A. KEMISKINAN DALAM PRESPEKTIF GENDER · PDF filemenjadi sumber pembenaran terhadap sistem...
Transcript of A. KEMISKINAN DALAM PRESPEKTIF GENDER · PDF filemenjadi sumber pembenaran terhadap sistem...
BAB VI
KEMISKINAN DAN GENDER
A. KEMISKINAN DALAM PRESPEKTIF GENDER
Gender dan kemiskinan merupakan isu yang masih baru di Indonesia.
Masalah kemiskinan merupakan akar permasalahan yang memiliki dampak
sangat luas terhadap peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan dan
perlindungan anak seperti perdagangan perempuan dan anak, penurunan
derajat kesehatan dan drop out pendidikan.
Disadari atau tidak, di tengah masyarakat terjadi kesenjangan gender,
yang bahkan tidak disadari oleh kaum perempuan sendiri. Kesenjangan itu
tampak dalam berbagai bentuk minimnya partisipasi dan akses kaum
perempuan dalam proses pembangunan selama ini. Akibatnya, banyak program
pembangunan yang substansinya belum memperlihatkan kesetaraan dan
keadilan gender.
Ketertinggalan kaum perempuan dari laki-laki yang berujung pada
ketidakadilan gender antara lain dapat berawal dari konstruk patriarkhi
masyarakat yang sudah membudaya, depolitisasi kepentingan negara yang
terwujud pada sistem negara yang tidak adil terhadap kepentingan kaum
perempuan, interpretasi agama yang tidak benar dan kurangnya akses
perempuan dalam berbagai kesempatan. Akomodasi kebutuhan riil perempuan
sering dipahami hanya sebatas kebutuhan rumah tangga/keluarga, kesehatan
termasuk gizi, pendidikan dan ekonomi. Akibatnya banyak institusi perempuan
seperti PKK, Dharmawanita, program P2WKSS yang dimaksudkan untuk
memberdayakan perempuan justru menimbulkan persoalan baru bagi
perempuan, yaitu beban ganda perempuan. Di satu sisi perempuan didorong
untuk aktif dalam berbagai aktifitas, tetapi di sisi lain peran tradisional sebagai
istri dan ibu tetap dibebankan kepadanya. Akibat lebih jauh adalah terjadinya
85
subordinasi, marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi bahkan kekerasan
terhadap perempuan.
Dalam hal kesejahteraan atau kemiskinan, perempuan mempunyai
persepsi yang lebih beragam dibandingkan dengan laki – laki. Di samping
terhadap aspek yang berhubungan dengan akses yang berkaitan dengan
pendapatan, kepemilikan asset, kualitas kesehatan, pangan serta peluang atau
kesempatan, juga mencermati hal – hal yang berkaitan dengan kehidupan
keluarga sejahtera atau miskin dalam masyarakat seperti keharmonisan
keluarga, rasa aman, ada tidaknya hubungan dengan rentenir, gaya hidup,
kemampuan membantu orang tua, membantu orang lain, penyelenggaraan pesta
yang meriah atau tidak, serta hubungan dengan tetangga. Dalam kaitannya
dengan penyebab kemiskinan, antara laki – laki dan perempuan tidak
memperlihatkan perbedaan yang berarti. Perbedaan yang muncul adalah
perempuan berpendapat bahwa suami yang memiliki lebih dari satu istri dan
memiliki anak yang banyak dinilai sebagai penyebab terjadinya
kemiskinan.Sementara itu laki – laki menganggap ketidakcukupan pangan dan
hutang sebagai dampak kemiskinan, sedangkan perempuan lebih melihat aspek
meningkatnya anak putus sekolah dan kriminalitas sebagai dampak dari
kemiskinan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bank Dunia di 12 lokasi, di
beberapa lokasi khususnya di perdesaan menyatakan bahwa perempuan
mempunyai beban kerja yang lebih berat daripada laki – laki. Mereka melakukan
pekerjaan rumah tangga, merawat anak, merawat keluarga yang sakit, dan
merawat orang tua. Mengingat jumlah perempuan miskin merupakan jumlah
yang terbesar dari jumlah seluruh penduduk dan pada umumnya perempuan
lebih disiplin serta lebih berhasil dalam mengelola usaha mikro, maka hal ini
merupakan nilai positif dalam pemberdayaan perempuan. Namun masih perlu
untuk memerangi beban kerja ganda yang ditanggungnya dan perlunya
86
meningkatkan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat
keluarga, komunitas dan kebijakan publik.
