repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 31617... · BAB II TINJAUAN...

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispersi Padat 2.1.1 Latar Belakang Sejarah Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau ulang secara komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada saluran pencernaan dibatasi oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya meningkatkan laju absorpsi dan bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis terapi griseofulvin menurun sampai 50% dengan mikronisasi (Chiou dan Riegelman, 1971), dan juga menghasilkan level darah yang lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun sampai setengahnya hanya dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963). Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat dilakukan dengan: a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling (balmilling), c) mikronisasi energi cairan, d) pengendapan terkontrol dengan perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik, dan semprot kering (spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f) pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral akan mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan. 2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat 2.1.2.1 Definisi Universitas Sumatera Utara

Transcript of repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 31617... · BAB II TINJAUAN...

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispersi Padat

2.1.1 Latar Belakang Sejarah

Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau

ulang secara komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada

saluran pencernaan dibatasi oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya

meningkatkan laju absorpsi dan bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat

yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis terapi griseofulvin menurun sampai

50% dengan mikronisasi (Chiou dan Riegelman, 1971), dan juga menghasilkan level

darah yang lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun

sampai setengahnya hanya dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963).

Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat

dilakukan dengan: a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling

(balmilling), c) mikronisasi energi cairan, d) pengendapan terkontrol dengan

perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik, dan semprot kering

(spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f)

pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral

akan mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan.

2.1.2 Definisi dan Metode Persiapan Dispersi Padat

2.1.2.1 Definisi

Universitas Sumatera Utara

Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert

atau matris pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau

pelelehan-pelarutan (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2 Metode Persiapan Dispersi Padat

2.1.2.2.1 Metode Pelelehan

Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk

membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air

dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan

dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat

dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut

biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu

kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai

tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan

mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah

kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses

pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem

campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah

banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses

peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2.2 Metode Pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal

campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi

padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut

umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat

dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965),

sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Salah satu syarat penting

untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan adalah bahwa obat dan

pembawa cukup larut dalam pelarut. Suhu yang digunakan untuk penguapan pelarut

biasanya terletak pada kisaran 23-65º C (Leuner dan Dressman, 2000). Keuntungan

utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena

penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal,

kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari

pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut

umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal

(Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan

Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang

sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah

suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat

Sistem dispersi padat dapat digolongkan berdasarkan mekanisme lepas

cepatnya. Sistem ini dapat digolongkan menjadi enam kelompok sebagai berikut

(Chiou dan Riegelman, 1971; Leuner dan Dressman, 2000);

1. Campuran eutetik sederhana.

2. Larutan padat.

3. Larutan kaca dan suspensi kaca.

4. Endapat amorf obat dalam pembawa kristal.

5. Pembentukan senyawa atau kompleks antara obat dan pembawa.

6. Berbagai kombinasi dari kelompok 1 sampai 5.

Campuran Eutetik Sederhana

Campuran ini dibuat dengan pemadatan cepat dari cairan yang melebur dari dua

komponen yang menunjukkan ketercampuran cairan sempurna dan kelarutan padat-

padat yang dapat diabaikan (Chiou dan Riegelman, 1971). Sifat ini dapat dilihat pada

Gambar 2.1.

Ketika eutetis yang terdiri dari obat yang sukar larut terpapar pada air atau

cairan saluran pencernaan, obat dapat dilepas ke dalam medium cairan dalam bentuk

kristal halus (Sekiguchi dan Obi, 1961). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kedua

komponen dapat terkristalisasi menjadi ukuran partikel kecil secara bersamaan

(Chiou dan Riegelman, 1971). Peningkatan area spesifik karena pengurangan ukuran

partikel ini, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi oral dari obat yang sukar larut.

Sebagai tambahan atas pengurangan ukuran partikel, faktor berikut dapat membantu

meningkatkan laju disolusi obat yang terdispersi dalam eutetik:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Fase Diagram Sistem Eutetik

1. Peningkatan kelarutan obat dapat terjadi jika sebagian obat kristalnya sangat

kecil (Martin, et al., 1969).

