A. Penelitian Terdahulu

48
17 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI A. Penelitian Terdahulu Secara umum, penelitian tentang pewarisan budaya telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu, namun secara spesifik penelitian terkait transmisi ajaran Islam dalam bingkai budaya lokal, masih jarang dilakukan. Padahal berbicara transmisi pengetahuan sangatlah penting, karena terkait bagaimana mewariskan pengetahuan, nilai-nilai dan moral kepada generasi muda. Melestarikan warisan masa lalu adalah tugas generasi penerus, apalagi tercatat dalam sejarah, muslim klasik mewarisi kemakmuran dan kemuliaan, salah satunya adalah pendidikan. Fortes. M., ( 1987) dalam penelitiannya pada tahun 1938 mengatakan bahwa transmisi adalah proses pembelajaran dari orang tua kepada anak, yang akan berimplikasi kepada moral dan budaya dan tindakan agama. Transmisi yang dilakukan tidak hanya berlangsung sambil lalu akan tetapi memerlukan pula bimbingan. Uniknya proses pewarisan yang berlangsung pada kebudayaan di locus penelitiannya, tidak terdapatnya pranata-pranata atau lembaga-lembaga yang berfungsi khusus untuk mendidik generasi muda, seperti sekolah, upacara atau sistem umur. Akan tetapi proses pewarisan melalui permainan dan bimbingandan ransangan langsung dari masyarakat. Sejalan dengan penelitian Fortes, penelitian antropologi pendidikan mengenai transmisi kebudayaanpun dilakukan Eggan, (1955) dan Spindler, (1963) (dalam (George, 2008) (Spiro, 2019) yang menyatakan bahwa transmisi kebudayaan dapat berlangsung secara tradisional melalui proses sosialisasi dari masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan pandangan Wax, Dumont (1964) yang menyatakan bahwa transmisi kebudayaan dalam masyarakat terjadi melalui lembaga pendidikan formal di sekolah. Hal inipun diperkuat pula oleh penelitian Spiro bahwa pendidikan formal melalui sekolah sangat menentukan transmisi kebudayaan (Spiro, 2019).

Transcript of A. Penelitian Terdahulu

Page 1: A. Penelitian Terdahulu

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI

A. Penelitian Terdahulu

Secara umum, penelitian tentang pewarisan budaya telah banyak dilakukan oleh

para peneliti terdahulu, namun secara spesifik penelitian terkait transmisi ajaran Islam

dalam bingkai budaya lokal, masih jarang dilakukan. Padahal berbicara transmisi

pengetahuan sangatlah penting, karena terkait bagaimana mewariskan pengetahuan,

nilai-nilai dan moral kepada generasi muda. Melestarikan warisan masa lalu adalah

tugas generasi penerus, apalagi tercatat dalam sejarah, muslim klasik mewarisi

kemakmuran dan kemuliaan, salah satunya adalah pendidikan.

Fortes. M., ( 1987) dalam penelitiannya pada tahun 1938 mengatakan bahwa

transmisi adalah proses pembelajaran dari orang tua kepada anak, yang akan

berimplikasi kepada moral dan budaya dan tindakan agama. Transmisi yang dilakukan

tidak hanya berlangsung sambil lalu akan tetapi memerlukan pula bimbingan. Uniknya

proses pewarisan yang berlangsung pada kebudayaan di locus penelitiannya, tidak

terdapatnya pranata-pranata atau lembaga-lembaga yang berfungsi khusus untuk

mendidik generasi muda, seperti sekolah, upacara atau sistem umur. Akan tetapi proses

pewarisan melalui permainan dan bimbingandan ransangan langsung dari masyarakat.

Sejalan dengan penelitian Fortes, penelitian antropologi pendidikan mengenai

transmisi kebudayaanpun dilakukan Eggan, (1955) dan Spindler, (1963) (dalam

(George, 2008) (Spiro, 2019) yang menyatakan bahwa transmisi kebudayaan dapat

berlangsung secara tradisional melalui proses sosialisasi dari masyarakat. Hal tersebut

berbeda dengan pandangan Wax, Dumont (1964) yang menyatakan bahwa transmisi

kebudayaan dalam masyarakat terjadi melalui lembaga pendidikan formal di sekolah.

Hal inipun diperkuat pula oleh penelitian Spiro bahwa pendidikan formal melalui

sekolah sangat menentukan transmisi kebudayaan (Spiro, 2019).

Page 2: A. Penelitian Terdahulu

18

Menarik kajian penelitian J.D. Herzog (1962) yang mengkaji transmisi

kebudayaan di dalam maupun diluar kelompok kekerabatan suatu masyarakat. Herzog

menemukan bahwa bentuk rumah tangga (keluarga inti dan keluarga besar berpengaruh

kuat-lemahnya kemandirian anak yang tumbuh dalam suatu lingkungan. Herzog

menyimpulkan bahwa transmisi kebudayaan melalui instruksi di dalam batas komuniti

yang berkorelasi dengan adanya rumah tangga keluarga besar berfungsi untuk

menambah kemandirian anak, dalam lingkup yang lebih luas memperkuat identitas

watak anak. Akan tetapi kebudayaan melalui intruksi dalam batas komuniti lebih

banyak berkorelasi dengan rumah tangga inti, yaitu orang tua. Mengingat orang tua

yang memberikan perhatian kepada proses pertumbuhan anak, terlebih lagi pada sosok

ibu yang tidak disibukkan dengan mata pencaharian hidup.

Manusia sangat membutuhkan proses transmisi, karena menjadi sebuah proses

pembelajaran bagi anak-anak untuk mengikuti tingkah laku orang tua atau orang

dewasa lainnya (Henrich, 2002), dan sebagai wadah menanamkan dan mewariskan

nilai-nilai budaya (Basyari, 2013), agar nilai-nilai tersebut dapat bertahan hinga turun

temurun (Mchitarjan, I., 2014).

Budaya dan tradisi yang berkembang dalam sebuah kelompok masyarakat

harus terus dilestarikan oleh generasi penerus dari generasi terdahulu. Upaya yang

dilakukan salah satunya dapat melalui proses transmisi atau pewarisan (Fitriasari &

Haryono, 2012). Transmisi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya

melalui ritual. Ritual yang terus menerus dan rutin dilakukan dapat menjadi media yang

baik dalam proses transmisi.

Menurut Zulfah, (2011), pendidikan dalam ruang lingkup kebudayaan

merupakan agen pengajaran nilai-nilai, oleh karenanya kebudayaan ditransfer kepada

generasi penerusmya melalui proses belajar tentang tata cara bersikap. Sejalan dengan

pandangan Fortes maka ada aspek nilai yang ditransmisi,yaitu melalui simbol, ritual,

dan nilai-nilai terjadilah proses pewarisan kepada generasi selanjutnya. Hal tersebut

dapat berlangsung sambil lalu atau melalui bimbingan (Fortes. M., 1987) Selain itu

pula pewarisan dapat juga melalui tradisi, budaya, seni (De Grave, 2000; Karyono,

Page 3: A. Penelitian Terdahulu

19

2013; Wekke & Sari, 2012), ritual (Fitriasari & Haryono, 2012), melalui media kitab

jami' (Badaruddin, 2012), buku, cerita, dongeng bahkan komik (Wekke, 2015) dan

lokakarya (Sasongko, 2017). Berbeda dengan pandangan Ma'arif (2015) dalam

penelitiaanya menyatakan bahwa nilai-nilai ajaran seorang guru telah menjadi budaya

dan kearifan lokal yang dapat ditransmisikan melalui pengajian, khutbah, kitab kuning,

dan perayaan keagamaan (Ma’arif, Dardiri, & Suryo, 2015).

Menurut J.W. Berry, (2002) nilai-nilai hidup, tradisi budaya yang diwariskan

kepada generasi muda dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Selain perlunya

memperhatikan faktor usia, pendidikan dan jenis kelamin serta bahasa dalam

mewariskan nilai-nilai, juga sangat penting memperhatikan peran orang tua, lembaga

dan teman sebaya dalam mendukung keberhasilan proses pewarisan.

Sriyati Dwi Astuti (Astuti, 2016) dalam penelitiannya menyatakan pentingnya

peran transmitter dalam mewariskan pengetahuan, nilai-nilai dan budaya pada

generasi, karena ternyata banyak tranmsitter termasuk pendidik belum memiliki

kesadaran atas peran pentingnya sebagai transmitter pengetahuan, yang juga memiliki

peran sebagai transmitter nilai-nilai budaya pada peserta didik, sehingga diharapkan

peran lembaga pendidikan untuk membuat pendidiknya menyadari perannya yang

sangat krusial tersebut (Astuti, 2016). Selain peran lembaga pendidikan formal seperti

Madrasah (Dewi, 2014; Shobahussurur, 2015), ataupun lembaga pendidikan klasik ( S.

Mardiana, (2015), peran fungsi masyarakat dalam mewariskan pendidikan keagamaan

sangat dibutuhkan (Thoifuri, 2016), sehingga bagi Rina Rehayati, Irzum Farihah

(2017) posisi Ulama sangat berperan besar dalam transmisi keislaman di Indonesia,

khususnya di wilayah Kesultanan Riau- Lingga yang menjadi locus penelitiaanya,

pewarisan ilmu melalui pendidikan dan kegiatan keagamaan (tarekat), secara lisan dan

tulisan sebagai bentuk syiar ajaran Islam (Rehayati & Farihah, 2017).

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Andra-Bertha Sanduleasa menunjukkan

bahwa pentingnya peran orang tua. Hal ini dapat dilihat dengan cara mereka

membesarkan anak-anak mereka, menyampaikan nilai-nilai budaya mereka mengenai

pencapaian pendidikan. Transmisi pengetahuan, keterampilan, preferensi dan minat

Page 4: A. Penelitian Terdahulu

20

dari orang tua kepada anak-anak telah dikonseptualisasikan oleh Bourdieu (1977)

sebagai modal budaya. Dalam istilah yang lebih umum, ini disebut transmisi budaya

orang tua, suatu proses di mana informasi dilewatkan dari individu ke individu melalui

mekanisme pembelajaran sosial, yang berarti bahwa cara orang tua mendidik anak-

anak mereka memiliki pengaruh besar pada preferensi dan keyakinan anak-anak

mereka, tentang bagaimana anak-anak mereka akan memilih untuk berperilaku sebagai

orang dewasa dalam masyarakat nantinya (Sanduleasa, 2015).

Hal itupun sejalan dengan pernyataan Wartono, (2013) bahwa orang tua

bertindak sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, yang sangat menentukan warna

kepribadian seorang anak. Keluarga perlu mewariskan dan membudayakan suasana

edukatif yang islami sehingga anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia

yang ideal menurut Islam.

Berbeda dengan penelitian Blair Steverson (2015) yang locusnya di Kanada.

Menurutnya pentingnya peran guru/ pendidik sebagai pengembang budaya, sebagai

fasilitator transmisi budaya dan penerjemah pengetahuan tradisional dalam

mewariskan pengetahuan dan budaya . Demikian pula pandangan P. Thanissaro yang

menekankan peran pendidik pada proses transmisi moral spiritual (Thanissaro, 2010)

dan Charlene Tan (2015) pada penelitiannya yang dilakukan di Cina, pentingnya

naskah budaya dan guru sebagai penentu keberhasilan sebuah pewarisan pengetahuan

(Tan, 2015).

Sejalan dengan penelitian Thoifuri, (2016) yang menyatakan perlunya proses

pewarisan melalui penekanan pada belajar di usia sekolah 7- 24 tahun, dengan

melengkapi sarana pendidikan dan memacu masyarakat dalam pendidikan non-formal,

memacu minat baca dan tulis masyarakat, yang dibungkus dengan semangat kehidupan

religius, menerapkan sistem keyakinan, memelihara sistem ritus dan upacara.

Selain itu, dalam sistem transmisi pengetahuan perlunya pula memperhatikan

metodologi pewarisan (Fahri, 2008). Menurutnya, kemajuan pendidikan muslim yang

pernah ada didukung oleh banyak faktor, salah satunya adalah metode mengajar.

Metode pengajaran yang baik tentunya akan menghasilkan generasi yang memiliki

Page 5: A. Penelitian Terdahulu

21

kualitas tertentu. Secara historis metode pengajaran muslim klasik telah membawa

kemajuan dan keharuman terhadap muslim di mata negara lain di dunia, tetapi

kemenangan pada masa lampau, hanyalah sebuah kenangan indah, karena generasi

penerus tidak dapat melestarikan budaya klasik Metode mengajar menjadi suatu

masalah ketika tidak dapat berpengaruh dalam mengembangkan kepribadian dan

kualitas intelektual. Metode pengajaran yang terdapat di lembaga masih berorientasi

pada konvensional. Pengiriman material didominasi oleh metode ucapan atau “sistem

pengiriman”.

Berbeda dengan pandangan Jean Marc de Grave bahwa transmisi pengetahuan

pun dapat disandingkan dengan metode yang lebih modern. Akan tetapi transmisi

pengetahuan semakin terpisah dari transmisi moral dan mempengaruhi bentuk dasar

tindakan dan hubungan sosial seseorang. Pola tradisional lebih bersifat lisan dan

berpusat pada peran perantara dan hubungan sosial, dan dilakukan di luar ruang yang

bermakna secara kosmik. Sebaliknya, pengajaran individualistik modern - yang

berakar pada filsafat dan peristiwa Yunani awal di Era Tengah Eropa - sangat formal

dan terkait dengan masalah ekonomi, yang mengarah ke individualisme dengan sedikit

memperhatikan lingkungan seseorang. Olehnya transmisi pengetahuan diharapkan

tetap memperhatikan transmisi moral dan pola tradisional agar tetap mempengaruhi

bentuk dasar tindakan dan hubungan sosial seseorang (De Grave, 2000).

Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan budaya lokal dan Islam

seperti yang telah dilakukan oleh Andik Wahyu Muqoyyidin, (Muqoyyidin, 2016) yang

menyatakan Islam dan budaya lokal Jawa terakulturasi dengan baik. Mereka hidup

berdampingan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh proses akulturasi yang sangat

panjang. Kedatangan Islam tidak mengganggu budaya lokal; jika tidak, Islam

berasimilasi dan memperkuat semangat budaya lokal. Ini membuktikan bahwa

religiusitas Jawa adalah model ideal untuk mensintesis Islam dan budaya lokal.

Tidak jauh berbeda dengan penelitian Efa Ida Amaliyah (2015) yang melihat

adanya relasi antara agama dan budaya lokal pada upacara Yaqowiyyu pada masyarakat

Klaten. Pengharapan keberkahan masyarakat pada upacara tersebut menjadikan

Page 6: A. Penelitian Terdahulu

22

kuatnya akan nilai Islam walaupun praktik budaya masih sangat kental pada upacara

yaqowiyyu.

Penelitian Deden Sumpena (2014) menyatakan terjadinya akulturasi dan

asimilasi antara budaya Sunda dengan ajaran Islam telah membentuk ciri yang khas

pada masyarakat Sunda di Jawa Barat. Sejak pengalaman sejarahnya yang paling awal,

masyarakat Jawa Barat senantiasa menempatkan nilai-nilai agama Islam pada posisi

yang sangat sentral dalam seluruh aspek kehidupannya. Fenomena yang termuat dalam

falsafah hidup orang Sunda yang tercermin pada ungkapan Silih Asah, Silih Asih, Silih

Asuh sesungguhnya merupakan salah satu prinsip hidup yang diwarnai oleh semangat

ajaran agama Islam (Sumpena, 2014).

Tidak jauh berbeda dengan penelitian Elliyil Akbar (Akbar, 2015) pada

masyarakat daerah dataran tinggi Gayo yang merupakan daerah penegak syari’at Islam

yang didiami oleh berbagai suku mampu menetralisir keadaan dengan

mempertahankan nilai yang arif dari peninggalan leluhur dan menghidupkan suasana

pendidikan Islami menggunakan sarana atau media seni Didong tidak lepas dari adat,

syari’at, dan lebih bisa diserap oleh masyarakat dengan begitu sifat toleransi yang

terbina menciptakan perdamaian dan menciptakan suasana Islami sebagai daerah

penegak syari’at Islam.

Berbeda halnya dengan penelitian Sakirman (2016), Islam masuk ke tanah

Jawa dalam keadaan penduduknya telah memiliki tradisi dan budaya berupa

kepercayaan adanya kekuatan pada benda-benda tertentu (dinamisme), adanya

kekuatan pada arwah orang yang meninggal (animisme) dan kepercayaan adanya

kekuatan pada binatang-binatang (totemisme). Tradisi ini telah diwariskan secara turun

temurun, diyakini, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Islam datang,

keyakinan dan kepercayaan tersebut melebur dalam budaya Islam, sehingga muncullah

apa yang disebut dengan sinkretisme Islam, yaitu akulturasi budaya Islam dengan

tradisi lokal. Tradisi yang dianut oleh komunitas Islam Aboge yang melaksanakan

tradisi-tradisi Jawa dengan dibumbui tradisi Islam, maka munculah Islam dengan cita

rasa lokal (Islam lokal). Kekhasan dari komunitas ini adalah masih menggunakan

Page 7: A. Penelitian Terdahulu

23

model Penanggalan Islam Jawa yakni Penanggalan Aboge yang berbeda dengan

keputusan pemerintah ataupun itsbat.

Sejalan dengan penelitian Sakirman, penelitian Nurhuda Widiana (2015) pun

mengisyaratkan terjadinya sinkritisme pada masyarakat Samin di Bojonegoro Jawa

Timur. Akulturasi antara budaya lokal dan Islam di lokus penelitiannya merupakan

perjalanan panjang, antara tetap mempertahankan kecintaan masyarakat terhadap

nilai-nilai lama mereka, dan menolak ajaran baru yaitu Islam. Walaupun akhirnya

masyarakat Samin dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada, namun pemahaman

mereka terhadap agama Islam yang berkaitan dengan akidah (teologi), ibadah (ritual),

dan urusan muamalah (sosial kemasyarakatan), masih terwarisi oleh ajaran Saminisme.

Agama Islam dipahami dengan bingkai ajaran Samin, yang memunculkan praktik

sinkretis Islam khas Samin, karena ajaran Islam diakomodisasi sesuai ajaran Samin,

sehingga,yang nampak hakekat ajaran yang terintegrasi, namun praktik ibadah ritual

Islam belum maksimal dilaksanakan.

Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Siti Makhmudah (2017) di wilayah

Komunitas Keagamaan Kejawen, ajaran Islam belum secara penuh menjadi pedoman

hidup seutuhnya, walaupun ada upaya mensinergikan nilai-nilai keagamaan dengan

kearifan lokal yang ada (Makhmudah, 2017).

Penelitian budaya dilihat dari arkeologi dilakukan oleh Bau Mene (Mene, 2012)

yang menggambarkan agama Islam di Misool berkembang pesat terlihat dari

banyaknya temuan bangunan dari masjid tua serta adanya makam pembawa Islam serta

menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Penelitian ini oleh Bau Mene lebih

mengarah kepada penelitian arkeologi serta belum terlalu luas menganalisis bagaimana

identitas Islam di Misool. Titik perbedaannya pada penelitian yang peneliti tawarkan

adalah dari aspek transmisi ajaran Islam dalam bingkai budaya lokal dan tradisi Islam

di Misool

Demikian pula M, Irfan Mahmud (Mahmud & Mahmud, 2017) dalam

penelitiannya yang tidak jauh berbeda dengan penelitian Bau Mene yang mengarahkan

kepada analisis arkeologis secara umum tetapi lebih spsifik kepada analisis hubungan

Page 8: A. Penelitian Terdahulu

24

dengan jaringan dakwah, perdagangan, akulturasi dan asimilasi budaya yang terdapat

di Papua. Tetapi Irfan Mahmud tidak secara khusus mengkaji secara dalam wilayah

Misool Papua Barat, sehingga jelas perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti

kaji.

Berbeda dengan penelitian Budiwanti (2000), tentang Islam Sasak, dengan

menggunakan perspektif fungsionalisme alternatif, digambarkan bahwa Islam Sasak di

daerah Lombok adalah Islam bernuansa lokal dan tradisional. Agama Wetu tiga yang

paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, tentang adat bukan

pengetahuan tentang Islam berdasarkan rumusan orang Arab, akan tetapi juga bukan

tidak menggunakan Islam sama sekali, misalnya pada pemakaian doa-doa, dan tempat

peribadatan masjid. Berbeda dengan Islam Wetu Lima menjadi sangat menonjol di

tengah suasana pribumisasi Islam di Lombok. Kajian ini lebih menitik beratkan pada

dinamika hubungan agama dan berbagai kelompok sosio-religio-kultural melalui

penelitian kualitatif etnografis dan dengan berdasar pada konsep interaksi antar

kelompok di dalam masyarakat melalui simbol-simbl religius.

Sedikit berbeda dengan kajian etnografi tentang tradisi Islam lokal pesisiran

yang dilakukan oleh Syam (2005), menjelaskan bahwa proses transformasi adalah

bagaimana masyarakat pesisir melakukan berbagai upacara, yang hakekatnya

bertumpu pada medan budaya Makan, Sumur dan Masjid. Medan dapat

mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan sosio religius dan menjadi

medan interaksi sebagai wadah untuk transformasi, legimitasi dan habitualisasi.

Olehnya teori Nur Syam seyogyanya dapat menjadi acuan pada penelitian ini, di mana

masyarakat Misool lebih cenderung belajar Islam melalui budaya dan tradisi yang telah

dilaksanakan secara turun temurun. Terlebih lagi dengan melihat locus penelitiannya

kepada sisi geografis wilayah Pesisir. Terkait dengan teori Islam kolaboratif, masih

perlu dikaji keabsahan teorinya pada masyarakat Misool, mengingat konteks

kolaboratifnya tidak ditemukan dengan kondisi penggolongan sosial akan tetapi karena

masih berada pada konteks budaya lokal mereka, tradisi yang telah dilaksanakan secara

turun temurun, yang masih beraksentuasi kepada Islam tradisional, bahkan sulitnya

Page 9: A. Penelitian Terdahulu

25

menerima tradisi modern.

Berbeda dengan M. Yusuf Wibisono (Wibisono, 2013) dalam disertasinya

menggambarkan perbedaan karakter khusus yang dianut Islam Pesisir Patimban.

Karakter tersebut terlihat dari keberagamaan mereka yang tidak terlepas dari konteks

lokalitasnya, serta membantahkan teori yang dilahirkan oleh Geertz terkait Islam

sinkritis, Woodward. R.M., (1999) dengan Islam Akulturatifnya bahkan terhadap tipe

Islam Kolaboratif versi Nur Syam. Yusuf menghadirkan Islam Kompromi yang

menjadi kombinasi dari ketiga tipologi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tradisi

keberagamaan merupakan hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki

keunikan tersendiri yang tidak bercorak genuin Islam dan juga bukan tradisi lokal

(kejawen) murni.

Berbeda dengan Widiana Nurhuda, (2015) menerangkan bahwa Islam sebagai

agama paripurna memiliki nilai-nilai ideal yang seharusnya menjadi pedoman perilaku

bagi pemeluknya. Akulturasi pertemuan nilai Islam dan nilai budaya lokal apakah

menjadi substitunsi, sinkretisme, adisi, dekulturasi, orijinasi bahkan penolakan harus

dipahami sebagai bagian kecintaan suatu masyarakat terhadap nilai-nilai lama (lokal)

pada satu sisi dan pada sisi lain sebagai proses untuk belajar memahami nilai-nilai baru

(Islam). Masyarakat Samin di Dusun Jepang Bojonegoro tidak tepat jika digunakan

klaim menang atau kalah antara Islam vis a vis budaya lokal. Pemahaman mereka

terhadap agama Islam yang berkaitan dengan akidah (teologi), ibadah (ritual),

muamalah (sosial kemasyarakatan), masih terwarisi oleh ajaran Saminisme. Islam

dipahami dengan bingkai ajaran Samin, sehingga hakekat ajaranlah yang terintegrasi,

namun praktek ibadah (ritual) Islam belum dilaksanakan. Terjadilah praktek sinkretis

(Islam khas Samin), karena ajaran Islam diakomodisasi sesuai dengan ajaran Samin.

Kondisi Islam sinkretis ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya oleh

Geertz di tahun 1981 dan Sakirman (2016) .

Bahrul Ulum (B. Ulum, 2014) menjelaskan bahwa cara Islam menyapa budaya

lokal adalah dengan merubah sub-stansi partikularistik ke arah universalitas-religius

sebagaimana yang dapat dilihat para proses Islamisasi wayang dengan memberikan

Page 10: A. Penelitian Terdahulu

26

nuansa-nuansa simbolik religius yang lebih bercorak islamisasi daripada arabisasi.

Pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap eksisnya suatu tradisi

kebudayaan (Juanda, 2010). Proses pendidikanlah yang akan membuat generasi muda

memperoleh hidup yang lebih baik, sebab di dalamnya terdapat proses transfer

pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan (Azizy, 2002). Pendidikan sendiri

berlangsung disetiap aspek dalam kehidupan manusia baik itu dalam keluarga, lembaga

pendidikan dan lingkungan masyarakat. Jika dilihat dari aspek kebudayaan, interaksi

antar manusia dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya merupakan praktek

pendidikan. Pendidikan selalu terjadi di arena yang tidak vakum, sehingga pendidikan

sangat terkait erat dengan kebudayaan, demikian pula sebaliknya kebudayaan sangat

erat keterkaitannya dengan pendidikan.

Hal ini sejalan dengan penelitian Abdul Kholiq (Kholiq, 2015), yang

menerangkan perlunya Pendidikan Agama Islam sebagai strategi kebudayaan, sebagai

sistem proses internalisasi nilai Islam. Masyarakat Kalang sebagai lokus penelitiannya

merekonstruksi budayanya yang mengakulturasikan budaya dengan nilai ajaran Islam.

Apatah lagi orang Kalang ternyata selama ini membangun identitas budayanya melalui

warisan nilai-nilai dari para leluhurnya. Baik itu berupa kepercayaan, mitologi yang

telah diyakini secara turun temurun. Keluarga adalah media transmisi kepercayaan dan

nilai-nilai budaya Kalang, sehingga menjadikan posisi Pendidikan Agama Islam

sebagai transmisi nilai baru dalam lingkungan masyarakat. Analisis ini menjadi

penguat peneliti, bahwa salah satu varian transmitter yang terdapat pada masyarakat

muslim Misool adalah keluarga.

Demikian pula pandangan Basnang Said (Said, 2011) dalam penelitian

teoretisnya mengungkapkan pentingnya Pendidikan Islam dalam memainkan perannya

dalam pewarisan budaya dan nilai-nilai terkait keyakinan kepada Allah swt, Hukum

Islam dan Karakter dalam tri pusat pendidikan (keluarga, Sekolah dan Masyarakat).

Hal ini sejalan dengan pandangan Zulfah (2011), yang menyatakan dalam

penelitiannya walaupun masyarakat Kalang tidak memberikan respon spesifik

terhadap proses pendidikan agama di lembaga formal, namun pendidikan agama

Page 11: A. Penelitian Terdahulu

27

menjadi salahsatu variabel penting dalam proses enkulturasi budaya.

Kondisi tersebut pun diperkuat oleh Ali rohmad (2014) dalam penelitiannya

menegaskan akan pentingnya pendidikan formal sebagai pelestari tata nilai dan

pembaru kebudayaan. Pendidikan formal menerima dua tugas budaya yaitu

menyampaikan nilai kebudayaan, sehingga pendidikan bersifat reflektif dalam

pengertian pendidikan harus mencerminkan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku

sekarang atau saat tertentu, Kedua adalah tugas mengembangkan nilai-nilai

kebudayaan ketaraf yang lebih baik dan sempurna, sehingga pendidikan bersifat

progresif, berkembang sesuatu tuntutan kebudayaan. Hal inipun dapat terealisasi

dengan baik apabila ada kerjasama antara jalur pendidikan formal, nonformal dan

informal. Olehnya pendidikan non formalpun menjadi salah satu pondasi penting

dalam proses transmisi pendidikan keagamaan pada masyarakat.

