan

Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan

(Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Inisiatif

Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan); 5) Kemeneg. KUKM

(Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6)

Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga

Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia

Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan

kepemerintahan).

Dengan demikian diharapkan setelah selesai pelatihan, mereka sudah

memiliki rancangan program kegiatan yang responsif terhadap isu-isu

gender. Atau sedikitnya, mempunyai konsep yang akan ditindaklanjuti.

Peserta lokakarya dari ke-16 sektor yang datang mengikuti pelatihan,

dibagi dan bekerja ke dalam 3 kelompok43.

Dalam kenyataanya, peserta yang datang ke lokakarya dimaksud adalah

mereka yang mewakili atau tidak selalu berasal dengan latar belakang

perencanaan. Beberapa Kementerian/Lembaga hanya mengirim satu

orang peserta. Hanya beberapa Kementerian/Lembaga membawa hasil

analisis yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi sebagian besar

peserta tidak membawa data dan atau program/kegiatan yang akan

dianalisis. Secara keseluruhan, lokakarya tidak berjalan seperti yang

diharapkan. Adapun sebabnya, antara lain adalah keterbatasan dalam hal:

Waktu

Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan

peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan-kesibukan rutin dan

yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing-masing, membuat waktu

mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah

43 Ada dua Kementerian, yaitu wakil dari Depdagri dan Kemeneg. PAN tidak mengirimkan wakilnya.

Page 94: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

94

ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga

diputuskan masing-masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya

dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya

untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian

dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian

luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga

terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah

mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga

waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang

tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing-masing

untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada

fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak

semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil

program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran).

Peserta

Ada 2 Kementerian/Lembaga (Kemeneg. PAN dan Depdagri) yang tidak

mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada

wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya.

Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari

Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi

tidak selalu orang yang tepat. Pemahamaan tentang gender dan

analisisnya juga masih terbatas, sehingga harus dilakukan penjelasan

mengenai konsep-konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu

dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian

untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan

demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang

memang sudah terbatas itu. Akibatnya hasil analisis gender menjadi

kurang optimal.

Fasilitator

Fasilitator yang tersedia untuk lokakarya selama 3 (tiga) hari hanya 2-3

orang untuk memfasilitasi para peserta dari 16 Kementerian/Lembaga.

Sebagian besar Kementerian/Lembaga mengirimkan wakil lebih dari 1

orang, sehingga perbandingan antara peserta dan fasilitator kurang

Page 95: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

95

seimbang dan kurang memadai. Keterbatasan ini turut mengurangi

effectiveness lokakarya, sebab para peserta harus antri dalam

mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. Selain itu,

diskusi yang lebih mendalam dengan fasilitator terutama dalam aspek

analisis faktor-faktor kesenjangan gender menjadi sangat terbatas

waktunya.

Materi

Masing-masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/

kegiatan ataupun kebijakan yang dipilih berikut data-data yang

diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta

membawa program/ kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang

berkaitan dengan PUG dan menyajikannya berserta piranti analisis gender

GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender

GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka bekerja

dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih

memerlukan perbaikan-perbaikan.

4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih

Dari hasil lokakarya sehari melakukan analisis gender pada

program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga,

memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam

melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara

kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose)

sumber daya manusia/kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan

analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga

antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg. KUKM,

Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi -kecuali

LAN- adalah ‘alumni” dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh

Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support

Project II (2001-2002). Namun demikian, tidak semua

Kementerian/Lembaga ‘alumni’ piloting PUG tersebut melanjutkan

Page 96: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

96

keterampilan yang sudah didapat sebelumnya. Kemeneg. LH dan

Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG

Bappenas-KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam

lokakarya.

