AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya...
Transcript of AANNAALLIISSIISS GGEENNDDEERR DDAALLAAMM · Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) ... 3) adanya...
LAPORAN AKHIR
AAANNNAAALLLIIISSSIIISSS GGGEEENNNDDDEEERRR DDDAAALLLAAAMMM
PPPEEERRREEENNNCCCAAANNNAAAAAANNN PPPEEEMMMBBBAAANNNGGGUUUNNNAAANNN
DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS
2007
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-
Nya, sehingga laporan akhir Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan
Pembangunan ini dapat kami selesaikan. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan
kajian, yang merupakan salah satu fungsi Direktorat Kependudukan dan
Pemberdayaan Perempuan.
Kajian ini memiliki dua tujuan, yaitu: pertama, melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7
kabupaten/kota terpilih; yang dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa
jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah
melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan
lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua adalah melakukan analisis gender
terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam
RPJMN 2004-2009. Analisis gender tersebut dilakukan bersama-sama dengan
Kementerian/lembaga terkait, dengan menggunakan piranti analisis gender yang
disebut Gender Analysis Pathway (GAP).
Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, dan
untuk itu kami haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
berpartisipasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penyusunan kajian
tersebut, khususnya kepada Ibu Dr. Yulfita Raharjo, MA dan Bapak Nardho
Gunawan, MD, MPH; selaku konsultan yang membantu kami dalam pelaksanaan
kajian ini. Di samping itu, masukan dan saran untuk kajian ini juga kami
harapkan, sebagai bahan perbaikan untuk periode selanjutnya.
Jakarta, Desember 2007
Direktur Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan
3
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
RINGKASAN EKSEKUTIF 5
1. PENDAHULUAN 5
2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS 10
2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA 10
a. Dukungan Politik 10
b. Program yang Responsif Gender 11
c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 12
d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 13
e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) 13
2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH 14
2.3. Lessons Learned 15
2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih 18
2.4.1.Hasil yang Diharapkan 18
2.4.2.Proses Analisis 19
2.4.3.Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 21
2.4.4. Beberapa Isu Kritis 21
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 23
BAB 1. PENDAHULUAN 25
1.1. Latar Belakang 25
1.2. Tujuan Kajian 28
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan 28
1.4. Metodologi 29
1.5. Pengukuran 33
1.6. Hasil yang Diharapkan 35
1.7. Limitasi 36
4
1.8. Kesimpulan 38
BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA: Tinjauan dari Perspektif gender 39
2.1. Dukungan Politik 42
2.2. Program yang responsif gender 51
2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 53
2.4. Peran Pokja Gender 60
2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 62
2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) 64
2.7. Kesimpulan 65
Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER 67
3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis 68
3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat 70
3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota 86
BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN: KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH 91
4.1. Hasil yang Diharapkan 92
4.2. Proses Analisis 92
4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 95
4.4. Best Practice 96
4.5. Beberapa Isu Kritis 100
BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 102
5.1. Kesimpulan 102
5.2. Rekomendasi 103
5
RINGKASAN EKSEKUTIF
1. PENDAHULUAN
a. LATAR BELAKANG Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses
pembangunan dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan PUG dalam keseluruhan proses perencanaan dari seluruh kebijakan dan program pembangunan.
Sebagai hasil dari upaya pelaksanaan PUG, khususnya pada tahap perencanaan, dapat dilihat dari Propenas 2000‐2004, yaitu telah terdapat 19 program pembangunan yang responsif gender. Program‐program tersebut mencakup 5 sektor pembangunan yaitu bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya. Pada setiap Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) upaya PUG terus dilakukan, dan hasil nyata yang diperoleh adalah bertambahnya program yang responsif gender. Hingga Repeta 2004, jumlah program yang telah responsif gender bertambah menjadi 38 program, yang terdapat pada sektor‐sektor pembangunan: ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, politik, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004‐2009, peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Bahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006 dan 2007, pengarusutamaan gender telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan pembangunan.
Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji. Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses melaksanakan PUG. Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) dukungan politik; 2) kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; 3) tersedianya kelembagaan PUG; 4) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; dan 5) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG.1
1 Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP).
6
Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan bahwa: 1) implementasi 38 program Repeta 2001‐2004 yang responsif gender tersebut dapat dikatakan tidak semuanya dilaksanakan; dan 2) meskipun sudah cukup banyak kemajuan, namun secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan optimal. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya, adalah sebagai berikut:
- Payung hukum yang menyatakan tentang keharusan melaksanakan PUG di setiap sektor/lembaga baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.
- PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai strategi pembangunan yang sifatnya cross‐cutting, menyeluruh dan terintegrasi;
- PUG belum melembaga; - Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih terbatas.
Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis; dan
- Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di tingkat internal masing‐masing lembaga.
Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan rencana dan program pembangunan nasional (Surat Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 050/M.PPN/03/2002), Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian gender dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaan PUG di beberapa bidang dalam RPJMN 2004‐2009. Untuk keperluan itu, di samping melakukan ‘revisit’ kepada 12 Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 9 bidang pembangunan (lama), juga menambah dengan 6 (enam) Kementerian/Lembaga (baru) di tingkat nasional. Untuk memperkaya gambaran pelaksanaan PUG di daerah, kajian juga dilakukan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih, di luar 3 provinsi dan 3 kabupaten/kota yang telah dilakukan pada tahun 2005.
Dengan demikian, kajian gender dalam perencanaan pembangunan pada tahun 2007 ini mencakup 18 Kementerian/Lembaga dengan fokus pada program‐program pembangunan dalam RPJMN 2004‐2009 (untuk nasional) dan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih.
b. TUJUAN KAJIAN
Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih.
7
Tujuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang‐undangan lain yang berkaitan dengan PUG.
Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004‐2009. Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi, diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis gender dilakukan bersama‐sama dengan Kementerian/lembaga terkait dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP).
c. METODOLOGI Kerangka Analisis
Untuk tujuan pertama –yaitu evaluasi PUG–, metode yang dipakai dalam adalah kombinasi dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat analisis kajian adalah deskriptif analisis. Dimulai dengan menelaah dokumen dasar perencanaan program pembangunan Kementerian/Lembaga yang tersedia. Ini termasuk rencana strategis, pedoman umum perencanaan program pembangunan, kebijakan pembangunan, meta analisis hasil kajian evaluasi 2005, dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih.
Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian dijabarkan pada pertanyaan‐pertanyaan yang relevan, untuk memandu proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika tersedia paling tidak 6 (enam) aspek, yaitu: 1) adanya dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2) adanya program/kegiatan yang responsif gender sebagai suatu keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementeriaan/Lembaga yang bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memahami gender dan mampu
8
melaksanakan dan mengawal PUG; dan 6) tersedianya dana untuk pelaksanaan PUG2.
Metode Pelaksanaan Kajian
Dalam merancang kajian, telah disetujui bersama bahwa sifat kajian ini adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian dengan para responden.
(1) Focus Group Discussion (FGD), forum FGD menjadi piranti yang penting dalam mengumpulkan data informasi;
(2) Briefing dan konsultasi dengan para pimpinan, pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan, Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender, dll), untuk mendapatkan gambaran tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi serta perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu gender dalam perencanaan program pada khususnya;
(3) Wawancara dilakukan dengan pengelola senior dari beberapa program dalam Kementeriaan/Lembaga terkait;
(4) Telaah dokumen dilakukan secara sistematis terhadap dokumen perencanaan yang relevan, khususnya Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan pembangunan, framework dan piranti analisis dari beberapa Kementerian/ Lembaga terpilih;
(5) Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang responsif gender (2005);
(6) Kuesioner sebagai kajian cepat untuk menjajagi dukungan, kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/Lembaga yang dikaji;
(7) Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan dengan kegiatan PUG, gender focal point, Pokja Gender).
Untuk tujuan kedua –yaitu analisis gender terhadap program pembangunan– maka metode yang digunakan adalah learning by doing
2 Opsional sifatnya, anggaran untuk gender dan PUG masih perlu didiskusikan dan disepakati bersama para pemangku kebijakan. Sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan dalam kuesioner, tetapi kebanyakan tidak dapat melengkapi.
9
melalui lokakarya. Lokakarya Analisis Gender untuk Perencanaan Program tersebut menggunakan piranti (tool) analisis Gender Analysis Pathway (GAP). Program‐program yang dianalisa merupakan pilihan oleh wakil‐wakil dari Kementerian/Lembaga yang diambil dari program pembangunan RPJMN 2004‐2009.
Data
Data yang digunakan ada data sekunder (hasil pelaksanaan kajian PUG Tahun 2005 dan data‐data lainnya) dan data primer. Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data primer dan informasi yang digunakan yaitu: 1) Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5 (lima) aspek yang dianggap suatu keadaan ideal untuk melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan gender budget; 2) Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/ Kabupaten/Kota yang pernah dilakukan kajian, maka fokus kajian kali ini adalah dengan melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta aplikasinya; dan 3) Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif (kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil kebijakan, mengetahui/terlibat dengan perencanaan program/ kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga dilakukan dengan stakeholders terkait untuk mengidentifikasi masalah, tantangan, dan masukan/ rekomendasi. Sifat analisis adalah deskriptif.
10
2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
Tujuan pertama melakukan kajian gender dalam perencanaan pembangunan adalah mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/Lembaga serta provinsi/kabupaten/kota yang dikaji melaksanakan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 serta peraturan perundang‐undangan lain yang mengikutinya, dengan fokus utama pada isu‐isu kritis dalam pelaksanaan PUG.
2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA
Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 20053 dan aggregasi temuan‐temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya, maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji. Ke‐lima aspek tersebut dipilih karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender4. Aspek‐aspek tersebut adalah: 1) dukungan (Politik) dari pimpinan Kementeriaan/Lembaga; 2) ketersediaan wadah, baik struktural maupun fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; 3) ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 4) SDM yang memahami dan mampu melaksanakan dan mengawal PUG; 5) jumlah program/kegiatan yang responsif gender.
a. Dukungan Politik
Dukungan politik merupakan cerminan dari komitmen para pimpinan Kementerian/Lembaga, yang seringkali dituangkan dalam bentuk payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi masing‐masing, seperti Surat Keputusan, Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan lain‐lain. Dari segi capaian pelaksanaan PUG diukur dari terlaksananya sosialisasi internal atas keberadaan payung hukum tersebut, terutama di antara jajaran pimpinan lembaga (horizontal) dan di antara penanggung jawab program/kegiatan (vertikal).
Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan politk terhadap pelaksanaan PUG, namun kurang tersosialisasi secara baik –
3 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005) 4 Aspek ke ‐6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya .
11
terutama di antara para pimpinan dan pembuat keputusan di Kementeriaan/Lembaga. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui oleh orang‐orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut. Umumnya para pimpinan/pengambil kebijakan banyak yang belum memahami konsep gender dan PUG serta manfaatnya5. Oleh sebab itu meskipun PUG telah dikuatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004‐2009, akan tetapi karena pemahaman mengenai gender/PUG yang masih kurang, dan bahkan seringkali ‘keliru’, maka dukungan politik terhadap PUG masih lemah. Hambatan lain PUG adalah pendanaan yang kurang diperhitungkan saat perencanaan. SK yang dikeluarkan tentu berimplikasi pada pendanaan, yang karena bersifat ad hoc berarti alokasi dananya tidak direncanakan sebelumnya.
Dari best practise seperti yang diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pertanian, bahwa dukungan politik, payung hukum dan piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada prakarsa internal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai komitmen tinggi, konsisten, dan didukung oleh orang‐orang yang kompeten.
Data empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang responsif gender, dengan disertai upaya advokasi pada para pimpinan/pengambil kebijakan. Namun, perlu diwaspadai bahwa dukungan politik dapat melemah bila Surat Keputusan pelaksanaan PUG tidak efektif dipergunakan, sebagaimana halnya yang terjadi di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
b. Program yang Responsif Gender
Dari evaluasi PUG 2005, diketahui bahwa 38 program (Propenas) yang sudah responsif gender, hampir tidak ada yang dilaksanakan, kecuali beberapa bagian kegiatan hasil dari pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya peralihan dari Propenas ke RPJMN 2004‐2009, sehingga masing‐masing Kementerian/Lembaga menyesuaikan dengan misi dan fokus RPJMN 2004‐2009. Penyebab lain adalah 38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individu‐individu yang mengikuti pelatihan gender analisis, tidak otomatis menjadi dokumen resmi dari lembaga yang diwakilinya. Selain minimnya diseminasi internal hasil pelatihan gender, juga karena kedudukan individu tersebut di dalam lembaga yang diwakilinya tidak cukup kuat untuk meyakinkan
5 Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.
12
atasan/rekan kerjanya mengenai program/ kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif. Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dan petahapan yang tidak selalu kondusif untuk menerima sesuatu yang baru seperti perspektif gender dalam perencanaan program.
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan program pembangunan yang responsif gender: 1) Kementeriaan/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif gender kedalam program dan kegiatanya, tetapi teknis pelaksanaannya masih menjadi kendala, demikian juga dengan hierarki birokratis pengambilan keputusan; 2) pejabat eselon 3 dan 4 yang sudah dilatih gender analisis untuk perencanaan program merupakan focal point gender dan ujung tombak pelaksanaan PUG di unitnya masing‐masing. Namun menghadapi kesulitan dalam meyakinkan pimpinan dan rekan kerjanya yang masih bias/buta gender; dan 3) proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan berbagai pihak, termasuk yang berada di luar unitnya dan wewenangnya.
c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional
Tidak semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga yang secara eksplisit memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk, struktur serta fungsinya beragam. Tiga pola teridentifikasi: 1) kelembagaan fungsional; 2) kelembagaan dengan wadah struktural kombinasi dengan wadah fungsional; dan 3) belum mempunyai keduanya, baik wadah struktural maupun fungsional.
Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan: 1) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika yang mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di beberapa Kementerian/Lembaga yang mengurusi kegiatan PUG ditempatkan pada struktur eselon 3 (Departemen Sosial) atau echelon 4. Biasanya digabung bersama‐sama dengan urusan bidang lain, seperti agama, olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan maupun melakukan terobosan‐terobosan kedalam sistim. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG. Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program Wanita dalam Pembangunan. Hanya beberapa instansi seperti Depkes, Depdiknas, dan Deptan yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal; 2)
13
Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG, maupun melaksanakannya. Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga memiliki wadah‐wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling banyak dipunyai oleh Kementeriaan/Lembaga yang dikaji adalah focal point gender, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal; 3) Peran serta keterlibatan Focal Point. Semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki focal point gender yang biasanya sudah terpapar dengan isu gender melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dan lain‐lain. Namun, mereka tidak mempunyai wewenang yang memadai untuk melakukan intervensi birokrasi, karena umumnya hanya merupakan eselon 3 atau 4; dan 4) peran Pokja Gender. Hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki SK untuk membentuk Pokja gender/PUG.
d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin
Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah ‘lama’ yang belum terselesaikan di semua Kementerian/Lembaga yang dikaji. Depdiknas dan Depkes merupakan dua Kementerian yang sudah mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu diagregat lagi di tingkat kecamatan. Alasan umum yang banyak disebutkan yaitu karena formulir dari ‘atas’ (provinsi/nasional) memang tidak terpilah menurut jenis kelamin.
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah: 1) isu yang menonjol sebenarnya adalah kurangnya komitmen politik pimpinan yang berwenang berkaitan dengan penyediaan dan penggunaan data yang terpilah menurut jenis kelamin dalam melakukan analisis untuk perencanaan; 2) kelangkaan data terpilah di hampir semua Kementerian/Lembaga merupakan suatu masalah serius yang sangat menghambat pelaksanaan PUG; dan 3) penggunaan data terpilah tersebut belum melembaga dalam perencanaan terbukti dari formulir standar masing‐masing Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregasi.
e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building
14
sudah banyak dilakukan di sebagian besar Kementerian/Lembaga dengan mengundang pakar, dari Kemeneg. PP maupun dari sumber internal dan eksternal, akan tetapi hasilnya belum cukup memadai.
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan kurangnya SDM yang handal melakukan dan mengawal PUG: 1) mengingat kekurangan tersebut karena seringnya rotasi pejabat dan masih banyaknya pejabat yang belum memahami konsep gender dan aplikasinya, maka sosialisasi dan capacity building untuk tiap‐tiap Kementerian/Lembaga perlu ditingkatkan; 2) materi dan metode penyampaian yang diberikan dalam capacity building harus disesuaikan dengan keperluan dan latarbelakang peserta; dan 3) advokasi mengenai gender dan PUG sangat esensial bagi para pimpinan lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan akomodatif terhadap isu gender dan pelaksanaan PUG.
2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH
Isu gender dalam pembangunan di daerah tepat waktu dan tepat asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu, karena Inpres No. 9 Tahun 2000 datang bersamaan dengan adanya pergeseran dari sentralistik ke desentralistik melalui otonomi daerah. Kesempatan besar itu sekaligus merupakan tantangan luar biasa bagi daerah, karena daerah diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan terobosan‐terobosan, melalui program/kegiatan pembangunan – termasuk pelaksanaan PUG – yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah. Namun harapan besar ini kemungkinan besar luput dimanfaatkan daerah.
PUG di telah dilengkapi dengan sejumlah payung hukum, yaitu: 1) KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah; 2) Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah; dan 3) Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja (meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG). Masing‐masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan politik dalam berbagai bentuk.6 Semua provinsi, kabupaten/kota yang dikaji sudah memiliki wadah struktural dan fungsional mengelola/mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, ‐‐kecuali di beberapa provinsi/kabupaten/kota‐‐, implementasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan kesungguhannya. Desentralisasi yang dinyatakan efektif per tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap pelaksanaan PUG di daerah. 6 Lihat bagian Kesepakatan politik
15
Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara itu, pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Demikian juga halnya dengan detail prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah.
Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan bersikap terhadap pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu dalam struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama‐sama dengan program‐program lain pada satu unit kerja (eselon 4 atau 3). Karena umumnya, karena pemahaman yang kurang tersebut, maka gender dan PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan. Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004‐2008 yang menekankan PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di eselon 2.
Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang kedua‐duanya relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang. Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di daerah sudah berjalan sebagaimana diharapkan, mengingat umur keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalanya pelaksanaan PUG didaerah.
2.3. Lessons Learned
Lessons Learned yang harus dicermati: 1) pemahaman yang masih sering keliru tentang pelaksanaan desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi program atau bahkan menjadi kegiatan; 2) sosialisasi gender dan pelatihan analisis gender diperlakukan seperti proyek dengan waktu pelatihan yang kurang memadai, sehingga hasilnya pemahaman mengenai gender dan kemampuan analisis gender rendah/kurang memadai; 3) dukungan politik pelaksanaan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak disosialisasikan; (4) ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih belum terlembaga dan kurang mendapat dukungan politik untuk melembagakannya. Konsekuensinya kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak berdasarkan data yang memadai; 5) keharusan
16
melakukan analisis gender dalam perencanaan masih belum melembaga; 6) orang yang mendapatkan pelatihan analisis gender dan sosialisasi gender tidak selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan, bahkan juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan, sehingga tidak bisa memastikan program/kegiatan pembangunan yang dihasilkan telah responsif gender; 7) di beberapa daerah yang dikaji, fokus PUG masih terlalu luas dan bersifat umum, sehingga berpotensi gagal. Beberapa daerah menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hak asasi anak, serta trafficking; dan 8) tidak semua Pokja Gender di daerah berfungsi, misalnya tidak ada agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin). Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah, Pokja berfungsi dengan baik, sesuai tujuannya. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya, Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus‐tugas sesuai dengan isu yang ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih jelas dan terukur dalam menangani permasalahan. Bentuk kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan beragam.
Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyaratan.
Walaupun suatu Kementerian/Lembaga atau SKPD provinsi/kabupaten/ kota telah memiliki sebagian besar dari 5 prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat instansi yang telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan terbatas, tanpa kelengkapan prasyaratan ideal.
Proses pelaksanaan PUG umumnya dapat dibagi ke dalam 3 pola umum7. Pola pertama adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG, walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah kondisi prasyaratan ideal masih
7 Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian
ini bentuk kategorisasi tersebut dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainnya.
17
belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu‐isu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam perencanan program pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja (cross‐cutting issue).
Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah. Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG. Semua daerah yang dikaji, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, telah memiliki SK Gubenur/Bupati/Walikota yang berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.8 Namun tidak selalu semua stakeholders terkait‐bahkan di kalangan internal lembaga/unit kerja baik vertikal maupun horizontal‐‐ mengetahui keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang‐orang yang terlibat langsung atau namanya tercantum dalam Surat Keputusan tersebut yang mengetahui keberadaannya.
Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah‐masalah yang ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua. Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya 5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di beberapa program/kegiatan pembangunannya. Kementerian/Lembaga terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di daerah9. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek ujicoba ataupun bantuan teknis lainnya, melalui Pemda atau SKPD terpilih. Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari UNFPA; Propinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten‐kabupaten Gowa, Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg PP sudah 3 tahun terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana
8 Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan
dengan SK Gubernur. 9 Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan,
bahan ajar, dan capacity building.
18
stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres No.9 Tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing‐masing kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai sesuai dengan masing‐masing misi kedeputian.
Pola ketiga diwakili oleh Depkes, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam usaha melaksanakan PUG.10 Dengan atau tanpa bantuan block grant, dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah menjadi ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak lepas dari tokoh (‘the singer) yang menahkodai kegiatan ini, yang pada umumnya faham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif, percaya pada apuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang terkait. Selain itu, semua instansi yang dimasukkan kedalam pola ketiga, semuanya menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup tinggi (eselon 2).
2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih
Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan KPP di tahun 2001‐2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam REPETA (2001‐2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (2001‐2004), tercatat 38 program pembangunan – yang merupakan tanggung jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut – yang sudah responsif terhadap isu gender.11
2.4.1. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini adalah: 1) Kementeriaan/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan) program pembangunan yang responsif gender; 2) adanya transfer of knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus dimaksudkan sebagai bagian
10 Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg PP
berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing. 11 Lihat Bab 1
19
dari capacity building melalui learning by doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam program/program kegiatan mereka sendiri; 3) membangun kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa kepemilikan (sense of ownership); dan 4) membangun jejaring, sebab bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG.
2.4.2. Proses Analisis
Kegiatan analisis gender dirancang dalam bentuk suatu lokakarya pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg KUKM, Kemeneg LH, Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos) adalah ‘alumni’ dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas‐KPP 2001‐2002. Peserta dari masing‐masing Kementerian/Lembaga yang diundang sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang berkaitan dengan perencanaan program. Masing‐masing peserta membawa dan bekerja dengan menggunakan program/kegiatan atau tema yang dipilih. Beberapa Kementerian/Lembaga peserta lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1) Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3) Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan (Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Inisiatif Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan); 5) Kemeneg KUKM (Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6) Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan kepemerintahan).
Waktu. Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan‐kesibukan rutin dan yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing‐masing, membuat waktu mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga diputuskan
20
masing‐masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing‐masing untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran).
Peserta. Ada 2 Kementerian/Lembaga (PAN dan Depdagri) yang tidak mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya. Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi tidak selalu orang yang tepat. Pemahamaan tentang gender dan analisisnya juga masih terbatas, sehingga harus dilakukan penjelasan mengenai konsep‐konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang memang sudah terbatas itu. Akibatnya hasil analisis gender menjadi kurang optimal.
Fasilitator. Hanya tersedia 2 fasilitator untuk memfasilitasi para peserta dari berbagai Kementerian/Lembaga setiap hari selama lokakarya. Keterbatasan ini turut mengurangi efektivitas lokakarya, sebab para peserta harus ‘antri’ dalam mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator.
Materi. Masing‐masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/ kegiatan ataupun kebijakan yang dipilih berikut data‐data yang diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta membawa program/kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang berkaitan dengan PUG serta menyajikannya berserta piranti analisis gender GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka
21
bekerja dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan.