Pada jurnal pendidikan anak, Joan E Test menulis “Teacher’s practice seem to

reflect and be a part of their culture’s system of meanings. Some would say that cultural

values are type of hidden curriculum” (Joan, 2006). Bahwa pendidik adalah

transmitter budaya hal ini seringkali tidak disadari oleh pendidik, inilah hidden

curriculum yang justru menandaskan pengalaman belajar bagi anak tanpa disadari

pendidik. Dari hasil studi tersebut mengungkap bahwa dalam mendidik, seorang guru

entah disadarinya ataupun tidak, akan selalu membawa budaya di mana dia dibesarkan

dan kemudian ditularkannya pada peserta didik.

Maka sangat penting kiranya kesadaran seorang pendidik atas budaya positif

yang seharusnya ditularkannya dalam interaksinya dengan peserta didik, karena ketika

proses transmisi berjalan dengan baik, akan memberikan implikasi kepada perubahan

perilaku positif kepada generasi. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Thoifuri,

(2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa transmisi pengetahuan keagamaan

dapat memberikan semangat kehidupan religius, menerapkan sistem keyakinan

komunitas sebuah masyarakat, kualitas sumber daya manusia semakin baik.

Berbagai uraian dari review literatur tentang transmisi kebudayaan

mempertegas akan pentingnya pewarisan kebudayaan dan pengetahuan kepada

Page 12: A. Penelitian Terdahulu

28

generasi muda sebagai wahana mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Akan tetapi

berdasarkan fakta empiris, serta acuan referensi penelitian, maka penulis belum

menemukan karya ilmiah yang menganalisis proses transmisi ajaran Islam yang di

rangkum dalam wadah budaya lokal. Hal ini layak untuk dikaji, sebagai salah satu

alternatif memberikan pewarisan pendidikan agama Islam dalam bingkai budaya lokal

masyarakat.

Melalui penelitian ini, diharapkan pembuktian pemahaman mendalam terhadap

khazanah pendidikan Islam dan intelektual keagamaan dalam bingkai tradisi lokal

masyarakat, yang tidak menjadikan corak pemikiran keagamaan yang dikembangkan

tidak terlepas dari masa lampau tetapi benar-benar menyatu dengan problem kultur

suatu masyarakat. Lebih dari itu, penggalian khazanah pemikiran keagamaan dan

pemanfaatan ilmu-ilmu sosial dimaksudkan agar dapat menghasilkan kajian

pendidikan keagamaan yang mempunyai bobot otoritas yang tinggi dalam mendorong

transformasi ummat.

Page 13: A. Penelitian Terdahulu

29

Gambar 2. Peta Literatur

Budaya Lokal Pendidikan Agama Islam/ Ajaran Islam

Pola Tradisional Sosialisasi Masyarakat (Eggan Spindler, 1956

Transmisi = mempertahankan Nilai budaya (Mchitarjan, 2014)

Permainan, Bimbingan Oleh Masyarakat (Meyer Fortes, 1987)

Pentingnya proses Transmisi, Tingkah laku (Henrich, 2002; Zulfah, 2011)

Transmisi = Wadah pewarisan Budaya (Basyari, 2013)

Ritual (Fitriasari, Haryono, 2012)

Lembaga Pendidikan Formal / Madrasah (Spiro, 1955; Shobahassurur, 2015; Rusmala Dewi, 2014; Zulfah, 2011) S. Mardiana,2015

Masyarakat, Pesantren (Thoufuri, 2016)

Ulama (Rina Rehayati, Izmur Farihah, 2017)

Orang Tua (Sanduleasa, 2015; Wiratno, 2013)

Pendidik (Sriyati Dwi Astuti, 2016; Blair Seteverson, 2015; Carlene Tan, 2015; P. Thanissaro, 2010)

Buku Cerita, Dongeng (Ismail, 2015)

Tradisi, Budaya Seni (J.D. Grave, 2015)

Lokakarya, (Y. Sasongko, 2017)

Kitab Jami' (F. Badaruddin, 2012)

Pengajian, Khutbah, Kitab, Perayaan Keagamaan (Ma'arif, 2015)

Akulturasi Budaya Islam Asimilasi (Andik Muqoyuddin, 2016; Irfan Mahmud, 2017

Sinkritisme Islam Akulturasi budaya Islam & Tradisi Lokal. Islam Sinkretik (Geertz, 1981; Sakirman, 2016; Widian Nurhuda 2015)

Widiana

Nurhuda, 2015)

Penekanan Peran PAI dalam pewarisan Nilai (Basnang Said, 2011)

PAI Strategi Kebudayaan (Abdul Kholiq, 2015

Interelasi Islam Dan Budaya lokal (Deden Sumpena, 2014)

(Yang perlu diteliti) Transmisi Ajaran Islam melalui Budaya Lokal

Islam Akulturatif (Budiwanti, 2000: Woodward, 1989) Wibisono, 2013

Islam Kolaboratif (Syam, 2005)

Islam Kompromi (M. Yusuf Wibisiono, 2013

Pendidikan Agama pada lembaga formal menjadi variabel penting dalam proses enkulturasi budaya (Misbah Zulfah, 2011)

Ajaran Islam belum secara penuh Menjadi pedoman Hidup seutuhnya . (S. Makhmudah, 2017)

Pendidikan Islam Dari pertunjukan Didong Tidak lepas dari adat, syariat yang lebih diserap masyarakat (Elliyil Akbar, 2015

Transmisi Ajaran Islam dalam

Bingkai Budaya Lokal

Transmisi Budaya

Page 14: A. Penelitian Terdahulu

30

Bagan di atas belum menampakkan penelitian yang mengkaji dan menganalisis

secara khusus proses transmisi ajaran Islam yang memfokuskan pada tema budaya

lokal, sehingga menurut hemat peneliti, penelitian ini layak untuk ditelusuri secara

mendalam.

B. Islam dan Budaya Lokal

Budaya lokal merupakan pandangan hidup yang berkembang dalam kelompok

sosial dan budaya tertentu yang dapat dilihat dari unsur geografis, kedaerahan, dan

sejarah yang khas dan berbeda dari yang lain, sehingga terbentuklah identitas suatu

kelompok budaya dari perpaduan berbagai entitas dan unsur (Nurdin, 2009), karenanya

budaya lokal menjadi budaya asli dan ciri khas dari suatu masyarakat.

Jika bertolok pada perspektif filsafat sosial, budaya lokal merupakan kegiatan

fisik material, kondisi mental, moral dan spiritual dari manusia.yang dimulai dari

proses usaha sebagai pribadi dalam mendisiplinkan diri dan kesadaran kebersamaan

dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi budaya dalam kehidupan sehari-

hari. Adapun budaya lokal yang diapahami dalam penelitian ini, adalah budaya yang

didasarkan atas pandangan dan pengalaman hidup masyarakat dari penduduk asli

Misool

Istilah budaya lokal diperuntukkan pada masyarakat yang mendiami daerah

tertentu dan memiliki perbedaan dari budaya masyarakat ditempat lain, olehnya hanya

digunakan untuk membedakan antara budaya global dengan budaya nasional di

Indonesia, atau dengan istilah budaya etnik/ subetnik. Bahkan dalam Perundangan

Negara Indonesia dinyatakan dengan istilah budaya daerah, yaitu suatu sistem nilai

yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu di suatu daerah yang diyakini akan

dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya berupa nilai-nilai, sikap, tata

cara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya

(Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 tahun 2007 pasal 1).

Terdapat tiga macam wujud dimensi kebudayaan yaitu : (1) Nilai-nilai, norma,

sebagai suatu kompleks ide, gagasan dan konsep pikiran manusia. yang bersifat

Page 15: A. Penelitian Terdahulu

31

abstrak, disebut sebagai sistem budaya. (2) aktivitas kelakuan manusia sebagai sistem

sosial, yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem budaya, seperti upacara-upacara

yang wujudnya kongkrit dan dapat diamati (3) benda-benda budaya hasil karya

manusia ataupun hasil tingkah laku (Koentjaraningrat, 2015b; Nurdin, 2009; Wardhana

& Fadhilah, 2014; Zaitun, 2015)(Koentjaraningrat, 2015a).

Menurut (Koentjaraningrat, 2015a) unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di

semua kebudayaan dunia mencakup beberapa aspek, yaitu; bahasa, kesenian, sistem

religi dan upacara keagamaan, sitem teknologi dan peralatan.; sistem dan organisasi

kemasyarakatan, sistem pengetahuan, serta sistem mata pencarian hidup. Tidak jauh

berbeda dengan pandangan Edward Burnet Tylor (2010) dalam bukunya Primitive

Culture menyatakan bahwa budaya itu keseluruhan kompleks yang meliputi

kepercayaan, pengetahuan, kesenian, hukum, moral dan kebiasaan masyarakat baik

berupa materi atau non materi. Sejalan dengan pandangan Peter L. Berger yang dikutip

Nur Syam, (2005), kebudayaan adalah totalitas dari produk manusia, berupa material,

non material sosio kultural dan refleksi di dalam isi kesadaran manusia. Akan tetapi

berbeda dengan pandangan Setiyawan (2012), bahwa hanya unsur bahasa, kesenian

dan upacara yang dapat menampakkan sifat-sifat khas dari suatu kebudayaan suatu

daerah atau bangsa.

Budaya selain wujudnya sebagai sistem nilai dan benda, juga aktivitas manusia

berupa upacara-upacara yang kongkrit dan dapat diamati, dan sub ini menjadi perhatian

khusus pada penelitian ini. Upacara dalam konteks kajian antropologi memiliki dua

aspek yaitu ritual dan seremonial. Ritual menurut Winnick yang dikutip oleh Syam

(2005) adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama yang dimantapkan

melalui tradisi. Ritus berbeda dengan pemujaan karena ritus tindakan yang bersifat

keseharian, misalnya ritus kelahiran, ritus kesehatan ritus transisi atau ritus yang lain,

yang melibatkan segala sesuatunya yang bersifat spiritual dan mengharap hasil yang

baik, sehingga kenapa kemudian ritual itu merupakan tindakan yang khas yang

dilakukan berulang-ulang yang secara eksplisit bersifat keagamaan.

Page 16: A. Penelitian Terdahulu

32

Tradisi keagamaan itu sendiri menurut Steenbrink (2000) adalah kumpulan atau

hasil perkembangan sepanjang sejarah, ada unsur yang baru masuk dan ada unsur yang

ditinggalkan. Sejalan dengan pandangan tersebut Fazlurrahman dalam (Syam, (2005),

menyatakan bahwa tradisi Islam dapat terdiri dari element yang tidak islami dan tidak

didapatkan dasarnya dalam al-Qur‘an dan Sunnah. Jadi perlu dibedakan antara Islam

itu sendiri dengan sejarah Islam atau tradisi Islam. Ajaran Islam yang termuat di dalam

teks al-Qur ‘an dan hadis adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika

sumber tersebut digunakan atau diamalkan di suatu wilayah -sebagai pedoman

kehidupan- maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran

masyarakat lokalnya, karena penafsiran itu bersentuhan dengan teks suci, maka simbol

yang diwujudkannya juga merupakan sesuatu yang sakral.

Setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci yang dengannya orang

melakukan serangkaian tindakan untuk menumpahkan keyakinan dalam bentuk

melakukan ritual, penghormatan dan penghambaan. Salah satu contoh ialah melakukan

upacara lingkaran hidup baik yang memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama atau

yang dianggap tidak memiliki sumber asasi di dalam ajaran agama.

Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam sebuah budaya, merupakan kearifan

lokal, yang merupakan suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan

hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan

kearifan hidup. Kearifan lokal di dunia barat dikenal dengan berbagai istilah

diantaranya Lokal Knowledge (Pengetahuan local/setempat) Indigenous People

(Komunitas lokal/tradisional) atau Intellectual Property and Traditional Knowledge

(Kekayaan intelektual dan pengetahuan lokal) (Geertz. C., 2013). Istilah lain adalah

Local Wisdom ( Kebijakan setempat) (Astuti, 2016; Nurma Ali, 2007).

Setiap etnik memiliki nilai-nilai kearifan budaya lokal masing-masing. dalam

konteks akademik nilai-nilai kearifat lokal suatu masyarakat bercirikan: “(1)

berdasarkan pengalaman, (2) teruji setelah digunakan berabad-abad, (3) dapat

beradaptasi dengan kulturskini, (4) pada dalam praktek keseharian masyarakat dan

lembaga (5) lazim dilakukan oleh individu dan masyarakat secara keseluruhan (6)

Page 17: A. Penelitian Terdahulu

33

bersifat dinamis dan terus berubah, dan (7) sangat terkait dengan sistem

kepercayaan”.(Basyari, 2013).

Ciri-ciri tersebut, menurut Ayatrohaedi (1986) pada dasarnya setiap nilai

kearifan lokal yang menjadi karakter budaya mempunyai keunggulan-keunggulan

yaitu: “(1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan

mengakomodasi unsur-unsur budaya luar kedalam budaya asli (3) mempunyai

kemampuan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4)

memiliki kemampuan mengendalikan, (5) mampu memberikan arah pada

perkembangan budaya (Basyari, 2013). Sementara menurut (Koentjaraningrat, 2015a)

nilai budaya yang bernilai tinggi terutama dalam masyarakat yaitu apabila senang

bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar,

tercurahkannya nilai gotong royong, dan bentuk kerja sama dengan orang lain.

Inti kebudayaan sebagai makna dalam kehidupan manusia sarat dengan nilai

kebersamaan yang menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kepentingan

berapa pihak yang terlibat di dalamnya. Oleh karenanya diperlukan kesadaran bersama-

sama untuk mengupayakan perubahan yang sistematis menuju sistem sosial yang

dinamis dengan mendahulukan nilai-nilai teologis dan moral, sehingga adanya

percepatan pembangunan berbasis etika dan moral dan masyarakat yang madani dapat

terwujud.

