repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3338 › 4. BAB.pdf?sequence=1 BAB...
Transcript of repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3338 › 4. BAB.pdf?sequence=1 BAB...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas/ sarana vital bagi masyarakat.
Peran organisasi (rumah sakit) sebagai media/fasilitas sosial yang mencakup
pelayanan kesehatan, penelitian, pendidikan dan sebagiannya mencakupi skala
profit selayaknya padat akan sumber daya yang mampu mendukung aktivitasnya.
Modal yang diharapkan terus bertumbuh, teknologi yang terus berkembang, serta
sumber daya manusia sebagai motor penggeraknya memerlukan aturan/ proses
manajemen yang efektif untuk memenuhi tuntutan pelayanan yang optimal.
Sumber daya manusia yang dimiliki rumah sakit yang terdiri dari, tenaga
medis, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik
dan tenaga keteknisan ( PP 32 Tenaga Kesehatan, 1996) merupakan sumber daya
utama yang tanpanya, aktivitas utama rumah sakit (pelayanan kesehatan) tidak
dapat berjalan. Tenaga keperawatan merupakan sumber daya manusia yang
memiliki kuantitas paling banyak di setiap rumah sakit dan berperan besar dalam
proses pelayanan kesehatan yang bersentuhan langsung dengan pasien secara
kontinu dan sistematik.
Posisi tenaga keperawatan juga menjadi penting sebagai tangan kanan
Dokter yang menentukan keberhasilan kerja (saran/rujukan/arahan) sang Dokter.
Oleh karena itu perawat dituntut untuk memberi pelayanan dengan mutu yang
baik. Untuk itu dibutuhkan kecekatan dan keterampilan serta kesiagaan setiap saat
2
dari seorang perawat dalam menangani pasien, kondisi ini akan membuat seorang
perawat akan lebih mudah mengalami stres (Hamid, 2001).
Nursalam (2002) mengatakan, beban kerja yang sering dilakukan oleh
perawat bersifat fisik seperti mengangkat pasien, mendorong peralatan kesehatan,
merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart dan yang bersifat mental
yaitu kompleksitas pekerjaan misalnya keterampilan, tanggung jawab terhadap
kesembuhan, mengurus keluarga serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Pelayanan kesehatan yang kontinu dan sistematik serta peran dan tuntutan
yang banyak inilah yang sering memunculkan kondisi yang dapat memicu
terjadinya stres kerja pada perawat.
Stres dapat ditimbulkan dari semakin banyaknya tantangan yang dihadapi
seperti lingkungan kerja, karakteristik persaingan yang semakin tinggi, tidak dapat
memanfaatkan waktu secara maksimal, faktor-faktor yang tidak terkontrol, tidak
cukupnya ruang untuk bekerja, perkembangan teknologi informasi yang terus
menerus, tuntutan permintaan yang berlebihan (Hall dan Savery, 1986 ; Nasurdin
et al, 2005).
Menurut Persatuan Perawat Nasional (PPNI, 2006) sebanyak 50,9 %
perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing,
lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta
penghasilan yang tidak memadai. Sementara itu, Frasser (1997) menjelaskan
bahwa 74% perawat mengalami kejadian stres yang mana sumber utamanya
adalah lingkungan kerja yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan.
Instalasi Rawat Darurat merupakan unit penting dalam operasional suatu
rumah sakit, yaitu sebagai pintu masuk bagi setiap pelayanan yang beroperasi
selama 24 jam selain poliklinik umum dan spesialis yang hanya melayani pasien
pada saat jam kerja. Sebagai ujung tombak dalam pelayanan keperawatan rumah
3
sakit , IRD harus melayani semua kasus yang masuk ke rumah sakit. Dengan
kompleksitas kerja yang sedemikian rupa, maka perawat yang bertugas dituntut
untuk memiliki kemampuan lebih dibanding dengan perawat yang melayani
pasien di ruang yang lain. Perawat juga dituntut untuk mampu bekerja sama
dengan tim kesehatan lain serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
pasien yang berkaitan dengan kondisi kegawatan kasus di ruang tersebut,
kebutuhan akan sarana dan peralatan yang menunjang pelayanan merupakan hal
penting lain yang harus diperhatikan oleh penyelenggara rumah sakit (RSUD Kota
Langsa, 2009).
Hasil wawancara penulis dengan perawat yang bertugas di IRD RSUD
Salewangang diketahui bahwa beban kerja realitanya diderita oleh perawat berasal
dari beberapa faktor, diantaranya jumlah perawat berstatus PNS yang sangat
sedikit (14 orang) ditambah dengan perawat peserta magang yang kehadirannya
tidak merata dalam satu pekan kerja, sedangkan jumlah pasien per hari menjadi
beban tersendiri bagi para perawat. Jadwal shift yang melelahkan, yakni sejak
pagi sampai jam 8 malam, terlebih bagi perawat yang mendapat shift malam dan
telah berkeluarga. Tuntutan-tuntutan pelayanan dengan mutu yang baik dari
atasan juga menjadi beban untuk tercipta dengan perbandingan jumlah tenaga
perawat dengan pasien yang masuk dan keluar yang tidak sebanding serta
tekanan-tekanan psikologis, seperti rasa lelah.
Kondisi tersebut tentu tidak diharapkan, karena berdasarkan fakta di
lapangan, stres yang ditandai dengan beberapa gejalanya seperti nervous, sering
marah-marah, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak
4
kooperatif (Hasibuan, 2002) justru dapat berimplikasi pada menurunnya kinerja
perawat dalam hal ini pelayanan perawat yang tidak seperti biasanya atau dengan
kata lain lebih banyak bersikap negatif pada pasien yang dilayani, akibatnya dapat
memberikan dampak kurang baik bagi persepsi pasien dan keluarga atau dampak
terburuk adalah, menurunnya kondisi kesehatan pasien serta tekanan yang terus
menerus juga pada diri perawat tersebut.
Sebagai satu-satunya rumah sakit milik pemerintah Kabupaten Maros yang
yang menjadi pusat kegiatan pelayanan kesehatan oleh seluruh penduduk
kabupaten/ kota Maros dengan jumlah penduduk kurang lebih 319.527 jiwa yang
tersebar di 14 kecamatan definitf dan 103 desa/kelurahan, RSUD Salewangang
Maros diharapkan mampu memberikan mutu pelayanan kesehatan yang baik.
Kasus stres kerja perawat sangat tidak diharapkan terjadi atau terus
berkembang mengingat vitalnya posisi RSUD Salewangang Maros. Kinerja
perawat melalui pelayanan kesehatan yang optimal harus terus dipertahankan
melalui manajemen rumah sakit yang efektif dan pengelolaan sumber-sumber
pemicu stres secara tepat pada pelaku-pelaku kerja di rumah sakit, khususnya
perawat IRD yang memiliki jam terbang tinggi dalam pelaksanaan tugas yang
kontinu dan sistematik.
Berkaitan dengan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul : “ Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja
Perawat Ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros “.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah :
1. “Apakah stres kerja memengaruhi kinerja perawat ruang Instalasi Rawat
Darurat RSU Salewangang Maros ?”
2. “Faktor apakah yang berpengaruh dominan sebagai penyebab stres kerja
perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros?”
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh mana stres kerja memengaruhi kinerja perawat
ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros ;
2. Untuk mengetahui faktor pemicu/ penyebab yang paling dominan diantara
faktor-faktor pemicu stres kerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat
RSU Salewangang Maros.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak
di antaranya :
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah khasanah kepustakaan dan
bahan referensi bagi penelitian yang akan datang mengenai hubungan/
pengaruh antara stres kerja dangan kinerja (perawat).
6
2. Bagi Organisasi
Menjadi bahan masukan dan informasi bagi Rumah Sakit dalam menjaga
kinerja perawat dengan mengidentifikasi faktor-faktor pemicu stres dan
manajemen stres yang baik.
3. Bagi Peneliti
Sebagai perbandingan antara teori-teori yang ditemukan di perusahaan/
organisasi dengan teori-teori akademik kuliah dan juga dalam aktivitas
perusahaan khususnya di bidang stres kerja dan kaitannya dengan kinerja.
Selain itu, sebagai bagian dari persyaratan penyelesaian tugas akhir untuk
memeroleh gelar Strata 1 (S1).
1.4. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bagian, yaitu :
BAB I: PENDAHULUAN
Bagian ini merupakan bagian awal penulisan yang terdiri atas sub judul
yang saling berhubungan yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: LANDASAN TEORI
Bagian ini menguraikan landasan teori yang akan digunakan sebagai acuan
dalam pembahasan permasalahan yang telah diajukan. Teori yang digunakan
antara lain teori stes kerja dan kinerja. Di samping itu bagian ini juga berisi
kerangka pikir konseptual dan hipotesis.