Seperti disebutkan pada BAB 2, banyak faktor kendala yang dihadapi

Kementerian/Lembaga dalam mengupayakan pelaksanaan PUG. Tetapi

faktor utama yang ingin digaris-bawahi disini adalah dukungan nyata dan

ajeg dari pimpinan termasuk pimpinan unit kerja. Dari Kementerian/

Lembaga yang dinilai siap dan cukup berhasil dalam melaksanakan PUG

analisis gender, semuanya memiliki tokoh pimpinan (gender champion)

yang secara ajeg mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan PUG. Paling

tidak menjadi ‘motor’ di unitnya masing-masing. Hal ini biasanya juga

ditandai dengan berfungsinya dua mekanisme penting dalam

melaksanakan PUG yaitu Pokja Gender dan sumber daya manusia yang

terampil melakukan analisis gender.

4.4. Best Practice

Sebagai best practice dalam melaksanakan PUG, bagian ini akan membagi

pengalaman dari 3 Kementerian/Lembaga, yaitu Departemen Kesehatan,

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pertanian.

a. Departemen Kesehatan. Menindaklanjuti Inpres No. 9 tahun 2000

Menteri Kesehatan menerbitkan SK Menkes RI No. HK.00.SJ.SK.I.1712

tanggal 13 September 2002 tentang Tim Pengarusutamaan Gender

Depkes dengan Ketua (Pengarah) Dirjen Binkesmas dan Focal point

(Pelaksana) Direktur Bina Kesehatan Keluarga (Ketua) dan Kepala Biro

Perencanaan dan Anggaran (Wakil Ketua).

Setelah PUG dilaksanakan selama empat tahun diterbitkan SK Menkes

yang baru untuk mengakomodasi perkembangan yang ada, yaitu bahwa

PUG telah dan akan dikembangkan ke seluruh unit utama di Depkes.

Kalau pada awal pelaksanaan PUG terkesan terpusat di Direktorat

Jenderal Binkesmas, maka pada tahun 2006 PUG dilaksanakan oleh

semua unit utama. Di dalam SK No. 878/Menkes/SK/XI/2006 ditetapkan

adanya 11 Focal point di 11 Unit Utama, dengan Kepala Biro Perencanaan

Page 97: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

97

dan Anggaran sebagai Koordinator Perencanaan PUG dan Direktur Bina

Kesehatan Ibu sebagai Koordinator Pengembangan PUG. Dengan demikian

semua pejabat Eselon I mempunyai seorang Focal point (salah seorang

pejabat Eselon II) untuk mengembangkan dan memantau pelaksanaan

program-program responsif gender di lingkungannya, yang jumlahnya

makin banyak.

Dalam mengembangkan strategi pengarusutamaan gender sesuai Inpres

No. 9 tahun 2000, sejak awal Depkes telah menetapkan piranti GAP guna

menganalisa program-program pembangunan kesehatan untuk dijadikan

responsif gender. Dengan bantuan narasumber gender dari luar Depkes

dilakukan sosialisasi, advokasi dan pelatihan gender (termasuk GAP)

kepada para perencana dan penanggung jawab program di lingkungan

Depkes secara terencana dan berkelanjutan dari tahun ke tahun. Pada

Repeta 2003, 6 program/sub-program prioritas telah berhasil dijadikan

responsif gender, yaitu Making Pregnancy Safer (MPS), Tuberkulosis,

Malaria, HIV/AIDS, Gizi, dan Kesehatan Lingkungan. Pada Repeta 2004,

program/sub-program yang digenderkan berjumlah 17 buah, dan pada

Repeta 2006 menjadi 34 program/sub-program.

Secara bertahap Depkes juga mengadakan sosialisasi dan advokasi

gender dan PUG kepada para perencana dan penanggung jawab program

di Provinsi. Untuk membantu kelancaran dan sustainabilitas pelaksanaan

PUG di Pusat maupun di Provinsi, telah dibentuk Kelompok Fasilitator

PUG-BK (PUG Bidang Kesehatan) tingkat Nasional, tingkat Pusat dan

Provinsi (33 orang).