2.4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih
Dari hasil lokakarya sehari melakukan analisis gender pada program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga, memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose) Sumber Daya Manusia/ kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg KUKM, Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi ‐kecuali LAN‐ adalah ‘alumni’ dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support Project II (2001‐2002). Namun demikian, tidak semua Kementerian/ Lembaga ‘alumni’ piloting PUG tersebut melanjutkan keterampilan yang sudah didapat sebelumnya. Kemeneg LH dan Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG Bappenas‐KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam lokakarya.
2.4.4. Beberapa Isu Kritis Tujuan utama dari mengadakan lokakarya pelatihan analisis
gender bagi Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan yang responsif gender. Hasil lokakarya memperlihatkan beberapa program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan‐perbaikan. Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu kritis ditengerai: 1) Diseminasi dan ’pengawalan’ program/kegiatan yang sudah digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program; 2) perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami rancu, seolah‐olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi gender responsif, PUG telah dilaksanakan; dan 3) melibatkan banyak aktor. Tahapan‐tahapan sebelum dan sesudah melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab itu
22
membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang sudah responsif gender itu menjadi penting.
23
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Inpres No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor
pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG), merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial.
Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Inpres tersebut telah cukup banyak hasil yang diperlihatkan, akan tetapi masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan PUG dalam pembangunan adalah bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta Kabupaten/Kota yang dikaji sebagian besar telah memiliki empat atau lima unsur ideal PUG, yaitu dukungan politik, kelembagaan, program yang responsif gender, data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan SDM yang handal gender
Akan tetapi, hasil kajian ini –dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007– mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga) maupun di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, ditemukan beberapa masalah utama yang menghambat/memperlambat PUG.
Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah Kementerian/Lembaga yang sudah melaksanakan pelatihan analisis gender, namun pemahaman sebagian besar para pejabat Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang, bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya pemahaman tentang beberapa konsep dasar, seperti ‘gender’ dan kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama dengan perempuan; kerancuan dalam penggunaan istilah‐istilah keadilan gender, kesetaraan gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.
Rekomendasi - Direkomendasikan untuk melakukan evaluasi secara berkala setiap
tahun mengenai dampak serta metode sosialisasi dan pelatihan gender.
- Penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat nasional maupuan daerah dengan regulasi dan peraturan daerah yang lebih memadai.
- Perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci kegiatan‐kegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.
- Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua program dan kegiatan Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD.
24
- Sebaiknya KPP –didukung oleh Bappenas dan pakar gender– dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada dengan memberi penjelasan mengenai tujuan dan kegunaannya.
- Pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud, dengan melibatkan legislatif dan Civil Society Organisations (CSOs).
- Direkomendasikan adanya fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang paling efektif untuk setiap target audience.
- Dalam sosialisasi PUG dan pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa target audience sosialisasi/ pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil sosialisasi/ pelatihan.
- Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun mendatang dalam rangka PUG:
• Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di semua bidang pembangunan
• Keluaran dan sasaran dari setiap program pembangunan mencerminkan perspektif gender
- Rekomendasi PUG di Bappenas:
• Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana.
• Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas.
25
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan
dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal
tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres)
No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu
Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara,
Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk
melakukan PUG dalam setiap tahap pembangunan dari seluruh kebijakan
dan program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring hingga evaluasi. Adapun peraturan lain yang berkaitan dengan
PUG, antara lain adalah:
• Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025;
• Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009,
yang antara lain menyebutkan tentang peningkatan kualitas hidup
perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia
yang adil dan demokratis; dan
• Perpres No. 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
tahun 2006, dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang RKP Tahun 2007,
yang menetapkan PUG sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan
yang harus dilakukan dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Sejak tahun 2001, pelaksanaan PUG pada tahap perencanaan program
telah mulai berjalan. Sejumlah sosialisasi dan pelatihan analisis gender
dilakukan di tingkat pusat yang menghasilkan 19 program pembangunan
(Propenas 2000-2004) yang responsif gender di 5 (lima) bidang
pembangunan, yang meliputi ketenagakerjaan, pendidikan, hukum,
26
pertanian, dan koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM). Jumlah
program tersebut di atas bertambah menjadi 38 program (hingga Repeta
2004), dengan menambahkan lagi 4 (empat) bidang lainnya yaitu:
kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan
hidup12.
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh implementasi dari perencanaan
38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut,
pada tahun 2005 Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan (KPP) melakukan kajian di 9 (sembilan) sektor
pembangunan yang mencakup 12 Kementerian/Lembaga terpilih. Selain
itu, kajian juga diperluas dengan menambah kajian pelaksanaan PUG di
daerah, yaitu dengan mengambil 3 (tiga) provinsi dan 3 (tiga)
kabupaten/kota yang dipilih secara acak. Ketiga provinsi dan
kabupaten/kota tersebut adalah: Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten
Langkat, Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak, serta Provinsi
Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo.
Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji.
Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses
melaksanakan PUG. Aspek-aspek tersebut adalah: a) dukungan politik; b)
kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; c) tersedianya
kelembagaan PUG; d) data dan informasi yang terpilah menurut jenis
kelamin dalam sistem; dan e) kemampuan sumber daya manusia (SDM)
dalam melaksanakan dan mengawal PUG.13
Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan
bahwa: 1) implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004
yang sudah responsif gender tersebut dapat dikatakan sebagian besar
belum terlaksana; 2) meskipun sudah ada kemajuan, akan tetapi secara
umum pelaksanaan PUG belum berjalan dengan baik. Beberapa penyebab
utamanya adalah sebagai berikut:
12 Sebanyak 38 program pembangunan dari 9 sektor ini merupakan bagian kegiatan pemula
pengintegrasiaan gender ke dalam perencanaan program pembangunan yang dilakukan Bappenas bersama dengan sektor terkait. Sektor-sektor tersebut dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: 1) dianggap sudah siap untuk pelaksanaan PUG; dan/atau 2) dianggap cukup banyak mengandung isu gender; dan/atau 3) dianggap sektor yang sangat instrumental/mempunyai daya ungkit tinggi.
13 Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP).
27
• Adanya perubahan dari Repeta 2001-2004 menjadi RPJMN 2004-2009,
berdampak terhadap operasionalisasi ke-38 program yang sudah
responsif gender itu, karena tidak lagi menjadi program yang
diusulkan.
• Inpres No. 9 tahun 2000 yang merupakan payung hukum pelaksanaan
PUG di setiap instansi baik di tingkat nasional maupun di tingkat
daerah, tidak tersosialisasi dengan baik.
• PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau
pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai
strategi pembangunan yang sifatnya cross-cutting, menyeluruh dan
terintegrasi;
• Dampak otonomi daerah yang mengindikasikan bahwa sebagian besar
pemerintah daerah tidak menempatkan kesenjangan gender sebagai
isu utama, dan tidak memprioritaskan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun
2000 tentang pelaksanaan PUG.
Yang patut untuk dicatat juga adalah:
• Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih sangat
terbatas. Hal ini disebabkan karena tidak ada keharusan bagi setiap
instansi untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin,
apalagi digunakan untuk keperluan analisis.
• Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu
melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di
masing-masing lembaga.
Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu
melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan
kebijakan dan perencanaan program pembangunan nasional (Surat
Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No.
050/M.PPN/03/2002), Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan
Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian analisis
gender dalam perencanaan pembangunan dengan mengevaluasi
pelaksanaan PUG di beberapa program pembangunan yang tercantum
dalam RPJMN 2004-2009.
28
1.2. Tujuan Kajian
Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan mempunyai dua
tujuan yang hendak dicapai, sebagai berikut:
Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di
18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih.
Tujuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh
Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji
telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan PUG.
Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa
program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004-2009.
Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut
dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif
gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity
building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu
gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi,
diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa
kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis
gender dilakukan bersama-sama dengan Kementerian/lembaga terkait
dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender
Analysis Pathway (GAP).14
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan
Untuk keperluan tujuan pertama:
• Dilakukan revisit terhadap 12 Kementerian/Lembaga yang pernah
dievaluasi di tahun 2005 (Bappenas, 2005), yaitu Kementerian Negara
Lingkungan Hidup, Kementerian Negara Koperasi dan UKM,
Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Sosial, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen
Pertanian, Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kepolisian
RI, Kejaksaaan Agung, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
14 Piranti GAP dikembangkan di tahun 1998 oleh Bappenas bersama KPP dengan bantuan teknis dari CIDA melalui Women’s Support Project II.
29
Nasional dengan fokus pada: 1) updating data; dan (2) dinamika
pelaksanaan PUG dalam 2 tahun terakhir, yaitu sejak kajian 2005;
• mengkaji 6 Kementerian/Lembaga lainnya, yaitu Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Negara Riset dan
Teknologi, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan
Perikanan, Badan Kepegawaian Negara, dan Lembaga Administrasi
Negara, dengan fokus pada pelaksanaan PUG serta kelengkapan data
pendukung;
• mengkaji 7 (tujuh) provinsi terpilih yaitu Sumatera Barat, Riau, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan
Sulawesi Utara, juga dengan fokus pada kelengkapan data pendukung
serta pelaksanaan PUG; dan
• mengkaji 7 (tujuh) kabupaten/kota terpilih (yang ditetapkan oleh
provinsi yang bersangkutan), yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten
Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar,
Kota Banjarmasin, dan Kota Manado, dengan fokus pada kelengkapan
data pendukung serta pelaksanaan PUG.
Sedangkan untuk keperluan tujuan kedua yaitu analisis gender, ruang
lingkup kegiatan adalah wakil-wakil dari 18 Kementerian/Lembaga
melakukan analisis gender terhadap program-program pembangunan
yang diambil dari RPJMN 2004-2006 sesuai pilihan masing-masing
Kementerian/Lembaga.
1.4. Metodologi
Metode yang digunakan untuk tujuan pertama kajian ini adalah kombinasi
dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat kajian
adalah deskriptif analisis, yang dimulai dengan menelaah dokumen dasar
perencanaan program pembangunan Kementerian/Lembaga yang
tersedia. Dokumen-dokument tersebut termasuk rencana strategis,
pedoman umum perencanaan program pembangunan, kebijakan
pembangunan, meta-analisis hasil kajian evaluasi PUG 2002 dan 2005,
dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih.
30
Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework
dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian
dijabarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang relevan, untuk memandu
proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat
berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika telah terdapat
paling tidak 5 dari 6 (enam) aspek pelaksanaan PUG, yaitu: 1) adanya
dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2)
adanya program/kegiatan yang responsif gender sebagai suatu
keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional
sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi
yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya
manusia (SDM) yang memahami dan mampu melaksanakan dan
mengawal PUG; dan 6) tersedianya jumlah dana untuk pelaksanaan
PUG15.
Sejak awal merancang kajian ini, telah disetujui bersama bahwa sifat
kajian adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih
memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian
dengan para responden.
a. Focus Group Discussion (FGD). Dalam kajian ini, forum FGD
menjadi wadah yang penting dalam mengumpulkan data informasi.
Tim Kajian menjadi fasilitator dan pencatat selama FGD berlangsung,
sebab Tim Kajian seringkali didaulat oleh para responden (yang juga
merupakan peserta FGD) untuk menerangkan konsep gender dan
mengapa harus melaksanakan PUG. Peserta Focus Group Discussion
(FGD) di Kementerian/Lembaga adalah para pengelola (dari Biro
Perencanaan, Kepala Unit, dan lain-lain), Focal point Gender, serta staf
dari beberapa unit sektor terkait (Depsos, Depdagri, Polri,
Depnakertrans, Dephukham, Depkes, DKP, Depnakertrans, BKKBN,
dan BKN).
15 Bersifat opsional, karena hingga saat ini gender responsive budgeting masih dalam tahap
pengembangan. Oleh sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan ketersediaan dana dalam kuesioner, dan kebanyakan tidak dapat melengkapi. Bahkan antara Kementerian/Lembaga yang melengkapi kuesioner dana, besar kemungkinan mempunyai persepsi yang berbeda mengenai anggaran untuk gender (gender budget) ini. Oleh karena itu, jawaban dari pertanyaan mengenai gender budget ini diabaikan.
31
b. Briefing dan konsultasi, tidak banyak dilaksanakan. Rencana awal
adalah melakukan briefing dan konsultasi dengan para pimpinan,
pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan,
Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point
gender, Pokja Gender, dan lain-lain), untuk mendapatkan gambaran
tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi serta
perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu
gender dalam perencanaan program pada khususnya. Akan tetapi
karena kesibukan rutin dan ad hoc dari para pengelola yang cukup
tinggi, yang berdampak kepada keterbatasan waktu mereka yang
tersedia, briefing dan konsultasi itu tidak selalu dapat dilaksanakan.
Terkadang briefing dan konsultasi dapat terlaksana, tetapi pejabat
yang diharapkan ternyata digantikan oleh orang yang mewakili. Untuk
mengatasi keadaan ini, tim kajian meminta waktu bertemu dengan
pimpinan yang terkait (Sekjen, Kepala Biro Perencana, atau pimpinan
unit), sebelum diadakan FGD. Cara ini berhasil dilaksanakan di Depkes,
Dephukham, dan BKN.
c. Wawancara. Sejumlah wawancara dilakukan dengan pejabat senior
yang mengelola beberapa program dalam Kementerian/Lembaga
terkait (Depdiknas, Depkes, dan Dephukham). Selain menghimpun
data, dalam kesempatan itu sekaligus juga dilakukan advokasi tentang
PUG, karena banyak pernyataan-pernyataan dari para responden yang
menggambarkan ketidak-pahaman dan kesalah-pahaman sekaligus
ketidak-tahuan tentang gender, khususnya tentang gender dalam
perencanaan dan keberadaan payung hukum yang mengharuskan
Kementerian/Lembaga pemerintah melaksanakan PUG dalam bidang
pembangunannya. Dari hasil advokasi yang singkat, beberapa
pengelola senior Kementerian/Lembaga (seperti Dephukham dan BKN)
memandang perlu untuk mengumpulkan staf agar hadir dalam
pertemuan meskipun sebenarnya tidak ada dalam agenda untuk
berdiskusi dengan Tim Kajian. Sementara itu, di beberapa
Kementerian/Lembaga lain (seperti Deptan, Dephukham,
Depnakertrans, BKN, dan DKP) bahkan mengundang Tim Kajian untuk
memfasilitasi pertemuan tentang Gender Analysis Pathway (GAP).
32
d. Telaah dokumen. Kajian juga dilakukan dengan menelaah secara
sistematis dokumen perencanaan yang relevan, khususnya dokumen
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat
kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan
pembangunan, framework dan piranti analisis dari beberapa
Kementerian/Lembaga terpilih.
e. Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang
responsif gender (2005).
f. Kuesioner sebagai kajian cepat untuk menjajagi dukungan,
kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang
tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/
Lembaga yang dikaji.
g. Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota
staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan
dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender),
membicarakan temuan kajian, seraya mendapatkan masukan untuk
pengembangan solusi dan rekomendasi, tidak jadi dilaksanakan,
sebagai gantinya disatukan dengan kegiatan lokakarya mengenai
analisis gender.
h. Lokakarya. Metode ini khusus untuk tujuan kedua, yaitu melakukan
analisis gender bagi perencana dari beberapa Kementerian/Lembaga
yang dikaji. Materi yang dipakai adalah program-program
pembangunan RPJMN 2004-2009 yang dipilih untuk dianalisis. Hasil
dari lokakarya adalah beberapa program/kegiatan pembangunan yang
responsif gender untuk Kementerian/Lembaga yang ikut serta dalam
lokakarya; keterampilan bagi peserta dalam melakukan analisis gender
dan perencanaan program yang responsif gender; serta terbangunnya
rasa kepemilikan dan kebersamaan antar unit kerja.
33
1.5. Pengukuran
Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data dan informasi yang
digunakan yaitu:
a. Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang
baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5
(lima) aspek yang dianggap suatu keadaan ideal untuk
melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan
gender budget. Akan tetapi data dan informasi mengenai gender
budget ini tidak terkumpul dengan baik, karena masih belum
jelasnya konsep tentang gender budget ini dan cara menghitungnya
baik bagi para responden maupun peneliti kajian sendiri.
1) Dukungan Politik dari pimpinan Kementerian/Lembaga.
Komponen yang dipakai untuk mengukur adalah ketersediaan
kebijakan, peraturan, instruksi, surat perintah, Surat Keputusan
(SK internal) sebagai payung hukum berkaitan dengan
pelaksanaan PUG dan sebagai cerminan dari kesungguhan/
komitmen pimpinan.
2) Program/Kegiatan. Dukungan politik/kebijakan untuk
memfasilitasi pelaksanaan PUG, kemampuan SDM dalam
melakukan analis gender serta melaksanakan PUG, ketersediaan
dan dipakainya data terpilah, seharusnya tercemin dalam
program/kegiatan yang direncanakan oleh masing-masing
Kementerian/Lembaga. Komponen yang digunakan untuk
mengukur: a) jumlah dan proporsi program/kegiatan yang
responsif gender; dan b) jumlah dan proporsi program/kegiatan
yang mengacu pada kebutuhan praktis perempuan.
3) Kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
PUG di Kementerian/Lembaga, sehingga PUG berpotensi
berkelanjutan dan melembaga. Komponen yang dipakai untuk
mengukur: a) keberadaan struktur unit kerja yang menangani
PUG (nomenklatur, letak unit, dan jenjang eselon); b)
keberadaan unit kerja fungsional seperti focal point, kelompok
34
kerja, Forum PUG, Dewan Pakar, dan seterusnya; c) mekanisme
kelembagaan, apakah terintegrasi ke dalam perencanaan sektor
atau masih bersifat ad hoc; d) penambahan atau pengurangan
kegiatan-kegiatan PUG seperti sosialisasi, advokasi, pelatihan
analisis gender, dan proses PUG di suatu Kementerian/Lembaga
atau SKPD; dan e) Jenis piranti analisis gender yang dikuasai
dan digunakan.
4) Sistem Informasi. Ketersediaan data dan informasi yang terpilah
menurut jenis kelamin serta dana dan sarana (data sistem).
Komponen yang dipakai untuk mengukur: a) ketersediaan data
terpilah menurut jenis kelamin; b) ketersediaan sistem yang
menangani data; dan/atau updating data; c) demand (internal)
terhadap data terpilah; dan d) kegiatan capacity building seperti
sosialisasi, advokasi, dan pelatihan.
5) Sumber daya manusia (SDM) yang memahami konsep gender,
dapat melakukan analisis gender, dan mampu mengawal PUG di
dalam instansinya. Komponen yang dipakai untuk mengukur: a)
jumlah staf yang sudah mendapat sosialisasi/advokasi dan atau
pelatihan tentang gender/analisis gender/PUG; dan b) jumlah
orang/unit yang sudah mengimplementasikannya ke dalam
proses perencanaan program/kegiatan.
b. Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/Kabupaten/Kota yang pernah
dievaluasi sebelumnya, maka fokus kajian kali ini adalah dengan
melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta
aplikasinya. Komponen yang dikaji antara lain: a) jumlah
peraturan, Surat Keputusan (SK), instruksi yang berkaitan dengan
PUG (jumlah, tingkat, dan aplikasinya); b) program/kegiatan
pembangunan yang responsif gender dalam Kementerian/Lembaga
(jumlah dan aplikasinya); c) struktur yang menangani PUG (adakah
ada perubahan dalam nomenklatur, tingkat eselon), dan
dibandingkan dengan hasil kajian (Bappenas dan KPP, 2005); d)
lembaga fungsional yang menangani PUG (adakah perubahan ke
arah yang lebih baik jika dibandingkan dengan kajian 2005
35
tersebut, dan sebutkan lembaga-lembaga fungsional tersebut); e)
ketersediaan, penyediaan, dan penggunaan data terpilah menurut
jenis kelamin; dan f) capacity building di setiap Kementerian/
Lembaga.
c. Bagi Kementerian/Lembaga yang pernah dilakukan kajian, maupun
yang baru dilakukan kajian, fokus juga diberikan pada 4 (empat)
temuan penting hasil kajian Bappenas bekerjasama dengan KPP
berkaitan dengan pelaksanaan PUG (tahun 2005), yaitu: a) apakah
PUG sudah melembaga?; b) apakah pemahaman/pelaksanaan
mengenai PUG sudah lebih baik?; c) apakah data dan informasi
terpilah menurut jenis kelamin sudah mulai masuk ke dalam sistem
dan sudah mulai dimanfaatkan?; dan d) kemampuan dan komitmen
SDM untuk melaksanakan analisis gender dan PUG sudah
bertambah baik dan bertambah banyak.
Keempat masalah tersebut di atas dilihat dari dimensi: a) apa isu
gender yang muncul dalam pelaksanaan PUG di dalam instansi
dan/atau antarsektor terkait?; b) apa tantangannya?; dan c) apa
rekomendasinya.
d. Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif
(kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan
FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil
kebijakan, mengetahui/terlibat dengan perencanaan program/
kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga
dilakukan dengan stakeholders terkait untuk mengidentifikasi
masalah, tantangan, dan masukan/rekomendasi. Sifat analisis
adalah deskriptif.
1.6. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah:
a. Tersusunnya gambaran pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/
Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih; dan
b. Tersusunnya beberapa program/kegiatan (RPJMN 2004-2009) yang
sudah responsif gender.
36
1.7. Limitasi
Dalam pelaksanaan kajian, beberapa kendala yang dapat
mempengaruhi kelengkapan data dan informasi, antara lain adalah:
a. Limitasi responden dalam hal pemahaman gender dan pelaksanaan
PUG. Dalam sejumlah FGD yang dilakukan, nampak bahwa masih
banyak kerancuan dalam memahami konsep gender, seperti
ungkapan atau pernyataan yang sering terlontar yang menyamakan
gender dengan (kodrat) perempuan atau mengartikan PUG sama
dengan cara untuk emansipasi, dan seterusnya. Beberapa
responden dengan jelas dapat menyebutkan definisi gender dan
PUG, akan tetapi diakuinya tidak mengetahui bagaimana
implementasinya. Dengan terbukanya komunikasi dua arah dalam
forum FGD, maka para responden maupun tim kajian masing-
masing dapat saling memberi pembelajaran berkaitan dengan
gender dan pelaksanaan PUG dalam konteks Kementerian/
Lembaga/Daerah yang bersangkutan. Bahkan informasi dan
tambahan pengetahuan didapat baik bagi tim kajian maupun para
peserta FGD, di luar jangkauan dari panduan yang tertulis.
Bersama-sama dengan peserta FGD, tim kajian berhasil
mengidentifikasikan isu gender sampai dengan merumuskan
rekomendasi.
Di tingkat daerah, FGD dilaksanakan dengan lebih lengkap. Peserta
untuk FGD di tingkat daerah adalah Pokja/Tim Teknis Gender serta
wakil Bappeda dan SKPD. Pertemuan di beberapa daerah juga
dihadiri anggota DPRD dari Komisi E. Seperti halnya pengalaman di
tingkat nasional, beberapa peserta yang diharapkan hadir, justru
tidak dapat hadir, dan digantikan oleh staf lain, yang seringkali
kurang memiliki pemahaman tentang gender dan bahkan bukan
berasal dari unit yang menangani PUG.
b. Kurangnya waktu yang tersedia dari para responden (pejabat/staf)
Kementerian/Lembaga untuk berdiskusi dan wawancara mengenai
pelaksanaan PUG. Sebelum melakukan FGD dan wawancara,
Bappenas menulis surat secara resmi kepada Kementerian/
37
Lembaga yang bersangkutan mengenai rencana kedatangan Tim
Kajian. Waktu yang tepat untuk bertemu adalah salah satu
kendalanya. Meskipun sudah disetujui waktu pertemuan baik untuk
wawancara maupun FGD, seringkali tidak terjadi sesuai agenda.
Kendala yang juga banyak ditemui adalah banyaknya urusan-
urusan penting yang mendadak harus dilakukan segera oleh
kandidat responden16. Hal ini tergambar pada beberapa
Kementerian/Lembaga yang ditemui Tim Kajian. Di beberapa
Kementerian/Lembaga, pertemuan tidak dapat dilakukan dalam
bentuk FGD karena hanya dihadiri oleh satu pengelola/Focal point.