7
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN
Bagian ini menjelaskan mengenai tahapan-tahapan yang dilakukan dalam
melakukan penelitian yang diawali pendefinisian sampai dengan teknik analisis
data. Secara rinci, bagian ini terdiri dari lokasi penelitian, obyek penelitian, jenis
penelitian, metode pengumpulan data, jenis data, sumber data, populasi, sampel,
metode analisis, teknik analisis, operasionalisasi variabel dan instrumen
pengukuran.
BAB IV: GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Bagian ini menguraikan tentang gambaran perusahaan, sejarah perusahaan,
struktur organisasi perusahaan, visi dan misi serta hal-hal lain yang menyangkut
perusahaan.
BAB V: ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bagian ini berisi analisis data yang telah diperoleh dalam penelitian dan
pembahasannya. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis statistik yang
digunakan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian.
BAB VI: PENUTUP
Bagian ini merupakan penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini disajikan
kesimpulan serta saran yang relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi Perawat
Definisi perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 adalah mereka yang
memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimiliki melalui pendidikan keperawatan. International
Council of Nursing (ICN) tahun 1965 menambahkan bahwa perawat adalah
seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi
syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan
keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan
penyakit dan pelayanan penderita penyakit.
Keperawatan menurut model konseptual Nightingale adalah Profesi untuk
wanita dengan tujuan menemukan dan menggunakan hukum alam dalam
pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memerlukan pendidikan
formal untuk merawat orang yang sakit. Pelayanan kesehatan yang diberikan
tersebut terlihat dari kinerja perawat (Hidayati, 2010).
2.2. Stres
2.2.1.Definisi Stres
Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan
organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80).
Diantaranya adalah :
1. masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan dan
posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktivitas kerja
karyawan ;
9
2. selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi,
stres juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya ;
3. pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman
terhadap cara-cara mengatasinya adalah penting sekali bagi karyawan dan
siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi
yang sehat dan efektif ;
4. banyak diantara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau
beberapa organisasi, baik sebagai atasan mau pun sebagai bawahan yang
pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah ;
5. dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia
semakin sibuk. Di satu pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien
dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin
bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi karyawan yang
lebih besar dari sebelumnya. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman
yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa.
Dalam mengetahui peranan / pengaruh stres pada perawat RSU
Salewangang Maros, maka sebelumnya akan dikemukakan pengertian umum
mengenai stres dan atau stres kerja itu sendiri.
Secara formal, stres didefinisikan sebagai suatu respon adaptif,
dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologis individu yang
merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa
yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang
(Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam Kreitner dan Kinicki, 2005).
10
Definisi yang senada juga dipaparkan oleh Luthans ( dalam Yulianti,
2000:10) bahwa stres adalah suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang
dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis sebagai konsekuensi
dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan
tuntutan psikologis dan fisik seseorang.
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
pikiran dan kondisi fisik seseorang (Davis dan Newstrom, 1996). Oleh Schuler
(1980) dan Kahn dan Byosiere (1992) dalam Robbins (2006), stres dapat juga
diartikan sebagai suatu kondisi dinamik dimana seorang individu dikonfrontasikan
dengan suatu peluang, kendala (constrain) atau tuntutan (demand) yang berkaitan
dengan apa yang juga diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai
tidak pasti dan penting.
Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang,
misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif
adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau
gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandang stres sebagai respon adaptif
yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dari tindakan eksternal,
situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik mau pun psikologis.
2.2.2. Stres Kerja
Secara spesifik, stres kerja kemudian dapat didefinisikan sebagai bentuk
stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan atau suatu kondisi yang timbul akibat
11
interaksi antar manusia dengan pekerjaannya ditandai oleh perubahan dalam diri
orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan dari fungsi yang normal
(Soewondo, 1993).
Sedangkan menurut Handoko (2008 :200) stres kerja adalah suatu kondisi
ketegangan yang memengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.
Hasilnya, stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan sesorang untuk
menghadapi lingkungan yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya,
berarti mengganggu kinerja/ prestasi kerjanya.
Sebagai kesimpulan dari definisi-definisi stres dan stres kerja secara
spesifik, dapat disimpulkan bahwa stres/ stres kerja merupakan perubahan kondisi
fisik dan psikologis seseorang sebagai akibat dari respon adaptif terhadap keadaan
lingkungannya yang kemudian dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya/
pekerjaannya.
2.2.3. Jenis-Jenis Stres
Quick dan Quick (1984) mengelompokkan jenis stres menjadi dua, yaitu :
1. eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif,
dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan
individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,
fleksibilitas, kemampuan adaptasi dan tingkat performance yang tinggi.
2. distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
12
ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan
keadaan sakit, penurunan dan kematian.
Hal serupa dikemukakan oleh Douglas dalam Ventura (2001) bahwa stres
kerja terbagi dua, yaitu stres kerja negatif dan stres kerja positif. Stres negatif
biasa disebut Distress dan seringkali menghasilkan perilaku karyawan yang
disfungsional seperti sering melakukan kesalahan, moral yang rendah, bersikap
masa bodoh dan absen tanpa keterangan. Di sisi lain, stres positif atau biasa
disebut Eustress menciptakan tantangan dan perasaan untuk selalu berprestasi
serta berperan sebagai faktor motivator yang kritis bagi banyak karyawan.
2.2.4. Sumber-Sumber Pembangkit Stres (Stressor)
Sumber stres atau yang disebut dengan stressor adalah faktor-faktor
lingkungan yang menimbulkan stres. Dengan kata lain, stressor adalah suatu
prasyarat untuk mengalami respon stres ( Kreitner dan Kinicki, 2005). Dari model
stres yang dikembangkan dari Koslowsky (1998) dan Matteson dan Ivancevich
(1979) dalam Kreitner dan Kinicki (2005) diketahui bahwa terdapat empat jenis
stressor, yaitu individual, kelompok, organisasi dan diluar organisasi.
Menurut Hasibuan (2002), faktor-faktor penyebab stres karyawan antara
lain, beban kerja yang sulit dan berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan yang
kurang adil dan wajar, waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, konflik
antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja, balas jasa yang terlalu
rendah, serta masalah-masalah keluarga.
Secara lebih apik, Robbins (1996) mengidentifikasikan tiga perangkat faktor
penyebab stres yaitu, lingkungan, organisasional dan individual yang bertindak
sebagai sumber potensial dari stres. Ketiga faktor tersebut mengarah ke stres yang
13
aktual bergantung pada perbedaan individual. Bila stres dialami oleh seorang
individu, gejalanya dapat muncul sebagai keluaran atau hasil fisiologis, psikologis
dan perilaku. Hal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Sumber potensial konsekuensi / gejala
Gbr. 2.1 Suatu Model Stres, Robbins (1996)
2.2.5. Gejala-Gejala Stres
Stres biasanya diawali/ ditandai dengan gejala-gejala yang dapat terlihat
pada seseorang yang mengalami stres. Menurut Hasibuan (2002), orang-orang
yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka
Faktor Lingkungan
Ketidakpastian
ekonomi
Ketidakpastian politik
Ketidakpastian
teknologi
Stres yang dialami
Perbedaan individu
Persepsi
Pengalaman
pekerjaan
Dukungan sosial
Kedudukan
kontrol
Sikap
bermusuhan
Faktor Organisasi
Tuntutan tugas
Tuntutan peran
Tuntutan hubungan
antarpribadi
Struktur organisasi
Kepemimpinan
organisasi
Tahap hidup organisasi
Faktor individu
Masalah keluarga
Masalah ekonomi
kepribadian
Gejala Perilaku
Produktivitas
Kemangkiran
Tingkat
keluarnya
karyawan
Gejala psikologis
Kecemasan
Murung
Kepuasan
kerja
berkurang
Gejala fisiologis
Sakit kepala
Tekanan darah
tinggi
Penyakit
jantung
14
sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan
sikap yang tidak kooperatif.
Pembagian secara umum dilakukan Robbins (1996), bahwa seorang
individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dapat mengalami tiga ketegori
gejala umum, yaitu :
1. gejala fisiologis : perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak
jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit
kepala dan menyebabkan serangan jantung ;
2. gejala psikologis : ketidakpuasan, ketegangan, kecemasan, mudah marah,
kebosanan dan suka menunda-nunda;
3. gejala perilaku : perubahan dalam produktivitas, absensi, tingat keluarnya
karyawan, perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah dan gangguan tidur.