2. Efek pelarutan oleh pembawa mungkin terjadi pada lapisan difusi yang

menyelubungi partikel obat pada tahap awal disolusi karena pembawa larut

sempurna dalam waktu yang singkat (Goldberg, et al., 1966)

3. Tidak adanya agregasi dan aglomerasi antara kristal halus obat hidrofobik

murni, memainkan peranan penting dalam peningkatan laju disolusi dan

absorpsi (Chiou dan Riegelman, 1971).

4. Keterbasahan dan dispersibilitas obat dari sistem eutetik atau sistem dispersi

padat lain yang dibuat dari matriks yang larut air menghasilkan peningkatan

laju disolusi obat dalam media cair. Hal ini dikarenakan setiap kristal obat

dikelilingi oleh pembawa larut yang siap larut dan menyebabkan air

bersentuhan dan membasahi partikel obat (Sekiguchi dan Obi, 1961).

5. Peningkatan laju disolusi dan juga dapat terjadi jika obat terkristalisasi

dalam bentuk metastabil setelah pemadatan larutan. Bentuk metastabil

memiliki kelarutan yang lebih tinggi sehingga laju disolusi menjadi lebih

cepat (Chiou dan Riegelman, 1971).

Universitas Sumatera Utara

Eutetik dibentuk oleh interaksi atom atau molekuler yang longgar yang tidak

terlibat dalam pembentukan ikatan kimia.

2.1.4 Pembawa Dispersi Padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah

luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG),

polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula,

poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer tambahan

dari etilen oksida dengan rumus struktur H(OCH2CH2

)nOH, dimana n adalah jumlah

rata-rata gusus oksietilen (Ditjen POM, 1995). PEG umumnya mempunyai bobot

melekul antara 200-300.000, konsistensinya sangat dipengaruhi oleh berat

molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 berbentuk cair, PEG dengan bobot

molekul 800-1500 konsistensinya seperti vaselin, PEG dengan bobot molekul 2000-

6000 menyerupai lilin dan bobot molekul diatas 20.000 berbentuk kristal keras dan

kaku pada temperatur kamar (Leuner dan Dressman, 2000). Umumnya PEG dengan

bobot molekul 1500-20.000 digunakan untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan

bobot molekul 4000-6000 paling sering digunakan untuk pembuatan sistem dispersi

padat. Titik lebur PEG untuk setiap tipenya dibawah 65º C (misalnya PEG 1000

mempunyai titik lebur 30-40º C, PEG 4000 mempunyai titik lebur 50-58º C dan PEG

20.000 mempunyai titik lebur 60-63º C). Titik lebur yang relatif rendah

menguntungkan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan (Price,

1994).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Metode Pembuatan Tablet

Secara umum cara pembuatan tablet adalah dengan metode granulasi basah,

granulasi kering dan cetak langsung (Ditjen POM, 1995). Sistem dispersi padat

dengan obat ibuprofen digunakan untuk pengembangan formula tablet. Tablet

diformulasi dengan metode cetak langsung karena metode ini lebih mudah dan murah

(Lieberman, et al., 1990). Metode cetak langsung juga merupakan pilihan utama

untuk membuat tablet dengan kandungan zat aktif yang termolabil dan sensitif

terhadap kelembaban (Goel, et al., 2008). Cara ini hanya dilakukan untuk bahan-

bahan tertentu saja, yang berbentuk kristal/butir-butir granul yang mempunyai sifat-

sifat yang diperlukan untuk membuat tablet yang baik, dan dapat mengalami

peristiwa deformasi plastis pada saat pencetakan. Bahan-bahan ini mempunyai sifat

free-flowing, sehingga memungkinkan untuk dicetak langsung dan mempunyai

kohesifitas dan kekompakan yang baik (Lachman, et al., 1994). Tablet yang dibuat

cetak langsung mempunyai waktu hancur tablet yang relatif lebih cepat. Bahan

tambahan yang digunakan agar tablet cepat hancur adalah bahan penghancur

(desintegrant).

Menurut Dobetti (2000) beberapa non-effervescent desintegrant yang dapat

digunakan antara lain:

a. Amilum dan amilum termodifikasi (modified amylum). Kelompok ini meliputi

amilum alamiah (seperti amilum jagung dan amilum kentang), amilum cetak

langsung (seperti starch 1500), amilum termodifikasi (seperti

carboxymethylstarches dan natrium amilum glikolat/sodium starch glokolate) dan

turunan amilum (seperti amilosa)

b. Polivinilpirolidon terkait silang (cross-linked polyvinyl pyrrolidone).

