RESPIRATORY SYSTEM Department of Anatomic Pathology Faculty of Medicine Brawijaya University
A System of Conflicta Dynamics.doc
-
Upload
wulan-pity -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of A System of Conflicta Dynamics.doc
A System of Conflict Dynamics
Resolusi konflik merupakan sebuah terminologi ilmiah yang penekanannya lebih
melihat bahwa perdamaian merupakan suatu proses terbuka dan melakukan pembagian
proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahapan yang sesuai dengan dinamika dari pada
siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan.
Pertama,konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun juga harus
dilihat sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak
berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika
lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal
dalam bentuk suatu proposisi bivariat causality. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu
fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat dari berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik
hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam
mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya
dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan
perdamaian yang dapat berjalan lancar. Sebelum memasuki pembahasan mengenai proses
konflik pada tahap eskalasi kita akan membahas mengenai mode aksi-reaksi dinamika konflik,
beragam jenis perilaku dari pihak yang berkonflik, dan variabel kontekstual yang terlibat dalam
mempengaruhi pola interaksi antara aktor.
System Perspective
Hubungan antara komponen-kompenen yang berada pada tahapan konflik bisa dijelaskan
dengan sistematis proses konflik dan outcomes atau hasil yang didapat dari konflik ini.
Perubahan dalam sistem konflik bergerak melalui siklus dari munculnya ekspresi keluhan -
eskalasi- konflik kekerasan. Proses aksi-reaksi dianggap sebagai siklus dengan punctuated
equilibrium. Dengan manifestasi dari eskalasi, konflik laten berubah menjadi krisis. Maka krisis
akhirnya harus berbalik kembali ke kondisi laten konflik.
Suatu sistem digambarkan sebagai satu set kompleks pola interaksi, yang memiliki
kerangka berfikir melibihi dari komponen individu. Secara alami, sistem terus berpindah dari
satu tahap ke tahap lainnya dalam proses beradaptasi dengan situasi baru. Dalam waktu ke
waktu sistem mengalami siklus yang panjang, dengan demikian dinamika sistem yang terbaik
ditangkap dalam hal keseimbangan mewujudkan suksesi negara yang baik.
Jadi konflik dapat dilihat sebagai keadaan yang jauh dari keadaan normal yang tertib
oleh norma-norma yang ada. Pertanyaan utama yang tetap adalah bagaimana suatu kelompok
bergerak dari harmoni atau ekuilibrium lalu munculnya konflik, dan sebaliknya. Ketika
komponen sistem kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dalam keseimbangan atau
ekuilibrium, pihak mengalami gangguan dalam pola interaksi yang teratur dari situlah muncul
atau terwujudnya konflik.
Action-Reation Function
Perspektif sistem mencerminkan fungsi aksi-reaksi yang menciptakan kerentanan
masing-masing pihak untuk kehancuran satu sama lain. Fungsi gabungan dari dua atau lebih
negara berinteraksi dapat dikatakan membentuk suatu sistem dengan titik ekuilibrium di mana
masing-masing pihak merasa bahwa kepentingan keamanannya, dilindungi oleh militer,
teknologi, dan kekuatan ekonomi, yang seimbang terhadap ancaman yang lain. Keseimbangan
ini mempengaruhi pada struktur harapan yang berasal dari efek gabungan dari kepentingan,
kemampuan, dan kehendak.
Dalam poin ini bisa di jelaskan dengan menggunakan arm races. Bagaimana suatu negara
yang sedang pada tahapan atau proses konflik berpacu pada produksi senjata. Dimana ketika
musuh mulai menaikan produksi senjata mereka negara yang berkonflik lainnya juga aan
memberikan reaksi yaitu menaikan produksi senjatanya juga, hal ini yang bisa membuat konflik
menjadi meningkat. Namun aksi-reaksi fungsi ini juga bisa membuat konflik menurun, jika tidak
ada peningkatan pada bidang militer, maka pihak yang berkonflik lainnya juga tidak akan
menaikan intensitas nya dibidang militer atau persenjataan.
The Modes of Interaction
Dalam system politik internasional sanksi sering dianggap sebagai metode paling ampuh
yang bisa diterima meskipun dengan cara terpaksa dan hal itu sah karena yang menciptakan
adanya suatu sanksi adalah system politik itu sendiri. Dari hal tersebut akan memungkinkan
untuk timbul apa yang disebut dengan ancaman yang mana ancaman ini menentukan
konsekuensi negatif yang dihadapi oleh pihak yang menentang tuntutan lawan secara koersif.
Permusuhan, perang, atau bentuk negatif lain dari pengaruh sosial yang kontras dengan persuasi
dan insentif (Franck, 2006). Sementara adapun yang disebut dengan negative mode of action
yang mana melibatkan sanksi ekonomi atau diplomatik yang dimaksudkan untuk meningkatkan
biaya atau untuk mengambil manfaat, langkah-langkah positifnya akan fokus pada pemberian
penghargaan. Atribut interaksi dapat terdiri tidak hanya dari mode perilaku, tetapi juga berbagai
tingkat intensitas dalam suatu gerakan dan arah dari ukuran tertentu (kenaikan atau penurunan
tindakan hukuman). Tingkat parah atau tidaknya dan konsistensi sanksi menghasilkan beragam
interpretasi dan tindakan timbal balik dari waktu ke waktu. Secara konsisten jika sanksi yang
diterapkan berjalan dengan baik dan sanksi yang diterapkan semakin ketat maka akan terjadi
kemungkinan bahwa akan terjadi kapitulasi atau dalam artian ada yang menyebutnya pengakuan
kalah ataupun bersalah dari pada harus melakukan suatu tindakan konsiliasi. Peningkatan atau
penurunan tekanan cenderung diadopsi dengan cara yang menyandang hubungan langsung
dengan tindakan sesuai atau menantang pihak lain.
Pengakuan diplomatik, bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi untuk bantuan
militer, dapat digunakan sebagai pengaruh strategi untuk memenuhi tuntutan. Insentif ekonomi
seperti tarif impor yang lebih rendah dan pinjaman bebas sering ditujukan untuk menginduksi
respon yang baik dan memperkuat hubungan sekutu. Dalam perang melawan terorisme, misalnya
bantuan ekonomi AS telah diberikan ke Pakistan dan negara-negara Asia Tengah, hal ini sebagai
strategi yang penting . Negative mode of action (seperti tindak kekerasan) cenderung mudah
membalas melalui langkah-langkah balasan.
Pesan koersif mungkin memiliki dampak yang tidak diinginkan dengan konsekuensi yang
tidak terkendali melalui eskalasi. Untuk mencegah hal itu berlanjut pada kekerasan, tindakan
koersif perlu diterapkan secara bertahap, dengan magnitude yang lebih besar di daerah tertentu.
Efek dari ancaman dan hukuman sebagai pengaruh umumnya berfokus pada cost yang berasal
dari ketidakpatuhan. Strategi ini kontras dengan prinsip yang dibuat untuk menimbulkan persepsi
yang meyakinkan dan memberikan niat baik. Kebanyakan interaksi konflik, dikombinasikan
dengan remunerasi manfaat (Mitchell, 1999). Sedangkan pemaksaan mungkin merupakan bentuk
dominan tindakan escalatory, campuran dari kedua strategi yang berkolaboratif dan koersif
biasanya terkait dengan penurunan konflik. Bahkan dengan pengenalan tindakan de-eskalasi,
bullying dan intimidasi taktik mungkin tidak benar-benar hilang jika tekanan harus diberikan
kepada musuh.