Pembagian yang pada dasarnya sama namun mendapatkan penambahan
pada sisi interpersonal dipaparkan Braham (dalam Handoyo; 2001:68), bahwa
gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
1. fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit buang air
besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal,
punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat
berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan
jantung, kehilangan energi;
15
2. emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,
gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah
menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah
bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental;
3. intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit
untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi
satu pikiran saja.
4. interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada
orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang
mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup
diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
2.2.6. Dampak Stres
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun
perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya
gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999).
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang
dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya
kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu
dalam pengambilan keputusan.
Dampak stres tidak hanya terjadi pada individu penderita stres melainkan
juga pada organisasi/ perusahaan. Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan
16
bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat
produktivitas dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi,
memicu perasaan teralienasi hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993 : Quick
& Quick, 1984; Robbins, 1993).
2.2.7. Manajemen Stres
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dihadapi tanpa
memeroleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekadar
mengatasi, yakni belajar menanggulangi secara adaptif dan efektif. Hampir sama
pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus
dicoba. Berikut penulis uraikan beberapa pendekatan yang dapat diterapkan
sebagai upaya manajemen stres kerja.
Keith Davis & John W. Newstrom (dalam Mangkunegara, 2002:157-158)
mengemukakan bahwa “four approaches that of ten involve employee and
management cooperation for stress management are social support, meditation,
biofeedback and personal wellness programs”.
1. Social Support (pendekatan dukungan sosial ). Pendekatan ini dilakukan
melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada
karyawan, misalnya bermain game dan bercanda.
2. Meditation (pendekatan melalui meditasi). Pendekatan ini perlu dilakukan
karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja
otot dan menenangkan emosi. Karyawan yang beragama Islam biasa
17
melakukannya setelah shalat dshuhur melalui doa dan dzikir kepada Allah
Subhanahuwata‟ala.
3. Biofeedback. Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, seperti
dokter, psikiater dan psikolog sehingga diharapkan karyawan dapat
menghilangkan stres yang dialaminya.
4. Personal wellness progams (pendekaatan kesehatan pribadi) merupakan
pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini secara periode
yang kontinyu karyawan memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot,
pengaturan gizi dan olahraga secara teratur.
Strategi-strategi yang diapaparkan Keith Davis & John W. Newstrom
cenderung merupakan upaya daripada karyawan itu sendiri. Sedangkan (Margiati,
1999:77-78) mengelompokkan strategi penanganan stres menjadi tiga:
1. strategi penanganan individual yang dikembangkan secara pribadi/
individual dapat berupa istirahat sejenak, relaksasi, meditasi, dll.
2. strategi penanganan organisasional, dapat dilakukan dengan menciptakan
iklim organisasi yang mendukung; memeperkaya desain tugas-tugas dengan
meningkatkan faktor isi pekerjaan (tanggung jawab, pengakuan, kesempatan
untuk pencapaian, dll.) ; mengurangi konflik ; rencana dan pengembangan
jalur karir dan menyediakan konseling.
3. strategi dukungan sosial dapat melalui keluarga, teman kerja, pemimpin atau
orang lain. Komunikasi yang efektif adalah intinya, yakni sang penderita
stres dapat mengkomunikasikan kondisinya pada keluarga, teman kerja, dll.
18
2.3. Kinerja
2.3.1. Definisi Kinerja
Oleh Maier (dalam As‟ad, 1991:47) pengertian kinerja / prestasi kerja diberi
batasan sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan.
Lebih tegas lagi, Lawler dan Poter menyatakan bahwa kinerja adalah “ succesfull
role achievement”yang diperoleh seseorang dari perbuatannya (As‟ad, 1991:46-
47). Dari batasan tersebut As‟ad menyimpulkan bahwa kinerja adalah hasil yang
dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang
bersangkutan.
Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah yang memengaruhi seberapa banyak mereka
memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu
maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja
organisasi (Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2002:78).
Mangkunegara (2000) kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kuantitas
yaitu jumlah atau banyaknya pekerjaan yang dihasilkan karyawan dan kualitas
yaitu mutu pekerjaan yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan waktu untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya.
Secara umum kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja keseluruhan
dalam periode waktu tertentu sesuai tanggung jawabnya yang diukur kualitas dan
kuantitasnya berdasarkan target.
19
2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja
Lebih rinci, menurut Gibson et aal (dalam Srimulyo, 1999:39), ada tiga
perangkat variabel yang memengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja,
yaitu :
1. variabel individual yang terdiri dari :
a. kemampuan dan keterampilan ;
b. mental dan fisik ;
c. latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian;
d. demografis : umur, asal usul, jenis kelamin.
2. variabel organisasional yang terdiri dari :
a. sumber daya ;
b. kepemimpinan ;
c. imbalan ;
d. struktur ;
e. desain pekerjaan ;
3. variabel psikologis yang terdiri dari :
a. persepsi ;
b. sikap ;
c. kepribadian ;
d. belajar ;
e. motivasi ;
20
2.3.3. Metode Penilaian Kinerja Karyawan Secara Umum
Menurut T. Hani Handoko (dalam Thoyib, 1998:21-22) ada enam metode
penilaian kinerja karyawan :
1. rating scale, evaluasi hanya didasarkan pendapat penilai yang membandingkan
hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang dianggap penting bagi
pelaksanaan kerja;
2. checklist, yang dimaksudkan dengan metode ini adalah untuk mengurangi
beban penilai. Penilai tinggal memilih kalimat-kalimat atau kata-kata yang
menggambarkan kinerja karyawan. Penilai biasanya atasan langsung.
Pemberian bobot sehingga dapat diskor;
3. critical incident method/ metode peristiwa kritis, penilaian yang berdasarkan
catatan-catatan penilai yang menggambarkan perilaku karyawan sangat baik
atau jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja. Catatan-catatan ini
disebut peristiwa kritis. Metode ini sangat berguna dalam memeberikan umpan
balik kepada karyawan dan mengurangi kesalahan kesan terakhir;
4. field review method, metode peninjauan lapangan, penilaian dilakukan
langsung di lapangan dengan melibatkan manajer lini serta supervisor dengan
meninjau berdasarkan kariteria/ poin-poin peninjauan;
5. tes dan observasi prestasi kerja, bila jumlah pekerja terbatas, penilaian prestasi
kerja/ kinerja dapat didasarkan pada tes pengetahuan dan keterampilan. Tes
mungkin tertulis atau peragaan keterampilan. Agar berguna, tes harus reliable
dan valid;
21
6. metode evaluasi kelompok, ada tiga : ranking, grading dan point allocation
method.
Metode ranking, penilai membandingkan satu dengan karyawan lain siapa
yang paling baik dan menempatkan setiap karyawan dalam urutan terbaik
sampai terjelek. Kelemahan metode ini adalah kesulitan untuk menentukan
faktor-faktor pembanding, subyek kesalahan kesan terakhir dan halo effect,
kebaikannya menyangkut kemudahan administrasi dan penjelasannya.
Grading, metode penilaian ini memisahkan atau menyortir para karyawan
dalam berbagai klasifikasi yang berbeda, biasanya suatu proporsi tertentu
harus diletakkan pada setiap kategori.
Point location, merupakan bentuk lain dari grading, dimana penilai
diberikan sejumlah nilai total dialokasikan diantara para karyawan dalam
kelompok. Para karyawan diberi nilai lebih besar daripada para karyawan
dengan kinerja lebih jelek. Kebaikan dari metode ini, penilai dapat
mengevaluasi perbedaan relatif diantara para karyawan, meskipun
kelemahan-kelemahan efek halo dan bias kesan terakhir masih ada.
2.3.4. Indikator Kinerja Perawat
Berdasarkan Direktorat pelayanan dan Dirjen Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan Tahun 2001 menyatakan bahwa penilaian kinerja perawat
terhadap mutu asuhan keperawatan dilakukan pada studi dokumentasi penerapan
Standar Asuhan Keperawatan (SAK), Evaluasi persepsi pasien terhadap mutu
22
asuhan keperawatan dan evaluasi tindakan perawat berdasarkan Standar
Operasional Prosedur (SOP).
Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pelayanan Medis Nomor:
YM.00.03.2.3.7637 perawat harus melaksanakan standar asuhan keperawatan di
rumah sakit yang terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan, dan
catatan asuhan keperawatan. Evaluasi persepsi pasien/keluarga terhadap mutu
asuhan keperawatan di rumah sakit terdiri dari data umum, data pelayanan
keperawatan, saran pasien/ keluarga untuk perbaikan. Sedangkan evaluasi
tindakan perawat berdasarkan SOP yang dinilai yaitu persiapan dan pelaksanaan
tiap kegiatan keperawatan (Depkes, 2001).
