repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 31617... · BAB II TINJAUAN...
Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 31617... · BAB II TINJAUAN...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dispersi Padat
2.1.1 Latar Belakang Sejarah
Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau
ulang secara komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada
saluran pencernaan dibatasi oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya
meningkatkan laju absorpsi dan bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat
yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis terapi griseofulvin menurun sampai
50% dengan mikronisasi (Chiou dan Riegelman, 1971), dan juga menghasilkan level
darah yang lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun
sampai setengahnya hanya dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963).
Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat
dilakukan dengan: a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling
(balmilling), c) mikronisasi energi cairan, d) pengendapan terkontrol dengan
perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik, dan semprot kering
(spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f)
pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral
akan mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan.
2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat
2.1.2.1 Definisi
Universitas Sumatera Utara
Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert
atau matris pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau
pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971).
2.1.2.2 Metode Persiapan Dispersi Padat
2.1.2.2.1 Metode Pelelehan
Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk
membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air
dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan
dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat
dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut
biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu
kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).
Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai
tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan
mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah
kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses
pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem
campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah
banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses
peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.2.2 Metode Pelarutan
Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal
campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi
padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut
umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat
dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965),
sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Salah satu syarat penting
untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan adalah bahwa obat dan
pembawa cukup larut dalam pelarut. Suhu yang digunakan untuk penguapan pelarut
biasanya terletak pada kisaran 23-65º C (Leuner dan Dressman, 2000). Keuntungan
utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena
penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal,
kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari
pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut
umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal
(Chiou dan Riegelman, 1971).
2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan
Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang
sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah
suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut (Chiou dan Riegelman, 1971).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat
Sistem dispersi padat dapat digolongkan berdasarkan mekanisme lepas
cepatnya. Sistem ini dapat digolongkan menjadi enam kelompok sebagai berikut
(Chiou dan Riegelman, 1971; Leuner dan Dressman, 2000);
1. Campuran eutetik sederhana.
2. Larutan padat.
3. Larutan kaca dan suspensi kaca.
4. Endapat amorf obat dalam pembawa kristal.
5. Pembentukan senyawa atau kompleks antara obat dan pembawa.
6. Berbagai kombinasi dari kelompok 1 sampai 5.
Campuran Eutetik Sederhana
Campuran ini dibuat dengan pemadatan cepat dari cairan yang melebur dari dua
komponen yang menunjukkan ketercampuran cairan sempurna dan kelarutan padat-
padat yang dapat diabaikan (Chiou dan Riegelman, 1971). Sifat ini dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Ketika eutetis yang terdiri dari obat yang sukar larut terpapar pada air atau
cairan saluran pencernaan, obat dapat dilepas ke dalam medium cairan dalam bentuk
kristal halus (Sekiguchi dan Obi, 1961). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kedua
komponen dapat terkristalisasi menjadi ukuran partikel kecil secara bersamaan
(Chiou dan Riegelman, 1971). Peningkatan area spesifik karena pengurangan ukuran
partikel ini, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi oral dari obat yang sukar larut.
Sebagai tambahan atas pengurangan ukuran partikel, faktor berikut dapat membantu
meningkatkan laju disolusi obat yang terdispersi dalam eutetik:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Fase Diagram Sistem Eutetik
1. Peningkatan kelarutan obat dapat terjadi jika sebagian obat kristalnya sangat
kecil (Martin, et al., 1969).
2. Efek pelarutan oleh pembawa mungkin terjadi pada lapisan difusi yang
menyelubungi partikel obat pada tahap awal disolusi karena pembawa larut
sempurna dalam waktu yang singkat (Goldberg, et al., 1966)
3. Tidak adanya agregasi dan aglomerasi antara kristal halus obat hidrofobik
murni, memainkan peranan penting dalam peningkatan laju disolusi dan
absorpsi (Chiou dan Riegelman, 1971).
4. Keterbasahan dan dispersibilitas obat dari sistem eutetik atau sistem dispersi
padat lain yang dibuat dari matriks yang larut air menghasilkan peningkatan
laju disolusi obat dalam media cair. Hal ini dikarenakan setiap kristal obat
dikelilingi oleh pembawa larut yang siap larut dan menyebabkan air
bersentuhan dan membasahi partikel obat (Sekiguchi dan Obi, 1961).
