A. Pendahuluan - Enterprising Universityuai.ac.id/wp-content/uploads/2013/03/Lambang-Negara.pdf ·...

7
1 Lambang Negara antara Nilai Budaya dan Hukum Negara Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum 1 Oleh: Fokky Fuad 2 A. Pendahuluan Lambang dalam setiap kebudayaan memiliki makna tertentu, termasuk dalam hal ini adalah lambang-lambang negara. Lambang dalam budaya tidaklah sekedar gambar keindahan tanpa makna, akan tetapi ia adalah perwujudan dari kehendak, harapan serta cita-cita yang diinginkan oleh sang pemilik lambang. Oleh karena itulah dalam budaya-budaya tertentu lambang bermakna magis religius. Kajian lambang negara menjadi menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh dua hal: Pertama, bahwa lambang yang menjadi simbol bagi setiap kelompok, suku, atau bahkan negara acapkali menimbulkan masalah ketegangan budaya, sosial, dan ketika terdapat benturan pemaknaan antara budaya dan hukum. Ketegangan tersebut dalam eskalasi tertentu dapat berubah menjadi berkaitan dengan masalah pemaknaan atas simbol. Perbedaan pemaknaan dapat dilihat dari dua hal: perbedaan budaya dengan budaya, dan perbedaan antara budaya dan hukum. Kedua, bahwa lambang dalam budaya tertentu kemudian diletakkan dalam ruang hukum. Peletakan lambang dalam budaya ke dalam ranah hukum bukanlah tanpa tujuan. Peletakan ini berkait dengan adanya kehendak pemilik lambang untuk menciptakan sebuah kondisi dimana tidak semua orang dapat berbuat sekehendaknya atas lambang- lambang tersebut yang dianggap memiliki pemaknaan nilai ideologis, kesucian, keluhuran budi dan kehendak, serta mempertahankan nilai-nilai spiritual magis dalam budaya tersebut. Peletakan lambang yang menjadi simbol dari ini juga telah 1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Memutus Sakralisasi Lambang Negara demi Nasionalisme Bangsa terhadap Negara, Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-X/2012 tentang Larangan Penggunaan Lambang Negara Garuda Pancasila” yang diselenggarakan di FH Universitas Esa Unggul Jakarta, tanggal 20 Pebruari 2013 2 Penulis adalah alumnus Program Doktor FHUI, saat ini adalah staf pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia

Transcript of A. Pendahuluan - Enterprising Universityuai.ac.id/wp-content/uploads/2013/03/Lambang-Negara.pdf ·...

1

Lambang Negara antara Nilai Budaya dan Hukum Negara Sebuah Tinjauan Antropologi Hukum1

Oleh: Fokky Fuad2

A. Pendahuluan

Lambang dalam setiap kebudayaan memiliki makna tertentu, termasuk dalam

hal ini adalah lambang-lambang negara. Lambang dalam budaya tidaklah sekedar

gambar keindahan tanpa makna, akan tetapi ia adalah perwujudan dari kehendak,

harapan serta cita-cita yang diinginkan oleh sang pemilik lambang. Oleh karena itulah

dalam budaya-budaya tertentu lambang bermakna magis religius. Kajian lambang

negara menjadi menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh dua hal:

Pertama, bahwa lambang yang menjadi simbol bagi setiap kelompok, suku, atau

bahkan negara acapkali menimbulkan masalah ketegangan budaya, sosial, dan ketika

terdapat benturan pemaknaan antara budaya dan hukum. Ketegangan tersebut dalam

eskalasi tertentu dapat berubah menjadi berkaitan dengan masalah pemaknaan atas

simbol. Perbedaan pemaknaan dapat dilihat dari dua hal: perbedaan budaya dengan

budaya, dan perbedaan antara budaya dan hukum.

Kedua, bahwa lambang dalam budaya tertentu kemudian diletakkan dalam ruang

hukum. Peletakan lambang dalam budaya ke dalam ranah hukum bukanlah tanpa tujuan.