Dalam pengembangan PUG ini Depkes juga difasilitasi oleh Bappenas dan

KPP, serta dukungan teknis dari lembaga donor. Beberapa dokumen yang

telah dihasilkan antara lain: 1) Panduan PUG-BK (2002), Analisis Gender

dalam Pembangunan Kesehatan dan Berbagi Pengalaman (2002 – Depkes

kerjasama Bappenas dan CIDA), 3) Panduan Pelayanan Kesehatan

Responsif Gender bagi Petugas Kesehatan (2005 – Depkes kerjasama

AusAID), 4) Modul Pelatihan PUG-BK, Depkes kerjasama WHO-SEAR).

Selanjutnya, untuk ke depan telah direncanakan beberapa kegiatan yaitu:

1) Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam program Depkes di

Page 98: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

98

RPJMN yang akan datang; 2) Menyusun/memantapkan data terpilah

menurut jenis kelamin dari data Susenas; 3) Menyusun rencana aksi

nasional (RAN) PUG-BK 2007-2009, 4) Menyusun rencana kerjasama

dengan lembaga donor guna mendukung rencana aksi PUG-BK, 5)

Meningkatkan kampanye PUG-BK, dan 6) Memperkuat pemantauan dan

evaluasi PUG-BK.

b. Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas) termasuk dalam piloting PUG yang difasilitasi oleh Bappenas,

KPP dan Women Support Project II – CIDA (2001-2002). Departemen ini

juga menjadi bagian dari program global UNESCO, Education for All

(2000) dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan PUG. Depdiknas

menyadari kurangnya kapasitas lembaga tersebut, mulai dari pemegang

keputusan, peneliti, perencana, pengelola, hingga pelaksana program dan

stakeholder lainnya, maka untuk melaksanakan PUG di bidang pendidikan

sejak 2003 difokuskan pada peningkatan capacity building dengan materi

yang relevan dan nyata. Kegiatan capacity building ini mencakup: 1)

pengembangan kebijakan dan program yang responsif gender; 2)

pengembangan peraturan, kelembagaan, dan mekanisme yang

mendukung pelaksanaan PUG bidang pendidikan; 3) pengembangan

kualitas SDM untuk meningkatkan komitmen dan dukungan terhadap

pelaksanaan PUG di bidang pendidikan dan meningkatkan keterampilan

melakukan analisis gender.

Untuk operasionalisasinya dibentuk Tim Pokja Gender yang terdiri dari

berbagai unsur, selain internal juga melibatkan Dinas terkait (Biro Pusat

Statistik) Pusat Studi Wanita, LSM yang menangani gender dan

pendidikan, serta pakar gender. Tim Pokja diketuai oleh Direktur

Pendidikan Luar Sekolah dan dibantu oleh Tim Sekretariat. Pada mulanya

(2003), kegiatan PUG bidang Pendidikan bertempat di Direktorat

Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sehingga menimbulkan kesan PUG

merupakan kegiatan Direktorat PLS. Akan tetapi dengan dikeluarkannya

SK Menteri Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang Pembentukan

Kelompok Kerja PUG Bidang Pendidikan maka diperjelas bahwa PUG

bidang pendidikan dilaksanakan di semua unit utama. Di dalam SK

tersebut, Sekjen ditetapkan sebagai Ketua Pokja dan Direktur Jendral PLS

Page 99: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

99

sebagai Focal point Gender dan Direktur Pendidikan Non Formal dan

Informal (PNFI) sebagai wakilnya. Dengan perkembangan yang baru ini

hampir seluruh unit utama telah melakukan sosialisasi Gender dan PUG

bidang pendidikan.

Suatu kerangka kerja untuk PUG bidang Pendidikan telah disusun,

lengkap dengan focus kegiatan (capacity building, Studi Kebijakan,

Kemitraan dengan LSM, Penguatan Stakeholders, Pengembangan data

terpilah dan Website serta KIE); metode penyampaian sesuai dengan

sasaran target. Untuk Penguatan capacity building melalui lokakarya,

Round Table Discussion; Focus Group Discussion; Studi Kebijakan

dilakukan bermitra dengan PSW; Pengembangan Model Pendidikan

alternative bermitra dengan LSM; Penguatan Stakeholders bermitra

dengan Penerbit/Penulis/Satuan pendidikan/stakeholders, termasuk

pengembangan bahan ajar serta metode ajar-mengajar yang peka

terhadap masalah gender; pengembangan database yang memasukkan

data terpilah menurut jenis kelamin dan website, serta pengembangan

KIE untuk mempromosikan gender dalam bidang pendidikan. Hasil dari

ke-5 kegiatan tersebut saling melengkapi dan mendukung pelaksanaan

PUG bidang pendidikan.