2.4. Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan (Perawat)
Pola yang meluas dipelajari dalam literatur stres-kinerja adalah hubungan
U- terbalik. Logika yang mendasari hubungan U-terbalik ini adalah bahwa stres
pada tingkat rendah sampai sedang merangsang tubuh dan meningkatkan
kemampuan untuk bereaksi. Pada saat itulah individu sering melakukan tugasnya
dengan lebih baik, lebih intensif atau lebih cepat. Sebaliknya, stres pada tingkat
yang lebih memuncak/ berkelanjutan memicu perubahan fisik dan mental ke arah
yang lebih lemah/ berpola negatif, sehingga mengakibatkan kinerja menurun.
tinggi
kinerja
(rendah) stres (tinggi)
Gambar 2.2 Hubungan U-Terbalik antara Stres dan Kinerja (Robbins, 1996)
23
2.5. Penelitian Terdahulu
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (2004) adalah tentang
“Pengaruh Stres dalam Pekerjaan terhadap Kinerja Karyawan (Suatu Kajian
terhadap Karyawan Departemen Plant PT. Nippon Indosari Corpindo, Cikarang-
Bekasi)”. Penelitian ini memeroleh hasil bahwa stres berpengaruh langsung dan
dan bersifat positif terhadap tingkat stres kerja karyawan secara signifikan. Ini
berarti bahwa semakin tinggi stres yang dirasakan atau dialami karyawan akan
menyebabkan semakin tinggi pula tingkat stres yang dimiliki oleh karyawan
tersebut. Sedangkan stres kerja secara signifikan berpengaruh negatif terhadap
kinerja karyawan, dimana semakin tinggi tingkat stres yang dialami maka akan
semakin rendah kinerja yang dihasilkan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Andreas Agung Kristanto, dkk. (2009)
tentang “Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Perawat ICU Rumah Sakit
Tipe C di Kota Semarang” memeroleh hasil bahwa terdapat tiga faktor yang
berpengaruh dominan dalam stres kerja perawat, yakni:
1) faktor sikap kerja tersusun dari variabel-variabel berikut yang disusun
berurutan sesuai besaran muatan faktor dari proses ekstraksi, yaitu :
interaksi dengan rekan kerja, kesempatan beraspirasi, pola perilaku tipe A,
interaksi dengan atasan, interaksi dengan teman diluar tempat kerja dan
waktu kerja yang menekan;
2) faktor dukungan sosial terdiri dari dua variabel dengan urutan sesuai dengan
muatan faktor dari proses ekstraksi adalah : risiko atau bahaya dan interaksi
dengan keluarga;
24
3) faktor karakteristik pengalaman terdiri atas satu variabel yaitu peristiwa
khusus dalam kehidupan.
Faktor sikap kerja merupakan faktor yang lebih kuat diantara tiga faktor
yang menyebabkan stres pada perawat.
2.6. Kerangka Pikir Konseptual
Gbr. 2.3 Kerangka Pikir Konseptual
2.7. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. “ Diduga stres kerja (oleh faktor organisasional dan individual) memiliki
pengaruh signifikan terhadap kinerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat
RSU Salewangang Maros. “
2. “ Diduga faktor organisasional menjadi faktor dominan penyebab stres kerja
pada perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros”.
STRES KERJA
KINERJA ( Y )
Faktor
Organisasional(X1)
Faktor
Individual(X2)
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi, Obyek dan Jenis Penelitian
Dalam usaha pengumpulan data, penulis melakukan penelitian pada Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Salewangang Maros. Terkhusus pada semua sub
bidang dan sub bagian yang membawahi langsung obyek penelitian penulis. Ada
pun obyek penelitian penulis adalah perawat RSUD Salewangang Maros.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang digunakan untuk
meneliti adanya hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian korelasional
digunakan untuk menyelidiki sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor
berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada
koefisien korelasi. (Narbuko dan Achmadi, 2008:48)
3.2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memeroleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Metode Wawancara
Yaitu berupa wawancara langsung terhadap obyek penelitian penulis serta
subyek-subyek yang terkait dengannya.
2. Metode Kuesioner
Metode kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan
mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti. (Narbuko dan
Achmadi, 2008:76)
26
3. Metode Observasi
Yaitu berupa pengamatan langsung terhadap situasi kerja pada lingkungan
perusahaan (Rumah sakit).
4. Penelitian Pustaka (Library Research)
Yaitu mengadakan telaah terhadap berbagai pustaka yang berkaitan dengan
dengan objek dan sasaran penelitian.
3.3. Jenis dan sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Data Kuantitatif
Data yang diperoleh dalam bentuk angka-angka seperti jumlah perawat,
jumlah pasien, dan lain-lain.
2. Data Kualitatif
Data yang diperoleh tidak berbentuk angka tetapi data berupa keterangan-
keterangan atau penjelasan tentang stressor, poin penilaian kinerja, dan lain-
lain.
Sedangkan, sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara
langsung dan pengisian kuesioner terhadap/oleh perawat sesuai dengan
kebutuhan penulisan.
2. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui pengumpulan dokumen perusahaan dan
buku-buku literatur yang berhubungan dengan penulisan.
27
3.4. Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perawat ruang
Instalasi Rawat Darurat RSUD Salewangang Maros dengan total 46 orang/
responden. Karena seluruh populasi akan digunakan sebagai sampel, teknik
sampling yang digunakan adalah total sampling. Dengan demikian, penelitian ini
dinamakan penelitian sensus, yaitu penelitian terhadap seluruh unsur populasi
(Rakhmat, 2001:78)
3.5. Metode dan Teknik Analisis
Di dalam melakukan pengolahan dan analisis data, peneliti menggunakan
program SPSS for Windows Version 17.0 untuk setiap tahap pengolahan data,
mulai dari pengolahan data metode statistik deskriptif, uji hipotesis melalui
regresi berganda, uji signifikansi parsial (uji T) dan uji signifikansi simultan (uji
F), serta pada metode penentuan tingkat korelasi dan determinasi variabel.
Adapun tahap pengolahannya adalah:
1. Statistik Deskriptif
Deskripsi atau penggambaran sekumpulan data secara visual dapat
dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar atau grafik dan
dalam bentuk tulisan. Dalam program SPSS for Windows Version 17.0 ,
metode statistik deskriptif dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran
data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Program SPSS for
Windows merupakan program komputer yang digunakan untuk perhitungan
statistik.
28
2. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda digunakan oleh peneliti, bila peneliti bermaksud
meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen
(kriterium), bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor
dimanipulasi (dinaik turunkan nilainya). Jadi analisis regresi ganda akan
dilakukan bila jumlah variabel independennya minimal
dua(Sugiyono,2007).
Analisis regresi berganda dalam penelitian ini juga Bentuk persamaan
regresi yang dipakai dalam penelitian ini memiliki dua variabel independen
yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = a + b1X1 + b2 X2 + e ………………………………….(1)
Di mana :
Y = kinerja
a = konstanta persamaan regresi
b1,b2, = koefisien regresi masing-masing variabel
X1 = faktor stres organisasional
X2 = faktor stres individual
e = standar error
3. Uji Signifikansi Parsial (Uji T)
Uji signifikansi parsial atau individual adalah untuk menguji apakah suatu
variabel bebas berpengaruh atau tidak terhadap variabel tidak bebas dan
29
untuk mengetahui hal tersebut digunakan uji t atau t-student. Uji t dapat
dirumuskan sebagai berikut (Sugiyono,2004):
thitung = )(r - 1
2-nr
2
keterangan :
r : hasil koefisien korelasi Product Moment
t : deviasi harga krisis yang dicari
n : jumlah sampel
dengan ketentuan:
a. Jika thitung>ttabel, berarti H0 ditolak, H1 diterima.
b. Jika thitung<ttabel, berarti H0 diterima, H1 ditolak.
Adapun hipotesis yang akan digunakan dalam pengujian ini adalah :
H0 : β0 = 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional atau faktor
individual) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen (kinerja)
H1 : β1 ≠ 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional atau faktor
individual) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen (kinerja).
4. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji global disebut juga uji signifikansi serentak/simultan atau Uji F. Uji ini
dimaksudkan untuk melihat kemampuan menyeluruh dari variabel bebas
yaitu X1,X2,….Xn, untuk dapat atau mampu menjelaskan tingkah laku atau
keragaman variabel tidak bebas Y. Uji global juga dimaksudkan untuk
……………………………………… (2)
30
mengetahui apakah semua variabel bebas memiliki koefisien regresi sama
dengan nol.(Suharyadi dan Purwanto,2004)
Sementara itu nilai F-hitung dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
F : besarnya F hitung
n : jumlah sampel
k : jumlah variable
R2: koefisien determinasi
Hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : β1 = β2 = β3 = 0, maka variabel-variabel independen (faktor
organisasional dan faktor individual) tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan secara bersama-sama terhadap variabel dependen (kinerja)
H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional dan
faktor individual) mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-
sama terhadap variabel dependen (kinerja)
Dasar pengambilan keputusannya adalah :
a. Jika nilai F hitung > F tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima
b. Jika nilai F hitung < F tabel, maka H0 diterima, H1 ditolak
Sementara itu tingkat signifikansi (α) dalam penelitian ini adalah 5%.
5. Koefisien Korelasi
F = R
2/ (k-1)
(1-R2)/(n-1)
…………………………… (3)
31
Koefisien korelasi (R) menunjukkan seberapa dekat titik kombinasi antara
variabel dependen dengan variabel independen terhadap garis dugaannya.
Apabila titik kombinasi semakin mendekati garis dugaannya maka nilai
koefisien korelasi semakin baik. Semakin besar nilai koefisien korelasi
menunjukkan hubungan yang semakin erat dan sebaliknya. Koefisien
korelasi (R) dapat dirumuskan sebagai berikut:
R = R2
………………………………………… (4)
Selanjutnya, untuk melihat tinggi rendahnya korelasi, digunakan skala
Guilford (Rakhmat, 2001:29):
> 0,20 = hubungan rendah sekali; lemah sekali
0,20 – 0,40 = hubungan rendah tetapi pasti
0.40– 0,70 = hubungan yang cukup berarti
0,70 – 0,90 = hubungan yang tinggi; kuat
> 0,90 = hubungan sangat tinggi;kuat sekali;dapat diandalkan
6. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran untuk mengetahui kesesuaian
atau ketepatan hubungan antara antara variabel dependen atau variabel tidak
bebas (Y) dengan variabel independen atau bebas (X) dalam suatu
persamaan regresi.
R2
= n (a∑Y + b.∑YX1 + b2.∑YX2) - (∑Y)
n∑Y - (∑X)
32
7. Skala Likert
Ada pun untuk perhitungan hasil survey diolah secara manual dan dengan
program SPSS Version 17.0 dengan menggunakan skala Likert. Cara
perhitungannya adalah dengan menghadapkan responden dengan beberapa
pertanyaan dan kemudian diminta untuk memberikan jawaban. Data yang
berhasil dikumpulkan dari kuesioner selanjutnya akan diukur dengan
bobot hitung 1 sampai 5, dengan kategori:
a. Sangat setuju dengan bobot 5
b. Setuju dengan bobot 4
c. Ragu-ragu dengan bobot 3
d. Tidak setuju dengan bobot 2
e. Sangat tidak setuju dengan bobot 1
Ada pun range untuk hasil survey :
Skor tertinggi : n × 5 = 43 x 5 = 215
Skor terendah : n × 1 = 43 x 1 = 43
Sehingga range untuk hasil survey –
Range skor:
43 – 77,4 = Sangat buruk
77,5 – 111,9 = Buruk
112 – 146,4 = Cukup
146,5 – 180,9 = Baik
190 – 224,4 = Sangat Baik
33
3.6. Variabel dan Instrumen Pengukuran
Sesuai dengan latar belakang masalah yang dikemukakan di bab pertama,
maka variabel yang diamati adalah:
1. Variabel bebas (X) yaitu variabel yang diduga menjadi penyebab atau
pendahulu dari variabel yang lain (Rakhmat, 2001:12). Dalam penelitian ini
yang termasuk variabel bebas adalah stres kerja , secara spesifik, stres kerja
yang diderita/ dialami perawat RSU Salewangang Maros. Pengukuran stres
kerja menggunakan dua dari tiga perangkat stressor ( Robbins, 1996 ),
yaitu faktor organisasional (X1) dan individual (X2).
2. Variabel terikat (Y) yaitu variabel yang diduga sebagai akibat atau yang
dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya (Rakhmat, 2001:12). Dalam
penelitian ini yang termasuk variabel terikat adalah kinerja perawat RSU
Salewangang Maros. Kinerja perawat dapat diukur dengan menggunakan
tiga instrumen umum standardisasi (Direktorat pelayanan dan Dirjen
Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, 2001) yaitu : studi dokumentasi
Standar Asuhan Keperawatan (SAK), Evaluasi persepsi pasien
terhadap mutu asuhan keperawatan dan evaluasi tindakan perawat
berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dijabarakan
dalam lembar Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dengan kriteria
penilaian : kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran,
kerja sama, prakarsa dan kepemimpinan.
34
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1. Lokasi RSU Salewangang Maros
Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros merupakan satu-satunya
rumah sakit daerah milik pemerintah Kabupaten Maros dengan jangkauan seluas
1.619,11 Km2
dengan jumlah penduduk sebanyak 319.527 jiwa. Penduduk
Kabupaten Maros yang terdiri dari 150.129 jiwa penduduk laki-laki dan 167.097
jiwa penduduk perempuan tersebut tersebar di 14 kecamatan definitif dan 103
desa/kelurahan yang dilayani oleh 14 unit puskesmas yang terdapat di setiap
kecamatan.
Dengan semakin pesatnya pembangunan kota, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, jumlah penduduk serta perubahan pola pikir dan
perilaku masyarakat, maka RSU Salewangang Maros berupaya semaksimal
mungkin untuk meningkatkan upaya dalam menciptakan tata kelola kantor yang
baik sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal pada subyek internal
dan eksternal yang memiliki kepentingan di dalamnya serta layanan publik dalam
hal ini pasien.
4.2. Visi, Misi dan Tujuan RSU Salewangang Maros
Visi RSU Salewangang Maros (2011-2015)
“Mewujudkan Rumah Sakit yang Unggul Dalam Pelayanan”
35
Misi RSU Salewangang Maros
Sesuai dengan misi yang tercantum dalam rencana strategis rektorat bina
pelayanan medik departemen kesehatan yang pada dasarnya untuk :
1. mewujudkan pelayanan medik yang bermutu, efisien, manusiawi, adil dan
merata;
2. mendorong pemberdayaan lintas sektor dan peran serta masyarakat terutama
untuk membantu masyarakat miskin dalam pemeliharaan kesehatan;
3. meningkatkan dan mengembangkan sistem rujukan dan jejaring pelayanan
medik yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, sistem
pembiayaan terpadu, pemanfaatan dan pengembangan teknologi tepat guna;
4. mendorong terciptanya SDM medik yang profesional, akuntabel dan
berorientasi pelanggan yang berdasarkan moral, etika dan hukum;
5. meningkatkan dan mendorong pengembangan dan pemanfaatan teknologi
pelayanan medik tepat guna;
6. mewujudkan tersedianya sumber daya untuk peningkatan dan
pengembangan pelayanan medik, maka dirumuskan beberapa misi untuk
mencapai visi Rumah Sakit Umum Salewangang Kabupaten Maros serta
mendukung tercapainya visi dan misi direktorat bina pelayanan medik
Departemen Kesehatan sebagai :
a. memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi holistik dan professional
kepada lapisan masyarakat miskin;
b. menyelenggarakan pendidikan yang terpadu dengan pelayanan;
36
c. menyelenggarakan pelayanan rujukan kesehatan dalam rangka peningkatan
kesehatan masyarakat.
Nilai-nilai dan Motto
Untuk mewujudkan visi melalui misi organisasi memerlukan perjalanan
panjang ke suatu keadaan yang diinginkan, akan dijumpai banyak rintangan,
hambatan, kegagalan dan peluang keberhasilan. Untuk tetap eksis dalam mencapai
visi tersebut, maka sangat diperlukan semangat yang tinggi agar perjalanan
tersebut tidak terhenti dan gagal. Dengan semangat yang tinggi yang dimiliki serta
keinginan dasar yang kuat melalui nilai-nilai yang ditanamkan pada setiap
personil organisasi maka visi yang telah disepakati dapat terapai.
Nilai-nilai yang dianut di Rumah Sakit Umum Salewangang Maros adalah
sebagai berikut :
1. Profesionalisme: Tindakan suatu profesi atau orang yang ahli di bidangnya
dengan memegang teguh etika profesi dan standar keahlian yang tinggi.
2. Ramah : Sikap dan perilaku yang baik dengan berpraduga positif
dan selalu berusaha menolong pelanggan dengan tulus.
3. Peduli : Berusaha segera memahami dengan sungguh-sungguh
masalah yang dihadapi pelanggan dan membantu menyelesaikan masalah
tersebut dan dapat memuaskan keinginan pelanggan.
