A. JURNAL ISI.pdf
-
Upload
andik-bocah-petualang -
Category
Documents
-
view
22 -
download
7
Transcript of A. JURNAL ISI.pdf
-
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan salah satu
trauma yang terjadi dalam kehidupan sehari-
hari yang mempunyai dampak langsung
terhadap perubahan lokal maupun sistemik
tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan
luka lain (Marzoeki, 2006). Cidera luka bakar
dapat bervariasi dari luka kecil yang bisa di
tangani di sebuah klinik rawat jalan, hingga
cedera luas yang dapat menebabkan Multy-
system organ failure (MOF) dan perawatan
rumah sakit yang memanjang (Klein, 2007).
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka
bakar dan lamanya kontak dengan tubuh
penderita (Noer, 2006).
Berdasarkan journal of surgical
research edisi 2012, di Amerika Serikat
antara tahun 2000-2009, sekitar 450.000 luka
bakar diperlukan perawatan medis, 45.000
yang dirawat inap dan 25.000 di unit luka
bakar, yang semuanya akibat tersiram air
mendidih, kontak dengan benda panas,
paparan bahan kimia dan tersengat listrik
(Goertz et al, 2011). Data lain dari pusat luka
bakar di belanda antara tahun 1995-2011
sebanyak 9031 pasien, jumlah rata-rata
pertahun adalah 531 pasien dan meningkat
dari tahun 1995 sekitar 430 pasien dan tahun
2011 menjadi 747 pasien. Luka bakar paling
sering terjadi di rumah dan yang ditemukan
terbanyak adalah luka bakar derajat II
(Nurdiana dkk, 2008). Angka mortalitas
pasien luka bakar di RSU Cipto
Mangunkusumo Jakarta mencapai 27,6%
pada tahun 2012 (Martina & Wardhana,
2013).
Luka bakar derajat II paling sering
diakibatkan terkena benda panas atau cairan
panas yang suhunya mencapai titik didih atau
lebih tinggi sehingga menyebabkan
kerusakan sebagian kecil lapisan superfisial
dan tidak meninggalkan jaringan parut dan
dapat sembuh secara spontan (Majid &
Prayogi, 2013). Luka bakar yang luas
mempengaruhi metabolisme dan fungsi
setiap sel tubuh, semua sistem terganggu
terutama sistem kardiovaskuler. Semua
organ memerlukan aliran darah yang adekuat
sehingga perubahan fungsi kardiovaskuler
memiliki dampak luas pada daya tahan hidup
dan pemulihan pasien (Corwin, 2009). Oleh
karena itu luka bakar harus segera ditangani
agar tidak terjadi komplikasi dan terjadi
penyembuhan luka lebih cepat (Morison,
2003).
Penyembuhan luka merupakan aktifitas
dari protease, kemokin, sitokin, dan regulasi
peptida yang terjadi melalui tiga fase yaitu
fase inflamasi, proliferasi dan remodeling
(schreml et al, 2010). Aktifitas dari kemokin,
sitokin dan peptida berperan besar dalam
mengatur lalu lintas leukosit (neutrofil)
(Playfair & Chain, 2009). Penanganan dan
perawatan luka bakar sampai saat ini masih
memerlukan perawatan yang kompleks dan
masih merupakan tantangan bagi tenaga
kesehatan (Noer, 2006). Semua luka bakar
(kecuali luka bakar derajat I) membutuhkan
penanganan medis yang segera, karena
beresiko terhadap infeksi, dehidrasi, dan
komplikasi serius lainnya (Balleto et al, 2001).
Perawatan luka termasuk didalamnya
perawatan luka bakar di lakukan dengan
tujuan mencegah berlangsungnya degradasi
luka dengan mengupayakan suasana
kondusif untuk proses penyembuhan.
Perawatan moist akan menfasilitasi proses
penyembuhan (Moenadjat, 2003). Pada
tahun 1962, George menemukan bahwa
epitelisasi dua kali lebih cepat pada
lingkungan lembab, migrasi sel lebih efektif
pada suasana lembab dan tidak dapat
bermigrasi pada suasana kering dimana
produksi jaringan granulasi terganggu dan
sel-sel epitel baru ditutupi oleh escar atau
keropeng (Martin & Rawlings, 2011). Dengan
mempertimbangkan keuntungan terapi luka
dalam kondisi moist, maka banyak praktisi
yang melakukan penelitian mencari cara
mempertahankan suasana moist, dalam
praktek klinis kelembaban di bawah dressing
harus tinggi, dalam kebanyakan kasus
kelembaban dressing yang efektif harus jauh
lebih tinggi dari 20%, mungkin sekitar
50 65% dan 75% (Thomas, 2010), ini di
buktikan dalam sebuah penelitian bahwa
proses angiogenesis lebih cepat pada
-
M =
frostbite (luka akibat suhu dingin) di
bandingkan dengan luka yang disebabkan
oleh suhu yang panas dimana terjadi
penghancuran seluruh matriks ekstraseluler
(Trang et al, 2011).