Peletakan ini berkait dengan adanya kehendak pemilik lambang untuk menciptakan

sebuah kondisi dimana tidak semua orang dapat berbuat sekehendaknya atas lambang-

lambang tersebut yang dianggap memiliki pemaknaan nilai ideologis, kesucian,

keluhuran budi dan kehendak, serta mempertahankan nilai-nilai spiritual magis dalam

budaya tersebut. Peletakan lambang yang menjadi simbol dari ini juga telah

1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Memutus Sakralisasi Lambang Negara demi Nasionalisme Bangsa terhadap Negara, Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-X/2012 tentang Larangan Penggunaan Lambang Negara Garuda Pancasila” yang diselenggarakan di FH Universitas Esa Unggul Jakarta, tanggal 20 Pebruari 2013 2 Penulis adalah alumnus Program Doktor FHUI, saat ini adalah staf pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia

2

menimbulkan benturan antara nilai-nilai ekonomi dan hukum. Pada satu sisi lambang

diartikan sebagai simbol yang dapat diperjual-belikan untuk meraih nilai ekonomi

tertentu, sedang pada pihak lain tidak dapat ditukar dengan nilai ekonomi mengingat

pemkanaan magis religius serta spiritual sakral yang tinggi. Dengan demikian saat ini

telah muncul benturan antar nilai budaya hukum dan nilai-nilai ekonomi.

B. Lambang Negara sebuah Pemaknaan

Lambang negara merupakan simbol-simbol negara bangsa yang berkehendak

untuk mewujudkan sebuah cita-cita luhur bangsa menuju sebuah tahapan-tahapan

kehidupan yang lebih baik dan semakin baik di masa yang akan datang. Dalam

pendekatan antropologi hukum, maka lambang negara dapat ditelaah dari sudut teori

interaksi simbolik atas makna. Dalam teori ini setiap objek yang dipandang akan

memberikan pemaknaan-pemaknaan yang berbeda-beda. Sebagai contohnya jika kita

memandang ular, maka seketika kita merasa ketakutan dengan ular tersebut. Dalam hal

ini secara sadar atau tidak, ular telah memberikan sebuah nilai pemaknaan tertentu. Ia

bermakna jahat, mematikan, bahkan dalam keyakinan religius tertentu ular dimaknai

sebagai jelmaan iblis yang telah berhasil menggoda Nabi Adam sehingga Adam

terpaksa turun ke bumi dari surga tempat kediamannya. Pada budaya lainnya ular

memiliki nilai pemaknaan yang sangat berbeda. Pada budaya India, ular dianggap

sebagai dewa yang dipuja, sehingga ular dilindungi dan ditempatkan dalam altar-altar

pemujaan.

Perbedaan pemaknaan atas lambang-lambang negara ini juga terjadi pada

pemaknaan atas simbol-simbol negara. Interaksi budaya tertentu terhadap lambang

negara sangat bervariatif, pada masyarakat negara tertentu melihat lambang negara

dalam pemaknaan non religius, sehingga masyarakat menganggap bahwa lambang dapat

digunakan dalam setiap waktu dan kesempatan apapun. Lambang negara menjadi

sebuah nilai ekonomis yang dapat diletakkan pada situasi apapun, seperti diletakkan

pada baju, gelas, handuk, bahkan pakaian dalam. Dalam keadaan demikian pemaknaan-

pemaknaan spritual magis religius, sikap moralitas tidaklah menjadi hal yang utama.

3

Lambang negara memiliki pemaknaan sebagai identitas diri di tengah pergaulan

masyarakat internasional.

Lambang negara dalam pemaknaan budaya timur lebih berkaitan dengan simbol-

simbol magis religius, dan sikap moral yang diharapkan oleh sang pembentuk lambang.

Lambang negara dalam keadaan pemaknaan seperti ini tidaklah dengan mudah dapat

diletakkan dalam berbagai objek, atau dengan mudah dapat diletakkan dalam ruang-

ruang ekonomi yang kemudian diperjualbelikan sebagai komoditi barang dagangan.

