A. JURNAL ISI.pdf

7
PENDAHULUAN Luka bakar merupakan salah satu trauma yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari yang mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan luka lain (Marzoeki, 2006). Cidera luka bakar dapat bervariasi dari luka kecil yang bisa di tangani di sebuah klinik rawat jalan, hingga cedera luas yang dapat menebabkan Multy- system organ failure (MOF) dan perawatan rumah sakit yang memanjang (Klein, 2007). Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Berdasarkan journal of surgical research edisi 2012, di Amerika Serikat antara tahun 2000-2009, sekitar 450.000 luka bakar diperlukan perawatan medis, 45.000 yang dirawat inap dan 25.000 di unit luka bakar, yang semuanya akibat tersiram air mendidih, kontak dengan benda panas, paparan bahan kimia dan tersengat listrik (Goertz et al, 2011). Data lain dari pusat luka bakar di belanda antara tahun 1995-2011 sebanyak 9031 pasien, jumlah rata-rata pertahun adalah 531 pasien dan meningkat dari tahun 1995 sekitar 430 pasien dan tahun 2011 menjadi 747 pasien. Luka bakar paling sering terjadi di rumah dan yang ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk, 2008). Angka mortalitas pasien luka bakar di RSU Cipto Mangunkusumo Jakarta mencapai 27,6% pada tahun 2012 (Martina & Wardhana, 2013). Luka bakar derajat II paling sering diakibatkan terkena benda panas atau cairan panas yang suhunya mencapai titik didih atau lebih tinggi sehingga menyebabkan kerusakan sebagian kecil lapisan superfisial dan tidak meninggalkan jaringan parut dan dapat sembuh secara spontan (Majid & Prayogi, 2013). Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel tubuh, semua sistem terganggu terutama sistem kardiovaskuler. Semua organ memerlukan aliran darah yang adekuat sehingga perubahan fungsi kardiovaskuler memiliki dampak luas pada daya tahan hidup dan pemulihan pasien (Corwin, 2009). Oleh karena itu luka bakar harus segera ditangani agar tidak terjadi komplikasi dan terjadi penyembuhan luka lebih cepat (Morison, 2003). Penyembuhan luka merupakan aktifitas dari protease, kemokin, sitokin, dan regulasi peptida yang terjadi melalui tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan remodeling (schreml et al, 2010). Aktifitas dari kemokin, sitokin dan peptida berperan besar dalam mengatur lalu lintas leukosit (neutrofil) (Playfair & Chain, 2009). Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan (Noer, 2006). Semua luka bakar (kecuali luka bakar derajat I) membutuhkan penanganan medis yang segera, karena beresiko terhadap infeksi, dehidrasi, dan komplikasi serius lainnya (Balleto et al, 2001). Perawatan luka termasuk didalamnya perawatan luka bakar di lakukan dengan tujuan mencegah berlangsungnya degradasi luka dengan mengupayakan suasana kondusif untuk proses penyembuhan. Perawatan moist akan menfasilitasi proses penyembuhan (Moenadjat, 2003). Pada tahun 1962, George menemukan bahwa epitelisasi dua kali lebih cepat pada lingkungan lembab, migrasi sel lebih efektif pada suasana lembab dan tidak dapat bermigrasi pada suasana kering dimana produksi jaringan granulasi terganggu dan sel-sel epitel baru ditutupi oleh escar atau keropeng (Martin & Rawlings, 2011). Dengan mempertimbangkan keuntungan terapi luka dalam kondisi moist, maka banyak praktisi yang melakukan penelitian mencari cara mempertahankan suasana moist, dalam praktek klinis kelembaban di bawah dressing harus tinggi, dalam kebanyakan kasus kelembaban dressing yang efektif harus jauh lebih tinggi dari 20%, mungkin sekitar 50 65% dan 75% (Thomas, 2010), ini di buktikan dalam sebuah penelitian bahwa proses angiogenesis lebih cepat pada

