A. Penelitian Terdahulu
Transcript of A. Penelitian Terdahulu
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Secara umum, penelitian tentang pewarisan budaya telah banyak dilakukan oleh
para peneliti terdahulu, namun secara spesifik penelitian terkait transmisi ajaran Islam
dalam bingkai budaya lokal, masih jarang dilakukan. Padahal berbicara transmisi
pengetahuan sangatlah penting, karena terkait bagaimana mewariskan pengetahuan,
nilai-nilai dan moral kepada generasi muda. Melestarikan warisan masa lalu adalah
tugas generasi penerus, apalagi tercatat dalam sejarah, muslim klasik mewarisi
kemakmuran dan kemuliaan, salah satunya adalah pendidikan.
Fortes. M., ( 1987) dalam penelitiannya pada tahun 1938 mengatakan bahwa
transmisi adalah proses pembelajaran dari orang tua kepada anak, yang akan
berimplikasi kepada moral dan budaya dan tindakan agama. Transmisi yang dilakukan
tidak hanya berlangsung sambil lalu akan tetapi memerlukan pula bimbingan. Uniknya
proses pewarisan yang berlangsung pada kebudayaan di locus penelitiannya, tidak
terdapatnya pranata-pranata atau lembaga-lembaga yang berfungsi khusus untuk
mendidik generasi muda, seperti sekolah, upacara atau sistem umur. Akan tetapi proses
pewarisan melalui permainan dan bimbingandan ransangan langsung dari masyarakat.
Sejalan dengan penelitian Fortes, penelitian antropologi pendidikan mengenai
transmisi kebudayaanpun dilakukan Eggan, (1955) dan Spindler, (1963) (dalam
(George, 2008) (Spiro, 2019) yang menyatakan bahwa transmisi kebudayaan dapat
berlangsung secara tradisional melalui proses sosialisasi dari masyarakat. Hal tersebut
berbeda dengan pandangan Wax, Dumont (1964) yang menyatakan bahwa transmisi
kebudayaan dalam masyarakat terjadi melalui lembaga pendidikan formal di sekolah.
Hal inipun diperkuat pula oleh penelitian Spiro bahwa pendidikan formal melalui
sekolah sangat menentukan transmisi kebudayaan (Spiro, 2019).
18
Menarik kajian penelitian J.D. Herzog (1962) yang mengkaji transmisi
kebudayaan di dalam maupun diluar kelompok kekerabatan suatu masyarakat. Herzog
menemukan bahwa bentuk rumah tangga (keluarga inti dan keluarga besar berpengaruh
kuat-lemahnya kemandirian anak yang tumbuh dalam suatu lingkungan. Herzog
menyimpulkan bahwa transmisi kebudayaan melalui instruksi di dalam batas komuniti
yang berkorelasi dengan adanya rumah tangga keluarga besar berfungsi untuk
menambah kemandirian anak, dalam lingkup yang lebih luas memperkuat identitas
watak anak. Akan tetapi kebudayaan melalui intruksi dalam batas komuniti lebih
banyak berkorelasi dengan rumah tangga inti, yaitu orang tua. Mengingat orang tua
yang memberikan perhatian kepada proses pertumbuhan anak, terlebih lagi pada sosok
ibu yang tidak disibukkan dengan mata pencaharian hidup.
Manusia sangat membutuhkan proses transmisi, karena menjadi sebuah proses
pembelajaran bagi anak-anak untuk mengikuti tingkah laku orang tua atau orang
dewasa lainnya (Henrich, 2002), dan sebagai wadah menanamkan dan mewariskan
nilai-nilai budaya (Basyari, 2013), agar nilai-nilai tersebut dapat bertahan hinga turun
temurun (Mchitarjan, I., 2014).
Budaya dan tradisi yang berkembang dalam sebuah kelompok masyarakat
harus terus dilestarikan oleh generasi penerus dari generasi terdahulu. Upaya yang
dilakukan salah satunya dapat melalui proses transmisi atau pewarisan (Fitriasari &
Haryono, 2012). Transmisi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
melalui ritual. Ritual yang terus menerus dan rutin dilakukan dapat menjadi media yang
baik dalam proses transmisi.
Menurut Zulfah, (2011), pendidikan dalam ruang lingkup kebudayaan
merupakan agen pengajaran nilai-nilai, oleh karenanya kebudayaan ditransfer kepada
generasi penerusmya melalui proses belajar tentang tata cara bersikap. Sejalan dengan
pandangan Fortes maka ada aspek nilai yang ditransmisi,yaitu melalui simbol, ritual,
dan nilai-nilai terjadilah proses pewarisan kepada generasi selanjutnya. Hal tersebut
dapat berlangsung sambil lalu atau melalui bimbingan (Fortes. M., 1987) Selain itu
pula pewarisan dapat juga melalui tradisi, budaya, seni (De Grave, 2000; Karyono,
19
2013; Wekke & Sari, 2012), ritual (Fitriasari & Haryono, 2012), melalui media kitab
jami' (Badaruddin, 2012), buku, cerita, dongeng bahkan komik (Wekke, 2015) dan
lokakarya (Sasongko, 2017). Berbeda dengan pandangan Ma'arif (2015) dalam
penelitiaanya menyatakan bahwa nilai-nilai ajaran seorang guru telah menjadi budaya
dan kearifan lokal yang dapat ditransmisikan melalui pengajian, khutbah, kitab kuning,
dan perayaan keagamaan (Ma’arif, Dardiri, & Suryo, 2015).
Menurut J.W. Berry, (2002) nilai-nilai hidup, tradisi budaya yang diwariskan
kepada generasi muda dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Selain perlunya
memperhatikan faktor usia, pendidikan dan jenis kelamin serta bahasa dalam
mewariskan nilai-nilai, juga sangat penting memperhatikan peran orang tua, lembaga
dan teman sebaya dalam mendukung keberhasilan proses pewarisan.
Sriyati Dwi Astuti (Astuti, 2016) dalam penelitiannya menyatakan pentingnya
peran transmitter dalam mewariskan pengetahuan, nilai-nilai dan budaya pada
generasi, karena ternyata banyak tranmsitter termasuk pendidik belum memiliki
kesadaran atas peran pentingnya sebagai transmitter pengetahuan, yang juga memiliki
peran sebagai transmitter nilai-nilai budaya pada peserta didik, sehingga diharapkan
peran lembaga pendidikan untuk membuat pendidiknya menyadari perannya yang
sangat krusial tersebut (Astuti, 2016). Selain peran lembaga pendidikan formal seperti
Madrasah (Dewi, 2014; Shobahussurur, 2015), ataupun lembaga pendidikan klasik ( S.
Mardiana, (2015), peran fungsi masyarakat dalam mewariskan pendidikan keagamaan
sangat dibutuhkan (Thoifuri, 2016), sehingga bagi Rina Rehayati, Irzum Farihah
(2017) posisi Ulama sangat berperan besar dalam transmisi keislaman di Indonesia,
khususnya di wilayah Kesultanan Riau- Lingga yang menjadi locus penelitiaanya,
pewarisan ilmu melalui pendidikan dan kegiatan keagamaan (tarekat), secara lisan dan
tulisan sebagai bentuk syiar ajaran Islam (Rehayati & Farihah, 2017).
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Andra-Bertha Sanduleasa menunjukkan
bahwa pentingnya peran orang tua. Hal ini dapat dilihat dengan cara mereka
membesarkan anak-anak mereka, menyampaikan nilai-nilai budaya mereka mengenai
pencapaian pendidikan. Transmisi pengetahuan, keterampilan, preferensi dan minat
20
dari orang tua kepada anak-anak telah dikonseptualisasikan oleh Bourdieu (1977)
sebagai modal budaya. Dalam istilah yang lebih umum, ini disebut transmisi budaya
orang tua, suatu proses di mana informasi dilewatkan dari individu ke individu melalui
mekanisme pembelajaran sosial, yang berarti bahwa cara orang tua mendidik anak-
anak mereka memiliki pengaruh besar pada preferensi dan keyakinan anak-anak
mereka, tentang bagaimana anak-anak mereka akan memilih untuk berperilaku sebagai
orang dewasa dalam masyarakat nantinya (Sanduleasa, 2015).
Hal itupun sejalan dengan pernyataan Wartono, (2013) bahwa orang tua
bertindak sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, yang sangat menentukan warna
kepribadian seorang anak. Keluarga perlu mewariskan dan membudayakan suasana
edukatif yang islami sehingga anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia
yang ideal menurut Islam.
Berbeda dengan penelitian Blair Steverson (2015) yang locusnya di Kanada.
Menurutnya pentingnya peran guru/ pendidik sebagai pengembang budaya, sebagai
fasilitator transmisi budaya dan penerjemah pengetahuan tradisional dalam
mewariskan pengetahuan dan budaya . Demikian pula pandangan P. Thanissaro yang
menekankan peran pendidik pada proses transmisi moral spiritual (Thanissaro, 2010)
dan Charlene Tan (2015) pada penelitiannya yang dilakukan di Cina, pentingnya
naskah budaya dan guru sebagai penentu keberhasilan sebuah pewarisan pengetahuan
(Tan, 2015).
Sejalan dengan penelitian Thoifuri, (2016) yang menyatakan perlunya proses
pewarisan melalui penekanan pada belajar di usia sekolah 7- 24 tahun, dengan
melengkapi sarana pendidikan dan memacu masyarakat dalam pendidikan non-formal,
memacu minat baca dan tulis masyarakat, yang dibungkus dengan semangat kehidupan
religius, menerapkan sistem keyakinan, memelihara sistem ritus dan upacara.
Selain itu, dalam sistem transmisi pengetahuan perlunya pula memperhatikan
metodologi pewarisan (Fahri, 2008). Menurutnya, kemajuan pendidikan muslim yang
pernah ada didukung oleh banyak faktor, salah satunya adalah metode mengajar.
Metode pengajaran yang baik tentunya akan menghasilkan generasi yang memiliki
21
kualitas tertentu. Secara historis metode pengajaran muslim klasik telah membawa
kemajuan dan keharuman terhadap muslim di mata negara lain di dunia, tetapi
kemenangan pada masa lampau, hanyalah sebuah kenangan indah, karena generasi
penerus tidak dapat melestarikan budaya klasik Metode mengajar menjadi suatu
masalah ketika tidak dapat berpengaruh dalam mengembangkan kepribadian dan
kualitas intelektual. Metode pengajaran yang terdapat di lembaga masih berorientasi
pada konvensional. Pengiriman material didominasi oleh metode ucapan atau “sistem
pengiriman”.
Berbeda dengan pandangan Jean Marc de Grave bahwa transmisi pengetahuan
pun dapat disandingkan dengan metode yang lebih modern. Akan tetapi transmisi
pengetahuan semakin terpisah dari transmisi moral dan mempengaruhi bentuk dasar
tindakan dan hubungan sosial seseorang. Pola tradisional lebih bersifat lisan dan
berpusat pada peran perantara dan hubungan sosial, dan dilakukan di luar ruang yang
bermakna secara kosmik. Sebaliknya, pengajaran individualistik modern - yang
berakar pada filsafat dan peristiwa Yunani awal di Era Tengah Eropa - sangat formal
dan terkait dengan masalah ekonomi, yang mengarah ke individualisme dengan sedikit
memperhatikan lingkungan seseorang. Olehnya transmisi pengetahuan diharapkan
tetap memperhatikan transmisi moral dan pola tradisional agar tetap mempengaruhi
bentuk dasar tindakan dan hubungan sosial seseorang (De Grave, 2000).
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan budaya lokal dan Islam
seperti yang telah dilakukan oleh Andik Wahyu Muqoyyidin, (Muqoyyidin, 2016) yang
menyatakan Islam dan budaya lokal Jawa terakulturasi dengan baik. Mereka hidup
berdampingan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh proses akulturasi yang sangat
panjang. Kedatangan Islam tidak mengganggu budaya lokal; jika tidak, Islam
berasimilasi dan memperkuat semangat budaya lokal. Ini membuktikan bahwa
religiusitas Jawa adalah model ideal untuk mensintesis Islam dan budaya lokal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian Efa Ida Amaliyah (2015) yang melihat
adanya relasi antara agama dan budaya lokal pada upacara Yaqowiyyu pada masyarakat
Klaten. Pengharapan keberkahan masyarakat pada upacara tersebut menjadikan
22
kuatnya akan nilai Islam walaupun praktik budaya masih sangat kental pada upacara
yaqowiyyu.
Penelitian Deden Sumpena (2014) menyatakan terjadinya akulturasi dan
asimilasi antara budaya Sunda dengan ajaran Islam telah membentuk ciri yang khas
pada masyarakat Sunda di Jawa Barat. Sejak pengalaman sejarahnya yang paling awal,
masyarakat Jawa Barat senantiasa menempatkan nilai-nilai agama Islam pada posisi
yang sangat sentral dalam seluruh aspek kehidupannya. Fenomena yang termuat dalam
falsafah hidup orang Sunda yang tercermin pada ungkapan Silih Asah, Silih Asih, Silih
Asuh sesungguhnya merupakan salah satu prinsip hidup yang diwarnai oleh semangat
ajaran agama Islam (Sumpena, 2014).