Pemaknaan-pemaknaan serta perbedaan atas simbol ini seringkali menimbulkan

benturan pemaknaan yang dapat berpindah pada ruang-ruang hukum. simbol budaya

tersebut kemudian oleh negara diletakkan dalam ruang hukum untuk lebih memberikan

kekuatan makna-makna atas simbol yang telah dianggap sakral dan suci oleh

pendukung kebudayaan yang bersangkutan.

Pada kasus Indonesia, lambang negara memiliki pemaknaan-pemaknaan magis

religius. Pemaknaan-pemaknaan berasal dari budaya timur yang melihat bahwa setiap

objek yang dipandang oleh orang mengandung simbol-simbol spiritual. Pada budaya

masyarakat timur termasuk Indonesia melihat lambang budaya mengandung nilai magis

yang berkait dengan kondisi alam makrokosmos. Manusia (mikrokosmos/alam kecil)

merupakan bagian dari makrokosmos atau alam semesta, dimana alam semesta akan

mempengaruhi kondisi alam mikro (manusia). Manusia timur meyakini bahwasanya

alam akan memberikan tanda-tanda baik dan buruk baginya, sehingga ia akan

memperlakukan alam secara arif.

Lambang negara yang dianggap sebagai perwujudan alam raya dalam diri

manusia bangsa Indonesia akan diperlakukan secara arif pula, sehingga ia dengan tidak

mudah meletakkan lambang-lambang negara dalam kondis dan ruang yang tidak sesuai

dengan standar normatif yang disepakati oleh bangsa tersebut. Pada masyarakat

Indonesia, lambang negara adalah perwujudan yang berkaitan erat dengan ideologi

bangsa. Untuk itu setiap orang Indonesia akan menyadari dalam alam bawah sadarnya

bahwa lambang-lambang negara Indonesia merupakan simbol-simbol magis yang telah

dipertahankan dengan keringat, darah dan juga nyawa oleh para pejuang. Permasalahan

muncul dalam pemaknaan-pemaknaan religiusitas bangsa, ketika negara meletakkan

4

simbol negara dalam ranah hukum, dan hanya negaralah yang berhak menetukan

pemaknaan-pemaknaan atas simbol-simbol yang telah dianggap magis oleh bangsa yang

bersangkutan.

C. Lambang Negara antara Budaya dan Hukum

Lambang negara yang bernilai sakral dalam budaya Indonesia karena nilai

magis, serta makna makna sakral yang diletakkan dalam lambang negara, oleh negara

diletakkan dalam ranah hukum. hukum negara kemudian memperkuat makna-makna

identitas bangsa tersebut. Negara kemudian menyatakan dan menentukan bahwa

negaralah yang dapat memberikan penafsiran tunggal atas simbol-simbol lambang-

lambang negara tersebut. Pasal 57 huruf d Undang-undang No.24 Tahun 2009

menyatakan bahwa setiap orang dilarang menggunakan lambang negara untuk

keperluan selain yang diatur dalam Undang-undang ini. Pasal ini merupakan

pengukuhan dari dari pemaknaan magis religius terhadap lambang-lambang negara

sebagai objek.

Negara menguatkan makna magis religius bangsa dalam bentuk hukum undang-

undang, sekaligus dengan seketika menyatakan dirinya sebagai pihak yang yang paling

berhak untuk menafsirkan makna-makna religius tersebut. Lambang negara yang saat

ini digunakan yaitu Burung Garuda merupakan sebuah lambang yang memberikan

makna magis religius3. Dalam lambang Burung Garuda Pancasila, terdapat lima Sila

Pancasila, khususnya lambang Bintang4 . Bintang dalam historis kultural masyarakat