Transcript of A. JURNAL ISI.pdf

  • PENDAHULUAN

    Luka bakar merupakan salah satu

    trauma yang terjadi dalam kehidupan sehari-

    hari yang mempunyai dampak langsung

    terhadap perubahan lokal maupun sistemik

    tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan

    luka lain (Marzoeki, 2006). Cidera luka bakar

    dapat bervariasi dari luka kecil yang bisa di

    tangani di sebuah klinik rawat jalan, hingga

    cedera luas yang dapat menebabkan Multy-

    system organ failure (MOF) dan perawatan

    rumah sakit yang memanjang (Klein, 2007).

    Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka

    bakar dan lamanya kontak dengan tubuh

    penderita (Noer, 2006).

    Berdasarkan journal of surgical

    research edisi 2012, di Amerika Serikat

    antara tahun 2000-2009, sekitar 450.000 luka

    bakar diperlukan perawatan medis, 45.000

    yang dirawat inap dan 25.000 di unit luka

    bakar, yang semuanya akibat tersiram air

    mendidih, kontak dengan benda panas,

    paparan bahan kimia dan tersengat listrik

    (Goertz et al, 2011). Data lain dari pusat luka

    bakar di belanda antara tahun 1995-2011

    sebanyak 9031 pasien, jumlah rata-rata

    pertahun adalah 531 pasien dan meningkat

    dari tahun 1995 sekitar 430 pasien dan tahun

    2011 menjadi 747 pasien. Luka bakar paling

    sering terjadi di rumah dan yang ditemukan

    terbanyak adalah luka bakar derajat II

    (Nurdiana dkk, 2008). Angka mortalitas

    pasien luka bakar di RSU Cipto

    Mangunkusumo Jakarta mencapai 27,6%

    pada tahun 2012 (Martina & Wardhana,

    2013).

    Luka bakar derajat II paling sering

    diakibatkan terkena benda panas atau cairan

    panas yang suhunya mencapai titik didih atau

    lebih tinggi sehingga menyebabkan

    kerusakan sebagian kecil lapisan superfisial

    dan tidak meninggalkan jaringan parut dan

    dapat sembuh secara spontan (Majid &

    Prayogi, 2013). Luka bakar yang luas

    mempengaruhi metabolisme dan fungsi

    setiap sel tubuh, semua sistem terganggu

    terutama sistem kardiovaskuler. Semua

    organ memerlukan aliran darah yang adekuat

    sehingga perubahan fungsi kardiovaskuler

    memiliki dampak luas pada daya tahan hidup

    dan pemulihan pasien (Corwin, 2009). Oleh

    karena itu luka bakar harus segera ditangani

    agar tidak terjadi komplikasi dan terjadi

    penyembuhan luka lebih cepat (Morison,

    2003).

    Penyembuhan luka merupakan aktifitas

    dari protease, kemokin, sitokin, dan regulasi

    peptida yang terjadi melalui tiga fase yaitu

    fase inflamasi, proliferasi dan remodeling

    (schreml et al, 2010). Aktifitas dari kemokin,

    sitokin dan peptida berperan besar dalam

    mengatur lalu lintas leukosit (neutrofil)

    (Playfair & Chain, 2009). Penanganan dan

    perawatan luka bakar sampai saat ini masih

    memerlukan perawatan yang kompleks dan

    masih merupakan tantangan bagi tenaga

    kesehatan (Noer, 2006). Semua luka bakar

    (kecuali luka bakar derajat I) membutuhkan

    penanganan medis yang segera, karena

    beresiko terhadap infeksi, dehidrasi, dan

    komplikasi serius lainnya (Balleto et al, 2001).

    Perawatan luka termasuk didalamnya

    perawatan luka bakar di lakukan dengan

    tujuan mencegah berlangsungnya degradasi

    luka dengan mengupayakan suasana

    kondusif untuk proses penyembuhan.