Ketika konflik dikendalikan untuk mewujudkan penyelesaian, rasio dan frekuensi
peningkatan perilaku damai vis-à-vis mereka yang koersif. Ancaman dan pemaksaan bisa disertai
dengan upaya persuasif yang dilakukan melalui janji imbalan. Sebagai contoh, Amerika Serikat
dan sekutu Eropa berjanji jenis terbatas teknologi nuklir ke Iran dengan imbalan pembekuan
Teheran pada program uranium. Ketika Iran menolak proposal, negara-negara Barat mengancam
akan memulai sanksi PBB. Dalam pengaturan pasca-konflik Mozambik dan El Salvador antara
tahun 1992 dan 1994, pasukan gerilya sementara menghentikan proses demobilisasi dan ketika
pemerintah lambat untuk mengambil langkah-langkah yang dijanjikan akan terjadi hal-hal seperti
perubahan aturan pemilu dan reformasi tanah pada masing-masing.Dalam hubungan antagonis,
sanksi dapat berfungsi sebagai alat komunikasi untuk membatasi perilaku seorang musuh. Di sisi
lain, ekspresi yang tidak di managed dengan niat bermusuhan secara tidak sengaja dan
menghasut dalam melakukan kesalahan persepsi partai saingannya. Prevalensi suasana hati yang
agresif di satu negara kemungkinan akan mengundang reaksi yang sama dari yang lain.
Tindakan yang sama menyebabkan konsekuensi yang berbeda, tergantung pada persepsi
lawan '. Perilaku provokatif oleh satu sisi umumnya membawa respon keras pada yang lain
dimaksudkan untuk mencegah terus provokasi. Bahkan jika reaksi kuat menimbulkan risiko,
mungkin takut bahwa reaksi sederhana dipandang sebagai kurangnya kemauan untuk menantang
agresor. Jika tujuan musuh terbatas pada interaksi antagonis yang rendah, mereka bisa
ditenangkan melalui gerakan yang lebih ramah . Sebelum meninggalkan tindakan antagonis,
perilaku kompetitif dapat meningkat sementara hal ini menandakan bahwa akan terjadi
kemungkinan kembali munculnya kekerasan .
Harapan tertentu dan standar tentang perilaku kontroversial dapat diterima dan tidak
dapat diterima mungkin berbeda antara pihak. Kata-kata dan tindakan harus diungkapkan dalam
konteks yang lebih spesifik peristiwa masa lalu dan sekarang agar dapat mudah diterima oleh
yang mendengarkan. Setiap tindakan tidak memiliki nilai yang sama. Bahkan, beberapa dapat
sengaja diabaikan atau diberhentikan. Misalnya, bahkan setelah Korea Utara meledakkan senjata
nuklir di musim gugur 2006, Amerika Serikat dan Jepang menyatakan, sebagai bagian dari upaya
untuk membalikkan klaim musuh mereka untuk status tenaga nuklir, bahwa mereka tidak
mengakui kepemilikan bom nuklir oleh Pyongyang. Bahkan dalam eskalasi, set implisit atau
eksplisit aturan mungkin muncul untuk menghambat perilaku yang berlebihan yang ditujukan
untuk kehancuran total. Di tengah-tengah perjuangan keras, komunikasi diam-diam dapat
dirancang untuk membatasi upaya masing-masing pada eskalasi lebih lanjut. Tanpa pengakuan
resmi, militer Israel menahan diri dari pemboman pusat komersial utama Beirut, selama perang
2006 Lebanon, sebagian, karena ancaman Hizbullah serangan roket balasan di Tel Aviv.
Model tindakan ancaman
Ancaman dapat digunakan untuk memaksa pihak lawan untuk menjauhkan diri dari
tindakan tertentu atau mendorong dibuatnya kebijakan baru yang mendukung ancaman pihak
lawan tersebut. Ancaman terlihat lebih kredibel jika serangan yang diancamkan segera dilakukan
secara nyata, kredibilitas juga terletak pada reputasi aktor dalam menunjukan ancaman tersebut
secara nyata. Seperti contohnya kemampuan militer AS yang sebenarnya bisa saja untuk
menyerang nuklir Iran, namun kenyataannya pemerintahnya memilih tidak, hal ini berhubungan
dengan kerentanan AS terhadap serangan balasan yang lebih destruktif padanya. Aktor yang
melakukan tindakan ancaman ini juga perlu mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan jika
melakukan ancaman serangan militer atau tidak.
Untuk pihak lawan yang mendapatkan tindakan koersif, sebenarnya pihak tersebut
memiliki beberapa pilihan untuk menanggapinya, mulai dari menyetujui permintaan lawan tanpa
syarat, hal ini mungkin karena ketidaktahuan pihak tersebut untuk memberikan serangan balasan.
Dan cara lain untuk menurunkan kondisi panas, pihak lawan dapat memberikan reward
alternatif, seperti tunduk dengan beberapa syarat, dan sisanya pihak lawan dapat melawan
ancaman tersebut. Dan bagi pihak lawan yang melawan ancaman boleh saja dilakukan, namun
situasi seperti ini dapat berkemungkinan mendapatkan serangan balasan kembali. Dan ketika
ancaman yang dikeluarkan tidak ditanggapi pihak lawan, maka ancaman berkemungkinan
meningkat pada level perang, seperti ketika Serbia menolak tuntutan kerajaan Austro-Hungaria,
dimana pasca Juni 1914 terjadi pembunuhan Archduke Franz Ferdinand di Sarajevo yang ngatur
kondisi berantai menuju Perang Dunia I. Untuk ancaman yang tidak ditanggapi tadi, sebenarnya
dapat bekerja jika sanksi hukuman yang diancamkan memiliki power yang lebih besar dari pihak
lawan.
Kepatuhan seperti yang sangat diharapakan suatu pihak mencerung dapat meningkatkan
sebuah pertengkaran, hal ini terjadi karena power yang dimiliki masing-masing pihak berbeda-
beda dan perbedaan power ini mempengaruhi tanggapan apa yang akan diberikan pihak lawan.
Sebenarnya secara umum sebuah ancaman dibuat berdasarkan asumsi bahwa target ancaman
akan bereaksi rasional untuk memperhitungkan untung rugi menanggapi ancaman tersebut. Pihak
lawan mungkin saja menangapi ancaman tidak seperti yang diprediksi seperti memilih menyerah
daripada mendapatkan serangan destruktif. Dalam situasi seperti ini, pembuatan kebijakan
mungkin berdasarkan emosi sesaat daripada berdasarkan rational choice.
Dan kadang ancaman yang lebih ekstrim telah membuat pihak lawan takut, namun tidak
berhasil merubah sikap pihak lawan. Sehingga tingkat ancaman yang dikeluaran harus dibuat
dengan mempertimbangkan pengaruh target ancaman. Dan sifat ancaman juga harus
mempertimbangkan kekuatan dan kemungkinan pelawanan dari target. Misalnya, ketika AS
mengancam memberikan sanksi perdagangan terhadap Iran, dimana ancaman yang diberikan AS
akan berbeda jika diberikan pada Cina. Ancaman berupa sanksi (seperti pengenaan tarif tinggi)
akan efektif jika intensif positif (manfaat yang berkelanjutan dari hubungan perdagangan) ada
untuk memenuhi permintaan (perlindungan hak property).
Behavioural, psychological, dan organizational dimensions
Kondisi dari setiap tahapan konflik disusun oleh perilaku dan psikologis seseorang. Pada
saat yang sama pesepsi mengenai kondisi strukural dapat mencerminkan perubahan dinamika
konflik, variabel situasi dalam interaksi yang antagonis menjelaskan dampak pasti dari tindakan
konfrontatif. Pola interaksi terkait tahapan konflik dapat menggeser psikologis seseorang dan
struktural tertentu.
Kondisi permusuhan diantara pihak-pihak ini akan sulit membaik jika masing-masing
dari mereka masih berkeinginan menjaga strategi koersif merka dengan tujuan ingin
mendominasi, dimana cara melihat intensitas pertengkaran melalui tindakan dan strategi yang
mereka lakukan.
Perbedaan power juga berdampak pada tindakan yang akan mereka ambil. Dalam kondisi
asimetris, pihak yang lebih kuat berada diposisi dominan sebagai posisi favorit. Sementara itu
ketidaksetaraan power yang ekstrim digunakan pihak superior untuk tidak membuat konsesi,
alhasil eskalasi yang memburuk menjadi sangat mungkin terjadi.