Tidak jauh berbeda dengan penelitian Elliyil Akbar (Akbar, 2015) pada
masyarakat daerah dataran tinggi Gayo yang merupakan daerah penegak syari’at Islam
yang didiami oleh berbagai suku mampu menetralisir keadaan dengan
mempertahankan nilai yang arif dari peninggalan leluhur dan menghidupkan suasana
pendidikan Islami menggunakan sarana atau media seni Didong tidak lepas dari adat,
syari’at, dan lebih bisa diserap oleh masyarakat dengan begitu sifat toleransi yang
terbina menciptakan perdamaian dan menciptakan suasana Islami sebagai daerah
penegak syari’at Islam.
Berbeda halnya dengan penelitian Sakirman (2016), Islam masuk ke tanah
Jawa dalam keadaan penduduknya telah memiliki tradisi dan budaya berupa
kepercayaan adanya kekuatan pada benda-benda tertentu (dinamisme), adanya
kekuatan pada arwah orang yang meninggal (animisme) dan kepercayaan adanya
kekuatan pada binatang-binatang (totemisme). Tradisi ini telah diwariskan secara turun
temurun, diyakini, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Islam datang,
keyakinan dan kepercayaan tersebut melebur dalam budaya Islam, sehingga muncullah
apa yang disebut dengan sinkretisme Islam, yaitu akulturasi budaya Islam dengan
tradisi lokal. Tradisi yang dianut oleh komunitas Islam Aboge yang melaksanakan
tradisi-tradisi Jawa dengan dibumbui tradisi Islam, maka munculah Islam dengan cita
rasa lokal (Islam lokal). Kekhasan dari komunitas ini adalah masih menggunakan
23
model Penanggalan Islam Jawa yakni Penanggalan Aboge yang berbeda dengan
keputusan pemerintah ataupun itsbat.
Sejalan dengan penelitian Sakirman, penelitian Nurhuda Widiana (2015) pun
mengisyaratkan terjadinya sinkritisme pada masyarakat Samin di Bojonegoro Jawa
Timur. Akulturasi antara budaya lokal dan Islam di lokus penelitiannya merupakan
perjalanan panjang, antara tetap mempertahankan kecintaan masyarakat terhadap
nilai-nilai lama mereka, dan menolak ajaran baru yaitu Islam. Walaupun akhirnya
masyarakat Samin dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada, namun pemahaman
mereka terhadap agama Islam yang berkaitan dengan akidah (teologi), ibadah (ritual),
dan urusan muamalah (sosial kemasyarakatan), masih terwarisi oleh ajaran Saminisme.
Agama Islam dipahami dengan bingkai ajaran Samin, yang memunculkan praktik
sinkretis Islam khas Samin, karena ajaran Islam diakomodisasi sesuai ajaran Samin,
sehingga,yang nampak hakekat ajaran yang terintegrasi, namun praktik ibadah ritual
Islam belum maksimal dilaksanakan.
Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Siti Makhmudah (2017) di wilayah
Komunitas Keagamaan Kejawen, ajaran Islam belum secara penuh menjadi pedoman
hidup seutuhnya, walaupun ada upaya mensinergikan nilai-nilai keagamaan dengan
kearifan lokal yang ada (Makhmudah, 2017).
Penelitian budaya dilihat dari arkeologi dilakukan oleh Bau Mene (Mene, 2012)
yang menggambarkan agama Islam di Misool berkembang pesat terlihat dari
banyaknya temuan bangunan dari masjid tua serta adanya makam pembawa Islam serta
menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Penelitian ini oleh Bau Mene lebih
mengarah kepada penelitian arkeologi serta belum terlalu luas menganalisis bagaimana
identitas Islam di Misool. Titik perbedaannya pada penelitian yang peneliti tawarkan
adalah dari aspek transmisi ajaran Islam dalam bingkai budaya lokal dan tradisi Islam
di Misool
Demikian pula M, Irfan Mahmud (Mahmud & Mahmud, 2017) dalam
penelitiannya yang tidak jauh berbeda dengan penelitian Bau Mene yang mengarahkan
kepada analisis arkeologis secara umum tetapi lebih spsifik kepada analisis hubungan
24
dengan jaringan dakwah, perdagangan, akulturasi dan asimilasi budaya yang terdapat
di Papua. Tetapi Irfan Mahmud tidak secara khusus mengkaji secara dalam wilayah
Misool Papua Barat, sehingga jelas perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti
kaji.
Berbeda dengan penelitian Budiwanti (2000), tentang Islam Sasak, dengan
menggunakan perspektif fungsionalisme alternatif, digambarkan bahwa Islam Sasak di
daerah Lombok adalah Islam bernuansa lokal dan tradisional. Agama Wetu tiga yang
paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat bukan
pengetahuan tentang Islam berdasarkan rumusan orang Arab, akan tetapi juga bukan
tidak menggunakan Islam sama sekali, misalnya pada pemakaian doa-doa, dan tempat
peribadatan masjid. Berbeda dengan Islam Wetu Lima menjadi sangat menonjol di
tengah suasana pribumisasi Islam di Lombok. Kajian ini lebih menitik beratkan pada
dinamika hubungan agama dan berbagai kelompok sosio-religio-kultural melalui
penelitian kualitatif etnografis dan dengan berdasar pada konsep interaksi antar
kelompok di dalam masyarakat melalui simbol-simbl religius.
Sedikit berbeda dengan kajian etnografi tentang tradisi Islam lokal pesisiran
yang dilakukan oleh Syam (2005), menjelaskan bahwa proses transformasi adalah
bagaimana masyarakat pesisir melakukan berbagai upacara, yang hakekatnya
bertumpu pada medan budaya Makan, Sumur dan Masjid. Medan dapat
mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan sosio religius dan menjadi
medan interaksi sebagai wadah untuk transformasi, legimitasi dan habitualisasi.
Olehnya teori Nur Syam seyogyanya dapat menjadi acuan pada penelitian ini, di mana
masyarakat Misool lebih cenderung belajar Islam melalui budaya dan tradisi yang telah
dilaksanakan secara turun temurun. Terlebih lagi dengan melihat locus penelitiannya
kepada sisi geografis wilayah Pesisir. Terkait dengan teori Islam kolaboratif, masih
perlu dikaji keabsahan teorinya pada masyarakat Misool, mengingat konteks
kolaboratifnya tidak ditemukan dengan kondisi penggolongan sosial akan tetapi karena
masih berada pada konteks budaya lokal mereka, tradisi yang telah dilaksanakan secara
turun temurun, yang masih beraksentuasi kepada Islam tradisional, bahkan sulitnya
25
menerima tradisi modern.
Berbeda dengan M. Yusuf Wibisono (Wibisono, 2013) dalam disertasinya
menggambarkan perbedaan karakter khusus yang dianut Islam Pesisir Patimban.
Karakter tersebut terlihat dari keberagamaan mereka yang tidak terlepas dari konteks
lokalitasnya, serta membantahkan teori yang dilahirkan oleh Geertz terkait Islam
sinkritis, Woodward. R.M., (1999) dengan Islam Akulturatifnya bahkan terhadap tipe
Islam Kolaboratif versi Nur Syam. Yusuf menghadirkan Islam Kompromi yang
menjadi kombinasi dari ketiga tipologi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tradisi
keberagamaan merupakan hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki
keunikan tersendiri yang tidak bercorak genuin Islam dan juga bukan tradisi lokal
(kejawen) murni.
Berbeda dengan Widiana Nurhuda, (2015) menerangkan bahwa Islam sebagai
agama paripurna memiliki nilai-nilai ideal yang seharusnya menjadi pedoman perilaku
bagi pemeluknya. Akulturasi pertemuan nilai Islam dan nilai budaya lokal apakah
menjadi substitunsi, sinkretisme, adisi, dekulturasi, orijinasi bahkan penolakan harus
dipahami sebagai bagian kecintaan suatu masyarakat terhadap nilai-nilai lama (lokal)
pada satu sisi dan pada sisi lain sebagai proses untuk belajar memahami nilai-nilai baru
(Islam). Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro tidak tepat jika digunakan
klaim menang atau kalah antara Islam vis a vis budaya lokal. Pemahaman mereka
terhadap agama Islam yang berkaitan dengan akidah (teologi), ibadah (ritual),
muamalah (sosial kemasyarakatan), masih terwarisi oleh ajaran Saminisme. Islam
dipahami dengan bingkai ajaran Samin, sehingga hakekat ajaranlah yang terintegrasi,
namun praktek ibadah (ritual) Islam belum dilaksanakan. Terjadilah praktek sinkretis
(Islam khas Samin), karena ajaran Islam diakomodisasi sesuai dengan ajaran Samin.
Kondisi Islam sinkretis ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya oleh
Geertz di tahun 1981 dan Sakirman (2016) .
Bahrul Ulum (B. Ulum, 2014) menjelaskan bahwa cara Islam menyapa budaya
lokal adalah dengan merubah sub-stansi partikularistik ke arah universalitas-religius
sebagaimana yang dapat dilihat para proses Islamisasi wayang dengan memberikan
26
nuansa-nuansa simbolik religius yang lebih bercorak islamisasi daripada arabisasi.
Pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap eksisnya suatu tradisi
kebudayaan (Juanda, 2010). Proses pendidikanlah yang akan membuat generasi muda
memperoleh hidup yang lebih baik, sebab di dalamnya terdapat proses transfer
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan (Azizy, 2002). Pendidikan sendiri
berlangsung disetiap aspek dalam kehidupan manusia baik itu dalam keluarga, lembaga
pendidikan dan lingkungan masyarakat. Jika dilihat dari aspek kebudayaan, interaksi
antar manusia dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya merupakan praktek
pendidikan. Pendidikan selalu terjadi di arena yang tidak vakum, sehingga pendidikan
sangat terkait erat dengan kebudayaan, demikian pula sebaliknya kebudayaan sangat
erat keterkaitannya dengan pendidikan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Abdul Kholiq (Kholiq, 2015), yang
menerangkan perlunya Pendidikan Agama Islam sebagai strategi kebudayaan, sebagai
sistem proses internalisasi nilai Islam. Masyarakat Kalang sebagai lokus penelitiannya
merekonstruksi budayanya yang mengakulturasikan budaya dengan nilai ajaran Islam.
Apatah lagi orang Kalang ternyata selama ini membangun identitas budayanya melalui
warisan nilai-nilai dari para leluhurnya. Baik itu berupa kepercayaan, mitologi yang
telah diyakini secara turun temurun. Keluarga adalah media transmisi kepercayaan dan
nilai-nilai budaya Kalang, sehingga menjadikan posisi Pendidikan Agama Islam
sebagai transmisi nilai baru dalam lingkungan masyarakat. Analisis ini menjadi
penguat peneliti, bahwa salah satu varian transmitter yang terdapat pada masyarakat
muslim Misool adalah keluarga.
Demikian pula pandangan Basnang Said (Said, 2011) dalam penelitian
teoretisnya mengungkapkan pentingnya Pendidikan Islam dalam memainkan perannya
dalam pewarisan budaya dan nilai-nilai terkait keyakinan kepada Allah swt, Hukum
Islam dan Karakter dalam tri pusat pendidikan (keluarga, Sekolah dan Masyarakat).
Hal ini sejalan dengan pandangan Zulfah (2011), yang menyatakan dalam
penelitiannya walaupun masyarakat Kalang tidak memberikan respon spesifik
terhadap proses pendidikan agama di lembaga formal, namun pendidikan agama
27
menjadi salahsatu variabel penting dalam proses enkulturasi budaya.
Kondisi tersebut pun diperkuat oleh Ali rohmad (2014) dalam penelitiannya
menegaskan akan pentingnya pendidikan formal sebagai pelestari tata nilai dan
pembaru kebudayaan. Pendidikan formal menerima dua tugas budaya yaitu
menyampaikan nilai kebudayaan, sehingga pendidikan bersifat reflektif dalam
pengertian pendidikan harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku
sekarang atau saat tertentu, Kedua adalah tugas mengembangkan nilai-nilai
kebudayaan ketaraf yang lebih baik dan sempurna, sehingga pendidikan bersifat
progresif, berkembang sesuatu tuntutan kebudayaan. Hal inipun dapat terealisasi
dengan baik apabila ada kerjasama antara jalur pendidikan formal, nonformal dan
informal. Olehnya pendidikan non formalpun menjadi salah satu pondasi penting
dalam proses transmisi pendidikan keagamaan pada masyarakat.
Pada jurnal pendidikan anak, Joan E Test menulis “Teacher’s practice seem to
reflect and be a part of their culture’s system of meanings. Some would say that cultural
values are type of hidden curriculum” (Joan, 2006). Bahwa pendidik adalah
transmitter budaya hal ini seringkali tidak disadari oleh pendidik, inilah hidden
curriculum yang justru menandaskan pengalaman belajar bagi anak tanpa disadari
pendidik. Dari hasil studi tersebut mengungkap bahwa dalam mendidik, seorang guru
entah disadarinya ataupun tidak, akan selalu membawa budaya di mana dia dibesarkan
dan kemudian ditularkannya pada peserta didik.
Maka sangat penting kiranya kesadaran seorang pendidik atas budaya positif
yang seharusnya ditularkannya dalam interaksinya dengan peserta didik, karena ketika
proses transmisi berjalan dengan baik, akan memberikan implikasi kepada perubahan
perilaku positif kepada generasi. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Thoifuri,
(2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa transmisi pengetahuan keagamaan
dapat memberikan semangat kehidupan religius, menerapkan sistem keyakinan
komunitas sebuah masyarakat, kualitas sumber daya manusia semakin baik.