    Perawatan moist akan menfasilitasi proses

    penyembuhan (Moenadjat, 2003). Pada

    tahun 1962, George menemukan bahwa

    epitelisasi dua kali lebih cepat pada

    lingkungan lembab, migrasi sel lebih efektif

    pada suasana lembab dan tidak dapat

    bermigrasi pada suasana kering dimana

    produksi jaringan granulasi terganggu dan

    sel-sel epitel baru ditutupi oleh escar atau

    keropeng (Martin & Rawlings, 2011). Dengan

    mempertimbangkan keuntungan terapi luka

    dalam kondisi moist, maka banyak praktisi

    yang melakukan penelitian mencari cara

    mempertahankan suasana moist, dalam

    praktek klinis kelembaban di bawah dressing

    harus tinggi, dalam kebanyakan kasus

    kelembaban dressing yang efektif harus jauh

    lebih tinggi dari 20%, mungkin sekitar

    50 65% dan 75% (Thomas, 2010), ini di

    buktikan dalam sebuah penelitian bahwa

    proses angiogenesis lebih cepat pada

  • M =

    frostbite (luka akibat suhu dingin) di

    bandingkan dengan luka yang disebabkan

    oleh suhu yang panas dimana terjadi

    penghancuran seluruh matriks ekstraseluler

    (Trang et al, 2011).

    Perawatan luka dengan kandungan

    0,1% dari agen polyhexanide antimikroba dan

    0,1% dari betaine surfaktan, digunakan untuk

    membersihkan luka dan dapat mempercepat

    penyembuhan luka. Polyhexanide

    menyebabkan ekspansi dan fluidisasi dari

    muatan negatif fosfolipid bilayer, membuat

    membran sel bakteri hancur dan akhirnya

    menyebabkan kematian sel bakteri.

    Polyhexanide/betaine dalam konsentrasi

    hingga 20ug/ml tidak menghambat

    keratinecytes manusia (Wilkin et al, 2012).

    Polihexanide memiliki indeks

    biokompatibilitas >1 menunjukkan bahwa

    toksisitas jaringan rendah.

    Polihexanide/betaine menghilangkan

    gumpalan deposit protein plasma lebih efektif

    dari pada larutan garam fisiologis (NS).

    Dalam penelitian babi terkontrol secara acak

    dan dibersihkan dengan polihexanide dapat

    mempercepat penutupan luka dari luka

    dangkal, secara signifikan (p

  • Kelembaban 80% : 1 ml untuk ukuran kassa 7 x 10cm dan di lipat hingga membentuk 2 X 2,5 cm.

    Kemudian divalidasi dengan menggunakan alat Moisture meter MD-010.

    Pembuatan luka bakar derajat IIA. Menempelkan balok steroform berukuran 2x2 cm dilapisi dan dibungkus kassa yang dicelup air mendidih 980C selama 3 menit dan ditempelkan pada punggung tikus selama 30 detik.

    Perawatan luka bakar derajat IIA. Pada kelompok perlakuan dibersihkan dengan cairan NS dengan cara di irigasi dengan menggunakan spuit 10cc tanpa jarum kemudian dikompres dengan kassa dengan kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% kemudian dibalut dengan secondary dressing dan di plester sedangkan kelompok kontrol dibersihkan dengan cara yang sama dengan kelompok perlakuan kemudian dikompres dengan cairan NS dan dibalut dengan secondary dressing dan di plester yang dilakukan setiap hari pukul 13.30- 17.30 WIB.

    Identifikasi neutrofil. Proses perhitungan jumlah neutrofil dilakukan dengan pengambilan preparat jaringan kulit dengan pemotongan vertical menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Slide kemudian di scan dengan OLYMPUS seri XC10. Dari hasil scan preparat selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah neutrofil yang dihitung pada 5 lapang pandang dengan pembesaran 400x. Penghitungan jumlah neutrofil dilakukan dengan cara penghitungan counter, dan diambil jumlah rata-rata dari masing-masing lapang pandang. Pada pewarnaan HE, neutrofil Ukuran Sel 1-12 mikrometer, bentuk Sel bulat dan inti sel seperti tapal kuda, bernukleus banyak, warna nukleus violet, sitoplasma bergranula banyak.