Kegiatan capacity building ini juga dilakukan di daerah secara bertahap, di

tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tiga tahun terakhir ini Depdiknas

memberikan block grant kepada daerah dengan mengacu pada kerangka

kerja PUG bidang Pendidikan telah disusun dengan keperluan/keadaan

daerah. Dengan difasilitasi oleh Tim Pokja Nasional, daerah diminta untuk

menyusun position paper mengidentifikasi isu gender di bidang pendidikan

di daerah masing-masing. Berdasarkan position paper tersebut rencana

kerja PUG bidang Pendidikan di daerah masing-masing disusun. Secara

berkala diadakan pertemuan antara daerah dengan Tim Pokja Nasional,

untuk mendiskusikan kegiatan PUG bidang pendidikan yang didanai oleh

APBN. Beberapa penyandang dana internasional, seperti AusAID juga

tertarik untuk mengembangkan pilot model pendidikan berperspektif

gender di daerah. Beberapa provinsi seperti Jawa Tengah bahkan telah

memulai dengan mengembangkan sekolah yang berperspektif gender.

Page 100: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

100

Patut disebutkan di sini bahwa perkembangan PUG bidang pendidikan di

beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Timur,

sudah berjalan dengan baik, dengan dukungan dan komitmen dari

pemerintah daerah, seperti terlihat ketersediaan dana pendamping dari

APBD untuk kegiatan PUG, didukung oleh SDM yang terampil dan tim

Pokja gender yang fungsional.

4.5. Beberapa Isu Kritis

Tujuan utama dari lokakarya pelatihan analisis gender bagi

Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan

yang responsif gender. Hasil lokakarya memperlihatkan beberapa

program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus

disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan-perbaikan.

Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu

kritis ditengarai:

• Diseminasi dan ’pengawalan’ program/kegiatan yang sudah

digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu

langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program. Jadi

program/kegiatan yang sudah dianalisis dan dianggap baik, masih

memerlukan langkah-langkah untuk dapat menjadi operasional, antara

lain melalui:

o Diseminasi di internal lembaga, dengan biro perencanaan, para

pengambil keputusan, pemegang program, unit-unit lain yang

terkait untuk mendukung dan menerima program/kegiatan yang

sudah responsif gender tersebut. Karena sering ada kesalahan-

pemahaman seolah-olah program/kegiatan yang sudah dibuat

gender responsif itu sebagai program/kegiatan yang baru.

o Pengawalan dalam proses-proses selanjutnya. Di tingkat nasional,

yaitu ketika dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, komisi

yang menangani program dan menangani anggaran. Di tingkat

daerah, pengawalan diperlukan ketika pertemuan Bappeda dengan

SKPD, karena saat itulah kemungkinan program/kegiatan itu

Page 101: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

101

‘hilang’ atau tidak menjadi prioritas. Sebab itu advokasi juga

diperlukan dengan para anggota Dewan yang relevant.

• Perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme

perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan

terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender

pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami

rancu, seolah-olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi

gender responsif, PUG telah dilaksanakan.

• Melibatkan banyak aktor. Tahapan-tahapan sebelum dan sesudah

melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu

sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab

itu membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang

sudah responsif gender itu menjadi penting.

Page 102: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

102

BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

Instruksi presiden No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor

pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG),

merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk

mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Asasi

Manusia dan Keadilan Sosial.

Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden

tersebut telah cukup banyak hasil yang dicapai, akan tetapi masih lebih

banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan

PUG dalam pembangunan bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta

Kabupaten/Kota yang dikaji telah memiliki empat atau lima unsur ideal

(dukungan politik, kelembagaan PUG, program yang responsif gender,

data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan sumber daya

manusia dengan keterampilan melaksanakan PUG) yang diperlukan untuk

melaksanakan PUG. Selain itu, sosialisasi gender relatif sering dilakukan,

bahkan beberapa Kementerian/Lembaga sudah menyelenggarakan

pelatihan analisis gender.

Ironisnya, hasil kajian ini –dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih

dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007–

mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga)

maupun di tingkat Provinsi/Kabupaten/ Kota, ditemukan beberapa

masalah utama yang menghambat/ memperlambat PUG.

Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah

Kementerian/Lembaga yang sudah melaksanakan pelatihan analisis

gender, namun pemahaman sebagian besar para pejabat

Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang,

Page 103: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

103

bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya

pemahaman tentang beberapa konsep dasar, seperti ‘gender’ dan

kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama dengan perempuan;

kerancuan dalam penggunaan istilah-istilah keadilan gender, kesetaraan

gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.

5.2. Rekomendasi

Meskipun sering sosialisasi dan pelatihan-pelatihan gender oleh masing-

masing Kementerian/Lembaga yang dikaji, bahkan hingga tingkat daerah,

namun pengetahuan mengenai konsep gender masih pada tataran

wacana. Hal ini diakui sendiri oleh hampir seluruh responden, bahwa

pengetahuan mereka masih sebatas teori. Hasil kajian mengidentifikasi

bahwa pengetahuan yang mereka dapatkan seringkali masih berupa

penggalan-penggalan dari suatu proses PUG yang seringkali tidak terkait

dalam konteks. Hal ini berkaitan dengan materi pelatihan, metode

penyampaian, kejelasan maksud dan tujuan, serta kompetensi fasilitator

saat diselenggarakannya sosialisasi dan pelatihan. Oleh sebab itu,

alangkah baiknya bila secara berkala dilakukan evaluasi dampak

dan metode sosialisasi pelatihan gender. Lebih dari itu, evaluasi

PUG kiranya perlu dilakukan dalam kurun 2-3 tahun sekali guna

menjaga kesinambungan keberhasilan, proses dan pelaksanaan

PUG di masing-masing Kementerian/Lembaga maupun dalam

lingkup Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dengan hasil evaluasi pelaksanaan PUG yang telah dilakukan, nampak

nyata bahwa payung hukum pelaksanaan PUG hanya dengan Instruksi

Presiden belum cukup efektif untuk mendorong Kementerian/Lembaga

dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan PUG dan menjadikan analisis

gender sebagai bagian penting dalam proses perencanaannya.

Diperlukan upaya penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat

nasional maupuan daerah dengan regulasi yang lebih memadai.

Inpres No. 9 tahun 2000 tidak menjelaskan dengan jelas bagaimana

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebaiknya melaksanakan

Page 104: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

104

PUG, dan sejauh mana pelaksanaannya dapat dikatakan berhasil. Sebagai

akibatnya, masing-masing Kementerian/Lembaga melakukan PUG tanpa

ada sasaran capaian yang jelas, dan hasilnya adalah tingkat keberhasilan

yang rendah. Untuk meningkatkan efektivitas PUG, diperlukan

suatu perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci

kegiatan-kegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam

kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Masalah berikut yang banyak temui adalah kelangkaan data terpilah

menurut jenis kelamin, hal ini menghambat efektivitas pelaksanaan PUG.

Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua

Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD. (lihat tabel di bawah)

Kendala lain adalah keberagaman pemahaman mengenai teknis

pelaksanaan PUG. Saat ini sudah cukup banyak manual, panduan teknis,

dan checklist berkaitan dengan cara/pelaksanaan PUG. Hampir semua

responden percaya bahwa learning by doing merupakan cara yang efektif

dapat melaksanakan PUG. Akan tetapi keberagaman piranti tersebut

justru membingungkan, atau kemudian digunakan tidak secara tepat.