Perbedaan power juga akan berdampak beda pada sebuah pertengkaran terkait dengan
jenis pertengkarannya. Eskalasi dan kebuntuan yang terjadi mungkin didasarkan pada
keseimbangan kemampuan pembiayaan kedua pihak dan harapan kemenangan yang didapat.
Dan pihak yang dominan cenderung akan mempertahankan posisinya kecuali pihak dominan
melihat peluang kemenangannya tidak lagi ada dengan pengeluaran biaya yang tidak sedikit.
Biaya yang keluarkan seperti untuk pertahanan sosial, psikologis, dan militer dalam
situasi konflik akan berbeda pada masing-masing pihak. Bahkan kerugian yang kemungkinan
terjadi akan bisa diantisipasi jika suatu piahk telah mempersiapkan. Dan jika pihak lawan
menganggap kerugian sebagai investasi, maka harga tinggi yang harus dibayar untuk koban
hanya menjadi penguat tekad mereka. Dalam situasi seperti ini, mengembalikan keputusan
melalui tindakan pemaksaan cenderung menghasilkan produktif balik. Berat asimetri pada
ketahanan psikologis dan organisasi akan kontras berbeda dengan asimetri kekuatan militer.
Seperti contohnya pada Perang Lebanon tahun 2006, dimana Israel telah memiliki militer
jauh lebih unggul. Walaupun militer Israel menunjukan teknologi yang lebih tinggi, Hezbollah
menunjukan pertahanan yang lebih, dengan mengeluarkan biaya konflik lebih tinggi dari yang
diprediksi, telah memaksa Israel mundur setelah mencoba masuk kembali ke selatan Lebanon.
Dan contoh lainnya seperti pada Perang Slovenia pada 1991, dimana kelompok-
kelompok militar lokal irregular telah jauh lebih bersemangat dalam perang. Berbeda dengan
rekan mereka di angkatan darat Yugoslavia. Tanpa dana yang besar untuk pertempur, banyak
tentara Yugoslavia yang terdiri dari berbagai etnis ini awalnya menganggap operasi militer
sebagai persoalan latihan. Sebagai konsekuensi dari kurangnya arahan yang jelas atau tujuan
untuk perang, pemerintah federal dengan mudah menyerah pada 10 hari perang, dan memberikan
kemerdekaan republik memisahkan diri.
Kondisi yang tidak sejalan dan berbedaan tujuan dan metode dapat mempengaruhi
psikologis dan mood seseorang. Perubahan psikologis yang terjadi pada setiap tahap konflik,
dapat dijelaskan memlaui intensitas emosional, yang merupakan hasil dari trauma bersamaan
dengan berkembangnya rasa takut dan kebencian seseorang. Karena memang permusuhan dan
kemarahan yan mendapat sangat berkontribusi dalam menentukan perilaku destruktif seseorang.
Dan dalam mitigasi konflik, penurunan tngkat permusuhan dan kekerasan sangat diperlukan
untuk mengontrol tindakan koersif.
Sebenarnya tidak hanya perkembangan sosial dan psikologis yang menciptakan dinamika
konflik baru, melainkan organisasi juga dapat menciptakannya. Persepsi dan pemikiran baru,
serta perasaan solidaritas dapat muncul seiring dengan perkembangan budaya oganisasi baru.
Strategi konflik dapat mengandalkan pola perilaku budaya dan kelembagaan serta kemampuan
pihak lawan. Kemampuan organisasi dibatasi oleh keletihan mereka, seperti yang berasal dari
kesulitan dalam perekrutan anggota baru atau perpecahan didalam organisasi. Keletihan inilah
yang akan melemahkan kapasitas keinginan mereka untuk mengejar tujuan mereka.
Organizational Behaviour
Pihak dengan beragam ukuran, struktur keanggotaan dan tujuan, memiliki kecenderungan
organisasi dan keterampilan yang berbeda dalam mengadopsi metode perjuangan tertentu (Hogg,
2001). Banyak organisasi sipil yang murni berkomitmen untuk menggunakan mobilisasi strategi
non-kekerasan dengan terbuka. Seperti Greenpeace dan kelompok advokasi lingkungan lainnya
bersatu dan menghasilkan sejumlah besar pengunjuk rasa, dalam upaya untuk menarik perhatian
publik terhadap pemanasan global dan hilangnya atau kelangkaan spesies. Contoh lainnya adalah
pemerintah Tibet. Meskipun di asingkan, pemerintah Tibet tetap berkomitmen untuk tidak
melakukan kekerasan (non-violence). Berbeda dengan pemerintah China yang menggunakan
cara kekerasan sehingga menewaskan beberapa ribu pengunjuk rasa damai pada tahun 1957 dan
terus menggunakan paksaan dan taktik represif, termasuk penyiksaan. Gerakan non-violence
yang berbasis luas dapat dibandingkan dengan organisasi teroris, dimana organisasi teroris
tersebut terus melakukan kekerasan (violence) tanpa henti terhadap target atau musuhnya. Hal
tersebut yang menjadikan konflik sulit dinegosiasikan karena kelompok-kelompok teroris
menolak untuk menyerah terutama karena tujuan mereka adalah ilusif dan tidak setuju untuk
berkompromi.
Beberapa organisasi advokat atau pengacara melihat kekerasan sebagai sarana mengambil
keuntungan strategis karena kurangnya cara-cara damai yang akan digunakan untuk mencapai
tujuan mereka dalam mencapai perdamaian atau kesepakatan. Strategi violence dan non-violence
telah digunakan oleh organisasi yang sama dalam situasi yang beragam dan terhadap musuh
yang berbeda. Pada prinsipnya, perlawanan tanpa kekerasan telah digunakan untuk mengubah
perilaku partai atau individu maupun negara yang dominan demi menghasilkan simpati dan
dukungan publik bagi yang tertindas. Dalam menerapkan tekanan moral pada pihak yang
dominan demi mengenali ketidakadilan, non-violence mengandalkan komunikasi yang jelas dari
tujuannya untuk mempersuasi (Sharp, 1973). Non-cooperation dan perlawanan sipil disejajarkan
(digabungkan) melawan kekerasan dan melawan strategi penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah. Non-violence juga dapat menjadi cara yang praktis untuk digunakan dalam
mengatasi ketidakseimbangan kekuatan fisik, dalam hal ini dapat menurunkan harga perjuangan
dari partai yang lemah dan partai yang tidak sesuai dengan strategi militan.
Keberhasilan dari strategi yang tidak menggunakan senjata (non-violence), bergantung
pada keberadaan masyarakat sipil yang layak serta kebebasan pers dan informasi yang cukup
dalam opini publik. Strategi non-vioence dapat dengan mudah diberikan pada masyarakat dengan
kontrol pemerintah yang kurang terhadap adanya perbedaan pendapat dan kelompok oposisi.
Dalam dimensi politik dan normatif, pencari keadilan memainkan peran penting dalam
menganalisis konflik sejauh terdapat pendapat moral yang memberikan batasan pada
kemampuan pihak yang kuat. Sebuah kelompok dapat menolak untuk menerima status quo dan
terus berjuang untuk pengakuan kelompok tersebut. Eskalasi melalui non-violence,
mempertimbangkan strategi transformasi konflik asimetris untuk kelompok bawahannya. Sikap
pihak yang dominan dapat berfluktuasi di bawah moral dan politik yang ditimbulkan dari
tekanan eksternal yang cukup.
Internal, external, and contextual variables
Karakteristik keseluruhan dinamika konflik dapat ditentukan melalui kombinasi dari 1)
perubahan internal dari pihak-pihak yang bersaing, 2) kesulitan dalam hubungan antar-pihak, dan
3) konteks yang menyeluruh. Berbagai komposisi dalam modifikasi tiga komponen ini mungkin
bisa memperkuat atau memperlemah dinamika konflik yang negatif. Perubahan intra-partai
seperti munculnya kepemimpinan baru dapat memicu penyesuaian dalam dinamika antar pihak.
Efek dari perubahan positif dalam partai dapat dibatasi oleh lingkungan eksternal yang negatif.