    Analisa data. Data-data yang didaptkan dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis dengan software SPSS Statistic 20 for windows. Metode analisis menggunakan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk (P>0,05). Uji homogenitas menggunakan uji Levene test (p>0,05). Uji One Way ANOVA (p

  • Gambar 1. Gambar mikroskopis spesimen

    jaringan kulit dengan pembesaran 400x dan dibagi dalam 5 lapang pandang. (A) infiltrasi neutrofil meningkat dibanding Kelembaban 50%,60%,70%,80%. (B) infiltrasi neutrofil menurun dibanding K 60%,70%,80%. (C) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan K 70% dan 80%. (D) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan K 80%. (E) infiltrasi neutrofil menurun dibandingkan dengan NS.

    Analisa Data Pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan uji One Way ANOVA dan Tukey SPSS 20. Data harus mempunyai sebaran normal dan ragam yang homogen. Berdasarkan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorof smirnov atau shapiro wilk terdapat jumlah neutrofil luka bakar derajat IIA didapatkan p-value > (0,05) yang menunjukkan data berdistribusi normal.

    Berdasarkan uji homogenitas menggunakan uji levene (Levene test homogeneity of variances) terhadap jumlah neutrofil luka bakar derajat IIA didapatkan p-value > (0,05) sehingga data mempunyai ragam yang homogen atau varians data yang sama. Berdasar uji statistik One Way ANOVA didapatkan nilai signifikansi (p

  • serta pemusnahan organisme mikroba (Ronald & Richard, 2004).

    Proses penyembuhan luka yang baik adalah salah satunya ditandai dengan penurunan jumlah neutrofil pada fase proliferasi. pelepasan neutrofil sebagai akibat dari iskemia dan reperfusi. Mekanisme neutrofil dimediasi oleh kerusakan jaringan termasuk pelepasan radikal oksigen bebas dan lipid peroksidasi, aktivasi protease, dan peningkatan sintesis produk siklooksigenase (Benlier et al, 2011). Akibat dari kerusakan jaringan akibat luba bakar termal maka akan muncul masalah keperawatan resiko kerusakan jaringan kulit yang meluas. Area luka bakar yang semakin luas dapat beresiko terjadinya infeksi. Peningkatan infeksi menyebabkan pemanjangan fase inflamasi sehingga dapat menyebabkan pembentukan granulasi yang berlebihan pada fase proliferasi yang berakibat pada terbentuknya jaringan parut hipertrofik pada luka (Morison, 2004).

    Polyhexanide 0,1% dan betaine 0,1% topikal digunakan dalam pengelolaan luka yang terinfeksi sebagai agen pembersih. Polihexanide adalah biguanide polimer dengan antimikroba pertama kali dijelaskan pada tahun 1956. Aktifitas antimikroba yang didasarkan pada absorbsi obat untuk fosfatidilgliserol dan fosfolipid yang bermuatan negatif pada membran sel, menyebabkan perubahan sifat fisik dan disorganisasi dari membran sel bakteri, polihexanide merupakan formula yang tidak beracun dan biokompatibel toleransi kulit yang sangat baik (kevin et al, 2012), Tiap konsentrasi 0,02% polihexanide dapat membunuh baketri 5 lg atau 3 lg dalam kondisi luka kotor dan tiap 5 menit kontak dengan luka (Koburger et al, 2007).