Merujuk kepada teori kebudayaan, ternyata mentalitas dan pembangunan suatu

masyarakat, berupa gagasan-gagasan konsepsi, identifikasi, persepsi, penafsiran,

klasifikasi yang dimiliki pelaku budaya sebagai sistem mental yang berlandaskan

moral, spiritual dan kultural ketika dipedomani akan mengarahkan perilaku sosial pada

kehidupan yang lebih baik dan sempurna. Pemahaman seperti ini penting diyakini bagi

masyarakat yang ingin membangun kehidupan yang lebih sejahtera, adanya

keseimbangan material dan spiritual, mengingat persoalan agama dan moral sebagai

dasar pembangunan masih minim dilakukan (Nurdin, 2009).

Sejak Islam hadir dimuka bumi ini, telah memainkan peranannya sebagai

agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin. Hal ini tentunya membawa Islam sebagai

Page 18: A. Penelitian Terdahulu

34

bentuk ajaran agama yang mampu mengayomi keberagaman umat manusia dimuka

bumi ini. Islam sebagai agama universal sangat menghargai akan adanya budaya yang

terdapat pada sekelompok masyarakat, sehingga kehadiran Islam tidak bertentangan,

melainkan Islam sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, Hal ini membuktikan

bagaimana Islam sebagai ajaran yang fleksibel di dalam memahami kondisi kehidupan

suatu masyarakat.

Demikian pula pada kehidupan masyarakat di Indonesia, Islam merupakan hasil

dari proses dakwah yang dilaksanakan secara kultural, yang mampu berkembang dan

menyebar dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Islam bukanlah agama yang

lahir dalam ruang yang hampa budaya. Antara Islam dan realitas, meniscayakan adanya

dialog yang terus berlangsug secara dinamis. Ketika Islam menyebar ke Indonesia,

Islam tidak dapat terlepas dari budaya lokal yang sudah ada dalam kehidupan

masyarakat. Antara keduanya meniscayakan adanya dialog yang kreatif dan dinamis,

sehingga Islam dapat diterima sebagai agama baru tanpa harus menghilangkan budaya

lokal yang sudah ada. Budaya lokal yang berwujud dalam tradisi dan adat masyarakat

setempat, tetap dapat dikerjakan tanpa melukai ajaran Islam, sebaliknya Islam tetap

dapat diajarkan tanpa mengganggu harmoni tradisi dalam masyarakat.

Islam mengakui keberadaan adat kebiasaan masyarakat, karena hal itu

merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Islam membiarkan kearifan lokal

yang tidak mengotori akidah Islam agar tetap eksis. Sebagai agama yang wasatiyah

dan ramah budaya, Islam bahkan mengadopsinya untuk melahirkan sintesis budaya

baru (M. Arifin, 2016), namun bukan berarti akomodotifnya Islam lantas menerima

begitu saja segala wujud kebudayaan yang ada, atau bahkan menghapusnya akan tetapi

memperkaya dan diberi sentuhan nilai Islam di dalamnya.

Pertautan antara budaya lokal tidaklah berarti mengorbankan Islam dan

menempatkan Islam kultural sebagai jenis Islam yang rendahan dan tidak bersesuai

dengan Islam yang murni yang ada berkembang di jazirah Arab, tapi Islam kultural

dapat dilihat sebagai bentuk varian Islam yang sudah berdialektika dengan realitas di

mana Islam berada dan berkembang (N. Widiana, 2015). Islam dan budaya lokal tidak

Page 19: A. Penelitian Terdahulu

35

dapat dipisahkan, keduanya saling mendukung dan melengkapi yang terjadinya

akulturasi.

Olehnya, konsep nilai-nilai dan budaya lokal yang menjadi pedoman bagi

perilaku kehidupan dalam masyarakat tentunya nilai-nilai yang bersumber dari ajaran

agama yang bersumber pada al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah saw. Mahmud Syaltut

berpendapat bahwa dalam al-Qur‘an terkandung tiga aspek, yaitu aqidah, syariah dan

akhlak. Pencapaian ketiganya perlu diusahakan melalui empat cara: a) perintah

memperhatikan kondisi alam raya, b) perintah terkait pertumbuhan dan perkembangan

manusia, c) kisah-kisah, serta d) janji dan ancaman duniawi atau ukhrawi (Shihab,

2005). Oleh karenanya, nilai-nilai dan budaya yang hendak diwariskan kepada umat

manusia adalah nilai-nilai dan budaya Islam, yang terangkum dari ketiga aspek di atas

yaitu nilai aqidah, nilai ibadah dan nilai akhlak.

Ketika berbicara aqidah maka unsur yang pertama tentunya terkait tentang Iman

yakni kepercayaan kepada Allah swt, para malaikatNya, para RasulNya, kitabNya, dan

hari akhir. Adapun Islam, yakni bagaimana seorang hamba mengabdikan dirinya hanya

kepada Allah swt dan tidak mempersekutukannya, menjalankan segala perintahNya

dan menjauhi laranganNya, mendirikan ṣalat, puasa dan zakat. Kemudian ada Ihsan,

sebagai bentuk totalitas muslim dalam beribadah kepada Allah swt. Kesemua unsur

aqidah ini merupakan landasan utama Muslim dalam menjalankan tugasnya sebagai

khalifah dimuka bumi ini, pengingkaran terhadapnya berarti sebagai bentuk

kemusyrikan.

Adapun syariah merupakan hukum agama Islam yang terdapat dalam Al-

Qur‘an dan hadis, sedangkan akhlak merupakan budi pekerti yang merujuk kepada

Akhlak Rasulullah saw.

Allah swt berfirman dalam QS. Al-Ahzab (33): 21

ر الله ذك ر و الخ م و الي و و الله رج ان ي ن ك م ل ة حسن ة و أس ول الله م في رس ان لك د ك لق

كثير

Terjemah: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahnat) Allah dan (kedatangan)

Page 20: A. Penelitian Terdahulu

36

hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Demikian pula pada hadis Asiyah Radiyallahu Anha yang diriwayatkan dari Abu

Huraitah r.a yang menyatakan Sesungguhnya akhlak Rasulullah saw adalah al-Qur‘an.

(HR. Muslim)

Bertolok dari penjelasan tersebut, maka sesungguhnya nilai-nilai dan budaya

yang hendaknya diwariskan kepada seluruh umat manusia khususnya umat Islam

adalah nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam berdasarkan al-Qur‘an dan hadis,

nilai dan budaya inilah yang dikelompokkan kepada nilai dan budaya Islam.

Ketika Islam masuk kedalam bagian budaya lokal, ia akan mempengaruhi budaya

lokal dan akhirnya akan membentuk “tradisi Islam” atau lebih spesifik lagi tradisi Islam

lokal (local Islamic tradition). Menarik untuk dipahami pandangan Muhaimin (2000)

bahwa tradisi Islam sebagai pengetahuan, kebiasaan, praktik ataupun doktrin yang

diwariskan secara turun temurun, dengan cara penyampaiannya baik itu yang datang

dari atau dihubungan dengan atau melahirkan jiwa Islam.

Suatu tradisi atau unsur tradisi dikatakan bersifat islami ketika pelakunya

bermaksud atau mengaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam, karena

ketika merujuk kepada salah satu hadis Nabi Muhammad saw yang menekankan

pentingnya niat dalam tindakan manusia, dan niat sebagai penentu diterima atau

tidaknya suatu perbuatan. Olehnya jika tindakan tradisi diniatkan karena Allah, maka

nilainya adalah ketaatan kepada-Nya.

Pakar antropologi Robert Redfield, melihat budaya lokal dan Islam menjadi

dua konsep yaitu Great tradition dan little tradition. Menurutnya Great Tradition

dalam sebuah peradaban terbentuk dari sejumlah kecil orang-orang yang reflektif,

sedangkan Little Tradition berasal dari sekian banyak orang yang tidak reflektif. Great

tradition dibentuk di lembaga sekolah berupa Tradisi filsuf, teolog, dan sastrawan

berupa tradisi yang dikembangkan dan diwariskan secara sadar, sehingga kemungkinan

mempunyai kesempatan untuk berkembang.

Teori little tradition terjadi dan bertahan dalam kehidupan komunitas yang

dianggap tak memilki pendidikan dalam kelompok masyarakat pedesaan.; dan

Page 21: A. Penelitian Terdahulu

37

tradisinya sebagian besar adalah taken for granted, sehingga tidak mampu berkembang

karena lebih dominan menerima sesuatu yang apa adanya, dan tidak bisa berharap

banyak akan lahir karya-karya kreatif. Dan kondisi inipun tetap berlanjut, karena

dianggap tidak patut diperbaiki ataupun diperbaharui sehingga tidak membutuhkan

penyelidikan secara kritis (Redfield, 1956).

Tradisi besar merujuk pada praktek keberagamaan serta lebih dekat pada tradisi

asal agama tersebut muncul, yang menjadikan Al-Qur‘an, sunnah Rasul dan tradisi

masyarakat Arab sebagai sumber utama hukum Islam dan tradisi kecil sebagai ekspresi

keberagamaan yang berdampingan dengan budaya atau tradisi lokal dimana

masyarakat pemeluk agama tertentu tinggal, keberagamaan yang terjadi perjumpaan

akulturatif dengan tradisi lokal

Menurut Azyumardi Azra (Azra & Abdullah, 2005) istilah Little tradition dalam

perkembangan diskursus kajian Islam cenderung ditinggalkan untuk diganti dengan

istilah tradisi lokal (local tradition) guna menjelaskan Islam yang mengejawantah di

dalam lingkungan masyarakat sosial budaya lokal tertentu. Istilah lain, pakar studi

Islam Komaruddin Hidayat menyebutnya sebagai “local genius” atau “local wisdom”

(K. Hidayat, 2003).

Oleh karenanya, konsep ini dianggap cenderung menjudge yang lain, seperti

kasus dalam Islam, sangat terasa ada bias yang diperlihatkan dalam konsep tersebut.

Jika great tradition dianggap Islam center dan Little tradition disebut Islam pinggiran.

Maka muncul suatu penilaian kembali, siapa yang dianggap sebagai Islam yang murni

dan menjadi pedoman pertama dan yang dianggap Islam yang menyimpang atau tidak

murni yang disebut sinkretik, nominal dan lain sebagainya.

Redfield memang berusaha memperjelas konsep tradisi besar dan tradisi kecil

ini, dengan mengutip pandangan Von Grunebaum (1955) bahwa dalam negara Islam,

Islam secara umum berada pada posisi tradisi besar, sementara tradisi kecil adalah

tempat bagi arus dasar yang lebih merakyat. Tradisi kecil masih diketahui oleh kaum

terpelajar, akan tetapi secara resmi diingkari (Pranomo, B., 2011).

Redfield berusaha menjembatani celah antara sarjana humanistik dan para

Page 22: A. Penelitian Terdahulu

38

orientalis di satu pihak dan para antropolog di pihak lain. Sarjana humanistic dan para

orientalis mengkaji suatu tradisi dari “atas”, yakni dengan mempelajari dokumen-

dokumen tertulis dan karya-karya seni segelintir kalangan yang terpelajar dari

peradaban besar. Dilain pihak para antropolog mempelajari tradisi dari “bawah”, yaitu

dengan mempelajari realitas-realitas nyata dalam kehidupan sosiokultural komunitas

kecil. Redfield menyatakan kebanyakan sarjana dapat memahami peradaban yang

mereka pelajari sebagai sesuatu yang asik dan unik, namun selalu mengubah interaksi

antara tradisi besar dan tradisi kecil. Peradaban berisi pemikiran-pemikiran yang

ekspresinya diwujudkan dalam bentuk tindakan dan simbol; peradaban terdiri dari

bagian-bagian atau level-level, masing-masing lebih sering hadir ke tengah

sekelompok orang yang menjalankan peradaban dibandingkan kelompok lain

(Redfield, R., 1956).

Konsep Redfield tentang tradisi besar dan tradisi kecil pada hakekatnya sangat

membantu dalam mendorong para antropolog untuk memaparkan subjek studi mereka

dalam konteks yang lebih luas. Ketika seseoramg antropolog mempelajari masyarakat

primitive yang terisolasi, konteksnya adalah komunitas itu sendiri beserta kebudayaan

lokalnya yang ada kala itu. Akan tetapi, ketika mempelajari masyarakat petani atau

komunitas yang mirip petani serta budaya mereka, konteksnya diperluas hingga

mencakup unsur-unsur tradisi besar yang ada atau yang pernah ada. Dalam interaksi

dengan budaya lokal dan kekinia, karya Redfield memberi peringatan untuk tidak

memperlakukan budaya petani sebagai sesuatu yang otonom.

Maka pembagian tradisi besar dan tradisi kecil juga merupakan sebuah

penyederhanaan yang berlebihan, seperti yang dinyatakan sendiri oleh Redfield, suatu

peradaban memiliki cakupan regional yang luas dan kedalaman historis yang tinggi.

Peradaban adalah “ sebuah keseluruhan dalam ruang dan waktu yang dengan

kompleksitas tatanannya meneguhkan dan mengembangkan tradisinya sendiri dan

mengkomunikasikan itu semua kepada berbagai tradisi kecil lokal yang ada di

dalamnya (Redfield, 1956; Pranomo, 2011).

Kompleksitas tersebut tidak cukup hanya jika digambarkan dengan dikotomi

Page 23: A. Penelitian Terdahulu

39

sederhana. Jika menggunakan kerangka ini, seorang peneliti lapangan akan

menghadapi masalah konseptual. Siapa yang termasuk pada tradisi besar dan kecil.

Telah banyak para antropolog yang mengikuti konsep Redfield ini, termasuk

diantaranya Geertz. Walaupun demikian masih banyak ahli yang mengkritisi konsep

ini, karena tidak secara jelas memaparkan siapa yang termasuk kedalam konsep great

tradition dan siapa yang termasuk kedalam little tradition. Jikapun dikatakan yang

termasuk great tradition adalah orang-orang reflektif dan little tradition adalah

sekelompok orang-orang yang tidak reflektif. Pertanyaannya adalah siapakah yang

termasuk dalam kosep reflektif dan orang-orang yang tidak reflektif.?