5. Peningkatan laju disolusi dan juga dapat terjadi jika obat terkristalisasi
dalam bentuk metastabil setelah pemadatan larutan. Bentuk metastabil
memiliki kelarutan yang lebih tinggi sehingga laju disolusi menjadi lebih
cepat (Chiou dan Riegelman, 1971).
Universitas Sumatera Utara
Eutetik dibentuk oleh interaksi atom atau molekuler yang longgar yang tidak
terlibat dalam pembentukan ikatan kimia.
2.1.4 Pembawa Dispersi Padat
Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah
luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG),
polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula,
poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).
Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer tambahan
dari etilen oksida dengan rumus struktur H(OCH2CH2
)nOH, dimana n adalah jumlah
rata-rata gusus oksietilen (Ditjen POM, 1995). PEG umumnya mempunyai bobot
melekul antara 200-300.000, konsistensinya sangat dipengaruhi oleh berat
molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 berbentuk cair, PEG dengan bobot
molekul 800-1500 konsistensinya seperti vaselin, PEG dengan bobot molekul 2000-
6000 menyerupai lilin dan bobot molekul diatas 20.000 berbentuk kristal keras dan
kaku pada temperatur kamar (Leuner dan Dressman, 2000). Umumnya PEG dengan
bobot molekul 1500-20.000 digunakan untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan
bobot molekul 4000-6000 paling sering digunakan untuk pembuatan sistem dispersi
padat. Titik lebur PEG untuk setiap tipenya dibawah 65º C (misalnya PEG 1000
mempunyai titik lebur 30-40º C, PEG 4000 mempunyai titik lebur 50-58º C dan PEG
20.000 mempunyai titik lebur 60-63º C). Titik lebur yang relatif rendah
menguntungkan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan (Price,
1994).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5 Metode Pembuatan Tablet
Secara umum cara pembuatan tablet adalah dengan metode granulasi basah,
granulasi kering dan cetak langsung (Ditjen POM, 1995). Sistem dispersi padat
dengan obat ibuprofen digunakan untuk pengembangan formula tablet. Tablet
diformulasi dengan metode cetak langsung karena metode ini lebih mudah dan murah
(Lieberman, et al., 1990). Metode cetak langsung juga merupakan pilihan utama
untuk membuat tablet dengan kandungan zat aktif yang termolabil dan sensitif
terhadap kelembaban (Goel, et al., 2008). Cara ini hanya dilakukan untuk bahan-
bahan tertentu saja, yang berbentuk kristal/butir-butir granul yang mempunyai sifat-
sifat yang diperlukan untuk membuat tablet yang baik, dan dapat mengalami
peristiwa deformasi plastis pada saat pencetakan. Bahan-bahan ini mempunyai sifat
free-flowing, sehingga memungkinkan untuk dicetak langsung dan mempunyai
kohesifitas dan kekompakan yang baik (Lachman, et al., 1994). Tablet yang dibuat
cetak langsung mempunyai waktu hancur tablet yang relatif lebih cepat. Bahan
tambahan yang digunakan agar tablet cepat hancur adalah bahan penghancur
(desintegrant).
Menurut Dobetti (2000) beberapa non-effervescent desintegrant yang dapat
digunakan antara lain:
a. Amilum dan amilum termodifikasi (modified amylum). Kelompok ini meliputi
amilum alamiah (seperti amilum jagung dan amilum kentang), amilum cetak
langsung (seperti starch 1500), amilum termodifikasi (seperti
carboxymethylstarches dan natrium amilum glikolat/sodium starch glokolate) dan
turunan amilum (seperti amilosa)
b. Polivinilpirolidon terkait silang (cross-linked polyvinyl pyrrolidone).
Universitas Sumatera Utara
c. Selulosa termodifikasi seperti natrium CMC serkait silang (cross-linked sodium
carboxymethylcellulose)
d. Asam alginat dan natrium alginat
e. Selulosa mikrokristal (microcrystaline cellulose)
f. Garam kopolimer asam metakrilat-divinilbenzene (methacrylic acid-
devinylbenzene copolymer salts).