Perawatan luka dengan kandungan
0,1% dari agen polyhexanide antimikroba dan
0,1% dari betaine surfaktan, digunakan untuk
membersihkan luka dan dapat mempercepat
penyembuhan luka. Polyhexanide
menyebabkan ekspansi dan fluidisasi dari
muatan negatif fosfolipid bilayer, membuat
membran sel bakteri hancur dan akhirnya
menyebabkan kematian sel bakteri.
Polyhexanide/betaine dalam konsentrasi
hingga 20ug/ml tidak menghambat
keratinecytes manusia (Wilkin et al, 2012).
Polihexanide memiliki indeks
biokompatibilitas >1 menunjukkan bahwa
toksisitas jaringan rendah.
Polihexanide/betaine menghilangkan
gumpalan deposit protein plasma lebih efektif
dari pada larutan garam fisiologis (NS).
Dalam penelitian babi terkontrol secara acak
dan dibersihkan dengan polihexanide dapat
mempercepat penutupan luka dari luka
dangkal, secara signifikan (p
-
Kelembaban 80% : 1 ml untuk ukuran kassa 7 x 10cm dan di lipat hingga membentuk 2 X 2,5 cm.
Kemudian divalidasi dengan menggunakan alat Moisture meter MD-010.
Pembuatan luka bakar derajat IIA. Menempelkan balok steroform berukuran 2x2 cm dilapisi dan dibungkus kassa yang dicelup air mendidih 980C selama 3 menit dan ditempelkan pada punggung tikus selama 30 detik.
Perawatan luka bakar derajat IIA. Pada kelompok perlakuan dibersihkan dengan cairan NS dengan cara di irigasi dengan menggunakan spuit 10cc tanpa jarum kemudian dikompres dengan kassa dengan kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% kemudian dibalut dengan secondary dressing dan di plester sedangkan kelompok kontrol dibersihkan dengan cara yang sama dengan kelompok perlakuan kemudian dikompres dengan cairan NS dan dibalut dengan secondary dressing dan di plester yang dilakukan setiap hari pukul 13.30- 17.30 WIB.
Identifikasi neutrofil. Proses perhitungan jumlah neutrofil dilakukan dengan pengambilan preparat jaringan kulit dengan pemotongan vertical menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Slide kemudian di scan dengan OLYMPUS seri XC10. Dari hasil scan preparat selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah neutrofil yang dihitung pada 5 lapang pandang dengan pembesaran 400x. Penghitungan jumlah neutrofil dilakukan dengan cara penghitungan counter, dan diambil jumlah rata-rata dari masing-masing lapang pandang. Pada pewarnaan HE, neutrofil Ukuran Sel 1-12 mikrometer, bentuk Sel bulat dan inti sel seperti tapal kuda, bernukleus banyak, warna nukleus violet, sitoplasma bergranula banyak.
Analisa data. Data-data yang didaptkan dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis dengan software SPSS Statistic 20 for windows. Metode analisis menggunakan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk (P>0,05). Uji homogenitas menggunakan uji Levene test (p>0,05). Uji One Way ANOVA (p
-
Gambar 1. Gambar mikroskopis spesimen
jaringan kulit dengan pembesaran 400x dan dibagi dalam 5 lapang pandang. (A) infiltrasi neutrofil meningkat dibanding Kelembaban 50%,60%,70%,80%. (B) infiltrasi neutrofil menurun dibanding K 60%,70%,80%. (C) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan K 70% dan 80%. (D) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan K 80%. (E) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan NS.
Analisa Data Pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan uji One Way ANOVA dan Tukey SPSS 20. Data harus mempunyai sebaran normal dan ragam yang homogen. Berdasarkan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorof smirnov atau shapiro wilk terdapat jumlah neutrofil luka bakar derajat IIA didapatkan p-value > (0,05) yang menunjukkan data berdistribusi normal.
Berdasarkan uji homogenitas menggunakan uji levene (Levene test homogeneity of variances) terhadap jumlah neutrofil luka bakar derajat IIA didapatkan p-value > (0,05) sehingga data mempunyai ragam yang homogen atau varians data yang sama. Berdasar uji statistik One Way ANOVA didapatkan nilai signifikansi (p
-
serta pemusnahan organisme mikroba (Ronald & Richard, 2004).