Pengarusutamaan gender merupakan faktor yang juga harus
diperhatikan apabila akan dilakukan target pengentasan kemiskinan dengan
angka penurunan minimal 50% pada tahun 2015. Selain itu harus ada perubahan
paradigma yang semula program pengentasan kemiskinan lebih ke arah
perubahan totalitas masyarakat miskin, sekarang paradigmanya harus melihat
elemen-elemen yang ada di masyarakat seperti masyarakat minoritas,
masyarakat cacat dan sebagainya. Jika program pengentasan kemiskinan tidak
melihat elemen-elemen itu dan kondisi mereka, maka pengentasan kemiskinan
akan terhambat.
Tujuan pengentasan kemiskinan sesuai dengan Millenium Development
Goals (MDGs) adalah menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengah,
artinya harus bisa mencapai 9,2% pada tahun 2015 dari 18,42% tahun 2003.
Penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2001 yaitu 37.710.800
jiwa atau 18% yang terdiri dari laki-laki sebanyak 18.555.600 (18,37%) dan
perempuan 18.552.800 (18,42%). Kondisi ini ditandai dengan adanya kerentanan,
ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan
aspirasi. kondisi ini juga menunjukan masih tingginya kesenjangan antara laki-
laki dan perempuan. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan juga dapat
dilihat dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, rata-rata
lama sekolah laki-laki 7,3 tahun, sedangkan perempuan 6,1 tahun. Anak laki-laki
yang tidak tamat sekolah dasar 5,34% dan anak perempuan 11,9%.
Di bidang kesehatan, angka kematian ibu mencapai 396/100 ribu lahir hidup
pada tahun 2001. Aborsi yang terjadi di kota 1.051.470 kasus dan di desa 931.410
kasus. Kasus HIV AIDS berjumlah 3.568 kasus, 840 kasus di Papua dan 468
diderita oleh perempuan.
Ketimpangan ini apabila tidak dicermati secara mendalam, maka akan
muncul pemanfaatan sumber daya bagi yang mampu mendapatkan akses,
87
sedangkan yang tidak akan tetap tertinggal dan makin jauh tertinggal. Pada
masyarakat miskin kondisi ini akan berpengaruh lebih jelek lagi manakala para
pembuat kebijakan dan program mengabaikan perbedaan kondisi dan
perempuan serta kemampuan berbagai elemen masyarakat di dalamnya
termasuk laki-laki dan perempuan. Kondisi perempuan dan anak pada
masyarakat miskin mempunyai kerentanan dan marginalisasi mengingat peran-
peran yang ada dalam institusi dan budaya masyarakat masih adanya
keterbatasan dalam akses terhadap aset pelayanan ekonomi, produksi dan
pelayanan sosial dasar.
Di Indonesia, sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh
perempuan menurut Muhadjir ( 2005, 166) terletak pada budaya patriarki yaitu
nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai
superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini tercermin
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan
menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem
pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sitem
distribusi resoursis yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan
bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi
maupun kekerasan terhadap perempuan
Selain hal tersebut di atas, struktur budaya patriarkhi juga melahirkan
keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan keputusan baik di dalam
keluarga maupun di masyarakat. Dalam keluarga, pengambilan keputusan
didominasi oleh kaum laki-laki, demikian juga di lingkungan masyarakat yang
lebih luas. Di ranah publik, eksistensi perempuan juga kurang diperhitungkan,
terbukti dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi jabatan
struktural baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang nota bene juga
berperan sebagai pengambil keputusan.
Feminisasi kemiskinan yang demikian ini erat kaitannya dengan masih
kuatnya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. karena kultur ini
88
pada intinya meletakkan kaum perempuan pada posisi subordinat, termarjinal
dan terdiskriminasi. Oleh karena itu, kemiskinan yang dialami oleh perempuan
bersifat spesifik sehingga juga diperlukan penanganan yang khusus seperti
halnya pendekatan penanggulangan kemiskinan yang berperspektif gender.