Di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung wawancara hanya
dihadiri oleh satu orang staf/bukan responden kunci; di
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, LAN,
Kemeneg. Ristek dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Tim
Kajian hanya ditemui oleh 2 (dua) orang, sedangkan di Departemen
Pendidikan Nasional FGD dengan Tim Kajian hanya dihadiri oleh 3
(tiga) orang, sehingga FGD tersebut harus dibatalkan dan sebagai
gantinya dilakukan wawancara.17
c. Pejabat/staf/responden yang ditemui tidak selalu penanggungjawab
pelaksanaan PUG atau orang mengetahui proses PUG di
instansinya. Hal ini terjadi di hampir semua Kementerian/Lembaga
yang dikaji. Bahkan ketika waktu pertemuan telah disetujui, tidak
ada kepastian apakah responden kunci dapat menghadiri
pertemuan. Terkadang, responden/peserta kunci diganti oleh staf
yang tidak mengetahui permasalahan gender. Namun, tidak jarang
justru staf pengganti dapat memberikan informasi yang relevan.
Dari segi perspektif partisipatif, Tim Kajian tetap dapat
memanfaatkan ‘ketidaktahuannya’ itu sebagai data dan informasi
yang berguna. Alasan lain adalah pergantian pejabat/staf
(termasuk yang menangani proses PUG) cukup sering terjadi, dan
16 Seorang peserta FGD dari satu instansi menyatakan secara eksplisit bahwa PUG masih belum
menjadi prioritas di instansinya. Pernyataan ini merupakan gambaran umum yang juga dirasakan oleh tim peneliti.
17 FGD yang lengkap terjadi di Kementerian/Lembaga (Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia, Departemen Dalam Negeri, BKN, dan Departemen Kesehatan). Di tingkat daerah, FGD terjadi di Kabupaten Bogor; di Kabupaten Tanah Datar.
38
tampaknya informasi/sosialisasi dari pengelola lama ke pengelola
baru, kurang berjalan berkesinambungan.
d. Dengan keterbatasan waktu untuk wawancara dan FGD, Tim Kajian
kurang cukup dapat mendalami dan memahami dinamika budaya
internal Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, khususnya
yang berkaitan dengan penanganan dan pelaksanaan PUG.
1.8. Kesimpulan
Dari hasil kajian-kajian evaluasi pelaksanaan PUG di tingkat pusat
dan daerah di tahun 2002 dan 2005, dapat disimpulkan bahwa Inpres No.
9 Tahun 2000 tentang pelaksanaan PUG belum dijalankan di sebagian
besar Kementerian/Lembaga. Pelaksanaan PUG belum melembaga dan
belum menjadi arus-utama di Kementerian/Lembaga dan di SKPD provinsi
dan kabupaten/kota yang dikaji. Umumnya Kementerian/Lembaga masih
menjalankan PUG seperti suatu proyek di salah satu unit atau bagian unit.
Berbagai kendala dihadapi dalam upaya pengumpulan data dan
informasi, terutama dalam hal keterbatasan waktu, pemahaman, dan
kehadiran responden (pejabat/staf) untuk FGD dan wawancara.
39
BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA:
Tinjauan dari Perspektif gender
Gender masuk ke dalam khasanah pembangunan -khususnya
perencanaan pembangunan- relatif baru, yaitu sebagai tindak-lanjut dari
kesepakatan global seperti tertuang dalam Bejing Platform for Action
(1995) yang mengimbau negara-negara yang hadir dalam Pertemuan
Perempuan Sedunia ke-IV di Bejing, untuk melaksanakan
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam usaha pembangunannya. Di
Indonesia, kesepakatan itu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres
No. 9 Tahun 2000 yang mengharuskan seluruh Kementerian/Lembaga dan
pemerintah daerah melaksanakan PUG di setiap proses pembangunan.
Inpres tersebut diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Pemberdayaan
Perempuan No. B.55/Menteri PP/Dep.II/VI/2002 tentang kebutuhan
membentuk focal point disetiap sektor pemerintahan di tingkat nasional
dan daerah; Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No.
B.110/Menteri PP/Dep.II/IX/ 2003 tentang kebutuhan membentuk POKJA
Gender.
Dokumen perencanaan yang juga memuat tentang PUG adalah Perpres
No. 7 Tahun 2004 tentang RPJMN 2004-2009 dan Perpres No. 39 Tahun
2005 tentang RKP tahun 2006 dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang
RKP tahun 2007, yang menetapkan gender sebagai salah satu dari 4
prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan
pembangunan. Ketiga prinsip lain yang diutamakan adalah: pembangunan
berkelanjutan, penurunan kemiskinan, tatalaksana pemerintahan yang
baik. Artinya keempatnya harus menjadi isu lintas bidang, lintas unit
kerja, dan lintas program yang menangani usaha pembangunan di
masing-masing bidang/sektor. Observasi awal terhadap dokumen
perencanaan tersebut mengindikasikan bahwa ketiga prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, penurunan kemiskinan, dan tatalaksana
pemerintahan yang baik telah menjadi arus utama, kecuali gender.
40
Gender terutama belum benar-benar mengarus-utama di dalam dokumen
rencana tahunan pemerintah, RKP, sebab hanya isu gender muncul di
sejumlah kecil program dan kegiatan.
Berkaitan dengan isu gender dalam pembangunan ini, maka hasil yang
ingin dicapai adalah kesetaraan gender, yaitu kesetaraan perempuan dan
laki-laki dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, seperti pendidikan,
kesehatan, sosial-ekonomi, hukum, politik, dan seterusnya. Usaha ke arah
itu dilakukan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
pembangunan, yaitu suatu strategi yang memberi kepastian, bahwa isu
yang berkaitan dengan gender teridentifikasi dan tertangani di dalam
keseluruhan proses pembangunan, mulai dari perencanaan dan
pelaksanaan termasuk pemantauan dan evaluasinya.
Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan (KPP) mengembangkan suatu piranti analisis gender khusus
untuk mendukung proses perencanaan dan memudahkan perencana
untuk menemukan isu gender serta memformulasikan rencana tindak
dalam program pembangunan. Piranti analisis tersebut adalah Gender
Analysis Pathway (GAP) dan Policy Outlook Plan of Action (POP), yang
telah disosialisasikan dan digunakan secara luas di tingkat nasional
maupun daerah.
Lebih dari satu dekade berlalu setelah komitmen melaksanakan PUG itu
dibangun dan dilaksanakan. Telah banyak kemajuan yang dicapai, tetapi
banyak juga terdapat kelemahan dan hambatan yang perlu dicermati dan
diperbaiki. Bab II ini menyajikan suatu tinjauan evaluatif mengenai
bagaimana masing-masing Kementerian/Lembaga yang dikaji merespon
dan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kementerian/Lembaga yang
dikaji dalam melaksanakan PUG, sejumlah unsur-unsur keberhasilan
maupun kendala telah diidentifikasikan dan dapat menjadi masukan untuk
mendapatkan pola-pola umum yang dapat dipakai untuk melaksanakan
PUG ke depan dalam hal perencanaan pembangunan. Bab II difokuskan
pada hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat Kementerian/Lembaga;
41
sedangkan gambaran pelaksanaan PUG di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota akan diuraikan di Bab III.
Dengan mengacu pada kerangka acuan yang dipakai dalam kajian ini18,
secara umum dapat dikatakan bahwa dari segi proses telah ada
kemajuan yang dicapai Kementerian/Lembaga dalam usaha melaksanakan
PUG. Kemajuan itu antara lain: 1) mayoritas Kementerian/Lembaga
sekarang sudah memiliki payung hukum yang berkaitan dengan
pelaksanaan PUG; 2) sebagian besar sudah memiliki wadah (struktural
maupun fungsional) yang mengurusi PUG; 3) usaha melakukan sosialisasi
meningkatkan kesadaran gender dan membangun kemampuan, seperti
pelatihan analisis gender, meskipun hasilnya belum optimal; 4) di
beberapa Kementerian/Lembaga sudah mempunyai program, kegiatan
yang sudah di buat responsif gender; dan 5) semakin banyak sumber
daya manusia (SDM) Kementerian/Lembaga yang sudah mengenal PUG,
dan yang sudah terpapar terhadap analisis gender, bahkan juga sudah
terampil melakukan analisis dan mengintegrasikannya ke dalam
kebijakan/program/kegiatan pembangunannya.
Namun demikian, dari segi capaian pelaksanaan masih banyak
kekurangan dan kelemahannya. Tim Kajian mengidentifikasikan
kekurangan dan kelemahan itu berkaitan erat dengan: 1) payung hukum
yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG masih belum tersosialisasi
dengan baik di dalam lembaga baik secara horizontal maupun vertikal; 2)
kebijakan dan program/kegiatan yang telah dibuat responsif gender masih
berupa dokumen, dan belum/tidak dilaksanakan; 3) wadah (struktural)
yang mengurus pelaksanaan PUG pada umumnya ditempatkan pada posisi
yang kurang/tidak instrumental, sehingga kurang efektif dan optimal; 4)
belum ada usaha nyata dalam menanggulangi kelangkaan data terpilah
menurut jenis kelamin dan; dan 5) pengembangan kemampuan SDM
untuk melaksanakan PUG belum merata.
Gambaran detail dari cerita sukses maupun kelemahan dan hambatan
diuraikan di sub-bab 2 di bawah ini.
18 Lihat Bagian 1 hal 2
42
Pelaksanaan PUG di beberapa Kementerian/Lembaga terpilih
Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi
dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 200519 dan aggregasi
temuan-temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya,
maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji.
Aspek-aspek tersebut adalah: 1) Dukungan (politik) pimpinan
Kementerian/Lembaga; 2) Tersedianya wadah, baik struktural maupun
fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; 3)
Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah
menurut jenis kelamin; 4) Sumberdaya manusia (SDM) yang memahami
dan mampu melaksanakan PUG serta ’mengawalnya’; 5) Trend/jumlah
Program/Kegiatan yang responsif gender. Kelima aspek tersebut dipilih
karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya
untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender20.
2.1. Dukungan Politik
Dukungan politik dimaksudkan di sini sebagai cermin dari
kesungguhan/komitmen yang diberikan pimpinan Kementerian/ Lembaga,
sekaligus merupakan payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi
masing-masing. Dukungan politik ditingkat Kementerian/ Lembaga itu dari
segi proses diukur dari jumlah produk hukum seperti Surat Keputusan,
Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan seterusnya yang dikeluarkan
oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan yang berkaitan dengan
pelaksanaan PUG dilembaganya masing-masing. Dari segi capaian
pelaksanaan PUG diukur dari tersosialisasinya keberadaan payung hukum
itu di internal lembaga, terutama diantara jajaran pimpinan lembaga
(horizontal) dan di antara penanggung jawab program dan staf
professional yang merancang dan melaksanakan perencanaan (vertikal).
Dilihat dari produk hukum yang dihasilkan, dari ke-18
Kementerian/Lembaga yang dikaji, 16 Kementerian/Lembaga telah
memiliki payung hukum. Dewan Kelautan dan Perikanan (DKP) dan 19 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005).
20 Aspek ke -6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya.
43
Lembaga Administrasi Negara (LAN) belum mengeluarkan produk hukum
untuk mewadahi PUG secara internal.21
Bentuk, maksud, serta waktu dikeluarkannya payung hukum itu beragam.
Ada beberapa Kementerian/Lembaga seperti Depdiknas, Deptan, Depkes,
Kemenneg KUKM, BKKBN, Dephukham, Depdagri, dan Depsos telah
mengeluarkan produk hukum itu dalam bentuk Surat Keputusan (SK)
Menteri/Instruksi Menteri dan atau yang sederajat; sebagian lagi
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang lainnya, seperti Sekjen, atau
pejabat setingkat Eselon I.
Dari pengalaman beberapa Kementerian/Lembaga, teridentifikasi
beberapa pola bagaimana suatu payung hukum dikeluarkan, yaitu:
a. Kebutuhan praktis/keterlibatan dalam proyek. Keterlibatan beberapa
Kementerian/Lembaga dalam (pilot) proyek yang mengharuskan sensitif
gender. Contohnya proyek Development Planning Assistance (DPA) yang
difasilitasi Bappenas/KPP/dan CIDA WSP II (2001-2002) dimana salah
satunya adalah capacity building melalui pelatihan analisis gender. Untuk
keperluan tersebut, Kementerian/Lembaga di unit kerja yang
bersangkutan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk membentuk
Pokja Gender, karena melibatkan personel dari beberapa unit kerja.
Departemen Sosial cq Badan Litbangsos misalnya, mengeluarkan SK
Kepala Badan Litbangsos No. 01/PPS/KSM/SK/I/2002 berkenaan
dibentuknya Tim Teknis Pokja PUG. Surat Keputusan Kepala Badan
Litbangsos ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkan SK Mensos RI No.
07/PEGHUK/2002 tentang dibentuknya Pokja PUG Bidang Kesos kemudian
direvisi dan ditingkatkan menjadi SK Mensos RI No. 93/HUK/2005 tentang
Keanggotaan Pokja PUG Bidang Kesos.
Di Kemeneg. LH, embrio Pokja PUG bahkan sudah terbentuk di Bapedal
pada tahun 1994, dengan nama Kelompok Diskusi, yaitu suatu wadah
fungsional yang terbentuk karena adanya proyek Environmental
Management Development in Indonesia (EMDI). Kelompok Diskusi ini aktif
membicarakan tentang perempuan dan lingkungan hidup. Kelompok kerja 21 Kemeneg. PAN menyatakan telah memiliki, tetapi tidak jelas nomor dan isinya, bahkan responden
tidak dapat menjelaskan siapa yang menyimpan dokumennya.
44
ini berakhir dengan selesainya proyek EMDI. Tahun 1997 di Bapedal
dibentuk Kelompok Kerja Gender dan Lingkungan (KKGL) berkaitan
dengan proyek kerjasama dengan Kanada yaitu Collaborative Environment
Project in Indonesia (CEPI) yang memiliki komponen gender di dalamnya.
Anggota KKGL tidak hanya dari internal Bapedal, tetapi juga dari
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Pusat Pengkajian
Studi Lingkungan Universitas Indonesia, dan individu yang tertarik dengan
masalah gender di lingkungan hidup. Kegiatan KKGL ini berakhir dengan
selesainya proyek. Beberapa anggota KKGL bergabung lagi dalam Pokja
ketika tahun 2001 Bapedal (kemudian digabung menjadi satu dengan
Kemeneg. LH) menjadi pilot proyek Development Planning Assistance
(DPA) untuk melakukan pelatihan analisis gender yang difasilitasi oleh
Bappenas, KPP dan Women Support Proyect II (CIDA)22. Pokja Gender
dibentuk dengan diterbitkannya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103
Tahun 2003. Akan tetapi dengan berakhirnya proyek DPA, kegiatan Pokja
di Kemeneg. LH itupun berakhir.
Dengan bergabungnya Bapedal serta adanya reorganisasi dan
restrukturisasi di dalam Kemeneg. LH pada tahun 2002, maka Surat
Keputusan Pokja Gender tersebut menjadi tidak jelas dan bentuk dari
dukungan politik terkait lainnya tidak berlanjut. Bahkan beberapa
personel yang tercantum nama-namanya baik sebagai Tim Pengarah dan
Tim Pokja, tidak mengetahui kelanjutan dari SK tersebut.
Saat ini, dukungan politik untuk melaksanakan PUG di Kemeneg. LH
sangat rendah. Hal ini menguatkan hasil evaluasi pelaksanaan PUG pada
tahun 2005 yang mengindikasikan bahwa proses PUG di Kemeneg. LH
mengalami stagnasi. Salah satu sebabnya adalah karena isu gender tidak
dianggap relevan dengan isu lingkungan.23 Dari hasil evaluasi tersebut
diidentifikasi bahwa anggapan irrelevansi di Kemeneg LH lebih karena
para pengambil keputusan kurang tersentuh dengan sosialisasi dan
advokasi yang berkaitan dengan gender.
22 Ada 9 Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam pilot proyek Bappenas/KPP/ WSP 2 CIDA (2001-
2002), yaitu Depnakertrans, Depdiknas, Depkes, Depsos, Deptan, Dephukham, Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH, dan BKKBN.
23 Isu gender disebut berkali-kali dalam Rio Deklarasi
45
Salah seorang anggota Pokja, yang pernah menjadi gender focal point,
dan sekarang duduk di eselon II, membawa isu gender ke dalam
beberapa programnya. Beberapa staf yang pernah menjadi anggota Pokja
dan staf dari bagian Perencanaan, sangat peduli dengan isu gender dalam
programnya dan program lingkungan hidup pada umumnya. Akan tetapi
tidak dapat berbuat banyak, karena kurang/tidak ada dukungan dari
pimpinan dan pengambil keputusan.
Departemen Pertanian (Deptan) termasuk Kementerian/Lembaga yang
sejak lama memberi dukungan dan perhatian pada masalah perempuan
dalam program-programnya. Pokja Gender yang disebut Pokja Gender in
Extension terbentuk pada Badan Pengembangan SDM pada tahun 2000
sehubungan dengan keterlibatannya dalam proyek Decentralized
Agricultural and Forestry Extension (DAFEP). Pada tahun 2003, Deptan
mengeluarkan SK Menteri No. 247/Kpts/KP.150/4/2003 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi PUG Departemen Pertanian. Tim koordinasi
beranggotakan pejabat-pejabat dengan kedudukan yang sangat
instrumental. Contoh, Ketua Tim Koordinasi dijabat Sekretaris Jendral,
dan Wakil Ketua adalah Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan, serta
Sekretaris adalah Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan. Para
anggota adalah Kepala Bagian dan Sub-Bagian Perencanaan dan/atau
salah satu staf dari eselon I. Pada tahun 2005, Deptan juga menerbitkan
Peraturan Menteri Pertanian No. 394/Kpts/RC.120/11/2005 tentang
Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pertanian Tahun 2005-2009
yang memasukkan aspek gender sebagai salah satu pertimbangan
penting yang harus diperhatikan.
Adapun Departemen Kesehatan (Depkes), pada tahun 2004 mengeluarkan
Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 615/Menkes/VI/2004 tentang
Pelaksanaan PUG-BK; meskipun sebelumnya secara de facto Tim Pokja
sudah terbentuk dan bekerja, sehubungan dengan keterlibatannya dengan
berbagai proyek yang yang menuntut agar kegiatan-kegiatan terkait
responsif gender, seperti Development Assistance Project di tahun 2001.
Sejalan dengan pelaksanaan PUG yang semakin berkembang di bidang
kesehatan, pada tahun 2007 Depkes mengeluarkan SK Menteri Kesehatan
46
No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG-BK. Melalui Surat Edaran
yang baru tersebut, para pengambil keputusan tingkat Eselon I dilibatkan
secara lebih aktif dengan menduduki posisi Tim Pengarah (ex-oficio).
Lebih jauh, para pejabat tingkat Eselon II ditunjuk sebagai gender focal
point di unit kerja masing-masing dan bertangung-jawab terhadap
pelaksanaan PUG di unit kerjanya.24
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas banyak terlibat dengan
proyek-proyek bantuan maupun kerjasama yang menargetkan program-
program dan kegiatan-kegiatan terkait responsif gender. Beberapa
contohnya adalah program Education For All (EFA) sebagai tindak lanjut
dari kesepakatan Dakar, dan program-program kerjasama UNESCO dan
UNICEF. Pokja Gender terbentuk pada tahun 2002, berkaitan dengan
keterlibatan Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dalam pilot proyek
Development Assistance Project (DAP). Sebagai kelanjutan dari pilot
proyek maka dikeluarkan SK Pokja Dirjen PLS SK Pokja PUG Depdiknas
No. KEP-89/E/MS/2002. SK tersebut menetapkan Tim Pengarah terdiri
dari semua Eselon I, Tim Teknis terdiri dari semua eselon II, Tim Pakar,
terdiri dari pakar gender internal dan eksternal, serta Tim Sekretariat
yang terdiri dari Kabag Perencanaan semua unit, di samping Tim
Pelaksana. Surat keputusan Dirjen ini diperbaharui setiap tahun. Pada
tahun 2007 SK Dirjen PLS tersebut ditingkatkan menjadi SK Menteri
Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang pembentukan Kelompok Kerja PUG
Bidang Pendidikan.25
Departemen Dalam Negeri (Depdagri) secara lembaga sudah terpapar
dengan isu gender sejak lama. Di pertengahan tahun 90-an, Depdagri
dipilih sebagai pilot proyek Perencanaan dari bawah dan dari Atas yang
berperspektif gender, dengan sponsor UNIFEM. Untuk keperluan itu
diterbitkan SK tentang Pembentukan Pokja Gender. Tahun 2003, sesuai
dengan tupoksi Depdagri, dikeluarkan Kepmendagri No. 132 tahun 2003
24 Saat Tim Kajian mendatangi Depkes, draft kedua Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Kesehatan
sedang dipersiapkan. 25 Saat Tim Kajian datang untuk wawancara, Depdiknas sedang menyusun Peraturan Menteri Diknas
mengenai Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan (draft 2) yang rencananya akan terbitkan pada akhir tahun 2007, atau paling tidak di awal tahun 2008.
47
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah
dan kemudian disusul dengan SK Mendagri No. 411/1245/SJ tahun 2006
tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dalam PUG di Daerah.
b. Tindak lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000.
Pola yang paling banyak terjadi di Kementerian/Lembaga adalah
keluarnya SK yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG sebagai tindak
lanjut dari Inpres No. 9 Tahun 2000 dan Surat Edaran Menteri
Pemberdayaan Perempuan No. B.110/Men PP/Dep.II/IX/2003 tentang
Pembentukan Pokja Gender di setiap Kementerian/Lembaga. Beberapa
Kementerian/Lembaga lebih lambat merespon dibandingkan dengan
Kementerian/Lembaga lainnya. Hingga saat ini, selain DKP dan LAN,
semua Kementerian/Lembaga yang dikaji telah membentuk Pokja Gender.
Pada tahun 2001, Kemeneg. KUKM membentuk Kelompok Kerja
Pemberdayaan Perempuan melalui SK Kepala Badan Pengembangan
Sumberdaya Koperasi dan PKM No. 2/KEP/K.BD/1/2001. Kemudian,
diterbitkan pula SK Menteri Negara KPKM No. 58/KEP/SES.MENEG/
VII/2001 tentang Pembentukan Tim PUG dan Pemberdayaan Perempuan
Sektor KPKM. Pada tahun 2002, kedua SK tersebut diganti dengan SK
Menteri Negara KUKM No. 29/Kep/M.KUKM/IV/2002 tentang Pembentukan
Tim PUG Sektor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (TimPUG-PP-KUKM).
Anggota tim umumnya pejabat tingkat Eselon II yang merupakan
perwakilan dari setiap kedeputian dan Sekretariat Menteri .
Menindaklanjuti Inpres No. 9 Tahun 2000, Kejaksaan Agung menerbitkan
Keputusan Jaksa Agung No. 680/A/JA/2001 mengenai pembentukan Focal
point dan Pokja Gender di lingkungan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung
Muda Bidang Pembinaan menjadi Focal point dan melibatkan hampir
seluruh jajaran di lingkungan Kejaksaaan Agung. Pada tahun 2004
Keputusan tersebut diperbaharui menjadi Keputusan Jaksa Agung RI No.
KEP-008/C/Cr.3/01/2004. Keputusan ini yang menjadi dasar dari Kep-X-
05/C/05/2005 tentang Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia.