Berbagai uraian dari review literatur tentang transmisi kebudayaan
mempertegas akan pentingnya pewarisan kebudayaan dan pengetahuan kepada
28
generasi muda sebagai wahana mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Akan tetapi
berdasarkan fakta empiris, serta acuan referensi penelitian, maka penulis belum
menemukan karya ilmiah yang menganalisis proses transmisi ajaran Islam yang di
rangkum dalam wadah budaya lokal. Hal ini layak untuk dikaji, sebagai salah satu
alternatif memberikan pewarisan pendidikan agama Islam dalam bingkai budaya lokal
masyarakat.
Melalui penelitian ini, diharapkan pembuktian pemahaman mendalam terhadap
khazanah pendidikan Islam dan intelektual keagamaan dalam bingkai tradisi lokal
masyarakat, yang tidak menjadikan corak pemikiran keagamaan yang dikembangkan
tidak terlepas dari masa lampau tetapi benar-benar menyatu dengan problem kultur
suatu masyarakat. Lebih dari itu, penggalian khazanah pemikiran keagamaan dan
pemanfaatan ilmu-ilmu sosial dimaksudkan agar dapat menghasilkan kajian
pendidikan keagamaan yang mempunyai bobot otoritas yang tinggi dalam mendorong
transformasi ummat.
29
Gambar 2. Peta Literatur
Budaya Lokal Pendidikan Agama Islam/ Ajaran Islam
Pola Tradisional Sosialisasi Masyarakat (Eggan Spindler, 1956
Transmisi = mempertahankan Nilai budaya (Mchitarjan, 2014)
Permainan, Bimbingan Oleh Masyarakat (Meyer Fortes, 1987)
Pentingnya proses Transmisi, Tingkah laku (Henrich, 2002; Zulfah, 2011)
Transmisi = Wadah pewarisan Budaya (Basyari, 2013)
Ritual (Fitriasari, Haryono, 2012)
Lembaga Pendidikan Formal / Madrasah (Spiro, 1955; Shobahassurur, 2015; Rusmala Dewi, 2014; Zulfah, 2011) S. Mardiana,2015
Masyarakat, Pesantren (Thoufuri, 2016)
Ulama (Rina Rehayati, Izmur Farihah, 2017)
Orang Tua (Sanduleasa, 2015; Wiratno, 2013)
Pendidik (Sriyati Dwi Astuti, 2016; Blair Seteverson, 2015; Carlene Tan, 2015; P. Thanissaro, 2010)
Buku Cerita, Dongeng (Ismail, 2015)
Tradisi, Budaya Seni (J.D. Grave, 2015)
Lokakarya, (Y. Sasongko, 2017)
Kitab Jami' (F. Badaruddin, 2012)
Pengajian, Khutbah, Kitab, Perayaan Keagamaan (Ma'arif, 2015)
Akulturasi Budaya Islam Asimilasi (Andik Muqoyuddin, 2016; Irfan Mahmud, 2017
Sinkritisme Islam Akulturasi budaya Islam & Tradisi Lokal. Islam Sinkretik (Geertz, 1981; Sakirman, 2016; Widian Nurhuda 2015)
Widiana
Nurhuda, 2015)
Penekanan Peran PAI dalam pewarisan Nilai (Basnang Said, 2011)
PAI Strategi Kebudayaan (Abdul Kholiq, 2015
Interelasi Islam Dan Budaya lokal (Deden Sumpena, 2014)
(Yang perlu diteliti) Transmisi Ajaran Islam melalui Budaya Lokal
Islam Akulturatif (Budiwanti, 2000: Woodward, 1989) Wibisono, 2013
Islam Kolaboratif (Syam, 2005)
Islam Kompromi (M. Yusuf Wibisiono, 2013
Pendidikan Agama pada lembaga formal menjadi variabel penting dalam proses enkulturasi budaya (Misbah Zulfah, 2011)
Ajaran Islam belum secara penuh Menjadi pedoman Hidup seutuhnya . (S. Makhmudah, 2017)
Pendidikan Islam Dari pertunjukan Didong Tidak lepas dari adat, syariat yang lebih diserap masyarakat (Elliyil Akbar, 2015
Transmisi Ajaran Islam dalam
Bingkai Budaya Lokal
Transmisi Budaya
30
Bagan di atas belum menampakkan penelitian yang mengkaji dan menganalisis
secara khusus proses transmisi ajaran Islam yang memfokuskan pada tema budaya
lokal, sehingga menurut hemat peneliti, penelitian ini layak untuk ditelusuri secara
mendalam.
B. Islam dan Budaya Lokal
Budaya lokal merupakan pandangan hidup yang berkembang dalam kelompok
sosial dan budaya tertentu yang dapat dilihat dari unsur geografis, kedaerahan, dan
sejarah yang khas dan berbeda dari yang lain, sehingga terbentuklah identitas suatu
kelompok budaya dari perpaduan berbagai entitas dan unsur (Nurdin, 2009), karenanya
budaya lokal menjadi budaya asli dan ciri khas dari suatu masyarakat.
Jika bertolok pada perspektif filsafat sosial, budaya lokal merupakan kegiatan
fisik material, kondisi mental, moral dan spiritual dari manusia.yang dimulai dari
proses usaha sebagai pribadi dalam mendisiplinkan diri dan kesadaran kebersamaan
dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi budaya dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun budaya lokal yang diapahami dalam penelitian ini, adalah budaya yang
didasarkan atas pandangan dan pengalaman hidup masyarakat dari penduduk asli
Misool
Istilah budaya lokal diperuntukkan pada masyarakat yang mendiami daerah
tertentu dan memiliki perbedaan dari budaya masyarakat ditempat lain, olehnya hanya
digunakan untuk membedakan antara budaya global dengan budaya nasional di
Indonesia, atau dengan istilah budaya etnik/ subetnik. Bahkan dalam Perundangan
Negara Indonesia dinyatakan dengan istilah budaya daerah, yaitu suatu sistem nilai
yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu di suatu daerah yang diyakini akan
dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya berupa nilai-nilai, sikap, tata
cara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya
(Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 tahun 2007 pasal 1).
Terdapat tiga macam wujud dimensi kebudayaan yaitu : (1) Nilai-nilai, norma,
sebagai suatu kompleks ide, gagasan dan konsep pikiran manusia. yang bersifat
31
abstrak, disebut sebagai sistem budaya. (2) aktivitas kelakuan manusia sebagai sistem
sosial, yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem budaya, seperti upacara-upacara
yang wujudnya kongkrit dan dapat diamati (3) benda-benda budaya hasil karya
manusia ataupun hasil tingkah laku (Koentjaraningrat, 2015b; Nurdin, 2009; Wardhana
& Fadhilah, 2014; Zaitun, 2015)(Koentjaraningrat, 2015a).
Menurut (Koentjaraningrat, 2015a) unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di
semua kebudayaan dunia mencakup beberapa aspek, yaitu; bahasa, kesenian, sistem
religi dan upacara keagamaan, sitem teknologi dan peralatan.; sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, serta sistem mata pencarian hidup. Tidak jauh
berbeda dengan pandangan Edward Burnet Tylor (2010) dalam bukunya Primitive
Culture menyatakan bahwa budaya itu keseluruhan kompleks yang meliputi
kepercayaan, pengetahuan, kesenian, hukum, moral dan kebiasaan masyarakat baik
berupa materi atau non materi. Sejalan dengan pandangan Peter L. Berger yang dikutip
Nur Syam, (2005), kebudayaan adalah totalitas dari produk manusia, berupa material,
non material sosio kultural dan refleksi di dalam isi kesadaran manusia. Akan tetapi
berbeda dengan pandangan Setiyawan (2012), bahwa hanya unsur bahasa, kesenian
dan upacara yang dapat menampakkan sifat-sifat khas dari suatu kebudayaan suatu
daerah atau bangsa.
Budaya selain wujudnya sebagai sistem nilai dan benda, juga aktivitas manusia
berupa upacara-upacara yang kongkrit dan dapat diamati, dan sub ini menjadi perhatian
khusus pada penelitian ini. Upacara dalam konteks kajian antropologi memiliki dua
aspek yaitu ritual dan seremonial. Ritual menurut Winnick yang dikutip oleh Syam
(2005) adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama yang dimantapkan
melalui tradisi. Ritus berbeda dengan pemujaan karena ritus tindakan yang bersifat
keseharian, misalnya ritus kelahiran, ritus kesehatan ritus transisi atau ritus yang lain,
yang melibatkan segala sesuatunya yang bersifat spiritual dan mengharap hasil yang
baik, sehingga kenapa kemudian ritual itu merupakan tindakan yang khas yang
dilakukan berulang-ulang yang secara eksplisit bersifat keagamaan.
32
Tradisi keagamaan itu sendiri menurut Steenbrink (2000) adalah kumpulan atau
hasil perkembangan sepanjang sejarah, ada unsur yang baru masuk dan ada unsur yang
ditinggalkan. Sejalan dengan pandangan tersebut Fazlurrahman dalam (Syam, (2005),
menyatakan bahwa tradisi Islam dapat terdiri dari element yang tidak islami dan tidak
didapatkan dasarnya dalam al-Qur‘an dan Sunnah. Jadi perlu dibedakan antara Islam
itu sendiri dengan sejarah Islam atau tradisi Islam. Ajaran Islam yang termuat di dalam
teks al-Qur ‘an dan hadis adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika
sumber tersebut digunakan atau diamalkan di suatu wilayah -sebagai pedoman
kehidupan- maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran
masyarakat lokalnya, karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol
yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.
Setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang
melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk
melakukan ritual, penghormatan dan penghambaan. Salah satu contoh ialah melakukan
upacara lingkaran hidup baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama atau
yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama.
Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam sebuah budaya, merupakan kearifan
lokal, yang merupakan suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan
hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan
kearifan hidup. Kearifan lokal di dunia barat dikenal dengan berbagai istilah
diantaranya Lokal Knowledge (Pengetahuan local/setempat) Indigenous People
(Komunitas lokal/tradisional) atau Intellectual Property and Traditional Knowledge
(Kekayaan intelektual dan pengetahuan lokal) (Geertz. C., 2013). Istilah lain adalah
Local Wisdom ( Kebijakan setempat) (Astuti, 2016; Nurma Ali, 2007).
Setiap etnik memiliki nilai-nilai kearifan budaya lokal masing-masing. dalam
konteks akademik nilai-nilai kearifat lokal suatu masyarakat bercirikan: “(1)
berdasarkan pengalaman, (2) teruji setelah digunakan berabad-abad, (3) dapat
beradaptasi dengan kulturskini, (4) pada dalam praktek keseharian masyarakat dan
lembaga (5) lazim dilakukan oleh individu dan masyarakat secara keseluruhan (6)
33
bersifat dinamis dan terus berubah, dan (7) sangat terkait dengan sistem
kepercayaan”.(Basyari, 2013).
Ciri-ciri tersebut, menurut Ayatrohaedi (1986) pada dasarnya setiap nilai
kearifan lokal yang menjadi karakter budaya mempunyai keunggulan-keunggulan
yaitu: “(1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar kedalam budaya asli (3) mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4)
memiliki kemampuan mengendalikan, (5) mampu memberikan arah pada
perkembangan budaya (Basyari, 2013). Sementara menurut (Koentjaraningrat, 2015a)
nilai budaya yang bernilai tinggi terutama dalam masyarakat yaitu apabila senang
bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar,
tercurahkannya nilai gotong royong, dan bentuk kerja sama dengan orang lain.
Inti kebudayaan sebagai makna dalam kehidupan manusia sarat dengan nilai
kebersamaan yang menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kepentingan
berapa pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karenanya diperlukan kesadaran bersama-
sama untuk mengupayakan perubahan yang sistematis menuju sistem sosial yang
dinamis dengan mendahulukan nilai-nilai teologis dan moral, sehingga adanya
percepatan pembangunan berbasis etika dan moral dan masyarakat yang madani dapat
terwujud.
Merujuk kepada teori kebudayaan, ternyata mentalitas dan pembangunan suatu
masyarakat, berupa gagasan-gagasan konsepsi, identifikasi, persepsi, penafsiran,
klasifikasi yang dimiliki pelaku budaya sebagai sistem mental yang berlandaskan
moral, spiritual dan kultural ketika dipedomani akan mengarahkan perilaku sosial pada
kehidupan yang lebih baik dan sempurna. Pemahaman seperti ini penting diyakini bagi
masyarakat yang ingin membangun kehidupan yang lebih sejahtera, adanya
keseimbangan material dan spiritual, mengingat persoalan agama dan moral sebagai
dasar pembangunan masih minim dilakukan (Nurdin, 2009).
Sejak Islam hadir dimuka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai
agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin. Hal ini tentunya membawa Islam sebagai
34
bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka
bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai akan adanya budaya yang
terdapat pada sekelompok masyarakat, sehingga kehadiran Islam tidak bertentangan,
melainkan Islam sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, Hal ini membuktikan
bagaimana Islam sebagai ajaran yang fleksibel di dalam memahami kondisi kehidupan
suatu masyarakat.