Sebagian besar sistem keagamaan dan keyakinan, terdapat berbagai macam

sekte atau mazhab pemikiran dan masing-masing memiliki kelompok yang reflektif.

Menganggap seseorang yang reflektif sebagai agen tradisi besar berarti mengabaikan

variasi internal dalam agama. Akan menyesatkan, ketika mengidentifikasikan sekte

atau kelompok tertentu sebagai wakil tradisi besar.

Sebaliknya, dapat ditanandaskan perbaikan sekte-sekte akibat terjadinya

interaksi antara tradisi besar dengan tradisi kecil serta proses saling pinjam dalam

berbagai tingkatan. Dengan demikian, dapat dikatakan masing-masing sekte akan

menciptakan tradisi khasnya sendiri, meski di lain pihak hal ini akan mengaburkan

beragam variasi yang terdapat diantara tradisi-tradisi itu sendiri.

Memang, untuk mempertahankan pendapat Robert Redfield dapat dikatakan,

bahwa dalam sebuah tradisi terdapat elemen-elemen baik dari tradisi besar maupun

tradisi kecil. Muncul permasalahan lain, yaitu kriteria apa yang dapat dipergunakan

untuk menentukan elemen-elemen yang berasal dari tradisi besar dan tradisi kecil, di

sinilah kita diperhadapkan dengan realitas keragaman itu sendiri -baik dalam sekte,

interpretasi atau mazhab pemikiran- yang terdapat dalam sebuah tradisi.

Jika keragaman tersebut diabaikan, muara yang akan dijumpai adalah sebuah

kekeliruan sistematis atau penyederhanaan ala Geertz, dan kesalahan yang sama akan

diulangi oleh antropolog lain yang secara ceroboh menggunakan konsep tradisi besar

dan tradisi kecil. Penggunaan dikotomi selalu berarti menempatkan tradisi- tradisi

Page 24: A. Penelitian Terdahulu

40

tertentu lebih superior dari yang lain, penilaian seperti ini sudah tentu bersifat

etnosentris dan menghalangi peneliti untuk memperlakukan tradisi secara obyektif..

Ketika Geertz mengatakan Santri kolot di Jawa sebenarnya bukan bagian terbesar dari

umat Muslim Jawa tetapi yang paling sedikit (Geertz, 1960) sesungguhnya dia sedang

memperkenalkan persepsi yang bias modernism etnosentris. Demikian pula juga dalam

penggunaan kategori Islam murni adalah terpusat pada dunia Arab, dan Islam periferi

(pinggiran) mengacu kepada Islam yang berada di luar wilayah pusat seperti wilayah

Iran, Turki, Melayu, dan juga Indonesia.

Akan lebih masuk akal sekiranya dapat dikelompokkan elemen-elemen

tradisional tertentu ke dalam kategori tradisi yang baru. Jika orang tidak hanya bisa

dikelompokkan menjadi orang kaya dan orang miskin berdasarkan kekayaannya

semata, lalu mengapa dengan tradisi kita menganggapnya sebagai peradaban yang

hanya terdiri dari tradisi besar dan kecil. Segelintir kalangan yang berefleksi belum

tentu serta merta menjadi agen tradisi besar. Mereka bisa jadi justru menciptakan tradisi

baru yang membedakannya dari apa yang secara umum dipandang sebagai tradisi besar

dan tradisi kecil. Pendekatan semacam ini dimungkinkan melahirkan sebuah perspektif

yang lebih luas perihal kehidupan sosio kultural. Oleh karenanya, pada penelitian ini

tidak akan memahami segelintir kalangan yang berefleksi, seperti dikemukakan

Redfield itu semata-mata sebagai mediator antara tradisi besar dan tradisi kecil.

Akan tetapi lebih memandang segelintir kalangan yang berefleksi, para hakim

syara’ dan kelompok perantara lainnya sebagai penciptra tradisi mereka sendiri.

Misalnya sosok seorang Kyai di pulau Jawa adalah pencipta sekaligus agen dari sebuah

tradisi yang khas, tradisi pesantren (Dhofier, 1982). Tradisi pesantren ini berbeda

dengan tradisi kecil di Jawa dan juga tradisi besar Islam di luar Jawa dan Indonesia.

Pesantren adalah sebuah contoh konkret dari sebuah tradisi yang khas, yang terletak

diantara tradisi besar dan tradisi kecil (Pranowo, 2011).

Sebuah peradaban terdapat ruang yang begitu luas bagi tradisi-tradisi yang

khas, beragam variasi yang tidak dapat terwakilkan oleh dikotomi segelintir kalangan

yang berefleksi dan sejumlah kalangan yang tidak berefleksi semata, antara yang

Page 25: A. Penelitian Terdahulu

41

terpelajar dengan yang tidak terpelajar. Tradisi tidak dimonopoli oleh mereka yang

terpelajar saja, sementara yang tidak terpelajar hanya partisipan pasif dan hanya

berindak menurut pendapat dan inisiatif yang terpelajar.

Peneliti sejalan dengan pandangan (Pranowo, 2011) untuk memahami tradisi

sebagai ‘sesuatu yang diciptakan’ sekaligus ‘sesuatu yang diwariskan dari masa lalu’,

karena dapat didekatkan dengan modernisasi, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai

fenomena yang berada dalam tatanan yang sama, sehingga hal ini memungkinkan

untuk mengakui bahwa dalam pola-pola tradisional -adat istiadat, kepercayaan,

praktik- ditemukan sesuatu yang berfaedah yang dapat diterapkan pada masa sekarang.

Selain itu, ketika masyarakat menganggap aspek-aspek tertentu dari kehidupan

sosial dan budaya mereka layak diwariskan ke generasi yang akan datang, dapat

dipastikan aspek-aspek itu akan dihadirkan. Diwariskan atau bahkan ‘direkayasa

sebagai tradisi yang diciptakan”, dengan mengelompokkan elemen-elemen tradisional

tertentu kedalam kategori tradisi yang khas, karena suatu tradisi yang mandiri tidak

dapat lagi diukur dengan konsep tradisi besar ataupun kecil.

Mengingat segelintir orang berefleksi belum tentu menjadi agen besar tradisi

besar seperti konsep Redfield, bahkan bisajadi mereka membentuk tradisinya sendiri

yang baru, berbeda dengan konsep tradisi besar ataupun kecil. Olehnya akan di

temukan dalam sebuah peradaban terdapat ruang yang begitu luas terhadap tradisi-

tradisi yang khas, yang bukan perwakilan antara kaum yang terpelajar ataupun yang

tidak terpelajar.

Kajian yang menempatkan masyarakat lokal dalam merespon agama atau

pengaruh budaya lokal terhadap pemahaman keagamaan sebagai fokus pembahasan,

dan menggunakan konsep sinkretik misalnya saja Gertz (Geertz. C., 2013) dengan

topik Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Geertz menggambarkan bahwa

komunitas masyarakat Jawa mempunyai agama lokal yang terbagi pada tiga konsep

yaitu kaum abangan yang tinggal di wilayah pedesaan Jawa yang masih meyakini

kekuatan gaib dan ritualnya serta kepercayaan numerology. Santri yaitu kelompok

yang penghuninya berpusat di pasar, yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang

Page 26: A. Penelitian Terdahulu

42

kokoh terhadap Islam, dan terbagi menjadi kaum modernis yaitu Muhammadiyah dan

NU. Priyayi, wong alusan yang tinggal di kota, memiliki tradisi, kepercayaan dan

ritualnya masih dipengaruhi Hindu dan Budha.

Berbagai macam kajian tentang Islam di Indoensia merujuk pada penelitian

Geertz, ada yang mendukung ada pula yang menolak. Asumsi bagi yang mendukung

menganggap Islam di Jawa adalah sinkretik. Agama Jawa yang kelihatannya Islam dari

penampakan luar namun sebenarnya agama sinkretis karena berpadu antara budaya

Islam, Hindu dan Budha. Beatty (1994) adalah salah satu pendukung Gesrtz

menyatakan bahwa selametan merupakan bentuk sinkretisme antara persinggungan

Islam dengan beberapa keyakinan lokal, sesuai yang dipaparkannya dalam tulisannya

yang berjudul Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan.

Kajian Mulder (1999: 3-18) dengan konsep barunya Islam lokalitas.

Sinkretisme menurutnya adalah perpaduan antara Islam dan budaya yang tidak

diketahui yang mana dominan, sedangkan konsep lokalitas dapat diketahui mana yang

dominan. Konsep lokalitas selalu terjadi suatu unsur yang beradaptasi, dimana Islam

yang menyesuaikan dengan unsur lokal yang sesuai, sehingga yang nampak unsur

lokalnya bukan agama Islam. Olehnya membentuk agama lokal Jawa, walaupun

penampakannya dari luar adalah Islam

Penelitian lain yang bersifat sinkretik adalah kajian yang dilakukan oleh Alfani

Daud (1997) yang menganalisis Islam lokal di pulau Kalimantan. Beliau membagi tiga

varian perilaku sosial keagamaan masyarakat Banjar yaitu kepercayaan bubuhan,

kepercayaan Islam, dan kepercayaan lingkungan.

Kepercayaan bubuhan adalah masyarakat yang masih memiliki keterikatan

dengan masa lampau, pada masa sultan-sultan dan sebelumnya. Kepercayaan Islam

identik dengan varian santri (dalam kerangka berpikir Geertz). Kelompok ini berisikan

para ulama, yang berusaha menjadi muslim yang kaffah dengan menjalankan ajaran

Islam secara asli dan murni, menjauhkan diri dari pengaruh dan dampak yang tidak

diakui oleh Islam, sedangkan kepercayaan Lingkungan merupakan penganut dan

keyakinan bahwa alam memiliki penghuni makhluk halus, yang terdapat di hutan

Page 27: A. Penelitian Terdahulu

43

ataupun gunung.

Sedikit berbeda dengan kajian etnografi tentang tradisi Islam lokal pesisiran

yang dilakukan oleh Syam (2005), menjelaskan bahwa proses transformasi adalah

bagaimana masyarakat pesisir melakukan berbagai upacara, yang hakekatnya

bertumpu pada medan budaya Makam, Sumur dan Masjid. Medan dapat

mempertemukan berbagai varian di dalam penggolongan sosio religius dan menjadi

medan interaksi sebagai wadah untuk transformasi, legimitasi dan habitualisasi.

Teori Nur Syam seyogyanya dapat menjadi acuan pada penelitian ini, di mana

masyarakat Misool lebih cenderung belajar Islam melalui budaya dan tradisi yang telah

dilaksanakan secara turun temurun. Terlebih lagi dengan melihat locus penelitiannya

kepada sisi geografis wilayah Pesisir. Terkait dengan teori Islam kolaboratif, masih

perlu dikaji keabsahan teorinya pada masyarakat Misool, mengingat konteks

kolaboratifnya tidak ditemukan dengan kondisi penggolongan sosial akan tetapi karena

masih berada pada konteks budaya lokal mereka, tradisi yang telah dilaksanakan secara

turun temurun, yang masih beraksentuasi kepada Islam tradisional, bahkan sulitnya

menerima tradisi modern.

Demikian pula dengan M. Yusuf Wibisono (Wibisono, 2013) dalam

disertasinya menggambarkan perbedaan karakter khsusus yang dianut Islam Pesisir

Patimban. Karakter tersebut terlihat dari keberagamaan mereka yang tidak terlepas dari

konteks lokalitasnya. Hal ini membantahkan teori yang dilahirkan oleh Geertz terkait

Islam sinkritis, Woodward. R.M., (1999) dengan Islam Akulturatifnya bahkan terhadap

tipe Islam Kolaboratif versi Nur Syam. Yusuf menghadirkan Islam Kompromi yang

menjadi kombinasi dari ketiga tipologi sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tradisi

keberagamaan merupakam hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki

keunikan tersendiri yang tidak bercorak genuin Islam dan juga bukan tradisi lokal

(kejawen) murni.

Problema lain yang bersinggungan antara hubungan Islam dengan budaya lokal

adalah penentuan kemurnian akan agama Islam. Terdapat beberapa penelitian yang

Page 28: A. Penelitian Terdahulu

44

dianalisis oleh Nur Syam (2005), Mudjahirin Thohir (2006), dan Bambang Pranowo

(Pranowo, 2011) mencoba untuk membuktikan kemurnian Islam yang hidup dalam

ranah lokal, dan sekaligus mengkritisi, merevisi kekeliruan kajian Geertz dan para

pendukungnya.

Nur Syam (Syam, 2005) memilih Kecamatan Palang, yang berada di wilayah

pesisir utara Tuban, sebagai objek penelitiannya. yang menemukan tiga varian di yaitu

varian Abangan, NU, dan Muhammadiyah, dan menghasilkan teori Islam Kolaboratif.

Kajian Mudjahirin Thohir (Thohir, 2006) yang meneliti di Bangsri Jepara (Jawa

Tengah), menghasilkan dua varian inti yakni santri (kaum) dan non-santri (nasional).

Kaum santri merupakan orang yang background pemikirannya NU (Nahdlatul Ulama),

Muhammadiyah, dan Syi‘ah; sedangkan varian non santri mereka yang tidak tergolong

kategori varian kaum santri.

Kajian Bambang Pranowo (Pranowo, 2009) kajiannya berpusat pada

masyarakat Tegalroso, Magelang (Jawa Tengah) yang berprofesi sebagai petani. Dan

menunjukkan fenomena Islam murni dengan adanya praktik sufistik pengaruh dari

Pesantren Tegalrejo Sebagai pesantren tasawuf, pesantren ini menjadi pelopor

kegiatan-kegiatan kultural dan religius dan tergabung dalam tradisi lokal seperti

Senenan, khataman, pengajian dan mujahadah.