B. PEMBANGUNAN BERPRESPEKTIF GENDER
Dalam deklarasi Millenium Development Goal yang diselenggarakan di New
York tahun 2000 , terdapat 3 tujuan utama pembangunan yaitu
1. Menanggulangi kemiskinan ekstrim dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar universal
3. Mempromosikan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan angka kematian anak
5. Memperbaiki kesehatan ibu
6. Membasmi HIV /AIDS, malaria & penyakit lain
7. Menjamin kelestarian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan untuk kerjasama pembangunan
Terdapat 3 point penting mengenai kesetaraan gender yang ada dalam
MGD tersebut. Untuk mendukung pelaksanaan MGD, pemerintah Indonesia
telah menetapkan beberapa komitmen yang digariskan antara lain:
1. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa seluruh departemen
maupun lembaga pemerintah non departemen di tingkat nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarusutamaan
gender dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada
kebijakan dalam program pembangunan. Substansi ketentuan Inpres
Nomor 9 tahun 2000 di atas adalah untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan
89
pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan
laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
pada seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional. Laki-laki
dan perempuan dapat memperoleh akses yang sama dalam proses
pembangunan termasuk proses pengambilan keputusan, memiliki
kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan serta memperoleh
manfaat yang sama dari hasil pembangunan.
2. Kepmendagri No 132 tahun 2003 tentang pedoman umum pelaksanaan
pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah. Dalam melaksanakan
pembangunan daerah, pemerintah daerah (pemda) merencanakan dan
melaksanakan agenda pembangunan yang dimanivestasikan dalam
bentuk penyusunan dan penetapan APBD. Dengan demikian APBD
adalah motor dan pedoman bagi pemerintah daerah (pemda) dalam
melaksanakan tugas-tugas pembangunan.
Namun dalam pelaksanaan pembangunan di tengah masyarakat masih
sering terjadi kesenjangan gender, yang bahkan tidak disadari oleh kaum
perempuan sendiri. Kesenjangan itu tampak dalam berbagai bentuk minimnya
partisipasi dan akses kaum perempuan dalam proses pembangunan selama ini.
Akibatnya, banyak program pembangunan yang substansinya belum
memperlihatkan kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam mengukur Pembangunan atas Gender, terdapat 2 Indeks yaitu
Indeks Pembangunan Gender yang dikenal dengan IPJ dan Indeks
Pemberdayaan Gender yang dikenal dengan IDJ.
90
C. INDEKS PEMBANGUNAN GENDER
Konsep kesetaraan gender pada prinsipnya memposisikan perempuan
dan laki-laki setara dalam kesempatan dan hak-haknya. Kesetaraan gender perlu
dipahami dalam arti bahwa perempuan dan laki-laki menikmati status yang
sama; berada dalam kondisi dan mendapat kesempatan yang sama untuk dapat
merealisasikan potensinya sebagai hak-hak asasinya, sehingga perempuan dapat
menyumbangkan potensinya secara optimal terhadap pembangunan dan
menikmati hasil pembangunan (Ambarsari Dwi C., et.all, 2002).
Secara normatif pemerintah tidak membedakan hak dan kesempatan
antara laki-laki dan wanita untuk beraktifitas termasuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Dua arahan kebijakan pemberdayaan wanita. Pertama,
meningkatkan kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua,
meningkatkan kualitas dan peranan wanita dengan mempertahankan nilai
persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan, dalam
rangka melanjutkan usaha pemberdayaan wanita serta kesejahteraan
masyarakat.
Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional yang mengamanatkan bahwa seluruh departemen
maupun lembaga pemerintah non departemen di tingkat pemerintah nasional,
propinsi maupun kabupaten/kota harus melakukan pengarus utamaan gender
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada kebijakan
dalam program pembangunan. Substansi ketentuan Inpres Nomor 9 tahun 2000
di atas adalah untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui
kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan
dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program pembangunan
91
92
nasional. Laki-laki dan perempuan dapat memperoleh akses yang sama dalam
proses pembangunan termasuk proses pengambilan keputusan, memiliki
kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan serta memperoleh manfaat
yang sama dari hasil pembangunan.