Untuk itu sebaiknya KPP –didukung oleh Bappenas dan pakar

gender– dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada, dan

melengkapinya dengan penjelasan. Misalnya, mengenai sejarah

pembuatan piranti, tujuan dan kegunaannya, apakah

penggunaannya lebih tepat untuk analisa dalam perencanaan atau

pelaksanaan, atau pemantauan dan evaluasi, pengumpulan data,

dan seterusnya. Dengan demikian, pengguna lebih mengerti dan

dapat menggunakan piranti yang tepat sesuai kebutuhan.

Melaksanakan PUG tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis, namun

juga diperlukan pemahaman yang cukup berkaitan dengan apa implikasi

praktis melaksanakan PUG. Persepsi umum bahwa dengan melakukan

analisis gender sama dengan telah melaksanakan PUG; sementara itu

langkah-langkah selanjutnya sebagai konsekwensi dan implikasi adanya

Page 105: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

105

program/kegiatan yang sudah responsif/ berperspektif gender, sering

luput dari perhatian. Untuk itu pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro

PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan

saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga

pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud.

Pemahaman PUG sebagai strategi sudah cukup dimengerti secara meluas.

Namun kerancuan masih sering terjadi dalam membedakan antara

strategi dan tujuan. Melaksanakan PUG adalah strategi, meningkatkan

kesetaraan gender adalah tujuan dari PUG. Hal penting lainnya yang

masih rancu dipahami, adalah perbedaan antara memberi perhatian pada:

(1) melakukan analisis gender terhadap kebijakan/ program atau kegiatan

agar menjadi berperspektif gender/responsif gender, dan (2) menyusun

rencana aksi, berdasarkan hasil analisis gender tersebut untuk

mendukung tercapainya tujuan kesetaraan gender. Dalam piranti GAP

(Gender Analysis Pathways) dan POP (Policy Outlook and Plan of Actions)

hal ini terlihat jelas. Analisis gender merupakan kegiatan pertama dalam

GAP, sedangkan kegiatan kedua merencanakan sesuatu (kebijakan,

program, kegiatan yang responsive atau berperespektif gender)

berdasarkan hasil analisis gender, masuk dalam POP. Keduanya memang

dibutuhkan untuk melaksanakan PUG.

Kerancuan yang sering terjadi adalah anggapan telah melaksanakan PUG

setelah melakukan analisis gender (GAP) dan mengidentifikasi rencana

aksinya (POP). Kedua kegiatan ini merupakan langkah awal dari

serangkaian langkah-langkah lain yang diperlukan agar PUG berjalan

efektif. Langkah-langkah itu di luar yang bersifat teknis, tetapi sudah lebih

berdimensi politis.

Dimensi politis untuk meningkatkan kesetaraan gender inilah yang selalu

luput diberi perhatian, yaitu langkah-langkah selanjutnya yang berkaitan

dengan pemangku kepentingan (stakeholders) eksternal seperti mitra di

DPR/DPRD, Kementerian/Lembaga/unit kerja yang relevan, media, dan

lainnya. Dalam membangun komitmen politis, sangat penting bagi

Page 106: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

106

pemerintah dalam hal ini KPP dan Bappenas untuk membangun

kemitraan yang lebih intens dengan para pemangku kepentingan,

terutama dengan media massa yang selama ini sering terlupakan.

Penyusunan materi dan desain metode KIE yang menyediakan

informasi akurat, relevan, terkini sekitar PUG sangat baik secara

nasional maupun lokal. Oleh karena itu, direkomendasikan adanya

fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan

lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang

paling efektif untuk setiap target audience.

Semangat yang tinggi untuk melaksanakan PUG, kurang diikuti dengan

strategi yang tepat. Kekurang-pahaman bagaimana proses suatu

kebijakan, program atau kegiatan itu dibangun merupakan kendala dalam

pelaksanaan PUG. Seringkali yang ikut dalam sosialisasi dan pelatihan

analisis gender, misalnya bukan staf atau pejabat program atau

perencanaan, sehingga keterampilan yang didapat tidak teraplikasi.