Misalnya, upaya untuk membawa stabilitas ke Republik Afrika Tengah terhambat oleh spillover
dari konflik bersenjata ke negara-negara tetangga seperti Sudan. Oleh karena itu, modifikasi pada
salah satu komponen seperti struktur pengambilan keputusan tingkat intra-pihak (dianggap
menguntungkan untuk de-eskalasi) dapat dinegasikan oleh gerakan lawan terhadap arah
tingkatan yang dibuat pada tingkat eksternal (Putnam, 1988).
Perubahan internal mungkin akan terjadi di salah satu dari pihak atau bisa terjadi pada
kedua pihak. Sikap negatif pada satu sisi mungkin memiliki efek menular pada yang lain.
Hubungan dinamis tersebut akan membuat suatu konflik menjadi sulit untuk mendapatkan
kesepakatan damai yang akan dibuat oleh masing-masing pihak. Hasil keseluruhan dari dinamika
konflik bergantung pada bagaimana menstabilkan dan destabilisasi kekuatan untuk mengimbangi
pihak satu dengan pihak lain. Jika salah satu pihak yang siap untuk perubahan, sementara yang
lain tidak, inisiatif yang baik dapat dibatalkan merupakan suatu tindakan yang merugikan bagi
salah satu pihak dan pihak lainnya. Jika tindakan salah satu pihak terhadap intensifikasi konflik
lebih kuat, upaya pihak lain terhadap de-eskalasi kemungkinan akan tercipta outbalanced.
External Influence
Transformasi konflik timbul dari adaptasi dalam dimensi eksternal serta dinamika internal.
Dukungan internal bergerak dalam tingkatan yang dapat mengurangi efek eksternal lawan yang
lemah. Sebaliknya, lingkungan eksternal, terkait dengan dukungan militer dan ekonomi, dapat
memicu kekuatan yang memaksa dalam suatu konflik. Dalam perjuangan dengan pihak dominan,
pihak yang lebih lemah dapat diberdayakan melalui bantuan teknis dan dorongan moral. Jika
intervensi eksternal dilakukan, pihak yang lebih lemah bisa melakukan cara untuk memperbaiki
hubungan dan dapat memaksa pihak yang lebih kuat untuk menghentikan escalatory tactics-nya.
Tekanan eksternal pada pihak-pihak yang menolak untuk bernegosiasi akan lebih efektif jika ada
perubahan organisasi atau psikologis dalam masing-masing pihak seperti meningkatnya tingkat
kelelahan dikombinasikan dengan memburuknya kemampuan untuk melawan.
Konteks regional atau internasional memiliki dampak pada dinamika antar kelompok,
misalnya, dalam perang saudara, cold war dan perang-perang lainnya. Semua faktor
(berhubungan dengan pihak, tujuan, masalah, ruang lingkup, dan domain konflik) saling terkait
dalam konteks tersebut. Jumlah korban dalam perang saudara di Afrika disebabkan oleh
ketersediaan senjata api kecil yang mengalir dari negara-negara tetangga yang mengalami
kekerasan dalam negeri (Lobell dan Mauceri, 2004). Pendanaan untuk melakukan tindak
kekerasan dalam negeri berasal dari keberadaan pasar gelap internasional yang memungkinkan
pasukan pemberontak untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan kayu ilegal, berlian, dan
mineral lainnya. Dalam sistem hubungan antar kelompok lawan, terdapatnya kekuatan atau pihak
eksternal yang memiliki kepentingan akan semakin memperpanjang konflik bukannya
memperpendek dan menyelesaikan konflik.
Dinamika antar kelompok
Persaingan karena adanya kaum yang menentang blok-blok dari protagonis telah mendorong
terjadinya konflik yang berlangsung cukup lama di Somalia, Burundi, Sudan, dan Nepal.
Penyelesaian pun juga telah dilakukan namun selalu terjadi hambatan oleh kebutuhan-kebutuhan
tertentu yang pasti akan melibatkan banyaknya . Di Nepal, ketika terjadinya pembubaran
pemerintah oleh Raja Gyanendra pada bulan Februari 2005 yang terdapat peran dari partai
politik yang berasal dari oposisi dan akhirnya memberikan kontribusi terhadap kehilangannya
kekuasaan monarki tradisional di April 2006. Ini membantu kelompok gerilya Maois mencapai
perjanjian dengan koalisi bersama partai politik yang mulai menjalankan pemerintahan. konflik
etnis dan politik terletak pada lebih dari dua pihak yang dapat membentuk sebuah aliansi yang
berbeda. Menentang blok mungkin mencoba untuk mengambil keunggulan atau bersaing dalam
perebutan kekuasaan dengan merekrut sekutu baru yang beragam. Dalam menentang satu
kelompok yang dominan, semua orang lain mungkin membangun aliansi alami hanya demi
kelangsungan hidup mereka. Banyak organisasi oposisi bisa bergabung untuk mengembangkan
pasukan gabungan dalam menjatuhkan pemerintahan yang otoriter. Dalam protes sipil terhadap
negara otokratis, banyak partai politik yang kemudian sering bekerja sama dengan tujuan yaitu
melakukan perubahan politik.
Gerakan pemberontak, yang terdiri dari berbeda etnis, dapat membangun kekuatan
kesatuan terhadap lembaga politik yang ada, yang didominasi oleh faksi elit tunggal atau
kelompok etnis. Tapi begitu musuh bersama hilang, konflik segar berkembang di antara mantan
sekutu. Kelompok etnis utama bergabung dengan Ethiopia People Revolusioner Demokratik
Front (EPRDF) untuk menggulingkan rezim Mengistu. Karena pemerintahan jatuh pada tahun
1991, gerakan yang mewakili wilayah Eritrea berhasil menuntut kemerdekaan pada tahun 1993,
tetapi bentrokan perbatasan 1999 antara Ethiopia dan Eritrea berkembang menjadi perang selama
setahun. Sementara itu, EPRDF sedang berjuang dengan dua blok yang menjadi lawan utama,
banyak anggota yang digunakan untuk beroperasi di bawah gerakan pemberontak sebelumnya.
Secara khusus, kelompok oposisi yang terdiri dari Koalisi Persatuan dan Demokrasi dan Pasukan
Demokratik Serikat Ethiopia memprotes penolakan kemenangan di pemilu 2005 parlemen
dianggap berasal dari partai yang berkuasa di anggap penipuan.
Dinamika intra-partai
Konflik eksternal baik memperburuk atau merusak pertikaian dalam lingkup internal
tergantung pada tingkat dan loyalitas di antara anggota kelompok. Cara yang dipilih dalam
mengejar tujuan umumnya beradaptasi dengan kelompok-kelompok struktur internal. Dalam
perjuangannya melawan pemerintah Serbia, Tentara Pembebasan Kosovo, misalnya, telah sangat
berbeda ideologi politik, taktik dan hubungan dengan konstituen dibandingkan dengan
kelompok-kelompok politik yang mendukung non-kekerasan.
Perpecahan internal partai seringkali berpusat pada siapa yang benar-benar mewakili
masyarakat. Di-pertempuran menciptakan suatu hambatan ketika mencari suatu solusi yang
dirundingkan dari konflik yang lebih besar, tetapi pada saat yang sama, perjuangan intra-group
berlarut-larut mengikis keinginan untuk melawan musuh-musuh eksternal, memberikan
kontribusi untuk mereda kekerasan. Selalu ada hubungan yang rumit antara mereka yang terlibat
dalam perjuangan bersenjata dan mereka yang mencari solusi politik.