Selulose termodifikasi (modified cellulose) merupakan bahan yang sangat
penting dalam sistem disintegrasi oral karena bahan ini menghasilkan desintegrasi
yang cepat sehingga disebut juga superdesintegrant (Goel, et al., 2008). Natrium
kroskarmelosa merupakan garam natrium terkait silang dari karboksimetil selulosa,
yang memiliki kapasitas mengembang yang besar serta digunakan pada konsentrasi
antara 0,5 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).
Krospovidon merupakan turunan polivinilpirolidon yang tak larut dalam air,
menunjukkan aktivitas kapiler yang tinggi dan meningkatkan kapasitas hidrasi,
dengan kecenderungan yang kecil untuk membentuk gel. Konsentrasi efektifnya
dicapai pada 2,0 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).
2.2 Ibuprofen
2.2.1 Sifat Fisikokimia
Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul
C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Rumus Bangun Ibuprofen
Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.
Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol,
aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995). Larut
dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat (Reynolds, 1989). Senyawa ini
mempunyai titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4 ; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0
(Moffat, et al., 2005).
2.2.2 Farmakokinetik
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai
setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan
protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif
rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2-4 jam. Kira-
kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit
atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi
(Stoelting, 2006; Katzung, 1995; Sinatra, et al., 1992).
2.2.3 Farmakodinamik
Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan
menghambat siklooksigenase -I (COX I) dan siklooksigenase -II (COX II). Namun
Universitas Sumatera Utara
tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam
pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,
basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,
mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan
menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).
2.2.4 Indikasi dan Dosis Terapi
Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang,
khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout
(Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan hingga
sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri
haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk
demam pada anak-anak 5 mg/ kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/ kg
berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, et al.,
2002).
2.3 Absorpsi
Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah
masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh
setelah melewati sawar biologik.
Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab itu
laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan tubuh
(saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam cairan
tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:
Zat aktif Penyerapan
Universitas Sumatera Utara
Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip yang diungkapkan oleh Bennet :
sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam
cairan disekitar membran.
Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat
aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut
tahapan sebagai berikut;
Pelepasan Pelarutan Difusi
Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan
mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan
zat aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif
sediaan obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.
Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan
zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat
mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)
(Aiache, 1982).
2.3.1 Membran Sel
Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen
yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur
membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa
kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran
cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel
organ atau reseptor obat.
Obat (Zat aktif
+ pembawa)
Zat Aktif
terlepas
Zat Aktif
terlarut
Zat Aktif
terserap
Universitas Sumatera Utara
Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari komponen-
komponen yang terorganisasi, yaitu:
1. Lapisan lemak bimolekul.
Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan
fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,
fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak
bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai
hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan
gugus gliserilfosfat fosfolipid.
2. Protein
Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada
pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus
hidrofil dan hidrofob.
3. Mukopolisakarida
Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak
dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti
glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.
2.3.2 Transpor Molekul melalui Membran
Proses transpor melewati membran terjadi melalui beberapa mekanisme
(Simanjuntak, 1991; Shargel dan Yu, 2005) yaitu;
1. Transpor Pasif
Transpor pasif terdiri dari :
a) Difusi Sederhana (difusi non ionik)
Universitas Sumatera Utara
Dimana proses difusi dapat berlangsung apabila ada perbedaan konsentrasi
antara kedua sisi membran. Molekul berdifusi dari daerah dengan konsentrasi
tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.
b) Teori pH – Partisi Hipotesis
Hipotesa ini berdasarkan pemikiran bahwa elektrolit lemah akan terpermeasi
melalui membran hanya dalam bentuk tidak terionkan.
c) Difusi Ionik
Pada proses ini, molekul berpindah dalam bentuk ion dan kecepatan transpor
melalui membran ditentukan oleh perbedaan potensial kimia atau listrik.
d) Difusi yang difasilitasi
Berbeda dengan difusi sederhana, difusi yang difasilitasi berlangsung melalui
pembawa (carrier) protein yang mempunyai kemampuan berikatan dengan
bahan yang spesifik dan sistem ini dapat mengalami penjenuhan.