Universitas Sumatera Utara

c. Selulosa termodifikasi seperti natrium CMC serkait silang (cross-linked sodium

carboxymethylcellulose)

d. Asam alginat dan natrium alginat

e. Selulosa mikrokristal (microcrystaline cellulose)

f. Garam kopolimer asam metakrilat-divinilbenzene (methacrylic acid-

devinylbenzene copolymer salts).

Selulose termodifikasi (modified cellulose) merupakan bahan yang sangat

penting dalam sistem disintegrasi oral karena bahan ini menghasilkan desintegrasi

yang cepat sehingga disebut juga superdesintegrant (Goel, et al., 2008). Natrium

kroskarmelosa merupakan garam natrium terkait silang dari karboksimetil selulosa,

yang memiliki kapasitas mengembang yang besar serta digunakan pada konsentrasi

antara 0,5 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).

Krospovidon merupakan turunan polivinilpirolidon yang tak larut dalam air,

menunjukkan aktivitas kapiler yang tinggi dan meningkatkan kapasitas hidrasi,

dengan kecenderungan yang kecil untuk membentuk gel. Konsentrasi efektifnya

dicapai pada 2,0 – 5,0% (Rowe, et al., 2003).

2.2 Ibuprofen

2.2.1 Sifat Fisikokimia

Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul

C13H18O2 dan berat molekul 206,28. Rumus bangun ibuprofen seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Rumus Bangun Ibuprofen

Ibuprofen berupa serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.

Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol, metanol,

aseton dan dalam kloroform, sukar larut dalam etil asetat (Ditjen POM, 1995). Larut

dalam larutan alkali hidroksida dan karbonat (Reynolds, 1989). Senyawa ini

mempunyai titik lebur 75-77º C dengan pKa 4,4 ; 5,2 dan log P (oktanol/air) 4,0

(Moffat, et al., 2005).

2.2.2 Farmakokinetik

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan

bioavailabilitas lebih besar dari 80%. Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai

setelah 1-2 jam. Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan

protein plasma (Anderson, 2002). Pada manusia sehat volume distribusi relatif

rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg). Waktu paruh plasma berkisar antara 2-4 jam. Kira-

kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai metabolit

atau konyugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi

(Stoelting, 2006; Katzung, 1995; Sinatra, et al., 1992).

2.2.3 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesa prostaglandin dan

menghambat siklooksigenase -I (COX I) dan siklooksigenase -II (COX II). Namun

Universitas Sumatera Utara

tidak seperti aspirin hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel. Dalam

pengobatan dengan ibuprofen, terjadi penurunan pelepasan mediator dari granulosit,

basofil dan sel mast, terjadi penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan histamin,

mempengaruhi produksi limfokin dan limfosit T, melawan vasodilatasi dan

menghambat agregasi platelet (Stoelting, 2006).

2.2.4 Indikasi dan Dosis Terapi

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga sedang,

khususnya nyeri oleh karena inflamasi seperti yang terdapat pada arthritis dan gout

(Trevor, et al., 2005; Anderson, et al., 2002). Untuk mengurangi nyeri ringan hingga

sedang dosis dewasa penggunaan ibuprofen per oral adalah 200-400 mg, untuk nyeri

haid 400 mg per oral kalau perlu. Untuk arthritis rheumatoid 400-800 mg. Untuk

demam pada anak-anak 5 mg/ kg berat badan, untuk nyeri pada anak-anak 10 mg/ kg

berat badan, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/ kg berat badan/hari (Anderson, et al.,

2002).

2.3 Absorpsi

Yang dimaksud dengan absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah

masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah tubuh

setelah melewati sawar biologik.

Untuk dapat diserap, semua zat aktif harus terlarut lebih dahulu. Oleh sebab itu

laju penyerapan merupakan fungsi dari laju pelarutan zat aktif didalam cairan tubuh

(saluran cerna misalnya) dan laju difusi molekul-molekul yang terlarut dalam cairan

tersebut melintasi membran seluler, sesuai dengan skema sebagai berikut:

Zat aktif Penyerapan

Universitas Sumatera Utara

Proses penyerapan tersebut berkaitan dengan prinsip yang diungkapkan oleh Bennet :

sebelum melintasi membran biologik, zat aktif harus terlarut lebih dahulu didalam

cairan disekitar membran.