Demikian pula pada kehidupan masyarakat di Indonesia, Islam merupakan hasil
dari proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, yang mampu berkembang dan
menyebar dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Islam bukanlah agama yang
lahir dalam ruang yang hampa budaya. Antara Islam dan realitas, meniscayakan adanya
dialog yang terus berlangsug secara dinamis. Ketika Islam menyebar ke Indonesia,
Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam kehidupan
masyarakat. Antara keduanya meniscayakan adanya dialog yang kreatif dan dinamis,
sehingga Islam dapat diterima sebagai agama baru tanpa harus menghilangkan budaya
lokal yang sudah ada. Budaya lokal yang berwujud dalam tradisi dan adat masyarakat
setempat, tetap dapat dikerjakan tanpa melukai ajaran Islam, sebaliknya Islam tetap
dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni tradisi dalam masyarakat.
Islam mengakui keberadaan adat kebiasaan masyarakat, karena hal itu
merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Islam membiarkan kearifan lokal
yang tidak mengotori akidah Islam agar tetap eksis. Sebagai agama yang wasatiyah
dan ramah budaya, Islam bahkan mengadopsinya untuk melahirkan sintesis budaya
baru (M. Arifin, 2016), namun bukan berarti akomodotifnya Islam lantas menerima
begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada, atau bahkan menghapusnya akan tetapi
memperkaya dan diberi sentuhan nilai Islam di dalamnya.
Pertautan antara budaya lokal tidaklah berarti mengorbankan Islam dan
menempatkan Islam kultural sebagai jenis Islam yang rendahan dan tidak bersesuai
dengan Islam yang murni yang ada berkembang di jazirah Arab, tapi Islam kultural
dapat dilihat sebagai bentuk varian Islam yang sudah berdialektika dengan realitas di
mana Islam berada dan berkembang (N. Widiana, 2015). Islam dan budaya lokal tidak
35
dapat dipisahkan, keduanya saling mendukung dan melengkapi yang terjadinya
akulturasi.
Olehnya, konsep nilai-nilai dan budaya lokal yang menjadi pedoman bagi
perilaku kehidupan dalam masyarakat tentunya nilai-nilai yang bersumber dari ajaran
agama yang bersumber pada al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah saw. Mahmud Syaltut
berpendapat bahwa dalam al-Qur‘an terkandung tiga aspek, yaitu aqidah, syariah dan
akhlak. Pencapaian ketiganya perlu diusahakan melalui empat cara: a) perintah
memperhatikan kondisi alam raya, b) perintah terkait pertumbuhan dan perkembangan
manusia, c) kisah-kisah, serta d) janji dan ancaman duniawi atau ukhrawi (Shihab,
2005). Oleh karenanya, nilai-nilai dan budaya yang hendak diwariskan kepada umat
manusia adalah nilai-nilai dan budaya Islam, yang terangkum dari ketiga aspek di atas
yaitu nilai aqidah, nilai ibadah dan nilai akhlak.
Ketika berbicara aqidah maka unsur yang pertama tentunya terkait tentang Iman
yakni kepercayaan kepada Allah swt, para malaikatNya, para RasulNya, kitabNya, dan
hari akhir. Adapun Islam, yakni bagaimana seorang hamba mengabdikan dirinya hanya
kepada Allah swt dan tidak mempersekutukannya, menjalankan segala perintahNya
dan menjauhi laranganNya, mendirikan ṣalat, puasa dan zakat. Kemudian ada Ihsan,
sebagai bentuk totalitas muslim dalam beribadah kepada Allah swt. Kesemua unsur
aqidah ini merupakan landasan utama Muslim dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah dimuka bumi ini, pengingkaran terhadapnya berarti sebagai bentuk
kemusyrikan.
Adapun syariah merupakan hukum agama Islam yang terdapat dalam Al-
Qur‘an dan hadis, sedangkan akhlak merupakan budi pekerti yang merujuk kepada
Akhlak Rasulullah saw.
Allah swt berfirman dalam QS. Al-Ahzab (33): 21
ر الله ذك ر و الخ م و الي و و الله رج ان ي ن ك م ل ة حسن ة و أس ول الله م في رس ان لك د ك لق
كثير
Terjemah: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allah dan (kedatangan)
36
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Demikian pula pada hadis Asiyah Radiyallahu Anha yang diriwayatkan dari Abu
Huraitah r.a yang menyatakan Sesungguhnya akhlak Rasulullah saw adalah al-Qur‘an.
(HR. Muslim)
Bertolok dari penjelasan tersebut, maka sesungguhnya nilai-nilai dan budaya
yang hendaknya diwariskan kepada seluruh umat manusia khususnya umat Islam
adalah nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam berdasarkan al-Qur‘an dan hadis,
nilai dan budaya inilah yang dikelompokkan kepada nilai dan budaya Islam.
Ketika Islam masuk kedalam bagian budaya lokal, ia akan mempengaruhi budaya
lokal dan akhirnya akan membentuk “tradisi Islam” atau lebih spesifik lagi tradisi Islam
lokal (local Islamic tradition). Menarik untuk dipahami pandangan Muhaimin (2000)
bahwa tradisi Islam sebagai pengetahuan, kebiasaan, praktik ataupun doktrin yang
diwariskan secara turun temurun, dengan cara penyampaiannya baik itu yang datang
dari atau dihubungan dengan atau melahirkan jiwa Islam.
Suatu tradisi atau unsur tradisi dikatakan bersifat islami ketika pelakunya
bermaksud atau mengaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam, karena
ketika merujuk kepada salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang menekankan
pentingnya niat dalam tindakan manusia, dan niat sebagai penentu diterima atau
tidaknya suatu perbuatan. Olehnya jika tindakan tradisi diniatkan karena Allah, maka
nilainya adalah ketaatan kepada-Nya.
Pakar antropologi Robert Redfield, melihat budaya lokal dan Islam menjadi
dua konsep yaitu Great tradition dan little tradition. Menurutnya Great Tradition
dalam sebuah peradaban terbentuk dari sejumlah kecil orang-orang yang reflektif,
sedangkan Little Tradition berasal dari sekian banyak orang yang tidak reflektif. Great
tradition dibentuk di lembaga sekolah berupa Tradisi filsuf, teolog, dan sastrawan
berupa tradisi yang dikembangkan dan diwariskan secara sadar, sehingga kemungkinan
mempunyai kesempatan untuk berkembang.
Teori little tradition terjadi dan bertahan dalam kehidupan komunitas yang
dianggap tak memilki pendidikan dalam kelompok masyarakat pedesaan.; dan
37
tradisinya sebagian besar adalah taken for granted, sehingga tidak mampu berkembang
karena lebih dominan menerima sesuatu yang apa adanya, dan tidak bisa berharap
banyak akan lahir karya-karya kreatif. Dan kondisi inipun tetap berlanjut, karena
dianggap tidak patut diperbaiki ataupun diperbaharui sehingga tidak membutuhkan
penyelidikan secara kritis (Redfield, 1956).
Tradisi besar merujuk pada praktek keberagamaan serta lebih dekat pada tradisi
asal agama tersebut muncul, yang menjadikan Al-Qur‘an, sunnah Rasul dan tradisi
masyarakat Arab sebagai sumber utama hukum Islam dan tradisi kecil sebagai ekspresi
keberagamaan yang berdampingan dengan budaya atau tradisi lokal dimana
masyarakat pemeluk agama tertentu tinggal, keberagamaan yang terjadi perjumpaan
akulturatif dengan tradisi lokal
Menurut Azyumardi Azra (Azra & Abdullah, 2005) istilah Little tradition dalam
perkembangan diskursus kajian Islam cenderung ditinggalkan untuk diganti dengan
istilah tradisi lokal (local tradition) guna menjelaskan Islam yang mengejawantah di
dalam lingkungan masyarakat sosial budaya lokal tertentu. Istilah lain, pakar studi
Islam Komaruddin Hidayat menyebutnya sebagai “local genius” atau “local wisdom”
(K. Hidayat, 2003).
Oleh karenanya, konsep ini dianggap cenderung menjudge yang lain, seperti
kasus dalam Islam, sangat terasa ada bias yang diperlihatkan dalam konsep tersebut.
Jika great tradition dianggap Islam center dan Little tradition disebut Islam pinggiran.
Maka muncul suatu penilaian kembali, siapa yang dianggap sebagai Islam yang murni
dan menjadi pedoman pertama dan yang dianggap Islam yang menyimpang atau tidak
murni yang disebut sinkretik, nominal dan lain sebagainya.
Redfield memang berusaha memperjelas konsep tradisi besar dan tradisi kecil
ini, dengan mengutip pandangan Von Grunebaum (1955) bahwa dalam negara Islam,
Islam secara umum berada pada posisi tradisi besar, sementara tradisi kecil adalah
tempat bagi arus dasar yang lebih merakyat. Tradisi kecil masih diketahui oleh kaum
terpelajar, akan tetapi secara resmi diingkari (Pranomo, B., 2011).
Redfield berusaha menjembatani celah antara sarjana humanistik dan para
38
orientalis di satu pihak dan para antropolog di pihak lain. Sarjana humanistic dan para
orientalis mengkaji suatu tradisi dari “atas”, yakni dengan mempelajari dokumen-
dokumen tertulis dan karya-karya seni segelintir kalangan yang terpelajar dari
peradaban besar. Dilain pihak para antropolog mempelajari tradisi dari “bawah”, yaitu
dengan mempelajari realitas-realitas nyata dalam kehidupan sosiokultural komunitas
kecil. Redfield menyatakan kebanyakan sarjana dapat memahami peradaban yang
mereka pelajari sebagai sesuatu yang asik dan unik, namun selalu mengubah interaksi
antara tradisi besar dan tradisi kecil. Peradaban berisi pemikiran-pemikiran yang
ekspresinya diwujudkan dalam bentuk tindakan dan simbol; peradaban terdiri dari
bagian-bagian atau level-level, masing-masing lebih sering hadir ke tengah
sekelompok orang yang menjalankan peradaban dibandingkan kelompok lain
(Redfield, R., 1956).
Konsep Redfield tentang tradisi besar dan tradisi kecil pada hakekatnya sangat
membantu dalam mendorong para antropolog untuk memaparkan subjek studi mereka
dalam konteks yang lebih luas. Ketika seseoramg antropolog mempelajari masyarakat
primitive yang terisolasi, konteksnya adalah komunitas itu sendiri beserta kebudayaan
lokalnya yang ada kala itu. Akan tetapi, ketika mempelajari masyarakat petani atau
komunitas yang mirip petani serta budaya mereka, konteksnya diperluas hingga
mencakup unsur-unsur tradisi besar yang ada atau yang pernah ada. Dalam interaksi
dengan budaya lokal dan kekinia, karya Redfield memberi peringatan untuk tidak
memperlakukan budaya petani sebagai sesuatu yang otonom.
Maka pembagian tradisi besar dan tradisi kecil juga merupakan sebuah
penyederhanaan yang berlebihan, seperti yang dinyatakan sendiri oleh Redfield, suatu
peradaban memiliki cakupan regional yang luas dan kedalaman historis yang tinggi.
Peradaban adalah “ sebuah keseluruhan dalam ruang dan waktu yang dengan
kompleksitas tatanannya meneguhkan dan mengembangkan tradisinya sendiri dan
mengkomunikasikan itu semua kepada berbagai tradisi kecil lokal yang ada di
dalamnya (Redfield, 1956; Pranomo, 2011).
Kompleksitas tersebut tidak cukup hanya jika digambarkan dengan dikotomi
39
sederhana. Jika menggunakan kerangka ini, seorang peneliti lapangan akan
menghadapi masalah konseptual. Siapa yang termasuk pada tradisi besar dan kecil.
Telah banyak para antropolog yang mengikuti konsep Redfield ini, termasuk
diantaranya Geertz. Walaupun demikian masih banyak ahli yang mengkritisi konsep
ini, karena tidak secara jelas memaparkan siapa yang termasuk kedalam konsep great
tradition dan siapa yang termasuk kedalam little tradition. Jikapun dikatakan yang
termasuk great tradition adalah orang-orang reflektif dan little tradition adalah
sekelompok orang-orang yang tidak reflektif. Pertanyaannya adalah siapakah yang
termasuk dalam kosep reflektif dan orang-orang yang tidak reflektif.?
Sebagian besar sistem keagamaan dan keyakinan, terdapat berbagai macam
sekte atau mazhab pemikiran dan masing-masing memiliki kelompok yang reflektif.
Menganggap seseorang yang reflektif sebagai agen tradisi besar berarti mengabaikan
variasi internal dalam agama. Akan menyesatkan, ketika mengidentifikasikan sekte
atau kelompok tertentu sebagai wakil tradisi besar.
Sebaliknya, dapat ditanandaskan perbaikan sekte-sekte akibat terjadinya
interaksi antara tradisi besar dengan tradisi kecil serta proses saling pinjam dalam
berbagai tingkatan. Dengan demikian, dapat dikatakan masing-masing sekte akan
menciptakan tradisi khasnya sendiri, meski di lain pihak hal ini akan mengaburkan
beragam variasi yang terdapat diantara tradisi-tradisi itu sendiri.