48
Departemen Hukum dan HAM (Dephukham) pada tahun 2002
menerbitkan SK Pemimpin Proyek PUG Bidang Hukum Sekretariat Jendral
No. A1/PUGKM/1/01A tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Kesetaraan
dan Keadilan Gender (KKG). Tim ini beranggotakan para Kepala Biro
sebagai Ketua Tim KKG dan sekretaris unit utama dengan ketua dari unit
terkait yakni unit Perlindungan HAM, unit Peraturan Perundangan dan
BPHN. Tim KKG dibantu oleh 4 Pokja yang bertangung-jawab terhadap isu
tertentu seperti peningkatan kesadaran gender, KIE, Forum Konsultasi
serta Monitoring dan Evaluasi. Beberapa rekomendasi yang responsif
gender dihasilkan dari kerjasama antara tim KKG, Tim Pokja, dan para
narasumber, antara lain tentang melakukan penyempurnaan peraturan
perundang-undangan nasional agar responsif gender; isi, format, dan
penyajian laporan dengan memakai data terpilah menurut jenis kelamin;
materi kegiatan penyuluhan hukum yang sensitif gender, khususnya
tentang UU kewarganegaraan dan UU Imigrasi; menunjuk pejabat sebagai
Focal point; serta membentuk Pokja PUG dan Pusat Studi Wanita dan
Gender (PSWG) dalam struktur Kampus Pengayoman. Tidak semua
rekomendasi itu dijalankan karena adanya beberapa kendala, antara lain
kegiatan PUG masih merupakan kegiatan di luar sistem Dephukham;
Kegiatan PUG di Dephukham seperti halnya di sebagian besar
Kementerian/Lembaga lain masih bersifat ad Hoc. Penekanan kegiatan
masih pada sosialisasi dan seminar tentang peningkatan kesadaran
gender dalam bidang hukum. Focal point Gender yang baru merupakan
pejabat dari Eselon II dan bertekad untuk melakukan terobosan-terobosan
kekegiatan yang kongkrit dan terukur. Masalah yang sama dihadapi oleh
Dephukham adalah dukungan politik dari pimpinan lembaga masih
terbatas pada terbitnya Surat Keputusan dan sejenisnya. Dokumen-
dokumen itu belum tersosialisasi dan belum tercermin ke dalam program-
program dan kegiatan-kegiatan Dephukham.
c. Bagian dari struktur dan tatakerja lembaga. Di BKKBN, gender
merupakan bagian dari struktur dan tatakerja lembaga, seperti tertuang
dalam SK Meneg PP/Ka BKKBN tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata
Kerja BKKBN. Kemudian dikeluarkan SK Kepala BKKBN No. 22/KT-
005/G3/2003 tentang Pokja Gender di Lingkungan Kantor Pusat BKKBN.
49
Sesuai dengan tupoksinya, BKKBN mempunyai satu kedeputian bidang
Peranserta Laki-laki. Namun demikian tidak dengan sendirinya BKKBN
menerapkan startegi PUG untuk keseluruhan programnya.
Surat Keputusan dan sejenisnya memang diperlukan sebagai payung legal
dari kesepakatan untuk melaksanakan PUG. Namun tidak selalu
keberadaan Surat Keputusan dan sejenisnya itu berlanjut ataupun
melembaga dan menjadi dukungan politik kongkrit. Di beberapa
Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup cq Bapedal,
Pokja gender sudah terbentuk relatif lama yaitu dengan keterlibatannya
dalam berbagai proyek yang mengharuskan kegiatan terkait lebih
responsif gender. Akan tetapi Pokja-Pokja yang dibentuk bersifat ad Hoc
sejalan dengan project yang tidak lestari keberadaanya. Keberadaan
berbagai Surat Keputusan ternyata tidak juga menginspirasi keluarnya SK
baru yang lebih tinggi dan instrumental. Sebaliknya, seperti yang
diperlihatkan di Deptan, Depdiknas, dan Depsos, SK yang semula
dikeluarkan karena keikutsertaan suatu unit kerja dalam proyek, telah
berlanjut dan ditingkatkan menjadi Surat Keputusan Menteri untuk
pelaksanaan PUG Departemen/Lembaga secara keseluruhan.
Sementara itu, ada beberapa Kementerian/Lembaga yang tidak/belum
memiliki Surat Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan PUG, tetapi
program kegiatannya sudah gender sensitif, contohnya di Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Lembaga Admistrasi Negara (LAN).
Meskipun kedua lembaga ini belum mempunyai SK mengenai Pokja
gender atau pelaksanaanya, akan tetapi beberapa program kegiatannya
sudah ada yang responsif gender. DKP misalnya, memiliki program
kegiatan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi perempuan di
perkampungan nelayan, sehingga kegiatan ekonomi di perkampungan
nelayan tidak hanya didukung oleh para nelayan laki-laki. LAN, sebagai
lembaga yang memberikan pelatihan jenjang pegawai negeri, sangat
instrumental bagi sosialisasi PUG. Akan tetapi, sampai saat ini LAN belum
mengeluarkan payung hukum untuk mendukung pelaksanaan PUG di LAN.
Isu gender dimungkinkan masuk ke dalam materi pelatihan, misalnya
50
melalui thematic issues dan dosen tamu, tetapi cara ini jelas tidak
membuat gender melembaga di LAN.
Dibuatnya suatu SK (Kelompok Kerja Gender, Tim Koordinasi, dan lain
sebagainya) belum berarti PUG dapat berjalan. Karena berlainan dengan
pola pertama (keterlibatan dalam proyek), biasanya pola yang terakhir ini
masih sangat terbatas kegiatannya. Hampir semua kegiatan hanya
melanjutkan program-program yang ada, yaitu program-program dengan
target spesifik perempuan (Wanita dan Pembangunan).
Beberapa isu penting berkaitan dengan Dukungan dan Kemauan Politik:
a) Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan
politik terhadap pelaksanaan PUG, dan untuk membentuk Pokja,
sayangnya payung Hukum itu kurang tersosialisasi secara baik –
terutama diantara para pimpinan dan pembuat keputusan di
Kementerian/Lembaga. Bahkan keberadaan Surat Keputusan
berkaitan dengan pelaksanaan PUG yang dikeluarkan internal lembaga
(SK Menteri dan sejenisnya), tidak selalu cukup tersosialisasi di antara
unit kerja. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui
oleh orang-orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut.
b) Dukungan politik ini sangat erat berkaitan dengan pemahaman,
terutama pemahaman dari para pimpinan dan pengambil kebijakan.
Terindikasi bahwa para pimpinan/pengambil kebijakan sebenarnya
belum banyak terpapar dan belum memahami PUG serta
manfaatnya26. Sebab itu meskipun kita telah mengadopsi berbagai
konvensi PBB tentang anti-diskriminasi (CEDAW), bahkan telah
menjadikannya Undang-undang (UU No. 7 Tahun 1984), serta
menyetujui PUG sebagai hasil kesepakatan global (Beijing Platform)
bahkan telah menguatkanya ke dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005, akan tetapi karena pemahaman
mengenai gender/PUG yang masih kurang bahkan seringkali ‘keliru’,
maka kemauan serta dukungan politik itupun belum terbangun.
26 Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil
keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG.
51
c) Hambatan lain, seperti yang sering diutarakan selama melakukan
wawancara maupun FGD adalah menyangkut persoalan dana. Dengan
dikeluarkanya suatu SK ada konsekuensi pendanaan; padahal pos
untuk itu seringkali bersifat ad hoc karena memang tidak direncanakan
sebelumnya.
d) Dari best practise seperti yang diperlihatkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan, Departemen
Pertanian, memperlihatkan bahwa dukungan politik, payung legal dan
piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada
prakarsa internal yang dilakukan oleh (sekelompok) orang yang
‘committed’, ajeg (konsisten) dan difasilitasi oleh orang-orang yang
kompeten.
e) Ada beberapa peluang untuk menghasilkan dukungan politik. Data
empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari
prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang
responsif gender sampai usaha advokasi pada para
pimpinan/pengambil kebijakan.
f) Degradasi dukungan politik bisa terjadi ketika keberadaan Surat
Keputusan tidak efektif dipergunakan. Contoh, yang terjadi di
Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
g) Tenggang waktu dikeluarkannya Surat Keputusan yang lebih permanen
itu beragam, yang terbanyak adalah antara tahun 2006-2007, yaitu
setelah kurang lebih 6 – 7 tahun dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun
2000 tersebut atau sekitar 5 tahun sejak dikeluarkannya SK Men UPW
berkaitan dengan pembentukan Kelompok Kerja Gender di masing-
masing sektor.
2.2. Program yang responsif gender
Dari evaluasi 2005 diketahui bahwa dari 38 program (Propernas) yang
sudah responsif gender hasil intervensi Bappenas dan KPP dengan
difasilitasi oleh WSP II Canada, hampir tidak ada yang sudah
dilaksanakan, kecuali beberapa cuplikan dari bagian kegiatan hasil dari
52
pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Beberapa responden
memberi alasan yaitu karena ada peralihan dari Propernas ke RPJMN
2004-2009, sehingga masing-masing Kementerian/Lembaga
menyesuaikan dengan misi dan fokus RPJMN 2004-2009. Lainnya
memberi alasan keterlambatan mengajukan. Kemungkinan lain adalah ke
38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individu-individu
yang ikut pelatihan gender analisis, tidak dengan sendirinya ‘dimiliki’ atau
menjadi dokumen resmi dari lembaga atau unit yang diwakilinya. Selain
minimnya desiminasi internal dari hasil pelatihan itu, sebab lain adalah
karena kedudukan serta peran dari individu didalam lembaga/unit yang
diwakilinya tidak cukup kuat dalam meyakinkan atasan/rekan kerjanya
mengenai program/kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif.
Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah
suatu proses yang melibatkan banyak orang dan pentahapan yang tidak
selalu kondusif untuk menerima ‘sesuatu yang baru’ seperti memasukan
perspektif gender dalam (perencanaan) program.
Beberapa responden mengatakan bahwa meskipun beberapa program dan
kegiatannya sudah gender responsif seperti tertulis dalam dokumen akan
tetapi “seperti pengakuan banyak responden” tidak selalu melalui suatu
analis gender.
Responden lain juga mengatakan bahwa meskipun sudah selesai ikut
latihan analisis gender, dirinya masih belum jelas bagaimana
‘mendaratkan’ PUG ke dalam program/kegiatan nyata. Rata-rata mereka
yang pernah mengikuti sosialisasi gender ataupun pelatihan analis gender
menyebutkan bahwa secara teori/wacana konsep gender, konsep PUG,
apa dan mengapa PUG, sudah mereka dipahami. Akan tetapi bagaimana
operasionalisasinya masih belum jelas.
Di hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki program/kegiatan
yang responsif gender, paling sedikit kegiatan sosialisasi dan capacity
building. Bahkan beberapa unit di Kementerian Pendidikan, Kesehatan,
dan Pertanian misalnya program kegiatan unggulannya sudah dijadikan
responsif gender.
53
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan Program yang responsif
gender:
a. Kementerian/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif
gender kedalam program dan kegiatanya. Tetapi masalah teknis
dalam pelaksanaannya masih menjadi kendala. Kendala itu
termasuk kendala kemampuan untuk melakukan maupun kendala
hirarki birokratis dalam mengambil keputusan
b. Pejabat Eselon III dan IV yang sudah dilatih gender analisis untuk
perencanaan program merupakan ujung tombak dalam membawa
PUG ke program dan kegiatanya di unitnya masing-masing. Kendala
yang masih dihadapi adalah meyakinkan pimpinannya dan kolega
kerjanya yang pada umumnya masih bias/ buta gender.
c. Proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan banyak
individu termasuk di luar unitnya yang seringkali berada di luar
wewenangnya.
2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional
Tidak semua Departemen/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau
kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural
maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai
kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga
yang secara eksplisit sudah memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk,
struktur, serta fungsinya beragam. Tiga pola teridentifikasi: a).
Kelembagaan fungsional; b) Kelembagaan dengan wadah struktural
kombinasi dengan wadah fungsional; c) Belum mempunyai keduanya,
baik wadah struktural maupun fungsional.
a) Kelembagaan fungsional. Di beberapa Kementerian/Lembaga
pelaksanaan PUG justru dimulai dengan kelembagaan fungsional. Di
Kemeneg. LH kelembagaannya non-struktur. Wadah fungsional berada di
Gender Focal point yang dijabat oleh Eselon I. Wadah lain, yaitu Pokja
Gender yang pernah terbentuk, tetapi sekarang tidak jelas keberadaanya.
54
Ketika masih berada di Bapedal, berkaitan dengan proyek lingkungan
yang peduli dengan isu gender (EMD, CEPI) telah dibentuk Pokja Gender
yang kuat, melibatkan bukan saja personel yang terlibat dengan proyek,
tetapi juga mitra kerja dari Kemeneg. PP, akademisi dan masyarakat
madani lainya. Kegiatan Pokja Gender ketika itu lebih menekankan pada
membagi pemahaman para anggota akan isu gender di ranah lingkungan
hidup. Secara berkala Kelompok Kerja tersebut melakukan diskusi/telaah
literatur dan ‘berbagi pengalaman dari lapangan’, termasuk mengundang
narasumber dari luar. Namun, kelompok kerja ini berakhir dengan
berakhirnya proyek.
Kelompok kerja di Kemeneg. LH dibentuk kembali dan dijadikan formal
dengan dikeluarkanya SK Menteri Lingkungan Hidup No. 103 Tahun 2003
tentang pembentukan Tim Pokja, yatu ketika Kemeneg. LH menjadi pilot
proyek DAP (Bappenas, Kemeneg. PP dan CIDA Women Support Project
II). Dari hasil kajian evaluasi yang diselenggarakan Bappenas/Kemeneg.
PP (2005), menunjukkan bahwa setelah Bapedal dan Departemen
Lingkungan Hidup bergabung menjadi Kemeneg. LH pada tahun 2004,
Pokja tersebut sudah tidak aktif lagi. Hal ini berkaitan dengan
penggabungan tersebut, yang diikuti dengan restrukturisasi. Banyak
anggota Pokja sudah berpindah tempat/struktur. Sebagian menganggap
ditempatnya yang baru tidak ada kaitannya dengan isu gender27. Lagi pula
ditempatnya yang baru, pimpinan/pengambil keputusan tidak
mendukung, sebagian besar karena pimpinan sendiri kurang pemahaman
tentang isu gender. Sebagian kecil dari anggota Pokja masih membawa
isu gender ke tempat yang baru28. Sisi cerah dari pengabungan ini adalah
telah ditunjuk focal point gender setingkat Eselon I. Kajian yang dilakukan
2007 ini, masih memperlihatkan hal yang sama. Di Kemeneg LH, PUG
hampir tidak berjalan, kecuali Unit Peran serta Masyarakat yang masih
memasukkan isu gender ke dalam kegiatan programnya.
Pengarusutamaan Gender di Departemen Pendidikan Nasional ditangani
oleh kelembagaan fungsional yaitu dalam bentuk Pokja Gender; dahulu
27 Kemungkinan besar, pelatihan yang selama ini diikuti, tidak cukup dipahami di tingkat
implementasi. 28 Patut dicatat disini beberapa staf masih terus memperhatikan dan meneruskan minatnya pada isu
gender ditempatnya yang baru.
55
dibawah Direktorat Pendidikan Luas Sekolah (SK Pokja DirJen PLS SK
Pokja PUG Depdiknas No. KEP-89/E/MS/2002), tetapi dengan
dikeluarkanya SK Menteri Pendidikan RI No. 060/P/2007, sebagai
peningkatan dari SK Dirjen PLS tersebut diatas, Pokja Gender Nasional
berada dibawah Sekretaris Jendral dan lembaga Focal point diketuai oleh
Direktur Jendral PNFI. Komposisi keanggotaan Pokja Gender Nasional
selain melibatkan pejabat dan staf internal juga bergabung pakar gender
dari luar, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat. Pada unit-unit
utama dibentuk sub-Pokja yang bertugas merumuskan program/kegiatan
program yang responsif gender dan melaksanakannya. Jika keduanya
berjalan efektif, diharapkan maksud dari gender sebagai lintas isu dan
lintas unit dapat tercapai. Persoalan yang dihadapi di Departemen
Pendidikan Nasional, seperti juga di Kementerian/Lembaga lainya adalah
‘terisolasinya’ program/kegiatan di masing-masing unit. Dengan
dijadikanya gender sebagai isu lintas unit/program dan peran ketua Pokja
gender dan Focal point dipegang oleh para pejabat tinggi, maka
diharapkan permasalahan ini dapat diatasi. Namun demikian, mengingat
kesibukan rutin dan ad Hoc kedua pejabat yang bertanggung-jawab
terhadap PUG di Departemen Pendidikan Nasional, maka peran sekretariat
yang handal menjadi penting. Mereka yang tergabung dalam sekretariat
bukan sekedar petugas administrasi, tetapi seharusnya juga mengerti
substansi dari peran Pokja dan focal point.
Keadaan yang sama juga terjadi di Departemen Kesehatan. Telah
diterbitkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang dibentuknya
Tim PUG-BK. Dalam Surat Edaran yang baru tersebut melibatkan para
pengambil keputusan (eselon I) yang duduk sebagai tim pengarah (ex-
oficio); serta Eselon II ditunjuk sebagai gender focal point di unit kerja
masing-masing yang bertangung-jawab terhadap pelaksanaan PUG di unit
kerjanya. Bergabung dengan PUG-BK adalah pakar gender dari luar yang
juga menjadi fasilitator nasional. Dengan ditingkatkannya Tim PUG-BK
menjadi Tim Nasional, maka kerancuan persepsi yang selalu
menempatkan PUG sebagai bagian dari kegiatan Direktorat Bina
Kesehatan Ibu (dahulu KESGA) dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan
Direktorat PLS di Departemen Pendidikan, Direktorat Bina Kesehatan Ibu
56
sebagai penggagas pertama, keduanya dianggap ‘pemilik’ dari kegiatan
yang berkaitan dengan PUG.
Masuk dalam pola pertama ini adalah Departemen Hukum dan HAM,
Kejaksaaan, dan Kepolisian.
b) Kombinasi wadah struktural dengan wadah fungsional. Di Departemen
Sosial, secara struktural yang mengurusi PUG berada di Eselon III
bercampur dengan mengurusi perempuan, dan bidang lainya. Oleh
karena Balitbangsos terlibat sebagai pilot project DSA (Bappenas/KPP/
WSP II CIDA) maka gender dan PUG selalu dilekatkan dengan
Balitbangsos. Karena kedudukanya dalam struktur berada di Eselon III,
sehingga ruang geraknya untuk melakukan PUG di lingkungan
Departemen menjadi terbatas. Nomenklatur yang bergabung dengan
bidang lain juga rentan untuk ‘terhapus’, apabila misi untuk melaksanakan
PUG belum jelas dan belum tersosialisasi dengan baik.
Kelompok Gender telah dibentuk yang disebut Pokja Gender Sektor
Kesejahteraan Sosial melalui SK MENSOS No.7 Tahun 2002 dan
diperbaharui menjadi No. 93/HUK/2005. Selain itu juga dibentuk Tim
Teknis, berdasarkan atas SK Kepala Balitbangsos No. 01/PPJ/KSM/2002.
Bersamaan dengan itu juga ditunjuk gender Focal point (tanpa SK).
Kegiatan-kegiatan dalam struktur yang umumnya berkaitan dengan
kegiatan rutin sesuai dengan tupoksinya berjalan seperti biasa.
Sedangkan kegiatan Kelompok Gender sebagai wadah fungsional sangat
tergantung pada kegiatan-kegiatan berorientasi proyek.
(c) Belum ada wadah struktural maupun fungsional. DKP dan LAN masuk
ke dalam pola ketiga, yaitu belum mempunyai keduanya, baik struktural
maupun fungsional. Meskipun demikian, kedua lembaga tersebut
mempunyai program kegiatan yang gender responsif.
Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan:
(a) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi
kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika yang
mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di
57
beberapa Kementerian/Lembaga yang mengurusi kegiatan PUG
ditempatkan pada struktur Eselon III (Depsos) atau Eselon IV. Biasanya
digabung bersama-sama dengan urusan bidang lain, seperti agama,
olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara
struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan
maupun melakukan terobosan-terobosan kedalam sistem. Hal ini
disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG.
Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program yang berkaitan dengan
program yang sudah ada sejak lama yaitu program Wanita dalam
Pembangunan. Hanya beberapa Kementerian (Depkes, Depdiknas, dan
Deptan) yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting
issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal.
Di Depdiknas misalnya, ada satu bidang (tingkat Eselon III) yang
mengurusi program-program Perempuan (Bidang Pendidikan Perempuan),
sedangkan yang mengurus PUG tempatnya akan berada di Sekretaris
Jenderal. Dan dengan dikeluarkannya SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP-
89/E/MS/2007, PUG akan menjadi cross-cutting kegiatan di masing-
masing Unit Utama. Sementara ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah
(sebagai cikal bakal PUG di Depatemen Pendidikan Nasional), masih tetap
berperan sebagai leading unit, sementara lembaga Sekjen belum efektif.
Depkes telah mengeluarkan SK Menkes No. 878/Menkes/SK/XI/2006
tentang Tim PUG Bidang Kesehatan, yang menempatkan Direktorat
(Eselon II) sebagai gender focal point yang bertangung-jawab atas
pelaksanaan PUG di-masing-masing unitnya dan Eselon I sebagai Tim
Pengarah.
(b) Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional
seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena
kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya
lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG,
maupun melaksanakannya. Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga
memiliki wadah-wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling
banyak dipunyai oleh Kementerian/Lembaga yang dikaji adalah gender
focal point, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal.
58
(c) Peran serta keterlibatan Focal point. Semua Kementerian/Lembaga
yang dikaji memiliki individu-individu/ focal point yang biasanya sudah
terpapar dengan isu gender (melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dst).
Sebab itu mereka berpeluang ikut memberi nuansa gender dalam
kegiatannya, meskipun tidak selalu demikian dalam kenyataanya.
Kebanyakan individu-individu yang sama terpapar dengan isu gender
melalui berbagai seminar dan pelatihan, akan tetapi tidak mempunyai
cukup kekuasaan untuk mengintervensi birokrasi, karena umumnya
mereka berasal dari Eselon III atau Eselon IV.
Peran gender focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I jauh
lebih instrumental. Focal Point Gender dapat melakukan advokasi
terhadap pimpinan lembaga/pengambil keputusan untuk memberi
dukungan politis maupun untuk mengeluarkan SK atauSurat Edaran dan
sejenisnya dalam rangka mendukung pelaksanaan PUG. Secara horizontal
focal point yang berasal dari Eselon II dan Eselon I sejatinya akan lebih
mudah melakukan advokasi pada rekan sejawat, jika dibandingkan
dengan focal point yang dijabat oleh Eselon III atau IV. Karena jabatan
strukturalnya yang operasional, focal point yang berasal dari Eselon II
lebih mudah membentuk kelompok kerja baik di unit kerjanya, maupun
dengan unit kerja lainnya.
Sebagai contoh di Depkes, sebenarnya jauh sebelum dikeluarkannya SE
Menteri Menkes 878/Menkes/SK/XI/2006 tentang Tim PUG Bidang
Kesehatan, PUG sudah ditangani oleh Direktorat Kesehatan Keluarga
(Kesga). Pada mulanya kegiatan PUG dilakukan di Direktorat Kesga
dengan keterlibatan penuh Direktur Kesga (Eselon II) yang juga
merupakan focal point gender. Kegiatan sosialisasi PUG dan pelatihan
analisis gender telah banyak dilakukan dan dihadiri bukan saja oleh staf
Kesga tetapi juga dari unit-unit lain. Peran serta keterlibatan penuh
gender focal point serta individu-individu yang sudah terpapar dengan isu
gender, sangat menonjol dalam proses pelembagaan PUG di Depkes.
Direktorat Kesga menjadi leading unit dalam urusan yang berkaitan
dengan gender. Lebih-lebih lagi ketika Departmen Kesehatan cq
Direktorat Kesga menjadi salah satu pilot proyek kegiatan capacity
59
building yang dilakukan oleh Bappenas/KPP/WSP II CIDA. Keikutsertan
dalam kegiatan tersebut telah membuka kesempatan untuk memperkuat
sumber daya manusia yang handal serta melakukan kegiatan-kegiatan
lebih sistematis dan terfokus (pelatihan analisis gender, membuat
kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender). Direktorat ini telah
melakukan banyak kegiatan-kegiatan sosialisasi dan juga melakukan
capacity building secara ekstensif bukan saja di kalangan sendiri, tetapi
juga dengan melibatkan unit-unit lain di Depatemen Kesehatan, baik di
pusat maupun didaerah (provinsi, kabupaten/kota).
Sebab itu suatu payung legal diperlukan, seperti terlihat dengan
diterbitkanya Surat Edaran Menkes No. 615/Menkes/VI/2004 tentang
Pelaksanaan PUG-BK).