Pasukan gerilya Tamil dihapus untuk kompromi dengan pemberantasan kekerasan dari
kepemimpinan politik moderat (yang berbagi basis konstituen etnis yang sama), yang mana lebih
memperparah konflik Sri Lanka. Sebaliknya, Basque Negeri dan Kebebasan (ETA), terlibat
dalam kampanye terhadap lembaga-lembaga pemerintah, dan mereka telah kehilangan dukungan
di kalangan penduduk konstituen karena keberhasilan nasionalis moderat dalam mendapatkan
konsesi untuk otonomi daerah dari pemerintah Spanyol. Dalam konflik Kosovo, komunitas
Albania diwakili oleh mereka yang menganjurkan solusi non-militer, meremehkan kekuatan
kelompok perlawanan bersenjata yang berorientasi pada taktik intimidasi dengan ideologi etno-
nasionalis. Sifat perjuangan berdampak pada kelompok identitas, moral, dan harga diri serta
tingkat umum kesejahteraan materi. Tingkat komitmen untuk konflik, dan jenis strategi dan
taktik yang dipilih untuk perjuangan dapat memiliki implikasi yang berlangsung selama kohesi
dan nilai-nilai kelompok. Penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok tertindas sering
dianggap berasal dari penegasan identitas diri dan harga diri mereka terutama dalam situasi di
mana non-kekerasan tidak layak digunakan (Fanon 2004).
Dampak konflik pada masing-masing pihak akan bersaing, tergantung pada struktur
kelompok seperti tingkat kesatuan keanggotaan dan tingkat kontrolnya. Masing-masing pihak
memiliki prosedur pengambilan keputusan yang unik dan aturan yang berkaitan dengan
distribusi kekuasaan dan metode yang beragam untuk mengatur beberapa bagian.2 internal yang
dapat menurunkan yaitu karena tren yang tidak menguntungkan dalam keseimbangan kekuasaan
antara pihak, disertai dengan hilangnya pertempuran atau isolasi internasional. Moral rendah,
berikut sanksi ekonomi atau kerusakan dalam perang, seiring dengan hilangnya kepercayaan
dalam kepemimpinan, menuntut penyesuaian dalam mencapai tujuan.
Sebuah perjuangan ketika melawan musuh memiliki konsekuensi yang tak terduga dalam
setiap masyarakat atau kelompok. Kebutuhan untuk terlibat dalam perjuangan ekstrim dapat
secara efektif membenarkan perluasan kontrol hirarkis. Selain itu, sentralisasi dari kekuasaan,
pengambilan keputusan sering dirasionalisasikan dalam kasus seperti krisis sosial-ekonomi
terutama yang memiliki implikasi besar terhadap kelangsungan hidup. Sebuah kelompok yang
terlibat dalam politik, pertempuran militer Pasukan militan atau revolusioner yang terlibat dalam
strategi konvensional memerlukan hirarki. (Coser, 1964).
Perpecahan internal membahayakan peluang untuk kelangsungan hidup mereka dalam
menghadapi musuh. Di sisi lain, sebuah perselisihan internal atas pelaksanaan suatu strategi,
dengan tidak adanya kepemimpinan, bisa terkena dan diperburuk di tengah-tengah
perjuangannya, yang akhirnya akan berakhir dengan runtuhnya kelompok tersebut.
Misalnya selama perang saudara Aljazair, perpecahan antara dua kelompok pemberontak
Islam adalah saingan utama, yaitu, Salvation Army Islam dan Kelompok Islam Bersenjata, pada
tahun 1994, melemahkan kemampuan mereka untuk mengatur kampanye yang efisien terhadap
pemerintah militer yang dikelola dan dikembangkan oleh mereka, yang kemudian berkontribusi
terhadap penghentian tahun 2002. Bertentangan dengan ini, bagaimanapun, kelompok-kelompok
pemberontak terkoordinasi dengan baik menunjukkan kemampuan untuk berbagi informasi, atau
manajemen yang lebih terpusat pada hubungan mereka. Setelah mengalami perpecahan internal
dengan pembentukan kelompok-kelompok baru, dalam Perang Sudan Kedua, 13 kelompok
oposisi membentuk Aliansi Demokratik Nasional (NDA) pada bulan Juni 1989. Hal ini dipicu
oleh kebutuhan untuk bekerja di luar agenda dan strategi kolektif terhadap yang baru didirikan
oleh rezim Omar Hassan al-Bashir yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer. Dalam
mengakhiri perang sipil, NDA berhasil bernegosiasi dengan pemerintah dan menandatangani
perjanjian damai pada bulan Juni 2005. Demikian pula, setelah hampir dua dekade, empat
pasukan gerilya sayap kiri dalam perang sipil Guatemala digabungkan untuk membentuk
National Guatemala Revolusioner Persatuan (URNG) pada tahun 1982. Kelompok ini
melakukan negosiasi yang efektif dengan pemerintah pada tahun 1995. Kemampuan untuk
menangkis tekanan eksternal diperkuat oleh rasa yang kuat pada loyalitas kelompok. Identitas
memainkan peran penting serta dalam perumusan suatu tujuan dan metode.
Struktur pengambilan keputusan internal
Pengambilan keputusan dapat berlarut-larut ketika banyaknya masukan yang lebih
beragam. Individu dan kelompok akan berpengaruh prosedur pengambilan keputusan. Bahkan
ketika di dalam internalnya sendiri terdapat persaingan atau muncul tidak adanya kepercayaan
akan masing-masing intra partai akan mempersulit dalam pengambilan keputusan. Dalam
mereda perang saudara Salvador El di awal 1990-an, PBB dan mediasi eksternal menghasilkan
hasil yang sukses, sebagian, karena posisi negosiasi pasukan oposisi gerilya bersatu dan
kemampuan mereka untuk menerapkan disiplin internal berjalan lancar. Di sisi lain, mengakhiri
perang saudara yang lebih menantang di Republik Demokratik Kongo dan Burundi, karena
koordinasinya lepas dari berbagai kelompok pemberontak, kepentingan mereka yang berbeda,
dan kurangnya pengendalian diri diperlukan untuk mematuhi perjanjian.
Struktur pengambilan keputusan intra-partai menjadi lebih kompleks dalam lembaga
birokrasi negara. Perilaku negara, sebagian, menggambarkan hasil dari negosiasi yang kompleks
organisasi pembuatan kebijakan. Pimpinan juga harus mempertimbangkan tingkat kekuatan
ekonomi, sumber daya, dan dukungan rakyat. posisi pemimpin harus tanggap dalam membantu
mengatasi perbedaan politik yang mendorong faksi internal yang terpisah (Gerzon, 2006).
Pemimpin memiliki beragam rangkaian hubungan dalam entitas kolektif mereka selama konflik.
Jenis-jenis hubungan antara elit dan konstituen, oleh dan besar, menentukan tingkat kekuatan
kepemimpinan untuk merumuskan strategi dan tujuan kelompok. Kapasitas untuk menjaga
eskalasi berasal dari solidaritas internal maupun yang berbasis sumber daya yang kuat.
Rendahnya tingkat persatuan internal dan adanya faksi ekstrim atau militan, adalah tantangan
untuk pemimpin yang mana untuk mengatasi perpecahan faksi. Hawks lebih mungkin untuk
memperkuat perpecahan internal dengan taktik mereka dalam melakukan perlawanan pada
anggota kelompok lainnya. Kebutuhan untuk negosiasi internal antara elit dan para pengikutnya,
serta antara faksi-faksi yang berbeda, dapat memperpanjang penyelesaian akhir. Keputusan
penting seperti untuk mengakhiri atau melanjutkan perlawanan mungkin harus sabar untuk
dilakukan yang tidak kalah penting juga dengan adanya efektivitas politik leadership dalam
melakukan persuasi
Dinamika Politik internal dan Kelompok
Dalam perpolitikan internal dipengaruhi oleh keberadaan dan interaksi kelompok2
sehingga secara tidak langsung akan turut mempengaruhi suatu eskalasi konflik dan entrapment
konflik.
Faktor internal : (aku yo bingung asli e knapa empat iki)
- pemilihan pemimpin militan
- naiknya subkelompok radikal,
- supremasi nilai ekstrimis atau ideologi,
- dan tujuan organisasi tanpa kompromi
keterlibatan aktor eksternal yang justru menjadikannya konflik dengan skala yang lebih luas
sebenarnya bisa menjadi tameng maupun penghilang konflik dan ketegangan di skala
domestik/internal. La terus knapa bisa? Sama halnya dengan konsep collectif securty ato
common enemy. Sehingga Perbedaan intra-group sering diminimalkan di tengah-tengah
pertukaran antar kelompok yang intens bermusuhan. Nah, ini adalah Upaya ke arah persatuan
internal dan dapat fokus pada menarik bagi tujuan bersama melawan musuh eksternal. Ancaman
eksternal sering dimanfaatkan sebagai peluang untuk mengelola ketegangan internal, bahkan
meningkatkan ikatan ideologis. (paham gak rek maksudku?)