Memang, untuk mempertahankan pendapat Robert Redfield dapat dikatakan,
bahwa dalam sebuah tradisi terdapat elemen-elemen baik dari tradisi besar maupun
tradisi kecil. Muncul permasalahan lain, yaitu kriteria apa yang dapat dipergunakan
untuk menentukan elemen-elemen yang berasal dari tradisi besar dan tradisi kecil, di
sinilah kita diperhadapkan dengan realitas keragaman itu sendiri -baik dalam sekte,
interpretasi atau mazhab pemikiran- yang terdapat dalam sebuah tradisi.
Jika keragaman tersebut diabaikan, muara yang akan dijumpai adalah sebuah
kekeliruan sistematis atau penyederhanaan ala Geertz, dan kesalahan yang sama akan
diulangi oleh antropolog lain yang secara ceroboh menggunakan konsep tradisi besar
dan tradisi kecil. Penggunaan dikotomi selalu berarti menempatkan tradisi- tradisi
40
tertentu lebih superior dari yang lain, penilaian seperti ini sudah tentu bersifat
etnosentris dan menghalangi peneliti untuk memperlakukan tradisi secara obyektif..
Ketika Geertz mengatakan Santri kolot di Jawa sebenarnya bukan bagian terbesar dari
umat Muslim Jawa tetapi yang paling sedikit (Geertz, 1960) sesungguhnya dia sedang
memperkenalkan persepsi yang bias modernism etnosentris. Demikian pula juga dalam
penggunaan kategori Islam murni adalah terpusat pada dunia Arab, dan Islam periferi
(pinggiran) mengacu kepada Islam yang berada di luar wilayah pusat seperti wilayah
Iran, Turki, Melayu, dan juga Indonesia.
Akan lebih masuk akal sekiranya dapat dikelompokkan elemen-elemen
tradisional tertentu ke dalam kategori tradisi yang baru. Jika orang tidak hanya bisa
dikelompokkan menjadi orang kaya dan orang miskin berdasarkan kekayaannya
semata, lalu mengapa dengan tradisi kita menganggapnya sebagai peradaban yang
hanya terdiri dari tradisi besar dan kecil. Segelintir kalangan yang berefleksi belum
tentu serta merta menjadi agen tradisi besar. Mereka bisa jadi justru menciptakan tradisi
baru yang membedakannya dari apa yang secara umum dipandang sebagai tradisi besar
dan tradisi kecil. Pendekatan semacam ini dimungkinkan melahirkan sebuah perspektif
yang lebih luas perihal kehidupan sosio kultural. Oleh karenanya, pada penelitian ini
tidak akan memahami segelintir kalangan yang berefleksi, seperti dikemukakan
Redfield itu semata-mata sebagai mediator antara tradisi besar dan tradisi kecil.
Akan tetapi lebih memandang segelintir kalangan yang berefleksi, para hakim
syara’ dan kelompok perantara lainnya sebagai penciptra tradisi mereka sendiri.
Misalnya sosok seorang Kyai di pulau Jawa adalah pencipta sekaligus agen dari sebuah
tradisi yang khas, tradisi pesantren (Dhofier, 1982). Tradisi pesantren ini berbeda
dengan tradisi kecil di Jawa dan juga tradisi besar Islam di luar Jawa dan Indonesia.
Pesantren adalah sebuah contoh konkret dari sebuah tradisi yang khas, yang terletak
diantara tradisi besar dan tradisi kecil (Pranowo, 2011).
Sebuah peradaban terdapat ruang yang begitu luas bagi tradisi-tradisi yang
khas, beragam variasi yang tidak dapat terwakilkan oleh dikotomi segelintir kalangan
yang berefleksi dan sejumlah kalangan yang tidak berefleksi semata, antara yang
41
terpelajar dengan yang tidak terpelajar. Tradisi tidak dimonopoli oleh mereka yang
terpelajar saja, sementara yang tidak terpelajar hanya partisipan pasif dan hanya
berindak menurut pendapat dan inisiatif yang terpelajar.
Peneliti sejalan dengan pandangan (Pranowo, 2011) untuk memahami tradisi
sebagai ‘sesuatu yang diciptakan’ sekaligus ‘sesuatu yang diwariskan dari masa lalu’,
karena dapat didekatkan dengan modernisasi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai
fenomena yang berada dalam tatanan yang sama, sehingga hal ini memungkinkan
untuk mengakui bahwa dalam pola-pola tradisional -adat istiadat, kepercayaan,
praktik- ditemukan sesuatu yang berfaedah yang dapat diterapkan pada masa sekarang.
Selain itu, ketika masyarakat menganggap aspek-aspek tertentu dari kehidupan
sosial dan budaya mereka layak diwariskan ke generasi yang akan datang, dapat
dipastikan aspek-aspek itu akan dihadirkan. Diwariskan atau bahkan ‘direkayasa
sebagai tradisi yang diciptakan”, dengan mengelompokkan elemen-elemen tradisional
tertentu kedalam kategori tradisi yang khas, karena suatu tradisi yang mandiri tidak
dapat lagi diukur dengan konsep tradisi besar ataupun kecil.
Mengingat segelintir orang berefleksi belum tentu menjadi agen besar tradisi
besar seperti konsep Redfield, bahkan bisajadi mereka membentuk tradisinya sendiri
yang baru, berbeda dengan konsep tradisi besar ataupun kecil. Olehnya akan di
temukan dalam sebuah peradaban terdapat ruang yang begitu luas terhadap tradisi-
tradisi yang khas, yang bukan perwakilan antara kaum yang terpelajar ataupun yang
tidak terpelajar.
Kajian yang menempatkan masyarakat lokal dalam merespon agama atau
pengaruh budaya lokal terhadap pemahaman keagamaan sebagai fokus pembahasan,
dan menggunakan konsep sinkretik misalnya saja Gertz (Geertz. C., 2013) dengan
topik Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Geertz menggambarkan bahwa
komunitas masyarakat Jawa mempunyai agama lokal yang terbagi pada tiga konsep
yaitu kaum abangan yang tinggal di wilayah pedesaan Jawa yang masih meyakini
kekuatan gaib dan ritualnya serta kepercayaan numerology. Santri yaitu kelompok
yang penghuninya berpusat di pasar, yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang
42
kokoh terhadap Islam, dan terbagi menjadi kaum modernis yaitu Muhammadiyah dan
NU. Priyayi, wong alusan yang tinggal di kota, memiliki tradisi, kepercayaan dan
ritualnya masih dipengaruhi Hindu dan Budha.
Berbagai macam kajian tentang Islam di Indoensia merujuk pada penelitian
Geertz, ada yang mendukung ada pula yang menolak. Asumsi bagi yang mendukung
menganggap Islam di Jawa adalah sinkretik. Agama Jawa yang kelihatannya Islam dari
penampakan luar namun sebenarnya agama sinkretis karena berpadu antara budaya
Islam, Hindu dan Budha. Beatty (1994) adalah salah satu pendukung Gesrtz
menyatakan bahwa selametan merupakan bentuk sinkretisme antara persinggungan
Islam dengan beberapa keyakinan lokal, sesuai yang dipaparkannya dalam tulisannya
yang berjudul Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan.
Kajian Mulder (1999: 3-18) dengan konsep barunya Islam lokalitas.
Sinkretisme menurutnya adalah perpaduan antara Islam dan budaya yang tidak
diketahui yang mana dominan, sedangkan konsep lokalitas dapat diketahui mana yang
dominan. Konsep lokalitas selalu terjadi suatu unsur yang beradaptasi, dimana Islam
yang menyesuaikan dengan unsur lokal yang sesuai, sehingga yang nampak unsur
lokalnya bukan agama Islam. Olehnya membentuk agama lokal Jawa, walaupun
penampakannya dari luar adalah Islam
Penelitian lain yang bersifat sinkretik adalah kajian yang dilakukan oleh Alfani
Daud (1997) yang menganalisis Islam lokal di pulau Kalimantan. Beliau membagi tiga
varian perilaku sosial keagamaan masyarakat Banjar yaitu kepercayaan bubuhan,
kepercayaan Islam, dan kepercayaan lingkungan.
Kepercayaan bubuhan adalah masyarakat yang masih memiliki keterikatan
dengan masa lampau, pada masa sultan-sultan dan sebelumnya. Kepercayaan Islam
identik dengan varian santri (dalam kerangka berpikir Geertz). Kelompok ini berisikan
para ulama, yang berusaha menjadi muslim yang kaffah dengan menjalankan ajaran
Islam secara asli dan murni, menjauhkan diri dari pengaruh dan dampak yang tidak
diakui oleh Islam, sedangkan kepercayaan Lingkungan merupakan penganut dan
keyakinan bahwa alam memiliki penghuni makhluk halus, yang terdapat di hutan
43
ataupun gunung.
Sedikit berbeda dengan kajian etnografi tentang tradisi Islam lokal pesisiran
yang dilakukan oleh Syam (2005), menjelaskan bahwa proses transformasi adalah
bagaimana masyarakat pesisir melakukan berbagai upacara, yang hakekatnya
bertumpu pada medan budaya Makam, Sumur dan Masjid. Medan dapat
mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan sosio religius dan menjadi
medan interaksi sebagai wadah untuk transformasi, legimitasi dan habitualisasi.
Teori Nur Syam seyogyanya dapat menjadi acuan pada penelitian ini, di mana
masyarakat Misool lebih cenderung belajar Islam melalui budaya dan tradisi yang telah
dilaksanakan secara turun temurun. Terlebih lagi dengan melihat locus penelitiannya
kepada sisi geografis wilayah Pesisir. Terkait dengan teori Islam kolaboratif, masih
perlu dikaji keabsahan teorinya pada masyarakat Misool, mengingat konteks
kolaboratifnya tidak ditemukan dengan kondisi penggolongan sosial akan tetapi karena
masih berada pada konteks budaya lokal mereka, tradisi yang telah dilaksanakan secara
turun temurun, yang masih beraksentuasi kepada Islam tradisional, bahkan sulitnya
menerima tradisi modern.
Demikian pula dengan M. Yusuf Wibisono (Wibisono, 2013) dalam
disertasinya menggambarkan perbedaan karakter khsusus yang dianut Islam Pesisir
Patimban. Karakter tersebut terlihat dari keberagamaan mereka yang tidak terlepas dari
konteks lokalitasnya. Hal ini membantahkan teori yang dilahirkan oleh Geertz terkait
Islam sinkritis, Woodward. R.M., (1999) dengan Islam Akulturatifnya bahkan terhadap
tipe Islam Kolaboratif versi Nur Syam. Yusuf menghadirkan Islam Kompromi yang
menjadi kombinasi dari ketiga tipologi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tradisi
keberagamaan merupakam hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki
keunikan tersendiri yang tidak bercorak genuin Islam dan juga bukan tradisi lokal
(kejawen) murni.
Problema lain yang bersinggungan antara hubungan Islam dengan budaya lokal
adalah penentuan kemurnian akan agama Islam. Terdapat beberapa penelitian yang
44
dianalisis oleh Nur Syam (2005), Mudjahirin Thohir (2006), dan Bambang Pranowo
(Pranowo, 2011) mencoba untuk membuktikan kemurnian Islam yang hidup dalam
ranah lokal, dan sekaligus mengkritisi, merevisi kekeliruan kajian Geertz dan para
pendukungnya.
Nur Syam (Syam, 2005) memilih Kecamatan Palang, yang berada di wilayah
pesisir utara Tuban, sebagai objek penelitiannya. yang menemukan tiga varian di yaitu
varian Abangan, NU, dan Muhammadiyah, dan menghasilkan teori Islam Kolaboratif.
Kajian Mudjahirin Thohir (Thohir, 2006) yang meneliti di Bangsri Jepara (Jawa
Tengah), menghasilkan dua varian inti yakni santri (kaum) dan non-santri (nasional).
Kaum santri merupakan orang yang background pemikirannya NU (Nahdlatul Ulama),
Muhammadiyah, dan Syi‘ah; sedangkan varian non santri mereka yang tidak tergolong
kategori varian kaum santri.
Kajian Bambang Pranowo (Pranowo, 2009) kajiannya berpusat pada
masyarakat Tegalroso, Magelang (Jawa Tengah) yang berprofesi sebagai petani. Dan
menunjukkan fenomena Islam murni dengan adanya praktik sufistik pengaruh dari
Pesantren Tegalrejo Sebagai pesantren tasawuf, pesantren ini menjadi pelopor
kegiatan-kegiatan kultural dan religius dan tergabung dalam tradisi lokal seperti
Senenan, khataman, pengajian dan mujahadah.
Bertolok dari kajian di atas, sangatlah jelas bahwa Islam yang “murni” hasil
dari kajian beberapa peneliti sesungguhnya bukanlah makna “murni” sebagaimana
dalam konsep Islam Great Tradition dalam penjelasan sebelumnya, melainkan sebuah
perpaduan antara budaya lokal dan Islam. Bahkan, bagi kalangan kelompok Islam
“murni” yang di maksud pada penelitian tersebut masih meninggalkan konflik
meskipun dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yang menampakkan bahwa persoalan
“kemurnian” akan tetap meninggalkan berbagai permasalahan dan perdebatan.