Bila zat aktif berada dalam suatu bentuk sediaan, maka sebelum melarut zat

aktif harus terlepas dari sediaan, dan selanjutnya berdifusi dan diserap menurut

tahapan sebagai berikut;

Pelepasan Pelarutan Difusi

Bila proses pelepasan terjadi sangat lambat, maka pelepasan akan

mempengaruhi seluruh waktu dan tahapan proses pelarutan, difusi dan penyerapan

zat aktif. Jadi tahapan yang paling lambat dari rangkaian predisposisi zat aktif

sediaan obat didalam tubuh merupakan tahap penentu.

Dengan demikian, penyerapan zat aktif akan bergantung pada : laju pelarutan

zat aktif dalam cairan biologik disekitar membran, karakter fisikokimia yang dapat

mempengaruhi proses penyerapan (pKa, koefisien partisi, stabilitas, dan lain-lain)

(Aiache, 1982).

2.3.1 Membran Sel

Membran sel merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen

yang terorganisasi dan dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur

membran biologis sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa

kerja obat. Sesudah pemberian secara oral, obat harus melewati sel epitel saluran

cerna, membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel

organ atau reseptor obat.

Obat (Zat aktif

+ pembawa)

Zat Aktif

terlepas

Zat Aktif

terlarut

Zat Aktif

terserap

Universitas Sumatera Utara

Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000) membran sel terdiri dari komponen-

komponen yang terorganisasi, yaitu:

1. Lapisan lemak bimolekul.

Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengandung kolesterol netral dan

fosfolipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan lemak

bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai

hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan

gugus gliserilfosfat fosfolipid.

2. Protein

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan ada

pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampivil karena mengandung gugus

hidrofil dan hidrofob.

3. Mukopolisakarida

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya tidak

dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak, seperti

glikolipilid, atau dengan protein, seperti glikoprotein.

2.3.2 Transpor Molekul melalui Membran

Proses transpor melewati membran terjadi melalui beberapa mekanisme

(Simanjuntak, 1991; Shargel dan Yu, 2005) yaitu;

1. Transpor Pasif

Transpor pasif terdiri dari :

a) Difusi Sederhana (difusi non ionik)

Universitas Sumatera Utara

Dimana proses difusi dapat berlangsung apabila ada perbedaan konsentrasi

antara kedua sisi membran. Molekul berdifusi dari daerah dengan konsentrasi

tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah.

b) Teori pH – Partisi Hipotesis

Hipotesa ini berdasarkan pemikiran bahwa elektrolit lemah akan terpermeasi

melalui membran hanya dalam bentuk tidak terionkan.

c) Difusi Ionik

Pada proses ini, molekul berpindah dalam bentuk ion dan kecepatan transpor

melalui membran ditentukan oleh perbedaan potensial kimia atau listrik.

d) Difusi yang difasilitasi

Berbeda dengan difusi sederhana, difusi yang difasilitasi berlangsung melalui

pembawa (carrier) protein yang mempunyai kemampuan berikatan dengan

bahan yang spesifik dan sistem ini dapat mengalami penjenuhan.

2. Transpor Aktif

Molekul dipindahkan melawan perbedaan konsentrasi misal, dari daerah

konsentrasi rendah ke daerah konsentrasi tinggi. Oleh karena itu, proses ini

memerlukan energi. Transpor aktif memerlukan pembawa atau carrier yang

mengikat obat membentuk kompleks obat – pembawa.

3. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul

besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan

pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran. Mekanisme ini mirip

dengan fagositosis bakteri oleh leukosit.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Metode Absorpsi In Situ

Banyak variasi metode perfusi usus yang digunakan sebagai model . Metode in-

situ memiliki kelebihan dibandingkan metode in-vitro. Walaupun hewan percobaan

sudah dianastesi dan dimanipulasi dengan pembedahan, suplai darah mesentris,

neural, endokrin, dan limpatik masih utuh sehingga mekanisme transpor seperti yang

terdapat pada mahluk hidup masih fungsional. Sebagai hasilnya, laju dari metode ini

lebih realistik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan metode in-vitro

(Griffin dan Driscol, 2006).