Dampak Kelompok Radikal
Akibat dari penguatan kelompok malah justru memunculkan paham yang sangat radikal.
Pengambilan keputusan, berdasarkan solidaritas kelompok, sering mempromosikan pilihan
ekstrim dengan tidak membiarkan kesempatan untuk membahas tindakan pilihan. Takut dicap
sebagai 'pengkhianat' juga menekan keraguan dan pertanyaan. Hal tersebut bisa membentuk dan
mengembangkan persepsi sebagai motif destruktif musuh. Lalu kelompok ekstrimis dan radikal
ini dapat memiliki dampak yang signifikan pada konflik eskalasi dengan menggunakan taktik
yang lebih parah. Tujuan kelompok pun bisa bergeser ke pemusnahan lawan, bersama adanya
dukungan untuk melakukan agresi. Sehingga, ini lah yang menyebabkan konflik eskalasi
semakin memuncak, apalagi jika ada counter respon yang sama dari kelompok pihak lain.
ESCALATION AND ENTRAPMENT
Eskalasi merupakan suatu proses meningkatnya suatu pertentangan, dengan
meningkatnya intensitas dari sebuah konflik dapat memperluas cangkupan aktor-aktor yang
terlibat di dalamnya. Eskalasi konflik berhubungan erat sekali dengan generalisasi dari isu-isu
yang sebenarnya spesifik, semakin luasnya hubungan antar pihak, adanya perasaan yang
mendalam dan cenderung sensitif ketika menghadapi suatu situasi. Semakin meningkatnya suatu
eskalasi, juga ditandai dengan semakin berkurangnya perasaan manusiawi atau belas kasih
terhadap lawan, dan berusaha mencari aliansi yang memiliki tujuand dan musuh bersama. Antar
lawanpun akan semakin berkurang intensitas komunikasinya dan rasa saling percayanya,
sehingga akan cenderung menggunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahannya.
Dynamics of Escalation
Peningkatan dari rasa saling tidak percaya antar lawan membuat mereka tidak lagi
bersimpati satu sama lain, sehingga tidak ada perasaan ragu lagi di diri mereka untuk melakukan
suatu tindakan kekerasan. Penyelesaian konflik dengan pembagian wilaya sengketa secara
merata, bukan berarti turut menyelesaikan permasalahan. Konflik selanjutnya bisa berlanjut
kepada hal yang menyangkut penghinaan terhadap suatu simbol, yang dimana membawa
identitas masing-masing pihak. Ketidaksetujuan akan suatu hal/kebijakan dapat memunculkan
pertentangan antar kelompok. Contohnya, ketika di Perancis terdapat larangan penggunaan
kerudung bagi wanita muslim, memunculkan beberapa prokasi yang berusaha untuk melawan
status quo tersebut. Kebijakan larangan ini telah menggiring kebijakan Perancis yang telah
dibuat, kembali ke atas meja perundingan.
Perluasaan suatu konflik yang berkelanjutan lebih menggaris bawahi posisi dari para
kelompok yang bertentangan. Perluasaan dari konflik ini seolah menjadi suatu hal yang pasti
terjadi, karena mereka mampu untuk menjadlin kerjasama dengan pihak-pihak yang berada di
luar negara. Ekspansi dari konflik membutuh sebuah komitmen yang sangat besar dimana
pihaknya harus optimis dan yakin bahwa mereka akan mendapatkan kemenangan, sehingga
timbul keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan bersama mereka.
Ketika petarungan semakin luas maka setiap pihak akan cenderung berlomba-lomba
untuk memperoleh simpati dari eksternal, tujuannya adalah agar mereka mendapatkan dukungan.
Polariasi yang semakin tinggi biasanya diakibatkan oleh eskalasi yang tidak berhati-hati dan
tingkat kepercayaan serta miskomunikasi yang kecil. Adanya pengelompokkan, ‘kita’ dan
‘kalian’, secara psikologi membuat kedua belah pihak yang bertikai semakin enggan untuk saling
berinteraksi dan justru memiliki sudut pandang yang negatif satu sama lain.
Psychological and Behavioral Aspects
Peningkatan eskalasi konflik dapat dipicu oleh beberapa hal, salah satunya adalah faktor
psikologikal. Faktor ini biasanya berasal dari dalam diri seseorang, dipicu oleh rasa takut atau
tidak percaya yang mendalam terhadap lawan. Iitikad baik dari musuh untuk bernegosiasi atau
berdamai sering disalahartikan dan dicurigai, dimana segala yang dilakukan lawan dianggap
memiliki maksud tersembunyi untuk menjatuhkan atau merugikan dirinya. Keadaan ini juga
dapat menjadi buruk jika seiring dengan berkembangnya eskalasi konflik, tidak ada suatu bentuk
komunikasi antara pihak yang bertikai. Yang akan terjadi adalah kedua pihak akan saling
menerka-nerka dan bisa jadi salah mengartikan maksud dan tindakan lawan dan berpotensi
melakukan tindakan yang beresiko semakin memperparah konflik.
Faktor psikologikal ini dapat pula dipengaruhi oleh perbedaan kultur ataupun nilai-nilai
yang dimiliki seseorang. Seseorang dapat berpikiran bahwa kulturnya adalah yang paling baik,
dan merasa lebih unggul (superior) sehingga kemudian merendahkan budaya orang lain yang
dianggap tidak sebaik dirinya. Sehingga kemudian seolah-olah tindakan kekerasan atas hal-hal
tersebut dibenarkan. Selain itu, seringkali permusuhan yang berkepanjangan menyebabkan
kerugian bagi pihak lawan hanya didasari motif ingin membalas dendam atas kejadian yang
terjadi di masa lampau. Rasa tidak terima atas kekalahan menyebabkan pihak yang bersangkutan
ingin membuat lawan mengalami kerugian yang sama.
A Malignant Interaction
Malignant Interaction merupakan jenis interaksi dalam eskalasi yang sifatnya
‘membahayakan’. Hal ini disebabkan karena interaksi yang terjadi adalah tindakan atau ancaman
tertentu yang justru memancing kemarahan lawannya, menyebabkan kata kompromi sulit untuk
dicapai dan konflik yang sifatnya destruktif semakin berkepanjangan. Contohnya adalah
peristiwa terbunuhnya beberapa anak saat terjadi baku tembak antara Palestina dan Israel tahun
2000. Kemudian, Israel meluncurkan pesawat perangnya ke Palestina yang kemudian memicu
kemarahan kelompok jihad Palestina di tahun 2001. Mereka lalu melakukan perekrutan anggota
untuk melakukan bom bunuh diri di berbagai lokasi di Israel, yang memakan banyak korban
jiwa. Hal ini terus berlanjut semakin parah dan baru bisa dihentikan saat gencatan senjata antara
keduanya di tahun 2005.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa interaksi ini umumnya meningkatkan derajat
aksi-aksi kekerasan antara dua pihak yang bertikai, dipicu oleh kemarahan maupun rasa ingin
membalas dendam. Masing-masing pihak merasa berhak melakukan tindakan-tindakan
permusuhan bahkan kekerasan dengan alasan perasaan sakit hati atas kekalahan atau
ketidakadilan yang dialami di masa lalu, yang kemudian akan berkembang menjadi aksi
provokatif lainnya. A malignant interaction biasanya akan direspon oleh pihak lainnya dengan
balasan yang lebih koersif lagi. Dapat dikatakan bahwa interaksi ini merupakan interaksi ‘balas-
membalas’ antara pihak yang berkonflik sehingga ketegangan yang ada membuat kedua belah
pihak akan sulit untuk berkompromi menyelesaikan konflik.