Peran serta keterlibatan gender focal point dalam mengeluarkan payung
hukum juga terjadi di Dephukham. Focal point yang berasal dari unit Data
penuh inisiatif melakukan sosialisasi Gender di unit-unit lingkungan
Departemen maupun di lembaga-lembaga yang terkait misalnya dengan
mengikutsertakan peserta dari lembaga Kepolisian, lembaga Kejaksaan,
Badan Penelitian Hukum Nasional (BPHN). Hasilnya antara lain adalah
dikeluarkannya SK Menhukham Tahun 2002 tentang Pembentukan Tim
KKG Bidang Hukum. Meskipun harus diakui, kegiatannya belum cross-
cutting unit, tetapi lebih pada kegiatan sosialisasi Gender dan PUG. Ketika
focal point tersebut diganti karena mutasi, PUG belum melembaga.
Kegiatan masih diteruskan oleh focal point penggantinya.
Kasus di Depdiknas tidak jauh berbeda. Pada mulanya gender focal point
dijabat oleh Direktur Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan gender lekat dengan Direktorat PLS. Sebab itu,
ada kesan bahwa PUG itu di Depdiknas adalah domain PLS.29 Sementara
itu, sejak tahun 2007, gender focal point untuk Departemen Pendidikan
Nasional dijabat oleh Ditjen PNFI, dengan wakilnya dijabat oleh Direktur
PLS. Gender focal point akan ditempatkan di Sekjen, sehingga akan lebih
mudah menjangkau unit-unit lain. Semua Eselon III bidang perencanaan
duduk sebagai Tim Teknis.
29 Hal yang sama juga terjadi dengan Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Departemen Kesehatan
60
Tiga kasus di atas memperlihatkan bagaimana gender focal point berperan
dalam meningkatkan kelembagaan gender ke tingkat Kementerian/
Lembaga.
2.4. Peran Pokja Gender
Hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki SK untuk
membentuk Pokja gender/PUG. Meskipun ada perbedaan diantara
Kementerian/Lembaga yang dikaji.
Pada 22 Mei Tahun 2007, payung legal yang mencakup PUG untuk seluruh
Kementerian/Lembaga dikeluarkan berupa SK Menteri tentang PUG-
Bidang Kesehatan. Hampir semua pejabat Eselon I dan II dilibatkan.
Panitia Pengarah melibatkan pejabat Eselon I sedangkan pejabat Eselon
II (Direktur), menjadi focal point untuk unitnya masing-masing. Dengan
melibatkan para direktur sebagai focal point untuk unitnya masing-
masing, maka diharapkan pelaksanaan PUG di lingkungan Departemen
Kesehatan akan lebih efektif.
Di Depdiknas pada mulanya inisiatif melaksanakan Pokja PUG datang dari
Direktorat PLS. Tentang pembentukan Pokja Gender dan pembentukan
Dewan Pakar Gender, yang melibatkan personel internal serta Pakar
Gender dari luar Departemen, termasuk dari Lembaga Sosial Masyarakat,
dan kalangan akademisi. Surat Keputusan tersebut diperbaharui setiap
tahun dan yang terakhir keluar SK Pokja PUG Depdiknas No. KEP-
89/E/MS/2007, yang antara lain mengukuhkan Dirjen Pendidikan
Nonformal dan Informal (PNFI) sebagai gender focal point serta direktur
Pendidikan Masyarakat sebagai wakilnya. Sejak keluarnya SK Menteri
tentang pelaksanaan PUG, maka lebih banyak unit kerja di luar Pendidikan
Masyarakat yang menindaklanjuti SK Menteri tersebut, dengan
membentuk kelompok kerja maupun melakukan sosialisasi PUG di unitnya
masing-masing.
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan pelembagaan PUG:
1. Penunjukkan Eselon II sebagai focal point merupakan terobosan
penting mengingat peran dan kedudukannya yang instrumental dan
61
operasional. Di beberapa Kementerian/Kelembagaan, seperti Depkes
dan Depdiknas, untuk kelembagaan fungsional selain focal point dan
kelompok kerja gender, keberadaan Dewan Pakar juga dikembangkan,
dengan melibatkan pakar gender di kalangan internal dan eksternal
institusi.
2. Ada kecenderungan ketidakjelasan tentang tugas dan kewajiban
sebagai focal point; sehingga keberadaan kelembagaan focal point
tidak selalu berkerja efektif. Sejatinya harus ada semacam Kerangka
Acuan (Terms of Reference) untuk focal point yang relevan dengan
keperluan Kementerian/Lembaga masing-masing. Selain itu harus juga
dipikirkan semacam insentif untuk memangku jabatan itu. Insentif itu
tidak selalu dalam materi saja, tetapi bisa dalam bentuk kewenangan,
misalnya duduk dalam tim review program.
3. Focal point seringkali berada dipos ‘tidak penting’ dan ‘bukan penentu’,
sehingga ia tidak berdaya untuk menghadapi suatu sistem dengan
birokrasi dan hirarki yang kental.
4. Ada kesalahan persepsi tentang pelaksanaan PUG. Pemahaman bahwa
PUG adalah program/kegiatan yang akan ‘mengurangi’ PAGU
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pada
mulanya keberadaan Tim Pokja Gender yang efektif biasanya
bersamaan dengan adanya kegiatan suatu proyek. Ketika kegiatan
proyek itu selesai, tim Pokja menjadi tidak efektif lagi. Namun
beberapa kasus seperti yang terjadi di Depkes dan Depdiknas, tim
Pokja yang bermula dari keikutsertaan dalam proyek, tetap berlanjut
bahkan melembaga. Dalam hal ini, ada kaitannya dengan peran focal
point yang punya komitmen tinggi.
5. Kegiatan PUG di Kementerian/Lembaga biasanya diidentikkan dengan
unit kerja yang pertama-tama menangani PUG atau di unit dimana
Focal point berada, sehingga ada rasa tidak ‘dimiliki’ sebagai kegiatan
Kementerian/Lembaga secara keseluruhan. Sebab itu, untuk waktu
yang cukup lama kegiatan PUG di Depdiknas diasosiasikan menjadi
62
kegiatan Direktorat PLS; di Depsos menjadi kegiatannya Balitdiksos;
dan di Depkes ada di Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak.
2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin
Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah klasik yang
belum terselesaikan di semua Kementerian/Lembaga yang dikaji.
Depdiknas dan Depkes merupakan dua Kementerian yang sudah
mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan
Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD
maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu
diagregat lagi di tingkat kecamatan. Alasan umum yang banyak
disebutkan yaitu karena formulir dari provinsi/nasional memang tidak
terpilah menurut jenis kelamin.
Di hampir seluruh Kementerian/Lembaga yang dikaji mempunyai persepsi
bahwa data terpilah itu akan didapat dari Badan Pusat Statistik. Beberapa
faktor teridentifikasi sebagai penyebab tidak berkembangnya data terpilah
ini:
a. Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah, paling tidak
yang tertuang dalam suatu kebijakan/surat keputusan. Namun
demikian, ada beberapa inisiatif dari unit/program, seperti Unit
Partisipasi Masyarakat di Kemeneg. LH, Depsos, dan Polri sudah
memulai mengumpulkan dan menggunakan data terpilah.
b. Tidak tersosialisasi dengan baik alasan mengapa harus mengumpulkan
data yang terpilah menurut jenis kelamin. Lagi pula seperti alasan
yang banyak didengar yaitu tidak ada/kurangnya permintaan
(demand) dari pengguna akan data terpilah ini;
c. Formulir untuk data seperti yang diterima dari instansi diatasnya juga
tidak meminta untuk memilah data menurut jenis kelamin;
d. Kecenderungan umum data yang dikumpulkan dari program/kegiatan
tidak tersimpan ke dalam sistem data;
63
e. Alasan yang banyak dikemukakan adalah: mengganti formulir yang
ada agar dibagi menurut jenis kelamin dianggap mahal, bukan
wewenangnya untuk mengganti, dan karena seharusnya datang dari
instansi di pusat.
Suatu usaha bersama dengan prakarsa dari Bappenas, Kemeneg. PP serta
BPS untuk mensosialisasikan sekaligus melakukan pelatihan untuk
Kementerian/Lembaga (bagian Pusdatin, perencana, pemegang program,
dan peneliti) dalam hal bagaimana mengumpulkan data terpilah baik
menurut jenis kelamin dan juga menurut kandungan isu gender (gender
statistik) dikumpulkan dan dianalisis. Oleh karena jenjang birokrasi masih
sangat kuat, maka seharusnya dikeluarkan Surat Keputusan atau
Peraturan Menteri untuk kegiatan ini.
Sudah ada inisiatif dari beberapa Kementrian/Lembaga ke arah
melembagakan data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin
(Depdiknas, Depkes, Depsos, beberapa program di Kemeneg. LH).
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah
1. Isu yang menonjol sebenarnya adalah tidak/kurangnya kemauan
politik pimpinan/yang berwenang berkaitan dengan pendataan;
tidak ada keharusan melakukan pendataan yang terpilah menurut
jenis kelamin dan menyimpannya kedalam data sistem serta
keharusan untuk memakai data terpilah dalam melakukan analisis
untuk perencanaan. Seperti yang dikemukan oleh para
responden, bahwa mereka ibaratnya operator yang akan
mengerjakan apa yang diminta oleh para pimpinan.
2. Langkanya data terpilah dihampir semua Kementerian/Lembaga
yang dikunjungi merupakan sesuatu yang serius, jika
Pengarusutamaan Gender akan dilaksanakan di Kementerian/
Lembaga yang bersangkutan. Apalagi mengingat kelangkaan
data terpilah ini sudah ditengerai sejak lama, sementara sudah
ada program/kegiatan yang diklaim telah responsif gender.
64
3. Selama ini memang keperluan untuk melakukan analisis (dengan
data terpilah) dalam perencanaan masih belum melembaga. Hal
ini terbukti dari formulir standar dari masing-masing
Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregat.
2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)
Sumberdaya Manusia yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal
pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building
sudah relatif lama dilakukan di semua Kementerian/Lembaga. Capacity
building dilakukan internal unit maupun bersama-sama dengan unit lain
dengan mengundang pakar, dari kementrian Pemberdayaan Perempuan
maupun dari sumber internal dan eksternal. Capacity building dalam
bentuk sosialisasi gender merupakan kegiatan yang paling banyak
dilakukan dalam 7 tahun terakhir ini, akan tetapi hasilnya belum cukup
memadai.
Dalam kegiatan sosialisasi maupun pelatihan PUG yang lebih terpapar
adalah para personel dari Eselon III dan IV. Dari hasil FGD mapun
wawancara yang dilakukan di 18 Kementerian/Lembaga memberi indikasi
kurangnya minat dari pengambil kebijakan dan pimpinan untuk mengikuti
sosialisasi gender dan PUG. Sebab itu wawasan mereka tentang gender
dan PUG masih sering rancu yang pada giliranya berdampak terhadap
kebijakan yang diambil.
Rotasi staf (yang sudah paham dan mampu melakukan gender analisis)
yang sering diadakan berdampak terhadap ketersediaan SDM yang
handal. Sebenarnya kepindahan mereka justru dapat memanfaatkan
keterampilannya dalam hal yang berkaitan dengan gender dan PUG. Akan
tetapi ditempatnya yang baru mereka juga menghadapi tantangan baru,
yaitu suasana yang tidak kondusif untuk memanfaatkan keterampilannya
dalam melakukan analisis gender dan PUG.
Keluhan lain yang banyak disampaikan adalah mengenai metode
sosialisasi dan pelatihan gender. Sosialisasi dan pelatihan gender
seringkali disampaikan dengan cara yang tidak memudahkan orang
mengerti dan memahami konsep gender. Materi yang di sampaikan
65
terkadang tidak jelas atau terlalu umum. Selain itu, cara penyampaian
dan contoh yang digunakan dianggap membingungkan peserta. Konsep
gender dan konsep-konsep yang berkaitan dengan gender, dianggap
terlalu teoritis dan tidak menjawab keinginan-tahuan mereka bagaimana
kongkritnya melaksanakan PUG jika dikaitkan dengan program/kegiatan
sesuai dengan tupoksi Kementerian/Lembaga. Cara penyampaian
dianggap tidak menarik dan kurang relevan, karena tidak banyak
melakukan latihan-latihan dengan program/kegiatan nyata. Waktu yang
disediakan juga kurang untuk mendalami dan diskusi. Keluhan lain adalah
fasilitator seringkali dianggap kurang menguasi materi.
Dari pihak fasilitator sendiri merasa bahwa sebaiknya pelatihan SDM yang
diberikan sesuai dengan tugas dan minatnya. Misalnya mereka yang
terlibat dengan perencanaan dapat lebih mudah mengikuti pelatihan
analisis gender; sebaliknya sosialisasi kesadaran gender akan lebih
bermanfaat untuk para petugas Humas misalnya.
Beberapa butir penting yang berkaitan dengan SDM yang Handal
melakukan dan mengawal PUG, sebagai berikut:
a. Mengingat ‘kekurangan SDM yang handal gender’ di unitnya karena
sering rotasi staf, dan masih banyaknya personel yang belum
mengetahui/memahami konsep gender dan aplikasinya, maka kegiatan
sosialisasi dan capacity building pada umumnya untuk tiap-tiap
Kementerian/Lembaga tetap masih diperlukan, bersamaan dengan
ditingkatkannya pelaksanaan PUG di dalam program dan kegiatannya;
b. Pelatihan yang diberikan (materi dan metode penyampaian) harus
disesuaikan dengan keperluan dan latar belakang peserta);
c. Dipikirkan juga untuk melakukan advokasi gender dan PUG bagi para
pimpinan internal lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan
akomodatif terhadap isu gender.
2.7. Kesimpulan
Meskipun demikian, sudah ada beberapa kemajuan dalam pelaksanaan
PUG, seperti di Depdiknas yang telah berusaha menangani isu gender
secara lintas program/lintas unit, serta menempatkan PUG di Sekretaris
66
Jenderal dan membentuk Pokja Gender di tingkat Departemen yang
diketuai oleh seorang Direktur Jenderal. Sebuah Peraturan Menteri yang
berkaitan dengan pelaksanaan PUG di Depdiknas dalam dekat akan
segera diluncurkan. Selanjutnya, Depkes telah mengeluarkan SK Menteri
No. 878/Menkes/SK/XI/2006 yang menunjuk seluruh Eselon I menjadi
Tim Pengarah PUG, dan Eselon II menjadi focal point gender di unitnya
masing-masing, serta dibentuk fasilitator nasional, termasuk fasilitator
dari luar untuk memfasilitasi pelaksanaan PUG bidang pendidikan Sama
halnya dengan Depkes yang telah menempatkan isu gender sebagai lintas
program/lintas unit, dan menjadikan Eselon II menjadi focal point gender
di unitnya. Demikian pula halnya Deptan yang keterlibatan dengan isu
perempuan dan gender di pertanian mempunyai sejarah yang panjang.
Deptan telah berhasil menjadikan gender sebagai lintas isu/lintas unit.
67
Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER
Kesimpulan umum dari hasil evaluasi pelaksanaan PUG di beberapa
provinsi/kabupaten/kota terpilih yang dilakukan tahun 200530 adalah
daerah tidak menggunakan peluang yang terbuka dengan adanya
Otonomi Daerah31 untuk melakukan terobosan-terobosan dalam usaha
pembangunan, khususnya pembangunan manusia melalui strategi PUG.
Ditengerai bahwa di hampir semua daerah yang dikaji tidak menempatkan
kebijakan perencanaan pembangunan manusia, khususnya pembangunan
yang menuju kesetaraan gender (kesetaraan perempuan dan laki-laki
dalam segi kualitas hidup) menjadi hal yang penting dan menjadi prioritas
di era Otonomi Daerah ini. Dalam eforia Otonomi Daerah yang mengusung
semangat peningkatan pendapatan dan restrukturasi kelembagaan
pemerintah, serta pemahaman yang masih rancu tentang PUG, harus
diakui bahwa urusan melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, yaitu
mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan pembangunan daerah
kian termarjinalkan. Bertambah sulit keadaannya ketika daerah harus
memilih, dengan “keterbatasan berbagai sumberdaya dan keterbatasan
pemahaman tentang perlunya pembangunan manusia”, maka pilihan
biasanya akan jatuh pada program yang mudah kelihatan
keberhasilannya, dibandingkan dengan investasi pada pembangunan
manusia yang memerlukan waktu yang lebih panjang untuk melihat
hasilnya.
Kajian 2005 mentengerai dua isu kritis yaitu:
30 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), 2005-2006, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan.
31 Dengan diberlakukanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
68
1. (peningkatan) pemahaman sumber daya manusia (SDM) dan
(peningkatan) kapasitas lembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan
PUG.
2. pengawalan kesepakatan Pemerintah Daerah dalam hal urgensi dan
pentingnya (melaksanakan) strategi PUG untuk meningkatkan kualitas
manusia.
Kajian 2007 memperlihatkan bahwa kedua isu kritis tersebut masih
relevan. Namun demikian, dari hasil kajian 2007 juga memperlihatkan
adanya kemajuan dalam beberapa indikator proses, dibandingkan dengan
hasil evaluasi tahun 2005 yang lalu. Bahkan di beberapa
provinsi/kabupaten/kota terpilih memperlihatkan adanya kemajuan yang
cukup berarti dilihat dari capaian implementasi. Memang masih banyak
tantangan menghadang, yang berkaitan dengan masalah konsistensi dan
keberlanjutan hasil capaian. Masalah utama masih tetap menyangkut
persoalan rendahnya pemahaman gender/PUG dan persoalan bagaimana
mengaplikasikannya ke dalam program nyata. Tentu saja ini bukan
tantangan yang mudah untuk diatasi. Terlebih lagi pelaksanaan PUG
masih relatif baru dan lebih ‘liat’ karena menyangkut perubahan mindset.
Bab III menguraikan hasil kajian pelaksanaan PUG di tingkat daerah32
dengan fokus pada dua hal; pertama mengacu pada 5 tolak ukur yang
dipakai dalam kajian ini di tataran proses dan yang kedua pada tataran
praksis seraya mencermati kedua isu kritis tersebut di atas.
PUG dalam Kebijakan/Program Pembangunan Daerah 3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis
Isu gender dalam pembangunan, datang ke daerah tepat waktu dan tepat
asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu,
karena instruksi mengharuskan semua sektor pembangunan di tingkat
32 Di luar 3 provinsi yang dikaji tahun 2005, dipilih tujuh provinsi untuk kajian 2007 ini, yaitu
Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara); dan 7 kabupaten/kota terpilih ditetapkan oleh provinsi yang bersangkutan, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bogor, Kabupaten Semarang, Kabupaten Lombar, Kota Banjarmasin, Kota Manado.
69
nasional maupun daerah untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam
keseluruhan proses perencanaan (Inpres No. 9 Tahun 2000) datang
bersamaan dengan adanya pergeseran dari pendekatan yang sentralistik
ke pendekatan yang desentralistik yang dibawa oleh Otonomi Daerah.
Dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah di Indonesia, maka sejumlah
kekuasaan dan tanggung-jawab berada di tangan pemerintah daerah,
terutama di tingkat kabupaten/kota. Kesempatan besar itu sekaligus
merupakan tantangan luar biasa bagi daerah. Karena daerah diharapkan
dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan terobosan-
terobosan, melalui program/kegiatan pembangunan “termasuk
pelaksanaan PUG” yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah.
Tepat asas, karena dengan maraknya semangat reformasi yang
berasaskan tatalaksana pemerintahan yang baik, demokratis dan
berkeadilan, pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat menjadi
peluang, sebagai ‘entry point’ yang instrumental untuk melaksanakan
strategi PUG yaitu suatu strategi pembangunan yang demokratis,
mengakomodasi suara dan aspirasi perempuan dan laki-laki serta
berkeadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) dalam
berpartisipasi dan menikmati (hasil) pembangunan dan pada gilirannya
mencapai kesetaraan seperti terukur dalam berbagai kualitas hidupnya
termasuk hubungan sosial di antara keduanya (kesetaraan gender).
Namun harapan besar yang disandarkan pada otonomi daerah ini banyak
yang luput dimanfaatkan oleh daerah. Meskipun PUG di daerah sebagai
kebijakan pembangunan daerah sudah dilengkapi dengan sejumlah
payung hukum, yaitu:
1. KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah;
2. Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan
Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah;
3. Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja
(meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG) .
70
Masing-masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan
politik dalam berbagai bentuk. Semua provinsi, kabupaten/kota yang
dikaji sudah memiliki wadah struktural dan fungsional mengelola/
mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, “kecuali di
beberapa provinsi/kabupaten/kota”, implementasinya tidak berjalan
seperti yang diharapkan.
3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat
Di beberapa daerah, walaupun telah memiliki sebagian besar dari 5
prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Sebaliknya, terdapat daerah tanpa kelengkapan prasyaratan
ideal telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan
terbatas.
Proses pelaksanaan PUG di daerah umumnya dapat dibagi ke dalam 3
pola umum33. Pola pertama adalah daerah masih dalam tahap proses
memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan
Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah masih dalam
tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai
(beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG,
walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah prasyaratan ideal
masih belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu-
isu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja
atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk
mengintegrasikan isu gender ke dalam perencanan program
pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja
(cross-cutting issue).
Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah.
Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses
kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG.
Semua daerah yang dikaji, baik di tingkat provinsi maupun
33 Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian ini bentuk
kategorisasi tersebut. dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainya.
71
kabupaten/kota, telah memiliki SK Gubenur/Bupati/Walikota yang
berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender.34 Namun
tidak selalu semua stakeholders terkait ”bahkan di kalangan internal
lembaga/unit kerja baik vertikal maupun horizontal” mengetahui
keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang-orang yang
terlibat langsung atau namanya tercantum dalam surat keputusan
tersebut yang mengetahui keberadaannya.
Sosialisasi mengenai SK tersebut hampir tidak pernah dilakukan.
Seringkali hanya disampaikan ala kadarnya dalam kegiatan capacity
building yang berkaitan dengan peningkatan penyadaran gender,
pelatihan analisis gender, dan sebagainya. Umumnya kegiatan capacity
building itu dilakukan, difasilitasi dan disiapkan materinya oleh Pemerintah
Pusat (baik dari oleh Kemeneg. PP, maupun oleh Kementerian/Lembaga
Teknis). Sebagai bagian dari materi yang diberikan dalam sosialisasi,
disebutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang keharusan melaksanakan
PUG di semua sektor, di semua lapisan pemerintahan, akan tetapi
seringkali luput menyentuh keberadaan payung hukum lokal.
Harus diakui – seperti juga keluhan dari (peserta) daerah – bahwa
mereka yang membawakan sosialisasi itu kebanyakan lebih bertindak
sebagai operator dengan orientasi lokal yang terbatas. Sebagai akibatnya,
kehadiran Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota seringkali tidak
menjadi acuan.
Kebijakan yang eksplisit responsif terhadap isu gender tertera dalam
bentuk Surat Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota. Tetapi ada juga yang
disebutkan di dalam dokumen Renstrada seperti di Provinsi Jawa Barat,
Provinsi Jawa Tengah (2003-2008). Namun, kebijakan itu tidak selalu
tercermin dalam program/kegiatan pembangunannya. Program/kegiatan
yang diakui (claimed) sebagai hasil melaksanakan PUG; sebenarnya masih
merupakan kelanjutan dari program/kegiatan Perempuan dalam
Pembangunan (Kabupaten Kampar; Kabupaten Semarang; Kota
Banjarmasin). Pemahaman PUG sendiri diartikan sebagai program dengan
34 Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan
dengan SK Gubernur.
72
fokus pada perempuan, sehingga timbul persepsi umum bahwa PUG
adalah program khusus untuk perempuan.
Program/kegiatan lainnya yang berkaitan dengan gender di daerah adalah
capacity building, dalam bentuk sosialisasi gender dan atau pelatihan
melakukan analisis gender. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh
Kementerian/Lembaga teknis terkait dari pusat. Seperti misalnya,
Depdiknas melakukan capacity building dengan memfasilitasi pelatihan
piranti GAP, sosialisasi bahan ajar yang responsif gender, penyusunan
position paper dengan dana block grant.35 Beberapa departemen teknis
seperti Depkes dan Dephukham juga mempunyai kegiatan sosialisasi dan
penguatan kelembagaan serta pelatihan bagi dinas masing-masing di
daerah. Demikian juga halnya dengan Kemeneg. PP masing-masing
kedeputian mempunyai program dana stimulan dalam bentuk kegiatan
sosialisasi dan pelatihan analisis gender untuk daerah.