Meskipun demikian, dalam prakteknya potensi dari 101,8 juta
perempuan Indonesia (Sensur Penduduk 2000) tertinggal jauh dari laki-laki, baik
dari akses maupun peluang untuk berpartisipasi. Lembaga Pembangunan
Manusia Indonesia (LPMI) memberikan catatan bahwa pembangunan di negeri
ini belum berwawasan gender dan baru mengikutsertakan 45% peranan wanita
dibandingkan kaum laki-laki (www. sinar harapan.co.id, dalam PSW Lemlit
UNS, 2002).
Pada dasarnya IPJ dihitung dari variabel yang sama dengan
penghitungan IPM. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan IPJ, rata –
rata pencapaian usian harapan hidup, tingkat pendidikan dan pendapatn
disesuaikan dengan mengakomodasikan perbedaan pencapaian antara
perempuan dan laki – laki. Parameter ε di masukkan dalam rumus untuk
memperhitungkan tingkat penolakan terhadap ketimpangan. Parameter ini
menunjukkan elastisitas marginal dari penafsiran sosial terhadap pencapaian
antar kelompok gender yang berbeda. Untuk merefleksikan tingkat penolakan
yang moderat, nilai parameter ε ditetapkan sama dengan 2.
Secara tehnis Indeks Pemerataan Gender bisa ditunjukkan dalam gambar
sebagai berikut :
Dimensi Umur Panjang &
sehat
Pengetahuan Kehidupan yang layak
Indikator Angka
harapan
hidup
perempuan
Angka
harapan
hidup
laki - laki
Angka
melek huruf
perempuan
(MYS)
peremp
uan
Angka
melek
huruf
Laki -laki
(MYS)
Laki -
laki
Perkiraan
Pendapatan
Perempuan
Perkiraan
Pendapatan
Laki - laki
Indeks
Dimensi
Indeks
harapan
hidup
perempuan
Indeks
harapan
hidup
laki-laki
Indeks Pendidikan
Perempuan
Indeks Pendidikan
Laki - laki
Indeks
Pendapatan
Perempuan
Indeks
Pendapatan
Laki - laki
Indeks
Sebaran
Merata
Indeks Harapan
hidup dengan sebaran
merata
Indeks Pendidikan dengan sebaran merata Indeks Pendapatan dengan
sebaran merata
Indeks Pembangunan Gender
93
Gambar 6.1 Indeks Pembangunan Gender
Untuk melakukan penghitungan IPJ secara matematis, terlebih dulu
dihitung pencapaian yang disetarakan dengan tingkat pencapaian yang merata.
(the equally distributed equivalent achievement = Xede ) dengan formulasi rumus
sebagai berikut :
Xede = ( Pf Xf ( 1 –ε) + Pm Xm (1 –ε) ) 1/ (1 –ε)
Di mana
Xf = Pencapaian perempuan
Xm = Pencapaian laki – laki
Pf = Proporsi populasi perempuan
Pm = Proporsi populasi laki – laki
ε = Parameter penolakan ketimpangan ( = 2 )
Penghitungan kompone - komponen dalam IPJ maupun IDJ memang
cukup kompleks dibandingkan dengan IKM maupun IPM. Dengan
menggunakan data yang diperoleh dari Sakernas ( Survey Tenaga kerja
Nasional) akan dilakukan penghitungan
1. Rasio upah perempuan terhadap upah laki – laki di sektor non pertanian
(Wf)
2. Menghitung rata – rata upah dengan rumusan :
W = ( Aecf x Wf ) + ( AeCm x 1 )
Di mana
Aecf = Proporsi perempuan dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi
Aecm = Proporsi laki-laki dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi
Wf = Rasio upah perempuan di sektor non pertanian
94
3. Menghitung rasio antara upah untuk masing – masing kelompok gender
dengan upah rata – rata
4. Menghitung upah yang disumbangkan oleh masing – masing kelompok
gender ( = Income C ) di mana