Melihat konsep budaya lokal dan persinggungannya dengan Islam di wilayah
pulau Misool ketika merujuk kepada konsep teori tradisi besar dan tradisi kecil Robert
Redfield, diasumsikan akan memperoleh konsep baru yang sesuai dengan kultur
budaya dan wilayah kepulauan Misool itu sendiri, apakah identik dengan Islam
45
Sinkretik atau Islam murni, atau menggunakan konsep tradisi pengertian yang lebih
luas.
C. Sistem Transmisi
Proses transmisi atau pewarisan dari generasi sebelumnya adalah langkah yang
paling mudah untuk tetap melestarikan sebuah kebudayaan. Fortes mengungkapkan
bahwa transmisi adalah proses belajar dengan meniru orang yang lebih tua dan
mengidentifikasikan diri dengan berperan serta dalam kegiatan sehari-hari
(Koentjaraningrat, 2015a). Transmisi merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan keberlangsungan sebuah pendidikan dan kebudayaan, tidak hanya
bentuk budaya, melainkan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Proses ini
terjadi secara alamiah sebab terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa paksaan.
Melalui internalisasi dan pewarisan budaya, pendidikan berfungsi sebagai
sosialisasi dari kebudayaan pada setiap individu, yang saling berhubungan dengan
nilai-nilai pada masyarakat setempat dan memelihara interaksi antar masyarakat,
sehingga terbentuk kemajuan peradaban. Pendidikan berperan sebagai agen
pembelajaran dari nilai-nilai suatu budaya. Suatu kebudayaan dapat kekal jika
kemampuan bekerja dan daya cipta yang kuat dalam memberikan petunjuk dan
bimbingan para pendukungnya. Olehnya kebudayaan diwariskan kepada generasi
penerus melalui proses pembelajaran nilai-nilai dan cara bersikap. Bukan hanya
sekedar diturunkan dari orang tua ke anak-anaknya, tetapi juga pada proses interaksi
antara pribadi dengan kebudayaan, karena setiap pribadi bukan agen yang pasif, tetapi
agen yang kreatif..
Menurut Piere Bourdieu dan Jean Claude (Bourdieu & Jean Claude Passeron,
1990), sistem pendidikan mengesahkan transmisi kekuasaan dari generasi satu ke
generasi lainnya, karena salah satu fungsi pendidikan adalah transmisi budaya. Melalui
pendidikan suatu budaya dapat ditransmisikan kepada generasi mudanya. Demikian
pula kebudayaan dalam sistem keberadaannya tidak diperoleh dengan cara instant akan
tetapi melalui proses belajar yang panjang. Proses belajar yang tidak hanya diterima
46
dalam proses pewarisan dan transmisi pada lingkungan keluarga dan lembaga
pendidikan sekolah saja, akan tetapi melalui interaksi dengan lingkungan alam dan
sosial dalam kehidupan masyarakat.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam
arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Pada konteks
kebudayaan justru “pendidikan” memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-
nilai budaya. Olehnya, pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses
pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki, kebudayaan
bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para
pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya
lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku, sehingga secara wujudnya,
substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-
anggotanya (Zulfah, 2011).
Konsep transmisi budaya telah digunakan oleh Cavalli-Sforza dan Feldman
pada tahun 1991 untuk membandingkan gagasan mengenai transmisi biologis atau
genetik, melalui mekanisme genetik, ciri-ciri tertentu dari suatu populasi diabadikan
dari waktu ke waktu lintas generasi. Adanya kelompok budaya dapat terus-menerus
menghidupkan ciri-ciri tingkah laku di antara generasi berikutnya menggunakan
mekanisme belajar-mengajar. Transmisi budaya dari orang tua ke keturunannya disebut
transmisi vertikal oleh Cavalli-Sforza dan Feldman, karena melibatkan turunnya
karakteristik suatu budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Sementara transmisi
vertikal adalah satu-satunya bentuk transmisi biologis, sedangkan terdapat dua bentuk
transmisi budaya lainnya, yaitu melalui garis horisontal dan serong/oblique (J.W.
Berry, 2002).
Berry melengkapi konsepnya dengan beragumen bahwa nilai-nilai hidup,
tradisi budaya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu maupun
kelompok. Faktor internal individu dilihat dari faktor jenis kelamin, usia, pendidikan,
dan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Pendidikan sangat mempengaruhi nilai
budaya dari masyarakat, menurut pandangan Prince-Gibson & Schwartz, (1998) dari
47
hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pendidikan memiliki hubungan timbal balik
yang positif dengan nilai pengembangan diri sendiri dan nilai stimulasi serta
berkorelasi negatif dengan nilai kerahasiaan dan nilai tradisional (J.W. Berry, 2002).
Jenis kelamin berpengaruh dalam pembentukan nilai-nilai budaya, orang
dengan jenis kelamin laki-laki maka tipe nilai-nilai yang dimilikinya dominan kepada
nlai kekuatan, nilai prestasi, nilai stimulasi nilai hedonisme sedangkan pada
perempuan, lebih dominan pada nilai-nilai kebajikan, dan nilai keamanan. Dan
seseorang yang berusia muda akan menunjukkan nilai keterbukaan yang lebih besar
dibandingkan yang usianya lebih tua (J.W. Berry, 2002)
Faktor eksternal meliputi proses transmisi yaitu proses pada suatu budaya yang
mengajarkan pembawaan perilaku yang sesuai kepada para anggotanya. Transmisi
budaya terbagi menjadi tiga berdasarkan sumbernya, yaitu: Vertical Transmisi
(orangtua), Oblique Transmisi (orang dewasa atau lembaga lain) dan Horizontal
Transmission (teman sebaya) (Cavalli-Sforza dan Feldman dalam Berry, 1999).(J.W.
Berry, 2002)
Transmisi pendidikan dan budaya, dapat berasal dari budaya sendiri maupun
berasal dari budaya lain, yang akan terjadinya proses enkulturasi
(pembudayaan/pewarisan), sosialisasi (sosialisasi/pemasyarakatan), pendidikan
(pendidikan), dan lembaga persekolahan (persekolahan). Menurut Fortes dalam
Tilaar, (2002) proses transmisi dapat terjadi melalui proses imitasi, identifikasi dan
sosialisasi, dan akulturasi serta resosialisasi (J.W. Berry, 2002).
48
Gambar : 3
Teori Transmisi budaya Berry
Pada proses Transmisi vertikal terjadinya proses enkulturasi dan sosialisasi
khusus dalam kehidupan sehari-hari dari orang yang lebih tua/ orangtua, seperti pola
asuh. Orangtua mentransmisikan nilai, motif budaya, keyakinan, keterampilan,
keyakinan dan banyak hal kepada generasi mereka. Misalnya seorang anak dapat rajin
ṣalat karena melihat orang tuanya, sedangkan transmisi oblique dapat terjadi
enkulturasi yang berasal dari kebudayaan sendiri dan yang berasal dari kebudayaan
yang berbeda.
Transmisi horizontal adalah proses enkulturasi dan sosialisasi pemindahan nilai
melalui teman sebaya, misalnya dari teman sebaya yang sebudaya. Dan terbentuk
melalui proses akulturasi dan resosialisasi khusus apabila terjadi interaksi dengan yang
berasal dari luar budaya setempat, yaitu interaksi seseorang dengan teman sebaya yang
berasal dari suku lain (J.W. Berry, 2002).
49
Enkulturasi merupakan proses dimana suatu kelompok memasukkan individu
ke dalam budayanya sehingga memungkinkan individu membawa perilaku sesuai
harapan budaya. Enkulturasi menurut Henskovits berasal dari aspek-aspek dari
pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari
makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya (Manan,
1989).
Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung selama hidup, tetapi
proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan
seseorang. Enkulturasi bisa jadi dilakukan secara paksa selama awal masa usia dini,
tetapi ketika anak-anak bertambah dewasa, mereka akan belajar secara lebih sadar
untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya.
Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang
diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya
masyarakatnya.
Enkultrasi dan sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi memiliki kesamaan.
Meskipun caranya berbeda, tetapi tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia
menjadi dewasa. Sosialisasi menurut Zaitun, (2015) merupakan suatu proses
penyesuaian diri individu memasuki dunia sosial, sehingga individu dapat berprilaku
sesuai dengan standar pada masyarakat tertentu dan dapat diterima dalam kehidupan.
Proses sosialisasi seorang individu berlangsung sejak kecil. Mula-mula
mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan
terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau teman sepermainan
yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan masyarakat luas.
Kesamaan konsep sosialisasi dan enkulturasi dapat terlihat dari pernyataan Herkovits
yang mengatakan bahwa sosialisasi merupakan proses integrasi individu dalam sebuah
kelompok sosial, sedangkan enkulturasi merupakan proses yang menjadikan individu
menerima kompetensi dalam kebudayaan sosial masyarakat,
Akulturasi adanya perubahan suatu budaya dan psikologis yang disebabkan
adanya pertemuan dengan orang berbudaya lain dan memperlihatkan perilaku yang
50
berbeda, sedangkan proses Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar, yang dapat
diterima melalui lingkungan keluarga dan semakin luas terhadap lingkungan
masyarakat lokal.
Transmisi unsur yang tidak dapat berjalan dengan sendirinya tanpa ada aktor
dan manipulator yaitu manusia, sehingga unsur yang ada perlu diidentifikasi. Proses
identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu
sendiri, selanjutnya, nilai-nilai atau unsur-unsur budaya yang ada haruslah
disosialisasikan yang diwujudkan dalam kehidupan nyata di lingkungan yang semakin
lama semakin meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan
pengakuan lingkungan sekitarnya. Artinya kelakuan tersebut harus mendapatkan
pengakuan sosial yang berarti bahwa kelakuan yang dimiliki tersebut adalah sesuai atau
seimbang dengan nilai yang ada di dalam lingkungannya (Tilaar, 2002).
Menurut Fortes (Tilaar, 2002) bahwa variable transmisi kebudayaan, harus
memperhatikan tiga hal yaitu unsur yang ditransmisi, proses transmisi dan cara
transmisi. Proses transmisi kebudayaan adalah proses pendidikan. Adapun unsur yang
ditransmisi adalah ajaran Islam, nilai-nilai Islam, adat istiadat masyarakat, pandangan
mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya. Proses transmisi meliputi imitasi,
identifikasi dan sosialisasi, dan cara transmisi berupa peran serta dan bimbingan.
Disinilah bagaimana fungsi peran serta dan bimbingan yang diberikan oleh transmitter
dalam mewariskan nilai-nilai Islam.
Jika mengacu pada penelitian Fortes pada suku Tallensi di Taleland, Ghana
Utara, tentang transmisi kebudayaan pendidikan pada umumnya, yaitu: Pertama:
Unsur-unsur yang menyangkut proses fisiologi, refleks, gerak, reaksi, penyesuaian
fisik yang diperlukan untuk dapat bertahan dalam masyarakat dan kebudayaan Tallensi.
Kedua: Sikap psikologis serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud yang sama.
Ketiga: Berbagai adat istiadat sosial, yang perlu untuk dapat berinteraksi dalam
masyarakat Tallensi. Keempat: Berbagai konsep nilai budaya, adat istiadat, dan
pandangan umum dalam kebudayaan Tallensi. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa
proses transmisi kebudayaan masyarakat Tallensi adalah proses belajar dengan meniru
51
orang yang lebih tua (Koentjaraningrat, 2015a).
Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Koentjaraningrat berpendapat bahwa
konsep terpenting mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat terbagi
menjadi tiga yaitu internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi adalah
proses panjang sejak seseorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal,
Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu,
dan emosi yang diperlukan sepanjang hayat.(Koentjaraningrat, 2015b)
Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan
dengan sistem sosial. Proses tersebut, seorang individu dari masa anak-anak hingga
masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu
sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada
dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 2015a). Isi proses sosialisasi adalah
tradisi masyarakat itu sendiri, dan yang meneruskan pada generasi berikutnya adalah
keluarga. Proses sosialisasi keterampilan diantara anggota keluarga, dan anggota
masyarakat dilakukan baik secara horisontal (dalam satu generasi yang sama) maupun
secara vertikal (antar generasi satu ke generasi berikutnya) (Juhadi,1995).
Proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan
menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan
yang hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam
alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang-orang di dalam lingkunga
keluarganya, kemudian dari temanteman bermain. Seringkali ia belajar dengan meniru
berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan
tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiaanya (Koentjaraningrat, 2015b).
Demikian pula internalisasi dari sistem, pengetahuan,, dimana proses belajar
menurut kebudayaan tidak hanya diperoleh melalui transmisi di lingkungan sekolah
dan, keluarga melainkan juga hasil interaksi manusia dengan lingkungan alam dan
sosial. alam konteks kebudayaan.
52
D. Pendidikan Agama Islam: Transmisi Ajaran Islam
Sejak kehadiran Islam lima belas abad yang lalu, telah memandang bahwa
pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang sangat strategis. Keberhasilan
dalam investasi pendidikan akan menentukan keberhasilan dalam pendidikan yang
lain. Perhatian ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti :
Pertama, Islam memandang pendidikan sebagai intrumen untuk membangun
kebudayaan dan peradaban, yaitu membangun daya cipta, rasa, dan karsa atau
membangun aspek fisik seperti pancaindra, akal pikiran, hati dan nurani secara
seimbang dan integrasi, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang bersumber pada
Aluran dan sunna, sejarah, filsafat dan hasil renungan hati nurani yang mendalam
(Nata, 2016).