    Betaine 0,1% adalah surfaktan untuk membersihkan dan melembabkan luka sehingga dapat meningkatkan penyembuhan luka (kevin et al, 2012). Sel sel epitel pada tepi luka bergerak ke bawah, di bawah lapisan tersebut, sampai sel-sel tersebut mencapai kondisi lembab yang memungkinkan mitosis dan migrasi sel-sel untuk menembus permukaan yang rusak (Morison, 2004). Waktu yang panjang akibat membiarkan luka mengering mengakibatkan lebih banyak jaringan yang hilang dan menimbulkan jaringan parut, yang akhirnya dapat menghambat penyembuhan. Jika sebuah luka dipertahankan tetap lembab, maka penyembuhan dapat terjadi lebih cepat

    (Morison, 2004). Betaine merupakan turunan dari asam undesilenat, fungisida alami tidak mudah dimetabolisme oleh mikroorganisme dan mampu bertindak sebagai antimikroba. Penggunaan kombinasi dari betaine 0,1% dan polihexanide 0,1% dapat mencegah pemanjangan fase inflamasi yang ditandai dengan penurunan jumlah neutrofil pada fase proliferasi, sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka.

    Normal salin memiliki sifat mudah menguap, sehingga bila digunakan untuk balutan luka akan mudah kering dan akan dan akan menekan jaringan kulit yang luka. Tekanan pada jaringan kulit yang luka ini dapat mengakibatkan terangkatnya jaringan kulit yang mengalami granulasi (Mohajeri et al, 2011), sehingga akan memperpanjang fase inflamasi yang mengakibatkan infiltrasi neutrofil tetap meningkat pada kompres dengan NS seperti yang terlihat pada gambar 1.

    Perawatan luka bakar derajat IIA pada

    tikus dalam penelitian ini dilakukan selama 10 hari dan dilakukan pengambilan jaringan pada hari ke-11. Secara makroskopis, luka bakar derajat IIA yang dikompres dengan betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50% yang proses penyembuhan lebih optimal dengan dasar luka halus dan tidak terdapat keropeng.

    Berdasarkan hasil penelitian, luka bakar yang dikompres dengan betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50% yang menunjukkan jumlah neutrofil paling rendah sebanyak 40,28 sel. Dengan demikian betaine polihexanide 0,1% dengan kelembaban 50% lebih efektif dalam menurunkan jumlah neutrofil yang akan membantu dalam proses penyembuhan luka bakar derajat IIA secara optimal. KETERBATASAN PENELITIAN

    Peneliti tidak meneliti kesembuhan luka dengan tingkat kelembaban dibawah 50% sehingga peneliti hanya mengetahui penyembuhan luka bakar IIA dengan kelembaban dalam rentang 50% - 80%. KESIMPULAN

    Berdasarakan penelitian yang telah dilakukan, perawatan luka bakar derajat IIA menggunakan kompres betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% dapat menurunkan jumlah neutrofil karena betaine polihexanide 0,1% berperan sebagai

  • antimikroba dan sebagai surfaktan yang menghancurkan dinding sel bakteri dan tetap menjaga suasana lembab pada balutan luka. 1. Pemberian topikal betaine polihexanide

    0,1% dengan berbagai tingkat kelembaban pada luka bakar derajat IIA pada tikus wistar putih (rattus novergicus) berpengaruh terhadap penurunan jumlah neutrofil.

    2. Jumlah neutrofil dengan kompres betaine polihexanide 0,1% pada kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80% adalah 117,56. 40,28. 55,48. 87,84 dan 89,08

    3. Jumlah neutrofil pada kompres dengan normal salin adalah 117,56, ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dengan kompres betaine polihexanide 0,1% pada kelembaban 50%,60%,70%, 80%.

    4. Pada kelembaban 50% dan 60% menyebabkan penurunan jumlah neutrofil yang signifikan dibandingkan dengan kelembaban 70% dan 80%.

    5. Jumlah neutrofil pada kelompok kontrol (normal salin) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan (betaine polihexanide 0,1% kelembaban 50%, 60%, 70% dan 80%.

    SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

    terkait dengan manfaat betaine polihexanide 0,1% dengan berbagai tingkat kelembaban dalam penyembuhan luka bakar yang derajat lebih tinggi, misal pada luka bakar derajat III.