Bertolok dari kajian di atas, sangatlah jelas bahwa Islam yang “murni” hasil

dari kajian beberapa peneliti sesungguhnya bukanlah makna “murni” sebagaimana

dalam konsep Islam Great Tradition dalam penjelasan sebelumnya, melainkan sebuah

perpaduan antara budaya lokal dan Islam. Bahkan, bagi kalangan kelompok Islam

“murni” yang di maksud pada penelitian tersebut masih meninggalkan konflik

meskipun dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yang menampakkan bahwa persoalan

“kemurnian” akan tetap meninggalkan berbagai permasalahan dan perdebatan.

Melihat konsep budaya lokal dan persinggungannya dengan Islam di wilayah

pulau Misool ketika merujuk kepada konsep teori tradisi besar dan tradisi kecil Robert

Redfield, diasumsikan akan memperoleh konsep baru yang sesuai dengan kultur

budaya dan wilayah kepulauan Misool itu sendiri, apakah identik dengan Islam

Page 29: A. Penelitian Terdahulu

45

Sinkretik atau Islam murni, atau menggunakan konsep tradisi pengertian yang lebih

luas.

C. Sistem Transmisi

Proses transmisi atau pewarisan dari generasi sebelumnya adalah langkah yang

paling mudah untuk tetap melestarikan sebuah kebudayaan. Fortes mengungkapkan

bahwa transmisi adalah proses belajar dengan meniru orang yang lebih tua dan

mengidentifikasikan diri dengan berperan serta dalam kegiatan sehari-hari

(Koentjaraningrat, 2015a). Transmisi merupakan salah satu cara untuk

mempertahankan keberlangsungan sebuah pendidikan dan kebudayaan, tidak hanya

bentuk budaya, melainkan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Proses ini

terjadi secara alamiah sebab terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa paksaan.

Melalui internalisasi dan pewarisan budaya, pendidikan berfungsi sebagai

sosialisasi dari kebudayaan pada setiap individu, yang saling berhubungan dengan

nilai-nilai pada masyarakat setempat dan memelihara interaksi antar masyarakat,

sehingga terbentuk kemajuan peradaban. Pendidikan berperan sebagai agen

pembelajaran dari nilai-nilai suatu budaya. Suatu kebudayaan dapat kekal jika

kemampuan bekerja dan daya cipta yang kuat dalam memberikan petunjuk dan

bimbingan para pendukungnya. Olehnya kebudayaan diwariskan kepada generasi

penerus melalui proses pembelajaran nilai-nilai dan cara bersikap. Bukan hanya

sekedar diturunkan dari orang tua ke anak-anaknya, tetapi juga pada proses interaksi

antara pribadi dengan kebudayaan, karena setiap pribadi bukan agen yang pasif, tetapi

agen yang kreatif..

Menurut Piere Bourdieu dan Jean Claude (Bourdieu & Jean Claude Passeron,

1990), sistem pendidikan mengesahkan transmisi kekuasaan dari generasi satu ke

generasi lainnya, karena salah satu fungsi pendidikan adalah transmisi budaya. Melalui

pendidikan suatu budaya dapat ditransmisikan kepada generasi mudanya. Demikian

pula kebudayaan dalam sistem keberadaannya tidak diperoleh dengan cara instant akan

tetapi melalui proses belajar yang panjang. Proses belajar yang tidak hanya diterima

Page 30: A. Penelitian Terdahulu

46

dalam proses pewarisan dan transmisi pada lingkungan keluarga dan lembaga

pendidikan sekolah saja, akan tetapi melalui interaksi dengan lingkungan alam dan

sosial dalam kehidupan masyarakat.

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam

arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Pada konteks

kebudayaan justru “pendidikan” memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-

nilai budaya. Olehnya, pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses

pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki, kebudayaan

bisa lestari apabila memiliki daya kerja yang kuat dalam memberikan arahan para

pendukungnya. Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya

lewat proses belajar tentang tata cara bertingkah laku, sehingga secara wujudnya,

substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-

anggotanya (Zulfah, 2011).

Konsep transmisi budaya telah digunakan oleh Cavalli-Sforza dan Feldman

pada tahun 1991 untuk membandingkan gagasan mengenai transmisi biologis atau

genetik, melalui mekanisme genetik, ciri-ciri tertentu dari suatu populasi diabadikan

dari waktu ke waktu lintas generasi. Adanya kelompok budaya dapat terus-menerus

menghidupkan ciri-ciri tingkah laku di antara generasi berikutnya menggunakan

mekanisme belajar-mengajar. Transmisi budaya dari orang tua ke keturunannya disebut

transmisi vertikal oleh Cavalli-Sforza dan Feldman, karena melibatkan turunnya

karakteristik suatu budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Sementara transmisi

vertikal adalah satu-satunya bentuk transmisi biologis, sedangkan terdapat dua bentuk

transmisi budaya lainnya, yaitu melalui garis horisontal dan serong/oblique (J.W.

Berry, 2002).

Berry melengkapi konsepnya dengan beragumen bahwa nilai-nilai hidup,

tradisi budaya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal individu maupun

kelompok. Faktor internal individu dilihat dari faktor jenis kelamin, usia, pendidikan,

dan bahasa yang dipergunakan sehari-hari. Pendidikan sangat mempengaruhi nilai

budaya dari masyarakat, menurut pandangan Prince-Gibson & Schwartz, (1998) dari

Page 31: A. Penelitian Terdahulu

47

hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pendidikan memiliki hubungan timbal balik

yang positif dengan nilai pengembangan diri sendiri dan nilai stimulasi serta

berkorelasi negatif dengan nilai kerahasiaan dan nilai tradisional (J.W. Berry, 2002).

Jenis kelamin berpengaruh dalam pembentukan nilai-nilai budaya, orang

dengan jenis kelamin laki-laki maka tipe nilai-nilai yang dimilikinya dominan kepada

nlai kekuatan, nilai prestasi, nilai stimulasi nilai hedonisme sedangkan pada

perempuan, lebih dominan pada nilai-nilai kebajikan, dan nilai keamanan. Dan

seseorang yang berusia muda akan menunjukkan nilai keterbukaan yang lebih besar

dibandingkan yang usianya lebih tua (J.W. Berry, 2002)

Faktor eksternal meliputi proses transmisi yaitu proses pada suatu budaya yang

mengajarkan pembawaan perilaku yang sesuai kepada para anggotanya. Transmisi

budaya terbagi menjadi tiga berdasarkan sumbernya, yaitu: Vertical Transmisi

(orangtua), Oblique Transmisi (orang dewasa atau lembaga lain) dan Horizontal

Transmission (teman sebaya) (Cavalli-Sforza dan Feldman dalam Berry, 1999).(J.W.

Berry, 2002)

Transmisi pendidikan dan budaya, dapat berasal dari budaya sendiri maupun

berasal dari budaya lain, yang akan terjadinya proses enkulturasi

(pembudayaan/pewarisan), sosialisasi (sosialisasi/pemasyarakatan), pendidikan

(pendidikan), dan lembaga persekolahan (persekolahan). Menurut Fortes dalam

Tilaar, (2002) proses transmisi dapat terjadi melalui proses imitasi, identifikasi dan

sosialisasi, dan akulturasi serta resosialisasi (J.W. Berry, 2002).

Page 32: A. Penelitian Terdahulu

48

Gambar : 3

Teori Transmisi budaya Berry

Pada proses Transmisi vertikal terjadinya proses enkulturasi dan sosialisasi

khusus dalam kehidupan sehari-hari dari orang yang lebih tua/ orangtua, seperti pola

asuh. Orangtua mentransmisikan nilai, motif budaya, keyakinan, keterampilan,

keyakinan dan banyak hal kepada generasi mereka. Misalnya seorang anak dapat rajin

ṣalat karena melihat orang tuanya, sedangkan transmisi oblique dapat terjadi

enkulturasi yang berasal dari kebudayaan sendiri dan yang berasal dari kebudayaan

yang berbeda.

Transmisi horizontal adalah proses enkulturasi dan sosialisasi pemindahan nilai

melalui teman sebaya, misalnya dari teman sebaya yang sebudaya. Dan terbentuk

melalui proses akulturasi dan resosialisasi khusus apabila terjadi interaksi dengan yang

berasal dari luar budaya setempat, yaitu interaksi seseorang dengan teman sebaya yang

berasal dari suku lain (J.W. Berry, 2002).

Page 33: A. Penelitian Terdahulu

49

Enkulturasi merupakan proses dimana suatu kelompok memasukkan individu

ke dalam budayanya sehingga memungkinkan individu membawa perilaku sesuai

harapan budaya. Enkulturasi menurut Henskovits berasal dari aspek-aspek dari

pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari

makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya (Manan,

1989).

Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung selama hidup, tetapi

proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan

seseorang. Enkulturasi bisa jadi dilakukan secara paksa selama awal masa usia dini,

tetapi ketika anak-anak bertambah dewasa, mereka akan belajar secara lebih sadar

untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya.

Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang

diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya

masyarakatnya.

Enkultrasi dan sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi memiliki kesamaan.

Meskipun caranya berbeda, tetapi tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia

menjadi dewasa. Sosialisasi menurut Zaitun, (2015) merupakan suatu proses

penyesuaian diri individu memasuki dunia sosial, sehingga individu dapat berprilaku

sesuai dengan standar pada masyarakat tertentu dan dapat diterima dalam kehidupan.

Proses sosialisasi seorang individu berlangsung sejak kecil. Mula-mula

mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan

terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau teman sepermainan

yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan masyarakat luas.

Kesamaan konsep sosialisasi dan enkulturasi dapat terlihat dari pernyataan Herkovits

yang mengatakan bahwa sosialisasi merupakan proses integrasi individu dalam sebuah

kelompok sosial, sedangkan enkulturasi merupakan proses yang menjadikan individu

menerima kompetensi dalam kebudayaan sosial masyarakat,

Akulturasi adanya perubahan suatu budaya dan psikologis yang disebabkan

adanya pertemuan dengan orang berbudaya lain dan memperlihatkan perilaku yang

Page 34: A. Penelitian Terdahulu

50

berbeda, sedangkan proses Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar, yang dapat

diterima melalui lingkungan keluarga dan semakin luas terhadap lingkungan

masyarakat lokal.

Transmisi unsur yang tidak dapat berjalan dengan sendirinya tanpa ada aktor

dan manipulator yaitu manusia, sehingga unsur yang ada perlu diidentifikasi. Proses

identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu

sendiri, selanjutnya, nilai-nilai atau unsur-unsur budaya yang ada haruslah

disosialisasikan yang diwujudkan dalam kehidupan nyata di lingkungan yang semakin

lama semakin meluas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan

pengakuan lingkungan sekitarnya. Artinya kelakuan tersebut harus mendapatkan

pengakuan sosial yang berarti bahwa kelakuan yang dimiliki tersebut adalah sesuai atau

seimbang dengan nilai yang ada di dalam lingkungannya (Tilaar, 2002).

Menurut Fortes (Tilaar, 2002) bahwa variable transmisi kebudayaan, harus

memperhatikan tiga hal yaitu unsur yang ditransmisi, proses transmisi dan cara

transmisi. Proses transmisi kebudayaan adalah proses pendidikan. Adapun unsur yang

ditransmisi adalah ajaran Islam, nilai-nilai Islam, adat istiadat masyarakat, pandangan

mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya. Proses transmisi meliputi imitasi,

identifikasi dan sosialisasi, dan cara transmisi berupa peran serta dan bimbingan.

Disinilah bagaimana fungsi peran serta dan bimbingan yang diberikan oleh transmitter

dalam mewariskan nilai-nilai Islam.

Jika mengacu pada penelitian Fortes pada suku Tallensi di Taleland, Ghana

Utara, tentang transmisi kebudayaan pendidikan pada umumnya, yaitu: Pertama:

Unsur-unsur yang menyangkut proses fisiologi, refleks, gerak, reaksi, penyesuaian

fisik yang diperlukan untuk dapat bertahan dalam masyarakat dan kebudayaan Tallensi.

Kedua: Sikap psikologis serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud yang sama.

Ketiga: Berbagai adat istiadat sosial, yang perlu untuk dapat berinteraksi dalam

masyarakat Tallensi. Keempat: Berbagai konsep nilai budaya, adat istiadat, dan

pandangan umum dalam kebudayaan Tallensi. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa

proses transmisi kebudayaan masyarakat Tallensi adalah proses belajar dengan meniru

Page 35: A. Penelitian Terdahulu

51

orang yang lebih tua (Koentjaraningrat, 2015a).

Berbeda dengan pandangan sebelumnya, Koentjaraningrat berpendapat bahwa

konsep terpenting mengenai proses belajar kebudayaan oleh warga masyarakat terbagi

menjadi tiga yaitu internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi adalah

proses panjang sejak seseorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal,

Individu belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu,

dan emosi yang diperlukan sepanjang hayat.(Koentjaraningrat, 2015b)

Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan

dengan sistem sosial. Proses tersebut, seorang individu dari masa anak-anak hingga

masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu

sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada

dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 2015a). Isi proses sosialisasi adalah

tradisi masyarakat itu sendiri, dan yang meneruskan pada generasi berikutnya adalah

keluarga. Proses sosialisasi keterampilan diantara anggota keluarga, dan anggota

masyarakat dilakukan baik secara horisontal (dalam satu generasi yang sama) maupun

secara vertikal (antar generasi satu ke generasi berikutnya) (Juhadi,1995).

Proses enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan

menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat, sistem norma, dan peraturan

yang hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam

alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang-orang di dalam lingkunga

keluarganya, kemudian dari temanteman bermain. Seringkali ia belajar dengan meniru

berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi akan

tindakan meniru itu diinternalisasi dalam kepribadiaanya (Koentjaraningrat, 2015b).

Demikian pula internalisasi dari sistem, pengetahuan,, dimana proses belajar

menurut kebudayaan tidak hanya diperoleh melalui transmisi di lingkungan sekolah

dan, keluarga melainkan juga hasil interaksi manusia dengan lingkungan alam dan

sosial. alam konteks kebudayaan.