Block grant atau dana stimulan itu berasal dari APBN. Bentuknya sebagai
proyek dari sektor teknis yang terkait, maka waktu sosialisasi dan/atau
pelatihan diberikan relatif pendek dan terputus-putus, menyesuaikan
dengan dana pembangunan yang turun setiap tahun. Sebab itu tidak
jarang daerah menjadi obyek sosialisasi gender dari berbagai instansi, -
bahkan dari berbagai kedeputian dari instansi yang sama-- dalam waktu
yang hampir bersamaan. Pemantauan dan evaluasi dari block grant dan
dana stimulan hampir tidak pernah dilakukan, kecuali dari segi
administrasi.
Dengan demikian dari sudut kuantitas sosialisasi dan pelatihan analisis
gender di daerah sudah sering dilakukan, akan tetapi pemahaman tentang
gender dan PUG serta aplikasinya masih belum memadai. Hal ini
tercermin dari keluhan peserta, antara lain diekspresikan oleh peserta
pelatihan dari Kabupaten Kampar: ‘Sosialisasi sudah sering dilakukan,
tetapi pemahaman tentang gender dan PUG masih belum mantap’. ‘Sudah
disosialisasikan dalam 3 tahun terakhir ini, tapi belum diimplementasikan’
(Peserta dari Provinsi Sulawesi Utara).
35 Depdiknas telah memberikan sosialisasi dan pelatihan analisis gender di hampir seluruh provinsi
dan kabupaten/kota.
73
Dari segi kualitas, beberapa permasalahan teridentifikasi berkaitan
dengan waktu yang disediakan, pelatihan, materi yang diberikan, dan
metode penyampaian. Dari segi waktu, misalnya antara kegiatan
sosialisasi dan kegiatan pelatihan seringkali diberi jatah waktu yang tidak
jauh berbeda. Padahal untuk kegiatan pelatihan, memerlukan waktu yang
jauh lebih panjang dari kegiatan sosialisasi. Akibatnya, kegiatan pelatihan
analisis gender sebenarnya tidak lain adalah sosialisasi piranti analisis
gender.
Materi sosialisasi dan pelatihan sering diberikan di luar konteks
daerah/lembaga/SKPD yang bersangkutan sehingga tidak dianggap
berkaitan/tidak selalu cocok dengan kebutuhan daerah (Kabupaten
Semarang). Sebagai akibatnya, pemahaman yang didapat hanya sampai
tingkat wacana. Beberapa ekspresi yang diberikan oleh beberapa orang
yang pernah mengikuti pelatihan dari berbagai daerah memberikan
gambaran kenyataan yang ada: ‘terlalu teoritis’; ‘perlu contoh-contoh
kongkrit yang cocok dengan program/kegiatan yang ditangani’; ‘perlu
diikuti dengan praktek-praktek’.
Masalah lain adalah yang berkaitan dengan metode penyampaian yang
seringkali dilakukan tanpa memperhitungkan target sasaran. Keluhan dari
para pimpinan dan pengambil keputusan adalah bahwa penyampaian
sosialisasi itu seringkali dianggap ‘tidak cocok’, baik dari segi cara maupun
waktu. Cara-cara penyampaian dalam bentuk role play misalnya,
dianggap ‘kekanak-kanakan’ dianggap tidak sesuai dengan wibawa yang
mereka sandang; demikian juga dengan waktu yang terlalu lama
dianggap tidak sesuai dengan kegiatan-kegiatan mereka. Bentuk advokasi
dengan penyampaian data dan informasi yang relevan dianggap cara yang
efektif bagi mereka. Sebaliknya, dari hasil wawancara dengan eks-peserta
sosialisasi dan pelatihan (termasuk dari Eselon III dan IV), cara-cara
advokasi yang lebih disukai adalah komunikasi dua arah, sedangkan untuk
pelatihan lebih disukai bila ada praktek dan metode role play.
Keluhan lain adalah mengenai fasilitator yang dianggap ‘kurang
menguasai’ materi, cara penyampaian, dan ‘medan yang akan digarap’.
Tentu yang dimaksud disini adalah fasilitator yang bertindak lebih sebagai
74
operator hanya berbekal paparan, tanpa pemahaman yang cukup tentang
gender dan PUG, serta ‘budaya’ kantor setempat. Dari beberapa
pengalaman fasilitator, diidentifikasi bahwa dalam sosialisasi dan
pelatihan, pertanyaan-pertanyaan tentang gender sangat luas
menyangkut agama, sosial-budaya, ekonomi, politik serta konsep-konsep
di luar konsep gender yang bisa menyulut perdebatan sengit sampai
penolakan-penolakan. Oleh sebab itu, fasilitator gender tidak cukup bila
hanya dilengkapi dengan materi generik tentang gender, tetapi juga harus
dilengkapi dengan pemahaman yang luas tentang apa, mengapa,
bagaimana dan disampaikan secara bijak dan bermakna oleh para
fasilitator.
Kegiatan pelatihan diikuti oleh peserta dengan latar belakang yang
beragam; meskipun sebenarnya pelatihan analisis gender dirancang untuk
mereka yang terlibat dengan perencanaan dan/atau mereka yang terlibat
dalam analisis. Sebagai akibatnya, bagi peserta pelatihan yang tidak
berlatar belakang perencanaan pembangunan menghadapi kesulitan, baik
dari segi substansi maupun minat yang dibangun. Selain itu, pengetahuan
dan keterampilan yang didapat dari pelatihan tidak akan diaplikasikan.
Sebaliknya ada peserta dari bagian perencanaan yang sudah berkali-kali
mengikuti pelatihan, tetapi tidak pernah mengaplikasikan dalam
pekerjaanya. Alasannya adalah ‘belum cukup percaya diri untuk
melakukan’; ‘tidak ada keharusan untuk melakukan’; dan ‘sudah banyak
sosialisasi tapi apa yang perlu dilakukan’ (Peserta dari Kabupaten Lombok
Barat).
Selain itu banyak peserta sosialisasi dan pelatihan analisis gender bukan
orang yang mengambil keputusan’.
Dari segi kelembagaan, secara struktural di pemerintahan daerah maupun
di SKPD, dimasukkan sebagai program/kegiatan yang mengurusi
(pemberdayaan) perempuan dari suatu unit kerja di tingkat sub-bidang di
Eselon IV (Kabupaten Bogor, Kabupaten Kampar, Kabupaten Semarang,
Kota Manado, Kabupaten Lombok Barat) atau di Eselon III (di Provinsi
Riau, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan
Selatan, Kota Banjarmasin, Provinsi Nusa Tenggara Barat). Pemberdayaan
75
Perempuan dimasukkan ke dalam seksi atau bidang bersama-sama
dengan program lain misalnya yang mengurusi agama, olahraga,
kesejahteraan sosial, keluarga berencana, pemakaman, dan sebagainya.
Karena persepsi umum, PUG disamakan dengan program/kegiatan khusus
yang menyangkut perempuan. Sebagai contoh di Kabupaten Kampar,
Bidang BPMP yang membawahi sub-bidang Pemberdayaan Perempuan
dan sub-bidang lainnya, menyerahkan penanganan program-program
yang berkaitan dengan isu gender termasuk PUG kepada sub-bidang
Pemberdayaan Perempuan.
Karena eselonnya yang relatif rendah (berada di Eselon III dan Eselon IV)
dalam struktur pemerintahan, maka banyak menemui hambatan birokrasi
untuk dapat melakukan advokasi atau mengarusutamakan gender pada
program/kegiatan atau unit-unit lain di internal lembaga. Penempatan ini
berhubungan dengan persepsi yang keliru, yaitu memahami PUG sebagai
suatu program khusus untuk perempuan dan bukan menempatkannya
sebagai strategi yang lintas isu maupun lintas unit kerja.
Secara fungsional di semua daerah yang dikaji sudah terbentuk pokja
gender di lingkungan unit kerja dimana pokja itu ditempatkan, dengan
Surat Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi, Surat Keputusan
Bupati/Walikota untuk tingkat kabupaten/kota, menyusul dikeluarkannya
Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Perempuan No. B. 110/Menteri
PP/Dep.II/IX/2003, tentang dibentuknya Pokja Gender serta KepMendagri
No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam
Pembangunan Daerah. Selain Pokja Gender, di semua daerah yang dikaji
juga mempunyai kelembagaan fungsional lain seperti focal point gender.
Di beberapa daerah juga dilengkapi dengan Forum Komunikasi PUG.
Ketersediaan dan penggunaan data dan informasi dalam perencanaan
pembangunan masih merupakan masalah. Belum semua SKPD
mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Akan tetapi di beberapa
SKPD di Provinsi Sumatera Barat seperti Kesehatan, Pendidikan dan
Sosial, sudah mempunyai data terpilah menurut jenis kelamin. Belum
sepenuhnya dipahami pentingnya mengumpulkan data terpilah serta
kegunaannya untuk melakukan analisis gender, sehingga usaha ke arah
76
itu belum banyak dilakukan. Beberapa daerah (Kabupaten Sragen dan
Kota Banjarmasin) menyebutkan ketersediaan data terpilah menurut jenis
kelamin pada Kabupaten/Provinsi dalam Angka yang diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) atau pada hasil penerbitan Pusat Studi Wanita
(PSW). Tetapi data tepilah menurut jenis kelamin hasil dari program
maupun yang dikumpulkan untuk perencanaan program di masing-masing
SKPD dan perencanaan daerah pada umumnya hampir tidak pernah
dilakukan. Justru PKK yang telah mempunyai data terpilah untuk
(beberapa) program/kegiatannya.
Depdiknas untuk tingkat sekolah dan Depkes untuk tingkat Puskesmas
rutin mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin sesuai dengan
formulir yang disediakan. Akan tetapi karena tidak ada yang memberikan
penjelasan untuk apa dan mengapa data terpilah itu dilakukan, maka
seringkali data yang sudah terpilah tersebut digabung lagi di tingkat
kecamatan dan ditingkat yang lebih atas.
Permasalahan kurang tersedianya data terpilah menurut jenis kelamin
adalah karena selama ini belum ada keharusan untuk mengumpulkan data
secara terpilah. Persoalan yang lebih besar barangkali juga terletak pada
belum terlembaganya langkah analisis, terlebih lagi analisis gender dalam
proses perencanaan program/kegiatan pembangunan di daerah. Bila
analisis gender diintegrasikan dalam perencanaan program/kegiatan
pembangunan di daerah, maka tentu data-data yang diperlukan akan
dipersiapkan dengan lebih baik, termasuk data yang terpilah menurut
jenis kelamin.
Dengan tidak melembaganya analisis gender dalam proses perencanaan
pembangunan, maka hampir tidak ada data dasar (baseline data) yang
diperlukan untuk menyusun suatu program. Alasan yang juga sering
dikemukakan adalah formulir dari pusat juga tidak mengharuskan data
dipilah menurut jenis kelamin.
SDM yang memahami isu gender dan PUG masih sangat terbatas baik dari
segi jumlah maupun substansi. Meskipun kegiatan capacity building
seperti sosialisasi peningkatan kesadaran gender dan pelatihan analisis
77
gender dilakukan hampir setiap tahun, akan tetapi tidak ada catatan
berapa sebenarnya jumlah SDM yang pernah ikut pelatihan.
Diakuinya bahwa pengetahuan dan keterampilan yang didapat dari
pelatihan itu masih dalam tahap wacana, belum mampu dituangkan ke
dalam program/kegiatan pembangunan nyata yang sesuai dengan
tupoksinya. Seperti yang diterangkan di atas, dari hasil uji materi, waktu
dan cara yang diberikan dalam sosialisasi dan pelatihan, memperlihatkan:
a. Dari segi substansi, materi yang diberikan sangat terbatas dan sifatnya
umum, teoritis, dan tidak relevan dengan konteks daerah/ tupoksi.
Dengan kata lain, sosialisasi dan pelatihan kurang memakai materi
yang relevan atau memakai materi dari para peserta sendiri, sehingga
peserta kurang dapat mengenali permasalahannya. Selain itu, materi
yang diberikan tidak memberikan jawaban yang memuaskan terhadap
masalah-masalah yang masih kontroversial ini. Maka dapat dimengerti
jika peserta dalam sosialisasi – bahkan yang sudah ikut berkali-kali –
merasa belum paham dan terlebih lagi mampu melaksanakan PUG
dalam program/kegiatan nyata.
b. Dari sudut waktu yang diberikan biasanya sangat pendek karena
kegiatan ini merupakan kegiatan proyek yang terbatas waktunya.
Misalnya untuk pelatihan analisis gender – yang seharusnya
memerlukan waktu yang lebih banyak – hanya disediakan waktu yang
sama dengan melakukan sosialisasi; sifatnya ad hoc, tidak
berkesinambungan. Muncul kesan bahwa sosialisasi dan pelatihan yang
diberikan selama ini merupakan kegiatan proyek ‘asal telah dilakukan,
tidak jelas bagaimana hasilnya’.
c. Dari sudut metode penyampaian, fasilitator memakai bentuk
komunikasi searah. Tidak memberi waktu yang cukup untuk diskusi isu
di luar materi yang diberikan, meskipun masih relevan.
Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih
dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah-masalah yang
ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua.
78
Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa)
program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di
beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya
5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di
beberapa program/kegiatan pembangunannya. Kementerian/Lembaga
terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini
yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun
melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya
memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan
pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di
daerah36. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh
lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek
ujicoba ataupun bantuan teknis lainya, melalui Pemda atau SKPD terpilih.
Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari
UNFPA; Provinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten-kabupaten Gowa,
Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg. PP sudah 3 tahun
terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana
stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres
No. 9 tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing-masing
kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai
sesuai dengan masing-masing misi kedeputian.
Dengan dijadikannya Kabupaten Bogor sebagai Kota Tanggap Gender
melalui bantuan dari ADB, maka berbagai kegiatan dan pelatihan
dilakukan yang sifatnya melibatkan banyak stakeholders. Dukungan
politik diwujudkan dalam bentuk SK Bupati No. 460 Tahun 2006 tentang
dibentuknya Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan, setelah
sebelumnya dibentuk Pokja. Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan
melibatkan banyak stakeholders. Selain itu, pada tahun 2007 Kabupaten
Bogor telah melibatkan 27 SKPD dan 10 program dalam pantauan
Bappeda dan Pemberdayaan Perempuan dan 53 focal point gender.
Sosialisasi dan pelatihan gender diberikan untuk SKPD. Misalnya telah
dilakukan sosialisasi gender dan PUG, pelatihan bagi calon fasilitator;
36 Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan,
bahan ajar, dan capacity building.
79
pelatihan GAP untuk Eselon IV, penyusunan statistik gender (2006). Pada
tahun 2007, kegiatan itu ditambah lagi dengan pengembangan materi KIE
gender, pelatihan untuk Kasi Kecamatan, sosialisasi KDRT, pembuatan
RPK dan pusat pelayanan terpadu, mempersiapkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam musrenbang yang responsif terhadap isu-isu gender.
Bentuk penguatan kelembagaan di pola kedua meskipun masih banyak
dalam bentuk sosialisasi dan pelatihan (analisis gender), namun juga
sudah mulai dengan mengaplikasikannya. Selain beberapa program yang
dibawa melalui proyek ujicoba, Departemen juga memberikan block grant
dengan program dan kegiatannya. Depdiknas misalnya memberikan block
grant bagi hampir semua provinsi, kabupaten/kota. Melalui kerjasama
dengan PSW setempat telah melakukan telaah dari perspektif gender
tentang kebijakan pendidikan di daerah yang bersangkutan. Selain itu
SKPD setempat (termasuk provinsi-provinsi Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jawa barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara)
telah menyusun position paper yang berkaitan dengan isu gender di
bidang pendidikan di daerahnya masing-masing. Berdasarkan position
paper yang mereka siapkan, Depdiknas memfasilitasi pertemuan bagi
daerah untuk membuat rencana kerja yang berkaitan dengan pelaksanaan
PUG bidang pendidikan di daerah masing-masing. Di beberapa SKPD
seperti Provinsi Jawa Tengah, telah mengeluarkan panduan untuk bahan
ajar yang responsif terhadap isu gender. Beberapa SKPD seperti Dinas
Pertanian di Kabupaten Bogor telah melakukan pengarusutamaan isu
gender ke dalam 3 program dengan 7 kegiatan.
Selain melalui proyek ujicoba, kesadaran akan isu gender dan
peningkatan keterampilan SDM melakukan analisis gender sudah menjadi
kepedulian beberapa Kementerian/Lembaga, seperti terlihat dari block
grant yang disediakan. Meskipun secara umum block grant diperlakukan
sebagai proyek “seperti telah diuraikan di atas” akan tetapi beberapa
SKPD di beberapa daerah telah memanfaatkan dengan baik. Misalnya
Provinsi Jawa Tengah yang telah memanfaatkannya dana block grant dari
Depdiknas dengan menghasilkan panduan bahan ajar yang responsif
gender, pengembangan model Sekolah/Pendidikan Peka Gender.
80
Kehadiran pilot project dan/atau block grant dimanfaatkan oleh daerah
(Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bogor) untuk melakukan advokasi
pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan
anggaran yang memadai. Masalahnya adalah tanpa dana block
grant/stimulan, belum dapat dipastikan apakah daerah kabupaten/kota
masih akan meneruskan kegiatan ini atau terhenti. Apakah hasil pelatihan
ditindak lanjuti? Beberapa Pemerintah Daerah (Jawa Tengah, Sumatera
Utara, Jawa Timur, Sumatera Barat) sudah mengalokasi anggaran dari
APBD untuk kegiatan PUG maupun sebagai dana pendamping jika
daerahnya menjadi pilot project.
Seperti halnya di tingkat nasional, perencanaan pembangunan di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota juga merupakan kerja kolektif yang
melibatkan berbagai stakeholders baik internal lembaga maupun eksternal
dan juga melibatkan banyak proses. Sehingga program/kegiatan SKPD
yang sudah gender masih harus terus dikawal dan dipertahankan sampai
mendapatkan anggarannya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa
meskipun program/kegiatan yang responsif gender hasil dari pelatihan
maupun pilot proyek sudah terdokumentasi, tidak dengan sendirinya
dapat di implementasi, karena sebab-sebab yang disebutkan di atas.
Pada pola kedua secara struktural tidak berbeda dengan pola pertama.
Beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Tengah,
dan Sumatera Barat, menempatkannya di tingkat Eselon II, sehingga
kehadirannya lebih bermakna dalam melakukan PUG baik secara internal
maupun eksternal. Demikian halnya dengan wadah fungsional; kehadiran
proyek ujicoba yang melibatkan banyak stakeholders, membangun
jejaring yang kuat dan berfungsi. Selain Pokja Gender, terbangun bentuk
jejaring lain seperti Kaukus Legislatif, Forum Pengkajian Pemberdayaan
Perempuan dan Anak, Forum Koalisi Komunikasi Pemberdayaan
Perempuan (Provinsi Sumatera Barat). Contoh lain terlihat di Provinsi
Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Yogyakarta, yang
memiliki sub-sub kelompok kerja yang menangani masalah terfokus,
81
dalam bentuk gugus tugas atau sub-bidang37. Kelembagaan fungsional ini
lebih berjalan dan berfungsi dalam menangani isu gender, membangun
jejaring dan membangun kepemilikan di antara stakeholders, ketika
wadah struktural Pemberdayaan Perempuan memainkan perannya
sebagai koordinator dan fasilitator.
Di samping payung politik, pada pola kedua umumnya masih ada Surat
Keputusan/Surat Instruksi dari pimpinan yang dikeluarkan berkenaan
dengan adanya proyek ujicoba/kegiatan dekonsentrasi. Surat Keputusan/
Surat Instruksi tersebut menunjuk nama-nama yang terlibat dengan
kegiatan baik secara langsung maupun ex officio. Namun, SK/Surat
Instruksi tersebut hampir tidak tersosialisasi. Oleh karena itu, hanya
orang-orang yang terlibat atau orang yang disebut namanya dalam
SK/Surat Instruksi yang mengetahui dan mendapatkan salinannya.
Karena keterlibatannya dalam proyek ujicoba dan/atau kegiatan block
grant, serta dana stimulan, maka daerah tersebut mempunyai program/
kegiatan yang secara eksplisit memang dirancang agar responsif terhadap
isu-isu gender. Misalnya, Kabupaten Bogor mempunyai program
penyusunan statistik gender, pembuatan RPK dengan Rumah Sakit dan
Pemda.
Keterlibatan dengan proyek juga memungkinkan SDM lebih terlibat
langsung dan lebih intens terpapar dengan analisis gender dan PUG. Akan
tetapi dalam hitungan jumlah, tidak terlalu banyak (sebagian besar
bahkan tidak terdokumentasi). Pada umumnya proyek ujicoba maupun
kegiatan block grant serta dana stimulan bekerja secara ‘eksklusif’, di unit
yang bertanggung jawab terhadap proyek ujicoba, kegiatan blokc grant
atau dana stimulan. Di luar kegiatan-kegiatan tersebut, SDM lainnya, --
termasuk para pimpinan/pengambil kebijakan-- tidak banyak terlibat.
Kekurangan SDM diatasi dengan mengoptimalkan keterlibatan pakar-
pakar gender dari luar, PSW, serta dari LSM.
37 Kedua provinsi yang terakhir tidak termasuk daerah yang dikaji pada tahun 2007, tetapi Provinsi
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang dikaji pada tahun 2005. Tim Kajian juga terlibat dengan beberapa kegiatan evaluasi, antara lain untuk Anugrah Parahita, yaitu anugrah yang diberikan bagi daerah yang melaksanakan PUG dengan baik, dimana beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota, seperti Provinsi Sumatera Utara dan DI Yogyakarta, menjadi subyek telaah dan kajian.
82
Persoalan lain yang berkaitan dengan SDM adalah perpindahan staf yang
terlalu sering terjadi. SDM yang sudah dilatih misalnya bisa menduduki
tempat atau menjadi staf di unit yang dianggap di luar domain gender.
Apalagi ketika staf yang bersangkutan berpindah ke unit lain, seringkali
staf tersebut tidak mengaplikasikan keterampilan analisis gender yang
telah dipelajarinya di tempat yang baru.
Anggaran pada pola kedua ini selain dari dana APBD untuk kegiatan rutin
pemberdayaan perempuan sesuai dengan tupoksi bidang atau seksi, juga
tersedia dana untuk kegiatan piloting ataupun dari APBN melalui block
grant. Salah satu unsur dari kedua kegiatan yang disebutkan belakangan
adalah untuk penyelenggaraan capacity building (sosialisasi, advokasi dan
pelatihan); meskipun masih terbatas dalam lingkungan unit kerja dimana
proyek ujicoba atau kegiatan block grant itu ditempatkan/terlibat.
Ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin masih
merupakan masalah. Bahkan dengan adanya kegiatan pilot proyek yang
sensitif terhadap isu gender, tidak dengan sendirinya ketersediaan,
penggunaan dan pelembagaan data terpilah menurut jenis kelamin ini
menjadi prioritas.
Pola ketiga diwakili oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan
Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam
usaha melaksanakan PUG.38 Dengan atau tanpa bantuan block grant,
dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah
menjadi ‘motor’ untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk
disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak
lepas dari tokoh (‘the singer) yang menakhodai kegiatan ini, yang pada
umumnya paham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif,
percaya pada ampuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang
terkait. Selain itu, semua daerah yang termasuk dalam pola ketiga,
menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup
tinggi yaitu Eselon II.
38 Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg. PP
berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing.
83
Namun harus diakui bahwa sebenarnya secara internal di lingkungan
Pemda sendiri, di luar Biro Pemberdayaan Perempuan, pelaksanaan PUG
tidak terjadi. Program/kegiatan yang berkaitan dengan PUG dianggap
menjadi ranahnya Biro Pemberdayaan Perempuan. Sebenarnya, Biro
Pemberdayaan Perempuan dapat lebih berkiprah secara internal dengan
melakukan sosialisasi/advokasi maupun pelatihan bagi bagian/biro lain di
lingkungan Pemda. Wadahnya dalam struktur yang berada di Eselon II
sangat instrumental untuk melakukan advokasi maupun melakukan
pelatihan untuk mengintegrasikan gender sebagai isu lintas biro, bidang
atau bahkan sektor.