4. Jujur : Selalu memegang teguh ketulusan dan keikhlasan dalam
memberikan informasi untuk kepentingan pelanggan.
5. Tanggung Jawab : Memikul segala akibat yang timbul dari hasil
pekerjaan dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan.
37
6. Menghargai : Saling menghargai serta menghormati terhadap
sesama yang lain.
Motto
Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas serta mencapai visi dan misi yang
telah ditetapkan maka diperlukan suatu motto yang tidak saja sebagai suatu hiasan
melainkan merupakan perwujudan pengabdian kepada bangsa dan negara. Ada
pun motto Rumah Sakit Umum Salewangang Kabupaten Maros “Dengan budaya
sipakatau kami melayani dengan sepenuh hati”. Kata sipakatau berasal dari
bahasa Bugis - Makassar yang berarti saling hormat menghormati karena
diharapkan semua pelaku organisasi di Rumah Sakit Salewangang Kabupaten
Maros yang terdiri dari beberapa suku, agama dan ras dapat saling menghormati
terhadap perbedaan-perbedaan tersebut agar dapat terwujud kerja sama yang baik
antara sesama karyawan.
4.3. Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 22 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Maros,
susunan organisasi dan tata kerja RSU Salewangang Kabupaten Maros adalah
sebagai berikut :
38
Gbr. 4.1 Struktur Organisasi RSU Salewangang Maros
Kepala RS
Jabatan
Fungsional
Sekretaris
Bag.Akuntansi Bag.Diklat Bag.Umum
Bid.Pelayanan Masyarakat Bid.Keperawatan Bid. Medik& Non Medik
Sub.Bid.Medik
Sub.Bid.Non
Medik
Humas
Rekam
Medik
Sub.Bid.Asuhan
keperawatan
Sub.Bid.Mnj.Ke
perawatan
UPT
39
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis
5.1.1. Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui kuesioner kepada perawat
ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Salewangang Maros, maka dapat
diketahui karakteristik setiap responden berdasarkan usia, jenis kelamin,
pendidikan terakhir dan masa kerja.
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Responden Persentase
20 -23 tahun 8 18.60
24 -27 tahun 18 41.86
28 -31 tahun 12 27.91
> 31 tahun 5 11.63
Total 43 100%
Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden berumur antara
24-27 tahun paling banyak yaitu sebesar 41.86 %, sedangkan yang paling sedikit
adalah responden yang berusia di atas 31 tahun yaitu sebesar 11.63 %.
40
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Responden Persentase
Laki-Laki 10 23.26 %
Perempuan 33 76.74 %
Total 43 100 %
Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
Beradsarkan tabel di atas diketahui bahwa, responden didominasi oleh
(perawat) wanita, yaitu lebih dari setengah jumlah responden atau sebesar
76.74%.
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Jumlah Responden Persentase
DIII Keperawatan 39 90.69 %
SI Keperawatan 3 6.98 %
SI Apoteker 1 2.33 %
Total 43 100%
Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden atau
sebesar 90.69 % berpendidikan memadai untuk perawat, yakni D III Keperawatan.
41
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja
Masa Kerja Jumlah Responden Presentase
< 1 tahun 6 13,95 %
1-5 tahun 18 41,86 %
6-10 tahun 17 39.53 %
>10 tahun 2 4.65 %
Total 43 100 %
Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah responden
telah mulai bekerja dalam rentang waktu yang cukup lama, yakni antara 1-10
tahun.
5.1.2. Deksripsi Tanggapan terhadap Variabel Stres Kerja dan Kinerja
Untuk melihat tanggapan responden terhadap indikator-indikator dan juga
penghitungan skor bagi variabel stres kerja dan kinerja, maka diuraikan dalam
tabel berikut:
42
Tabel 5.5 Tanggapan Responden terhadap Variabel Stres Kerja
(Organisasional)
Tanggapan
Sangat
tidak
setuju
Tidak
Setuju Ragu-ragu Setuju
Sangat
Setuju Skor
Pertanyaa
n F % F % F % F % F %
1 3 7.0 3 7.0 16 37.2 20 46.5 1 2.3 142
2 1 2.30 9 20.9 28 65.1 4 9.3 1 2.3 124
3 0 0 12 27.9 12 27.9 9 20.9 10 23.3 146
4 0 0 13 30.2 11 25.6 18 41.9 1 2.3 136
5 0 0 16 37.2 21 48.8 5 11.6 1 2.3 120
6 0 0 18 41.9 18 41.9 7 16.3 0 0 118
7 0 0 18 41.9 9 20.9 7 16.3 9 20.9 136
8 0 0 14 32.6 11 25.6 18 41.9 0 0 133
9 0 0 5 11.6 3 7.0 3 7.0 32 74.4 191
10 2 4.7 13 30.2 15 34.9 11 25.6 2 4.7 127
Rata-rata 137.3
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator dari banyak
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat stres kerja organisasional
menurut Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan
responden terhadap Variabel Stres Kerja berada pada range ketiga (cukup). Hal ini
dapat diartikan bahwa perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang
Maros merasakan stres pada tingkat menengah yang disebabkan oleh faktor stres
organisasional dengan indikator/ penyebab paling dominan adalah kurangnya
peralatan/ fasilitas kesehatan yang dibutuhkan dalam bekerja serta adanya tuntutan
mengutamakan keselamatan pasien dalam mejalankan tugas.
43
Tabel 5.6. Tanggapan Responden terhadap Variabel Stres Kerja (Individual)
Tanggapan
Sangat
tidak
setuju
Tidak
Setuju Ragu-ragu Setuju
Sangat
Setuju Skor
Pertanyaan F % F % F % F % F %
1 2 4.7 13 30.2 21 48.8 3 7.0 4 9.3 123
2 5 11.6 8 18.6 14 32.6 13 30.2 3 7.0 130
3 0 0 6 14.0 15 34.9 7 16.3 15 34.9 160
4 6 14.0 16 37.2 16 37.2 2 4.7 3 7.0 109
5 2 4.7 9 20.9 16 37.2 16 37.2 0 0 132
6 1 2.3 14 32.6 27 62.8 0 0 1 2.3 115
7 1 2.3 9 20.9 21 48.8 12 27.9 0 0 130
8 2 4.7 9 20.9 22 51.2 10 23.3 0 0 126
9 3 7.0 9 20.9 14 32.6 12 27.9 5 11.6 136
10 1 2.3 8 18.6 23 53.5 11 25.6 0 0 130
Rata-rata 128
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator diantara banyak
indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat stres kerja individual menurut
Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan responden
terhadap Variabel Stres Kerja Individual berada pada range ketiga (cukup). Hal ini
dapat diartikan bahwa perawat Ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU
Salewangang Maros mengalami stres pada tingkat menengah yang disebabkan
oleh faktor stres individu dengan indikator/ penyebab paling dominan adalah
kondisi keluarga/ pribadi yang mengganggu konsentrasi kerja, rasa bosan terhadap
pekerjaan/ tugas sehari-hari serta rasa rileks yang sulit didapatkan di waktu kerja
mau pun istirahat.
44
Tabel 5.7. Tanggapan terhadap Variabel Kinerja
Nilai 1 2 3 4 5 Skor
Pertanyaan F % F % F % F % F %
1 0 0 1 2.3 8 18.6 16 37.2 18 41.9 180
2 0 0 0 0 13 30.2 14 32.6 16 37.2 175
3 0 0 0 0 3 7.0 24 55.8 16 37.2 185
4 0 0 11 25.6 3 7.0 22 51.2 7 16.3 154
5 0 0 8 18.6 2 4.7 13 30.2 20 46.5 174
6 0 0 10 23.3 3 7.0 15 34.9 15 34.9 164
7 0 0 0 0 20 46.5 10 23.3 13 30.2 165
8 0 0 3 7.0 5 11.6 25 58.1 10 23.3 171
9 0 0 0 0 0 0 24 55.8 19 44.2 191
10 2 4.7 0 0 11 25.6 23 53.5 7 16.3 162
Rata-rata 172.1
Sumber: data diolah (kuesioner), 2012
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator dari banyak
indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kinerja karyawan
menurut Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan
responden terhadap Variabel Kinerja berada pada range ke empat (baik). Hal ini
dapat diartikan bahwa target dan tuntutan tugas yang tinggi untuk menyelesaikan
tugas sesuai standar yang ditetapkan, kerja sama tim yang baik dan komunikasi
yang baik dengan atasan dapat dilaksanakan dengan baik.