Inc C = Aec (f/m) x R(f/m)
5. Menghitung proporsi pendapatan yang disumbangkan oleh masing – masing
kelompok gender ( % Inc C ) dengan rumusan :
% Inc C = Inc C (f/m) / P (f/m)
6. Menghitung Xede dari % Inc C [ = Xede ( Inc ) ]
7. Menghitung indeks distribusi pendapatan [ = I inc-dis]
Iinc-dis = [ ( Xede ( Inc ) x PPP ) – PPPmin ] / [ PPPmax – PPPmin]
Selanjutnya, dalam penghitungan IPJ dilakukan dengan mengikuti
prosedur di bawah ini :
• Indeks dari masing – masing komponen IPJ dihitung dengan formula di
atas dengan nilai batas maksimum dan minimum sebagaimana di bawah
ini
Tabel 6.1. Acuan maksimum dan minimum pada penghitungan IPM
Maksimum Minimum Indeks
Laki -laki Perempuan Laki -laki Perempuan
Angka Harapan hidup 82,5 87,5 22,5 27,5
Angka melek huruf 100,0 100,0 0,0 0,0
Rata – rata lama sekolah 15,0 15,0 0,0 0,0
Konsumsi per kapita Rp 737.720 Rp 300.000
Sumber : Laporan UNDP, Bappenas dan BPS 2001
95
• Menghitung Xede dari tiap indeks
• Menghitung IPJ dengan rumusan :
IPJ = 1/3 [ ( Xede (1) + Xede (2) + I inc –dis ]
Di mana
Xede (1 ) = Xede untuk harapan hidup
Xede (2 ) = Xede untuk pendidikan
I inc-dis = Indeks distribusi pendapatan
96
BOX 6.1
Contoh Penghitungan IPJ di Propinsi Aceh tahun 1999
Komponen Perempuan Laki – laki Proporsi penduduk 0,499 0,501 Harapan hidup ( tahun ) 69,6 65,6 Angka Melek huruf ( %) 90,1 96,2 Rata – rata lama sekolah ( MYS ) 6,8 7,7 % penduduk yang aktif secara ekonomi (Proporsi dari angkatan kerja)
38,4 61,6
Upah n on pertanian 271.929 383.423 PPP ( Rp 000 ) 562,8
Penghitungan Indeks harapan hidup dan indeks pendidikan :
Indeks Harapan hidup
• Perempuan = ( 69,6 – 27,5 )/ (87,5 – 27,5) = 0,70
• Laki – laki = ( 65,6 – 22,5 )/ ( 82,5 – 22,5)= 0,72
Jika ε = 2 maka
Xede(1) = [( 0,499) ( 0,70-1) + (0,501) ( 0,72-1) ]-1 = 0,71
Indeks Melek huruf
• Perempuan = (90,1 – 0) / ( 100 – 0 ) = 0,901
• Laki – laki = ( 96,2 – 0) / ( 100 – 0 ) = 0,962
Indeks Lama sekolah
• Perempuan = ( 6,8 – 0 ) / ( 15 – 0 ) = 0,453
• Laki – laki = ( 7,7 – 0 ) / ( 15 – 0 ) = 0,513
Indeks tingkat pendidikan
• Perempuan = 2/3 ( 0,901 ) + 1/3 ( 0,453) = 0,75
• Laki – laki = 2/3 ( 0,962 ) + 1/3 ( 0,513) = 0,81
Jika ε = 2, maka :
Xede(2) = [ ( 0,499) (0,75)-1 + ( 0,501) (0,81)-1]-1 = 0,78
97
Perhitungan Indeks Distribusi pendapatan
Rasio terhadap upah laki – laki di sektor non pertanian
• Perempuan = 271,929 / 383,423 = 0,709
• Laki – laki = 1
Rata - rata upah = ( 0,384 x 0,709 ) + ( 0,616 x 1 ) = 0,888
Rasio terhadap rata – rata upah
• Perempuan = 0,709 / 0,888 = 0,798
• Laki – laki = 1/ 0,888 = 1,126
Sumbangan pendapatan
• Perempuan = 0,798 x 0,384 = 0,307
• Laki – laki = 1,126 x 0,616 = 0,693
Proporsi sumbangan pendapatan
• Perempuan = 0,307/ 0,499 = 0,614
• Laki – laki = 0,693/ 0,501 = 1,384
Jika ε = 2 maka
Xede (inc) = [ ( 0,499) ( 0,614 ) -1 + ( 0,501) (1,384)-1]-1 = 0,85
Indeks Distribusi Pendapatan ( I inc-dis)
I inc-dis = [ ( 0,85 x 562,8 ) – ( 360)] / [ 737,72 – 3000] = 0,276
Jadi Indeks Pembangunan Jender adalah
IPJ = ( 0,71 + 0,78 + 0,276 ) / 3 = 0,59 atau 59 %
Artinya Indeks pembangunan Jender di daerah Aceh adalah sebesar 59 %.