Karena wadahnya dalam struktur cukup tinggi, pola ketiga, pada
umumnya menyiapkan anggaran yang secara eksplisit diperuntukkan bagi
pemberdayaan perempuan dan pelaksanaan PUG. Bahkan jumlah
anggaran dari APBD, semakin tahun semakin meningkat (di Provinsi
Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah). Di tingkat kabupaten,
Kabupaten Sidoarjo masuk dalam kategori pola ketiga ini.
Program dan kegiatan di pola ketiga ini lebih eksplisit menangani isu
gender. Sesuai dengan tupoksinya, Biro Pemberdayaan Perempuan Pemda
Provinsi Sumatera Utara misalnya, memfasilitasi dan memanfaatkan
jejaring dari segi implementasinya. Sebagai contoh, memfasilitasi LSM
untuk membuka Rumah Singgah Korban Kekerasan/Trafficking di Medan;
memfasilitasi rumah lansia mandiri di Binjai.
Tim Koordinasi Pokja Gender di Pola ketiga juga sudah lebih melembaga
dan berfungsi. Pertemuan rutin serta komunikasi antar anggota Pokja
cukup intensif. Tim Koordinasi melibatkan sektor-sektor terkait dan
masyarakat madani yang dibagi ke dalam beberapa pokja dan bekerja
dengan fokus pada masing-masing isu yang telah disepakati untuk
ditangani dengan perspektif gender. Prioritas isu ditentukan atas dasar
analisis sesuai dengan masalah-masalah lokal yang ditangani bersama.
Provinsi Sumatera Utara misalnya mengambil prioritas dengan fokus
KDRT, Trafficking dan pekerja anak; Provinsi Jawa Tengah mengambil
84
fokus pada wajib belajar39. Dengan memberi fokus pada masalah nyata
(yang mengandung isu gender yang pekat) hasil dari kesepakatan dari
para stakeholders terkait, serta kerja dan hasil yang nyata dari jejaring
gender, maka pro dan kontra tentang isu gender menjadi tidak relevan.
Karena isu gender ditangani, diintegrasikan ke dalam program/kegiatan,
tanpa harus selalu menyebut-nyebut kata gender.
Pada tahapan pola ketiga, perubahan-perubahan dalam hal persepsi
mengenai gender dan PUG juga diperlihatkan dalam banyak hal. Di
Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah dan juga di Kabupaten
Sidoarjo misalnya, kalangan eksekutif maupun legislatif sudah mulai
memberi perhatian pada isu gender pada umumnya dan PUG pada
khususnya. Para responden dari kalangan eksekutif di Provinsi Sumatera
Utara misalnya mengutarakan bahwa banyak pertanyaan-pertanyaan dari
beberapa anggota DPRD di Komisi E mengenai program/kegiatan yang
berkaitan dengan PUG di SKPD masing-masing. Oleh karenanya, kalangan
eksekutif juga harus mempersiapkan jawaban dan alasan-alasannya, yang
pada gilirannya ‘memaksa’ untuk memahami dan menangani isu gender
ini dengan baik. Meskipun pemahaman yang keliru tentang gender di
kalangan eksekutif dan yudikatif masih ada, akan tetapi bentuk tidak
setuju yang konfrontatif sudah melemah. Sebaliknya, contoh konkrit
dukungan terhadap PUG diperlihatkan oleh pimpinan dan anggota DPRD
Komisi E Provinsi Sumatera Utara; demikian pula halnya dengan komisi
yang menangani anggaran. Hal ini terlihat dari jumlah anggaran untuk
melaksanakan PUG selalu bertambah dari tahun ke tahun; juga terjadi di
Provinsi Jawa Tengah.
Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pemda Provinsi Sumatera Utara serta
Provinsi Jawa Tengah dapat menjadi contoh best practise bagaimana Biro
Pemberdayaan Perempuan menempatkan kedudukannya sesuai dengan
tupoksinya, yaitu sebagai fasilitator, koordinator dan motivator/advokasi.
Peran itu bukan saja diakui oleh anggota Pokja, tetapi juga oleh
masyarakat umum. Seperti dalam kasus trafficking dan KDRT, Biro
Pemberdayaan Perempuan sering menerima pengaduan/laporan langsung
39 Di beberapa tempat yang tidak masuk daerah kajian, seperti DI Yogyakarta, Kabupaten Tanah
Datar, juga memberikan prioritas pada beberapa fokus yang akan menjadi target PUG.
85
dari anggota masyarakat melalui on line yang dibuka untuk keperluan
tersebut. Akan tetapi dalam penanganannya diserahkan pada masing-
masing gugus tugas yang bertanggung-jawab untuk menangani. Dalam
menangani kasus KDRT maupun trafficking, melibatkan lintas unit, lintas
instansi, Perguruan Tinggi (PSW) dan masyarakat madani, sehingga tanpa
mereka menyadari sebenarnya mereka telah melakukan PUG dalam
bentuk nyata. Peran dan fungsi Pemda cq Biro Pemberdayaan Perempuan
sebagai koordinator dan fasilitator serta melakukan advokasi semakin
diakui. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Biro Pemberdayaan
Perempuan Pemda Provinsi Sumatera Utara, ‘surat dari Biro PP sudah
cukup untuk menggerakkan instansi lain yang terkait utuk bergerak’.
SDM Biro Pemberdayaan Perempuan yang paham dan dapat melakukan
PUG masih sedikit. Kebanyakan yang sudah paham dengan isu gender
maupun analisis gender adalah Eselon III dan 4, yaitu mereka yang sering
mengunjungi seminar, terpapar dengan pelatihan (analisis) gender, atau
terlibat aktif dalam kegiatan proyek ujicoba atau block grant. Akan tetapi
karena pergantian staf/pejabat cukup sering, maka kemampuan yang
diperoleh belum melembaga. Masih banyak pimpinan/pejabat/perencana/
staf yang kurang memahami PUG. Bahkan masih banyak pejabat/staf di
luar Biro Pemberdayaan Perempuan yang tidak pernah mengetahui
adanya Inpres No. 9 Tahun 2000. Atau payung hukum tentang
pelaksanaan PUG yang dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota.
Seperti juga dengan kedua pola lainnya, ketersediaan serta penggunaan
data terpilah menurut jenis kelamin belum menjadi prioritas di pola
ketiga. Patut diduga bahwa masalah mendasar tidak terlembaganya data
terpilah ini ada kaitannya dengan tidak melembaganya penggunaan data
–apalagi data terpilah— untuk tujuan analisis maupun perencanaan.
Beberapa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Provinsi Sumatera Utara
dengan difasilitasi oleh Biro Pemberdayaan Perempuan sudah memulainya
dengan mengharuskan data dan informasi yang terkumpul terpilah
menurut jenis kelamin.
Menindaklanjuti evaluasi 2005 yang lebih menitikberatkan pada
ketersediaan prasyarat untuk melaksanakan PUG, maka kajian kali ini
86
lebih berfokus pada implementasi ke 5 prasyarat tersebut. Tim Kajian
membagi pelaksanaan PUG ke dalam 3 pola. Akan tetapi pembagian pola
itu tidak dimaksudkan untuk membuat klasifikasi yang kaku, namun lebih
dimaksudkan untuk keperluan diskusi. Karena dalam kenyataannya,
unsur-unsur serta kasus-kasus yang ada tidak eksklusif kepunyaan atau
terjadi di pola tertentu. Bisa saja unsur yang ada di pola satu juga
terdapat di pola dua atau di pola tiga; demikian pula sebaliknya.
Fenomena lain adalah kelengkapan prasyarat untuk melakukan PUG, tidak
berjalan liner dengan pelaksanaan PUG. Dari uraian di atas
memperlihatkan bahwa meskipun prasyarat untuk melaksanakan PUG
belum sepenuhnya terpenuhi, tetapi di beberapa daerah sudah melakukan
implementasi PUG; sebaliknya meskipun prasyarat belum terpenuhi
semuanya, PUG sudah dilaksanakan dengan cakupan yang terbatas.
3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota
Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan
belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan
kesungguhannya. Desentralisasi yang efektif diimplementasikan per
tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap
pelaksanaan PUG di daerah. Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa
limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara itu,
pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Kemudian, detail
prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum
tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132
Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam
Pembangunan Daerah.
Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan
menyikapi pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai
gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program
yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu, dalam
struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama-sama dengan
program-program lain pada satu unit kerja (Eselon IV atau III). Karena
karena pemahaman yang kurang tersebut, maka umumnya gender dan
87
PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan.
Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004-2008 yang menekankan
PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke
dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada
beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam
proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang
mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di Eselon II.
Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang kedua-duanya
relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan
pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang.
Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di
daerah sudah berjalan sebagaimana diharapkan, mengingat umur
keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir
penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalannya pelaksanaan
PUG di daerah.
Akan tetapi ada beberapa lessons learned yang harus dicermati:
• pemahaman yang masih sering keliru tentang pelaksanaan
desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi
program atau bahkan menjadi kegiatan.
• Karena kegiatan sosialisasi gender dan pelatihan keterampilan
menganalisis gender diperlakukan seperti proyek dengan waktu
pelatihan yang kurang memadai, maka hasilnya adalah rendahnya
pemahaman mengenai gender dan isu gender dan kurangnya
keterampilan melakukan analisis gender dengan baik dan benar.
• Dukungan politik untuk melaksanakan PUG (SK Gubernur, Bupati,
Walikota) tidak cukup tersosialisasi.
• Ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih menjadi
masalah. Meskipun kenyataan ini sudah ditengerai selama beberapa
tahun belakangan ini baik di tingkat nasional maupun di tingkat
daerah, akan tetapi hampir tidak ada usaha untuk menanggulanginya.
Demikian pula halnya dengan pemutahiran data. Konsekuensinya
adalah kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak
88
berdasarkan data, khususnya data dan informasi yang terpilah
menurut jenis kelamin. Diusulkan untuk memulainya dengan
mengumpulkan data (terpilah menurut jenis kelamin) dari
kegiatan/program yang sedang ditangani. Bersamaan dengan itu diberi
keterampilan bagaimana mengumpulkan dan mengunakan data
terpilah bertolak dari kegiatan program yang ditangani.
• persoalannya bukan semata-mata karena masih rendahnya
keterampilan untuk melakukan analisis gender dan
mengintegrasikannya ke dalam perencanaan pembangunan, akan
tetapi isu kritis di sini adalah keharusan melakukan analisis sebenarnya
masih belum melembaga.
• proses perencanaan program pembangunan sampai mendapatkan
anggaran dan implementasinya, adalah proses yang panjang dan
melibatkan banyak pihak, yang seringkali di luar ‘jangkauan
perencana’ (musrenbang, SKPD, anggota DPRD termasuk yang
menentukan anggaran untuk menyebut beberapa diantaranya). Isu
kritis di sini adalah bahwa yang tepapar dengan isu gender dan yang
memiliki keterampilan melaksanakan PUG melalui sosialisasi dan
pelatihan (dengan segala kekurangan yang telah disebutkan di atas),
bukan selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan itu, bisa
jadi juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan;
bukan juga orang yang bisa mengawal keseluruhan proses
perencanaan program pembangunan. Sehingga apa yang sering terjadi
adalah meskipun beberapa perencanaan progam/kegiatan sudah
mengintegrasikan isu gender, bahkan sudah terdokumentasi, tidak
dengan sendirinya dapat diimplementasikan. Sosialisasi dan advokasi
serta pengawalan harus terus dilakukan secara tepat (sasaran dan
waktu).
• Di beberapa provinsi, kabupaten/kota yang dikaji, fokus PUG masih
terlalu luas dan bersifat umum. Dengan segala kekurangan yang
dihadapi daerah untuk melaksanakan PUG, masa isu kritis di sini
adalah pelaksanaan PUG yang berpotensi gagal. Beberapa daerah
menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu
strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi
89
Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), hak asasi anak, serta trafficking.
Melaksanakan PUG (di beberapa) program yang konkrit dan yang
dapat diukur keberhasilannya dalam waktu dekat dan yang dapat
menjadi show case. Misalnya ketersediaan data terpilah; program yang
menjadi prioritas daerah/lembaga.
• Meskipun Pokja Gender sudah ada di seluruh daerah yang dikaji, tetapi
tidak semuanya berfungsi. Misalnya di beberapa daerah tidak ada
agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin) setelah Pokja terbentuk.
Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan
Provinsi Jawa Tengah, Pokja sudah berfungsi dengan baik, sesuai
dengan tujuan membuat Pokja. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya,
Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus-tugas sesuai dengan isu yang
ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih
jelas dan terukur dalam menangani permasalahan. Bentuk
kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal
maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan
beragam.
Secara de Jure, prasyarat untuk melaksanakan PUG sudah ada, tetapi
pada tatanan praksis, PUG berjalan lambat dan belum/tidak dilaksanakan
secara tepat. Beberapa faktor penyebab adalah:
a. Dukungan Politik masih di tingkat wacana, masih ada kesulitan untuk
menterjemahkannya ke dalam perencanaan pembangunan;
b. Dukungan politik baru pada level eksekutif; dukungan legislatif belum
terlihat dukungan mereka diperlukan dalam perencanaan
pembangunan/perencanaan anggaran. Perencanaan pembangunan
adalah proses politik; melibatkan proses yang panjang dan banyak
stakeholders (eksekutif, legislatif, masyarakat madani) yang belum
tentu responsif terhadap isu gender dalam pembangunan.
c. Pemahaman PUG belum tuntas, perubahan lain terjadi dengan
diaplikasikannya otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999; UU. 23
90
tahun 1999) berimplikasi pada status kelembagaan yang menangani
PUG, yaitu reduksi kewenangan.
d. Pemahaman gender dan PUG yang masih rancu:
• menyamakan dengan (keperluan) perempuan sudah ada
program (PKK, P2WKSS); sudah ada yang menangani Biro/Unit/
seksi PP
• memandang gender dan PUG terlalu teoritis dan sulit dipahami,
menjadi beban
• tidak relevan dan terkait dengan keperluan sektor/program
karena tidak disosialisasi secara tepat dan benar
e. Dampaknya Isu Gender dalam perencanaan pembangunan:
• tidak diterima secara utuh
• tidak konsisten dilaksanakan
• tidak diperlakukan sebagai isu lintas bidang/unit kerja/program
• pemahaman tereduksi sebagai program atau proyek khusus
perempuan, menjadi ranah biro/unit/program yang menangani
perempuan
• tidak prioritas
91
BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN:
KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH
Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan
program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari
beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/
Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa
program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity
building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan Kemeneg. PP di tahun
2001-2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam
REPETA (2001-2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (2001-
2004), tercatat 38 program pembangunan – yang merupakan tanggung
jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut – yang sudah responsif
terhadap isu gender.40
Akan tetapi dengan adanya peralihan rencana pembangunan dari
PROPENAS (2001-2004) menjadi RPJMN (2004-2009), maka ke-38
program pembangunan dalam REPETA 2004 yang sudah dibuat responsif
gender itu mengalami perubahan dalam penyusunan RPJMN 2004-2009.
Sebagai akibatnya, hampir tidak ada program RPJMN 2004-2009 yang
tertuang dalam RKP yang secara eksplisit responsif terhadap isu gender.
Padahal disebutkan secara jelas dalam RPJMN 2004-2009 bahwa gender
merupakan salah satu dari empat isu yang harus di arus-utamakan dalam
perencanaan program pembangunan41.
Bertolak dari kenyataan ini, BAPPENAS dan Kemeneg. PP memandang
perlu untuk melanjutkan PUG dalam perencanaan program pembangunan
seperti yang diamanatkan oleh Inpres No. 9 Tahun 2000 dan RPJMN
2004-2009. Untuk keperluan tersebut Bappenas dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan kembali memfasilitasinya pada 18 Kementerian
40 Lihat Bab 1 41 Lihat RPJMN 2004-2009 Bab 12 Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan Serta
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
92
terpilih42. Mengingat luasnya cakupan yang harus dilakukan, telah
disepakati untuk memulainya dengan beberapa program prioritas atau
beberapa tema yang dipilih sendiri oleh Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan. Dalam melakukan analisis gender terhadap program/
kegiatan tersebut akan menggunakan alat analisis Gender Analysis
Pathway (GAP).
4.1. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini
adalah: (1) Kementerian/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan)
program pembangunan yang responsif gender; (2) adanya transfer of
knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus
dimaksudkan sebagai bagian dari capacity building melalui learning by
doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke
dalam program-program kegiatan mereka sendiri; (3) membangun
kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan
keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa
kepemilikan (sense of ownership); dan (4) membangun jejaring, sebab
bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring
kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG.
4.2. Proses Analisis
Kegiatan analisis gender dirancang dalam bentuk suatu lokakarya
pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga
peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg. KUKM, Kemeneg. LH,
Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos)
adalah “alumni” dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas-KPP 2001-2002.
Peserta dari masing-masing Kementerian/Lembaga yang diundang
sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang
berkaitan dengan perencanaan program. Masing-masing membawa dan
bekerja dengan program/kegiatan atau tema yang dipilih
Kementerian/Lembaganya. Beberapa Kementerian/Lembaga peserta
42 Ke-18 Kementerian/Lembaga tersebut adalah: Kemeneg. PAN, Kemeneg. Ristek, Kemeneg. LH,
Kemeneg. KUKM, Dephukham, Depdagri, Depdiknas, Depkes, Deptan, DKP, Depnakertrans, Depsos, BKKBN, LAN, BKN, MA, POLRI, dan Kejagung.
93
lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1)
Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber
Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program
Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3)
Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil,
dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan
Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan
(Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Inisiatif
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan); 5) Kemeneg. KUKM
(Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6)
Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga
Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia
Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan
kepemerintahan).
Dengan demikian diharapkan setelah selesai pelatihan, mereka sudah
memiliki rancangan program kegiatan yang responsif terhadap isu-isu
gender. Atau sedikitnya, mempunyai konsep yang akan ditindaklanjuti.
Peserta lokakarya dari ke-16 sektor yang datang mengikuti pelatihan,
dibagi dan bekerja ke dalam 3 kelompok43.
Dalam kenyataanya, peserta yang datang ke lokakarya dimaksud adalah
mereka yang mewakili atau tidak selalu berasal dengan latar belakang
perencanaan. Beberapa Kementerian/Lembaga hanya mengirim satu
orang peserta. Hanya beberapa Kementerian/Lembaga membawa hasil
analisis yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Akan tetapi sebagian besar
peserta tidak membawa data dan atau program/kegiatan yang akan
dianalisis. Secara keseluruhan, lokakarya tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Adapun sebabnya, antara lain adalah keterbatasan dalam hal:
Waktu
Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan
peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukan-kesibukan rutin dan
yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing-masing, membuat waktu
mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah
43 Ada dua Kementerian, yaitu wakil dari Depdagri dan Kemeneg. PAN tidak mengirimkan wakilnya.
94
ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga
diputuskan masing-masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya
dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya
untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian
dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian
luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga
terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah
mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga
waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang
tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing-masing
untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada
fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak
semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil
program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran).
Peserta
Ada 2 Kementerian/Lembaga (Kemeneg. PAN dan Depdagri) yang tidak
mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada
wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya.
Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari
Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi
tidak selalu orang yang tepat. Pemahamaan tentang gender dan
analisisnya juga masih terbatas, sehingga harus dilakukan penjelasan
mengenai konsep-konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu
dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian
untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan
demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang
memang sudah terbatas itu. Akibatnya hasil analisis gender menjadi
kurang optimal.
Fasilitator
Fasilitator yang tersedia untuk lokakarya selama 3 (tiga) hari hanya 2-3
orang untuk memfasilitasi para peserta dari 16 Kementerian/Lembaga.
Sebagian besar Kementerian/Lembaga mengirimkan wakil lebih dari 1
orang, sehingga perbandingan antara peserta dan fasilitator kurang
95
seimbang dan kurang memadai. Keterbatasan ini turut mengurangi
effectiveness lokakarya, sebab para peserta harus antri dalam
mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. Selain itu,
diskusi yang lebih mendalam dengan fasilitator terutama dalam aspek
analisis faktor-faktor kesenjangan gender menjadi sangat terbatas
waktunya.
Materi
Masing-masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/
kegiatan ataupun kebijakan yang dipilih berikut data-data yang
diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta
membawa program/ kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang
berkaitan dengan PUG dan menyajikannya berserta piranti analisis gender
GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender
GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka bekerja
dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih
memerlukan perbaikan-perbaikan.
4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih
Dari hasil lokakarya sehari melakukan analisis gender pada
program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga,
memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam
melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara
kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose)
sumber daya manusia/kementerian/Lembaga yang bersangkutan dengan
analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga
antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg. KUKM,
Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi -kecuali
LAN- adalah ‘alumni” dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh
Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support
Project II (2001-2002). Namun demikian, tidak semua
Kementerian/Lembaga ‘alumni’ piloting PUG tersebut melanjutkan
96
keterampilan yang sudah didapat sebelumnya. Kemeneg. LH dan
Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG
Bappenas-KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam
lokakarya.
Seperti disebutkan pada BAB 2, banyak faktor kendala yang dihadapi
Kementerian/Lembaga dalam mengupayakan pelaksanaan PUG. Tetapi
faktor utama yang ingin digaris-bawahi disini adalah dukungan nyata dan
ajeg dari pimpinan termasuk pimpinan unit kerja. Dari Kementerian/
Lembaga yang dinilai siap dan cukup berhasil dalam melaksanakan PUG
analisis gender, semuanya memiliki tokoh pimpinan (gender champion)
yang secara ajeg mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan PUG. Paling
tidak menjadi ‘motor’ di unitnya masing-masing. Hal ini biasanya juga
ditandai dengan berfungsinya dua mekanisme penting dalam
melaksanakan PUG yaitu Pokja Gender dan sumber daya manusia yang
terampil melakukan analisis gender.
4.4. Best Practice
Sebagai best practice dalam melaksanakan PUG, bagian ini akan membagi
pengalaman dari 3 Kementerian/Lembaga, yaitu Departemen Kesehatan,
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pertanian.
a. Departemen Kesehatan. Menindaklanjuti Inpres No. 9 tahun 2000
Menteri Kesehatan menerbitkan SK Menkes RI No. HK.00.SJ.SK.I.1712
tanggal 13 September 2002 tentang Tim Pengarusutamaan Gender
Depkes dengan Ketua (Pengarah) Dirjen Binkesmas dan Focal point
(Pelaksana) Direktur Bina Kesehatan Keluarga (Ketua) dan Kepala Biro
Perencanaan dan Anggaran (Wakil Ketua).
Setelah PUG dilaksanakan selama empat tahun diterbitkan SK Menkes
yang baru untuk mengakomodasi perkembangan yang ada, yaitu bahwa
PUG telah dan akan dikembangkan ke seluruh unit utama di Depkes.
Kalau pada awal pelaksanaan PUG terkesan terpusat di Direktorat
Jenderal Binkesmas, maka pada tahun 2006 PUG dilaksanakan oleh
semua unit utama. Di dalam SK No. 878/Menkes/SK/XI/2006 ditetapkan
adanya 11 Focal point di 11 Unit Utama, dengan Kepala Biro Perencanaan
97
dan Anggaran sebagai Koordinator Perencanaan PUG dan Direktur Bina
Kesehatan Ibu sebagai Koordinator Pengembangan PUG. Dengan demikian
semua pejabat Eselon I mempunyai seorang Focal point (salah seorang
pejabat Eselon II) untuk mengembangkan dan memantau pelaksanaan
program-program responsif gender di lingkungannya, yang jumlahnya
makin banyak.
Dalam mengembangkan strategi pengarusutamaan gender sesuai Inpres
No. 9 tahun 2000, sejak awal Depkes telah menetapkan piranti GAP guna
menganalisa program-program pembangunan kesehatan untuk dijadikan
responsif gender. Dengan bantuan narasumber gender dari luar Depkes
dilakukan sosialisasi, advokasi dan pelatihan gender (termasuk GAP)
kepada para perencana dan penanggung jawab program di lingkungan
Depkes secara terencana dan berkelanjutan dari tahun ke tahun. Pada
Repeta 2003, 6 program/sub-program prioritas telah berhasil dijadikan
responsif gender, yaitu Making Pregnancy Safer (MPS), Tuberkulosis,
Malaria, HIV/AIDS, Gizi, dan Kesehatan Lingkungan. Pada Repeta 2004,
program/sub-program yang digenderkan berjumlah 17 buah, dan pada
Repeta 2006 menjadi 34 program/sub-program.