Sebagai kesimpulan terhadap respon variabel stres kerja organisasional dan
stres kerja individual serta variabel kinerja, dapat diartikan bahwa stres tingkat
menengah yang dialami perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang
Maros masih memberikan kontribusi positif pada kinerja mereka sehingga dapat
disimpulkan bahwa jenis stres yang dialami pada tingkat menengah adalah jenis
stres positif atau eustress.
45
5.1.3 Pengaruh Variabel Stres Kerja Organisasional dan Stres Kerja Individual
terhadap Variabel Kinerja
Dalam tabel-tabel berikut diperlihatkan hasil analisis program SPSS For
Windows Version 17.0 untuk setiap variabel beserta koefisien regresi, signifikansi
parsial dan simultan serta korelasi dan determinasi.
Tabel 5.8 Ikhtisar Hasil Analisis
No. Variabel Koefisien T Sig.
1 Konstanta 63.281
2 X1 -0.573 -2.414 0.020
3 X2 -0.165 -0.746 0.460
F 0.000
R 0.475
R2 0.226
5.1.3.1 Regresi
Tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas menghasilkan analisis statistik
(persamaan regresi) sebagai berikut :
Y = 63,281 – 0,573 X1 – 0,165 X2
Arti dari konstanta a adalah bahwa tanpa keberadaan variabel X1 (Stres
Organisasional) dan variabel X2 (Stres Individual) tingkat kinerja mencapai nilai
63,281 (cukup memuaskan). Sedangkan, nilai koefisien pada variabel X1 yang
bertanda negatif menunjukkan bahwa variabel X1 (Stres Organisasional) memiliki
hubungan yang berlawanan arah dengan variabel Y (Kinerja). Hal ini berarti
bahwa setiap kenaikan satu skala pada variabel X1 akan mengakibatkan penurunan
46
nilai sebesar 0,573 pada variabel Y (Kinerja). Begitu pula pada koefisien variabel
X2 yang bertanda negatif memiliki hubungan yang berlawanan dengan variabel Y,
dimana setiap kenaikan satu skala pada variabel X2 akan mengakibatkan
penurunan nilai sebesar 0,165 pada variabel Y (Kinerja).
5.1.3.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji T)
Dari tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas dapat diartikan bahwa :
Koefisien pertama (konstanta) diperoleh nilai t hitung sebesar 12, 617 dengan
menentukan taraf signifikansi sebesar 5% maka diperoleh nilai t tabel (t0.025,42)
sebesar 2,018 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung > t tabel sehingga
dapat diartikan bahwa konstanta (a) berpengaruh terhadap model regresi.
Koefisien kedua diperoleh nilai t hitung sebesar -2,414, dengan taraf
signifikansi di bawah 5 % . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung > t
tabel serta menujukkan nilai signifikansi yang dapat diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa model/ variabel stres organisasi berpengaruh signifikan
terhadap variabel Y (kinerja).
Koefisien ketiga diperoleh nilai t hitung sebesar -0,746 dengan taraf
signifikansi di atas 5 % . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung < t tabel
serta menunjukkan nilai signifikansi yang tidak dapat diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa model/ variabel stres individu tidak berpengaruh signifikan
terhadap variabel Y (kinerja).
47
5.1.3.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Dari tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas diperoleh nilai signifikansi
dari F hitung yang dapat diterima yakni kurang dari 5 % atau sebesar 0.000. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel stres organisasional (X1) dan stres
individual (X2) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap
variabel kinerja (Y).
5.1.3.4 Koefisen Korelasi
Dari tabel out put hasil analisis korelasi dengan menggunakan program
SPSS versi 17.0 di atas diperoleh koefisien korelasi (R) sebesar 0.595 yang dapat
diartikan bahwa variabel stres organisasi (X1) dan variabel stres individu (X2)
memiliki korelasi/ hubungan yang substansial (cukup berarti) dengan variabel
kinerja menurut aturan Guilford.
5.1.3.5 Koefisien Determinasi
Dari tabel 5.11 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.354
menunjukkan bahwa variabel stres organisasional dan stres individual
berpengaruh sebesar 35,4 % terhadap variabel kinerja, sedangkan 64,6 %
dipengaruhi variabel lain yang tidak menjadi obyek penelitian ini.
5.2 Pembahasan
Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian hipotesis yang
diajukan, yakni terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari kedua
variabel independen (stres organisasional dan stres individual) terhadap variabel
48
dependen (kinerja). Namun, secara parsial variabel kinerja dipengaruhi dominan
dan signifikan oleh variabel stres organisasional.
Kebanyakan perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros mengeluhkan
target dan tuntutan tugas yang terlalu tinggi yang harus mereka jalankan setiap
hari, sehingga terkadang waktu istirahat para perawat harus terabaikan dan
berpindah ke waktu lain. Ini menjadi salah satu faktor dominan pembangkit stres
yang dirasakan oleh para perawat (data diolah: kuesioner penelitian).
Setiap hari untuk perawat shift pagi harus menjalankan tugas mulai dari
pukul 08.00 pagi hingga pukul 08.00 malam melanjutkan kerja perawat shift
malam. Setiap langkah dan aktivitas penanganan pasien secara detail harus dicatat
oleh setiap perawat sebagai salah satu bukti kerja dan perkembangan keadaan
pasien yang ditangani. Bertanggung jawab sepenuhnya atas penanganan/
perawatan yang diberikan kepada pasien yang ditangani juga menjadi beban
tersendiri bagi para perawat, terlebih jika pasien yang ditangani lebih dari satu
orang dan dalam keadaan yang sangat gawat. Keselamatan pasien menjadi yang
utama untuk dipertanggungjawabkan oleh dokter dan terlebih perawat sebagai
subyek layanan kesehatan yang lebih intens bertemu dengan para pasien
(Wawancara perawat, 27/6/12).
Kondisi ini menuntut pergerakan yang super cepat dari para perawat yang
rata-rata menangani lebih dari satu pasien setiap harinya yang terus berdatangan
hingga melampaui waktu istirahat, pasien yang keadaannya semakin memburuk,
serta keluarga pasien yang terlalu banyak memberikan pertanyaan. Kondisi inilah
yang disebut kelebihan beban kerja (work overload) secara kualitatif & kuantitatif
49
oleh French & Caplan (dalam Nimran, 1999:89). Hal ini mengindikasikan bahwa
perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros mengalami stres salah satunya
akibat kelebihan beban kerja secara kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara
kuantitatif adalah suatu kondisi dimana perawat merasa bahwa terlalu banyak
pekerjaan yang harus dikerjakan, terlalu beragam hal yang harus dilakukan atau
tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan,
Ivancevich & Matteson (dalam Nimran, 1990:90).
Faktor stres individual juga dialami oleh perawat ruang IRD, dimana
beberapa perawat mengaku merasa bosan dengan pekerjaan/ tugas yang
dijalankan sehari-hari. Rasa jenuh/bosan tersebut menurut Hudak (1997:131-132)
antara lain disebabkan oleh, pekerjaan rutin yang diulang-ulang, setiap langkah
harus ditulis, perpindahan perawat ke tempat lain, situasi akut yang sering terjadi,
bahaya fisik yang mengancam seperti, tertusuk jarum suntik, terpapar sinar radiasi
dan terinveksi virus, mengangkat beban yang terlalu berat, bunyi atau pun suara
yang terus menerus baik dari alat monitor mau pun pasien yang menjerit, merintih
atau menangis dan terlalu sering mencium bau tubuh pasien yang mengeluarkan
darah, muntah, urin juga feses yang mengotori tubuh dan ranjang pasien.
Kondisi dan pekerjaan yang berulang-ulang tersebut menurut beberapa
perawat dapat menyebabkan gangguan pendengaran, penciuman mau pun daya
konsentrasi yang seharusnya tetap berada pada kondisi normal/ efektif pada saat
perawat sedang bertugas. Gangguan-gangguan daya konsentrasi perawat juga
sering terjadi disebabkan oleh faktor masalah keluarga, namun hal tersebut masih
dapat dikelola dengan baik mengingat lebih dari 50 % responden (perawat) adalah
50
wanita dimana dalam kondisi ini mereka berpendapat bahwa masih dapat
mengelola keadaan hati dan fikiran mereka dalam bekerja. Sedangkan sebagian
kecil responden lainnya yakni laki-laki mengandalkan pengalaman kerja yang
cukup lama sehingga merasa cukup mampu pula untuk menyesuaikan keadaan
keluarga dengan tuntutan tugas.
Tekanan-tekanan kerja/ stres yang dialami perawat ruang IRD RSU
Salewangang Maros berdasarkan hasil analisis berada pada tingkat menengah
yang memberikan kontribusi positif pada kinerja mereka. Keadaan yang
menciptakan stres kerja tersebut justru mampu membuat para perawat termotivasi
untuk bekerja lebih optimal, sehingga tingkat kinerjanya masih berada pada
kisaran range yang cukup baik. Jenis stres ini disebut stres positif/ eustress.