2. Transpor Aktif
Molekul dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi misal, dari daerah
konsentrasi rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, proses ini
memerlukan energi. Transpor aktif memerlukan pembawa atau carrier yang
mengikat obat membentuk kompleks obat – pembawa.
3. Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul
besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran. Mekanisme ini mirip
dengan fagositosis bakteri oleh leukosit.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Metode Absorpsi In Situ
Banyak variasi metode perfusi usus yang digunakan sebagai model . Metode in-
situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan percobaan
sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,
neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang
terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini
lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro
(Griffin dan Driscol, 2006).
2.3.3.1 Metode Perfusi Intestinal
Pengembangan preparat usus halus yang diperfusi secara vaskular dan stabil
merupakan alat penelitian untuk melihat transpor dan metabolisme obat intestinal.
Metode ini telah digunakan secara luas karena relatif sederhana, teknik pembedahan
yang relatif mudah dan murah (Schanker, et al., 1958). Pada pendekatan ini rongga
perut hewan yang telah dibius dibuka dengan laparotomy. Sejumlah modifikasi
metode ini telah dikembangkan, pada eksperimen loop tertutup oleh Doluisio, et al.,
(1969) larutan obat diletakkan pada bagian usus yang diisolasi, sedangkan pada
metode perfusi loop terbuka dipertahankan aliran cairan secara terus menerus
menuruni usus, dan permiabilitas intestinal diperkirakan melalui perbedaan
konsentrasi perfusat masuk dan keluar pada keadaan steady (Ho dan Higuchi, 1974).
Pertimbangan tambahan jika menggunakan teknik in situ adalah volume laruran
obat seiring absorpsi selama perfusi mungkin menyebabkan kesalahan pada
perhitungan absorpsi. Berbagai metode koreksi fluks air telah dikemukakan termasuk
penanda yang tidak terabsorpsi seperti fenol merah, inulin, atau 14C PEG 4000 yang
Universitas Sumatera Utara
dapat diaplikasikan dengan persamaan yaitu :
Dimana
\
adalah konsentrasi keluar yang dikoreksi
2.3.3.2 Metode Perfusi Intestinal Loop Terbuka atau Teknik Perfusi Usus
Single Pass
Untuk perkiraan kuantitatif parameter absorpsi, metode Doluisio memiliki
kelemahan, yaitu obat menyebar luas ke seluruh permukaan usus sehingga tidak
mencerminkan in vivo yang sebenarnya. Model perfusi single pass yang diusulkan
oleh Higuchi (1974) dirancang untuk memperkirakan sifat dengan aliran cairan
secara terus menerus melalui usus. Metode ini lebih baik daripada metode Doluisio
karena menghasilkan kontrol hidrodinamik yang lebih baik dan meningkatkan luas
permukaan (Ho, et al., 1983a ; Stewart, et al., 1997). Metode single pass memberikan
laju yang lebih reproduksibel dan variasi yang lebih kecil dalam penelitian
(Schurger, et al., 1986). Pada penelitian ini larutan obat diperfusi terus menerus
menuruni panjang usus yang telah diatur melalui kanula duodenum dan perfusat
dikumpulkan dari kanula ileum dengan laju alir antara 0,1 dan 0,3 ml/menit. Sampel
yang dikumpulkan dari aliran keluar diuji kandungan obatnya. Perkiraan
permiabilitas usus efektif dilakukan dengan menghitung perbedaan antara cairan
yang masuk dan keluar, ketika keadaan steady telah tercapai (ketika konsentrasi
keluar telah stabil).
2.4 Usus Halus
Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;
duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam
tergantung pada letaknya yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.
Universitas Sumatera Utara
Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari
peritonium (Aiache, et al., 1982). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat
erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.
Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu
dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.
Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian
proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan
jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian
bawah rongga (Fawcett, 1994). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian
atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.
Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh
dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini
lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m2
Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan
bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari
jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-
6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi
obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, 1982).
.
Universitas Sumatera Utara