Proses penyembuhan luka yang baik adalah salah satunya ditandai dengan penurunan jumlah neutrofil pada fase proliferasi. pelepasan neutrofil sebagai akibat dari iskemia dan reperfusi. Mekanisme neutrofil dimediasi oleh kerusakan jaringan termasuk pelepasan radikal oksigen bebas dan lipid peroksidasi, aktivasi protease, dan peningkatan sintesis produk siklooksigenase (Benlier et al, 2011). Akibat dari kerusakan jaringan akibat luba bakar termal maka akan muncul masalah keperawatan resiko kerusakan jaringan kulit yang meluas. Area luka bakar yang semakin luas dapat beresiko terjadinya infeksi. Peningkatan infeksi menyebabkan pemanjangan fase inflamasi sehingga dapat menyebabkan pembentukan granulasi yang berlebihan pada fase proliferasi yang berakibat pada terbentuknya jaringan parut hipertrofik pada luka (Morison, 2004).
Polyhexanide 0,1% dan betaine 0,1% topikal digunakan dalam pengelolaan luka yang terinfeksi sebagai agen pembersih. Polihexanide adalah biguanide polimer dengan antimikroba pertama kali dijelaskan pada tahun 1956. Aktifitas antimikroba yang didasarkan pada absorbsi obat untuk fosfatidilgliserol dan fosfolipid yang bermuatan negatif pada membran sel, menyebabkan perubahan sifat fisik dan disorganisasi dari membran sel bakteri, polihexanide merupakan formula yang tidak beracun dan biokompatibel toleransi kulit yang sangat baik (kevin et al, 2012), Tiap konsentrasi 0,02% polihexanide dapat membunuh baketri 5 lg atau 3 lg dalam kondisi luka kotor dan tiap 5 menit kontak dengan luka (Koburger et al, 2007).
Betaine 0,1% adalah surfaktan untuk membersihkan dan melembabkan luka sehingga dapat meningkatkan penyembuhan luka (kevin et al, 2012). Sel sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan tersebut, sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak (Morison, 2004). Waktu yang panjang akibat membiarkan luka mengering mengakibatkan lebih banyak jaringan yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat menghambat penyembuhan. Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab, maka penyembuhan dapat terjadi lebih cepat
(Morison, 2004). Betaine merupakan turunan dari asam undesilenat, fungisida alami tidak mudah dimetabolisme oleh mikroorganisme dan mampu bertindak sebagai antimikroba. Penggunaan kombinasi dari betaine 0,1% dan polihexanide 0,1% dapat mencegah pemanjangan fase inflamasi yang ditandai dengan penurunan jumlah neutrofil pada fase proliferasi, sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka.
Normal salin memiliki sifat mudah menguap, sehingga bila digunakan untuk balutan luka akan mudah kering dan akan dan akan menekan jaringan kulit yang luka. Tekanan pada jaringan kulit yang luka ini dapat mengakibatkan terangkatnya jaringan kulit yang mengalami granulasi (Mohajeri et al, 2011), sehingga akan memperpanjang fase inflamasi yang mengakibatkan infiltrasi neutrofil tetap meningkat pada kompres dengan NS seperti yang terlihat pada gambar 1.
Perawatan luka bakar derajat IIA pada
tikus dalam penelitian ini dilakukan selama 10 hari dan dilakukan pengambilan jaringan pada hari ke-11. Secara makroskopis, luka bakar derajat IIA yang dikompres dengan betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50% yang proses penyembuhan lebih optimal dengan dasar luka halus dan tidak terdapat keropeng.
Berdasarkan hasil penelitian, luka bakar yang dikompres dengan betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50% yang menunjukkan jumlah neutrofil paling rendah sebanyak 40,28 sel. Dengan demikian betaine polihexanide 0,1% dengan kelembaban 50% lebih efektif dalam menurunkan jumlah neutrofil yang akan membantu dalam proses penyembuhan luka bakar derajat IIA secara optimal. KETERBATASAN PENELITIAN
Peneliti tidak meneliti kesembuhan luka dengan tingkat kelembaban dibawah 50% sehingga peneliti hanya mengetahui penyembuhan luka bakar IIA dengan kelembaban dalam rentang 50% - 80%. KESIMPULAN
Berdasarakan penelitian yang telah dilakukan, perawatan luka bakar derajat IIA menggunakan kompres betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% dapat menurunkan jumlah neutrofil karena betaine polihexanide 0,1% berperan sebagai
-
antimikroba dan sebagai surfaktan yang menghancurkan dinding sel bakteri dan tetap menjaga suasana lembab pada balutan luka. 1. Pemberian topikal betaine polihexanide
0,1% dengan berbagai tingkat kelembaban pada luka bakar derajat IIA pada tikus wistar putih (rattus novergicus) berpengaruh terhadap penurunan jumlah neutrofil.