98
Hasil penelitian mengenai IPJ yang juga dikenal dengan GDI ( Gender
Development Indeks ) di Jawa Tengah memberikan hasil perbandingan antara
IPM dengan IPJ sebagai berikut :
Tabel 6.2. Perbandingan GDI dan HDI di Jawa Tengah
Tahun Gender Development Index Human Development Index
1996 59,2 67,0
1999 57,4 64,6
2002 58,7 66,3
Dari data table tersebut di atas, diperoleh kenyataan bahwa ternyata
Indeks kesehatan, pendidikan dan perekonomian untuk kaum perempuan masih
berada di bawah rata-rata Indeks secara nasional. Untuk itu diperlukan adanya
kebijakan baik yang bersifat nasional maupun daerah dalam rangka peningkatan
kesetaraan gender.
Ketertinggalan kaum perempuan dari laki-laki yang berujung pada
ketidakadilan gender antara lain dapat berawal dari konstruk patriarkhi
masyarakat yang sudah membudaya, depolitisasi kepentingan negara yang
terwujud pada sistem negara yang tidak adil terhadap kepentingan kaum
perempuan, interpretasi agama yang tidak benar dan kurangnya akses
perempuan dalam berbagai kesempatan. Akomodasi kebutuhan riil perempuan
sering dipahami hanya sebatas kebutuhan rumah tangga/keluarga, kesehatan
termasuk gizi, pendidikan dan ekonomi. Akibatnya banyak institusi perempuan
seperti PKK, Dharmawanita, program P2WKSS yang dimaksudkan untuk
memberdayakan perempuan justru menimbulkan persoalan baru bagi
perempuan, yaitu beban ganda perempuan. Di satu sisi perempuan didorong
untuk aktif dalam berbagai aktifitas, tetapi di sisi lain peran tradisional sebagai
istri dan ibu tetap dibebankan kepadanya. Akibat lebih jauh adalah terjadinya
99
100
subordinasi, marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi bahkan kekerasan
terhadap perempuan.
D. INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER
Selain Indeks Pembangunan Gender, juga dikenal istilah Indeks
pemberdayaan gender. Indeks Pemberdayaan Gender ( IDJ ) disusun dari tiga
komponen meliputi keterwakilan di parlemen, pengambilan keputusan dan
distribusi pendapatan. Dalam penghitungan IDJ, terlebih dahulu dihitung EDEP
yaitu Indeks untuk masing – masing komponen berdasarkan persentase yang
equivalence dengan distribusi yang merata – Equally Distributed Equivalence
Percentage . Cara penghitungan sumbangan pendapatan untuk IDJ sama dengan
penghitungan untuk IPJ sebagai mana telah diuraikan di atas. Selanjutnya,
Indeks dari masing – masing komponen adalah nilai EDEP nya dibagi 50. Angka
50 dianggap sebagai kontribusi ideal dari masing – masing kelompok gender
untuk semua komponen IDJ.
Komponen pengambilan keputusan disusun dari dua indikator yaitu
pekerjaan manajerial dan administrasi, dan pekerjaan profesional dan tehnisi.
Nilai indeks pengambilan keputusan untuk tingkat nasional merupakan rata –
rata dari kedua indikator tersebut. Penggabungan ini penting untuk
menghindari kesalahan persepsi dari responden dalam memilih di antara kedua
jenis pekerjaan tersebut. Data biasanya diambil dari data Susenas . Data
keterwakilan di parlemen diambil dari lembaga pemilihan umum dan DPRD
propinsi serta DPRD Kabupaten/ kota.