    2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai frekuensi perawatan luka bakar derajat IIA dengan menggunakan topikal betaine polihexanide 0,1%.

    DAFTAR PUSTAKA American Burn Association (ABA). 1984.

    Guidelines for service standar and severity classification in the treatment of burn injury. Bulletin of the American Collage of Surgeon, 69(10), 24-28

    Balletto et al., 2001. Burns, (On-line), (http://www.umm.edu/altmed/Con sConditions/Burnscc.html), Akses tanggal 19 Desember 2001

    Brandi Martin, B., RN, & Rawlings, M. 2011. Pearls for Practice: Moist Wound Healing. Ostomy Wound Management.

    Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi (3 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

    Erol Benlier, Eskiocak, S., Puyan, F. O., Kandulu, H., Yasin Unal, Husamettin Top, et al. 2011. Fucoidin, a neutrophil rolling inhibitor, reduces damage in a rat electrical burn injury model.Journal Burns. 37. 1216-1221.

    Goertz O, Hirsch T, Buschhaus B, et al. 2011. Intravital pathophysiologic comparison of frostbite and burn injury in a murine model. J Surg Res. 167:e395.

    Kevin E, Minnich. MBA, et al. 2012. "The effect of a wound care solution containing polihexanide and betaine on bacterial counts: Results of an in vitro study." Ostomy Wound Management. 58(10): 32-36.

    Kramer A, Roth B, Muller G, et al. 2004. Influence of the antiseptic agents polihexanide and octenidine on Fl cells and on healing of experimental superficial aseptic wounds in piglets, A double-blind, randomized, stratified, controlled, parallel group study. Skin pharmacol physiol; 17 (3): 141-150

    Moore Koburger, Gray D. 2007. Using PHMB antimicrobial to prevent wound infection. Wounds UK. 3(2). 96-102.

    Marzoeki, D. 2006. Overview luka bakar. Surabaya: Universitas Airlangga.

    Martina N R dan Wardhana A. 2013. Mortality analysis of adult burn patients. Burn. 2:96-100

    Majid, A., & Prayogi, A. S. 2013. Buku Pintar Perawatan Pasien Luka Bakar (1 ed). Yogyakarta: Gosyen Publishing.

    Morison, Moya J. 2004. Manajemen Luka. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

    Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar: Klinis Praktis (Revisi ed. Vol. 4). Jakarta: Balai Pustaka FKUI.

    Mohajeri. Mesgari, D. et al. 2011. "Comparison of the effect of normal saline and silver sulfadiazine on healing of skin burn wound in rats: Histopathological study." Middle east Journal of Scientific Research. 10: 08-14.

    Klein, M.B.2007. Thermal, chemical, and electrical injuries. In: Thorne CH,Beasly, R.W., Aston, S.J., Bartlett, S.P., Gurtner, G.C., Spear, S.L. (Eds).Grabb and Smiths plastic surgery. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 132-149.

    Noer, M.S. 2006. Penanganan Luka Bakar Akut. Surabaya: Airlangga University Press.

    Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

  • Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

    Playfair, J. H. L., & Chain, B. M. 2009. At a Glance Imunologi (9 ed). Jakarta: Erlangga.

    Robert G Wilkins, Kevin E Minnich, & Unverdorben, M. 2012. Wound Cleanig and Wound Healing- A Concise Review. B Braun Medical Inc..Allentown, PA.

    Ronald, S., & Richard, M. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

    Stephan Schreml, MD, Rolf- Markus Szeimies, Md, phD, et al.(2010). Wound healing in the 21st century. Regensburg, Germany. P:868-881

    Trang Q. Nguyen, M. D., & David H. Song, M. D., M.B.A. (2012). Pathophysiologic Difference Between Frostbite and Burn Injury and Implications for Therapy. Journal of Surgical Research. 174: 247-249.

    Thomas, S. 2010. Surgical Dressing and Wound Management. Cadiff, South Wales: Medetec Publication.

    Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (9 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.