A Mode of escalatory spiral
Dalam pengaturan linear, perubahan kualitatif dan kuantitatif terjadi dalam pola interaksi
masing-masing yag repetitif. Dalam mode eskalasi incremental, dapat dibayangkan seperti
sebuah spiral yang berputar keatas dalam proses yang beruntun, pada laju yang relatif sama pada
setiap respon antagonistik. Ketegangan bisa muncul sewaktu-waktu melalui serantaian kejadian
atau insiden, yang dimana setiap kejadian atau insiden tersebut meningkatkan tingkat
permusuhan, yang pada akhirnya akan mencapai suatu keadaan krisis. Tujuan akhir dari eskalasi
mutual kemungkinan besar adalah penggerakan kekuatan fisik seperti militer, karena serantaian
kejadian atau insiden dapat meyebabkan salah satu atau kedua pihak yang bertikai untuk
menentukan hasil dari kontes tersebut dengan meggunakan serangan militer. Riset dalam foreign
policy-making behaviour menunjukkan bahwa konflik lebih mungkin tereskalasi menjadi krisis
yang intens apabila konflik tersebut mengancam nilai-nilai dasar, batas waktu reaksinya terbatas,
dan ada kemungkinan besar bagi permusuhan militer untuk terjadi.
Perilaku eskalasi tidak hanya terbatas kepada aksi-aksi militer atau ancaman-ancaman
langsung yang dikeluarka oleh pihak yang bersaing. Dalam kebayakan konflik internasional,
aksi-aksi politik yang mengancam, seperti pembentukan aliansi yang memberikan ancaman atau
bersifat antagonistik, pemutusan komunikasi, pelanggaran terhadap perjanjian, klaim akan
teritori atau wilayah, penolakan terhadap legitimasi politik, dan sanksi diplomatik, dapat menjadi
penyebab terjadiya eskalasi yang berujung pada konflik. Tidak seperti eskalasi progresif dari
pertukara yang bermusuhan, spiral dari letusan permusuhan yang tiba-tiba berasal dari hubungan
rivalitas yang sudah berlagsung lama. Hal ini dapat dilihat dalam serangan udara yang besar
yang dilancarkan oleh Israel terhadap Lebanon menyusul penculikan tiga tentara Israel pada
tahun 2006. Reaksi emosional yang tidak tertahan terhadap berbagai macam provokasi dapat
berubah menjadi peperangan terbuka tanpa ada mekanisme regulasi yang mengatur. Ketegangan
yang terjadi antara kedua pihak yang bertikai dapat berubah menjadi peperagan terbuka.
A Crisis mode of escalation
Keterlibatan dalam perilaku bermusuhan intens sering diperkuat oleh rasa krisis yang
berasal dari peringatan bahaya akut yang membutuhkan reaksi cepat. Dalam berbagai kasus
eskalasi, permasalahan secara tidak sengaja menjadi lebih parah atau bisa dibilang naik ke level
krisis, terutama ketika pihak-pihak yang terlibat tidak memahami secara penuh konsekuensi dari
tindakan-tindakan yang mereka lakukan secara luas. Sebagai contoh pada masa menuju
terjadinya Perang Dunia Pertama, serangkaian kejadian, dieskalasi oleh manuver-manuver
diplomatik yang antagonistik dan mobilisasi pasukan koalisi dalam jangka waktu yang singkat,
menyebabkan kondisi mejadi tidak bisa dikendalikan. Pembesaran masalah dari permasalahan
yang beresiko tinggi mejadi sebuah krisis disebabkan oleh reaksi negatif dari masing-masing
pihak terhadap ancaman yang diberikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam lingkaran
eskalasi, masing-masing pihak menjustifikasi tindakan mereka sebagai tindaka defensif, dan
melihat tindakan pihak yang berlawanan sebagai tindakan ofensif.
Dalam situasi krisis, stress yang intens dan emosi negatif meyebabkan proses interaksi
menjadi kacau. Eskalasi yang cepat menyebabkan tidak tersedianya waktu yang cukup untuk
mengambil tindakan, menyebabkan munculya sebuah sense of urgency tanpa ada pilihan moderat
yang kreatif. Pembuat kebijakan atau decision maker biasanya tidak memiliki pandangan yang
pasti terhadap efek dari tindakan-tindakan dalam konteks krisis. Pada situasi krisis, pembuat
kebijakan biasanya akan tertekan dan memberikan reaksi yang tidak rasional, dan cenderung
tidak mempertimbangkan akibat dari tindakan-tindakan yang diambil atau dilakukan. Eskalasi
menjadi perang menjadi lebih mungkin terjadi bila ada kesamaan kepemilikan power atau
kekuatan atara kedua pihak yang bersangkutan, dan adanya kepercayaan diri bahwa pihakya
akan menang. Dalam interkasi koersif, kebanyakan komunikasi antara pihak yang bersangkutan
selalu diasumsikan sebagai ancaman. Selama tujuan pihak-pihak yang bersangkutan bukanlah
perang, maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengurangi potensi eskalasi dengan
menghetikan aksi-aksi provokatif, dan menghetikan reaksi yang berlebihan.
Escalation and deter rence
Secara umum, tindakan ancaman (deterrence) dan intimidasi digunakan untuk
mengendalikan konflik dengan tujuan untuk mencegah pihak lain melakukan tindakan agresif.
Sebagai contohnya adalah pengelolaan konflik internasional dengan suatu ancaman hukuman.
Eskalasi adalah outcome dari disfungsi sebagai alat utuk mengendalikan potensi agresi.
Deterence dari kedua belah pihak dapat mengarah kepada eskalasi.
Tindakan deterence dapat menjadi bumerang dimana seringkali bukannya meredam
“menyuntikkan rasa takut” namun lebih banyak menghasilkan reaksi yang lebih agresif.
Ancaman berupa hukuman (sanksi) dimaksudkan untuk mencegah konsekuensi destruktif.
Ketika pihak-pihak bersikukuh melakukan violation, maka eskalasi tak terelakkan.
Resiko dari upaya deterence terhadap pihak lain sangat bergantung dikaitkan dengan psikologis
decision making. Deterence kemungkinan dapat melemahkan atau justru menguatkan pihak lain
untuk lebih agresif.
Strategies for controlled escalation
Dalam politik internasional ketegasan diperlukan dalam keadaan konfliktual. Hal ini
dapat dikombinasikan dengan upaya yang tidak berisiko mengundang agresifitas pihak lain.
Tindakan ancaman dapat diterapkan dengan derajat dan intensitas berbeda untuk mengubah
sipak lawan. Namun tentu saja tindakan tersebut dapat menghasilkan konsekuensi yang berbeda
bergantung kepada intent dan respon lawan. Salah satu cara untuk menghindari eskalasi yang tak
terkendali adalah dengan mengambil langkah hukuman dibanding mengambil tindakan yang
provokatif yng mendorong reaksi yang lebih agresif dari lawan. Ancaman hukuman dapat
dijadikan sebagai sinyal untuk tindakan selanjutnya dengan syarat pesan yang disampaikan harus
jelas agar respon lawan sesuai harapan.
Eskalasi dapat dihambat ketika adanya kebutuhan untuk mempertahankan ikatan sosial,
lembaga pengelolaan konflik yang menmbuhkan norma damai dan hubungan interdependensi
yang ditujukan menjaga stabillitas. Taktik non-kekerasan dan jalur kelembagaan juga dapat
dijadikan sebagai alternatif untuk mengontrol eskalasi.