IDJ dihitung berdasarkan rumusan sebagai berikut :
IDJ = 1/3 ( I par + IDM + I inc-dis)
Di mana :
Ipar = Indeks keterwakilan di Parlemen
IDM = Indeks pengambilan keputusan
Iinc –dis = Indeks distribusi pendapatan
DIMENSI Partisipasi Politik Partisipasi Ekonomi dan Pengambilan
Keputusan
Penguasaan Sumber Daya
Ekonomi
Indikator Proposi Perempuan dan laki
– laki di Parlemen
Proposi laki – laki dan perempuan yang
bekerja sebagai profesional, tehnisi,
pemimpin dan tenaga ketatalaksanaan
Perkiraan Penghasilan
Perempuan dan laki – laki
EDEP untuk keterwakilan di
Parlemen
EDEP untuk partisipasi dalam pengambilan
keputusan
EDEP untuk penghasilan Persentase
Equivalence
dg sebaran
merata
INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER
101
Secara tehnis, Indeks Pemberdayaan Gender bisa digambarkan sebagai berikut :
Gb. 6.2. Indeks Pemberdayaan Gender
BOX. 6.2. contoh Penghitungan IDJ di Propinsi Aceh
Komponen Perempuan Laki - laki Proporsi penduduk 0,499 0,501 Keterwakilan di Parlemen 8,3 91,7 Proporsi dari manajer, staff adm, pekerja professional dan tehnisi
54,4 45,6
% Penduduk yang aktif secara ekonomi ( Proporsi dari angkata kerja )
38,4 61,6
Upah non pertanian 271,929 383,423 PPP 562,8 Perhitungan Indeks keterwakilan di Parlemen dan Indeks pengambilan keputusan
dengan ε = 2
Indeks Keterwakilan di Parlemen Ipar
EDEP par = [ (0,499) (8,3)-1 + ( 0,501) ( 91,7)-1] -1 = 15,25
Ipar = 15,25 / 50 = 0,3
Indeks Pengambilan Keputusan ( IDM)
EDEPDM = [ 0,499) (54,4)-1 + ( 0,500) (45,6)-1]-1 = 49,61
IDM = 49,61 / 50 = 0,99
Perhitungan Indeks Distribusi pendapatan
Sama dengan yang dilakukan dalam IPJ dan diperoleh hasil
Iinc-dis = 0,27
Sehingga Indeks Pemberdayaan Gender ( IDJ ) diperoleh :
IDJ = 1/3 ( I par + IDM + I inc-dis)
= ( 0,3 + 0,99 + 0,27 ) /3 = 0, 524
Jadi IDJ Propinsi Aceh adalah sebesar 52,4 %
102
IDJ juga sering disebut dengan Gender Empowerment Measures (GEM ),
yang merupakan perpaduan dari peran perempuan di sector politik dan
ekonomi, di Jawa Tengah menunjukkan hasil sebagai berikut :
Tabel 6.3. Evaluasi GEM Propinsi Jawa Tengah
INDIKATOR
Rata – rata upah di sector non pertanian
Tahun
Perempuan dalam parlemen
Wanita pekerja, professional, pejabat tinggi, manajer
Wanita dalam angkatan kerja
P L
1996 10,7 40,6 31,5 - -
1999 6,7 44,7 40,8 186,7 294,7
2002 6,3 41,2 43,6 313,1 500,0
Dari data pada table di atas terlihat bahwa justru terjadi penurunan pada
peran perempuan di Parlemen / legislative yang dikhawatirkan akan
menyebabkan semakin jauhnya pembangunan yang berprespektif gender. Di sisi
lain peran wanita untuk masuk angkatan kerja juga masih dibawah laki – laki,
demikian juga dengan rata – rata upah yang diperoleh kaum perempuan pada
sector non pertanian juga masih kalah jauh dibandingkan kaum laki – laki.