Page 36: A. Penelitian Terdahulu

52

D. Pendidikan Agama Islam: Transmisi Ajaran Islam

Sejak kehadiran Islam lima belas abad yang lalu, telah memandang bahwa

pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang sangat strategis. Keberhasilan

dalam investasi pendidikan akan menentukan keberhasilan dalam pendidikan yang

lain. Perhatian ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti :

Pertama, Islam memandang pendidikan sebagai intrumen untuk membangun

kebudayaan dan peradaban, yaitu membangun daya cipta, rasa, dan karsa atau

membangun aspek fisik seperti pancaindra, akal pikiran, hati dan nurani secara

seimbang dan integrasi, sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam yang bersumber pada

Aluran dan sunna, sejarah, filsafat dan hasil renungan hati nurani yang mendalam

(Nata, 2016).

Menurut Nata, (2016) melalui kebudayaan akan dihasilkan nilai-nilai (values)

seperti etos kerja, disiplin, terbuka, berorientasi pada mutu, berbasis pada riset,

rasional, progresif, dinamis, kreatif, inovatif dan sebagainya. Nilai-nilai ini selanjutnya

akan menjadi cetak biru (blue print), referensi, sumber inspirasi, kerangka kognitif dan

acuan yang mendorong terjadinya berbagai aktivitas yang melahirkan karya inovatif,

baik yang bersifat fisik maupun non fisik yang produknya berupa ilmu pengetahuan,

filsafat, karya seni, teknologi dan sebagainya yang dikenal sebagai peradaban, sehingga

pendidikan benar-benar telah tampil sebagai investasi yang menggerakkan terjadinya

kemajuan dan kesejahteraan manusia.

Kedua, secara normatif, teologis, filosofis, historis dan sosilogis, Islam

memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan. Secara normatif, di

dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah swt dan rasul-Nya

memperkenalkan dirinya sebagai pendidik (ar-rabb) dan sebagai pengajar (al-alim dan

almu'allimin). Selain itu dalam al-Qur'an dan hadis terdapat istilah-istilah atau

nomenklatur yang berkaitan dengan pendidikan seperti at-tarbiyah, at-ta'lim at-tadris,

al-mau'idzah, at-tazkiyah, at-ta'dib, at-tafaqquh, at tazkirah, al-irsyad, at-tilawah, at-

talqin dan at-tabyin. Masing-masing istilah tersebut bukan hanya dalam bentuk tulisan,

akan tetapi telah dipraktekkan dalam sejarah. Bahkan maknanya lebih dalam dari

Page 37: A. Penelitian Terdahulu

53

istilah pendidikan di luar Islam seperti education, teaching, learning, instruction dan

training. Hal tersebut karena istilah pendidikan dalam Islam berbasis pada prinsip

tauhid yang memandang adanya kesatuan antara ayat qauliyah, ayat kauniyah, ayat

insaniyah, ayat qalbiyah, ayat jadaliyah, ayat irfaniyah dan ayat ruhaniyah (Nata,

2016).

Secara teologis, Islam memandang bahwa melaksanakan pendidikan

merupakan bagian dari tugas Ilahiyah atau kewajiban yang harus dilaksanakan yang

dapat berakibat dosa apabila tidak dilaksanakan. Dasar teologis inilah yang kemudian

menggerakkan pendidikan Islam mulai dari tingkat kota sampai daerah terpencil, baik

dalam keadaan normal maupun tidak. Secara filosofis terdapat sejumlah gagasan dan

pemikiran yang mendalam, sistematis, radikal, dan universal tentang berbagai aspek

yang terkait dengan pendidikan, terutama dengan asas-asas dan prinsip-prinsip

pendidikan, serta konsep-konsep tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam, ilmu

pengetahuan, etika dan sebagainya.

Konsep tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar bagi perumusan konsep

pendidikan, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga

pendidik dan kependidikan, pengelolaan, pembiayaan, sarana dan prasarana dan

sebagainya. Menurut Abuddin Nata (Nata, 2012, 2016) pertimbangan filosofis ini

masih tampak kurang mendapat perhatian yang sewajarnya karena filsafat masih belum

mendapatkan apresiasi yang sewajarnya.

Kemudian secara historis Islam sebagai pelopor pendidikan yang holistik,

universal, emansipatoris dan humanis yang hasilnya dapat dilihat dalam sejarah

sebagaimana yang terjadi di zaman klasik. Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam

telah melaksanakan pendidikan mulai dari tingkat usia dini hingga perguruan tinggi,

dari hadirnya lembaga pendidikan, bermunculannya tokoh ilmuwan muslim serta

karya-karyanya (Nata, 2012; Nata 2016).

Secara sosiologis pendidikan Islam yang dilaksanakan telah menerapkan

pendidikan yang berbasis masyarakat, yaitu berbagai lembaga pendidikan Islam

dengan aneka ragam jenis dan tingkatannya yang didirikan oleh masyarakat, untuk

Page 38: A. Penelitian Terdahulu

54

masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan

karakter ajaran Islam yang berbasis kerakyatan sebagai bagian dari ibadah sosial. Islam

mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya milik kaum elit atau monopoli

kelompok sosial tertentu, tetapi telah menjadi kewajiban kaum muslim, dengan prinsip

dasar bahwa education for all, minal mahdi ila lahd melaksanakan pendidikan.

Hal tersebut dilakukan karena secara sosiologis Islam memandang bahwa

pendidkan merupakan sarana bagi terjadinya proses mobilitas horizontal dan vertikal,

yakni selain akan membuka akses atau peluang yang lebih luas, juga akan

meningkatkan status sosial, ekonomi dan lainnya bagi masyarakat. Melalui pendidikan,

mereka yang semula berasal dari kalangan masyarakat akar rumput atau kelompok

marginal dari pedesaan dapat menjadi warga masyarakat pada tingkat lokal, nasional

maupun internasional (Nata, 2013).

Bertolok dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam

memandang pendidikan sebagai instrumen yang paling strategis untuk membangun

kebudayaan dan peradaban yang komprehensif, mendalam dan seimbang, fisik

pancaindra akal, hati dan rohani..

Khazanah dalam Islam, mengistilahkan pendidikan dengan istilah tarbiyah,

ta'dib dan ta‘lim (Fajar, 1999; Kholiq, 2015; Muhaimin., 2012). Asal kata tarbiyah

berasal dari kata rabba yang berarti memelihara , mendidik, dan mengasuh (Achmadi,

2004; Daradjat, 2006; Kholiq, 2015). Istilah ta‘lim merupakan masdar dari kata 'allama

yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengetahuan dan

keterampilan (Achmadi, 2004; Kholiq, 2015; Ramayulis, 2008), sedangkan istilah

ta'dib diartikan dengan adab, budi pekerti, etika, moral, tata krama, sopan santun, tata

karma, adab, budi pekerti, moral, etika dan akhlak (Kholiq, 2015; Nata, 2010).

Merujuk kepada ketiga term tersebut, hakekatnya kata tarbiyah lebih luas

cakupannya dalam melihat hakekat pendidikan, karena di dalamnya mencakup

pemeliharaan, bimbingan, arahan dan penjagaan serta pembentukan kepribadian.

Menurut Ahmad Fuad al Ahwany term tarbiyah mengandung makna pewarisan

peradaban dari satu kepada generasi yang lain.(al-Ahwaniy, t.t), sedangkan

Page 39: A. Penelitian Terdahulu

55

Muhammad al-Abrasy berpendapat bahwa al-tarbiyah bermakna kemajuan yang terus

menerus yang menjadikan seseorang dapat hidup dengan ilmu pengetahuan berakhlak

mulia, dan akal cerdas, sehingga dapat dikatakan bahwa Pendidikan Islam (trabiyah)

adalah proses pewarisan nilai-nilai dan budaya, dalam membentuk manusia yang

seutuhnya.

Pendidikan agama Islam, merupakan upaya untuk membimbing dan mendidik

semua aspek (potensi) yang ada pada manusia secara optimal secara hakekat (N.

Hidayat, 2015; Rohman, 2009). Menurut beberapa ahli diantaramya: Pertama, menurut

Syekh Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan adalah usaha menanamkan akhlak terpuji

dalam individu peserta didik yang dibarengi dengan petunjuk dan nasehat, sehingga

menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta

belajar yang berguna bagi tanah air. Kedua, menurut Ahmadi, pendidikan agama Islam

adalah segala upaya untuk menjaga fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada

padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan

norma Islam.

Ketiga, menurut Muhaimin., (2012) adalah upaya mendidikkan agama Islam

atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan dan sikap

hidup) seseorang. Kondisi ini dapat berwujud kepada segenap kegiatan yang dilakukan

seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan

dan atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan

sebagai pandangan hidupnya yang diwujudkan dalan sikap hidup dan dikembangan

dalam kehidupan sehari-hari. Atau kepada segenap fenomena atau peristiwa

perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan atau

tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa

pihak.

Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan agama Islam usaha

mendidik jasmanai dan rohani peserta didik agar terbentuknya kepribadian yang

utama berdasarkan pada hukum-hukum Islam (N. Hidayat, 2015; Ismail, 2008). Secara

sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan berdasarkan nilai–nilai ajaran Islam

Page 40: A. Penelitian Terdahulu

56

yang terdapat dalam al-Qur‘an dan al-Hadis dalam pemikiran para ulama dan dalam

praktik sejarah umat Islam.

Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, menurut Syamsul Nizar (2013) merujuk

kepada tiga sumber, yaitu dari Al-Qur‘an, Sunnah dan Ijtihad, sedangkan tujuan

Pendidikan Islam dalam Al-Qur‘an menurut Muhammad Dahil al Jamaly adalah a)

untuk menerangkan posisi anak didik dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini

sebagai manusia; b) menjelakan posisinya sebagai makhluk sosial di masyarakat; c)

penjaga alam semesta dan hubungannya dengan Allah swt sebagai pencipta alam

semesta ini.

Olehnya tujuan pendidikan Islam sama luasnya dengan kebutuhan hidup

manusia modern masa kini dan masa yang akan datang, di mana manusia tidak hanya

memerlukan iman atau agama melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai

alat untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia sebagai sarana untuk mencapai

kehidupan spiritual yang bahagia di akhirat. Tentu pedoman hidup ini bukan berisi

materi bagaimana caranya bertahan hidup (aspek materi/ekonomi), tapi pedoman hidup

disini adalah bagaimana cara menghadapi kehidupan (aspek efeksi/semangat Ilahiah)

(Muhaimin., 2012; Suradi, 2017).

Hakekat Pendidikan Agama Islam konsep dasarnya dapat dipahami dan

dianalisis serta dikembangkan dari al-Qur‘an dan al-Hadis, konsep operasionalnya

dapat dipahami, dianalisis, dan dikembangkan dari proses pemberdayaan pewarisan

dan pengembangan ajaran-ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari segi

generasi ke generasi, sedangkan secara praktis dapat dipahami, dianalisis dan

dikembangkan dari proses pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi muslim

pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam (Suradi, 2017).

Pendidikan Agama Islam tidak hanya mengantarkan manusia untuk menguasai

berbagai ajaran yang ada pada Islam, tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia

dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Terintegrasinya

keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotornya (Suradi,

2017), serta perilaku yang didasarkan dan digerakkan pada keimanan dan komitmen

Page 41: A. Penelitian Terdahulu

57

tinggi terhadap ajaran agama Islam itu sendiri (Roqib, 2009).

Tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi

Muhammad SAW. dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan

agama Islam. Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan,

dengan terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia maka akan terciptalah kultur

islami dalam sebuah masyarakat tugas pendidikan Islam setidaknya dapat dilihat dari

tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah; pendekatan Islam sebagai

pengembang potensi, proses pewarisan budaya, serta interaksi antara potensi dan

budaya (Saminan, 2015). Sebagai pewarisan budaya, tugas pendidikan Islam adalah

alat transmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya,

sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman.

Pendidikan Islam diakui selain sebagai lembaga eksplisit dan mata pelajaran

wajib juga diakui sebagai nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan (Daulay, 2009).

Pendidikan sangat erat dengan ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan

hasil pembelajaran manusia dengan alam, merupakan hasil interaksi manusia dalam

kehidupan, yang melalui proses belajar secara terus menerus tiada henti, sejak manusia

masih dalam buaian hingga ajal menjemput.

Melalui internalisasi dan pewarisan budaya, pendidikan berfungsi sebagai

sosialisasi kebudayaan pada setiap individu, saling berhubungan dengan nilai- nilai

pada masyarakat dilingkungan sekitarnya dan memelihara interaksi antar masyarakat

sehingga terbentuk kemajuan peradaban. Pendidikan berperan sebagai agen

pembelajaran nilai-nilai budaya. Suatu kebudayaan dapat kekal jika kemampuan

bekerja dan daya cipta yang kuat dalam memberikan petunjuk dan bimbingan para

pendukungnya. Olehnya kebudayaan diwariskan kepada generasi penerus melalui

proses pembelajaran nilai-nilai dan cara bersikap. Bukan hanya sekedar diturunkan dari

orang tua ke anak-anaknya, tetapi juga pada proses hubungan timbal balik antara

pribadi dengan kebudayaan, karena setiap pribadi bukan agen yang pasif, tetapi agen

yang kreatif.

Page 42: A. Penelitian Terdahulu

58

Rasulullah saw bersabda

ها و حتي الحوتز ليصلون هل السموات والارض حتي النملة في جحر ان الله وملائكته و ا. غلي معل م الناس الخير

Artinya : “Sesungguhnya Allah dan para malaikat, serta semua makhluk di langit dan bumi, sampai semua dalam lubangnya dan ikan (dilautan) benar-benar bershalawat/ mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia. (HR. at Tirmdizi No 2685).