3 Menurut Mitologi Hindu, Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari India. Burung tersebut berkembang sejak abad ke-6 di Indonesia. Burung Garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada Burung Garuda itu melambangkan kemegahan atau kejayaan. Sumber: <http://www.bin.go.id/wawasan/detil/167/3/26/11/2012/filosofi-garuda-pancasila>, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2013 4 Sebuah tembang Jawa yang diciptakan oleh Wali Songo, yaitu lir ilir menjelaskan bahwa manusia harus menundukkan sikap batin dengan berserah kepada Tuhan melalui bait “penekno blimbing kuwi” yang berarti memanjat belimbing itu. Belimbing berbentuk meneyrupai bintang dengan lima sudutnya. Memanjat belimbing merupakan makna mendaki jalan menuju Tuhan. Bintang memberi makna sesuatu yang begitu tinggi dan agung, tak terjangkau oleh wujud fisik manusia. Tuhan yang tak terjangkau, tak tersentuh adalah bentuk imanen tertinggi sikap batin manusia Indonesia. Lihat:Tafsiran Tembang Lir-Ilir, <http://www.elmoudy.com/tafsiran-tembang-lir-ilir>, Pada ajaran agama samawi khususnya Islam dan

5

Jawa merupakan eksistensi kehadiran Tuhan. Bintang adalah sebuah bentuk yang jauh,

tinggi tak terjangkau, menyinari manusia dalam kegelapan malam. Makna yang

terkandung adalah bahwa bintang merupakan personifikasi eksistensi Tuhan dalam

sikap batin manusia Jawa. Kehadiran Tuhan dalam sikap batin manusia Indonesia

menunjukkan sebuah kesalehan komunal maupun pribadi dalam bersikap tindak. Padi

sebagai simbol pangan dan kapas sebagai simbol pakaian, dalam lambang Burung

Garuda Pancasila merupakan makna kesejahteraan yang diukur dari kecukupan

pemenuhan sandang dan pangan.

Bendera merah putih juga memiliki makna religius jauh sebelum negara ini

terbentuk. Majapahit menggunakan bendera merah putih sebagai bentuk lambang

pemaknaan kejayaan Majapahit sebagai sebuah negara maritim agraris yang berjaya di

Nusantara pada masa lalu. Merah peutih mengandung makna gula dan kelapa, tanaman

gula aren yang tumbuh di darat, menyatu dengan garam putih yang ada di laut. Makna

dari menyatunya gula dan garam adalah menyatunya darat dan laut. Merah juga

mengandung makna eksistensi matahari, sedang putih merupakan bentuk eksistensi

bulan. merah putih secara pemkanaan religius Kerajaan Majapahit mengandung makna

bahwa selama darat dan laut masih menyatu, matahari dan bulan masih terus beredar

menyinari Majapahit, maka selama itulah Majapahit masih akan tetap berjaya5.

Yahudi juga menggunakan simbol lambang bintang untuk menunjukkan sebuah kebesaran dan keagungan Tuhan. Sumber : < http://rayhanmogerz.blogspot.com/2012/10/makna-lambang-bulan-bintang-dalam-islam.html>, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2013 5Antropolog Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991) menemukan makna merah dan putih agak lain. Warna merah dan putih dihubungkan dengan darah. Ungkapan mereka, "darah tidak sama", ada darah putih dan darah merah. Darah putih manusia itu dingin dan darah merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat mati. Darah putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah mendatangkan kematian. Darah putih yang tercurah dari lelaki dan perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah dari lelaki dan perempuan berarti kematian. Makna ini cenderung mengembalikan putih untuk perempuan dan merah untuk lelaki, karena hanya kaum lelaki yang berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian. Merah adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena mengandung "zat hidup".Mengapa merah di atas dan putih di bawah? Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan? Merah panas dan putih dingin? Artinya, langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu dari langit. Akar manusia di atas. Itulah sangkan-paran, asal dan akhir kehidupan. Beringin terbalik waringin sungsang. Isi berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari putih, lelaki berasal dari perempuan. Jelas, Merah-Putih

6

Pemaknaan-pemaknaan magis religius tersebut terbenam dalam ruang kesadaran

berbangsa dan bernegara Indonesia. Para pejuang yang berusaha merebut kemerdekaan

juga menggunakan lambang yang sama sebagai lambang kejayaan Bangsa Indonesia

yang tak hendak dijajah. Pemaknaan ini menjadi pemaknaan magis religius dalam

kebudayaan Bangsa Indonesia. Ketika berada dalam ruang kebudayaan Bangsa

Indonesia, maka setiap warga Bangsa Indonesia berhak untuk mencintai, dan

mempertahankan lambang-lambang tersebut sebagai simbol religisuitas Bangsanya.