Secara bertahap Depkes juga mengadakan sosialisasi dan advokasi
gender dan PUG kepada para perencana dan penanggung jawab program
di Provinsi. Untuk membantu kelancaran dan sustainabilitas pelaksanaan
PUG di Pusat maupun di Provinsi, telah dibentuk Kelompok Fasilitator
PUG-BK (PUG Bidang Kesehatan) tingkat Nasional, tingkat Pusat dan
Provinsi (33 orang).
Dalam pengembangan PUG ini Depkes juga difasilitasi oleh Bappenas dan
KPP, serta dukungan teknis dari lembaga donor. Beberapa dokumen yang
telah dihasilkan antara lain: 1) Panduan PUG-BK (2002), Analisis Gender
dalam Pembangunan Kesehatan dan Berbagi Pengalaman (2002 – Depkes
kerjasama Bappenas dan CIDA), 3) Panduan Pelayanan Kesehatan
Responsif Gender bagi Petugas Kesehatan (2005 – Depkes kerjasama
AusAID), 4) Modul Pelatihan PUG-BK, Depkes kerjasama WHO-SEAR).
Selanjutnya, untuk ke depan telah direncanakan beberapa kegiatan yaitu:
1) Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam program Depkes di
98
RPJMN yang akan datang; 2) Menyusun/memantapkan data terpilah
menurut jenis kelamin dari data Susenas; 3) Menyusun rencana aksi
nasional (RAN) PUG-BK 2007-2009, 4) Menyusun rencana kerjasama
dengan lembaga donor guna mendukung rencana aksi PUG-BK, 5)
Meningkatkan kampanye PUG-BK, dan 6) Memperkuat pemantauan dan
evaluasi PUG-BK.
b. Departemen Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) termasuk dalam piloting PUG yang difasilitasi oleh Bappenas,
KPP dan Women Support Project II – CIDA (2001-2002). Departemen ini
juga menjadi bagian dari program global UNESCO, Education for All
(2000) dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan PUG. Depdiknas
menyadari kurangnya kapasitas lembaga tersebut, mulai dari pemegang
keputusan, peneliti, perencana, pengelola, hingga pelaksana program dan
stakeholder lainnya, maka untuk melaksanakan PUG di bidang pendidikan
sejak 2003 difokuskan pada peningkatan capacity building dengan materi
yang relevan dan nyata. Kegiatan capacity building ini mencakup: 1)
pengembangan kebijakan dan program yang responsif gender; 2)
pengembangan peraturan, kelembagaan, dan mekanisme yang
mendukung pelaksanaan PUG bidang pendidikan; 3) pengembangan
kualitas SDM untuk meningkatkan komitmen dan dukungan terhadap
pelaksanaan PUG di bidang pendidikan dan meningkatkan keterampilan
melakukan analisis gender.
Untuk operasionalisasinya dibentuk Tim Pokja Gender yang terdiri dari
berbagai unsur, selain internal juga melibatkan Dinas terkait (Biro Pusat
Statistik) Pusat Studi Wanita, LSM yang menangani gender dan
pendidikan, serta pakar gender. Tim Pokja diketuai oleh Direktur
Pendidikan Luar Sekolah dan dibantu oleh Tim Sekretariat. Pada mulanya
(2003), kegiatan PUG bidang Pendidikan bertempat di Direktorat
Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sehingga menimbulkan kesan PUG
merupakan kegiatan Direktorat PLS. Akan tetapi dengan dikeluarkannya
SK Menteri Pendidikan RI No. 060/P/2007 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja PUG Bidang Pendidikan maka diperjelas bahwa PUG
bidang pendidikan dilaksanakan di semua unit utama. Di dalam SK
tersebut, Sekjen ditetapkan sebagai Ketua Pokja dan Direktur Jendral PLS
99
sebagai Focal point Gender dan Direktur Pendidikan Non Formal dan
Informal (PNFI) sebagai wakilnya. Dengan perkembangan yang baru ini
hampir seluruh unit utama telah melakukan sosialisasi Gender dan PUG
bidang pendidikan.
Suatu kerangka kerja untuk PUG bidang Pendidikan telah disusun,
lengkap dengan focus kegiatan (capacity building, Studi Kebijakan,
Kemitraan dengan LSM, Penguatan Stakeholders, Pengembangan data
terpilah dan Website serta KIE); metode penyampaian sesuai dengan
sasaran target. Untuk Penguatan capacity building melalui lokakarya,
Round Table Discussion; Focus Group Discussion; Studi Kebijakan
dilakukan bermitra dengan PSW; Pengembangan Model Pendidikan
alternative bermitra dengan LSM; Penguatan Stakeholders bermitra
dengan Penerbit/Penulis/Satuan pendidikan/stakeholders, termasuk
pengembangan bahan ajar serta metode ajar-mengajar yang peka
terhadap masalah gender; pengembangan database yang memasukkan
data terpilah menurut jenis kelamin dan website, serta pengembangan
KIE untuk mempromosikan gender dalam bidang pendidikan. Hasil dari
ke-5 kegiatan tersebut saling melengkapi dan mendukung pelaksanaan
PUG bidang pendidikan.
Kegiatan capacity building ini juga dilakukan di daerah secara bertahap, di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tiga tahun terakhir ini Depdiknas
memberikan block grant kepada daerah dengan mengacu pada kerangka
kerja PUG bidang Pendidikan telah disusun dengan keperluan/keadaan
daerah. Dengan difasilitasi oleh Tim Pokja Nasional, daerah diminta untuk
menyusun position paper mengidentifikasi isu gender di bidang pendidikan
di daerah masing-masing. Berdasarkan position paper tersebut rencana
kerja PUG bidang Pendidikan di daerah masing-masing disusun. Secara
berkala diadakan pertemuan antara daerah dengan Tim Pokja Nasional,
untuk mendiskusikan kegiatan PUG bidang pendidikan yang didanai oleh
APBN. Beberapa penyandang dana internasional, seperti AusAID juga
tertarik untuk mengembangkan pilot model pendidikan berperspektif
gender di daerah. Beberapa provinsi seperti Jawa Tengah bahkan telah
memulai dengan mengembangkan sekolah yang berperspektif gender.
100
Patut disebutkan di sini bahwa perkembangan PUG bidang pendidikan di
beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Jawa Timur,
sudah berjalan dengan baik, dengan dukungan dan komitmen dari
pemerintah daerah, seperti terlihat ketersediaan dana pendamping dari
APBD untuk kegiatan PUG, didukung oleh SDM yang terampil dan tim
Pokja gender yang fungsional.
4.5. Beberapa Isu Kritis
Tujuan utama dari lokakarya pelatihan analisis gender bagi
Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan
yang responsif gender. Hasil lokakarya memperlihatkan beberapa
program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus
disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan-perbaikan.
Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu
kritis ditengarai:
• Diseminasi dan ’pengawalan’ program/kegiatan yang sudah
digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu
langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program. Jadi
program/kegiatan yang sudah dianalisis dan dianggap baik, masih
memerlukan langkah-langkah untuk dapat menjadi operasional, antara
lain melalui:
o Diseminasi di internal lembaga, dengan biro perencanaan, para
pengambil keputusan, pemegang program, unit-unit lain yang
terkait untuk mendukung dan menerima program/kegiatan yang
sudah responsif gender tersebut. Karena sering ada kesalahan-
pemahaman seolah-olah program/kegiatan yang sudah dibuat
gender responsif itu sebagai program/kegiatan yang baru.
o Pengawalan dalam proses-proses selanjutnya. Di tingkat nasional,
yaitu ketika dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, komisi
yang menangani program dan menangani anggaran. Di tingkat
daerah, pengawalan diperlukan ketika pertemuan Bappeda dengan
SKPD, karena saat itulah kemungkinan program/kegiatan itu
101
‘hilang’ atau tidak menjadi prioritas. Sebab itu advokasi juga
diperlukan dengan para anggota Dewan yang relevant.
• Perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme
perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan
terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender
pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami
rancu, seolah-olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi
gender responsif, PUG telah dilaksanakan.
• Melibatkan banyak aktor. Tahapan-tahapan sebelum dan sesudah
melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu
sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab
itu membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang
sudah responsif gender itu menjadi penting.
102
BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Instruksi presiden No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor
pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG),
merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk
mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia dan Keadilan Sosial.
Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden
tersebut telah cukup banyak hasil yang dicapai, akan tetapi masih lebih
banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan
PUG dalam pembangunan bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta
Kabupaten/Kota yang dikaji telah memiliki empat atau lima unsur ideal
(dukungan politik, kelembagaan PUG, program yang responsif gender,
data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan sumber daya
manusia dengan keterampilan melaksanakan PUG) yang diperlukan untuk
melaksanakan PUG. Selain itu, sosialisasi gender relatif sering dilakukan,
bahkan beberapa Kementerian/Lembaga sudah menyelenggarakan
pelatihan analisis gender.
Ironisnya, hasil kajian ini –dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih
dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007–
mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga)
maupun di tingkat Provinsi/Kabupaten/ Kota, ditemukan beberapa
masalah utama yang menghambat/ memperlambat PUG.
Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah
Kementerian/Lembaga yang sudah melaksanakan pelatihan analisis
gender, namun pemahaman sebagian besar para pejabat
Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang,
103
bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya
pemahaman tentang beberapa konsep dasar, seperti ‘gender’ dan
kesetaraan gender’, dimana gender diartikan sama dengan perempuan;
kerancuan dalam penggunaan istilah-istilah keadilan gender, kesetaraan
gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya.
5.2. Rekomendasi
Meskipun sering sosialisasi dan pelatihan-pelatihan gender oleh masing-
masing Kementerian/Lembaga yang dikaji, bahkan hingga tingkat daerah,
namun pengetahuan mengenai konsep gender masih pada tataran
wacana. Hal ini diakui sendiri oleh hampir seluruh responden, bahwa
pengetahuan mereka masih sebatas teori. Hasil kajian mengidentifikasi
bahwa pengetahuan yang mereka dapatkan seringkali masih berupa
penggalan-penggalan dari suatu proses PUG yang seringkali tidak terkait
dalam konteks. Hal ini berkaitan dengan materi pelatihan, metode
penyampaian, kejelasan maksud dan tujuan, serta kompetensi fasilitator
saat diselenggarakannya sosialisasi dan pelatihan. Oleh sebab itu,
alangkah baiknya bila secara berkala dilakukan evaluasi dampak
dan metode sosialisasi pelatihan gender. Lebih dari itu, evaluasi
PUG kiranya perlu dilakukan dalam kurun 2-3 tahun sekali guna
menjaga kesinambungan keberhasilan, proses dan pelaksanaan
PUG di masing-masing Kementerian/Lembaga maupun dalam
lingkup Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengan hasil evaluasi pelaksanaan PUG yang telah dilakukan, nampak
nyata bahwa payung hukum pelaksanaan PUG hanya dengan Instruksi
Presiden belum cukup efektif untuk mendorong Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan PUG dan menjadikan analisis
gender sebagai bagian penting dalam proses perencanaannya.
Diperlukan upaya penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat
nasional maupuan daerah dengan regulasi yang lebih memadai.
Inpres No. 9 tahun 2000 tidak menjelaskan dengan jelas bagaimana
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebaiknya melaksanakan
104
PUG, dan sejauh mana pelaksanaannya dapat dikatakan berhasil. Sebagai
akibatnya, masing-masing Kementerian/Lembaga melakukan PUG tanpa
ada sasaran capaian yang jelas, dan hasilnya adalah tingkat keberhasilan
yang rendah. Untuk meningkatkan efektivitas PUG, diperlukan
suatu perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci
kegiatan-kegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam
kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Masalah berikut yang banyak temui adalah kelangkaan data terpilah
menurut jenis kelamin, hal ini menghambat efektivitas pelaksanaan PUG.
Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua
Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD. (lihat tabel di bawah)
Kendala lain adalah keberagaman pemahaman mengenai teknis
pelaksanaan PUG. Saat ini sudah cukup banyak manual, panduan teknis,
dan checklist berkaitan dengan cara/pelaksanaan PUG. Hampir semua
responden percaya bahwa learning by doing merupakan cara yang efektif
dapat melaksanakan PUG. Akan tetapi keberagaman piranti tersebut
justru membingungkan, atau kemudian digunakan tidak secara tepat.
Untuk itu sebaiknya KPP –didukung oleh Bappenas dan pakar
gender– dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada, dan
melengkapinya dengan penjelasan. Misalnya, mengenai sejarah
pembuatan piranti, tujuan dan kegunaannya, apakah
penggunaannya lebih tepat untuk analisa dalam perencanaan atau
pelaksanaan, atau pemantauan dan evaluasi, pengumpulan data,
dan seterusnya. Dengan demikian, pengguna lebih mengerti dan
dapat menggunakan piranti yang tepat sesuai kebutuhan.
Melaksanakan PUG tidak hanya berkaitan dengan hal-hal teknis, namun
juga diperlukan pemahaman yang cukup berkaitan dengan apa implikasi
praktis melaksanakan PUG. Persepsi umum bahwa dengan melakukan
analisis gender sama dengan telah melaksanakan PUG; sementara itu
langkah-langkah selanjutnya sebagai konsekwensi dan implikasi adanya
105
program/kegiatan yang sudah responsif/ berperspektif gender, sering
luput dari perhatian. Untuk itu pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro
PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan
saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga
pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud.
Pemahaman PUG sebagai strategi sudah cukup dimengerti secara meluas.
Namun kerancuan masih sering terjadi dalam membedakan antara
strategi dan tujuan. Melaksanakan PUG adalah strategi, meningkatkan
kesetaraan gender adalah tujuan dari PUG. Hal penting lainnya yang
masih rancu dipahami, adalah perbedaan antara memberi perhatian pada:
(1) melakukan analisis gender terhadap kebijakan/ program atau kegiatan
agar menjadi berperspektif gender/responsif gender, dan (2) menyusun
rencana aksi, berdasarkan hasil analisis gender tersebut untuk
mendukung tercapainya tujuan kesetaraan gender. Dalam piranti GAP
(Gender Analysis Pathways) dan POP (Policy Outlook and Plan of Actions)
hal ini terlihat jelas. Analisis gender merupakan kegiatan pertama dalam
GAP, sedangkan kegiatan kedua merencanakan sesuatu (kebijakan,
program, kegiatan yang responsive atau berperespektif gender)
berdasarkan hasil analisis gender, masuk dalam POP. Keduanya memang
dibutuhkan untuk melaksanakan PUG.
Kerancuan yang sering terjadi adalah anggapan telah melaksanakan PUG
setelah melakukan analisis gender (GAP) dan mengidentifikasi rencana
aksinya (POP). Kedua kegiatan ini merupakan langkah awal dari
serangkaian langkah-langkah lain yang diperlukan agar PUG berjalan
efektif. Langkah-langkah itu di luar yang bersifat teknis, tetapi sudah lebih
berdimensi politis.
Dimensi politis untuk meningkatkan kesetaraan gender inilah yang selalu
luput diberi perhatian, yaitu langkah-langkah selanjutnya yang berkaitan
dengan pemangku kepentingan (stakeholders) eksternal seperti mitra di
DPR/DPRD, Kementerian/Lembaga/unit kerja yang relevan, media, dan
lainnya. Dalam membangun komitmen politis, sangat penting bagi
106
pemerintah dalam hal ini KPP dan Bappenas untuk membangun
kemitraan yang lebih intens dengan para pemangku kepentingan,
terutama dengan media massa yang selama ini sering terlupakan.
Penyusunan materi dan desain metode KIE yang menyediakan
informasi akurat, relevan, terkini sekitar PUG sangat baik secara
nasional maupun lokal. Oleh karena itu, direkomendasikan adanya
fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan
lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang
paling efektif untuk setiap target audience.
Semangat yang tinggi untuk melaksanakan PUG, kurang diikuti dengan
strategi yang tepat. Kekurang-pahaman bagaimana proses suatu
kebijakan, program atau kegiatan itu dibangun merupakan kendala dalam
pelaksanaan PUG. Seringkali yang ikut dalam sosialisasi dan pelatihan
analisis gender, misalnya bukan staf atau pejabat program atau
perencanaan, sehingga keterampilan yang didapat tidak teraplikasi.
Kendala lainnya, adalah dalam memahami tahapan perencanaan
pembangunan yang panjang yaitu dari mulai menerjemahkan berbagai
permasalahan ke dalam isu prioritas, (di daerah dari mulai musrenbang)
hingga menjadi suatu program atau kegiatan, dan kemudian
pengalokasian anggarannya. Di semua tahapan tersebut, isu gender
sangat mungkin tereliminasi. Seringkali para stakeholders yang terlibat,
belum atau kurang mengerti dan sensitif terhadap isu gender (belum
pernah terpapar isu gender dalam pembangunan). Sehingga, saat
keputusan diambil, orang yang paham tentang isu gender dalam
pembangunan, dan akhirnya tidak mendapat/menjadi prioritas. Akibatnya,
setiap tahun pencapaian kesetaraan gender tidak bisa optimal, bahkan
menjadi sangat rendah. Oleh sebab itu dalam sosialisasi PUG dan
pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian
perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender.
Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa target audience
sosialisasi/pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil
sosialisasi/pelatihan.
107
Konsep PUG, yaitu melalui pengintegrasiaan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki ke dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan seterusnya, sebenarnya tidak
cukup kuat untuk menyebabkan terjadinya suatu transformasi power
structure. Strategi PUG harus dibentangkan keluar dari hal-hal teknis
semata, bahkan juga pada dimensi politik. Kata politik disini dipakai dalam
arti yang lebih luas yaitu isu gender bukan hanya kepedulian dan ranah
perencanaan/birokrasi, tetapi kepedulian dan sikap semua pihak. Usaha
sistematis ke arah itu memang belum dilakukan. Pelembagaan dan
pelaksanaan PUG perlu dukungan dan keterlibatan luas bukan
hanya dari jajaran birokrasi pemerintah tetapi juga dari LSM,
dunia usaha, dan masyarakat sipil umumnya.
Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun
mendatang dalam rangka PUG:
- Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di
semua bidang pembangunan
- Keluaran dan sasaran dari setiap program pembangunan
mencerminkan perspektif gender
Rekomendasi PUG di Bappenas:
- Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam
kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana.
- Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas
Berikut adalah beberapa rekomendasi yang lebih spesifik:
1) Rekomendasi berkaitan dengan dukungan politik
Rekomendasi Ditujukan kepada
1. Advokasi para pimpinan
Kementerian/Lembaga dan pimpinan Pemda
setempat tentang isu gender dalam
pembangunan dan dasar hukum keharusan
melaksanakan PUG
Menteri Negara PP, Bappenas,
pakar gender;
Pimpinan dari Kemeneg. PP
dan Pakar gender
2. Advokasi kepada para pimpinan dan
pengambil kebijakan mengenai pemahaman Kemeneg. PP dan dewan
108
Rekomendasi Ditujukan kepada
tentang konsep dasar gender dan PUG serta
manfaatnya
pakar/fasilitator gender/pokja
gender, gender focal point
Kementerian/ Lembaga/Pemda
Advokasi mengenai gender dalam dalam
pembangunan pada anggota Dewan
Perwakilan dari Komisi yang menjadi mitra
kerja (termasuk Renja yang mengurus
Anggaran)
Kemeneg. PP, Kementerian/
Lembaga dan Pemda
Fasilitasi pembuatan materi advokasi (generik)
untuk bahan advokasi Kemeneg. PP dibantu Pakar
Gender
2) Rekomendasi berkaitan dengan pelembagaan PUG
Rekomendasi Ditujukan kepada
1. Fasilitasi penunjukan dan penempatan focal
point pada posisi yang cukup tinggi agar dapat
bekerja dan berkoordinasi lebih efektif
Pimpinan Kementerian/
Lembaga, Pemda
3. Fasilitasi pembuatan TOR bagi focal point
tentang tugas dan kewajibannya secara jelas,
termasuk pemberian insentif sebagai tanda
aprisiasi
Pokja Gender Kementerian/
Lembaga dan Biro PP Pemda
yang bersangkutan
4. Fasilitasi (dalam bentuk dukungan dana,
sarana, keterampilan) pokja Gender di
Kementerian/ Lembaga/Pemda, bisa dimulai di
satu unit kerja yang sudah memulainya kalau
perlu dengan bantuan fasilitator yang
kompeten dari luar Kementerian/ Lembaga
/Pemda
Pimpinan Kementerian/
Lembaga dan Kemeneg. PP,
Pemda/Biro PP
2. Fasilitasi pembentukan dewan pakar
gender/PUG disamping adanya Pokja PUG
Pimpinan Kementerian/
Lembaga, Pokja Gender;
Pemda/KPP, PSW
Fasilitasi pembuatan mekanisme serta
indikator gender audit
Kemeneg. PP, Bappenas, Pokja
Gender, Pakar gender
109
Rekomendasi Ditujukan kepada
Fasilitasi pemberian penghargaan gender
champion ditingkat Kementerian/ Lembaga
dan SKPD
Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar
Gender
3) Rekomendasi berkaitan dengan program responsif gender
Rekomendasi Ditujukan kepada
1. Sosialisasi semua dasar hukum tentang
keharusan melaksanakan PUG yang
dikeluarkan oleh Global/Nasional/Daerah/ Unit
kerja
Pimpinan Kementerian/
Lembaga dan focal point
Pimpinan Pemda dan Pokja
Gender
2. Pelatihan analisis gender dalam bentuk
learning by doing bagi para perencana dan
pelaksana program Kementerian/Lembaga
dan para Perencana Pemda dan SKPD
setempat
K Kemeneg. PP/ Pakar Gender;
K Kemeneg. PP/Biro PP dan
Pakar Gender
3. Analisis gender sudah dimulai sejak
pembuatan Renstra sampai dengan kegiatan
program
Biro Perencanaan, Bappenas, K
Kemeneg. PP, Pakar Gender
Bappeda, Biro PP, Pakar
Gender
4) Rekomendasi berkaitan dengan data dan informasi
Rekomendasi Ditujukan kepada
1. Dikeluarkan Surat Keputusan bersama
Menteri KPP, Ketua Bappenas, Menteri Dalam
Negeri tentang keharusan melembagakan
pengumpulan, penyimpanan dan pemakaian
data menurut jenis kelamin bagi semua
program dan kegiatan Kementerian/Lembaga
dan SKPD
Menteri Negara PP, Ketua
Bappenas, Menteri Dalam
Negeri
110
Rekomendasi Ditujukan kepada
2. Fasilitasi pengembangan
formulir standar dengan data terpilah menurut
jenis kelamin untuk Kementerian/Lembaga
dan Pemda
Kemeneg. PP, Bappenas/
Bappeda, Pakar Gender, Unit
Data
Kementerian/Lembaga/Pemda
5) Rekomendasi berkaitan dengan SDM PUG
Rekomendasi Ditujukan kepada
1. Kegiatan sosialisasi dan capacity building
(termasuk pelatihan analisis gender,
telaah kebijakan, isu gender
terkini(global/nasional/daerah),
kemitraan, proses siklus perencanaan)
;dilaksanakan secara berkelanjutan dan
relevant dengan kebutuhan;
Ditujukan untuk:
- semua personel baru (internal KPP, di
Kementerian/Lembaga serta
Pemda/SKPD);
- ‘penyegaran kembali’ bagi yang
sudah mendapatkan;
- fasilitator (nasional)
Kemeneg. PP/ Biro PP, Pokja
Gender, Pakar/Fasilitator
Gender
2. Capacity building juga dimaksudkan
untuk menghasilkan sejumlah fasilitator
gender di internal lembaga
Kemeneg. PP/Biro PP, Pokja
Gender, Pakar Gender
3. Fasilitasi pembentukan ’pool’ pakar /
fasilitator gender dengan masing-masing
kualifikasi
Kemeneg. PP, Bappenas, Pakar
Gender