2.3.3.1 Metode Perfusi Intestinal

Pengembangan preparat usus halus yang diperfusi secara vaskular dan stabil

merupakan alat penelitian untuk melihat transpor dan metabolisme obat intestinal.

Metode ini telah digunakan secara luas karena relatif sederhana, teknik pembedahan

yang relatif mudah dan murah (Schanker, et al., 1958). Pada pendekatan ini rongga

perut hewan yang telah dibius dibuka dengan laparotomy. Sejumlah modifikasi

metode ini telah dikembangkan, pada eksperimen loop tertutup oleh Doluisio, et al.,

(1969) larutan obat diletakkan pada bagian usus yang diisolasi, sedangkan pada

metode perfusi loop terbuka dipertahankan aliran cairan secara terus menerus

menuruni usus, dan permiabilitas intestinal diperkirakan melalui perbedaan

konsentrasi perfusat masuk dan keluar pada keadaan steady (Ho dan Higuchi, 1974).

Pertimbangan tambahan jika menggunakan teknik in situ adalah volume laruran

obat seiring absorpsi selama perfusi mungkin menyebabkan kesalahan pada

perhitungan absorpsi. Berbagai metode koreksi fluks air telah dikemukakan termasuk

penanda yang tidak terabsorpsi seperti fenol merah, inulin, atau 14C PEG 4000 yang

Universitas Sumatera Utara

dapat diaplikasikan dengan persamaan yaitu :

Dimana

\

adalah konsentrasi keluar yang dikoreksi

2.3.3.2 Metode Perfusi Intestinal Loop Terbuka atau Teknik Perfusi Usus

Single Pass

Untuk perkiraan kuantitatif parameter absorpsi, metode Doluisio memiliki

kelemahan, yaitu obat menyebar luas ke seluruh permukaan usus sehingga tidak

mencerminkan in vivo yang sebenarnya. Model perfusi single pass yang diusulkan

oleh Higuchi (1974) dirancang untuk memperkirakan sifat dengan aliran cairan

secara terus menerus melalui usus. Metode ini lebih baik daripada metode Doluisio

karena menghasilkan kontrol hidrodinamik yang lebih baik dan meningkatkan luas

permukaan (Ho, et al., 1983a ; Stewart, et al., 1997). Metode single pass memberikan

laju yang lebih reproduksibel dan variasi yang lebih kecil dalam penelitian

(Schurger, et al., 1986). Pada penelitian ini larutan obat diperfusi terus menerus

menuruni panjang usus yang telah diatur melalui kanula duodenum dan perfusat

dikumpulkan dari kanula ileum dengan laju alir antara 0,1 dan 0,3 ml/menit. Sampel

yang dikumpulkan dari aliran keluar diuji kandungan obatnya. Perkiraan

permiabilitas usus efektif dilakukan dengan menghitung perbedaan antara cairan

yang masuk dan keluar, ketika keadaan steady telah tercapai (ketika konsentrasi

keluar telah stabil).

2.4 Usus Halus

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu;

duodenum, jejunum dan illeum yang bebas bergerak. Diameter usus halus beragam

tergantung pada letaknya yaitu 2 – 3 cm dan panjang keseluruhan antara 5 - 9 m.

Universitas Sumatera Utara

Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan otot yang melingkari

peritonium (Aiache, et al., 1982). Duodenum dengan panjang sekitar 25 cm, terikat

erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal.

Jalannya berbentuk –C, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu

dengan jejenum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium.

Jejenum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan 2/5 bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa 3/5 nya. Kelokan-kelokan

jejenum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian

bawah rongga (Fawcett, 1994). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian

atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes.

Lipatan-lipatan inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh

dengan villi yang tingginya 0,75 – 1,00 mm dan selalu bergerak. Adanya villi ini

lebih memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga 40 – 50 m2

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum, fungsi utama duodenum dan

bagian pertama jejenum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari

jejenum dan illeum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-

6, jejenum 6-7, illeum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar dalam hal absorpsi

obat sebagai akibat disolusi berbagai bentuk sediaan (Aiache, 1982).

.

Universitas Sumatera Utara