Kendala lainnya, adalah dalam memahami tahapan perencanaan

pembangunan yang panjang yaitu dari mulai menerjemahkan berbagai

permasalahan ke dalam isu prioritas, (di daerah dari mulai musrenbang)

hingga menjadi suatu program atau kegiatan, dan kemudian

pengalokasian anggarannya. Di semua tahapan tersebut, isu gender

sangat mungkin tereliminasi. Seringkali para stakeholders yang terlibat,

belum atau kurang mengerti dan sensitif terhadap isu gender (belum

pernah terpapar isu gender dalam pembangunan). Sehingga, saat

keputusan diambil, orang yang paham tentang isu gender dalam

pembangunan, dan akhirnya tidak mendapat/menjadi prioritas. Akibatnya,

setiap tahun pencapaian kesetaraan gender tidak bisa optimal, bahkan

menjadi sangat rendah. Oleh sebab itu dalam sosialisasi PUG dan

pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian

perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender.

Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa target audience

sosialisasi/pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil

sosialisasi/pelatihan.

Page 107: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

107

Konsep PUG, yaitu melalui pengintegrasiaan pengalaman, aspirasi,

kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki ke dalam perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan seterusnya, sebenarnya tidak

cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya suatu transformasi power

structure. Strategi PUG harus dibentangkan keluar dari hal-hal teknis

semata, bahkan juga pada dimensi politik. Kata politik disini dipakai dalam

arti yang lebih luas yaitu isu gender bukan hanya kepedulian dan ranah

perencanaan/birokrasi, tetapi kepedulian dan sikap semua pihak. Usaha

sistematis ke arah itu memang belum dilakukan. Pelembagaan dan

pelaksanaan PUG perlu dukungan dan keterlibatan luas bukan

hanya dari jajaran birokrasi pemerintah tetapi juga dari LSM,

dunia usaha, dan masyarakat sipil umumnya.

Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun

mendatang dalam rangka PUG:

- Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di

semua bidang pembangunan

- Keluaran dan sasaran dari setiap program pembangunan

mencerminkan perspektif gender

Rekomendasi PUG di Bappenas:

- Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam

kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana.

- Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas

Berikut adalah beberapa rekomendasi yang lebih spesifik:

1) Rekomendasi berkaitan dengan dukungan politik

Rekomendasi Ditujukan kepada

1. Advokasi para pimpinan

Kementerian/Lembaga dan pimpinan Pemda

setempat tentang isu gender dalam

pembangunan dan dasar hukum keharusan

melaksanakan PUG

Menteri Negara PP, Bappenas,

pakar gender;

Pimpinan dari Kemeneg. PP

dan Pakar gender

2. Advokasi kepada para pimpinan dan

pengambil kebijakan mengenai pemahaman Kemeneg. PP dan dewan

Page 108: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

108

Rekomendasi Ditujukan kepada

tentang konsep dasar gender dan PUG serta

manfaatnya

pakar/fasilitator gender/pokja

gender, gender focal point

Kementerian/ Lembaga/Pemda

Advokasi mengenai gender dalam dalam

pembangunan pada anggota Dewan

Perwakilan dari Komisi yang menjadi mitra

kerja (termasuk Renja yang mengurus

Anggaran)

Kemeneg. PP, Kementerian/

Lembaga dan Pemda

Fasilitasi pembuatan materi advokasi (generik)