Entrapment
Entrapment adalah periode dimana konflik yang berada pada fase escalation yang berdampak
pada semakin memperpanjang (menjebak) konflik. Di dalam bahan yang disebutkan bahwa
entrapment adalah a malign conflict spiral maintains high cost struggles with no chance of either
party backing away. Once the thresholds have been crossed for the intensification of overt
coercion and outright violence, a conflict is more likely to be entrenched.1
Entrapment biasanya ditandai dengan aktivitas konflick (military campaign) yang letaknya
berada diantara low intensity fighting dan all-out war. Letaknya yang di tengah antara low
intensity fighting dan all-out war sehingga menyebabkan kelompok-kelompok ini bertarung atau
berkonflik bukan karena mengejar goal untuk kemenangan melainkan hanya untuk persisting
struggle. Didalam buku dijelaskan bahwa kelompok-kelompok yang berkonflik ini gagal untuk
melihat sebagai bigger picture atau bahkan kelompok ini malah membuang bigger picture
1Ibid
tersebut. Karena itu mereka cenderung untuk mempertahankan status quo yang mereka miliki
daripada merubahnya dengan alasan kekurangan sumber daya yang mencukupi. In longer term
pilihan seperti ini bisa menyebabkan heavy losses yang lebih besar.
Selain itu didaam bahan juga disebutkan bahwa dalam fase entrapment ini irrational
decision continue to be made to conduct a violent struggle that has cost more than gains that one
still hopes to obtain. Even no longer winning.2 Sudah saya sedikit singgung di atas bahwa
kelompok-kelompok yang berkonflik ini mulai merlupakan their original goals. daripada untuk
memenang battle karena the is no hope but they can’t give up. Sehingga kelompok yang bertikai
ini mempertahankan status quo.
Sebagai contoh dimana entrapment ini terjadi adalah ketika perang dunia kedua dimana pihak
jepang menutup rata-rata informasi mengenai kekalahan beruntun mereka untuk mempertahan
moral prajurit jepang dalam perang pacific. Selain itu entrapment ini juga terlihat didalam posisi
uni soviet selama invansi jerman ke stalingard. Dimana uni soviet mempertahankan stalingard
secara membabi buta, dan mengorbankan ribuan tentara merah hanya untuk mempertahankan
kota tersebut.
Peraturan Pengambilan Keputusan yang Terus-Menerus dengan Sendirinya
Salah satu tindakan yang gagal dalam entrapment (jebakan) terus ada karena keperluan
untuk membenarkan investasi yang telah terpilih sebelumnya (Brockner dan Robin, 1985).
Sumber daya yang terpakai dirasionalisasi lewat gagasan 'terlalu banyak yang diinvestasi
sehingga tidak bisa berhenti' bersamaan dengan kebutuhan kuat yang dirasakan untuk
mengembalikan pengeluaran sebelumnya. Obsesi emosional digunakan untuk membenarkan
pengeluaran yang tidak bisa diambil kembali, dan melebarkan kesenjangan antara biaya yang
diperkirakan dan sebenarnya. Memang tidak mungkin untuk menerima pengorbanan
terakumulasi untuk hasil nihil atau kompromi tidak pantas. Sebagaimana dicerminkan dalam
kebijakan pemerintahan Bush terhadap perang di Irak, inersia alami mengekang pengambilan
keputusan dalam tahap entrapment, dimana kewajiban yang berlanjut dapat mencerminkan
dukungan aktif untuk pengeluaran tanpa batas dan penyebaran pasukan.
Penentu entrapment termasuk peraturan keputusan dimana derajat kesetiaan pada
tindakan yang telah diambil sebelumnya meningkat secara otomatis tanpa usaha dengan
2 ibid
kesadaran tinggi untuk membalikkannya. Mencerminkan pilihan pasti akan sebuah situasi yang
berlanjut dengan sendirinya, harapan para pengambil keputusan terhadap kemungkinan
pencapaian tujuan tidak lagi mempengaruhi pandangan tentang perjuangan yang berlanjut.
Penderitaan selanjutnya dapat dianggap tahan dan sepele secara relatif dibandingkan dengan
investasi sebelumnya dalam konflik yang memakan biaya besar. Karena komitmen yang
meningkat tidak berakar di dalam penghitungan kesesuaian melanjutkan perjuangan, harga yang
tinggi menjadi sebuah alasan tetap untuk berlanjut berjuang. Kerugian yang bertambah dapat
membenarkan pengorbanan baik psikologis maupun politik hanya jika memberi hasil yang lebih
besar. Namun, pengambilan keputusan entrapment biasanya tidak mempertimbangkan prospek
hasil yang optimal.
Tindakan kurang dimotivasi oleh alasan rasional dan derajat hubungan emosional
terhadap perjuangan menjadi lebih dalam. Kuatnya kekuatan pendorong untuk tetap dalam
entrapment sebagian terkait dengan derajat keinginan untuk menghindari harga yang berhubung
dengan menyerahkan investasi. Keterbatasan jumlah pilihan keputusan dalam konflik entrapment
telah diilustrasikan dengan baik oleh permainan 'lelang dolar' (Teger, 1980). Penghitungan oleh
penawar didikte oleh peraturan permainan, yang mengindikasikan bahwa penawar kedua
tertinggi diwajibkan untuk membayar pelelang jumlah yang ditawarkan, tanpa apapun untuk
dikembalikan. Dalam perang penawaran yang tanpa henti, kedua pesaing mencoba mengalahkan
penawaran satu sama lain pihak ketika salah satu dari keduanya masuk ke dalam situasi yang
lebih rendah. Penawar kedua tertinggi selalu terjebak dalam lelang dolar, karena jumlah investasi
yang tak dapat dikembalikan untuk tujuan yang tak bisa tercapai. Dinamika ini terus-menerus
meningkatkan penawaran. Susah untuk berhenti jika para pihak mempercayai bahwa manfaat
sukses dan kemenangan terakhir hanya bisa diraih di bagian paling akhir dari proses. Biaya yang
tidak dapat ditahan dapat dirubah menjadi "investasi" hanya jika ada prospek untuk kemenangan.
Keberlanjutan Entrapment
Jika penerimaan biaya berkepanjangan tidak lagi dilegitimisasi atau awet, kesetiaan lebih
lanjut terhadap sumber daya untuk tujuan, yang tidak mungkin diraih, dapat dianggap tidak bisa
diambil lagi. Tidak praktis untuk melanjutkan tanpa batas perjuangan yang tidak diinginkan,
dibawah pesimisme yang berkembang, di tengah-tengah kesulitan yang tidak diharapkan.
Perlunya untuk menghentikan permainan beresiko dapat muncul dikarenakan perubahan
keseimbangan antara nilai subyektif meraih tujuan dan biaya tambahan. Ketika investasi
substansial mungkin tidak memberikan hasil yang berharga, pembuat kebijakan pada akhirnya
harus berkutat dengan bukti kesalahan yang sudah terjadi (Iklé, 2005). Harga akhirnya mencapai
ambang batas dimana kesetiaan personil dan materi yang berlanjut tidak lagi dapat
dipertahankan. Faktor kelelahan menguasai, dikarenakan kesulitan dalam merekrut anggota baru,
berkurangnya dukungan logistik, atau meningkatnya kerentanan penduduk besar terhadap
serangan dari lawan. Distribusi tidak rata pengeluaran di antara anggota kelompok meningkatkan
potensi untuk pemecahbelahan, mengurangi kemampuan untuk melawan musuh secara efektif.
Sistem kepercayaan yang aslinya tertanam di waktu awal dari konflik menjadi berubah.
sKeputusan terkait mundurnya Amerika Serikat dari Vietnam di tahun 1972 berubah
berkali-kali terhadap harga politik, emosional, dan keuangan. Secara keseluruhan, resiliensi
penyerapan biaya setiap kelompok dipengaruhi oleh tingkat dan sifat dukungan yang didapatkan
dari konstituen dan sekutu luar. Kesulitan menghentikan perjuangan berasal dari penolakan
untuk membuat konsesi setelah menderita dalam waktu yang lama. Penilaian terus-menerus
situasi yang berikutnya adalah penting untuk mengakui perkiraan rendah awal dari biaya
keseluruhan dan panjang waktu konflik. Mundurnya Uni Soviet dari Afghanistan di akhir tahun
1980an, contohnya, tampak pasti, dikarenakan pelemahan kemampuan penyerang dan
ketidakmauan untuk menerima penyerapan lebih lanjut pengeluaran yang sangat besar dalam
periode waktu yang berkepanjangan.