E. HASIL PENELITIAN TENTANG GENDER DAN KEMISKINAN
Salah satu bagian penting ketika membicarakan kemiskinan adalah dari
sisi gender adalah bagaimana peran perempuan dalam menyumbang atas
pendapatan keluarga dan bagaimana usaha produktif yang bisa dilakukan untuk
mengembangkan ekonomi rumah tangga. Pada tahun 2006, Kementrian
Kesejahteraan Rakyat bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret
melakukan kajian mengenai Efisiensi Pemanfaatan Dana Bantuan Langsung
103
bagi Rumah Tangga Miskin. Penelitian yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah
tersebut, kaitannya dengan perempuan dan kemiskinan bisa ditunjukkan pada
box berikut ini :
Bertitik tolak dari 2 temuan tersebut di atas, maka pemberdayaan
perempuan menjadi salah satu solusi dan titik sasaran atau target yang harus
dibidik dalam pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan ekonomi ibu rumah
tangga ini bisa dilakukan dengan memberikan fasilitasi untuk tambahan modal
BOX 6.3 Temuan Kajian atas SLT dari sisi gender
a. Dari 241 responden yang berada pada kriteria miskin dan
mendekati miskin ternyata 235 orang atau 97,5% mempunyai istri
yang bekerja . Adapun sumbangan pendapatan istri terhadap
pendapatan keluarga berkisar antara 12,5% sampai dengan 37,5%
sebanyak 204 orang atau 86,81%. Sedangkan pada RTM yang sangat
miskin hanya 16,07% yang istrinya bekerja. Dari hasil data lapangan
ini maka bisa diambil analisis bahwa istri yang bekerja baik dalam
sektor formal maupun informal akan memberikan sumbangan yang
cukup besar dalam peningkatan ekonomi rumah tangga.
b. Berdasarkan hasil olah data di lapangan ternyata 24,3% penerima
SLT adalah perempuan dan dari 243 perempuan tersebut 93,42%
berstatus sangat miskin. Hal ini disebabkan bahwa yang bekerja
dalam rumah tangga tersebut hanya kepala keluarga sedangkan
anggota keluarga lain sebagian besar belum atau tidak bekerja. Dan
di daerah pedesaan jumlah kesempatan kerja bagi perempuan lebih
sedikit dibandingkan dengan laki – laki dan pendapatan yang
diperolehnya pun relatif lebih kecil pada pekerjaan yang sama.
104
105
dan peningkatan output melalui organisasi perempuan terkecil dalam rukun
tetangga yaitu PKK atau Arisan Dasa Wisma. Dari hasil indept wawancara
mengenai gerak PKK dan dasa wisma di desa dan RT ternyata diperolah hasil
menggembirakan, bahwa terdapat peningkatan perputaran dana yang cukup
signifikan dalam organisasi tersebut.
Temuan – temua tersebut, kemudian memberikan rekomendasi atas
bantuan langsung bersyarat yang akan diberikan kepada perempuan dalam
pemberdayaan ekonomi seperti dalam tabel berikut :
1. Pemberdayaan Perempuan dan keluarga
Latar belakang dari Program ini adalah temuan pertama yang berkaitan dengan peran perempuan / istri yang bekerja bagi rumah tangga
miskin. Perempuan/ istri bisa diberdayakan dengan harapan akan menambah pendapatan keluarga dan juga meningkatkan kesejahteraan
keluarga.
Tabel 6.4. Rekomendasi Hasil Kajian Pemanfaatan SLT dari segi pemberdayaan perempuan dan keluarga
Tujuan Bentuk Program Penerima
Program
Besaran Dana Jangka waktu
Memberdayakan ekonomi ibu – ibu
rumah tangga dalam rangka
meningkatkan pendapatan keluarga
melalui organisasi perempuan terkecil
di masyarakat yaitu dasa wisma atau
PKK RT
Pemberian pelatihan usaha
produktif diikuti hibah
dana bergulir bagi
perempuan anggota dasa
wisma atau PKK RT *)
Ibu – ibu rumah
tangga miskin
yang memiliki
usaha produktif
atau yang baru
akan memulai
usaha produktif
Disesuaikan dengan
jenis usaha dan
kebutuhan
1 tahun
106