Tidak ada satupun dari pendukung warga Bangsa Indonesia yang tidak menghormati

pemaknaan religius dari lambang negara tersebut. Ketika hukum negara memasuki

ranah-ranah magis religius tersebut, maka hukum negaralah yang kemudian

memberikan pemaknaan, penafsiran secara tunggal atas lambang negara. Pelanggaran

atas pemaknaan dan penafsiran tunggal lambang negara diperkuat dengan sanksi hukum

pidana bagi siapapun yang tidak sesuai dengan pemaknaan tunggal tersebut. Negara

menjatuhkan sanksi hukum bagi siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan penafsiran

tunggal negara atas lambang negara. Saat ini makna religius atas lambang negara

berubah menjadi makna hukum legal dogmatik. Lambang negara memiliki dua

pemaknaan sekaligus, sebagai pemaknaan budaya luhur dan pemaknaan hukum negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-X/2012 yang menganulir pasal 57

huruf d Undang-undang No.24 tahun 2009 merupakan hal yang tepat setidaknya

ditinjau dari pemaknaan budaya yang bersifat magis religius, dimana setiap warga

Bangsa Indonesia memiliki hak untuk mencintai dan sekaligus memberikan pemaknaan-

pemaknaan magis religius spiritual terhadap lambang negara secara beragam.

Beragamnya cara dan pola pemaknaan religius atas lambang negara berkaitan dengan

beragamnya budaya Bangsa Indonesia yang terangkum dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Hukum adat beserta budaya-budaya hukum yang hidup dalam setiap kultur

bangsa Indonesia yang berbhinneka juga telah memberikan perlindungan atas lambang- dari pemikiran primordial Indonesia. Merah-putih itu "zat hidup", potensi, daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur, kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh . Merah-putih adalah harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, positif dan negatif menjadi tunggal. Lihat: Merah Putih, <http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=341:merah-putih&catid=48:sejarah&Itemid=93>, diakses pada tanggal 20 Pebruari 2013

7

lambang negara yang diyakini memiliki makna yang magis religus. Secara tidak sadar

dengan seketika setiap warga bangsa akan segera melipat dan menarik sebuah bendera

yang jatuh ke tanah. Bendera dalam alam bawah sadar setiap warga Bangsa masih

memiliki tempat yang terhormat dan tinggi, karena ia tidak sekedar warna, melainkan

juga jiwa spiritual bangsa. Untuk itulah maka semangat untuk mencintai bendera

dengan beragam cara sesuai pemaknaan kultural yang bersifat magis-religius perlu

mendapat ruang-ruang penghormatan oleh setiap warga Bangsa yang mengaku

berbhineka dan juga oleh Negara yang berperan sebagai pelindung warga Bangsa

Indonesia.

D. Penutup

Lambang negara bukanlah sekedar warna dan gambar dalam budaya Indonesia.

ia adalah pencerminan dari semangat dan jiwa spiritualitas bangsa Indonesia. Merah

putih yang melambangkan sebuah kejayaan bangsa, serta Bhinneka Tunggal Ika yang

melambangkan keragaman atas budaya serta keyakinan religisu warga Bangsa

Indoensia telah menjajdikan bansga Indonesia menjadi salah satu bangsa besar di tengah

pecaturan warga Internasional.

Pemaknaan atas lambang negara yang bersifat multikultur merupakan

pencerminan dari beragamnya budaya yang hidup di Indonesia. Negara tidak

selayaknya memberikan interpretasi tunggal atas pemaknaan simbol dan lambang

negara karena hal itu justru menutup ruang-ruang budaya yang bersifat majemuk.

Kekuatan hukum negara yang bersifat memaksa dengan dikuatkan oleh adanya sanksi

negara telah dengan tegas menutup ruang-ruang perbedaan atas pemaknaan cinta tanah

air yang diekspresika dengan penghormatan atas lambang-lambang negara.