Hadis ini menunjukkan betapa besarnya keutamaan seseorang mempelajari ilmu

agama yang bersumber dari al-Qur‘an dan hadis kemudian menyebarkannya/

mengajarkannya kembali kepada umat manusia. Hadis ini seacra tersirat menunjukkan

adanya proses transmisi, pewarisan, penyebaran ilmu kepada khalayak umum

Selayaknya pendidikan agama adalah media untuk perubahan terwujudnya

pribadi muslim/ah yang merefleksikan nilai-nilai Islam dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan Agama Islam menitikberatkan pada proses perwujudan masyarakat yang

islami, melalui internalisasi nilai-nilai keislaman (Kholiq, 2015), karena dalam

pendidikan agama meliputi proses pembelajaran, pembiasaan, pembudayaan,

pelatihan, penjernihan dan pencerahan nilai-nilai yang religius dalam mengembangkan

fitrah kemanusiaan menuju kedewasaan. Selain itu pula kegiatan pendidikannyapun

perlu mempertimbangkan potensi dan kultur lokal, karena produk yang diharapkan

adalah generasi muslim yang berakhlak mulia, mampu menjaga keseimbangan antara

hubungan dengan Tuhan (hablun min Allāh), hubungan dengan manusia (ḥablun min

al-nās) dan hubungan dengan alam (ḥablun min al-‘ālam) (Zulfah, 2011).

Melalui pendidikan suatu budaya dapat ditransmisikan kepada generasi muda.

Tidak melalui proses sekejap, akan tetapi melalui pembelajaran secara terus menerus

secara konsisten dan kontinyu. Proses internalisasi tidak hanya melalui pewarisan

dalam lingkungan keluarga, tetapi juga dalam lembaga pendidikan, lingkungan

masyarakat serta interasksi dengan lingkungan sosial dan alam.

Page 43: A. Penelitian Terdahulu

59

Lingkungan keluarga menjadi tempat pertama seorang anak memperoleh

pelajaran, karena dalam keluargalah suatu generasi di lahirkan dan dibesarkan. Dalam

keluarga setiap individu mengidentifikasi lingkungannya, dan secara perlahan-lahan

menginternalisasikannya dalam kehidupan. Terjadinya identifikasi dalam lingkungan

keluarga menajdikan anak dapat mengenal keseluruhan anggota keluarganya, baik

saudara dekat maupun saudara jauh.

Para orang tua lah yang berfungsi sebagai nara sumber aktif melalui tindakan

yang bersifat responsif dan senantiasa mendorong, menjelaskan berbagai kenyataan

yang ada dilingkungan beserta perubahan-perubahan yang berlangsung disekitarnya.

Tindakan menjelaskan dan mendidik, dan pengarahan orang tua tentunya berdasarkan

atas pengetahuan dan pengalaman, yang berlaku dalam lingkungan keluarga sehingga

terjadi sosialisasi perwujudan kebudayaan dalam keluarga. Atau dengan kata lain cara-

cara budaya belajar itu tidak lain sebagai hasil adaptasi dirinya dengan kebudayaan

yang dianutnya.

Tanggung jawab peletakan dasar utama akan nilai-nilai ajaran Islam dalam

keluarga sangat bergantung kepada posisi orang tua, sebagai kepala dan pemimpin

dalam keluarga berkewajiban menjaga keluarga dari siksaan api neraka. Hal ini secara

jelas Allah swt tekankan dalam QS at-Tahrim (66):6.: Hai orang-orang yang beriman

peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya terbuat dari

api dan batu atas apa yang diperintahkanNya kepada neraka dan selalu mengerjakan

apa yang diperintahkannya”.

Setelah keluarga terdapat lingkungan pendidikan formal yaitu sekolah, tempat

terjadinya proses pewarisan yang dilakukan secara terarah, terencana dan terus

menerus melalui rancangan program kurikulum. Tidak hanya diajarkan pengetahuan

untuk kecerdasan siswa akan tetapi diajarkan moral dan akhlak yang menjadikan siswa

menjadi lebih baik, lebih bermoral dari sebelumnya. Posisi pendidik yang islamipun

sangat menentukan. Demikian pula di lingkungan masyarakat, yang memiliki sikap,

tradisi, kebiasaan dan perasaan untuk hidup bersama. Proses pewarisan melalui pranata

sosial seperti dari adanya perkawinan, dari sistem hukum, religi dan sistem pendidikan

Page 44: A. Penelitian Terdahulu

60

yang ada di komunitas suatu masyarakat. Lingkungan masyarakat menjadi media

pewarisan nilai-nilai ajaran Islam dan budaya, olehnya peranaan tokoh agama dan

masyarakat, baik itu ulama diharapkan dapat mengendalikan nilai-nilai dalam

kehidupan masyarakat menuju lingkungan masyarakat yang islami.

Community School adalah sekolah yang berorientasi pada kehidupan

masyarakat, yang diharapkan anggotanya ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan

dan pendidikan masyarakatnya, khususnya dalam membentuk dan menciptakan

lingkungan pendidikan yang islami, olehnya dalam dunia pendidikan Islam,

masyarakat yang islami sangat dibutuhkan.

Imam an Nahlawi (1995) berpendapat bahwa masyarakat bertanggung jawab

terhadap pendidikan generasi muda, yaitu dengan melihat aturan-aturan yang meliputi,

Pertama: Mewujudkan masyarakat yang beramar ma’aruf nahi munkar, sesuai dalam

firman Allah swt dalam QS. Ali Imran/3: 104, 110. Kedua, Setiap anak dalam

kehidupan masyarakat dianggap seperti anak sendiri.hal ini sesuai pengamalan QS. Al

Hujurat ayat 10, bahwa Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.

Ketiga, Pendidikan masyarakat membina masyarakat yang berlaku buruk. Keempat,

memegang teguh nilai kerjasama sesama anggota masyarakat. Kelima, pendidikan

kemasyarakatan memupuk rasa saling mencintai.

Imam Ibnu Qayim berpendapat bahwa masyarakat memiliki peranan besar

dalam membentuk fikiran, tingkah laku dan perasaan generasinya. Ketika ketiga aspek

tersebut berpola kepada tarbiyah alislamiyah, maka akan membentuk masyarakat yang

menjaga persatuan, dan persaudaraan, saling mencintai antara yang satu dengan yang

lainnya (al-Hijazy, 2011; Wartono, 2013).

Media massa pun sangat berperan dalam proses pewarisan, karena dalam

kehidupan masyarakat media yang menyiarkan berita, membentuk opini, dan

pengetahuan, dan sebagainya untuk disebarluaskan.,sehingga media masa yang akan

mencari bahan informasi dan berita yang terbaru, aktual dan disenangi masyarakat

yang menyangkut kepentingan bersama. Selain berfungsi sebagai media kontrol dan

filter terjadinya berbagai penyalahgunaan dan ketimpangan nilai-nilai dan aturan yang

Page 45: A. Penelitian Terdahulu

61

berlaku di masyarakat. Media pun menjadi sarana dan wadah pendidikan, dari berita

dan informasi yang berisikan berbagai masalah di lingkungan masyarakat dan

penyebaran pendapat-pendapat ahli, yang secara tidak langsung akan menambah

pengetahuan dan wawasan masyarakat yang menjadi pembaca atau pendengarnya.

Oleh karenanya proses pewarisan nilai pengetahuan dan keterampilan dalam

masyarakat pada hakekatnya dapat dilakukan dengan melibatkan intitusi sosial seperti

lingkungan keluarga, lembaga sekolah, media massa dan lingkungan masyarakat luas,

dimana usaha pewarisannya, dilakukan untuk menyampaikan nilai-nilai yang terbaik

untuk menjadi pedoman bagi masyarakat, selain menyampaikan hal-hal yang bersifat

material.

Menurut Herskovits, Pendidikan adalah “directed learning” dan persekolahan

adalah “formalized learning” (Manan, 1989). Saat ini lebih dikenal denagn istilah

Pendidikan formal, informal dan non formal. Pendidikan formal telah diatur dalam

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003 pada pasal 11, 12 dan 13

yang merupakan system Pendidikan yang telah disusun secara berjenjang dari

tingkatan dasar, menengah hingga perguruan tinggi (Muhaimin, 2012).

Pendidikan yang bersifat formal ini memiliki fungsi sebagai transmisi

kebudayaan dan untuk memberantas kebodohan. Untuk membantu setiap individu

melakukan peranan sosialnya. Berbeda dengan Pendidikan informal yang berpusat

pada keluarga dan lingkungan yang berfungsi seumur hidup. Keluarga berperan

penting dalam menciptakan lingkungan islami kepada anak dan anggota keluarganya,

baik buruknya orang tua dari segi ketauhidan, ibadah dan akhlak amat menentukan

warna kepribadian seorang anak, karena dalam lingkungan keluarga, orang tualah yang

berfungsi sebagai pendidik.

Ketika orang tua tidak memiliki cita-cita dan upaya untuk membentuk

Pendidikan yang islami di dalam rumahnya, maka akan sulit menghasilkan generasi

yang insan kamil. Oleh karenanya, sebuah keluarga wajib mewujudkan suasana yang

edukatif dan islami, menjalankan fungsinya dalam mendidikan anak secara islami,

sehingga anak keturunannya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang ideal

Page 46: A. Penelitian Terdahulu

62

dalam Pendidikan Islam (Wartono, 2013).

Keseluruhan proses transmisi yang ada sangat berkaitan dengan cara

mentransmisikannya, dalam hal ini bentuk peran serta dan bimbingan. Peran serta

dengan melalui perbandingan, yang berwujud ikut serta dalam kegiatan sehari-hari di

dalam lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan dapat berupa instruksi, persuasi,

rangsangan dan hukuman. Pelaksanaan bimbingan dapat melalui pranata-pranata

tradisional seperti inisiasi, upacara-upacara yang berkaitan dengan tingkat umur,

agama, atau pada lembaga sekolah dan lain-lain (Tilaar, 2002).

Menurut Desmon Morris dapat dikatakan bahwa proses transmisi dapat terjadi

pada absorbed actions dan trained actions atau perpaduan antara keduanya (Morris,

1977). Absorbed actions adalah kegiatan yang dilakukan akibat mencontoh dari orang

lain, sementara trained actions adalah kegiatan yang didapat melalui pembelajaran

ataupun praktek terlebih dahulu. Proses transmisi dapat merupakan perpaduan antara

keduannya yaitu melalui proses genetik, observasi pribadi, penyerapan dari lingkungan

sosial, dan melalui latihan atau belajar. Oleh karena itu, seseorang mendapatkan

sesuatu sebagai proses pewarisan dapat melalui berbagai cara, tidak hanya secara

genetik namun yang terpenting adalah lingkungan sosial dan proses belajar.

Pembelajaran budaya tergantung pada inovasi atau kemampuan untuk menciptakan

respons baru terhadap lingkungan dan kemampuan untuk berkomunikasi atau meniru

perilaku orang lain (Lehmann, L. L., Feldman, M. W., & Kaeuffer, 2010).

Aruna Goel dan S.L Goel menulis dalam buku Human Values and Education,

“Education institute today are engulfed by materialistic values. Teachers have become

salesman while the students indulge in indiscipline, take drug, alchohol and smoking.

This scene has emerged as teachers in higher education do not take interest in the

development of the personality of the students” (Goel, A., 2010). Tulisan tersebut

mengarah pada pandangan bahwa pendidik cenderung tidak menyadari perannya

sebagai transmitter nilai-nilai (Values) dan lebih fokus pada perannya dalam transfer

ilmu pengetahuan (aspek kognitif). Padahal posisi transmitter (pendidik/orang tua)

Page 47: A. Penelitian Terdahulu

63

sangat berpengaruh besar terhadap proses preferensi dan keyakinan peserta didik,

tentang bagaimana peserta didik akan memilih untuk berperilaku sebagai orang dewasa

dalam masyarakat (Sanduleasa, 2015).

Proses pewarisan nilai-nilai yang berjalan dengan baik, sangat didukung akan

peran transmitter. Pada lingkungan lembaga formal, idealnya pendidik memiliki

kesadaran sebagai suri tauladan, menghiasi dirinya dengan perbuatan terpuji terhindar

dari perbuatan tercela (al Ghazali, n.d.; Solichin, 2012) bahwa melalui dirinyalah

peserta didik menyerap nilai-nilai hidup yang akan membentuk karakter

kepribadiannya kelak. Termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya kearifan lokal yang

secara sadar atau tidak sadar tercermin lewat perilaku pendidik dan dengan kemampuan

menyerap peserta didik mengikuti, serta dituntut dapat memberikan pendekatan dan

pemahaman budaya serta adat setempat para peserta didik, dengan menjalin

komunikasi yang baik (Astuti, 2016; Harrison, 2007; Tan, 2015).

Orientasi seorang pelaku pewarisan budaya (transmitter) diharapkan dapat

membanguan peradaban dengan cara memajukan dan menyejahterakan masyarakat

melalui peningkatan kualitas fisik, pancaindra, akal pikiran, sosial budata, seni, moral

dan spiritual (Miler, 2003). Sebagai penggerak perubahan sosial (agent of social

change), sebagai ulil al-bab, maka mereka dituntut untuk memadukan antara kekuatan

pikir dan zikir. Peran sebagai orang yang memiliki keunggulan keterampilan,

intelektual, moral dan spiritual yang memiliki tanggung jawab moral, kewajiban moral,

panggilan batin moral dan kewajiban memberikan nasehat moral tidak boleh memudar

(Nata, 2016). Peran sebagai ‘Ulul al-Bāb, al-‘Ulamā, al-Muzakki, ahl al-zikir, dan al

raskhuna fi al-'ilm harus tetap berjalan konsisten dalam kondisi apapun, agar selalu

memperoleh kebahagiaan yang bersifat moral dan spiritual happiness (Nata, 2012).

Selain berpatokan kepada karakter seorang transmitter, perlu pula

memperhatikan metodologi yang dipergunakan, apakah dengan menggunakan metode

lisan, hafalan atau tulisan dan tindakan. Sebab penyebaran ilmu pengetahuan dari satu

generasi ke generasi tidak hanya melalui tulisan atau lisan tetapi juga pada gambar atau

benda yang ada dan perilaku (Fahri, 2008). Oleh karena itu, peran transmitter sangat

Page 48: A. Penelitian Terdahulu

64

penting dalam mewariskan nilai pendidikan agama.