untuk bahan advokasi Kemeneg. PP dibantu Pakar

Gender

2) Rekomendasi berkaitan dengan pelembagaan PUG

Rekomendasi Ditujukan kepada

1. Fasilitasi penunjukan dan penempatan focal

point pada posisi yang cukup tinggi agar dapat

bekerja dan berkoordinasi lebih efektif

Pimpinan Kementerian/

Lembaga, Pemda

3. Fasilitasi pembuatan TOR bagi focal point

tentang tugas dan kewajibannya secara jelas,

termasuk pemberian insentif sebagai tanda

aprisiasi

Pokja Gender Kementerian/

Lembaga dan Biro PP Pemda

yang bersangkutan

4. Fasilitasi (dalam bentuk dukungan dana,

sarana, keterampilan) pokja Gender di

Kementerian/ Lembaga/Pemda, bisa dimulai di

satu unit kerja yang sudah memulainya kalau

perlu dengan bantuan fasilitator yang

kompeten dari luar Kementerian/ Lembaga

/Pemda

Pimpinan Kementerian/

Lembaga dan Kemeneg. PP,

Pemda/Biro PP

2. Fasilitasi pembentukan dewan pakar

gender/PUG disamping adanya Pokja PUG

Pimpinan Kementerian/

Lembaga, Pokja Gender;

Pemda/KPP, PSW

Fasilitasi pembuatan mekanisme serta

indikator gender audit

Kemeneg. PP, Bappenas, Pokja

Gender, Pakar gender

Page 109: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

109

Rekomendasi Ditujukan kepada

Fasilitasi pemberian penghargaan gender

champion ditingkat Kementerian/ Lembaga

dan SKPD

Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar

Gender

3) Rekomendasi berkaitan dengan program responsif gender

Rekomendasi Ditujukan kepada

1. Sosialisasi semua dasar hukum tentang

keharusan melaksanakan PUG yang

dikeluarkan oleh Global/Nasional/Daerah/ Unit

kerja

Pimpinan Kementerian/

Lembaga dan focal point

Pimpinan Pemda dan Pokja

Gender

2. Pelatihan analisis gender dalam bentuk

learning by doing bagi para perencana dan

pelaksana program Kementerian/Lembaga

dan para Perencana Pemda dan SKPD

setempat

K Kemeneg. PP/ Pakar Gender;

K Kemeneg. PP/Biro PP dan

Pakar Gender

3. Analisis gender sudah dimulai sejak

pembuatan Renstra sampai dengan kegiatan

program

Biro Perencanaan, Bappenas, K

Kemeneg. PP, Pakar Gender

Bappeda, Biro PP, Pakar

Gender

4) Rekomendasi berkaitan dengan data dan informasi

Rekomendasi Ditujukan kepada

1. Dikeluarkan Surat Keputusan bersama

Menteri KPP, Ketua Bappenas, Menteri Dalam

Negeri tentang keharusan melembagakan

pengumpulan, penyimpanan dan pemakaian

data menurut jenis kelamin bagi semua

program dan kegiatan Kementerian/Lembaga

dan SKPD

Menteri Negara PP, Ketua

Bappenas, Menteri Dalam

Negeri

Page 110: AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di ...

110

Rekomendasi Ditujukan kepada

2. Fasilitasi pengembangan

formulir standar dengan data terpilah menurut

jenis kelamin untuk Kementerian/Lembaga

dan Pemda

Kemeneg. PP, Bappenas/

Bappeda, Pakar Gender, Unit

Data

Kementerian/Lembaga/Pemda

5) Rekomendasi berkaitan dengan SDM PUG

Rekomendasi Ditujukan kepada

1. Kegiatan sosialisasi dan capacity building

(termasuk pelatihan analisis gender,

telaah kebijakan, isu gender

terkini(global/nasional/daerah),

kemitraan, proses siklus perencanaan)

;dilaksanakan secara berkelanjutan dan

relevant dengan kebutuhan;

Ditujukan untuk:

- semua personel baru (internal KPP, di

Kementerian/Lembaga serta

Pemda/SKPD);

- ‘penyegaran kembali’ bagi yang

sudah mendapatkan;

- fasilitator (nasional)

Kemeneg. PP/ Biro PP, Pokja

Gender, Pakar/Fasilitator

Gender

2. Capacity building juga dimaksudkan

untuk menghasilkan sejumlah fasilitator

gender di internal lembaga

Kemeneg. PP/Biro PP, Pokja

Gender, Pakar Gender

3. Fasilitasi pembentukan ’pool’ pakar /

fasilitator gender dengan masing-masing

kualifikasi

Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar

Gender