Keadaan inilah yang digambarkan dalam teori Robbins (Hubungan U-
terbalik) yang menyatakan bahwa stres pada tingkat rendah sampai sedang
merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk bereaksi, pada saat itulah
individu sering melakukan tugasnya dengan lebih baik, lebih intensif atau lebih
cepat. Sebaliknya, stres pada tingkat yang lebih memuncak/ berkelanjutan memicu
perubahan fisik dan mental ke arah yang lebih lemah/ berpola negatif sehingga
mengakibatkan kinerja menurun. Berdasarkan hasil analisis penelitian ini,
hubungan tersebut dapat digambarkan melalui grafik berikut ini :
51
kinerja
190
146,5
112
77,5
43
0 43 77,5 112 146,5 190 stres
Gbr. 5.1 Hubungan U-terbalik antara stres dan kinerja perawat ruang IRD
RSU Salewangang Maros
Grafik tersebut menggambarkan tingkat stres pada sumbu horizontal yang
semakin meningkat ke arah kanan dan tingkat kinerja pada sumbu vertikal yang
semakin meningkat ke arah atas. Secara simultan stres organisasional dan stres
inidvidual berada pada titik 132,65 atau berada pada range dengan kategori cukup.
Sedangkan, kinerja berada pada titik 172,1 atau berada pada range baik. Garis
melengkung berbentuk „u‟ terbalik menggambarkan hubungan antara stres dan
kinerja, dimana kondisi stres yang dialami oleh perawat ruang IRD RSU
Salewangang Maros pada tingkat menengah menciptakan laju/ tingkat kinerja
yang semakin meningkat, seperti terlihat pada lengkungan grafik yang dijelaskan
dalam teori Robbins bahwa tekanan-tekanan tingkat menengah itulah yang
mendorong kuat para perawat untuk bekerja lebih optimal.
Berdasarkan data statistik identitas responden dapat diketahui bahwa
manajemen stres secara individu oleh para perawat masih tergolong baik. Hal ini
disebabkan oleh usia para perawat yang telah cukup matang dalam berpikir,
52
pendidikan keperawatan yang memadai, masa kerja yang cukup untuk memberi
pengalaman pada perawat serta perawat didominasi oleh kaum wanita yang secara
psikologi keadaan dan tingkah lakunya selalu didominasi oleh perasaan.
Pengelolaan stres yang cukup baik tersebut juga didukung dengan
tersedianya ruang khusus perawat yang dilengkapi dengan tempat tidur, tempat
duduk, lemari pendingin serta televisi yang dapat menjadi tempat berkumpul
perawat untuk beristirahat di sela waktu bertugas atau bersenda gurau dengan
perawat lain atau sebagai tempat konsultasi satu sama lain. Namun berdasarkan
hasil analisis regresi, jika perawat dan pihak manajemen tidak mampu
berkolaborasi dengan baik dalam melaksanakan manajemen stres, stres yang
dialami oleh para perawat dapat meningkat menjadi stres jenis negatif/ distress
yang menyebabkan kinerja perawat menurun dan berdampak pada pelayanan
kesehatan yang kurang optimal sehingga secara lebih luas memberi implikasi
negatif pada rumah sakit, yakni tidak tercapainya visi rumah sakit, yakni
memberikan pelayanan kesehatan optimal kepada obyek layanan kesehatan.
53
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. stres organisasional dan stres individual yang dialami oleh perawat
ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros, secara
simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ;
2. stres organisasional secara parsial memiliki pengaruh yang dominan
dan signifikan terhadap kinerja perawat ;
3. jenis stres yang dialami oleh perawat ruang Instalasi Rawat Darurat
RSU Salewangang Maros dalah jenis stres positif/ eustress.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut :
1. sebaiknya manajemen Rumah Sakit secara khusus manajemen Ruang
Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros lebih memberikan
perhatian khusus terhadap kondisi stres yang dialami para perawat
ruang IRD. Secara lebih spesifik, penulis menyarankan agar dibuat
program konseling periodik dan/atau pembagian kuesioner periodik
untuk mengetahui kondisi stres perawat dan pengaruhnya terhadap
kinerja perawat.
54
2. program konseling dan/atau pembagian kuesioner periodik seperti
pada saran sebelumnya juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk
mengetahui penghambat kinerja perawat secara organisasional, seperti
kurangnya fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengoptimalkan kerja perawat sebagai tangan kanan dokter dan
tuntutan-tuntutan tugas yang mungkin tidak sesuai dengan kapasitas
sebagian besar perawat.
3. sebaiknya para perawat terus menyadari tugas dan perannya yang
sangat mulia, sehingga tekanan-tekanan kerja yang dirasakan baik
secara organisasi mau pun individu dapat dikelola dengan baik dan
tetap dapat memberikan kontribusi positif pada kinerja.
4. sebaiknya ruang khusus perawat banar-benar dimanfaatkan untuk
menjadi tempat berkumpul perawat melepas penat setelah menjalankan
tugas. Fasilitas - fasilitas yang disediakan di dalam ruangan sudah
cukup memadai namun pencahayaan perlu disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan perawat.
55
DAFTAR PUSTAKA
Anitawidanti, Hafni. (2010) Skripsi: Analisis Hubungan Antara Stres Kerja
dengan Kepuasan Kerja Karyawan Berrdasarkan Gender:Studi Pada PT
Trasindo Surya Sarana. Semarang : Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/22995/1/skripsistreskerjavskepuasankerja.pdf
Diakses 28 Februari 2009 pukul 22:38 WITA
Christianus. 2010. Belajar Kilat SPSS 17.0. Yogyakarta: Andi-Elcom.
Darma,Viko.P. 2008. Skripsi: Analisis Stressor Kerja Dengan Kinerja Perawat Di
Ruang Rawat Inap RSUD Genteng Banyu Wangi 2008. Dokumen Tidak
Terpublikasi. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin.
Hafizurrachman, HM. (2011) Disertasi : Pengembangan Model Prediktif Dalam
Mengukur Kinerja Perawat dan Kebijakannya di Rumah Sakit Umum
Daerah Tangerang.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Diakses 3 April
pkl.05:02 WITA.
Hasibuan, H. Malayu, S.P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. (Edisi
Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Heni Agnes,T.(2007).Panduan Praktis Pengolahan Data Statistik dengan SPSS
15.0.Semarang:Andi-Wahana Komputer.
Inayah, Niena. (2011). Skripsi: Pengaruh Iklim Komunikasi Terhadap Prestasi
Kerja Karyawan Pada Lembaga Bimbingan Belajar JILC Makassar.
Dokumen Tidak Terpublikasi. Makassar: Fakultas Ekonomi Universitas
Hasanuddin.
Istijanto,M.M.,. 2006. Riset Sumber Daya Manusia (cara praktir mendeteksi
dimensi-dimensi kerja karyawan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
56
Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Drs., M.Si., Psi. (2000). Manajemen Sumber
Daya Manusia Perusahaan. Cetakan Kedua. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Drs., M.Si., Psi. (2002). Manajemen Sumber
Daya Manusia Perusahaan. Cetakan Ketiga. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mangkunegara. (2005). Evaluasi Kinerja SDM Cetakan satu. Bandung: Refika
Aditama
Narbuko, Cholid, Drs. & Achmadi, H. Abu, Drs. (2008). Metodologi Penelitian.
Cetakan Kesembilan. Jakarta: Bumi Aksara.
Noviandari, Ratna Restu. (2007) Skripsi : Analisis Pengaruh Stres Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus PT Pos Indonesia(Persero)
Jakarta Timur 13000 .Bogor: Institut Pertanian Bogor.
http://www.google.co.id/#hl=id&sclient=psyab&q. Diakses tanggal 29
Maret 2012 pukul. 14:56 WITA.
Nurasma,A.N.H.,. 2010. Skripsi:Hubungan Beban Kerja Terhadap Kinerja
Perawat Di Rumah Sakit Andi Makkasau Pare-Pare Tahun 2009.
Dokumen Tidak Terpublikasi 2010. Makassar: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Rahayu Sri. 2005. SPSS Versi 12.0 dalam Riset Pemasaran. Bandung: CV
Alfabeta.
Rakhmat, Jalaluddin, Drs., M.Sc. (2001). Metode Penelitian Komunikasi. Cetakan
Kesembilan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi Jilid 2.Alih Bahasa Hadyana
Pujaatmaka. Jakarta : PT Prenhallindo