Menurut Nata, (2016) melalui kebudayaan akan dihasilkan nilai-nilai (values)
seperti etos kerja, disiplin, terbuka, berorientasi pada mutu, berbasis pada riset,
rasional, progresif, dinamis, kreatif, inovatif dan sebagainya. Nilai-nilai ini selanjutnya
akan menjadi cetak biru (blue print), referensi, sumber inspirasi, kerangka kognitif dan
acuan yang mendorong terjadinya berbagai aktivitas yang melahirkan karya inovatif,
baik yang bersifat fisik maupun non fisik yang produknya berupa ilmu pengetahuan,
filsafat, karya seni, teknologi dan sebagainya yang dikenal sebagai peradaban, sehingga
pendidikan benar-benar telah tampil sebagai investasi yang menggerakkan terjadinya
kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Kedua, secara normatif, teologis, filosofis, historis dan sosilogis, Islam
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Secara normatif, di
dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt dan rasul-Nya
memperkenalkan dirinya sebagai pendidik (ar-rabb) dan sebagai pengajar (al-alim dan
almu'allimin). Selain itu dalam al-Qur'an dan hadis terdapat istilah-istilah atau
nomenklatur yang berkaitan dengan pendidikan seperti at-tarbiyah, at-ta'lim at-tadris,
al-mau'idzah, at-tazkiyah, at-ta'dib, at-tafaqquh, at tazkirah, al-irsyad, at-tilawah, at-
talqin dan at-tabyin. Masing-masing istilah tersebut bukan hanya dalam bentuk tulisan,
akan tetapi telah dipraktekkan dalam sejarah. Bahkan maknanya lebih dalam dari
53
istilah pendidikan di luar Islam seperti education, teaching, learning, instruction dan
training. Hal tersebut karena istilah pendidikan dalam Islam berbasis pada prinsip
tauhid yang memandang adanya kesatuan antara ayat qauliyah, ayat kauniyah, ayat
insaniyah, ayat qalbiyah, ayat jadaliyah, ayat irfaniyah dan ayat ruhaniyah (Nata,
2016).
Secara teologis, Islam memandang bahwa melaksanakan pendidikan
merupakan bagian dari tugas Ilahiyah atau kewajiban yang harus dilaksanakan yang
dapat berakibat dosa apabila tidak dilaksanakan. Dasar teologis inilah yang kemudian
menggerakkan pendidikan Islam mulai dari tingkat kota sampai daerah terpencil, baik
dalam keadaan normal maupun tidak. Secara filosofis terdapat sejumlah gagasan dan
pemikiran yang mendalam, sistematis, radikal, dan universal tentang berbagai aspek
yang terkait dengan pendidikan, terutama dengan asas-asas dan prinsip-prinsip
pendidikan, serta konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam, ilmu
pengetahuan, etika dan sebagainya.
Konsep tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar bagi perumusan konsep
pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga
pendidik dan kependidikan, pengelolaan, pembiayaan, sarana dan prasarana dan
sebagainya. Menurut Abuddin Nata (Nata, 2012, 2016) pertimbangan filosofis ini
masih tampak kurang mendapat perhatian yang sewajarnya karena filsafat masih belum
mendapatkan apresiasi yang sewajarnya.
Kemudian secara historis Islam sebagai pelopor pendidikan yang holistik,
universal, emansipatoris dan humanis yang hasilnya dapat dilihat dalam sejarah
sebagaimana yang terjadi di zaman klasik. Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam
telah melaksanakan pendidikan mulai dari tingkat usia dini hingga perguruan tinggi,
dari hadirnya lembaga pendidikan, bermunculannya tokoh ilmuwan muslim serta
karya-karyanya (Nata, 2012; Nata 2016).
Secara sosiologis pendidikan Islam yang dilaksanakan telah menerapkan
pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu berbagai lembaga pendidikan Islam
dengan aneka ragam jenis dan tingkatannya yang didirikan oleh masyarakat, untuk
54
masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan
karakter ajaran Islam yang berbasis kerakyatan sebagai bagian dari ibadah sosial. Islam
mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya milik kaum elit atau monopoli
kelompok sosial tertentu, tetapi telah menjadi kewajiban kaum muslim, dengan prinsip
dasar bahwa education for all, minal mahdi ila lahd melaksanakan pendidikan.
Hal tersebut dilakukan karena secara sosiologis Islam memandang bahwa
pendidkan merupakan sarana bagi terjadinya proses mobilitas horizontal dan vertikal,
yakni selain akan membuka akses atau peluang yang lebih luas, juga akan
meningkatkan status sosial, ekonomi dan lainnya bagi masyarakat. Melalui pendidikan,
mereka yang semula berasal dari kalangan masyarakat akar rumput atau kelompok
marginal dari pedesaan dapat menjadi warga masyarakat pada tingkat lokal, nasional
maupun internasional (Nata, 2013).
Bertolok dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam
memandang pendidikan sebagai instrumen yang paling strategis untuk membangun
kebudayaan dan peradaban yang komprehensif, mendalam dan seimbang, fisik
pancaindra akal, hati dan rohani..
Khazanah dalam Islam, mengistilahkan pendidikan dengan istilah tarbiyah,
ta'dib dan ta‘lim (Fajar, 1999; Kholiq, 2015; Muhaimin., 2012). Asal kata tarbiyah
berasal dari kata rabba yang berarti memelihara , mendidik, dan mengasuh (Achmadi,
2004; Daradjat, 2006; Kholiq, 2015). Istilah ta‘lim merupakan masdar dari kata 'allama
yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengetahuan dan
keterampilan (Achmadi, 2004; Kholiq, 2015; Ramayulis, 2008), sedangkan istilah
ta'dib diartikan dengan adab, budi pekerti, etika, moral, tata krama, sopan santun, tata
karma, adab, budi pekerti, moral, etika dan akhlak (Kholiq, 2015; Nata, 2010).
Merujuk kepada ketiga term tersebut, hakekatnya kata tarbiyah lebih luas
cakupannya dalam melihat hakekat pendidikan, karena di dalamnya mencakup
pemeliharaan, bimbingan, arahan dan penjagaan serta pembentukan kepribadian.
Menurut Ahmad Fuad al Ahwany term tarbiyah mengandung makna pewarisan
peradaban dari satu kepada generasi yang lain.(al-Ahwaniy, t.t), sedangkan
55
Muhammad al-Abrasy berpendapat bahwa al-tarbiyah bermakna kemajuan yang terus
menerus yang menjadikan seseorang dapat hidup dengan ilmu pengetahuan berakhlak
mulia, dan akal cerdas, sehingga dapat dikatakan bahwa Pendidikan Islam (trabiyah)
adalah proses pewarisan nilai-nilai dan budaya, dalam membentuk manusia yang
seutuhnya.
Pendidikan agama Islam, merupakan upaya untuk membimbing dan mendidik
semua aspek (potensi) yang ada pada manusia secara optimal secara hakekat (N.
Hidayat, 2015; Rohman, 2009). Menurut beberapa ahli diantaramya: Pertama, menurut
Syekh Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan adalah usaha menanamkan akhlak terpuji
dalam individu peserta didik yang dibarengi dengan petunjuk dan nasehat, sehingga
menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta
belajar yang berguna bagi tanah air. Kedua, menurut Ahmadi, pendidikan agama Islam
adalah segala upaya untuk menjaga fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan
norma Islam.
Ketiga, menurut Muhaimin., (2012) adalah upaya mendidikkan agama Islam
atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap
hidup) seseorang. Kondisi ini dapat berwujud kepada segenap kegiatan yang dilakukan
seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan
dan atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan
sebagai pandangan hidupnya yang diwujudkan dalan sikap hidup dan dikembangan
dalam kehidupan sehari-hari. Atau kepada segenap fenomena atau peristiwa
perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan atau
tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa
pihak.
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan agama Islam usaha
mendidik jasmanai dan rohani peserta didik agar terbentuknya kepribadian yang
utama berdasarkan pada hukum-hukum Islam (N. Hidayat, 2015; Ismail, 2008). Secara
sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan berdasarkan nilai–nilai ajaran Islam
56
yang terdapat dalam al-Qur‘an dan al-Hadis dalam pemikiran para ulama dan dalam
praktik sejarah umat Islam.
Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, menurut Syamsul Nizar (2013) merujuk
kepada tiga sumber, yaitu dari Al-Qur‘an, Sunnah dan Ijtihad, sedangkan tujuan
Pendidikan Islam dalam Al-Qur‘an menurut Muhammad Dahil al Jamaly adalah a)
untuk menerangkan posisi anak didik dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini
sebagai manusia; b) menjelakan posisinya sebagai makhluk sosial di masyarakat; c)
penjaga alam semesta dan hubungannya dengan Allah swt sebagai pencipta alam
semesta ini.
Olehnya tujuan pendidikan Islam sama luasnya dengan kebutuhan hidup
manusia modern masa kini dan masa yang akan datang, di mana manusia tidak hanya
memerlukan iman atau agama melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia sebagai sarana untuk mencapai
kehidupan spiritual yang bahagia di akhirat. Tentu pedoman hidup ini bukan berisi
materi bagaimana caranya bertahan hidup (aspek materi/ekonomi), tapi pedoman hidup
disini adalah bagaimana cara menghadapi kehidupan (aspek efeksi/semangat Ilahiah)
(Muhaimin., 2012; Suradi, 2017).
Hakekat Pendidikan Agama Islam konsep dasarnya dapat dipahami dan
dianalisis serta dikembangkan dari al-Qur‘an dan al-Hadis, konsep operasionalnya
dapat dipahami, dianalisis, dan dikembangkan dari proses pemberdayaan pewarisan
dan pengembangan ajaran-ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari segi
generasi ke generasi, sedangkan secara praktis dapat dipahami, dianalisis dan
dikembangkan dari proses pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi muslim
pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam (Suradi, 2017).
Pendidikan Agama Islam tidak hanya mengantarkan manusia untuk menguasai
berbagai ajaran yang ada pada Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia
dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Terintegrasinya
keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotornya (Suradi,
2017), serta perilaku yang didasarkan dan digerakkan pada keimanan dan komitmen
57
tinggi terhadap ajaran agama Islam itu sendiri (Roqib, 2009).
Tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi
Muhammad SAW. dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan
agama Islam. Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan,
dengan terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia maka akan terciptalah kultur
islami dalam sebuah masyarakat tugas pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari
tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah; pendekatan Islam sebagai
pengembang potensi, proses pewarisan budaya, serta interaksi antara potensi dan
budaya (Saminan, 2015). Sebagai pewarisan budaya, tugas pendidikan Islam adalah
alat transmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya,
sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman.
Pendidikan Islam diakui selain sebagai lembaga eksplisit dan mata pelajaran
wajib juga diakui sebagai nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan (Daulay, 2009).
Pendidikan sangat erat dengan ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan
hasil pembelajaran manusia dengan alam, merupakan hasil interaksi manusia dalam
kehidupan, yang melalui proses belajar secara terus menerus tiada henti, sejak manusia
masih dalam buaian hingga ajal menjemput.
Melalui internalisasi dan pewarisan budaya, pendidikan berfungsi sebagai
sosialisasi kebudayaan pada setiap individu, saling berhubungan dengan nilai- nilai
pada masyarakat dilingkungan sekitarnya dan memelihara interaksi antar masyarakat
sehingga terbentuk kemajuan peradaban. Pendidikan berperan sebagai agen
pembelajaran nilai-nilai budaya. Suatu kebudayaan dapat kekal jika kemampuan
bekerja dan daya cipta yang kuat dalam memberikan petunjuk dan bimbingan para
pendukungnya. Olehnya kebudayaan diwariskan kepada generasi penerus melalui
proses pembelajaran nilai-nilai dan cara bersikap. Bukan hanya sekedar diturunkan dari
orang tua ke anak-anaknya, tetapi juga pada proses hubungan timbal balik antara
pribadi dengan kebudayaan, karena setiap pribadi bukan agen yang pasif, tetapi agen
yang kreatif.
58
Rasulullah saw bersabda
ها و حتي الحوتز ليصلون هل السموات والارض حتي النملة في جحر ان الله وملائكته و ا. غلي معل م الناس الخير
Artinya : “Sesungguhnya Allah dan para malaikat, serta semua makhluk di langit dan bumi, sampai semua dalam lubangnya dan ikan (dilautan) benar-benar bershalawat/ mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia. (HR. at Tirmdizi No 2685).
Hadis ini menunjukkan betapa besarnya keutamaan seseorang mempelajari ilmu
agama yang bersumber dari al-Qur‘an dan hadis kemudian menyebarkannya/
mengajarkannya kembali kepada umat manusia. Hadis ini seacra tersirat menunjukkan
adanya proses transmisi, pewarisan, penyebaran ilmu kepada khalayak umum
Selayaknya pendidikan agama adalah media untuk perubahan terwujudnya
pribadi muslim/ah yang merefleksikan nilai-nilai Islam dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan Agama Islam menitikberatkan pada proses perwujudan masyarakat yang
islami, melalui internalisasi nilai-nilai keislaman (Kholiq, 2015), karena dalam
pendidikan agama meliputi proses pembelajaran, pembiasaan, pembudayaan,
pelatihan, penjernihan dan pencerahan nilai-nilai yang religius dalam mengembangkan
fitrah kemanusiaan menuju kedewasaan. Selain itu pula kegiatan pendidikannyapun
perlu mempertimbangkan potensi dan kultur lokal, karena produk yang diharapkan
adalah generasi muslim yang berakhlak mulia, mampu menjaga keseimbangan antara
hubungan dengan Tuhan (hablun min Allāh), hubungan dengan manusia (ḥablun min
al-nās) dan hubungan dengan alam (ḥablun min al-‘ālam) (Zulfah, 2011).