2. Jumlah neutrofil dengan kompres betaine polihexanide 0,1% pada kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% adalah 117,56. 40,28. 55,48. 87,84 dan 89,08
3. Jumlah neutrofil pada kompres dengan normal salin adalah 117,56, ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dengan kompres betaine polihexanide 0,1% pada kelembaban 50%,60%,70%, 80%.
4. Pada kelembaban 50% dan 60% menyebabkan penurunan jumlah neutrofil yang signifikan dibandingkan dengan kelembaban 70% dan 80%.
5. Jumlah neutrofil pada kelompok kontrol (normal salin) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan (betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80%.
SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait dengan manfaat betaine polihexanide 0,1% dengan berbagai tingkat kelembaban dalam penyembuhan luka bakar yang derajat lebih tinggi, misal pada luka bakar derajat III.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai frekuensi perawatan luka bakar derajat IIA dengan menggunakan topikal betaine polihexanide 0,1%.
DAFTAR PUSTAKA American Burn Association (ABA). 1984.
Guidelines for service standar and severity classification in the treatment of burn injury. Bulletin of the American Collage of Surgeon, 69(10), 24-28
Balletto et al., 2001. Burns, (On-line), (http://www.umm.edu/altmed/Con sConditions/Burnscc.html), Akses tanggal 19 Desember 2001
Brandi Martin, B., RN, & Rawlings, M. 2011. Pearls for Practice: Moist Wound Healing. Ostomy Wound Management.
Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi (3 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Erol Benlier, Eskiocak, S., Puyan, F. O., Kandulu, H., Yasin Unal, Husamettin Top, et al. 2011. Fucoidin, a neutrophil rolling inhibitor, reduces damage in a rat electrical burn injury model.Journal Burns. 37. 1216-1221.
Goertz O, Hirsch T, Buschhaus B, et al. 2011. Intravital pathophysiologic comparison of frostbite and burn injury in a murine model. J Surg Res. 167:e395.
Kevin E, Minnich. MBA, et al. 2012. "The effect of a wound care solution containing polihexanide and betaine on bacterial counts: Results of an in vitro study." Ostomy Wound Management. 58(10): 32-36.
Kramer A, Roth B, Muller G, et al. 2004. Influence of the antiseptic agents polihexanide and octenidine on Fl cells and on healing of experimental superficial aseptic wounds in piglets, A double-blind, randomized, stratified, controlled, parallel group study. Skin pharmacol physiol; 17 (3): 141-150
Moore Koburger, Gray D. 2007. Using PHMB antimicrobial to prevent wound infection. Wounds UK. 3(2). 96-102.
Marzoeki, D. 2006. Overview luka bakar. Surabaya: Universitas Airlangga.
Martina N R dan Wardhana A. 2013. Mortality analysis of adult burn patients. Burn. 2:96-100
Majid, A., & Prayogi, A. S. 2013. Buku Pintar Perawatan Pasien Luka Bakar (1 ed). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Morison, Moya J. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar: Klinis Praktis (Revisi ed. Vol. 4). Jakarta: Balai Pustaka FKUI.
Mohajeri. Mesgari, D. et al. 2011. "Comparison of the effect of normal saline and silver sulfadiazine on healing of skin burn wound in rats: Histopathological study." Middle east Journal of Scientific Research. 10: 08-14.
Klein, M.B.2007. Thermal, chemical, and electrical injuries. In: Thorne CH,Beasly, R.W., Aston, S.J., Bartlett, S.P., Gurtner, G.C., Spear, S.L. (Eds).Grabb and Smiths plastic surgery. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 132-149.
Noer, M.S. 2006. Penanganan Luka Bakar Akut. Surabaya: Airlangga University Press.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
-
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Playfair, J. H. L., & Chain, B. M. 2009. At a Glance Imunologi (9 ed). Jakarta: Erlangga.
Robert G Wilkins, Kevin E Minnich, & Unverdorben, M. 2012. Wound Cleanig and Wound Healing- A Concise Review. B Braun Medical Inc..Allentown, PA.
Ronald, S., & Richard, M. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Stephan Schreml, MD, Rolf- Markus Szeimies, Md, phD, et al.(2010). Wound healing in the 21st century. Regensburg, Germany. P:868-881
Trang Q. Nguyen, M. D., & David H. Song, M. D., M.B.A. (2012). Pathophysiologic Difference Between Frostbite and Burn Injury and Implications for Therapy. Journal of Surgical Research. 174: 247-249.
Thomas, S. 2010. Surgical Dressing and Wound Management. Cadiff, South Wales: Medetec Publication.
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (9 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.