Melalui pendidikan suatu budaya dapat ditransmisikan kepada generasi muda.
Tidak melalui proses sekejap, akan tetapi melalui pembelajaran secara terus menerus
secara konsisten dan kontinyu. Proses internalisasi tidak hanya melalui pewarisan
dalam lingkungan keluarga, tetapi juga dalam lembaga pendidikan, lingkungan
masyarakat serta interasksi dengan lingkungan sosial dan alam.
59
Lingkungan keluarga menjadi tempat pertama seorang anak memperoleh
pelajaran, karena dalam keluargalah suatu generasi di lahirkan dan dibesarkan. Dalam
keluarga setiap individu mengidentifikasi lingkungannya, dan secara perlahan-lahan
menginternalisasikannya dalam kehidupan. Terjadinya identifikasi dalam lingkungan
keluarga menajdikan anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik
saudara dekat maupun saudara jauh.
Para orang tua lah yang berfungsi sebagai nara sumber aktif melalui tindakan
yang bersifat responsif dan senantiasa mendorong, menjelaskan berbagai kenyataan
yang ada dilingkungan beserta perubahan-perubahan yang berlangsung disekitarnya.
Tindakan menjelaskan dan mendidik, dan pengarahan orang tua tentunya berdasarkan
atas pengetahuan dan pengalaman, yang berlaku dalam lingkungan keluarga sehingga
terjadi sosialisasi perwujudan kebudayaan dalam keluarga. Atau dengan kata lain cara-
cara budaya belajar itu tidak lain sebagai hasil adaptasi dirinya dengan kebudayaan
yang dianutnya.
Tanggung jawab peletakan dasar utama akan nilai-nilai ajaran Islam dalam
keluarga sangat bergantung kepada posisi orang tua, sebagai kepala dan pemimpin
dalam keluarga berkewajiban menjaga keluarga dari siksaan api neraka. Hal ini secara
jelas Allah swt tekankan dalam QS at-Tahrim (66):6.: Hai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya terbuat dari
api dan batu atas apa yang diperintahkanNya kepada neraka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkannya”.
Setelah keluarga terdapat lingkungan pendidikan formal yaitu sekolah, tempat
terjadinya proses pewarisan yang dilakukan secara terarah, terencana dan terus
menerus melalui rancangan program kurikulum. Tidak hanya diajarkan pengetahuan
untuk kecerdasan siswa akan tetapi diajarkan moral dan akhlak yang menjadikan siswa
menjadi lebih baik, lebih bermoral dari sebelumnya. Posisi pendidik yang islamipun
sangat menentukan. Demikian pula di lingkungan masyarakat, yang memiliki sikap,
tradisi, kebiasaan dan perasaan untuk hidup bersama. Proses pewarisan melalui pranata
sosial seperti dari adanya perkawinan, dari sistem hukum, religi dan sistem pendidikan
60
yang ada di komunitas suatu masyarakat. Lingkungan masyarakat menjadi media
pewarisan nilai-nilai ajaran Islam dan budaya, olehnya peranaan tokoh agama dan
masyarakat, baik itu ulama diharapkan dapat mengendalikan nilai-nilai dalam
kehidupan masyarakat menuju lingkungan masyarakat yang islami.
Community School adalah sekolah yang berorientasi pada kehidupan
masyarakat, yang diharapkan anggotanya ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan
dan pendidikan masyarakatnya, khususnya dalam membentuk dan menciptakan
lingkungan pendidikan yang islami, olehnya dalam dunia pendidikan Islam,
masyarakat yang islami sangat dibutuhkan.
Imam an Nahlawi (1995) berpendapat bahwa masyarakat bertanggung jawab
terhadap pendidikan generasi muda, yaitu dengan melihat aturan-aturan yang meliputi,
Pertama: Mewujudkan masyarakat yang beramar ma’aruf nahi munkar, sesuai dalam
firman Allah swt dalam QS. Ali Imran/3: 104, 110. Kedua, Setiap anak dalam
kehidupan masyarakat dianggap seperti anak sendiri.hal ini sesuai pengamalan QS. Al
Hujurat ayat 10, bahwa Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.
Ketiga, Pendidikan masyarakat membina masyarakat yang berlaku buruk. Keempat,
memegang teguh nilai kerjasama sesama anggota masyarakat. Kelima, pendidikan
kemasyarakatan memupuk rasa saling mencintai.
Imam Ibnu Qayim berpendapat bahwa masyarakat memiliki peranan besar
dalam membentuk fikiran, tingkah laku dan perasaan generasinya. Ketika ketiga aspek
tersebut berpola kepada tarbiyah alislamiyah, maka akan membentuk masyarakat yang
menjaga persatuan, dan persaudaraan, saling mencintai antara yang satu dengan yang
lainnya (al-Hijazy, 2011; Wartono, 2013).
Media massa pun sangat berperan dalam proses pewarisan, karena dalam
kehidupan masyarakat media yang menyiarkan berita, membentuk opini, dan
pengetahuan, dan sebagainya untuk disebarluaskan.,sehingga media masa yang akan
mencari bahan informasi dan berita yang terbaru, aktual dan disenangi masyarakat
yang menyangkut kepentingan bersama. Selain berfungsi sebagai media kontrol dan
filter terjadinya berbagai penyalahgunaan dan ketimpangan nilai-nilai dan aturan yang
61
berlaku di masyarakat. Media pun menjadi sarana dan wadah pendidikan, dari berita
dan informasi yang berisikan berbagai masalah di lingkungan masyarakat dan
penyebaran pendapat-pendapat ahli, yang secara tidak langsung akan menambah
pengetahuan dan wawasan masyarakat yang menjadi pembaca atau pendengarnya.
Oleh karenanya proses pewarisan nilai pengetahuan dan keterampilan dalam
masyarakat pada hakekatnya dapat dilakukan dengan melibatkan intitusi sosial seperti
lingkungan keluarga, lembaga sekolah, media massa dan lingkungan masyarakat luas,
dimana usaha pewarisannya, dilakukan untuk menyampaikan nilai-nilai yang terbaik
untuk menjadi pedoman bagi masyarakat, selain menyampaikan hal-hal yang bersifat
material.
Menurut Herskovits, Pendidikan adalah “directed learning” dan persekolahan
adalah “formalized learning” (Manan, 1989). Saat ini lebih dikenal denagn istilah
Pendidikan formal, informal dan non formal. Pendidikan formal telah diatur dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 pada pasal 11, 12 dan 13
yang merupakan system Pendidikan yang telah disusun secara berjenjang dari
tingkatan dasar, menengah hingga perguruan tinggi (Muhaimin, 2012).
Pendidikan yang bersifat formal ini memiliki fungsi sebagai transmisi
kebudayaan dan untuk memberantas kebodohan. Untuk membantu setiap individu
melakukan peranan sosialnya. Berbeda dengan Pendidikan informal yang berpusat
pada keluarga dan lingkungan yang berfungsi seumur hidup. Keluarga berperan
penting dalam menciptakan lingkungan islami kepada anak dan anggota keluarganya,
baik buruknya orang tua dari segi ketauhidan, ibadah dan akhlak amat menentukan
warna kepribadian seorang anak, karena dalam lingkungan keluarga, orang tualah yang
berfungsi sebagai pendidik.
Ketika orang tua tidak memiliki cita-cita dan upaya untuk membentuk
Pendidikan yang islami di dalam rumahnya, maka akan sulit menghasilkan generasi
yang insan kamil. Oleh karenanya, sebuah keluarga wajib mewujudkan suasana yang
edukatif dan islami, menjalankan fungsinya dalam mendidikan anak secara islami,
sehingga anak keturunannya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang ideal
62
dalam Pendidikan Islam (Wartono, 2013).
Keseluruhan proses transmisi yang ada sangat berkaitan dengan cara
mentransmisikannya, dalam hal ini bentuk peran serta dan bimbingan. Peran serta
dengan melalui perbandingan, yang berwujud ikut serta dalam kegiatan sehari-hari di
dalam lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan dapat berupa instruksi, persuasi,
rangsangan dan hukuman. Pelaksanaan bimbingan dapat melalui pranata-pranata
tradisional seperti inisiasi, upacara-upacara yang berkaitan dengan tingkat umur,
agama, atau pada lembaga sekolah dan lain-lain (Tilaar, 2002).
Menurut Desmon Morris dapat dikatakan bahwa proses transmisi dapat terjadi
pada absorbed actions dan trained actions atau perpaduan antara keduanya (Morris,
1977). Absorbed actions adalah kegiatan yang dilakukan akibat mencontoh dari orang
lain, sementara trained actions adalah kegiatan yang didapat melalui pembelajaran
ataupun praktek terlebih dahulu. Proses transmisi dapat merupakan perpaduan antara
keduannya yaitu melalui proses genetik, observasi pribadi, penyerapan dari lingkungan
sosial, dan melalui latihan atau belajar. Oleh karena itu, seseorang mendapatkan
sesuatu sebagai proses pewarisan dapat melalui berbagai cara, tidak hanya secara
genetik namun yang terpenting adalah lingkungan sosial dan proses belajar.
Pembelajaran budaya tergantung pada inovasi atau kemampuan untuk menciptakan
respons baru terhadap lingkungan dan kemampuan untuk berkomunikasi atau meniru
perilaku orang lain (Lehmann, L. L., Feldman, M. W., & Kaeuffer, 2010).
Aruna Goel dan S.L Goel menulis dalam buku Human Values and Education,
“Education institute today are engulfed by materialistic values. Teachers have become
salesman while the students indulge in indiscipline, take drug, alchohol and smoking.
This scene has emerged as teachers in higher education do not take interest in the
development of the personality of the students” (Goel, A., 2010). Tulisan tersebut
mengarah pada pandangan bahwa pendidik cenderung tidak menyadari perannya
sebagai transmitter nilai-nilai (Values) dan lebih fokus pada perannya dalam transfer
ilmu pengetahuan (aspek kognitif). Padahal posisi transmitter (pendidik/orang tua)
63
sangat berpengaruh besar terhadap proses preferensi dan keyakinan peserta didik,
tentang bagaimana peserta didik akan memilih untuk berperilaku sebagai orang dewasa
dalam masyarakat (Sanduleasa, 2015).
Proses pewarisan nilai-nilai yang berjalan dengan baik, sangat didukung akan
peran transmitter. Pada lingkungan lembaga formal, idealnya pendidik memiliki
kesadaran sebagai suri tauladan, menghiasi dirinya dengan perbuatan terpuji terhindar
dari perbuatan tercela (al Ghazali, n.d.; Solichin, 2012) bahwa melalui dirinyalah
peserta didik menyerap nilai-nilai hidup yang akan membentuk karakter
kepribadiannya kelak. Termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya kearifan lokal yang
secara sadar atau tidak sadar tercermin lewat perilaku pendidik dan dengan kemampuan
menyerap peserta didik mengikuti, serta dituntut dapat memberikan pendekatan dan
pemahaman budaya serta adat setempat para peserta didik, dengan menjalin
komunikasi yang baik (Astuti, 2016; Harrison, 2007; Tan, 2015).
Orientasi seorang pelaku pewarisan budaya (transmitter) diharapkan dapat
membanguan peradaban dengan cara memajukan dan menyejahterakan masyarakat
melalui peningkatan kualitas fisik, pancaindra, akal pikiran, sosial budata, seni, moral
dan spiritual (Miler, 2003). Sebagai penggerak perubahan sosial (agent of social
change), sebagai ulil al-bab, maka mereka dituntut untuk memadukan antara kekuatan
pikir dan zikir. Peran sebagai orang yang memiliki keunggulan keterampilan,
intelektual, moral dan spiritual yang memiliki tanggung jawab moral, kewajiban moral,
panggilan batin moral dan kewajiban memberikan nasehat moral tidak boleh memudar
(Nata, 2016). Peran sebagai ‘Ulul al-Bāb, al-‘Ulamā, al-Muzakki, ahl al-zikir, dan al
raskhuna fi al-'ilm harus tetap berjalan konsisten dalam kondisi apapun, agar selalu
memperoleh kebahagiaan yang bersifat moral dan spiritual happiness (Nata, 2012).
Selain berpatokan kepada karakter seorang transmitter, perlu pula
memperhatikan metodologi yang dipergunakan, apakah dengan menggunakan metode
lisan, hafalan atau tulisan dan tindakan. Sebab penyebaran ilmu pengetahuan dari satu
generasi ke generasi tidak hanya melalui tulisan atau lisan tetapi juga pada gambar atau
benda yang ada dan perilaku (Fahri, 2008). Oleh karena itu, peran transmitter sangat
64
penting dalam mewariskan nilai pendidikan agama.